DICETAK DI ATAS KERTAS DAUR ULANG
1
INTRODUKSI
PEMBANGUNAN, RUANG, dan SDA
NO : 6 / JANUARI 2004
LAP. UTAMA
KEBIJAKAN PEMANFAA TAN AAT RUANG dan SDA AKTUAL
ARTI KONSERVASI BAGI JAMBI
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
2
Dari Redaksi Susunan Redaksi Penanggung Jawab Rudi Syaf Editor Roidah Pelaksana Tim KKI WARSI Distribusi Aswandi
Sidang pembaca, Alam Sumatera kali ini bisa dibilang lanjutan dari edisi sebelumnya. Karena edisi ini mengupas hal yang pernah diangkat sedikit tentang kerja sama KKI Warsi dengan Lembaga Penelitian Universitas Jambi (LP-Unja) bertemakan Studi Pembangunan dalam Pemanfaatan Ruang dan Sumber Daya Alam (SDA) di Kabupaten Batanghari dalam edisi Oktober 2003. Edisi awal tahun ini lebih merinci hasil yang dicapai dari kerja sama tersebut. Di mana studi pembangunan intinya membahas tentang tata ruang yang sangat berpengaruh pada penyelamatan kawasan konservasi, khususnya Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, yang masuk wilayah Kabupaten Batanghari. Karena luasan TNBD di sini memang lebih besar daripada kabupaten lainnya di Jambi, yaitu 40.000 hektar dari total keseluruhan 60.500 hektar. Secara khusus tulisan yang mengupas pentingnya kebijakan yang bersandar pada penataan ruang yang tepat dan disesuaikan dengan potensi SDA yang dipunyai daerah, dipaparkan DR. Johannes, MSi dari LP Unja yang juga merupakan dosen Fakultas Ekonomi Unja, Robert A, Koordinator Program KKI Warsi, dan Budi Retno Minulya, Koordinator Unit Fasilitasi Desa KKI Warsi. Pembahasan mereka disandingkan dengan pemanfaatan ruang versi Orang Rimba TNBD, disajikan Marahalim Siagian, Antropolog KKI Warsi.
Foto Cover: Aulia Erlangga / KKI WARSI Alam Sumatera adalah buletin intern yang dikelola oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI Alamat : Jl. Kapten M. Daud no. 48 (Lorong Nangka Bhakti) RT 04 / RW 02, Kel. Payo Lebar Jambi 36135 PO BOX 117 Jbi Tel/Fax : (0741) 61859 E-mail :
[email protected] http:\\www.warsi.or.id desain dan cetak : Kejora, photo&graphics (021)8351313
Sebagai pelengkap wacana ini yang juga berarti pelengkap sajian Alam Sumatera edisi awal tahun ini, diperoleh gambaran pemanfaatan ruang dan SDA di daerah lainnya di Sumatera, seperti Sumatera Barat. Tulisan tersebut diangkat Syafrizaldi, Koordinator Daerah Sumbar CBFM (Community Based Forest Management : pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat) yang berkegiatan di Jambi, Sumbar, dan Bengkulu. Tujuan dari kupasan tentang tata ruang dan pemanfaatan SDA ini tak lain agar ke depan pemerintah dalam menghasilkan kebijakan, selalu merujuk pada dua poin itu. Alam Sumatera juga mengangkat kisah tentang lingkar ‘kekuasaan toke’ tehadap masyarakat di beberapa desa di sekitar TNBD, dipaparkan Zainuddin dan Ade Candra, dua-duanya staf Unit Fasilitasi Desa KKI Warsi. Turut memboboti Alam Sumatera kali ini, tulisan tentang upaya masyarakat Desa Jernih mendapatkan hak pengelolaan tanah ulayat mereka yang berakhir di penjara, hasil investigasi Erinaldi, staf Unit Fasilitasi Desa KKI Warsi. Alam Sumatera juga diwarnai berita kerja sama dinas kesehatan kabupaten-kabupaten di Jambi dengan KKI Warsi, dituliskan Sutardi Diharjo, Fasilitator Kesehatan Orang Rimba KKI Warsi. Tulisan yang tak kalah menariknya tentang pendidikan alternatif untuk Orang Rimba yang disajikan oleh Aprista Wijaya, Fasilitator Pendidikan Orang Rimba KKI Warsi. Demikianlah gambaran isi Alam Sumatera edisi kali ini. Akhirnya redaksi serahkan ke pembaca untuk menyelami langsung keseluruhan isinya. Redaksi mohon maaf jika terbitan kali ini memiliki kekurangan. Salam Lestari
KONSEP 3
Pembangunan, Ruang, dan SDA
P
asal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan kalau bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara serta dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, cenderung dalam pelaksanaannya keliru. Padahal hubungan antara pembangunan, ruang, dan sumber daya alam (SDA) bersifat sebab-akibat yang sangat kompleks dan mengandung kerawanan. Alasan demi kemakmuran rakyat bisa mengakibatkan penggunaannya tak terkontrol lalu yang terjadi justru sebaliknya. Untuk itu perlu perencanaan yang sangat baik dan bertanggung jawab untuk ketiga poin tersebut. Ruang merupakan wahana yang sangat kompleks. Di dalamnya tersusun aneka ragam kehidupan mahluk hidup dan benda mati yang saling berinteraksi. Tidak satu mahluk pun dapat melepaskan diri dari ruang sekaligus melepaskan diri dari mahluk lainnya. Saling memakan dan saling memanfaatkan merupakan hukum ekosistem demi tercapainya keseimbangan dalam keseluruhan ekosistem. Salah satu aspek penting dari keruangan adalah tempat bagi SDA. Dan salah satu SDA yang sangat penting untuk penopang ekosistem secara luas adalah hutan. Dari semua jenis ekosistem hutan, hutan tropis dataran rendahlah yang merupakan ekosistem terkaya, bukan hanya kaya dari segi keragaman kehidupan yang ada di dalamnya melainkan paling kaya fungsinya. Hutan berdampak global. Karena itu pemanfaatannya dalam pembangunan harus penuh kehati-hatian dengan didasarkan perspektif pembangunan jangka panjang, melalui kekonsistenan tata ruang nasional dalam membuat perimbangan antara ruang untuk pengembangan ekonomi dengan ruang untuk fungsi ekologis. Fungsi-fungsi keruangan yang bersifat ekologis dapat melampaui batas-batas keruangan kabupaten atau provinsi. Sehingga tata ruang nasional menjadi
acuan bagi penyusunan rencana tata ruang di berbagai provinsi. Begitu juga dengan rencana tata ruang provinsi akan menjadi acuan bagi tata ruang kabupatenkabupaten. Dengan digulirkannya otonomi daerah dan lahirnya UU Nomer. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah harusnya membantu daerah dalam mengatur keruangan dan SDA-nya secara lebih baik. Undangundang ini kian membuka peluang keotonomian bagi daerah, termasuk desa dan kelompok masyarakat lainnya. Untuk menindaklanjuti pembangunan yang berpedoman keruangan ini, kesamaan wilayah menjadi prasyaratan utama yang mengharuskan adanya kejelasan batas wilayah, sehingga tidak terjadi pencaplokan suatu wilayah. Lewat kejelasan batas wilayah bisa diatur dan disepakati tata peruntukan wilayah guna membuat perencanaan dasar (grand desain) otonomi komunitas. Konsekuensinya pemetaan ruang pun menjadi sebuah kebutuhan yang harus ditindaklanjuti ke depan. Melalui undang-undang itu juga misi otonomi memungkinkan provinsi, kabupaten, hingga desa mengurus sendiri pemerintahannya, serta kepastian akan hak-hak terhadap SDA. Selanjutnya perlu didorong pembangunan atas hukum lokal seperti peraturan desa (Perdes), kesepakatan antar wilayah desa, dan lainnya. Ini akan diusung untuk menjadi substansi bagi perencanaan ruang yang lebih makro, baik untuk level kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan bisa didorong ke region pulau. Inisiasi ini bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat di level bawah yang selama ini terabaikan.(Robert A, Koordinator Program dan Antropolog/Edra Satmaidi, Legal Officer Program CBFM).
INTRODUKSI
Peluang dan Tantangan dalam Pemanfaatan Ruang dan SDA
O
tonomi daerah yang diatur Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999, memberikan harapan adanya percepatan kemajuan daerah, setelah lebih dari 30-an tahun terjadi sentralisasi prioritas pembangunan. Moment otonomi daerah ini merupakan peluang desentralisasi pengelolaan pembangunan termasuk Sumber Daya Alam (SDA) di daerah, hingga bisa berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Namun kecenderungan yang muncul justru hanya peningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) oleh masing-masing kabupaten/kota yang dijadikan variable penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Secara mendasar SDA memang menjadi komponen penting sumber PAD. Mengingat itu, dikhawatirkan muncul predikat daerah ‘kaya’ dan daerah ‘miskin’ yang berpotensi konflik baik horizontal (antar daerah) maupun vertikal (dengan pemerintah pusat). Disamping itu, daerah yang terpacu mengejar PAD, mengambil SDA berlebihan hingga aspek penataan ruang dan pemanfaatan SDA berkelanjutan terabaikan. Timbul ketidakseimbangan ekosistem dan bencana alam pun tak terelakan, seperti banjir, longsor, dan sebagainya. Ingat, peristiwa banjir di kawasan wisata alam Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, awal November 2003, telah menewaskan puluhan orang dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Meskipun pemerintah menyebut itu bencana alam murni, tapi faktor penyebabnya bisa dihubungkan dengan kerusakan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang memprihatinkan dalam bentuk pengambilan kayu secara illegal. Disamping itu, pembangunan jalan Ladia Galaska sepanjang 450 kilometer yang membelah bukit tentu saja berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Fenomena ini menggambarkan betapa penataan ruang dan pemanfaatan SDA yang memperhatikan aspek ekologi menjadi penting diperhatikan.
AULIA ERLANGGA / DOK. KKI WARSI
4
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
5 Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi merupakan salah satu taman nasional dari empat yang ada di Jambi. Taman ini bermakna strategis yang tidak hanya menyangkut sosial ekonomi saja, melainkan juga fungsi ekologisnya. Karena secara geografis, ada keterkaitan antara fungsi hidrologisnya dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari dan keterkaitan dengan kegiatan masyarakat di sekitarnya. Artinya kerusakan kualitas taman akan berdampak serius pada kehidupan masyarakat desa di sekitarnya. Bahkan jika dikaitkan dengan salah satu kekhasan TNBD yang menurut SK Menhutbun nomor 258/Kpts-II/2000 berluas 60.500 hektar, dihuni masyarakat asli (Orang Rimba), kerusakan taman berarti akan mengganggu habitat Orang Rimba juga. Kelestarian TNBD dihadapkan pada adanya beragam tantangan dan tekanan, baik dalam bentuk pembukaan ladang maupun pengambilan kayu secara illegal dalam taman. KKI Warsi yang bekerja sama dengan LP Unja, mengadakan studi terhadap permasalahan ini, tepatnya meneliti pemanfaatan ruang dan SDA di Kabupaten Batanghari, dengan mengambil sampel empat desa di sekitar TNBD (Desa Hajran, Jelutih, Padangkelapo, dan Sungairuan) di kabupaten itu. Dari studi didapatkan kenyataan kalau masyarakat empat desa penyangga TNBD tersebut memiliki ketergantungan yang tinggi (45,69 persen) terhadap sumber daya hutan. Begitu juga di wilayah desa lainnya sekitar TNBD. Dampak degradasi taman nasional telah terasa oleh masyarakat baik langsung maupun tidak. Misalnya di desa penyangga bagian selatan TNBD, Desa Lubukjering, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, selama tiga bulan (mulai dari awal tahun 2002) telah mengalami 10 kali banjir merendam pemukiman penduduk. Sedang di akhir tahun 2003, di desa sebelahnya (Desa Semurung) juga dilanda banjir, menenggelamkan 28.000 batang cabe siap panen. Sementara di Desa Jernih juga bagian selatan TNBD, di beberapa lokasi perladangan masyarakatnya terjadi longsor. Akibatnya, kerugian baik materil maupun immateril dirasakan masyarakat, termasuk terhambatnya kegiatan perekonomian. Dampak yang hampir sama pun dialami desa-desa penyangga yang lain. Curah hujan tidak terlalu tinggi akan berdampak besar. Demikian juga sebaliknya, kemarau sedikit saja langsung menyebabkan krisis air di desa, tidak hanya untuk minum tapi juga untuk persawahan hingga beberapa luasan sawah mengalami puso (gagal panen). Seperti yang pernah terjadi di sebagian sawah di Desa Seilingkar dan Padangkelapo, Kecamatan Maroseboulu, Kabupaten Batanghari. Belum lagi dampaknya pada kelancaran transportasi, di mana selama ini sebagian penduduknya menggunakan sungai untuk akses mereka keluar-masuk desa, termasuk untuk menjual hasil pertanian (getah). Pada sisi yang lain ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan tidak mudah untuk dihentikan. Hal ini terkait dengan banyaknya faktor yang melatarbelakanginya, baik faktor politik, sosial maupun ekonomi masyarakat desa. Mengenai faktor politik berkenaan dengan konflik-konflik yang sifatnya internal (antar individu dan kelembagaan) serta eksternal (antar desa) yang biasanya dipicu persoalan batas desa dan berbagai klaim hak ulayatnya. Konflik eksternal juga terkait pada persinggungan antara masyarakat dengan perusahaan di sekitar desa. Terutama perusahaan yang dianggap menelantarkan lahannya, juga menyangkut batas maupun kompensasi yang bisa didapatkan masyarakat dari perusahaan. Sehingga potensial pemicu konflik pun berskala lebih luas yaitu pemerintah daerah
INTRODUKSI dengan kebijakannya cenderung dianggap memihak ke swasta (perusahaan). Kemudian berkenaan dengan faktor sosial, akan menyangkut belum tertatanya pranata sosial terkait lingkungan yang ada di sekitarnya, bisa dalam bentuk aturan atau yang lain. Disamping itu, jika dilihat secara umum di desa penyangga ada kecenderungan penguasaan modal oleh segelintir orang yang disebut toke. Toke juga penguasa lahan di desa. Kondisi ini berakibat pada adanya pola hubungan mayoritas masyarakat yang terikat dengan toke, termasuk urusan penentuan harga getah (hasil karet, barang-barang kebutuhan pokok, atau yang lainnya). Tingginya pengaruh toke pun berdampak pada kebijakan di desa yang cenderung dikuasai toke, sehingga menghambat upaya pembangunan mengentaskan kemiskinan dan ketergantungan ekonomi masyarakat. Selain itu, faktor sosial juga terkait pada adanya tradisi bertalang (berladang) sebagian masyarakat desa penyangga TNBD. Tradisi ini secara langsung maupun tidak telah berpengaruh pada pemanfaatan secara berlebihan SDA (berupa lahan). Sementara mengenai faktor ekonomi, masyarakat masih sangat tergantung pada hutan, karena potensi ekonomi alternatif belum dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal. Misalnya masih banyak luasan lahan terlantar, pengelolaan kebun karet yang belum intensif, serta lahan persawahan dan potensinya yang belum tergarap serius yang diharapkan tidak hanya bersifat subsisten, tapi juga berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Faktor lain yang tidak kalah penting dan berpengaruh terhadap terjaminnya kelestarian sumber daya taman nasional yaitu kebijakan pemerintah daerah. Berbagai kebijakan selayaknya menghitung ketersediaan lahan dan dampaknya bagi masyarakat sebagai sasaran kebijakan. Ketersediaan data, informasi, serta pengetahuan tentang potensi desa dan kondisi masyarakat, menjadi landasan dalam memformulasikan kebijakan. Berangkat dari berbagai hambatan dan tantangan di atas, keberadaan ruang dengan SDA-nya sah jika dimaknai secara ekonomi dalam artian bahan baku yang dapat dijadikan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pemerintah daerah dan pribadi (masyarakat). Namun itu harus diimbangi dengan pemaknaan secara ekologi yaitu SDA merupakan komponen ekosistem yang keseimbangannya harus
selalu dinamis. Agar tidak terjadi perubahan drastis atau ketidakseimbangan yang berdampak pada kehidupan manusia, maka pemanfaatannya harus terukur dan terkelola baik. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan agenda ke depan (untuk menjawab tantangan pemanfaatan ruang dan SDA yang berimbang), yaitu adanya penelitian dan kajian tentang ruang dan SDA dikaitkan dengan tingkat eksploitasi dan ekspektasi keberadaannya dalam jangka panjang. Pemetaan sumber daya dapat menjadi salah satu metodologi dalam hal ini. Selanjutnya perlu pengiventarisasian data dan informasi mengenai ketersediaan ruang dan SDA serta data kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kebijakan yang cenderung kurang berbasis data yang dalam kurun waktu tertentu bisa menjadi pemicu konflik di masyarakat. Selanjutnya memperjelas hak kepemilikan sumber daya. Termasuk kejelasan kewenangan daerah dan pusat serta ketegasan kepemilikan lahan perusahaan (batas yang jelas) dan kompensasinya untuk masyarakat. Kemudian merencanakan program yang terpadu dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait, sehingga perencanaan egosektoral dan kurang efektif dapat diminimalisasi. Perlu juga adanya perencanaan dan keterpaduan program yang sifatnya lintas regional karena sifat SDA yang saling bertautan. Selain itu, agenda ke depan juga harus mementingkan keterlibatan masyarakat dan lembaga-lembaga lokal dalam upaya pengelolaan SDA, salah satunya dengan melakukan berbagai pelatihan atau metode lain yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Melalui tahapan agenda tersebut, diharapkan ruang dan SDA akan dapat memberikan manfaat (utilitas) bagi kemajuan daerah demi kesejahteraan masyarakat. Untuk itulah upaya memaksimalkan nilai guna SDA ini tidak harus mengorbankan aspek keseimbangan secara ekologi. Pembangunan yang berkelanjutan harus memasukkan nilai konservasi dalam konteks pemanfaatannya. Tantangan pengelolaan menyangkut ruang dan SDA ini memungkinkan untuk dijawab jika ada niat dan upaya dari berbagai pihak terlibat bersamasama mengatasinya. Sehingga ketakutan akan terjadinya krisis sumber daya pun tidak terwujud. Akankah…?(Budi Retno Minulya, Koordinator Unit Fasilitasi Desa)
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
A
LAPORAN UTAMA
Kebijakan Pemanfaatan Ruang dan SDA Sudahkah Tepat?
S
umber Daya Alam (SDA) baik yang hayati maupun non hayati merupakan modal penting mendukung kegiatan ekonomi, sosial, maupun pembangunan. Untuk itulah pemanfaatan secara terencana sangat diperlukan agar SDA lebih optimal utilitasnya (nilai guna). Jika dikaitkan dengan konteks pelaksanaan otonomi daerah, hal tersebut urgent diperhatikan terutama oleh pemerintah daerah. Adanya pelimpahan kewenangan ke pemerintah daerah melahirkan kekhawatiran pelaksanaan otonomi daerah akan menguras SDA daerah demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tindakan tersebut tidak hanya berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem tapi juga krisis sumber daya untuk jangka panjang, disebabkan aspek kelestarian dan keberlanjutannya terabaikan. Meskipun begitu, otonomi daerah juga memberikan harapan akan rentang kebijakan dengan permasalahan riil semakin dekat. Harapan itu bisa tercapai jika kebijakan
pembangunan dan pengelolaan SDA memperhatikan prinsip kesinambungan dan keberlanjutannya. Namun sudahkah kebijakan pemanfaatan SDA dan ruang untuk pembangunan memperhatikan prinsip keberlanjutan ini? Ada empat poin yang harus diperhatikan demi pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan ruang dan SDA. Pertama, konsep pembangunan berkelanjutan harus menekankan pada pentingnya integrasi antara pembangunan dan lingkungan yang sering dipisahkan secara dikotomis. Kedua, pembangunan jangan hanya diartikan pertumbuhan ekonomi semata, tapi terkait pada aspek yang lebih luas, misalnya menyangkut kualitas kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Ketiga, dalam pembangunan berkelanjutan terdapat batas-batas pemanfaatan teknologi, pemanfaatan ruang, dan SDA demi lebih terencana dan terkontrolnya proses pembangunan. Keempat, pembangunan berkelanjutan
LAPORAN UTAMA 8 juga memperhatikan aspek sosial, budaya, dan politik di masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari persoalan-persoalan lingkungan. Tak jarang tuntutan terhadap lahan-lahan perusahaan yang mempunyai Hak Guna Usaha (HGU) dilakukan masyarakat karena dianggap tidak berkontribusi untuk kesejahteraan masyarakat sekitar, disamping ketersediaan lahan semakin sempit dan kondisi perekonomian masyarakat yang juga kian sulit. Tuntutan masyarakat yang memicu konflik lahan ini belum didapatkan formulasi untuk mengatasinya. Toh kalau selesai, sifatnya pun hanya sementara dan akan menjadi ‘bom waktu’ suatu hari nanti. Kemudian pemerintah daerahlah yang dituntut menjadi mediator tanpa berpihak pada kepentingan swasta (perusahaan). Berdasarkan kondisi di atas, sangat dibutuhkan segera kajian terhadap pemanfaatan ruang dan SDA. Hal ini juga yang kemudian menjadi tema penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Jambi (LP-Unja) bekerja sama dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Batanghari. Penelitian ini merupakan studi kasus di Kabupaten Batanghari, mencakup tingkat makro (sisi kebijakan) dan mikro. Ada empat desa penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi di Kabupaten Batanghari yang dijadikan wilayah penelitian. Permasalahan Umum Kabupaten Batanghari berpenduduk (berdasarkan hasil P4B) tahun 2003 sebanyak 205.621 jiwa dengan 46.103 rumah tangga. Luas wilayah kabupaten ini 5.180,35 km2, sedangkan secara administrasi jumlah desa (dalam tahun 2001) 107 desa. Topografi Kabupaten Batanghari ditandai dengan keberadaan Sungai Batanghari yang membagi wilayah kabupaten menjadi dua bagian. Perilaku musim berpengaruh pada kehidupan masyarakat desa di sepanjang sungai ini. Musim hujan permukaan air sungai naik, berpengaruh pada jadual tanam padi sebagian masyarakat. Sistem drainase sawah terganggu, umumnya sawah-sawah di Kabupaten Batanghari masih mengadalkan hujan. Namun pada musim hujan ini jalur transportasi melalui Sungai Batanghari dan anak sungainya relatif lancar, baik untuk keperluan mengeluarkan getah karet, belanja, hingga
mengeluarkan balok dari hutan. Sebaliknya musim kemarau sungai kering, kegiatan ekonomi terhambat, masyarakat tidak bisa mengeluarkan getah ataupun kayu lewat sungai. Jalur transportasi dialihkan ke darat yang jaraknya kian jauh dari lokasi yang dituju, biaya yang dikeluarkan pun bertambah. Begitu juga kegiatan persawahan ikut terhenti, dalam satu tahun rata-rata masyarakat hanya panen satu kali. Belum lagi, debit air yang turun dan membawa polusi dari hulu berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat. Sementara sebagian besar masyarakat masih sangat mengandalkan air sungai ini untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga kebijakan pemanfaatan ruang dan SDA juga harus mengkaji vitalnya keberadaan Sungai Batanghari ini, yang berarti juga mengkaji keberadaan hutan di sekitarnya sebagai pengatur tata air, agar keseimbangan ekosistem semakin terjamin. Kondisi hulu DAS Batanghari sebagai wilayah resapan air pada saat ini tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Itu juga yang menyebabkan banjir rutin melanda Jambi. Dalam bulan Desember 2003 di Kabupaten Batanghari sebagaimana juga diberitakan media lokal, seperti Jambi Independent (12/2003), telah merendam 6.068 rumah penduduk di 71 desa yang dihuni 15.125 KK atau 38.822 jiwa, sedangkan lahan pertanian masyarakat yang terendam 532 hektar padi sawah, 83 hektar padi gogo, 242 hektar palawija, 108 hektar sayuran, 40 hektar tanaman pisang, serta 51 hektar tanaman jeruk. Sementara perkebunan yang rusak seluas 1.794 hektar jenis karet dan 1.200 hektar sawit. Ternak pun banyak yang mati. Demikian juga fasilitas umum seperti terendamnya 45 gedung SD/Madrasah dan dua puskesmas, hingga kegiatan rutin di fasilitas umum ini ada yang terhenti total. Kerugian sulit dihitung. Kebijakan Penataan Ruang dan SDA Penataan ruang Kabupaten Batanghari bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah. Selain itu juga untuk mewujudkan keserasian antar sektor dan pengarahan lokasi investasi pembangunan dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian pemanfaatan lingkungan hidup. Untuk itu rencana pemanfaatan ruang juga berpedoman pada pertumbuhan pembangunan berkelanjutan, (bersambung ke hal 11)
A
Pemetaan Par tisipatif Selamatkan Aset Kotomalintang
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
K
otomalintang sebuah perkampungan yang terletak pinggir Danau Maninjau, di Kecamatan Tanjungraya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Daerah ini memiliki tiga jorong atau dusun, (Jorong Rambai Ambacang, Pauh Taruko, dan Alai Muko-muko) yang topografinya berbukit-bukit. Penataan ruang wilayah ini terbagi atas wilayah lindung (daerah hulu), di bawah wilayah lindung terdapat kawasan agroforest yang dikelola masyarakatnya (dikenal dengan sebutan parak). Perumahan dan sawah berada di bawah kawasan parak dan di bagian paling hilir terletak Danau Maninjau.
