Kenapa Cost Recovery Tinggi? Alternatif Solusi menurunkan Cost Recovery Khairul Rizal – Konsultan SCM Perminyakan Pengurus APPI
Menarik membaca Media Indonesai Halaman -14 tanggal 17 September 2008 tentang “Produksi minyak turun tapi ongkos terus naik - Sopia Siregar”. Perkiraan kenaikan dari 10,55 Milar USD (tahun 2008) menjadi 12,9 Miliar USD (2009) atau sekitar 23 % menantang kita melihat fenomena atau sisi lain penyebab kenaikan cost recovery. Jika kita mendengar atau membicarakan masalah cost recovery di KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) MIGAS, yang muncul selalu nada negatif dan miring. Pembicaraan akan mengarah pada rekapitulasi dari pos-pos biaya tinggi yang disebabkan karena penggelembungan (mark-up) atau dari biaya-biaya yang tidak termasuk kedalam biaya yang boleh di recover. Sumber utama informasi selalu bermuara dari hasil temuan audit baik internal BPMIGAS, BPKP maupun BPK. Ribut dan gonjang ganjing tentang Cost Recovery pada suatu periode bisa sangat impulsif. Tindakan yang muncul setelah itu, berbagai departemen terkait atau barisan stakeholders maupun DPR secara sporadik mendeklarasikan atau membentuk banyak forum, Pansus, atau “task force” dengan tujuan ingin menyelesaikan masalah ini. Dari banyak usulan dan diskusi selalu muncul kesimpulan antara lain “Kita akan membuat negatif list cost recovery yang lebih tegas, yang selama ini masih abu-abu akan di hitam atau diputihkan, mengawasi spending di masing-masing cost centre atau usulan yang lebih ekstrim merubah pola kontrak dari konsep cost recovery (Profit Sharing) menjadi Revenue Sharing atau Royalty System”. Belum pernah ada usaha melihat, mengevaluasi atau mengkritisi apakah pola operasi kita saat ini sudah benar, boros, royal penuh redudancy atau tidak ?. Apakah itu salah ?. Semua pendekatan atau usaha tersebut tidak salah, pertanyaannya apakah kita sudah membidik dan menyelesaikan inti permasalahan krusial yaitu menurunkan “cost recory” secara sistemik atau belum ?. Perbaikan pada cost centre spending dan perbaikan pada kesalahan administrasi terutama pengadaan dari temuan audit mungkin akan menurunkan sedikit cost recovery tapi apakah solusi ini dapat menjamin cost recovery yang akan datang tidak akan lebih besar atau apakah secara nasional kita sudah bicara tentang solusi permanen ?.
Jadi Apa yang salah ? Audit yang berbasis financial dan administration compliance merupakan langkah awal menemukan penyimpangan atau in-efisiensi, tapi apakah ini cukup ?. Sebagai contoh ketika auditor mengaudit penggunaaan fix wing (pesawat charter), baik dari sisi penggunaan dan pengadaan tidak akan menemukan kenapa biayanya sangat mahal, sehinga dia lolos menjadi cost recovery. Tetapi ketika kacamata auditnya kita perlebar dari sisi kontrak, utilisasi dan manajemen operasi atau di kenal dengan audit kinerja baru terlihat sesuatu yang luar biasa. Untuk sistem charter tahunan, dimana
sewa dihitung berdasarkan pendekatan biaya standby dan utilisasi selama 365 hari, walau pesawat tersebut hanya dipakai 3 (tiga) kali seminggu atau maksimum 45 % utilization rate dan penumpang yang diangkut rata-rata hanya 70-80% dari kapasitas maksimum, sehingga kalau dihitung biaya perorang / kali terbang untuk jarak yang sama bisa sangat-sangat mahal jika dibandingkan dengan kondisi penerbangan saat ini atau dengan cara membuat kontrak yang lain yang dijadikan acuan. Hal sama dimana tidak optimalnya penggunaan fasilitas seperti gudang, boat, pelabuhan, dll. akan ditemukan di banyak KKKS yang beroperasi di Indonesia. Kondisi lain yang membuat biaya cost recovery tinggi adalah tidak adanya/kurang efektifnya kordinasi antar KKKS dalam melakukan kegiatan, contoh jika satu KKKS menyelesaikan kegiatan drilling, Rig tersebut akan dipakai atau dimobilisasi ke daerah lain, sedangkan KKKS disebelahnya perlu melakukan kegiatan yang sama. Hal ini akan membuat KKKS yang beroperasi berdekatan dengan KKKS pertama harus memobilisasi peralatan drilling dengan biaya mobilisasi yang tinggi dari daerah lain.
