1
Islam Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga Dr. La Jamaa Pengantar Pada dasarnya seorang isteri mendambakan perlindungan serta kasih sayang dari suaminya, dan bukan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi yang diperolehnya. Apalagi perkawinan itu sendiri bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia (keluarga sakinah) dengan perekat berupa cinta, mawaddah, rahmah, dan amanah Allah, sehingga bila cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmah, dan kalau pun ini tidak tersisa juga, masih ada amanah, dan selama pasangan suami isteri itu beragama, amanahnya akan terpelihara. Namun realitas menunjukkan bahwa banyak isteri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya sendiri. Kekerasan yang dilakukan suami kepada isteri beragam bentuknya, baik kekerasan fisik (berupa tamparan dengan tangan kosong, ditinju, ditendang bahkan ada yang disiram dengan air keras), kekerasan psikis (dicaci maki, diintimidasi, dibentak), kekerasan seksual (dipaksa menjadi pelacur) dan kekerasan ekonomi (tidak diberi nafkah, diberi nafkah tetapi tidak cukup, atau tidak diberi kepercayaan mengelola uang belanja). Mencermati maraknya kasus KDRT yang terjadi dalam masyarakat muslim terkadang menimbulkan kesalahpahaman seolah-olah ajaran Islam mentolerir tindak kekerasan dalam rumah tangga dari suami kepada istrinya. Tulisan ini akan menelaah masalah KDRT dalam perspektif Islam. Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan merupakan ungkapan dari suatu ’potensi’ yang tersimpan pada setiap manusia, yaitu potensi dengan ’tendensi’ untuk menjelma sebagai tingkah laku yang agresif. Dalam kaitan ini Erich Fromm mengemukakan bahwa dalam diri manusia terdapat dua jenis agresi yang berbeda, yakni (1) agresi defensif yang dimaksudkan untuk mempertahankan hidup, bersifat adaptif biologis dan hanya muncul jika memang ada ancaman; dan (2) agresi jahat, kekerasan dan kedestruktifan, merupakan ciri khas spisies manusia. Agresi ini tidak terprogram secara filogenetik dan tidak adaptif secara biologis. Ia tidak mempunyai tujuan dan muncul karena dorongan nafsu semata. Karena itu dalam kondisi tertentu manusia lebih kejam dari binatang.Manusia merupakan satu-satunya primata yang tega menyiksa sesamanya tanpa alasan yang jelas, baik alasan biologis maupun ekonomis. Dengan demikian kekerasan merupakan suatu tingkah laku agresif yang dilakukan seseorang terhadap orang lain secara sengaja untuk menyebabkan korban mengalami penderitaan lahir atau batin. Pada umumnya tindakan agresif dapat digambarkan sebagai pelampiasan dorongan naluri untuk berhasil menyakiti atau mencederai pihak lain yang dijadikan sasarannya. Keberhasilan dari tindakan itu dengan sendirinya berakibat meredanya daya dorongan itu. Dari sini muncul satu teori kekerasan, yaitu teori agresif-frustrasi (frustration-aggression theory) yang menerangkan ”adanya pertautan langsung antara derajat frustrasi tertentu yang dialami seseorang dengan timbulnya kecenderungan bertingkahlaku agresif.” Dari fenomena itu muncul teori kekerasan yang dikenal dengan ”teori pembelajaran sosial (social learning theory).” Menurut teori ini, tindakan kekerasan pada umumnya adalah ”hasil proses pembelajaran dari interaksi individu dengan lingkungannya (dalam hal ini lingkungan sosialnya, termasuk lingkungan keluarga).” Dalam realitasnya keluarga merupakan lingkungan pergaulan anak yang pertama dan utama. Begitu pula dalam lingkungan sekolah. Lingkungan keluarga juga memberikan pengalaman tentang kekerasan kepada anak. Dalam kaitan ini K. Durkin mengatakan bahwa salah satu tempat terpenting dimana seorang belajar tentang agresi adalah dalam keluarga, terutama dalam cara membesarkan anak, dengan tingkah laku agresif pada anak-anak.
