KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA MELALUI UNITED STATES SECURITY COORDINATOR (USSC) PERIODE 2005-2012 SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh : Khalisotussurur NIM: 107083000030
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Palestina melalui United States Security Coordinator (USSC) pada Periode 2005-2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi didirikannya USSC dan menilai efektivitas kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Palestina melalui USSC. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustakan dan wawancara. Penelitian ini menemukan bahwa didirikannya USSC bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keamanan internal Palestina. Adanya ketertiban di internal Palestina akan memberikan dampak positif terhadap keamanan Israel yang merupakan aliansi Amerika Serikat. Ketertiban dan keamanan wilayah internal Palestina di Tepi Barat khususnya dijaga dengan memberikan bantuan keamanan untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga keamanan melalui pelatihan dan pemberian perlengkapan militer. Pelatihan-pelatihan tersebut diprogram untuk kepolisian dan bukan militer sehingga dijamin tidak akan membahayakan keamanan Israel. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini adalah konsep kebijakan luar negeri, kepentingan nasional, bantuan luar negeri, dan perspektif realisme. Dari hasil analisa menggunakan keempat pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bantuan keamanan yang diberikan Amerika Serikat terhadap Palestina melalui USSC tidak efektif karena beberapa hal. Pertama, Palestina tidak memiliki keleluasaan untuk mereformasi sektor keamanannya sendiri. Kedua, reformasi sektor keamanan tidak berpengaruh terhadap pelayanan masyarakat dan ketertiban internal Palestina. Ketiga, reformasi sektor keamanan tidak berpengaruh terhadap perdamaian Israel-Palestina.
Kata kunci: Kebijakan, Keamanan, Kepolisian, Bantuan
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Palestina Melalui United States Security Coordinator (USSC) Periode 2005-2012”. Skripsi ini sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional. Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, ungkapan terima kasih yang dalam ingin penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta yang telah memberikan masukan dan arahan yang baik kepada penulis dalam mempersiapkan proposal skripsi menuju DPS. 2. Ibu Dina Afrianty, Ph.D., selaku Pembimbing Akademik Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Teguh Santosa, MA yang telah bersedia menjadi pembimbing skripsi penulis dalam rangka menyelesaikan studi. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, saran, dan motivasi berharga di tengah kesibukannya. 4. Ibu Rahmi Fitriyanti dan Bapak Fajri selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan waktu untuk membaca dan mengujikan skripsi ini. 5. Bapak Hamdan Basyar selaku peneliti LIPI, yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancara oleh penulis dan menjelaskan secara detail kepada penulis mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan perkembangan politik internasional Timur Tengah. 6. Ayahanda tercinta Sirajuddin Syamsul Arifin dan Ibunda tercinta Mazidah Maksum selaku orang tua yang telah memberikan do’a restu dan semangat, baik moral maupun material selama penulis menuntut ilmu. Tidak lupa juga kepada kakak-adik penulis yaitu Zulfa Simatur, Elsyifa Mazra, Pandu Angga, dan Kopi yang telah memberikan dukungan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Doni Purwanto yang telah memberikan penulis semangat terus menerus dan membantu penulis untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan ke beberapa perpustakaan.
v
8. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi yakni Keluarga Besar LPM INSTITUT, Legoso.co, dan teman-teman HI khususnya Ade Piun, Noor Rahma Juli, Yeni Aryati, Pridania, Haninda Farah, Rina Dwihana serta seluruh angkatan 2007. 9. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari mungkin masih terdapat berbagai kekurangan dalam karya ilmiah/skripsi ini. Karena itu sangat diharapkan saran dan kritikan yang konstruktif untuk penyempurnaan skripsi ini. Meski demikian sebagai karya ilmiah/skripsi segala isi dan bentuk dari skripsi ini menjadi tanggung jawab penulis, yang pada saat-saat tertentu harus dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik. Terakhir penulis mengucapkan hamdalah, semoga menjadi ibadah, Amin ya Rabbal ’Alamin.
Jakarta, 25 November 2013
KHALISOTUSSURUR NIM: 107083000030
vi
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PERNYATAAN
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
ABSTRAK SKRIPSI
iv
KATA PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR SINGKATAN
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
1
B.
Pertanyaan Penelitian
6
C.
Kerangka Pemikiran
6
D.
Metode Penelitian
11
E.
Sistematika Penulisan
12
BAB II
KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA
A.
Sejarah Umum Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat
15
B.
Bantuan Keamanan Amerika Serikat terhadap Palestina
22
C.
Reformasi Sektor Keamanan terhadap Palestina melalui USSC
30
BAB III
UNITED STATES SECURITY COORDINATOR (USSC)
A.
Sejarah Terbentuknya USSC
B.
Profil USSC
36
1. Prinsip USSC
44
2. Tujuan USSC
44
3. Struktur USSC
45 vii
C.
Sumber Daya USSC
D.
1. Kekuatan Finansial
BAB IV
a.
INL
47
b.
EUPOL COPPS
48
c.
JIPTC
51
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA MELALUI USSC PADA PERIODE 2005-2012
A.
Evaluasi Reformasi Sektor Keamanan USSC
B.
Efektivitas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Palestina Melalui USSC pada Periode 2005-2012
BAB V A.
54
62
PENUTUP Kesimpulan
71
DAFTAR PUSTAKA
74
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel II.B.
Bantuan AS terhadap Palestina 1994-1998
Tabel III.C.1 Daftar Bantuan USSC terhadap Palestina 2007-2010
24 47
Tabel III.C.2 Daftar Bantuan USSC & EUPOL COPPS terhadap Palestina 2008-2010
50
Tabel IV.A.1 Poling Tingkat Kepercayaan Masyarakat Palestina terhadap Lembaga Keamanan
59
Tabel IV.A.2 Poling Tingkat Keyakinan Masyarakat Palestina Terhadap Jaminan Keamanan oleh Pemerintah
ix
60
DAFTAR GAMBAR
Bagan III.B.3 Struktur Elemen Keamanan Palestina
x
46
DAFTAR SINGKATAN AS
Amerika Serikat
DDR
Disarmament, demobilization, dan reintegration
ENP
The European Union Neighbourhood Policy
ESDP
European Security and Defense Policy
EUPOL COPPS
European Union Police Coordinating Office for Palestinian Police Support
HAM
Hak Asasi Manusia
HRE
Human Rights Experts
IDF
Israeli Defence Force
INL
International Narcotics and Law Inforcement Affairs
JIPTC
Jordanian International Police Training Center
JSPD
Jordania Public Security Directorate
NSF
National Security Forces
PA
Palestinian Authority
PASF
Palestinian Authority Security Force
PBB
Perserikatan Bangsa-bangsa
PLO
Palestinia Liberation Organization
PPIO
Press and Public Information Officer
RSK
Reformasi Sektor Keamanan
SSR
Security Sector Reform
TIPH
Temporary International Presence in Hebron
USSC
United States Security Coordinator
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amerika Serikat mulai memberikan bantuan bilateral pada Palestina pasca Kesepakatan Oslo I antara Israel dan Palestina pada tahun 1993 (Benvenisti, 1993: 542). Israel dan Palestina menyepakati pembentukan pemerintahan otonomi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza (EthnoGraphic Media, 2010:6). Pemerintahan otonomi Palestina harus mengatur semua kebutuhannya sendiri. Dalam rangka membantu pemerintah otonomi Palestina yang baru terbentuk, Amerika Serikat memberikan bantuan terhadap Palestina. Bantuan tersebut ditujukan untuk meningkatkan sektor ekonomi, pelayanan sosial, kemanusiaan, pendidikan dan menguatkan pemerintahan otonomi Palestina senilai lebih dari empat miliar dolar AS (Zanotti, 2012: 7-8). Pada 1996, Amerika Serikat memperluas bantuan bilateral ke sektor keamanan dengan memberikan lima juta dolar untuk peralatan dan perlengkapan militer Palestina. Bantuan keamanan itu diberikan untuk Pemerintah Otonomi Palestina yang harus bertanggungjawab terhadap keamanan internal di wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat. Tentara Israel ditarik dari wilayah otonomi Palestina dan digantikan oleh polisi Palestina yang menjaga keamanan wilayah mereka (Kristoff, 2012: 3). Selanjutnya, saat Intifada kedua terjadi pada September 2000, bantuan bilateral Amerika Serikat terhadap Palestina difokuskan pada bantuan makanan untuk pengungsi dan pemulihan infrastuktur (USAID.GOV, 2013). Sebelumnya, Intifada pertama terjadi dari tahun 1987-1993 dengan aksi boikot ekonomi dan tanpa kekerasan. Lama kelamaan, Intifada berlanjut menjadi aksi kekerasan 1
pemuda Palestina yang melempari Tank Israel dengan batu (Ethnographic media, 2010:6). Pada Intifada Kedua, Palestina menyebut serangan ini sebagai pertahanan terhadap serangan Israel. Akibat dari Intifada Kedua, sekitar 3000 orang Palestina dan 1000 orang Israel tewas (Zanotti, 2010: 6). Menurut laporan U.S. Departement of State and Broadcasting Board of Governors (2011: 9). Intifada kedua tersebut melibatkan polisi Palestina untuk menyerang Israel. Pada tahun 2001, terdapat sejumlah upaya negosiasi antara Israel dan Palestina tapi tidak menghasilkan sebuah kesepakatan bersama sebagai solusi konflik kedua negara (Ayyad & Anthony Pym, 2012: 1) Selanjutnya, sebagai respon dari gagalnya negosiasi damai Israel-Palestina dan terjadinya peristiwa intifada, Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendeklarasikan diri sebagai Kuartet pada Oktober 2001 untuk merencanakan kembali proses negosiasi damai IsraelPalestina. Kuartet menghasilkan draf Roadmap for Peace (Peta Jalan Damai) sebagai cara dalam mengakhiri konflik Israel dan Palestina (Mark, 2005: 4). Tujuan pembentukan Kuartet yaitu untuk mencegah kekerasan Israel dan Palestina dan mengakhiri konflik melalui proses politik. Kuartet memiliki tiga misi, diantaranya, mendorong perundingan perdamaian Israel-Palestina secara politik, memperbaiki kondisi keamanan, ekonomi, kemanusiaan Israel-Palestina, serta memantau pelaksanaan Roadmap (Elgindy 2012, 18-19). Dalam forum Kuartet dihasilkan Roadmap Obligations. Roadmap Obligations adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh Israel dan Palestina untuk mencapai solusi dua negara tersebut (Migdalovitz, 2010: 11). Solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina pertama kali diinisiasi oleh PBB dalam United Nations Partition of Palestine into
2
two states, one Arab and one Jewish atau UN Resolution pada 29 November 1947. Resolusi ini diterima Yahudi tapi ditolak negara-negara arab (EthnoGraphic Media, 2010:5-21). Roadmap Obligations berisi poin-poin yang ditujukan untuk Israel dan Palestina. Adapun tiga poin di dalam Roadmap Obligations yang harus dipenuhi Palestina seperti dikutip dalam Journal of Palestine Studies XXXII (2003: 90), diantaranya: 1. Palestina bersikap tegas mengakhiri kekerasan dan terorisme, melakukan upaya nyata untuk menahan individu atau kelompok yang menjalankan serangan kekerasan terhadap Israel, 2. Membangun dan memusatkan kembali aparatur keamanan Palestina untuk mempertahankan, menargetkan, dan mengoperasikan secara efektif semua yang terlibat dalam teror dan membongkar kemampuan dan infrastruktur teroris. Termasuk melakukan penyitaan senjata ilegal, konsolidasi keamanan, dan terbebas dari keterlibatan teror dan korupsi, 3. Semua organisasi keamanan Palestina digabung ke dalam tiga layanan yang dilaporkan pada Kementerian Dalam Negeri Palestina. Dalam konteks membantu Palestina mengimplementasikan Roadmap Obligations, Amerika Serikat membentuk United States Security Coordinator (USSC) pada tahun 2005 untuk memperbaiki sektor keamanan di Palestina dan meningkatkan bantuan keamanannya untuk Palestina (Kushner dan Bedein, 2011: 5). Selanjutnya, Zanotti (2010:3) menyebutkan poin-poin di dalam Roadmap Obligations yang harus dipenuhi Israel diantaranya:
