ANALISIS BATASAN BIAYA REMUNERASI TENAGA KERJA ASING DALAM BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN (COST RECOVERY) PADA KONTRAK BAGI HASIL INDUSTRI HULU MINYAK DAN GAS BUMI Endah Puspitasari dan Iman Santoso Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Abstrak Dalam Kontrak Bagi Hasil (KBH) Industri Hulu Migas terdapat biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) sebagai komponen dalam penghitungan bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor. Terdapat kebijakan pembatasan pembebanan remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery yang diatur dengan PMK No.258/PMK.011/2011. Demikian, menjadi bahasan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan latar belakang penetapan batasan biaya remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery dan menjelaskan hambatan dalam pembebanan remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan & studi lapangan dengan wawancara. Hasil penelitian ini adalah latar belakang kebijakan tersebut dibuat adalah pelaksanaan wewenang Menteri Keuangan dalam menetapkan batasan biaya operasi yang dapat dikembalikan berdasarkan PP No.79 Tahun 2010 Pasal 12(3). Demikian, hal tersebut merupakan perwujudan dalam pelaksanaan Pasal 31D Undang-Undang Pajak Penghasilan. Hambatan dalam pembebanan remunerasi tenaga kerja asing adalah adanya inkonsistensi peraturan, ketidakpastian hukum, lemahnya pengawasan internal dan hambatan dalam implementasi peraturan oleh instansi terkait. Kata Kunci: Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi; Kontrak Bagi Hasil; Cost Recovery; Tenaga Kerja Asing. Abstract In The Production Sharing Contract (PSC) Upstream Oil and Gas Industry are operating cost can be refunded (cost recovery) as a component in the calculation of profit-sharing between the government and the contractor. There are restrictions on the imposition of the remuneration policy of foreign workers in the regulated cost recovery PMK No.258/PMK.011/2011. Similarly, a discussion in this study. The purpose of this study was to determine the background of the determine restrictions foreign labor remuneration expenses in cost recovery and to determine the obstacle in the imposition of foreign labor remuneration in cost recovery. The research method used is descriptive qualitative research a literature study of data collection technique and field studies with interviews. The result of this study are the background is the implementation of the policy is the authority of the Minister of Finance in setting restrictions operating cost can be returned by PP No.79 Tahun 2010 Pasal 12(3). Similarly, it is a manifestation of implementation of Pasal 31D Undang-Undang Pajak Penghasilan. Barrier in the imposition of foreign labor remuneration is the inconsistency rules, legal uncertainty, weak internal control and constraints in the implementation of regulations by relevant agencies. Keywords: Oil and Gas Upstream Industry; Productions Sharing Contracts; Cost Recovery; Foreign Workers
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
Pendahuluan/Latar Belakang Industri hulu migas dilakukan untuk mencapai target lifting migas pada lapangan existing dan pengembangan lapangan baru, serta percepatan produksi sumur temuan eksplorasi (Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 Republik Indonesia). Kegiatan eksplorasi mempengaruhi peningkatan produksi minyak, sebagaimana diketahui dari penjelasan Kepala BP Migas (R.Priyono) dalam situs berita Media Indonesia (2012), “Belum ditemukannya lapangan migas baru menjadi faktor besar dalam peningkatan produksi minyak.” (Ekonomi:Produksi minyak 2012 cuma 870 ribu bph, 2012). Industri hulu migas bersifat padat modal, beresiko tinggi dan memerlukan teknologi canggih maka memerlukan pengelolaan dan pengawasan yang baik agar tidak terjadi kecelakaan kerja yang dapat menghambat operasi migas (Berita: Dirjen Migas buka Konvensi RSKKNI, 2008). Resiko ini disebabkan dalam industri hulu migas memerlukan berbagai hal, seperti: 1) Penerapan teknologi tinggi, 2) Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan kuantitas yang banyak, 3) Jumlah dana yang sangat besar dan 4) Jangka waktu yang lama dan adanya ketidakpastian yang tinggi antara saat perolehan hasil (pendapatan) dengan dikeluarkannya biaya (Haryono, 2003, hal. 30). Hal yang senada diketahui dari berita dalam situs Ditjen Migas KESDM (2012), “Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H.Legowo, (Selasa (15/5), mengemukakan, industri migas memiliki 3 ciri pokok yaitu high cost, high tech dan high risk.” (Berita: strategi pemerintah tingkatkan peran migas nasional, 2012). Kompleksitas berbagai kegiatan dalam industri hulu migas menyebabkan diperlukan barang dan jasa. Dari penjelasan tersebut diketahui pentingnya memperhatikan faktor-faktor produksi dalam industri hulu migas, termasuk pada poin ke-2 yaitu sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan kuantitas yang banyak. Dalam usaha menjaga ketersediaan migas maka Pemerintah melakukan upaya dalam menarik investor (kontraktor) dalam melakukan kontrak kerja sama hulu migas yaitu KBH. Tujuannya adalah menciptakan iklim investasi yang memadai dalam meningkatkan kemampuan produksi migas sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Penerimaan negara dari migas adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi (PPh Migas). PNBP Migas merupakan sumber penerimaan terbesar diantara PNBP lainnya. Kontribusi PNBP Migas terhadap total PNBP mencapai rata-rata 61,2% pertahun selama periode tahun 2006-2011. Berbeda dengan PNBP Migas, PPh Migas bukan merupakan sumber terbesar dalam penerimaan Pajak Penghasilan. Kontribusi PPh Migas terhadap total Pajak Penghasilan rata-rata hanya 8,1% pertahun selama periode tahun 2006-2011 (Nota