2
Anak yang terbiasa menyaksikkan kekerasan dalam keluarganya, di kemudian hari akan menganggap kekerasan bukan saja sebagai alternatif untuk menyelesaikan problemanya, melainkan juga beranggapan bahwa perilaku kekerasan itu bersifat normatif yang layak untuk dilakukan. Ini berarti, bahwa kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga (domestic violonce) akan melahirkan kekerasan baru. Pengalaman kekerasan juga dapat diperoleh melalui pergaulan dengan teman-teman sebaya. Jika dalam lingkungan ini anak menyaksikkan bahwa tindakan kekerasan juga bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan persoalan, maka anak mendapat pembelajaran sosial yang dipandang efektif untuk diaplikasikan jika dibutuhkan. Hal yang sama bisa diperoleh melalui adegan-adegan kekerasan secara visualisasi, khususnya media massa elektronik yang dikenal dengan TV-violence. Melalui tingginya frekuensi tontonan adegan kekerasan akan melahirkan apa yang disebut ”kultur kekerasan” (the cult of violence). Hal ini menimbulkan penggunaan tindak kekerasan sebagai solusi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Bukan saja terhadap pihak lain tetapi juga terhadap diri sendiri, misalnya karena merasa frustrasi dalam menyelesaikan masalahnya, yang bersangkutan melakukan bunuh diri yang dianggap sebagai solusi. Apalagi kebanyakan tayangan sinetron bertema kekerasan dalam rumah tangga, ceritanya berakhir tanpa pemberian hukuman kepada pelakunya. Di samping itu kekerasan bisa terjadi karena mendapat legitimasi secara ideologi. Kekerasan apa pun yang terjadi dalam masyarakat, sesungguhnya berangkat dari suatu ideologi tertentu yang mengesahkan penindasan di satu pihak- baik individual mau pun kolektif- terhadap pihak lain yang disebabkan oleh anggapan ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Hal ini selaras dengan ”teori relasi kekuasaan” yang dikemukakan oleh Michel Foucault. Berdasarkan ”teori relasi kekuasaan” tersebut, orang cenderung kepada kekerasan karena merasa memiliki kekuasaan terhadap pihak lain, sekaligus korbannya. Dalam konteks inilah seorang suami merasa mempunyai kekuasaan terhadap isterinya sehingga menganggap kekerasan kepada isteri adalah bagian dari kekuasaan yang dimilikinya. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Islam Meskipun QS. al-Nisa (4): 34 secara tekstual terkesan memberi wewenang suami memukul isteri yang nusyuz (membangkang), namun sebagian ulama tafsir dan hukum Islam memaknai “pukulan” dalam ayat 34 surat al-Nisa di atas sebagai sarana edukatif, dan bukanlah memberikan kekuasaan kepada suami memukul isteri tanpa batas. Bahkan jika terpaksa memukul istri yang membangkang itu, maka sesuai perintah Nabi saw, pukulan itu tidak meninggalkan bekas. Tentang makna pukulan yang tidak meninggalkan bekas ini Aţa pernah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, yang kemudian dijawab Ibn Abbas: “dengan siwak dan sejenisnya.” Namun realitas yang terjadi, suami memukul isterinya secara sewenang-wenang, dan menjurus kepada kekerasan fisik. Indikasinya, isteri mengalami kekerasan fisik dalam berbagai bentuk: 1. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: (a) cedera berat, (b) tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, (c) pingsan, (d) luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati, (e) kehilangan salah satu panca indera, (f) mendapat cacat., (g) menderita sakit lumpuh, (h) terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih, (i) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan, (j) kematian korban. 2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: (a) cedera ringan, (b) rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat.
