Kebijakan Rusia Masa Pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Islam di Chehnya Diba Patricia Ariani – 071012070 Program Studi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga ABSTRACT This paper discusses the policy of Vladimir Putin during his term in the office as president of Russia in the Second Chechen War. When he served as prime minister, Putin showed a firm and strong act against any form of separatist movement particularly Islamic movement in Chechnya. Vladimir Putin showed stronger stance against the Chechen separatist movement when he served as president of Russia. He rejected any kind of proposal to conduct peace negotiations and launch counterinsurgency operations and also use the momentum of 9/11 to justify his policy towards separatism movement in the Caucasus region. Although Russian aggressively conducting military operation, but it failed to eliminate the Chechen separatist movement. This research also examines Putin’s solution in the Second Chechen War to withdraw all of Russian military forces in Chechnya region and replaced it with Kadyrov’s regime. Keywords: Russia, Chechnya, counterinsurgency operations, separatists, Putin, Kadyrov.
Tulisan ini membahas kebijakan Vladimir Putin semasa menjabat sebagai presiden Rusia dalam Perang Chechnya Kedua. Pada masa menjabat sebagai Perdana Menteri, Putin bersikap tegas dan keras terhadap segala bentuk gerakan separatisme terutama yang berbasis Islam di Chechnya. Ketika ia akhirnya menjadi presiden, konflik dengan Chechnya belum usai dan ia bersikap makin tegas terhadap gerakan separatis Chechnya dengan menolak segala bentuk perundingan damai dan melancarkan operasi counterinsurgency serta memanfaatkan momentum 9/11 untuk menjustifikasi kebijakannya terhadap isu separatis di wilayah Kaukasus. Meskipun operasi-operasi militer gencar dilancarkan Rusia namun hal tersebut tidak juga membuahkan hasil dalam usaha penghapusan gerakan separatis Chechnya. Ternasuk dalam tulisan ini pembahasan mengenai solusi Putin terhadap konflik Chechnya yakni Chechnization pada Perang Chechnya Kedua dengan penarikan pasukan militer Rusia di wilayah Chechnya untuk digantikan dengan rezim yang dipilih dengan hati-hati oleh Putin yakni rezim Kadyrov. Kata Kunci: Rusia, Chechnya, separatis, Putin, Kadyrov.
operasi
counterinsurgency,
gerakan
1489
Diba Patricia Ariani
Pasca berakhirnya Perang Dunia II, konflik intra-state mulai bermunculan di berbagai negara. Salah satu negara yang dilanda konflik intra-state adalah Rusia. Pasca keruntuhan Uni Soviet, republik Federasi Rusia harus menghadapi konflik-konflik yang selama ini tersembunyi berupa kemunculan berbagai gerakan separatis yang mulai mengancam integritas wilayah Rusia, salah satunya adalah konflik yang terjadi di Chechnya. Sebagai salah satu dari 21 negara bagian Republik Federasi Rusia, Chechnya secara administratif memperoleh otonomi penuh Rusia dan mendapat kedaulatan secara de facto. Dengan mayoritas penduduk beragama Islam, terdapat kecenderungan akan kemunculan gerakan gerakan fundamentalisme Islam di Republik Chechnya. Gerakan fundamentalisme ini kemudian berkembang menjadi gerakan separatis dimana simbol-simbol agama dan etnis menjadi bagian integral dari gerakan tersebut. Tujuannya tidak lain adalah untuk memerdekakan diri dari pemerintah federal Rusia dan mendirikan negara Islam. Terdapat beberapa faktor yang menjadi alasan kemunculan konflik antara Rusia dan Chechnya. Kebijakan pemerintah Uni Soviet pada tahun 1944 untuk melakukan pembersihan etnis dan memindahkan bangsa Chechen secara paksa ke berbagai penjuru Asia Tengah sehingga menyebabkan populasi bangsa Chechen menurun drastis menjadi dasar kebencian bangsa Chechen kepada pemerintah pusat. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 menjadi momentum bagi Chechnya untuk dapat bangkit dan lepas dari Rusia. Pada masa tersebut, sebagian besar negara-negara bagian bekas Uni Soviet memperoleh kedaulatan dan menjadi negara merdeka. Kebijakan yang diterapkan oleh Michael Gorbachev berupa Glasnot dan Prestorika justru memperkuat gerakan-gerakan pemberontakan di banyak Republik Uni Soviet. Dengan terpilihnya Vladimir Putin sebagai Presiden Rusia pada tahun 2000, permasalahan Chechnya menjadi salah satu prioritas dalam agenda pemerintahannya. Selama masa pemerintahannya, Presiden Putin menegaskan bahwa tidak akan ada pembicaraan damai dan kompromi bagi separatis Chechnya. Menurut Putin, berbagai bentuk pendekatan yang bersifat diplomatis untuk menghadapi konflik Chechnya hanya mencapai hasil nihil. Pada 20 April 2000, Chechnya dibawah pimpinan Presiden Mashkadov menawarkan gencatan senjata yang ditolak oleh Presiden Putin. Menurutnya tawaran gencatan senjata tersebut hanya bertujuan untuk melindungi para kriminal serta penguasa Chechnya yang tidak menuruti perintah Rusia. Penolakan gencatan senjata tersebut mengarah pada lebih banyak kontak senjata dan serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok separatis Chechnya.
