1
KELEKATAN BALITA PADA ORANGTUA KANDUNG DAN TETANGGA
Trah Gita Anindya (Email :
[email protected]) Ari Pratiwi Faizah Universitas Brawijaya Malang
Abstrak Penelitian ini membahas kelekatan balita pada orangtua kandung dan tetangga yang berperan sebagai orangtua pengganti dari aspek tahap kelekatan, ciri kelekatan, pola kelekatan, dan figure kelekatannya. Selama proses mengasuh, muncullah suatu kelekatan antara orangtua dan anak, yangmana nantinya akan berkontribusi kepada kualitas hubungan. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan subjek penelitian sebanyak dua balita yang masing-masing berusia 2 dan 4 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa untuk tahap pembentukan kelekatan, subjek I mencapai tahap Goal-Coordination Partnership, sedangkan subjek II berada pada tahap Clear-Cut Attachment. ciri kelekatan dengan masingmasing pengasuhnya walaupun dalam kapasitas yang berbeda. Pola secure ditunjukkan subjek I kepada ibu kandung, ibu pengganti, dan ayah pengganti. Sedangkan subjek II hanya menunjukkan pola secure pada ibu pengganti saja. Subjek I memilih ibu pengganti, dan ayah pengganti sebagai figur lekat utama, sedangkan subjek II memilih ibu penggantinya saja sebagai figur lekat utama. Kata Kunci : Kelekatan, Orangtua Kandung, Tetangga
Abstract This study aims to determine the toddler’s attachment to the biological parents and neighbors who serve as surrogate parents from the aspect of the attachment formation stage, characteristic of attachment, attachment pattern, and attachment figure. During the parenting process, there is an attachment between parent and child, each of whom contributes to the quality of the relationship. This study uses qualitative research methodology with a case study approach to research subjects toddlers, aged 2 and 4 years. Data was collected through observation, interviews, and documentation.Results from this study was found that from the aspect of the attachment formation stage, the subjects I have reached the stage of Goal-Coordination Partnership, while the subject II is in phase Clear- Cut Attachment. In review of the aspects of attachment characteristics, both subjects showed a characteristic attachment to both guardians but in different capacities. Review of aspects of the attachment pattern, indicated that the secure pattern of subject I was biological mother, surrogate mother and surrogate father. Whereas subject II only showed a secure pattern to the surrogate mother. If viewed from the attached figure aspect, it is known that subject I chose a surrogate mother and surrogate father as a main attachment figure, whereas subject II chose the replacement mother as a main attachment figure. Keywords: Attachment, Biological Parents, Neighbors
2
Latar Belakang Perkembangan anak tidak lepas dari peran penting orangtua, yang mana orangtua bertanggung jawab dalam segala hal terutama mengasuh dan mendidik anak-anaknya, seperti yang di jelaskan oleh Yani, dkk. (2011) bahwa perkembangan anak harus menjadi perhatian khusus bagi orangtua, sebab proses tumbuh kembang anak akan mempengaruhi kehidupan mereka pada masa mendatang. Selama proses mengasuh dan mendidik anak ini, muncullah suatu kelekatan antara orangtua dan anak. Berbicara tentang pengasuhan dan hubungannya dengan kelekatan antara anak dengan orangtuanya, tidak semua orangtua menerapkan pola pengasuhan atau memberikan kualitas pengasuhan yang sama terhadap anak-anak mereka, Hal ini menimbulkan pola kelekatan yang berbeda pula diantara mereka. Kelekatan menurut Papalia, Olds, & Feldman (2009) adalah suatu ikatan timbal balik yang bertahan antara dua orang, terutama bayi dan pengasuh, yang masing-masing berkontribusi kepada kualitas hubungan. Dalam pembentukan kelekatan orangtua diharuskan mampu untuk menimbulkan rasa kepercayaan pada anak sejak bayi. Hal ini sejalan dengan pemaparan Papalia, dkk (2009) bahwa model kerja bayi tentang kelekatan berhubungan dengan konsep basic trust Erikson, dimana Erikson memandang trust sebagai suatu kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan bayi dengan dunia sekitarnya, yang mana yang dimaksud disini adalah terpenuhinya kebutuhan bayi dari orangtuanya, sehingga terbentuk rasa aman pada diri anak saat berada bersama dengan orangtuanya. Menurut Ainsworth (Santrock, 2007) kelekatan terdiri atas 2 bagian yaitu kelekatan aman (secure attachment) dan kelekatan tidak aman (insecure attachment), yang kemudian insecure attachment terbagi lagi menjadi resistant attachment, avoidant attachment, dan disorganized attachment. Masing-masing pola kelekatan tersebut diyakini memiliki dampak jangka panjang (pengaruh) bagi perkembangan bayi di masa selanjutnya. Kelekatan antara orangtua dan anak tidak begitu saja terbentuk, namun membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini senada dengan pernyataan Seiffert & Hoffnung (Desmita, 2009), bahwa kelekatan terbentuk berdasarkan 4