3
Dengan demikian tindakan kekerasan fisik yang dilakukan suami yang menyebabkan isteri luka-luka bahkan cidera dan cacat apalagi meninggal dunia tidak dibenarkan oleh Islam. Bahkan Nabi saw mengecam suami yang memukul isterinya dengan sabdanya: ”Sampai kapankah seseorang di antaramu mencambuk isterinya seperti mencambuk budak wanita? Dan mungkin saja ia menggaulinya di akhir (malam) harinya.” Nabi saw sendiri memberikan teladan nyata, tidak pernah melakukan tindak kekerasan fisik dan psikis dalam rumah tangga kepada para istrinya, bahkan juga kepada para pembantunya. Islam menolak kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilakukan suami. Hal itu dapat ditelaah dari larangan Islam terhadap hubungan biologis pada saat istri haid, nifas. Apalagi tindakan suami yang menjual isteri kepada orang lain atau memaksa isteri menjadi pelacur untuk tujuan komersial. Sikap suami yang memaksa isteri melacurkan diri untuk tujuan komersil pada hakekatnya telah menjurus kepada pemaksaan untuk berzina sekaligus perbudakan. Padahal kedua-duanya sangat dilarang dalam Islam. Memperbudak seseorang – termasuk isteri – sama artinya telah mematikan jiwanya. Karena itu dalam kasus pemaksaan suami terhadap untuk melacurkan diri untuk tujuan komersial bisa dikategorikan sebagai penjualan perempuan. Dalam konteks ini menurut pendapat mazhab Zahiri, kasus pemerkosaan bisa diklasifikasikan pada konsep hirabah sebab pemerkosaan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.Tegasnya menurut mereka, bahwa ”setiap orang yang menyerang, merampok, merusak kehormatan orang lewat dan mengancam akan melukai, membunuh, melecehkan adalah muharib. Hal ini sejalan dengan pendapat sebagian ahli fiqh mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki. Mereka berpendapat, bahwa pelecehan (kekerasan) seksual secara terang-terangan adalah hirābah. Dengan demikian dalam pandangan mazhab Zahriah, Syafi’i dan Maliki, bahwa tindak kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga diidentikkan dengan hirābah dan pelakunya harus dihukum berat. Islam juga sangat anti kekerasan psikis dalam rumah tangga karena al-Qur’an mewajibkan suami bergaul dengan isterinya secara baik (ihsan). Sehingga menceraikan isteri dalam kondisi haid pun dilarang dalam Islam. Karena secara psikologis, perempuan selama menjalani haid umumnya mudah emosi. Perubahan kimia tubuh mereka turut mempengaruhi sikapnya yang cenderung tidak menyenangkan suaminya. Konflik yang terjadi selama isteri haid tidak layak dijadikan alasan untuk bercerai. Islam juga anti kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga). Karena suami berkewajiban memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada isteri dan anak-anaknya secara layak (ma’ruf). Suami juga wajib memberi mahar kepada isterinya, dan jika ditangguhkan penyerahannya akan menjadi hutang suami yang harus dilunasi, seperti hutanghutang yang lain. Perampasan hak mahar isteri tergolong dosa besar. Sehingga ada ungkapan orang bijak bahwa Allah mengampuni semua dosa pada hari kiamat kecuali mahar wanita (isteri), orang yang merampas upah pekerjanya, dan yang menjual orang merdeka (untuk dijadikan budak). Adanya ancaman hukum terhadap suami yang mengabaikan hak isteri- berupa mahar menunjukkan bahwa adanya perhatian serius hukum Islam terhadap penanggulangan kekerasan ekonomi dalam rumah tangga. Karena mahar merupakan menjadi hak milik isteri, sehingga jika suami enggan memberikan kepada isterinya atau setelah diserahkan, suami merampasnya kembali, maka berarti suami telah melakukan suatu kekerasan ekonomi terhadap isteri. Walaupun pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara eksplisit tidak memasukkan perampasan mahar dalam kategori penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi), namun secara implisit
4
