STUDI KOMPARASI MONUNTUL DI BOLAANG MONGONDOW TIMUR DAN TUMBILOTOHE DI GORONTALO
JURNAL Oleh: Sri Sasmita Mokoagow 231 411 018
‘
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2015
STUDI KOMPARASI MONUNTUL DI BOLAANG MONGONDOW TIMUR DAN TUMBILOTOHE DI GORONTALO Sri Sasmita Mokoagow1, Darwin Une2, Sutrisno Mohamad3 Jurusan Pendidikan Sejarah
ABSTRAK SRI SASMITA MOKOAGOW. 231411018, 2011. Studi Komparasi antara Monuntul di Bolaang Mongondow Timur dengan Tumbilotohe di Gorontalo. Sripsi, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I Drs H. Darwin Une, M. Pd dan Pembimbing II Sutrisno Mohamad, S. Pd, M. Pd. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu bagaimana persepsi masyarakat Bolaang Mongondow Timur tertang Tradisi Monuntul dan Persepsi Masyarakat Gorontalo tantang Tumbilotohe yang dijadikan satu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbedaan antara Monuntul di Bolaang Mongondow Timur dan Tumbilotohe di Gorontalo. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif sumber data yang diambil dalam penelitian ini yaitu : informan atau narasumber yaitu masyarakat masyarakat Desa Motongkad dengan informan 5 orang dan masyarakat Desa Popalo dengan jumlah informan 6 orang. Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik wawancara. Tehnik pengembangan validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data dan review informan. Adapun tehnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model interaktif yang memiliki beberapa komponen yaitu : pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verivikasinya. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa : persepsi masyarakat tentang Monuntul. Menurut masyarakat Desa Motongkad tradisi ini merupakan tradisi pasang lampu yang dilakukan setiap keluarga dengan memasang lampu sesuai jumlah keluarga, tradisi ini baik untuk di jaga dan terus di lestarikan karena ini merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang kita. Selain itu persepsi masyarakat Gorontalo tentang tumbilotohe yaitu pada saat itu tradisi Tumbilotohe mudah diterima oleh setiap generasi. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, maka semakin membudaya pula tradisi Tumbilotohe. Kata Kunci : Masyarakat, Monuntul, Tumbilotohe.
1
Sri Sasmita Mokoagow. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. 2 Drs. Hi. Darwin Une, M.Pd, Selaku Dosen Pembimbing 1. 3 Sutrisno Mohamad, S.Pd, M.Pd. Selaku Dosen Pembimbing 2.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki berbagai macam dan jenis budaya, bahasa serta adat istiadat dan tradis. Pada dasarnya budaya-budaya ini ada karena warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Negara Indonesia salah satu Negara yang kaya akan kebudayaan Selain itu wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis dan iklim yang berbeda-beda. Misalnya, wilayah pesisir pantai Jawa yang beriklim tropis hingga wilayah pegunungan Jayawijaya di Provinsi Papua yang bersalju. Perbedaan iklim dan kondisi geografis tersebut berpengaruh terhadap kemajemukan budaya lokal di Indonesia. Terdapat banyak sekali ragam budaya yang terbagi di beberapa daerah yang ada di Indonesia yang sangat unik, ada yang memang kebudayaan bahkan ada yang mengandung mistis. Sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Setiap suku bangsa yang memiliki tradisi yang berbeda – beda dalam prosesi pelaksanaannya. Tetapi dalam konteks substansinya, kiranya seluruh tradisi yang dilakukan memiliki kesamaan yakni dalam konteks keyakinan terhadap sesuatu yang gaib dan memiliki kekuatan. Hal ini tidak lepas dari adanya pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat sebelum adanya pengaruh agama Islam. Setelah masuknya agama Islam, pergeseran makna banyak terjadi terutama pada masalah kepada siapa mereka mempercayai adanya kekuatan tersebut. Seperti yang terjadi di salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Utara tepatnya di Desa Motongkad, Kec. Nuangan Kab. Bolaang Mongondow Timur. Terdapat salah satu tradisi yang cukup lama bertahan sampai dengan hari ini. Tradisi ini dikenal dengan tradisi Monuntul. Sebenarnya tradisi Monuntul ini dikenal juga dengan tradisi Pasang Lampu. Tradisi ini adalah warisan yang sudah lama diberikan secara turun temurun. Tradisi Monuntul atau tradisi Pasang Lampu adalah suatu tradisi pasang lampu yang dilakukan oleh masyarakat bolaang mongondow tiga hari sebelum lebaran. Tradisi ini merupakan warisan dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Anggapan masyarakat Motongkad terhadap tradisi Monuntul merupakan suatu bentuk tradisi yang bersifat sakral (suci) yakni suatu kekuatan simbolis atau tindakan sekaligus sebagai wujud dari ekspresi jiwa mereka dalam menjalin hubungan vertikal. Penyelenggaraan tradisi Monuntul mempunyai kandungan nilai yang penting bagi kehidupan masyarakat