Kepemilikan parak menerapkan sistem komunal suku dan tidak dapat diperjualbelikan karena merupakan pusaka (warisan bernilai) tinggi. Kalaupun ada yang melakukan koro-koro (melanggar dengan memper jualbelikan lahan tanpa sepengetahuan anggota suku), maka diselesaikan secara kekeluargaan dalam internal suku. Apabila persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan maka akan dilakukan rapek suku nan ampek (rapat suku yang empat) yang dihadiri oleh para kepala suku nan ampek (suku yang dominan bermukim di Kotomalintang, yaitu Tanjung, Koto, Piliang, dan Sikumbang). Jika persoalan tersebut belum juga dapat diselesaikan maka akan dilakukan sidang suku nan ampek dengan mengikutkan pamuncak adat. AULIA ERLANGGA / DOK. KKI WARSI
Pola keruangan Kotomalintang mengedepankan kaidah konservasi di mana bagian hulu dibiarkan menjadi hutan alam yang disangga oleh parak sementara areal budidaya dan pemukiman berada di bawahnya. Masyarakat sangat berkepentingan dengan pola ini, sebab jika ini tidak dipertahankan maka akan menimbulkan akibat-akibat seperti tanah longsor, serangan binatang buas dan hama, pencucian hara, dan berkurangnya sumber air. Lebih jauh kerugian yang akan timbul dengan tidak terpeliharanya pola keruangan seperti ini adalah hilangnya sumber-sumber ekonomi masyarakat yang bermuara pada kehancuran sistem sosial Pengelolaan parak di Kotomalintang bahkan hampir di seluruh daerah di Sumatera Barat, sudah mengakar bertahun-tahun. Jenis tumbuhan yang ditanam beragam, baik tanaman komersil maupun tumbuhan hutan, demi meminimalisir kerugian jika salah satu komoditi mengalami gagal panen. Pola bertani seperti ini mengkombinasikan tanaman muda dengan tanaman tahunan dan tanaman tua. Parak Kotomalintang ini punya tutupan kanopi yang lebat dan lebih mirip hutan.
9
banda (selokan) juga kerap dijadikan sebagai pembatas.
Pohon Pinang sebagai batas wilayah di Kotomalintang: Batas wilayahnya ditandai oleh tumbuhan pudiang (pinang kecil) dengan alasan warnanya mencolok, gampang dikenali serta mudah tumbuh.
Peraturan adat dalam pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam (SDA) diatur secara tidak tertulis, biasanya aturan ini disyairkan dalam pantun-pantun ataupun nyanyian. Batas-batas wilayah, baik nagari, parak, sawah, maupun sumber agraria lainnya ditentukan lewat musyawarah terutama dengan ninik mamak (kerabat). Batas wilayahnya ditandai oleh tumbuhan pudiang (pinang kecil) dengan alasan warnanya mencolok, gampang dikenali serta mudah tumbuh. Selain itu batas parak dapat ditandai juga dengan parik (gundukan batu yang disusun secara memanjang di sepanjang batas wilayah), biasanya dipilih batu-batu yang berukuran besar hingga tidak mudah dipindahkan. Disamping itu, tanda-tanda alam seperti
Sistem ini dipertahankan selama bertahun-tahun dan mampu membawa perubahan di bidang ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.Selanjutnya, terdapat juga lima aset (sumber daya) nagari (desa) lainnya Aset ini dimanfaatkan untuk kepentingan nagari. Pertama, tanah banio seluas 200 hektar ditanami kulit manis dan kopi. Awal dekade 90-an lokasi ini pernah dijadikan areal budidaya tembakau, namun karena kesesuaian lahan yang tidak memungkinkan serta pengetahuan yang minim, akhirnya budaya ini dihentikan. Tanah banio dikelola Yayasan Kampuang Sikumbang, didasari penyerahan oleh suku nan ampek. Namun dalam perkembangannya, pengelolaan tanah banio mengalami kesimpangsiuran. Banyak persoalan yang terjadi dalam pengelolaannya, di antaranya tata batas yang kabur.
A
10
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
Kedua, karambia kongsi yaitu tanah seluas dua hektar di pinggiran Sungai Batang Antokan (satu-satunya sungai yang airnya berasal dari Danau Maninjau) di Dusun Muko-muko. Tanah ini digunakan untuk tempat pengembangan usaha kolam ikan air deras (karamba) masyarakat. Masyarakat yang memanfaatkannya harus membayar uang kontrakan dan diserahkan ke nagari. Ketiga, gunuang belek adalah areal cadangan yang masih hutan alam. Mekanisme pengelolaannya belum ada. Sebagian masyarakat pernah bertani di sini, namun belakangan ditinggalkan karena letaknya yang jauh dari pemukiman. Keempat, tanah data juga areal pencadangan tapi luasnya 100 hektar. Kelima, pulau berada di dekat bangunan in take PLTA Maninjau. Sampai saat ini masih ada ketidakjelasan kepemilikannya. Dulu ada masyarakat mengusahakan budidaya pertanian namun akhirnya ditinggalkan. Sekarang pulau hanya dijadikan tempat rekreasi karena letaknya yang strategis dan mudah diakses. Pengelolaan aset nagari membutuhkan biaya, tenaga dan pikiran. Untuk itu telah dibentuk Badan Pengelola Aset Nagari (BPAN) Kotomalintang Agustus 2001. Tugasnya sebagai ad hoc atas mekanisme dan protokol pengelolaan aset nagari Kotomalintang. Badan ini bersifat permanen dan otonom. Secara struktural BPAN berada di bawah pamuncak (pemuncak) adat dan bertanggung jawab pada pamuncak, baik dari pelaksaan program maupun pertanggung jawaban terhadap keuangan. Keanggotaan BPAN dipilih dari perwakilan masyarakat yang terdiri dari wakil sukusuku dan berbagai elemen kemasyarakatan yang ada di Kotomalintang.
Jalan Panjang Pemetaan Par tisipatif Konsep (masyarakat yang memiliki aset nagari dan parak) selayaknya memperoleh pengakuan dari pemerintah karena terbukti mampu menyangga kehidupan ekonomi mereka dan menyelamatkan kekayaan genetik, serta berdampak baik bagi lingkungan. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut diperlukan langkahlangkah konkrit yang dapat dibuktikan secara ilmiah disertai argumentasi akademis yang menunjang. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan melakukan pemetaan par tisipatif keruangan Kotomalintang dengan melibatkan masyarakatnya. KKI Warsi yang sejak 2000 berkegiatan di desa ini mengajak masyarakat melakukan pemetaan batas-batas wilayah kelola parak dan aset nagari, serta pemetaan nagari secara keseluruhan. Melalui peta yang dihasilkan, masyarakat bisa memperggunakannya sebagai alat negosiasi ke pihak-pihak terkait, agar menghormati wilayah yang dikelola masyarakat berdasarkan kearifan dan teknologi lokalnya.
Peta juga bisa digunakan untuk alat mempercepat proses resolusi aset nagari. Dengan adanya peta tentunya akan lebih mudah melakukan diskusi, penilaian kritis, serta pembuatan mekanisme pengelolaan di tingkat masyarakat. Secara lebih luas peta alat untuk membuat management plan pemerintah bersama masyarakat. Usulan pemetaan partisipatif telah disampaikan 2001, namun sempat ditanggapi dingin oleh masyarakat Kotomalintang. Masyarakat beranggapan pemetaan hanya membuka peluang pemerintah untuk merebut kawasan mereka kelola. Pendekatan pun diarahkan ke sorotan batas yang tumpang-tindih antara kawasan lindung dengan kawasan parak. Tak sia-sia, pendekatan ini berdampak baik hingga perlahan kesadaran masyarakat mulai muncul tumbuh. Hingga pemetaan partisipatif pun terlaksana 2002 dengan diawali konsultasi bersama wali jorong, pamuncak adat, BPAN, niniak mamak, cadiak pandai (cerdik pandai), pemuda, dan kaum ibu. Metode pemetaan yang dipakai yaitu lewat studi pustaka dengan mencari peta umum (topografi) yang diterbitkan oleh Dirjen Dittop TNI-AD atau Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, peta tematik seperti penggunaan lahan kondisi terakhir yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional, dan peta batas definitif taman nasional yang dibuat oleh Badan Inventarisasi Tataguna Hutan Provinsi (Sumatera Barat). Sebagian besar peta tersebut didapatkan walaupun bukan dalam bentuk aslinya. Kedua, metode pemetaan yang dipakai adalah rapid rural appraisal (pemahaman desa secara cepat) dan participatory rapid appraisal (pemahaman desa partisipatif) untuk memudahkan proses selanjutnya. Ketiga, metode pengembagan. Metode ini kelanjutan dari metode sebelumnya, di mana metode ini menekankan pada hal-hal yang bersifat teknis seperti penggunaan beberapa alat bantu untuk pemetaan ruang. Lewat metode ini diharapkan menghasilkan gambaran situasi dan kondisi keruangan terakhir dengan diperkaya informasinya melalui peta referensi dan peta sketsa yang tersedia. Hingga tersedialah peta yang memiliki perbandingan yang sebenarnya di lapangan dengan yang di kertas. Masyarakat yang diberi pemahaman tentang kebutuhan peta sebagai alat negosiasi, juga diberi penjelasan tentang teori-teori penggunaan kompas dan global positioning system (GPS). Pemetaan ini masih dilanjutkan dalam 2003. Walaupun masih banyak kekurangan dalam peta yang dihasilkan, namun paling tidak masyarakat mendapatkan gambaran pola keruangan di wilayahnya. Draft peta itu pun telah digunakan sebagai salah satu referensi yang cukup meyakinkan dalam proses pemekaran nagari. (Syafrizaldi, Koordinator Daerah Sumbar
Program CBFM)
LAPORAN UTAMA 11
Dalam melaksanakan konsep tersebut dibutuhkan strategi penataan ruang dengan melakukan pemantapan kawasan lindung dan pengembangan kawasan budidaya (baik pertanian maupun non pertanian). Untuk kawasan budidaya non pertanian yang dikembangkan yaitu kawasan pemukiman didasarkan pada kriteria tertentu, misal kesesuaian lahan, ketersediaan air, tingkat kerawanan bencana, dan sebagainya. Kawasan lain non pertanian yaitu kawasan perdagangan /jasa di mana skala pelayanan regional dialokasikan ke pusat-pusat pertumbuhan, sedangkan skala sub regional ke sub pusat pertumbuhan, dan skala lokal ke pusat kecamatan. Ada beberapa permasalahan kebijakan yang terkait dengan penataan ruang dan SDA ini, antara lain pembiayaan daerah yang berhubungan dengan pencapaian target PAD. Kontribusi sektor kehutanan dalam pencapaian PAD di Kabupaten Batanghari dalam tiga tahun terakhir ini besar. Ketergantungan PAD pada sektor inilah yang akhirnya mendorong meningkatnya eksploitasi hutan dan kurang terperhatikannya aspek ekologis. Permasalahan berikutnya secara legal (berdasarkan SK Menhutbun No. 258/KPTS/2000) kawasan hutan Serengam hulu, Hutan Produksi Terbatas, dan sebagian Hutan Produksi, dinyatakan sebagai areal TNBD dengan luasan 60.500 hektar. Sementara itu kenyataan di lapangan, wilayah ini telah dijadikan tempat pengambilan kayu dan membuka kebun karet oleh masyarakat. Permasalahan lainnya yaitu kebijakan pemberian hak pengelolaan ke pengusaha besar (swasta) baik berupa HTI maupun HGU kenyataannya tidak diimbangi oleh kebijakan monitoring dan mengevaluasi keberadaannya. Begitu juga permasalahan secara sektoral, kontribusi sektor pertanian masih mendominasi perekonomian Kabupaten Batanghari yaitu mencapai 28 persen setiap tahunnya terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Ditingkat mikro yaitu kondisi riil di lapangan (desa lokasi penelitian) yang mata pencaharian utama masyarakatnya adalah bertani (berkebun karet) dalam mencapai hasil yang optimal bagi ekonomi rumah tangga, terkendala sarana, prasarana, sistem tata niaga, dan sebagainya.
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
pemerataan pemanfaatan sumber daya secara optimal (dengan menghindari konflik pemanfaatan sekecil mungkin, serta menjaga terjaminnya stabilitas keseimbangan lingkungan hidup.
Sementara itu ditingkatkan mikro ada ketidakoptimalan pemanfaatan ruang khususnya yang diberikan ke perusahaan. Terdapat dua perusahaan besar di sekitar desa penelitian yaitu PT Sawit Desa Makmur (PT SDM) dan HTI PT Wana Perintis. Pada kenyataannya setelah dilakukan landclearing dibiarkan menjadi hutan, belukar, dan lahan terbuka. Misalnya hasil pemetaan menunjukkan 72 persen (9.421 hektar) luas lahan yang tak terkelola oleh PT SDM, sedangkan PT Wana Perintis mencapai 54 persen (3.163 hektar). Inilah yang kemudian memperuncing konfik dengan masyarakat desa sekitar areal perusahaan, hingga masyarakat sendiri kemudian ikut mengokupasi sebagian lahan tersebut. Konflik ini juga akan terkait pada pemerintah yang telah mengeluarkan ijin ke perusahaan. Dari penelitian juga diketahui kalau pembukaan hutan (deforestasi) yang dilakukan masyarakat di sebelah timur TNBD 1997-2002 mencapai 4.700 hektar. Sedangkan perambahan sisa hutan di sekitar desa interaksi TNBD lainnya mencapai 10.400 hektar. Selanjutnya, di tingkat keruangan desa terdapat pula kerawanan konflik berbagai kepentingan, antara lain menyangkut batas antar desa yang belum jelas sehingga mengakibatkan konflik pengambilan sumber daya hutan (kayu) dan pembukaan ladang. Sering terjadi klaim wilayah desa yang umumnya didasarkan pada tambo-tambo (tanda-tanda) alam seperti keberadaan sungai. Konflik lainnya batas yang ada di lapangan tidak selalu sesuai dengan batas administrasi pemerintah sebagaimana yang dipakai BPN (Badan Pertanahan Nasional). Kebijakan pemanfaatan ruang dan SDA tidak bisa disandarkan pada pendekatan yang sifatnya
LAPORAN UTAMA 12
ROBET / DOK. KKI WARSI
teknis an sich, tapi lebih jauh dari itu diperlukan kemampuan untuk merancang kebijakan yang lebih terpadu (berbagai sektor), interdisiplin, serta berdasarkan kondisi dan kemampuan sumber daya lokal dengan melibatkan berbagai stakeholders. Secara teoritis, ada beberapa hal untuk mengukur keefektifan sebuah kebijakan dalam pemanfaatan ruang dan SDA, yaitu efisiensi, artinya kebijakan pengelolaan ruang dan SDA Banjir besar di Jambi : Kondisi hulu DAS Batanghari sebagai wilayah resapan air harus mampu meningkatkan pada saat ini tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. keefiensienan penggunaan SDA secara optimal, di mana ketidakefiensienannya akan menyebabkan degradasi statusnya dimiliki perusahaan yang tidak terkelola kualitas lingkungan. Kemudian keefektifan itu juga optimal dievaluasi oleh pemerintah. Kemitraan antara ditentukan oleh fair (adil), yaitu kebijakan yang ada pemerintah, masyarakat, dan investor yang mampu tidak mengabaikan kepentingan publik. Bercermin menjadi alternatif solusi permasalahan ini. Terkait dari pengalaman, berbagai kebijakan pemberian HGU kondisi di tingkat mikro, kalau penguasaan lahan ke swasta dalam prakteknya telah memperkaya didominasi toke di desa, maka kebijakan program pengusaha dan memarginalkan masyarakat lokal. pembangunan harus memperhatikan kondisi ini dan lebih berpihak ke kelompok yang termarginalkan. Selanjutnya kebijakan pemanfaatan ruang dan SDA efektif tidaknya juga bisa diukur dari mengarah- Selain itu juga direkomendasikan agar masyarakat tidaknya kebijakan itu pada insentif. Kebijakan diingatkan kalau pengambilan kayu (yang menjadi pengelolaan SDA layaknya harus mengarah ke insentif mata pencaharian utama mereka di desa-desa yang untuk merangsang adanya perbaikan kualitas diteliti) tidak menjamin perekonomian dalam jangka lingkungan. Disamping kebijakan itu efektif jika waktu lama, karena luasannya terbatas. Dampak yang didukung oleh penegakkan hukum, diterima publik, ditimbulkannya tidak sebanding dengan manfaat yang dan mementingkan aspek moral sebagai landasan didapat. Untuk itu juga, perlu kemauan politik (pokebijakan pengelolaan SDA. litical will) dari pemerintah dan unsur terkait untuk menghentikan kegiatan perbalokan ini. Alternatif yang Hingga akhirnya dari studi yang dilakukan LP-Unja lebih menjaminkan ekonomi masyarakat dalam jangka dan KKI Warsi direkomendasikan perlunya penataan panjang haruslah kembali pada sektor pertanian dan ulang pemanfaatan ruang secara berimbang antara perkebunan, disesuaikan dengan potensi, fungsi ekonomi dengan fungsi ekologis/konservasi. permasalahan, dan kebutuhan masing-masing desa. Contohnya, kawasan hulu sungai hendaknya Seterusnya perencanaan dan implementasi program dipertahankan sebagai kawasan konservasi untuk pembangunan ke desa-desa harus melibatkan peran menjaga keseimbangan ekologi demi pembangunan itu masyarakat dengan memperhatikan upaya peningkatan sendiri. Dikarenakan potensi ekonomi terbesar kapasitas dan penguatan lembaga sebagai dasar lebih masyarakat adalah pertanian dan perkebunan, maka terjaminnya keberhasilan dan kesinambungan program. kebijakan makro daerah sebaiknya diarahkan ke sektor Masyarakat haruslah diberikan ruang untuk terlibat ini. Misalnya dengan menyediakan sarana dan prasarana dan berkontribusi dalam kegiatan pembangunan, serta meningkatkan kapasitas untuk mendukung dua termasuk dalam pembuatan kebijakan, sehingga civil kegiatan masyarakat tersebut. society yang diharapkan bisa cepat terwujud.(Budi Retno Minulya, Koordinator Unit Fasilitasi Desa/ DR. Selanjutnya direkomendasikan agar lahan-lahan yang Johannes, MSi, Dosen Fakultas Ekonomi Unja)
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
13
Per juangan terhadap Tanah Adat Berbuntut Vonis Penjara
K
embalikan hak ulayat kami ! demikian penggalan teriakan masyarakat Desa Jernih, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, yang ditujukan ke perusahaan perkebunan sawit, PT Jambi Argo Wiyana (PT JAW) dalam 2001 hingga akhir 2003. Sudah berkali-kali masyarakat Jernih berdemonstrasi ke perusahaan tersebut. Namun tanggapan yang didapat hanyalah kesediaan perusahaan berunding lalu melahirkan perjanjian-perjanjian yang dirasakan masyarakat hasilnya tidaklah menguntungkan mereka. Sebenarnya sejak 2001 itu tidak hanya warga Desa Jernih yang berdemonstrasi menuntut hak adat mereka, namun semua desa eks Marga Air Hitam sekitar PT JAW. Selain mendatangi perusahaan langsung, mereka juga berjubel di kantor bupati dan DPRD Sarolangun agar tanah ulayat Marga Air Hitam yang dimanfaatkan PT JAW diserahkan ke mereka. Masyarakat eks Marga Air Hitam merasa tidak pernah memberikan haknya itu ke PT JAW, tapi pemerintahan Orde Barulah yang memberikan izin pemanfaatannya tanpa berdiskusi dengan masyarakat. Karena lahan yang dituntut telah ditanami sawit seluas 6.000 hektar, masyarakat pun hanya menuntut sebagian lahan dijadikan kebun plasma atau memakai pola bagi hasil. Namun tuntutan itu tak pernah dipenuhi hingga Juni 2003 masyarakat desa eks Marga Air Hitam pun, terutama masyarakat Desa Jernih mulai bosan dan puncaknya mereka menduduki lahan sawit PT JAW dari kawasan desa mereka selama dua minggu. Selama itu pula, masyarakat menahan letih badan, sementara bekal pangan pun tak cukup untuk bertahan lebih lama lagi, maka emosi masyarakat pun mudah tersulut. Apalagi ketika asisten lapangan PT JAW meminta demontrasi diakhiri, emosi masyarakat tak terbendung. Timbullah keributan dan sang asisten lapangan dipukuli dengan tangan kosong oleh beberapa masyarakat. Dia sempat menyelamatkan diri dengan lari ke kantor devisi perkebunan. Tindakan masyarakat itu baru mendapat perhatian satuan kepolisian resort Sarolangun beberapa hari kemudian dan masyarakat yang diperkirakan melakukan pemukulan (ada 24 orang), ditangkap. Mereka mendapat perlakukan yang kasar dari aparat, ditendang dengan sepatu lars. Mereka dituntut atas pasal penganiayaan yang mengancam keselamatan orang lain. Namun tuntutan penganiayaan itu
disebut sebagai tindakan yang dilakukan dengan senjata tajam. Meskipun memang masyarakat yang berdemo membawa senjata tajam berupa parang, namun senjata itu digunakan untuk mendirikan pondok dan mengambil kayu bakar selama mereka menduduki lahan PT JAW. Dan senjata-senjata tajam itu juga memang biasa dibawa masyarakat (petani) ke kebun, ke sungai saat menangkap ikan, atau ke hutan untuk berburu. Selain tuntutan di atas, masyarakat juga dituntut karena mengeluarkan pendapat dimuka umum tanpa minta izin (ke aparat hukum). Masyarakat yang ditetapkan sebagai terdakwa (dari 24 orang menjadi sembilan orang) akhirnya hanya pasrah mengikuti proses peradilan, sedangkan keluarga mereka dengan penuh harap dan tidak henti berupaya agar keluarganya dibebaskan. Mereka bahkan menjual harta-bendanya untuk menebus keluarganya yang ditahan di kantor polisi Sarolangun. Ada yang menjual kebun karet, sawah, dan ternak. Hasil dari upaya itu hanyalah keringanan bisa menikmati udara luar selama dua minggu alias penahanannya ditangguhkan selama 14 hari, kemudian ditahan kembali oleh kejaksaan setempat dengan alasan BAP-nya sudah selesai, telah diserahkan kepolisian Sarolangun dan harus diproses. Anggota keluarga mereka kembali dirisaukan adakah dewa penolong muncul menyelamatkan sanak-saudaranya itu dari hukuman penjara. Pihak-pihak yang bermaksud curang, melihat kesempatan itu tak melewatkannya begitu saja. Mereka menambah kerisauan keluarga pendemo dengan menakutnakuti kalau kasus tersebut termasuk berat dan dapat dikenai hukuman empat tahun penjara. Supaya kegundahan masyarakat yang anggota keluarganya ditahan polisi tak berlanjut dan mereka tidak terjerumus menjual harta benda mereka yang tersisa, KKI Warsi (yang selama ini berkegiatan di desa-desa penyangga TNBD, termasuk Desa Jernih) berinisiatif menjalin kerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) asal Padang (Sumatera Barat) untuk mendampingi masyarakat yang berada di desa maupun sembilan orang masyarakat Jernih yang mengikuti proses hukum di Pengadilan Negeri Bangko. Waktu yang terhabiskan untuk proses hukum tersebut mencapai empat bulan (Juni-Oktober 2003). Dan per juangan masyarakat Desa Jernih pun untuk merebutkan tanah adat mereka dari PT JAW harus berakhir dengan jatuhnya vonis hakim Pengadilan Negeri lima bulan penjara untuk masingmasing dari sembilan tersangka warga Jernih tersebut di penghujung Oktober 2003. (Erinaldi, staf fasilitasi
desa)
LAPORAN UTAMA 14
Melirik Dinamika Pertanian Ladang di Kawasan Penyangga TNBD
S
alah satu permasalahan terpelik dalam perspektif pembangunan konservasi di Indonesia yaitu menempatkan ekonomi sistem pertanian ladang berdampingan dengan kawasan konservasi, khususnya kawasan taman nasional. Di mana di satu sisi kawasan konservasi dipandang mengancam keleluasaan ekonomi rumah tangga para petani ladang, terutama dalam ekspansi lahan (karena sistem perladangan ini membutuhkan lahan-lahan baru), yang pada gilirannya memarginalkan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Dengan demikian lahir asumsi konservasi akan aman jika ekonomi masyarakat sekitar kawasan konservasi dapat di tingkatkan. Asumsi ini telah melahirkan suatu model pengelolaan yang memadukan konservasi dengan pembangunan masyarakat.
