eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2016, 4 (3) 661-670 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
KEBIJAKAN ENERGI RUSIA DI KAWASAN BALTIK PADA MASA VLADIMIR PUTIN Yuni Rahmayanti Utami1 NIM.0702045048 Abstract The research explains the Russian Energy Policy in The Baltic Region during the reign of Vladimir Putin. This research describes the phenomenon based on the reality that happens. The phenomenon in this case is the utilization of gas pipeline that connects Russia and the Baltic states as a tool in Russia's energy policy after the independence of the Baltic states. The result of this study is the policy to reduce dependence on transit in the Baltic after their independence, with the objective to increase energy exports and securing Russian position in the EU energy export markets. The energy policy of the Kremlin confirms intention to maintain the strategic market energy in order to always be in control and also ensures increased European dependence on Russian energy consumption. Keywords : Baltic States, Russia’s Energy Policy, Vladimir Putin Pendahuluan Rusia merupakan negara dengan cadangan gas terbesar ke dua setelah Iran dengan total cadangan gas sebanyak 32,9 triliun m 3. Luas wilayah Rusia mencapai 17.075.400 km2 atau 11,46% dari total luas lahan yang ada dibumi, berbatasan dengan wilayah negara Eropa Timur, yaitu: Azzerbaijan, Belarus, China, Estonia, Finlandia, Georgia, Kaspia, Kazakstan, Korea Utara, Latvia, Laut Jepang, Laut Hitam, Laut Okhtosk, Mongolia, Norwegia, Selat Bering, Samudra Arktik dan Ukraina. (http://idn.rs.gov.ru/id/node/1309 diakses pada Juni 2014) Letak geografis yang strategis memberi keuntungan besar bagi Rusia dalam memanfaatkan kekayaan energinya sebagai alat kebijakan dalam sektor perekonomian, militer dan politik terhadap negara-negara yang membutuhkan suplai energi Rusia. Negara-negara di kawasan Baltik yaitu, Estonia, Latvia dan Lithuania merupakan salah satu kawasan bekas pecahan Uni Soviet yang sangat menggantungkan kebutuhan energi mereka pada Rusia. Negara di kawasan ini mengimpor gas dan minyak melalui Rusia. Namun berbeda dengan kasus gas, minyak dapat diperdagangkan secara internasional dan negara-negara Baltik memiliki kapasitas untuk mengimpor produk minyak dan minyak non-Rusia melalui terminal minyak mereka di pantai laut Baltik. ( http://idn.rs.gov.ru/id/node/1309 diakses pada Juni 2014)
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 3, 2016: 661-670
Tidak seperti kasus minyak, Rusia tidak tergantung pada wilayah Baltik dalam hal transit gas ke pasar lain. Kurangnya sumber daya domestik menjadi salah satu penyebab kebutuhan impor gas ketiga negara ini yang hampir mencapai 100%. Ketergantungan ini juga disebabkan karena Baltik secara khusus terikat dengan pipa energi, jalur rel kereta dan kilang milik Rusia sejak era Soviet. Hal ini memudahkan Rusia untuk memonopoli pasokan energi di ketiga negara Baltik. Estonia, Latvia dan Lithuania telah lama menjadi target utama penggunaan Rusia dari gangguan energi bermotif politik. Berawal dari pemotongan energi yang terjadi pada awal tahun 1990, ketika unsur-unsur dalam pemerintah Rusia berusaha mencegah negara-negara Baltik agar tidak membebaskan diri dari kontrol Rusia hingga pada ada tahun 2004 ketiga negara di kawasan Baltik memutuskan untuk menjadi anggota Uni Eropa dan NATO dengan tujuan untuk mendapatkan perlindungan keamanan dan keinginan untuk mengubah sistem yang selama ini masih mengikuti sistem pemerintahan Uni Soviet. Masuknya Estonia, Latvia dan Lithuania ke dalam Uni Eropa dan NATO ternyata menjadi salah satu ancaman potensial bagi Rusia dalam upayanya untuk mendapatkan pengaruh di negara-negara tetangganya, yang memiliki tautan erat dengan Uni Soviet, mulai sejarah umum, tautan budaya hingga sektor ekonomi yang erat. Bagi Rusia pasar Baltik memiliki peran penting karena posisi geografisnya yang berada diantara Eropa dan