1490
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 4. No. 1
Kebijakan Rusia Masa Pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Islam di Chehnya
Dikarenakan situasi yang terus memanas, Presiden Putin mencoba masuk ke Chechnya melalui celah politik. Pada Maret 2003, Presiden Putin menyetujui diadakan referendum untuk menentukan bagaimana Chechnya merdeka sebagai sebuah negara bagian dan bergabung ke dalam Federasi Rusia. Pada bulan Oktober tahun 2003, Akhmad Kadyrov terpilih menjadi presiden Chechnya sekaligus menjadi aktor kunci bagi Rusia untuk tetap berkuasa di Chechnya. Keputusan Rusia dibawah Presiden Putin untuk terus melakukan aksi-aksi represif mendapatkan kecaman dari berbagai pihak internal Rusia dan pihak internasional. Kelompok aktivis Hak Asasi Manusia Rusia dan PBB menilai tindakan Vladimir Putin dalam menghadapi gerakan separatis Chechnya jauh dari nilai-nilai demokrasi dan melanggar hak asasi manusia. Pentingnya mempertahankan Chechnya agar tetap menjadi bagian dari Federasi Rusia merupakan cara bagi Presiden Putin untuk mempertahankan legitimasi pemerintahannya. Jika Chechnya dilepas menjadi negara merdeka penuh, Putin khawatir ia dinilai tidak mampu mepertahankan integritas Republik Federasi Rusia. Oleh karena itu, sebisa mungkin Putin berusaha mempertahankan Chechnya dan melakukan aksi-aksi militer dengan berdalih sebagai usaha untuk menyelamatkan integritas wilayah Rusia. Selain itu, memanfaatkan momentum tragedi 9/11, Putin menyebutkan bahwa operasi militer yang dilakukan di Chechnya merupakan salah satu bentuk kampanye War on Terrorism. Konflik yang terjadi di Chechnya menjadi perhatian penuh Putin pada periode pertama kepresidenannya. Meskipun banyak kasus separatisme bermunculan di wilayah Kaukasus Utara, apa yang terjadi di Chechnya lebih dari sekedar keinginan untuk mendapat pengakuan dari pemerintah Rusia. Gerakan separatis Chechnya menginginkan seluruh wilayah Kaukasus Utara terlepas dari Federasi Rusia. Di wilayah Kaukasus Utara, gerakan separatis Chechnya berperan sebagai pusat resmi dari ideologi, logistik dan finansial dari berbagai pemberontakan yang terjadi di Kaukasus Utara. Menghadapi permasalahan tersebut, pemerintah Rusia melakukan perombakan kebijakan dalam operasi militer dan operasi counter-insurgency mereka agar tidak terjadi kekalahan yang sama seperti yang terjadi pada Perang Chechnya pertama. Namun, kebijakan tersebut masih belum membuahkan hasil karena gerakan separatis Chechnya masih aktif melakukan aksi teror di berbagai wilayah di Rusia. apa yang menyebabkan kebijakan operasi counter-insurgency Rusia tidak berhasil menumpas kelompok pemberontak Chechnya? Usaha pemerintah Rusia untuk menumpas gerakan separatis Chechnya dengan melenyapkan para pemimpin
Jurnal Analisis HI, Maret 2015
1491
Diba Patricia Ariani
gerakan separatis ternyata juga tidak mampu menghapuskan gerakan separatis Chechnya yang masih terus bertahan hingga saat ini. Dalam menghadapi serangan pemberontak yang melakukan aksi-aksi terorisme, dikenal adanya upaya yang disebut dengan counter-insurgency yang dilakukan oleh negara-negara yang menghadapi serangan terorisme di wilayah kedaulatan mereka dan salah satu bentuknya adalah operasi counter-terorisme. Secara sederhana counter-terrorisme dapat dipahami sebagai sebuah taktik, teknik dan strategi yang dilakukan oleh suatu pemerintah, militer dan departemen kepolisian untuk menghadapi aksi maupun ancaman teroris. Dalam menghadapi aksi gerakan separatis Chechnya yang oleh Presiden Putin digolongkan sebagai salah satu aksi teroris, Rusia juga menerapkan strategi counter-insurgency dengan menerapkan operasi counter-terrorisme yang diawali dengan menerapkan kebijkan Chechenisasi. Dalam konflik yang melibatkan gerakan separatis sebagai salah satu aktor, peran kelompok solidaritas sangatlah krusial. Kemunculan konflik dan keberadaan kelompok solidaritas memiliki hubungan yang erat dimana konflik dapat memunculkan kelompok solidaritas, begitu pula sebaliknya. Dengan adanya rasa keterikatan yang kuat diantara anggotanya dan kelompok lain yang memiliki nasib serupa dengan mereka, kelompok ini memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap hal-hal yang mengancam identitas mereka. Dalam konflik yang terjadi antara pemerintah Rusia dengan Chechnya, eksistensi gerakan separatis Chechnya mendapat dukungan dari Caucus Emirates yang bertindak sebagai kelompok solidaritas. Pada dasarnya, dalam studi hubungan internasional, pendekatan terhadap resolusi konflik tidak terlepas dari pertanyaan mendasar mengenai penyebab dari terjadinya suatu konflik. Melalui resolusi konflik, para ahli melihat sumber konflik sebagai akar dari masalah dan berusaha untuk mencegah konflik berkembang menjadi konflik kekerasan. Salah satu teori yang melihat akar dari kemunculan suatu konflik adalah Teori Kebutuhan Manusia. Secara sederhana, proporsi dari teori ini adalah konflik dan sifat agresif merupakan hasil dari norma-norma sosial yang bertentangan dengan kebutuhan manusia. Hipotesis dari penelitian ini adalah kebijakan yang diambil Rusia di bawah kepemimpinan Presiden Putin dalam menghadapi gerakan separatis Chechnya adalah dengan memberlakukan strategi counter-insurgency yang didalamnya terdapat beberapa kebijakan yang bersifat keras dengan menggunakan kekuatan-kekuatan militer seperti kebijakan Chechenisasi dan kebijakan Pasifikasi sebagi bentuk dari operasi counter-terrorisme. Kebijakan-kebijakan yang diaplikasikan