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 Republik Indonesia). Penerimaan negara dari sektor migas sangat dipengaruhi oleh harga minyak mentah Indonesia/Indonesia Crude Price (ICP), besarnya lifting dan cost recovery yang dibayarkan. Pengaturan cost recovery yang tidak sesuai atau tidak mengakomodir berbagai aspek terhadap Pemerintah dan investor (kontraktor) dapat mengakibatkan iklim investasi menjadi tidak kondusif. Investasi tidak kondusif menurunkan produksi migas. Iklim investasi industri hulu migas yang kondusif mampu menjaga/meningkatkan jumlah produksi migas. Dengan terjaga/meningkatnya jumlah produksi maka penerimaan bagi hasil juga terjaga/meningkat. Telah dijelaskan bahwa industri hulu migas memerlukan SDM yang berkualitas sebagai faktor produksinya. Sumber daya manusia yaitu tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja Indonesia (SDM Nasional) dan tenaga kerja asing (TKA). Penggunaan TKA tidak terlepas dari kepentingan investasi asing sebagaimana pernah dinyatakan Dirjen Migas Kementerian ESDM (Evita H. Legowo), “Selama kita masih membutuhkan investasi asing, tidak mungkin SDM nasional mencapai 100%. Tetap harus ada tenaga asingnya.” (Berita: SDM nasional di kegiatan migas capai 99,2%, 2010). Demikian, TKA sebagai faktor produksi berperan dalam produksi migas yang berhubungan dengan ketersediaan energi migas dan penerimaan bagi hasil sebagai suatu kebijakan fiskal. Dalam hal terkait dengan kebijakan fiskal, terdapat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.011/2011 tentang batasan maksimum remunerasi tenaga kerja asing yang dapat dikembalikan dalam penghitungan penerimaan negara. Peraturan tersebut memberikan kesan bahwa kebijakan fiskal membatasi penggunaan TKA yang sebenarnya digunakan sebagai pemenuhan akan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Pembatasan tersebut dikhawatirkan akan mengganggu kegiatan operasi hulu migas. Pentingnya TKA dijelaskan Direktur Pembinaan Program Migas (Heri Purnomo), “Untuk lapangan onshore, tenaga kerja kita sudah dapat melakukannya. Namun untuk offshore, masih kurang karena pengalaman kita di laut dalam belum cukup banyak. Selain itu, untuk mengembangkan offshore juga diperlukan teknologi canggih.” (Ditjen Migas, 2010). Eksplorasi di offsore lebih sulit dibandingkan onshore dan membutuhkan biaya investasi dengan perbandingan hingga 10:1. “Pengeboran di laut dalam ini butuh investasi sangat besar, setidaknya US$ 20 juta. Untuk mengebor satu sumur di laut dangkal, sedikitnya perlu US$ 2 juta.” (Opini: BP Migas tamat, 2012). Demikian, tingkat kesulitan dan investasi yang lebih besar membutuhkan pelaksanaan dan pengawasan yang lebih baik terutama sumber daya manusia yaitu tenaga kerja asing.
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
Biaya operasi terkait penggunaan tenaga kerja asing dapat diakui sebagai biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) perlu dipahami agar tujuan optimalisasi penerimaan negara, efisiensi dan efektifitas kegiatan hulu migas dapat tercapai. PMK No.258 Tahun 2011 berhubungan dengan KBH mengingat dalam pelaksanaan KBH dalam industri hulu migas tidak terlepas dari penggunaan tenaga kerja asing. Produksi migas dipengaruhi iklim investasi kondusif yang memerlukan konsistensi dan kepastian hukum. Demikian, pada akhirnya menjaga.meningkatkan penerimaan negara dari bagi hasil. Kajian PMK No.258 Tahun 2011 ini
penting mengingat peraturan tersebut
diagendakan untuk dievaluasi paling lambat 2 (dua) tahun setelah ditetapkan. Demikian, penelitian ini dijabarkan melalui pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut ini: 1. Apakah latar belakang ditetapkannya batasan biaya remunerasi tenaga kerja asing dalam biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) pada Kontrak Bagi Hasil? 2. Apakah hambatan dalam pembebanan remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery? Tujuan dari dilakukannya suatu penelitian adalah untuk mendapatkan pengetahuanpengetahuan. Peneliti melakukan penelitian ini agar dapat memahami konsep pembatasan biaya remunerasi tenaga kerja asing yang dapat dikembalikan (cost recovery) dalam penghitungan bagi hasil dan penghitungan pajak penghasilan KBH, sebagai berikut ini: 1. Menjelaskan latar belakang ditetapkannya batasan biaya remunerasi tenaga kerja asing dalam biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) pada Kontrak Bagi Hasil. 2. Menjelaskan hambatan dalam pembebanan remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery. Tinjauan Teoritis Tinjauan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Pembagian wewenang Menurut Montesquieu (1748) dalam bukunya berjudul “Spirit of Laws” yang dikutip Budiardjo (1998), perlu adanya pemisahan kekuasaan/wewenang yang bertujuan untuk menanggulangi penyalahgunaan wewenang oleh Pemerintah, yaitu wewenang eksekutif, wewenang legislatif dan wewenang yudikatif. Pelaksanaan ketiga wewenang ini ditujukan untuk melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan regulasi. Demikian, Pemerintah adalah pemilik kekuasaan/wewenang dalam pengaturan berbagai hal dalam pelaksanaan fungsi negara menyangkut kepentingan masyarakat atau kepentingan publik melalui kebijakan publik.
