KEMISKINAN PETANI PEDESAAN Analisis Mengenai Sebab-sebab dan Alternatif Pemecahannya oleh Yulius Slamet, PhD
Seminar Nasional Laboratorium Sosiologi SOSIOLOGI - FISIP UNIVERSITAS SEBELAS MARET http://sosiologi.fisip.uns.ac.id
1
Pengantar
Masalah kemiskinan di Indonesia masih merupakan hal yang perlu memperoleh perhatian. Jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan nasional masih signifikan. Dicatat bahwa pada tahun 1985 Indonesia menduduki peringkat negara termiskin di dunia. Pada tahun 1966 Pendapatan Nasional Brutonya hanya US$50,- per kapita per tahun; sekitar 60 persen orang Indonesia dewasa tidak dapat membaca dan menulis; dan mencapai 65 persen penduduk negara tersebut hidup dibawah garis kemiskinan (Tambunan, 2006).
Badan Pusat Statistik (BPS, Badan Pusat Statistik) (2007) melaporkan bahwa pada tahun 1976, 40,08 persen dari jumlah keseluruhan penduduk tersebut miskin. Menurut Indikator Tujuan Pembangunan Milenium, jumlah penduduk Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan pada tahun 1990 mencapai 15,1 persen. Angka ini berkurang menjadi 13,7 persen pada tahun 1996.
Dibawah pembangunan berbasis pertumbuhan, Indonesia mengalami sebuah pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Pendapatan Bruto Dalam Negeri per kapita meningkat secara signifikan dengan rata-rata angka pertumbuhan sekitar 7 persen per tahun (Tambunan, 2006; Thamrin,
1999).
Sejak
pertengahan
tahun
1980an,
pertumbuhan
ekonomi
dalam
manufakturisasi dan pertanian sangat mengesankan (Asra, 2000). Pada tahun 1980 pendapatan per kapita per tahun meningkat secara drastis menjadi US$500; yaitu 30 persen lebih tinggi daripada India, 49 persen lebih tinggi daripada Nigeria, dan 150 persen lebih tinggi daripada Bangladesh (Bank Dunia, 1990). Laporan Bank Dunia mencatat bahwa pada tahun 1990 pendapatan per kapita per tahun adalah AS$620. Menurut laporan ini, jika pemerintah Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya antara 6-7 persen tiap tahun, pada tahun 2000 rata-rata taraf hidup akan meningkat sekitar AS$1000- Akan tetapi kondisi ini tidak cukup untuk menghapuskan kemiskinan mutlak.
2
Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi. Akibat dari krisis ekonomi adalah penurunan yang drastis dalam kesejahteraan keluarga; rata-rata pengeluaran per kapita turun secara signifikan, pada waktu yang sama ketidaksetaraan meningkat (Skoufias dkk, 2000). Pada tahun 1999, akibat krisis ekonomi dan keuangan, maka jumlah penduduk miskin naik menjadi 23,4 persen. Pada tahun 2002, dicatat bahwa angka tersebut turun menjadi 16,2 persen. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) (Survei Sosial dan Ekonomi Nasional) menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan penduduk miskin per Pebruari 2005 adalah 35,10 juta atau 15,97 persen; pada bulan Maret 2006 naik menjadi 39,05 juta atau 17,75 persen. Pada bulan September 2006 Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa jumlah penduduk miskin adalah 17,75 persen dimana garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat pendapatan sebesar AS$1,55 (Susilo, 2006). Sampai bulan Juni 2007, jumlah penduduk miskin secara keseluruhan adalah 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk (Oin, 2007). Menurut laporan BPS per tanggal 1 Juli 2010, jumlah orang miskin di Indonesia turun menjadi 13,33% dari seluruh total penduduk.
Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,00 juta orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen).
Selama periode Maret 2010―Maret 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 0,05 juta orang (dari 11,10 juta orang pada Maret 2010 menjadi 11,05 juta orang pada Maret 2011), sementara di daerah perdesaan berkurang sekitar 0,95 juta orang (dari 19,93 juta orang pada Maret 2010 menjadi 18,97 juta orang pada Maret 2011). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2010 sebesar 9,87 persen, menurun sedikit menjadi 9,23 persen pada Maret 2011. Di lain pihak, penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2010 sebesar 16,56 persen, juga menurun sedikit menjadi 15,72 persen pada Maret 2011. 3
Penanggulangan Kemiskinan
Data mengenai jumlah orang miskin di Indonesia dari waktu ke waktu daam sejarah perjalanan sebuah bangsa tidak terdapat catatan kecuali semenjak berdirinya Republik Indonesia. Bahkan dalam jaman Hindia belanda pun tidak memiliki catatan sejarah mengenai jumlah orang miskin. Sekalipun catatan mengenai jumlah orang miskin pada jaman penjajahan Belanda tidak ditemukan, namun demikian sudah dapat dipastikan bahwa pada jaman penjajahan rakyat kebanyakan pada umumnya jatuh pada kehidupan under-subsistence. Kita temukan misalnya dalam lukisan Raden saleh yang menyidir kehidupan masyarakat pada waktu itu yang digambarkan dengan kuda tunggangan yang sangat kurus yang dinaiki oleh seseorang yang sangat gemuk. Yang dimaksud dengan orang gemuk adalah Belanda.