sekitar hutan tidak akan merusak hutan, tidaklah benar. Hasil penelitian yang dilakukan di kawasan konservasi menunjukkan tidak adanya korelasi antara pembangunan (peningkatan ekonomi) dengan keamanan hutan.
Ternyata dalam prakteknya asumsi ini tidak selalu tepat, bahkan untuk kasus di Indonesia resiko kegagalan jauh lebih besar daripada keberhasilan. Anggapan bahwa dengan jaminan ekonomi masyarakat peladang
Sehingga sangat mendesak untuk didiskusikan bagaimana mengakomodasi dinamika sistem pertanian ladang desa-desa yang berinteraksi dengan kawasan konservasi. Tepatnya bagaimana membagi kebutuhan
Menelusuri Kemiskinan Petani Ladang
A
Permasalahan masyarakat peladang di sekitar taman nasional terletak pada sistem pertanian itu sendiri. Misalnya dari penelitian KKI Warsi dan Unja bertemakan Studi Pembangunan dalam Pemanfaatan Ruang dan SDA, 600 batang rata-rata penanaman karet perhektar di empat desa (Desa Hajran, Jelutih, Padangkelapo, dan Sungairuan) di Kabupaten Batanghari, hanya 40 persen perhektar rata-rata yang tumbuh hingga bisa disadap. Ketidakefisienan sistem pertanian ladang, juga terlihat dari segi produktifitas yang sangat rendah perhektar lahan. Rendahnya produktifitas ini sudah dapat dilihat dari awal sistem perladangan berjalan, seperti yang terlihat pada grafik di bawah :
Dengan produktifitas karet antara 34 ton pertahun (bila dihubungkan dengan harga) rata-rata karet dalam setahun Rp 2.000 perkilogram, maka penghasilan petani (setiap rumah tangga) hanya Rp 6-8 juta pertahun atau Rp 500-650 ribu perbulan. Dengan penghasilan yang demikian, wajar para petani karet tidak mampu melepaskan diri dari kemiskinan, bahkan mereka tak ubahnya seperti hamba sahaya bagi pemilik modal/ toke. Imbas keberikutnya dari permasalahan penghasilan tersebut, otomatis petani pun miskin akan lahan milik sendiri. Di Desa Sungairuan dan Hajran mayoritas penduduk hanya memiliki lahan karet kurang dari dua hektar setiap rumah tangga. Sedangkan Desa Jelutih dan Padangkelapo mayoritas rumah tangga punya 2-5 hektar lahan karet. Artinya kebanyakan rumah tangga peladang hanya memiliki 0-5 hektar lahan. Jika kita lihat lagi pada jumlah pembukaan peladang selama 10 tahun terakhir ini, kebanyakan rumah tangga peladang membuka 2-3 hektar untuk sekali bukaan. Ini menunjukkan
AULIA ERLANGGA / DOK. KKI WARSI
sumsi kehadiran taman nasional sebagai penyebab masyarakat yang mayoritas petani ladang yang sudah miskin, akan semakin miskin, ternyata tidak hanya ada di kepala petani ladang tapi juga di pemikiran lapisan pembuat kebijakan. Sehingga sangat penting untuk melihat permasalahan kemiskinan ini secara lebih ril, sekaligus menemukan solusi yang relevan.
Di sisi lain masyarakat di sekitar kawasan konservasi memiliki dinamika tersendiri. Para petani ladang ini tidak bisa lagi dipandang sebagai petani lokal tradisional yang memiliki keterbatasan akses, modal, teknologi, dan organisasi. Ciri-ciri budaya lokal lewat pertanian ladang (yang merupakan konsekuensi adaptasi terhadap hutan tropis) seakan-akan mengidentikan para petani ini hidup hormonis dengan alamnya.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
15 ruang untuk konservasi dengan kebutuhan ruang bagi pertanian ladang. Perspektif Tradisional Pertanian Ladang
AULIA ERLANGGA / DOK. KKI WARSI
Pulau Sumatera bagian timur merupakan landscape dataran rendah yang maha luas. Awalnya hampir semua kawasan ini tertutup hutan, sering disebut hutan tropis dataran rendah yang memiliki ekosistem terkaya di muka bumi. Manusia sebagai bagian dari ekosistem dataran rendah ini sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu telah mengembangkan cara hidup di dalam hutan tropis melalui praktek pengumpulan hasil hutan, berburu, dan berladang. Praktek dan cara-cara hidup paling tradisional ini masih di temukan hingga sekarang, seperti kelompok Orang Rimba di Jambi, Orang Batin di Sumatra Selatan, Orang Talang Mamak di perbatasan Jambi-Riau, serta Orang Sakai di perbatasan Riau-Sumatra Utara. Masyarakat sekitar hutan secara tradisional lebih memberikan apresiasi terhadap kawasan hutan sebagai ruang sumber daya daripada sebidang tanah. Hal ini tercermin dari pengorganisasian sosial atau korporasi tradisional masyarakat di masa lalu dalam mengelola sumber daya. Misalnya apa yang disebut tanah marga di Jambi, menunjukkan suatu pengorganisasian korporasi marga
kalau telah terjadi penjualan lahan karet dari petani ladang ke pemilik modal terutama ke para toke desa, yang pada gilirannya akan menyebabkan ketimpangan kepemilikan lahan karet. Sistem penjualan karet ini, terutama di desa-desa yang jauh dari jangkauan, sarat dengan sistem monopoli atau oligopoly, hingga memarginalkan petani ladang dari segi harga dan kepemilikan lahan. Sebesar 60-70 persen rumah tangga petani karet (yang terisolir) terikat dengan toke dalam hal penjualan karetnya. Dengan keterikatan ini petani karet menjadi tidak berdaya. Toke merupakan sosok yang memang sangat dibutuhkan karena kemurahannya memberikan kredit dan berbagai kebutuhan hidup petani. Tetapi bukan tanpa jaminan, karena saat hutang sudah besar dan petani tidak mampu membayar, maka kebun karet menjadi taruhan. Petani ladang tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan kebun karetnya karena memang sudah lemah dari semua aspek. Peladang lebih tertarik membuka lahan-lahan baru bila tanah tersedia sambil melepas kebun lama.
Kebijakan Pembangunan tidak Berpihak Apa yang kemudian paling penting untuk disampaikan? Yaitu kebijakan pembangunan yang belum pernah berpihak ke petani ladang. Ironis, ketika sumber daya hutan dan ruang lahan yang sangat berlimpah dikuras pemerintah, masyarakat sekitar hutan tetap miskin. Ironisnya lagi dibuat program transmigrasi massal yang berlokasi berdampingan dengan masyarakat sekitar
hutan, di mana dalam jangka waktu 20 tahun para pendatang itu kemudian lebih sejahtera. Kenyataan ini merupakan kegagalan terbesar dari pembangunan dalam mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Kepemilikan rumah juga bisa menjadi gambaran akan kemiskinan masyarakat empat desa di pinggiran TNBD tersebut. Desa yang warganya paling banyak tidak punya rumah alias menumpang yaitu Desa Sungairuan, tepatnya sebanyak 50 persen. Berikutnya di Padangkelapo hanya 75 persen warga yang punya rumah, Jelutih 27 persen warganya menumpang, dan Hajran 5 persen warganya menumpang. Intinya dari seminar itu adalah selama ini kebijakan pembangunan tidak dapat melepaskan para petani ladang dari kemiskinan. Tanpa dukungan langsung pada sistem pertanian ladang, para petani tidak mungkin dapat bangkit dari kemiskinannya. Bukan sebaliknya, kehadiran taman nasional yang telah menyebabkan masyarakat tidak sejahtera. Penataan ruang sekitar taman, efisensi pemanfaatan ruang, dan intensifikasi petani ladang, menjadi sebuah keharusan untuk diperhatikan. Hutan taman nasional harus dilihat sebagai suatu paket pembangunan bersama masyarakat petani dan masyarakat luas umumnya.(Robert A)
LAPORAN UTAMA 16
Hingga menurut kondisi ini manusia dengan alam memang terlihat menjadi bagian dari ekosistem yang harmonis. Walaupun manusia melakukan tindakan seperti penebangan dan pembakaran untuk perladangan, tapi hampir tidak mengakibatkan kerusakan hutan. Hutan bisa segera pulih melalui regenerasi alami sebagaimana daur perladangan itu sendiri. Sebenarnya apa yang disebut-sebut kearifan lokal atau etika konservasi petani ladang yang tidak merusak hutan dikarenakan tidak adanya akses, tekanan populasi, dukungan teknologi, atau meningkatnya kebutuhan dari luar. Namun itu adanya di masa lalu, masyarakat sekitar hutan belum terbuka aksesnya ke dunia luar. Hutan belum dieksploitasi oleh HPH. Perkebunan skala besar dan transmigrasi belum masuk ‘menguasai’ lahan atau ruang di sekitar masyarakat peladang. Dari survei KKI Warsi bekerja sama dengan LP-Unja (Oktober 2003) terhadap dinamika ekonomi rumah tangga para petani ladang yang dilakukan di Desa Padangkelapo, Sungairuan, Jelutih, dan Hajran di Kabupaten Batanghari, interaksinya paling tinggi terhadap kawasan konservasi, Taman Nasional Bukit Duableas (TNBD) Jambi. Informasi dikumpulkan dengan menetapkan sampel 10 persen dari rumah tangga di empat desa tersebut secara acak. Adapun jumlah rumah tangga di Desa Padangkelapo 280 KK, Sungairuan 440 KK, Jelutih 610 KK, dan Hajran 170 KK. Dinamika Pertanian Ladang Semua jenis tanaman yang dibudidayakan para petani ladang merupakan tanaman pilihan dari tanaman liar yang awalnya tumbuh alami di hutan tropis. Dari berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan ini, barangkali tidak ada yang lebih ajaib dari karet (havea braziliensis). Walaupun tanaman ini mulanya ditemukan di hutan tropis Brazil, tetapi dengan sangat cepat menyebar ke para petani ladang hingga ke peladang di hutan tropis Sumatra. Di Provinsi Jambi komoditas ini telah bertahan hampir satu abad dan hingga kini masih mendominasi pertanian masyarakat lokal, ini dikarenakan keunggulan ekologis tanaman ini yang tidak membebani sistem pertanian ladang. (bersambung ke hal.18)
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
tertentu dalam mengelola kawasan hutan serta hakhak atas sumber daya di dalamnya. Setiap anggota memiliki hak yang sama dalam melakukan subsistensi dalam kawasan marganya seperti berburu, memungut hasil-hasil hutan, dan berladang. Seseorang tidak berhak memiliki tanah secara individual.
Budaya Talang Gerogoti TNBD Ndak kemano Bu, Pak (hendak kemana Bu,Pak)? Ndak ke talang Nak (hendak ke ladang). Ngapo ke talang (mengapa ke ladang)? Biaso, motong para(biasa, memotong karet). Bilo balik (kapan pulang)? Sebulan lagi (sebulan lagi).
P
ercakapan ini sering terdengar di antara warga desa, terutama petani karet di Desa Jelutih, di selatan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi. Bahkan kalau ada salah seorang warga ditanya di mana kerabatnya dan dia tidak tahu, jawaban terakhirnya pastilah pergi ke talang. Talang adalah kebun karet. Budaya bertalang (beraktifitas di talang) telah menjadi agenda turun-temurun warga Jelutih. Warga yang tidak mengenal/tidak bertalang dianggap bukan warga Jelutih atau bukan keturunan orang Jelutih. Talang dijadikan tempat bekerja sekaligus tempat tinggal atau menginap dalam waktu tertentu. Selain mengelola karet, warga bertalang juga menanam padi, cabe, sayuran, palawija, bahkan beternak ayam. Hasilnya selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga untuk dijual. Karena kegiatan warganya didominasi bertalang, maka tak heran di siang hari hampir tidak ditemukan warga Jelutih berada di desa kecuali anak sekolah, pegawai negeri, ibu-ibu yang mempunyai anak kecil, dan para orang tua yang tidak mampu bekerja. Saat penulis melakukan survei di desa ini, diketahui umumnya mereka lebih senang menghabiskan waktu di talang daripada tinggal di dusunnya. Tinggal di dusun mereka anggap sebagai pekerjaan yang sia-sia dan tidak bermanfaat karena menganggur dan tidak menghasilkan uang, hanya akan menguras isi tabungan. Bertalang memberikan ketenangan tersendiri bagi mereka, di mana motivasi kerja pun tinggi membayangkan uang yang akan mereka bawa dari hasil bertalang.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
17 Penyadap karet ini selain tinggal di talang, juga ada yang tetap tinggal di dusun. Pendapatan penyadap karet yang tingal di talang sangat berbeda dengan penyadap yang tinggal di dusun. Begitu juga dengan penghasilan dari tanaman yang lainnya. Penyadap yang tinggal di talang akan memperoleh pemasukan yang lebih bervariasi ketimbang penyadap yang tinggal di dusun yang otomatis hanya menerima hasil dari karetnya saja. Hal yang menjadi pemicu hingga menarik warga untuk bertalang adalah peluang ekstensifikasi pertanian atau kemungkinan perluasan kebun karet yang bisa mereka lakukan sewaktu-waktu. Pembukaan lahan baru merupakan hal yang biasa dan menjadi penting dalam aktivitas bertalang ini. Tak heran pula bertalang kemudian menjadi budaya warga Desa Jelutih yang menggerogoti TNBD Jambi. Pola bertalang ini intensif dijalani warga bila dia telah berumah tangga atau menikah. Rasa tanggung jawab dan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga merupakan alasan utamanya. Walaupun sebenarnya didikan bertalang sudah mereka terima sejak kecil dari orang tuanya. Bertalang umumnya memakan waktu 15 hari sampai satu bulan setelah usia perkawinan. Keluarga baru akan menjadi buah bibir masyarakat jika lebih dari satu bulan masih menumpang di rumah orang tua/mertua mereka. Waktu 15 hari digunakan mempersiapkan segala sesuatunya untuk bertalang. Mencari majikan/toke untuk menggantungkan hidup adalah pekerjaan pertama yang dilakukan. Setelah induk semang didapat (berikut kebunnya untuk disadap), barulah bertalang dilakukan bersama istri. Bulan madu pun dianggap sangat indah dilalui di kebun karet dalam masa bertalang.
AULIA ERLANGGA / DOK. KKI WARSI
Semua perbekalan dan modal awal bertalang ditanggung pemilik kebun (toke). Rumah yang didirikan di talang berbentuk panggung yang modalnya juga dari toke. Menyadap dilakukan dari pagi hingga sore. Selama penyadapan di kebun, pondok itu sepenuhnya milik penyadap yang suatu saat harus dikembalikan lagi pada si pemilik kebun. Kebun karet milik toke ini disadap dengan sistem bagi hasil. Lahan yang dibuka dan dimanfaatkan untuk bertalang umumnya areal hutan yang tentunya tidak berpemilik, berupa belukar, sesap milik orang tua, ataupun didapatkan dengan cara membeli.
Hasil sadapan untuk tiga bulan pertama sepenuhnya menjadi hak penyadap dan tidak dibagi ke pemilik kebun atau yang lebih dikenal dengan hasil pangkal. Setelah tiga bulan baru hasilnya dibagi sesuai aturan yang disepakati. Biasanya dibagi empat (tiga bagian untuk penyadap dan satu bagian untuk pemilik). Tiga bulan pertama hasil karet sangat mengembirakan penyadap, bisa dibilang waktu tersebut merupakan waktu untuk mengembalikan modal, sehingga kalau betul-betul penyadap bekerja dengan tekun dan rajin maka hasilnya akan memuaskan serta dapat dipakai lagi untuk modal membuka lahan baru. Pemikiran membuka lahan baru ini telah muncul dalam satu tahun usia perkawinan warga yang bertalang dengan modal yang terkumpul dalam masa itu. Dari kalkulasi yang penulis lakukan diketahui kalau kemampuan seseorang membuka lahan baru selama satu tahun perkawinannya seluas 2,25 hektar. Lamanya seseorang tinggal di talang 7-8 tahun, disesuaikan dengan perkembangan jumlah anggota keluarga. Sehingga jika dikalikan dengan perluasan lahan selama satu tahun, maka total kebun yang mereka peroleh dalam tujuh tahun perkawinannya 15,75 hektar. Jumlah ini cukup menjamin ekonomi warga ke depan bahkan selamanya dengan asumsi lahan dan kebun karet yang dibuka tersebut tidak dijual untuk keperluan lain. Dalam usia perkawinan yang tujuh tahun itu pula tentunya pasangan suami-istri telah dikaruniai 2-3 orang anak yang harus bersekolah. Sehingga mereka pun sudah berpikir untuk menetap di dusun. Otomatis pembukaan lahan baru pun akan terhenti dengan sendirinya. Sekilas budaya bertalang memberikan dampak positif pada ekonomi masyarakat, namun aktifitas itu berefek negatif terhadap hutan. Konversi lahan yang tidak terhindarkan telah mengakibatkan hutan beralih fungsi menjadi lahan pertanian. Dengan kata lain budaya bertalang merupakan ancaman bagi kelestarian hutan. Apalagi dengan semakin terbatasnya ketersediaan lahan dan bertambahnya jumlah keluarga baru. Setiap tahun jumlah pasangan yang menikah di Desa Jelutih mencapai 20 pasangan. Diperkirakan pula terjadi perubahan kawasan hutan menjadi lahan pertanian lebih dari 45 hektar setiap tahunnya. Itu belum ditambah dengan jumlah yang menikah tahun sebelum-sebelumnya yang masih terus membuka lahan baru hingga 7-8 tahun ke depan.(Ade
Candra, Staf Unit Fasilitasi Desa).