pendukungnya, karena dianggap sebagai suatu nilai budaya yang dapat membawa keselamatan di antara sekian banyak unsur budaya yang ada pada masyarakat. Tradisi Monuntul sampai saat ini masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Bolaang Mongondow Timur walapun dalam jumlah yang sangat sedikit yang masih menggunakan lampu botol karena sudah ada yang menggunakan lampu listrik pada umumnya. Tradisi pasang lampu ini juga memiliki perbedaan dengan pasang lampu yang ada di daerah – daerah tertentu seperti di Gorontalo yaitu Monuntul dan Tumbilotohe yang pada dasarnya sama yaitu tradisi pasang lampu yang dilakukan oleh umat muslim ini terjadi karena adanya masyarakat dan kebudayaan yang selalu dalam keadaan berubah sekalipun masyarakat dalam keadaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai perhubungan dengan masyarakat yang lainya. Terjadinya perubahan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu perubahan jumlah dan komposisi penduduk dan masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur – jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain. Tradisi Monuntul dan Tumbilotohe ini harus dilihat dari dua perspektif, yakni kebudayaan dan agama "Dari tuntunan agama, tradisi tidak ada. Hanya saja kegiatan ini dikaitkan dengan malam Lailatul Qadar yang dijanjikan pada satu malam di 10 terkahir Ramadan", dalam penyebaran agama Islam di Mongondow, kebudayaan-kebudayaan lokal setempat masih dipertahankan. Masyarakat Mongondow percaya bahwa cahaya merupakan sumber kehidupan. Memasang lampu sama dengan memberikan cahaya penerang dalam kehidupan. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan oleh warga Bolaang Mongondow dan Gorontalo, masyarakat bolaang mongondow timur mempercayai bahwa lampu tersebut dapat menerangi orang – orang yang berada di rumah tersebut sehingga jumlah lampu yang dipasang di depan rumah sangat tergantung pada jumlah anggota keluarga. Selain itu tradisi Monuntul ini juga dijadikan sebagai symbol silahturahmi antara warga yang ada di Bolaang Mongondow. Dalam pelaksanaa tradisi pasang lampu ini sangat dinantikan oleh masyarakat Bolaang Mongondow Timur tepatnya di Desa Motongkad kec. Nuangan. Akan tetapi masih terdapat berbagai macam perbedaan dalam pelaksanaan tradisi Tumbilotohe yang ada di Gorontalo. Dari perbedaan – perbedaan ini masi banyak menimbulkan bebagai persepsi mengenai perbedaan pelaksanaan tradisi Monuntul masyarakat Bolaang Mongondow Timur dengan Tumbilotohe di Gorontalo, oleh karena itu masih perlu untuk di galih kembali perbedaan – perbedaan yang muncul dalam kehidupan kedua masyarakat tersebut. Sehingga akan menjawab beberapa perbedaan yang terjadi.
METODOLOGI PENELITIAN Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Nanah Syaodih Sukmadinata (2005:120) penelitian evaluatif merupakan suatu desain dan prosedur evaluasi dalam mengumpulkan dan menganalisis data secara sistematik untuk menentukan nilai atau manfaat (worth) dari suatu praktik (pendidikan). Menurut Nanah Syaodih Sukmadinata (2005:60) Penelitian Kualitatif (Qualitative Research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, peristiwa, aktivitas social, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran secara individual maupun kelompok. Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bertolak dari pandangan positivisme. Penelitian kualitatif berankat dari filsafat Konstruktivisme, yang memandang kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan menurut Interpretasi berdasarkan pengalaman social. “Reality is multilayer, interactive and a shared social experience interpretation by individual ” Peneliti kualitatif memandang kenyataan sebagai konstruksi social, individu atau kelompok menarik atau member makna kepada suatu kenyataan dengan mengrekonstruksinya. Orang membentuk konstruksi untuk mengerti kenyataan – kenyataan, dan dia memahami kontruksi sebagai suatu system pandangan, persepsi atau kepercayaan. Dengan perkataan lain, persepsi seseorang adalah apa yang dia yakini sebagai “Nyata” baginya, dan terhadap hal itulah tindakan, pemikiran, dan perasaannya diarahkan. Metode kualitatif ini peneliti gunakan karena kompleks, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi tersebut dijaring dengan metode kuantitatif , selain itu peneliti bermaksud memahami situasi objek dan subjek penelitian secara mendalam dan diharapkan mampu memberikan sebuah gambaran secara sistematis, faktual dan akurat.
