KEDUDUKAN ASERTIF DAN AGRESIF DALAM PEMBELAJARAN INTERPERSONAL Hawa Pattiiha Dosen PGSD Universitas Negeri gorontalo
Abstrak: Agresivitas verbal yakni menyakiti orang lain dengan menggunakan kata-kata merupakan persoalan serius dalam hubungan interpersonal karena bisa menyebabkan konflik dan kegagalan dalam melakukan hubungan antar manusia. Oleh sebab itu agresivitas verbal ini perlu diminimalisisr sebisa mungkin dihilangkan demi meraih hubungan antar manusia yang harmonis dan membahagiakan semua pihak. Perilaku asertif dianggap oleh para pakar psikologi sebagai perilaku paling tepat dan menguntungkan semua pihak dalam melakukan hubungan antar manusia. Perilaku asertif adalah bentuk perilaku atau kemampuan seseorang dalam mengekspresikan perasaan dan pikiran secara langsung dan jujur dengan mempertimbangkan perasaan, pikiran dan hak orang lain. Teori Pembelajaran Observasional (Modeling) dari Bandura berasumsi bahwa orang berperilaku asertif, pasif atau agresif tergantung oleh proses pembelajaran yang diterimanya. Oleh sebab itu agresivitas dalam bentuk verbal termasuk menyampaikan argumentasi, ungkapan kemarahan dan ungkapan permusuhan, asumsinya dapat diubah dalam bentuk yang lebih asertif dan tidak menyakiti orang lain sehingga hubungan interpersonal akan lebih baik. Pelatihan Asertivitas berperan meningkatkan ketrampilan berperilaku asertif dan menurunkan perilaku permusuhan yang meledak-ledak atau mengurangi perilaku agresif. Pelatihan Asersivitas dengan menggunakan prosedur yang tepat akan mampu menurunkan agresivitas seseorang khususnya agresvitas verbal dalam hubungan interpersonal.
A. PENGANTAR Banyak ahli telah mengemukakan definisi agresivitas sesuai dengan arah dan penekanan masing-masing. Definisi yang bisa dikemukakan kaitannya dengan hubungan interpersonal antar manusia antara lain adalah
1
yang dikemukakan oleh Buss (1973) juga Zimbardo & Ruch (1976) bahwa agresi adalah perilaku yang menyebabkan orang lain sakit fisik atau perasaannya. Berkaitan dengan pandangan Buss & Perry (1992) bahwa, agresi memiliki 4 bentuk meliputi agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan, maka ketiga jenis agresi selain agresi fisik terkait erat dengan hubungan interpersonal. Agresi verbal adalah bentuk agresi yang dilakukan untuk menyakiti orang lain secara verbal yaitu menyakiti dengan menggunakan kata-kata, misalnya mengumpat, memaki dan membentak. Kemarahan (anger) merupakan salah satu bentuk agresi yang sifatnya tersembunyi dalam perasaan seseorang terhadap orang lain tetapi efeknya bisa nampak dalam perbuatan yang menyakiti orang lain, misalnya muka merah padam, tidak membalas sapaan, mata melotot dsb. Permusuhan (hostility) adalah sikap dan perasaan negatif terhadap orang lain yang muncul karena perasaan tertentu, misalnya iri, dengki dan cemburu. Perasaan atau sikap permusuhan tersebut bisa muncul dalam bentuk perilaku yang menyakiti orang lain, misalnya tidak mau menyapa tanpa alasan, memfitnah dsb. Devito (1995) membahas agresivitas sebagai bagian dari konflik yang terjadi dalam hubungan interpersonal antar manusia, yakni secara khusus dalam bentuk agresi verbal dan penyampaian argumentasi. Mengacu pada teori Pembelajaran Observasional (Modeling) dari Bandura, orang berperilaku asertif, pasif atau agresif tergantung oleh proses pembelajaran yang diterimanya. Oleh sebab itu agresivitas dalam bentuk verbal termasuk menyampaikan argumentasi, ungkapan kemarahan dan ungkapan permusuhan, asumsinya dapat diubah dalam bentuk yang lebih asertif dan tidak menyakiti orang lain sehingga hubungan interpersonal akan lebih baik. McKey et.al (1988) berpendapat bahwa Pelatihan Asertivitas berperan meningkatkan ketrampilan berperilaku asertif dan menurunkan perilaku permusuhan yang meledak-ledak atau mengurangi perilaku agresif.