3
1. Israel tidak boleh melakukan tindakan yang mengurangi kepercayaan seperti deportasi, menyerang sipil, menyita atau membongkar rumah dan properti masyarakat Palestina sebagai tindakan hukuman untuk memfasilitasi
pembangunan
Israel;
Israel
juga
tidak
boleh
menghancurkan institusi dan infrastruktur Palestina; Israel harus menaati kesepakatan the Tenet Work Plan. 2. Untuk menunjukkan keamanan yang komprehensif ke depan, pasukan Israel harus meninggalkan area pendudukan sejak 28 September 2000 dan Israel-Palestina harus mengembalikan status quo sebelum 28 September 2000. Pasukan keamanan Palestina harus pindah ke tempat yang sudah ditinggalkan pasukan Israel. Pemimpin USSC diutus langsung oleh kementerian luar negeri Amerika Serikat (state.gov). USSC dipimpin langsung oleh Letnan Jendral Kipward pada Maret 2005 hingga Desember 2005. Lalu Letnan Jendral Keith Dayton menggantikan Kipward pada 2005-2010. Pada 2010, Moeller memimpin USSC dan digantikan Paul Bushong pada 2012 (Maannews.net). Sasaran USSC adalah mereformasi dan merestrukturisasi Palestinian Authority Security Force, melatih personil polisi, dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi aparat. Selain itu, USSC hadir untuk menjaga rakyat Palestina dari konflik internal, membangun pertahanan untuk menjaga rakyatnya, dan upaya persiapan membangun sebuah negara (Bedein, 2009: 4). Hal tersebut senada dengan pernyataan Keith Dayton, Letnan Jendral USSC yang menjabat pada tahun 2005 (Washington Institute, 2009: 8) bahwa USSC ditujukan untuk membangun negara Palestina yang mampu menyediakan
4
keselamatan dan keamanan untuk rakyat Palestina. Pasukan keamanan internal yang dididik melalui USSC bertanggungjawab untuk menegakkan hukum dan aturan, menghargai HAM, dan bukan untuk melawan Israel. USSC memiliki misi yang terdiri dari tiga poin, diantaranya memfasilitasi kerjasama Palestina dan Israel dan memastikan kapabilitas Palestinian Authority Security
Force
(PASF)
tidak
mengancam
Israel;
memimpin
dan
mengkoordinasikan bantuan internasional untuk PASF dari Amerika Serikat dan donor internasional; membantu Palestinian Authority (PA) untuk memperbaiki dan memprofesionalkan keamanan dengan melatih dan melengkapi PASF untuk Palestinian Obligations dalam Roadmap Obligations (Government Accountability Office, 2010: 11). Untuk menjalankan misi USSC, lembaga yang bermarkas di Jerusalem ini juga mendapatkan bantuan keamanan dari beberapa negara, yakni, Yordania dan Uni Eropa. Bantuan yang diberikan Yordania berupa fasilitas pelatihan pasukan Palestina yang dilakukan di Jordania Public Security Directorate (JSPD) (Government Accountability Office, 2010: 3). Bantuan lain untuk USSC dikutip dalam Bedein (2009: 5) berasal dari Uni Eropa melalui European Union Police Coordinating Office for Palestinian Police Support (EUPOL COPPS) yang berkontribusi dalam sektor pelatihan pasukan keamanan internal Palestina. Amerika Serikat sendiri mengalokasikan dana sekitar 392 juta dolar untuk melatih dan mengembangkan Palestinian Authority Security Forces untuk tahun 2007 hingga 2010. Walaupun begitu, Amerika Serikat tetap memastikan bahwa bantuan keamanan yang disediakannya tidak digunakan oleh individu atau kelompok yang terlibat dengan aktivitas teroris (Holland, 2010: 3).
5
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat melalui USSC merupakan pembahasan yang menarik untuk diteliti karena bantuan keamanan Amerika Serikat untuk Palestina diberikan berdasarkan kepentingan nasional Amerika Serikat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami apa kepentingan nasional Amerika Serikat melalui kebijakan luar negerinya dengan mendirikan USSC. Untuk itu, penelitian ini mengambil judul: Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Melalui United States Security Coordinator (USSC) Terhadap Palestina pada Tahun 2005-2012.
B. Pertanyaan Penelitian Adapun pertanyaan yang muncul pada penelitian ini yaitu 1. Bagaimana efektivitas kebijakan luar negeri Amerika Serikat melalui United States Security Coordinator (USSC)?
C. Kerangka Pemikiran Untuk menganalisa serta menjawab pertanyaan penelitian atas masalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat melalui USSC terhadap Palestina tahun 2005-2012, penelitian ini menggunakan perspektif realisme, teori kebijakan luar negeri, konsep kepentingan nasional, dan konsep bantuan luar negeri. Perspektif dan konsep digunakan untuk lebih memahami fenomena dan data-data yang ada. Teori merupakan rangkaian konsep yang saling berhubungan dan digunakan untuk menjelaskan fenomena tertentu. Lalu konsep merupakan sebuah kata yang melambangkan gagasan (Mas’oed, 1990).
6
1. Perspektif Realisme Asumsi realisme menurut Carr dikutip dalam Burchill dan Linklater (2009: 97) meyakini bahwa tatanan internasional dibentuk oleh realitas kekuatan global.
Aktor
kekuatan
yang
berdaulat
untuk
mengejar
kepentingan
internasionalnya adalah negara. Sehingga, tidak ada kedaulatan di atas negara yang dapat memaksakan hukumnya pada suatu negara. Kondisi ini menjadikan tatanan internasional bersifat anarki, sehingga muncul kompetisi antarnegara (Steans dan Pettiford, 2009: 46). Menurut Jackson dan Sorensen (2005: 89), agar dapat berkompetisi dalam tatanan internasional yang anarki, negara membutuhkan dominasi dan keamanan nasional. Lebih lanjut, Steans dan Pettiford (2009: 58-59) menjelaskan argumenargumen pokok realisme yakni pertama, pada hakikatnya negara, layaknya manusia adalah makhluk yang bertingkah-laku mementingkan diri sendiri. Kedua, negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional dan kebijakan luar negerinya dimotivasi oleh kepentingan nasionalnya. Ketiga, kekuasaan menjadi kunci untuk memahami tingkah laku internasional dan negara. Keempat, hubungan internasional merupakan ranah yang penuh dengan konflik karena adanya benturan-benturan kepentingan antar negara. 2. Teori Kebijakan Luar Negeri Kebijakan luar negeri menurut Holsti (1992: 82) berupa seperangkat ide atau tindakan yang dibuat oleh pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah atau mendorong beberapa perubahan dalam kebijakan, tingkah laku atau tindakan dari negara lain, aktor-aktor non negara, atau ekonomi internasional. Selanjutnya, Pratt (1955: 1) menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri adalah tentang pilihan,
7
tujuan, dan nilai yang diinginkan masyarakat dan perlindungan yang ingin dilakukan dari ancaman. Selanjutnya, Holsti (1992: 271-285) menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri dipengaruhi dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari kondisi sosio-ekonomi, karakteristik geografi dan topografi, atribut nasional, struktur dan filosofi pemerintah, opini publik, dan birokrasi. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari struktur sistem internasional, struktur perekonomian dunia, tujuan dan tindakan aktor lain, masalah regional dan global serta hukum internasional dan opini dunia. Pratt (1965: 3) membahas lebih spesifik mengenai sasaran kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pertama, keamanan perbatasan nasional yang independen; kedua, memperluas perbatasan untuk kepentingan keamanan, navigasi, perdagangan, ruang untuk tumbuhnya populasi, dan menyebarkan demokrasi; ketiga, mempromosikan dan melindungi hak dan kepentingan warga Amerika dalam perdagangan, investasi di luar negeri, dalam keadaan damai, dan perang; keempat, memelihara netralitas dan perdamaian; kelima, menjaga balance of power. 3. Konsep Kepentingan Nasional Penelitian ini akan menjabarkan mengenai konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri. Terdapat beberapa pendapat mengenai konsep kepentingan nasional. Menurut Morgenthau yang dikutip dalam Mas’oed (1990: 162-163), kepentingan nasional merupakan upaya negara untuk membentuk dan mempertahankan kekuasaan serta mengendalikan negara lain melalui paksaan atau kerjasama. Untuk mempertahankan kekuasaan, kepentingan nasional sebuah
8
negara tidak didasarkan pada alasan yang utopis seperti moral, legal, dan ideologis. Selain itu, menurut Holsti (1987: 176), kepentingan nasional merupakan tujuan nasional suatu bangsa yang akan diraih dalam jangka waktu tertentu. Tujuan nasional suatu bangsa menurut Prakash Chandra (1979: 81-82) didasarkan pada lima faktor, diantaranya mempertahankan kedaulatan negara, mewujudkan kepentingan ekonomi, melindungi prestise nasional dan membangun kekuatan nasional, memelihara keamanan nasional, serta mewujudkan tatanan dunia. Morgenthau (1907: 132-133) menjelaskan bahwa melalui kepentingan nasional timbul kewajiban negara untuk melindungi negaranya secara fisik, politik, dan budaya. Melindungi negara secara fisik meliputi perlindungan terhadap integritas teritorial dan kedaulatan negara. Perlindungan politik yaitu memelihara eksistensi sistem politik yang berlangsung. Terakhir, melindungi budaya dengan cara mempertahankan etnis, agama, bahasa, nilai sejarah, dan tradisi negara. Lebih lanjut, Mas’oed (1990: 173-174) membagi kepentingan nasional dalam beberapa kategori. Diantaranya konsep kepentingan nasional aspirasional, operasional, dan eksplanatori dan polemik. Pada tingkat aspirasional, kepentingan nasional masih berupa tujuan ideal yang ingin dicapai sebuah negara. Sehingga kebijaksanaan belum dilaksanakan. Lalu pada tingkat operasional, kepentingan nasional mengacu pada kebijaksanaan yang sedang dan telah dilaksanakan. Ketiga, tingkat eksplanatori dan polemik digunakan untuk menjelaskan, mengevaluasi, dan merasionalisasi serta mengkritik politik luar negeri. Konsep ini
9
berguna untuk membuktikan kebenaran argumen sendiri dan kesalahan argumen lawan. Kepentingan nasional suatu negara merupakan tujuan dari kebijakan luar negeri (Frankel, 1988: 93). Feng dan Ruizhuang (2009: 31) berpendapat bahwa kebijakan luar negeri merupakan perilaku negara untuk menentukan respon terhadap tekanan internasional. Perilaku negara tersebut ditentukan dari struktur internasional, faktor-faktor domestik, dan interaksi kompleks diantara keduanya. Baik kepentingan nasional maupun kebijakan luar negeri bebas dari pilihan moral atau tidak memperhatikan apa yang baik dan benar (Schelling dikutip dalam Jackson dan Sorensen, 2005: 106). 4. Konsep Bantuan Luar Negeri Konsep terakhir yaitu bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri menurut Yanuar Ikbar (2007: 188) yaitu tindakan-tindakan masyarakat atau lembagalembaga terhadap masyarakat atau lembaga-lembaga lain di luar negeri dengan maksud sekurang-kurangnya untuk membantu. Melengkapi Ikbar, Holsti (1992: 348) menjelaskan bahwa bantuan luar negeri hanya dapat digunakan negaranegara besar sebagai sarana kebijakan yang efektif untuk menopang diplomasi pada negara yang kurang maju. Lebih lanjut, terdapat empat macam program bantuan yaitu bantuan militer; bantuan teknis; hibah dan program impor bahan komoditi; dan pinjaman pembangunan (Holsti, 1992: 348). Sedangkan Rix Alam dikutip dalam Perwita dan Yani (2005: 84) menjelaskan terdapat empat motivasi negara donor memberikan bantuan diantaranya motivasi kemanusiaan, motivasi politik, motivasi keamanan nasional, dan motivasi kepentingan nasional.