Setelah memperoleh kritik tajam dari para penulis dan politisi yang humanis yang berasal dari kalangan orang Belanda sendiri atas eksploitasi yang berlebih-lebihan tanpa adanya balas budi kepada pribumi, Pemerintah Kolonial Belanda mencanangkan politik balas budi dengan politik etis-nya, yang salah satunya adalah memindahkan penduduk Jawa yang miskin ke luar Pulau Jawa.
Pada dekade pemerintahan Presiden RI yang pertama, upaya penanggulangan kemiskinan dijawab dengan politik ekonomi berdikari dimana koperasi sebagai soko gurunya. Untuk mencukupi kebutuhan pangan khususnya beras ditempuh politik swa-sembada beras (SSB) dengan cara melalui Bimbingan Massal (Bimas). Pertanyaannya adalah apakah revolusi hijau pada masa pemerintahan Orde Lama telah dapat mengentaskan petani dari kemiskinan?
Pada masa pemerintahan Presiden RI yang kedua, upaya mengatasi kemiskinan dengan cara menempuh jalur pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi dari golongan ekonomi lemah, pemerintah menempuh jalur penggelontoran kredit yang berupa micro finance seperti misalnya Kredit Candak Kulak, Kredit Modal kerja Permanen, Kredit Usaha 4
Tani, TAKESRA/KUKESRA. Desa-desa yang tertinggal pun diangkat harkat hidup penduduknya melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dan bagi desa-desa yang tidak tercakup dalam program IDT, diberilah program TAKESRA/KUKESRA. Untuk penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pembangunan infrastruktur diselenggarakan program Padat Karya. Pada sektor pertanian padi sawah, peningkatan produksi diupayakan dengan cara melanjutkan program BIMAS yang disempurnakan dengan program intensifikasi khusus (INSUS).
Model pengentasan kemiskinan pada jaman Orde Baru dilakukan dengan satu cara: indirect attack. Indirect attack dilakukan dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam memperoleh pinjaman yang berupa micro finance, pembangunan infrastruktur, meningkatkan peran-peran kelembagaan baik yang telah ada di dalam masyarakat maupun yang diciptakan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga departemental maupun yang non-departemental. Masing-masing departemen maupun yang non-departemen telah menggunakan desa sebagai tempat terakhir untuk menyukseskan proram-program mereka. Sebagai contoh Departemen Penerangan menciptakan Paguyuban Maca lan Midangetke yang kemudian disempurnakan menjadi Kelompok Pendengar, Membaca dan Pirsawan (KLOMPENCAPIR) asuhan Harmoko yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Penerangan tiga kali secara berturut-turut sebelum beliau menjabat sebagai Ketua MPR. Contoh lain adalah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga yang dinaungi oleh Kementerian Dalam Negeri. Contoh lembaga yang dibentuk oleh badan non-departemental adalah Paguyuban KB (PKB) yang dibina oleh BKKBN. BKKBN yang bekerja bersama-sama dengan PUSKESMAS bermaksud meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat melalui Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU) dengan berbagai variannya seperti POSYANDU LANSIA, POSYANDU Ibu Menyusui dan Ibu Hamil, POSYANDU BALITA.
Perlu kiranya disini bahwa kebijakan nasional upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah Order Baru melalui trickle down policy kelihatannya adalah yang paling signifikan terhadap indikator menurunnya jumlah orang miskin. Namun demikian posisi Indonesia sangatlah rentan dengan perubahan ekonomi global. Mulai pertengahan tahun 1997
5
Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter yang berakibat angka jumlah orang miskin kembali meningkat.