Ladang Orang Rimba (foto kiri atas) dan ladang orang dusun (foto kanan bawah)
LAPORAN UTAMA 18 Dari penelitian KKI Warsi dan LP-Unja di atas menunjukkan hingga kini sumber penghasilan utama masyarakat lokal masih didominasi karet. Sebanyak 75 persen rumah tangga di tiap desa ini punya kebun karet walaupun dengan variasi luasan yang berbedabeda. Ini menunjukkan kalau hampir semua ruang di keempat desa tersebut dipenuhi tanaman karet. Desa Jelutih dan Padangkelapo memberikan kontribusi ekonomi karet yang lebih tinggi dalam rumah tangga peladang, daripada peladang Desa Hajran dan Sungairuan, tepatnya kontribusi masing-masing 90 persen dan 75 persen. Keadaan ini berkorelasi dengan kecukupan lahan di desa yang bersangkutan. Sementara Desa Hajran dan Sungairuan karena marginal dalam kepemilikan lahan, maka keterlibatan masyarakatnya dalam perbalokan lebih tinggi. Kegiatan ini menjadi ancaman yang sangat serius bagi konservasi di TNBD. Rata-rata umur karet yang tengah disadap di empat desa itu mencapai 25 tahun. Walaupun produktifitas karet tua cenderung menurun, tetapi masih bisa menghasilkan getah. Karena itu tetap dipertahankan sebagai sumber penghasilan untuk kebutuhan minimum petani. Seperti di Desa Sungaruan, pengembangan karet muda sangat minim, luasan lahan langka akibat pembukaan kebun sawit. Umumnya pembukaan lahan di desa ini kurang dari dua hektar, bahkan untuk dua tahun terakhir tidak ada lagi penduduk yang membuka lahan. Sedikit berbeda dengan Desa Jelutih dan Padangkelapo, kebun karet ‘diistirahatkan’ pada umur 18 dan 21 tahun, karena adanya ketersediaan pilihan karet yang lebih produktif dengan usia yang lebih muda. Sedangkan Hajran memiliki kebun karet yang masih relatif muda dan dalam tahap usia produktif. Jika dilihat dalam rentang waktu yang lebih lama, ketiga desa (selain Hajran) rata-rata luas pembukaan lahan selama 10 tahun terakhir ini antara 2-3 hektar persetiap pembukaan. Ini kian menguatkan kenyataan kalau sistem pertanian ladang tradisional dengan tanam karet memang sangat haus lahan. Tapi bila dilihat dari segi kesejahteraan para peladang, kebanyakan sangat memprihatinkan. Hal ini terjadi, karena cara yang digunakan petani ladang untuk mempertahankan tingkat kestabilan ekonominya hanya dengan terus membuka lahan-lahan baru, agar kombinasi kebutuhan jangka pendek dari tanaman muda dan jangka panjang seperti karet atau tanaman buah-buahan, dapat terpenuhi.
Berbeda dengan Orang Rimba sebagai tetangga peladang dalam hal luasan lahan (tapi tanpa tanaman karet) ini. Rata-rata luas lahan Orang Rimba kurang dari satu hektar setiap kali pembukaan lahan. Begitu juga rumah tangga transmigran (yang masih dalam kawasan TNBD), malah hanya memiliki lahan standar tiga hektar. Dengan lahan seluas itu yang dijadikan perkebunan sawit, telah mampu memenuhi ekonomi rumah tangga transmigran yang rata-rata memiliki penghasilan lebih tinggi dari peladang karet. Selain karet, perubahan penting yang sangat merangsang dinamika para petani ladang yaitu kehadiran jaringan jalan darat untuk menggantikan akses sungai. Kehadiran jalan ini sehubungan dengan masuknya HPH mengeksploitasi hutan hingga ke pedalaman melintasi batas-batas tradisional penduduk lokal. Jaringan jalan sangat berperan meningkatkan nilai karet dan ekspansi lahan pertanian. Mengingat jarak yang ditempuh (agar karet sampai ke pasaran) bisa mencapai 20 kilometer bahkan 40 kilometer dari desa. Itu pun berkemungkinan hanya bisa ditempuh peladang yang memiliki modal atau diberi modal. Sebagian bekas jalan logging telah dikembangkan pemerintah menjadi jalan permanen, sehingga kian memperlancar akses antar desa dan kota-kota terdekat. Tapi keterbukaan akses ini menjadi awal dinamika untuk menunjang perkembangan selanjutnya di semua aspek kehidupan masyarakat desa, yang dimulai dari perubahan pola konsumsi. Di satu sisi, dengan keterbukaan akses hampir semua komoditas lokal menjadi terapresiasi. Sebaliknya standar nilai-nilai lokal perlahan-lahan memudar dan berubah menjadi standar global, terutama melalui alat penukaran uang. Satupersatu produk subsistensi lokal yang tadinya untuk konsumsi sendiri, perlahan-lahan berubah menjadi berorientasi pasar. Misalnya surplus hasil kebun, hasil ladang, atau buruan, tidak lagi didistribusikan ke sanak atau rumah tangga lain sebagai moral tradisional petani. Sebab pasar telah siap mengganti sistem itu dan semua nilai komoditas petani ditentukan oleh kekuatan pasar.(Robert A)
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
19
Toke, Dewa Penolong Masyarakat Padangkelapo
T
Jumlah penduduk Padangkelapo dari data pemerintah tahun 2002, ada 365 KK. Sedangkan berdasarkan survei KKI Warsi hingga April 2003 terdata 286 KK dengan 1.407 jiwa. Hal ini disebabkan tingkat migrasi masyarakat keluar desa sangat tinggi, tepatnya 79 KK atau 21,6% sepanjang 2002-2003. Tingkat pendidikan dan kesadaran akan bersekolah sangat rendah di Desa Padangkelapo, ini tampak dari jumlah penduduk tersebut hanya tiga orang yang tamat perguruan tinggi/akademi, 21 tamatan SMU, 166 lulus SD-SMP, dan sisanya 96 orang tidak tamat SD sama sekali. Para orang tua di desa ini cenderung memberikan pilihan pada anak-anak mereka, apakah ingin bersekolah atau ikut mereka ke ladang. Seringnya pilihan utama adalah ikut ke ladang, membantu orang tua saja. Sehingga tak terelakan interaksi warga Desa Padangkelapo terhadap TNBD pun tinggi. Umumnya mereka hidup dari memotong para (karet) dan berbalok. Kesibukan pada dua pekerjaan tersebut menjadi awal masyarakat Padangkelapo tidak mampu memenuhi kebutuhan subsistensinya dari hasil pertanian. Jenis sawah yang dikelola masyarakat Padangkelapo adalah sawah tadah hujan dan sebagian kecil memiliki sawah lahan kering di lahan perkebunan. Areal persawahan tadah hujan 50 hektar. Namun karena kepemilikan lahan yang timpang menyebabkan ada penduduk yang hanya punya 0,5 hektar lahan sawah. Dalam cuaca yang normal, setiap hektar menghasilkan gabah kering dengan varietas padi lokal 133,3 gantang. Hasil panen padi ini tidak dijual melainkan disimpan untuk cadangan kebutuhan pangan. Mengingat musim tanam hanya setahun sekali yaitu saat musim hujan tiba. Pergeseran iklim di Desa Padangkelapo yang kadang kemarau (Mei-Agustus) kadang hujan (awal September-April), menyulitkan masyarakat memulai bersawah dengan sistem tadah hujan dan memulai penyadapan karet. Pertanian dianggap tidak menjamin perekonomian, sehingga pendapatan keluarga bergantung pada penjualan hasil karet yang mampu disadap setiap minggunya.
AULIA ERLANGGA / DOK. KKI WARSI
oke sering sekali berimage negatif di masyarakat luas, namun tak menutup kemungkinan juga ada sebaliknya. Bagaimana dengan masyarakat Desa Padangkelapo, yang terletak di utara Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi? Adakah toke sangat merugikan bagi mereka atau sebaliknya? Karena pada kenyataannya masyarakat Padangkelapo sangat bergantung pada peran toke dan kadang sang toke juga melimpahkan banyak kebaikan pada mereka. Sehingga disegani bahkan dipandang dewa penolong oleh masyarakat desa yang berada pada posisi 12 km dari Kecamatan Maroseboulu, 65 km ke pusat Kabupaten Batanghari, dan 129 km ke Provinsi Jambi ini.
Menghilirkan karet melalui sungai
Pemilik lahan karet terluas tentulah toke, masyarakat Padangkelapo lebih banyak menjadi penyadap karet atau buruh para toke. Para toke getah/karet di Padangkelapo sangat berperan bahkan berkuasa dalam sistem perekonomian desa. Bahkan toke getah yang memiliki modal (uang) besar juga merangkap jadi toke kayu karena yakin akan mendapat pemasukan lebih besar dari balok. Warung-warung yang ada di sana pun milik toke-toke Padangkelapo. Keberadaan mereka juga memberikan pinjaman ke masyarakat yang tidak mampu. Keseluruhan toke ini memiliki hubungan kekeluargaan. Berbelanja ke warung bisa menjadi awal jerat utang yang berimplikasi seorang toke mulai menguasai masyarakat. Rutinitas pemenuhan kebutuhan belanja, tentunya tak bisa ditunda, dan penyedia kebutuhan hanyalah toke dan kerabat-kerabatnya. Seminggu sekali masyarakat berutang belanja dengan konsekuensi
A
20
harus menyetorkan getahnya ke toke. Ketidakseimbangan antara belanja rutin yang menjadi utang masyarakat dengan setoran getah tiap minggu, menjadi alat bagi seorang toke untuk terus menekan harga dan menentukan sebebas-bebasnya kadar air getah karet. Getah karet ditentukan oleh cuaca, artinya dalam kondisi kemarau panjanglah penduduk bisa dengan leluasa memotong karet setiap minggunya, dengan demikian belanja yang diambil tiap minggu juga bisa ditutupi sedikit. Tetapi jika hari hujan, pengeluaran tidak akan seimbang dengan setoran getah karet pada toke. Utang semakin membesar. Ada seorang toke besar di Padangkelapo ini yang memulai usahanya sejak tahun 1960 hingga sekarang. Berdasarkan keterangan yang berhasil penulis rangkum, sejak sang toke besar berkuasa, setiap rumah tangga memiliki utang antara Rp. 2.000.000 sampai Rp. 5.000.000 padanya. Setelah dipotong hutang (dalam bentuk pengambilan belanja) di warung toke, masyarakat terutama penyadap akan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jalan yang ditempuh penyadap adalah dengan menjual sebagian hasil getah pada toke lain yang lebih kecil (diistilahkan masyarakat dengan anak ular). Menurut mereka hanya dengan jalan seperti itu kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi. Dalam per-toke-an ini, anak ular atau toke kecil yang biasanya juga merupakan anak buah atau perpanjangan tangan toke besar, menghalangi toke luar masuk Padangkepalo untuk membeli karet masyarakat. Kalau pun bisa masuk, sang toke luar hanya bisa masuk sekali saja. Karena anak ular memiliki bermacam cara untuk mengusir toke luar dari Padangkelapo. Setelah ada pengusiran toke luar, masyarakat Desa Padangkelapo ditarik untuk mulai membuka lahan lebih banyak dengan dimodali, kemudian kebun yang sudah jadi akan dibagi dua dengan toke. Hanya sebagian kecil masyarakat yang benar-benar memiliki lahan pertanian dan perkebunan. Namun ada juga yang jika kesulitan uang, lahannya dijual ke toke. Seperti karet unggul yang pada awalnya seluas 60 hektar atas bantuan Dinas Pertanian dalam proyek TCSDP (Tre Crop Suitanable Development Project/Proyek Pengembangan Tanaman Berkelanjutan) dimulai 1988, sekarang dikuasai toke desa karena masyarakat yang memilikinya tidak mampu membayar angsuran kredit. Sejak 1930 hingga 2003 ini luasan kebun satu toke saja telah mencapai 1.000 hektar alias bisa sampai di km 12 dari pusat desa, baik lahan karet yang sudah bisa disadap maupun yang belum. Lahan sesap/belukar milik toke di desa ini juga sangat luas. Kerja sama toke dengan mereka memakai sistem bagi hasil, pembagiannya dibedakan antara jenis karet alam dengan karet unggul.
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
Kalau karet alam pembagian hasil seperempat untuk penyadap sedangkan karet unggul pembagiannya setengah. Seorang toke di desa juga berfungsi sebagai penentu harga dengan mematok harga getah karet unggul Rp. 1.800 per-kilogram. Sementara menurut penyadap hasil produksi karet unggul juga tidak berbeda dengan hasil karet alam yaitu 500 batang karet unggul menghasilkan 30 kilogram perminggu. Setiap warga mampu menyadap 500-700 batang karet perhari (masyarakat mengistilahkannya dengan satu orang potong) dengan hasil rata-rata 10-15 kilogram perhari. Karet dijual pada pedagang pengumpul di desa dengan harga Rp 1.500 sampai Rp 1.700 perkilogram. Pengeluaran lain adalah biaya tarik getah dari ladang (talang) ke desa. Biasanya untuk menarik getah ke desa masyarakat mengupahkan ke buruh tarik dengan ketentuan harga berdasarkan jarak lokasi kebun karet ke desa. Harga upah tarik Rp. 5.000 perkilometer. Bisa dibayangkan, apabila lokasi kebun karet masyarakat berada di km 12, maka upah tarik yang harus dikeluarkan Rp. 60.000 per-pikul (1 pikul = 100kg.). Rata-rata pendapatan penduduk desa tertinggi yang diperoleh pemilik karet dan menyadap sendiri karetnya adalah antara Rp 120.000 sampai Rp 153.000 perminggu. Sementara bagi penyadap yang bekerja pada kebun karet orang lain mendapat penghasilan antara Rp 82.000 sampai Rp 110.500 perminggu. Sementara berdasarkan hasil quisioner dari studi pembangunan KKI Warsi dengan Unja diketahui kalau rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan pangan penduduk Desa Padangkelapo Rp 133.250 sampai Rp 200.000 perminggu. Melalui penguasaan lahan, modal, dan sumber-sumber produksi lainnya ini, monopoli getah, hak menentukan harga getah, kadar air getah, serta penguasaan sarana transportasi angkutan getah, bisa berlangsung dan dipegang terus oleh toke besar. Toke kemudian menjadi sosok yang sangat dibutuhkan. Apalagi jika ada sikap dermawan toke ke masyarakat, misalnya ada seorang toke yang mendirikan mesjid megah (untuk ukuran desa) di Padangkelapo hingga dia pun disegani. Di lembaga pemerintahan desa, seorang toke juga diangkat menjadi bendahara Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Padangkelapo. Kewenangan lembaga ini sangat mendominasii kelembagaan lainnya di desa, termasuk melebihi kewenangan kepala desa. Kehidupan pertokean di atas sebenarnya tidak hanya terjadi di Desa Padangkelapo saja, melainkan hampir di seluruh desa di Jambi. Perlu dipikirkan jalan keluar memutuskan mata rantai pertokean. Sistem perekonomian yang didominasi oleh toke ini sangat menghambat peningkatan ekonomi masyarakat desa secara mandiri .(Zainuddin, Staf Unit Fasilitasi Desa)
AULIA ERLANGGA / DOK. KKI WARSI
21
LAPORAN UTAMA
Kebijakan Pembangunan Desa belum Sentuh Persoalan Masyarakat
U
paya penyelamatan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi tidak bisa dilepaskan dari perhatian akan bentuk-bentuk program pembangunan untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa penyangga taman (berjumlah 25 desa terletak di Kabupaten Batanghari, Sarolangun, Tebo, dan Merangin). Kajian dan identifikasi potensi desa pun perlu dilakukan guna mengetahui peluang-peluang yang memungkinkan untuk dikembangkan sehingga ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan berkurang. Kajian tersebut terkait pada penilaian terhadap berbagai hal yang turut mempengaruhi efektifitas program pembangunan di desa, antara lain kelembagaan lokal/ desa, analisa sosial politik desa yang meliputi berbagai potensi konflik, struktur sosial ekonomi, dan lainnya. Salah satu kegiatan kajian di desa penyangga TNBD terkemas dalam penelitian bertema Studi Kebijakan Pemanfaatan Ruang dan Sumber Daya Alam (SDA), yang dilakukan Unja dan KKI Warsi. Empat desa yang diteliti (Desa Jelutih, Hajran, Padangkelapo, dan Sungairuan di Kabupaten Batanghari) bisa mewakili kondisi desa-desa penyangga lainnya.
Desa-desa ini secara geografis berada di pinggir Sungai Batanghari dan Sungai Tembesi. Keberadaan sungaisungai ini tidak saja digunakan untuk mandi, minum, mencuci, dan sebagainya. Tetapi juga untuk akses transportasi, termasuk membantu mengeluarkan getah karet dan kayu. Secara umum, mata pencarian utama masyarakat memang mengandalkan karet dan kayu. Pencaharian lain masih bersifat perorangan, misalnya berdagang, tukang ojek, dan mencari ikan. Potensi desa seperti sawah bahkan lahan terlantar di empat desa ini, cukup luas. Tapi belum termanfaatkan secara optimal, karena kurang modal, adanya kekhawatiran akan resiko banjir dan hama. Pemanfaatannnya bersifat individu, belum adanya perhatian dari pihak swasta maupun pemerintah, serta faktor-faktor lain. Masalah Pembangunan Desa Program pembangunan untuk desa-desa secara kuantitas banyak, namun apakah program ini bisa meningkatkan ekonomi rumah tangga? Masih belum pasti jawabannya. Umumnya program pembangunan
Trend Pemanfaatan Lahan Desa-desa Selatan TNBD Jambi
B
isa dipastikan kelapa sawit merupakan komoditas unggulan alias primadona di bidang perkebunan. Jenis tanaman ini telah menghasilkan crude palm oil (CPO) sebagai bahan dasar minyak goreng dan bahan campuran beberapa industri lainnya, seperti sabun mandi, mentega, dan bahan cat. Keunggulan itu ditunjukan dengan meningkatnya permintaan minyak goreng, hingga pemerintah Indonesia pun mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mendorong usaha kelapa sawit nasional, misalnya dengan menurunkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan bernomor 107/Kpts-II/1999 dan perubahannya bernomor 645/ Kpts-II/1999. ISTIMEWA
22
Kebijakan ini mendorong ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit yang dianggap lebih mudah dan murah daripada melakukan intensifikasi. Selain itu pemerintah juga beralasan kalau lahan Indonesia masih cukup luas untuk perkebunan. Sehingga pertambahan areal perkebunan kelapa sawit juga terus meningkat setiap tahun. Contohnya terjadi di desa-desa selatan TNBD Jambi. Desadesa ini umumnya berbatasan langsung dengan perkebunan kelapa sawit. Perkebunan ini selain dikelola PT JAW yang masuk wilayah Desa Lubukjering, Jernih, Semurung, dan Dusunbaru (Marga Air Hitam) juga dikelola secara PIR-BUN (Pola Inti Rakyat Perkebunan) oleh PT Sari Aditya Loka (PT SAL) dengan desa transmigrasi seper ti Desa Bukitsuban dan Pematangkabau. Keberhasilan perusahaan perkebunan dan desa transmigrasi mengelola tanaman sawitnya terlihat dari tingkat perekonomian mereka yang semakin baik, ini membuat masyarakat Melayu pun terobsesi untuk ikut berkebun sawit. Sehingga terjadi pula perubahan pola pemanfatan lahan yang dulunya berlomba-lomba menanami karet sekarang menanami sawit. Tidak sedikit lahan produktif ataupun karet tua mereka tebangi. Padahal untuk pengelolaan kebun kelapa sawit membutuhkan modal besar disamping pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Selain itu juga secara aksebilitas harus dekat dengan jalan guna memudahkan pengakutan hasil sawit ke pasaran, sementara lahan yang dekat dengan jalan kadang sudah ada pemiliknya atau ditanamani karet.
Bentuk areal perkebunan kelapa sawit adalah monokultur. Agar dapat berproduksi dengan optimal, tanaman harus dipelihara secara intensif. Pemupukan dan pengendalian gulma serta hama dan penyakit merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam upaya intensifikasi. Sehingga penggunaan bahan kimia berupa pestisida, herbisida, dan insektisida tak terhindarkan. Ketidakseimbangan ekosistem pun terjadi, seper ti hilangnya beberapa spesies tumbuhan. Tahun-tahun sebelumnya trend pemanfaatan lahan masyarakat desa Melayu adalah pertanian ladang berpindah-pindah. Trend ini sangat menggancam bagi keselamatan TNBD Jambi. Sebaliknya dengan trend yang sekarang menanami sawit telah membantu penyelamatan TNBD. Karena dengan berlomba-lomba menanami sawit dan lahan yang dimanfaatkan harus yang mudah ditempuh, maka lahannya akan berada di pinggir atau di sepanjang jalan raya yang berarti tidak di dalam hutan TNBD. Sawit menjadi solusi pemberdayaan ekonomi alternatif masyarakat sekaligus melindungi TNBD. Menariknya lagi, tanaman sawit telah lama dianggap tanaman yang mencemaskan bagi konservasi. Di mana tanaman sawit berakar serabut yang daya serap airnya rendah dibandingkan tumbuhan berakar tunggang (pohon hutan), hingga sawit akan menyebabkan hilangnya daerah yang bisa mencegah banjir. Peralihan pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat di desadesa selatan TNBD ini disebabkan faktor di atas, juga dikarenakan kesediaan KUD PT SAL menyalurkan kredit untuk kebutuhan pupuk dan obat-obatan bagi penduduk. Termasuk dipengaruhi diversifikasi usaha pertanian di mana tanaman karet umumnya sudah mereka miliki sedangkan sawit belum. Pada akhirnya perlu direnungkan apakah perlu selamanya tetap mempertahankan prinsip konservasi yang menentang tanaman sawit? Sedangkan bagi desa-desa di sekitar TNBD yang memilih tanaman sawit sebagai penopang jaminan ekonomi, secara langsung telah menyelamatkan TNBD alias membantu konservasi? Namun poin terpenting adalah menyesuaikan kebutuhan lingkungan dengan mempertimbangkan selera masyarakat.(Ade Candra)
LAPORAN UTAMA
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
DOK. KKI WARSI
23
yang dimaksud (khususnya di empat desa yang disebutkan di atas), diberikan dalam bentuk bantuan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT), program pertanian dengan penanaman karet unggul, serta pembangunan sarana jalan, puskesmas pembantu, dan lainnya. Setiap tahun juga ada anggaran rutin berjudul Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) sebesar Rp10 juta yang pemanfaatannya berdasarkan Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Dan tahun ini di sebagian kecamatan terdapat Program Pengembangan Kecamatan (PPK), namun masih dalam tahap perencanaan kegiatan untuk masingmasing desa. Program-program itu belumlah bisa mengimbangi berbagai kebutuhan masyarakat yang sifatnya dinamis. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain masih kentalnya suasana konflik antar lembaga maupun elit desa, dominasi kepentingan elit desa/kepala desa yang menyebabkan program yang dihasilkan masih mencerminkan kepentingan kelompok/keluarga. Selain itu kemampuan perangkat desa minim dalam merencanakan program, membaca permasalahan, mengetahui desa sampai pada penentuan skala prioritas. Kondisi ini menyebabkan program yang dimunculkan pun lebih bersifat fisik belaka. Contohnya ada program beternak ayam dan keramba di salah satu desa penyangga TNBD yang kurang mengantisipasi pencurian, pengetahuan masyarakat kurang tentang
kegiatan tersebut, ditambah pula adanya resiko banjir dari Sungai Batanghari hingga program tersebut jadi sia-sia. Selanjutnya faktor berikut yang menjadi kendala pelaksanaan program pembangunan desa yaitu keberadaan lembaga desa yang belum berdaya menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kemudian forum-forum perencanaan seperti Musbangdes juga masih bersifat formalitas, karena baru terlaksana jika adanya himbauan dari atasan (pemerintah) dan sifatnya mendadak ketika terdesak oleh jadual perencanaan pembangunan pemerintah yang berada lebih atas lagi (supra desa). Kelembagaan desa seperti Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), lembaga adat, karang taruna, kelompok pengajian, maupun kelompok-kelompok olah raga, umumnya kurang berfungsi. Ada beberapa faktor penyebabnya yaitu faktor kepemimpinan yang sering tidak terlegitimasi, baik oleh anggota lembaga maupun masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan proses pemilihan yang rentan kecurangan dan kurang melibatkan masyarakat desa. Kemudian juga karena faktor diragukannya kualitas pendidikan anggota lembaga sehingga berpengaruh pada manajemen organisasi. Pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsi mereka masih minim.