1492
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 4. No. 1
Kebijakan Rusia Masa Pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Islam di Chehnya
oleh pemerintah Rusia gagal dalam menghapuskan gerakan separatis Chechnya dikarenakan adanya kelompok solidaritas dan kebutuhan bangsa Chechnya akan pengakuan juga tidak dapat diselesaikan dengan cara kekerasan dan dibutuhkan adanya negosiasi antar kedua belah pihak. Kebijakan Counter-Insurgency Sebagai Usaha Penghapusan Gerakan Pemberontak Chechnya Awalnya, wilayah Kaukasus bukan wilayah Rusia melainkan wilayah yang termasuk dalam daulah Islam yang ditundukkan pada masa kekhalifahan Ustman sehingga sebagian besar penduduk wilayah tersebut beragama Islam. Pada abad ke-19, Rusia berhasil menundukkan wilayah Kaukasus dan Chechnya menjadi salah satu wilayah yang berada dibawah Kekaisaran Rusia. Gerakan pembebasan Chechnya pertama kali muncul pada masa kekaisaran Peter Agung pada tahun 1785-1791 dibawah kepemimpinan Imam Mansyur. Kemunculan gerakan tersebut dipicu oleh aksi ekspansionisme yang dilakukan kekaisaran Rusia serta kedatangan kaum Cossak di Chechnya yang memancing bangsa Chechen untuk bangkit melawan. Gerakan tersebut padam seiring dengan tertangkapnya Imam Mansyur. Pada kisaran abad ke-19, gerakan pembebasan Chechnya bangkit lagi dibawah kepemimpinan Imam Syamil pada tahun 1834-1859. Pada masa Kekaisaran Tsar Peter Agung, kebijakan yang dilakukan terhadap Chechnya adalah dengan melakukan deportasi terhadap bangsa Chechen ke perbatasan Turki Utsmani. Kebijakan tersebut merupakan hasil perjanjian antara Tsar dengan kekaisaran Ottoman Turki. Pada masa Uni Soviet dibawah pemerintahan Joseph Stalin, nasib Chechnya tidak bertambah baik. Pada 23 Februari 1944, tentara Rusia dibawah perintah Stalin memasuki Chechnya dan melakukan pembersihan etnis dengan dasar tuduhan bahwa bangsa Chechen bekerjasama dengan Nazi selama Perang Dunia kedua. Pada saat itu wilayah Chechnya dikosongkan dan sekitar 425.000 bangsa Chechen dan Ingushetian dipindahkan ke berbagai penjuru Asia Tengah termasuk Siberia untuk dipekerjakan secara paksa yang mengakibatkan separuh dari jumlah tersebut meninggal di pengungsian. Selama masa perpecahan Uni Soviet, semua republik etnis kecuali Chechen-Ingush dan Tatarstan yang berada dibawah Russian Soviet Federative Socialist Republic (RSFSR) mulai mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Republik Sosialis Uni Soviet namun dengan jelas menyatakan bahwa mereka tetap berada dibawah RSFSR. Sementara Chechnya tidak hadir dalam negosiasi dengan pemerintah
Jurnal Analisis HI, Maret 2015
1493
Diba Patricia Ariani
Rusia dengan menolak menandatangani perjanjian Federal pada Maret 1992 dan berhenti membayar pajak ke pemerintah Moskow. Meskipun Chechnya secara terang-terangan menolak berpartisipasi dalam diskusi konstitusional serta referendum dan pemilihan pada Desember 1993, Rusia tetap memasukkan “Republik Chechnya” dalam daftar “subject” federal yang tertulis pada Artikel 65 undang-undang Rusia. Kerja keras bangsa Chechnya untuk mendapatkan kemerdekaan sayangnya tidak mendapatkan dukungan yang berarti dari komunitas internasional, dan dengan tidak adanya kesediaan dari pemerintah asing untuk mengakui kemerdekaannya, Chechnya terpaksa berada dalam keadaan limbo. Respon Presiden Yeltsin kala itu terkait dengan keinginan Chechnya untuk merdeka sepenuhnya adalah dengan memberlakukan “Kebijakan Blokade Chechnya” yang menghasilkan kehancuran ekonomi dan ketidakstabilan politik di Chechnya. Pada 1999 terjadi invasi di Dagestan dengan tujuan mendirikan Wahabist state di wilayah Kaukasus yang dilakukan oleh pemimpin gerakan separatis Chechnya yakni Samil Basayev. Insiden tersebut menjadi pemicu terjadinya Perang Chechnya kedua. Dengan alasan ketidakmampuan Aslan Maskhadov selaku presiden Chechnya saat itu dalam mengontrol Basayev, Vladimir Putin yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri menerjunkan sekitar 80.000 pasukan militer Rusia ke Chechnya dan meletuslah Perang Chechnya kedua. Sepanjang berlangsungnya Perang Chechnya kedua, pasukan gerilyawan Chechnya berjumlah sekitar 1600-1800 jiwa. Dengan jumlah tersebut, mereka masih mampu bertarung melawan 90.000 jiwa pasukan militer dan polisi Rusia. Meskipun kelompok pemberontak Chechnya kehilangan jumlah pasukan yang cukup besar selama tahun 1999-2000, namun mereka masih mampu menimbulkan kehancuran bagi tentara Rusia untuk meruntuhkan semangat juang mereka dan menciptakan gambaran tentang perang yang abadi dan tidak dapat dimenangkan. Berbagai macam alasan menjadi dasar dari keputusan pemerintah Rusia untuk menginvasi Chechnya, diantaranya adalah ketidakstabilan kondisi politik dan ekonomi di wilayah tersebut dimana Rusia terlibat di dalamnya, serta adanya kepercayaan bahwa tuntutan Chechnya akan kemerdekaan akan menimbulkan efek domino di wilayah etnis lain di Kaukasus Utara. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Putin bahwa keputusannya untuk tidak melepaskan Chechnya agar Rusia tidak menghadapi apa yang di masa lalu disebut dengan “Yugoslavisasi”. Berbicara mengenai keputusannya untuk menumpaskan pergerakan pembebasan Chechnya, Putin menyatakan bahwa permasalahan yang terjadi di Kaukasus merupakan kelanjutan dari keruntuhan USSR dan permasalahan tersebut tidak akan berhenti ataupun terselesaikan dengan sendirinya.
