KEKERASAN RUMAH TANGGA TERHADAP ANAK DALAM PRESPEKTIF ISLAM
STUDI KASUS DESA GANDARIA KECAMATAN MEKAR BARU TANGERANG BANTEN
Oleh:
Lia Yuliana NIM:203033202176
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1427 H - 2008 M
KEKERASAN RUMAH TANGGA TERHADAP ANAK DALAM PRESPEKTIF ISLAM STUDI KASUS DESA GANDARIA KECAMATAN MEKAR BARU TANGERANG BANTEN
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana S.Sos
Oleh: Lia Yuliana NIM:203033202176
Di Bawah Bimbingan
Dra. Hj. Hermawati. MA NIP: 150227408
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427H / 2008 M
i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul “KEKERASAN RUMAH TANGGA TERHADAP ANAK DALAM
PRESPEKTIF
ISLAM”
telah
diujikan
dalam
sidang
munaqasah
FakultasUshuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2008, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata satu (S1) pada jurusan Sosiologi Agama.
Jakarta 17 Juni 2008
SIDANG MUNAQASYAH Ketua Merangkap Anggota
Ketua Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.Ag NIP. 19600902 198703 1 001
Drs. Rofqi Mukhtar, MA NIP. 19690822 199703 1 002
Penguji I
Penguji II
Dr. Masri Mansor, MA NIP. 19621006 199903 1 002
Dra. Ida Rosyidah, MA NIP. 19630616 199003 2 002
Pembimbing
Dra. Hermawati, MA NIP. 19541226 198603 2 002
ii
KАТА PENGANTAR
Вismillahirrahmanirrahim Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT., atas selesainya skripsi ini, tak ada alasan untuk penulis kecuali mengucapkan syukur atas ridho dan rahmat-Nya. Berkat-Nya lah skripsi ini ada. Skripsi ini hanya merupakan coretan kecil dalam setiap bagian kehidupanpun merupakan tantangan bagi penulis, di saat pengajuan judul hingga selesainya skripsi ini selalu saja banyak yang menyepelekan dan mengganjal. Penulis tertarik kepada seputar masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Anak. Di samping merupakan bidang bahasan sesuai jurusan, juga merupakan bahasan yang tak kunjung selesai di negara kita ini. Berbagai kasus timbul tenggelam hanya karena permainan segelintir 'Orang Yang Tidak Berprikemanusiaan'. Ketidakadilan penguasa inilah yang menggelitik nalar penulis untuk mengambil Studi Kasus Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga dalam pelanggaran HAM di Indonesia. Penulis merasa sedih ketika anak di bawah umur ataupun pada saat mereka lahir selalu tertindas dan selalu terlantarkan akibat banyak yang terjadi kekerasan dalam rumah tangga, oleh karena itu pemerintahan yang selalu mementingkan perut mereka sendiri. Penyelesaian itu belum juga muncul sampai saat ini, meskipun, Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla berkuasa 3 tahun. Bahkan, malah memperburuk Indonesia setelah kebijakannya menaikkan harga BBM, adanya penggusuran, korupsi merajalela padahal KPK sudah diberikan gaji dari rakyat selangit, pengangguran merata. Intinya tidak ada mengalami perubahan yang signifikan dari semua usaha yang di lakukan oleh negara untuk rakyatnya hingga saat ini.sehingga banyak sekali terjadi kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dan semakin berkepanjangan dan terus menerus ada disetiap rumah tangga. Keberadaan penulis sebagai bagian dari mahasiswa adalah menjadi tujuan utama penyusunan skripsi ini. Terus terang skripsi ini belum lengkap memuat data dan informasi mutakhir, oleh karena itu karya yang sederhana dan belum sempurna ini
iii
semoga menjadi wadah inspirasi, khususnya bagi penulis dan umumnya kepada semua mahasiswa Sosiologi Agama. Semoga siapapun yang membacanya tidak pernah rnerasa puas sehingga terus-menerus membaca dan membaca untuk memperdalam mengenai pergulatan Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga melalui karya-karya lain. Namun, bukan juga dengan karya ini penulis tidak bisa melanjutkan pertualangan pendidikan setelah 10 semester penulis merenung. Masih ada hari ini dan hari esok untuk sergera-berjuang-bersama Melalui coretan ini penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orang tua kami yang tercinta Bарак Antajaya (Alm) dan Ibu Aminah terima
kasih atas segala pengorbanan yang ibu dan bapak berikan, semoga Allah selalu memberikan rahmat dan karunianya serta senantiasa Melimpahkan kasih sayang ditengah-tengah keluarga kita, ibu skripsi ini Lia Persembahkan Sebagai Sembah Baktiku. 2. Kakak Lia tersayang Kang Dudun, Kang Mahfud, Kang Juli, Teh Aan, dan
buat kakak ipar lia teh Salsah, bang Faisal Khalid Tarigan, terimaksih atas dukungan moril dan materil, semangat dan doa sampai saat ini. alhamdulilah masili diberikan kesehatan dan tegar dalam menyelesikan skripsi ini., dan Keponakan Lia, Dara Abdilah, Faqih Tadarus Dan Bintang Muharnad Faan Tariqan, keluguan dan kelucuan kalianlah yang menghilangkan dahaga dan penatnya tugas-tugas kuliah. 3. Drs.H.Harun Rasyid M.A., selaku Dekan Program Ekstensi Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat. Makasih раk motivasinya. 4. Jamilah M.Ag., Selaku Sekjur yang tidak pernah bosan menerima keluhan
kami. 5. Drs. Ramlan A.Gani. M.Ag., Selaku Dosen Penasehat Program Ekstensi
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. 6. Dra.Hj. Hermawati MA selaku pembimbing skripsi, terimakasih untuk setiap
keramahan dan kesabaran selama proses penyusunan skripsi ini, yang selalu memberikan semangat buat penulis juga untuk kritik dan sarannya, tanpa itu semua skripsi tidak akan pernah selesai, penulis ucapkan banyak (10 kali) terima kasih.
iv
7. Seluruh Civitas Akademik Ushuluddin, dosen-dosen yang telah mengajar
kami, tunduk hormat kami sampaikan atas perjuanganya dalam mengajar kami. 8. Kepada Ka Seto Mulyadi, Ifdal Kasim serta kawan-kawan di Komnas HAM,
YLBHI dan LBHI, terima kasih sedalam-dalamnya, Tanpa semuanya skripsi ini pasti ditolak terus oleh dosenku. Teman-teman lia, Pada Waktu SMU Nur El Falah, Yang teras memberikan semangat, Umi, Yani, gembul, Gendut, Irey Afri, Ridwan, Ambon, danbuat si manis Nurul Cute, pesannya jangan putusin silaturahmi, sama lia. terima kasih semuanya 10. Kepada Kawan-Kawan Sosiologi Agama, Pemikiran Politik Islam:Hajami, Eva, Canda, Nur Ajijah, Yayah, Farida Warid, Suhadi, Ajat, Syukur, Margono, Engkos Markos tak lupa pula anak-anak Tafsir Hadis yang terus berjuang memberikan semangat kepada penulis Kepada semua pihak yang membantu penulis, namun tidak tercantum di sini, khususnya kepada semua teman-teman,
untaian
maaf
dan
terima
kasih
tidak
lupa
penulis
sampaikan.Terakhir, semoga skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan ini bermanfaat (amiin) dan segala masukan, kritik dan saran terhadap skripsi ini penulis nantikan dan harapkan
Ciputat, Semanggi 11/25 21 Maret 2008 Lia Yuliana
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................
ii
DAFTAR ISI ................................................................................................
v
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................
5
C. Tujuan Penelitian ....................................................................
6
D. Metodologi Penelitian .............................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Anak ............
16
B. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ....................
22
C. Sebab-sebab Timbulnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga .....
25
BAB III PANDANGAN ISLAM MENYIKAPI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Tuntunan Islam Bagi Orang Tua Dalam Mendidik Anak .........
30
1. Menanamkan Ketauhidan ..................................................
30
2. Mengajarkan Agama .........................................................
31
3. Mendidik Anak..................................................................
31
4. Mendidik Kejujuran dan Keadilan .....................................
33
5. Memberi Contoh keteladaban yang Baik ...........................
33
6. Perhatian Terhadap Anak-anak di Rumah ..........................
34
B. Anak dan harta Adalah Ujian ..................................................
34
C. Perlakukan Kekerasan Terhadap Anak di Dalam Islam ............
36
1. Membunuh Anak ...............................................................
36
2. Perbedaan Pemberian Kepada Anak-anak ..........................
37
vi
BAB IV GAMBARAN UMUM PELAKU DAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA
BAB V
A. Identitas Keluarga Korban .......................................................
39
B. Identitas Pelaku Tindak Kekerasan Terhadap Anak .................
43
C. Identitas Korban Kekerasan Terhadap Anak ............................
45
ANALISA KEKERASAN RUMAH TANGGA TERHADAP ANAK A. Faktor yang Menyebabkan Kekerasan di dalam Rumah Tangga Terhadap Anak ........................................................................
48
B. Respon Masyarakat dan Keluarga Yang Ada di Desa Gandaria Mengenai Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Anak .............
51
C. Kondisi Anak yang Terkena Kekerasan Dalam Rumah Tangga
54
D. Solusi-solusi Memeecahkan Masalah Kekerasan yang Terjadi Dalam Keluarga ......................................................................
57
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................
62
B. Saran ......................................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ketegangan maupun konflik yang terjadi dalam lingkup domestik atau rumah tangga merupakan suatu hal yang biasa dan lumrah terjadi. Seperti adanya perbedaan pendapat, pertengkaran dan perdebatan dalam rumah tangga. Akan tetapi jika konflik tersebut berlanjut dan terus berlangsung maka akan berkembang menjadi tindakan kekerasan yang selanjutnya akan terjadi sebuah kekerasan domestik. Jika dirunut dalam sejarah kekerasan dalam keluarga sejak manusia sudah ada di bumi seiring dengan pertumbuhan peradaban manusia. Akan tetapi bentuk-bentuk KDRT berjalan sesuai dengan dinamika dalam rumah tangga. Bentuk KDRT pada masyarakat tradisional berbeda dengan KDRT pada masyarakat modem dewasa ini. Begitu juga dengan bentuk KDRT pada masyarakat desa berbeda, walaupun ada persamaan . Oleh karena itu, kasus-kasus KDRT dalam masyarakat tentu berbeda-beda dan bersifatnya unik. Tayangan kekerasan dalam lingkup rumah tangga dengan mudah dapat ditemukan baik pada media elektronik, misalnya televisi dan radio maupun media cetak, misalnya koran, tabloid dan majalah. Dengan rajin media masa memberitakan kepada publik kejadian-kejadian seputar kekerasan dalam lingkup keluarga, yang kadang-kadang mengabaikan etikajumalistik. Akan tetapi terlepas dan itu semua (etika jurnalistik), kekerasaan khususnya dalam lingkup keluarga dapat terjadi di
1
1
mana saja dan kapan saja serta terhadap siapa saja. Bahkan KDRT tidak mengenal usia, pendidikan dan status sosial. Konsep kekerasan menurut Maggie Human adalah bentuk dari pemerkosaan, pemukulan, insect, pelecehan seks dan pornografi1. Secara lebih gamblang deklarasi PBB tahun 1993, mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk tindakan kekerasan gender yang bisa berakibat kesengsaraan atau penderitaan anak secara fisik, seksual dan psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan dan perampasan kernerdekan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di ranah domestik maupun publik. Sementara itu, menurut John Galtung2, kekerasan adalah suatu kelakuan yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada di bawah realitas potensialnya. Artinya, ada sebuah situasi yang menyebabkan segi kemampuan atau potensi individu menjadi tidak muncul. 3 Mengacu kepada definisi di atas, kekerasan merupakan perbuatan di luar batas-batas kemanusiaan. Hak-hak kemerdekaan baik secara fisik maupun psikis (perasaan superioritas
yang dimanivestasikan dalam sikap suka memaksa
keangkuhan) terenggut oleh arogansi hegemoni pihak lain (pengaruh kekuasaan suatu negara terhadap negara lain). Kekerasan hanya akan melahirkan kesengsaraan, bahkan tidak jarang menimbulkan kematian. Sudah banyak temuan penelitian yang
1
Maggie Human, The Didictionary Of Faminist Theory, Exekter: BPCC, 1989 dalam laporan penelitian “Kekerasan Terhadapa Perempuan Daiam Keluarga”: analisa kasus pada beberapa keluarga di wilayah ciputat. Kerjasama PSW lAIN Syarif Hidayatullah dengan Mc Gill Proiect (Jakarta: PSW dan Mc Gill Project, 2007, ) h.7 2 Windu, Marsana, Kekuasaan dan Kekerasan Menuru John Galtung (Yogyakarta: 1992), h.8 3 Elli Nur Yayati, Kekerasan Terhadap Istri Dalam Ruamah Tangga, (Yogyakarta: Rifka Annisa Womwens Crisis Center, 1999) h.27
2
dilakukan oleh masyarakat, misalnya kelompok akademis, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan investigasi media yang mengungkapkan kekerasan dalam lingkup keluarga khususnya kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tuanya. Kekerasan pada dasamya bisa terjadi sudah ada kapan saja dan oleh siapa saja. Kekerasan ini bisa saja terjadi di tengah keramaian, baik itu di pasar maupun di tempat yang sunyi. Akan tetapi, sangat mengherankan apabila kekerasan itu terjadi dalam sebuah rumah tangga yang seharusnya di dalam rumah tersebut sebagai tempat curahan kasih sayang antara anak dan orang tuanya. Dan kebanyakan kekerasan ini dilakukan oleh orang yang terdekat dan sudah dikenal baik oleh korbannya. Banyak faktor yang menyebebkan terjadinya kekerasan dalam lingkup keluarga. Di samping faktor penyebabnya sangat beragam bentuk kekerasanpun berbeda-beda. Bahkan pada kasus-kasus tertentu sangat unik. Walaupun secara umum kekerasan dalarn lingkup keluarga mempunyai kesamaan. Faktor penyebab kekerasan dalam keluarga, misalnya dalam sebuah keluarga sering terjadi pertengkaran yang akhirnya meningkat pada kekerasan fisik maupun psikis biasanya faktor yang paling dominan sebagal pemicu tindakan kekerasan tersebut adalah karena faktor ekonomi, di mana faktor ini sangat rentan fungsinya dalam keluarga. Kekerasan dalarn rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk pula ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan seseorang secara sewenang-
3
wenang atau adanya penekanan secara ekonomis, yang terjadi di dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga atau dalam istilah lainnya kekerasan domestik adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Secara spesifik kekerasan terhadap anak berarti segala bentuk kekerasan yang berdasarkan akibatnya berupa kerusakan, penderitaan fisik, non fisik, seksual, psikologis pada anak termasuk disini tindakan pemukulan dan ancaman, dan perbuatan semacam itu, seperti pemaksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yang terjadinya di tempat umum atau bahkan dalam kehidupan pribadi seseorang. 4 Sangat jelas bahwa kekerasan dalam lingkup keluarga dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya dimana proses konstruksi gender dalam struktur sosial sangat mempengaruhinya. Kalau memang kekerasan terhadap anak diakibatkan oleh faktorfaktor yang mendorong terjadi kekerasan tersebut dapat dihilangkan karena posisi laki-laki dan perempuan adalah setara dalam struktur sosial. Kekerasan dalam rumah tangga dapat menimpa siapa saja, ibu, bapak, suami, istri, anak, bahkan pembantu rumah tangga, akan tetapi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah anak. Biasanya hal mi terjadi jika hubungan antara korban dan pelaku tidak setara. Lazimnya si pealaku kekerasan mempunyai status kekuasan yang lebih besar, baik dan segi ekonomi, kekuasaan fisik maupun status sioal dalam
4
Laporan Penelitian, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga: Analisis kasus pada beberapa keluaraga di wilayah ciputat, kerjasama PSW lAIN Syarif Hidayatullah dengan Mc Gill Project (Jakarta: PSW dan Mc Gill Project, 2000) h.12
4
keluarga. Karena posisi khusus yang dimilikinya tersebut, maka pelaku kerap kali memaksakan kehendaknya untuk diikuti oleh orang lain. Dan demi mencapai keinginannyá tersebut, pelaku kekerasan akan menggunakan segala cara bahkan tidak segan-segân untuk melukai korban.5 Kekerasan terhadap anak dalam keluarga tidak berdiri sendri. Pola alokasi dan hubungan kekuasaan suami istri mempengaruhi tindakan kekuasan. Kekuasaan yag dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan tindakan yang dikehendakinya. 6 Sehubungan dengan uraian di atas maka kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh ibu dan bapak kepada anaknya menarik untuk diteliti meskipun sudah banyak penelitian dengan tema-tema yang serupa, namun penelitian ini bertujuan untuk memperolah atau mendapatkan informasi mengenai KDRT sebagai refleksi perbedaan antara laki-laki terhadap perempuan sehingga mendorong pembentukan kekerasan terhadap anak dalam keluarga.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah Mengingat dan melihatan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian, serta waktu yang sangat terbatas maka penelitian yang perlu dilakukan secara spesifik adalah untuk menjelaskaan, bagaimana kekerasan terhadap anak yang dilakukan o!eh
5
Farha, Ciciek, Ihtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Be/ajar Dan Kehidupan Rasululah Smv (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999) h. 34 6 Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu penganlar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persadan: 2003) h. •1
5
orang tuanya secara spesifik. Analisa tersebut akan kami uraikan sebagai berikut: 1. Faktor-Faktor apa yang menyebabkan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga? 2. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga. 3. Bagaimana kekerasan dalam rumah tangga menurut agama Islam? 4. Bagaimanakah dampak terhadap anak (korban) kekerasan dalam rumah tangga?