Rusia di mana Eropa juga menerima sebagian besar impor minyak dari wilayah ini. Rusia ingin memastikan keamanan transit energinya ke pasar Eropa yang selama ini sangat bergantung pada pasokan gas dan minyak yang rutin dan tidak terputus. Namun ternyata keanggotaan baru Baltik menimbulkan kekhawatiran bahwa dikemudian hari Uni Eropa akan turut campur dalam proses kebijakan di kawasan Baltik dan akan berusaha untuk menghalangi Rusia yang ingin mempertahankan pengaruhnya di wilayah tersebut. Perubahan keseimbangan kekuatan global setelah Perang Dingin ini pun akhirnya memaksa Rusia untuk memodifikasi rencana geo-strategis-nya di Baltik. Agenda Rusia di Baltik mencakup dua tujuan utama. Pertama, untuk meningkatkan geoekonomi terutama geo-energik ketergantungan negara-negara Baltik di Rusia; kedua, untuk mengubahnya menjadi agen Rusia yang berpengaruh di lembaga Euro-Atlantik. Rusia pun berusaha untuk langsung mendominasi di sektor pasar energi Baltik. Dominasi semacam ini mengarah pada integrasi Baltik dan negara-negara bekas Uni Soviet lainnya agar mengikuti sistem energi Rusia. Kerangka Dasar Teori Konsep Keamanan Energi (Energy Security) Negara yang mampu mempertahankan diri dan melakukan pembangunan, dengan menjadikan keamanan dan tersedianya cadangan energi yang memadai dengan harga yang terjangkau sebagai prioritas utama merupakan istilah yang melekat pada suatu kondisi terjaminnya pasokan kebutuhan energi minyak dan gas alam suatu negara demi keberlangsungan dan eksistensi negara baik secara ekonomi maupun pertahanan
Kebijakan Energi Rusia di Kawasan Baltik Masa Pemerintahan Vladimir Putin (Yuni R.U.)
baik cadangan domestik maupun suplai energi global. Sehingga masalah distribusi dan akses yang imbang menjadi hal yang utama. Ada dua dimensi konsep energy security, yaitu: a. Dimensi Independen Dimana suatu negara memenuhi kebutuhan energinya melalui sumber daya energi domestik, yaitu negara menggunakan sumber energi yang ada di kawasannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan energi tanpa harus tergantung pada suplai energi negara lain. b. Dimensi Interdependensi Global Dimana pemenuhan energi setiap negara tak lepas dari pasokan energi dunia yang khususnya berasal dari negara-negara pengekspor yang kaya akan sumber minyak dan gas. Tidak ada satu pun negara yang mampu memenuhi sendiri kebutuhannya, masing-masing bergantung pada sumber daya dan produk dari negara lainnya. Karena itulah kebijakan yang nantinya dikeluarkan oleh suatu negara akan memberikan akibat yang cepat atau efek domino pada negara lainnya. (Daniel Yergin, 2011)
Menurut Michael T. Klare konsep energy security dapat dipahami dengan dua hal, pertama, usaha untuk mendapatkan energi yang cukup (sufficient supplies) dan kedua, memastikan pengiriman (energi) dengan aman (unhindered delivery) dari produsen kepada konsumen. Semakin tingginya tingkat konsumsi akan pasokan energi akan berimbas pada tingginya tingkat kebutuhan impor energi, yang tentu akan berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian negara pengimpor tersebut. Dalam kebijakan energinya, Rusia menjadikan energi (minyak dan gas alam) sebagai pengaruh politik tehadap negara-negara di kawasan Baltik dengan tujuan agar Rusia dapat mengontrol negara di kawasan tersebut dalam meningkatkan posisinya di pasar energi Uni Eropa. Konsep Sphere of Influence (Ruang Pengaruh) Sphere of Influence (Wilayah Pengaruh) diartikan sebagai suatu wilayah yang terdiri dari negara-negara kecil atau lemah yang dikuasai oleh sebuah negara yang lebih besar atau kuat yang berdekatan letaknya, memiliki sumber alam sehingga muncul keinginan untuk memperluas pengaruhnya demi kepentingan negara sendiri. (Cathal J. Nolan, 1995) Istilah ini sebelumnya digunakan pada area dimana suatu klaim hegemoni kekuatan luar dengan tujuan untuk kemudian mendapatkan kontrol yang lebih pasti, seperti dalam penjajahan, atau dengan tujuan mengamankan sebuah monopoli ekonomi atas wilayah tanpa asumsi kontrol politik. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa sebuah ruang lingkup pengaruh biasanya diklaim oleh bangsa imperialistik atas suatu negara terbelakang atau lemah yang berbatasan dengan koloni yang sudah ada. Ruggie J. dalam ISO 26000 and The Concepts of Sphere of Influence beranggapan bahwa Sphere Of Influence memiliki dua maksud yaitu “impact” (dampak) dan “leverage” (pengaruh). Ruggie menggambarkannya sebagai suatu area politik, berdasarkan perjanjian dalam hubungan ekonomi dengan sebuah kelompok yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keputusan atau kegiatan suatu individu
3
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 3, 2016: 661-670
maupun kelompok lainnya. Definisi sphere of influence sering digambarkan sebagai sebuah area dimana terjalin berbagai jenis hubungan diantara perusahaan dan lingkungannya. Gambaran mengenai “due diligence” (penentuan hak) berdasarkan pada adanya upaya ke arah mengidentifikasi risiko yang terkait dengan suatu kegiatan atau proyek. (Adrian Henriques, diakses pada Juni 2014) Lemahnya sistem struktural dan kurangnya sumber daya negara di wilayah Baltik mempermudah Rusia dalam menggunakan hard power dan soft power untuk mempengaruhi kebijakan domestik dan ekonomi negara negara-negara tersebut agar tetap berada dalam politik, ekonomi, dan lingkungan energi Rusia. Langkah-langkah yang digunakan seperti bujukan keuangan, diplomasi publik dan dengan pemberian sanksi energi, boikot barang Baltik, sanksi terhadap angkutan Baltik dan kampanye cyberwarfare melawan Estonia - titik fokus yang paling konsisten adalah sektor energi. (Agnia Grigas, 2012) Metode Penelitian Penelitian yang digunakan adalah Deskriptif, yaitu memberikan gambaran melalui data dan fakta-fakta yang ada tentang kebijakan energi Rusia di kawasan Baltik pada masa pemerintahan Vladimir Putin. Hasil Penelitian Kawasan Baltik terletak di Eropa Utara-Tengah, sebelah barat dan utara-nya berbatasan dengan Laut Baltik, di sebelah timur berbatasan dengan Rusia, di tenggara berbatasan dengan Belarus, dan di barat daya berbatasan dengan Polandia. Kawasan ini terdiri dari tiga negara yaitu, Estonia, Latvia dan Lithuania. Geologi yang mendasari kawasan ini adalah batu pasir, serpih, dan kapur. Ada lebih dari 7000 danau dan rawa gambut yang tak terhitung jumlahnya, sungai Neman (Lithuanian: Nemunas) dan Western Dvina (Latvia: Daugava) merupakan sungai-sungai yang langsung mengarah ke Laut Baltik. (www.britannica.com/EBchecked/topic/50985/Baltic-states diakses pada Juli 2014) Di awal 1990-an Baltik mulai mengalami krisis pasokan energi, hal ini terjadi karena Rusia memotong pasokan minyak dan menaikkan harga minyak untuk Baltik ketika negara di kawasan tersebut berusaha untuk mencapai kemerdekaan mereka. Selain itu Rusia juga berupaya untuk meningkatkan kontrol mereka atas infrastruktur energi yang ada di negara-negara Baltik karena negara-negara di kawasan Baltik terhubung dengan jaringan listrik, pipa minyak dan gas sejak masa Uni Soviet. Meskipun pemotongan minyak tidak terlalu mempengaruhi Baltik karena mereka memiliki jalur pipa transit dari wilayah lain, kasus melonjaknya harga dan penghentian minyak oleh Rusia ini membuat negara di kawasan Baltik merasa perlu untuk mengubah ketergantungan mereka terhadap energi Rusia (Agnia Grigas, 2013) Masalah utama di Baltik adalah sebagian besar infrastrukturnya menggunakan gas sebagai bahan bakar energi dan hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Rusia dimasa yang depan akan menerapkan kebijakan pemotongan transit gas untuk negara mereka. Karena selain jalur pipa gas yang terhubung langsung dengan Rusia, negaranegara Baltik tidak memiliki jalur pipa gas ke wilayah lain dan hal ini membuat mereka terintegrasi dan sangat tergantung pada sistem energi Rusia hingga
Kebijakan Energi Rusia di Kawasan Baltik Masa Pemerintahan Vladimir Putin (Yuni R.U.)