1494
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 4. No. 1
Kebijakan Rusia Masa Pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Islam di Chehnya
Dalam menghadapi usaha pemisahan diri yang disertai dengan aksi pemberontakan oleh Chechnya, Rusia menerapkan operasi counter-insurgency untuk tetap mempertahankan Chechnya ke dalam wilayahnya. Salah satu strategi yang dilancarkan oleh Chechnya adalah dengan memberlakukan strategi proxy yakni dengan mengangkat seseorang yang dapat dikontrol dari Kremlin untuk duduk di kursi pemerintahan Chechnya. Dibandingkan dengan sebelumnya yang menggunakan solusi militer secara langsung seperti pada Perang Chechnya I, pada masa pemerintahan Presiden Putin, strategi yang digunakan adalah dengan membiarkan Chechnya terjatuh dalam kekacauan dan pelanggaran hukum. Sebelum serangan 9/11 terjadi, terlihat adanya perbedaan perspektif yang jelas antara Rusia dengan dunia Barat mengenai serangan Rusia ke Chechnya. Aksi-aksi militer yang dilakukan oleh Putin sepanjang masa kepresidenannya mulai menarik perhatian dunia internasional dikarenakan adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia. Kebijakan tersebut dilakukan dengan memerintahkan dinas keamanan federal Rusia yang bernama FSB (Federalnaya Sluzhba Bezopasnosti) yang dibantu oleh CIA dan M-16 untuk melacak keberadaan dan melenyapkan pemimpin gerakan separatis seperti Basayev, Maskhadov, Yandarbiyev dan Doku Umarov. Namun, pasca terjadinya serangan 9/11 dan deklarsi Putin untuk turut memerangi jaringan terorisme global, ia mendapatkan dukungan atas kebijakannya menggunakan kekuatan militer dalam menghadapi konflik yang terjadi di Chechnya. Dalam sebuah pertemuan dengan sekutu Maskhadov dan menteri luar negeri Republik Chechnya-Ichkeria, Ahmad Zakaev, Putin mengatakan akan menghentikan semua bentuk dialog dengan pihak pemberontak Chechnya dan akan melakukan pendekatan militer terhadap Chechnya. Diawali dengan serangan yang dilakukan oleh Chechnya ke Dagestan dan disusul denggan pengeboman apartemen di Moskow yang di klaim oleh pemerintah Rusia merupakan tanggung jawab pemberontak Chechnya, Rusia sekali lagi melakukan aksi militer guna menghadapi pemberontak Chechnya. Dengan memanfaatkan peristiwa 9/11, Rusia tampil sebagai salah satu pihak yang lantang menyuarakan kampanye War on Terror. Hal ini terlihat dari Putin yang menjadi pemimpin pertama yang melakukan panggilan telepon ke Gedung Putih pasca insiden 9/11 serta mengirimkan telegram yang mengekspresikan “kemarahan”. Selain itu, pada hari yang sama Putin juga memberikan pernyataan terkait tragedi 9/11 di televisi dan menegaskan posisinya dalam kampanye War on Terror.
Jurnal Analisis HI, Maret 2015
1495
Diba Patricia Ariani
Putin membenarkan aktifitas counter-terrorism yang dilakukannya di Chechnya sebagai reaksi atas aksi-aksi teror berupa pengeboman di sepanjang wilayah Rusia yang dilakukan oleh para pemberontak Chechnya. Sementara itu, konflik Chechnya yang masih berlangsung dibawah kepemimpinan Putin memiliki perbedaan dengan konflik yang terjadi antara Rusia dan Chechnya pada Perang Chechnya Pertama. Hal ini terlihat dari konflik yang tengah berlangsung bukan lagi permasalahan sekuler melainkan menyangkut paham Islam radikal Terlihat bahwa kebijakan Putin untuk menggunakan kekuatan militer di Chechnya memiliki tiga tujuan, untuk menahan Chechnya tetap di perbatasannya, untuk mengeliminasi ancaman teroris dan untuk memelihara perbatasan Federasi Rusia. Tujuan Putin dalam konflik Chechnya adalah untuk menghancurkan gerakan separatis dan untuk membawa wilayah yang bermasalah kembali berada dibawah kekuasaan Rusia dan kali ini tidak aka nada lagi perjanjian damai. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Rusia-Chechnya Tidak Kunjung Usai Awal mula keterlibatan jaringan jihad global dalam usaha pemberontakan Chechnya adalah ketika sekitar tahun 1990-an, pemimpin gerakan pemberontak Chechnya pada saat itu, Shamil Basaev mulai merespon tindakan brutal Pemerintah Rusia. Sebelum Perang Chechnya Pertama pecah, pada 1994 Shamil Basaev melakukan perjalanan ke kamp latihan milik Osama bin Laden di Khost, Afganistan. Selama operasi gerilya dilakukan, pihak pemerintah Rusia yang terdiri dari militer dan intelejen Rusia melakukan aksi pembunuhan terhadap pemimpin-pemimpin gerakan separatis Chechnya, diantaranya adalah Aslan Mashkadov yang terbunuh pada 2005. Dengan terbunuhnya para tokoh sekuler, para pejuang separatis Chechnya semakin condong kea rah ekstrimisme agama. Puncaknya adalah ketika pada 2007, Dokka Umarov yang merupakan presiden Republik Chechen Ickeria pada saat itu mengumumkan pembubaran Republik Chechen Ickeria dan pendirian Caucasus Emirate sebagai gantinya. Menurut Rohan Gunaratma, seorang ahli terorisme, hubungan antara Al-Qaeda dengan gerakan pemberontk Chechnya telah terjalin semenjak terjadinya Perang Chechnya pertama yakni sekitar tahun 1995. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa operasi Al-Qaeda termasuk menyuplai 300 pasukan jihad dari Afganistan ke Chechnya untuk membantu para pemberontak Chechnya dan wilayah dengan potensi konflik yang lain.
1496
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 4. No. 1
Kebijakan Rusia Masa Pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Islam di Chehnya
Terdapat bukti yang cukup banyak mengenai keterlibatan Al-Qaeda terkait pemberian dana untuk Caucasus Emirate. Selain memiliki hubungan dengan Al-Qaeda, juga terdapat bukti yang cukup kuat mengenai keterlibatan Caucasus Emirate dengan jaringan jihad global. Meskipun Caucasus Emirate merupakan suatu organisasi yang terbentuk dari dendam lokal terhadap pemerintah terkait, bukan berarti organisasi ini sepenuhnya dijalankan berdasar pada isu-isu lokal dan kurang pengawasan. Dasar dari stuktur dan hirarki Caucasus Emirate dimulai pada tahun 2005 dengan formasi Republik Chechnya Ickeria yang terdiri dari Front Kaukasus dan Dagestan. Keberadaan dari Caucasus Emirate yang awalnya hanyalah untuk memperjuangkan kemerdekaan penuh bangsa Chechnya, mulai mengalami pergeseran seiring dengan berjalannya waktu dan seiring dengan makin intens hubungan antara Caucasus Emirate dengan jaringan teroris global. Serangan yang dilakukan oleh Caucasus Emirate bertujuan untuk mendirikan negara kesatuan di wilayah Kaukasus Utara dan menggunakan hukum shari’a sebagai dasar hukum. Dasar dari stuktur dan hirarki Caucasus Emirate dimulai pada tahun 2005 dengan formasi Republik Chechnya Ickeria yang terdiri dari Front Kaukasus dan Dagestan. Selain itu, jangkauan operasi dan anggota Caucasus Emirate tidak hanya di Chechnya namun juga meliputi wilayah Kaukasus Utara lain seperti Ingushetiya dan Dagestan. Seperti yang telah sering disebutkan, tujuan dari para pemberontak Chechnya termasuk Caucasus Emirate bukan hanya untuk melepaskan diri dari Federasi Rusia dan sepenuhnya menjadi negara merdeka namun berniat untuk membentuk negara kesatuan Islam yang terdiri dari wilayah-wilayah Kaukasus Utara. Meskipun keberadaan Caucasus Emirate turut berperan sebagai faktor penyebab konflik Rusia-Chechnya tidak kunjung usai dengan terus menyuplai bantuan kepada para pemberontak Chechnya, namun perlu digaris bawahi bahwa Caucasus Emirate tidak sepenuhnya menggunakan ideologi Chechnya dalam melakukan operasinya. Hal ini dikarenakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak separatis bukan lagi secara eksklusif milik bangsa Chechnya semenjak awal 2005. Kenyataanya, pergerakan bangsa Chechnya mendapatkan bantuan dari etnis Ingush, Dagestani, Kabard, Adyg bahkan Rusia serta para jihadis internasional dan kelompok Al-Qaeda. Meskipun kemunculan jihadisme di Chechnya adalah sebagai respon terhadap kebrutalan yang dilakukan oleh pemerintah Chechnya pada kedua Perang Chechnya, namun Chechnya juga bertanggung jawab sama besarnya dengan Pemerintah Rusia atas pecahnya perang tersebut.