3
tahap, pertama yaitu Tahap Indiscriminate Sociability, Tahap kedua Attachment Is The Makin, Tahap ketiga Specific, Clear-Cut Attachment, dan Tahap keempat Goal-Coordination Partnerships. Kelekatan yang telah terbentuk antara orangtua dan anak, biasanya menimbulkan ketergantungan secara emosional pada diri anak terhadap orangtuanya, sehingga anak sering merasa tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru, seperti merasa takut atau gelisah ketika berdekat dengan orang lain. Manfaat dari kelekatan bagi anak menurut Dariyo (2007) yaitu untuk memperoleh rasa aman, perlindungan, dan kenyamanan dari ibunya. Demikian pula dengan pemaparan Thompson & Goodvin (Santrock, 2007), yang mana menurut mereka kelekatan sangat penting bagi perkembangan, khususnya kelekatan yang aman, sebab kelekatan yang aman mencerminkan hubungan positif antara bayi dan orang tua, dan merupakan pondasi yang mendukung perkembangan sosioemosional yang sehat di tahun-tahun mendatang. Sears & Sears (2009) menyatakan bahwa menghabiskan waktu bersama dengan anak merupakan prasyarat dalam kelekatan. Namun pada kenyataannya saat ini, tidak hanya laki-laki atau seorang ayah yang bekerja untuk mencari nafkah, peluang kerja untuk wanitapun semakin banyak. Didukung lagi kebutuhan ekonomi yang makin meningkat, menjadi alasan sebagian besar wanita memilih untuk turut bekerja, sehingga konsekuensi dari ibu yang bekerja adalah adanya
perubahan
kehidupan
keluarga.
Fenomena
seperti
ini
membuat
munculnya
kecenderungan orangtua, khususnya ibu, melepas tanggung jawab pengasuhan. Hal ini menurut Irwanto (Yani dkk, 2011) tentu mengurangi besarnya peran ibu terhadap perkembangan anak yang akan mempengaruhi kualitas perkembangan anak. Terutama bagi balita yang sangat besar ketergantungannya kepada ibu. Situasi yang mengharuskan orangtua bekerja, ketika mereka meninggalkan rumah, maka tanggung jawab mengasuh dan mendidik anak secara tidak langsung berpindah kepada orangtua pengganti. Peran orangtua pengganti ini dapat diserahkan kepada keluarga terdekat seperti kakek-nenek, baby sitter, TPA (Tempat Penitipan Anak), ataupun ke siapapun yang dapat dipercaya oleh orangtua untuk mengasuh anak-anak mereka. Hal ini menurut Yani, dkk. (2011)
4
menyebabkan anak kurang dekat dengan ibu sehingga anak lebih menuruti orang lain. Selain itu penelitian National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) (Intikhobah, 2009) di Amerika, juga membuktikan bahwa memberikan pengasuhan anak kepada pengasuh anak selain ibu ternyata lebih banyak memberikan dampak negatif, walaupun ditemukan pula dampak positif. Diantaranya dampak negatif dari pengasuhan selain ibu yaitu semakin sering anak dititipkan sebelum usianya 4,5 tahun, akan semakin meningkatkan agresivitas dan ketidakpatuhan anak. Selain itu juga berdampak pada rendahnya keharmonisan interaksi ibu dan anak, munculnya perilaku bermasalah ketika anak menginjak usia dua tahun, dan rendahnya kedekatan hubungan di antara mereka. Sedangkan dampak positif dari pengasuhan oaring lain yaitu pengasuh yang mempunyai kualitas
pengasuhan yang baik akan meningkatkan
kemampuan akademik anak dan membuat hubungan kedekatan ibu dan anak menjadi lebih baik pula. Mengantisipasi pengasuhan yang buruk dan dampak negatifnya, maka orangtua yang bekerja harus pintar-pintar dalam memilih pengasuh atau orangtua pengganti untuk mengasuh anak mereka selama mereka bekerja. Tetangga merupakan salah satu alternatif yang dapat dijadikan pilihan oleh orangtua sebagai orangtua pengganti bagi anak mereka. Hal ini seiring dengan pernyataan Qodriyah (2012) bahwa tetangga merupakan orang yang paling dekat dengan kita, dan bisa dijadikan bagian dari keluarga kita. Oleh sebab itu, orangtua dapat mempercayakan pengasuhan anaknya selama mereka bekerja kepada tetangga, sebab tetangga merupakan orang terdekat , dimana sehari-hari selalu bertemu, sehingga sedikit banyak dapat diketahui seperti apa watak tetangga tersebut, dan layak atau tidak tanggung jawab pengasuhan diserahkan kepada mereka. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti ingin mengetahui kelekatan yang dibentuk oleh balita yang juga diasuh oleh tetangga dan menghabiskan sebagian besar waktunya bersama tetangganya tersebut. Sehingga peneliti mengangkat judul “ Kelekatan Balita pada Orangtua Kandung dan Tetangga dalam penelitian ini.