Pola operasi Alternatif Pada akhir tahun 80an ketika harga minyak dunia jatuh dibawah 10 USD//Barel semua perusahaan minyak dunia menjerit dan mencari alternatif solusi untuk bertahan hidup. Perusahaan yang beroperasi di North Sea (Laut Utara) ketika itu memiliki biaya sekitar 13 USD/barel. Upaya yang dilakukan perusahaan adalah melakukan perubahan pola operasi dengan sangat drastis. Semua operator duduk bersama dan meredefinisi ulang pola operasi yang ada. Pola operasi yang tadinya sendiri-sendiri dan eksklusif dirubah total dengan melakukan pola operasi bersama. Para operator melakukan planning bersama (Collaborative planning) untuk kegiatan seismik dan drilling, melakukan kegiatan pengadaan yang strategis atau tidak transaktional (strategic procurement ) serta melakukan kegiatan pendukung operasi produksi dari suatu logistic base bersama sehingga terjadi tingkat utilisasi fasilitas secara optimal. Perubahan dan Konsekuensi logis dari kombinasi menerapkan pola operasi yang berbasis collaboration (bersama), strategic procurement (mendapatkan diskon harga dari volume pembelian yang besar dan mentransfer biaya inventori yang besar ke pihak ketiga / vendor managed inventory), menggunakan fasilitas logistik bersama secara optimum (gudang, kapal, pelabuhan, pesawat dll) semua operator tersebut terbukti bisa menekan biaya hingga 30%. Inisiatif ini dikenal dengan nama Cost Reduction in the New Era (CRINE). Hal yang sama ditiru dan diterapkan oleh negara teteangga kita Malaysia dengan inisiatif yang dinamakan CORAL (Cost Reduction Alliance) dan menggunakan logistik base hanya di dua lokasi Kemaman (di pantai Timur Malaysia) dan Labuhan di bagian Kalimantan Utara untuk mendukung kegiatan operator diseluruh Offshore Malaysia, inisiatif ini terbukti dapat mengurangi biaya produksi mereka hingga 35% (EY report tahun 2000).
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah negara kepulauan, dimana lokasi kegiatan perminyakan tersebar dari ujung Sumatera hingga Papua. Suatu bentang geografis yang sangat luas dan merupakan salah satu faktor yang membuat biaya operasi tinggi. Pola operasi yang
saat ini masih sangat silos (sendiri-sendiri), rencana kerja yang tidak dibuat bersama antar KKKS berdekatan, penggunaan fasilitas logistik sendiri-sendiri telah memberikan biaya operasi yang tinggi. Paparan komparasi biaya produksi / biaya eksplorasi minyak Indonesia yang lebih besar dengan negara-negara di Asia Pacifik telah membuat banyak pihak berteriak dan tidak nyaman. Tetapi setelah kita teliti secara detail pola operasi yang kita lakukan baru secara faktual kita berani mengatakan memang pola operasi perminyakan kita perlu di review ulang. Dibawah ini adalah contoh gambaran distribusi biaya untuk salah satu KKKS berproduksi di Indonesia. Struktur biaya tertinggi (73%) adalah biaya procurement (beli barang dan jasa) dan biaya logistik (pengelolaan barang atau biaya pendukung pekerjaan jasa).
Struktur Biaya KKKS 40%
17% Procurement of goods
15%
23%
Salary & Benefit
Procurement of services
33%
Logistics
12% Insurance
+/- 73% Cost dikeluarkan melalui kegiatan Procurement & logistics (SCM activities) Gambar-1 : Contoh distribusi biaya sebuah KKKS
Melihat pola spending diatas terlihat bahwa jika kita akan melakukan perubahan drastis di pola spending atau menekan cost recovery, kita harus melakukan inisiatifinisiatif strategis di bidang procurement dan logistics atau saat ini dikenal dengan Supply Chain Management. Pola pengadaan yang sangat transaksional (banyak PO/Kontrak) dan Pola pengelolaan logistik yang sendiri-sendiri perlu di reform menjadi pola pengadaan yang strategis dan pengelolaan logistik bersama atau meningkatkan penggunaaan shared facilities.