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pelaksananaan Tradisi Monuntul di Bolaang Mongondow Timur Sesuai hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, tradisi Monuntul atau pasang lampu yang dilakukan tentunya memiliki kaidah-kaidah atau proses tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh setiap masyarakat dalam melaksanakan tradisi monuntul. Dalam pelaksanaannya biasanya masyarakat sudah mulai menyiapkan semua peralatan atau bahan-bahan yang akan diperlukan pada saat pelaksanaan monuntul. Tradisi monuntul yang dilakukan 3 hari menjelang lebaran atau malam ke27 bulan ramadhan ini, mempunyai tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan Sebelum proses pelaksanaan perayaan tradisi monuntul dilakukan, perlu adanya persiapan-persiapan yang diperlukan pada saat malam pasang lampu atau monuntul. Menurut Alfian Makalalag (Wawancara 14 juni 2015) masyarakat berduyun-duyun mempersiapkan bahan-bahan berupa bambu yang dipotong dengan diameter 30-50 Cm kemudian diisi dengan minyak tanah, diujung bambu ditutup dengan sabuk kelapa kemudian dipasang atau dijejer disepanjang jalan depan rumah. Sedangkan Rahmat Mokoagow (Wawancara 14 juni 2015) mengatakan “Menyiapkan lampu lentera atau lampu botol, bisa juga dari bambu dan lampu hias” 2. Tahap Pelaksanaan Dalam pelaksanaan monuntul pemasangan lampu akan diadakan pembacaan doa terlebih dahulu sekaligus membaca surat Al-Qadr dan setelah itu kepala keluarga menyalakan lampu lalu menaruhnya didepan rumah. Adapun lampu yang dipasang didepan rumah sesuai dengan jumlah keluarga. Alfian Makalalag mengatakan (Wawancara 14 juni 2015) pelaksanaan monuntul yaitu pemasangan lampu secara serentak di depan rumah penduduk menjelang tiga hari lebaran. Pelaksanaan Tradisi Tumbilotohe di Gorontalo Dalam pelaksanaan tradisi Tumbilotohe menurut kebiasaan masyarakat Gorontalo pada umumnya sudah menjalankan tradisiTumbilotohe tersebut secara turun temurun bahwa sehari sebelum pelaksanaannya, maka ada hal-hal penting yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan yang dilakukan oleh peneliti, dalam pelaksanaan tradisiTumbilotohe terdiri dari beberapa tahap yaitu :
1. Tahap Persiapan Menurut pendapat Bapak Herdi Halaa (Wawancara 4 Juni 2015) selaku tokoh masyarakat bahwa menjelang pelaksanaan tradisi Tumbilotohe di Gorontalo, maka masyarakat mempersiapkan alat dan bahan terlebih dahulu, kemudian bahan-bahan tersebut akan dibuat dan dirangkai menjadi simbol-simbol. Adapun bahan-bahan yang akan dibuat atau dirangkai menjadi simbolsimbol dalam tradisi Tumbilotohe menurut Bapak Irpan Hadi (Wawancara 4 Juni 2015) adalah sebagai berikut : Bambu atau Talilo atau kayu balok Baalaki akan dirangkai menjadi Alikusu. Daun Kelapa akan dipergunakan sebagai Janur Kuning atau disebut Lale Botol Mudah Pecah (bukan botol plastik atau yang mudah terbakar) atau kaleng akan dijadikan tempat minyak tanah. Sumbu atau Tubu yang akan dipasang pada penutup botol atau penutup kaleng. Bunga jenis Polohungo, Pisang atau Lambi, dan Tebu atau Patodu sebagai hiasan pada tiang Alikusu. 2. Tahap Pembuatan Menurut pendapat Bapak Gaflan Bausin (Wawancara 5 Juni 2015) mengatakan bahwa tahap pembuatan simbol-simbol tradisi Tumbilotohe adalah sebagai berikut : a. Alikusu Rangkaian Alikusu terbuat dari Balaki atau Talilo yang dibuat berbentuk huruf n yang kemudian diatasnya ada rangkaian berbentuk kubah masjid yang terbuat dari Talilo yang sudah dibelah dan sudah dihaluskan. Setelah rangkaian Alikusu selesai, maka sebagian masyarakat ada yang sudah meletakkan dengan posisi berdiri dan siap digunakan, dan ada juga yang meletakkan atau memajangnya di pintu depan rumah nanti pada hari pelaksanaannya sebelum buka waktu buka puasa atau sebelum waktu sholat magrib. b. Tohe Rangkaian Tohe terbuat dari Botol Mudah Pecah (bukan botol plastik yang mudah terbakar) atau terbuat dari kaleng untuk diisi minyak tanah.