B. PENGERTIAN ASERTIVITAS Perilaku asertif merupakan perilaku yang jujur (terus terang), langsung dan ekspresi yang penuh penghargaan terhadap pikiran, perasaan, dan keinginan, dengan mempertimbangkan perasaan dan hak-hak orang lain (Decker, 1999), juga dengan tanpa merasa cemas (Barnette, 2002). Asertif tidak berarti meminta apa yang kita inginkan dengan kasar, menentang, tidak juga dengan kekerasan (agresif) pada orang yang kita mintai. Asertif lebih
2
mencakup permintaan yang lembut, masuk akal, dengan cara yang dewasa (Malott et.al, 1978) Asertif berarti mempertahankan hak, berkata tidak, mengajukan permintaan, mengambil inisiatif dalam percakapan (Argyle, 1994). Selain itu asertif juga berkaitan dengan kepercayaan diri, memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain dan berperilaku secara langsung dan jujur (Townend, 1991) Menurut Calhoun & Acocella (1990) perilaku asertif merupakan bentuk perilaku yang menuntut hak pribadi dan menyatakan pikiran secara jujur dan tepat tanpa menginjak hak pribadi orang lain. Perilaku asertif menekankan pada aspek kejujuran. Jujur dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan, jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menurut Barnette (2002) terdapat tiga hal terkait dengan asertivitas: 1. Emphaty/validation yakni mencoba untuk mengatakan sesuatu yang menunjukkan kemengertian kita terhadap perasaan orang lain 2. Statement of problem yakni sesuatu yang menggambarkan kesulitan atau ketidakpuasan kita dengan cara misalnya memberitahukan mengapa kita menginginkan perubahan 3. Statement of what you want yakni meminta secara khusus kepada orang lain untuk merubah perilaku tertentunya. Howard & Stein (2002) berpendapat bahwa sikap asertif merupakan ketegasan, keberanian menyatakan pendapat. Menurut mereka sikap asertif ini mengandung tiga komponen: 1. Kemampuan mengungkapkan perasaan 2. Kemampuan mengungkapkan keyakinan dan pikiran secara terbuka, mampu menyuarakan pendapat, menyatakan ketidaksetujuan dan bersikap tegas meskipun secara emosional sulit melakukan ini dan bahkan mungkin harus mengorbankan sesuatu. 3. Kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi. Perilaku asertif, agresif dan perilaku pasif sering dipahami sama, padahal berbeda. Perilaku asertif ditandai dengan adanya pernyataan yang jelas tentang keyakinan seseorang, dengan mempertimbangkan pendapat dan perasaan orang lain. Perilaku agresif tidak mempertimbangkan pendapat dan perasaan orang lain. Perilaku pasif merupakan wujud ketidakberdayaan seseorang untuk mengungkapkan perasaannya terhadap orang lain dan lebih suka menghindari situasi yang tidak menyenangkan (Howard & Stein, 2002). Brinkman & Kirschner (1999) menggambarkan letak perbedaan perilaku pasif, agresif dan asertif sebagai berikut: Asertif Pasif -------------------------------------------------- Agresif
3
Perilaku asertif tidak hanya sebatas ekspresi pikiran dan perasaan yang positif tetapi juga berkaitan dengan ekspresi perasaan negatif (Butler, 1976). Misalnya menolak mengatakan tidak dan menunjukkan reaksi tidak mengerti atau tidak suka. Menurut Barnette (2002) banyak orang mengalami kesulitan berperilaku asertif disebabkan individu mengalami depresi, kemarahan atau kebencian, frustrasi, kekerasan, cemas, problem dengan orang tua, kurang pergaulan atau adanya keluhan fisik. Butler (1975) berpendapat bahwa perilaku tidak asertif disebabkan karena seseorang tidak menyadari bahwa dia punya hak untuk berperilaku asertif, takut untuk bersikap asertif, merasa kesulitan mengekspresikan perasaan dengan benar, tidak tahu apa yang akan dikatakan atau tidak tahu bagaimana mengatakannya. Alberti & Emmons (dalam McKay et.al, 1988) dalam penelitiannya menemukan bahwa seseorang menjadi kurang asertif disebabkan karena perasaan tidak percaya bahwa