Bagaima memulai? Untuk memulai inisiatif ini BPMIGAS sebagai badan pelaksana MIGAS di Indonesia dapat menjadi penggerak utama (prive mover). Inisiatif Kepala BPMGAS yang baru menempatkan eksekutifnya di KKKS harus diikuti dengan membentuk tim-tim kerja untuk KKKS yang berdekatan (lihat gambar-2 usulan lokasi logistics base yang meng cover perubahan pola operasi di Industri MIGAS nasional). Tim ini merupakan gabungan key-person yang ditempatkan oleh masing-masing KKKS dan akan bekerja setiap hari, difasilitasi dan berkantor di BPMIGAS tetapi statusnya tetap dibayar sebagai karyawan KKKS. Ketika diperlukan tenaga ahli untuk bidang-bidang tertentu si key person dapat membawa tenaga ahli dari masing-masing KKKS sebagai tim pendukung dalam membuat planning bersama. Salah satu tugas tim ini adalah melahirkan WP&B (Work Program & Budget, AFE (Authorized For Expenditure) /format-format planning dan budgeting yang berlaku antar KKKS saat ini atau kontrak dan monitoring sistem yang berbasis “collaborative plan”, shared dan optimalization skenario. Hal ini jika terjadi akan melibas habis alasan kurang kordinasi antar KKKS, meeting yang berulang-ulang, melelahkan dan tidak efektif. BPMIGAS dalam konteks ini akan secara elegan berperan sebagai fasilitator dan perekat sehingga semua tujuan tercapai dengan efisien.
Gambar-2 : Usulan Lokasi fasilitas logistik bersama
Pada pola operasi ini akan terjadi perubahan sangat mendasar atau indikator keberhasilannya akan diperlihatkan dari minimum atau tidak terjadi biaya mobilisasi peralatan pada cost recovery (misal seismik dan drilling), pembelian barang yang sangat efisien dengan sedikitnya PO karena diganti dengan pembelian yang berbasis group purchase, minimalnya inventori karena dimasing-masing logistik base akan muncul vendor-vendor yang menstok barang seperti adanya supermarket di dalam
komplek perumahan (artinya kebutuhan rutin tidak perlu distok pembeli), penggunaan fasilitas dibayar hanya yang dipakai (gudang, kapal, pesawat, utilitas pelabuhan dll), dan berbagai indikator cantik lainnya..
Utopis atau Real? Muncul pertanyaan sederhana apa ini bisa dilakukan ?. Jawabannya pun sangat sederhana apa kita mau melakukan ?. Kalau kita takut gagal dalam implementasi kita tinggal meng-copy (menjiplak) habis apa yang sudah dan sedang dilakukan diberbagai negara saat ini, pasti paling tidak 70-80% nya akan terjadi atau berhasil menurunkan biaya cost recovery yang selalu diributkan. Jika ditahun 2009 (prediksi Media tanggal 17 sept 2008), cost recovery akan menjadi 12,9 Miliar US dolar, dan 73% nya adalah pengadaan dan logistik, jika kita dapat menghemat 20% saja (70% dari pengalaman sukses negara lain) kita sudah menghemat hingga 20 Triliun Rupiah/tahun, angka yang sangat signifikan untuk dinikmati bagi kita dan rakyat seperti pengantri sedekah di Pasuruan ?. (KRSept2008)
KHAIRUL RIZAL Khairul spent his 24 years experiences in New Venture, Business Development and Supply Chain Management. He joined Asamera Oil, Canadian Oil Company in 1985 as the project team and end up in 1994 as a project manager. In 1995 He joined Risjad Salim Resources International, Indonesian Oil Company as a Business Development Director. He ran and managed Salim Group Petroleum holding company business development. In year 2000 he joint Gulf Indonesia Resources as a Business Process Improvement consultant up to 2003. . In Nov 2003 Khairul joined Star Energy, he was a team leader in JD Edward ERP (Enterprise Resource Planning) system initiatian and implementation , after ERP implemented in the whole company , in 2005 he assigned as a team leader in developing Star Energy corporate culture (BRIGHT STAR) and in 2006 Khairul assigned as a cost reduction initiatives team leader up to January 2007. During this periods he initiated and implemented many cost reductions initiatitves in Operations Support department. . Khairul earned his Master degree in Strategic Management (Cumlaude) and He was graduated from Geophysical Engineering Department Institute Technology Bandung in October 1985 (with honor). He is currently as a Business Development Consultant of one National Energy Company and BPH MIGAS, Khairul also as an Executive Director of Indonesian Supply Chain Management Development Center (PPMPI) with its main activity delivering International Purchasing and Supply Management training programs. Khairul is a Certified Purchasing and Supply Management instructor from ITCUNCTAD/WTO-Geneva . In year (2005) Khairul presented his paper “ Developing Supply Chain Hub towards national oil and Gas industry efficiency improvement” in Indonesian Petroleum Association (IPA) annual convention, the paper was awarded as the best business paper during the convention. The paper has been used by oil companies and logistic’s provider as a development model in developing shared facilities.