LAPORAN UTAMA 24 Faktor lainnya, lebih terdominasinya kepentingan ekonomi seseorang sehingga fungsi-fungsi sosial (perekat anggota) menjadi tereduksi. Peranan pemilik modal (baca: toke) tinggi dalam menentukan hukum/ denda adat dan berbagai peraturan lain. Seperti ada kasus yang LPM sebagai lembaga perencana dan pelaksana pembangunan di desa terjerat hutang kepada toke, sehingga setiap kegiatannya diorientasikan untuk membayar hutang ke toke, kepentingan pembangunan masyarakat terabaikan. Dominasi toke dalam kebijakan menghasilkan program yang lebih mendukung kelancaran usahanya, contohnya usulan pembuatan jalan di suatu desa, hanya untuk memperlancar akses sang toke dalam mengeluarkan hasil pertanian (getah) dari ladangnya. Akibat lain dari keterikatan ini adalah penetapan harga getah yang ditentukan oleh toke, sehingga tidak ada kesempatan memilih toke berdasarkan harga yang bersaing. Ini juga yang menjadi penghambat sulitnya program pembangunan desa khususnya untuk peningkatan ekonomi rumah tangga. Dominasi juga terjadi dalam penguasaan lahan di desa. Jika tidak ada kajian mengenai kepemilikan ini, berbagai program terutama yang berkaitan dengan pertanian, sekali lagi hanya akan menguntungkan toke sebagai pemilik tanah. Ketersediaan data mengenai kondisi sosial ekonomi rumah tangga menjadi sangat penting untuk dijadikan acuan bagi perencana program, agar kegiatan pembangunan tepat sasaran. Demikian juga dalam ketersediaan data yang menyangkut berbagai faktor pendukung dan data resiko dari implementasi program. Berdasarkan kondisi tersebut, tentu sulit mengharapkan program yang tepat dan menghasilkan. Program yang perencanaannya kurang tepat, akan rentan penyimpangan dalam pelaksanaannya. Dari survei penulis di lapangan, ada beberapa faktor penyebab kegagalan pelaksanaan sebuah program, antara lain minimnya pelibatan unsur masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan program, termasuk tenaga kerjanya pun diambil dari luar desa. Keterlibatan yang minim, menyebabkan rasa memiliki terhadap program pun rendah, jaminan keamanan menjadi rendah pula. Adanya program yang masih dipersepsikan sebagai ‘jasa’ dari pihak tertentu, belum dianggap sebagai hak yang layak diterima. Inilah yang menyebabkan munculnya istilah bagi-bagi proyek. Faktor penyebab kegagalan program lainnya yaitu aspek pengetahuan (bersambung ke hal. 26)
HGU Terlantar Berikan ke Masyarakat
M
asyarakat Desa Hajran, di Kecamatan BatinXXIV, Kabupaten Batanghari, tiada lelah menuntut HGU perkebunan PT Sawit Desa Makmur (PT SDM) yang berada dekat lokasi mereka diserahkan ke masyarakat untuk dikelola. Karena lahan yang berluas total 14.228 hektar (masuk wilayah Desa Pakuaji, Kecamatan Batin XXIV, serta Desa Sungairuan dan Desa Sungailingkar di Kecamatan Maroseboulu) itu diterlantarkan alias tidak ditanami sebagaimana seharusnya begitu perusahaan mendapatkan izin pemanfaatan lahan. Perkebunan kelapa sawit PT SDM (grup Asiatic) ini merupakan perusahaan swasta murni yang telah bermukim sejak tahun 1987 di Jambi. Selama itu pula perusahaan juga tidak memberikan kontribusi pada desa-desa yang berada di sekitar usahanya. Berdasarkan hasil pantauan KKI Warsi di lapangan diketahui kalau sudah 16 tahun sejak dikeluarkannya izin prinsip untuk PT SDM, lahan yang diberikan tidak terkelola sebagaimana mestinya. Pihak perusahaan terkesan tidak mampu mengelola. Kondisi perkebunan yang tampak di lapangan bisa diklasifikasikan atas lima kelompok. Klasifikasi yang pertama yaitu lahan hutan yang sama sekali belum dilakukan landclearing dan jumlahnya sangatlah luas. Klasifikasi yang kedua, lahan belukar yang telah di-landclearing namun tidak ditanami. Ada dua jenis belukar yang ada, yaitu belukar muda berumur tiga sampai lima tahun, belukar tua berumur lima tahun ke atas. Kedua jenis belukar ini berbatasan langsung dengan lahan masyarakat, hingga mengakibatkan tanaman masyarakat banyak yang mati atau berwarna kuning dan ditumbuhi semak/gulma. Kemudian klasifikasi ketiga adalah lahan yang terdiri dari tanaman yang tidak terawat, tepatnya lahan yang dibuka dan ditanami sawit tapi tak ada usaha perawatan layaknya sebuah perkebunan. Sementara klasifikasi yang keempat yaitu lahan tanaman yang terawat/produktif yang menunjukkan adanya usaha pemeliharaan, sehingga tanaman memberikan hasil seperti buah. Mengenai jumlah luasa jenis lahan keempat ini berjumlah sebagian kecil dari total luasan HGU PT SDM, berada di sekitar dan di jalan utama menuju perkantoran perusahaan. Tanaman yang telah berproduksi tersebut pun juga tidak memberikan hasil yang bagus, karena dari jumlah buah/tandan setiap batangnya tidak sesuai dengan target. Kemudian klasifikasi yang kelima, lahan HGU PT SDM yang telah diokupasi jadi kebun karet oleh warga desa. Dari umur tanaman karet diketahui kalau kegiatan okupasi ini sudah berlangsung tiga tahun. Lahan yang dijadikan kebun karet pun terbagi dua, yaitu belukar dan hutan yang berada di pinggir jalan utama. Dari observasi tim peta KKI Warsi memakai GPS yang diambil Oktober 2003, diketahui kalau berdasarkan klasifikasi di atas, total luasan klasifikasi lahan hutan hanya 5.741 hektar, belukar 802 hektar, kelapa sawit 2.543 hektar, lahan terbuka 1.698 hektar, lahan karet produktif 117 hektar, karet muda 760 hektar, dan wilayah yang tertutup awan serta bayangan seluas 1.249 hektar.
A
Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan pasangan yang menikah di Desa Hajran kebutuhan akan lahan pun meningkat. Apalagi masyarakat Hajran sangat mengandalkan pola pertanian-ladang berpindah. Lahan yang diinginkan, letaknya mudah dijangkau warga dengan jaringan jalan yang ada alias berbatasan langsung PT SDM. Tuntutan akan lahan PT SDM untuk mereka olah kian tinggi. Ditambah pula dari 159 rumah tangga yang ada di Hajran, ada beberapa KK yang tidak memiliki lahan dan bergantung pada aktifitas berbalok. Mereka mulai memikirkan memiliki lahan karena untuk terus hidup dari kayu tak mungkin, perlahan kayu akan habis. Hingga upaya formal untuk memperoleh kesempatan mengolah lahan PT SDM yang ditelantarkan pun dilakukan masyarakat Hajran. Masyarakat Pakuaji yang juga menuntut hal yang sama, ikut dalam perjuangan ini. Perjuangan pertama melalui Ikatan Petani Batin (IPB) dengan mengajukan surat permohonan bernomor 013/IPB/2000 tanggal 13 November 2000 untuk pengolahan lahan itu ke Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin. Permohonan tersebut telah ditanggapi gubernur dan disepakati akan ditindaklanjuti dengan meninjau ke lapangan. Namun hingga sekarang masih belum ada realisasinya. Upaya kedua dilakukan masyarakat tahun 2001 memusyawarahkannya dengan PT SDM. Dari musyawarah itu didapatkan kesediaan perusahaan melepas HGU mereka seluas 1.500 hektar untuk kedua desa tersebut.
Teknis pembukaan, penanaman, ser ta pemeliharaan kebun yang mengambil wilayah PT SDM ini dilakukan para toke lewat kerja sama dengan pendatang asal Jawa. Penanaman dan pemeliharaan dilakukan oleh pendatang Jawa yang disebut anak ladang. Mereka akan bekerja selama tiga tahun dengan tinggal di ladang (talang). Selama masa itu, semua bekal anak ladang ditanggung toke. Setelah karet berumur tiga tahun, luasan kebun karet mereka dibagi dengan sistem bagi hasil (diistilahkan dengan dikoak). Ada dua sistem bagi hasil yang dipakai yaitu dibagi dua bila lahan yang dibuka merupakan hutan, kedua dibagi tiga (dua bagian untuk
ISTIMEWA
Namun kembali tidak ada realisasi selanjutnya, maka masyarakat membuka sendiri lahan perkebunan karet di wilayah PT SDM. Tindakan itu diketahui perusahaan dan mereka tidak mampu menghambatnya. Sementara dari upaya pembukaan lahan itu terbentuk pula elit pertokean di tengah-tengah masyarakat. Warga yang memiliki modal besar dan bisa membuka lahan disebut toke. Ketimpangan dan ketidakmerataan kepemilikan lahan pun terjadi.
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
toke dan satu bagian untuk anak ladang) jika lahan yang dibuka belukar. Setelah dilakukan pembagian kebun karet, anak ladang tidak akan dibekali lagi oleh toke. Kecuali kalau anak ladang melakukan pembukaan lahan baru lagi. Para toke memang lebih memilih pendatang asal Jawa daripada warga desa sendiri dalam kerja sama ini karena asumsi pendatang memiliki sifat tekun, bekerja keras, legowo atau mudah diatur, serta patuh pada toke. Sementara penduduk asli lebih dijadikan upaya toke untuk mendapatkan kekayaan dari berbalok. Otomatis kesempatan mendapatkan lahan oleh warga asli tidak ada. Hasil dari berbalok sendiri tidak bisa digunakan warga membuka kebun karet karena habis untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga ketika KKI Warsi, Lembaga Penelitian Universitas Jambi (Unja), dan Bappeda Kabupaten Batanghari, mengadakan per temuan membahas studi kebijakan ruang dan pemanfaatan SDA, masyarakat kembali menuntut pembebasan HGU PT SDM. Ke depan perlu dipikirkan tuntutan masyarakat ini, terutama kelompok yang tidak mempunyai modal (masyarakat menengah ke bawah) agar bisa memanfaatkan lahan terlantar secara legal. Kemudian dipikirkan bagaimana pemerataan perolehannya di masyarakat, serta pencegahan toke menjerat masyarakat yang tak punya modal hingga toke menguasai lahan seluas-luasnya. Sebaiknya investor dilibatkan, begitu juga lembaga swasta. Keterlibatan mereka dimulai dari perencanaan kegiatan yang tepat (untuk pembukaan kebun kelapa sawit atau karet) hingga ke teknis lainnya yang dibutuhkan masyarakat.(Ade Candra)
25
LAPORAN UTAMA dan keterampilan yang seharusnya menjadi target penting dalam pembangunan cenderung terabaikan. Sehingga program yang tidak memperhatikan kebutuhan peningkatan kapasitas masyarakat (sebagai pelaksana) tidak akan bertahan lama. Misalnya proyek penanaman bibit unggul, yang tidak disertai penyuluhan cara penanaman sehingga gagal. Selain itu, konsistensi dan kesinambungan program dari pemerintah masih rendah, termasuk pembinaan yang dilakukan dalam menjaga dan mengembangkan keberhasilan yang telah dicapai.
AULIA ERLANGGA / DOK. KKI WARSI
26
Kondisi lain turut menggagalkan pelaksanaan program adalah potensi konflik desa yang sangat tinggi. Terdapat beberapa hal yang melatarbelakanginya, yaitu selain pemilihan yang rentan dengan kecurangan, juga karena konflik kepentingan yang terlalu tinggi, termasuk pendidikan yang kurang, dan tak terpahaminya fungsi keberadaan masing-masing lembaga di desa.
melibatkan masyarakat, serta program pembangunan seyogyanya didasarkan pada potensi dan kebutuhan riil masyarakat. Program pembangunan diharapkan bisa meningkatkan kapasitas (capacity building) dari kelompok sasaran. Pembangunan harus dimaknai to give ability yaitu memberikan kemampuan untuk mandiri, tidak bergantung pada bantuan pihak luar.
Merancang Agenda ke Depan Berdasarkan fenomena faktual di atas dan jika dihubungkan dengan kecenderungan umum kebijakan pembangunan selama ini, maka secara umum, ada beberapa kecenderungan kebijakan pembangunan di Indonesia. Pertama, program pembangunan di desa pada umumnya menggunakan pendekatan teknokratis yang kemudian mensyaratkan dominasi pemerintah. Perencanaan sampai evaluasi program memakai pola top down (dari atas ke bawah). Keterlibatan masyarakat terabaikan. Kedua, pelaksanaan kegiatan pembangunan memiliki pola dukungan birokrasi yang lemah. Hal ini menyangkut sistem koordinasi termasuk adanya perencanaan yang lebih mengedepankan ego sektoral kelembagaan. Sistem yang menjamin adanya transparansi dan akuntabitas belum tertata. Ketiga, pola pembangunan yang lebih mementingkan hasil daripada proses, sehingga keterlibatan masyarakat dari sisi kualitas masih terabaikan. Berhasil-tidaknya suatu proyek masih diukur secara fisik dan kuantitatif, sehingga rentan terhadap manipulasi penilaian. Berangkat dari kenyataan tersebut, pelajaran yang bisa dipetik untuk menetapkan agenda (program pembangunan) ke depan, adalah pentingnya
Kemudian aspek-aspek sosial di desa harus menjadi referensi dalam implementasi kegiatan agar efektif sasaran dan kegiatannya. Perlu identifikasi yang lebih akurat mengenai kelompok-kelompok yang layak menerima program, agar fenomena program lebih menguntungkan sekelompok orang tertentu tidak terjadi. Pelaksanaan program harus berkesinambungan, serta rencana program sebaiknya tidak hanya bersifat sektoral tetapi terpadu dengan sektor lain (lintas sektoral). Selain itu yang juga penting dijadikan catatan untuk menetapkan agenda ke depan yaitu sangat penting membuka peluang keterlibatan pihak-pihak lain dalam kegiatan pembangunan, baik dari unsur swasta, akademis maupun LSM, maupun pihak lain, agar pelaksanaan program pembangunan lebih transparan. Melalui otonomi daerah diharapkan ketidakefektifan pembangunan selama ini, baik karena pola perencanaan yang cenderung sentralistik maupun peran masyarakat yang dipinggirkan, tidak terjadi. Otonomi daerah juga bisa menjadi pendorong terlaksananya otonomi desa yang kemudian juga bisa berdampak pada otonomi masyarakat. Sehingga masyarakat dapat mengatasi permasalahan dengan tidak selalu bergantung pada pihak lain. Semoga bukan mimpi…(Budi Retno Minulya)
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
27
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
Definisi ruang ekologis Orang Rimba yang paling menonjol yaitu sungai. Fungsi tradisional sungai ini untuk sarana transportasi, daerah pemanfaatan SDA, serta dasar orientasi di dalam hutan oleh Orang Rimba. Sungai juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam pembukaan ladang. Sungai menjadi patokan penentuan letak dan posisi ladang, posisi kelompok, batas adat Orang Rimba dengan orang desa, juga untuk menunjukkan kekhasan kelompok Orang Rimba. Misalnya Orang Rimba yang berdiam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Air Hitam, menyebut dirinya kelompok Orang Rimba Air Hitam, ada Orang Rimba Bernai (karena dekat Sungai Bernai), dan Orang Rimba Kejasung (berdiam dekat Sungai Kejasung). Sungai yang zonanya datar dijadikan pusat sumber makanan.
LAPORAN UTAMA
Definisi Ruang dalam Subsistensi Orang Rimba
K
emampuan subsistensi (cara produksi yang hanya mampu mencukupi kebutuhan seharihari) yang dimiliki Orang Rimba jarang ditemukan pada suku-suku lain di dunia. Kekhasannya terletak pada kemampuan Orang Rimba melepaskan diri dari ekonomi berladang dengan dukungan perangkat pengetahuan yang mereka punyai. Pengetahuan Orang Rimba akan ruang (baca: sub ekosistem) sangatlah kaya. Mereka menggunakan (pengetahuan) itu sebagai dasar tindakan pemanfaatan SDA yang terkandung di dalamnya, didukung kerja sama dengan kelompok atau aliansi antar kelompok. Kerja sama ini dibangun berdasarkan hubungan tradisional, seperti perkawinan dan kekerabatan. Pemanfaatan ruang ini dikombinasikan dengan kemampuan membaca musim dan energi alam yang memudahkan Orang Rimba untuk menentukan tindakan pengeksploitasian ruang. Pengetahuan ruang ini terpetakan secara sistematis dalam sistem kognitif Orang Rimba.
Demikian pula dengan ekosistem darat, diklasifikasikan berdasarkan berbagai fungsi pemanfaatannya. Misalnya bukit dikonsepsikan banyak dihuni setan/hantu. Konsep ruang ini mengindikasikan bahwa bukit tidak bagus bagi Orang Rimba, baik untuk berladang maupun mencari buruan. Ditambah anggapan tipe ruang ini miskin kehadiran binatang dan diversitas tumbuhan yang bisa dimanfaatkan. Sebagian jenis ruang lainnya dikaitkan Orang Rimba dengan tempat ritual mereka, misalnya tano pusoron (tempat mayat), tano peranaon (tempat menunggu kelahiran), genah sentubung/sungori budak (tempat tumbuhnya pohon sungori dan sentubung yaitu dua jenis pohon rimba yang melambangkan jiwa dan raga bayi). Di daerah-daerah ini tidak dibolehkan membuka hutan. Beberapa jenis buah yang terdapat di sekitarnya dilindungi secara hukum (adat). Gambaran pemanfaatan ruang Orang Rimba berdasarkan dua kategori ekologis (sungai dan darat) secara lebih rinci sebagai berikut : Ekosistem sungai : Deyok (bibir sungai yang diendapi lumpur), sumber daya yang dimanfaatkan yaitu berbagai jenis amfibi. Pulo (endapan pasir dan tanah yang membentuk daratan kecil), terdapat berbagai jenis katak. Siding (lobang yang menjorok pada batang sungai), hidup beberapa ikan khas seperti, baung, lele dan gabus. Lubuk (dasar sungai yang dalam, biasanya di bagian tepi sungai), sumber daya yang dimanfaatkan yaitu beragam jenis ikan dan jenis kura-kura (tryonyx cartilsgineus), biuku, serta berang-berang. Rongga (lobang pada batang sungai yang ditutupi akar kayu), dapat dimanfaatkan jenis amfibi seperti sebodo. Rantau
LAPORAN UTAMA 28
Ekosistem darat : Kasong (kasang/pematang), sumber daya yang dimanfaatkan adalah kancil, babi, bentorung, umbi benor, umbi kona, rotan manau, dan damar. Kubang (tempat beberapa jenis hewan ‘mandi’), sumber daya yang dimanfaatkan rusa dan babi yang menyukai tempat ini untuk berkubang. Bukit (bukit), tempat mengambil getah balam, pasak bumi, selusuh, serta tempat buruan jenis tupai dan tikus. Tobing (tebing), sumber daya yang dimanfaatkan jenis tikus dan posou. Lamon (permukaan tanah yang ‘dibesihkan’ burung kuau), lokasi tersebut sering digunakan untuk menjerat burung kuau. Tenggelou (semak duri), sumber daya yang dimanfaatkan adalah berbagai jenis rotan, seperti rotan temiyang, soni, siu, dan rotan tetebu. Payaou (rawa), sumber daya yang dimanfaatkan yaitu rotan rumbai. Rana (renah), yang dimanfaatkan ialah umbian, seperti benor, gadung, jehong, tekusut, slemak, binatang kancil, musang, biawak, babi, dan pangka. Formasi Kelompok Keberhasilan subsistensi Orang Rimba sangat ditentukan oleh dukungan kelompok sekitarnya. Dukungan ini tidak saja menyangkut distribusi ubi, lauk, dan berbagai pemberian lain untuk memelihara hubungan antar mereka. Melainkan hubungan ini juga dipertahankan untuk tujuan politik kelompok. Misalnya di suatu masa salah satu kelompok Orang Rimba akan terlihat sangat mesra dengan kelompok lain, namun di waktu berikutnya juga bisa saling menghindar atau menjelek-jelekan. Anggota satu kelompok Orang Rimba biasanya 4-10 rumah tangga. Jarang sekali satu kelompok padat yang jumlahnya sampai 30 rumah tangga dan juga jarang
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
(lantai sungai yang landai), terdapat kepiting, udang, cinceher, dan ikan ukuran kecil seperti, suluang, kepiul, dan lainnya. Napol (lantai sungai dari lumpur yang membatu), sumber dayanya ikan baung dan ikan telan. Lebung (mirip rawa namun lebih kecil) terdapat katak, sebodo, ikan sepat, dan membiyang. Sususpon/inumon (kolam yang airnya asin), tempat binatang besar untuk minum seperti, tapir, beruang, dan kijang. Tumbang (genangan air yang luasnya mirip kolam), sumber daya yang bisa dimanfaatkan yaitu ikan palau, gabus, sradang, ikan kebarau, dan berbagai jenis ikan yang bisa hidup di air tergenang. Sako (anak sungai yang lebih kecil), terdapat ikan-ikan kecil seperti, suluang dan pancit. Tanjung (belokan sungai), tempat yang disukai bintang jenis napu. Lumpur ( endapan daun yang membusuk di pinggir sungai), terdapat kerang, tengkuyung, dan berbagai jenis keong.