C. Tujuan Penelitian Atas dasar latar belakang masalah di atas, maka tujuan penelitian ini secara spesifik adalah: 1.
Untuk menemukan faktor-faktor apa yang menyebabkan kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam rumah tangga.
2.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.
3.
Untuk memahami dampak tindakan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.
4.
Untuk mengetahui akibat
kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak
(korban). Adapun manfaat tulisan ini diharapkan kepada anak-anak baik korban maupun tidak, dapat memahami secara jelas bagaimana bentuk kekerasan tersebut dan tidak lagi berdiam diri untuk melakukan tindakan untuk mencegahnya, dan diharapkan
6
pula tulisan ini dapat dijadikan referensi bagi penulisan selanjutnya. Bagi anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga agar dapat komperatif dalam meneyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan bagi pelaku supaya menjadi “Peringatan” dan “Pengetahuan” supaya tidak terjebak atau terjerumus pada kekerasan dalam rumaha tangga
D. Metode Penelitian a. Penelitian Ilmiah Penelitian ini dilakukan di desa gandaria RT. 01 RW O2 kecamatan Mekar Baru Tanggerang Banten. Pemilihan dan penetapan lokasi ini dengan beberapa pertimbangan. Pertama, kasus KDRT terhadap anak di tempat tersebut sering terjadi. Berdasarkan informasi yang berkembang pada masyarakat setempat. KDRT dengan mudah dapat ditemukan pada beberapa keluarga rumah tangga. Kedua, dinamika startifikasi sosial masyarakat setempat sering heterogen (atas, menengah dan bawah). Ketiga, sebagai orang yang dibesarkan dilokasi penelitian, peneliti ingin menyumbangkan pemikiran untuk membantu menyelesaikan KDRT khususnya pada anak, keempat, lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti, sehingga keakraban peneliti dengan subjek penelitian mudah terjalin dengan balik.7 b. Teknik Pengumpulan Data Ilmu Pengetahuan mulai dengan obeservasi dan selalu harus kembali kepada
7
Prof. Dr. S. Nasution, M.A, Met ode Research penelitian ilmiah (Jakarta: Bumi aksara, 1995),h. 106
7
observasi untuk mengetahui kebenaran ilmu itu. Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kelakukan manusia seperti terjadi dalam kenyataan, dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial, yang sukar dengan metode lain. Observasi juga dilakukan bila belum banyak keterangan dimiliki tentang masalah yang kita selidiki. Observasi diperlukan untuk menjajakinya dan berfungsi sebagai eksplorasi. Dari hasil ini kita dapat memperoleh gambaran yang. Lebih jelas tentang masalahnya dan mungkin petunjuk-petunjuk tentang cara memecahkanya. Dengan observasi sebagai alat pengukur dan dimaksudkan observasi yang dilakukan sistematis bukan observasi sambil-sambilan atau bukan secara kebetulan saja. Dalam observasi ini diusahakan mengamati keadaan yang wajar dan yang sebenarnya tanpa usaha yang sengaja untuk mempengaruhi, mengatur atau rnemanipulasinya. Mengadakan observasi menurut kenyataan, melukisnya dengan kata-kata secara cermat dan tepat yang diamati, mencatatnya dan kemudian mengolahnya dalam rangka masalah yang diteliti secara ilmiah bukanlah pekerjaan yang mudah selalu di persoalkan hingga manakah basil pengamatan itu valid dan reliable serta hingga manakah objek pengamatan itu representative bagi gejala yang bersamaan. Seseorang peneliti harus melatih dirinya untuk melakukan pengamatan. Banyak yang dapat kita amati di dunia sekitar kita dimanapun kita berada. Ada halhal yang kita amati, ada juga yang luput dari pengamatan. Apa yang kita amati berlainan dengan yang diamati orang lain, karena itu kita adakan seleksi tentang apa yang kita amati menurut keinginan, latar belakang minat serta luas dan dalam
8
pengetahuan kita tentang sesuatu. Sering kita amati hal-hal yang aneh, yang menarik perhatian, seperti benda baru yang aneh, akan tetapi bukan gejala sosial yang berkenaan dengan interaksi sosial, pola kekuasaan, perbedaan satatus dan peranan dan sebagainya. c. Indepth Interview. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif (qualitative approach), sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini mengunakan pendekatan studi kasus, yaitu suatu proses pengkajian dan pengumpulan data secara mendalam dan detail terhadap seputar kejadian kusus sebagai “kasus”8 kasus yang ditelaah secara mendalam dalam penelitian ini adalah kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap anak. Studi kasus adalah studi mikro (menyoroti satu atau bebereapa kasus), juga merupakan strategi penelitian yang bersifat multi-metode.9 Berkaitan dengan strategi multi-metode dalam menjaring data, studi kasus akan memadukan pengamatan, wawancara dan analisa dokumen.10 Hal senada dipertegas oleh Merriam (1998 ) dan Yin (1989 ) dalam Creswell (1995). Studi kasus sebagai strategi untuk menggali entitas atau fenomena tunggal (kasus) yang dibatasi oleh waktu dan aktifitas (suatu program, pristiwa, proses, kelembagaan atau kelompok sosial ) dan mendapatkan informasi yang detail dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data
8
S Misbeth, J. dan J. Watt, Studi Kasus Sebuah Panduan praktiis (Jakarta: Gramedia: Widia Sarana Indonesia. 1994) .47 9 Sitorus, Penelitian Kualitatatif Suatu perkenalan; (Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial, Jurusan limu-Ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 1998) h. 16 10 Sitorus, I’eneliiian Kualitatif Suatu Perkenalan; h.17
9
selama periode waktu yang berkelanjutan.11 Kekerasan yang dialami oleh beberapa keluarga khususnya terhadap anak adalahpristiwa yang terjadi dalam masyarakat yang merupakan fakta sosial. Studi kasus penelitian ini hanya mengugkap dan menganalisis beberapa pristiwa kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak. Dalam memilih subjek penelitian harus benar-benar tertuju kepada yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau informan informasi dan masyarakat atau organisasi yang menangani kekerasan dalam rumah tangga tersebut, peneliti mula-mula mengumpulkan seluruh konsep yang digunakan dalam penelitian, kemudian menentukan subjek penelitian. Dalam menentukan jumlah subjek penelitian atau dalam istilah penelitian kuantitatif dikenal dengan sempel-sempel penelitian kualitalif berbeda dengan penelitian kuantitatif (pengukuran/jumlah). Penelitian kualitatif (penjabaran/penguraian) tidak bermaksud untuk mengambarkan karakteristik populasi, melainkan Iebih terfokus kepada representasi terhadap fenomena sosial. Maka dalam prosedur menentukan jumlah sampling atau informan yang terpenting adalah bagaimana menentukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang
terjun Iangsung ke
lapangan dan mencari subjek yang telah di ketahui (Field Work) yang mengunakan metode kualitatif, yaitu suatu penelitian yang ada hakikatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan
11
Cresswell. J.W, Research Desain Qua! it at jf and Quantitative Apprpoachess. Thousand, oaks, London, New delhi: SAGE, Publications, 1995) h. 17
10
tafsir mereka tentang dunia sekitarnya.12 pemilihan pendekatan ini dianggap tapat karena peneliti ingin meneliti permasalahan ini dalam seting alamiahnya dan berusaha untuk memaknai dan menafsirkan fenomena yang ada berdasarkan apa yang dirasakan oleh para informan. Dengan
mengunakan
pendekatan
kualitatif,
peneliti
berharap
bisa
mendapatkan pemahaman yang mendalam dan murni tentang fenomena yang diteliti dan ini tidak mungkin diperoleh jika mengunakan pendekatan kuantitatif. d. Wawancara Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (bertatap muka langsung dengan korban Indept Interview).13 Wawancara tersebut dilakukan secara terstruktur dan lepas. Teknik ini diharapkan dapat membuka tabir dan mendalami hakikat peristiwa. Kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga sebagai subjek penelitian. Teknik-teknik penelitian diatas digunakan untuk mengumpulkan data primer, dimana jenis data tersebut merupakan data studi kasus. Studi kasus pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dan subjek, artinya data yang dikumpulkan dalam studi kasus keseluruhan yang terintegrasi. 14 Pengumpulan data Primer terhadap informan kunci dilakukan dengan teknik snow ball (bola salju), yaitu meminta kepada informan untuk memeperkenalkan kepada informan lainnya hingga peneliti memperoleh keseluruhan pandangan 12
Nasution. S, Metode Penelitian Naturalistik,, Kualitatjf, (bandung: tarsono, 1998 ), h.3 1 Denzin, N.K , Interpretatjf Biography: Qualitative Research Method (London, SAGE Publications, 1989) h. 51 14 Vrenbergt, J, Methode dan Tehnik Penelitian Masyarakat, (Jakarta PT Gramedia, 1978), h. 32 13
11
penelitian. Setelah dapat izin penelitian dan pemerintah setempat, peneliti melakukan pendekatan kepada subjek penelitian. Nama informan tidak peneliti cantumkan sesuai namanya, akan tetapi hanya dalam bentuk inisial. Hal ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Walaupun para informan tidak keberatan namanya dicantumkan dengan Iengkap, dan kemudian cara memilih Informan 15 responden. e. Teknik Analisa Data Data Primer yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian dianalisa dengan menggunkan metode data kualitatif, yang dimulai sejak hari pertama peneliti melakukan penelitian. Analisis data terdiri dan tiga alur yang terjadi secara bersamaan, yaltu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut “analisis”. 15 15 Pertama, redukasi data diartikan sebagai proses pemilihan,
pemusatan perhatian
Transformasi data “langsung”
pada
penyederhanaan,
pengabstrakan,
dan
“ yang muneul dari catatan- catatan tertulis
dilapangan, berupa catatan harian lapangan. Peneliti menyunting seluruh informasi untuk melihat kelengkapan data, lalu menganalisisnya sesuai dengan penelitian dan menyusunnya sesuai dengan urutan kejadian. Misalnya, peneliti menyunting data tindakan kekerasan yang dialami oleh anak kaitanya dengan kronologis konflik dalam
15
Milks, M.B dan Huberman, Analisis data kualiitatif (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), h 14
12
rumah tangga secara berurutan mengklafikasikan data yang sudah ada kepada bagianbagiannya. Kedua, penyajian data dimaksudkan untuk menyusun sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Penyajian data merupakan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Data disajikan dalam bentuk teks naratif. Agar data yang disajikan dalam bentuk teks naratif tidak tidak terpencarpencar dan lompat-lompat, peneliti menyajiakan data dalam bentuk matriks dan bagian sesuai dengan sub-sub topik penelitian. Penyajian data seperti ini bertujuan untuk mempermudah dalam memahami dan menganalisis kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak Ketiga, penarikan kesimpulan. Dalam penarikan kesimpulan dilakukan verifikasi (pemeriksaan tentang keberanaran laporan) selama penelitian berlangsung dengan menghubungkan semua kejadian sosial yang ditemukan di lapangan. Pengambilan kesimpulan adalah proses, dimana peneilti dan permulaan pengumpulan data telah membuat kesimpulan secara longgar, tetapi terbuka dan sekeptis (ragu-ragu atau kurang percaya), kemudian meminjam istilah Gloser dan Straus yang dikutip oleh Miles dan Guberman- meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar, dengan kokoh. Kesimpulan sementara tersebut di diskusikan kepada informan kunci. 16. para informan (anak) diminta untuk menginterpretasikan
16
Cresswel, LW, Research Desain Qua1i:at~f and Quanhitat~f Approaches, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Terjadi Di Dunia ( Jakarta: Gramedia Pustaka 1999) h. 34
13
kesimpulan sementara baik sesuai maupun tidak sesuai. Jika interpretasi diungkapkan menunjukkan kesesuaian, maka temuan tersebut akan menjadi kesimpulan tetap peneliti. Namun jika interpretasi masih menunjukkan ketidak sesuaian, maka peneliti akan melakukan kegiatan mencari data, menganalisa dan merumuskan kesimpulan kembali. Hal ini dilakuakan untuk mendapatkan data dan kesimpulan yang shahih. Akan tetapi karena keterbatasan waktu yang dimilki oleh penulis dan sulitnya menemui pelaku (orang tua), maka dalam penelitian ini penulis hanya menfokuskan kepada korban (anak). f.
Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini disusun menjadi beberapa bab, dan setiap bab dibagi lagi ke
dalam Sub Bab, dengan perincian sebagai berikut: BAB I : pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II : Tinjauan Pustaka terdiri dari, Pengertian kekerasan rumah Tangga terhadap anak, Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, Sebab-sebab timbulnya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, Solusi islam dalam megatasi kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga. BAB III: Pandangan Islam menyikapi kekerasan dalam rumah tangga. Terdiri dari tuntunan Islam bagi orang tua dalam mendidik anak, anak dan harta adalah ujian, perlakuan kekerasan terhadap anak dalam islam. BAB IV : Gambaran Umum terdiri dari, Pelaku Dan Korban Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga, Identitas keluarga korban, Identitas pelaku tindak kekerasan terhadap anak, Identitas korban kekerasan terhadap anak BAB V : Analisa Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Anak terdiri dan, faktor-faktor
14
yang menyebabkan kekerasan rumah tangga terhadap anak, respon masyarakat I keluarga yang ada di desa gandaria, mengenai kekerasan rumah tangga terliadap anak, kondisi fisik anak yang terkena korban kekerasan dalam rumah tangga BAB VI : Penutup Terdiri Dan, Kesimpulan, dan Saran-Saran.
15
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Anak Menurut John Galtung, kekerasan adalah suatu perlakuan yang menyebabkan realitas aktual seseorang ada dibawah realitas potensial.17 Artinya ada sebuah situasi yang menyebabkan segi kemampuan atau potensi individu menjadi tidak muncul. Sedangkan menurut Soetandoyo Wigiusubroto, kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah bersama kekuatanya, entah fisik maupun non fisik yang superior dengan kesengajaan untuk menimbulkan derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan tersebut 18. Dalam defenisi tersebut, konsep kekerasan di lakukan oleh yang superior dan di lakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan kerugian, mengacu kepada konsep kekerasan yang digagas oleh beberapa ilmuwan di atas, paling tidak ada empat hal yang menjadi ukuran dasar kekerasan, yaitu: (1) ada pihak yang dirugikan; (2) ada unsur kesengajaan; (3) pelaku kekerasan merasa superior; (4) adanya kerusakan semua bentuk kekerasan, baik verbal maupun non verbal, dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga dapat menyebabkan efek negatif secara emosional dan psikologis terhadap orang lain yang menjadi tujuannya atau sasarannya.
17
Windu Warsan, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Thon Galtung, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1992).h.20 18 Soetondoyo Wigiusubroto, Islam dan Konstruk di Seksualitas, Kerjasama PSW, lAIN Yogyakarta The Foundation dan Pustaka Pelajar ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). h. 18
16
17
Perbuatan yang memiliki aroma kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun hanya akan melahirkan kesengsaraan pihak lain emosional dan psikologis terhadap orang lain yang menjadi tujuannya atau sasarannya. Perbuatan yang memiliki kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun hanya akan melahirkan kesengsaran pihâk lain. Perilaku kekerasan dapat terjadi di mana saja, di tempat umum (publik), di sekolah, di kantor dan di rumah, bahkan di tempat yang seolah-olah tidak mungkin terjadi kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga tentu berbeda dengan kekerasan di tempat-tempat lain, baik itu pelaku. faktor-faktor penyebab, proses pembentukan kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan maupun intensitasnya. Pada tataran ideal, perkawinan adalah jendela penyatuan kasih dan sayang atas dasar cinta. Ketika dua pasangan manusia memasuki jenjang perkawinan, rasanya tidak mungkin bahkan secara ekstrim mustahil kasih dan sayang dengan dasar cinta direnggut atau diporakporandakan oleh kekerasan. Tidak jarang keluarga yang pada awalnya (ketika perkawinan) terbentuk dengan kasih dan sayang berujung dengan kekerasan bahkan kematian pada salah satu pasangannya. Ternyata bahtera perkawinan sekali pun tidak luput dari “virus” kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga di mana biasanya yang berjenis kelamin Laki-laki (suami) menganiaya secara verbal maupun fisik pada yang berjenis kelamin perempuan atau anak-anak.19 Sedangkan yang termasuk dalam lingkup rumah tangga antara lain, suami, istri, orang tua dan anak-anak, orang-orang yang mempunyai hubungan darah, orang-orang yang 19
Laporan Penelian “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga” Analisis Kasus Pada Beberapa Keluarga Di Wilayah Ciputat, Kerjasama PSW lAIN Syarif Hidayatullah dengan Me Gill Project, (Jakarta: PSW IAIN Syarif Hidayatullah dengan Me Gill Pmjec t 2000) h 14
18
bekerja membantu kehidupan rumah dan orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang pernah atau masih tinggal bersama. Dalam suatu keluarga, siapa pun dapat menjadi objek sasaran kekerasan. Berdasarkan temuan-temuan penelitian, pelaku kekerasan dalam rumah tangga biasanya mengarah kepada yang berjenis kelamin (Biologis) lakilaki. Berdasarkan laporan penelitian tersebut, laki-laki menjadi “tertuduh atau terdakwa” sebagai pelaku kekerasan yang terjadi dalam masyarakat dan rumah tangga. Kaum feminis mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan apakah masih anak-anak atau sudah dewasa yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan (perampasan kekerasan) dan yang melanggengkan subordinasi perempuan.20 Pada definisi terakhir ini, kekerasan menekankan pada aspek fisik dan psikis dan posisi perempuan sebagai pihak subordinat. Jika diruntut dalam sejarahnya, memang kekerasan itu ada sejak lakI-laki dan perempuan ada di muka bumi, sehingga pada definisi tersebut seolah-olah subordinasi perempuan sudah sejak lama terbentuk. Sedangkan menurut Achmad Chusairi mengutip dari Anne Gant (1991), kekerasan yang sangat berat sebagai pola perilaku menyerang (assaultive) danmemaksa (coersive), dilakukan oleh orang secara fisik, seksual, psikologis. Dan pemukulan dan pemaksaan secara ekonomi, yang dilakukan oleh orang dewasa kepada pasangan intimnya. 21 Kekerasan rumah tangga adalah suatu bentuk kekerasan yang tenjadi di lingkup rumah tangga di mana hubungan antara pelaku dan korban ada dalam ikatan rumah tangga atau perkawinan dan 20
YLBHI, Jurnal Perempuan untuk Pence rahan dan Kesejahteraan, Hentikan Kekerasan Perempuan( Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,2002 ) h. 49 21 Achmad Chusairi, Kekerasan Terhadap Istri dan Ketidakadilan Gender. (Jakarta : Paramadina, 1997) h. 25
19
tidak dalam hubungan pekerjaan. 22 Berdasarkan dua defenisi yang diutarakan oleh Ganl dan yang dimuat Harian Republika. mengisyaratkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah dalam posisi hubungan ketidakadilan gender, bukan karena faktor perbedaan biologis antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri). Merujuk pada Deklarasi PBB pada tahun 1993 . sebagaimana sudah dijelaskan di atas kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis yang terjadi di dalam ruang lingkup rumah tangga.23 Berdasarkan definisi tersebut, maka lingkup kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikologis, psikis, seksual dan ekonomi. Begitu luas lingkup kekerasan, sehingga dalam kondisi tertentu dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam keluarga. tidak sadar bahwa interaksi sosial mereka bernuansa kekerasan. Bahkan bagi masyarakat tertentu bukan dianggap sebagai kekerasan. Yang menjadi sasaran kekerasan dalam keluarga biasanya perempuan dan anak (istri). Memang mungkin saja laki-laki (suami) di dalam rumah tangga menjadi korban kekerasan, akan tetapi berdasarkan laporan Gelles dan Cornell- sebagaimana dikutip oleh Pusat Studi Wanita lAIN dan Me Gill Project tahun 2000, menunjukkan hampir semua kasus kekerasan yang sangat berat dialami perempuan, terbukti lewat luka-luka yang diderita para istri, dan anak-anak, bila
22
Harian Republika, Kekerasan dari Mana Datangnya,. Jumat 12 Maret 2004.h. 13 Laporan Penelitian “Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Keluarga: Analisis Kasus Pada Beberapa Keluarga di Wilayah Ciputat, Keijasama PSW lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 23
20
ada satu dua kasus laki-laki teraniaya itu biasanva disebabkan oleh bela diri dari pihak perempuan. Istilah kekerasan terhadap perempuan (istri) berarti segala bentuk kekerasan yang berdasarkan gender atau yang disebut pula dengan “gender based violence” yang akibatnya berupa kerusakan atau penderitaan fisik, non fisik. seksual, psikologis pada perempuan termasuk tindakan pemukulan dan ancaman-ancaman, paksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yang terjadi di tempat umum atau di dalam lingkungan kehidupan pribadi seseorang. 24 Kata kekerasan memang mengingatkan kita pada sebuah situasi yang kasar, menyakitkan dan adanva ketidak harmonisan dalam hubungan antara seseorang dengan orang lain serta dapat menimbulkan efek yang negatif. Namun kebanyakan orang, hanya memahami kekerasan sebagai bentuk perilaku fisik yang kasar, keras, penuh dengan kekejaman yang dapat menimbulkan perilaku yang ofensif (menekan), padahal konsep kekerasan memiliki makna yang luas. Sedangkan menurut Undang-Undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, KDRT di definisikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual. psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.25. Yang termasuk lingkup rumah tangga menurut undang-undang tersebut adalah suami. Istri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami. Istri. anak dan
24
LBH AFIK, Landasan Aksiidan Deklarasi Beijing Mengutip Dari Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Pasar, (Jakarta: Forum Kumunikasi LSM Perenpuan dan APIK), h. 88 25 UU Republik Indonesia nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (Jakarta: BP. Panca Usalia, 2004), h. 41
21
orang yang bekerja membantu rumah tangga. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. tindakan kekerasan dalam rumah tangga bisa terus ditekan. Dengan aturan ini pula kini perempuan bisa menempuh jalur hukum bila mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga KDRT tidak terjadi lagi dalam negeri tercinta ini. Di Indonesia prcsentasi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Bila pada tahun 2001 hanya tercatat 1.253 kasus saja . maka tahun 2003 angka meningkat menjadi 5.406 kasus. Dan angka tersebut hampir separuhnya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).26 Angka tersebut hanyalah untuk kasus yang dilaporkan. Sedangkan kasus-kasus yang hanya disimpan di bawah bantal bisa jadi jauh lebih besar. Karena korban KDRT lebih memilih untuk diam dikarenakan apabila mereka membuka kasus sama saja dengan Membuka aib sendiri Berdasarkan temuan data terbaru (2004), kasus KDRT jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta melaporkan sepanjang tahun 2004 telah menerima pengaduan sebanyak 389 kasus tindakan kekerasan dalam rumah tangga dengan korban perempuan dan anak-anak, angka-angka tersebut naik sekitar 38,9 persen dibanding tahun lalu ( 2003 ).27 Jika angka kekerasan khususnya KDRT semakin hari semakin meningkat sebagaimana yang dilaporkan oleh harian Republika, maka sepatutnya kita untuk menelaah lebih jauh kenapa ini bisa terjadi demikian. Kontrol sosial dari seluruh lapisan masyarakat 26
Republika, Stop Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta Jum’at. 25 Juni 2004, Tulisan
27
Republika, Jika Ada Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta ,Minggu, 23 Januari 2005.h.