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
2. Pembuatan, Formulasi dan Implementasi Kebijakan Kebutuhan akan pemecahan permasalahan disampaikan melalui aspirasi yang diberikan perwakilan dari pihak berkepentingan, lembaga dan semacamnya (group representative) sebelum akhirnya digunakan sebagai dasar pertimbangan pembuatan kebijakan (Anderson, 2006, hal. 39). Anderson (2006) mengutip Charles Lindblom (1959), dasar pertimbangan dibuatnya kebijakan adalah prioritas penyelesaian suatu masalah sebagai tujuan dari dibuatnya kebijakan. Hal ini dilakukan dengan memilih tindakan-tindakan yang dikaji dan dianalisis secara kontinu hingga mencapai kesepakatan dan diputuskan untuk membuat suatu kebijakan (Anderson, 2006, 125).. Formulasi
kebijakan
merupakan
tahap
yang
dilakukan
setelah
pemerintah
mengidentifikasi masalah dan melakukan penyusunan agenda pembuatan kebijakan. Formulasi kebijakan melibatkan instansi terkait yang melakukan kegiatan di bidangbidang yang memiliki pengaruh/hubungan erat dengan bidang kebijakan tersebut. Instansi terkait ini meliputi organisasi pemerintah, organisasi non-pemerintah dan bahkan masyarakat. Implementasi kebijakan dilakukan setelah ditetapkannya suatu kebijakan yang telah mendapat persetujuan dari berbagai pihak/intansi terkait. Pada tahap inilah suatu kebijakan mulai dapat secara aktif dinilai/dievaluasi. Dari berbagai teori yang ada, peneliti menggunakan konsep implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh George C. Edward III (1980). Konsep ini digunakan untuk menganalisis latar belakang pembatasan remunerasi tenaga kerja asing dan hambatan dalam pembebanan remuneras tenaga asing dalam cost recovery. Menurut Edward III (1980), penilaian/evaluasi terhadap implementasi kebijakan publik dimulai dengan mengajukan 2 (dua) pertanyaan, yaitu: 1. What is the predictions for successful policy implementation? 2. What are the primary obstacle to successful policy implementation? Penilaian terhadap implementasi kebijakan dilakukan dengan memprediksikan kondisi apa saja yang dapat membuat tercapainya suatu kebijakan publik dan menentukan faktorfaktor dalam pencapaian tersebut. 3. Remunerasi Tenaga Kerja David Williams (1996) menyatakan bahwa perlu ada kesamaan pendefinisian arti tenaga kerja oleh pemberi kerja dan oleh tenaga kerja itu sendiri. Bila ada perbedaan yang besar antara pendefinisian tersebut maka dapat meningkatkan potensi timbulnya beban administrasi (administrative burden). Hal ini juga disebabkan oleh adanya perbedaan
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
kontribusi yang diberikan tenaga kerja dengan penghasilan yang diterima (Williams, 1996, hal. 357). Sistem remunerasi tenaga kerja didasarkan pada enam hal, yaitu: 10 Jenis industri, 2) Posisi dan jabatan, 3) Pengetahuan dan pengalaman, 4) Tenaga kerja asing atau lokal, 5) Status hubungan kerja kontrak atau permanen dan 6) Hubungan kerja langsung atau melalui agen (Pora, 2011, hal. 23). Remunerasi yang diterima tenaga kerja bidang pertambangan termasuk besar karena dilakukan atas asas kesejahteraan (Pora, 2011, hal. 24). 4. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Cedric Sandford et All (1989), biaya dalam melaksanakan sistem perpajakan salah satunya adalah Running Cost. Running Cost adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Wajib pajak dalam melaksanakan sistem perpajakan. Asas pemungutan pajak menurut Fritz Neumark terdiri dari asas Revenue Productivity, asas Social Justice, asas Economic Goal dan asas Ease of Administration. Asas Revenue Productivity dijelaskan bahwa fungsi utama pajak adalah sebagai sumber utama (pendapatan) dalam membiayai kegiatan pemerintah. Asas Social Justice dijelaskan bahwa sistem perpajakan yang baik harus memperhatikan keadilan sosial. Asas Economic Goal dijelaskan bahwa pengenaan pajak berfungsi sebagai pemacu kegiatan ekonomi, instrumen dalam siklus fluktuasi harga, pengangguran dan produksi sehingga berhubungan erat dengan kebijakan fiskal. Asas Ease of Administration dijelaskan bahwa suatu sistem perpajakan yang baik harus terdapat kemudahan dalam mematuhi dan melaksanakan sistem perpajakan termasuk kegiatan administrasinya (Nurmantu, 2005, hal. 90-91), Pengurang beban pajak merupakan komponen-komponen dalam penghitungan penghasilan beban pajak. Menurut Gunadi (2009) berdasarkan akuntansi komersial pada dasarnya semua biaya termasuk kerugian dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan neto. Berbeda dengan konsep biaya menurut akuntansi, untuk tujuan perpajakan tidak semua biaya tersebut dapat dikurangkan dalam penghitungan penghasilan neto (Gunadi, 2009, hal. 180). Sommerfeld (1982) mengkategorikan pengurang beban pajak menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu: 1. Biaya-biaya yang terkait dengan kegiatan bisnis dan perdagangan, termasuk biayabiaya yang berkaitan usaha yang dikeluarkan oleh pengusaha; 2. Biaya-biaya yang bukan termasuk biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang terkait dengan perolehan penghasilan di luar usaha;
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
3. Pengeluaran yang murni sepenuhnya diperuntukkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (Rosdiana & Irianto, 2012, hal. 186). Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data-data ini bersumber dari wacana, data kualitatif, data lainnya yang diperoleh dan dianalisis peneliti sejak pra-penelitian serta selama penelitian berlangsung. Berdasarkan fakta berupa data-data yang ada, peneliti berupaya mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai remunerasi tenaga kerja asing dalam biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dengan bersumber pada data dan informasi yang ada. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif. Penggunaan jenis penelitian deskriptif dilakukan karena didasarkan pada tujuan penelitian. “Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari suatu pemecahan masalah.” (Dunn, 1998, hal. 21). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui informasi berupa gambaran mengenai latar belakang dan implementasi batasan remunerasi tenaga kerja asing dalam biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery).
Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian murni. Penggunaan jenis penelitian murni digunakan peneliti dengan beberapa pertimbangan, yaitu: a) Pemilihan topik penelitian didasarkan atas ketertarikan peneliti akan kebijakan fiskal, b) Dilakukan dengan berpedoman pada pedoman penelitian skripsi (pedoman penelitian tugas akhir mahasiswa Universitas Indonesia) dan c) Signifikansi akademis sebagai tujuan utama. Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian cross sectional. Penggunaan jenis penelitian cross sectional dilakukan melalui satu proses penelitian yang dilakukan peneliti pada satu periode waktu yaitu September 2012 hingga Desember 2012. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti tidak terlepas dari pertimbangan bahwa peneliti melakukan penelitian kualitatif. Menurut Walter R. Borg dan Gall Meredith D (1989) dalam bukunya berjudul “Educational Research”, data diperoleh dari sumber data yang terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer dalam penelitian ini berupa hasil wawancara informan (key informant) sedangkan data sekundernya berupa karya akademis, wacana, jurnal, berita, buku, laporan dan peraturan
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
(Ghony & Almanshur, 2012, hal. 164). Data-data yang dikumpulkan tersebut berhubungan dengan pembatasan biaya remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery. Demikian, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian dengan teknik pengumpulan data kualitatif. Dalam pengumpulan data-data peneliti melakukan studi kepustakaan dan studi lapangan, sebagaimana dijelaskan berikut ini: a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari literatur yang terkait dengan objek penelitian sehingga peneliti dapat menentukan apakah objek penelitian tergolong baru/belum pernah diteliti/pernah diteliti. Studi kepustakaan juga dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data sekunder, penyusunan rancangan penelitian dan pengolahan data dan/atau informasi. Hal ini dilakukan peneliti di Perpustakaan Pusat UI, Perpustakaaan FISIP UI, Perpustakaan DJP, Perpustakaan BKF dan melalui media online. b. Studi Lapangan Melalui studi lapangan peneliti bertindak sebagai partisipan yang melakukan wawancara terhadap para informan. Peneliti sebagai partisipan karena kebijakan ini melibatkan pihak terkait dalam pemilihan, perencanaan dan pelaksanaan kebijakan serta untuk mendapatkan umpan balik terhadap kebijakan tersebut. Studi lapangan dilakukan peneliti di Kemenakertrans, BP Migas, DJA, BPK, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan Gas Bumi (KPP Migas), Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Universitas Indonesia. 3. Narasumber/Informan Peneliti melibatkan informan dalam melakukan wawancara selama melakukan studi lapangan. Terdapat dua jenis wawancara yang digunakan peneliti, yaitu wawancara terbuka dan wawancara terstruktur. Kedua jenis wawancara ini dilakukan peneliti untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan terkait kebijakan remunerasi tenaga kerja asing dalam biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery). Informan yang digunakan adalah orang-orang yang berkompeten dibidangnya, yaitu: A. Penyusun Kebijakan, B. Pelaksana Kebijakan dan C. Akademisi. Berikut ini dijelaskan informasn dan informasi yang ingin diperoleh peneliti, yaitu: 1) Dewa Made Budiarta, Tim Penyusun PP No.79 Tahun 2010 dan PMK No.258 Tahun 2011. Informasi yang ingin diperoleh adalah gambaran formulasi PMK No.258 Tahun 2011 dan dasar pertimbangan dalam penetapannya.
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
2) Syarif Ibrahim Busonoadi, Kepala Sub Bidang PPh. Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal (PKPN, BKF). Informasi yang ingin diperoleh adalah gambaran formulasi PMK No.258 Tahun 2011 dan dasar pertimbangan dalam penetapannya. 3) Arief Santoso, Staf Subdit Bidang PPh Badan. Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak (PP II, DJP). Informasi yang ingin diperoleh adalah implementasi dan permasalahan dalam cost recovery atas cost recovery remunerasi tenaga kerja asing, kedudukan PMK No.258 Tahun 2011 dan PP No.79 Tahun 2010. 4) Nugraha, Pemeriksa Muda Seksi Fungsional Pemeriksaan. KPP Minyak dan Gas Bumi, Direktorat Jenderal Pajak (KPP Migas, DJP). Informasi yang ingin diperoleh adalah implementasi, pengawasan dan pemeriksaan cost recovery KBH. 5) Mila, Praktisi Perpajakan K3S Hulu Migas. Informasi yang ingin diperoleh adalah implementasi, pengawasan dan pemeriksaan cost recovery KBH. 6) Tunas Hari Yulianto, S.E, Pengajar MK Aspek Perpajakan pada Transaksi Khusus, FISIP UI. Informasi yang ingin diperoleh adalah kajian akademis implementasi, pengawasan dan pemeriksaan cost recovery dan perpajakan KBH. 7) Dikdik Suwardi, S.Sos, M.E, Pengajar MK Pemeriksaan dan Penyidikan Perpajakan, FISIP UI. Informasi yang ingin diperoleh adalah kajian akademis implementasi, pengawasan dan pemeriksaan cost recovery dan perpajakan KBH. 8) Sefriyanto, Akademisi Ilmu Administrasi Negara, FISIP UNDIP. Informasi yang ingin diperoleh adalah kajian akademis terkait pelaksanaan pengendalian dan pengawasan kegiatan usaha hulu migas. 4. Proses Penelitian Proses penelitian ini dimulai ketika peneliti membaca PMK No.258 Tahun 2011. Peraturan tersebut merupakan peraturan pelaksana tentang remunerasi tenaga kerja asing pada KKS Hulu Migas. Selanjutnya peneliti mencari bahan-bahan yang dapat mendukung tema tersebut termasuk di dalamnya berbagai teori-teori yang dapat dijadikan pendukung untuk menganalisis kebijakan tersebut. Peneliti bertindak sebagai partisipan. Hal ini dimulai peneliti dengan melakukan wawancara terbuka dengan beberapa pihak yang terkait dengan pembahasan teori, kebijakan dan analisa yang akan dilakukan. Setelah daita dan informasi mulai terkumpul, peneliti mulai melakukan penelitian dengan tetap melakukan pengumpulan data/informasi dan menganalisis terhadap data/informasi tersebut dengan menggunakan metode penelitian. Hal ini dilakukan peneliti hingga penyusunan skripsi berakhir.
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
5. Site Penelitian Tempat-tempat yang dipergunakan sebagai site penelitian oleh peneliti dalam melakukan studi kepustakaan dan studi lapangan, yaitu: Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Direktorat PPII DJP Pusat, KPP Migas dan Universitas Indonesia. 6. Teknik Pengumpulan, Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Instrumen utama dalam teknik pengumpulan data penelitian kualitatif adalah peneliti (human instrument). Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data yang dibuat peneliti adalah observasi tidak terstruktur, pedoman wawancara dan alat pendukung (alat perekam suara, kamera, peralatan tulis, catatan dan semacamnya). Instrumen ini digunakan atas dasar efisiensi dan pendokumentasian. Pengolahan data dilakukan untuk mendapatkan gambaran perkembangan penelitian yang sangat dipengaruhi data yang terkumpul. Data tersebut juga mempengaruhi peneliti dalam melakukan penelitian (Ghony & Almanshur, 2012, hal. 215). Tahapan pengolahan data yang dilakukan peneliti, yaitu: 1) pemberian kode, 2) penelitian memo analitis, 3) pengembangan proses pemberian kode dan 4) pemberian komentar terhadap hasil transkrip (Ghony & Almanshur, 2012, hal. 132-134). 7. Batasan Penelitian Peneliti hanya melakukan penelitian yang berkaitan langsung dengan latar belakang penetapan pembatasan remunerasi tenaga kerja asing dan hambatan dalam pembebanan remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery.. Peneliti tidak membahas prosedur penyusunan pembukuan oleh kontraktor dan tidak membahas penghitungan bagi hasil dan PPh kontraktor. 8. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan yang dialami peneliti saat ini adalah faktor ekternal seperti proses administrasi dalam pengumpulan data dan faktor internal peneliti seperti keterbatasan waktu dan tenaga. Pembahasan dan Hasil Penelitian 1. Latar Belakang Ditetapkannya Batasan Biaya Remunerasi Tenaga Kerja Asing dalam Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan (Cost Recovery) Temuan dalam hasil pemeriksaan oleh BPK dan BPKP memperkuat adanya indikasi ketidakefisienan dan keefektifan pengelolaan sumber daya migas melalui KBH. Pemeriksaan oleh BPK dan BPKP sebagai bentuk pengawasan/pengendalian (mekanisme kontrol) karena akan memberikan feed back dalam menilai sejauh mana tujuan yang telah tercapai (Djamin, 1995, hal. 78).