Jurnal Analisis HI, Maret 2015
1497
Diba Patricia Ariani
Selain itu, aksi-aksi kekerasan dan tindakan terorisme yang dilakukan oleh para pemberontak Chechnya juga telah memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Dalam sudut pandang Rusia, usaha pemisahan yang dilakukan oleh Chechnya merupakan sesuatu yang tidak dapat disetujui didasarkan atas dua hal: kekhawatiran akan terjadinya efek domino yang akan mengancam keamanan nasional Rusia. Berdasarkan argumentasi efek domino, dengan terpisahnya Chechnya dari Rusia akan menyebabkan reaksi berantai antara republik etno-nasional Rusia yang lain dan akan berujung pada disintegrasi federasi Rusia. Kekhawatiran ini didasarkan pada pengalaman atas keruntuhan Uni Soviet yang menghasilkan kemunculan lima belas negara merdeka. Berdasarkan pemikiran tersebut, keputusan Putin untuk melancarkan operasi militer dalam mengatasi konflik Chechnya merupakan suatu tindakan preemptive terhadap potensi ancaman keruntuhan Federasi Rusia. Hal kedua yang mendasari sudut pandang Rusia atas Chechnya adalah isu keamanan nasional Rusia. Pemerintah Rusia telah berulang kali menyatakan bahwa permasalahan Rusia dengan Chechnya bukanlah pada usaha pemisahan diri Chechnya namun lebih kepada ancaman keamanan yang akan ditimbulkan oleh usaha Chechnya dalam memisahkan diri dengan Federasi Rusia. Dalam sebuah wawancara ketika ditanya mengenai permasalahan Chechnya, Putin mengatakan bahwa isu utama dalam konflik Chechnya bukanlah usaha pemisahan diri melainkan usaha Chechnya untuk membebaskan seluruh wilayah Kaukasus Utara dari pemerintahan Federasi Rusia. Dalam memahami konflik yang tak kunjung usai antara Chechnya dengan Rusia, terlihat adanya perbedaan kebutuhan diantara kedua belah pihak yang bertentangan satu sama lain. Merupakan sifat dasar manusia untuk memenuhi kebutuhannya, namun ketika apa yang dibutuhkan bertentangan atau mengganggu kebutuhan pihak lain maka akan terjadi konflik yang berkepanjangan. Tuntutan pihak Chechnya terhadap pemerintah Rusia adalah ‘Chechnya sebagai sebuah negara merdeka’. Pihak Chechnya juga mengharapkan permintaan mereka untuk menjadi negara merdeka dilakukan melalui mekanisme administrasi internasional. Ketiga, Chechnya mengklaim bahwa pihak Rusia mengabaikan keinginan pihak Chechnya untuk mendapatkan kemerdekaan. Tiga isu inilah yang didorong oleh pihak Chechnya untuk segera diwujudkan oleh pemerintah Rusia. Dalam Teori Kebutuhan Manusia, isu tersebut merupkan strategi dan terdapat kebutuhan yang mendasari strategi tersebut. Menanggapi permintaan bangsa Chechnya, pemerintah Rusia dibawah kepemimpinan Vladimir Putin menyatakan bahwa mereka bersikeras
1498
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 4. No. 1
Kebijakan Rusia Masa Pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Islam di Chehnya
menolak permintaan Chechnya untuk memisahkan diri dan menggunakan cara-cara kekerasan sebagai solusi. Sayangnya, proses negosiasi antara Chechnya dengan pemerintah Rusia susah untuk dilakukan dikarenakan adanya “enemy images” dn kurangnya kepercayaan pada pihak Chechnya. Kemunculan hal tersebut tidak terlepas dari peran media yang menimbulkan stereotype dan semakin menjauhkan kedua pihak yang terlibat konflik. Perkembangan aksi-aksi terorisme dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang terlibat konflik saling menyakiti kedua belah pihak, menyebabkan usaha untuk melakukan negosiasi merupakan sesuatu yang mustahil untuk dicapai dalam tingkat prosedural. Salah satu pimpinan moderat Chechnya, Umar Khambiev selaku Menteri Kesehatan Chechnya pada era Mashkadov pernah mengusulkan untuk melibatkan pihak ketiga yakni PBB dalam upaya negosiasi antara Pemerintah Rusia dengan Chechnya. Namun, hal tersebut ditolak oleh Putin dikarenakan hal tersebut dipandang dapat merusak hak prerogative, terutama saat kedaulatan negara menjadi isu utama yang diperbincangkan. Belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh pendahulunya, Putin memuutuskan untuk tidak akan melakukan perundingan apapun dengan pihak pemberontak Chechnya. Putin menegaskan bahwa ia hanya akan melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang selalu tunduk pada dirinya, selaku presiden Rusia dan pada Republik Federasi Rusia. Pada akhirnya, Putin hanya mau bernegosiasi dengan Kadyrov selaku presiden Chechnya yang pro-Moskow mengenai upaya kerjasama untuk memerangi kelompok separatis yang bersembunyi di wilayah pegunungan serta mencegah mereka untuk melakukan aksi-aksi anarkis di kedua wilayah. Semenjak pecahnya Perang Chechnya Pertama pada 1994, terjadi peningkatan sifat saling mengasingkan antara kedua belah pihak. Hal tersebut kemudian menghasilkan terbentuknya citra musuh dari masing-masing pihak. Masing-masing pihak memandang pihak lain sebagai sebuah ancaman bagi eksistensi mereka sehingga satu-satunya solusi adalah melakukan pembersihan terhadap keberadaan pihak lain atau melakukan pemisahan diri. Dengan melihat posisi kedua belah pihak, nampaknya tidak ada kemungkinan untuk dilakukannya usaha negosiasi untuk menyelesaikan konflik antara Chechnya dan Rusia. Skenario yang paling masuk akal mengenai masa depan konflik Chechnya dan Rusia adalah kelanjutan konflik bersenjata yang dipicu oleh aksi teroris dan represif dari kedua belah pihak. Konflik antara Rusia dengan Chechnya merupakan sebuah konflik dimana aktor utama tidak memiliki sedikitpun keinginan untuk