menyebabkan mereka terisolasi dari pasar energi Uni Eropa. Hal ini juga menjadi alasan negara-negara Baltik memutuskan untuk menjadi anggota Uni Eropa dan NATO pada tahun 2004 dengan tujuan agar mereka mendapatkan perlindungan keamanan dari negara yang lebih kuat. (Harold Elletson, 2006) Estonia Persentase total konsumsi sumber energi impor (gas, minyak, listrik, dan lainnya) dalam negeri di antara tiga negara Baltik sangat berbeda. Di Baltik, sebagian gas digunakan untuk produksi panas dan listrik. Estonia adalah salah satu negara yang paling rentan kebutuhan energinya di Uni Eropa, meskipun 12,9% ketergantungan Estonia pada impor energi adalah salah satu yang terendah di Uni Eropa namun Estonia sepenuhnya tergantung pada impor gas dari Rusia. Dibandingkan dengan Lithuania dan Latvia, Estonia memiliki luas wilayah dan populasi yang lebih sedikit. Sehingga permintaan energi, kemungkinan ekspor energi dan ekspor sumber dayanya relatif kecil daripada kedua wilayah lainnya. (Agnia Grigas NG_67, diakses pada Desember 2014) Latvia Gas menjadi salah satu sumber energi yang paling penting di Latvia, dan bahkan peningkatan energi terbarukan dalam bauran energi mungkin tidak akan mengubah keadaan secara signifikan. Namun berbeda dengan Lithuania dan Estonia, stabilitas pasokan gas alam Latvia cukup tinggi karena adanya Inčukalns Underground Gas Storage (UGS) yang memiliki kapasitas maksimum 4,4 miliar m3 dan sebanyak 2,3 miliar m3 gas segera tersedia. Keseimbangan sumber daya energi primer Latvia pada tahun 2007 terdiri dari produk minyak sebesar 35%, gas alam 30,3%, 22,2% kayu, 10% listrik dan 2,55% sumber lainnya. Selain itu, kebutuhan untuk gas meningkat secara signifikan setelah penutupan Nuklir Tenaga Listrik Ignalina di Lithuania dan menyebabkan semua kebutuhan gas Latvia disediakan oleh Gazprom. (http://economistwannabe-id.blogspot.com/2012/01/estonia-negara-kecil-denganprestasi.html, diakses pada Desember 2014) Lithuania Setelah mendapatkan kembali kemerdekaannya pada tahun 1990, negara ini semakin mengandalkan energi nuklir. Ada dua nuklir pembangkit tenaga listrik di Lithuania yaitu Ignalina I dan Ignalina II yang menyediakan 78,4% dari total produksi listrik Lithuania. Namun pada tahun 2004 Lithuania harus menutup pembangkit nuklir Ignalina I kemudian bulan Desember 2009 Ignalina II juga harus ditutup dan Lithuania harus menghadapi pilihan sulit untuk menemukan sumber listrik yang baru. Penutupan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Ignalina adalah bagian dari perjanjian aksesi antara Uni Eropa dan Lithuania dan merupakan prasyarat untuk aksesi. Menutup kedua reaktor Ignalina secara signifikan mengubah pasokan energi nasional Lithuania, pangsa gas alam dalam keseimbangan pasokan yang meningkat dari 30% pada tahun 2007 menjadi 47% di 2010. (Keith C. Smith, 2004) Sejak pecahnya Uni Soviet, Rusia terus berusaha untuk mendefinisikan identitasnya dalam lingkungan keamanan internasional yang selalu berubah di mana ia melihat dirinya sebagai suatu kekuatan besar. Hal ini ditunjukkan melalui upayanya untuk mempengaruhi kebijakan negara-negara lain, terutama negara-negara yang berada
5
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 3, 2016: 661-670