10
Dalam konteks USSC, penelitian ini akan berfokus pada bantuan militer. Melalui bantuan militer, negara penerima akan tergantung dalam menciptakan kekuatan militer yang modern. Selain itu, mereka juga tidak dapat mengoperasikan kekuatan militer tanpa adanya dukungan dari negara donor yang membantu biaya pemeliharaan dan suku cadang pengganti. Sehingga, negara penerima baru dapat menggunakan angkatan bersenjatanya dalam cara yang dapat diterima atau sesuai dengan kepentingan negara donor (Holsti, 1992: 349). Adapaun tujuan bantuan luar negeri adalah untuk memperluas pengaruh terhadap tingkah laku negara penerima sehingga negara donor dapat mencapai tujuan politik jangka pendek tertentu. Bantuan militer sendiri memiliki tiga fungsi, yaitu, membantu menciptakan angkatan bersenjata yang modern untuk mencegah agresi eksternal, membentuk tentara yang dilatih khusus menangani berbagai kerusuhan dan pengacau internal yang menentang pemerintah, dan menaikkan prestise regim lokal dan elit militer (Holsti, 1992: 353-354).
D. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara yang digunakan dalam upaya untuk mengumpulkan data-data yang berguna bagi penelitiannya. Metode yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu metode kualitatif (Fraenkel & Wallen, 1993: 380). Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainnya secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007: 6).
11
Teknik pengumpulan data penelitian kualitatif didapat dengan cara mengumpulkan sumber-sumber yang telah ada sebelumnya. Sumber-sumber tersebut dapat berupa buku-buku literatur, jurnal, koran, dan bahan pendukung lainnya. Hasil yang diperoleh dari metode ini bukan berupa kumpulan angkaangka, melainkan berupa tulisan-tulisan, simbol, suara, objek fisik atau data visual seperti peta, foto dan video (Neuman 2007: 110). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yaitu mengaitkan permasalahan dalam level Internasional dengan teori Hubungan Internasional. Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Dalam mengunakan data primer, penelitian ini mewawancarai Hamdan Basyar yang merupakan salah seorang peneliti LIPI dan mengunjungi perpustakaan seperti Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Perpustakaan Freedom Institute dan Perpustakaan LIPI. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan sumber sekunder yaitu data yang telah dianalisa dan diterbitkan instansi tertentu maupun pemerintah negara Amerika Serikat. Adapun bentuk sumber sekunder berupa buku-buku, jurnal ilmiah, literature majalah, koran dan situs-situs internet. Melalui sumber primer dan sekunder yang dikumpulkan, penelitian ini dapat lebih jelas menjabarkan konteks. Oleh sebab itu, data yang didapat digunakan untuk memahami efektivitas bantuan keamanan Amerika Serikat terhadap Palestina melalui USSC.
E. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
12
B. Pertanyaan Penelitian C. Kerangka Pemikiran D. Metoda Penelitian E. BAB II
Sistematika Penulisan
KEBIJAKAN
LUAR
NEGERI
AMERIKA
SERIKAT
TERHADAP PALESTINA A. Sejarah Umum Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat B. Bantuan Keamanan Amerika Serikat terhadap Palestina C. Reformasi Sektor Keamanan Palestina Melalui USSC BAB III
UNITED STATES SECURITY COORDINATOR (USSC) A. Sejarah Terbentuknya USSC B. Profil USSC 1. Prinsip USSC 2. Tujuan USSC 3. Struktur USSC C. Sumber Daya USSC D. Kekuatan Finansial 1. INL 2. EUPOL COPPS 3. JIPTC
BAB IV EFEKTIVITAS
KEBIJAKAN
LUAR
NEGERI
AMERIKA
SERIKAT TERHADAP PALESTINA MELALUI USSC PADA PERIODE 2005-2012 A. Evaluasi Reformasi Sektor Keamanan USSC B. Efektivitas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Palestina Melalui USSC pada Periode 2005-2012
BAB V
PENUTUP
13
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
14
BAB II KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA A. Sejarah Umum Bantuan Luar Negeri Amerika Serikat Kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) secara substansi bergantung pada konteks waktu. Misalnya kebijakan luar negeri AS saat Perang Dingin akan berbeda dengan paska Perang Dingin. Kebijakan luar negeri AS dapat dikatakan fleksibel, sering berubah, dan beradaptasi sesuai keadaan, terkadang terlalu banyak perhitungan, terlalu terbuka, terlalu keras, terlalu isolasionis, terlalu unilateral, terlalu multilateral, terlalu moralistik, juga terlalu tidak bermoral (Morse, 2012:1). Kebijakan luar negeri AS memiliki beberapa instrumen diantaranya pertahanan AS, korps diplomatik, diplomasi publik, kebijakan perdagangan, dan bantuan luar negeri. Pertahanan AS dapat digunakan sebagai stick untuk mencapai tujuan AS. Korps diplomatik berfungsi sebagai alat untuk menegosiasikan kebijakan luar negeri AS dengan negara lain. Diplomasi publik seperti pertukaran pelajar digunakan untuk memberikan citra baik AS di dunia. Kebijakan perdagangan melalui perdagangan bebas dapat digunakan sebagai carrot untuk mempengaruhi negara lain. Bantuan luar negeri AS berperan sebagai stick sekaligus carrot untuk mempengaruhi maupun mencapai tujuan AS (Tarnoff dan Nowels, 2005:5). Bantuan luar negeri sebagai salah satu instrumen kebijakan luar negeri AS dikutip dalam Sullivan, Tessman, & Li (2011:279-280), Keohane dan Nye (1977) digunakan sebagai imbalan ataupun hukuman untuk mempengaruhi negara penerima dalam menentukan kebijakannya. Selanjutnya, Sullivan (2012:1) 15
menjelaskan asumsi keuntungan yang didapat AS dengan memberikan bantuan luar negeri diantaranya, pertama, bantuan luar negeri dapat meningkatkan kerjasama antara AS dan negara penerima penerima; kedua, negara penerima merasa bergantung terhadap bantuan luar negeri yang diberikan AS. Sehingga negara penerima donor merasa harus mengikuti kepentingan AS jika ingin mendapatkan bantuan lagi. Secara historis, AS pernah memberikan bantuan pada negara-negara di Eropa untuk rekonstruksi paska perang dunia kedua melalui program Marshall Plan pada tahun 1948-1952. Pada 1960-an hingga 1970-an AS memberikan bantuan yang fokus pada kelaparan, malnutrisi, dan program kesehatan (Lawson, 2012:3). Pada tahun 1961 AS mengeluarkan lima prinsip dasar bantuan luar negeri AS yaitu pertama, pemberantasan kemiskinan; kedua, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan negara penerima bantuan; ketiga, meningkatkan hak ekonomi dan hak sipil; keempat, mengintegrasikan sistem perekonomian internasional; dan kelima, meningkatkan akuntabilitas pemerintahan negara penerima untuk transparansi dan pemberantasan korupsi (Lawson, 2012:2-3). Selanjutnya terdapat amandemen dari prinsip tersebut pada tahun 1971 dengan menambahkan poin pelarangan untuk membuat dan menjual narkotika dan obat psikotropika. Lalu pada tahun 1975 ditambahkan lagi bahwa bantuan luar negeri ditujukan untuk membantu korban bencana alam ataupun akibat manusia. Pada tahun 1983 kembali ditambahkan tujuan bantuan luar negeri yaitu meningkatkan kemampuan anti-terorisme melalui pelatihan dan memberikan perlengkapan dan menguatkan ikatan AS dan negara aliansi dengan bantuan antiterorisme (Lawson, 2012:2-3).
16
Lalu, saat Perang Dingin berlangsung, bantuan luar negeri diberikan untuk mencegah pengaruh komunisme di negara-negara miskin (Sullivan, 2012; Tarnof dan Lawson, 2012; Lancaster, 2000). Pada tahun 1990-an Perang Dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet. AS pun menjadi negara yang memimpin dunia. Untuk mempertahankan posisinya, AS memelihara perdamaian dunia dari konflik antar negara dan intra negara. Bantuan luar negeri AS difokuskan untuk program peacemaking dan conflict prevention di wilayah regional seperti Eropa, Asia Tengah, dan Timur Tengah. AS juga mempromosikan dan membantu transisi demokrasi pada negara-negara berkembang (Lancaster, 2000; Tarnoff dan Lawson, 2012). Paska runtuhnya Soviet, menurut Lancaster (2000), kebijakan luar negeri AS yang diimplementasikan melalui bantuan luar negeri memiliki empat prinsip nilai yaitu pertama, menyediakan bantuan kemanusiaan; kedua, membantu mengurangi kelaparan di negara-negara miskin; ketiga, memperbaiki kualitas hidup bagi manusia yang membutuhkan, keempat, mempromosikan demokrasi dan HAM. Kemudian pasca serangan 11 September 2001, AS memfokuskan bantuan luar negeri untuk counter-terrorism (Tarnof dan Lawson, 2012; Sullivan, 2012). Sembilan hari setelah peristiwa tersebut pada 20 September 2001, Bush menyampaikan pidato yang disebut sebagai Doktrin Bush. Menurut doktrin Bush yang dikutip dalam Owens (2008), AS akan aman hanya jika negara lain juga aman. Peristiwa 11 September 2001 membuat AS melakukan preventive war karena menangkal perang tidak mungkin dilakukan ketika serangan sudah
17
semakin dekat. Preventive war dapat dilakukan dengan mempromosikan rezim tirani menuju demokratis. Owens (2008:25) menjelaskan doktrin Bush terdiri dari tiga prinsip yaitu pertama, menyebarkan demokrasi dan mengakhiri rezim tirani yang dianggap AS tidak unggul dibandingkan demokrasi; kedua, memerangi terorisme yang menjadi penyebab peristiwa serangan 11 September 2001 yang dianggap memiliki tujuan memerangi AS dan Israel atau liberalisme Barat; ketiga, pengakuan AS bahwa paska serangan yang dianggap dilakukan oleh teroris, pendekatan tradisional seperti pencegahan ancaman atau deterrence dan pembendungan atau containment terhadap kebijakan luar negeri AS tidak lagi relevan. Argumen di atas didukung melalui penjelasan dari laporan pemerintah AS dan USAID bahwa diplomasi AS memandang kebebasannya perlu dilindungi untuk menjamin kebebasan negara yang lain, kesejahteraan AS bergantung pada kesejahteraan negara lain, dan keamanan AS bertumpu pada upaya dunia untuk keamanan hak semua negara. Bagi AS, menjadi tanggungjawab mereka untuk menggunakan
kekuasaan
untuk
memajukan
keamanan,
demokrasi,
dan
kesejahteraan di seluruh dunia (USGOV & USAID, 2003:1). Pemerintah AS dan USAID memiliki prinsip yang terangkum dalam strategi keamanan nasional yaitu diplomasi, pembangunan, dan pertahanan (Tarnoff dan Nowels, 2005: 6). Pertama, AS akan menguatkan dan memelihara hubungan bilateral dan multilateral untuk mencapai misinya. AS akan menguatkan aliansi tradisional dan membangun hubungan baru untuk mencapai perdamaian yang membawa keamanan melalui penyediaan bantuan dan mengambil kesempatan (USGOV & USAID, 2003:1).