Model pengentasan kemiskinan pada jaman Orde Reformasi dilakukan dengan dua cara: indirect dan direct attack. Indirect attack dilakukan dengan memberikan kemudahankemudahan dalam memperoleh pinjaman yang berupa micro finance, melanjutkan pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan oleh orde pendahulunya. Program yang sedang dicanangkan sekarang ini – sekalipun bukan semata-mata ditujukan untuk keuntungan orang miskin - adalah Program Nasional Pemberdayaaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Direct attack dilakukan dengan cara membagi-bagi uang melalui program Bantuan langsung Tunai (BLT), dan juga membagi-bagi proyek dan beras untuk orang miskin serta makanan bagi anakanak yang dianggap berasal dari rumah tangga tidak mampu. Pada orde pemerintahan ini Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dengan 15 jenis programnya digalakkan. Namun demikian Orde Reformasi berusaha tampil lain berbeda dengan Orde Baru. Mobilisasi dan partisipasi masyarakat yang diwadahi oleh lembaga-lembaga/ institusi sosial dimatikan oleh Orde Reformasi. Akibatnya dengan tiadanya institusi sosial itu tidak ada lagi yang mampu mengatasi problem kehamilan, kelahiran, kurang gizi, dan problem ekonomi kelompok miskin. Akibatnya selanjutnya jumlah kematian ibu melahirkan dan kematian BALITA pada masa Orde Reformasi meningkat tajam. Jumlah anak dengan gizi buruk pada tahun 2008 saja tercatat empat juta anak.
Sebab-sebab Kemiskinan
Kesadaran akan munculnya kemiskinan dikalangan masyarkat petani pedesaan telah dirasakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Politik Etis sebagai jawaban atas kemiskinan yang melanda kalangan pribumi. Kemiskinan dipandang sebagai hal yang berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, dan khusus untuk masyarakat pedesaan disebabkan oleh rendahnya pemilikan
6
lahan. Maka khusus bagi petani gurem, masalah kemiskinan oleh Pemerintah kolonial diatasi dengan program transmigrasi.
Analisis mengenai kemiskinan pedesaan juga diketengahkan oleh Boeke (Nasikun, 1985) yang menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia bersifat dual economy, dimana petani gurem yang memiliki lahan sempit yang mengolah lahan pertanian mereka dengan cara yang sangat tradisional, yang hidup secara under subsistence, berhadap-hadapan dengan ekonomi modern yang bersentuhan dengan teknologi yang modern, perdagangan internasional, dan manajemen yang modern.
Penjelasan mengenai kemiskinan juga diketengahkan oleh Cfifford Geertz (1976). Petani miskin dan tetap miskin karena berkaitan dengan involusi pertanian dimana pertumbuhan penduduk seberapa pun jumlahnya dapat ditampung oleh pertanian padi sawah karena dikerjakan dengan sangat intensif dan rumit. Namun demikian, menurut Geertz, petani ibaratnya berjalan diair, tidak maju tetapi sekedar mempertahankan diri agar tidak tenggelam.
Pada tahun 1970’an hasil penelitian Masri Singarimbun dan DH Penny (1984) di Sriharjo Kabupaten bantul menghasilkan sebuah tesis yang menyatakan bahwa too many people but to small land.
Pada tahun 1975 Slamet (1975) melakukan penelitian di Desa krecek Kecamatan Delanggu kabupaten Klaten, menunjukkan bahwa proses pemiskinan petani lebih diperparah oleh penggunaan teknologi baru di dalam pertanian padi sawah. Traktor yang menggantikan bajak dan cangkul telah merampas lapangan pekerjaan petani gurem dan buruh tani. Ani-ani yang digantikan oleh sabit telah menghilangkan pekerjaan dari para perempuan untuk memperoleh bawon. Cara menyiangi padi pun telah digantikan dengan garok yang tidak memungkinkan keterlibatan kaum perempuan. Petani gurem memiliki daya beli yang sangat rendah terhadap varietas padi unggul, pupuk anorganik, pestisida dan insektisida, serta tidak dapat memenuhi persyaratan memperoleh kredit dari bank. Sekalipun telah ada UUPA dan UUPBH namun sistim 7
bagi hasil panenan seperti misalnya dengan cara mrapat, sromo, mertelu dan maro, tetap mencekik petani gurem dan kaum buruh tani.
Proses pemiskinan yng disebabkan oleh revolusi hijau pun banyak diungkapkan. Hasil penelitian Sayogyo menunjukkan bahwa jumlah angka buruh tani meningkat 13% dibanding dari tahuntahun sebelum adanya revolusi hijau. Revolusi hijau dipadang telah melahirkan kotak pandora, kelihatannya dari luar indah, namun demikian kalau dibuka lebih lanjut berisi perkara-perkara yang negatif. Revolusi hijau dipertanyakan: who gets what? Dan ternyata the poor become poorer, the rich become richer.