mereka mempunyai hak atas pikiran, perasaan dan pendapatnya. Jadi perilaku asertif adalah kemampuan seseorang dalam mengekspresikan perasaan dan pikiran secara langsung dan jujur dengan mempertimbangkan perasaan, pikiran dan hak orang lain. C. KOMPONEN PERILAKU ASERTIF Perilaku asertif memiliki dua komponen yakni komponen verbal dan komponen nonverbal sebagai berikut: a. Komponen Verbal Komponen verbal meliputi penggunaan kata-kata yang obyektif dan deskriptif, berterus terang dengan apa yang diinginkan, pikiran, perasaan dan opini, mengkomunikasikan secara langsung dan mengekspresikan dengan jelas apa yang dimaksudkan, menggunakan pesan-pesan “saya”, tidak menghakimi atau menyalahkan, spesifik, ringkas, terus terang dan pada intinya; ekspresi dan emosi penuh hormat; lebih fokus pada masa sekarang daripada masa lalu (Decker, 1999; Malot et.al, 1978). Dari segi penyampaian, Butler (1976) menyatakan bahwa pesan verbal harus disampaian secara langsung, jujur dan spontan dengan tujuan untuk menghindari kesalahpahaman, emosi menarik diri, menyakiti orang lain dan keluarnya energi yang tidak produktif. Menurut Forgione & Surwit (1978) kemampuan verbal yang dianggap sebagai perilaku asertif meliputi: 1. Berbicara dengan terus terang. Berbicara dengan jelas, penuh kekuatan, tidak mengomel atau mencerca. Hal-hal tersebut dapat memberikan kesan baik, membuat orang lain akhirnya mau memahami dan mendengarkan apa yang dibicarakan 2. Mengajukan pertanyaan. Jangan takut mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum dipahami dan dimengerti. Kita berhak untuk mendapat jawaban.
4
Kita tidak dapat memahami orang lain jika kita tidak mencoba mencari tahu tentang apa yang belum kita pahami. 3. Membuat orang mengetahui bagaimana perasaan kita. Katakan hal-hal yang kita merasa tidak nyaman. 4. Berlatih. b. Komponen Non Verbal Komponen non verbal ini meliputi kontak mata, ekspresi wajah, nada suara, volume suara dan sikap mental. Misalnya suara yang jelas, tegas, hangat, halus, kecepatan sedang, tatapan mata menyenangkan, raut muka rileks, irama dan gerak-gerik tenang, duduk dan berdiri dengan tenang dan seimbang (Decker, 1999; Malott et.al, 1978; Forgione & Surwit, 1978) serta tanpa kata-kata (Butler, 1976) misalnya batuk, keluh kesah, kata-kata okey, ah uh dll. Kedua komponen ini akan menjadi efektif jika digabungkan. D. PEMBENTUKAN PERILAKU ASERTIF Terbentuknya perilaku asertif dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: a. Faktor budaya/lingkungan Budaya suatu daerah sangat mempengaruhi pembentukan perilaku asertif (Fukuyama & Greendfield, 1983; Zane et.al, 1991). Devito (1995) berpendapat bahwa perilaku asertif merupakan perilaku yang dipelajari dari lingkungan sosial di mana individu berada (learned behavior). Dari lingkungan sosial mikro misalnya keluarga hingga makro yakni masyarakat. b. Faktor kecenderungan sosial Diyakini bahwa perempuan memiliki kecerdasan sosial lebih tinggi dari pada laki-laki (Shanley et.al. dalam Romano & Bellach, 1980), dibentuk oleh lingkungan, perempuan lebih sensitif dan lebih pintar mengolah kata. c. Faktor stereotipe peran gender Hal ini dikemukakan antara lain oleh Romano & Bellach (1980) dan Butler (1976). Anggapan masyarakat bahwa perempuan tidak berdaya, lemah, emosinya labil, menggiring perempuan mempelajari ketidakberdayaan dari masyarakat. d. Status Status dan peran dapat merubah tingkat asertivitas seseorang (Twege, 2001) Berdasarkan faktor-faktor tersebut, nyatalah bahwa perilaku asertif dibentuk oleh budaya, berasal dari belajar. Oleh karena berasal dari belajar, maka perilaku asertif dapat diubah, dalam hal ini melalui pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan perilaku asertif (Howard & Stein, 2002; Calhoun & Acocella, 1990; Devito, 1995; Townend, 1991; Breitman & Hatch, 2001). E. KARAKTERISTIK INDIVIDU YANG ASERTIF