18
Kedua, AS akan melindungi negaranya dan aliansinya melawan bahaya transnasional dan ancaman dari tirani, kemiskinan, dan penyakit. Kemiskinan merefleksikan absennya penegakan hukum dan kurangnya kapasitas suatu negara (USGOV dan USAID, 2003:2). Ketiga, AS akan mengkombinasikan antara kemampuan diplomatik dan bantuannya untuk memelihara demokrasi dan integrasi dunia ke ekonomi global (USGOV dan USAID, 2003:2). Kongres AS sendiri memiliki enam kebijakan dalam melindungi perdamaian dan menjaga keamanaan pada masa pemerintahan Bush yaitu counter-terrorism, melawan kekuatan nuklir, stabilisasi operasi dan reformasi sektor keamanan, counter-narcotics, transnational crime, dan mitigasi dan rekonsiliasi konflik (Tarnoff dan Lawson, 2012:3). Bantuan luar negeri AS terhadap Timur Tengah secara historis bertujuan untuk kepentingan keamanan nasional di tingkat regional. Bantuan keamanan luar negeri digunakan AS sebagai cara menjalin kerjasama militer dengan pemerintah regional. Selain itu, AS juga dapat mengendalikan militer yang tidak terkontrol dan memotong radikalisme di negara partner (Sharp, 2010:1). Diantara Perang Dunia Kedua dan runtuhnya Uni Soviet, AS memiliki beberapa tujuan terhadap Timur Tengah yaitu menghentikan ekspansi Soviet di Timur Tengah, tetap membuka komunikasi dan perdagangan di kawasan Timur Tengah, mengelola akses minyak dari Barat ke Timur Tengah, dan mempromosikan prinsip demokrasi dan pasar bebas, serta melindungi keamanan Israel (Mark, 2005:5). Di bawah pemerintahan partai Demokratik maupun Republik, Israel memegang kunci sebagai partner dan aliansi AS. Menjaga kamanan Israel
19
menjadi prioritas tertinggi dari kebijakan luar negeri AS. Normalisasi hubungan antara Israel dan negara tetangga Arab termasuk Palestina di Tepi Barat dan Gaza menjadi masalah vital perdamaian jangka panjang dan stabilitas di wilayah regional (USAID, 2001:2). Jika Stabilitas di Tepi Barat dan Gaza sudah dicapai, ini menjadi pre kondisi untuk suksesnya negosiasi permanen terhadap status kesepakatan negara demokratis Palestina (USAID, 2001:3). Bagi Bush, jika konflik Israel-Palestina dapat diselesaikan akan memberikan keuntungan bagi AS dengan asumsi akan mengurangi rasa anti-AS dan gerakan radikal di wilayah kawasan Timur Tengah. Paska peristiwa 9 September 2001, kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah mengalami perubahan dari penggunaan militer ke arah negosiasi yang damai (Preble & Hadar:539-540). Pada Maret 2001 Universitas Maryland mengadakan poling terhadap masyarakat lima negara Arab diantaranya Mesir, Yordania, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Libanon. Pertanyaan yang diajukan pada responden adalah apa isu termasuk isu lokal yang paling penting menurut mereka. Sebanyak 79 persen responden dari Mesir menganggap konflik Israel-Palestina sebagai isu yang penting. Lalu sebanyak 60 persen responden dari Yordania, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Libanon juga menyebutkan konflik Israel-Palestina sebagai isu krusial (Evera, 2005:2). Survey lain dilakukan Lembaga Survey Internasional Zogby pada 2002. Hasil dari survey tersebut menyebutkan bahwa responden lima negara yaitu Mesir, Uni Emirat Arab, Kuwait, Libanon, dan Arab Saudi menyebut isu Palestina
20
sebagai sangat penting dan paling penting sebagai isu di dunia Arab (Evera, 2005:2). Evera menganalisis bahwa ada kemungkinan para responden menjawab isu konflik Israel-Palestina karena mereka takut menyebut soal isu di lokal di negaranya. Di negara-negara Arab yang mayoritas sistem pemerintahannya otoritaritarian sangat tidak aman untuk mengkritik pemerintah. Walaupun begitu, poling tersebut tetap mengindikasikan adanya perhatian dunia internasional terhadap persoalan Israel-Palestina. Selanjutnya, menurut Evera (2005:1), keamanan nasional AS terancam melalui konflik Israel-Palestina karena mempermudah jalan pada Al-Qaeda untuk merekrut teroris di dunia Arab dan negara Islam lainnya. Kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Israel-Palestina akan berpengaruh terhadap perilaku negaranegara lain pada AS. Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa isu Palestina-Israel dapat menjadi perhatian dunia internasional terutama negara-negara Arab. Pertama, terjadinya intifada kedua pada 28 September 2000. Kedua, pemberitaan mengenai intifada melalui televisi dan saluran seperti Al-Jazeera, Al-Arabiya menciptakan efek dramatik terhadap konflik. Terakhir, pemberitaan melalui media memunculkan identitas ke-Arab-an atau muslim yang solid untuk mengakhiri penderitaan yang dialami Palestina (Evera, 2005:2). Selanjutnya, The PIPA, lembaga survey publik Amerika terhadap isu internasional mengadakan survey terhadap bagi Amerika mengenai kebijakan bantuan luar negeri terhadap Israel-Palestina dan mempublikasikan laporannya pada 30 Mei 2003. Responden mendapatkan pertanyaan mengenai kebijakan
21
Amerika Serikat terhadap konflik Israel-Palestina dapat diterima atau tidak oleh negara-negara di dunia. Sebanyak 55 persen menilai bahwa kebanyakan negara tidak menyetujui kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Israel-Palestina. Lalu sebanyak 10 persen menilai bahwa dunia internasional menyetujuinya. Sisanya menilai bahwa ada yang menyetujui dan menolak kebijakan AS terhadap konflik tersebut. Alasan bahwa kebanyakan negara tidak menyetujui kebijakan AS terhadap konflik karena mereka lebih bersimpati terhadap Palestina (Kull, 2003:17). Pada Mei 2004, Lembaga Survey Zogby kembali melakukan survey mengenai penting tidaknya kebijakan AS terhadap konflik Arab-Israel. Sebanyak 76 persen responden dari Yordania, 78 persen dari Uni Emirat Arab, 79 persen dari Libanon, 81 persen dari Arab Saudi, 84 persen dari Moroko, dan 95 persen dari Mesir menyatakan kebijakan luar negeri AS cukup penting atau sangat penting dalam konflik tersebut (Evera, 2005:3). B. Bantuan Keamanan AS terhadap Palestina Upaya negosiasi untuk mencapai perdamaian Israel-Palestina dilakukan Presiden AS, Bush senior bersama dengan Uni Soviet melalui konferensi perdamaian Madrid pada 30 Oktober 1991. Konferensi tersebut dihadiri beberapa negara Arab seperti Yordania, Libanon, Siria, Palestina, dan Israel. Pertemuan tersebut berhasil mempertemukan pihak-pihak yang berselisih untuk pertama kali khususnya Israel-Palestina. Dalam negosiasi tersebut, Amerika Serikat berperan sebagai mediator utama konflik. Hasilnya tidak ada kesepakatan signifikan terhadap resolusi damai antara Israel dan Palestina (Rodriguez, 2011:45). Tapi konferensi Madrid membawa proses penyelesaian pada Kesepakatan Oslo 1993
22
(Preble & Hadar:541-542). Kesepakatan Oslo menghasilkan upaya pembentukan satuan polisi Palestina. Sehingga banyak juga pendonor yang memberikan bantuan pada Palestina. Namun, bantuan tersebut masih terfokus pada polisi Palestina dan belum tertuju pada reformasi sektor keamanan (Friedrich dan Luethold, 2008:6). Secara historis, pada 4 Mei 1994 Palestina dan Israel menandatangani perjanjian yang menyepakati ditariknya pasukan militer Israel dari wilayah Palestina di Gaza dan Jericho pada 11 Mei 1994. Lalu pada 28 September 1995, ditandatangani perjanjian sementara yang disebut Taba Agreement. Perjanjian ini berisi kesepakatan dilaksanakannya pemilu untuk Majelis Palestina, pembebasan tahanan Israel, penarikan mundur tentara Israel dari wilayah Tepi Barat. Pada pelaksanaannya, tentara Israel mulai meninggalkan Tepi Barat pada akhir tahun 1995. Jika diamati berdasarkan tabel di atas, pada tahun 1994-1995 bantuan yang diberikan lebih besar jika dibandingkan tahun-tahun berikutnya. Hal itu dikarenakan kebutuhan pada tahun 1994-1995 digunakan untuk keperluan Taba Agreement dan transisi pemerintahan sementara Palestina. Lalu pemilu dilaksanakan pada 20 Januari 1996 (Mark,2001:1). Selanjutnya pada tahun 1996-1998, bantuan yang diberikan Amerika Serikat terhadap Palestina jumlahnya semakin menurun karena beberapa alasan. Pertama, pada Mei 1996, Benyamin Netanyahu terpilih sebagai Perdana Menteri Israel yang berakibat pada terhentinya penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah Palestina. Terpilihnya Netanyahu membuat interaksi Israel dan Palestina untuk negosiasi damai terhenti sehingga bantuan pun menurun jumlahnya. Akhirnya pada tahun 1997, pasukan Israel ditarik dari Hebron. Pada tahun 1998,
23
perjanjian lima tahun untuk menarik mundur pasukan Israel sejak 1993 dari wilayah Palestina telah berakhir. Berakhirnya kesepakatan lima tahun untuk menarik mundur pasukan Israel juga menandakan semakin menurunnya bantuan AS terhadap Palestina bahkan mencapai nilai nol untuk transisi pemerintahan otonomi pada tahun 1998 (Mark,2001:1). Pada perjanjian Wye River 28 Oktober 1998, disepakati langkah-langkah untuk mengimplementasikan perjanjian sebelumnya. Saat itu CIA ditugaskan untuk melakukan pemantauan pembentukan satuan polisi Palestina dan kerjasama keamanan antara Israel dan Palestina. Kerjasama keamanan kedua negara terkait dengan jaminan keamanan tapi daftar kewajiban jaminan keamanan hanya ditujukan untuk Palestina. Adapun kewajiban yang harus Palestina lakukan diantaranya memerangi terorisme, menangkap tersangka terorisme, melarang adanya hasutan teror, mengumpulkan semua senjata ilegal dalam waktu tiga bulan setelah tanda tangan perjanjian, memberikan daftar calon polisi Palestina pada Israel, dan memberikan laporan kemajuan pada Amerika Serikat (Friedrich dan Luethold, 2008:7). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan jumlah bantuan AS terhadap Palestina sejak 1994-1998 (dalam juta dolar) dikutip dalam Mark (2001:2). Tabel II. B. Bantuan AS terhadap Palestina 1994-1998 Program Memperluas kesempatan ekonomi Bantuan kelangkaan air Pemerintahan
Total
1994-1995 1996
1997
1998
65,814
26,410
16,182
14,219
9,003
193,269
69,832
32,764
50,969
39,704
35,160
3,073
9,364
11,500
11,223
24
Transisi pemerintahan otonomi Kebutuhan pembangunan jangka pendek Total
49,268
39,132
0,136
10,000
0
24,754
17,839
5,860
0,300
0,755
368,265
156,286
64,306
86,998
60,685
Sumber: Mark, Clyde. 2001. “Palestinians and Middle East Peace: Issues for the United States.” Congressional Research Service.