Pertama 1
22
dan pemerintah, tentu merupakan usaha-usaha mengurangi bahkan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan yang harus lebih digiatkan. Ketika kekerasan terhadap perempuan itu terjadi, maka hanya satu kata “hentikan”.
B.Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Secara spesifik bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak tertuang dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Declaration on the Elimination of Violence Against Women), yang diadopsi Majelis PBB Tahun 1993, pada pasal 2 sebagai berikut : (1) tindakan kekerasan secara fisik, seksual, psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anak-anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan masa kawin (mahar), perusakan alat kelamin perempuan, praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan di luar hubungan suami-istri, serta kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.
(2)
kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya. (3) kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara.28 Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam Declaration on the Elimination of Violence Against Women yang diadopsi Majelis PBB Tahun 1993 memiliki lingkup yang cukup luas. Kekerasan tidak hanya pada fisik, tetapi juga non fisik yang meliputi kekerasan psikis atau psikologis, pengekangan akses interaksi sosial. Dan jenis kekerasan lain yang
28
Fathul Djannah dkk. Kekerasan Terhadap Istri. (Yogyakarta: Lkis dan CIDA-ICIHEF Jakarta dan Pusat Study Wanita IAIN Sumatra Utara, 2003), h. 17
23
“dibenarkan” oleh Negara. 29 Lingkup kategori kekerasan tersebut tentu bertujuan untuk mengurangi bahkan menghilangkan kekerasan terhadap perempuan di muka bumi. Sedangkan Magdalena Sitonis mengelompokan kekerasan menjadi 4 bentuk, (1) kekerasan secara fisik (physical abuse) misalnya, mulai dari menjambak, memukul, menampar, menggigit, sampai memotong akses untuk menjaga kesehatan. (2) kekerasan psikologis (psychological & emotional abuse), misalnya menanamkan perasaan takut melalui intimidasi, mengancam akan menyakiti menculik, menyekap, ingkar janji, dan merusak hubungan orang tua dan saudara. (3) kekerasan secara ekonomi (economic abuse) misalnya membuat tergantung secara ekonomi, melakukan kontrol terhadap penghasilan dan sebagainya. (4) kekerasan seksual (seksual abuse) misalnya memaksakan dan mendesakkan hubungan seks seperti melakukan penganiayaan memaksa menjadi pelacur. memaksa seks dengan orang lain dan sebagainya. Kekerasan bukan hanya kekerasan fisik saja seperti pemukulan atau tendangan, akan tetapi dapat berbentuk sangat halus dan tidak dapat di lihat dengan kasat mata seperti kecaman, kata-kata yang meremehkan dan sebagainya. Bahkan bahasa tubuh yang mempunyai makna mendiskriminasikan, menghina, menyepelekan atau makna lain yang berarti kebencian adalah termasuk kekerasan. Paling tidak terdapat lima kategori bentuk kekerasan dalam rumah tangga yaitu, fisik, emosional atau psikologis, seksual, ekonomi dan sosial.30 Kekerasan fisik biasanya dapat berakibat langsung dan dapat di lihat dengan kasat mata, seperti adanya memar di tubuh atau goresan luka. Sedangkan kekerasan emosional atau psikologis tidak dapat menimbulkan akibat langsung, namun dampaknya bisa membuat si
29
. Fathul Djannah dkk. Kekerasan Terhadap Istri. H. 17
30
Juliani Wahjana, Artikel diakses tanggal (22 Desember 2000) http: www. NL Ranesi html Kekerasan Perempuan dan Komnas HAM Bagian Kedua h. 2
24
korban merasa trauma dan putus asa apabila kejadian tersebut berlangsung secara berulang kali. Kekerasan emosional seperti penggunaan kata-kata kasar yang sifatnya merendahkan atau mencemoohkan, misalnya “membanding-bandingkan”
istri dengan orang lain dan
mengatakan bahwa istri tidak “becus” dalam menjalankan tugasnya dan sebagainya.
C. Sebab-Sebab Timbulnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terdapat beragam argumentasi yang berkembang pada para ahli menyangkut dengan terjadinya sumber kekerasan terhadap istri. Menurut Achmad Chusairi, kekerasan terhadap istri pada rumah tangga disebabkan oleh adanya dominasi sumber ekonomi keluarga, memiliki persoalan psikis di mana trauma masa kccil dan tinggal dalam Iingkungan dengan penuh kekerasan.31 Perempuan yang tidak memiliki kemandirian ekonomi maka ia sangat tergantung pada suaminya. Ketergantungan secara ekonomi menyebabkan suami merasa berkuasa dan melakukan kesewenang-wenangan, salah satu bentuknya adalah kekerasan terhadap istri. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas (dalam latar belakang masalah), hubungan antara gender (perbedaan laki-laki dan perempuan dalam kultural yang dikontruksi susunan secara sosial) dan kekuasaan diidentifikasikan dengan “siapa memiliki”, “siapa memutuskan” dan “siapa mendominasi” diantara kedua kategori identitas gender. Kekuasaan akses terhadap sumber ekonomi menjadi kekuatan tersendiri baik skala makro (negara) maupun mikro (rumah tangga) mendorong ke ruang kekuasaan. Atau dengan kata lain, “siapa yang mempunyai sumber ekonomi, maka ia berkuasa”. Dalam rumah tangga, biasanya yang mempunyai sumber ekonomi adalah suami, sehingga pada gilirannya ia berkuasa.
31
Ahmad Chusari, Kekerasan Terhadap Istri dan Ketidak Adilan Gender (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 54
25
Adanya dua respons yang membuktikan adanya pihak yang dikuasai dan menguasai, yaitu respons dalam bentuk resistensi (ketahanan) dan berlanjut mendorong penindasan. Pada posisi inilah seorang istri akan menjadi sasaran kekerasan suami, terutama apabila tidak terjadi keseimbangan baru yang disepakati oleh semua pihak yang terlibat, maka terjadilah perubahan sistem kekuasaan32. Suami yang memiliki persoalan psikis, baik tekanan pekerjaan maupun persoalan pribadi di luar rumah. Persoalan psikis itu mengakibatkan stres yang berujung pada tindakan kekerasan suami terhadap istri. Di samping itu, kekerasan yang dilakukan oleh suami hasil ingatan tentang kekerasan yang di alaminya pada masa kanak-kanak. Suami yang melakukan kekerasan terhadap istrinya adalah mereka yang pernah menerima perlakuan kekerasan di masa kecilnya baik oleh orang tuanya maupun lingkungannya. Trauma masa kecil itu kemudian di ulang kapada istrinya sebagai semacam dendam atas pengalaman yang menyakitkan. 33 Penjelasan di atas tidak mencukupi kita untuk menjelaskan fakta KDRT yang sangat kasuistik, apalagi konteks Indonesia yang sangat pluralistik. Para ahli lainnya menyimpulkan, dari penelitian mereka, bahwa kekerasan suami terhadap istri juga ditemukan pada keluarga di mana istri juga sama-sama memiliki penghasilan dan suami yang sehat secara psikis serta tinggal di lingkungan normal. Oleh karena itu, faktor-faktor penyebab kekerasan dalam keluarga yang dilakukan oleh suami terhadap istri sangat tergantung pada subjek penelitiannya. Sehingga apa pun kesimpulannya, tidak dapat digeneralisasi, walaupun memang ada persamaan-persamaannya.
32 33
Ibid. h. 55. Ibid h . 57
26
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah universal yang melewati batasbatas negara dan budaya. Studi yang dilakukan di 90 komunitas yang berada di dunia menunjukan pola tertentu dalam insiden kekerasan terhadap perempuan khususnya istri, menurut studi tersebut terdapat empat faktor terjadinya kekerasan. 34(I) ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki. (2) penggunaan kekerasan sebagai jalan keluar suatu konflik. (3) otoritas (kekuasaan) dan kontrol laki-laki dalam pengambilan keputusan. (4) hambatanhambatan bagi perempuan untuk meninggalkan setting keluarga. faktor-faktor yang sering kali tertutup oleh mitos-mitos. Misalnva dominasi laki-laki merupakan indikasi (petuniuk) kejantanan terhadap perempuan. Sedangkan para ilmuwan antropologi. menyatakan bahwa kekerasan terbadap perempuan merupakan fungsi dari norma-norma sosial yang telah terkonstruksi yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan dan perempuan pada posisi yang tersubordinasi. Sebagai studi antropologi. sah-sah saja menyatakan demikian. akan tetapi sasaran tersebut bukan satu-satunva pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Fathul Djannah dkk, menggolongkan faktor-faktor yang menimbulkan dominasi suami terhadap istri menjadi duá faktor, pertama faktor eksternal; kedua faktor internal 35 Dan dua faktor tersebut, Fathul Djannah dkk, menyimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat sedikitnya enam faktor yang menyebabkan dominasi suami terhadap istri, yaitu ; (1) fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak dioposisikan setara dalam masyarakat. (2) masyarakat masih membenarkan anak laki-laki dengan didikan yang bertumpukan pada kekuatan fisik, yaitu untuk menumbuhkan keyakinan bahwa mereka harus kuat berani serta tidak toleran. (3) budaya yang mengkondisikan perempuan atau istri tergantung kepada laki34
Juliani Wahjana. Artikel diakses tanggal 22 Desember 2000. Dari http www. NI Ranesi html Kekerasan Perempuan dan Komnas HAM Bagian Kedua h. 2. 35 Saparinah Sadeli, Beberapa Catatan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia Jakarta: 2000. H. 4.
27
laki atau suami, khususnya secara ekonomi. (4) adanya persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang di anggap harus ditutup karena tenmasuk privasi suami istri dan bukan merupakan permasalahan sosial. (5) adanya pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang penghormatan pada posisi suami, tentang aturan mendidik istri dan tentang ajaran kepatuhan istri terhadap suami. (6) kondisi kepribadian dan psikologis suami yang tidak stabil (labil). Bila diperhatikan secara mendalam, penjelasan di atas yang disampaikan oleh para ilmuwan, perbedaan (laki-laki dan perempuan secara sosial (gender) menduduki peran yang sangat besar dalam menyumbang KDRT. Untuk merespons cara pandang tersebut, dalam dua dekade terakhir lahirlah kelompok feminis yang secara khusus menyoroti kedudukan perempuan dalam masyarakat. Feminis berupaya menggugat kemapanan patriarkhi dan berbagai bentuk stereotip gender lainnya yang berkembang luas dalam masyarakat. Kaum feminisme menyatakan bahwa semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lainnya.36 Perjuangan kaum feminisme tidak henti-hentinya memperjuangkan kesetaraan Gender, sehingga pada akhirnya tidak terjadi lagi dominasi laki-laki dan perempuan khususnya dalam rumah tangga. Berdasarkan penjelasan di atas, penyebab kekerasan terhadap perempuan (istri) bersumber dari dominasi laki-laki terhadap perempuan (istri). Dominasi laki-laki tethadap perempuan dibentuk oleh beberapa hal, antara lain: (1) Akses terhadap sumber ekonomi. (2) Tafsir teologi yang bias jender. (3) Kontruksi sosial yang mendudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (faktor budaya). (4) Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. (5) Masyarakat masih 36
. ibid h. 4.
28
membenarkan anak laki-laki dengan didikan yang bertumpukan pada kekuatan fisik. (6) Adanya persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang di anggap harus ditutup karena termasuk privasi suami istri dan bukan merupakan permasalahan sosial. (7) Adanya pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang penghormatan pada posisi suami, tentang aturan mendidik istri dan tentang ajaran kepatuhan istri terhadap suami. (8) Kondisi kepribadian dan psikologis suami yang tidak stabil (labil). Posisi suami yang menempati atas (dominasi) pada akhirnya pola kekuasaan dalam rumah tangga tidak proporsional. Suami
mempunyai kekuasaan, sementara istri
tersubordinasi. Kesenjangan dominasi yang timpang dalam rumah tangga mengakibatkan kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri.37 BAB III PANDANGAN ISLAM MENYIKAPI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Tuntunan Islam Bagi Orang Tua Dalam Mendidik Anak
Mendidik anak dengan akhlak yang terpuji adalah kewajiban setiap orang tua. Rasul SAW menyebut hal itu merupakan pemberian orang tua kepada anaknya yang sangat mahal harganya. Seperti sabda Rasulullah SAW: “Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih mahal nilainya dari pada mendidik akhlak karimah”. (.H.R. Bukhari).
37
. Jamhari Ismatu Ropi “ Citra Perempuan Dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. H.34
29
Adapun hal-hal yang sangat perlu lagi penting untuk diterapkan dalam mendidik anak-anak, di antaranya adalah: 1. Menanamkan Ketauhidan Yang pertama kali dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak, adalah menanamkan ketauhidan sedini mungkin dalam kehidupan sang anak. Tentu saja orang tua diharapkan dapat menerapkan ajarannya tersebut sesuai dengan tingkat usia si anak, sehingga apa yang mereka ajarkan dapat diterima si anak dengan baik. Nilai keesaan Allah SWT hendaklah senantiasa ditanamkan pada hati anak, sehingga hal itu menjadi satu keyakinan yang menggumpal kokoh, teguh dan kuat dalam sanubarinya semenjak anak masih kecil. Sabda Rasulullah : “Ajarilah anak-anak kecilmu kalimah: La ilaha illallah sewaktu mulai bicara, dan tuntunlah mereka untuk membaca kalimat tauhid tersebut sewaktu menghadapi kematian”. ( H.R. Hakim).
30
2. Mengajarkan Agama Mengajarkan agama pada anak hendaklah disampaikan dengan cara yang membuat anak menjadi tertarik. Dari ketertarikannya tersebut akan menyebabkan anak akan mudah menangkap dan memahami pelajaran yang diberikan kepadanya. 3. Mendidik Akhlak Pendidikan akhlak yang diberikan kedua orang tua kepada anak-anaknya, sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat penting lagi berharga. Bahkan Rasul SAW telah menegaskan, bahwa tidak ada pemberian orangtua yang paling berharga kepada anaknya daripada pendidikan akhlak mulia.