5
Orang yang asertif bukanlah orang yang suka terlalu menahan diri, juga bukan pemalu, tetapi bisa mengungkapkan perasaan secara langsung tanpa bertindak agresif ataupun melecehkan (Howard & Stein, 2002). Tingkat asertif dapat dilihat pada 3 hal: bagaimana dia memandang, bagaimana dia mensuarakan, dan bagaimana dia menyatakan (Brinkman & Kirschner, 1999). Menurut Devito (1995) individu yang asertif cenderung menguasai secara penuh dirinya sendiri dalam hubungan interpersonal, percaya diri dan mampu meniadakan ekspresi penguasaan dan permusuhan, dengan emosi yang spontan, serta secara umum penuh penghormatan dan penghargaan terhadap orang lain. Norton & Warnick (dalam Devito, 1995), mengemukakan bahwa individu yang asertif memeliki 4 karakteristik: 1. Terbuka, berbicara secara langsung mengenai perasaannya 2. Tidak cemas, menyampaikan secara suka rela opini-opini dan keyakinannya, menghadapi secara langsung situasi komunikasi interpersonal tanpa tekanan, dan bertanya tanpa rasa takut 3. Suka berdebat, mempertahankan dan memperdebatkan haknya, sekalipun hal itu memerlukan perdebatan dengan orang lain 4. Tidak mengintimidasi, berpegang teguh pada keyakinannya dan tidak mudah dipersuasi. Menurut Kanter & Goldstein (1975), individu yang asertif memiliki ciri-ciri: 1. Dapat menguasai diri, bersikap bebas dan menyenangkan 2. Dapat merespon hal-hal yang sangat disukai dengan wajar 3. Dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya pada seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya
F. PENGERTIAN PELATIHAN ASERTIVITAS Pelatihan Asertivitas merupakan satu bentuk pelatihan sosial. Asertivitas adalah mempertahankan hak, mengatakan “tidak”, mengajukan permintaan, mengambil inisiatif dalam percakapan (Argyle,1974). Menurut Wolpe (1973), Pelatihan Asertivitas merupakan terapan yang tepat untuk tidak mengkondisikan kebiasaan tentang kecemasan yang kurang adaptif dalam berinteraksi dengan orang lain. Butler (1976) menyatakan bahwa Pelatihan Asertivitas lebih menggambarkan tentang prinsip-prinsip perilaku misalnya penerapan kebutuhan-kebutuhan manusia, khususnya kebutuhan untuk mengekspresikan diri secara penuh, terbuka, dan tanpa merasa takut terhadap ejekan atau rasa bersalah. McKey et.al. (1988) berpendapat bahwa untuk meningkatkan ketrampilan berperilaku asertif dalam segala situasi yang memungkinkan untuk berperilaku asertif dan menurunkan perilaku permusuhan yang meledak-ledak atau mengurangi perilaku agresif. Sedang menurut Corey
6
(dalam Iriani, 1995), Pelatihan Asertivitas secara khusus diterapkan pada individu yang: a. Pada saat ini tidak mampu mempertahankan diri terhadap situasi yang menurut anggapannya ia diperlakukan secara tidak adil sehingga terlihat terlalu mudah mengalah. b. Sukar atau tidak mampu menanggapi dengan semestinya kejadian-kejadian yang mempengaruhi kehidupan dirinya atau keluarganya sehingga cenderung memiliki kepribadian yang lemah c. Kurang memiliki keyakinan diri yang kuat sehingga sulit dan ragu-ragu dalam mengekspresikan perasaan yang kuat serta respon-respon yang positif lainnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Pelatihan Asertivitas melatih ketrampilan berperilaku individu dan berinteraksi dengan lingkungan sosial secara tepat. Hubungan interpersonal antar individu terjalin dengan baik, adanya saling menghormati perasaan, pikiran dan hak-hak kedua belah pihak. G. PRINSIP-PRINSIP PELATIHAN ASERTIVITAS Forgione & Surwit (1978) mengemukakan bahwa Pelatihan Asertivitas mengandung beberapa program: 1. Membaca: membaca buku-buku berkaitan dengan perilaku asertif atau peningkatan perilaku asertif 2. Menganalisis: melakukan analisis terhadap perilaku orang lain atau diri sendiri 3. Meniru (modeling): menirukan perilaku orang lain yang asertif.