Lalu pada tahun 2000 diadakan negosiasi Camp David untuk perdamaian Israel-Palestina namun gagal karena pemukiman Yahudi masih saja terus dibangun dan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina ke wilayah yang telah diduduki Israel sejak 1948 menjadi penyebabnya (Preble & Hadar:541-542). Kejadian yang menyusul yaitu peristiwa Intifada Kedua pada tahun 2000. Abbas mengecam intifada kedua yang terjadi pada tahun 2000. Menurutnya kemerdekaan Palestina dan penyelesaian konflik Israel-Palestina tidak bisa dicapai melalui kekerasan atau solusi militer (Pina, 2006:3). Pada 2001 terjadi serangan terhadap menara kembar World Trade Center di AS pada 11 September 2001. Kejadian-kejadian tersebut membuat AS harus mengelola pengaruhnya di Timur Tengah dengan biaya yang tidak sedikit baik secara militer dan inisiatif negosiator perdamaian konflik Israel-Palestina. Dalam menginisiasi perdamaian Israel-Palestina, AS juga harus berhadapan dengan aktor lain di wilayah regional Timur Tengah yaitu Irak dan Iran (Preble & Hadar:541542). Pada tahun 2002, sesuai dengan Tenet Workplan, Bush memperluas peran CIA dengan melakukan gencatan senjata di Palestina. CIA mengadakan pelatihan untuk meningkatkan keamanan satuan Palestina dibantu instruktur dari Mesir dan
25
Yordania. Tujuan dilakukannya pelatihan tersebut juga untuk menahan pembom bunuh diri rakyat Palestina di Israel. Di sisi lain, pihak Israel yaitu Mantan Kepala Intelijen Mossad, Ephraim Halevy dan Sekretaris Militer Perdana Menteri Israel, Jendral Moshe Kaplinsky menyusun rancangan untuk menggeser kekuasaan Presiden Palestina Yasser Arafat (Friedrich dan Luethold, 2008:7). Hubungan AS dan Palestina tidak berjalan baik karena George W. Bush menganggap Yaser Arafat tidak berupaya untuk menghentikan terorisme. Tujuan dari rencana menggeser kekuasaan rezim Arafat sebenarnya untuk membentuk kepemimpinan dan kekuasaan baru di Palestina. Pemimpin baru Palestina akan diberikan tanggungjawab keamanan di Palestina. Rencana tersebut didukung pihak internasional diantaranya Mesir, Yordania, Inggris, dan Amerika Serikat (Friedrich dan Luethold, 2008:7). Pemerintahan sementara Palestina dipimpin oleh presiden Mahmoud Abbas. Abbas memecat Haniyeh dari Hamas sebagai perdana menteri. Lalu Abbas menunjuk Salam Fayyad, politisi independen Palestina yang populer dan dekat dengan pemerintahan Barat dan memiliki sifat yang moderat (Kushner dan Bedein, 2011:5). Pada 24 Juni 2002, Bush menyatakan akan mengupayakan solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina. Pada 30 April 2002, AS bersama anggota kuartet Road Map lainnya mensosialisasikan rencana perdamaian untuk kedua negara (Mark, 2005: 6). Isi Road Map sebenarnya penekanan kembali dari perjanjian yang sudah ada sebelumnya yaitu perjanjian Wye River dan Tenet Workplan. Dalam hal ini pihak Israel dan Palestina memiliki kewajiban jaminan keamanan masing-masing dan bertanggungjawab terhadap negara-negara kuartet (Friedrich dan Luethold, 2008:7).
26
Pada tahun 2005, pemerintah otoritas Palestina yang dipimpin Mahmoud Abbas membentuk National Security Council untuk mengkonsolidasikan elemenelemen keamanan di Palestina (Pina, 2006:2). Untuk mencapai hal tersebut, AS memberikan bantuan luar negeri melalui program security sector reform. Perbaikan sektor keamanan meliputi reformasi struktur lembaga
yang
memberikan kewenangan terhadap sipil terhadap lembaga keamanan. Berdasarkan USAID, keamanan AS bergantung pada keamanan negara-negara yang menjalankan sistem demokrasi. Reformasi sektor keamanan menjadi program yang termasuk ke dalam Joint Strategic Plan tahun 2007-2012 oleh Departemen luar negeri dan USAID. Kedua lembaga tersebut juga bekerjasama dengan Departemen Pertahanan dan intra-agency lainnya. Reformasi sektor keamanan terhadap suatu negara merupakan intervensi dari negara lain. Karena itu, kerjasama
antar
lembaga
lebih
efektif
untuk
merencanakan
dan
mengimplementasikan perbaikan sektor keamanan tersebut (USAID, 2010:1). Terpilihnya Abbas sebagai presiden Palestina juga membuat donor lebih tertarik untuk memberikan bantuan pada program reformasi sektor keamanan. negara-negara Kuartet juga melibatkan negara-negara Eropa seperti Inggris dan Jerman untuk ikut terlibat dalam reformasi keamanan di Palestina. Keikutsertaan banyakya aktor internasional disebutkan Amerika Serikat sebagai strategi West Bank first. Strategi tersebut mendukung berjalannya pemerintahan di Tepi Barat dengan tujuan dapat mengisolasi pemerintahan di Jalur Gaza (Friedrich dan Luethold, 2008:7-9). Kemampuan
AS
untuk
memberikan
bantuan
bertujuan
untuk
mempengaruhi keputusan politik Palestina. Namun, keputusan tersebut juga
27
bergantung pada level kesadaran populer masyarakat Palestina terhadap kebijakan AS dan bantuan jangka panjangnya. Kesediaan AS mendukung Palestina merupakan upaya untuk melawan Hamas dan mereformasi kondisi politik dan ekonomi Palestina (Zanotti dan Browne, 2011:17). Persoalan stagnasi ekonomi menjadi isu domestik yang dihadapi Abbas ketika menjabat sebagai presiden. Palestina memiliki oposisi dari pemerintahan misalnya al-Aksa Martyrs Brigade dari kelompok nasionalis dan Hamas dari kelompok Islamis. Kelompok oposisi tersebut cenderung menolak bekerja sama dengan Israel (Pina, 2006:3). Selain
menginisiasi
perdamaian,
Bush
juga
menambahkan
misi
demokratisasi dalam kebijakan luar negerinya. Melalui misi demokratisasi yang diterapkan oleh Palestina, pihak AS berharap bisa mendapatkan keuntungan. Dalam asumsi AS, pemimpin Palestina yang terpilih berdasarkan sistem demokrasi bisa bekerjasama dengan AS dan tidak anti dengan Israel. Akhirnya pada Januari 2006 dilaksanakan pemilu parlemen di Palestina. Hamas yang antiAS berhasil mengalahkan Fatah yang lebih moderat dalam pemilu tersebut. AS pun menekan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk mengadakan pemilu kembali. AS menolak untuk mengakui hasil pemilu parlemen awal. Lalu AS, Israel, dan Uni Eropa menghentikan bantuan ekonomi untuk Pemerintah Otonomi Palestina kecuali jika Hamas berkomitmen untuk menghentikam kekerasan dan mengakui Israel. Akhirnya pada Juni 2007, AS dan pemerintah Israel mendorong Fatah untuk membentuk pemerintahan yang terpisah di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza (Preble & Hadar:543). AS memberikan bantuan bilateral pada Palestina sebesar dua miliar dolar untuk wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza pada tahun 2007. Program yang
28
diberikan AS merefleksikan strategi untuk tetap menghargai Hamas dengan memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza untuk kebutuhan dasar, bantuan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat Gaza, dan bantuan keamanan untuk tujuan melawan dan mencegah aktivitas terorisme (Zanotti, 2010:27). Tujuan dari diberlakukannya penegakan hukum dan aturan tidak lantas untuk tujuan persiapan pembentukan negara Palestina. Ada alasan lain AS membantu Palestina dalam hal keamanan. Keamanan Palestina tentu akan berpengaruh terhadap keamanan Israel. Menurut Bedein dan Kushner (2011:7), AS memiliki tujuan untuk melemahkan kelompok yang oleh AS dianggap sebagai teroris di Tepi Barat. Teroris yang dianggap oleh AS adalah Hamas. Sehingga, pemerintah Palestina akan memiliki kemampuan untuk melawan Hamas. Hamas merupakan organisasi pergerakan dan perlawanan Islam Palestina yang berbasis militer dan sosial politik. Sebagai organisasi militer, Hamas seringkali melakukan perlawanan terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Secara politik, organisasi ini juga menolak keras adanya kerjasama dengan Israel terkait proses perdamaian Israel-Palestina. Akibatnya, AS menganggap Hamas sebagai organisasi teroris karena hal tersebut pada 1997. Beberapa negara misalnya Iran, Siria, dan Hezbollah dari Libanon memberikan bantuan dan pelatihan juga untuk Hamas (Zanotti, 2010:1). Iran memimpin negara-negara Arab untuk memberikan bantuan finansial dan militer untuk Hamas dan kelompok militan Palestina lainnya. Setiap tahun Iran memberikan 20-30 juta dolar AS untuk Hamas. Selain itu, Iran juga menyelundupkan senjata dan melatih kelompok militan
melalui
terowongan bawah tanah Gaza-Sinai untuk
meningkatkan kemampuan Hamas secara militer (Zanotti, 2010:22-23).
29
Pada intifada pertama tahun 1994-1997 dan kedua tahun 2000-2008, Hamas telah membunuh sekitar 700 orang Israel (Zanotti, 2010:4). Untuk kepentingan perdamaian Israel-Palestina jangka panjang dan juga keamanan Israel, AS merumuskan kebijakan luar negerinya untuk dapat menghalangi dan meminggirkan posisi Hamas di dalam konflik. Beberapa diantara kebijakan AS terkait Hamas yaitu meng-counter Hamas secara finansial, jaringan, dan pengaruh politik; melibatkan perwakilan Hamas ke dalam negosiasi perdamaian IsraelPalestina; memutus jaringan Hamas dengan Iran dan Siria; meningkatkan bantuan kemanusiaan dan ekonomi di Gaza tanpa Hamas (Zanotti, 2010:1).