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
Pengaturan cost recovery merupakan bentuk implementasi kebijakan sebagaimana dikemukakan oleh Edward III yaitu struktur birokrasi karena dilakukan oleh KESDM, sumber daya karena menggunakan sarana pelaksanaan wewenang eksekutif berupa peraturan menteri, komunikasi karena telah disosialisasikan media massa/publik dan adanya disposisi karena melibatkan BP Migas dalam pembuatan Pedoman Tata Kerja BP Migas. Permen ESDM No. 22 Tahun 2008 tersebut belum memenuhi prinsip Asas Pemungutan Pajak yang dikemukakan oleh Neumark karena kebijakan tersebut bukan berfungsi atau bertujuan utama kepada penerimaan pajak negara melainkan pengelolaan migas dan bagi hasil. Hal ini diketahui peneliti dari penggunaan dasar hukum dalam penetapan peraturan tersebut. PP No.79 Tahun 2010 berdasarkan Pasal 31D UU PPh ini merupakan bentuk dari pemenuhan prinsip “Principle of Adabtability” dan prinsip The Requirement of Continuity yang dikemukakan oleh Neumark. PP No.79 dijadikan dasar oleh Pemerintah dalam pengaturan lebih lanjut. Proses ini melibatkan berbagai pihak khsusunya instansi tingkat kementerian dibawah Presiden seperti KESDM, Kemenkeu, dan instansi pemerintah lainnya. Hal ini termasuk kebijakan Kemenkeu/DJP dengan dibentuknya Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan Gas Bumi (KPP Migas) yang merupakan restrukturisasi/spesialisasi dari Kantor Pelayaran Pajak Badan dan Orang Asing II (KPP Badora II) (Nugraha, 2012). Berdasarkan penjabaran diatas maka disimpulkan bahwa latar belakang ditetapkannya PMK No.258 Tahun 2011 adalah pelaksanaan wewenang Menteri Keuangan dalam menetapkan batasan biaya operasi yang dapat dikembalikan berdasarkan PP No.79 Tahun 2010 Pasal 12 (3) . Demikian, hal tersbut merupakan perwujudan dalam pelaksanaan Pasal 31D UU PPh. 2. Hambatan dalam Pembebanan Remunerasi Tenaga Kerja Asing dalam Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan (Cost Recovery) KBH merupakan kegiatan dalam industri hulu migas yang memiliki karakteristik high risk, high tech, dan high risk. Atas karakteristiknya tersebut maka memerlukan pengaturan yang berbeda/khusus dibandingkan sektor lainnya yang menerapkan ketentuan umum dalam aspek perpajakannya. Pengaturan aspek perpajakan KBH secara khusus diperlukan karena bila menerapkan aspek perpajakan umum dengan UU PPh akan terdapat ketidaksesuaian dan dapat menimbulkan permasalahan. Pengaturan hukum pajak dibuat secara umum dan keterbatasan pembuatnya dalam menyadari atau memperkirakan perkembangan/perubahan di dunia sehingga di hukum pajak timbul hambatan.
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
2.1.
Inkonsistensi Peraturan Kontrak Bagi Hasil yang dilakukan dalam jangka waktu lama (maksimal 30 tahun) mengunakan peraturan perundangan perpajakan sebagai dasar pelaksanaan kewajiban perpajakan. Demikian, berdasarkan peraturan pelaksana yang telah ada terdapat
ketidakkonsistenan
perkembangan
peraturan
pelaksana
dengan
perkembangan perubahan UU PPh. Uniformity principle dapat menimbulkan perbedaan penafsiran bila tidak dikaji lebih mendalam. Ditambahkan dari wawancara terstruktur dengan akademisi perpajakan, terdapat potensi menimbulkan permasalahan dalam menjawab pertanyaan mengenai “ketentuan apa yang mengikuti ketentuan apa” dalam penerapan konsep uniformity principle. Sistem perpajakan uniformity principle tersebut dikehendaki menyebabkan cost recovery sama dengan deductible expense, meskipun dalam pelaksanaannya prinsip tersebut tidak dapat sepenuhnya diterapkan pada KBH. Asas the requirement of adabtibility diperlukan dalam pemungutan pajak sehingga dapat beradaptasi/menyesuaikan pemenuhan asas-asas pemungutan pajak lainnya. Peneliti menyimpulkan, yaitu: 1. biaya pengurang beban pajak (deductible expense) berdasarkan UU PPh tidak dapat dijadikan sebagai cost recovery bila tidak diatur dalam KBH; 2. biaya bukan pengurang beban pajak (non deductible expense) berdasarkan UU PPh dapat dijadikan cost recovery bila telah diatur dalam KBH. Dari kedua point tersebut maka biaya pengurang pajak (deductible expense) ataupun berdasarkan UU PPh adalah cost recovery kecuali telah diatur berbeda dalam KBH dan peraturan pelaksananya. Sebagaimana dikonfirmasi oleh para penyusun kebijakan (Busonoadi, 2012) & (Budiarta, 2012) dan pelaksana kebijakan (Nugraha, 2012). Perubahan UU PPh pada tahun 1991 dan tahun 1994 yang tidak disertai peraturan pelaksananya
menandakan kurang
dipenuhinya konsep
sistem
pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Neumark yaitu prinsip The Requirement of Adabtability meskipun prinsip The Requirement of Continuity cukup diterapkan. Terkait hal ini, juga pernah dikemukakan oleh Brotodihardjo (1989) bahwa hukum pajak terdiri keseluruhan peraturan. Dengan tidak adanya peraturan pelaksana terhadap UU PPh Tahun 1991 dan UU PPh Tahun 1994 kurang memberikan kepastian hukum
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
2.2.