c. Tubu Tubu atau sumbu biasanya menggunakan sumbu kompor atau kain yang dipotong dengan lebar ± 2 cm dan panjang ± 15 cm (dengan syarat panjangnya akan tercelup pada minyak tanah), kemudian dimasukan ke pipa kecil yang terbuat dari kaleng sebagai tempat sumbu. d. Lale, Polohungo, Lambi dan Patodu Lale diikat pada Talilo yang melengkung berbentuk kubah, Polohungo dan Patodu diikat pada tiang Alikusu dan Lambi digantung pada Alikusu. e. Tahap Pelaksanaan Menurut Bapak Andi Nurdin (Wawancara 6 Juni 2015) selaku tokoh agama bahwa saat pelaksanaan tradisiTumbilotohe akan dimulai secara bersamaan tepat setelah umat islam melakukan buka puasa dan sholat magrib. Dalam proses menyalakan lampu, diawali oleh kepala keluarga sekaligus memimpin dalam pembacaan surat Al-Qadr yang diikuti oleh ibu rumah tangga dan anak-anak. Pembacaan surat Al-Qadr karena diyakini oleh masyarakat sebagai malam ke-27 sebagai malam turunnya Lailatul Qadar atau dikenal sebagai malam kemuliaan karena selain sebagai malam Lailatul Qadar, pada malam itu juga sebagai malam permulaan turunnya Al-Qur’an. Pada malam itulah Allah SWT akan mengabulkan doa-doa hambanya pada saat memperbanyak amalan ibadahnya. Beliau mengatakan bahwa pada saat pelaksanaan tradisi Tumbilotohe itulah selain memberikan warna dan ciri khas persatuan dan gotong royong, juga pada malam itu semua warga merasa bahagia karena adanya semarak Tumbilotohe dan juga lahir perhatian dan kepedulian penuh ketulusan dan keikhlasan karena sulitnya memperoleh minyak tanah pada zaman sekarang serta ditandai dengan keikhlasan membeli minyak tanah sebagai tanda ikhlas memberi kepada yang berhak menerima yaitu melalui zakat. Beliau juga mengatakan bahwa walaupun zaman sekarang sebagian masyarakat sudah menggunakan lampu serba listrik dalam kehidupan sehari-hari, tetapi beliau masih tetap mempertahankan tradisi sesuai warisan leluhur menggunakan lampu dengan nyala api karena nyala api sesuai dengan arti dari Tumbilo yaitu menyalakan dengan api. Oleh karena itu, perbuatan yang tidak dilakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh maka sulit untuk mencapai derajat iman, sedangkan semua rangkaian persiapan dan pelaksanaan Tumbilotohe
dilaksanakan secara gotong royong artinya inilah bukti orang Gorontalo yang memiliki sifat ikhlas dan ihtisab, maksud ihtisab adalah melakukan suatu perbuatan baik semata-mata mengharapkan ridho Allah SWT. Perbandingan Monuntul di Bolaang Mongondow Timur dan Tumbilotohe di Gorontalo Menurut Ishak Damopolii (Wawancara 17 Juni 2015) “Monuntul atau pasang lampu dan Tumbilotohe mempunyai perbedaan karena di bolaang Mongondow lampu hanya dipasang didepan rumah dan hanya menggunakan bambu”. Alfian Makalalag (Wawancara 14 Juni 2014) “Monuntul di bolaang Mongondow Timur cenderung sunyi dibandingkan Tumbilotohe di Gorontalo” Rahmat Mokoagow (Wawancara 14 Juni 2015) “ Monuntul atau malam pasang lampu di Bolaang Mongondow Timur mendapat perhatian dari pemerintah yaitu dengan mengadakan lomba”. Iyong Botutihe (Wawancara 6 Juni 2015) “Tumbilotohe di gorontalo mempunyai daya tarik karena pemasangan lampu tidak hanya di depan rumah saja” Gaflan Bausin (Wawancara 5 Juni 2015) “pasang lampu di Gorontalo sangat mendapat antusias dari masyarakat karena mendapat respon positif” Abd. Rajak Rauf (Wawancara 6 Juni 2015) "Malam Tumbilotohe atau malam pasang lampu ini sangat menarik perhatian pemerintah dengan menyediakan minyak tanah” Persepsi Masyarakat Tentang Monuntul di Bolaang Mongondow Timur Menurut Abdul Kader Bachmid (Wawancara 17 Juni 2015) “Bahwa dengan pemasangan lampu adalah satu tanda bahwa tinggal beberapa hari lagi Menuju kemenangan Pada umumnya menyambut dengan baik, malahan tradisi ini bagian yang ikut diperlombakan pada setiap tingkatan baik dari kategori mesjid, desa, dan lain-lain”. Menurut Rahmat Mokoagow (Wawancara 14 Juni 2015) “ Sangat positif, karena sudah merupakan tradisi yang bahkan diperlombakan keindahannya oleh tingkat kabupaten, perlombaan itu dilakukan karena menandakan bahwa pemasangan lampu monuntul menyambut malam Lailatulqadar itu lebih baik dari seribu bulan”. Dari penuturan Ishak Damopolii (Wawancara 17 Juni 2015) “Monuntul ini harus dilakukan atau dilaksanakan bersama karena sudah merupakan tradisi turun