Jurnal Analisis HI, Maret 2015
1499
Diba Patricia Ariani
memberikan kelonggaran dan berkeinginan kuat untuk memenangkan konflik berapapun biayanya. Sementara pihak pihak yang lain, memiliki kemampuan yang tidak sekuat tokoh utama memiliki keinginan yang semakin kuat seiring dengan perlakuan yang diberikan oleh tokoh utama untuk tidak menyerah pada kekalahan. Pada dasarnya, konflik antara Rusia dan Chechnya didasarkan pada dua faktor dimana ketika dua faktor tersebut bertemu, maka terjadilah konflik antara Rusia dan Chechnya. Kedua faktor ini terletak pada posisi politik kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik berkepanjangan. Posisi politik ini tidak terpisahkan dan berujung pada kondisi konflik ketika kedua pihak tersebut saling berinteraksi. Faktor pertama adalah sikap dan kebijakan Rusia terhadap Chechnya dan memandang Chechnya sebagai lawan. Kebijakan dan sikap Rusia sangat agresif dan bertujuan untuk menghalangi terbentuknya negara Chechnya yang merdeka dan terlepas dari kesatuan Federasi Rusia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari sikap pemerintah Rusia sejak pertama kali terjadi kontak dengan gerakan perlawanan Chechnya hingga saat ini. Faktor kedua adalah semangat nasionalisme masyarakat Chechnya yang sengit menghasilkan penolakan terhadap keinginan Rusia untuk melakukan integrasi di wilayah Chechnya. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam menganalisa kebijakan Rusia dibawah pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Chechnya adalah dengan melakukan kebijakan counter-insurgency dengan melancarkan aksi-aksi militer untuk menghapuskan gerakan pemberontakan Chechnya. Dengan melancarkan serangan-serangan militer yang dianggap brutal, Rusia mendapatkan kecaman dari dalam maupun luar negeri terkait pelanggaran hak asasi manusia yang dilkukan oleh militer Rusia. Adanya pasokan bantuan dari kelompok solidaritas Caucasus Emirates dalam bentuk dana, pasukan dan persenjataan juga menjadi salah satu penyebab dari keberlangsungan konflik antara Rusia dan Chechnya. Adanya benturan kepentingan antara Rusia dan Chechnya dan tidak adanya keinginan untuk mengupayakan negosiasi juga menjadi faktor dalam keberlangsungan konflik Rusia-Chechnya. Keberhasilan relative yang dicapai melalui strategi Chechenization dengan menempatkan Kadyrov untuk mengontrol situasi di Chechnya hanya memperlihatkan kemampuan seseorang untuk mempertahankan posisinya dengan cara melenyapkan lawan-lawan yang potensial, tidak memperlihatkan kemampuan seorang pemimpin dalam mengelola konflik itu sendiri. Terlepas dari adanya peningkatan dalam perekonomian, meningkatnya keamanan dan perbaikan menyeluruh di
1500
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 4. No. 1
Kebijakan Rusia Masa Pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Islam di Chehnya
wilayah Chechnya, namun dapat dikatakan bahwa Chechnya berada dalam kondisi negative peace. Konflik yang terjadi antara Chehcnya dan Rusia telah mengalami penurunan dimana benturan antara kelompok pemberontak yang tersisa yang beroperasi di wilayah Chechnya dan di wilayah republik Kaukasus lain seperti Dagestan dengan pasukan keamanan Rusia di Chechnya jarang terjadi. Namun, kebencian yang tertanam dalam benak rakyat Chechnya masih ada bahkan terus mengalami peningkatan diakibatkan adanya intimidasi dan penggunaan kekerasan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan posisinya. Secara keseluruhan, strategi resolusi konflik yang digunakan Rusia dalam menghadapi perlawanan separtis Chechnya didasarkan pada penggunaan kekuatan militer secara berlebih yang digunakan untuk memusnahkan para elit pihak lawan yang dinilai tidak kooperatif. Pendekatan secara militer yang dilakukan oleh Rusia tidak hanya menghilangkan nyawa sepuluh ribu warga sipil dan menghancurkan infrasturktur Chechnya, namun juga menambah rasa kekecewaan dan dendam di hati masyarakat Chechnya yang menjadi dasar dari perlawanan pemberontak Chechnya. Selain itu diangkatnya Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov sebagai bagian dari kebijakan Chechenisasi terlihat bukan sebagai pendekatan baru terhadap konflik Rusia-Chechnya pasca kegagalan perang Rusia-Chechnya pertama dan kedua, namun lebih berupa sebuah lanjutan dari strategi awal Rusia untuk menempatkan wakil yang mampu memelihara keteraturan jika dibutuhkan melalui kekerasan namun tetap loyal dan melindungi kepentingan Moskow di Chechnya. Daftar Pustaka Buku Baker, Peter dan Glasser, Susan, Kremlin Rising: Vladimir Putin’s Russia and the End of Revolution, (New York: Simon & Schuster, 2005) Blandy, Charles W, The Storm Part I: The ‘Invasion’ of Avaristan, (Sandhurst, UK: Conflict Studies Research Centre, 2000) Bowker, Mike, Russia, America and the Islamic World, (Surrey: Ashgate Publishing, 2013) Burton, John, Conflict: Resolution and Prevention. (New York: St. Martin’s Press, 1990) Violence Explained: The Sources of Conflict, Violence and Crime and Their Provention. (Manchaster: Manchaster University Press, 1997) Columbus, Frank H, Russia in Transition. (United State of America: Nove Punlisher, 2003)