Ketidakpastian Hukum Hambatan yang terjadi dilapangan disebabkan oleh ketidakpastian hukum yang terjadi akibat tidak adanya pembatasan cost recovery dalam KBH. Hal ini semakin tidak pasti dengan tidak adanya peraturan pelaksana yang sesuai dan mencukupi dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan ataupun peraturan pelaksana lainnya dalam mengatur hal-hal yang belum diatur dalam perubahan UU PPh. PMK tersebut mengatur batasan penghasilan yang diberikan K3S hanya dalam bentuk pembayaran yang tercantum dalam RKA yang telah disetujui oleh Badan Pelaksana. Pasal 1 PMK No.258 Tahun 2010, “Remunerasi adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh tenaga kerja asing yang bekerja pada Kontraktor yang telah tercantum dalam RKA yang telah disetujui oleh Badan Pelaksana.” Pembatasan ini hanya mengatur mengenai pembayaran remunerasi atau dengan kata lain pemberian kompensasi dalam bentuk uang/tunai. Hal ini dikonfirmasikan oleh para penyusun dan pelaksana kebijakan, [Cost recovery dari remunerasi/penghasilan yang diberikan oleh K3S kepada tenaga kerjanya adalah penghasilan yang diberikan dalam bentuk uang dan bukan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan selain dalam bentuk uang atau benefit in kind. Selain dalam bentuk uang/tunai maka berlaku peraturan perundangan perpajakan.] Hambatan dalam melaksanakan pembatasan cost recovery adalah belum adanya peraturan yang mengatur batasan remunerasi tenaga kerja asing yang dapat memberikan kepastian hukum. Hambatan tersebut diminimalisir dengan memaksimalkan pelaksanaan peraturan yang merupakan harmonisasi peraturan perundangan yang terkait memerlukan koordinasi yang berkelanjutan. Demikian, PMK No.258 Tahun 2011 perlu dilakukan evaluasi terhadap jumlah batasan maksimum dan kriteria-kriteria dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan akan TKA dan besarnya salary competitive.
2.3.
Lemahnya Pengawasan Internal Lemahnya pengawasan internal yang dilakukan oleh kontraktor maupun BP Migas diketahui dari temuan hasil pemeriksaan BPK RI terhadap PT.X, yaitu:
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
a. Pembebanan atas TKA pihak ketiga, Berdasarkan Pasal 6 (1) UU PPh bahwa biaya pengurang penghasilan bruto adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (3M). Dengan tidak dilakukannya pencatatan time sheet maka verifikasi atas hubungan biaya tersebut terhadap biaya 3M sulit untuk dilakukan. b. Pembebanan Remunerasi TKA dalam Alokasi Biaya Overhead yang tidak disertai dokumen pendukung, Permasalahan terjadi karena alokasi PCO tidak diyakini kewajarannya karena kontraktor tidak melakukan validasi atas dokumen sumber. Hal ini disebabkan: 1) Kontraktor memandang Parent Company sebagai 1 (satu) perusahaan dan bukannya entitas yang berbeda, 2) pembebanan PCO hanya berdasarkan kesepakatan, 3) administrasi bukti/transaksi pembebanan pada kontraktor tidak mencerminkan transaksi yang terjadi karena hanya menggunakan dokumen skunder yaitu perhitungan alokasi PCO, 4) PSC dan BP Migas tidak secara tegas mengatur kewajiban untuk menyiapkan dokumen sumber sebagai syarat diterimanya alokasi overhead. c. Perpanjangan Perizinan RPTKA dan IMTA Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap proses pengajuan atau perpanjangan IMTA
yang
dilakukan
kontraktor,
IMTA
yang
sudah
diterbitkan
Kemenakertrans, invoice billing summary dan expatriate summary diketahui bahwa kontraktor selalu terlambat dalam mengajukan perpanjangan IMTA kepada Kemenakertrans. Rata-rata perpanjangan IMTA baru diajukan oleh kontraktor setelah 3 (bulan) hingga 8 (delapan) bulan baru diajukan. Keterlambatan tersebut menyebabkan expatriate yang dipekerjakan kontraktor tidak memiliki IMTA, namun salary tetap dibayarkan kontraktor sehingga memperhitungkan dengan memperhitungkan keterlambatan minimal 3 (tiga) bulan maka terdapat Expatriate Payroll and Burden yang terlalu tinggi dibebankan ke dalam cost recovery. 2.4.