temurun. Dalam tradisi monuntul yang dilakukan pada malam ke-27 ramdhan merupakan malam Lailatul Qadar. Alfian Makalalag menjelaskan bahwa (Wawancara 14 juni 2015) “pelaksanaan tradisi Monuntul ini harus dipertahankan hingga anak cucu kita karena ini merupakan warisan turun temurun sampai dengan sekarang tradisi monuntul sudah banyak terjadi perubahan yang dulunya hanya menggunakan bambu ataupun lampu botol kini sudah berubah seiring dengan berkembangnya zaman globalisasi yaitu menggunakan lampu hias dengan dibantu tenaga listrik” Berlian Gumalangit (Wawancara 18 Juni 2015) “Tradisi monuntul ini sangat baik karena merupakan tradisi turun temurun dan merupakan symbol dari menyambut hari raya idul fitri dan mempertahankan kelestarian tradisi Monuntul kedepannya merupakan tanggungjawab pemerintah terutama pemerintah desa berupaya untuk mengadakan taman baca dan galeri budaya untuk pengkaderan remaja desa dan masyarakat agar semua adat masih dapat dipertahankan dan dilestarikan”. Persepsi Masyarakat tentang Tumbilothe di Gorontalo Menurut Bapak Abdul Rajak Rauf selaku tokoh pendidikan (Wawancara 6 Juni 2015) “bahwa rasa sosial pada saat pelaksanaan tradisi Tumbilotohe juga dimanfaatkan untuk saling berbagi melalui pengeluaran zakat. Hal ini tentunya untuk mendidik generasi selanjutnya untuk selalu saling berbagi terutama untuk menanamkan rasa ikhlas dalam setiap memberikan sesuatu”. Menurut Bapak Iyong Botutihe (Wawancara 6 Juni 2015) “bahwa pada saat itu tradisi Tumbilotohe mudah diterima oleh setiap generasi. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, maka semakin membudaya pula tradisi Tumbilotohe. Setiap bertambahnya generasi dengan mudah menerima dan memahami arti pentingnya keberadaan tradisi Tumbilotohe yang sampai saat ini menjadi warna dan ciri khas Gorontalo setiap malam 27 bulan Ramadhan yang sudah dikenal dinusantara. Sehingga pada pelaksanaan tradisi Tumbilotohe, semua mata tertuju dan teringat daerah Gorontalo. Hal ini dibuktikan dengan adanya tradisi Tumbilotohe, orangorang Gorontalo yang tersebar didaerah-daerah diluar Gorontalo teringat kampung halamannya dan ingin segera kembali ke Gorontalo. Sehingga tidak heran lagi bahwa setiap menjelang pelaksanaan tradisi Tumbilotohe banyak orang-orang Gorontalo yang tersebar diluar daerah Gorontalo ikut meramaikan arus mudik. Berarti tradisi mudik bagi orang-orang Gorontalo yang berada diluar daerah paling banyak pada saat menjelang pelaksanaan tradisi Tumbilotohe”. Menurut Bapak Andi Nurdin selaku tokoh agama (Wawancara 6 Juni 2015) “Mengatakan bahwa tradisi Tumbilotohe sangat erat dengan nilai agama karena
dengan adanya tradisi Tumbilotohe ini lebih memotivasi semangat ibadah umat islam. Karena mulai saat pelaksanaan tradisi Tumbilotohe mengingatkan masyarakat bahwa masa berlalunya bulan suci Ramadhan dan hari kemenangan tinggal 3 (Tiga) hari lagi sehingga masyarakat berlomba-lomba untuk meningkatkan amalan ibadahnya. Baik berupa memperbanyak sholat pada malam hari, itiqaf dimasjid, mengingatkan waktunya membayar zakat, memperbanyak bacaan Al-Qur’an, dan sebagai malam turunnya Lailatul Qadar. Tradisi Tumbilotohe dimaknai sebagai salah satu tradisi yang memiliki nilai dan pesan yang penting. Nilai dan pesan tersebut terlihat dari bentuk Alikusu yang menyerupai kubah masjid, oleh karena itu, tradisi Tumbilotohe bagi masyarakat Gorontalo dianggap merupakan suatu ruang lingkup atau bagian dari islamisasi budaya karena sangat erat dengan pesan-pesan agama”. PEMBAHASAN Pelaksanaan Tradisi Monuntul di Bolaang Mongondow Timur Secara admiritatif tradisi monuntul dilaksanakan di desa Motongkad Induk Kecamatan Nuangan Kab. Bolaang Mongondow Timur pada hari ke-27 ramadhan atau 3 hari menjelang lebaran, tradisi yang sudah ada sejak lama ini dilaksanakan secara turun temurun mempunyai makna tersendiri karena lampu yang dipasang didepan rumah sesuai dengan jumlah keluarga yang dirumah itu sendiri dan