i
KELAYAKAN IKAN TUNA UNTUK TUJUAN EKSPOR PADA KEGIATAN PENANGKAPAN MENGGUNAKAN PANCING TONDA DI SADENG YOGYAKARTA
BAYU WIRATAMA
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ”Kelayakan Ikan Tuna Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 19 April 2011
Bayu Wiratama C44061440
iii
ABSTRAK
BAYU WIRATAMA, C44061440. Kelayakan Ikan Tuna Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta. Dibimbing oleh TRI WIJI NURANI dan MUSTARUDIN. Usaha perikanan tangkap di Sadeng relatif baru, yaitu mulai berkembang pada tahun 2000 dengan didatangkannya nelayan dari Cilacap dan Jawa Timur. Jenis alat tangkap yang banyak digunakan ialah pancing tonda, dengan hasil tangkapan utamanya ikan tuna seperti tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip kuning (Thunnus albacores). Lama satu kali trip satu sampai tiga hari tergantung jumlah hasil tangkapan, perbekalan dan cuaca. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan cara penanganan yang baik dalam mengendalikan mutu hasil tangkapan ikan tuna di kapal Pancing Tonda, menentukan mutu ikan tuna layak ekspor atau tidak diekspor di Sadeng, Yogyakarta. Metode yang digunakan yaitu studi kasus, dengan menggunakan uji organoleptik, analisis peta kendali, diagram pareto, dan diagram sebab akibat. Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata uji organoleptik berkisar nilai 8, dimana mutu tuna masih sangat baik. Proses penanganan ikan tuna di kapal pancing tonda masih dalam pengendalian, hal ini terlihat dari jumlah cacat lebih sedikit dibanding jumlah yang tidak cacat berdasarkan hasil analisis bagan kendali p. Cacat yang paling dominan yaitu insang berlendir, mata merah, kornea agak keruh dengan persentase (74,07%). Penyebab cacat diantaranya yaitu terkait es balok yang baru dihancurkan di palka, sehingga sedikit banyak mempengaruhi ikan hasil tangkapan di palka tersebut.
Kata kunci: Ikan tuna, kelayakan, komoditas ekspor, unit penangkapan pancing tonda, Sadeng.
iv
© Hak cipta IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
v
KELAYAKAN IKAN TUNA UNTUK TUJUAN EKSPOR PADA KEGIATAN PENANGKAPAN MENGGUNAKAN PANCING TONDA DI SADENG, YOGYAKARTA
BAYU WIRATAMA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
vi
Judul Skripsi
: Kelayakan Ikan Tuna untuk Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta
Nama Mahasiswa
: Bayu Wiratama
NRP
: C44061440
Mayor
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Program studi
: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Disetujui:
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si NIP. 19650624 198903 2 002
Dr.Ir. Mustaruddin, S.TP NIP : 19750205 200701 1 002
Diketahui: Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP: 19621223 198703 1 001
Tanggal lulus: 19 April 2011
vii
KATA PENGANTAR Skripsi dengan judul “Kelayakan Ikan Tuna Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta” merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan juli 2010 di PPP Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ucapan terima kasih disampaikan kepada: 1) Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si dan Dr. Mustarudin, S.TP atas arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini; 2) Dr.Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Muhammad Imron, M.Si, selaku Komisi Pendidikan Departemen PSP. 3) Ir. Untung Leksono selaku Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Perikanan dan Kelautan Yogyakarta; 4) Pak Dwiyanto selaku staf PPP Sadeng yang telah membantu dan memberikan informasi selama penelitian; 5) Ibu, Bapak, kakak dan adik saya yang selalu memberikan doa, motivasi, nasehat, dan semangat selama ini; 6) Rachman, Adit, Gini, Kimul, Ike, Ghea, Ocid, Udin, yang telah banyak memberikan bantuan serta dukungan. 7) Teman-teman seperjuangan PSP 43 serta pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak yang memerlukan.
Bogor, April 2011 Bayu Wiratama
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Nganjuk pada tanggal 21 Oktober 1988 dari pasangan Sutjipto dan Sri Fathonah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal pertama penulis dimulai di TK Kurnia Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikannya di SDN 006 Muara Badak Kabupaten Kutai kartanegara, kemudian pada tahun 2000 melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri I Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara. Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikannya SMA Negeri I Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara kemudian lulus pada tahun 2006, pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah). Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Eksplorasi Penangkapan Ikan periode 2009-2010, Daerah Penangkapan Ikan 2009-2010, serta Perencanaan dan Optimasi Industri Perikanan Tangkap periode 2009-2010. Penulis aktif di berbagai organisasi kampus IPB seperti berorganisasi didalam HIMAFARIN telah turut andil menjadi ketua pelaksanaan Seminar Perikanan Tangkap tahun 2009, menjadi wakil ODF periode 2008-2009, staf Litbangprof dalam HIMAFARIN dan Wakil Ketua Organisasi Mahasiswa Daerah Kutai Kartanegra (OMDA) periode 2008-2009. Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul
“Kelayakan Ikan Tuna Tujuan Ekspor pada
Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta” untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan.
Perikanan
Tangkap,
Departemen
Pemanfaatan
Sumberdaya
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.......................................................................................................viii DAFTAR TABEL................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xiii 1 PENDAHULUAN ................................................................................................1 1.1 Latar Belakang .........................................................................................1 1.2 Tujuan Penelitian .....................................................................................2 1.3 Manfaat Penelitian ...................................................................................2 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................3 2.1 Definisi Kualitas .......................................................................................3 2.2 Proses Kemunduran Kualitas Ikan............................................................5 2.3 Faktor Penyebab Kerusakan Ikan .............................................................6 2.3.1 Mekanisme perubahan fisik ikan setelah kematiannya ..............6 2.3.2 Prinsip mencegah kerusakan ......................................................7 2.3.4 Tekanan dan benturan fisik ........................................................9 2.4 Proses Penanganan Ikan Tuna ................................................................10 2.4.1 Penanganan tuna di atas kapal .................................................10 2.4.2 Pembongkaran palka pendingin ...............................................13 2.4.3 Pengangkutan ikan ke darat atau darmaga ...............................14 2.5 Sumber Daya Ikan Tuna .........................................................................14 2.5.1 Deskripsi umum ikan tuna .......................................................14 2.5.2 Klasifikasi ikan tuna ................................................................15 2.6 Ikan Tuna yang Layak Ekspor Berdasarkan SNI ...................................18 2.6.1 Tuna segar untuk sashimi ........................................................18 2.6.2 Tuna steak beku .......................................................................22 2.6.3 Tuna loin segar.........................................................................28 2.7 Kegiatan Ekspor Produk Tuna ...............................................................35 2.8 Unit Penangkapan Pancing Tonda .........................................................37 2.8.1 Alat tangkap pancing tonda ....................................................37 2.8.2 Kapal dan nelayan ...................................................................40 2.9 Dampak Kegiatan Penangkapan Ikan Terhadap Mutu Ikan Tuna dan Pencemaran Perairan .....................................................................40 2.10 Perangkat Analisis Pengendalian Mutu ................................................42 2.10.1 Peta kendali untuk pengendalian mutu ..................................42 2.10.2 Diagram pareto ......................................................................43 2.10.3 Diagram sebab akibat.............................................................44 3 METODE PENELITIAN .................................................................................46 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian................................................................46 3.2 Metode Penelitian ..................................................................................46
x
3.3 Pengumpulan Data ................................................................................46 3.3.1 Pengumpulan data primer .......................................................46 3.3.2 Pengumpulan data sekunder ...................................................46 3.4 Analisis Kendali Mutu ..........................................................................47 3.4.1 Analisis peta kendali ...............................................................47 3.4.2 Analisis diagram pareto ..........................................................47 3.4.3 Analisis diagram sebab akibat (diagram tulang ikan) .............49 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ..............................................52 4.1 Kondisi Geografi dan Topografi .............................................................52 4.2 Keadaan Perikanan Tangkap di Sadeng .................................................52 4.2.1 Unit penangkapan ikan ............................................................52 4.2.2 Daerah penangkapan ikan ........................................................52 4.2.3 Fasilitas PPP Sadeng ................................................................56 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................60 5.1 Ukuran Ikan Tuna yang Tertangkap .................................................... 61 5.2 Penanganan Ikan Tuna di PPP Sadeng ..................................................62 5.2.1 Penanganan di atas kapal ...................................................... 62 5.2.2 Penanganan di pelabuhan ......................................................66 5.3 Analisi Peta Kendali p Mutu Ikan Tuna ..............................................72 5.4 Analisis Diagram Pareto Mutu Ikan Tuna ............................................ 75 5.5 Diagram Sebab Akibat Mutu Ikan Tuna................................................78 5.5.1 Aspek orang atau nelayan .....................................................79 5.5.2 Aspek penanganan ................................................................79 5.5.3 Aspek hasil tangkapan ..........................................................80 5.5.4 Aspek teknologi ....................................................................80 6 KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................81 6.1 Kesimpulan ............................................................................................81 6.2 Saran ......................................................................................................82 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................83 LAMPIRAN ..........................................................................................................86
xi
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Syarat mutu dan keamanan pangan untuk tuna segar sashimi ........................19
2
Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna steak beku ...............................23
3
Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna loin segar ................................29
4
Jumlah kapal dan perahu motor tempel di PPP sadeng tahun 2005-2009 ....... 54
5
Jumlah nelayan di PPP Sadeng tahun 2005-2009 ............................................ 57
6
Fasilitas pokok, fungsional dan penunjang di PPP Sadeng.............................. 59
7
Kapal motor yang diteliti dan jumlah produksi hasil tangkapan...................... 61
8
Ikan tuna yang diteliti dengan ukuran berat dan panjang ................................ 62
9
Tabel perhitungan peta kendali p ..................................................................... 72
10 Checksheet ketidaksesuain tipe cacat pada ikan tuna ...................................... 75 11 Tabel perhitungan diagram pareto ................................................................... 76
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Pancing tonda dalam operasi penangkapan...................................................... 39
2
Penondaan di sekitar rumpon .......................................................................... 40
3
Peta kendali p ................................................................................................... 43
4
Diagram pareto ................................................................................................. 44
5
Checksheet........................................................................................................ 44
6
Diagram sebab-akibat....................................................................................... 45
7
Format diagram sebab-akibat ........................................................................... 51
8
Bagian pancing tonda dan pengoperasiannya .................................................. 55
9
Penanganan Ikan tuna segar (fresh tuna) mulai hauling sampai penyimpanan di kapal, daerah PPP Sadeng ..................................................... 63
10 Pengangkatan ikan tuna dari palka ke atas kapal ............................................. 68 11 Pembungkusan ikan dengan terpal ................................................................... 69 12 Penyeleksian baby tuna dari palka ke keranjang.............................................69 13 Baby tuna yang ditimbang .............................................................................. 70 14 Pelabelan ikan tuna setelah ditimbang ........................................................... 70 15 Ruang pendingin di TPI .................................................................................. 71 16 Proses distribusi ikan tuna di Sadeng .............................................................. 72 17 Bagan kendali p pada ikan tuna ...................................................................... 73 18 Diagram pareto tipe cacat pada ikan tuna ...................................................... 76 19 Diagram sebab akibat kemunduran mutu ikan tuna pada saat penangkapan hingga sampai didaratkan....................................................... 78
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peta lokasi penelitian.........................................................................................87 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng ..........................................88 3 Peta informasi lokasi penempatan rumpon laut dalam .....................................89 4 Spesifikasi dan nilai organoleptik ikan tuna untuk tujuan ekspor …………... 90 5 Pengujian organoleptik pada bigeye dan yellowfin tuna di PPP Sadeng...........92 6 Keadaan fasilitas di PPP Sadeng .......................................................................98 7 Macam-macam pancing di PPP Sadeng ............................................................99 8 Unit rumpon ....................................................................................................100 9 Kegiatan pembongkaran ikan sampai ke TPI..................................................101 10 Pengamatan ikan tuna berdasarkan pengujian organoleptik ...........................102 11 Alat bantu yang digunakan untuk pengukuran................................................103 12 Alat bantu di kapal ..........................................................................................104
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dua pertiga wilayahnya atau sekitar 70 % adalah perairan laut yang memliki kekayaan sumberdaya hayati yang potensial dan beragam, baik ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting dan yang tidak. Penunjang pemanfaatan perairan laut Indonesia diperlukan suatu pelabuhan, termasuk yang terdapat di Pantai Sadeng, Kabupaten Gunung kidul Yogyakarta. Pelabuhan
Perikanan
Pantai
(PPP)
di
Sadeng,
merupakan
penunjang
pengembangan perikanan laut di Yogyakarta. Peningkatan status dari PPI menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) ditetapkan dengan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor: KEP.10/MEN/2005 pada tanggal 13 Mei 2005. Perkembangan unit penangkapan ikan yang ada di Sadeng, salah satunya adalah pancing tonda. Pancing tonda merupakan alat tangkap tradisional yang bertujuan menangkap jenis-jenis pelagis seperti tuna, cakalang dan tongkol yang biasa hidup dekat permukaan dan mempunayi nilai ekonomis tinggi, kualitas daging yang tinggi (Gunarso, 1985, diacu dalam Ayuni, 2002). Ikan tuna merupakan salah satu ikan yang memiliki nilai ekonomis penting dan bernilai jual tinggi. Ikan tuna juga merupakan salah satu sumber makanan protein hewani yang sehat bagi masyarakat Indonesia dan pendapatan negara dari sektor perikanan. Ikan tuna di Indonesia antara lain terdiri atas madidihang (Thununs albacares), albakor (Thunnus alalunga), mata besar (Thunnus obesus), dan tatihu (Thunnus maccoyii) (Nontji, 1993). Ikan tuna merupakan salah satu primadona komoditas ekspor produk perikanan Indonesia. Ikan tuna tujuan ekspor dipersyaratkan memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh importir. Kesegaran ikan merupakan tolak ukur yang membedakan ikan jelek dan ikan yang baik kualitasnya karena ikan tuna merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan terutama dalam keadaan segar akan cepat mengalami kerusakan sehingga mutunya menjadi rendah. Ikan dikatakan masih segar apabila perubahan perubahan biokimiawi, mikrobiologi, dan fisikawi yang terjadi belum menyebabkan kerusakan pada ikan.
2
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis perlu melakukan kajian ilmiah mengenai pengendalian mutu hasil tangkapan ikan tuna untuk tujuan ekspor. Kajian ini penting untuk merencanakan suatu proses ikan tuna yang bermutu tinggi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan untuk pemerintah dan pengusahaan pengolah atau eksportir ikan tuna.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan cara penanganan yang baik dalam mengendalikan mutu hasil tangkapan ikan tuna di kapal pancing tonda. 2) Menentukan mutu ikan tuna layak ekspor atau tidak layak ekspor di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, Yogyakarta. 3) Menentukan faktor penyebab ikan tuna yang tidak layak dari kapal pancing tonda sampai di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, Yogyakarta.
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai informasi bagi pelaku (stakeholders) perikanan tuna untuk bahan evaluasi kegiatan penanganan ikan tuna untuk tujuan ekspor dan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya menghasilkan produksi yang bermutu agar produksi ikan tuna tujuan ekspor dapat ditingkatkan.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Mutu Ada beberapa definisi mutu yang masing-masing memberikan definisi yang berbeda, ditinjau dari dasar pendefenisiannya. Adapun definisi mutu yang cukup populer ada lima jenis yaitu: 1) Menurut lembaga Amerika untuk pengawasan mutu (American Society for Quality Control) yang biasa disingkat dengan ASQC, mutu adalah karakteristik produk dan keistimewaan (feature) yang memenuhi kepuasan pelanggan. 2) Meurut Webster dalam kamusnya, mutu adalah tingkat atau derajat kehebatan suatu benda. 3) Berdasarkan penggunaan, mutu adalah apa yang diikatkan konsumen. 4) Berdasarkan manufaktur, mutu adalah derajat kecocokan produk dengan spesifikasi desain. 5) Berdasarkan produk, mutu adalah tingkat karakteristik produk yang dapat diukur. Feingenbaum (1992), menyatakan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full costumer service satisfaction). Suatu produk bermutu apabila dapat memberi kepuasaan sepenuhnya kepada konsumen. Mutu dapat dijelaskan hanya pada tahap suplier, produsen, pengguna atau pelanggan, keputusan manajemen dan pendapat dari konsumen mempengaruhi dari mutu itu sendiri (Deming, 1986). Total
Quality
Control
atau
pengendalian mutu
terpadu menurut
Feingenbaum (1956), menyatakan pengendalian harus dimulai dari perancangan produk dan berakhir hanya jika produk telah sampai ke tangan pelanggan yang puas. Prinsip utamanya adalah mutu merupakan pekerjaan setiap orang. Kendali mutu terpadu adalah suatu sistem yang efektif untuk memadukan pengembangan mutu berbagai kelompok dalam sebuah organisasi agar pemasaran, kerekayasaan, produksi dan jasa dapat berada pada tingkatan yang paling ekonomis agar pelanggan mendapat kepuasan penuh. Ia menyatakan bahwa kegiatan mutu dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu:
4
1) Pengendalian rancangan baru, yakni menyertakan pembentukan dan keterandalan yang diperlukan untuk memenuhi kepuasan pelanggan yang di maksudkan, termasuk penghapusan atau pencarian tempat sumber-sumber gangguan mutu yang mungkin sebelum dimulai produksi formal. 2) Pengendalian bahan baku yang baru datang, yakni menyertakan penerimaan penyimpanan pada tingkatan mutu yang paling ekonomis, hanya suku cadang yang mutunya memenuhi persyaratan spesifikasi, dengan penekanan tanggung jawab pada penjual praktis sepenuhnya. 3) Pengendalian produk yakni kendali atas produk-produk pada sumber produksinya hingga ke pelayanan lapangan sehingga penyimpanganpenyimpangan spesifikasi mutu dapat dikoreksi sebelum produk-produk yang cacat atau tidak sesuai dibuat dan pelayanan yang tepat dapat dipertahankan di lapangan untuk menjamin ketersediaan mutu pembeli yang dimaksudkan sepenuhnya. Assauri (1980), menyatakan mutu dipengaruhi oleh faktor yang menentukan bahwa suatu barang dapat memenuhi tujuannya. Mutu merupakan tingkatan pemuasan suatu barang. Ia juga menjabarkan mutu ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: 1) Fungsi suatu barang Tingkat mutu suatu barang tergantung pada tingkat pemenuhan fungsi kepuasan penggunaan barang yang dapat dicapai. Mutu yang hendak dicapai sesuai untuk apa barang tersebut digunakan atau dibutuhkan, tercermin pada spesifikasi dari barang tersebut. 2) Wujud luar Untuk menentukan mutu suatu barang dilihat pertama kalinya adalah wujud luar barang itu. Faktor wujud luar yang terdapat pada suatu barang tidak hanya terlihat dari bentuk, tetapi juga warna, susunan (pembungkusan) dan hal lainlainnya. 3) Biaya barang tersebut Umumnya biaya dan harga suatu barang akan dapat menentukan mutu barang tersebut. Barang-barang yang mempunyai biaya atau harga yang mahal, dapat menunjukan bahwa mutu barang tersebut realitas lebih baik. Sebaliknya,
5
jika barang tersebut mempunyai biaya atau harga yang murah dapat menunjukan bahwa mutu barang tersebut relatif lebih rendah.
2.2 Proses Kemunduran Mutu Ikan Ikan dikenal sebagai salah satu bahan makanan yang cepat mengalami kemunduran mutu hingga menjadi busuk. Sejak ikan ditangkap dari perairan, serangkaian perubahan-perubahan yang mengarah kepada pembusukan mulai terjadi. Hal ini karena segera setelah ikan mati, ikan akan mengalami proses enzimatis, bakteriologis, kimiawi dan fisik. Menurut Seagrant (2007), sewaktu ikan tuna meronta pada saat di tangkap, ikan akan membentuk asam laktat yang menyebabkan ikan kelelahan sehingga dapat merusak jaringan. Rusaknya jaringan pada daging ikan tuna akan menyebabkan warna daging yang semula cemerlang menjadi kusam, tekstur daging yang melunak, dan daging akan menjadi pahit. Bukan hanya pada saat ikan tuna mengalami kelelahan, setelah mati suhu tubuh ikan tuna akan mengalami kenaikan. Hal ini dapat mempercepat kemunduran mutu ikan dan memacu terjadinya pembusukan. Nitibaskara (1979), mengemukakan tahap-tahap pembusukan ikan secara berurutan, yaitu hyperaemia, rigor mortis, autolisis dan penyerangan oleh bakteri. Phase rigor mortis akan diawali oleh proses pre-rigor, yaitu keadaan melemasnya otot-otot ikan sesaat setelah ikan mati sehingga ikan tersebut mudah dilenturkan, kemudian akan mengerut dan menjadi kaku (phase rigor atau rigor mortis), lalu melemas lagi (phase post rigor). Masalah pembinaan mutu sangat penting untuk dilakukan sebab ikan merupakan salah satu bahan makanan yang sangat cepat mengalami kemunduran mutu dan busuk. Mengingat hal tersebut, maka setiap usaha meningkatkan produksi hasil perikanan harus disertai pula dengan upaya mempertahankan mutu ikan sebaik mungkin agar hasilnya dapat memberikan keuntungan baik bagi produsen (nelayan) maupun konsumen atau masyarakat.