30
Mendidik akhlak untuk anak sesungguhnya merupakan kewajiban mutlak orang tua terhadap anaknya serta menjadi hak penuh sang anak dari orang tuanya, hal itu sesuai dengan jawaban yang diberikan Rasulullah SAW ketika beliau mendapat pertanyaan para sahabat. Pada suatu ketika para sahabat mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, kami telah mengetahui hak orangtua, kemudian apakah hak kami padanya?” Jawab Rasulullah: “Hendaklah orangtua memberikan nama yang bagus, dan mendidik dengan baik,” (H.R.Baihaqi) Beberapa etika yang seharusnya diterapkan pada pendidikan akhlak anak, di antaranya adalah: a) Senantiasa membaca Basmalah sebelum memulai sesuatu pekerjaan dan mengucapkan Hamdalah setelah mengahiri sesuatu pekerjaan itu. b) Senantiasa menggunakan tangan kanan dalam meleksanakan berbagai kegiatan atau aktifitas yang baik, semisal: memberi, mengambil, makan, minum dan menulis serta berbagai aktifitas yang baik lainnya. c) Membiasakan anak untuk berdoa sebelum dan sesudah melakukan sesuatu kegiatan. d) Membiasakan anak untuk selalu membaca serta mempelajari Al Qur’an yang terus bertahap sesuai dengan tingkat usianya. e) Membiasakan anak untuk selalu mengucapkan salam, baik sebelum berangkat atau keluar dari rumah serta pula ketika hendak masuk ke dalam rumah dan juga ketika bertemu dengan sesama anak muslim.
31
f) Membiasakan anak untuk diam ketika ayat-ayat Al Qur’an diperdengarkan dan adzan dikumandangkan. g) Mendidik Shalat
Pendidikan orang tua untuk anak-anaknya sejak anak-anak tersebut kecil agar mengerjakan shalat merupakan suatu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh orang tua. Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada sekalian kaum muslimin yang mengaku umat beliau SAW, agar memerintahkan anak-anak muslim untuk melaksanakan shalat ketika anak-anak itu berumur tujuh tahun. Sabda Rasulullah SAW: “Perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka untuk melakukan shalat ketika berumur sepuluh tahun serta pisahkan masing-masing dari tempat tidur mereka (anak laki-laki dan perempuan). (H.R. Ahmad dan Abu Dawud). 4. Mendidik Kejujuran dan keadilan. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimanapun juga. Islam sangat menganjurkan kepada setiap pemeluknya untuk senantiasa bersikap jujur atau mengatakan sesuatu scara jujur walaupunberat atau pahit resikonya. Orang tua yang saleh tentu akan senantiasa membiasakan anak-anaknya untuk berlaku jujur, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dan yang paling penting, orang tua hendaknya member contoh akan kejujuran yang dimintanya untuk dilaksanakan oleh anak-anaknya. Kebohongan dari orang tua, meski hanya bergurau
32
sifatnya, akan menunjukan bahwa orang tua tersebut adalah pembohong dan tidak jujur sifatnya. Perhatikan wasiat Rasulullah SAW berkut ini: “Barangsiapa berkata: Ambillah, kepada anaknya, kemudian tidak memberikan apa-apa kepadanya, maka hal itu termasuk tindak kebohongan.(H.R. Ahmad) 5. Memberi Contoh keteladanan yang baik Anak-anak akan belajar langsung dari hal-hal yang dilihatnya, didengarnya dan juga dirasakannya secara langsung. Pengarahan yang diberikan orang tua yang hanya berdasarkan nasehat, petuah atau hal-hal yang lainnya yang berdasarkan lisan semata, akan sangat tidak berhasil guna jika tidak diikuti oleh tindakan yang nyata dari orang tua. 6. Perhatian terhadap Anak-anak di Rumah Di dalam rumah keluarga muslim setiap anak seharusnya mendapat perhatian yang lebih dari kedua orang tuanya, agar segala tindak-tanduknya senantiasa dapat dikontrol. Seorang kepala keluarga yang lepas kendali dalam mengawasi kelakuan anakanaknya hingga mereka melakukan maksiat, maka kelak di akhirat kepada rumah tangga tersebut akan mendapat dua tuntutan, yakni tuntutan dari anak-anaknya yang semasa hidup mereka tidak mendapat pengawasan yang baik dan tuntutan dari Allah SWT perihal tanggung jawab yang diembannya selama ia hidup. Oleh kerenanya, sebagai pemimpin dimana setiap gerak-gerik maupun tindaktanduknya senantiasa menuntutnya untuk dapat dipertanggung jawabkan kelak di
33
hadapan Allah SWT, sudah seharusnya ia melakukan pengawasan dan perhatian anak-anaknya tersebut.38
B. Anak Dan Harta Adalah Ujian
“Sesungguhnya harta benda dan anak-anakmu adalah merupakan ujian, dan di sisi Allah ada pahala yang besar” (At-Taghabun 15).
Surat yang lain juga menerangkan:
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman? Janganlah harta-benda dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan siapa-siapa yang berbuat demikian, itulah orang-orang yang menderita kerugian”. (Al-Munafiqun 9).
38
Abdullah, Ilham., “Kado Buat Mempelai ‘Membentuk Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah’. Penerbit Absolut: Yogyakarta 2003, h. 515-550
34
Di antara sekian banyak rahmat karunia Allah yang dilimpahkanNya kepada hambaNya terdapatlah dua macam nikmat yang amat disukai, didambakan dan diperebutkan oleh manusia selama hayatnya. Yang pertama adalah nikmat harta benda atau kekayaan, dan yang kedua nikmat berkeluarga. Hidup berkeluarga adalah merupakan sunnatullah yang harus dijalani oleh umat manusia. Betapa juga banyaknya harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang disertai lagi oleh pangkat atau kedudukan yang tinggi dan kemewahan yang melimpah ruah, namun kedudukan ini akan terasa kosong dan hampa, jika orang yang bersangkutan tidak mempunyai keluarga atau anak-anak untuk penawar hati pelibur lara. Sepasang suami istri yang sudah lama menikah tetapi tidak memperoleh keturunan, akan selalu merasa kesepian. Mereka rela membuka kalung dari leher, menjual gelang dan cincin, mengeluarkan biaya berapapun juga besarnya untuk berobat ke sana ke mari, agar mereka mendapatkan anak. Bila sudah mempunyai anak, mereka rela pula mengorbankan apa saja demi cinta kasih terhadap anaknya, sehingga kadang-kadang mereka lupa kepada kesenangan dirinya sendiri. Bagi sepasang suami istri, tidak ada gunung yang tinggi untuk didaki, lembah yang curam untuk dituruni, demi cinta untuk keluarganya. Dengan ayat itu Allah SWT memperingatkan kepada kita bahwa kedua nikmat itu adalah ujian yang amat berat. Dari itu janganlah kita sampai terbawa
35
hanyut sehingga lupa kepada Allah pemberi nikmat, lupa bersukur dan beribadah, lupa kepada diri sendiri siapa kita ini yang sebenarnya. 39
C. Perlakuan Kekerasan Terhadap Anak Di dalam Islam 1. Membunuh Anak. Anak mempunyai hak hidup. Ayah dan ibu tidak boleh merenggut hidupnya si anak, baik dengan membunuh ataupun dengan menanam hidup-hidup, sebagaimana yang biasa di lakukan orang-orang arab di zaman jahiliyah. Ketentuan ini berlaku untuk anak laki-laki maupun wanita. Firman Allah:
Yang artinya : “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu lantaran takut kelapan, kamilah yang akan memberikan rezekikepada mereka maupun kamu, sesungguhnya membunuh mereka suatu dosa yang besar”. (al. Isra: 31) Dalam surat berikut juga menjelaskan:
Yang artainya “ Dan apabila diperiksa anak perempuan yang di tanam hiduphidup. Sebab dosa apakah dia dibunuh?”. (At-Takwir: 8-9)
39
Sulaiman, H. Zainuddin., “Anak dan Harta adalah Ujian” Buku Bunga Rampai Ajaran Islam 10, Jakarta Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia 1986, h. 188
36
Kerena dorongan untuk berbuat yang mungkar ini ada kalanya soal ekonomi, misalnya karena takut kelaparan dan kemiskinan, atau alas an non ekonomis, misalnya karena takut tercela kalau si anak itu kebetulan perempuan, maka Islam mengharamkan perbuatan biadab ini dengan sangat keras sekali. Sebab perbuatan seperti itu dapat memutuskan kekeluargaan dan menyebabkan permusuhan. 2. Perbedaan Pemberian Kepada Anak-anak. Seoarang ayah harus menyamakan antara anak-anaknya dalam permberian, sehingga dengan demikian mereka akan berbuat baik kepada ayah dengan sama. Di samping itu seorang ayah dilarang mengistimewakan pemberiannya kepada salah seorang diantara mereka tanpa ada suatu kepentingan yang sangat. Sebab yang demikian itu akan menjengkelkan hati yang lain. Dan akan mengobarkan api permusuhan dan kebencian sesame merka. Ibu dalam hal ini sama dengan ayah.. Rasulullah s.a.w bersabda sebagai berikut: “Berlaku adillah kamu terhadap anak-anakmu.’ 3 kali” {HR. Ahmad, Nasai dan Abu Daud.}.40
40
Yusuf, Qordhowi,. “Halal Dan Haram Dalam Islam” Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980, h. 316
37
38
BAB IV
GAMBARAN UMUM PELAKU DAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA
A. Identitas Keluarga Korban Gambaran Identitas korban kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak sangat penting diketahui. Hal ini untuk melihat sejauh mana perbedaan dan persamaan identitas pada masing-masing kasus berangkat dari pengetahuan identitas masing-masing kasus, penelitian akan semakin utuh dalam menjelaskan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak kasusunya, pada tabel 3 di bawah ini dijelaskan identitas keluarga korban pada masing-masing rumah tangga. Tabel 1. Identitas Keluaraga Korban Informan
Agama
Etnis
Kasus 1
Islam
Betawi
2 orang laki-laki
Kasus 2
Islam
Sunda
1 Orang anak Perempuan
Kasus 3
Islam
Betawi
2 Orang Anak Perempuan
Kasus 4
Islam
Jawa
1 Orang Anak Laki-laki
Kasus 5
Islam
Jawa
1 Orang Anak Perempuan
Data di proses dari hasil wawancara.
39
Jumlah Anak
Berdasakan karakteristik agama, pelaku dan korban kekerasan semuanya beragama Islam. Sejak lahir mereka sudah memeluk agama Islam. Para orang tua mereka semuanya, menganut agama Islam jadi memeluk agama Islam berdasarkan keturunan. Sedangakan berdasarkan etnis 39 pelaku dan korban dari etnis dan berbedabeda. Pada etnis betawi, sunda, jawa, masing-masing ada yang menjadi pelaku tindak kekerasan rumah tangga terhadap anak dan sekaligus korban kekerasan rumah tangga. Atas dasar tersebut walapun dalam penelitian ini hanya tiga etnis yang menjadi subjek penelitian yaitu: Betawi, Sunda dan Jawa, kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dapat terjadi setiap hari di setiap etnis apapun. Karateristik keluarga berdasarkan jumlah anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga berbeda-beda, ada yang dua orang di setiap etnis misalnya pada kasus ketiga terjadi pula tindak kekerasan. Hal serupa juga terjadi pada keluarga yang memiliki satu orang anak misalnya pada kasus pertama memiliki dua orang anak. Berdasakan fakta tersebut , hal ini menunjukan bahwa pelaku dan korban kekerasan anak dalam rumah tangga dapat menimpa setiap keluarga yang memiliki jumlah anak yang berbeda-beda anak laki-laki maupun perempuan. oleh karena itu jumlah anak dalam keluarga tidak dapat mengerem tindakan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga. 41 Karena sistem perlindungan untuk anak masih lemah dan advokasi masalah
41
Tangerang 10 Februari 2008, Komnas HAM Dan Perlindungan Anak Dalam Rumah Tangga Dan Masyarakat, Riset, Wawancara, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Desa Gandaria Rt5 Kecamatan Mekar Baru Tangerang Banten 2008.