5
Landasan Teori A. Kelekatan 1. Definisi Kelekatan Kelekatan atau yang disebut Attachment menurut Santrock (2007) merupakan ikatan emosional yang erat diantara dua orang. Sedangkan menurut Papalia (2009), attachment adalah suatu ikatan emosional yang bersifat timbal balik yang bertahan antara dua orang, terutama bayi dan pengasuh, yang masing-masing berkontribusi kepada kualitas hubungan.
2. Tahap-Tahap Pembentukan Kelekatan Seiffert & Hoffnung (Desmita, 2009) menjelaskan tentang tahap-tahap pembentukan kelekatan sebagai berikut : a. Tahap Indiscriminate Sociability (0-2 bulan), dimana bayi merasa senang atau menerima dengan senang orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal. b. Tahap Attachment Is The Makin (2-7 bulan), yaitu bayi mulai mengakui dan menyukai orangorang yang dikenal, tersenyum pada orang yang lebih dikenal. c. Tahap Specific, Clear-Cut Attachment (7-24 bulan), bayi telah mengembangkan keterikatan dengan ibu atau pengasuh pertama lainnya, ia akan berusaha untuk senantiasa dekat dengan pengasuhnya, dan akan menangis ketika berpisah dengannya. d. Tahap Goal-Coordination Partnerships (24 keatas), dimana bayi merasa lebih aman dalam berhubungan dengan pengasuh pertama, bayi tidak merasa sedih selama berpisah dengan ibunya atau pengasuh pertamanya dalam jangka waktu yang lama.
3. Ciri-Ciri Kelekatan antara Anak dan pengasuh Menurut Maccoby ( Ervika, 2005) seorang anak dapat dikatakan lekat pada seseorang jika memiliki kelekatan fisik dengan seseorang, menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat,
6
gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali, dan orientasinya tetap pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi.
4. Pola Kelekatan Metode Strange Situation yang diciptakan Ainsworth, dkk (Dariyo, 2007) memunculkan 4 pola kelekatan sebagai berikut : a. Kelekatan Emosional yang Aman (Secure Attachment) Suatu kondisi kelekatan emosional yang ditandai dengan perasaan aman, tenang dan nyaman pada seorang bayi ketika bayi berada di dekat ibunya. b. Kelekatan Emosional Tidak Aman (Avoidant Attachment) Suatu kondisi kelekatan emosional yang ditandai dengan perilaku bayi yang jarang tidak menangis bila berpisah dengan ibunya, namun ia akan menolak (menghindar) untuk melihat, menoleh atau menatap muka bila ibunya datang mendekatinya. c. Kelekatan Emosional yang Membingungkan (Ambivalent or Resistant Attachment) Suatu kelekatan emosional pada bayi yang ditandai dengan perasaan bingung, cemas atau tidak aman sebelum ibunya meninggalkan dirinya. Bayi juga merasa bingung dalam menyikapi kehadiran ibunya di dekatnya. d. Kelekatan Emosional yang Tidak Terarah dan Tidak Terorganisir (Disorganized-Disoriented Attachment) Bayi tidak mampu mengorganisir perilakunya dengan jelas dan tidak terarah ketika melihat ibunya datang kembali mendekati dirinya.