Orang Rimba memanjat pohon untuk mengambil madu
ditemukan satu rumah tangga Orang Rimba yang soliter. Kelompok yang berjumlah 4-10 rumah tangga bisa lebih mandiri mengelola SDA. Sebaliknya kelompok yang lebih besar akan kesulitan dalam pembagian hasil buruan. Pengumpulan hasil hutan akhirnya mempercepat SDA sekitar pemukimannya habis. Demikian juga satu rumah tangga soliter (sendiri/ terpisah dari kelompok), sangat sulit mengelola rumah tangganya tanpa dukungan kelompok sekitar. Kesulitan ini menyangkut penggunaan tenaga kerja, seperti kebutuhan tenaga kerja dalam jumlah yang besar untuk mengikuti semua proses pembukaan ladang. Hingga keberadaan tenaga kerja Orang Rimba ini akan sangat tinggi nilainya. Dasar tradisional untuk memelihara hubungan antar kelompok adalah kewajiban dari status yang disandang. Misalnya orang semendo (pemuda rimba yang tengah berbakti ke orang tua perempuan rimba demi menyakinkan si orang tua agar diizinkan menikahi
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
29 anaknya). Bujang rimba harus membuktikan ke pihak perempuan (mertua dan waris perempuan) ketangguhan dan ketekunannya mencari penghidupan seperti berburu, mengambil madu, membuka ladang, mengambil rotan, dan lainnya. Dia juga harus melayani pimpinan kelompok si wanita meskipun si pimpinan bukan dari kelompok yang sama dengannya.
pemanenan. Caranya dengan menyelaraskan berbagai jenis tanaman yang interval waktu panennya bertahap, dari yang terpendek hingga jangka panjang. Cara ini untuk mendukung pemenuhan kebutuhan subsistensi. Pada tahap paling awal, ladang diisi beberapa jenis tanaman umbi-umbian yang masa panennya lebih cepat. Padi jarang ditanam karena resiko kegagalannya tinggi. Ladang biasanya ditinggalkan setelah seluruhnya tereksploitasi. Orang Rimba akan terbantu dengan datangnya musim petahunon (musim buahbuahan) yang memberikan kelimpahan madu pada tahap awal dan buah pada tahap akhir. Kualitas madu yang dihasilkan bagus. Selain dikonsumsi rumah tangga Orang Rimba untuk jangka pendek, madu juga dijual ke desa. Perdagangan madu ini sudah lama berlangsung antara Orang Rimba dengan penduduk desa. Sementara hasil buah-buahan dapat diolah dalam bentuk makanan yang tahan (disimpan) lama. Dengan kata lain musim petahunon menyediakan suplai makanan hingga tiga bulan untuk Orang Rimba.
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
Berkurangnya satu orang anggota kelompok dianggap satu kerugian. Cara menghindari kerugian seperti ini biasanya dengan mencari calon istri dari kelompok terdekat. Cara ini akan sekaligus menjamin suatu dukungan kerja sama di masa depan.
Siklus musim petahunon ini bersamaan dengan siklus perkembangbiakan beberapa jenis binatang, salah satunya siklus burung besar. Burung-burung besar menggunakan lubang-lubang kayu tua untuk bertelur. Biasanya jenis burung ini bisa dikonsumsi (dibunuh) Orang Rimba dengan menemukan sarangnya, baik siang maupun malam hari. Beberapa burung besar yang dimaksud, yaitu kuneng paru, henggang, kongkoi, selelayak, pusoron, burung hubanon, dan burung nyeyarok.
Orang Rimba menghilirkan karet
Kerja sama antar kelompok biasanya menyangkut pengerahan tenaga kerja untuk pekerjaan-pekerjaan besar, seperti membuka ladang, ritual, dan lainnya. Kerja sama juga dibutuhkan saat salah satu kelompok melangun (berpindah tempat tinggal karena ditimpa musibah kematian). Kelompok yang melangun bisa saja akan sangat tergantung pada kebaikan hati kelompok lainnya.
Berladang dilakukan 1-2 tahun sekali. Perladangan ini memiliki cara khas dalam mengefisienkan waktu
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
Siklus Subsistensi Orang Rimba Siklus umum subsistensi Orang Rimba dimulai dari ekonomi berladang. Sistem perladangan mereka berbeda dengan masyarakat desa terutama dalam pembuatan keputusan perpindahan ladang. Di mana perpindahan ladang Orang Rimba sering dipengaruhi oleh musibah penyakit dan kematian. Perpindahan ini membawa semua barang rumah tangga dan tempat tinggal sebelumnya tidak akan ditempati lagi.
Siklus ini berakhir pada musim kemarau, di mana air sungai surut bahkan hampir kering. Ikan akan sangat mudah didapat pada musim ini. Kegiatan mencari ikan dengan cara ngakop (menangkap langsung dengan tangan) pun dimulai.(Marahalim Siagian, Antropolog)
Orang Rimba memasang perangkap ikan
WAWANCARA 30
Masyarakat Tuntut Sumber Penghidupan yang Tetap
depan. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi kajian pertama di Batanghari (dari sekian banyak kajian pihak swasta dan perguruan tinggi) yang benar-benar memberikan dampak pada Kabupaten Batanghari. Berikut Alam Sumatera menyajikan petikan pendapat masyarakat dan pemerintah yang terlibat dalam seminar tersebut:
D
Tokoh masyarakat Desa Hajran Kabupaten Batanghari, Hasbi : “Rakyat Tuntut Keberpihakan Pemerintah” “Harapan masyarakat dengan adanya penelitian KKI Warsi dan Unja ini, pemerintah terbuka matanya untuk berpihak pada masyarakat. Apalagi masyarakat petani selama ini kurang diperhatikan. Dengan menseminarkan temuan ini pemerintah mulai sadar untuk mengangkat nilai-nilai kemasyarakatan, sehingga masyarakat bisa merasakan arti kemerdekaan Indonesia selama ini. Pemerintah harus mengupayakan perusahaan berikan lahan yang tak dikelola optimal ke masyarakat, masyarakat bisa berpenghidupan yang layak, dengan catatan kalau masyarakat tak punya modal untuk membuka lahan, pemerintah kembali membantu. Kalau masyarakat miskin, tak ada pencarian yang tetap, otomatis mereka akan merambah hutan. Luasan hutan bisa terancam dan terjadilah banjir, aktifitas perekonomian sulit berjalan, termasuk bercocok tanam bagi yang memiliki lahan, masyarakat desa memahami itu. Dengan kata lain yang akan menjadi korban pertamanya tetaplah masyarakat desa. Sehingga kami sangat mendukung keberadaan hutan TNBD. Masyarakat harus diarahkan punya sumber penghidupan yang tetap melalui kepemilikan lahan. Dengan lahan masyarakat bisa bertani atau lainnya. Masyarakat telah melakukan survei ke lapangan, melihat langsung luasan lahan PT SDM yang tak terkelola optimal. Pemerintah harus memperjuangkan harapan masyarakat ini. Pemerintah harus ingat, tanpa rakyat pemerintah tak ada.”
ari seminar bertemakan Studi Pembangunan dalam Pemanfaatan Ruang dan SDA kerja sama KKI Warsi dengan Lembaga Penelitian Universitas Jambi dan Bappeda Kabupaten Batanghari, akhir Oktober 2003, terungkap harapan-harapan masyarakat desa sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi untuk peningkatan taraf hidup mereka. Masyarakat yang dimaksud yaitu masyarakat Desa Hajran, Padangkelapo, dan Jelutih. Mereka menginginkan sumber penghidupan yang tetap, sebab mereka menyadari kegiatan perekonomian yang selama ini mereka lakukan yaitu menebang hutan, tidak akan menjanjikan. Malah bisa membahayakan hidup mereka dan generasi penerusnya karena habisnya hutan bisa mendatangkan banjir. Pemerintah menanggapi positif hal ini, namun untuk mengambil lahan PT SDM dan beberapa perusahaan lainnya yang tak optimal menggarap lahannya untuk diserahkan ke masyarakat, bukanlah upaya yang mudah. Namun potensi SDA serta keruangan Batanghari yang diteliti KKI Warsi dan Unja bisa menjadi masukan bagi pembangunan Batanghari ke
DOK. KKI WARSI
Mengikut sertakan masyarakat dalam pemetaan
Kabag Tata Usaha Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Batanghari, Sargawi : “Jadikan Studi Pembangunan, Penelitian yang Pertama Berdampak bagi Batanghari” Sejauh ini penelitian-penelitian swasta di Batanghari belum memberikan dampak apa-apa bagi Batanghari. Semoga penelitian Unja dan KKI Warsi ini bisa menjadi yang pertama kali berdampak bagi Batanghari. Segala korekasian yang diberikan dari penelitian ini untuk pemerintah sangat bagus ditindaklanjuti.
A
Camat Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari, Drs. M.N. Effendy : “Yang Terpenting Fungsi Sosial Hutan” Hutan mempunyai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Selama ini yang menjadi fokus perhatian pihak-pihak terkait hanyalah fungsi ekologi dan ekonomi hutan saja. Padahal yang terpenting adalah fungsi sosialnya. Jika fungsi sosialnya tidak diperhatikan, kerusakan hutan akan berimbas pada terganggunya fungsi ekologi dan ekonominya. Lewat fungsi sosial ini juga perhatian masyarakat bisa dialihkan dari hutan. Untuk itu harus ada koordinasi semua pihak. Kasubdin Kehutanan Kabupaten Batanghari, Syamsuhari : “Benarkan Motif Rakyat Berkayu karena Ruang ? ” Perlu benar-benar didudukan apakah memang benar motif masyarakat merambah hutan bukan karena faktor ekonomi yaitu keinginan berkayu daripada kebutuhan ruang alias lahan. Karena masih ada pendapat dari masyarakat kalau mereka akan lebih mudah memperoleh uang atau cepat meningkatkannya perekonomiannya dari kayu. Untuk apa diperjuangkan lahan yang luas, tata batas yang luas untuk TNBD kalau masyarakat sendiri tidak terima. Kabid Ekonomi Bappeda Kabupaten Batanghari, Dedi Hendri : “Hentikan Bahasa yang Provokasi” Menggunakan istilah tak ada cara lain dalam mengatasi permasalahan illegal logging selain memberikan lahan PT SDM yang tak terkelola ke masyarakat, bisa memprovokasi masyarakat. Padahal pemerintah daerah tak punya kewenangan yang besar untuk berbuat banyak agar lahan perusahaan itu diberikan ke rakyat, karena perusahaan tersebut telah mempunyai izin alias legal. Hanya pusat yang berwenang menyerahkan atau tidak lahan tersebut. Jangan masyarakat diprovokatori, kalau kemudian mereka resah dan menuntut pemerintah. Staf Bidang Penelitian Bappeda Kabupaten Batanghari, Aswan, S.Sos : “Keuntungan Besar dari Bebalok” Pebalok berpikiran pemasukannya meningkat tiga kali lipat dengan bebalok daripada berkaret. Jika pemikiran ini dibiarkan saja, tentu mereka akan lebih tertarik bebalok daripada berkaret. Melalui penelitian ini carikan solusi alternatif pemberdayaan ekonomi yang lebih menjaminkan masa depan untuk mengimbangi pemikiran itu. Sehingga dengan solusi yang diberikan mereka pun merasa lebih baik mengikuti saran dari penelitian ini ketimbang bebalok.(Roidah)
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
PT SDM tak akan Serahkan Lahannya ke Masyarakat
K
erasnya tuntutan masyarakat desa sekitar areal PT Sawit Desa Makmur (PT SDM) agar lahan yang kurang optimal dikelola PT SDM diserahkan ke masyarakat, mendapat tanggapan dari eksekutif perusahaan tersebut. Mereka menyatakan lahan itu tidak akan diserahkan ke masyarakat. Mereka optimis bahwa semua lahan yang diperoleh izinnya nanti akan tergarap. Komentar itu diperoleh Alam Sumatera setelah melalui proses berliku untuk mendapatkan tanggapan jajaran pimpinan PT SDM tentang keinginan masyarakat tersebut. Kesediaan menanggapi itu pun hanya terbatas diberikan, berikut petikan wawancaranya :
Arisah, Kepala Personalia PT SDM : Dari 14.228 hektar lahan HGU yang dimiliki PT SDM, kenapa hanya 2.543 hektar yang ditanami kelapa sawit dan karet, apa kendalanya? Ini memang menjadi dilema bagi kami, terutama sejak krisis ekonomi melanda. Terasa sekali beban biaya yang harus dikeluarkan untuk membuka lahan per-satu hektarnya saja. Kalau dulu hanya sebesar Rp3-4 juta perhektar lahan, sekarang mencapai Rp18 juta perhektar. Sehingga tak mungkin dalam satu tahun kami harus sudah membuka semua luasan lahan yang kami punya. Butuh dana yang sangat besar, dari mana modalnya? Apalagi jika pembukaan lahan itu mengandalkan dana dari hasil produksi yang kami dapat. Pemasukan dari lahan yang berproduksi tidaklah sebanding dengan modal yang harus dikeluarkan untuk membuka seluruh lahan tersebut. Selain itu perhatian kita (PT SDM) lebih terfokus pada kebun yang sudah jadi, seperti bagaimana produksi dan kondisi tanamannya. Walaupun itu tidak bisa disebut sebagai kendala, namun itu juga menjadi penyebab kenapa kami belum bisa membuka semua lahan HGU yang kami punyai. Ditambah lagi harus memikirkan bagaimana mempekerjakan orang untuk membuka lahan tersebut, terutama mempekerjakan masyarakat sekitar dan dana yang juga harus dikeluarkan untuk itu. Apakah kondisi (lahan) ini akan dibiarkan begitu saja? Apa langkah antisipasi dari PT SDM? Yang pasti HGU yang kami peroleh suatu waktu tentu akan dikelola secara optimal, namun berdasarkan apa yang saya sampaikan tadi, kami masih dalam tahap mengupayakan modalnya. HGU akan diolah (dibuka,Red) secara step by step. Kami (PT SDM) pasti bertanggung jawab terhadap konsesi lahan yang telah diberikan pada kami.
31
WAWANCARA 32
Melihat tidak optimalnya pengolahan lahan itu, masyarakat sekitar PT SDM seper ti masyarakat Desa Hajran, menuntut PT SDM memberikan lahan tersebut ke mereka untuk diolah, bagaimana PT SDM menanggapi ini? Masyarakat harus balance (seimbang) melihat kondisi ini. Sebenarnya kami pun kecewa pada masyarakat. Karena walau lahan belum optimal kami kelola, masyarakat telah mengambil kayunya dan sekarang ini kayunya tak ada lagi. Masyarakat yang meminta lahan SDM itu berkemungkinan masyarakat pendatang, kami tidak akan berikan. Kalau yang menginginkan lahan itu masyarakat asli Jambi, bagaimana? Kami tetap tidak akan memberikannya. PT SDM telah mendapatkan izin HGU ini secara resmi. Sekali lagi masyarakat harus berimbang memandang permasalahan ini. Tapi Pemprov Jambi juga menanggapi keluhan masyarakat itu dan bermaksud meninjau ulang keberadaan lahan tak optimal tergarap di seluruh perusahaan HTI dan HGU yang ada di Jambi, termasuk PT SDM. Bagaimana PT SDM memandang sikap pemerintah ini? Terserah, kalau pemerintah ingin melakukan itu. Termasuk kalau pemerintah ingin memberikan lahan ke masyarakat, tapi tidak mungkin dari lahan kami. Kami punya izin. Kami yang membangun lahan itu, tak bisa begitu saja dibagi-bagikannya ke masyarakat. Jika lahan tak ingin diserahkan ke masyarakat, adakah kontribusi PT SDM ke masyarakat selama ini? Kami berkontribusi banyak pada masyarakat, antara lain dengan mendanai pembangunan madrasah di Hajran, memberikan keleluasaan pada masyarakat untuk menggunakan tronton atau jembatan penyeberangan, serta memperbaiki atau merawat jalan desa. Masyarakat juga dibebaskan menggunakan buldozer PT SDM. Padahal untuk operasional buldozer itu biaya solarnya mahal. Itu diagendakan setiap tahun? Berapa dana yang dialokasikan untuk itu? Ya, PT SDM mengagendakannya setiap tahun, namun berapa jumlah dananya saya tak usah sebutkan.
AULIA ERLANGGA / DOK. KKI WARSI
Apa target untuk langkah step by step yang dimaksud? Setiap tahun kami menargetkan bisa membuka lahan seluas 1.000 hektar. Namun ya itu tadi terkendala dana.