40
tersebut seolah jalan ditempat, maka kita perlu berpikir kreatif. Antara lain, kita perlu memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan para pelaku kekerasan untuk memberikan pendidikan masyarakat. Kiat ini tentunya akan menuai kontroversi. Bagi saya pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang yang sering kali tidak mampu mengatasi nasibnya sendiri untuk menjadi warga masyarakat yang baik. Mereka, sebagaimana kriminal yang lain juga. Dalam perjalanan hidupnya kemungkinan besar pernah menjadi korban. Pada saat itu tak seorangpun datang untuk menolong mereka sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan keyakinan bahwa kemalangan itu dan segala kekerasaan yang diterimanya memang menjadi bagian dan hidupnya. Bantuan sosial-psikologis terhadap pelaku kekerasan dalam persoalan KDRT, seharusnya menjadi bagian integral dalam prevensi primer dan sekunder. Melalui bantuan seperti itu, kita mencegab mereka mengulang tindakannya. Selain itu, beberapa di antaranya mungkin dapat diberdayakan untuk keluar dari stigmatisasi masyarakat dan siksaan batinnya untuk membantu orang lain agar tidak melakukan kekerasan pada anak. Mereka adalah sumber yang dapat dipercaya karena mereka pernah dalam keadaan emosional dan mental yang menjadikan mereka tidak lebih baik dari binatang. Mereka adalah manusia-manusia yang pernah bersentuhan dengan bagian yang paling gelap dan sifat kemanusiaan mereka. Jika pengalaman mereka dapat direkonstruksi menjadi energi positif untuk mengatasi masalah yang amat kompleks dan sulit ini, bukankah ini jauh lebih baik dari pada tenggelam dalam lingkaran setan hukuman dan kekerasan. Jika rasa bersalah atau kemarahan yang ada
41
pada pelaku kekerasan dapat kita kemas ulang menjadi kepedulian dan tanggung jawab, yang Iebih dari cukup dari kekejamannya. Bersamaan dengan itu, kita jelas harus membangun sistem perlindungan yang betul-betul Mari
kita renungkan
bersama. 42. Berkat dan anugerah Tuhan yang dititipkan kepada kita. Dan semestinya negara dalam tanggung jawabnya secara politis dan yuridis yang diamanatkan konstitusi dasar, tidak membiarkan dan menyerahkan begitu saja tanggung jawab perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak anak terhadap masyarakat dan keluarga. Sementara negara masih enggan menempatkan posisi anak-anak dalam kebijakan pembangunan sejajar dengan isu politik dan ekonomi. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menjawab derita anak-anak, khususnya anak yang membutuhkan perlindungan khusus, sering kali menempatkan anak sebagai persoalan domestic43. Padahal Persoalannya bukan menyangkut kondisi saat ini saja yang menyakitkan, tetapi juga penderitaan anak yang menjadi korban kekerasan itu kerap berkepanjangan. Ada yang menderita tekanan fisik dan cacat, juga ada yang terbawa sepanjang hidupnya yang menjelma menjadi trauma. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan akan mengalami nasa ketidaksadaran dan konflik batin yang hebat.Dalam kompleksitas kehidupan sosial, bisa dipastikan ada banyak hal yang mempengaruhi terjadi berbagai bentuk dan jenis kekerasan pada anak-anak. Di satu sisi ada yang berkaitan dengan budaya, yang kemudian memunculkan istilah budaya kekerasan, di 42
Hasan Hanafi. “ Agama Kekerasan Dan Islam Kontemporer”. Jakarta: Jendela, 2001. H. 7. LBH. Apik Lembaga Bantuan Hukum , Perlindungan Anak Sebagai Upaya Menghapus Tindak Kekerasan Atas Anak . Jakarta: LBH 2004. H.1 43
42
sisi lain ada yang bertalian dengan struktur dan relasi kekuasaan. 44 Fakta dan data di atas dan untuk menghadapi persoalan pelanggaran hak anak, semua pihak sebagai tanggung jawab berbangsa dan bernegara patut terus mendorong pemerintah sebagai penyelenggara mengambil langkah- langkah dalam upaya menimalisir tindak kekerasan
terhadap anak, Pertama, menjauhkan budaya
kekerasan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua, menjadikan program perlindungan Anak di Indonesia sebuah program prioritas bagi pemerintah dalam menjawab komitmen negara sebagai negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak dan pelaksanaan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketiga, mengeluarkan kebijakan Negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak kekerasan , diskriminasi, dan perlakuan. 45
B. Identitas Pelaku Tindak Kekerasan Terhadap Anak Tabel 2 identitas tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak-anak. Informan
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Kasus 1
38
SD
Pedagang
Rp. 200.000
Kasus 2
42
SD
Petani
44
Rp. 30.000
LBH Apik Lembaga Bantuan Hukum. “ Hak Pemeliharaan Dan Status Kewarganegaraan Dan Anak Setelah Putusnya Perkawinan Campuran Selembaran LBH Jakarta 2004. H. 42. 45 LBH APIK Lembaga Bantuan Hukum “ Perlindungan Anak Sebagai Upaya Menghapus Tindak Kekerasan Atas Anak. Selembaran LBH Jakarta: h. 2,
43
Kasus 3
25
SI
PNS
Rp. 500.000
Kasus 4
28
SMA
Pedagang
Rp. 200.000
Kasus 5
53
SMP
Pegawai Biasa
Rp. 500.000
Sumber:Diolah dari hasil wawancara Berdasarkan kniteria pendidikan satu kasus SD, Sekolah Dasar, SMA Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, Pendidikan Sarjana, pelaku kekerasan rumah tangga yang di lakukan kepada anak dan di lakukan oleh kedua orang tua asuh dengan alasan untuk mendisiplinkan, dengan cara yang berbeda-beda dan di lihat dari penghasilan yang berbeda-beda Termasuk kekerasan kategori agak berat dan berat antara lain diminta bekerja tanpá mengenal waktu untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan yang sangat memilukan adalah kenyataan, Perlindungan Anak Sebagai Upaya Menghapus Tidak sedikit anak-anak yang semestinya menikmati keriangan dunia bermain bersama temannya dijual dan dijadikan pekerja seks komersial. Di sekolah anak-anak yang kurang pandai atau prestasinya tertinggal dari temannya serta mendapat cap “nakal” sering diperlakukan kurang layak oleh gurunya. Ada yang dilecehkan dengan sebutan atan perlakuan yang bersifat merendahkan dan bagi yang dianggap “nakal” memperoleh hukuman. Para orang tua dan guru yang melakukan kekerasan itu mungkin tidak menyadari tindakannya bisa berdampak panjang bagi si anak. Pelecehan dan hukuman akan membekas pada benak si anak dan bisa mempengaruhi perkembangan kejiwaannya. Berdasarkan lima kasus yang di temukan besar Rp. 500.000 dan kecilnya Rp. 30.000 penghasilan kedua orang tua
44
tidak dapat menghentikan sebagai pelaku tindak kekerasan rumah tangga terhadap anak46 C. Identitas Korban Kekerasan Terhadap Anak Keriteria Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang ditemukan pada lima kasus ini ternyata berbeda-beda, hal ini dapat di lihat pada tabel 3 Informan
Usia
Pendidikan
Tingkatan anak
Akibatnya
Kasus 1
16
SD
3
Cacat Fisik
Kasus 2
14
SD
2
Cacat Fisk
Kasus 3
15
SD
1
Patah Tulang
Kasus 4
12
SD
2
Pemerkosaan
Kasus 5
17
SMP
1
Gangguan Jiwa
Berdasarkan temuan di lapangan , keriteria para anak yang jadi korban kekerasan anak menunjukan usia pada masih dini dan masih terhitung belum mengerti apa-apa antara anak laki-laki dan perempuan, dan berdasarkan pendidikan mereka masih menginjak SD, Dan Juga SMP, dan yang paling banyak mengalami kekerasan adalah anak perempuan sering kali mereka Dipukul, dijambak, ditendang,
46
LBH Jakarta, Nobik Apik Lembaga Bantuan Hukum “ Sindikat Perdagangan Anak Perempuan Selembaran LBH 2004 Jakarta, h. 4 Data dari wawancara 10 Februari 2008 Desa Gandaria rt 01 rw 05 Tangerang Banten
45
diinjak, dicubit, dicekik, dicakar, ditempel besi panas, dipukul dengan karet timba, dijewer dan lain sebagainya. Akibat tindakan yang tidak terpuji itu, akan membawa dampak pada
si
kecil,
seperti kematian.
Menghambat pertumbuhan dan
perkembangan anak. Mempengaruhi kesehatan anak. Mempengaruhi kemampuan untuk belajar dan kemauannya untuk bersekolah. Mengakibatkan anak lari dari rumah. Menghancurkan rasa percaya diri anak. Dapat mengganggu kemampuannya untuk menjadi orang tua yang baik di kemudian hari. Di antara rutinitas itu terlihat pemandangan yang tak enak. Seringkali terjadi kasus seorang ayah mencabuli anak kandungnya yang mempunyai keterbelakangan mental. Jika si ayah sudah puas, untuk menghindani jejaknya, si ayah yang biadab ini mengancam kepada putrinya yang masih belia. Ayah yang tidak mempunyai perikemanusiaan ini akan membunuh bocah perempuannya jika memberitahu kejadian yang baru saja dilakukannya. Hal ini kesetaraan antara pendidikan SD, SMP tidak dapat mengerem tindakan kekerasan yang di lakukan oleh orang tua.47 Tentunya sebagai orangtua harus memandang anak sebagai amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai potensi dan generasi penerus cita-cita dan eksistensi bangsa dan negeri. Serta sebagai dambaan dan penerus keluarga.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Termasuk kategori anak juga bisa
47
LBH Apik Lembaga Bantuan Hukum “ Perlindungan Anak Sebagai Upaya Menghapus Tindak Kekerasan Atas Anak , Selembaran LBH Jakarta 2004. h. 2
46
dikatakan masih dalam kandungan.48 Hak anak adalah bagian integral dari Hak Asasi Manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemenintah dan negara.Anak mempunyai hak dasar yang harus diperhatikan, yakni, hak untuk hidup. Yakni hak untuk mendapatkan identitas diri dan status kewanganegaraan. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jasmani dan rohani. Hak untuk beribadah menurut agama dan keyakinan yang dianut. Selain anak mempunyai hak untuk hidup, anak juga mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang. 49 Meliputi, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, berkreasi dan bergaul dan hak mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Tak hanya itu, anak juga mempunyai hak berpartisipasi, diantaranya, hak untuk dinyatakan dan didengar pendapatnya. Hak mendapat, mencari dengan tingkat kecerdasan seusianya. Dan yang terakhir anak juga harus mendapatkan hak untuk mendapatkan perlindungan. Sebagai contoh, perlindungan dari tindakan eksploitasi, penelantaran, kekerasan, dan penganiayaan serta perlakuan salah lainnya. Tindak kekerasan yang terjadi pada anak setiap hari jutaan anak yang ada di dunia di eksploitasi, disiksa dan merupakan korban tindak kejahatan yang dilakukan orang dewasa. 50
48
Drs. Rahmat. A, Tata Negara, Bandung: Mizan Ganeca Exacet1996. h. 154
49
Praf. Dr.Isrnail Suniy,Sh., Penggeseran Kekuasaan Ekcekut: Jakarta:Aksara Baru 1986,h
20 50
Ka Seto, Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga Di Jakarta Tahun 2001-200 Dan Hak nAnak Dalam Rumah Tangga, WWW. Googel Com. Komnas HAM, Bagian Kekerasan Rumah Tangga, LBH, h. 1.
47
48
BAB IV ANALISA KEKERASAN RUMAH TANGGA TERHADAP ANAK
A. Faktor Yang Menyebabakan Kekerasan Didalam Rumah Tangga Terhadap Anak Anak menilai faktor ekonomi sebagai pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. “Kemiskinan menyumbang stres terhadap orang tua yang kemudian melampiaskan ke anak, korban kekerasan terhadap anak. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang semakin meningkat, kemarahan terhadap pasangan dan ketidak berdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak. Diperparah dengan berbagai kebijakan pembiaran yang dilakukan negara terhadap pelanggaran hak anak. Kejadian seperti busung Iapar, polio, demam berdarah, anak terlantar, anak putus sekolah sampai pada kenaikan BBM merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan masyarakat menengah bawah. Untuk itu pemerintah mendesak untuk benar-benar melaksanakan kewajibannya dalam mcnghentikan kekerasan, penelantaran. diskriminasi dan eksp1oitasi terhadap anak. 51 Konmas juga mendesak pemerintah untuk memberi alokasi anggaran khusus untuk anak-anak korban kekerasan. Anak Indonesia harus memperoleh jaminan untuk memperoleh aksesbilitas layanan kesehatan, pendidikan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta hak partisipasi baik secara fisik maupun psikis.