6
2.3 Faktor Penyebab Kerusakan Ikan Penyebab utama kerusakan ikan dilihat dari sumbernya meliputi penyebab dari keadaan ikan itu sendiri pada saat ditangkap dan penyebab dari kondisi diluar tubuh ikan. penyebab kerusakan oleh keadaan ikannya sendiri meliputi kondisi fisik dan komposisi kimiawi ikan, berdasarkan Anonymous (1972), faktor penyebab kemunduran mutu yang ditimbulkan karena kondisi dari pada ikan itu sendiri.
2.3.1 Mekanisme perubahan fisik ikan setelah kematiannya Menurut Kushardiyanto (2010), Perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air atau tercekik adalah: 1) Saat proses kematian akan keluar lendir dipermukaan tubuh ikan dengan jumlah yang berlebihan dan ikan akan mengelepar mengenai benda disekelilingnya. Apabila benda yang terkena benturan ikan cukup keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan menjadi memar dan luka-luka. 2) Selanjutnya setelah ikan mati secara perlahan-lahan akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari ujung ekor menjalar kearah bagian kepalanya. Lama kekakuan ini tergantung dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Setelah proses rigormortis selesai, kerusakan ikan akan mulai terlihat berupa perubahan-perubahan: berkurangnya kekenyalan perut dan daging ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan, untuk ikan bersisik menjadi lebih mudah lepas sisiknya dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, bau berubah dari segar menjadi asam. 3) Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya tingkat penurunan mutu ikan, sampai yang terakhir ikan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi manusia atau busuk. Menilai kesegaran ikan yang paling mudah adalah menggunakan metode indrawi atau organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap perubahan mutu dagingnya, seperti warna/rupa, rasa, kekenyalan dan kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut, bau atau aroma. Berikut ini ciri-ciri indrawi ikan segar dan penyimpangan dari ciri tersebut
7
menunjukkan telah terjadinya penurunan atau perubahan mutunya. Ciri-ciri indrawi ikan segar: 1) Rupa dan warna: mata masih jernih, warna merah insang, kecemerlangan kulit/sisik dan warna putih-merah dagingnya spesifik jenis ikan dalam keadaan segar dan bersih; 2) Bau: segar spesifik jenis dan mempunyai bau rumput laut segar; dan 3) Daging elastis (kenyal), padat dan kompak, apabila dicicip berasa netral dan sedikit manis.
2.3.2 Prinsip mencegah kerusakan Menurut Kushardiyanto (2010), prinsip mencegah atau menghambat kerusakan ikan oleh faktor komposisi fisik dan kimiawi ikan adalah: 1) Memberi perlakuan suhu rendah terhadap ikan segera setelah ditangkap atau dipanen, karena proses enzimatis dan aktifitas mikroba pengurai daging akan sangat dihambat pada suhu mendekati 0°C (3 s/d 5°C). Suhu rendah ikan ini harus dipertahankan selama pencucian, penyiangan, pengemasan, penyimpanan dan distribusinya. 2) Mempercepat dan mempermudah kematian ikan segera setelah diangkat dari air dengan cara mendinginkannya dalam air es dingin atau segera memukul kepalanya tepat dibagian otak khusus untuk ikan berukuran besar seperti tuna. 3) Khusus untuk ikan berukuran besar diikuti dengan pembuangan darah ikan (bleeding), karena darah merupakan media penyebaran mikroba pembusuk dari insang ke daging ikan melalui pembuluh darah ikan. 4) Menyiangi dengan membuang insang dan isi perut ikan sebagai pusat konsentrasi mikroba alami. 5) Mencuci ikan segera setelah ditangkap, mati dan disiangi, dengan tujuan membersihkan lendir dipermukaan tubuhnya yang merupakan salah satu pusat konsentrasi mikroba pembusuk yang secara alami ada di tubuh ikan, dan sisasisa darah selama proses penyiangan.
8
2.3.3 Kontaminasi Menurut kushardiyanto (2010), kontaminasi adalah penularan kotoran, mikroba pembusuk atau pathogen (penyebab penyakit) dan bahan kimia berbahaya ke tubuh ikan yang berasal dari lingkungan disekelilingnya saat masih hidup, saat ditangani di atas kapal dan di darat, sehingga ikan yang tertular menjadi tercemar dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi meskipun kondisinya segar. Jasad renik (bakteri dan kapang), serangga dan binatang hama merupakan pencemar mikrobiologi yang dapat mempengaruhi mutu ikan (Soekarto, 1978 dalam Pramono,1980). Pencemaran oleh bakteri baru berpengaruh terhadap mutu jika menyebabkan kerusakan atau kebusukan, mempengaruhi potensi penyebab penyakit (pathogen) dan mengandung bakteri yang digunakan sebagai indeks sanitasi atau indeks pencemaran. Menurut Kushardiyanto (2010), prinsip untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara lain: 1) Menangkap/memelihara ikan di perairan yang tidak tercemar oleh kotoran, mikroba pembusuk atau pathogen (penyebab penyakit) dan bahan kimia berbahaya. 2) Menggunakan air bersih dengan standar air bahan baku untuk diminum untuk mencuci dan mengemas ikan, mencuci peralatan dan bangunan di tempattempat melakukan penanganan ikan. 3) Menggunakan es yang dibuat dari air bersih, disimpan, diangkut dan dihancurkan dengan peralatan yang bersih. 4) Menggunakan bahan pengemas, peralatan dan bangunan yang bersih, dimana permukaannya yang bersentuhan langsung dengan ikan harus cukup halus dan bersih, serta mudah dibersihkan. 5) Melindungi ikan dengan menempatkannya dalam wadah yang terlindung dari serangga, binatang pengerat. 6) Memisahkan wadah ikan yang berbeda jenis dan mutunya. 7) Menyiapkan wadah-wadah untuk penampung limbah cair atau padat sesuai dengan rencana pengelolaannya. Wadah-wadah yang digunakan untuk menampung limbah padat dan saluran-saluran penampung limbah cair harus
9
dalam keadaan tertutup agar tidak dihinggapi serangga pencemar (lalat, kecoa dsb.). 8) Mencuci semua peralatan dan bangunan (permukaan lantai, dinding, wastafel) tempat menangani ikan setiap kali pekerjaan penanganan ikan akan dimulai dan setelah diakhiri.
2.3.4 Tekanan dan benturan fisik Menurut Kushardiyanto (2010), tekanan dan benturan fisik yang dialami ikan selama penangkapan dan penanganannya di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan dapat menyebabkan kerusakan fisik pada tubuh ikan seperti dagingnya memar, tubuhnya luka, perutnya pecah dsb. Tekanan dan benturan fisik atas ikan harus dihindari pada tahapan-tahapan kegiatan penanganan ikan di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Prinsip cara menghindarinya antara lain: 1) Memahami tahapan kegiatan penanganan ikan di kapal penangkap ikan dan di pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan perikanan. 2) Menyiapkan peralatan dan perlengkapan handling yang cocok dengan jenisukuran ikan dan kondisi tempat penanganan dengan jumlah cukup antara lain meliputi wadah dan peralatan bongkar muat ikan yang memudahkan pelaksanaan pekerjaan pemindahan, pengangkutan dan penyimpanan ikan. 3) Setiap saat melakukan pemindahan ikan agar selalu berusaha mencegah atau melindungi ikan dari perlakuan kasar atau tekanan fisik yang dapat melukai ikan atau membuat dagingnya memar. Oleh karena itu harus diusahakan seminimal mungkin melakukan pemindahan ikan.
2.3.5 Pendinginan ikan dengan es Menurut Kushardiyanto (2010), ikan dipertahankan kesegarannya dengan perlakuan sebaik-baiknya dengan cara pendinginan. Cara memperlakukan ikan yang sudah ditangkap, sangat mempengaruhi kecepatan pembusukan ikan tersebut. Ikan yang dari semula diperlakukan dengan tidak baik akan menghasilkan ikan yang tidak bermutu pula.
10
Perlu disadari bahwa untuk menjaga mutu hasil perikanan produksi nelayan sejak ditangkap sampai dengan konsumen ikan segar/basah diperlukan penanganan dengan prinsip “rantai dingin (cold-chain)”. Lebih lanjut berdasarkan kondisi sosial ekonomi nelayan, petani ikan dan pedagang ikan segar menunjukkan, bahwa penggunaan es (dalam bentuk bongkahan/balok/pecahan, curai atau dicampur dengan air laut) paling cocok sebagai upaya penanganan. Kondisi ideal perbandingan es minimal yang digunakan dan ikan selama penanganan adalah dijaga agar selalu satu dibanding satu.
2.4 Proses Penanganan Ikan Tuna Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang mudah membusuk hal ini dapat dilihat pada ikan-ikan yang baru ditangkap dalam beberapa jam saja kalau tidak diberi perlakuan atau penanganan yang tepat maka ikan tersebut mutunya menurun. Terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan ikan tuna mempunyai mutu terbaik atau bagus bila cara penangkapan dan pengangkatan serta penanganan di atas kapal berjalan efektif. Kualitas produk tuna dapat dipertahankan apabila penanganan yang diterapkan sesudah ikan di atas kapal sampai ke penyimpanan maupun pengangkatan ke negara tujuan dilakukan dengan tepat, cepat dan ekstra hati-hati.
2.4.1 Penanganan tuna di atas kapal Penanganan di kapal penangkapan merupakan tahap awal dari perlakuan tuna segar, yang dimana bertujuan untuk memperlambat proses kemunduran mutu ikan tuna yang ditangkap. Menurut bahar (1991), cara penanganan tuna di atas kapal yaitu sebagai berikut : 1) Persiapkan peralatan penanganan untuk menyiangi ikan, seperti alat pembunuh (killing tool), pisau, gunting sirip semuanya harus dalam kondisi siap pakai, bersih dan tajam. 2) Cara pengangkatan ikan ke atas geladak dilakukan dengan memakai ganco. Cara mengganco tidak boleh sembrono, untuk menjaga agar tidak merobek kulit ikan atau menyebabkan luka besar ditubuhnya, karena melalui luka
11
tersebut dapat terjadi kontaminasi bakteri dan penampilan keutuhan ikan menjadi jelek. 3) Cara mematikan (melumpuhkan) ikan yang masih hidup, yaitu dengan melumpuhkan pusat susunan syaraf otak (spiral column) yang dapat dilakukan dengan menusukkan jarum pembunuh (killing tool) melalui lekukan diantara kedua mata ikan ke arah pusat saraf sehingga ikan akan mati dengan tenang. Pelumpuhan dilakukan dengan waktu 5-10 detik saja. Cara lain untuk mematikan ikan dapat pula dilakukan dengan memukul kepala ikan dengan martil kayu yang dilapisi karet. 4) Pengeluaran darah ikan dapat dilakukan dengan cara menusukkan ujung pisau sedalam 2 cm untuk memotong pembuluh darah di belakang sirip dada. 5) Penyiangan untuk mengeluarkan isi perut dan insang dengan cara membuka tutup insang, memotong sekat antara jantung dan rongga perut, memotong pangkal insang sampai putus. 6) Mensortir ikan tuna yang tertangkap menurut jenis, ukuran dan kondisi ikan ke dalam palka-palka yang telah disediakan di kapal. Menurut Poernomo (2002), cara penanganan tuna di kapal yaitu sebagai berikut: 1) Pada saat proses penangkapan, usahakan ikan tetap dalam keadaan hidup dan tidak terlalu banyak berontak ketika ditarik ke arah kapal maupun diangkat ke atas kapal. Bila hal ini dapat dilaksanakan, maka ikan tidak terlalu banyak mengalami stress, tidak mengeluarkan banyak energi dan tidak segera mengalami rigor mortis. 2) Sesudah ikan berada di sisi kapal, siapkan papan peluncur yang licin untuk sarana mengangkat ikan dari air. 3) Sesampai di atas kapal, bila ikan tetap berontak maka ikan harus ditenangkan dengan menutup atau menekan mata dengan telapak tangan dan diselimuti ikan dengan karung (goni) basah. Selanjutnya ikan dapat di pingsankan dengan memukul kepalanya menggunakan palu berkepala karet. 4) Ikan tuna dibunuh dengan menusuk pusat syaraf (otak) dari belakang mata menggunakan paku pembunuh (killing spike) sedalam 5-10 cm kemudian paku diputar-putar untuk merusak otak.
12
5) Selanjutnya, ikan didarahi dengan menusukkan pisau tepat di belakang sirip dada (Pectoral fin) dengan kemiringan kurang lebih - 45° sedalam 5-10 cm, disusul pemotongan urat nadi ditulang belakang bagian ekor. Pemotongan urat nadi tersebut dilakukan dengan menyisipkan pisau ke daging antara sirip kecil ekor (finlet) nomor dua dan tiga. 6) Selanjutnya sisipkan pisau di belakang penutup insang kedua dan dorong ke arah depan sepanjang kurang lebih 5 cm sampai dipenutup insang yang pertama. 7) Untuk memotong sirip perut, tidurkan ikan pada punggungnya dan potong sirip perut sedekat mungkin ke daging (jangan sampai kena dagingnya). 8) Perut kemudian dapat dibelah menggunakan pisau, tarik dari daerah diantara bekas sirip perut ke arah dubur. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar isi perut tidak tersayat. Selanjutnya keluarkan isi perut, potong ujung usus pada dubur, dan ikan dibalik dengan posisi perut di bawah agar sisa-sisa darah dari rongga perut keluar. Bila pekerjaan ini sudah selesai, sirip dubur, sirip punggung pertama dan kedua dapat dipotong. Pemotongan harus dilakukan dengan hati-hati dan rapi, jangan sampai ada sisa sirip (during/tulang sirip), karena hal ini dapat melukai ikan yang lain sehingga dapat menurunkan mutu ikan lainnya. 9) Bukalah penutup insang dan putuskan isthimus joint (sambungan antara dua insang dan badan yang terletak di bagian bawah ikan). Lakukan tahap ini dengan sempurna sehingga sambungan tersebut benar-benar terpotong dengan sempurna. Selaput insang bagian bawah kemudian dapat dipotong. Pemotongan ini juga harus dikerjakan dengan hati-hati jangan sampai ada daging yang ikut tersayat. 10) Sirip dada selanjutnya dipotong dengan hati-hati sedekat mungkin dengan daging. Penarikan sirip pada waktu dipotong tidak boleh terlalu kuat karena ini dapat meninggalkan lubang pada daging. 11) Tahap selanjutnya adalah memotong penutup insang dengan cara menyayat dari arah bawah (perut) menggunakan pisau gergaji, diikuti dengan pemotongan insang bagian depan sehingga insang segera dapat dikeluarkan.
13
12) Ikan kemudian sudah dapat dicuci kembali. Gunakan sikat alus dan air dingin untuk membersihkan rongga perut maupun rongga insang atau sikat plastik/ijuk untuk membersihkan permukaan badan ikan. 13) Sesuai dengan permintaan negara pengimpor atau untuk ikan berukuran besar (di atas 90 kg), kepala dan ekor selanjutnya dapat dipotong. Pemotongan kepala menggunakan kampak khusus, sedangkan pemotongan ekor dapat menggunakan pisau gergaji. 14) Setelah bersih, ikan segera dibawa keruang pendingin (0°c selama kurang lebih 3 jam) untuk selanjutnya dibekukan bila kapal memiliki sarana pembekuan. 15) Penyusunan ikan dalam palka pendingin diatur sedemikian rupa sehingga ikan selalu tidak bersentuhan dengan dinding palka sekat, selalu tertutup es curai, dan ekor ikan selalu mengarah ke lubang palka. Hal ini akan memudahkan saat pembongkaran nantinya. Ikan di dalam palka dikelompokkan menurut mutu saat dan atau tangkapan. 16) Isi perut, insang maupun sirip harus segera disingkirkan dari tempat penyiapan dan dikumpulkan di tempat tersendiri, tidak boleh dibuang ke laut.
2.4.2 Pembongkaran palka pendingin Pembongkaran palka dilakukan pada saat kapal telah sampai di pelabuhan. Sebelum pembongkaran dilakukan, tali-tali bongkar (sling tali) dan derek (crane) harus sudah disiapkan. Sisa es harus dibuang dan air laut dingin dari palka dipompa keluar agar mudah melakukan pembongkaran (Sabar, 1991). Cara pembongkaran palka pendingin ikan tuna menurut Poernomo (2002), yaitu sebagai berikut: 1) Pembongkaran ikan dari palka pendingin dapat dilakukan menggunakan katrol dengan mengikat ekor ikan. Pada saat ikan dikeluarkan dari palka, sangat disarankan ikan dibungkus dengan kain pendingin (biasanya kain terpal atau karung tebal yang selalu dalam keadaan basah yang dikaitkan pada mata katrol). Di atas lubang palka dipasang semacam tenda untuk melindungi ikan dan isi palka dari sinar matahari. Ikan harus dijaga agar tidak menyentuh
14
lubang palka, harus diusahakan sehalus mungkin tanpa tonjolan-tonjolan yang mungkin dapat merusak kulit atau tubuh ikan. 2) Ikan dapat diturunkan dari kapal ke dermaga secara manual, namun sebaiknya menggunakan papan peluncur. Di atas papan peluncur, sebaiknya juga diberi tenda pelindung dari sinar matahari. Permukaan dan sudut-sudut papan peluncur harus halus dan selalu dalam keadaan basah oleh air yang terus mengalir dengan suhu sekitar 0°C. Bila papan ini cukup panjang (lebih dari 2,5 m) maka ikan harus diberi pelindung dengan plastik/kain/karung tebal.
2.4.3 Pengangkutan ikan ke darat atau darmaga Setelah proses pembongkaran dilakukan, langkah selanjutnya adalah pengangkutan ikan ke darat atau darmaga. Cara pengangkutan ikan tuna di darat atau dermaga menurut Poernomo (2002) yaitu sebagai berikut: 1) Di darmaga (di ujung bawah papan peluncur) harus selalu siap seorang petugas untuk menerima ikan yang diluncurkan dari atas kapal. Letakkan ikan diatas kereta dorong yang dipermukaannya telah dibatasi dengan air. Pelindung ikan (palstik/kain/karung tebal) juga harus selalu dalam keadaan basah. 2) Bila akan mengangkut ikan lebih dari satu, maka ikan tidak boleh saling bertumpuk. Kereta pengangkut ikan dapat dibuat sedemikian rupa sehingga setiap ikan menempati ruang tersendiri dan tidak saling menumpuk atau menindih dengan yang lain. 3) Pengangkutan ke pabrik harus dilakukan secepat mungkin, ikan tidak boleh menunggu lebih dari 8 menit, dan dalam waktu 10 menit sudah mencapai pabrik.
2.5 Sumber Daya Ikan Tuna 2.5.1 Deskripsi umum ikan tuna Ikan tuna (Thunnus sp) merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang secara umum memiliki bentuk tubuh seperti cerutu memilki 2 sirip punggung, sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Memiliki sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke
15
atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hyperal, tubuhnya tertutup oleh sisik berwarna biru dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Sebagian memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap. Ikan tuna juga merupakan komoditas ekspor utama sektor perikanan setelah udang. Daerah usaha penangkapannya terutama terpusat di perairan Indonesia bagian timur dan daerah lain yang berlangsung berhadapan dengan samudera hindia maupun yang termasuk perairan ZEEI (Subani dan Barus, 1989). Menurut DKP (2005), pergerakan migrasi kelompok ikan tuna di wilayah perairan Indonesia mencakup wilyarah perairan pantai, teritorial, dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) indonesia. Migrasi ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi akibat perairan tersebut berhubungan langsung dengan pengaruh perairan kedua samudera tersebut sehingga beberapa wilayah perairan pantai dan teritorial memiliki sumberdaya perikanan tuna yang besar.