menunjukkan bahwa perampasan mahar yang menjadi hak isteri dapat diklasifikasikan dalam substansi pasal 9 ayat (1) UU Penghapusan KDRT, yang menegaskan bahwa: Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa Islam memberikan perlindungan kepada hukum kepada istri dari tindak kekerasan ekonomi yang dilakukan suami dengan cara melarang suami mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepadanya tanpa kerelaan isteri. Mengingat betapa pentingnya hak nafkah bagi isteri dan anak itu, isteri dibolehkan mengambil sendiri tanpa sepengetahuan suaminya, seperti yang pernah dilakukan oleh Hindun binti Utbah, isteri Abu Sufyan, lantaran Abu Sufyan kikir sehingga dilaporkan kepada Rasulullah saw. Ini menunjukkan, bahwa keengganan suami memberikan nafkah secara layak (kekerasan ekonomi) kepada isteri dapat dilaporkan kepada penguasa, sebab dalam kasus ini posisi Nabi saw bukan sekedar sebagai pemimpin agama, namun lebih sebagai pemimpin masyarakat Madinah saat itu. Persetujuan Nabi saw atas tindakan Hindun binti Utbah itu disebabkan Hindun hanya mengambil sesuatu yang menjadi haknya. Kelalaian suami memberi nafkah kepada isteri dan anak-anaknya dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga) sebagaimana yang dimaksudkan pasal 9 UU PKDRT. Jelasnya, bahwa Islam memberikan perhatian serius terhadap kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga). Dalam kaitan ini imam Malik berpendapat, bahwa: Apabila seorang isteri mengeluh terhadap suaminya karena ia bersikap nusyuz dan menjauhi isteri, maka isteri boleh saja mengajukan perkara itu kepada pihak pengadilan, lalu pihak mengadilan berwenang memberikan nasehat kepada suami itu. Jika suami merespon dengan baik nasehat tersebut, maka selesailah perkara itu. Akan tetapi jika nasehat itu tidak memberikan kemanfaatan baginya dan tidak dihiraukannya, maka pihak pengadilan berkewajiban menyuruh dia memberikan nafkah kepada isteri dan melarang isteri taat dan patuh kepadanya. Jika cara ini tidak mengubah sikap suami, maka pengadilan boleh memberikan sanksi kepada suami itu dengan cara memukul dengan tongkat. Pendapat lebih tegas dari mazhab Hanafi, bahwa jika seorang suami tidak mau memberikan nafkah kepada istrinya, padahal dia berkemampuan dan mempunyai uang, maka negara berhak menjual hartanya secara paksa dan menyerahkan hasil penjualan itu kepada istrinya. Kalau tidak ada hartanya, negara berhak menahannya atas permintaan istri. Suami dalam keadaan seperti ini dapat dikategorikan sebagai seorang yang zalim. Dia boleh dihukum, sampai mau menyerahkan nafkahnya. Walau pun bentuk hukumannya berbeda antara pendapat imam Malik dengan UU PKDRT namun secara substansial sama-sama memberikan hukuman kepada suami yang menelantarkan rumah tangganya (melakukan kekerasan ekonomi) terhadap isteri dan anakanaknya. Dalam hal ini pasal 49 UU PKDRT menjelaskan bahwa: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap orang yang: a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1); b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa (1) secara sosiologis kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh: (a) sikap agresif dalam diri pelaku menurut teori Erich Fromm; (b) teori pembelajaran sosial, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun media
5
televisi (TV-violence), di mana pelaku memperoleh pembelajaran mengenai penggunaan kekerasan dalam penyelesaian masalah, sehingga dia juga meniru cara-cara penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik dengan istrinya, (c) teori relasi kekuasaan dalam interaksi suami dengan korban (istri) yang merasa dirinya berkuasa sehingga berhak menggunakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istrinya, dan (d) pemahaman ajaran agama (Islam) yang bias jender akibat kuatnya budaya patriarkhi, mendorong suami berlaku kasar kepada istrinya, dan istri harus taat secara mutlak. (2) Pada dasarnya Islam anti terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami kepada istrinya, baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi. Karena itu diperlukan bimbingan orang tua saat anak menonton sinetron yang menayangkan adegan kekerasan, sehingga anak tidak salah paham.
Catatan: Artikel ini mengacu kepada beberapa referensi yang tidak sempat dicantumkan dalam tulisan ini.