C. Reformasi Sektor Keamanan terhadap Palestina Melalui USSC Reformasi sektor keamanan didefinisikan sebagai penyediaan keamanan, keselamatan, dan keadilan oleh suatu pemerintahan melalui perubahan kebijakan, program, dan aktivitas dengan tujuan mencapai pelayanan publik yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap publik (Department of State, DoD, USAID:3). Secara umum, jika yang direformasi adalah sektor keamanan, maka merujuk pada polisi dan militer. Namun, reformasi keamanan ternyata juga perlu dilakukan pada tingkatan lembaga informal keamanan dan lembaga sipil yang berpengaruh terhadap pengaturan keamanan dalam pemerintahan (Sedra (ed), 2010:46). Pelaksanaan dari program SSR terdiri dari penilaian, perencanaan, pelatihan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi (U.S. Department of State, DoD, USAID,2009:6). Penilaian adalah penyusunan informasi mengenai konteks, aktor, dan kebutuhan di sebuah tempat yang akan mendapatkan reformasi sektor keamanan. Kemudian data yang telah ada dikaji untuk menentukan tujuan dan
30
program reformasi sektor keamanan. Laporan mengenai penilaian yang lengkap memberikan peluang reformasi keamanan yang efektif (Popovic, 2004:2). Perencanaan adalah penyusunan program yang seimbang untuk seluruh sektor keamanan sesuai dengan indikator target yang dicapai dalam jangka waktu tertentu. Setelah perencanaan, pelatihan menjadi bagian penting dalam reformasi sektor keamanan. Dalam pelatihan dibutuhkan pendekatan multidisiplin dan kombinasi program sebelumnya dan program yang baru. Lalu, implementasi harus sesuai dengan rencana, program, dan prinsip. Sehingga terdapat sinkronisasi program sesuai dengan penilaian diawal dan perencanaan (U.S. Department of State, DoD, USAID,2009:6-7). Pemantauan merupakan cara untuk mengukur kesesuaian kinerja dan hasil dapat mencapai tujuan dan program yang telah direncanakan. Jika kinerja tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan atau pun tujuan, pemantauan berfungsi untuk memperbaiki langkah yang akan diambil ke depannya. Selanjutnya, evaluasi merupakan penilaian akhir untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan dari suatu program reformasi sektor keamanan (Popovic, 2004:2-3). Keamanan nasional yang efektif dan akuntabel menurut standar SSR terdiri dari beberapa poin diantaranya pertama, negara harus memiliki kerangka hukum dan konstitusi yang mengatur penggunaan kekerasan berdasarkan HAM dan juga mekanisme sanksi dari penggunaan kekerasan dari aktor yang berbeda, kedua, negara harus mempunyai lembaga yang mendukung jalannya lembaga keamanan seperti pengawasan keamanan, pengelolaan keuangan, standar perlindungan HAM, dan kapasitas personil dan sumber daya yang efektif untuk keamanan; ketiga, adanya koordinasi dan kerjasama yang transparan antara
31
lembaga keamanan sesuai konstitusi; keempat, menunjukkan kinerja yang disiplin, tidak berpihak, dan menghormati HAM (Sedra (ed), 2010:47). Dalam pengimplementasiannya, USSC didukung oleh EUPOL COPPS yang berperan meningkatkan kemampuan polisi Palestina salah satunya dengan memberikan materi pelatihan mengenai komunikasi radio. Tujuan pelatihan ini agar polisi dapat mengelola soal pertolongan pertama seperti obat-obatan (Kerkkanen, Rantanen, Sundqvist, 2008:24). Selain itu EUPOL COPPS juga memberikan pelatihan untuk polisi Palestina sebanyak 1.000 personil yang bertujuan untuk mengontrol dan menjaga keamanan wilayah dari konflik (Zanotti, 2010:24). JIPTC melaksanakan pelatihan mengenai dasar penegakan hukum dan keamanan. Banyak pihak yang memberikan masukan terhadap kurikulum yang diberikan di JIPTC diantaranya INL, USSC, the Jordanian Public Security Directorate, dan pemerintah otonomi Palestina (Zanotti, 2010:18). Pelatihan tersebut dilakukan dalam waktu 19 minggu untuk semua anggota batalyon sepanjang 2007 hingga 2010. Materi yang disampaikan diantaranya yaitu pengoperasian
senjata,
pengendalian
massa,
pengoperasian
jarak
dekat,
pematrolian, pengoperasian tahanan, dan pemeriksaan operasional. Materi lain berisi kursus kepemimpinan senior dan menengah. Pelatihan lainnya yaitu pelatihan lanjutan dilakukan untuk anggota batalyon terpilih (US GAO, 2010:1517). Dua batalion Palestinian Guard atau sebanyak 400 personil mendapatkan pelatihan di JIPTC pada Februari hingga Maret 2008. Selain itu juga terdapat NSF kedua Batalion Spesial yang mendapatkan pelatihan sebanyak 700 personil dari
32
Februari hingga Mei 2008. Lalu NSF ketiga dan keempat berjumlah 1.000 personil juga mendapatkan materi pelatihan. NSF ketiga dilatih pada September hingga Desember 2008. NSF keempat dilatih pada Februari hingga Juni 2009. NSF pertama mendapatkan materi pelatihan pada Desember 2009 dan NSF kelima yang berjumlah 500 personil baru mengikuti pelatihan pada awal 2010. Semua pelatihan tersebut dilakukan di JIPTC (Zanotti, 2010:16). Pelatihan di Tepi Barat ditujukan untuk anggota pasukan keamanan nasional Palestina agar memahami persoalan kepemimpinan, HAM, media, pemeliharaan peralatan, dan pengoperasian pelayanan makanan (US GAO, 2010:17). USSC melaksanakan 24 kursus dengan tema yang berbeda untuk Pasukan keamanan palestina di Tepi Barat antara 2008 hingga 2010. Biro Diplomasi keamanan juga menyediakan pelatihan terbatas untuk pasukan pengawal presiden melalui program anti terorisme. Pelatihan ini berfokus pada operasi taktik polisi, pengembangan kepemimpinan di level senior dan menengah, kemampuan investigasi, dan kemampuan merespon situasi krisis. Pasukan keamanan Palestina dilengkapi dengan seragam, peralatan untuk tiap batalyon, alat pelindung, tenda, kendaraan, dan perlengkapan pertolongan (US GAO, 2010:17- 18). Pasca melaksanakan pelatihan anggota pasukan keamanan, USSC menempatkan kamp-kamp operasi di tiga daerah di Palestina diantaranya Jericho, Jenin, dan Hebron. Di wilayah Jericho ditempatkan 750 personil dengan fasilitas 145 regu berkendara dan 40 kendaraan. Selain itu tersedia juga fasilitas klinis, alat komunikasi, persediaan logistik, dan pemeliharaan hewan. Di wilayah Jenin terdapat dua barak yang mengakomodasi 576 pasukan dan satu bangunan kantor
33
berisi 100 pegawai. Selanjutnya, di Hebron terdapat bangunan yang dikhususkan untuk Pasukan keamanan nasional dan pasukan polisi spesial (US GAO, 2010:21). Pusat pelatihan Nuweimah merupakan fasilitas yang diperbarui dan diperluas. Fasilitas di Nuweimah mengakomodasi sekitar 2000 pasukan dan 24 ruang kelas untuk 1500 orang. Di Jericho terdapat universitas pelatihan presidential guard yang memberikan pendidikan mengenai hukum, peraturan untuk 250 personil (US GAO, 2010:22). Operasi pertama dilaksanakan untuk ketertiban hukum di Nablus pada November 2007. Lalu Palestinian guard ketiga yang berjumlah 400 personil juga melakukan operasi di Jenin pada Mei hingga Juni 2008 dengan nama Operations Hope and Smile. Operasi tersebut bertujuan untuk counterterrorism (Zanotti, 2010:215). Hasil dari operasi tersebut, daerah operasi bersih dari senjata api dan mobil ilegal. Selain itu kelompok bersenjata juga tidak bisa berkeliaran di jalan secara terbuka. Pada Oktober 2008 terdapat operasi Homeland Rising di Hebron, Tepi Barat. Sebanyak 600 personel keamanan ditempatkan untuk mencegah terjadinya konflik akibat pendudukan Israel. Lalu pada Desember 2008 sebanyak 1600 personil ditempatkan untuk menangani protes warga Palestina terhadap aksi militer Israel di Gaza. Selanjutnya pada April 2009 di Qalqiya NSF berhasil menggerebek ruang bawah tanah sebuah masjid yang berisi 80 kg bahan peledak. Pada operasi tersebut sebanyak tujuh orang tersangka ditangkap dan seorang pemimpin Hamas di Qalqilya yang selama ini masuk ke dalam daftar orang yang paling dicari Israel tewas (Zanotti, 2010:23).
34
Pemerintah AS menyediakan bantuan dalam bentuk peralatan seperti seragam, perlengkapan lapangan (tenda, terpal, botol air minum, dan lainnya), kendaraan, perlengkapan mata-mata, obat, komputer, dan perlengkapan lainnya yang
memenuhi
standar
keamanan.
Kebutuhan
perlengkapan
tersebut
menghabiskan dana sebanyak 72,6 juta dolar AS pada tahun 2008 (Zanotti, 2010:19) Dalam melakukan reformasi sektor keamanan, USSC dibantu oleh EUPOL COPPS yang tidak hanya meningkatkan kemampuan dan profesionalisme sektor keamanan tapi juga menyumbangkan perlengkapan yang dibutuhkan para polisi. Program ini dilaksanakan Juni 2005 hingga Oktober 2005. Peningkatan perbaikan perlengkapan diantaranya meninggikan tiang antena di daerah Khan Yonis, Hebron, Nablus, dan Jenin; mendistribusikan 600 GP 240 handset, 50 GP 280 radio handset, dan 90 stasiun radio (Kerkkanen, Rantanen, Sundqvist, 2008:3). Selain itu, USSC melengkapi personil Palestinian Guard dan NSF dengan peralatan militer senilai 72,6 juta dolar AS. Bantuan peralatan tersebut meliputi seragam, tenda, kendaraan, obat-obatan, dan komputer (Zanotti, 2010:19). Walaupun banyak perlengkapan militer yang diberikan sebagai bantuan keamanan untuk Palestina, semua item tersebut harus mendapatkan persetujuan terlebih dulu dari Israel (Zanotti, 2010:19).