5. Figur Kelekatan Ada dua macam figur lekat sebagaimana diungkapkan oleh Bowlby (Ervika, 2005) yaitu : a. figur lekat utama, yaitu individu yang responsif dan memberikan perawatan fisik pada anaknya.
7
b. figur lekat pengganti, yaitu individu yang selalu siap memberikan respon ketika anak menangis tetapi tidak memberikan perawatan fisik.
B. Balita 1. Definisi Balita Menurut Sutomo & Anggraeni (Muksin, 2011), Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun).
Saat usia batita, anak masih tergantung
penuh kepada orangtua untuk melakukan beberapa aktivitas.
2. Perkembangan Psikososial Balita Berdasarkan 8 Tahap Perkembangan psikososial yang di ungkapkan oleh Erik Erikson (Mutiah, 2010), balita berada dalam tiga tahap yaitu : a. Trust vs Mistrust, yang mana tahap ini berkaitan dengan persoalan apa yang patut dipercaya dan apa yang tidak patut untuk dipercaya. b. Autonomy vs Shame, dimana anak mulai mencoba untuk mandiri dengan melakukan ekplorasi/penjelajahan, sehingga kemampuan anak untuk percaya diri turut berkembang. c. Initiative vs Guild, tahap dimana anak mulai belajar berfantasi dan menjadi kreatif.
C. Orangtua Kandung 1. Definisi Orangtua Orangtua menurut Permana (2010) adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orangtua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anakanaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat.
8
2. Tipe Pola Asuh Orangtua Beberapa tipe pola asuh menurut Mangoenprasodjo (2004) yang pada umumnya diterapkan oleh orang tua : a. Pola Asuh Otoriter, yaitu pola asuh yang pada umumnya lebih menegakkan kepatuhan seorang anak pada orangtuanya. b. Pola Asuh Permisif, yaitu pola asuh yang memungkinkan seorang anak untuk menentukan pilihannya sendiri, tanpa larangan dan tidak ada istilah persetujuan orangtua. c. Pola Asuh Asertif-Demokratis, yaitu pola asuh yang mengajarkan pada anak bahwa taggung jawab adalah prioritas utama.
D. Orangtua Pengganti 1. Definisi Orangtua Pengganti Gunarsa (2006) menyebutnya dengan “pengasuh”, didefinisikan sebagai orang-orang yang bertugas mengasuh anak, baik mereka yang berasal dari lembaga professional maupun tidak. Pengasuh ini mencakup pembantu rumah tangga, baby sitter, serta nanny. Penggunaan kata “pengasuh” sering dikaitkan dengan pengertian bahwa mereka tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan anak yang diasuh, namun mereka tinggal didalam rumah keluarga yang bersangkutan.
2. Definisi Tetangga Menurut Qodriyah (2012), tetangga adalah orang yang paling dekat dengan kita, dan bisa jadi bagian dari keluarga kita. Bronfenbrenner (Paquette & Ryan,2001) menyatakan bahwa mikrosistem adalah tempat dimana individu tinggal, termasuk di dalamnya yaitu keluarga (orangtua), teman sebaya, tetangga, dan kehidupan sekolah.