2.5.2 Klasifikasi ikan tuna Menurut Saanin (1984), ikan tuna diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Animalia Sub Kingdom: Metazoa Filum: Chordata Sub filum: Vertebrata Kelas: Pisces Sub Kelas: Teleostei Ordo: Percomorphi Sub Ordo: Scombridea Famili: Scombridae Genus: Thunnus Spesies: Thunnus obesus Thunnus albacores
16
Berdasarkan klasifikasi Collette (1983), ikan tuna dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Yellowfin Yellowfin tuna termasuk jenis ikan berukuran besar, mempunyai dua sirip dorsal dan sirip anal yang panjang. Sirip dada (pectoral fin) melampui awal sirip punggung (dorsal) kedua, tetapi tidak melampui pangkalnya. Ikan tuna jenis ini bersifat pelagic, oceanic, berada di atas dan di bawah termoklin. Termoklin adalah suatu lapisan di perairan di mana dapat terjadi perubahan suhu secara drastis terhadap kedalaman. Ikan jenis yellowfin biasanya membentuk scholling (gerombolan) di bawah permukaan air pada kedalaman kurang dari 100 meter. Ukuran panjang dari yellowfin dapat mencapai lebih dari 200 cm dengan rata-rata 150 cm. 2) Bigeye (Thunnus obesus) Bigeye merupakan salah satu jenis ikan dengan ukuran besar, sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan dapat menjadi sangat panjang pada ukuran tuna yang masih kecil. Warna bagian bawah perut putih, garis-garis sisi pada ikan hidup seperti sabuk biru yang membujur disepanjang badan. Ikan tuna jenis bigeye ini memilki dua sirip punggung (D1) berwarna kuning terang sedangkan sirip punggung dua (D2) berwarna Kuning muda, jari-jari sirip tambahan kuning terang dan sedikit hitam pada ujungnya. Penyebaran bigeye dari perairan tropis ke sub tropis yang biasanya berada pada kedalaman hingaa 200 meter. 3) Southern bluefin (Thunnus maccoyii) Tuna jenis soutern bluefin merupakan salah satu jenis ikan terbesar, sirip dadanya sangat pendek (kurang dari 80% panjang kepala), dan tidak pernah mencapai jarak antara kedua sirip punggung. Warna bagian bawah perut putih keperakan dengan garis melintang yang tidak berwarna berselang-selang dengan deretan bintik yang tidak berwarna, hal ini akan terlihat pada southern bluefin dalam keadaan segar. Southern bluefin menyebar diseluruh bagian selatan dan samudera Hindia pada suhu 5°-10° C. Ikan ini bersifat epipelagic dan oceanic di air bersuhu dingin. Ikan ini bertelur dan berlarva pada suhu 20°- 30° c. Ikan dewasa secara musiman
17
beruaya ke daerah hangat pada kedalaman hinnga 50 meter di bawah permukaan air. Panjang maksimal ikan ini mencapai 160-200 cm. 4) Albacore Termasuk ikan tuna jenis besar, ke arah belakang ikan ini membentuk unsur kuat dibanding dengan ikan jenis ikan tuna jenis lain. Sirip dada sangat panjang biasanya mencapai 30% panjang tubuh atau berkisar lebih dari 50 cm. Albacore tersebar disemua perairan tropik dan di perairan-perairan bersuhu sedang biasanya bersifat epilagik, mesopelagik, dan oceanik. Ke dalam perairan tempat penyebarannya antara 300 m dan maksimal pada kedalaman 600 m. Ukuran panjang badan maksimal tuna ini 120 cm. 5) Pacific bluefin Panjang cagak maksimal pacific bluefin hingga 300 cm dengan berat maksimal 198 kg, bersifat pelagis dan oceanodramus, namun pada musim-musim tertentu mendekat ke pesisir pada perairan pasifik utara (Teluk Alaska-selatan California, dan dari pulau Saklir hingga selatan laut filiphina). Ikan tuna jenis ini tidak terdapat di perairan Indonesia. Feeding habit dari ikan pacific bluefin adalah sebagai predator dengan memangsa bermacam scholing kecil ikan atau cumi-cumi, juga kepiting dan organisme kecil. 6) Northern bluefin (Thunnus thynnus sp) Panjang total noutern bluefin maksimal hingga 458 cm dengan berat badan maksimal 684 kg. Ikan ini bersifat pelagis dan oceanodramus biasanya berada pada lapisan kedalaman antara 0-100 m. Pada perairan sebelah barat Atlantik, Northern bluefin ditemukan di perairan Kanada, Teluk Meksiko, dan Laut Karibia hingga Venezuala dan Brasil. Ikan ini juga ditemukan menyebar pada perairan Timur Atlantik, termasuk Mediterania dan sebelah laut hitam, namun ikan tuna jenis ini tidak terdapat di perairan Indonesia. Sirip punggung kedua dari noutern bluefin lebih tinggi dari sirip punggung yang pertama. Sirip dada sangat pendek kurang dari 80% panjang kepala, sisi bawah perut berwarna putih dewasa ”keel”hitam.
18
7) Long tail (Thunnus tonggol) Panjang cagak long tail tuna maksimal 145 cm dengan berat total 259 kg. Ikan ini bersifat oceanic dan oceanodromus dengan kedalaman 10 m. Diperkirakan menyebar di sekitar perairan tropis hingga Indopacific, selat Jepang, Filiphina, Papua New Guinea, dan Austarlia, Timur India dan pesisir Somalia, tidak terdapat di perairan Indonesia. Sirip dorsal ke dua ikan ini lebih panjang dari dorsal pertamanya. Sisi bawah dan bagian perut berwarna putih keperakkan dengan totol-totol berbentuk oval yang teratur secara horizontal, sirip punggung, dada, dan pelvis kehitaman. 8) Blakcfin tuna (Thunnus atlanticus) Blacfin tuna bersifat dioceus, fertilisasi eksternal, bentuk tubuh fusiform. Ikan ini termasuk jenis predator (berburu makrofauna). Jenis mangsa ini adalah ikan-ikan kecil dipermukaan perairan dan perairan dalam zooplankton (cumi), dan decapoda (larva). Panjang maksimal untuk tuna jenis blackfin tuna ini adalah 108 cm dengan berat maksimal 20,8 kg, hidup sebagai ikan pelagis, oceanodramus pada kedalaman 50 m.
2.6 Ikan Tuna yang Layak Ekspor Berdasarkan SNI 2.6.1 Tuna segar untuk sashimi Menurut KKP (2010), tuna segar untuk sashimi berdasarkan SNI 01-2693.12006 meliputi 3 tahap bagian, yaitu: spesifikasi, persyaratan bahan baku, serta penanganan dan pengolahan. 2.6.1.1 Spesifikasi (SNI 01-2693.1-2006) Tuna segar untuk sashimi yaitu produk hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, pencucian 1, pemotongan sirip, pencucian 2, sortasi mutu (grading), penimbangan, penyimpangan dingin atau tanpa penyimpanan dingin, pengusapan (swabbing), pengepakan dan pelabelan. Ruang lingkup: Standar ini menetapkan klasifikasi, syarat bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan makanan, cara penanganan, teknik sanitasi dan hygiene, syarat mutu dan keamanan pangan, cara pengambilan contoh, cara
19
uji, serta syarat penandaan dan pengemasan untuk tuna segar untuk sashimi. Standar ini berlaku untuk tuna segar sashimi dan tidak berlaku untuk produk yang mengalami pengolahan lebih lanjut. Tabel 1 Syarat mutu dan keamanan pangan untuk tuna segar sashimi Jenis uji 1) Organoleptik 2) Cemaran mikroba* 1 ALT 2 Escherichia coli 3 Salmonella 4 Vibrio choleraea 3) Cemaran kimia 1 Raksa (Hg)* 2 Timbal (Pb)* 3 Histamin 4 Kadmium (Cd)* 4) Fisika 1 Suhu pusat 5) Parasit Catatan* bila diperlukan
Satuan
Persyaratan
Angka (1-9)
Minimal 7
Koloni/g APM/g APM/g APM/g
Maksimal 5,0 x 105 maksimal < 2 Negatif Negatif
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
maksimal 1 maksimal 0,4 maksiaml 100 maksimal 0,5
C Ekor
Maksimal 4,4 0
Sumber: BSN, 2006
2.6.1.2 Persyaratan bahan baku (SNI 01-2693.2-2006) Ruang lingkup: standar ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan baku, asal bahan baku, mutu bahan baku dan penyimpanan bahan baku untuk tuna segar untuk sashimi. (1) Bahan baku tuna segar untuk sashimi: tuna segar yang telah disiangin dengan membuang isi perut dan insang. (2) Jenis bahan baku: bahan baku yang digunakan adalah ikan tuna madidihang (yellowfin tuna/thunnus albacores), tuna mata besar (bigeye tuna/ thunnus obesus), tuna sirip biru (bluefin tuna/ thunnus thynnus dan thunnus maccoyii). (3) Bentuk bahan baku: Tuna segar yang sudah disiangin. (4) Asal bahan baku: bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar. (5) Mutu bahan baku: bahan baku bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifatsifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara organoleptik bahan baku mempunyai karakterisitik
20
kesegaran sebagai berikut: kenampakan: bersih, warna daging spesifik jenis ikan tuna; tekstur: elastis, padat dan kompak; bau: segar; rasa: netral agak manis. (6) Penyimpanan bahan baku: bahan baku yang terpaksa menunggu proses lebih lanjut, disimpan dalam wadah yang baik dan tetap dipertahankan suhunya dengan menggunakan es curai sehingga suhu pusat bahan baku mencapai suhu maksimal 4,4 C, saniter dan higienis. 2.6.1.3 Penanganan dan pengolahan (SNI 01-2693.3-2006) Penanganan dan pengolahan tuna segar untuk sashimi terdiri dari: (1) Penerimaan - Potensi bahaya: mutu bahan baku kurang baik, ukuran dan jenis tidak sesaui, kontaminasi bakteri pathogen dan terdapatnya mata pancing. - Tujuan: mendapatkan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu dan terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen serta bebas dari mata pancing. - Petunjuk: tuna segar yang diterima pada unit pengolahan ditangani secara cepat, cermat dan bersih serta suhu pusat ikan diperhatikan maksimal 4,4 C. Pemeriksaan terhadap mata pancing dilakukan terhadap setiap ikan dengan membuka insang dan mulut. (2) Pencucian 1 - Potensi bahaya: kotoran dan kontaminasi bakteri. - Tujuan: membersihkan kotoran dan mencegah kontaminasi bakteri. - Petunjuk: pencucian dilakukan searah dengan susunan sisik mulai dari kepala sampai ekor. Proses dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta suhu pusat ikan dipertahankan maksimal 4,4 C. (3) Pemotongan sirip - Potensi bahaya: kemunduran mutu, kontaminasi bakteri. - Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih dari sirip serta bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: sirip ikan dipotong secara manual dari arah ekor ke kepala. Pemotongan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat ikan maksimal 4,4 C.
21
(4) Sortasi mutu (grading) - Potensi bahaya: kemunduran mutu. - Tujuan: mendapatkan mutu yang sesuai dengan yang telah ditentukan. - Petunjuk: sortasi dilakukan terhadap mutu (grading). Selama sortasi ikan ditangani secara cepat, cermat dan bersih serta suhu pusat ikan dipertahankan maksimal 4,4 C. (5) Pencucian 2 - Potensi bahaya: kotoran dan kontaminasi bakteri. - Tujuan: membersihkan kotoran dan mencegah kontaminasi bakteri. - Petunjuk: pencucian dilakukan dengan cara mengusap pada bagian tubuh ikan dengan air dingin. Pengusapan dilakukan searah dengan susunan sisik mulai dari kepala sampai ekor. Proses dilakukan dengan cepat, cerrmat dan saniter serta suhu pusat ikan dipertahankan maksimal 4,4 C. (6) Penimbangan - Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan berat tuna yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: ikan ditimbang satu persatu menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat ikan maksimal 4,4 C. (7) Penyimpanan dingin atau tanpa penyimpanan dingin - Potensi bahaya: histamin. - Tujuan: mencegah terjadinya peningkatan histamin. - Petunjuk: apabila tuna segar menunggu waktu untuk dipasarkan maka dilakukan penampangan dalam ruang pendingin atau dengan es kering dan tetap mempertahankan suhu pusat ikan maksimal 4,4 C. (8) Pengusapan (swabbing) bila dilakukan penyimpanan dingin - Potensi bahaya: kotoran dan kontaminasi bakteri. - Tujuan: membersihkan kotoran dan mencegah kontaminasi bakteri. - Petunjuk: pengusapan dilakukan dengan cara mengusap pada bagian tubuh ikan memakai spons yang sudah direndam dengan air dingin. Pengusapan
22
dilakukan searah dengan susunan sisik mulai dari kepala sampai ekor. Proses dilakukan dengan cepat, cermat, dan saniter. (9) Pengepakan dan pelabelan - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri, kerusakan fisik dan kesalahan label. - Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi bakteri dan kerusakan fisik selama transportasi dan penyimpanan serta ketidaksesuaian label. - Petunjuk: ikan ditimbang lalu disusun dalam wadah dengan penambahan es dan pelabelan dilakukan sesuai dengan SNI 01-4858-2006, pengemasan ikan segar melalui sarana angkutan udara. (10) Pengemasan - Bahan kemasan untuk tuna segar sashimi sesuai dengan SNI 01-48582006, pengemasan ikan segar melalui sarana angkutan udara. - Teknik pengemasan: produk akhir dikemas sesuai dengan SNI 01-48582006, pengemasan ikan segar melalui sarana angkutan udara. (11) Syarat penandaan Dalam sistem penandaan dan pemberian kode dilakukan dengan sebaik mungkin. Setiap produk tuna segar untuk sashimi yang akan dipanaskan diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, menggunakan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut: jenis produk, berat bersih produk, bila ada bahan tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut, nama dan alamat unit pengolahan secara lengkap, tanggal, bulan, tahun produksi, dan tahun kadaluwarsa.
2.6.2 Tuna steak beku Menurut KKP ( 2010), tuna steak beku berdasarkan SNI 01-4485.1-2006 meliputi 3 tahap bagian, yaitu: spesifikasi, persyaratan bahan baku, serta penanganan dan pengolahan. 2.6.2.1 Spesifikasi (SNI 01-4485.1-2006) Tuna steak beku: produk olahan perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai beikut: penerimaan bahan baku, pencucian, penyiangan, pembuatan loin, pengkulitan dan perapihan, sortir mutu,
23
pembungkusan (wrapping), pembekuan, pembentukan steak, penggelasan atau tanpa penggelasan, penimbangan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan. Tabel 2 Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna steak beku Jenis uji 1) Sensori 2) Cemaran mikroba* 1 ALT 2 Escherichia coli 3 Salmonella 4 Vibrio choleraea 3) Cemaran kimia 1 raksa (Hg)* 2 Timbal (Pb)* 3 Histamin 4 Kadmium (Cd)* 4) Fisika 1 Suhu pusat 5) Parasit Catatan* bila diperlukan
Satuan
Persyaratan
Angka (1-9)
Minimal 7
Koloni/g APM/g per 25g per 25g
Maksimal 5,0 x 105 <3 Negatif Negatif
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
maksimal 1 maksimal 0,4 maksiaml 100 maksimal 0,1
C Ekor
Maksimal -18 0
Sumber : BSN, 2006.
2.6.2.2 Persyaratan bahan baku (SNI 01-4485.2-2006) Ruang lingkup: standar ini menetapkan jenis bahan baku, bentuk bahan baku, asal bahan baku, mutu bahan baku dan penyimpanan bahan baku untuk tuna steak beku. (1) Bahan baku tuna steak beku: ikan tuna segar atau beku (2) Bahan baku yang digunakan adalah ikan tuna madidihang (yellowfin tuna/thunnus albacores), tuna mata besar ( bigeye tuna/thunnus obesus), tuna sirip biru (bluefin tuna/thunnus thynnus dan thunnus maccoyi ), tuna albakora (albacore/thunnus alalunga). (3) Bentuk bahan baku: bahan baku berupa ikan tuna segar atau beku yang sudah atau belum disiangi. (4) Asal bahan baku: bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar. (5) Mutu bahan baku - Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari
24
sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. - Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran sebagai berikut: kenampakan: mata cerah, cemerlang; bau: segar; tekstur: elastis, padat dan kompak. (6) Penyimpanan bahan baku Bahan baku yang terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut, maka bahan baku yang beku harus disimpan dalam ruang penyimpan (cold storage) dengan suhu maksimal -25 C, saniter dan higienis. Untuk bahan baku yang segar harus disimpan dalam wadah yang baik dan tetap dipertahankan suhunya dengan menggunakan es curai sehingga suhu pusat bahan baku mencapai suhu maksimal 4,4 C, saniter dan higienis. 2.6.2.3 Penanganan dan pengolahan (SNI 01-4485.3-2006) Teknik penanganan dan pengolahan terdiri dari: (1) Penerimaan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, mutu bahan baku kurang baik/segar, ukuran dan jenis tidak sesuai.
-
Tujuan: mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri pathogen dan memenuhi persyaratan mutu, ukuran dan jenis.
-
Petunjuk: bahan baku yang diterima diunit pengolahan diuji secara oragnoleptik, untuk mengetahui mutunya, bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
(2) Penyiangan atau tanpa penyiangan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen.
-
Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri pathogen.
-
Petunjuk: apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangin dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan harus dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
25
(3) Pencucian -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kemunduran mutu.
-
Tujuan: menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
-
Petunjuk: ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
(4) Pembuatan loin -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen.
-
Tujuan: mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
-
Petunjuk: pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 C.
(5) Pengulitan dan perapihan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging hitam, darah dan kulit.
-
Tujuan: mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging merah dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.
-
Petunjuk: tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4 C.
(6) Sortasi mutu -
Potensi bahaya: kemunduran mutu, kontaminasi bakteri pathogen, terdapat daging merah, tulang, duri dan kulit.
-
Tujuan: mendapatkan loin dengan mutu yang baik dan serta bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
-
Petunjuk: sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
26
(7) Pembentukan steak -
Potensi bahaya: bentuk serta ukuran steak yang tidak sesuai, kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen.
-
Tujuan: mendapatkan steak tuna dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
-
Petunjuk: loin yang sudah rapi dipotong menjadi bentuk steak dengan bentuk dan ukuran yang sesuai. Pembentukan steak harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
(8) Pembungkusan (wrapping) - Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna/kurang vakum dan kontaminasi bakteri. - Tujuan: mendapatkan steak dalam kemasan yang vacum dan terhindar dari kontaminasi bakteri. - Petunjuk: steak yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual dan dikemas secara vacum. Proses pembungkusan harus dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 C. (9) Pembekuan -
Potensi bahaya: pembekuan yang tidak sempurna (partial freezing) dan kehilangan cairan (driploss).
-
Tujuan: membekukan produk hingga mencapai suhu pusat -18 C secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk.
(10) Pengulitan dan perapihan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging daging merah dan kulit.
-
Tujuan: mendapatkan steak yang rapi dan bebas dari tulang, daging merah dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen.
-
Petunjuk: tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan harus dilakukan secara cepat, cermat dam saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk -18 C.
27
(11) Pembentukan steak - Potensi bahaya: bentuk serta ukuran steak yang tidak sesuai, kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan steak dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: loin yang sudah rapi dipotong menjadi steak dengan bentuk dan ukuran yang sesuai. Pembentukan steak harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 18 C. (12) Penggelasan atau tanpa penggelasan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen atau kemunduran mutu.
-
Tujuan: melapisi ikan dengan air es agar tidak mudah terjadi pengeringan pada saat penyimpanan.
-
Petunjuk: steak yang telah dibekukan kemudian disemprot dengan air dingin. Proses penggelasan harus dilakukan secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat ikan maksimal -18 C.
(13) Penimbangan -
Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen.
-
Tujuan: mendapatkan berat loin steak yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
-
Petunjuk: steak ditimbang sesuai berat yang telah ditentukan, dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan harus dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 C.
(14) Pengepakan -
Potensi bahaya: kontaminasi bakteri dan kesalahan label.
-
Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
-
Petunjuk steak yang telah ditimbang kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat, dan saniter.
28
(15) Pengemasan -
Bahan kemasan untuk tuna steak beku harus bersih, tidak mencemari produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk ikan beku.
-
Teknik pengemasan: produk akhir harus dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis, pengemasan harus dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk. Untuk produk yang menggunakan transportasi udara, teknik pengemasan sesuai SNI 01-4872.1-2006.
(16) Syarat penandaan Dalam sistem pelabelan dan pemberian kode dilakukan dengan sebaik mungkin. Setiap kemasan produk tuna steak beku yang akan diperdagangkan diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, menggunakan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut: jenis produk, berat bersih produk, nama dan alamat unit pengolahan secara lengkap, bila ada bahan tambah lain diberi keterangan bahan tersebut, tanggal, bulan, tahun produksi, tahun kadaluwarsa. (17) Penyimpanan Penyimpanan tuna steak beku harus dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimum -25 C dengan fluktuasi suhu kurang lebih 2 C. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
sirkulasi
udara
dapat
merata
dan
memudahkan
pembongkaran.
2.6.3 Tuna loin segar Menurut KKP (2010), tuna loin segar berdasarkan SNI 7530.1-2009 meliputi 3 tahap bagian yaitu: spesifikasi, persyaratan bahan baku, serta penanganan dan pengolahan.
29
2.6.3.1 Spesifikasi (SNI 7530.1-2009) Tuna loin segar yaitu produk hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan proses dan pendinginan hingga mencapai suhu pusat 0 C-4,4 C Tabel 3 Syarat mutu dan kemanan pangan untuk tuna loin segar Jenis uji 1) Sensori 2) Cemaran mikroba* 1 ALT 2 Escherichia coli 3 Salmonella 4 Vibrio choleraea 3) Cemaran kimia* 1 Kadmium (Cd) 2 Merkuri (Hg) 3 Timbal (Pb) 4) Uji kimia 1 Histamin 5) Fisika 1 Suhu pusat f Parasit Catatan* bila diperlukan
Satuan Angka (1-9)
Persyaratan Minimal 7
Koloni/g APM/g per 25g per 25g
Maksimal 5,0 x 105 <3 Negatif Negatif
mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimal 0,1 Maksimal 1,0 Maksimal 0,4
mg/kg
Maksimal 50
C Ekor
Maksimal 4,4 0
Sumber: BSN, 2009.