Ada informasi kalau saat ini PT SDM tengah menjadi sorotan BPPN untuk disehatkan, itu bagaimana ceritanya? Itu tidak benar. PT SDM baik-baik saja dan tidak ada rencana penyehatan dari BPPN. Heri Sukirman, SE, General Manager PT SDM: Berapa luas per sisnya lahan yang telah dibuka PT SDM? Seluas 6000 hektar, namun yang berproduksi baru 1.200 hektar. Berapa produksi sawit PT SDM perbulannya dari lahan yang dikelola itu? Berkisar 300-500 ton perbulan. Ada apa dengan sisanya, kenapa tidak bisa panen atau menghasilkan? Seluas 3.000 hektar terbakar. Dari lahan yang tersisa (di luar 3.000 hektar tersebut,Red) hasil panennya rusak. Apa target ke depan PT SDM untuk pengolahan lahan dan peningkatan produksi ini? Rencananya dalam 2004 dibuka 2.000 hektar lahan lagi. Namun tentunya butuh dana. Mengharapkan pendanaan dari dalam negeri tak mungkin, kita akan upayakan dari luar negeri. Dari negara mana persisnya? Lahan di wilayah yang mana yang akan dibuka itu? Dari Singapura dan Amerika, mereka punya canel khusus yang bisa menjembatani kita dengan pemilik dana. Lahan yang akan dibuka adalah lahan yang berada di antara lahan yang telah menghasilkan. Selain itu kita juga akan melakukan penanaman di lahan yang gagal tanam karena memang dari lahan yang kami buka juga ada yang gagal penanamannya .(Roidah)
PROFIL Kepala Bappeda Kabupaten Batanghari, Yazirman, SE
Mengimpikan Batanghari Jadi Kota Industri
M
engawali karir sebagai staf Biro Perencanaan di BPD Jambi hingga menjabat sebagai jajaran petinggi di Kabupaten Batanghari, Yazirman, berharap besar terwujudnya Batanghari jadi kota industri. Sekarang ini Batanghari menurut lelaki yang lahir di Mersam (Jambi) ini, masih dalam pengembangan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Harapannya itu seolah mendapatkan titik terang ketika ada investor yang berminat terlibat dalam pembangunan Batanghari, PT Geoservices dari Malaysia. Investor ini hanya menyiapkan dana, pemerintah Batanghari-lah yang menentukan apa bentuk kegiatan atau program yang ingin dikembangkan. Visi pembangunan Batanghari yang berbasiskan ekonomi kerakyatan dan hendak diarahkan ke sektor modern, seolah selangkah lagi terwujud. Realisasi kerja sama dengan investor asal Malaysia itu akan berlangsung 2004 ini. “Masyarakat tak lagi sekedar hidup dari hasil pertanian dan perkebunan saja melainkan bisa mengandalkan hasil pertanian-industri,” tegasnya dengan mata berbinar. Apalagi jika masyarakat tak bisa berharap banyak dari karet dan sawit suatu waktu nanti. Sehingga untuk mencapai itu, peran masyarakat tentulah harus ada. Pelibatan masyarakat ini bertujuan menghindari konflik dengan investor. Disamping juga sebagai supaya jangan terjadi eksploitasi oleh pihak tertentu. Keberpihakan pemerintah sangat diperlukan, terutama pada masyarakat tertinggal. “Jangan kebodohan masyarakat nantinya dimanfaatkan pihak luar,” kecamnya yang optimis kerja sama dengan investor Malaysia ini kelak akan terwujud industri-industri pasca CPO di Batanghari, seperti industri pengolahan sabun, kosmetik, dan lainnya. Hanya saja harapan ini berkemungkinan akan sedikit terkendala oleh budaya awal masyarakat yang selama ini
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
terpriotas ke sektor pertanian lalu harus berubah perhatian ke industri pasca CPO. Kendala lainnya yaitu ketersediaan listrik di Batanghari. Namun pemerintah tengah menerobos kendala-kendala itu, khusus kendala listrik, tengah dijajaki pemanfaatan sumber energi primer (gas) yang berpontensi di Batanghari menjadi PLTG. Di mana dalam tahun depan sudah akan ada kegiatannya, sehingga jika listrik sudah bagus maka infrastruktur perkotaan pun sudah bisa disiapkan. Seiring dengan itu, dalam bayangan Yazirman, di Batanghari akan segera muncul kawasan siap bangun, jalan dua jalur, pasar, mimi market bahkan supermarket dan hotel. Secara perlahan pun akan banyak pihak yang mau berinvestasi di Batanghari. Lelaki yang sekarang ini juga menjadi tenaga pendidik di Universitas Batanghari Fakultas Ekonomi, dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Petanian serta dosen Akademi Manajemen dan Koperasi Graha Karya Muda di Bulian (Jambi) ini memang antusias untuk peningkatan hajat hidup masyarakat. Hal itu ditunjukannya juga dengan memperkaya pengetahuannya akan kepentingan masyarakat dengan melanjutkan pendidikan Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) atau S2 di Universitas Indonesia. Pendidikan ini diselesaikannya tahun 1997. Pria yang tergolong muda (43 tahun) untuk menempati segala posisi yang pernah diraihnya ini, lebih jauh merinci kalau ada dua strategi yang bisa diterapkan untuk melangkah dari sektor pertanian ke industri. Pertama penyiapan infrastruktur SDM-nya (Sumber Daya Manusia) dan kedua kesiapan infrastruktur pertanian. Untuk mencapai peningkatan kualitas SDM, diakuinya Batanghari masih kekurangan guru sebagai pendukung. Sehingga jika kebijakan pemerintah menetapkan Batanghari bergerak dari sektor pertanian ke industri, maka Batanghari akan berhadapan langsung dengan minimnya kualitas SDM. Kemungkinan yang bisa timbul yaitu stagnasi di Batanghari. Begitu juga dalam kesiapan infrastruktur. Ketidaksiapan Batanghari untuk yang satu ini bisa berakibat pada sulitnya pembangunan Batanghari secara menyeluruh untuk sektor apapun. Dalam kenyataan, saat ini di Batanghari memang masih banyak daerah yang terisolir seperti daerah Mungku. Kekayaan alamnya tinggi, pertanian dan perkebunannya terpelihara dan berkembang baik, namun sarana jalan pendukung untuk itu terputus. Begitu juga dengan penjualan hasil pertanian dari Durianluncuk, Kecamatan BatinXXIV. Jalan utama wilayah ini rusak dan sempit, solusinya harus dibuka jalan alternatif atau jalan pintas, namun biayanya untuk itu sangatlah mahal. Untuk
33
PROFIL 34
mengatasinya, pemerintah Kabupaten Batanghari pun telah menetapkan anggaran dalam 2001-2004 untuk infrastruktur mencapai 30-40 persen dari dari yang dipunyai Batanghari. Tapi tetap saja tidak cukup. Melihat kendala tersebut, Yazirman memandang sangatlah penting pemerintah bersinergis dengan pihak swasta, seperti LSM. Pemerintah jangan menjadi jawara sendiri, tegasnya, terutama kaitannya dengan pengambilan kebijakan. Melalui kerja sama dengan LSM atau pihak swasta lainnya, akan diperoleh data yang riil tentang masyarakat. Seperti apa yang diteliti KKI Warsi dan Unja melalui studi pembangunan di Batanghari, menurutnya hasil penelitian itu bagus untuk ditindaklanjuti pemerintah. Hingga dia pun mengajak KKI Warsi untuk bersama-sama mempelajari rencana kerja sama dengan investor asal Malaysia itu. Selanjutnya, mengenai kebijakan pemerintah dalam tata ruang dan pemanfaatan SDA yang sempat dipertanyakan masyarakat karena banyaknya lahan yang ditelantarkan perusahaan dan sebaiknya lahan itu mereka kelola, Yazirman menanggapi kalau pemerintah kabupaten (Pemkab) tidak bisa secara merdeka mengurusi lahan-lahan itu karena terbentur kewenangan yang dimilikinya. Basis dari semua persoalan itu adalah adanya tarik-menarik kepentingan antara daerah dan pusat. Bisa dibilang daerah masih termaginalkan dalam kewenangan ini oleh pusat. Otonomi daerah yang dijalankan selama ini masih dalam taraf otonomi segi pembiayaan saja. Kewenangan daerah tetap ditegaskan pusat sebagai kewenangan yang masih dalam koridor bertanggung jawab ke pemerintah yang lebih tinggi atas alasan agar kabupaten tidak otoriter dalam mengelola daerahnya. Upaya yang bisa dilakukan Pemkab pun hanyalah sebatas menyurati departemen terkait demi perjuangan terhadap lahan yang tidak tergarap optimal oleh perusahaan HGU dan HTI yang dimaksudkan rakyat. Memohon agar lahan terlantar di cabut izinnya lalu mengusulkan masuknya investor lain yang lebih mampu untuk mengelola lahan itu bersama masyarakat. “Kita sedih melihat lahan ditelantarkan, tapi kita tak bisa ‘menyentuhnya’ (menyelesaikan masalah lahan terlantar),” keluhnya. Upaya upaya lain juga dilakukan pemerintah yaitu mengangkat ekonomi masyarakat desa sekitar lahan melalui pemberian dana untuk beternak dan memiliki kolam ikan. Tujuannya juga demi mengalihkan warga dari bebalok. Selama ini karet menjadi harapan besar bagi banyak masyarakat desa di sekitar TNBD, seperti Desa Hajran. Namun dalam kegiatan ekonomi ini, masyarakat
dibenturkan oleh masalah keberadaan toke. Toke menjadi sentral usaha masyarakat berkaret. Masyarakat tak punya pilihan selain bergantung ke toke. Memang demikianlah tata niaga karet, proses itu telah mendarah daging sekian lama. Bahkan terkadang yang menimbang karet pun toke sebagai pembeli dan harganya juga ditentukan toke. Begitu juga dengan usaha sawit yang tadinya diharapkan menjadi solusi, juga tak bisa dihandalkan karena tata niaganya yang tak jauh berbeda dengan karet. Misalnya sawit atau karet asal Sungairengas justru dijual jauh keluar, sehingga terjadi kebocoran pembiayaan, yang rugi pastilah petani. Ke depan pemerintah menargetkan adanya satu pabrik kelapa sawit untuk areal 12 hektar, sehingga masyarakat tak harus mengeluarkan biaya tambahan untuk bersawit, persaingan dalam perniagaannya pun bisa diatasi. Dalam waktu dekat Pemkab Batanghari juga merencanakan proyek pembibitan kelapa sawit seluas dua hektar khusus di Mersam dalam 2004. Poinnya, untuk segala persoalan yang menimpa masyarakat, tuturnya, pemerintah akan bersifat mendampingi bukan sekedar menjembatani. “Bukan sebaliknya rakyat dimanfaatkan pemerintah,” slogannya. Walau di setiap kesempatan selalu ada tuntutan kalau pemerintah harus objektif dan tidak berpihak. Tapi untuk urusan rakyat, pemerintah memang harus berpihak (ke rakyat). Pemerintah memiliki fungsi regulasi, alokasi, dan distribusi. Ketiga fungsi ini harus jalan, jika tidak pemerintah bisa dianggap hanya bermain di awang-awang saja, dianggap berkuasa tapi kenyataannya tidak. Mengenai pembangunan di bidang lingkungan sendiri untuk Batanghari menurutnya sangat penting. Pemerintah tak setuju rakyat mengandalkan hidup dari kayu. Karena kendala pembangunan juga disebabkan eskploitasi hutan. Namun sebenarnya ada kepentingan kapitalis dalam rangkain pebalokan, sementara masyarakat terlibat karena butuh hidup. “Jika tak ada sistem itu mungkin masyarakat tak mau membabat hutan,” tegasnya. Persoalan lingkungan merupakan persoalan terbesar. Namun diakuinya target penyelamatan dan pengamanan hutan hingga kini masih belum dilakukan, sebab itu juga tergantung pada negara. Kemampuan daerah menangani penebangan liar belum cukup, penebangan liar tak bisa ditangani secara lokal. Lebih spesifik, ada baiknya hutan terutama TNBD yang luasannya sangat tinggi di Batanghari, tidak ditebangi dan diberi batas lokasi yang jelas. Karena dalam menjalankan pembangunan, keseimbangan fungsi ekonomi dan ekologis itu faktor penentu. “Itulah ekonomi kerakyatan yang hakiki alias tidak setengah-setengah,” ujarnya mantap.(Roidah)
A DOK. KKI WARSI
Pemeliharaan Batas TNBD, Semoga bukan Basa-basi
M
eski SK Menhutbun tentang batas Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi telah turun tiga tahun yang lalu. Namun pematokannya hingga kini masih belum terlaksana. Kalau pun ada kegiatan yang berindikasi ke arah itu, masih dalam tahap penanaman bibit pohon buahbuahan yang berasal dari pos anggaran pemeliharaan tata batas taman nasional yang disalurkan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) sebesar Rp 82 juta. Adakah ini akan mengarah ke pengukuhan definitf TNBD di lapangan ? Semoga ini bukan sekedar basa-basi yang bersifat sementara waktu. Memang, akhir tahun 2002 sempat dimulai pemasangan patok permanen, terutama di daerah yang diperkirakan masuk wilayah perluasan cagar biosfer taman. Namun kegiatan itu dihentikan secara tragis oleh gelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat. Mereka adalah beberapa cukong kayu di desa, yang mempunyai jaringan langsung ke para penguasa, pemilik kewenangan yang mengatur hilir-mudiknya kayu-kayu baik di dalam provinsi maupun lintas Provinsi Jambi. Disebut tragis karena memang para pekerja legal pemerintah, tepatnya jajaran staf Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan (BIPHUT), dipaksa membayar denda adat satu ekor kerbau beserta selemak-semanisnya (biaya mengolah kerbau untuk dijadikan masakan). Mereka beralasan kalau para pekerja legal pemerintah itu masuk ke desa mereka tanpa izin, (menurut bahasa mereka, masuk ke rumah orang tanpa memberi salam). Dengan
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
35 jatuhnya denda adat pemasangan patok pun yang tersisa beberapa kilo lagi, gagal. Munculnya tindakan masyarakat ini tentunya tidak terlepas dari apa yang harus digarisbawahi dari sikap panitia tata batas sendiri. Para panitia tata batas kurang bersedia untuk sedikit lebih mau turun ke bawah, ke masyarakat desa, demi mensosialisasikan sekaligus mendengar apa tsnggapan masyarakat terhadap pemasangan patok permanen tersebut. Padahal sosialisasi ini memegang peranan kunci terlaksananya kegiatan inti dengan baik, dan itu pun sebenarnya sudah disetujui di meja diskusi pihak-pihak terkait di mana juga ada wakil dari LSM, namun LSM bukanlah termasuk panitia tata batas. Usaha lobby terus dicoba demi mendorong terlaksananya kegiatan pematokan yang tersisa. Namun terkendala pergeseran struktur kepemerintahan. BIPHUT kini tidak lagi di bawah kekuasaan pemerintahan pusat melainkan pemerintah provinsi, tepatnya menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dalam naungan Dinas Kehutanan. Adanya pergeseran ini, tentu saja sedikit mengalihkan prioritas kegiatan, sehingga sampai akhir 2003 ini hampir tak pernah didiskusikan lagi tentang kelanjutan pemasangan patok permanen yang sempat gagal tersebut. Sementara ‘masyarakat’ yang pernah menjatuhkan denda adat ke panitia tata batas, rantai jaringannya dengan beberapa birokrat masih teramat kuat dalam menebangi hutan, terkesan masih sulit dikendalikan, malah seperti tak takut dengan hukum negara. Malah hukum adat dijadikan alat pelengkap dalam kegiatan jaringan itu. Faktor yang kedua ini kian menguatkan penundaan pematokan karena panitia khawatir terkena denda adat lagi. Namun kevakuman itu bukan berarti harus menyebabkan inisiasi kegiatan pengelolaan tidak bisa dimulai, justru sebaiknya kegiatan pengelolaan harus terus dilakukan agar semua tau kalau taman nasional itu ada ‘tuannya’. Untungnya hal ini dipahami oleh pemangku taman nasional, yakni pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi. KKI Warsi pun diajak bekerja sama dan dirancanglah bagaimana memulai mengelola taman nasional yang belum seumur jagung itu. KKI Warsi mengusulkan diadakan dulu workshop bersama antara BKSDA dengan KKI Warsi. Di mana poin-poin diskusi adalah menyepakati taman dibagi
AKTUAL 36
menjadi beberapa blok berdasarkan sumber permasalahan dominan yang muncul di blok tersebut. Blok-blok yang disepakati tidak mesti merupakan cikal bakal zonasi taman. Poin berikutnya, harus ada saling menjajaki pahaman dan paradigma pengelolaan taman nasional yang lebih realistis dengan melihat dinamika zaman (di mana sejarah berdirinya TNBD karena adanya Orang Rimba di dalamnya). Selanjutnya KKI Warsi juga mengusulkan perlu pelatihan bagi jajaran staf BKSDA dalam menggunakan perangkat-perangkat lunak untuk mendukung kegiatan pengelolaan taman ke depan, seperti penggunaan alat global positioning system (GPS), interpretasi foto udara dan citra landsat, serta digitasi peta. Selain itu juga diusulkan adanya penjagaan dan aktifitas fisik yang lebih nyata dan berkelanjutan. Ibarat rumah perlu dijaga dan dirawat, agar setiap orang tahu rumah itu ada pemiliknya alias bukan rumah kosong, demikian juga TNBD. Langkah selanjutnya, silaturrahmi ke beberapa pihak terkait jangan ditunda-tunda lagi untuk menuntaskan pemasangan patok taman nasional. Sebab beberapa taman nasional yang ada di Jambi dengan batas yang sudah jelas saja, tak luput dari aksi-aksi illegal, apalagi yang belum ada batas definitifnya. Kegiatan ini juga bertujuan menarik para pihak yang dapat diikutkan dalam pengelolaan taman ke depan, agar lebih padu dan lebih ringan pengerjaannya nanti. Poin yang sebaiknya juga menjadi prioritas yaitu menyusun proposal rencana pengelolaan TNBD bersama, harapannya selain menarik lebih optimal pihak yang berkepentingan terhadap kelanjutan masa depan hutan alam Sumatera yang tersisa ini, juga untuk menggali dana dan dukungan politik dari para-pihak tersebut. Tak bisa disangkal kalau pengelolaan taman nasional sangat membutuhkan dukungan politik para pengambil kebijakan dan dana besar yang kemungkinan hanya dapat diperoleh dari bantuan donor, baik donor dalam maupun luar negeri. Namun usulan-usulan KKI Warsi tersebut belum mendapat tanggapan, begitu juga usulan workshop dan pelatihan bagi staf BKSDA, kalaupun dibicarakan mungkin baru bisa dalam 2004. Hal ini dikarenakan BKSDA di akhir 2003 kebanjiran proyek. Menurut pihak BKSDA proyek-proyek itu, memang hampir selalu datang di akhir tahun, sekitar Oktober atau November.
Terlepas dari semua itu, BKSDA secara terbuka kembali mengajak KKI Warsi melakukan kegiatan pemeliharaan batas yang sudah definitif dengan penanaman bibit pohon kehidupan di sepanjang garis patok yang telah ditetapkan menurut SK Menhutbun. Lokasi yang dijadikan sasaran yaitu empat desa (Desa Rantau Limau Manis, Transmigran Sungaijernih, Tanahgaro, dan Dusun Olakkemang) di Kabupaten Tebo. Adapun jenis pohon yang ditanam yaitu pohon rambutan, durian, dan manggis jenis unggul (bukan jenis lokal) sebanyak 1.000 bibit. Pepohonan itu ditanam di sepanjang 26 kilometer dengan jarak antar tanaman 10 meter. Untuk teknis pelaksanaan selanjutnya, BKSDA juga mengajak masyarakat desa sekitar hutan, kader konservasi binaannya, dan beberapa Orang Rimba daerah Makekal untuk menjadi guide. Pekerjaan itu direncanakan memakan waktu 26 hari efektif dengan total masyarakat desa dan Orang Rimba yang terlibat 50 orang. Peta beserta titik koordinat yang dipakai adalah hasil kerja BIPHUT, peta dan titik koordinat yang dimiliki KKI Warsi, dijadikan pembanding. KKI Warsi juga mengingatkan agar sosialisasi ke masyarakat tentang penanaman pohon kehidupan ini dijadikan keharusan agar kejadian pemasangan patok sebelumnya tidak terulang. BKSDA pun setuju, mereka memprioritaskan sosialisasi ke desa-desa menurut kadar kepentingan dan potensi konflik yang tinggi. Walaupun staf BKSDA sempat khawatir masuk ke desa-desa, karena mereka sering melakukan operasi penertiban pengambilan kayu. Mereka khawatir masyarakat desa akan membalasnya saat sosialisasi itu. Namun dari kekhawatiran staf BKSDA ini dapat ditarik suatu benang merah kalau operasi penertiban melulu tidaklah selalu baik, tanpa adanya pendekatan lain yang lebih menekankan aspek pencegahan. Malah operasi melulu bisa merangsang masyarakat anarkis. Akhirnya penanaman pun dijalankan dengan menetapkan seluruh rombongan dibagi menjadi tiga regu. Dua regu khusus melakukan penanaman pohon kehidupan dan satu regu lagi untuk sosialisasi ke desadesa. Pelaksanaan ini penanaman bibit pohon pun tidak mengalami hambatan yang berarti, meskipun pencarian titik awalnya (menggunakan peta dari BIPHUT) sangatlah sulit, hingga dipakailah peta hasil kerja KKI Warsi, termasuk dengan bantuan Orang Rimba. Penanaman bibit pohon ini ternyata tidak menghabiskan waktu lama, selesai dalam lima hari.(Nurdin Hasan, Asisten Pengelolaan Kawasan)
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
37
K
embali untuk kedua kalinya staf KKI Warsi meraih penghargaan The Man and The Biosphere (MAB) dari UNESCO. Pemberian MAB ini bisa dianggap sebagai penghargaan UNESCO untuk konservasi di Indonesia termasuk Jambi, terutama pada aktifis peduli lingkungan.
DOK. KKI WARSI
Arti Konservasi bagi Jambi
Secara khusus piagam MAB ini menjadi upaya mendorong kaula muda peduli lingkungan untuk berperan dalam program UNESCO MAB di Indonesia yang bersifat interdisiplin. Program tersebut diawali tahun 1970 dengan melibatkan 100 negara di dunia dengan pendekatan yang memadukan konservasi SDA dan pemanfaatan secara berkelanjutan.
Adapun cakupan minat yang dilihat dari peserta seleksi penghargaan MAB ini yaitu minat yang bersifat interdisiplin dan berorientasi pada pemecahan masalah lingkungan, Pertama kali MAB diraih 1999, oleh terutama yang berhubungan dengan Robert Aritonang (Koordinator Propersoalan sosial, ekonomi, serta gram KKI Warsi) dan mantan Fasilitator pengetahuan tentang masyarakat asli Pendidikan Orang Rimba KKI Warsi, (indigenous knowledge) dan Saur Marlina Manurung alias Butet. keanekaragaman hayati, termasuk Tahun ini diraih Mahendra Taher, pemanfaatan sumber daya alam (SDA) Koordinator Program Potret Hutan secara berkelanjutan, pendidikan Jambi yang sebelumnya menjabat Taher (atas) dan Zainuddin lingkungan dan studi ekologi terapan. Koordinator Program DAS Batanghari, (bawah) peraih penghargaan Terutama tentang inovasi teknik dan Zainuddin, staf Unit Fasilitasi Desa. MAB dari UNESCO konservasi SDA dan pembangunan Proses penentuan penerima piagam ini berawal dari yang berbasiskan masyarakat, manajemen SDA terpadu seleksi terhadap 43 peserta yang mengajukan karya yang terfokus pada ekosistem hutan pegunungan, rawa, tulis ke Komisi Nasional MAB-LIPI dan UNESCO. pesisir serta laut. Program ini memang didukung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan kantor perwakilan Disamping juga dilihat kajian mereka terhadap teknologi alternatif SDA di daerah pedesaan dan zona UNESCO di Jakarta. penyangga di kawasan konservasi, yang bertujuan Peserta merupakan kaula muda peneliti, praktisi, dan untuk pembangunan ekonomi berwawasan pemerhati lingkungan yang bekerja di bidang lingkungan, serta pengembangan cara-cara inovatif pengembangan dan pengelolaan SDA serta konservasi dalam bidang pendidikan lingkungan dan peningkatan lingkungan yang berhubungan langsung dengan kesadaran masyarakat. masyarakat. Dari 43 peserta tersebut diseleksi sembilan sebagai finalis dan kemudian dinyatakan lima orang Mahendra Taher dalam presentasinya dihadapan sejumlah juri mengangkat persoalan kerusakan Daerah menjadi pemenang. Aliran Sungai (DAS) Batanghari yang selama tujuh Penerima penghargaan ini secara langsung diangkat tahun ditelitinya. Bersama beberapa aktifis KKI Warsi, menjadi duta konservasi UNESCO untuk daerahnya Taher memperjuangkan DAS Batanghari agar masing-masing. Mereka diharapkan bisa memberikan diperhatikan pemerintah dua provinsi (Jambi dan kontribusi untuk konservasi di daerahnya masing- Sumbar). Hingga Taher pun memberi judul kajiannya masing, begitu juga dengan Jambi yang memiliki Membangun Kesepahaman Bersama : Sebuah Upaya empat taman nasional (Taman Nasional Bukit Mendorong Pengelolaan SDA Berkelanjutan oleh Duabelas/TNBD, Taman Nasional Bukit Tigapuluh/ Masyarakat dengan Pendekatan Bioregion pada DAS TNBT, Taman Nasional Kerinci Seblat/TNKS, dan Batanghari. Taman Nasional Berbak/TNB). Kepercayaan UNESCO ini harus disadari sebagai arti pentingnya Dari penelitiannya Taher melihat kalau kawasan konservasi di TNBD, TNBT, TNKS, dan TNB, yang konservasi, khususnya bagi Jambi.
AKTUAL 38 ada di Jambi dan DAS Batanghari belum sepenuhnya mendapat perhatian pemerintah dalam pembangunan. Ada kecenderungan pemerintah daerah Jambi melihat secara parsial saja tentang taman-taman nasional ini. Padahal taman-taman nasional tersebut merupakan sumber penting bagi hidrologi DAS Batanghari, terutama TNKS. Jika kondisi tersebut dibiarkan banjir besar bisa terus terjadi, karena dalam tahun 2003 saja Jambi telah menuai tiga kali banjir besar. Solusi yang ditawarkan Taher yaitu pengelolaan SDA pada DAS Batanghari menggunakan pendekatan bioregion. Pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama alias ikut terlibat dalam penyelamatan lingkungan. Upaya penyelamatan ini tidak boleh dibatasi oleh wilayah administrasi daerah.
Masyarakat desa sekitar TNBD umumnya membuka lahan karena kurangnya lahan di desa akibat pembukaan lahan berskala besar oleh perusahaan (perkebunan sawit dan HTI). Selain itu juga karena tingkat perekonomian masyarakat yang rendah. Pembukaan lahan ini juga dilakukan oleh migran secara komulatif. Selanjutnya pembukaan lahan terjadi karena adanya pengambilan kayu secara illegal yang dimodali toke/ cukong kayu dari luar. Kondisi ini terjadi karena lemahnya penegakkan hukum, permintaan kayu yang tinggi di pasaran, serta juga karena tingkat ekonomi masyarakat yang rendah. Disamping adanya Izin Pemanfaaatan Kayu (IPK) sebagai kedok eksploitasi kayu illegal. Kenyataan ini terlaksana juga karena praktek KKN.
Upaya Taher mengkampanyekan persoalan kerusakan DAS ini tidaklah sia-sia. Sebuah nota kesepahaman dari dua pemerintah provinsi (Jambi-Sumbar) pun tercapai lewat workshop regional kerja sama KKI Warsi dengan pemerintahan Jambi dan Sumbar. Nota itu ditandatangani gubernur dua provinsi, beberapa bupati, dan disaksikan oleh Menteri Lingkungan Hidup RI, Nabiel Makarim, serta Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan RI, Wahjudi Wardojo. Pengelolaan DAS dengan pendekatan bioregion ini pernah diterapkan di Mexico dan Costarica.