35
BAB III UNITED STATES SECURITY COORDINATOR (USSC) A. Sejarah Terbentuknya USSC Menurut Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist (2008: 5) konsep polisi Palestina sudah ada sejak pendudukan wilayah Palestina pada 1967 berdasarkan kesepakatan Arab-Israel. Perjanjian Camp David pada 1978 melihat bahwa dibentuknya polisi Palestina sebagai bagian dari kesepakatan otonomi untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pada 1992, Palestina dan Yordania bertemu untuk mendiskusikan persiapan pembentukan lembaga kepolisian Palestina dengan kekuatan sebesar 20.000 orang. Kepolisian Palestina dijalankan pasca Israel menarik mundur pasukannya pada tahun 1993 (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 6). AS memberikan bantuan keamanan pertama kali pada Palestina saat pembentukan pemerintahan otonomi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada 1993 (Bouris, 2011: 3). Bantuan yang diberikan AS berupa perlengkapan militer dan dana yang ditujukan untuk memperbaiki sistem keamanan di Palestina sebesar 36 juta dolar AS melalui Bank Dunia dan secara tunai sebesar 5 juta dolar AS (Sharp, 2006: 4) Pada Mei 1994 polisi sipil bertambah besar dan penting dan masuk ke dalam struktur lembaga keamanan Palestina. Arafat juga meminta PBB untuk mengepalai pelatihan polisi Palestina di daerah pendudukan pada September 1994. Ide tersebut ditentang Israel. Untuk mengkoordinasikan bantuan dari donor multilateral maka dibentuklah sebuah badan Co-ordination Committee of International Assistance to the Palestinian Police Force (COPPS) di Kairo pada
36
24 Maret 1994. COPPS terdiri dari perwakilan beberapa negara seperti AS, Rusia, Uni Eropa, Norwegia, Jepang, Mesir, PLO, dan Israel. Lembaga ini menjadi cikal bakal berdirinya EUPOL COPPS (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 8). COPPS berupaya melakukan mitigasi dan menawarkan perangkat sistem komunikasi dengan memberikan Temporary International Presence in Hebron (TIPH) berupa 95 set radio pada 8 Agustus 1994. Pada 1997, jumlah polisi sipil sebanyak 10.500 terdiri dari 6.500 di Tepi Barat dan 4.000 di Jalur Gaza. Ada juga 350 polisi wanita. Pada tahun 1996-1997 polisi sipil memiliki 18 kantor polisi dan 25 pos polisi di Tepi Barat. Pos-pos tersebut memperkerjakan 8.000 hingga 11.000 personil dengan 1.000 perwira. Pada tahun 2000, personil meningkat sebanyak 14.000 dan 23 departemen spesial dibentuk (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 8). Sistem pemerintahan otonomi menuntut Palestina bertanggungjawab terhadap keamanan internal teritorialnya dengan konteks kondisi keamanan Palestina yang minim fasilitas dan regulasi yang ada tidak sesuai standar (Zanotti, 2010:). Secara operasional, Polisi Palestina mengalami kekurangan peralatan standar keamanan seperti seragam, radio, kendaraan, perisai, dan topi baja. Secara teknis, polisi Palestina tidak memiliki regulasi yang baku untuk menjalankan tugas menjaga keamanan (Palm, 2010:19). Selain itu, menurut Ball, Bartu, dan Verheul (2006:19), polisi Palestina juga tidak memiliki monopoli dan kontrol terhadap akses kekerasan. Secara hukum lembaga keamanan juga tidak memiliki undang-undang tegas yang mengatur mereka dan peradilannya lemah. Mereka tidak memiliki komunikasi
37
yang baik antara polisi di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza karena ada konflik domestik faksional di dalamnya antara Fatah dan Hamas. Konflik domestik faksional yang terjadi di dalam internal melibatkan dua aktor yaitu Fatah dan Hamas. Kedua faksi ini memiliki cara yang berbeda dalam konflik menghadapi Israel. Fatah cenderung bisa untuk bernegosiasi damai sedangkan Hamas menolak untuk bernegosiasi dan cenderung menggunakan perlawanan dan pertahanan bersenjata (Cohen & White, 2009:1). Kedua faksi ini juga memiliki pemerintahan masing-masing, yakni, Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza. Terpecahnya dua faksi internal antara Fatah dan Hamas berakibat pada tidak menyatunya Palestina sebagai kekuatan utuh untuk melawan Israel (Brown, 2010:37). Brown (2010:37-40) menjelaskan bahwa pemerintahan Tepi Barat yang dipimpin Fatah lebih diakui oleh Amerika Serikat karena masih bisa diajak untuk bekerjasama. Israel pun berharap agar Hamas bisa mendapatkan isolasi ekonomi dan diplomasi sehingga posisi Hamas tidak membahayakan Israel. Fatah di bawah Perdana Menteri Salam Fayyad memerintahkan polisi dan lembaga keamanan untuk tidak hanya menegakkan hukum lalu lintas dan ketertiban umum tapi juga mencegah adanya meluasnya pengaruh Hamas di Tepi Barat. Pencegahan terhadap pengaruh Hamas diantaranya dengan menahan aktivis Hamas, melarang lembaga non pemerintah bekerjasama dengan Hamas, dan memutuskan hubungan kerja bagi warga sipil yang mendukung Hamas. Lebih lanjut, Brynjar Lia dalam Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist (2008: 6) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa polisi Palestina masih memiliki banyak kekurangan dalam hal struktur organisasi, garis komando, disiplin
38
internal, koordinasi, dan akuntabilitas mekanisme. Polisi Palestina, Preventive Security dan Civil defense saat itu berada di bawah komando langsung dari Arafat. Tambahnya, polisi Palestina melihat dirinya sebagai alat untuk mencapai kemerdekaan nasional Palestina daripada menegakkan hukum dan ketertiban (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 5-10). Struktur organisasi yang terdapat di internal kepolisian Palestina mengalami gap dalam komando dan kontrol. Komando fungsional polisi Palestina tidak menggunakan dokumen, guidelines, dan rules. Mereka memberikan komando secara lisan. Hanya 5 persen aksi kriminal yang selesai melalui investigasi dan pengadilan (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 14). Selanjutnya, AS mengalihkan bantuan keamanan menjadi bantuan kemanusiaan untuk Palestina saat Intifada kedua terjadi pada tahun 2000 hingga 2004 yang mengakibatkan korban tewas dari Palestina dan Israel sebanyak 4000 orang (US GAO, 2010: 8). Di sisi lain, infrastruktur kepolisian mengalami kerusakan berat. Sekitar 45 bangunan polisi dan kompleks di Tepi Barat dan Jalur Gaza hancur termasuk laboratorium forensik di Gaza dan kompleks polisi di Ramallah (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 10) Peristiwa Intifada kedua membuat kondisi keamanan kedua negara tidak stabil sehingga proses negosiasi antara kedua negara menjadi terhambat. Jika negosiasi tidak terjadi, upaya menuju perdamaian Israel-Palestina akan sulit tercapai (Bouris, 2011: 3). Di tengah intifada pada tahun 30 April 2003, pihak internasional diantaranya AS, Rusia, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau Kuartet melakukan upaya negosiasi untuk stabilitas keamanan Israel-Palestina salah satunya melalui reformasi sektor keamanan yang disebut sebagai Road Map
39
Plan for Peace (Mark, 2005: 4; Sayigh, 2009: 3). Road Map Plan for Peace merupakan strategi untuk kemerdekaan Palestina dan Perdamaian Isrel-Palestina. Untuk mencapai tujuan tersebut, Israel dan Palestina memiliki kewajiban yang harus dijalankan disebut Road Map Obligations (Zanotti, 2010: 7). Kewajiban yang harus dipenuhi Palestina diantaranya mengakhiri aktivitas kekerasan terhadap Israel, memastikan seluruh aparat keamanan agar tidak terkoneksi dengan aktivitas teroris, dan meningkatkan kapabilitas lembagalembaga keamanan Palestina di bawah Kementerian Dalam Negeri (US GAO, 2010: 9). Sebagai komitmen untuk mencapai tujuan dari Road Map for Peace, AS membentuk USSC pada tahun 2005 yang dikepalai Letnan Jendral Keith Dayton (Dermer, 2010: 68). United States Security Coordinator (USSC) merupakan lembaga yang didirikan Condolleeza Rice, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) untuk pemerintah otonomi Palestina pada tahun 2005 (Kushner dan Bedein, 2011: 2). Lembaga ini bertujuan untuk mereformasi elemen-elemen keamanan Palestina dan mengkoordinasikan bantuan keamanan dari beberapa negara donor termasuk AS (US GAO, 2010: 10). Sebagai pemimpin USSC, Dayton memiliki
latar belakang sebagai
pemimpin George C. Marshall European Center for Security Studies. Ia juga pernah menjadi pemimpin operasi intelijen untuk agen pertahanan di Washington D.C. Selain itu, ia juga pernah bertugas di Iraq sebagai pemimpin the Iraqi Survey Group for Operation Iraqi Freedom (Marshallcenter.org; Abdullah, 2009: 21). Secara umum, USSC memiliki empat program. Pertama, USSC melakukan reformasi sektor keamanan melalui pelatihan dan pemberian peralatan
40
militer. Kedua, USSC memiliki misi untuk meningkatkan kapasitas Kementerian Dalam Negeri Palestina yang bertanggungjawab terhadap seluruh pasukan keamanan. Ketiga, pembangunan infrastruktur yang layak sesuai standar keamanan sebuah negara yang normal. Keempat, training untuk senior leader. USSC telah melatih dua kelas letnan kolonel dan kolonel melalui dua bulan seminar sebanyak 36 orang. Tujuan pelatihan untuk senior leader yaitu agar mereka memahami permasalahan yang terjadi dalam konflik dan dapat bekerja sama dengan baik (Washington Institute,2009:7-10). Pasca pemilu legislatif di Palestina, Hamas memenangkan kursi legislatif pada 2006. Hamas pun juga mendirikan Special Executive Force di Gaza (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 19). Menteri Dalam Negeri Palestina, Nassar Yusef menyatakan pandangannya mengenai aktivitas yang dilakukan USSC bahwa, “Polisi sipil Palestina yang terlatih secara profesional dan mandiri adalah dasar bagi hukum dan ketertiban untuk mencapai negara Palestina yang aman dan independen” (Bouris, 2011: 13). Senada dengan Menteri Dalam Negeri Palestina, dalam pidato di Tulkarm pada April 2009 di hadapan batalion yang telah menyelesaikan pelatihan di Yordania, Jendral Dayton menyatakan (Kushner dan Bedein, 2011: 7), “Ketika melihat Anda, saya tidak bisa lebih bangga dengan fakta bahwa Anda melangkah untuk menjadi pendiri negara Palestina.” Di sisi lain, pemimpin senior Hamas merespon berdirinya USSC menyatakan bahwa “Ada rencana sistematis yang menargetkan perlawanan dan semua sayap, melalui tindakan opresif yang dilakukan oleh pemerintahan Fayyad
41
dan diawasi oleh Dayton berkoordinasi dengan pendudukan untuk membunuh atau menangkap pejuang” (Maannews.net). Sementara itu, pada Mei 2010, Mayor Jenderal Israel, Avi Mizrahi mengatakan bahwa pelatihan yang dilakukan oleh USSC bukanlah kepentingan Israel. Dalam media (Aljazeera.com), Mizrahi menyatakan: Pasukan ini dilatih, dilengkapi, dididik Amerika. Ini berarti di awal pertempuran, kita akan membayar harga yang lebih tinggi. Pasukan tersebut bisa mematikan wilayah perkotaan dengan empat penembak jitu. Ini bukan militan Jenin lagi, ini kekuatan infantri yang kita hadapi dan perlu diperhitngkan. Mereka memiliki kemampuan menyerang dan kita tidak mengharapkan mereka menyerah dengan mudah.