ditambahkan dengan ornament-ornamen lampu hias yang menggunakan tenaga listrik. Selain itu, tradisi monuntul ini ditandai juga dengan malam Lailatul Qadar atau malam seribu bulan dan malam diturunkannya Al-Qur’an. Tradisi monuntul juga mempunyai kaidah-kaidah atau proses tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya yang menjadikan pembeda dalam perayaannya meskipun malam pasang lampu yang ada di Bolaang Mongondow Timur tidak semeriah atau tidak sebabanyak lampu yang ada di Gorontalo. Namun, disisi lain ada beberapa persamaan dalam pelaksanaannya seperti perayaannya dilakukan menjelang 3 hari lebaran atau malam ke-27 ramadhan, ditandai dengan adanya malam Lailatul Qadar atau malam seribu bulan dan terakhir yaitu malam diturunkannya AlQur’an. Perayaan malam pasang lampu di Bolaang Mongondow timur selain dilakukan untuk menyambut hari raya idul fitri, pemerintah Bolaang Mongondow Timur juga melakukan lomba agar memotivasi masyarakat untuk melaksanakan tradisi monuntul dengan persiapan seadanya mereka beramai-ramai menghiasai desa dengan lampu botol atau lampu menggunakan bambu dan lampu hias yang dipasang didepan rumah masing-masing agar lebih menarik.
Pelaksanaan Tradisi Tumbilotohe di Gorontalo Tradisi Tumbilotohe di Gorontalo khususnya di desa Popalo Kec. Anggrek Kab. Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo terlebih dahulu harus menyiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam tradisi tumbilotohe adapun alat yang harus disediakan adalah bambu, balok, daun kelapa muda, sumbu, botol, bunga dan lainlain. Ini akan dibuat seperti gapura atau pintu masuk dan dihiasi lampu yang telah dibuat. Waktu pelaksanaan tradisi tumbilotohe di Gorontalo sama seperti yang dilakukan di Bolaang Mongondow yaitu pada malam 3 hari menjelang lebaran atau malam ke-27 ramadhan, mempunyai makna tersendiri Tradisi tumbilotohe ada sejak beberapa abad lalu. Pada saat itu, dimana listrik masih langka, di penghujung bulan Ramadhan masyarakat Gorontalo memasang lampu di halaman rumah dan sepanjang jalan menuju tempat ibadah secara sukarela. Hal ini ditujukan untuk mempermudah warga yang akan pergi ke tempat ibadah dan juga mempermudah warga yang akan membagikan zakat fitrah di malam hari. Lampu yang digunakan masih terbuat dari damar dan getah pohon agar menyala dalam waktu yang lama. Seiring berjalannya waktu, tradisi Tumbilotohe tetap bertahan hingga saat ini. Perayaan Malam Tumbilotohe memberi makna sebagai penerangan bagi umat Muslim yang ingin beribadah ke masjid dan beribadah untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar. Saat malam Lailatul Qadar, orang-orang berbondong-bondong ke masjid untuk mendengarkan ceramah demi mendapatkan pencerahan yang diidentikkan dengan lampu-lampu yang dipasangi untuk penerangan. Pemasangan lampu itu mengingatkan bahwa kitab suci Al-Quran membawa jalan terang bagi umat manusia agar kembali hidup dalam kebenaran sekaligus menerangi orangorang yang berada di sekitarnya. Perbandingan tradisi Monuntul di Bolaang Mongondow Timur dan Tumbilotohe di Gorontalo 1). Kelebihan dari perayaan tradisi Tumbilotohe di Gorontalo
Salah satu ciri khas malam tumbilotohe di Gorontalo ialah warga Gorontalo serempak memasang lampu minyak berderet di sepanjang jalan, di halaman dan teras rumah, di masjid, di kantor, hingga di pepohonan dan lapangan bola, bahkan juga di pesawahan. Suasana malam hingga Subuhnya begitu menakjubkan, meriah penuh warna.
Malam pasang lampu di Gorontalo mempunyai daya tarik karena pada saat malam Tumbilotohe banyak berdatangan wisatawan baik lokal maupun wisatawan mancanegara.
Semua masyarakat berpartisipasi dalam pelaksanaan tradisi tumbilotohe di Gorontalo
2) Kekurangan dari perayaan tradisi Tumbilotohe di Gorontalo
Perayaan tradisi Tumbilotohe di Gorontalo hampir tidak memiliki kekurangan karena dalam perayaannya sudah disediakan oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri, yang mana pemerintah Gorontalo dan masyarakat menjalin kerja sama demi tercapainya perayaan yang meriah dan memberikan kesan yang baik bagi para wisatawan yang datang berkunjung.