Melihat kenyataan di atas, pembangunan desa di sekitar TNBD harus mendapatkan perhatian serius, setidaknya fasilitasi pembangunan desa yang berupa kompensasi bagi masyarakat desa atas disahkannya TNBD. Upaya pemberdayaan masyarakat ini pada hakekatnya memiliki dua makna pokok, yaitu to give ability or enable (meningkatkan kemampuan masyarakat) dan to give authority (meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengambil keputusan berkaitan dengan kebutuhan dan permasalahan mereka).
Sementara Zainuddin mengangkat tema berjudul Kawasan Bukit Duabelas : antara Ancaman dan Upaya Penyelamatan (Kaji Tindak terhadap Masyarakat Desa Interaksi Bagian Selatan, Barat dan Utara TNBD). Kajian ini dilakukan laki-laki yang biasa dipanggil Zen ini selama 2,5 tahun di beberapa desa interaksi di TNBD Jambi.
Harapan ke depan untuk mendukung semua ini adalah penegakkan hukum dan perhatian tinggi dari pemerintah melalui program pembangunan dengan mendasarkan atas potensi, kondisi, serta kebutuhan masyarakat. Yang tak kalah pentingnya ada kebijakan yang berimbang antara aspek sosial ekonomi dengan ekologi/konservasi.
Kegiatan Zen yang juga dilakukan rutin oleh beberapa staf Unit Fasilitasi Desa KKI Warsi, bertujuan membangun kesadaran masyarakat akan arti penting keberadaan TNBD. Selain itu, kegiatan ini juga berkaitan dengan usaha pemberdayaan masyarakat di berbagai bidang, terutama demi peningkatan perekonomian masyarakat.
Temuan Taher dan Zen serta pemenang MAB lainnya, yang disampaikan dalam bentuk makalah tersebut akan diterbitkan oleh UNESCO dalam publikasinya, termasuk kedalam bentuk MABnet hingga tersebarluas ke seluruh belahan dunia. Bagi Taher dan Zen atau seluruh aktifis KKI Warsi, MAB bukanlah tujuan, tetapi hanya sarana menunjukan tekad ingin menyampaikan berbagai kondisi nyata yang ada di kawasan lindung, khususnya TNBD dengan berbagai aspek ancaman dan peluangnya. Harapan dari semua itu adalah timbulnya kepedulian seluruh pihak untuk berpikir dan bertindak bersama dalam pelestariannya. Jika harapan itu tak terwujud, yang tinggal hanyalah MAB sebagai sertifikat dan tropi tanpa makna apaapa, ujar keduanya.(Zainuddin).
Penyelamatan dan pengelolaan TNBD tidak bisa dilepaskan dari keberadaan masyarakat di dalam dan di sekitarnya. Masyarakat desa sekitar taman bisa menjadi ancaman bagi keutuhan ekosistem TNBD, terutama lewat perladangan dan pengambilan kayu secara illegal oleh masyarakat desa.
DOK. KKI WARSI
39
PENDIDIKAN
Pendidikan Alternatif Anak Rimba Lewat Gambar ….. Sebuah gambar bermakna beribu kata. Mereka ungkapkan untuk merekam kejadian secara simbolis, mengumbar imaji, mimpi, dan harapan. Bersandar pada situasi lingkungan tempat hidupnya, yaitu hutan yang mendewasakan mereka.
S
elain belajar membaca, menulis, dan berhitung, anak rimba Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi juga diberi materi pendidikan alternatif. Tujuannya untuk menggali apresiasi anak rimba terhadap apa yang mereka lihat, pikirkan, dan yang muncul dari alam bawah sadarnya. Atmosfir penekanan bentuk belajar yang selama ini mengandalkan kemampuan verbal, logika, serta kognitif (rasional), menjadi pendekatan belajar yang monoton apalagi jika dikarenakan harus mengejar target belajar. Lewat kajian aspek psikologis anak-anak yang cenderung masih suka bermain, maka pola belajar yang diterapkan pun sebaiknya masih menampung keinginan bermain tersebut. Sehingga belajar menjadi kegiatan yang mengasyikkan. Dan dari sekian eksplorasi modul pendidikan yang diberikan ke Orang Rimba, terutama anak-anak, dicobakanlah penambahan metode dan materi belajar lewat mengasah intuisi mereka. Salah satunya dengan memberikan materi mengambar yang menerapkan pola pendekatan belajar yang juga mengolah rasa bermain dan kreativitas anak rimba.
Walaupun tujuan awal pemberian materi ini sebenarnya sebagai media berinteraksi (komunikasi awal) penulis dengan mereka. Terutama saat memasuki kelompok murid rimba yang baru. Sebelum menjadi murid, kadang mereka masih malu-malu untuk belajar materi pelajaran dasar (baca, tulis, dan hitung). Kegiatan ini pertama kali diperkenalkan ke muridmurid sekolah rimba (Orang Rimba menyebutnya sokolah rimba) yang tinggal di Sakotalun atau Makekal hulu TNBD Jambi. Umumnya anak sokolah yang mengikuti pelajaran ini berumur 4-7 tahun. Seiring perjalanan waktu dan pembelajaran yang terus bergulir, murid yang lebih besar (berusia 7-15 tahun) pun mulai melirik dan ikut kegiatan ini. Bahkan ada murid terkecil bernama Priso (3 tahun) juga tak ingin ketinggalan dari kakak-kakaknya, dia minta pensil warna, krayon, dan rautan kemudian mulai menorehkan garis-garis ke atas kertas putih polos. Seiring waktu, murid-murid mulai ketagihan dengan pelajaran menggambar. Bahkan setiap kali penulis memulai pelajaran pokok, mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, mereka selalu minta diawali dengan menggambar. Sebelum menggambar, mereka tak henti-hentinya bercerita tentang kejadian yang mereka lihat di hari sebelumnya dan mimpi yang selalu datang dalam tidurnya di malam hari. Cerita itu menjadi bahan untuk dituangkan ke dalam gambar. Memang kejadian harian dan mimpi-mimpi tersebut
PENDIDIKAN 40 adalah objek menarik alias prioritas mereka untuk diungkapkan ke dalam gambar. Tak heran hasil gambar mereka pun sering menghadirkan objek-objek yang aneh bagi penulis dan pasti bagi masyarakat luar juga. Seperti murid bernama Ngambur (5 tahun) yang ketika ditanyakan apa yang dia gambar, dia menjawab kalau gambarnya tentang hantu yang tinggal di pohon-pohon dalam hutan. Begitu pula dengan anak rimba bernama Pemilang Laman (10 tahun) yang menggambar mimpinya di malam sebelumnya tentang ia yang sedang berburu, memegang kujur (tombak) dengan gagah berani mengejar rusa untuk dipersembahkan ke pacarnya. Mendengar penuturan mereka, penulis semakin bersemangat untuk lebih mengetahui ‘alam’ lain mereka itu. Tapi yang menarik untuk dicermati adalah karya mereka yang rata- rata meniadakan unsur perspektif pada subject matter (objek) dan back ground (latar belakang) gambar-gambar yang dihasilkan. Sehingga bila dibandingkan dengan gambar anak-anak di luar komunitas mereka seperti anak-anak desa dan perkotaan (yang sering menampilkan objek pemandangan dengan ikon atau bentuk-bentuk yang konvensional misalnya gunung, sawah, dan matahari), anak rimba lebih bebas mengungkapkan gambar sesuai ekspresi dan kapasitas mereka. Meminjam teori Koetsler tentang intensifikasi penghayatan belajar yang dialami oleh setiap manusia sangatlah beragam (berbeda) begitu juga dengan anak rimba. Di mana penciptaan pola belajar sambil bermain dapat menghindarkan kejenuhan, merangsang gagasan, dan pemikiran sejak dini. Ini berguna untuk penguatan jatidiri anak yang nantinya diharapkan tidak merasa asing, takut, ataupun malu mereka terlahir di lingkungan yang berbeda. Puncak dari eksistensi murid-murid sokolah rimba tersebut adalah saat karya-karya mereka dipajang di kantor KKI Warsi sejak delapan bulan yang lalu. Sebuah sekolah berwawasan lingkungan hidup di Jambi, meminta karya mereka ditampilkan di acara peringatan Hari Bumi untuk anak-anak yang mereka selenggarakan. Diharapkan mendatang masih ada acara serupa yang bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak lain, sekaligus untuk memperkenalkan anak rimba melalui karyanya.(Apristawijaya, Fasilitator Pendidikan Alternatif Orang Rimba)
KESEHATAN
Nasib Kesehatan Orang Rimba Bila manfaat itu saling menguntungkan, maka kerja sama akan menyusul. Kerja sama saling menguntungkan akan menciptakan manfaat, dan menuntun ke kasih sayang.-Tai Gong Wong
D
engan bergulirnya reformasi, paradigma pembangunan nasional pun terlihat mulai berpihak ke rakyat kecil. Kucuran dana Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang jumlahnya milyaran rupiah diberikan negara demi menyelamatkan masyarakat lapisan bawah. Namun bagaimana dengan nasib Orang Rimba yang jumlahnya mencapai sekitar 2.617 jiwa ? Adakah mereka merasakan sentuhan program ini ? Program seperti apa yang baik diberikan pemerintah untuk mereka ? Masih belum sepenuhnya terjawab.
Hingga saat ini hanya sebagian Orang Rimba yang masuk dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Masih banyak Orang Rimba, masyarakat tradisional (indegeneous people) yang paling minoritas di Jambi, hidup di hutan dan menutup diri dari dunia luar. Sehingga penerapan sistem layanan kesehatan buat mereka pun perlu pendekatan khusus, tidak bisa disamaratakan dengan sistem pelayanan ke masyarakat umum. Sebab Orang Rimba memiliki adat-istiadat, kepercayaan dan tabu-tabu yang jauh berbeda dari masyarakat Jambi kebanyakan, bahkan semua itu berpengaruh langsung terhadap pemberian pelayanan kesehatan ke mereka. Ini yang masih jadi kendala semua program pemerintah masuk. Saat ini jumlah Orang Rimba yang tersebar di Kabupaten Sarolangun dan Merangin mencapai 1.259 jiwa, 1.012 jiwa di Kabupaten Bungo dan Tebo, serta 346 jiwa bernaung di Kabupaten Batanghari. Selama ini orang awam (orang Melayu) yang menyebut Orang Rimba dengan sebutan Kubu masih mengasosiasikan Orang Rimba dengan kesan kotor, menjijikan, bodoh, biadab, serta tidak beragama. Sebaliknya Orang Rimba memandang orang luar sebagai penyebar penyakit, penyebab kehancuran, pengacau adat-istiadat, dan pembawa malapetaka. Pandangan ini sudah ada sejak dulu, bahkan di pikiran kalangan praktisi serta birokrat yang duduk di pemerintahan. Sehingga kebijakan pembangunan dalam bidang kesehatan pun selalu dilandasi konsep yang salah terhadap Orang Rimba. Ini adalah kendala keberikutnya.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
41 Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan penting dan jangan bersifat pemaksaan. Tujuannya agar masyarakat lebih mengenal masalah yang dihadapinya, merencanakan dan melakukan upaya pemecahan dengan memanfaatkan potensi yang ada sesuai dengan situasi, kondisi, serta kebutuhan setempat.
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
Untuk itu pula, KKI Warsi mencoba menjalin kerja sama dengan instansi kesehatan Provinsi Jambi dan telah menghasilkan beberapa kegiatan fasilitasi kesehatan Orang Rimba. Contohnya kerja sama KKI Warsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Merangin dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Merangin dengan melahirkan 500 kartu sehat untuk Orang Rimba. Kartu sehat ini tidak mengenal batas masa berlaku sebagaimana kartu sehat yang dimiliki masyarakat tak mampu umumnya. Dengan kata lain tidak perlu diperbarui. Kartu sehat ini juga bisa digunakan di mana saja Orang Rimba berada, meskipun kartu sehat itu dikeluarkan di Kabupaten Merangin, alias tidak mengenal konsep wilayah. Banyak kesulitan yang dihadapi dalam pengumpulan data Orang Rimba serta pendistribusiannya, sehingga dari target 500 kartu sehat sampai saat ini baru 263 lembar yang sampai ke Orang Rimba. Hambatan lainnya adanya pantangan yang dianut Orang Rimba untuk menyebutkan nama mereka ke orang lain (yang belum dikenal). Selain itu nama perempuan serta anak kecil sering disembunyikan dengan alasan menyebutkannya akan melanggar adat-istiadat mereka. Pendistribusian kartu sehat juga terkendala kebiasaan Orang Rimba hidup berpindah. Meskipun begitu yang terpenting program kartu sehat ini mendapat dukungan dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), terutama RSUD Kol. Abundjani Bangko yang selama ini sering didatangi Orang Rimba Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Orang Rimba yang datang untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan diperlakukan sama seperti penderita yang berasal dari masyarakat kebanyakan. Orang Rimba yang telah merasakan manfaat kartu sehat ini antara lain, Mijak (14 tahun) dan Melempi (7 tahun), untuk menjalani operasi hernia. Mijak mendapatkan perawatan 16 Januari 2003 dan Melempi 23 Juni 2003. Khusus kondisi Mijak menjelang operasi saat itu termasuk sulit karena Mijak menderita anemia (5,6 gr%) yang harus mendapat tambahan darah, sementara golongan darah yang dibutuhkan cukup langka yaitu AB. Sedangkan kesulitan yang dihadapi untuk Melempi datang dari orang tuanya yang tak mau memberikan izin karena anggapan anaknya terlalu kecil untuk dioperasi, penulis terpaksa membujuk mereka tanpa lelah. Selanjutnya, anak rimba bernama Beconteng (8 tahun), menjalani operasi kista atherum retro anokuler sinistra di RSUD Mattaher Jambi 29 Juli 2003. Pihak RSUD Kol. Abundjani merujuknya agar dioperasi di Jambi disebabkan belum adanya dokter spesialis THT di RSUD tersebut. Kemudian Merimau (satu tahun), mendapat perawatan di RSUD Kol. Abundjani 2 Agustus 2003 dikarenakan menderita diare berat. Meskipun akhirnya meninggal di dalam rimba setelah diminta pulang secara paksa oleh orang tuanya bernama Grip.
KESEHATAN
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
42 Disamping itu, ada Pelayang Sanggul (40 tahun) istri salah seorang temenggung (pimpinan Orang Rimba bernama Temenggung Tarib) yang sempat dirawat di Puskesmas Pematangkabau selama lima hari karena kista ovarium. Namun karena belum menunjukan kondisi yang sehat, pihak puskesmas merujuknya ke RSUD Kol. Abundjani dan melewati operasi akhir Agustus 2003 di sana dengan sukses. Lalu ada Ternong (19 tahun) yang juga dirawat di RSUD Kol. Abundjani selama lima hari, tepatnya tanggal 24 September 2003 karena telapak tangan kanannya tertembus kujur (sejenis tombak/senjata tradisional Orang Rimba). Menyusul setelah Ternong, Temenggung Mija (60 tahun) karena TBC yang sudah lama dideritanya. Namun karena tidak betah dirawat di RSUD Kol. Abundjani dia memaksa pulang yang akhirnya meninggal dunia 12 Oktober 2003 di tengahtengah keluarganya yang bermukim di DAS Terab. Selain advokasi dengan Dinas Kesehatan Merangin, KKI Warsi juga melakukan advokasi ke Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari, Tebo, dan Sarolangun. Mereka mendukung upaya fasilitasi kesehatan Orang Rimba, tapi belum diwujudkan dalam bentuk program kerja sama yang riil. Ke depan sebaiknya ditempatkan petugas dari dinas kesehatan kabupaten-kabupaten ini untuk turun langsung ke kelompok Orang Rimba. Sejauh ini sedikit sekali atau bahkan mungkin tidak ada petugas kesehatan yang mau bergabung dalam waktu yang cukup lama memberikan layanan kesehatan kepada Orang Rimba. Bagi mereka yang berminat, bisa dijanjikan akan diangkat langsung dalam kurun waktu tertentu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), ini bisa mendorong mereka bersedia menangani kesehatan Orang Rimba. Upaya keberikutnya, memakai sistem jemput bola. Cara ini lebih efektif namun jangan dilakukan dalam jumlah anggota tim yang besar. Sebab selain akan memperbesar biaya operasional, tak menutup kemungkinan akan ada lembaga atau oknum yang ‘menumpang hidup’ dari program ini. Walaupun Orang Rimba juga mengembangkan sistem pengobatan tradisional, seperti pemanfaatan biota obat (etnomedicine), serta adanya peran dukun. Namun berbagai penyakit yang timbul tentu saja tak sepenuhnya bisa mereka atasi. Kondisi itu turut diperburuk oleh pengetahuan kesehatan, kesadaran,
dan kemauan dalam diri mereka untuk hidup sehat. Hingga Orang Rimba sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Hingga penyakit yang relatif tidak berbahaya pun (yang juga umum diderita orang luar) bisa menyebabkan kematian pada Orang Rimba. Bagi tenaga kesehatan yang bersedia turun langsung ke Orang Rimba tersebut, perlu memahami itu semua termasuk adat-istiadat dan mobilitas Orang Rimba, baik mobilitas taktis (terkait dengan aktifitas mencari sumber makanan di hutan) mereka maupun mobilitas residensial (perpindahan akibat melangun, tabu kematian, atau karena adanya konflik internal di tubuh kelompok). Yang terpenting, petugas kesehatan juga harus telaten, sabar, serta bersikap simpatik pada Orang Rimba agar lebih mudah diterima. Dengan dicanangkannya program Menuju Jambi Sehat 2008 serta Menuju Indonesia Sehat 2010, bisa jadi moment bagi setiap pihak memperhatikan kesehatan Orang Rimba. Baik pemerintah, swasta, maupun LSM, harus berperan dalam memberikan dan menyediakan sarana kesehatan untuk masyarakat tanpa pengecualian, sebagaimana termaktub dalam UU No. 23 Tahun 1992 pasal 5 tentang kesehatan, berbunyi “Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungannya”. Sehingga terwujudlah derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sesuai pula dengan isi pasal 4 UU No. 23 tahun 1992 kalau setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. (Sutardi Diharjo, Fasilitator Kesehatan)
Sang Kemare Kebijakan pembangunan desa belum sentuh persoalan masyarakat Yang disentuh baru SDA-nya saja. Pemeliharaan tata batas TNBD di kabupaten semoga bukan basa-basi Nanti jadi basi!
Refleksi untuk Penguasa dan Pengusaha
P
eringatan Tuhan sudah datang silih berganti, mulai dari kebakaran hutan, banjir, dan konflik etnis, harusnya segera dijadikan refleksi oleh semua orang, khususnya politikus dan birokrat. Mereka wajib melihat kembali apakah paradigma pembangunan yang dikembangkan selama ini masih efektif. Pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang sentralistik, tertutup, dan berorientasi target ekonomi sesaat, disertai rendahnya komitmen politik pemerintah dan tidak berjalannya penegakkan hukum, menjadi titik kulminasi penyebab terjadinya kerusakan moral dan lingkungan.
meningkatnya frekuensi banjir tahunan, tidak memadainya lagi pasokan air bersih untuk masyarakat, tingginya sendimentasi, yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa sistem lingkungan yang mendukung proses daur hidrologi sedang mengalami kerusakan. Seperti yang dialami DAS Batanghari Jambi, di mana Jambi pun ‘menuai tangis’ masyarakatnya secara periode dalam tahun-tahun belakangan ini sebab diharuskan kehilangan anggota keluarga yang tewas terseret air, rusaknya sawah dan rumah, serta terhentinya kegiatan sekolah anak-anak mereka karena banjir. Perubahan Paradigma Suatu Keharusan
Mata tombak pelaku ekonomi dalam pemanfaatan hutan hanya mengedepankan bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waktu yang secepatcepatnya, jarang menyinggung masalah lingkungan. Persoalan pengelolaan SDA bagai benang kusut yang tak kunjung bisa ditemukan ujung pangkalnya. Layak jika rakyat sebagai pemberi mandat ke pemerintah (sebagai penguasa) mempertanyakan sejauh mana keberhasilan pembangunan ekonomi, jika dampak kerusakan lingkungan ditanggung semua orang lewat banjir besar. Di Jambi saja tercatat sampai tiga kali banjir besar dalam 2003. Begitu juga dengan kebakaran hutan dalam skala berat dialami hampir seluruh daerah di Indonesia. Proses penerapan otonomi daerah yang diikuti dengan desentralisasi pengelolaan SDA tak juga bisa membantu malah lebih diartikan sebagai cara untuk meningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hutan titik sentral satu-satunya yang bisa dieksploitasi kapan pun. Jika selama ini pembangunan lewat pemberian izin pembukaan lahan perkebunan besar swasta sawit, konsesi pertambangan, areal transmigrasi, HPH/HTI, dan IPK, sebagai penyebab hancurnya hutan, maka otonomi memperparah kondisi itu dengan ego administratif yang dipunyai daerah. Eksploitasi SDA ini sangat berdampak pada rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS kehilangan kemampuan menyimpan air di musim kemarau,
Persoalan kerusakan hutan tidak berhenti pada usainya kabut asap setelah kebakaran hutan, surutnya air pasca banjir, masih ada dampak susulannya yang lebih memiriskan perasaan. Kelaparan karena musnahnya harta-benda serta hasil pertanian, hilangnya tempat bernaung, munculnya penyakit menular, hancurnya akses transportasi, berubahnya iklim mikro dan makro yang mempengaruhi pola pertanian, contoh yang harus diwaspadai. Keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha oleh penguasa harus diakhiri saat ini juga. Pemerintah harus kembali ke akar, pemegang mandat adalah rakyat, bukan segelintir orang. Option strategi para perencana pembangunan harus diletakan pada faktor lingkungan yang diikuti rencana tata ruang (RTRWK/RTRWP) yang tepat. Sekian lama posisi masyarakat, estetika dan etika lingkungan ini masih terkalahkan oleh kepentingan para pemilik modal. Pengalaman pahit lewat bencana alam harus jadi cerminan untuk mengubah paradigma pengelolaan hutan ke depan. Tidak ada gunanya pembangunan dilakukan kalau dalam hitungan detik semuanya binasa. Namun kunci utama dalam mengatasi masalah ini yaitu adanya kesadaran pelaku. Selama sadar lingkungan belum tumbuh di hati pelaku, di hati kita semua, baik pemerintah, pengusaha, LSM, maupun masyarakat banyak, semua perangkat peraturan, hukum, teguran, himbauan, serta denda tak akan banyak gunanya karena masih bisa dicurangi atau dicari titik-titik lemahnya.(Rakhmat Hidayat, Deputi Direktur)
43
44
Alam Sumatera adalah Buletin Intern yang dikelola oleh KKI WARSI (Komunitas Konservasi Indonesia WARSI)