2.6.3.2 Persyaratan bahan baku (SNI 7530.2:2009) Ruang lingkup: standar ini menetapkan persyaratan bahan baku tuna loin segar. (1) Bahan baku tuna loin segar: ikan tuna segar dan beku. (2) Jenis bahan baku yang digunakan: -
tuna madidihang (yellowfin tuna/ thunnus albacares).
-
tuna mata besar (bigeye tuna/ thunnus obesus).
-
tuna sirip biru (bluefin tuna/thunnus tynnus dan thunnus maccoyi).
-
tuna albakora (albacore/ thunnus alalunga).
(3) Bentuk bahan baku berupa ikan tuna segar atau beku yang sudah atau belum disiangi. (4) Asal bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar. (5) Mutu
30
-
Bahan baku bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.
-
Secara sensori bahan baku mempunyai karakteristik kesegaran seperti berikut: kenampakan: mata cerah, cemerlang; bau: segar; tekstur: elastis, padat dan kompak.
(6) Penyimpanan Bahan baku disimpan dalam wadah yang baik dengan menggunakan es dengan suhu pusat bahan baku 4,4 C atau lebih rendah untuk bahan baku segar dan -18 C untuk bahan baku beku, secara saniter dan higienis. 2.6.3.3 Penanganan dan pengolahan (SNI 7530.3:2009) Teknik penanganan dan pengolahan untuk bahan baku tuna segar terdiri dari: (1) Penerimaan - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, kemunduran mutu dan histamin. - Tujuan: mendapatkan bahan baku yang bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik dan uji histamin, untuk mengetahui mutunya. Penanganan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dengan suhu produk 0 C -4,4 C untuk bahan baku segar dan -18 C atau lebih rendah untuk bahan baku beku. Bahan baku diindetifikasi dan diberi kode untu kemudahan dalam penelusuran (traceability) dan dipertahankan sampai tahapan produk akhir. (2) Penyiangan - Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangin dengan cara membunag kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk 0 C- 4,4 C.
31
(3) Pencucian - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kemuduran mutu - Tujuan: menghilangkan sisa kotoran darah yang menempel ditubuh ikan dan bebas dari kontaminsi bakteri pathogen. - Petunjuk: ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk 0 C-4,4 C. (4) Pembuatan loin - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembutan loin dilakukan secara tepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 0 C-4,4 C. (5) Pembuangan kulit dan perapihan - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging hitam dan kulit. - Tujuan: mendaptakan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging hitam dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: tulang, daging hitam dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pembuangan kulit dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk. (6) Sortasi mutu - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendaptakan loin dengan mutu sesuai spesifikasi. - Petunjuk: sortasi mutu dilakukan dengan mengelompokkan produk sesuai spesifikasi, secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk. (7) Pembungkusan (wrapping) - Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna dan kontaminasi bakteri pathogen.
32
- Tujuan: mendapatkan loin dalam kemasan yang sempurna dan terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: loin yang sudah rapi selanjutnya dikemas dalam plastik vacum dan tidak vacum secara individual dengan cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk. (8) Penimbangan - Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan berat loin yang sesauai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahnkan suhu pusat produk. (9) Pengepakan - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kesalahan label. - Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label. - Petunjuk: loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. Penanganan dan pengolahan untuk bahan baku tuna beku terdiri dari: (1) Penerimaan - Potensi bahaya: kemunduran mutu, bakteri pathogen, parasit. - Tujuan: memperoleh bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: bahan baku diuji secara oraganoleptik kemudian ditangani sacara cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk -18 C atau lebih rendah. Bahan baku diidentifikasi dan diberi kode untuk kemudahan dalam penelurusan traceability dan diperlukan sampai produk akhir. (2) Pelelehan - Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri. - Tujuan: mendapatkan tuna segar dengan mutu baik.
33
- Petunjuk: tuna beku direndam dengan air pada suhu 10 C- 15 C hingga suhu pusat ikan 0 C-4,4 C. (3) Penyiangan - Potensi bahaya: kemunduran mutu dan kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangin dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk. (4) Pembuatan loin - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan bentuk loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter serta dengan suhu pusat produk. (5) Pengulitan dan perapihan - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen, terdapat tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit. - Tujuan: mendapatkan loin yang rapi dan bebas dari tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit serta terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk. (6) Sortasi mutu - Potensi bahaya: kemunduran mutu, kontaminasi bakteri pathogen, terdapat daging merah, tulang, duri dan kulit. - Tujuan: mendapatkan loin dengan mutu yang baik dan serta bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 C.
34
(7) Pembungkusan (wrapping) - Potensi bahaya: pembungkusan kurang sempurna dan kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan loin dalam kemasan yang sempurna dan terhindar dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: loin yang sudah rapi selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vacum dan tidak vacum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk. (8) Penimbangan - Potensi bahaya: kemunduran mutu, kekurangan berat dan kontaminasi bakteri pathogen. - Tujuan: mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. - Petunjuk: loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahnkan suhu pusat produk. (9) Pengepakan - Potensi bahaya: kontaminasi bakteri pathogen dan kesalahan label. - Tujuan: melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label. - Petunjuk: loin segar, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. (10) Pengemasan - Bahan kemasan untuk tuna loin segar bersih, tidak mencemari produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk ikan segar. - Teknik pengemasan: produk akhir dikemas dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis. Pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk akhir. - Pelabelan dan pemberian kode: setiap kemasan produk tuna loin segar yang akan diperdagangkan diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca,
35
mencatumkan bahasa yang dipersayaratkan disertai keterangan sekurangkurangnya sebagai berikut: nama produk, berat bersih atau isi bersih, daftar bahan yang digunakan, nama dan alamat produsen pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, tanggal, bulan, tahun produksi, tahun kadaluwarsa. (11) Penyimpanan Penyimpanan tuna loin segar dalam gudang segar (cool room) dengan suhu maksimal 4,4 C. Penataan produk dalam gudang segar diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.
2.7 Kegiatan Ekspor Produk Tuna Produksi tuna Indonesia sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor. Tujuan utama ekspor produk tuna adalah ke pasar Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pasar jepang khusus untuk produk tuna segar dan tuna beku sashimi. Pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk produk-produk olahan tuna. Bagi perusahaan tuna pemula yang akan melakukan ekspor, dapat mengakses pasar melalui berbagai media, diantaranya dapat melalui internet, berhubungan langsung dengan eksportir atau media promosi ekspor lainnya. Perusahaan dapat juga mengikuti pameran dagang khusus produk perikanan, yang secara berkala diadakan setiap satu tahun sekali. Pameran dagang untuk pasar Uni Eropa diadakan di Brussels, sementara itu untuk pasar Amerika Serikat diadakan di Boston. Dalam pameran dagang poduk perikanan akan dilakukan promosi dagang, dan disini dapat terjadi transaksi ekspor. Ekspor merupakan kegiatan perdagangan baik itu barang maupun jasa yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, melalui prosedur yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kegiatan ekspor semakin terasa penting dengan adanya tantangan golabalisasi, dimana barang dan jasa dapat dengan mudah keluar dan masuk dari dan ke suatu negara. Kegiatan ekspor suatu barang dari Indonesia merupakan kegiatan mengeluarkan barang dari Pabean Indonesia. Daerah Pabean adalah Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah daratan, perairan dan ruang udara
36
diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Kegiatan ekspor boleh dilakukan tidak hanya oleh perusahaan, namun dapat juga dilakukan oleh perorangan yang telah memiliki: (1) Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP) atau Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), (2) Izin usaha dari Departemen Teknis/ Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan (3) Tanda Daftar Perusahaan (TDP) (Kadarwiyati, 2006 vide Nurani dan Sugeng, 2007). Barang yang akan diekspor harus didaftarkan ke Bea Cukai agar dapat dikeluarkan dari kepabeanan Indonesia. Pejabat bea cukai akan melakukan pengecekan kelengkapan dokumen ekspor dan pemeriksaan fisik barang. Jika semua telah lengkap, pejabat Bea Cukai akan mengeluarkan Surat Persetujuan Ekspor. Petunjuk pelaksanaan tatalaksana kepabeanan di bidang ekpsor secara lengkap telah di atur melalui keputusan dirjen bea dan cukai No/Kep151/BC/2003. Dalam memulai kegiatan ekspornya, suatu perusahaan perikanan harus melakukan persiapan-persiapan, berupa (1) persiapan administratif, (2) persiapan legalitas, (3) persiapan fisik barang, (4) persiapan operasional. Persiapan administratif mencakup persiapan sarana untuk melakukan hubungan dagang, meliputi letter head yang menarik dan informatif, personal computer dan internet, Fax serta P.O. Box atau alamat kantor yang jelas. Persiapan legalitas merupakan persiapan dari aspek hukum, diantaranya yaitu memiliki izin usaha, NPWP dan izin khusus eksportir tertentu. Persiapan fisik barang digunakan untuk mulai melakukan perdagangan, diantaranya meliputi kontrak dengan produsen, pembuatan brosur, pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang eksportir untuk memulai ekspor, diantaranya meliputi proses ekspor, peraturan ekspor, produser ekspor dan strategi ekspor. Terdapat sepuluh langkah strategis yang dapat dilakukan oleh perusahaan perikanan untuk dapat memasuki pasar ekspor, yaitu: (1) keputusan manajemen untuk melalukan ekspor, (2) menentukan jenis atau spesifikasi komoditas yang akan diekspor, (3) mengumpulkan dan menganalisis kondisi negara tujuan, (4) menetapkan pasar potensial dan segmen pasar, serta menentukan mitra usaha
37
sebagai saluran pemasaran, (5) menentukan strategi operasional bersama mitra usaha, (6) menentukan sistem promosi dan pemilihan mass media, (7) mempelajari peta pemasaran komoditas ikan tertentu, (8) mempelajari nama dan alamat lengkap badan-badan promosi international sebagai sarana mencari calon pembeli, (9) menyiapkan brosur dan daftar harga (price list), serta (10) menyiapkan surat perkenalan kepada calon pembeli.
2.8 Unit Penangkapan Pancing Tonda Komponen utama dari perikanan tangkap adalah unit penangkapan, yang terdiri dari perahu/kapal, alat tangkap dan nelayan. Jenis dan skala unit penangkapan yang diperlukan oleh suatu usaha penangkapan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang merupakan faktor penentu/pembatas pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan tertentu (Monintja, 1989). Unit penangkapan yang digunakan di daerah Sadeng adalah pancing tonda, pancing rawai, trammel net, mini purse seine, krendet, jala. Disini peneliti hanya membatasi atau hanya menjelaskan pancing tonda, dimana sesuai dengan judul penelitian ini. 2.8.1 Alat Tangkap Pancing Tonda Pancing tonda adalah alat penangkap ikan yang terdiri dari seutas tali panjang, mata pancing dan umpan. Pancing ditarik di belakang perahu motor atau kapal yang sedang bergerak. Umpan yang dipakai adalah umpan buatan (Ayodhyoa, 1981). Menurut Subani dan Barus (1989), pancing tonda juga dapat diklasifikasikan ke dalam alat tangkap pancing. Parameter utama dari alat tangkap tersebut adalah dari besar kecilnya ukuran dan ketajaman mata pancing. Pancing tonda memiliki komponen-komponen penting, yaitu: (1) Tali pancing, terbuat dari bahan katun, nylon, polyethlen. Terdiri dari tali utama yang terbuat dari nilon tunggal dengan panjang 7-60 m dan tali cabang yang terbuat dari nilon berdiameter 0,95 mm dan panjang 3,5 m, berfungsi menghubungkan antara tangkai dengan mata pancing. (2) Mata pancing, terbuat dari kawat baja, kuningan atau bahan lainnya yang anti karat. Ujung mata pancing umumnya berkait balik namun ada juga tanpa kait balik. Jumlah mata pancing bisa tunggal atau ganda, ukuran mata pancing
38
bervariasi dan disesuaikan dengan ukuran ikan sasaran (Subani dan Barus, 1989), berfungsi sebagai tempat memasang umpan. (3) Pemberat, terbuat dari bahan timah yang biasanya berukuran 1 - 1,5 cm dengan berat 30 - 40 gr, berfungsi untuk menenggelamkan mata pancing. (4) Kili-kili (swivel) berfungsi agar tali pancing tidak terbelit. Pada pengoperasian pancing tonda jarang sekali menggunakan umpan alami karena akan mudah lepas atau rusak oleh gerakan air selama operasi penangkapan ikan berlangsung (Ayodhyoa, 1981). Umpan buatan yang digunakan banyak berasal dari bulu ayam yang halus dan juga dari tali rafia atau karet plastik, berfungsi untuk memberi rangsangan respon yag bersifat fisik maupun kimia yang dapat memberikan respon bagi ikan tertentu untuk datang selama operasi penangkapan (Endratno, 2002). Dalam pengoperasian pancing tonda, alat bantu yang digunakan adalah ganco. Dimana ganco ini berfungsi membantu mengangkat ikan yang terpancing dan cara menancapkan bagian ujung ganco ke badan ikan (Nugroho, 2002). Kegiatan pengoperasian pancing tonda meliputi persiapan, pencarian fishing ground, yang membutuhkan waktu 1-2 jam, dan berlangsung dari pagi hingga sore. Setelah melihat tanda-tanda keberadaan ikan maka pancing mulai diturunkan secara perlahan lalu dioperasikan dengan cara menggerak-gerakkan tali pancing dan menambah kecepatan kapal. Nelayan mengetahui pancingnya dimakan ikan dengan cara merasakan tegangan tali pancing yang agak keras kemudian menggulung tali pancing tersebut dan diangkat ke atas kapal. Waktu yang dibutuhkan untuk hauling tergantung dari ukuran ikan yang tertangkap, biasanya 5-15 menit (Ayodhyoa, 1981). Penangkapan dengan pancing tonda dilakukan pada siang hari, biasanya tiap perahu membawa lebih dari dua buah pancing yang ditonda sekaligus. Penondaan dilakukan dengan mengulur tali kurang lebih dua pertiga dari seluruh panjang tali pancing yang disediakan. Penangkapan dengan pancing tonda dapat dilakukan dengan cara mendugaduga dengan berlayar kesana-kemari (manovere). (Gambar 1), bisa juga terlebih dulu mencari kawanan ikan (tuna, tongkol, cakalang, kwe), atau dapat juga dilakukan disekitar rumpon (Gambar2) (Subani & barus, 1989).
39
Sumber: Subani & Barus (1988). Gambar 1 Pancing tonda dalam operasi penangkapan.
Sumber: Subani & Barus (1988). Gambar 2 Penondaan disekitar rumpon.
40
2.8.2 Kapal dan Nelayan Dalam pengoperasian pancing tonda digunakan perahu motor tempel dengan dimensi utama adalah 6 x 0,6 x 0,7 m. Terbuatnya dari bahan kayu sengon (paraserianthes falcataria), dengan kekuatan mesin 5,5 HP dan menggunakan bahan bakar bensin. Mesin ditempelkan pada bagian buritan perahu. Fungsi dari mesin adalah untuk menarik tali pancing melalui perahu dalam pengoperasian alat tangkap pancing tonda (Nugroho, 2002). Pancing tonda umumnya dioperasikan dengan perahu kecil, jumlah nelayan yang mengoperasikan sebanyak 4-6 orang yang terdiri dari satu orang nahkoda merangkap fishing master, satu orang juru mesin dan 2-4 orang ABK yang masing-masing mengoperasikan satu atau lebih pancing pada saat operasi penangkapan berlangsung (Sainsbury, 1971 yang diacu Handriana 2007).
2.9 Dampak Kegiatan Penangkapan Ikan terhadap Mutu Ikan Tuna dan Pencemaran Perairan Dampak kegiatan penangkapan ikan terhadap mutu ikan tuna dapat menimbulkan dua aspek, yaitu postif dan negatif. Dampak postifinya yaitu menghasilkan ikan yang masih segar sehingga menjaga mutu ikan tersebut, karena dilakukan penangkapan yang cepat, dan hati-hati terhadap ikan tuna tersebut. Dampak negatifnya yaitu apabila didalam proses penangkapan tidak dilakukan dengan cepat dan hati-hati, maka mutu ikan tuna tersebut akan menurun, berarti ikan dalam keadaan terlalu banyak berontak ketika ditarik ke arah kapal maupun diangkat ke atas kapal. Akibatnya ikan tersebut mengalami stress, dan mengeluarkan banyak energi dan segera mengalami rigormortis (Poernomo, 2002). Penanganan di atas kapal yang tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan, mengakibatkan mutu ikan itu bukan menjadi membaik, malah memberikan hasil yang buruk dari mutu ikan tersebut. Sebaliknya, jika penanganan sesuai dengan prosedur yang di tentukan, maka memberikan hasil yang baik dari mutu ikan tersebut. Sejak permintaan dunia akan sumber protein hewani khususnya ikan meningkat, upaya untuk meningkatkan kemampuan tangkap alat penangkapan
41
ikan terus diupayakan, baik dari sisi teknologi bahan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, maupun teknologi alat bantu penangkapan ikannya. Kompetisi yang makin tinggi antar nelayan penangkap ikan mendorong nelayan untuk
mengoperasikan
alat
tangkap
yang
efektif
dan
efisien.
Untuk
memperpanjang masa pengoperasian alat tangkap, bahan alat tangkap yang semula dibuat dari bahan alami dan mudah rusak diganti dengan bahan yang dibuat dari fiber sintetik modern yang bersifat non-biodegradable. Bahan-bahan inilah yang kemudian memicu adanya ghost fishing atau suatu istilah dalam penangkapan ikan yang mengambarkan ikan yang mengambarkan dampak negatif dari proses penangkapan ikan. Dalam kegiatan penangkapan ikan karena beberapa sebab, tidak jarang nelayan kehilangan alat tangkapnya. Alat tangkap juga hilang karena faktor cuaca. Tidak jarang pula alat tangkap hilang karena unsur kesengajaan, misalnya dipotong oleh kapal niaga yang melintas jalur laut tersebut atau dipotong nelayan lain karena menggangu daerah operasi penangkapannya. Potongan atau bagian jaring, atau alat tangkap yang tertinggal di laut, secara terus menerus akan menangkap ikan. Proses tertangkapnya ikan yang tak termanfaatkan sebagai akibat dari tertinggalnya alat tangkap ikan di laut inilah yang disebut sebagai ghost fishing. Alat tangkap yang tertinggal di laut akan menyebabkan tertangkapnya ikan, yang kemudian mati, ikan menjadi busuk. Ikan yang telah membusuk tersebut kemudian menarik ikan atau biota pemangsa bangkai dan krustasea lainnya berkumpul di sekitarnya. Selanjutnya, kehadiran ikan dan krustacea pemangsa bangkai di sekitar alat tangkap, menarik ikan yang tropik levelnya lebih tinggi untuk datang dan memangsa ikan dan biota yang ada. Kecelakaan terjadi, beberapa ikan terperangkap alat tangkap yang tertinggal dan memicu siklus ghost fishing selanjutnya, demikian seterusnya. Proses ini akan berulang terus sampai alat tangkap itu hancur sama sekali. Umur dari siklus ghost fishing ini bervariasi, dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan di sekitar tertinggalnya alat tangkap tersebut. Nilai dan jenis dampak dari ghost fishing sangat beragam, tergantung pada wilayah dan jenis prikanannya. Meskipun relatif sulit untuk menghitung nilai
42
dampak dan ghost fishing, beberapa penelitian terhadap alat tangkap statis menunjukkan bahwa kehilangan akibat ghost fishing diperkirakan sebesar 10% dari populasi yang ada. Pencemaran perairan atau limbah yang dihasilkan dan suatu aktivitas penangkapan ikan merupakan permasalahan penting yang perlu diwaspadai dan di antisipasi pengelolaanya sejak awal, bila terlambat akan berakibat fatal terhadap kelestarian sumberdaya laut dan hayati perairan sekitarnya. Informasi mengenai jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan dan suatu kegiatan di laut dan sekitarnya sangat penting, hal ini untuk menghindari atau mengurangi terjdinya dampak negatif yang akan ditimbulkan pada ekosistem perairan laut.
2.10 Perangkat Analisis Pengendalian Mutu 2.10.1 Peta kendali untuk pengendalian mutu Peta kendali digunakan untuk mengetahui sejauh mana proses produksi berada dalam pengendalian. Apabila ada penyimpangan akan dengan mudah diketahui sehingga dapat diambil langkah-langkah perbaikan dan sebagainya. Banyak karakteristik mutu yang tidak dapat dinyatakan secara numerik atau disebut sabagai data atribut. Kriterianya dapat digolongan memenuhi spesifikasi karakteristik mutu dan tidak memenuhi spesifikasi karakterisitik mutu. Terminologi “cacat” atau “tidak cacat” sering digunakan untuk mengindentifikasi dua penggolongan produk itu. Penggunaan peta kendali untuk data atribut adalah peta kendali p, np, c, nc dan u. Data variabel dapat digunakan sebagai karakteristik mutu dalam bentuk pengukuran numerik. Peta kendali yang digunakan untuk data variabel adalah peta kendali X, R, dan S. Contoh peta kendali disajikan pada Gambar 3.
43
0 .6
V ar iab le P r o p o r si k e tid ak sesu aia n UC L LC L p
0 .5
0 .4 a D Y
0 .3
0 .2
0 .1 0
5
10 Sa mpe l
15
20
Gambar 3 contoh peta kendali.