dalam lingkup ‘near abroad’ seperti Lithuania, Latvia dan Estonia. Sudut pandang near abroad sendiri didasari oleh faktor sejarah, demografi, politik dan geografis. Faktor-faktor ini pun menunjukkan bahwa ketiga negara Baltik tersebut berada dalam lingkup near abroad karena negara di kawasan ini lebih dekat dengan negara-negara CIS daripada negara-negara di kawasan Eropa Tengah. (Keith C. Smith, 2004) Ketergantungan Baltik pada pasokan energi Rusia merupakan alasan terkuat Rusia dalam mempengaruhi kebijakan di Estonia, Latvia dan Lithuania. Rusia berusaha meningkatkan ketergantungan ini dalam dua cara. Pertama-tama, dengan mengembangkan kerjasama dengan beberapa negara Eropa Barat, Rusia membentuk strategi infrastruktur angkutan alternatif (misalnya Eropa Utara dengan Pipa Gas di bawah Laut Baltik), yang strateginya mengarah pada pengembangan rute transit baru. Kedua, Rusia berusaha untuk mempertinggi kontrol atas koridor transportasi sumber daya energi di wilayah bekas Uni Soviet secara keseluruhan. (Keith C. Smith, 2004) Kebijakan ini pun dibagi menjadi tiga pilar. Pilar pertama, prinsip kebijakan energi Rusia adalah penggunaan energi sebagai alat dalam memperkuat pengaruh geopolitik negaranya terutama di bekas negara pecahan Republik Soviet. Pilar kedua adalah reorientasi transit energi ke wilayah Eropa yang awalnya melalui rute lama yaitu melewati rute negara-negara bekas Uni Soviet dan negara-negara sosialis Eropa, yang kemudian dialihkan melalui rute baru sehingga langsung menuju kilang dan pelabuhan Rusia. Pilar ketiga, terfokus pada mengamankan kendali penuh atas sektor energi di negara tetangga. Pilar kedua dan ketiga kebijakan energi Rusia telah berkembang pada 1990-an, infrastruktur ekspor energi dan negara transit yang mengalirkan suplai minyak dan gas ke barat akan dihilangkan. (Maigre Merle, 2010) Jika pada awalnya kebijakan transit energi Rusia pada tahun 1990-an ini hanya upaya untuk mengganggu pasokan minyak ke negara-negara Baltik yang bertujuan untuk menghancurkan gerakan kemerdekaan saja. Sejak tahun 2000-an politik energi Rusia dan kebijakan ini pun mengalami perubahan yang mengarah pada kontrol transit energi di kawasan bekas Uni Soviet dan Near Abroad. Menjadi negara transit yang penting bagi sistem ekspor Rusia telah memberikan fleksibilitas Baltik dalam hubungan bilateral mereka dengan Rusia. Namun untuk mengurangi ketergantungan ini, pada tahun 2000-an Rusia menetapkan bahwa minyak dan gas akan transit dan diangkut dengan menggunakan infrastruktur milik Rusia. Munculnya kebijakan ini menyebabkan perusahaan minyak dan gas nasional Rusia pun mulai berusaha keras untuk memperoleh kontrol jaringan transit dan kilang penyimpanan di negara-negara transit seperti kawasan Baltik, Ukraina, Belarus, Moldova, Armenia dan wilayah sekitarnya sekaligus membangun fasilitas penyimpanan dan link langsung ke Kaliningrad. (Maigre Merle, 2010) Pada bulan September 2005 Gazprom, E.ON Ruhrgas dan BASF / Wintershall sepakat untuk membangun Pipa Gas Eropa Utara. Presiden Rusia Vladimir Putin dan Kanselir Jerman Gerhard Schröder, keduanya setuju untuk mendukung proyek tersebut. North European Gas Pipeline Company, yang sekarang dikenal sebagai Nord Stream AG, didirikan di Zug, Swiss, pada bulan November tahun 2005, dengan
Kebijakan Energi Rusia di Kawasan Baltik Masa Pemerintahan Vladimir Putin (Yuni R.U.)