1) Kelebihan dari perayaan Monuntul di Bolaang Mongondow Timur
Perayaan Monuntul di Bolaang Mongondow Timur mempunyai kelebihan yaitu dengan diadakannya lomba.
2) Kekurangan dari Perayaan Monuntul di Bolaang Mongondow timur
Kurangnya antusias dari warga ataupun masyarakat dalam melaksanakan tradisi Monuntul.
Pemasangan lampu hanya ada didepan rumah dan masjid-masjid.
Pemasangan lampu lebih dominan kepada lampu hias yang menggunakan arus listrik bukan dengan lampu botol atau atau bahan yang menggunakan minyak tanah.
Persepsi Masyarakat Tentang Tradisi Monuntul di Bolaang Mongondow Timur Sebagaimana dari berbagai pendapat yang ada pada masyarakat umumnya bahwa tradisi monuntul dilakukan pada 3 hari menjelang hari raya idul fitri. Pada penelitian ini untuk mendapatkan data dilakukan dengan cara meminta pendapat kepada masyarakat melalui metode wawancara, dalam wawancara tersebut dapat ditemukan bahwa mereka setiap tahun turut merayakan tradisi monuntul. Dari penuturan beberapa hari sebelum pelaksanaan tradisi monuntul diadakan persiapan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan secara besar-besaran. Pelaksanaan ini mendapatkan respon positiv dari pemerintah dengan mengadakan lomba. Masyarakat sangat antusias dalam melaksanakan tradisi yang merupakan tradisi turun temurun ini dan hanya berlangsung setahun sekali.
Pendapat ini dibenarkan bahwa pelaksanaan tradisi monuntul ini, bukan hanya dilakukan oleh masyarakat Bolaang Mongondow Timur Khususnya desa Motongkad Induk. Namun, tradisi ini juga dilakukan oleh daerah sekitarnya seperti kota Kotamobagu dan Gorontalo. Akan tetapi kalau dilihat dari dari proses pelaksanaannya sedikit berbeda pelaksanaan tradisi Tumbilotohe/pasang lampu di Gorontalo dan Bolaang Mongondow Timur. Perbedaannya itu terletak kalau di Gorontalo mendirikan Gapura yang terbuat dari bambu, balok, daun kelapa muda, bunga dan sebagainya dipasang didepan rumah. Sebaliknya di Bolaang Mongondow Timur khususnya Desa Motongkad Induk hanya membuat sesuatu dari bambu untuk meletakan lampu. Tradisi monuntul ini mengandung beberapa nilai sehingga perayaan pasang lampu ini masih dipertahankan oleh masyarakat Bolaang Mongondow Timur. Adapun nilai-nilai yang terkandung didalamnya yaitu, nilai kekeluargaan.maksudnya nilai kekeluargaan disini terlihat dari banyaknya orang yang turut merayakan tradisi monuntul ini. Perkembangan tradisi monuntul yang ada di Bolaang Mongondow Timur mengalami perubahan dari tahun ketahun. Letak perkembangannya terlihat dari lampu yang digunakan. Pada mulanya tradisi monuntul hanya menggunakan lampu botol dan bambu yang dilubangi lalu diberi sumbu. Namun, sekarang sudah banyak menggunakan lampu hias dengan tenaga listrik. Trasisi monuntul ini sangat bagus karena mengandung nilai religi dan unsure budaya. Dilihat dari religi yaitu hanya dilaksanakan pada bulan puasa tepatnya 3 hari menjelang lebaran dimana malam itu dipercaya malam Lailatul Qadar atau malam seribu bulan dan malam dimana diturunkanya kitab suci Al-Qur’an. Persepsi Masyarakat tentang Tradisi Tumbilotohe di Gorontalo Sebagaimana dari berbagai pendapat yang ada pada masyarakat umumnya bahwa tradisi monuntul dilakukan pada 3 hari menjelang hari raya idul fitri. Pada penelitian ini untuk mendapatkan data dilakukan dengan cara meminta pendapat kepada masyarakat melalui metode wawancara, dalam wawancara tersebut dapat ditemukan bahwa mereka setiap tahun turut merayakan tradisi tumbilotohe. Perayaan tradisi tumbilotohe di Gorontalo sangat luar biasa karena bukan hanya masyarakat Gorontalo yang merayakan melainkan masyarakat dari luar daerah yang ikut bersama-sama merayakan tradisi tumbilotohe. Tradisi malam tumbilotohe telah menarik perhatian wisatawan termasuk juga warga kota tetangganya seperti Manado, Palu, dan Makassar. Mereka jauh-jauh sengaja berkunjung ke Gorontalo untuk menyaksikan tradisi Tumbilotohe yang