9
Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Menurut Afriani (2009), studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Subjek dari penelitian ini yaitu dua orang balita yang memiliki orangtua kandung keduanya bekerja, dan dititipkan dirumah tetangganya selama lebih dari 12 jam. Data primer diperoleh melalui observasi, yang mana observasi dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode anecdotal record, In Partial-Interval time sampling, dan In Variable Interoccasion Interval Time Sampling. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan masing-masing pengasuh subjek, baik orangtua kandung maupun tetangganya. Teknik analisis data menggunakan model interaktif milik Miles & Huberman (1992), dimana dalam teknik ini terdapat tiga komponen analisis yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil Berdasarkan pengolahan seluruh data yang didapat, baik data primer dan data sekunder, maka diketahui bahwa subjek I (FN) berada pada tahap pencapaian kelekatan Goal-Coordination Partnership. Pada FN tahap ini ditunjukkan melalui observasi dan wawancara dengan orangtua penggantinya, yang mana mereka menyatakan bahwa FN tidak pernah menanyakan keberadaan orangtua kandungnya saat ditinggalkan dalam waktu yang lama, begitu pula sebaliknya. Tahap ini juga terjadi karena kebiasaan, dimana menurut wawancara yang dilakukan kepada masingmasing figur orangtua, mereka menyatakan bahwa respon FN saat berpisah tidak ada perasaan sedih sebab hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap hari, seolah FN mengerti bahwa kepergian orangtua kandungnya untuk berkerja. Selain itu FN juga masih mau diajak bermain bersama oleh orang asing walaupun hal itu dilakukan FN dengan terpaksa. Sedangkan NL berada pada tahap Specific, Clear-Cut Attachment, yaitu tahap yang muncul pada balita usia 7-24 bulan, dimana bayi telah mengembangkan keterikatan dengan ibu atau pengasuh pertama lainnya, ia akan senantiasa dekat dengan pengasuhnya, dan akan
10
menangis ketika berpisah dengannya. Perilaku FN yang membuktikan ada pada tahap ini antara lain merasa tidak nyaman bersama orang asing dan mencoba untuk berlindung pada figur lekatnya, Menangis dan berontak mencoba memukul dan menendang saat berpisah dengan figur lekatnya. Selain itu NL juga selalu menanyakan ataupun mengecek sendiri keberadaan figur lekat utamanya. Penyebab NL masih berada pada tahap Specific, Clear-Cut Attachment ini, selain karena kebiasaan NL yang lebih sering bersama orangtua penggantinya, bisa juga karena pola asuh yang diterapkan kedua pasang orangtua yaitu pola asuh permisif dengan kadar yang berbeda. Pada saat pengamatan, terlihat bila NL lebih dimanjakan oleh ibu penggantinya dibandingkan ketiga orangtua yang lain. Oleh karena itu NL terlihat sangat sulit dipisahkan dengan ibu penggantinya. Selain itu menurut pernyataan ibu pengganti saat wawancara, NL lebih senang bersama beliau karena beliau dan suaminya lebih telaten dalam memperlakukan NL dibandingkan dengan orangtua kandungnya. Tampak pada saat NL berbuat kasar pada ibu penggantinya, ibu pengganti ini lebih memilih untuk diam dan menghindar saja tidak memberikan hukuman. Sedangkan ibu kandungnya masih memarahi NL jika diperlakukan kasar dengan anaknya. Dilihat dari aspek ciri kelekatan, baik FN maupun NL menunjukkan ciri-ciri kelekatan pada orangtua kandung maupun orangtua penggantinya, namun dalam kapasitas yang berbeda, begitu pula sebaliknya. Maksud dari kapasitas yang berbeda, sebab jika ditinjau dari teori Maccoby, tidak pada semua ciri umum yang menunjukkan kelekatan tersebut muncul, misalkan saja pada FN, perilaku lekat pada ayah penggantinya dimunculkan pada keempat ciri umum kelekatan, hal ini menunjukkan kapasitas lekat yang tinggi. Munculnya ciri-ciri kelekatan tersebut bisa karena perlakuan masing-masing orangtua kepada subjek. Semakin orangtua mengetahui dan dapat memenuhi kebutuhan subjek, maka subjek juga akan lekat kepada mereka. Pada FN, ketiga orangtuanya yaitu ibu kandung, ibu pengganti, dan ayah penggantilah yang terlihat dapat memahami keinginan FN, sehingga FN lekat kepada mereka. Sedangkan pada NL, hanya ibu pengganti yang dapat memahami keinginannya, sehingga NL terlihat sangat lekat pada ibu penggantinya.