Gazprom sebagai pemegang saham mayoritas (51%), dan dua perusahaan Jerman dengan 24.5-% saham masing-masing. North Transgas Oy secara resmi dibubarkan segera setelah semua informasi tentang proyek tersebut telah ditransfer ke perusahaan baru. Pada bulan November 2007, perusahaan gas Belanda Gasunie membeli 9% saham dalam proyek Nord Stream, sementara masing-masing dua perusahaan Jerman menyerahkan 4,5% dari saham mereka (meninggalkan mereka dengan 20% masingmasing saham). Sehingga Gazprom menjadi pemegang saham mayoritas dengan saham 51%. (http://www.chathamhouse.org/sites/default/files/19352_0511bp_lough.pdf) Pipa gas strategis bersama ini diluncurkan pada tahun 2011. Pipa yang disebut North European Gas Pipeline (NEGP) yang juga dikenal sebagai Nord Stream. Pipa ini menyalurkan gas dari wilayah Rusia (Vyborg) ke Jerman (Greifswald) melalui dasar Laut Baltik pada awal 2012 dengan rute melewati negara-negara Eropa tengah dan timur, pipa di bawah Laut Baltik ini memiliki kapasitas 55 miliar meter kubik per tahun. Pipa gas yang direncanakan melalui Baltik ini akan menjadi salah satu jawaban atas tantangan energi Eropa yang menyatakan bahwa tanpa adanya Nord Stream, Uni Eropa tidak akan mampu menutupi kebutuhan gas. Oleh karena itu, Nord Stream merupakan kontribusi penting untuk keamanan pasokan energi, karena akan memenuhi seperempat dari kebutuhan impor tambahan Eropa. (Raguzina G, 2007) Tujuan proyek-proyek energi ini didasari usaha untuk mencegah masuknya Baltik kedalam jaringan listrik Uni Eropa ENTSO-E (Jaringan Eropa Sistem Transmisi Operator Listrik) dan untuk menjaga agar mereka tetap dikendalikan oleh yang disebut Moskow sebagai lingkaran BRELL (Belarus, Rusia, Estonia, Latvia, Lithuania). Prioritas utama kebijakan energi Rusia adalah membeli saham pengendali di jaringan pipa, pelabuhan, fasilitas penyimpanan, hingga membeli aset-aset energi utama lainnya dari negara-negara Eropa tengah dan timur. Rusia membutuhkan aset ini untuk mengangkut pasokan energi ke pasar Eropa Barat, serta untuk mengamankan kontrol lebih besar atas pasar domestik dari negara-negara di wilayah ini. Dengan terhubung ke pasar energi Uni Eropa, Rusia dapat sekaligus menjaga keamanan permintaan dan diversifikasi rute pasokan sendiri dengan tujuan untuk menghindari masalah transit di negara bekas Uni Soviet. (Keith C. Smith, 2007) Keanggotaan Estonia, Lithuania, dan Latvia dalam Uni Eropa dan NATO secara signifikan mengurangi kemampuan Rusia untuk mempengaruhi kebijakan dalam negeri negara-negara ini. Untuk mengatasi masalah tersebut Rusia menggunakan beberapa cara yaitu dengan memaksimalkan penggunaan hard power dan soft power . Seperti memberlakukan pemaksaan secara terang-terangan dengan menggunakan sanksi jaringan, bujukan keuangan dan diplomasi publik. (Agnia Grigas, 2012) 1. Sanksi Minyak Manifestasi pertama dari sektor minyak Baltik, ketika negara-negara Baltik menolak menjual aset minyak seperti fasilitas pelabuhan milik Latvia, Ventspils Nafta atau kilang minyak Lithuania, Mazeikiu Nafta kepada Rusia, karena Latvia dan Lithuania menolak untuk menjual fasilitas energi mereka Rusia pun memutuskan untuk menutup fasilitas pipa pemasok ini dan mencari rute baru. Antara tahun 2000 dan 2006, Rusia melakukan sekitar 40 pemotongan ekspor energi, dan paling sering ke
7
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 3, 2016: 661-670