menakjubkan. Bukan hanya itu, saat Malam Tumbilotohe Anda juga akan dapat merasakan nuansa religius dan solidaritas masyarakat Gorontalo yang tulus. Tradisi tumbilotohe sangat bermanfaat karena dapat menimbulkan hal-hal yang positive. Dimana semua masyarakat yang datang ikut merayakan sangat antusias, mereka yang datang tidak hanya melihat namun ikut mendokumentasikan dengan berfoto-foto dan sebagainya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka penulis simpulkan sebagai berikut : Monuntul adalah tradisi pasang lampu yang dilakukan oleh masyarakat Bolaang Mongondow Timur setiap bulan ramadhan pada tiga hari menjelang hari raya idul fitri atau pada malam lailatul Qadar, tradisi Monuntul ini sangat di sambut dengan baik oleh masyarakat Bolaang Mongondow dilihat dari persiapan masyarakat saat pemasangan tuntul tiba, walaupun sudah ada penambahan lampu hias di setiap pemasangan lampu di depan rumah akan tetapi ciri khas dari monuntul di Bolaang Mongondow tidak pernah hilang yaitu setiap warga yang memasang lampu botol di depan rumah hanya sesuai dengan jumlah keluarga yang ada di keluarga tersebut. Sedangkan Dalam pelaksanaan tradisi Tumbilotohe di desa Popalo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara telah berlangsung secara turun temurun secara regenerasi dan masih memiliki keaslian tradisi Tumbilotohe. Makna secara keseluruhan dari semua rangkaian simbol-simbol pada tradisi Tumbilotohe adalah selalu menjadikan masjid sebagai rumah umat islam walau dijalani dengan segala macam perbedaan namun tetap bersatu sebagai jamaah yang saling memberikan manfaat melalui perilaku yang baik dan melakukan dengan suka cita karena kekuatan salah satu diantara kita mulai redup, maka akan dibantu oleh kekuatan cahaya dari yang lain. Dan selalu mengingatkan kita bahwa energi atau kekuatan hidup tetap berlandaskan Al-Qur’an sehingga tetap memberikan cahaya selama perjalanan dalam hidup kita. Saran Memperhatikan hal-hal sebagaimana disimpulkan dari hasil penelitian maka penulis mengemukakan. 1. Pemerintah dan Masyarakat Bolaang Mongondow Timur Kepada pemerintah Bolaang Mongondow Timur agar lebih memperhatikan keaslian dari tradisi Monuntul sebelumnya agar tradisi yang sudah ada sejak dulu tidak akan pernah berubah walaupun sudah adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, selain itu masyarakat juga harus lebih
berpartisipasi dalam menjaga dan melestarikan tradisi Monuntul yang yang sudah menjadi kebudayaan masyarakat Bolaang Mongondow Timur. 2. Pemerintah dan Masyarakat Gorontalo Peneliti berharap agar pemerintah Gorontalo dapat menjadikan Tumbilotohe sebagai suatu perlombaan agar lebih adanya antusias dari kalangan anak muda yang ada di Gorontalo khususnya di kecamata anggrek, selain itu agar hasil penelitian ini bernilai ibadah dan menjadi motivasi bagi kita semua dalam mempertahankan, memelihara dan melestarikan tradisi Tumbilotohe.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Syani, 1995. Sosiologi dan perubahan Masyarakat. Bandar Lampung : PT. Dunia Pustaka Jaya anggota IKAPI Bimo Walgito, 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset. Burhan Bungin, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Farha Daulima, Irwan Hamzah, 2007. Pesona Wisata Tumbilotohe Setiap 27 Ramadhan di Wilayah Propinsi Gorontalo, Limboto; Galeri Budaya LSM Mbu’i Bungale, Imam Gunawan, 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Bumi Aksara Jalaluddin Rahmat, 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Koetjaraningrat. 2000. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Lexy Moleong, 2002. Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Lily E. N. Saud, Rusli M.2004. Budaya masyarakat suku bangsa Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara. Manado : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Utara Mohamad Idrus. 2009. Metodologi Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta : Erlangga Muhadjir Noeng, 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin Mursal Esten. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung : Angkasa Nanah Syaodih Sukmadinata, 2005. Motode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Piotr Stztompka.2007.Sosiologi Perubahan Sosial.Jakarta: Prenada Rafael Raga Maran. 2007. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta Sarlito Wirawan Sarwono, 2006. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta : Rajawali Pers Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994. Teori-teori sosila budaya. Jakarta : B3PTKSM Sumber Internet Faisol Hezim, Makalah Tentang Pelestarian Tradisi Tumbilotohe Sebagai Kekayaan Budaya Gorontalo, http://fairulfh.blogspot.com/2013/10/makalah-tentangpelestarian-tradisi.html, 2013,