Kemiskinan petani pedesaan barangkali dapat juga dijelaskan melalui capability approach yang diketengahkan oleh Amartya Sen (1999) didalam Development As Freedom. Menurut Sen, kemiskinan berkaitan dengan freedom of choice; orang miskin sama sekali tidak memiliki freedom of choice karena terjadi capability deprivation. Capability mengacu pada dua perkara, yaitu ability to do dan ability to be. Petani miskin dipedesaan benar-benar mengalami ability to do dan ability to be yang rendah karena mereka dalam posisi yang dirampas. Berbagai macam deprivation dapat diketengahkan disini: 1. Structural devrivarion. Struktur berkaitan dengan: (1) power relations, dimana posisi petani selalu dalam posisi yang lemah; (2) adanya kebijakan pemerintah yang memengaruhi kebijakan dalam penangulangan kemiskinan; (3) dualisme ekonomi yang muncul dalam wajah baru. 2. Social capability deprivation: orang miskin tidak dapat meraih kesempatan, informasi, pengetahuan, ketrampilan, partisipasi dalam organisasi. 3. Economic capability deprivation: orang miskin tidak dapat mengakses fasilitas keuangan pada lembaga-lembaga keuangan resmi seperti perbankan, tetapi mereka terjebak pada Bank Plecit dan kaum rentenir yang tidak membutuhkan prosedur yang berbelit-belit. 4. Technological capability deprivation: dimana orang miskin tidak dapat memiliki teknologi baru yang memerlukan modal yang cukup besar. Teknologi tradisional seperti
8
pembuatan alat-alat dari bahan lokal (tanah, bambu, kayu, dll) telah digantikan oleh alat-alat pabrikan. 5. Political capability deprivation: petani miskin di pedesaan tidak mampu memengaruhi keputusan politik yang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak didengarkan aspirasinya, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan collective action. 6. Psychological deprivation: petani miskin pedesaan selalu memperoleh stigma sebagai orang-orang yang kolot, bodoh, malas, tidak aspiratif. Stigma inilah yang berakibat mereka menjadi rendah diri dan merasa disepelekan, merasa teralienasi di dalam kehidupan sosial dan politik.
Kemiskinan petani dipedesaan semakin diperparah dengan munculnya sistem ekonomi global yang menganut paham neo-liberalisme. Tiga alat neo-lib yaitu World Bank, International Moneteray Fund (IMF) dan World trade organization kelihatannya tidak memihak pada petani miskin (catatan: sekarang para staf ahli dari Bank Dunia seperti Sen, Stilgitz, Woolcock dan Narayan) telah membaca tanda-tanda meningkatnya kemiskinan global karena perilaku neo-lib yang menyarankan untuk menghapus kemiskinan dinegara ketiga melalui structural adjustment programs, yaitu (1) free trade, (2) penghapusan tarif, dan (3) mengganti tanaman pangan dengan tanaman komoditas. Akibatnya adalah fatal, jumlah kemiskinan dunia meningkat menjadi lebih dari dua miliar penduduk. Di India jumlah orang miskin meningkat menjadi dua kali lipat. Dan yang paling menikmati kemiskinan penduduk dunia ketiga adalah negara-negara kapitalis.
Kiranya perlu pula diketengahkan disini pendapat dari Robert Chambers (1977) yang dituangkan didalam bukunya Whose Really Countsural: putting the last first, dimana ada lima klaster ketidak-beruntungan yang berinteraksi satu sama lain yang memerangkap orang miskin dalam situasi ketidak beruntungan. Kelima poverty trap itu adalah: 1. Kemiskinan itu sendiri: kurangnya assets, rumah reot, tanah sempit, sedikit ternak. Seluruh anggota keluarga bekerja sekalipun mereka itu masih dibawah umur, tua atau sakit. 9
2. Kelemahan fisik: orang dewasa tidak dapat bekerja disebabkan oleh penyakit atau ketidak mampuan, atau adanya migrasi penduduk muda dan dewasa yang sebenarnya produktif. 3. Isolasi: mereka hidup di wilayah terasing, jauh dari fasilitas transportasi, jauh dari pasar, tidak dapat memperoleh informasi. 4. Kerentanan: rumah tangga mejadi miskin karena mereka menghadapi ketidak pastian seperti misalnya kegagalan panen akibat dari cuaca yang tidak mendukung, banjir, bencana alam, ketuaan yang mudah sakit, mudah sakit karena kurang gizi. 5. Ketidak berdayaan: tidak memiliki posisi tawar dengan mereka yang berkuasa, pengetahuan yang rendah khususnya dalam bidang hukum yang menyangkut hak-hak mereka (seperti misalnya konflik agraria yang disebabkan oleh penjarahan tanah oleh pihak perkebunan dan pertambangan karena mereka dibodohi).