Jurnal Analisis HI, Maret 2015
1501
Diba Patricia Ariani
Cornell, Svante, Small Nations and Great Powers: A Study of Ethnopolitical Conflict in the Caucasus. (Routledge, 2005) Croissant, Michel P, Oil and the Geopolitics in the Caspian Sea Region, (Connecticut: Greenwood Publishing, 1999) Danemark, Berth, Explaining Society Critical Realism in the Social Science. (New York, Routledge, 2002) Deflem, Matheiu, The Policing of Terrorism: Organizational and Global Perspectives. (New York: Routledge, 2010) Dunlop, J, Russia Confronts Chechnya: Roots of a Separatist Conflict. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998) Edwards, Kimberly G, A necessary Monster? Vladimir Putin’s Political Decision Regarding the “Secession” of Chechnya and the Second Chechen War (1999-2009), (University of New Orleans, 2006) Edwards, Michael, Collective Political Violence in the North Caucasus: Chechen Conflict and Insurgency Analysis, (Linnesus University: Linnesus University Press, 2012) Evangelista, Matthew, The Chechen War: Will Russia Go the Way of the Soviet Union?, (Washington, D. C.: Brooking Institution Press, 2004) Gammer, M, The Lone Wolf and The Bear: Three Centuries of Chechen Defiance of Russian Rule. (Russia: C. Hurst & Co. Publisher, 2006) Gevorkyan, Natalya, Timakova, Natalya dan Andrei Kolesnikov, Vladimir Putin, First Person: an Astonishingly Frank Self-Portrait by Russia’s Presiden Vladimir Putin. (London: Hutchinson, 2000) Gilligan, Emma, Terror in Chechnya: Russia and Tragedy of Civilians in War, (Princeton: Princeton University Press, 2009) Gunaratna, Rohan, Inside Al-Qaeda: Global Network: Global Network of Terror (New York: Columbia University Press, 2002) Hahn, Gordon M, Getting the Caucasus Emirate Right. A Report of the CSIS Russia and Eurasia Program (2011) http://csis.org/files/publication/110930_Hahn_GettingCaucasusE mirateRt_Web.pdf (diakses pada 4 Oktober 2014). Hoffman, B, Inside Terrorism, ( New York: Colombia University Press, 2006) Hughes, J, Chechnya: From Nationalism to Jihad. (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2007) Jeffries, Ian, The New Russia: A Handbook of Economic and Political Developments. (Routledge, 2013) Jentleson, Bruce, Opportunities Missed Opportunities Seized: Preventive Diplomacy in the Post-Cold War World. (New York: Rowman & Littlefield Publisher, Inc, 2000) Kotz, David dan Weir, Fred, Russia’s Path from Gorbachev to Putin: The Demise of the Soviet System and the New Russia, (Routledge, 2007), hal 270.
1502
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 4. No. 1
Kebijakan Rusia Masa Pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Islam di Chehnya
Kramer, Mark. Geurilla Warfare, Counterinsurgency and Terrorism in the North Caucasus: the Military Dimension of the Russian-Chechen Conflic, (London: Routledge, 2005) Lieven, Anatol, Chechnya: Tombstone of Russian Power, (Yale: Yale University Press, 1999) Manheim, Jarol B dan Richard C, “Direct Observation”, dalam Jarol B. Manheim dan Richard C. Rich, Empirical Political Analysis: Research Methods in Political Science (London: Longman Publisher, 1995), hal. 199.(1995) Marsh, Christopher, “The Desecularization of the Chechen War”, Religion, State and Society Journal. (U.S. Army School of Advanced Military Studies, 2004). Nazir, M, Metode Penelitian (Ghalia Indonesia, 1998). O’Laoghlin, John, O’Tuathail, Gearoid dan Vladimir Kolossov, “A Risky Western Turn, Putin’s 9-11 Script and Ordinary Russians”, Europe-Asia Studies, (2004) Pape, Robert A dan Feldman, James K, Cutting the Fuse: The Explosion of Global Suicide Terrorism and How to Stop It. (Chicago: University of Chicago Press, 2010) Pohl, J. Otto, Ethnic Cleansing in USSR1937-1949. (Connecticut: Greenwood Press. 1999) Rosenberg, Marshall, Nonviolent Communication. A Language of Life. (California: Puddle Dancer Press, 2003) Sageman, Marc, Leaderless Jihad: Terrorism Network in the Twenty First Century, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2008). Sakwa, Richard, Chechnya: From Past to Future. (London: Anthem Press, 2005) Schaefer, Robert W, The Insurgency in Chechnya and the North Cucasus: From Gazavat to Jihad. (United State of America: Greenwood Publishing Group, 2010) Sheets, Lawrence Scott, Eight Pieces of Empire: A 20- Year Journey Through the Soviet Collapse, (New York: Crown Publishing Group, 2010) Silalahi, Uber. Metodologi Penelitian. (Bandung: Unpar Press, 2006). Souleimanov, Emil, The Russian-Chechen Conflict in Perspective. (New York: Peter Lang Published, 2007) Thishkof, Valery, “Political Anthropology of the Chechen War”, Security Dialogue, Vol. 28. (London: Sage Publications, 1997) Trenin, Dimitri V dan Malashenko, Aleskei, Russia’s Restless Frontier: the Chechnya Factor in Post-Soviet Russia, (Massachusetts: Carnegie Endowment, 2010) Tsygankov, Andrei P, Russia’s Foreign Policy: Change and Continuity in National Identity (New York: Rowan and Littlefield Publishers, 2006).