1. 2. 3. 4.
Devito (1995) mengemukakan prinsip-prinsip sebagai berikut: Menganalisis komunikasi orang lain yang asertif Menganalisis komunikasi diri sendiri Berlatih berkomunaikasi secara asertif Berkomunikasi secara asertif.
Calhoun (1990) mengemukan langkah-langkah yang harus ditempuh program Pelatihan Asertivitas meliputi: 1. Pemantauan diri. Hal ini berkaitan dengan sikap asertif-non asertif, memantau situasi-situasi seperti apa yang membuat kita tidak bisa atau bisa bersikap asertif. Catat semua peristiwa yang kita alami dan rasakan. 2. Peneladanan: melakukan pengamatan terhadap perilaku orang lain yang asertif 3. Mengembangkan: melakukan pengembangan dengan berimajinasi berperilaku asertif dalam suatu situasi yang menjadi masalah. Hal ini dapat mempermudah dan mendorong untuk berperilaku asertif dengan penghargaan perilaku imajinasi tersebut
7
4. Desensitisasi (pemekaan kembali) sistematis: langkah ini bersifat pilihan, jika tidak membayangkan berperilaku asertif, masih muncul kecemasan, maka desensitisasi mungkin harus dilakukan sekali lagi. 5. Bermain peran: mempraktikkan perilaku asertif dengan bermain peran bersama orang lain yang dapat membantu kita 6. Suatu kenyataan: menggunakan ketrampilan berperilaku asertif dalam kehidupan nyata. Mencoba berperilaku asertif pada situasi-situasi yang menekan. Jika masih mengalami kegagalan, cobalah mengulangi kembali beberapa tahapan sebelumnya. 7. Peningkatan: setelah berhasil berperilaku asertif pada situasi-situasi yang menekan, teruslah tingkatkan dengan berperilaku asertif terhadap sitruasisituasi yang lebih sulit atau lebih berat. H. MANAJEMEN PELATIHAN ASERTIVITAS Alberti (dalam Gunarsa, 1992) mengemukakan bahwa Pelatihan Asertivitas merupakan pelatihan yang bersifat prosedural, meliputi 4 tahap: 1. Latihan Keterampilan: meliputi latihan berperilaku asertif secara verbal dan nonverbal dengan teknik antara lain: modeling, umpan balik secara sistematis, tugas pekerjaan rumah dan permainan 2. Mengurangi kecemasan: dapat diperoleh langsung atau tidak langsung dari latihan ketrampilan yakni individu belajar mengatasi kecemasan dalam dirinya baik melalui imajinasi atau kondisi yang aktual 3. Menstruktur kembali aspek kognitif: nilai-nilai, kepercayaan, keyakinan dan sikap membatasi ekspresi diri diubah melalui pemahaman dan hal-hal yang dicapai dalam perilakunya. Salte (dalam Wolpe, 1973), mengemukakan 6 bentuk perilaku yang digunakan dalam Pelatihan Asertivitas: 1. Membicarakan perasaan: mengungkapkan secara spontan tentang emosi apa yang dirasakan pada saat itu 2. Tatap muka: menatap lawan bicara dan melihat gambaran emosi yang nampak pada lawan bicara 3. Kontradiktif: ketika tidak sepakat terhadap seseorang maka mengatakan ketidaksepakatannya dengan argumentasi yang masuk akal 4. Menggunakan pesan “I (saya)”: menggunakan kata-kata “saya” memungkinkan menghindari keterlibatan orang lain pada statemen yang dibuat 5. Mengungkapkan persetujuan ketika kita dipuji 6. Improvisasi: mencoba merespon secara spontan stimulus yang ada.