negara anggota Commonwealth of Independent States (CIS), Eropa tengah dan timur, termasuk Baltik yang mengalami insiden penghentian pasokan minyak ke port Operator, Latvia Ventspils Nafta (VN) sejak tahun 2003 dan untuk kilang minyak Lithuania Mazeikiu Nafta (MN) sejak tahun 2006, serta melakukan gangguan lainnya terhadap pasokan minyak melalui jalur kereta api untuk Estonia pada Mei 2007. Hal ini bertujuan untuk memperluas penggunaan terminal minyak di negara-negara Baltik, seperti Butinge di Lithuania dan Ventspils di Latvia. (Kisel Einari, 2008) 2. Isolasi Gas Dari sudut pandang Moskow, ada tiga alasan yang menyebabkan negara-negara Baltik menjadi salah satu pasar gas mereka. Pertama, negara-negara Baltik bukanlah negara transit yang mengirimkan gas Rusia ke wilayah Barat dan dengan demikian, tidak seperti kasus sengketa gas Ukraina, Moskow dapat dengan mudah mengganggu pasokan gas negara-negara Baltik tanpa menyebabkan gangguan kepada pelanggan Eropa lainnya. Kedua, Kremlin secara konsisten meningkatkan harga gas untuk negara-negara Baltik sepanjang 1990-an dan 2000-an dengan tingkat yang setara dengan harga gas Eropa daripada yang biasanya dibebankan pada negara bekas republik Soviet. Karena menurut perspektif Rusia dari sudut pandang harga, sejak pertengahan tahun 2000-an Baltik telah menjadi bagian dari pasar Eropa. Ketiga, Baltik merupakan pasar gas untuk investasi langsung, seperti yang terlihat dalam perusahaan gas nasional dan pabrik gas di Baltik. Berbeda dengan sanksi minyak, penggunaan isolasi gas jauh lebih efektif. (Byrza Matthew J, 2012) 3. Energi Nuklir Cara ketiga Rusia untuk mencapai hard power di kawasan Baltik adalah keunggulan mereka dalam hal tenaga nuklir. Meskipun telah ada upaya untuk membangun industri nuklir di Lithuania sejak tahun 2008 yaitu untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir baru di Visaginas, untuk menggantikan tenaga nuklir Ignalina yang baru-baru ini ditutup dalam menanggapi ketentuan Uni Eropa. Proyek ini tidak mungkin diselesaikan karena muncul kekhawatiran investor Jerman dan Perancis untuk berinvestasi di daerah yang mereka anggap tidak menguntungkan. Investor kemungkinan telah dibujuk dan diberi penawaran oleh Putin agar mereka berinvestasi di pembangkit listrik tenaga nuklir Rusia di Kaliningrad. (Agnia Grigas, 2012)
Selain menggunakan hard power Rusia juga menggunakan soft power dalam mempertahankan pengaruhnya, strategi ini berdasarkan faktor budaya suatu negara, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negeri, yang dianggap sah dan memiliki otoritas. Dimana hal tersebut dapat memfasilitasi diplomasi publik suatu negara dengan membangun hubungan jangka panjang yang akan mempengaruhi konteks pembuatan kebijakan. dalam hal soft power, Rusia juga menetapkan jaringan terikat oleh kepentingan bersama untuk mempromosikan tujuannya. Namun tidak seperti definisi tradisional soft power, pengaruh Rusia tidak menampilkan penekanan pada legitimasi dan otoritas moral. (Joseph S. Nye Jr, 2004) Bahasa Rusia merupakan alat penting untuk menyebarkan pengaruh Rusia di negaranegara Baltik, di mana kebanyakan orang berpendidikan sebelum runtuhnya Uni Soviet berbicara bahasa Rusia sebagai bahasa asing pertama mereka. Media juga
Kebijakan Energi Rusia di Kawasan Baltik Masa Pemerintahan Vladimir Putin (Yuni R.U.)