51
Gede Aiya B Winata., “Hak Asasi Manusia Dalam Realitas” Refika Aditama. LBH Afik, 48 Komnas HAM Perlindungan Perempuan, 2005. h.227
49
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak selama tahun 2005 ada 736 kasus kekerasan terhadap anak yang terbagi atas 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis dan 130 kasus penelantaran anak. pemah tersentak oleh beritaberita mengenal kekerasan terhadap anak yang seringkali berada di luar akal sehat. 52 Hampir setiap pasangan yang telah berumah tangga senantiasa mendambakan kehadiran seorang anak. Watau tak dipungkiri masih ada segelintir pasangan lain yang menolak untuk memiliki anak, dengan berbagai dalihnya. Sehingga, dalam setiap perkawinan kehadiran anak seringkali dianggap sebagai syarat mutlak untuk menentukan kebahagiaan dan keberlangsungan perkawinan itu sendiri. Walau juga tak jarang pasangan yang tetap bisa melanggengkan tall perkawinan meskipun tanpa anak. Dan mereka juga bahagia, meski ‘kadar’nya tetap tak bisa disamakan dengan yang memiliki anak. Selain sebagai penerus keturunan, kehadiran anak juga dianggap sebagai ‘simbol’ dan status. Menjadi simbol karena kehadirannya melambangkan kesuksesan orangtua dalam melakukan perannya untuk melanggengkan keberlangsungan hidup manusia dan menaikkan status bila si anak
berhasil
melakukan
pencapaian-pencapaian
tertrnggi
dalam
setiap
tahap
perkembangannya. Anak lantas didudukkan pada tempat tertinggi layaknya seorang dewa Anak ditempatkan lebih berharga dari permata. Orangtua tak pernah mengeluh walau harus berbanjir peluh demi mencukupi kebutuhan sang anak Bahkan waktupun bagai tak lagi memiliki batasan Dan tak jarang seluruh aturan dan rambu-rambu yang menghalang begitu saja diterjang. Resiko hitung belakang. Bahwa tekanan hidup yang sedemikian keras telah melenyapkan kesadaran oràng tua. Di mana tekanan itu telah menciptakan akumulasi persoalan yang akhirnya bermuara pada ledakan emosional. Selain itu, kekerasan terhadap 52
Najlah Naqiyah, Otomi Daerah Perempuan Dan Perdagangan Perempuan Di Indonesia Ikapi 2005, h. 8-14
50
anak juga terkait erat dengan faktor kultural dan struktural dalam masyarakat. Dan faktor kultural, anak dipandang sebagai harta kekayaan orang tua sehingga ia harus patuh kepada orang tua. Bila anak dianggap Ialai, rewel, tidak patuh, dan menentang kehendak orang tua, dia akan memperoleh sanksi atau hukuman. Faktor struktural diakibatkan adanya hubungan yang tidak seimbang (asimetris), baik di Iingkungan keluarga maupun masyarakat.53 Dalam posisi Iebih lemah dan rendah, karena secara fisik mereka memang lebih lemah daripada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya. Akibathya, anak secara struktural sering terjadi, baik secara sadar maupun tidak. Memang, tidak dapat dipungkiri, bahwa kasus-kasus kekerasan secara fisik dan penelantaran yang menimpa anak umumnya terjadi pada keluarga-keluarga yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan. Namun, kekerasan secara psikhis dan tindakan justru cukup banyak ditemui pada keluarga-keluarga di level menengab ke atas. Dimana banyak anak yang kehilangan hak-haknya atas dasar ‘kepentingan terbaik anak’. Pada keluarga di level ekonomi bawah, kekerasan anak terjadi sebagal akibat dan benturan kefrustasian orangtua dalam menghadapi kesulitan hidup sekaligus memenuhi ‘ambisi’ untuk menjadikan anak jauh lebih baik dan mereka.54
B. Respon Masyarakat Dan Keluarga Yang Ada Di Desa Gandaria Mengenai Kekerasan Rumah Tangga Terhadap Anak 53
JamHari Ismatu Ropi, “Citra Perempuan Dalam Islam, Pandangan Ormas Keagamaan”, IKAPI, 2003, h. 6 54
Badriyamah Fayumi, “Halaqah Islam Mengkaji Perempuan HAM dan Perempuan”, Ushul Press U~N Jakarta, 2004, h. 26-32
51
Mengenai kekerasan terhadap anak memang merupakan sesuatu yang dilematis bagi kita, karena kasus-kasus kekerasan terhadap anak ini berakar pada konsep “pembinaan” dan “pendidikan” telah terkonstruksi dalam paradigma masyarakat kita sedemikian rupa, sehmgga menyebabkan kesulitan dalam mengatasinya. Akan tetapi, ada beberapa altematif pemecahan yang dapat ditawarkan agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak dapat direduksi secara maksimal. Dalam perspektif Sosiologi, kekerasan terhadap anak berpijak pada dalam kata kunci: perilaku menyimpang dan masalah sosial. Kekerasan terhadap anak ini memiliki akar pennasalahan yang berasal dan penilaku menyimpang masing-masing individu yang jika teijadi secara kolektif akan menimbulkan masalah sosial.55 Respon masalah sosial yang berupa nilai dan norma sosial di masyarakat juga dengan jelas menunjukkan paralelitas Dengan hubungan tersebut, penyusun berargumen bahwa kekerasan terhadap anak berakar pada perilaku menyimpang, dan jika kekerasan terhadap anak ini semakin bertambah kuantitasnya, akan berimbas pada masalah sosial. Sebagai sandaran dalam menetapkan sanksi dan batasan.56 Negara kita telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kekerasan terhadap anak. Dalam 12 tahun sebelum disahkannya UU No 23/2003 tentang perlindungan anak, atau tepatnya path 1990, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 36/1990. Intinya adalah, pengembangan nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa Indonesia bagi perlindungan dan pengembangan anak yang serasi dengan agama, sosial, budaya, dan ekonomi. Secara tegas menyebutkan empat prinsip perlindungan anak 55
JarnHari, Ismatu Ropi, Citra Perempuan Dalam fslam, Pandangan Ormas Keagamaan, (Jakarta, Ikapi, 2003).h 146 56
Muhaxnad Toihab Hasan’ Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia’(Jakarta: Lantabora Press, 2003), h. 35
52
yang harusnya dijalani, yakni nondiskriminasi, terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam konteks kekerasan terhadap anak, dapat kita lihat bahwa perilaku-perilaku tersebut, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun guru bertentangan dengan UndanganUndang Dasar No 23 tahun 2002. Pada Deklarasi Hak Anak (Declaration of The Right of The Child). 57 Hal ini berarti bahwa anak, karena belum dewasa secara fisik dan mental, memerlukan pengawalan dan perlindungan khusus, termasuk perlindungan legal dan layak, sebelum dan sesudah lahir. Selain itu, keluarga sebagai agen terkecil dalam masyarakat juga memegang peranan yang sangat krusial, keluarga yang harmonis biasanya akan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya keluarga yang sering ada masalah baik dan dalam maupun dan luar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Serta peran orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya menjadi insan cerdas dan mandiri. Lebih lanjut, keluarga yang tertata dengan baik juga akan menjauhkan dan tindak kekerasan terhadap anak. Faktor berikutnya adalah lingkungan masyarakat, karena di sinilah anak banyak berinteraksi selain dan lingkungan keluarga. Menciptakan tatanan masyarakat yang damai adalah kunci utamanya. 58 Artinya, seorang anak akan tumbuh kembang dengan baik apabila masyarakat jauh dari konflik sosial. Anak yang dibesarkan dari berbagai konflik biasanya
57
Situs www.google.com’ Peran Perempuan Dalam Keluarga Dan Masyarakat Dalam Islam’ YLBHI, LBHI Jakarta , Di Akses Tanggal 26 Januari 2008.com 58
Muharnad, Tolhah Hasan, Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2003), h. 13-34
53
akan lebih agresif dalam artian sering bertindak brutal dan kurang mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal ini tentunya berbeda dengan anak-anak yang dibesarkan dalam situasi yang aman dan jauh dan konflik. Mereka pada dasarnya dapat tumbuh kembang dan belajar dengan baik. Paradigma masyarakat bahwa kekerasan yang dialami anak adalah hal yang lumrah dan biasa saja yang sudah terkonstruksi juga sudah seharusnya diubah, Apalagi di tengah kultur masyarakat yang menempatkan posisi anak selalu asimeteris dengan orang dewasa. Semuanya itu harus sedikit demi sedikit diubah dengan pendekatan persuasif melalui pemerintah sebagai agen sosialisasi. Akan tetapi, dengan adanya anggapan bahwa kekerasan merupakan bagian dani proses pendidikan yang dibutuhkan untuk mendisiplinkan anak, sulit bagi kita untuk mengharapkan kasus-.kasus child abuse dapat dieliminasi. Meski demikian, bukan berarti kasus child abuse bisa kita dibiarkan terus terjadi dan terus memakan korban.OIeh karena itu, kerjasama yang sinergis antara masyarakat, media, keluarga, LSM, dan Pemerintah sangat penting dalam mengampanyekan pentingnya penghindaran kekerasan terhadap anak di rumah tangga, lingkungan sosial, atau sekolah. Selain itu, perlu adanya langkah-langkah strategis dan agenda aksi ke depan. Kepada masyarakat, hentikanlah semua praktik kekerasan terhadap anak baik yang dilakukan secara fisik maupun psikis, karena kekerasan terhadap anak jelas-jelas telah bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat kita. 59
59
Farha, Ciciek, Ihtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga: belajar dari kehidupan Rasululah saw (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999, h.34)
54
C. Kondisi Anak yang Terkena Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan terhadap anak ini memiliki akar permasalahan yang berasal dari perilaku menyimpang masing-masing individu yang jika terjadi secara kolektifan menimbulkan masalah sosial. Disandarkan pada teori yang diberikan oleh Edwin Sutherland, yang berpendapat bahwa penyimpangan dihasilkan oleh pergaulan yang berbeda, dan dipelajari melalui proses alih budaya. Selain itu, anggapan tersebut paralel dengan definisi masalah sosial (1973) ini sebagai sosial pathology atau terjadinya dalam bidang-bidang tertentu yang menyebabkan ketidak sesuaian antara sesuatu yang terjadi dengan sesuatu yang diharapkan. 60 Selain itu, sumber masalah sosial yang berupa nilai dan norma sosial di masyarakatjuga denganjelas menunjukkan paralelitas tersebut. Dengan hubungan tersebut, penyusun berargumen bahwa kekerasan terhadap anak berakar path perilaku menyimpang, dan jika kekerasan terhadap anak ini semakin bertambah kuantitasnya, akan berimbas pada masalah sosial. Sebagai sandaran dalam menetapkan sanksi dan batasan, Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur masalah kekerasan terhadap anak. 61 UU No 23/2003 tentang perlindungan anak, atau tepatnya pada 1990, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 36/1990. Intinya adalah, pengembangan nilainilai tradisi dan budaya bangsa Indonesia bagi perlindungan dan pengembangan anak yang serasi dengan agama, sosial, budaya, dan ekonomi. Secara tegas menyebutkan empat prinsip perlindungan anak yang harusnya dijalani, yakni non-diskriminasi, terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak. 60
Uning Pratimarti Jamainan’ Akrebiliias Bagi Penyandang Cacat Mental Dan Fisik Sebagai Perwujudan Perlindungan HAM’ Repika Aditama 2005, h. 253 61
Alek Irvan’ Perisai Perempuan Kesepakatan Perundingan Dalam Perdaganggan Perempuan, LI3H Afik Jakarta 1999. h 12.
55
Dalam konteks kekerasan terhadap anak, dapat kita lihat bahwa perilaku-perilaku tersebut, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun guru bertentangan dengan UU No 23 tahun 2002. Pada Dekiarasi Hak Anak. Hal ml berarti bahwa anak, karena belum dewasa secara fisik dan mental, memerlukan pengawalan dan perlindungan khusus, termasuk perlindungan legal dan layak, sebelum dan sesudah lahir)62 Selain itu, keluarga sebagai agen terkecil dalam masyarakat juga memegang peranan yang sangat krusial, keluarga yang harmonis biasanya akan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak Sebaliknya keluarga yang sering ada masalah baik dan dalam maupun dan luar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Serta peran orang tua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya menjadi insan cerdas dan mandiri. Lebih lanjut, keluarga yang tertata dengan baik juga akan menjauhkan dan tindak kekerasan terhadap anak. Faktor berikutnya adalah lingkungan masyarakat, karena di sinilah anak banyak beninteraksi selain dan lingkungan keluarga. Menciptakan tatanan masyarakat yang damai adalah kunci utamanya. Artinya, seorang anak akan tumbuh kembang dengan baik apabila masyarakat jauh dan konflik sosial. Anak yang dibesarkan dan berbagal konflik biasanya akan lebih agresif dalam artian sering bertindak brutal dan kurang mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal ini tentunya berbeda dengan anak-anak yang dibesarkan dalam situasi yang aman danjauh dan konflik.63
62
Dr. H. Muladi SH. Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif Hukun ‘Dan Masyarakat, Retika Adilama Jakarta, 2005. H. 99 63
Jam Han Ismatu Ropi, Citra Perempuan Dalam Islam, Pandangan Ormas Keagamaan, IKAPI, 2003.h 146
56
Mereka pada dasamya dapat tumbuh kembang dan belajar dengan baik, paradigma masyarakat bahwa kekerasan yang dialami anak adalah hal yang lumrah dan biasa saja yang sudah terkonstruksi juga sudah seharusnya diubah. Di tengah kultur masyarakat yang menempatkan posisi anak selalu asimeteris dengan orang dewasa. Semuanya itu harus sedikit demi sedikit diubah dengan pendekatan persuasifmelalui pemerintah sebagai agen sosialisasi. Akan tetapi, dengan adanya anggapan bahwa kekerasan merupakan bagian dan proses pendidikan yang dibutuhkan untuk mendisiplinkan anak, sulit bagi kita untuk mengharapkan kasus-kasus kita dibiarkan terus terjadi dan terus memakan korban.64 Oleh karena itu, kerjasama yang sinergis antara masyarakat, media, keluarga, LSM, dan Pemerintab sangat penting dalam mengampanyakan pentingnya penghindaran kekerasan terhadap anak di rumah tangga, lingkungan sosial, atau sekolah. Selain itu, perlu adanya langkah-langkah strategis dan agenda aksi ke depan. Kepada masyarakat, menghentikan semua praktik kekerasan terhadap anak baik yang dilakukan secara fisik maupun psikis, karena kekerasan terhadap anak jelas-jelas telah bertentangan dengan hukum dan norma juga agama yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat kita. 65
D. Solusi-Solusi Memecahkan Masalah Kekerasan Yang Terjadi Dalam Keluarga. Untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai tindakan sekaligus, dengan segera pemerintah membuat sebuah sistem deteksi dini rujukan, penanganan terpadu untuk menanggapi masalah kekerasaan, yang keberadaannya diakui oleh 64
Laporan Penelitian, kekerasan terhadap Perempuan dalam Keluarga: anatisis kasus pada beberapa keluaraga di wilayah Tanggerang Dan LBH Afik 2000) h. 12 65 www, google.com, “Peran Perempuan Dalam Keluarga Dan Masyarakal Dalam islam’ YLBHI, LBH1 Jakarta Di Akses Tanggal 26 Januari 2008.com
57
seluruh jajaran pemerintahan sampai pada tingkat RT dan anggota teamnya terdiri dan relawan masyarakat dan pegawai serta anggota kepolisian dan profesi kesehatan. Setiap kasus ditangani secara terpadu dan semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan biayanya ditanggung oleh pemerintah federal. Dengan sistem seperti ini, masyarakat tahu apa yang mereka harus perbuat dan tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan ketika menyaksikan peristiwa kekenasaan terhadap anak. Di Indonesia sistem seperti itu belum ada, kita mempunyai pihak-pihak yang dianggap berwenang dan berkompeten dalam menangani kasus-kasus kekerasaan seperti tokoh masyarakat, pejabat pemenintahan sampai pada tingkat kelurahan, kepolisian, pekerja sosial masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan, tetapi peranan mereka tidak diatur sebuah sistem yang memungkinkan mereka sating bekerja sama dan tidak ada kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak. Oleh karena itu jangan heran jika masyarakat tidak tahu apa yang mereka perbuat, takut, atau raguragu untuk melaporkan dan mengambil tindakan jika melihat peristiwa kekerasan tehadap anak. Hal lain yang
perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap pelaku
kekerasaan. Dan berbagai pemberitaan yang muncul di media masa, tidak diketahui apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami gangguan emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka masih kanak-kanak. Yang tampak jelas adalah bahwa pelaku kekerasaan adalah orang tua yang mengalami tekanan ekonomi cukup berat dan persoalan relasi gender. Untuk itu hukuman yang didasarkan atas UU saja tentu tidak cukup.