11
FN membentuk pola secure attachment kepada ibu kandung, ibu pengganti, dan ayah penggantinya. Kepada ibu kandungnya sebab walaupun beliau bekerja, beliau tetap memberikan waktu khusus untuk berkumpul bersama keluarga. Sedangkan pola secure yang dibentuk FN pada ibu pengganti dan ayah penggantinya karena mereka mengerti apa yang diinginkan dan dibutuhkan FN. Selain itu, ciri kelekatan seperti yang dijelaskan sebelumnya, juga menjadi penyebab terbentuknya pola secure attachment pada ketiga orangtua FN, dimana ketiganya memberikan perawatan fisik, menampakkan persaan sedih saat akan berpisah, dan gembira saat bertemu kembali dengan FN. Sedangkan pola perilaku yang berbeda ditunjukkan oleh FN kepada ayah kandungnya. Pola kelekatan yang dibentuk oleh FN pada ayah kandungnya yaitu pola Ambivalent or Resistan Attachment. FN membentuk pola Ambivalent or Resistan Attachment pada ayah kandungnya karena ayah kandung FN kurang begitu peka dengan kebutuhan FN dan masih terlihat cuek/acuh dengan keadaan FN. Pola secure attachment yang dibentuk NL hanyalah kepada ibu penggantinya saja. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, NL membentuk pola secure attachment pada ibu penggantinya karena beliau memberikan perawatan fisik dan memahami serta mampu memenuhi kebutuhan NL, dan memanjakan NL, sehingga NL memliki ketergantungan dengan beliau. Pola kelekatan yang dibentuk NL kepada ayah kandungnya yaitu pola Ambivalent or Resistan Attachment, hal ini ditunjukkan dengan perilaku NL tampak tidak menangis saat berpisah dengan ayahnya, namun adakalanya NL menunjukkan sikap bingung atau cemas saat akan ditinggalkan ayah penggantinya. Hal tersebut terbukti dengan adanya perilaku NL yang menunjukkan perilaku antara mau tidak mau berpisah dengan ayahnya. Sedangkan pada ayah pengganti dan ibu kandung, NL membentuk pola Disorganized-Disoriented Attachment, dimana NL menunjukkan perilaku yang tidak stabil menyikapi kehadiran ibu kandung dan ayah penggantinya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, NL membentuk pola yang tidak secure pada ketiga orangtuanya karena mereka kurang begitu peka dengan kebutuhan NL dan masih terlihat cuek/acuh dengan keadaan NL.
12
Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa figur lekat utama FN yaitu ibu kandung, ibu pengganti, dan ayah pengganti. Sedangkan figur lekat utama NL yaitu ibu penggantinya saja. Terbentuknya figur lekat dapat diketahui melalui observasi, wawancara, serta pembahasan life style masing-masing keluarga. Disamping itu dapat diketahui pula melalui penggabungan penjelasan dari tahap pembentukan kelekatan, ciri kelekatan, dan pola kelekatan kedua subjek, yang mana penjelasan tersebut memiliki kesinambungan yang pada akhirnya juga mengarah pada alasan mengapa kedua subjek memilih figur lekat utama mereka masing-masing dan figur lekat utama tersebut berbeda pada masing-masing subjek.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan, maka didapatkan sebuah fakta bahwa kelekatan kedua subjek dengan orangtua kandung dan tetangganya berbeda-beda. Hal ini diketahui melalui perilaku yang dimunculkan subjek kepada masing-,masing pengasuhnya, ditinjau dari indikator-indikator perilaku yang telah ditentukan dan sesuai dengan masing-masing aspek kelekatan. Subjek I (FN) yang berusia 2 tahun telah mencapai tahap Goal-Coordination Partnership, dimana dikatakan bahwa pada tahap ini, bayi merasa lebih aman dalam berhubungan dengan pengasuh pertama, tidak bersedih selama ditinggalkan dalam waktu yang lama. FN berhasil mencapai tahap akhir dari pembentukan kelekatan karena kebiasaan atau rutinitas, dimana baik orangtua kandung maupun tetangganya menyatakan bahwa respon FN saat berpisah tidak ada perasaan sedih sebab hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Namun proses perkembangan anak juga menjadi penyebab masih munculnya perilaku FN yang mencirikan indikator tahaptahap sebelumnya. Sedangkan pada subjek II (NL) yang berusia 4 tahun berada pada tahap Clear-Cut Attachment, yaitu tahap diman bayi telah mengembangkan keterikatan dengan ibu atau pengasuh pertama lainnya. Sama halnya dengan FN, tahap Clear-Cut Attachment terbentuk pada NL kerena kebiasaan, dimana FN lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan orangtua pengganti, sehingga ia sulit dipisahkan dengan tetangganya. Selain itu, pada kasus FN, diketahui
13