2.10.2 Diagram pareto Diagram ini digunakan untuk menemukan persoalan yang ada serta dapat menentukan persoalan mana yang terpenting untuk ditangani terlebih dahulu. Penerapan diagram pareto dalam pengendalian mutu dapat digunakan pada proses perakitan (Ishikawa,1989). Contoh diagram pareto disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Contoh diagram pareto. Checksheet merupakan suatu alat sederhana pengendali mutu yang digunakan untuk menjamin bahwa data dikumpulkan dengan secara hati-hati dan
44
akurat oleh personal operasi untuk mengontrol proses dan untuk pengambilan keputusan. Contoh checksheet disajikan pada Gambar 5. No
Deskripsi 1
Kriteria 2
3
4
1 2 3
Gambar 5 checksheet.
2.10.3 Diagram sebab akibat Diagram sebab akibat merupakan diagram yang digunakan untuk menemukan penyebab timbulnya persoalan serta apa akibatnya. Diagram ini penting untuk mengindentifikasi secara tepat hal-hal yang menyebabkan persoalan kemudian mencoba menanggulangi. Garis besar langkah-langkah pembuatan diagram sebab-akibat (Ishikawa, 1989) sebagai berikut: 1) Langkah 1: tentukan karakteristik mutu. Karakteristik inilah yang harus diperbaiki dan dikendalikan serta menemukan penyebab permasalahan yang ada. 2) Langkah 2: tulislah karakteristik mutu pada sisi kanan. Gambarlah panah besar dari sisi kiri ke sisi kanan. Karakteristik mutu 3) Langkah 3: tulislah faktor utama yang mungkin menyebabkan karakteristik mutu. Mengarahkan panah cabang ke panah utama. Disarankan untuk mengelompokkan faktor penyebab yang mempunyai kemungkinan besar terhadap dispersi kedalam item-item. Manusi a
Peralatan
Karakteristik mutu
Bahan
45
4) Langkah 4: pada setiap item cabang, tulislah ke dalamnya faktor rinci yang dianggap sebagai penyebab, menyerupai ranting. Pada setiap ranting tulis faktor lebih rinci untuk membuat cabang yang lebih kecil. Faktor yang lebih untuk membuat cabang yang lebih kecil dapat disebut sebagai faktor penyebab akar dari suatu karakteristik mutu. Bila tidak ditulis maka tidak dapat membantu untuk menemukan penyebab permasalahan tersebut. Manusi a
Peralata n Keahlia n
Timbanga n Karakteristik mutu
Bahan
Bahan baku Gambar 6 Diagram sebab akibat.
5) Langkah 5: lakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa semua item yang mungkin menjadi penyebab permasalahan telah masuk ke dalam diagram. Bila tercantum dan hubungan sebab akibat telah digambarkan dengan tepat, maka diagram tersebut telah lengkap.
46
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data lapang penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010. Tempat penelitian dilakukan di PPP Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
3.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Tujuan studi kasus adalah memberikan gambaran secara mendetail mengenai latar belakang, sifat-sifat serta karakteritik dari hal-hal yang diamati oleh penulis di lapangan (Nazir, 1988). Kasus yang dikaji adalah ikan tuna hasil tangkapan pancing tonda di PPP sadeng untuk tujuan ekspor. Penelitian ini difokuskan pada aspek mutu hasil tangkapan ikan tuna tersebut.
3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Pengumpulan data primer Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh penulis di lapangan. Data primer diperoleh dengan cara mengamati langsung hal-hal yang berhubungan dengan penelitian, dengan cara mengambil sampel dan melakukan wawancara terhadap nelayan, juragan dan pegawai pelabuhan di PPP Sadeng. Pengambilan sampel ikan tuna untuk penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan pegamatan organoleptik. Ikan tuna yang dijadikan dalam penelitian ini berjumlah 150 ekor, dengan 10 kapal motor penangkap tuna yang dimana jumlah kapal di PPP Sadeng berkisar 50 kapal, tiap 1 kapal diambil 3 keranjang, tiap 1 keranjang diambil 5 ekor ikan tuna untuk diteliti.
3.3.2 Pengumpulan data sekunder Data sekunder diperoleh dari kantor Dinas PPP Sadeng, meliputi data-data sebagai berikut gambaran umum kegiatan perikanan tangkap di Sadeng, diperlukan data sekunder dari PPP Sadeng.
47
3.4 Analisis Kendali Mutu 3.4.1 Analisis peta kendali Pengujian suatu produk sering dilakukan untuk memantau bagian yang ditolak atau proporsi produk yang cacat (fraction defective), yaitu rasio antara produk yang cacat terhadap populasinya. Proporsi cacat bisa dinyatakan dalam desimal maupun persen. Dalam bagan kendali mutu, proporsi dinyatakan dalam persen. Prinsip statistik yang mendasari bagan kendali untuk proporsi ketidaksesuaian didasarkan atas distribusi binomial. Bagan kendali yang digunakan untuk memantau proporsi ketidaksesuaian yang dihasilkan dari suatu proses ialah bagan p. jika dikehendaki pengamatan berdasarkan jumlah ketidaksesuaian atau jumlah bagian yang ditolak, maka digunakan bagan np. Dalam penelitian ini menggunkan bagan p, sebab ingin mengetahui seberapa jauh ikan tuna yang bermutu atau tidak. Selain untuk pengukuran dalam bentuk proporsi, bagan p juga dipergunakan bila ukuran subgrup tidak sama. Prosedur umum dalam menyusun bagan kendali ketidaksesuaian (Ishikawa, 1989), sebagai berikut: 1) Memilih karakteristik mutu. 2) Kumpulkan data. Sampel diambil berdasarkan subgrup, dengan ukuran subgrup (n), sebaiknya lebih dari 50. 3) Hitung persen ketidaksesuaian dari setiap subgrup (p i) dan masukkan ke dalam lembar data.
pi = Jumlah ketidaksesuaian (npi) x 100% Jumlah unit dalam subgrup (ni) 4) Tentukan garis tengah (central line, CL), batas kendali atas (upper control limit, UCL) dan batas kendali bawah (lower control limit, LCL) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: CL = p = ∑ pi = ∑ np m CL = p + z.σ
mn p
48
CL = p - z.σ
p
Dimana: p = rata-rata persen ketidaksesuaian dalam sampel m = jumlah sampel (subgrup) n = ukuran subgrup z = deviasi standar normal
σ p = deviasi standar dari distribusi sampling σp=
p (1- p ) n
5) Buat bagan p dengan memasukkan data observasi kedalamnya
3.4.2 Analisis diagram pareto Diagram pareto digunakan untuk menggambarkan tingkat kepentingan relatif antar berbagai faktor. Dengan diagram ini dapat diketahui faktor yang dominan dan yang tidak. Faktor yang dominan ialah faktor-faktor yang secara bersama-sama menguasai sekitar 70% sampai 80% dari nilai akumulasi tetapi biasanya hanya terdiri dari sedikit faktor (critical). Faktor dominan ini juga sering disebut sebagai variabel kelas A dalam konsep klasifikasi ABC. Variabel kelas B ialah faktor-faktor yang secara bersama-sama menguasai sekitar 10% sampai 20% dari total nilai. Sedangkan variabel kelas C ialah faktor-faktor yang secara bersama-sama hanya menguasai sekitar 10% sampai 15% dari total nilai tetapi terdiri dari banyak faktor non dominan (trivial) (Ishikawa, 1989). Dengan menggunakan diagram pareto, perhatian bisa dikonsentrasikan kepada faktor yang dominan (kelas A), dan tidak perlu membuang waktu, tenaga, dan biaya untuk menangani faktor-faktor yang tidak dominan. Berikut disajikan tahapan pembuatan diagram pareto, yaitu: 1) Pilih beberapa faktor penyebab dari suatu masalah (bisa diketahui dari hasil analisis sebab dan akibat); 2) Kumpulkan data dari masing-masing faktor dan hitung persentase kontribusi dari masing-masing faktor;
49
3) Susun faktor-faktor dalam urutan baru dimulai dari yang memilki persentase terbesar dan hitung nilai akumulasinya; 4) Bentuk kerangka diagram dengan aksis sebelah kanan dalam bentuk kumulatif. Tinggi aksis sebelah kiri dan kanan sama; 5) Berpedoman pada aksis vertikal sebelah kiri, buat kolom secara berurutan pada aksis horisontal yang menggambarkan kontribusi masing-masing faktor; 6) Berpedoman pada
aksis vertikal
sebelah kanan, buat
garis yang
menggambarkan persen kumulatif, dimulai dari ujung bawah aksis sebelah kiri sampai di ujung atas aksis sebelah kanan; Tujuan utama dari checksheet (lembar pengecekan) ialah untuk menjamin bahwa data dikumpulkan secara hati-hati dan akurat oleh personal operasi untuk mengontrol proses dan untuk pengambilan keputusan. Data dipresentasikan dalam sutau format yang dapat secara cepat dan mudah digunakan dan dianalisa. Pengisian data dalam checksheet biasanya menggunakan cara tally, seperti yang biasa dipergunakan dalam pertandingan bulutangkis atau bola voley. Checksheet seringkali digunakan untuk mengetahui ketidaksesuaian, baik dari jumlah, lokasi, ataupun penyebabnya. Checksheet sebaiknya dapat memuat kapan
pengecekan
dilakukan,
dimana,
oleh
siapa,
dan
terhadap
produk/proses/bagian yang mana.
3.4.3 Analisis diagram sebab akibat (diagram tulang ikan) Masalah mutu dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Untuk mempermudah menganalisis penyebab dari suatu permasalahan mutu, Kaoru Ishikawa telah mengembangkan suatu alat pengendali mutu yang disebut sebagai diagram sebab akibat. Diagram ini merupakan suatu grafik yang mengambarkan hubungan antara suatu efek (masalah) dengan penyebab potensialnya. Diagram sebab dan akibat digunakan untuk mengembangkan variasi yang luas atas suatu topik dan hubungannya, termasuk untuk pengujian suatu proses maupun perencanaan suatu kegiatan. Proses dalam membangun diagram membantu menstimulasi pemikiran mengenai suatu isu, membantu berpikir secara rasional, dan mengundang diskusi. Proses tersebut memerlukan brainstorming (pengungkapan pendapat) dari para karyawan terkait untuk memperoleh dan
50
menggali penyebab potensial sebanyak mungkin. Diagram sebab akibat membuat analisis terhadap mutu dapat dilakukan secara teliti untuk semua kemungkinan penyebab, dan memberikan suatu proses untuk diikuti. Format diagram sebab dan akibat secara umum ditunjukan dalam gambar dibawah ini
Cabang
Ranting
……………………………………………………
…………………..
Sebab
Akibat
Gambar 7 Format diagram sebab akibat. Tahapan yang dilakukan dalam menyusun diagram sebab akibat (Ishikawa, 1989), meliputi: 1)
Tentukan masalah atau akibat yang akan dicari penyebabnya. Tuliskan dalam kotak yang menggambarkan kepala ikan yaitu yang berada di ujung tulang utama (garis horisontal);
2)
Tentukan grup/kelompok faktor-faktor penyebab utama yang mungkin menjadi penyebab masalah itu dan tuliskan masing-masing pada kotak yang berada pada cabang. Pada umumnya, pengelompokan didasarkan atas unsur material, peralatan (mesin), metode kerja (manusia), dan pengukuran (inspeksi). Namun, pengelompokkan dapat juga dilakukan atas dasar analisis proses;
3)
Pada setiap cabang, tulis faktor-faktor penyebab yang lebih rinci yang dapat menjadi faktor penyebab masalah yang di analisis. Faktor-faktor penyebab
51
ini berupa ranting, yang bila diperlukan bisa dijabarkan lebih lanjut kedalam anak ranting; dan 4)
Lakukan analisis dengan membandingkan data/keadaan dengan persyaratan untuk setiap faktor dalam hubungannya dengan akibat, sehingga dapat diketahui penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya masalah mutu yang diamati.
52
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografi dan Topografi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng terletak di wilayah Gunungkidul. Berjarak sekitar 40 km dari ibukota Gunungkidul, Wonosari. Secara administratif, PPP Sadeng ini terletak di Desa Songbanyu dan Desa Pucung, Kecamatan Girisubo, Gunung Kidul. Secara geografis kabupaten Gunungkidul terletak pada 7º46'-8º09' Lintang Selatan dan 110º21'-110º50' Bujur Timur dan memiliki luas wilayah 1.485,36 km². Wilayah Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa. Kabupaten Gunungkidul memiliki batas wilayah administrasi, bagian utara dibatasi oleh Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, bagian timur dibatasi oleh Kabupaten Wonogiri, bagian selatan dibatasi oleh Samudera Hindia dan sebelah barat dibatasi oleh Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Kabupaten Gunungkidul merupakan perbukitan dan pegunungan kapur, yakni bagian dari Pegunungan Sewu. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar wilayah Kabupaten Gunungkidul adalah daerah tandus sehingga pada musim kemarau sering terjadi kekeringan (Nurani, 2008b).
4.2 Keadaan Perikanan Tangkap di Sadeng Keadaan perikanan tangkap di Sadeng dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan, memiliki gelombang laut yang besar. Luas PPP Sadeng sekitar 5 hektar yang terletak di teluk Sadeng, Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul dengan koordinat 8º 12' 30'' Lintang Selatan dan 110º 52' 32'' Bujur Timur. Jarak tempuh dari ibukota provinsi ± 84 km, dari ibukota kabupaten ± 44 km dan ibukota kecamatan ± 12 km. 4.2.1 Unit penangkapan ikan 1) Kapal Kapal operasi penangkapan ikan di PPP Sadeng terdiri dari dua jenis, yaitu kapal motor dan perahu motor tempel. Kedua jenis kapal dapat dilihat pada Lampiran 5. Kapal motor mengoperasikan beberapa alat tangkap yaitu pancing ancet, pancing layangan, pancing tonda, pancing umbaran, pancing cuping,
53
pancing renta dan gillnet multifilamen, pancing-pancing itu dapat dilihat pada Lampiran 6, sedangkan perahu motor tempel mengoperasikan alat tangkap gillnet monofilament. Kapal yang digunakan di PPP Sadeng adalah perahu motor dan perahu motor tempel. Perahu motor berukuran panang (LOA) lebih dari 15 meter, perahu motor tempel kurang dari 10 meter. Data jumlah kapal pelabuhan sadeng tahun 2005-2009 disajikan pada Tabel 4. Kapal motor yang digunakan oleh nelayan di PPP Sadeng berbahan kayu dengan dimensi panjang antara 16-18 meter, lebar 2,5-3 meter dan tinggi 2-2,5 meter. Rata-rata nelayan kapal motor di Sadeng menggunakan dua buah mesin inboard yang terdiri dari mesin utama bermerek Yanmar dan mesin bantu bermerek jandong berkekuatan 30 PK. Mesin inboard ini menggunakan bahan bakar solar dan menghabiskan kurang lebih 330 liter dalam satu kali operasi. Kapal motor tempel yang digunakan oleh nelayan di Pelabuhan Sadeng berbahan fiberlass dengan dimensi panjang antara 9-10 meter, lebar 1 meter, dan tinggi 1-1,5 meter. Rata-rata nelayan perahu motor tempel di Sadeng menggunakan mesin tempel bermerek Suzuki atau Yamaha berkekuatan 15 PK. Mesin tempel ini menggunakan bahan bakar bensin dan menghabiskan kurang lebih 10 liter dalam satu kali operasi. Perahu motor tempel di Sadeng memiliki dua buah katir yang terbuat dari bambu pada sisi kanan dan kiri perahu. Katir ini berfungsi sebagai penyeimbang kapal saat terkena gelombamg pada saat pengoperasian alat tangkap. Tabel 4 Jumlah kapal dan perahu motor tempel di PPP Sadeng tahun 2005-2009 No Tahun Kapal motor (unit) 1 2005 13 2 2006 49 3 2007 55 4 2008 45 5 2009 40
Perahu motor tempel (unit) 51 68 70 30 35
Jumlah (unit) 64 117 125 75 75
Sumber: Laporan Tahunan PPP Sadeng, 2005-2009
2) Alat Penangkap Ikan Alat tangkap yang digunakan oleh nalayan di Pelabuhan Sadeng yaitu pancing seperti pancing ancet, pancing layangan, pancing tonda, pancing umbaran, pancing cuping, pancing renta dan jaring seperti gillnet multifilament, dan gillnet monofilament. Pancing tonda di PPP Sadeng memiliki dua bagian
54
utama yaitu tali pancing dan mata pancing tanpa pemberat. Jumlah pancing tonda yang dioperasikan dalam satu kapal sebanyak empat sampai lima buah pancing. Pengoperasian pancing ini terletak pada sisi kanan dan kiri kapal. Desain pancing tonda dapat dilihat pada Gambar 8.
Sumber: KKP (2010).
Gambar 8 Bagian pancing tonda dan pengoperasiannya. Bagian-bagian pancing tonda terdiri dari: (1) Peggulung (reel), terbuat dari bahan kayu atau plastik berbentuk bulat. Penggulung berfungsi untuk menggulung tali pancing saat selesai pengoperasian; (2) Tali utama (main line), terbuat dari bahan monofilament dengan nomor 100 dengan panjang 100 meter; (3) Kili-kili (swivel), terbuat dari bahan stainless steal. Kili-kili berfungsi agar tali pancing tidak terbelit pada saat pengoperasian; (4) Tali cabang (branch line), terbuat dari bahan monofilament dengan nomor 70 dengan panjang 6 cm;
55
(5) Umpan, berupa umpan buatan yang terbuat dari serat-serat kain sutra berwarna mencolok sehingga menarik ikan untuk mendekat; dan (6) Mata pancing (hook), terbuat dari almunium dengan nomor 7. Mata pancing yang digunakan merupakan rangkaian 3 buah pancing yang membentuk mata pancing segitiga. 3) Nelayan Nelayan Pelabuhan Sadeng terbagi atas dua jenis, yaitu nelayan buruh dan nelayan pemilik. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja kepada nelayan pemilik pekerjaannya langsung terlibat dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki armada penangkapan dan membiayai operasi penangkapan. Nelayan kapal motor di Sadeng terdiri dari lima sampai enam orang, terdiri dari juru mudi dan ABK. Nelayan kapal motor memilki tugas yang berbeda disetiap operasi penangkapan ikan tergantung dari pengalaman dan keahlian setiap nelayan. Juru mudi kapal bertugas sabagai pengendali kapal, sedangkan ABK bertugas sebagai pelaksana teknis. Juru mudi juga berperan sebagai pemancing saat pengoperasian alat tangkap. Nelayan dengan menggunakan kapal motor beroperasi di sekitar rumpon yang di pasang, sedangkan nelayan motor tempel hanya beroperasi di sekitar pantai Sadeng tersebut. Nelayan kapal motor dengan kekuatan mesin 30 PK memiliki jangkauan penangkapan ikan lebih jauh daripada perahu motor tempel. Waktu tempuh nelayan kapal motor ke rumpon sekitar 4-7 jam. Perkembangan jumlah nelayan di pelabuhan Sadeng pada tahun 2005 sampai 2009 disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan di PPP Sadeng tahun 2005-2009 No 1 2 3 4 5
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah (orang) 281 285 450 400 375
Sumber: laporan Tahunan PPP sadeng, 2005-2009
56
4) Hasil tangkapan Produksi tangkapan PPP Sadeng diperoleh dari hasil tangkapan nelayan kapal motor dan perahu motor tempel. Ikan hasil tangkapan dari kapal motor meliputi ikan jenis pelagis besar seperti: tuna (thunnus albacores), cakalang (katsuwonus pelamis), tongkol (auxis thazard), lemadang (coryphaena hippurus) dan tenggiri (scomberomorus commersoni), sedangkan ikan hasil tangkapan perahu motor tempel antara lain: lobster (panulirus homarus), bawal (pampus argentus) dan kepiting (portunus pelagicus).
4.2.2 Daerah penangkapan ikan Pantai Sadeng memiliki karakteristik gelombang laut selatan yang besar, penduduk setempat memiliki kepercayaan yang tak memperbolehkan melaut dan wilayah pantai yang konon wingit. Tetapi sebagian penduduk percaya bahwa siapa yang dapat bertahan di pantai Sadeng, seperti nelayan-nelayan setempat akan mendapat rezeki (Anynomous, 2010). Daerah Penangkapan ikan terletak disekitar pemasangan rumpon. Pemasangan rumpon berjarak sekitar 30-50 mil dari garis pantai perairan selatan. Rumpon yang terdapat di PPP Sadeng berasal dari dua pihak, yaitu oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan pihak nelayan itu sendiri. Unit rumpon yang terdapat di PPP Sadeng yang belum terpasang dapat dilihat pada Lampiran 5. Aktivitas penangkapan di pelabuhan Sadeng dipengaruhi oleh Musim Angin Barat dan Angin Timur. Musim Angin Timur terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus. Musim Angin Barat terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret pada musim ini frekuensi operasi penangkapan dikurangi, karena pada musim ini biasanya terjadi angin kencang, hujan dan ombak besar. Bulan April sampai dengan Mei dan bulan September sampai dengan November merupakan Musim Peralihan.