Usulan Pemecahan.
Mencermati berbagai sebab-sebab kemiskinan petani pedesaan, sebenarnya banyak hal yang perlu diusulkan yaitu dengan cara menghapuskan penyebab kemiskinan. Namun demikian dengan kuatnya sistem politik, sistem sosial, dan sistem ekonomi yang mengglobal, menghapuskan penyebab-penyebab kemiskinan adalah suatu pekerjaan yang luar biasa beratnya atau bahkan mustahil. Peneliti mengetengahkan suatu pendekatan kemiskinan yang sekarang ini juga disarankan oleh para penasehat Bank Dunia. Pendekatan yang dimaksud adalah pendenkatan modal sosial. Pendekatan ini telah ditunjukkan oleh banyak peneliti yang menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan berkaitan erat dengan peranan modal sosial. Modal sosial berkaitan dengan social networking, norm of trust, mutual reciprocity dan mutual benefit. Hasil penelitian Grootaert (1999), Putnam (2000; 2002), Coleman (2000), Woolcock (2002), Slamet (2010) menunjukkan bahwa modal sosial dapat membantu dalam pengentasan kemiskinan. Menurut hasil penelitian Slamet (2010) modal sosial dapat diciptakan melalui 10
pembangunan institusi-institusi sosial. Institusi sosial memungkinkan terbentuknya modal sosial yang pada gilirannya dapat mengentaskan kemiskinan.
11
Daftar Pustaka
Asra, Abuzar (2000). Poverty and equality in Indonesia: Estimates, decomposition, and key issues. Journal of the Asia Pacific Economy (pp. 91-111): Taylor and Francis Ltd. Badan Pusat Statistik. Berita Resmi Statistik (2007). Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2007. No. 38/07/Th.X, 2 Juli 2007. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surakarta. Kota Surakarta dalam Angka (Surakarta in Figure) (2005). Chambers, Robert (1997). Whose really counts? Putting the first last. London: Intermediate Technology Publication. Coleman, James S. (1999). SocialCapital. Online article in http://www. infed.org/biblio/social_capital.htm in Mark K. Smith 2000, 2001, 2007. Last update: Geertz, Clifford (1976). Involusi pertanian, proses perubahan ekologi di involution), (Supomo, Trans.). Jakarta: Bhratara K.A.
Indonesia (Agriculture
Grootaert, Christian (1999), Social capital, household welfare and poverty in Local Level Institutions Working Paper No. 6: The World Bank.
Indonesia.
Nasikun 1985. Sistem sosial Indonesia (Social system in Indonesia). Jakarta: Rajawali Press. Oin, Osmani, Siddiqur Rahman (2005). Poverty and human rights: building on the capability approach. Journal of Human Development (pp. 205-219): Routledge, art of the Taylor & Francis Group. Putnam (2000). Social Capital. Online article in in http://www.infed.org/biblio/ social_capital.htm. in Mark K. Smith 2000, 2001, 2007. Last update: Sajogjo (2006). Ekososiologi. deideologisasi teori, restrukturisasi aksi (petani dan pedesaan sebagai kasus uji).Yogyakarta: Pustaka Rakyat Cerdas. Sen, Amartya (1999), Development as freedom. New York: A Division of Random House, Inc. Singarimbun, Masri dan DH Penny (1984), Penduduk dan kemiskinan, kasus Sriharjo di pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Skoufias, Emmanuel, Asep Suryadi, and Sudarno Sumarto (2000). “Changing in Household Wefare, Poverty and Inequality During the Crisis” Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 36 No 2, August 2000, pp. 97-114. 12
Slamet, Yulius (1975). Pengaruh teknik-teknik baru dalam bidang pertanian terhadap polarisasi ekonomi di dalam masyarakat petani di desa. Hasil penelitian (tidak diterbitkan). Slamet, Yulius (2010). Social Capital, Social Institution and Their Effects on poverty Reduction. Ph.D. Thesis University Utara Malaysia, Malaysia. Disertasi Tidak diterbitkan. The
World Bank. Poverty. org/poverty.htm
Online
article
in
http://www.development
goals.
Tisdell, Clem (1992), Rural Poverty and Its Measurement: A comparative study of villages in Nusa Penida, Bali. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 28 No 2, August 1992. (pp 75-77).
13