Hambatan dalam Implementasi Peraturan oleh Instansi Terkait 1. KPP Migas baru diresmikan pada April 2012 Pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak oleh DJP, BPKP, BPK dan auditor independen meningkatkan compliance cost bagi wajib pajak. Demikian, wajib pajak terbebani dengan pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan secara berlapis. Disarankan adanya suatu tim pemeriksa gabungan
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
sehingga beban administrative cost yang dikeluarkan pemerintah ataupuan compliance cost wajib pajak dapat diminimalisir. 2. Dibubarkannya BP Migas dan Pengalihan Tugas Sementara ke SK Migas Kendala yang sangat berpengaruh disebabkan pembubarannya BP Migas dan pelaksanaan tugasnya sementara oleh SK Migas. Hal ini menyebabkan beban kerja SK Migas sangat meningkat. Selain penyesuaian kebijaksanaan internal SK Migas juga harus menyesuaikan melaksanakan PP No.79 dalam pelaksanaan wewenang yang sedang dilaksanakan yaitu Revisi UndangUndang Republik Indonesia Tahun 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bimi. Selain itu pemeriksaan atas BP Migas terhadap pelaksanaan pengawasan & pengelolaan kegiatan usaha hulu migas yang masih dalam proses pemeriksaan oleh BPK dan BPKP ikut menjadi salah satu faktor yang dianggap suatu kemunduran oleh berbagai pihak mengingat pengelolaan oleh BP Migas sedang dievaluasi sebagai upaya perbaikan kebijakan usaha hulu minyak dan gas bumi. 3. Evaluasi atas batasan maksimum belum dapat dilakukan sepenuhnya Implementasi peraturan PMK No.258 melalui evaluasi peraturan tersebut dilakukan oleh BKF sudah dilakukan sejak peraturan tersebut ditetapkan. Evaluasi masih dalam tahap perumusan permasalahan dengan memperhatikan kejadian-kejadian yang terjadi. Diantaranya pembubaran BP Migas dan pelaksanaan kewenangannya oleh SK Migas dan adanya pertanyaan/pendapat dari pihak berkepentingan mengenai dasar pembatasan tersebut dibatasi sehingga menimbulkan kesan diskriminasi wilayah asal tenaga kerja asing sebagai masukan dalam evaluasi nantinya. Hal ini tidak terlepas bahwa BKF hanya bertindak sebagai mediator dalam koordinasi antar instansi (DJP dan KESDM/BP Migas). 4. Pengurusan perizinan RPTKA dan IMTA Implementasi peraturan PMK No.258 oleh Kemenakertrans lebih kepada pemenuhan kewajiban RPTKA dan IMTA. Kemenakertrans lebih kepada perizinan sedangkan pemenuhan persyaratan RPTKA dan IMTA lebih banyak dilakukan berdasarkan perencanaan dan pengawasan melalui KESDM (Ruby, 2012). Dikaitkan dengan batasan biaya remunerasi tenaga kerja asing maka tenaga kerja asing yang tidak memiliki RPTKA dan IMTA akan dikoreksi.
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di bab-bab sebelumnya dapat dibuat 2 (dua) simpulan terhadap hasil penelitian, yaitu: 1. Latar belakang ditetapkannya pembatasan remunerasi biaya remunerasi tenaga kerja asing yang dapat dikembalikan adalah pelaksanaan wewenang Menteri Keuangan dalam menetapkan batasan biaya operasi yang dapat dikembalikan berdasarkan PP No.79 Tahun 2010 Pasal 12 (3). Demikian, hal tersbut merupakan perwujudan dalam pelaksanaan Pasal 31D UU PPh. Terdapat berbagai jenis pemberian remunerasi oleh kontraktor kepada tenaga kerja asing yang tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan yang dilakukan menyebabkan pembebanan cost recovery tidak efisien. Besaran batasan maksimum dalam pembatasan didasarkan pada masukan dari BP Migas
yang dihasilkan dari
survey/penelitian terhadap salary market competitive yang telah dilakukan. Penetapan PMK No.258/PMK.011/2011 merupakan implementasi kebijakan yang bertujuan dalam memberikan kepastian hukum dan sebagai pedoman dalam pembebanan remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery. Dalam jangka panjangnya bertujuan untuk efisiensi, efektifitas dan kewajaran dalam pengelolaan industri hulu migas serta optimalisasi penerimaan negara. 2. Hambatan dalam pembebanan biaya remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery, yaitu: a. Inkonsistensi Peraturan disebabkan perubahan UU PPh yang tidak diiringi dengan perubahan/pembaruan peraturan pelaksana menyebabkan kekosongan hukum karena pelaksanaan UU PPh masih menggunakan peraturan pelaksana UU PPh sebelumnya. b. Ketidakpastian Hukum disebabkan KBH tidak mengatur secara jelas mengenai batasan cost recovery. Hal ini menyebabkan pembebanan cost recovery atas biaya yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi. Demikian, pembebanan cost recovery terkoreksi. c. Lemahnya Pengawasan Internal yang dilakukan kontraktor dan BP Migas ditandai dengan adanya berbagai temuan dalam hasil pemeriksaan oleh BPK RI. Hal ini disebabkan tidak dilakukan verifikasi ataupun kurang memadainya kelengkapan dokumen pendukung dalam pembebanan remunerasi tenaga kerja asing. d. Terdapat
keterbatasan
dalam
implementasi
peraturan
oleh
instansi
terkait.
Keterbatasan dalam birokrasi, sumber daya manusia, komunikasi dan disposisi yang dilakukan oleh KPP Migas, BP Migas/SK Migas, BKF dan PPTKA Kemenakertrans. Mengingat masing-masing instansi berpedoman sesuai dengan perundangannya.
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti menyarankan beberapa hal, yaitu: 1. Meningkatkan koordinasi melalui birokrasi, disposisi dan komunikasi dengan instansi pemerintah terkait dalam evaluasi atas batasan maksimum dan kriteria-kriteria pembebanan remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery. 2. Meningkatkan kemampuan/kualitas sumber daya dalam mengatasi hambatan terjadi, dengan cara: a. Pembuatan peraturan perundangan secara konsisten dengan menyatakan/menerangkan lingkup pengaturan oleh peraturan pelaksana. b. Meningkatkan kemampuan dalam mengkaji permasalahan berdasarkan peraturan perundangan agar meminimalisir adanya perbedaan penafsiran khususnya untuk tujuan pemeriksaan/audit. c. Meningkatkan pengawasan internal oleh kontraktor maupun BP Migas yang dilakukan dengan: 1) Evaluasi oleh BP Migas terhadap salary market competitive dengan tidak hanya dilakukan terhadap TKA melainkan juga terhadap TKI agar mengakomodir upaya peningkatkan kualitas TKI di sektor hulu migas, 2) Meningkatkan pengawasan internal oleh kontraktor dengan membuat sistem pemberian remunerasi berdasarkan produktivitas
kinerja TKA dan
memperbaiki/menyempurnakan
verifikasi
&
kelengkapan dukumen pendukung dalam pembebanan remunerasi tenaga kerja asing. d. Meningkatkan koordinasi antara DJP, BP Migas, BKF, Kemenakertrans dan pihak lainnya dalam upaya meminimalisir dan menyelesaikan hambatan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam pembebanan remunerasi tenaga kerja asing dalam cost recovery.