57
4.2.3 Fasilitas PPP Sadeng Pembagian fasilitas PPP Sadeng terdiri dari: 1) Fasilitas pokok, adalah sarana yang diperlukan untuk kepentingan aspek keselamatan pelayaran dan tempat tambat labuh serta bongkar muat yang meliputi: (1) Sarana pelindung, yaitu pemecah gelombang (breakwater), penangkap pasir (groin), dan tempat penahan tanah (revertment); (2) Sarana tambat labuh, yaitu darmaga, tiang tambat (border), pelampung tambat (bolard), dan kolam pelabuhan, pier; (3) Sarana transportasi, yaitu jembatan, jalan komplek dan area parker; dan (4) Lahan yang dicadangkan untuk kepentingan instansi pemerintah. 2) Fasilitas fungsional, adalah sarana yang langsung dimanfaatkan untuk kepentingan manajemen pelabuhan perikanan dan dapat dimanfaatkan oleh perorangan atau badan hukum yang meliputi: (1) Sarana pemeliharaan kapal dan alat perikanan; (2) Lahan untuk kawasan industry; (3) Sarana pemasokan bahan bakar untuk kapal dan keperluan pengolahan; (4) Sarana pemasaran, biasanya tempat pelelangan ikan (TPI), penanganan dan penyimpanan hasil tangkapan; dan (5) Sarana navigasi dan komunikasi. 3) Fasilitas penunjang, adalah sarana yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan memberikan kemudahan bagi masyarakat umum yang meliputi: (1) Sarana kesejahteraan nelayan, yaitu tempat penginapan, kios perbekalan dan alat perikanan, dan tempat ibadah; dan (2) Sarana pengolahan pelabuhan yaitu kantor, pos pemeriksaan, perumahan karyawan dan rumah tamu.
58
Tabel 4 Fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang di PPP Sadeng No. 1.
2.
JENIS FASILITAS Fasilitas Pokok 1.Luas lahan 2.Breakwater 3.Dermaga 4.Turap 5.Kolam pelabuhan > 5 GT < 5 GT 6.Beda pasang surut 7.Alur masuk panjang 8.Alur masuk lebar Fasilitas Fungsional 1. Tempat Pelelangan Ikan 2. Kantor PPP 3. Balai Pertemuan Nelayan 4. Bengkel 5. Docking/slipway 6. SPDN
7. Kantor BBM 8. Gudang es 9. Menara air 10. Instalasi listrik (PLN) 11. Instalasi genset 12. MCK 13. Tempat pengolahan limbah 14. Area parkir 15. Pagar 16. Waserda/kios bekal 17. Kios terbuka 18. Saluran air 19. Reklamasi 20. Gudang 21. Jalan lingkungan 22. Pabrik es
23. 24. 25. 26. 27.
Mini es Es curah tanpa diesel Es curah dengan diesel Processing room Pos pengawasan SDI Lampu navigasi Rambu suar Kantor pengawasan pelabuhan
KAPASITAS
KETERANGAN
50.000m² 135 m 485 m 143,5 m
Baik Baik Baik Baik
22.900 m² 5.700 m² 4m 200 m 25 m
Baik Baik Baik Baik Perlu pelebaran
225 m² 144 m² 144 m² 60 m² 1 unit, 30 GT kapasitas 16.000 liter 21 m² 200 m² 1 unit 1 unit 25 KVA 2 unit 30 m² 2000 m² 2050 m² 450 m² 1 unit, 30 m² 1 unit, 30 m² 4.000 m² 288,6 m 48 m² 5.337 m² 1,5 ton/hari 1,5 ton/hari 2 ton/hari 25 ton 52 m² 4 buah 2 buah 72 m²
Baik Baik Baik Baik Belum berfungsi Perlu perbaikan
144 m²
Perlu perbaikan Baik Penyempurnaan Perlu penyempurnaan Baik Perlu penyempurnaan Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Rusak Baik Perlu perbaikan Belum berfungsi Baik Baik Baik Baik Baik
59
Lampiran 4 (Lanjutan) No.
JENIS FASILITAS
28. Kantor Pangkalan Angkatan Laut 29. Kantor Dinas Perhubungan Laut 30. Saluran air permanen 31. Balai perbaikan jarring 32. Show chase ikan (terbuka) 33. Show chase ikan (tertutup) 3.
Fasilitas Penunjang 1. Mess operator 2. Rumah nelayan andon 3. Rumah andon/kampong boro tipe 36 4. Rumah tamu 5. Masjid 6. Gapura masuk pelabuhan 7. Stasiun pasang surut pemantau tsunami
Sumber: Laporan Tahunan PPP Sadeng, 2009.
KAPASITAS
KETERANGAN
144 m²
Baik
888,5 m² 96 m² 8 los 10 los
Baik Baik Baik Baik
2 unit, 81 m² 13 unit, 660 m² 28 unit
Baik Baik Baik
2 unit, 110 m² 80 m² 1 unit 1 unit
Baik Perlu perbaikan Baik Batan
60
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Mutu hasil tangkapan ikan tuna merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, hal ini terkait dengan tujuan pemuasan pelanggan atau pembeli. Sesuai dengan pustaka Assauri (1980), yang menyatakan bahwa mutu dipengaruhi oleh faktor yang menentukan bahwa suatu barang dapat memenuhi tujuannya. Mutu ikan tuna tidak lepas dari peran dari nelayan penangkap ikan tuna, kapal dan alat-alat pendukung yang ada di dalam penanganan ikan tuna tersebut, kapal yang diteliti dalam pengendalian mutu ikan tuna adalah kapal motor yang berukuran berkisar antara 12-22 GT. Tabel 5 Kapal motor yang diteliti dan jumlah produksi hasil tangkapan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama kapal JohanPutra Akselerasi 08 Akselerasi 07 Handayani 04 Akselerasi 03 Handayani 03 Akselerasi 04 Akselerasi 09 Akselerasi 02 Akselerasi 05
Ukuran (GT) 22 17 12 12 12 15 12 14 12 12
Tipe produk fresh tuna fresh tuna fresh tuna fresh tuna fresh tuna fresh tuna fresh tuna fresh tuna fresh tuna fresh tuna
∑ Produksi tuna (kg) 163,5 202,4 124,2 280,5 272,1 128,4 143,4 115,2 98,1 161,1
∑ Produksi non tuna (kg) 97,2 92,1 94,5 93,6 91,2 106,2 98,4 112,5 97,8 104,1
Masalah pengendalian mutu ikan sangat penting untuk dilakukan sebab ikan merupakan salah satu bahan makanan yang sangat cepat mengalami kemunduran mutu. Setiap usaha peningkatan produksi hasil perikanan harus disertai pula dengan upaya mempertahankan mutu ikan sebaik mungkin, agar hasilnya dapat memberikan keuntungan baik bagi produsen (nelayan) maupun konsumen atau masyarakat, industri pengolah maupun pemerintah. Ikan tuna merupakan hewan perenang cepat dan mempunyai kemampuan migrasi tinggi, dimana setelah tuna mati akan mengalami kemuduran mutu yang cepat pula. Menurut Zaitzev et al (1969), jenis-jenis ikan yang bergerak cepat, setelah mati akan mengalami kemunduran mutu yang cepat pula. Hal ini karena
61
umumnya, ikan tuna cepat masa rigornya, sehingga warna, bau dan kekenyalan dagingnya cepat berubah.
5.1 Ukuran Ikan Tuna yang Tertangkap Dari hasil penelitian yang dilakukan pengamat, ikan tuna yang tertangkap di perairan Sadeng, kebanyakan masih berukuran dibawah 5 kg dengan jenis bigeye tuna, dan beberapa ikan tuna dengan ukuran diatas 20 kg dengan jenis yellowfin tuna. Ukuran ikan tuna yang tertangkap ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Ikan tuna yang diteliti berdasarkan berat dan panjang Bigeye tuna No
Berat
Panjang
Ekor
1
< 5 kg
35,5-60 cm
148
2
5-10 kg
76 cm
1
3
10-20 kg
87 cm
1
4
20-30 kg
-
-
5
> 30 kg
-
-
No
Berat
Panjang
Ekor
1
< 5 kg
-
-
2
5-10 kg
-
-
3
10-20 kg
103 cm
1
4
20-30 kg
116-124 cm
2
5
> 30 kg
127-153 cm
4
Yellowfin tuna
Berdasarkan pengujian organoleptik pada bigeye tuna yang diteliti, kisaran nilainya dari mata yaitu 6-9, insang yaitu 5-9, daging dan perut yaitu 7-9, sedangkan konsistensi masih berada pada nilai 9. Pada yellowfin tuna nilai 9 untuk mata, daging dan perut, konsistensi, sedangkan insang tidak diuji karena insang telah dibuang pada saat proses penanganan di atas kapal.
Pengujian
organoleptik pada bigeye tuna dan yellowfin tuna dapat dilihat pada Lampiran 4. Dilihat dari ukuran ikan-ikan tuna pada tabel 6, sebagian besar tidak dapat diekpsor langsung seperti tuna segar sashimi, melainkan dengan pengolahan terlebih duhulu seperti loin, sesuai dengan ketentuan ukuran layak ekspor yang diterapkan oleh Jepang adalah diatas 15 kg, ukuran dibawah dari itu tdak dapat diekspor.
62
Kelayakan mutu ikan tuna untuk ekspor sangat baik, terlihat dari nilai organoleptik, rata-rata kondisi fisik per ikan tuna bernilai yaitu 8,25 sampai 9. Hal ini sesuai dengan spesifikasi SNl 2693.1-2006 mengenai tuna segar sashimi yaitu nilai uji organoleptik minimal 7. Ikan tuna di PPP Sadeng yang masuk kategori untuk tuna segar sashimi adalah yelowfin tuna dilihat dari ukuran diatas 15 kg, dan mutu ikan tuna masih sangat baik. Sesuai dengan spesifikasi SNI 7530.1-2009 mengenai tuna loin segar yaitu nilai uji organoleptik minimal 7. Ikan tuna di PPP Sadeng yang masuk kategori tuna loin segar adalah bigeye tuna, karena dari ukuran masih dibawah 15 kg, tetapi mutu masih sangat baik sehingga masih dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut.
5.2 Penanganan Ikan Tuna di PPP Sadeng 5.2.1 Penanganan di atas kapal Tuna (Thunnus sp) merupakan ikan ekonomis penting yang ada di daerah PPP Sadeng, ada dua jenis tuna yang tertangkap oleh pancing tonda di perairan Sadeng yaitu yellowfin tuna dan bigeye tuna. Berdasarkan hasil wawancara kepada pihak nelayan, bahwa penanganan ikan tuna segar (fresh tuna) di PPP Sadeng mulai hauling sampai penyimpanan di palka pada saat operasi penangkapan diilustrasikan seperti Gambar 9. Ikan Tuna
Hauling Tuna ke atas kapal
Mematikan Ikan Tuna Pemotongan Insang Pencucian Ikan Tuna
Penyimpanan di palka kapal Pemberian es
Gambar 9 Penanganan Ikan tuna segar (fresh tuna) mulai hauling sampai penyimpanan di kapal, daerah PPP Sadeng.
63
Proses penanganan ikan tuna di kapal pancing tonda PPP Sadeng, cukup terbilang sederhana baik dari proses awal hingga akhir yaitu pengangkatan ikan tuna dari laut ke atas kapal dalam keadaan hidup, dengan cepat membunuh ikan tuna dengan pemukul, pemukul terbuat dari bahan dasar kayu, gambar pemukul dapat dilihat di Lampiran 12. Setelah itu penyiangan insang dan isi perut, lalu pembersihan dengan air laut, dan proses yang terakhir adalah pendinginan menggunakan es balok yang sebelumnya telah dihancurkan dengan pemukul, dimana menaruh ikan tuna di dalam palka kapal setelah diberi es. Menurut Anonymous (2010), kunci penanganan ikan tuna meliputi usahakan ikan diangkat ke kapal dalam keadaan hidup dan tidak banyak bergerak, pembunuhan, pendarahan, penyiangan, pembersihan dan pendinginan harus dilakukan secara tepat dan cepat, ikan harus selalu dalam keadaan dingin, yaitu dengan menerapkan sistem rantai dingin. Menurut Poernomo (2002), cara penanganan tuna di kapal, meliputi: 1) Pada saat proses penangkapan, usahakan ikan tetap dalam keadaan hidup dan tidak terlalu banyak berontak ketika ditarik ke arah kapal maupun di angkat ke atas kapal. Bila hal ini dapat dilaksanakan, maka ikan tidak terlalu banyak mengalami stress, tidak mengeluarkan banyak energi dan tidak segera mengalami rigor mortis; 2) Sesudah ikan berada di sisi kapal, siapkan papan peluncur yang licin untuk sarana mengangkat ikan dari air; 4) Sesampai di atas kapal, bila ikan tetap berontak maka ikan harus ditenangkan dengan menutup atau menekan mata dengan telapak tangan dan diselimuti ikan dengan karung (goni) basah. Selanjutnya ikan dapat di pingsankan dengan memukul kepalanya menggunakan palu berkepala karet; 5) Ikan tuna dibunuh dengan menusuk pusat syaraf (otak) dari belakang mata menggunakan paku pembunuh (killing spike) sedalam 5-10 cm kemudian paku diputar-putar untuk merusak otak; 6) Selanjutnya, ikan didarahi dengan menusukkan pisau tepat di belakang sirip dada (Pectoral fin) dengan kemiringan kurang lebih - 45° sedalam 5-10 cm, disusul pemotongan urat nadi ditulang belakang bagian ekor. Pemotongan urat
64
nadi tersebut dilakukan dengan menyisipkan pisau ke daging antara sirip kecil ekor (finlet) nomor dua dan tiga; 7) Selanjutnya sisipkan pisau di belakang penutup insang kedua dan dorong ke arah depan sepanjang kurang lebih 5 cm sampai di penutup insang yang pertama; 8) Untuk memotong sirip perut, tidurkan ikan pada punggungnya dan potong sirip perut sedekat mungkin ke daging (jangan sampai kena dagingnya); 9) Perut kemudian dapat dibelah menggunakan pisau, tarik dari daerah diantara bekas sirip perut ke arah dubur. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar isi perut tidak tersayat. Selanjutnya keluarkan isi perut, potong ujung usus pada dubur, dan ikan dibalik dengan posisi perut di bawah agar sisa-sisa darah dari rongga perut keluar. Bila pekerjaan ini sudah selesai, sirip dubur, sirip punggung pertama dan kedua dapat dipotong. Pemotongan harus dilakukan dengan hati-hati dan rapi, jangan sampai ada sisa sirip (tulang sirip), karena hal ini dapat melukai ikan yang lain sehingga dapat menurunkan mutu ikan lainnya; 10) Bukalah penutup insang dan putuskan isthimus joint (sambungan antara dua insang dan badan yang terletak di bagian bawah ikan). Lakukan tahap ini dengan sempurna sehingga sambungan tersebut benar-benar terpotong dengan sempurna. Selaput insang bagian bawah kemudian dapat dipotong. Pemotongan ini juga harus dikerjakan dengan hati-hati jangan sampai ada daging yang ikut tersayat; 11) Sirip dada selanjutnya dipotong dengan hati-hati sedekat mungkin dengan daging. Penarikan sirip pada waktu dipotong tidak boleh terlalu kuat karena ini dapat meninggalkan lubang pada daging; 12) Tahap selanjutnya adalah memotong penutup insang dengan cara menyayat dari arah bawah (perut) menggunakan pisau gergaji, diikuti dengan pemotongan insang bagian depan sehingga insang segera dapat dikeluarkan; 13) Ikan kemudian sudah dapat dicuci kembali. Gunakan sikat halus dan air dingin untuk membersihkan rongga perut maupun rongga insang atau sikat plastik/ijuk untuk membersihkan permukaan badan ikan;
65
14) Sesuai dengan permintaan negara pengimpor atau untuk ikan berukuran besar (di atas 90 kg), kepala dan ekor selanjutnya dapat dipotong. Pemotongan kepala menggunakan kampak khusus, sedangkan pemotongan ekor dapat menggunakan pisau gerjaji; 15) Setelah bersih, ikan segera dibawa keruang pendingin (0°c selama kurang lebih 3 jam) untuk selanjutnya dibekukan bila kapal memiliki sarana pembekuan; 16) Penyusunan ikan dalam palka pendingin diatur sedemikian rupa sehingga ikan selalu tidak bersentuhan dengan dinding palka sekat, selalu tertutup es curai, dan ekor ikan selalu mengarah ke lubang palka. Hal ini akan memudahkan saat pembongkaran nantinya. Ikan di dalam palka dikelompokkan menurut mutu saat dan atau tangkapan; dan 17) Isi perut, insang maupun sirip harus segera disingkirkan dari tempat penyiapan dan dikumpulkan di tempat tersendiri, tidak boleh dibuang ke laut. Proses penanganan ikan tuna di PPP Sadeng untuk ukuran (bobot) kurang dari 5 kg tidak dilakukan pembuangan insang dan isi perut, hanya dilakukan pembunuhan dan pencucian. Sebaliknya, untuk tuna ukuran lebih dari 15 kg dilakukan pembunuhan, pembuangan insang dan isi perut serta pencucian. Pembuangan insang dan isi perut serta pencucian tersebut dilakukan untuk mengurangi jumlah bakteri pada ikan. Menurut Ilyas (1983), bagian tubuh ikan yang banyak mengandung bakteri terdapat pada insang, isi perut dan lendir kulit tubuh. Ikan tuna yang terdapat di PPP Sadeng terdiri dari bigeye tuna dan yellowfin tuna. Bigeye tuna yang tertangkap umumnya memiliki ukuran dibawah 5 kg, sedangkan untuk yellowfin tuna umumnya memiliki ukuran lebih dari 30 kg. oleh sebab itu, proses penanganan pada bigeye tuna tidak dilakukan pembuangan insang dan isi perut, sebaliknya untuk yellowfin tuna dilakukan pembuangan insang dan isi perut. Setelah dilakukan pembuangan insang dan isi perut serta pencucian, maka tuna dipisahkan menurut ukuran dan jenisnya. Kemudian, tuna tersebut dimasukkan ke dalam palka yang telah diberi es curai yang sebelumnya.
66
5.2.2 Penanganan di pelabuhan Kapal pancing tonda yang telah berlabuh secepatnya dibongkar untuk menghindari kemunduran mutu ikan. Tuna yang telah sampai di pelabuhan Sadeng, dilakukan tahap pembongkaran ikan ke TPI (tempat pelelangan ikan). Hal pertama yang dilakukan yaitu membuka penutup palka kemudian beberapa ABK masuk kedalam palka untuk mengeluarkan es serta membantu saat pengangkatan ikan ke dek. Proses pengangkatan ikan dari palka ke atas kapal, dengan jumlah nelayan yang mengangkat 2 sampai 3 orang. Proses pengangkatan membutuhkan waktu tidak kurang dalam satu menit. Masih dalam proses penanganan di kapal, ikan tuna di tempatkan di ruang yang kosong dan tempat memiliki permukaan yang halus, agar ikan tuna tidak terjadi benturan atau gesekan dengan benda sekitar kapal seperti yang terlihat pada Gambar 9. Menurut Poernomo (2002), metode penanganan ikan tuna dipelabuhan khususnya untuk pembongkaran tuna dari palka pendingin dapat dilakukan menggunakan katrol. Pada saat tuna dikeluarkan dari palka, disarankan terbungkus dengan kain pendingin (kain terpal atau karung tebal yang dalam keadaan basah) yang dikaitkan pada mata katrol. Selain itu, di atas lubang palka disarankan dipasang tenda untuk melindungi tuna dari sinar matahari. Tuna yang diangkat menggunakan katrol, diusahakan tidak terbentur lubang palka. Hal tersebut dilakukan agar tidak merusak kulit dan tubuh ikan tuna. Masih menurut Poernomo (2002), pengangkutan ikan tuna dari atas kapal ke darmaga dapat dilakukan secara manual, sebaiknya menggunakan papan pelucur yang pada bagian atasnya diberikan tenda pelindung dari sinar matahari. permukaan dan sudut papan peluncur harus halus dan dalam keadaan basah yang terus dialiri air dengan suhu 0 C. Apabila papan peluncur tersebut memilki panjang lebih dari 2,5 meter, maka tuna harus diberi pelindung dengan plastik/kain/kain tebal.
67
Gambar 10 Pengangkatan yellowfin tuna dari palkah ke atas kapal.
Dengan segera yellowfin tuna ditempatkan di ruang kosong dan memiliki permukaan yang halus, lalu tuna diberi terpal seperti yang terlihat pada Gambar 10. Fungsi terpal ini untuk menutupi ikan agar tidak terkena cahaya matahari terlalu lama dan untuk menjaga suhu tubuh ikan agar tidak naik. Menurut DKP (2006), Suhu udara yang lebih panas meningkatkan tingkat penurunan mutu, khususnya apabila hasil tangkapan ditumpuk diatas geladak dengan sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap dingin. Sengatan matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan mempercepat perubahan pasca kematian.