Jurnal Analisis HI, Maret 2015
1503
Diba Patricia Ariani
Zurcher, Cristoph, Post-Soviet Wars: Rebellion, Ethnic Conflict, and Nationhood in the Caucasus., (New York: NYU Press, 2007) The Post-Soviet War: Rebellion, Ethnic Conflict and Nationhood in the Caucasus. (New York: New York University Press, 2007) Jurnal, Artikel dan Laporan Baev, Pavel K, “Putin’s War in Chechnya: Who Steers the Course?” International Peace Research Institute. (2006) http://csis.org/files/media/csis/pubs/pm_0345.pdf (diakses pada 15 September 2014). “Putin’s War on Terrorism: A Strategic Dead End,” GLOBAL DIALOGUE Volume 7, Number 3-4 (2007) http://www.worddialogue.org/print.php?id=352 (diakses pada 4 Agustus 2014). Bhattacharji, P, “Chechen Terrorism (Russia, Chechnya, Separtist)”, Council on Foreign Relations, (2010) http://www.cfr.org/publications/1981/chechen_terrorism_rusia_c hechnya_separatist.html#p6 (diakses pada 5 Agustus 2014) Collins, Randall, “C-Escalation and D-Escalation: A Theory of the Time-Dynamics of Conflict”, American Sociological Review. (2011), hal 5 http://www.asanet.org/images/journals/docs/pdf/asr/Feb12ASRFe ature.pdf (diakses pada 22 Juni 2014) Economist. From Moscow to Mecca, (2011) http://www.economist.com/node/18527550 (diakses pada 20 September 2014). Fuller, Liz, “Chechnya: Khasavyurt Agreement Failed to Preclude a Second War,” Radio Free Europe, (2006) http://www.rferl.org/content/article/1070939.html. (diakses pada 4 Agustus 2014) Johnson, Lena, “Putin and Chechnya: Is This How to Square a Circle”, Brown Journal of World Affairs, Vol. VIII, Issue I (2007) http://www.watsoninstutite.org/bjwa/archieve/8.1/Chechnya/John son.pdf (diakses pada 4 Agustus 2014). Kok, Havva, Reducing Violence: Applying the Human Needs Theory to the Conflict in Chechnya. (2010) www.turkishweekly.net/article/246 (diakses pada 25 November 2014) Kosikova, L. S, North Caucasia: Social and Economic Reference Book (2003) http://eng.kavkaz-uzel.ru/articles/489/ diakses pada 12 Mei 2014. Kovalev, S, “Putin’s War”. The New York Review of Books (2001) http://www.nybooks.com/articles/archives/2000/feb/10/putins-wa r/ (diakses pada 5 September 2014)
1504
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 4. No. 1
Kebijakan Rusia Masa Pemerintahan Presiden Vladimir Putin dalam Menghadapi Gerakan Separatis Islam di Chehnya
Manfred, Max-Neef, On Human Needs and Human Scale Development. (2007) http://www.rainforestinfo.org.au/background/maxneef.htm (diakses pada 22 Juni 2014) Medecins Sans Frontieres. The Trauma of Ongoing War in Chechnya: Quantitative Assessment of Living Condition and Psychosocial and General Health Status among the War-Displaced in Chechnya and Ingushetia, (Amsterdam: MSF, 2004) Olsen, John Andreas. Asymetric Warfare, (Oslo: Royal Norwegian Air Force Academy, 2002) Osborne, Andrew, “Ramzan Kadyrov: The Warrior King of Chechnya”, ( 2 0 0 7 ) http://www.independent.co.uk/news/people/profiles/ramzan-kadyr ov-the-warrior-king-of-chechnya-430738.html (diakses pada 17 Oktober 2014). Pain, E dan Popov, A, “Peace or Perpetual War in Chechnya?” Peace Review, Volume 17, Issue 2&3 (2005) http://www.researchgate.net/publication/233276195_Peace_or_Pe rpetual_War_in_Chechnya (diakses pada 4 Oktober 2014). Pape, Robert dan McDermit, Jenna, “What Makes Chechen Women So Dangerous?” New York Times (2010) http://www.nytimes.com/2010/03/31/opinion/31pape.html?pagew anted=all&_r=0 (diakses pada 7 September 2014) Parfitt, Tom, “The Deadliest Village in Russia-A Journey Through Russia’s Killing Zone, Part 8”, Foreign Policy (2011) http://foreignpolicy.com/articles/2011/04/01/the_deadliest_village _in_russia (diakses pada 5 Oktober 2014) Shah, A, Global Issues: Crisis in Chechnya. (2004) http://www.globalissues.org/article/100/crisis-in-chechnya#Backgr ound (diakses pada 29 September 2014). U.S. Department of Treasury’s Office of Public Affairs, “Treasury Designates Benevolence International Foundation and Related Entities as Financiers of Terrorism”, Press Release. (2009) http://www.investigativeproject.org/document/cse_docs/1176.pdf (diakses pada 15 September 2014) The Memorial Human Rights Center, Official Illegal Prisons: a Mechanism of Forcing Confession, (2006) http://memo.ru/2006/04/18/orb2/htm (diakses pada 8 Agustus 2014)
Website
Jurnal Analisis HI, Maret 2015
1505
Diba Patricia Ariani
Chechen Republic of Ichkeria Ministry of Foreign Affairs Official Statement (2006) http://www.chechnya-mfa.info/print_news.php (diakses pada 22 Juni 2014). Defense Intelegence Agency Declassified “Swift Knight Report”, Document No. 3095346. Judical Watch (2010) www.judicalwatch.org/case/102/dia.pdf (diakses pada 6 September 2014) Ethnic Cleansing of Circassians. (2008) http://www.circassiancenter.org (diakses pada 25 Mei 2014) Radio Free Europe/Radio Liberty (RFERL) Newsline, vol. 7, no. 60 (2003) http://www.regions.ru (diakses pada 17 Oktober 2014) “Grozny opens Europe’s Biggest Mosque”, (2008) http://www.rferl.org/content/Grozny_To_Open_Europes_Biggest_ Mosque/1330690.html (diakses pada 17 Oktober 2014) “RWB: Ramzan Kadyrov is Putin’s Guard Dog”, Chechen Center, (2011) http://www.chechencenter.info/n/events/1325-1.html (diakses pada 17 Oktober 2014) Regions and Territories: Chechnya. (2001), http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/country_profiles/2565049.stm (diakses pada 15 Januari 2014) U.S. Military Academy’s Combating Terrorism Center, “Militant Ideology Atlas”, Executive Report, (2006) http://library.uoregon.edu/ec/e-asia/reada/aer.pdf (diakses pada 6 September 2014)
1506
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 4. No. 1