bahwa pola asuh juga menjadi faktor yang turut menentukan tahap pembentukan kelekatan, dimana kedua pengasuhnya sama-sama menerapkan pola asuh permisif. Pola asuh permisif yaitu pola asuh yang memungkinkan seorang anak untuk menentuka pilihannya sendiri, tanpa larangan, dan tidak ada istilah persetujuan orangtua. Namun pola asuh ini diterapkan oleh kesdua pengasuh dalam kadar yang berbeda, tetangganya lebih memanjakan dan telaten mengasuh NL dibandingkan dengan orangtua kandungnya, sehingga NL lebih cenderung lekat dengan tetangganya tersebut. Berdasarkan aspek ciri kelekatan diketahui baik FN maupun NL menunjukkan ciri kelekatan pada orangtua kandung maupun orangtua pengganti, namun dalam kapasitas yang berbeda. Berdasarkan teori Maccoby (Ervika,2005), kapasitas kelekatan dikatakan tinggi jika anak memunculkan keempat ciri umum kelekatan, yaitu memiliki kelekatan fisik, cemas ketika berpisah dengan figur lekat, gembira saat bertemu kembali, dan orientasi tetap walau tidak sedang melakukan interaksi. Selain itu peran orangtua turut menentukan, dimana dikatakan Krisnawati (2005) bahwa orangtua wajib untuk memenuhi kebutuhan fisik, intelektual, emosi, serta sosial moral anak. Pada penelitian ini masing-masing orangtua menunjukkan kepedulian dan memberikan perawatan pada kedua subjek, namun tidak semua orangtua dapat memenuhi keinginan subjek, sehingga hal ini menyebabkan kurang lekatnya subjek dengan figur tersebut. Pola Kelekatan yang ditunjukkan kedua subjek antara lain FN menunjukkan pola secure attachment pada ibu kandung, ibu pengganti, dan ayah pengganti. Hal ini terjadi karena ketiga figur tersebut memberikan perawatan fisik, menampakkan perasaan sedih saat akan berpisah, dan gembira saat bertemu kembali dengan FN. Sedangkan pada ayah kandung, FN menunjukkan pola Ambivalent or Resistan Attachment, sebab ayah kandung FN kurang begitu peka dengan kebutuhan FN dan masih terlihat cuek/acuh dengan keadaan FN, hal ini juga diperkuat dengan pernyataan ayah kandung yang mengatakan bahwa beliau tidak merasa khawatir jika FN nantinya akan lebih dekat dengan orangtua penggantinya dibandingkan dengan beliau. Sedangkan NL justru hanya menunjukkan pola secure attachment pada ibu penggantinya. Hal ini disebabkan beliau memberikan perawatan fisik dan memahami serta mampu memenuhi
14
kebutuhan NL, dan memanjakan NL, sehingga NL memliki ketergantungan dengan beliau. Pada Ayah kandung NL menunjukkan pola Ambivalent or Resistant Attachment, sedangkan kepada ibu kandung dan ayah penggantinya, NL menunjukkan pola Disorganized-Disoriented Attachment. Penyebab timbulnya pola insecure tersebut karena ketiga orangtuanya kurang begitu peka dengan kebutuhan NL dan masih terlihat cuek/acuh dengan keadaan NL. Figur lekat utama seorang anak yang diasumsikan orangtua kandung saja, ternyata juga dapat digantikan oleh orangtua pengganti. Bahkan teori Bowlby (Ervika, 2005) yang menyatakan bahwa figur lekat utama yaitu individu yang resposif dan memberikan perawatan fisik pada anaknya, dapat menjadi figur lekat pengganti pada penelitian ini. Figur-figur yang dirasa nyaman dalam memperlakukan, merawat, dan memenuhi kebutuhan mereka baik kebutuhan fisik maupun psikologis yang dipilih anak sebagai figur lekat utama. Melihat penjelasan dari tahap pembentukan kelekatan, ciri kelekatan, dan pola kelekatan, serta life style masing-masing keluarga, maka diketahui bahwa figur lekat utama FN yaitu ibu kandungnya, ibu pengganti, dan ayah pengganti. Sedangkan figur lekat utama NL yaitu ibu pengganti. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu, kelekatan yang dibentuk kedua subjek pada orangtua kandung dan tetangganya berbeda-beda ditinjau dari empat aspek kelekatan. Seperti yang telah dijelaskan, FN berada pada tahap pembentukan kelekatan GoalCoordination Partnership, sedangkan NL berada pada tahap Clear-Cut Attachment. Kedua subjek menunjukkan ciri kelekatan pada kedua pengasuhnya dalam kapasitas yang berbeda. Pola kelekatan yang secure serta figur lekat utama ditunjukkan FN pada ibu kandungnya dan kedua orangtua penggantinya, sedangkan NL hanya menunjukkannya pada ibu penggantinya saja. Penelitian yang serupa dapat dilakukan peneliti selanjutnya dengan mempertimbangan waktu dan alat perekam. Waktu yang singkat serta alat perekam yang kurang canggih menjadi kendala dalam penelitian ini, dimana seharusnya dengan waktu yang lebih lama, kasus ini dapat dianalisis secara lebih mendalam. Alat perekam yang lebih canggih juga dapat membantu peneliti selanjutnya untuk membuat suasana observasi lebih natural. Manambahkan variabel
15
yang sesuai dengan tema kelekatan juga dapat dilakukan peneliti selanjutnya untuk mendapatkan hasil yang lebih menarik. Saran praktis bagi orangtua yang menitipkan anaknya pada orang lain, perlu adanya komunikasi dengan pengasuhnya tersebut agar tetap dapat memantau perkembangan sang anak. Pola asuh juga perlu diperhatikan, sebab pola asuh yang berbeda antara orangtua kandung dan pengasuh dapat menimbulkan kebingungan pada anak. Satu hal yang terpenting yaitu meluangkan waktu yang berkualitas sehingga tetap dapat menjalin kelekatan antara orangtua dengan anak.