68
Setelah yellowfin tuna telah ditempatkan di ruang kosong, dan telah dibungkus dengan terpal, maka kuli angkut siap untuk mengangkat ke TPI, cara pengangkatan dilakukan dengan sangat sederhana yaitu dengan tangan nelayan per ekornya.
Gambar 11 Pembungkusan ikan dengan terpal.
Gambar 12 Penyeleksian baby tuna dari palka ke keranjang.
Berbeda hal dengan bigeye tuna, hanya diseleksi untuk ditempatkan di keranjang ikan. Hal ini dilakukan karena ukuran bigeye tuna masih terbilang kecil, sehingga masih bisa untuk ditempatkan ke keranjang ikan. Tidak ada
69
perlakuan khusus dalam penanganannya, selain hanya menyeleksi
ikan-ikan
berdasarkan jenis dan ukuran. Setelah semua bigeye tuna ditempatkan di keranjang, maka kuli pengangkut dan nelayan kapal siap untuk mengangkat bigyeye tuna ke TPI.
Gambar 13 baby tuna yang di timbang. Ikan tuna yang diangkat dari kapal ke TPI dilakukan proses pelelangan, sebelum itu dilakukan penimbangan seperti yang terlihat pada Gambar 12, lalu pelabelan pada Gambar 13. Dalam proses pelelangan, pihak yang menang dalam penentuan harga tertinggi akan mendapatkan ikan tuna tersebut.
Gambar 14 Pelabelan ikan tuna setelah di timbang.
70
Setelah proses pelelangan dilakukan, ikan tuna di bawa ke ruang pendingin untuk menjaga kestabilan ikan tuna tersebut, ini dilakukan apabila para bakul tidak memiliki tempat untuk menaruh ikan tuna untuk nantinya di jual. Sebagian bakul ada yang langsung membawa cool box beserta mobil pengangkut untuk nantinya langsung dijual. Hal lain yang kurang diperhatikan dalam penanganan di TPI maupun di ruang pendingin adalah masalah kebersihan tempat, dapat di lihat pada gambar 17. Pada saat peletakan ikan tuna di TPI maupun di ruang pendingin, tempat sekitar masih sangat kotor. Hal ini memungkinkan ikan hasil tangkapan terkontaminasi dengan kotoran dan bakteri yang ada di tempat itu yang menyebabkan ikan tuna cepat membusuk.
Gambar 15 Ruang pendingin ikan di TPI. Pendistribusian di PPP sadeng terdapat 3 pola pendistribusian ikan tuna dari nelayan ke konsumen. Pola pertama yaitu dari nelayan ke pedagang besar dilanjutkan ke perusahaan industri kemudian ekspor. Pola ini terjadi jika nelayan tidak melakukan pelelangan di TPI dan langsung menjual ke pedagang besar kemudian dipasarkan diperusahaan di Surabaya untuk kebutuhan ekspor. Pola kedua adalah dari nelayan yang mengikuti proses pelelangan TPI yang diikuti oleh pedagang besar dan pedagang kecil kemudian ke konsumen. Ikan hasil pelelangan
71
yang dibawa pedagang kecil masih di pasarkan di wilayah kabupaten gunungkidul dan sekitar Yogyakarta, sedangkan ikan hasil pelelangan yang dibawa oleh pedagang besar dipasarkan ke luar wilyah Yogyakrata, seperti ke Semarang, Solo, Jepara, Pekalongan dan Cilacap. Pola ketiga adalah dari nelayan ke TPI kemudian ke pedagang besar dilanjutkan ke industri pengolahan di Surabaya untuk keperluan ekspor. Perusahaan pengolahan di Surabaya adalah PT. Aneka Tuna Indonesia (ATI), ikan tuna yang dipasarkan ke Surabaya dilakukan apabila ikan tuna tersebut memliki mutu baik dan berjumlah minimal dua ton. Pola ini biasanya dilakukan pada hasil tangkapan dari kapal motor (Rahmi, 2010).
Nelayan
TPI PPP Sadeng
Pedagang kecil
Pedagang besar
Konsumen
Perusahaan pengolahan
Keterangan :
Ekspor : Pola 1 : Pola 2 : Pola 3 Gambar 16 Proses distibusi ikan tuna di Sadeng.
5.3 Analisis Peta Kendali p Mutu Ikan Tuna Penanganan mutu tuna yang tepat, akan menghasilkan mutu tuna yang baik pula. Mutu tuna yang baik sangat erat kaitannya dengan layak ekspor.
72
Berdasarkan spesifikasi SNI 01-2693.1-2006, tuna yang memenuhi mutu layak ekspor adalah tuna dengan uji organoleptik minimal sebesar 7. Sebaliknya, tuna dengan nilai uji organoletik dibawah 7 merupakan tuna yang tidak layak ekspor dengan mutu yang rendah. Menurut Nurani dan Sugeng (2007), produksi tuna Indonesia sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor. Tujuan utama ekspor produk tuna adalah ke pasar Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pasar Jepang khusus untuk produk tuna segar dan tuna beku sashimi. Pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk produk-produk olahan tuna. Peta kendali dapat digunakan untuk melihat suatu produk masih dalam kendali atau sudah di luar kendali. Peta kendali yang digunakan adalah peta kendali p, karena memantau proporsi ketidaksesuaian yang dihasilkan dari suatu proses. Untuk menganalisisnya, data untuk peta kendali p didapat dari data primer berupa penentuan nilai organoleptik tiap tuna yang diteliti dengan mengacu pada standar organoleptik pada Lampiran 4. Nilai organoleptik dengan nilai dibawah 7, termasuk tuna dengan mutu yang rendah (cacat). Menurut spesifikasi SNI 7530.1-2009 mengenai tuna loin segar yaitu nilai uji organoleptik minimal 7. Jumlah ikan tuna yang diteliti berkisar 157 ekor, dengan jenis tuna yang didapat adalah bigeye tuna (tuna mata besar) dengan jumlah 150 ekor dan yellowfin tuna (tuna sirip kuning) dengan jumlah 7 ekor. Tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan peta kendali ikan tuna di PPP Sadeng, sebanyak 10 kapal/proses (m=10), di setiap proses ada 15 ekor ikan untuk dijadikan sampel, yang di ambil dari 3 keranjang dan tiap keranjang di ambil sampel 5 ekor ikan tuna (n=15).
73
Tabel 7 Tabel Perhitungan Peta Kendali p untuk Ikan Tuna No. Proses 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
Jumlah Cacat (kg) 6,75 3,70 4,10 3,40 2,70 3,40 2,10 2,40 3,00 2,65 34,2
Proporsi Cacat 0,45 0,24 0,27 0,23 0,18 0,23 0,14 0,16 0,20 0,18 2,28
P 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23
UCL 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55
LCL 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
CL 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23
Keterangan : UCL= BA = batas kendali atas (upper control limit) LCL = BB = batas kendali bawah (lower control limit) CL = GT = garis tengah (central line)
0,6
Proporsi produk cacat
0,5
0,4
Proporsi produk cacat BA
0,3
BB
0,2 GT
0,1 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nomor proses Gambar 17 Bagan kendali p pada ikan tuna. Batas atas (BA) pada kendali p yang di dapat bernilai 0,55, daerah batas atas dimulai dari nilai garis tengah (GT) sampai nilai BA tersebut, nilai 0,55 merupakan batas atas yang tidak boleh dilewati oleh proporsi cacat, apabila di dapatkan nilai proporsi yang melebihi batas yang telah didapatkan, maka produk
74
itu diluar kendali. Bila ditelaah lebih jauh, maka nilai proporsi yang masuk ke dalam BA adalah proses 1 dengan nilai 0,45, proses 2 dengan nilai 0,24, proses 3 dengan nilai 0,27, dari nilai 0,55, sehingga tuna segar masih dalam kendali. Berdasarkan hasil perhitungan batas bawah (BB) pada peta kendali p bernilai -0,09, sedangkan nilai BB yang ditulis pada tabel 4 bernilai 0. Perubahan nilai ini dilakukan karena nilai minimum BB pada kendali p harus 0 ke atas yang jumlah cacat terendah adalah tidak ada cacat (nilai nol). Daerah BB (batas bawah) dimulai dari nilai garis tengah sampai nilai BB tersebut, nilai 0 merupakan batas bawah yang tidak boleh dilewati oleh proporsi cacat, nilai proporsi yang termasuk ke dalam BB adalah proses 5 dengan nilai 0,18, proses 7 dengan nilai 0,14, proses 8 dengan nilai 0,16, proses 9 dengan nilai 0,20, proses 10 dengan nilai 0,18. Berdasarkan Gambar 17, dapat dilihat bahwa penanganan mutu ikan tuna masih berada dalam batas pengendalian, karena tiap proses dalam proporsi produk cacat tidak melewati batas atas dan batas bawah. Walaupun masih ada beberapa ekor ikan tuna yang cacat, namun proporsi ikan tuna yang tidak cacat atau bermutu baik lebih banyak dibandingkan dengan ikan tuna yang cacat. Penanganan mutu ikan tuna masih berada dalam batas pengendalian memiliki arti penanganan nelayan pancing tonda terhadap ikan tuna terbilang baik, dengan cara mencegah atau menghambat kerusakan ikan oleh faktor komposisi fisik dan kimiawi ikan. Menurut Kushardiyanto (2010), Prinsip mencegah atau menghambat kerusakan ikan oleh faktor komposisi fisik dan kimiawi ikan adalah: 1) Memberi perlakuan suhu rendah terhadap ikan segera setelah ditangkap atau dipanen, karena proses enzimatis dan aktifitas mikroba pengurai daging akan sangat dihambat pada suhu mendekati 0°C (3 s/d 5°C). Suhu rendah ikan ini harus dipertahankan selama pencucian, penyiangan, pengemasan, penyimpanan dan distribusinya. 2) Mempercepat dan mempermudah kematian ikan segera setelah diangkat dari air dengan cara mendinginkannya dalam air es dingin atau segera memukul kepalanya tepat dibagian otak khsus untuk ikan berukuran besar seperti tuna.
75
3) Khusus untuk ikan berukuran besar diikuti dengan pembuangan darah ikan (bleeding), karena darah merupakan media penyebaran mikroba pembusuk dari insang ke daging ikan melalui pembuluh darah ikan. 4) Menyiangi dengan membuang insang dan isi perut ikan sebagai pusat konsentrasi mikroba alami. 5) Mencuci ikan segera setelah ditangkap, mati dan disiangi, dengan tujuan membersihkan lendir dipermukaan tubuhnya yang merupakan salah satu pusat konsentrasi mikroba pembusuk yang secara alami ada di tubuh ikan, dan sisasisa darah selama proses penyiangan.
5.4 Analisis Diagram Pareto Mutu Ikan Tuna Penurunan mutu tuna sering disebut dengan cacat/mutu tidak baik, yang terjadi akibat dari penanganan yang kurang baik. Penentuan mutu tidak baik dapat diketahui dengan pengujian organoleptik, dimana mengamati kondisi seperti mata, insang, keadaan tubuh dan lain-lain. Tipe cacat yang dapat terjadi diantaranya mata merah, daging perut lembek dan sebagianya. Untuk mengetahui tipe cacat yang yang dominan dan yang tidak dalam hubugan penurunan mutu ikan, maka dilakukan suatu analisis diagram pareto yang sebelumnya dilakukan pengecekan dengan bantuan checksheet, seperti paada Tabel 8. Tabel 8 Checksheet ketidaksesuain tipe cacat pada ikan tuna. Ikan : Tuna Tempat : PPP Sadeng Total Pengecekan : 150 ekor Tipe Cacat Mata merah Kornea agak keruh Insang berlendir Warna insang merah cokelat Daging perut agak lembek
Check IIII I IIII IIII IIII IIII III Total
Data : 15-29 Juli 2010 Proses : Pengamatan di TPI Nama : Bayu wiratama Subtotal 6 5 9 4 3 27
Tabel 8 menunjukkan bahwa dari jumlah total ikan tuna yang di check berjumlah 150 ekor yang dimana proses pengamatan dilakukan di TPI PPP Sadeng, ikan tuna yang mengalami ketidaksesuaian berjumlah 27 ekor, di mana
76
hasil penjumlahan dari tipe cacat mata merah 6 ekor, kornea agak keruh 5 ekor, insang berlendir 9 ekor, warna insang merah cokelat 4 ekor, daging perut agak lembek 3 ekor. Checksheet memudahkan diagram pareto untuk mengetahui faktor cacat apa yang terjadi, sedangkan diagram pareto untuk mengetahui faktor cacat yang harus ditangani terlebih dahulu, sehingga penurunan mutu ikan dapat ditekan atau dikurangi, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 9. Tabel 9 Tabel perhitungan diagram pareto untuk tipe cacat ikan tuna.
Jumlah cacat
Tipe cacat Insang berlendir Mata merah kornea agak keruh Warna insang merah cokelat Daging perut agak lembek Total
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9 15 20
Persentase cacat (%) 33,33 22,22 18,52
Persentase kumulatif (%) 33,33 55,55 74,07
4
24
14,82
88,89
3 27
27 95
11,11 100
100
Jumlah cacat (ekor) 9 6 5
Jumlah kumulatif (ekor)
120
9
100 6
80
5
60
4 3
40 20 0
Insang berlendir
mata merah kornea agak keruh
Warna insang merah cokelat
Daging perut agak lembek
Tipe cacat
Gambar 18 Diagram pareto tipe cacat pada ikan tuna. Aksis vertikal sebelah kiri menunjukkan jumlah cacat, sedangkan aksis vertikal sebelah kanan menunjukkan persentase terhadap jumlah kumulatif cacat. Aksis horisontal menunjukkan, dari kiri ke kanan, jenis/tipe cacat dari yang paling sering timbul ke yang paling sedikit timbul. Total akumulasi jumlah cacat
77
ditunjukkan oleh garis yang melintang dari kiri bawah ke kanan atas. Penggunaan diagram batang membantu mempermudah untuk melihat faktor apa yang paling dominan, dan urutan berikutnya, dari pada data dalam bentuk angka. Diagram Pareto pada Gambar 18, mengindikasikan bahwa tipe cacat dominan tidak ada, melainkan menyebar secara merata dalam contoh di atas kemungkinan terjadi karena rantai dingin yang dilakukan dalam penanganan ikan tuna masih sangat kurang. Menurut Ishikawa (1989), Faktor yang dominan ialah faktor-faktor yang secara bersama-sama menguasai sekitar 70% smapai 80% dari nilai akumulasi tetapi biasanya hanya terdiri dari sedikit faktor (critical). Dari hasil tabel didapatkan nilai tertinggi yaitu insang berlendir dengan nilai jumlah cacat 9 ekor dengan persentase kumulatif
33,33%, lalu mata merah dengan
jumlah cacat 6 ekor dengan persentase kumulatif 55,55%, lalu kornea agak keruh dengan jumlah cacat 5 ekor dengan persentase kumulatif 74,07%, lalu Warna insang merah cokelat dengan jumlah cacat 4 ekor dengan persentase kumulatif 88,89%, lalu daging perut agak lembek dengan jumlah cacat 3 ekor dengan persentase kumulatif 100%. Cacat pada ikan tuna seperti daging perut agak lembek, dapat disebabkan oleh oleh tekanan dan benturan fisik yang dialami ikan selama penangkapan dan penanganannya di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan. Tekanan dan benturan ini harus segera diminimalisir agar nantinya ikan tuna yang cacat dapat bisa dikurangi lagi. Menurut Kushardiyanto (2010), tekanan dan benturan fisik yang dialami ikan selama penangkapan dan penanganannya di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan dapat menyebabkan kerusakan fisik pada tubuh ikan seperti dagingnya memar, tubuhnya luka, perutnya pecah dsb. Tekanan dan benturan fisik atas ikan harus dihindari pada tahapan-tahapan kegiatan penanganan ikan di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Prinsip cara menghindarinya antara lain: 1) Memahami tahapan kegiatan penanganan ikan di kapal penangkap ikan dan di pangkalan pendaratan ikan (PPI) atau pelabuhan perikanan. 2) Menyiapkan peralatan dan perlengkapan handling yang cocok dengan jenis ukuran ikan dan kondisi tempat penanganan dengan jumlah cukup antara lain
78
meliputi wadah dan peralatan bongkar muat ikan yang memudahkan pelaksanaan pekerjaan pemindahan, pengangkutan dan penyimpanan ikan. 3) Setiap saat melakukan pemindahan ikan agar selalu berusaha mencegah atau melindungi ikan dari perlakuan kasar atau tekanan fisik yang dapat melukai ikan atau membuat dagingnya memar. Oleh karena itu harus diusahakan seminimal mungkin melakukan pemindahan ikan. 5.5 Diagram Sebab Akibat Mutu Ikan Tuna Analisis menggunakan diagram sebab akibat merupakan analisis untuk mengindentifikasi penyebab masalah mutu dalam suatu proses dan menemukan penyebab tuna dari masalah tersebut. Akar permasalahan penurunan mutu dapat berasal dari aspek nelayan, penanganan, hasil tangkapan, dan teknologi. Penanganan di atas Kapal
Nelayan Pancing Tonda
Keterampilan Air Laut Pengetahuan Ikan tidak dicuci dengan bersih
Masih rendah Pengetahuan penanganan
Pendidikan
Tidak menggunakan es curah
Penempatan
Penyusunan ikan di palkah kurang di perhatikan
Es Kemunduran Mutu Ikan Tuna
suhu
Ikan Tuna
Banyak ikan yang berukuran kecil
Masih sangat sederhana
Alat pemukul ikan
Ukuran
Hasil Tangkapan
Sanitasi dan higienis alat
Kurang diperhatikan
Teknologi
Gambar 19 Diagram sebab akibat kemunduran mutu ikan tuna pada saat penangkapan hingga sampai di daratkan.
79
5.5.1
Aspek orang atau nelayan Nelayan yang bekerja di kapal mengambil peranan penting dalam
penjagaan mutu ikan tuna yang tertangkap, sebab nelayan yang bekerja di kapal merupakan orang pertama yang berhubungan langsung dengan mutu ikan tuna yang tertangkap. Akar penyebab banyaknya proporsi ikan tuna cacat pada tingkat nelayan adalah pendidikan dan pengetahuan. Nelayan di Sadeng memiliki pendidikan mayoritas sampai jenjang SD, pendidikan yang hanya berbekal dari SD di rasa sangat lah kurang dalam memahami pentingnya dalam penjagaan mutu ikan. Pengetahuan yang dimilki nelayan dalam penanganan tuna juga terbatas pada pengalaman yang dirasakan selama melaut, dengan sering nelayan melaut menambah pengetahuannya bagaimana proses penanganan mutu ikan yang baik.
5.5.2 Aspek penanganan Akar masalah dari aspek penanganan adalah penyusunan ikan dipalka, tidak dicuci dengan air bersih, tidak menggunakan es curah. Penyusunan ikan di dalam palkah kurang diperhatikan, sehingga terjadi benturan dan tekanan fisik antar ikan. Menurut Kushardiyanto (2010), tekanan dan benturan fisik yang dialami ikan selama penangkapan dan penanganannya di atas kapal dan di pangkalan pendaratan ikan dapat menyebabkan kerusakan fisik pada tubuh ikan seperti dagingnya memar, tubuhnya luka, perutnya pecah dsb. Ikan diletakkan begitu saja di dalam palka asalkan dikelilingi es, kadangkadang antara satu ikan dengan yang lainnya bersentuhan langsung. Jika ada ikan yang mengandung bakteri dan menempel pada ikan lain maka dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada ikan yang bersentuhan. Menurut Kushardiyanto (2010), kontaminasi adalah penularan kotoran, mikroba pembusuk atau pathogen (penyebab penyakit) dan bahan kimia berbahaya ke tubuh ikan yang berasal dari lingkungan disekelilingnya saat masih hidup, saat ditangani di atas kapal dan di darat, sehingga ikan yang tertular menjadi tercemar. Ikan yang telah mati dan sengaja dibunuh tidak dicuci dengan baik dengan air laut maupun air tawar, melainkan langsung diberi es. Seharusnya ikan-ikan tuna yang telah dimatikan atau tidak dicuci dengan air sampai bersih, karena sisa-
80
sisa darah dapat menyebabkan berkembangnya bakteri yang dapat merusak mutu ikan. Nelayan masih menggunakan es balok yang dihancurkan sendiri dengan benda keras. Hal ini yang menyebabkan memakan waktu yang lama untuk ikan dalam penanganan rantai dingin, serta penggunaan es balok ini yang baru saja di hancurkan menyebabkan suhu tubuh ikan tidak merata.
5.5.3
Aspek hasil tangkapan Akar masalah dari aspek hasil tangkapan adalah ikan tuna itu sendiri.
Faktor penyebabnya adalah suhu ikan tersebut. Suhu ikan yang harus stabil sangat sulit untuk dipenuhi. Walupun suhu telah dijaga dengan melakukan pengendalian mutu berupa lapisan es yang telah dihancurkan, tapi kemunduran mutu ikan tetap tidak dapat dihindari.