mengatur agenda beberapa organisasi Baltik dan kelompok politik, mempromosikan kekuatan politik yang setia kepada Rusia dan dukungan bagi kebijakan khusus. Alat yang sangat kuat dari pengaruh Rusia adalah kebijakan kewarganegaraan untuk 'rekan' nya atau etnis Rusia yang tinggal di kawasan near abroad. Ini merupakan sisi yang lebih kuat dan invasif dari kebijakan budaya Rusia yang bertujuan untuk mempertahankan loyalitas di antara rekan-rekannya. Rusia menawarkan kewarganegaraan otomatis kepada orang-orang keturunan Rusia terlepas dari domisili dan status kewarganegaraan lainnya. Moskow menawarkan mereka perlindungan: Strategi Keamanan Nasional Rusia untuk 2020, disetujui pada 2010 tetapi konsisten dengan doktrin diluncurkan pada tahun 2000, menyatakan maksud untuk melindungi hak-hak dan kepentingan warga Rusia dan 'rekan' di luar negeri melalui politik dan ekonomi. Selain pengaruh ekonomi dan kontrol energi, Rusia juga menggunakan isu hak-hak minoritas dengan tujuan untuk menekan pemerintah Baltik agar bergerak lebih dekat ke Rusia. Dan Rusia juga menggunakan perjanjian dan tekanan diplomatik untuk mendiskreditkan dan mempengaruhi kebijakan keamanan luar negeri yang menunjukkan bahwa pemerintah Baltik tidak stabil. Bagi Rusia, tiga negara Baltik merupakan jembatan penghubung Rusia dan Barat. Meskipun kemerdekaan yang dicapai Baltik dipandang oleh sebagian masyarakat Rusia sebagai hal yang tidak wajar tapi bagi Rusia kawasan Baltik merupakan zona penyangga militer strategis yang penting, karena Rusia membutuhkan daerah yang memberikan link ekonomi ke Barat tetapi secara politis dan diplomatis tunduk dengan kebijakan Rusia. Kesimpulan Kebijakan energi yang digunakan Rusia terhadap negara di kawasan Baltik merupakan usaha untuk mempertahankan posisi negaranya sebagai nilai strategis energi di kawasan Uni Eropa terutama di negara bekas Uni Soviet. Dengan memberi tekanan melalui sanksi-sanki yang ada, Rusia berharap dapat mengontrol negara tetangganya. Namun keanggotaan negara Baltik dalam Uni Eropa dan NATO menimbulkan kecemasan bagi Rusia, bahwa Uni Eropa memiliki tujuan untuk masuk kedalam wilayah bekas Uni Soviet dan perlahan melunturkan kekuasaan Rusia di negara-negara tetangganya yang dapat merugikan Rusia. Untuk mengatasi kecemasan ini Rusia memaksimalkan potensi alam yang dimilikinya untuk mempengaruhi negara-negara tetangga tersebut dan perlahan mencoba untuk mengambil kendali monopoli dalam sektor energi. Melalui cara ini Rusia berharap negara di kawasan Baltik akan berpikir ulang dalam mengambil keputusan apakah mereka ingin menjadi lawan atau teman Rusia. Daftar Pustaka Buku Agnia Grigas. 2013. The Politics of Energy and Memory between the Baltic States and Russia, Farnham, Surrey: Ashgate Publishing.
9
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 3, 2016: 661-670
Byrza Matthew J. 2012. Baltic Energy Security: Today’s Historic Opportunity. Tallin: International Centre for Defences Studies. Cathal J. Nolan. 1995. The Longman Guide to World Affairs, Longman Publishers. New York. Daniel Yergin. 2011. Prize: Global Energy and Geopolitical Srategist, Irving Perkins Associates, Inc. New York Harold Elletson. 2006. Baltic Independence And Russian Foreign Energy Policy, London: GMB Publishing Ltd Keith C. Smith. 2004. Russian Energy Politics in the Baltics, Poland, and Ukraine: A New Stealth Imperialism? Washington, D.C., CSIS. Maigre, Merle, 2010. Energy Security Concerns Of The Baltic States, Tallin: International Centre For Defence Studies, Media massa cetak dan elektronik / internet Adrian Henriques, Ruggie. J. ISO 26000 and The Concepts of Sphere of Influence pdf, diakses pada Juni 2014 Agnia Grigas, The Gas Relationship Between Baltic States and Russia: politic and commercial realities NG_67.Pdf, diakses pada April 2014 Baltic States, tersedia di www.britannica.com/EBchecked/topic/50985/Baltic-states, diakses pada Juli 2014 Estonia Profile, terdapat di http://economistwannabeid.blogspot.com/2012/01/estonia-negara-kecil-dengan-prestasi.html, diakses pada Desember 2014 Kisel, Einari. 2008. “Developing Estonian energy policy hand in hand with EU energy packages”, in Estonian Foreign Ministry Yearbook 2008/2009, terdapat di http://www.vm.ee/?q=en/node/8324, diakses pada Maret 2015 Lough, J., Russia’s energy diplomacy. Chatham House Briefing Paper, 2011. terdapat di http://www.chathamhouse.org/sites/default/files/19352_0511bp_lough.pdf Raguzina, G. 2007. Nord Stream gas pipeline a danger for the Baltic ecology,Bellona.org‘’http://www.bellona.org/articles/articles_2007/1180933195 .94’’ diakses pada Maret 2014