Daftar Pustaka Afriani,
I. (2009). Metode Penelitian Kualitatif. Artikel. http://www.penalaranunm.org/.../penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif. Diakses Tanggal 07 Oktober 2012.
Dariyo, A. (2007). Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama (Psikologi Atitama). Bandung : PT. Refika Aditama. Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya Ervika,
E. (2005). Kelekatan (Attachment) Pada Anak. Skripsi. http//library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-eka%20ervika.pdf. Diakses tanggal 15 Juli 2012.
Gunarsa, S.D. (2006). Dari Anak Sampai Usia Lanjut : Bunga Rampai Psikologi Perkembangan. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia. Intikhobah, I. (2009). Perbedaan Perkembangan Anak Usia 24 – 36 Bulan Yang Berada Di Tempat Penitipan Anak (TPA) Dan Di Rumah Yang Diasuh Oleh Pembantu Rumah Tangga. Skripsi. http//lib.uin-malang.ac.id/thesis/fullchapter/05410041-iftitahintikhobah.ps. Diakses tanggal 15 Juli 2012 Krisnawati, C. (2005). Menjadi Orang Tua & Sahabat Terbaik Anak Bagi Yogyakarta : Curiosita
Anak Anda.
Mangoenprasodjo, A. S. (2004). Pengasuhan Anak Di Era Internet : Mitos TV, Komputer, Spiritual Parenting, Hingga Sex Education. Yogyakarta : Thinkfresh. Miles, M.B., and Huberman A. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang MetodeMetode Baru (Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta : UI Press.
16
Muksin. (2011). Evaluasi Status Gizi Pada Balita Gizi Kurang Setelah Pemberian Makanan Tambahan Oleh Persatuan Istri PT PLN(Persero) Di Wilayah Banjirkanal Timur, Kel. Pandeanlamper, Kec. Gayamsari Semarang. Skripsi. http://digilib.unimus.ac.id. Diakses tanggal 15 September 2012. Mutiah, D. (2010). Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Jakarta : Prenada Media Group. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R. D. (2009) . Human Development Buku 1. Edisi kesepuluh. Jakarta : Salemba Humanika. Paquette, D. & Ryan, J. (2001). Bronfenbrenner’s Ecological System Theory. Artikel. www.cmskids.com/providers/early.../bronfenbrenners_ecological.pdf. Diakses Tanggal 11 Juni 2013. Permana, D. (2010). Peran dan Fungsi Orang Tua dalam Keluarga Terhadap Anak. Artikel. http://dodypp.blogspot.com/2010/09/peran-dan-fungsi-orang-tua-dalam.html. Diakses tanggal 16 September 2012. Qodriyah, L. (2012). Tetangga adalah Saudara Terdekat Kita. Artikel Sosial Budaya. http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/28/tetangga-adalah-saudara-terdekat-kita/. Diakses tanggal 18 September 2012. Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak jilid 1. Edisi kesebelas. Jakarta : Erlangga. Sears, W.M.D & Sears, M.R.N. (2009). Menggendong Anak itu Perlu Mematahkan Mitos Pengasuhan Anak. Tangerang : Buah Hati. Yani, E.R., Hardjito, Koekoeh., Windasari, W. (2011). Peran Ibu Balita Dalam Perkembangan Anak Usia 1 – 3 Tahun Di Desa Manggis Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri. Jurnal Volume II Nomor Khusus Hari Kesehatan Internasional. http// isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2khusHKI11612_2086-3098.pdf. Diakses tanggal 19 Juni 2012.