58
Mengatasi kekerasan terhadap anak yang cukup endemik di Indonesia pasti tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Advokasi dan pendidikan masyarakat yang intensif sangat dibutuhkan, demikian juga penanganan sosial psikologis terhadap pelaku. Setiap pelaku kekerasaan seperti yang diberitakan oleh media akan menerima berbagai bentuk hukuman baik dan rasa bersalah terhadap dirinya sendiri, dan keluarga
dan
masyarakat sekitarnya dan dari instansi peradilan. Semua bentuk hukuman ini tidak akan membuat para pelaku jera untuk melakukannya lagi karena tindak kekerasaan terhadap anak merupakan masalah kognitif cara berfikir, perilaku (terbentuknya) kebiasaan untuk bereaksi terhadap perilaku anak, dan sosial kultural adanya keyakinan dan praktik-praktik yang memperoleh legitimasi dan restu masyarakat. Agar tindakan kekerasaan itu tidak berulang kembali maka para pelaku harus dibantu untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Tentu ini bukan pekerjaan mudah dan akan memakan waktu cukup lama. Akan tetapi tanpa tindakan seperti itu mereka akan tetap berpotensi untuk melakukan kekerasaan. Karena sistem perlindungan untuk anak masih lemah dan advokasi masalah tersebut seolah jalan ditempat, maka kita perlu berpikir kreatif. Antara lain, kita perlu memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan para pelaku kekerasan untuk memberikan pendidikan masyarakat. Kiat nii tentunya akan menuai kontroversi.66 Bagi saya pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang yang sering kali tidak mampu mengatasi nasibnya sendiri untuk menjadi warga masyarakat yang baik. Mereka, 66
www, google.com Komnas Ham Dan Perlindungan Anak Dalam Rumah Tangga Dan Masyarakat , Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dl Indonesia Pada Tahun 1998-2001 Di akses tanggal 9 Januari 2007
59
sebagaimana kriminal yang lain juga, dalam perjalanan hidupnya kemungkinan besar pernah menjadi korban. Pada saat itu tak seorangpun datang untuk menolong mereka sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan keyakinan bahwa kemalangan itu dan segala kekerasaan yang diterimanya memang menjadi bagian dari hidupnya. Bantuan sosial-psikologis terhadap pelaku kekerasan dalam persoalan KDRT, seharusnya menjadi bagian integral dalam prevensi primer dan sekunder. Melalui bantuan seperti itu, kita mencegah mereka mengulang tindakannya. Selain itu, beberapa di antaranya mungkin dapat diberdayakan untuk keluar dan stigmatisasi masyarakat dan siksaan batinnya untuk membantu orang lain agar tidak melakukan kekerasan pada anak. Mereka adalah sumber yang dapat dipercaya karena mereka pernah dalam keadaan emosional dan mental yang menjadikan mereka tidak lebih baik dari binatang. Mereka adalah manusia-manusia yang pernah bersentuhan dengan bagian yang paling gelap dan sifat kemanusiaan mereka. Jika pengalaman mereka dapat direkonstruksi menjadi energi positif untuk mengatasi masalah yang amat kompleks dan sulit ini, bukankah ini jauh lebih baik dan pada tenggelam dalam lingakaran setan hukuman dan kekerasan. Jika rasa bersalah atau kemarahan yang ada pada pelaku kekerasan dapat kita kemas ulang menjadi kepedulian dan tanggung jawab, bukankah ini “bayaran” yang lebih dari cukup dari kekejamannya. Bersamaan dengan itu, kita jelas harus membangun system perlindungan yang betul-betul.67
67
Jaleswani Pramodhawadani , Munir Sebuak Kitab Melawan Lupa ,dan Kekerasan Rumah Tangga Yang Terjadi Di Jakarta, Yang Di Tangani OIeh YLBHI, Kontras, Yang Terjadi Di Seliap Tahun, Antara 2000-2009, Jakarta: Mizan 2004, h. 3
60
61
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bagi yang sering dilecehkan kemungkinan besar menjadi pribadi yang kurang percaya diri, minder, peragu, dan bergantung pada orang lain. Anak yang kerap menerima tindak kekerasan secara fisik berupa hukuman ketika dewasa bisa tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan suka melakukan kekerasan. Dan bagaimanakah pemerintah menaggulangi kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak yang menyebabkan anak jadi cacat mental dan mereka mendapat contoh kekerasan di masa kecilnya sehingga pola dan cara hidup mereka akan dijalani dengan kekerasan pula, bukan dialog atau diskusi. Jika kita masih menganggap anak-anak merupakan generasi masa depan bangsa, marilah sejak sekarang kita hentikan kekerasan terhadap mereka, baik yang ringan maupun berat. Seringan apapun jenis kekerasan yang dilakukan tetaplah sebuah kekerasan yang bisa berdampak terhadap perkembangan anak-anak kita. Anak-anak tersebut mempunyai hak disayangi, memperoleh pendidikan yang baik, dihidupi secara layak, berkreasi, kebebasan, bahkan hak untuk “nakal”. Butuh penyadaran pada masyarakat luas untuk menghindarkan tindakan kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial terhadap anak. Kita telah memiliki UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak untuk menjamin anak-anak di seluruh Tanah Air memperoleh perlakuan yang layak. Meski harus diakui tidak mudah, perlu dibentuk norma sosial dan budaya baru yang bersifat melindungi serta menghormati anak-anak. sekecil apapun tindak kekerasan terhadap anak harus mendapat perhatian dan masyarakat. 62
62
B. Saran Bisa dengan cara saling mengingatkan atau kalau tidak, melapor ke polisi, penegakan hukum yang buruk sehingga kasus-kasus kekerasan, termasuk kekerasan pada anak tidak ditangani sebagaimana mestinya harus diperbaiki. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk menekan atau bahkan menghilangkan kasus-kasus kekerasan terhadap anak: Pertama, mensosialisasikan tindakan-tindakan yang tergolong sebagai kekerasan terhadap anak beserta peraturan-peraturannya. Caranya dengan menyebar stiker atau melakukan penyuluhan Iangsung kepada masyarakat bekerja sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada anak-anak. Dalam konteks ini peran media massa baik cetak maupun elektronik cukup penting. Liputannya diharapkan tidak hanya mengutamakan nilal berita. Namun lebih dan itu juga perlu mempertimbangkan misi memerangi kekerasan terhadap anak, sehingga tidak mengedepankan hal-hal yang tragis atau bombastis, hak-hak korban tindak kekerasan mesti dilindungi dan dihormati. khususnya jika berupa kekerasan seksual kategori berat. Kedua, memberi dorongan kepada para korban kekerasan untuk melaporkan kasus yang menimpanya kepada pihak berwajib. Di sinilah LSM-LSM, media massa, dan kelompok-kelompok masyarakat yang peduli pada anak-anak memegang peran amat penting. Selain kasusnya dilaporkan, para korban perlu ditampung, didukung, dan direhabilitasi kondisi fisik serta kejiwaannya. Bekerja sama dengan pemerintah dan instansi
63
terkait perlu didirikan rumah penampungan bagi korban kekerasan terhadap anak hingga ke daerah-daerah.Ketiga, para penegak hukum harus lebih serius menindak lanjuti laporanlaporan kasus kekerasan terhadap anak hingga tuntas. Bukan hanya pada kekerasan yang termasuk kategori berat, melainkan juga yang ringan dan mungkin dianggap sebagai kewajaran oleh sebagian orang. Para pelakunya diproses dan diberi hukuman yang setimpal. Langkah tersebut diharapkan menjadi semacam shock theraphy sehingga orang akan berpikir ulang untuk melakukan. Memang tidak segampang membalikkan telapak tangan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang mau melindungi dan menghormati anak-anak. Butuh proses dan waktu serta kerja keras karena hal tersebut berhubungan erat dengan persoalan norma sosial dan budaya yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Empat serangkai, yakni pemerintah-penegak hukum-LSM-media massa mesti bahu membahu dan terus bekerja sama untuk mewujudkan itu. Jika kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan telah memperoleh perhatian selayaknya, kini saatnya kekerasan terhadap anak juga demikian. Pada masa depan kita menginginkan tidak lagi ada orang tua atau guru mengbukum anak atau muridnya dengan cara apapun walau beralasan untuk mendisiplinkan, memperbaiki perilaku, dan sebagainya. Ada cara-cara “menghukum” yang lebih mendidik dan manusiawi tanpa mencederai fisik atau kejiwaan si anak yang bisa berdampak sangat panjang. Bagi pelaku kekerasan terhadap anak kategori berat, antara lain memperdagangkan, melacurkan, dan menganiaya hingga luka parah atau bahkan meninggal, tak ada pilihan lain kecuali dihukum berat.
64
DAFTAR PUSTAKA
Arya Winata Gede, Hak Asasi Manusia Dalam Relitas, Refika Aditama. LBH Afik, Komnas HAM Penlindungan Perempuan, Jakarta 2005). Cet, I Ciciek, Farha, Ihtiar mengatasi kekeracan dalam rumah tangga: belajar don kehidupan rasululah saw (Jakarta: lembaga kajian agama dan gender, 1999), Cet, I Fayumi,Badriyamah, Halaqah Islam Mengkaji Perempuan HAM dan Perempuan, (Ushul Press UN Jakarta), 2004, Cet. 1 Hasan, Muhamad, Tolhah , Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia’Lantabora Press, 2003, h. 35 Fluberman, Mules, M.B ~alisis data ~aliwtj/ (Jakarta: universitas indonesia press, 1992), Cet. 1 Human, Maggie the dictionary of faminist theory, exekter~ BPCC, 1989 dalam laporan penelitian ,kekerasan terhadapa perempuan dalam keluai’ga,: analisa kasus pada beberapa keluarga di wilayah ciputat. Kerjasama PSW LAIN Syarif Hidayatullah dengan Mc Gill Project (Jakarta: PSW dan Mc Gill Project, 2007. Ismatu Ropi, Jam~$ri Citra Perempuan Dalam Islam, Pandangan O~rmas Keagamaan ,IKAPI, 2003.Cet. I Irvan, Alek, Perisai Peren~puan Kesepakatan Perdagangan Perempuan~, LBH Afik 1999.Cet. 2
Perundingan
Dalam
Jamainan, Pratimarti Uning’ Aksebilitas Bagi Penyandang Cacat Mental Dan Fisik Sebagai Perwujudan Perlindzmgan HAM’ (Jakarta ,Repika Aditama 2005), Cet. I J. Watt,.Misbeth, J Studi kasus sebuah panduan prakiis (Jakarta: gramedia: widia sarana indonesia. 1994). Cet. I J.W, Cresswell. Research Desain Qualitat~f and Quantitative Apprpoachess. ( Thousand, oaks, London, New Delhi: SAGE, Publications, 1995) Cet.I J, Vrenbergt, Methode don Tehnik Penelitian Masyaraka:, (Jakarta PT Gramedia, 1978). Cet. 2
65
Laporan Penelitian, kekrasan i’erhadap perempuan dalam keluarga analisis kasus pada bebrapa keluaraga di wilayah ciputat, kerjasama PSW lAIN Syarif Hidayatullah dengan Mc Gill Project (Jakarta: PSW dan Mc Gill Project, 2000). Cet. I Laporan Penelitian, kekerasan terhadapperempuan dalam keluarga: analisis kasus pada bebrapa keiuaraga di wilayah Tanggerang Dan Lbh Afik 2000),Cet. I Marsana, Windu, Kekuasaan dan Kecerdasan Menurut John galtung (Yogyakarta: 1992). Cet, 1 Muladi SB. Hak Asasi Manusia Dalam Prespekt?fHukum ‘Dan asyarakat,(Jakarta Retika Adilama, 2005).Cet. 1 Nasution, M.A, Prof. Dr. S. Metode Research (penelitian Karya ilmiah) (Jakarta: bumi aksara), 1995. Cet; I Naqiyah, Najlah, Otomi Daerah Perempuan Dan Perdagangan Perempüan Di Indonesia (Jakarta, Ikapi 2005).Cet. 1 Soekanto,.Soeijono, Sosiologi SUaZU pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. I Sitorus, penelitian kualiiatif Suatu perkenalan, (bogor: kelompok dokumentasi ilmu sosial, jurusan ilmu-ilmu sosial dan ekonomi pertanian. Fakultas pertanian institepertanian bogor, 1998). Cet. 1Www, Google’ Peran Perempuan Dalam Keluarga Dan Masyarakat Dalam lslam ‘ YLBHI, LBI-H, Di Akses Tanggal 26 Januari 2008.com Yayati, Elli Nur, kekerasan terhadap istri, (yogyakarta: rifka annisa womwens cnsis center, 1999) Cet 1 Topik Kekerasan Rumah tangga Terhadap Anak (KDART) Metode Pangumpulan Data: Wawancara Dan Pengamatan Penelitian Lia Yuliana Lokasi Tangerang Banten Tanggal: 4 Maret 2008 Sumber Korban Kekerasan anak dalam rumah tangga
66