Kepustakaan Anderson, J. E. (2006). Public policy making. Boston: Houghton Mifflin Company. Budiardjo, M. (1998). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Pt.Gramedia Pustaka Utama. Ghony, M. D., & Almanshur, F. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: ArRuzz Media. Gunadi. (2009). Akuntansi Pajak: sesuai dengan undang-undang pajak baru. Jakarta: PT.Grasindo. Haryono. (2003). Akuntansi perminyakan. Jakarta: Universitas Trisakti. Nurmantu, S. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit. Pora, A. d. (2011). Remunerasi kompensasi & benefit: panduan bagi karyawan, guru, HRD, pengusaha, yayasan & badan usaha lainnya. Jakarta: Rana Pustaka. Rahayu, S. K. (2010). Perpajakan Indonesia: konsep & aspek formal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
Rosdiana, H., & Irianto, E. S. (2012). Pengantar ilmu pajak: kebijakan dan implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Rudenno, V. (2009). The mining valuation handbook. Milton Qld: Wrightbooks. Soeprapto, M. F. (1998). Ilmu perundang-undangan: dasar-dasar dan pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. Surjadi, A., Kaya, Y., Imoto, T., Sismaryanto, & Arismunandar, A. (1989). Energi dan Hasilhasil Tambang. Dalam S. Ichimura, Pembangunan ekonomi Indonesia (hal. 53). Jakarta: UI Press. Vanistendael, F. (1996). Legal Framework for Taxation. Dalam V. Thuronyi, Tax law design and drafting (hal. 14-70). Washington D.C: International Monetary Fund. Williams, D. (1996). Social Security Taxation. Dalam V. Thuronyi, Tax law design and drafting (hal. 340-400). Washington D.C: International Monetary Fund. Permadi, B. (2004). Perlakuan pajak penghasilan karyawan asing kontraktor production sharing dikaitkan dengan cost recovery. Depok: FISIP Universitas Indonesia. Regina. (2011). Implementasi ketentuan cost recovery bagi kontraktor usaha hulu migas ditinjau dari azas kepastian. Depok: Sarjana Ekstensi Ilmu Administrasi Fiskal FISIP UI. Sardini, R. D. (2000). Perlakuan pajak penghasilan terhadap tenaga kerja asing pada kegiatan bentuk usaha tetap (BUT). Depok: Sarjana Ekstensi Ilmu Administrasi Fiskal FISIP UI. Sugiharto, H. (2007). Perlakuan pajak penghasilan karyawan kontraktor production sharing dikaitkan dengan cost recovery dan berdasarkan asas keadilan. Depok: Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia. Amindoni, A. (2012, Oktober 17). Ekonomi:Produksi minyak 2012 cuma 870 ribu bph. Dipetik Desember 20, 2012, dari Media Indonesia: http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2012/10/17/356364/4/2/Produksi_Minya k_2012_cuma_870_Ribu_Bph BP Migas. (2011, Desember 5). Statistik investasi hulu migas. Dipetik 10 7, 2012, dari BP Migas: http://www.bpmigas.go.id/blog/category/bpmigas-program/stk-hulu/ BPK RI. (2006). Ringkasan Eksekutif Hasil Pemeriksaan Kontraktor PSC PT.Chevron Indonesia Blok Rokan, Siak dan MFK tahun buku 2004 dan 2005 (s.d. semester I). Ditjen Migas. (2008, Agustus 5). Berita: Dirjen Migas buka Konvensi RSKKNI. Dipetik Oktober 30, 2012, dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi: http://www.migas.esdm.go.id/# __________. (2010, April 19). Berita: SDM nasional di kegiatan migas capai 99,2%. Dipetik Oktober 30, 2012, dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi: http://www.migas.esdm.go.id/# __________. (2012, Mei 15). Berita: strategi pemerintah tingkatkan peran migas nasional. Dipetik Oktober 30, 2012, dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi: http://www.migas.esdm.go.id/ __________. (2010, Juli 6). Berita: tenaga kerja asing tetap dibutuhkan. Dipetik Oktober 30, 2012, dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi: http://www.migas.esdm.go.id/# __________. Produksi & spesifikasi. Dipetik Oktober 23, 2012, dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi: http://www.migas.esdm.go.id/?newlang=indonesian# __________. (2012, Agustus 28). Statistik minyak bumi. Dipetik 9 20, 2012, dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral: http://prokum.esdm.go.id/Publikasi/Statistik/Statistik%20Minyak%20Bumi.pdf
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013
Fajar, M. (2007, Volume VI Edisi 08). Pembebanan cost recovery dalam operasi hulu migas. Indonesian tax review: cerdas mengupas dan independen , hal. 2-11. Informasi Publik: Laporan Tahunan Kementerian Keuangan 2010. (2010). Dipetik Desember 11, 2012, dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia: Sekretariat Jenderal: http://www.setjen.depkeu.go.id/detail.php?module=info_publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2011, April). Peluang Investasi Sektor ESDM. Dipetik Oktober 7, 2012, dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral: http://prokum.esdm.go.id/Publikasi/Buku%20Investasi%20ESDM%20Indonesia%20F INAL-1.pdf _______________________________. Publikasi: Statistik Harga minyak mentah Indonesia. Dipetik Desember 7, 2012, dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral: http://www.esdm.go.id/publikasi/harga-energi/harga-minyak-mentah-indonesiaicp.html Opini: BP Migas tamat. (2012, November 19-25). TEMPO , hal. 31. Rakyat Merdeka. (2012, Januari 28). Ekonomi bisnis: bos BP Migas ogah batasi gaji orang asing. Dipetik November 27, 2012, dari Rmol: http://ekbis.rmol.co/read/2012/01/28/53175/Bos-BP-Migas-Ogah-Batasi-Gaji-OrangAsingRepublik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. ________________,Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. ________________, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Hulu Minyak dan Gas Bumi. ________________, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 22 Tahun 2008 tentang Jenis-Jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. ________________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.011/2011 tentang Batasan Maksimum Biaya Remunerasi Tenaga Kerja Asing untuk Kontraktor Kerjasama Minyak dan Gas Bumi. ________________,Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Per.02/Men/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Pedoman Tata Kerja Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Nomor 018/PTK/X/2008 Revisi I tentang Pengelolaan Sumber Daya Manusis Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Analisis Batasan..., Endah Puspitasari, FISIP UI, 2013