Menurut Kirschnbaum (1995), prosedur Pelatihan Asertivitas merupakan kombinasi dari exlpanation, demonstration dan practice. Explanation adalah penjelasan yang berkaitan tentang asertivitas, elemen-
8
elemen perilaku asertif, perbedaan antara asertif dan agresif, dan mengapa perilaku asertif itu penting. Demonstration adalah menunjukkan beberapa contoh mengenai perilaku asertif, non asertif dan agresif. Semua peserta mendapat kesempatan untuk memainkan ketiga perilaku tersebut dan kemudian mengevaluasinya, dan pada akhirnya harus mempraktikkan pada situasi yang nyata (practice). I. MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF MELALUI PELATIHAN ASERTIVITAS Perilaku asertif atau tidak, apabila dianalisis dengan menggunakan teori belajar sosial dari Bandura, berarti merupakan aspek budaya dan proses belajar. Dengan demikian ada kemungkinan melakukan perubahan baik melalui proses belajar individual maupun kolektif di mana salah satunya adalah melalui pendidikan misalnya dengan pelatihan-pelatihan asertivitas (Howard & Stein, 2000; Devito, 1995; Townend, 1991; Butler, 1976)
J. KESIMPULAN Dari bahasan ini dapat disimpulkan beberapa hal: 1. Agresivitas terkait dengan hubungan interpersonal antar manusia terutama dalam hal agresivitas verbal baik berasal dari cara menyampaiakn argumentasi, kemarahan maupun permusuhan. 2. Oleh karena menurut teori Pembelajaran Observasional (Modeling) dari Bandura, agresivitas berasal dari proses belajar, maka bisa diubah dengan cara pembelajaran pula. Salah satu cara mengubahnya adalah dengan memberi Pelatihan Asertivitas supaya seseorang mampu mengungkapkan pikiran, perasaan dengan tepat dan memperoleh hak-haknya tanpa menyakiti orang lain. 3. Pelatihan Asersivitas dengan menggunakan prosedur yang tepat akan mampu menurunkan agresivitas seseorang khususnya agresvitas verbal dalam hubungan interpersonal
***
DAFTAR PUSTAKA Argyle, M. 1994. The Psychology of Interpersonal Behavior. Fifth Edition. London: The Penguin Group. Batnette, V. 12 Mei 2002. www.viowa.edu/~ucs/assertion.html.
9
Brinkman R. & Kirschner, R. 1999. Dealing with People You Can’t stand. How to Bring Out the Best in People at Their Worst. New York: McGraw-Hill Inc Buss, A. 1973. Psychology, Man in Perspective. New York: John Willey & Sons Inc. Buss, A. & Perry, M. 1992. The Agression Questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology, 63 (3), 452-459. Butler, P. 1976. Self Assertion for Women: A Guide to Becoming Androgynous. New York: Harper & Row Publishers Inc. Calhoun, F.J. & Acocella, R.Y. 1990. Psychology of Adjustment and Human Relationships. New York: Harper & Row Publishers Inc. Decker, J.D. 1999. Stopping The Violence: A Group Model to Change Man’s Abuse Attitudes and Behaviors, The Client Workbook. New York: The Howarth Maltreatment and Trauma Press. Devito, A.J. 1995. The Interpersonal Communication Book. Seventh Edision. New York: Harper Collins College Publishers. Forgione, A. G. & Surwit, R. 1978. Fear Lerning to Cope. New York: Van Nogtrand Reinhold Company. Fukuyama & Greendfield. 1983. Dimentions of Assertiveness in an AsianAmerican Student Population. Journal of Counseling Psychology, 30 (3), 429-432. Gunarsa, S.D. 1992. Konseling & Psikoterapi. Jakarta: BPKGM. Howard, B. & Stein, S. 2000. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Terjemahan. Bandung: Kaifa. Kanfer, F.H. & Goldstein, A.P. 1975. Helping People Change: A Texbook Methods. New York: Pergamon press Inc. Kirschenbaum, H. 1995. 100 Ways to Enchance Values and Morality in Schools and Youth Setting. Boston: Allyn and Bacon. Malott, R.; Tillema, M. & Glenn, S. 1997. Behavior Analysis and Behavior Modification: In Introduction. Kalamazoo: Behaviordeka Inc.
10
Romano, M.J. & Bellack, S. A. 1980. Social Validation of Component Model of Assertive Behavior. Journal of Consulting & Clinical Pay, 48 (4), 478490. Townend, A. 1991. Self Development for Managers: Developing Assertiveness. London: Routledge. Twege, M.J. 2001. Changes in Women’s Assertiveness in Response to Status and Roles: A Cross-Temporal Meta Analysis, 1931-1939 Zane, S.W.; Sue, S. & Kwon J.H. 1991. Asian-American Assertion: A Social Learning Analysis of Cultural Differences. Journal of Counseling Pay, 38 (1), 63-70. Zimbardo, P.G. & Ruch, F.L. 1976. Psychology and Life. Glenview Illions: Scott, Foresman and Company.
11