5.5.4
Aspek teknologi Akar masalah dari aspek teknologi adalah alat pemukul ikan yang masih
sangat sederhana, sanitasi dan higienis alat yang kurang diperhatikan. Alat pemukul ikan ini bertujuan untuk membunuh ikan tuna supaya ikan yang telah tertangkap tidak meronta, sehingga ikan tidak mengalami kerusakan fisik. Alat pemukul ikan terbilang sangat sederhana karena terbuat dari kayu. Selain itu, alat pemukul ikan ini juga digunakan untuk menghancurkan es balok, sehingga ada tidak kemungkinan untuk terjadinya kontaminasi yang menyebabkan terjadinya kemunduran mutu ikan.
81
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian, berdasarkan uji organoleptik dan perhitungan analisis pengendalian mutu di PPP Sadeng dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Penanganan mutu ikan di atas kapal pancing tonda telah dilakukan dengan cara penanganan ikan yang higienis, cepat, cermat, dan tepat didukung oleh fasilitas yang memadai. 2) Proses penanganan ikan diatas kapal pancing tonda dalam pengendalian, hal ini terlihat dari hasil perhitungan bagan kendali p dimana proporsi jumlah cacat tidak ada yang melebihi batas atas yang bernilai 0,55 dan batas bawah yang bernilai 0, dari batas tengah bernilai 0,25. Berdasarkan hasil yang di dapat dari diagram pareto, bahwa cacat yang paling dominan yaitu insang berlendir, mata merah, kornea agak keruh dengan persentase (74,07%), dari jumlah 157 ikan tuna yang diteliti hanya 27 ikan tuna yang mengalami cacat atau dapat dikatakan jumlah cacat lebih sedikit dibanding dengan jumlah ikan yang masih baik. 3) Hasil analisis diagaram sebab akibat menunjukkan penyebab kemunduran mutu ikan tuna berasal dari aspek nelayan yaitu pengetahuan nelayan dalam menjaga
penanganan mutu ikan masih kurang, aspek penanganan yaitu
penyusunan ikan dipalka diletakkan begitu saja, tidak dicuci dengan air bersih, tidak menggunakan es curah, aspek hasil tangkapan yaitu penurunan mutu ikan tuna dengan sendirinya, aspek teknologi yaitu tidak ditunjang teknologi yang memadai seperti pemukul ikan yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk memingsankan ikan agar ikan tidak meronta dan untuk mengahncurkan es batu di atas kapal.
82
6.2 Saran Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian yaitu: 1) Bakul pelu membedakan perlakuan ikan yang baik dengan yang rusak pada saat di TPI. 2) Kebersihan di TPI harus ditingkatkan, untuk menghindari kontaminasi bakteri-bakteri, darah ikan lain serta kotoran lainnya agar mutu ikan tuna tetap bagus.
83
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2007. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna. http:// www. dkp. co.id [9 Agustus 2009]. Anonymous. 2008. Penangkapan ikan Ghost Fishing. http: // www. Kamusilmiah. co.id [6 Februari 2010]. Anonymous. 2010. Mengunjungi Pantai Sadeng. http: //www.kompas.co.id [21 Oktober 2010]. Arif, M.S dan H. Tanjung. 2003. Manajemen Operasi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Assauri, S. 1980. Manajemen Produksi. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Ayodhyoa, A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. 97 hal Ayuni, R. 2002. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Tongkol yang Ramah Lingkungan di Lempasing, Lampung. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bahar, S. 1991. Proses Penanganan dan Pengamatan Mutu Tuna Segar di Pelabuhan Muara Baru Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Laut: 60 [terhubung berkala]. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI 01-4485. Tuna Steak Beku. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI 01-2693. Tuna Segar untuk Sashimi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 7530. Tuna Loin Segar. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Collette, B.B and C.E.Nauen. 1983. FAO Species Catalogue vol. 2 Scombrids of The World. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. 137 hal. Deming, W.E. 1986. Out of The Crisis. Massachusetts: Massachusetts Institute of technology. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Pengolahan Ikan dan Hasil Laut. Jakarta.DKP. Endratno. 2002. Uji Coba Umpan Benang Perak pada Pancing Tonda (Troll Line) di Perairan Palabuhanratu Sukabumi Jawa barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Feigenbaum, A.V. 1992. Kendali Kualitas Terpadu, Jilid 1 Edisi 3 Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
84
Feigenbaum, A.V. 1956. Total Quality Control. London: MIT Sloane School of Management
Gafa, B, I Gede Sedana Merta, H.R Barus dan Edi M. Amin. 1993. Penurunan Hasil Tangkapan Ikan Tuna dan Cakalang di Perairan Sulawesi Utara dan faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jurnal Penelitian Perikanan Laut: 72 [terhubung terkala]. Gaspersz, V. 2001. Total Quality Management. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gunarso, W. 1985. Tingkah laku dan Hubungannya dengan Alat, Metode, dan Taktik Penangkapan. Diktat Kuliah (tidak dipublikasikan). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 149 hal Herjanto, E. 2006. Manajemen Operasi Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigasi Hasil Perikanan Jilid 1. Yogyakarta : Liberty. Ishikawa, K. 1989. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu. Terjemahan Nawolo Widodo. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana perkasa. Kadarwiyati, W. 2006. Prosedur dan Dokumen Ekspor. Jakarta: Makalah Pelatihan Prosedur Ekspor 4-6 April 2006. Kushardiyanto, R. 2010. Teknik Penanganan Ikan Basah-Segar di Kapal, PPI dan Tempat Pengolahan. http //www.scribd.com/doc/34375030 penangananikan [8 desember 2010]. Nareswari, M. 2010. Sistem Penyediaan dan Pengendalian Kualitas Produk Ikan Segar di Giant, Botani Square [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nasution, M.N. 2004. Manajmen Mutu Terpadu (Total Quality Control). Bogor: Ghalia Indonesia. Nitisbaskara, R.R. 1979. Kuliah Teknologi Hasil Perikanan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Tidak diterbitkan. Nugroho, P. 2002. Pengaruh Perbedaan Ukuran Mata Pancing terhadap Hasil Tangkapan Pancing Tonda di Perairan Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nugroho, A, Suwardiyono, dan Untung Sudiarso. 2003. Tongka-Tongka Alat Tangkap Ikan Tuna dari Marisa-Gorontalo. Jurnal ARIOMMA 14 [terhubung berkala]. Nurani, T.W dan Wisudo S.H. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Long Line. Bogor: Intramedia. Poernomo, 2002. Cara Penanganan Tuna http://Poernomo.blogspot.com [21 Agustus 2010].
di
Atas
kapal.
PPP Sadeng. 2005. Laporan Tahunan PPP Sadeng Tahun 2005. Yogyakarta: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng.
85
PPP Sadeng. 2006. Laporan Tahunan PPP Sadeng Tahun 2006. Yogyakarta: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng. PPP Sadeng. 2007. Laporan Tahunan PPP Sadeng Tahun 2007. Yogyakarta: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng. PPP Sadeng. 2008. Laporan Tahunan PPP Sadeng Tahun 2008. Yogyakarta: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng. PPP Sadeng. 2009. Laporan Tahunan PPP Sadeng Tahun 2009. Yogyakarta: Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng. Rahmi T.A. 2010. Analisis Usaha Perikanan Tangkap dan Kemungkinan Pengembangan di Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ross, A. 2008. Peluang Ekspor Tuna Segar dari PPI Puger (Tinjauan Aspek Kualitas dan Aksesibilitas Pasar) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bandung: Binacipta. Sainsbury, J.C. 1971. Commercial Fishing Methods: Introduction to Vessel and Gear Fishing News Books Ltd. 110 Fleet Street London. E. C. 4. 119p Seagrant. 2007. Workshop Tuna Handling by EU – Indonesia Small Projects Facility. Bali. November 2007. Subani, W dan H.R. Barus. 1988/1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Suharno. 2008. Model Permintaan Yellowfin Segar di Indonesia di Pasar Jepang. Buletin Ekonomi Perikanan VIII:2 [terhubung berkala]. Taufiq, M. 1981. Pengkajian sistem pengendalian mutu dan pemasaran ikan basah di daerah khusus ibukota jakarta [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wahyudi, G.A. 2009. Studi Kelayakan Dasar Penerapan Sistem Manajemen Mutu HACCP di Kapal Tuna Longline [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian bogor. Wudianto. 1993. Relationship Between Some Oceanographic Factors and Catch of Tunas and The Other Pelagic Fish Caught Around Payaos in Southeast Okinawa Island. Jurnal Penelitian Perikanan Laut: 82 [terhubung terkala].
86
LAMPIRAN
65 88
Lampiran 2 Lay out Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng
Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2007
66 89
Lampiran 3 Peta informasi lokasi penempatan rumpon laut dalam
Sumber: UPTD PPP Sadeng, 2009
90 67
Lampiran 4 Spesifikasi dan nilai organoleptik ikan tuna untuk tujuan ekspor No. I
Spesifikasi Mata:
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih
9
Cerah, bola mata rata, kornea jernih Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea
8 7
agak keruh Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea
6
agak keruh Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea
5
agak keruh Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih susu, kornea keruh
4
Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh
3
Bola mata cekung, pupil dan kornea mata sangat keruh
2
Bola mata tenggelam, ditutupi lendir kuning yang tebal
1
Warna merah cemerlang, tanpa lendir dan bakteri
9
Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir
8
Warna merah agak kusam, tanpa lendir
7
Warna agak kusam, sedikit lendir Mulai ada diskolorasi merah muda, merah coklat, sedikit lendir
6
Mulai ada diskolorasi, sedikit lendir
4
Perubahan warna merah coklat, lendir tebal
3
Warna merah coklat atau kelabu, lendir tebal
2
Warna putih kelabu, lendir tebal sekali
1
2
Nilai
Insang:
5
968 1
Lampiran 4 (lanjutan) No. 3
4
Spesifikasi Daging dan Perut: Sayatan daging sangat cemerlang, bewarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya utuh, bau perut segar Sayatan daging sangat cemerlang, warna asli, tidak ada Pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya utuh, bau netral. Sayatan daging masih cemerlang, warna asli, sedikit ada pemerahan pada tulang belakang, perut agak lembek, ginjal merah mulai pudar, bau netral Sayatan daging masih cemerlang, diduga perut agak lembek, agak kemerahan pada tulang belakang, perut agak lembek, sedikit bau susu Sayatan daging mulai pudar, diduga perut lembek, banyak pemerahan pada tulang belakang, bau seperti susu Sayatan daging tidak cemerlang, diduga perut lunak, pemerahan sepanjang tulang belakang, rusuk mulai lembek, bau perut sedikit asam Sayatan daging tidak cemerlang, diduga perut lunak, pemerahan sepanjang tulang belakang, rusak mulai lembek, bau perut sedikit asam. Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali pada sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak sekali, bau asam amoniak. Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas pada tulang belakang, dinding perut membubar, bau busuk. Konsistensi Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang, kadang-kadang lunak Agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. Agak lunak, belum ada bekas jari bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang. Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan tetapi cepat hilang, mudah menyobek daging dari tulang belakang Lunak, bekas jari terlihat lama bila ditekan dan mudah menyobek daging dari tulang belakang Lunak, bekas jari terlihat lama bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang Sangat lunak, bekas jari tidak mau hilang bila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang
Nilai 9
8
7
6
5 4
3
2
1
9 8 7 6 5 4 3 2 1
92 69
Lampiran 5 Pengujian organoleptik pada bigeye dan yellowfin tuna di PPP Sadeng No
Nama kapal
Sample Ikan
Kondisi fisik
1
Johan Putra
Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (1,9 kg) Ekor 2 (1,85 kg) Ekor 3 (1,7 kg) Ekor 4 (1,85 kg) Ekor 5 (2,3 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (2 kg) Ekor 2(1,8 kg) Ekor 3 (1,6 kg) Ekor 4 (1,1 kg) Ekor 5 (1,45 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (1,7 kg) Ekor 2 (1,5 kg) Ekor 3 (2,9 kg) Ekor 4 (2,1 kg) Ekor 5 (1,5 kg)
Mata
Insang
daging & perut
Konsistensi
Ratarata
9 9 9 9 9
9 6 9 9 5
9 9 9 9 9
9 9 8 9 9
9 8,25 8,75 9 8
9 9 9 6 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 8,25 9
9 9 9 9 9
9 6 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 8,25 9 9 9
Konsistensi
Ratarata
No
Nama kapal
Sample ikan
Kondisi
2
Akselerasi 08
Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (2 kg) Ekor 2 (1,75 kg) Ekor 3 (1,6 kg) Ekor 4 (1,5 kg) Ekor 5 (1,9 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (1,2 kg) Ekor 2 (1,9 kg) Ekor 3 (0,9 kg) Ekor 4 (0,8 kg) Ekor 5 (0,85 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (2,9 kg) Ekor 2 (1,3 kg) Ekor 3 (1,0 kg) Ekor 4 (1,9 kg) Ekor 5 (0,9 kg)
Mata
fisik Insang
daging & perut
9 9 9 6 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 8,25 9
9 9 9 9 9
9 9 6 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 8,25 9 9
9 6 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 8,25 9 9 9
93 70
Lampiran 5 (lanjutan) No
Nama kapal
Sample ikan
Kondisi fisik
3
Akselerasi 07
Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (2,5 kg) Ekor 2 (1,75 kg) Ekor 3 (1,5 kg) Ekor 4 (1,15 kg) Ekor 5 (1,1 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (0,9 kg) Ekor 2(1,1 kg) Ekor 3 (1,0 kg) Ekor 4 (1,5 kg) Ekor 5 (1,5 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (1,15 kg) Ekor 2 (1,3 kg) Ekor 3 (1,85 kg) Ekor 4 (1,2 kg) Ekor 5 (1,2 kg)
Mata
Insang
daging & perut
Konsistensi
Ratarata
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 6
9 9 9 9 7
9 9 9 9 7,75
9 9 9 9 6
9 9 9 6 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 8,25 8,25
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
No
Nama kapal
Sample ikan
Kondisi
4
Handayani 04
Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (1,15 kg) Ekor 2 (1,3 kg) Ekor 3 (1,0 kg) Ekor 4 (1,1 kg) Ekor 5 (0,9 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (1,3 kg) Ekor 2 (1,0 kg) Ekor 3 (1,2 kg) Ekor 4 (1,2 kg) Ekor 5 (1,5 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (0,9 kg) Ekor 2 (1,4 kg) Ekor 3 (1,1 kg) Ekor 4 (1,2 kg) Ekor 5 (1,5 kg)
Mata
fisik Insang
daging & perut
Konsistensi
Ratarata
9 9 9 9 9
9 9 6 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 8,25 9 9
9 9 9 9 6
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 8,25
9 9 9 9 9
5 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
8 9 9 9 9
94 71
Lampiran 5 (lanjutan) No
Nama kapal
Sample ikan
5
Akselerasi 03
Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (11 kg) Ekor 2 (7 kg) Ekor 3 (3,5 kg) Ekor 4 (2,5 kg) Ekor 5 (3,2 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (1,7 kg) Ekor 2 (3,0 kg) Ekor 3 (2,35 kg) Ekor 4 (1,9 kg) Ekor 5 (2,1 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (1,2 kg) Ekor 2 (1,5 kg) Ekor 3 (1,8 kg) Ekor 4 (0,9 kg) Ekor 5 (1,7 kg)
No 6
Nama kapal Handayani 03
Sample ikan Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (1,8 kg) Ekor 2 (1,5 kg) Ekor 3 (0,9 kg) Ekor 4 (1 kg) Ekor 5 (1,5 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (1,25 kg) Ekor 2 (1,6 kg) Ekor 3 (1,2 kg) Ekor 4 (1,9 kg) Ekor 5 (1,75 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (1,3 kg) Ekor 2 (0,9 kg) Ekor 3 (1,3 kg) Ekor 4 (2,0 kg) Ekor 5 (1,5 kg)
Kondisi fisik Mata
Insang
daging & perut
Konsistensi
Ratarata
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
6 9 9 9 9
9 6 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
8,25 8,25 9 9 9
Konsistensi
Ratarata
Kondisi fisik Mata
Insang
daging & perut
9 9 9 6 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 8,25 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 6
9 9 9 9 9
9 6 9 9 9
9 7 9 9 9
9 7,75 9 9 8,25
95 72
Lampiran 5 (lanjutan) No
Nama kapal
7
Akselerasi 04
Sample ikan Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (2,5 kg) Ekor 2 (2,8 kg) Ekor 3 (1,8 kg) Ekor 4 (1,6 kg) Ekor 5 (1,7 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (1,5 kg) Ekor 2 (1,8 kg) Ekor 3 (1,7 kg) Ekor 4 (1,2 kg) Ekor 5 (1,6 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (1,2 kg) Ekor 2 (1,0 kg) Ekor 3 (1,5 kg) Ekor 4 (1,1 kg) Ekor 5 (0,9 kg)
No
Nama kapal
Sample ikan
8
Akselerasi 04
Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (1,4 kg) Ekor 2 (1,6 kg) Ekor 3 (0,8 kg) Ekor 4 (1,1 kg) Ekor 5 (1,2 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (1,45 kg) Ekor 2 (1,2 kg) Ekor 3 (1,3 kg) Ekor 4 (0,9 kg) Ekor 5 (0,95 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (1,2 kg) Ekor 2 (1,25 kg) Ekor 3 (1,4 kg) Ekor 4 (1,65 kg) Ekor 5 (1,8 kg)
Kondisi fisik Mata
Insang
daging & perut
Konsistensi
Ratarata
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 6 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 8,25 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 7
9 9 9 9 8
9 9 9 9 8,25
Konsistensi
Ratarata
Kondisi fisik Mata
Insang
daging & perut
9 9 9 9 6
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 8,25
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
6 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
8,25 9 9 9 9
96 73
Lampiran 5 (lanjutan) No
Nama kapal
Sample ikan
9
Handayani 02
Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (1,4 kg) Ekor 2 (1,4 kg) Ekor 3 (1,25 kg) Ekor 4 (1,25 kg) Ekor 5 (1,1 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (1,0 kg) Ekor 2 (1,1 kg) Ekor 3(1,3 kg) Ekor 4 (0,7 kg) Ekor 5 (0,8 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (0,9 kg) Ekor 2 (1,0 kg) Ekor 3 (1,1 kg) Ekor 4 (0,9 kg) Ekor 5 (1,15 kg)
No 10
Nama kapal Akselerasi 05
Sample ikan Bigeye tuna Keranjang 1 Ekor 1 (0,9 kg) Ekor 2 (1,1 kg) Ekor 3 (1,2 kg) Ekor 4 (1,9 kg) Ekor 5 (1,9 kg) Keranjang 2 Ekor 1 (3,2 kg) Ekor 2 (2,0 kg) Ekor 3 (2,2 kg) Ekor 4 (1,55 kg) Ekor 5 (2,1 kg) Keranjang 3 Ekor 1 (2,35 kg) Ekor 2 (1,9 kg) Ekor 3 (1,65 kg) Ekor 4 (1,2 kg) Ekor 5 (1,7 kg)
Kondisi fisik Mata
Insang
daging & perut
Konsistensi
Ratarata
9 9 9 9 9
5 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
8 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 6 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 8,25 9
9 9 9 9 9
9 9 9 5 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 8 9
Konsistensi
Ratarata
Kondisi fisik Mata
Insang
daging & perut
9 9 9 9 9
9 6 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 8,25 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 5 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 8 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
9 9 9 9 9
97 74
Lampiran 5 (lanjutan) No Nama kapal 1
Akselerasi 08
2
Handayani 04
Sample ikan Yellowfin tuna Ekor 1 Ekor 2 Ekor 1 Ekor 2 Ekor 3 Ekor 4 Ekor 5
Kondisi fisik Mata 9 9 9 9 9 9 9
Daging & RataInsang tubuh Konsistensi rata 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
75 98
93 Lampiran 6 Keadaan Fasilitas di PPP Sadeng
Pintu Gerbang PPP Sadeng
Kantor PPP Sadeng
TPI PPP Sadeng
Kegiatan yang terjdi di TPI
Kapal Motor di PPP Sadeng
Kapal motor tempel di PPP Sadeng
99 76
Lampiran 7 Macam-macam pancing di PPP Sadeng
Pancing Ancet
Pancing Cuping
Pancing layangan
Pancing Renta
Pancing Simpat
Pancing Tonda
100 77
Lampiran 8 Unit rumpon
Pelampung rumpon
Tali rumpon
Atraktor rumpon
Pemberat rumpon
101 78
Lampiran 9 Kegiatan pembongkaran ikan sampai ke TPI
Kapal yang bertambat
Pengangkatan ikan ke atas kapal dengan menseleski ke keranjang
Ikan dalam keranjang
Pengangkutan ikan ke TPI oleh Kuli
Penimbangan ikan di TPI
79 102
Lampiran 10 Pengamatan ikan tuna berdasarkan pengujian organoleptik
Mata ikan tuna yang jernih
Mata ikan tuna yang mulai keruh
Insang ikan tuna yang masih bagus
Mata ikan tuna yang telah memerah
Insang ikan tuna yang telah berlendir
Insang ikan tuna yang telah merah kecokelatan
80 103
Lampiran 11 Alat bantu yang digunakan untuk pengukuran
Pengukuran berat ikan tuna Penggukuran panjang ikan tuna
Meteran
Alat timbangan ikan tuna
Timbangan maksimal 15 kg
104 81
Lampiran 12 Alat bantu di kapal
Pemukul tuna
Keranjang