Selanjutnya, AS memberikan bantuan keamanan melalui USSC berupa perlengkapan militer sebesar 2,3 juta dolar AS pada 2005. Pada pelaksanaan programnya, USSC juga dibantu oleh European Police Coordinating Office for Palestinian Police Support (EUPOL COPPS) yang berperan memberikan pendidikan dan pelatihan untuk elemen keamanan Palestina (Kristoff, 2012: 5). EUPOLL COPPS fokus memberikan pelatihan dalam hal penegakan hukum sesuai dengan standar internasional (EU Council Factsheet, 2006: 1). USSC juga mendapatkan dukungan dari Jordania melalui (JIPTC) untuk melatih Presidential Guards dan National Security Forces (NSF). Sama seperti EUPOL COPPS, JIPTC berperan untuk memberikan pemahaman dasar mengenai keamanan operasi pemeriksaan, tahanan perang, patroli, pertahanan diri, dan kerusuhan sipil (US Department of State and the Broadcasting Board of Governors, 2011: 7). Dayton menjelaskan dalam pidatonya bahwa pelatihan dilakukan di Yordania karena pemerintah Palestina ingin para pasukan dilatih di wilayah regional tapi jauh dari keluarga dan pengaruh politik. Di sisi lain, Israel 42
memercayai Yordania sebagai tempat untuk pelatihan pasukan Palestina (Washington Institute, 2009: 7). Dayton mengatakan bahwa,“Para lulusan (dari pelatihan program di Yordania) telah dididik secara ekstensif... pada kesetiaan pada bendera Palestina dan rakyat Palestina.” (Washington Institute) Sebagai perbandingan, AS juga pernah memberikan bantuan keamanan untuk reformasi sektor keamanan untuk Libanon, Yordania, dan Mesir. Pada awal 2006, Lebanon mendapatkan bantuan senjata dan perlengkapan. Selain itu, AS juga menjalankan pogram untuk mengevaluasi pasukan Lebanon yang dikepalai oleh Brigadir Jendral Mark Kimmit. Dalam bantuannya, AS juga memberikan pelatihan, dan fasilitas (Sayigh, 2009: 9). AS pertama kali memberikan bantuan untuk Libanon pada tahun 1980-an dalam bentuk hibah dan pinjaman sebesar 145 dolar AS dan 190 dolar AS untuk Lebanese Armed Forces (LAF) dalam konteks keperluan perang sipil. AS kembali memberikan bantuan pada tahun 1990-an saat perang sipil berupa kendaraan lapis baja dan helikopter (Addis, 2011: 2). AS meningkatkan bantuan keamanan internal dan ekonomi pada multipel krisis Libanon pada 2005 dan 2009. AS juga melatih dan memberikan perlengkapan untuk LAF dan Internal Security Forces (ISF). Bantuan yang diberikan AS tidak ditujukan untuk pejuang Hezbollah (Sharp, 2010: 12). Tujuan pemberian bantuan keamanan yaitu untuk memperkuat pemerintah Libanon dalam menghadapi konteks internal politik pemerintah terhadap Hezbollah, memperkecil pengaruh ekstremis sunni, dan bagian dari counterterrorism. Tujuan lainnya untuk memotong pengaruh dari Iran dan Syiria (Addis, 2010: 9-11). Pada 2005, paska Revolusi Cedar, Syiria meninggalkan Libanon dan
43
membuat pihak anti-Syiria, pro-Barat untuk memberikan bantuan keamanan seperti AS. Pada 2006, AS berfokus untuk melatih LAF dan ISF (Addis, 2011: 1) Selanjutnya, AS juga memberikan bantuan ekonomi dan militer untuk Yordania sejak tahun 1951. Pada 22 September 2008, AS kembali memberikan bantuan pada pemerintah Yordania sebesar 660 juta dolar selama lima tahun periode melalui Economic Support Funds (ESF) dan Foreign Military Financing (FMF) (Sharp, 2010: 7). Untuk bantuan militer, AS meningkatkan perlengkapan angkatan udara Yordania dengan memberikan F-16 fighters, air to air missiles, sistem radar, dan helikopter blackhawk (Sharp, 2010: 8). Negara lain yang mendapatkan bantuan dari AS adalah Mesir sejak 1948. Mesir menjadi penerima donor bantuan luar negeri terbesar kedua dari AS sebesar dua miliar dolar untuk bantuan ekonomi dan keamanan sejak 1979. Pada 1987 hingga 2013, Mesir menerima bantuan militer sebesar 1,3 miliar dolar setiap tahun. Pada Juli 2007 AS kembali memberikan bantuan militer sebesar 13 miliar dolar selama jangka waktu 10 tahun (Sharp, 2010: 4; 2013: 8). B. Profil USSC 1. Prinsip USSC Terdapat beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam kontrak bahwa dana bantuan AS tidak boleh digunakan untuk beberapa hal diantaranya tidak boleh digunakan untuk menggaji personel Palestina yang berlokasi di Gaza, tidak boleh diberikan untuk Hamas atau lembaga lain yang berada di bawah tanggungjawab Hamas, dan tidak diperbolehkan untuk melakukan power sharing dengan Hamas dalam pemerintahan sementara Palestina (Kushner dan Bedein, 2011: 15). 2. Tujuan USSC
44
USSC memiliki tujuan mentransformasikan dan memprofesionalkan pasukan keamanan Palestina. Sistem pelatihan dibuat berdasarkan batalyon untuk meningkatkan kesatuan komando dan membangun persahabatan antar pasukan. Semua dana yang diberikan untuk keperluan USSC dipastikan tidak dialokasikan pada individu atau kelompok yang berelasi dengan aktivitas teroris (US GAO, 2010: 16). 3. Struktur USSC USSC secara administratif dibentuk oleh AS. Namun, secara teknis USSC berkoordinasi dengan aktor-aktor internasional untuk menjalankan programnya. USSC memiliki pegawai lintas negara sebanyak 45 orang dan instruktur pelatih sebanyak 28 orang yang ditempatkan di Jerusalem dan Ramallah (Sayigh, 2011: 5). Pegawai dan personel militer tersebut berasal dari AS, Kanada, Inggris, dan Turki (Zanotti, 2010: 14). USSC berkoordinasi dengan EUPOL COPPS yang memiliki pegawai sebanyak 33 orang yang berasal dari negara anggota Uni Eropa (EU Council Factsheet, 2006: 2). Bantuan keamanan yang dikelola USSC difokuskan pada lembaga Kementrian Dalam Negeri, Presidential Guard, dan Pasukan Keamanan Nasional (Zanotti, 2010: 7). Berikut ini adalah struktur elemen keamanan Palestina dan struktur komandonya.
45
Bagan III.B.3 Struktur Elemen Keamanan Palestina
Presiden
Perdana Menteri
Intelijen Menteri Dalam Negeri Pengawal Presiden
Pasukan Keamanan Nasional
Polisi Sipil
Intelijen militer
Pertahanan Sipil
Lembaga Pencegahan Keamanan
Sumber: Congressional Research Service oleh Jim Zanotti pada 2010 dalam artikel U.S. Security Assistance to the Palestinian
Berdasarkan tabel di atas, Menteri Dalam Negeri Pemerintah Sementara Palestina membawahi Palestinian Authority Security Forces (PASF) yang terdiri dari pasukan keamanan nasional (termasuk intelijen militer), polisi sipil Palestina, lembaga pencegahan keamanan, pengawal presiden, dan intelijen. Mandat Road Map Obligations pasukan keamanan nasional, polisi, dan intelijen harus berada di bawah Menteri Dalam Negeri. Personil pasukan keamanan nasional berjumlah sebanyak 8.000 orang, polisi sipil memiliki personil sebanyak 7.200 orang.
46
C. Sumber Daya USSC 1. Kekuatan Finansial a. International Narcotics and Law Inforcement Affairs (INL) USSC berkoordinasi dengan INL sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk program bantuan keamanan AS. Berikut ini tabel yang menunjukkan dana yang ditujukan untuk misi reformasi keamanan Palestina oleh INL (US Department of State and the Broadcasting Board of Governors, 2011: 10). USSC melakukan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pasukan keamanan nasional Palestina dimulai pada 2007. Pembangunan diawali dengan merenovasi dua infrastruktur yaitu di Jericho sekolah pasukan penjaga presiden dan pusat training di Nuweimah. Lalu empat pembangunan baru sekolah pasukan penjaga presiden, dua kamp operasi, dan pusat pelatihan. Keenam fasilitas tersebut direnovasi dan dibangun di wilayah Tepi Barat (US Department of State and the Broadcasting Board of Governors, 2011: 1). Periode pembangunan infrastruktur tahap pertama dilakukan pada 2007-2008. Selanjutnya, program pembangunan infrastruktur tahap kedua dilakukan pada tahun 2009-2010. Sehingga dana tahap kedua diberikan pada tahun 2009 (US Department of State and the Broadcasting Board of Governors, 2011: 18).
Tabel III.C.1 Daftar Bantuan USSC terhadap Palestina 2007-2010 2007
2008
2009
2009
2009
2010
Total 20072010
Pelatihan
$ 28.6
$ 13.0
$ 22.6
$ 13.5
$ 39.0
$ 41.0
$ 157.7
Peralatan
$ 22.6
$ 12.0
$0
$ 7.0
$ 14.2
$ 17.0
$ 72.8
Infrastruktur
$ 18.6
$0
$ 18.4
$0
$ 49.7
$ 30.5
$117.2
47
Peningkatan kapasitas
$ 6.0
$0
$ 4.0
$ 3.5
$ 4.2
$ 6.5
$ 24.2
Peningkatan program dan dukungan
$ 10.6
$0
$ 5.0
$ 1.0
$ 1.9
$ 5.0
$ 23.5
Total
$ 86.4
$ 25.0
$ 50.0
$ 25.0
$ 109.0
$ 100.0
$ 395.4
Sumber: Laporan dari US Department of State and the Broadcasting Board of Governors
b. European Police Coordinating Office for Palestinian Police Support (EUPOL COPPS) Lembaga ini membantu Palestina untuk memperbaiki sektor keamanan melalui pelatihan yang diberikan pada Polisi Palestina (Palestinian Civil Police) (EU Council Factsheet, 2006: 1). Dalam internal Uni Eropa, EUPOL COPPS termasuk ke dalam European Security and Defense Policy (ESDP) atau kebijakan keamanan dan pertahanan Eropa. Israel-Palestina dan dalam lingkup yang lebih luas yaitu Timur Tengah dikategorikan ke dalam the European Union Neighbourhood Policy (ENP) (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 1-2). Pembentukkan lembaga ini sesuai dengan deklarasi the European Council pada 17-18 Juni 2004 yang menyatakan kesediaan Uni Eropa untuk mendukung polisi Palestina bertanggungjawab terhadap penegakan hukum dan ketertiban. Lembaga ini didirikan paska ditarik mundurnya pasukan Israel. Polisi palestina dibuat untuk mengurangi kasus kriminal dan ketidakamanan untuk rakyat Palestina (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 16). Untuk menjalankan tugasnya, lembaga ini beroperasi di Ramallah. Dewan Uni Eropa sebagai bagian dari kuartet Road Map for Peace mendukung Road Map Obligations untuk Palestina dengan mendirikan EUPOL
48
COPPS berdasarkan Council Joint Action 2005/797/CFSP. Lalu EUPOL COPPS pun dibentuk pada April 2005 secara formal dengan pertukaran surat antara Perdana Menteri Palestina Ahmed Qurei dan Perwakilan Uni Eropa untuk proses perdamaian Timur Tengah Marc Otte (The Quaker Council for European Affairs (QCEA), 2011: 13-14). Selanjutnya, lembaga ini mulai beroperasi pada 1 Januari 2006 dengan mandat tiga tahun hingga 31 Desember 2008 (Sayigh, 2009: 7). Dalam mencapai misi EUPOL COPPS untuk memperbaiki sektor keamanan Palestina, berdasarkan the Council Joint Action Article 2 Mission Statement lembaga ini berkewajiban membimbing, memfasilitasi, dan mengatur jalannya bantuan untuk perbaikan sistem keamanan Polisi Palestina (Official Journal of the European Union, 2005: 66). Dalam menjalankan misi, EUPOL COPPS mendapatkan dana sebesar 6,1 juta Euro pada tahun 2006 yang berasal dari negara anggota Uni Eropa dan donor internasional (EU Council Factsheet, 2006: 2). Lalu pada 2008 EUPOL COPPS mendapatkan bantuan dana dari Norwegia, Kanada, dan beberapa negara Uni Eropa sebesar 47 juta dolar AS. Berikut Tabel yang menunjukkan anggaran dana EUPOL COPPS yang dikeluarkan untuk program USSC (Sayigh, 2011: 5). Selain itu, Inggris, Belanda, Swedia, dan Norwegia juga memberikan bantuan dana pada EUPOL COPPS untuk perbaikan the Jericho Police Training Centre senilai 430 ribu Euro sesuai factsheet 15 Februari 2006 (QCEA, 2012: 15). Lalu pada Juni 2008 terdapat sebanyak 40 negara donor memberikan bantuan dana sebanyak 53 juta dolar AS melalui 15 program untuk perbaikan sektor keamanan. Table di bawah ini menunjukkan bahwa dana yang dialokasikan oleh USSC lebih besar dibandingkan EUPOL COPPS. USSC mengalokasikan dana
49
sebesar 400 juta dolar pada tahun 2008-2010 karena mempekerjakakan sebanyak 73 staf yang terdiri dari 45 staf militer dan sipil serta 28 instruktur pelatihan. Dana tersebut juga dialokasikan untuk melatih dan memberikan peralatan militer tiap cabang pasukan keamanan nasional yang berjumlah sebanyak 9.300-9.700 personil. Selanjutnya, dana yang dialokasikan oleh EUPOL COPPS untuk reformasi keamanan Palestina lebih difokuskan untuk polisi sipil yang berjumlah 7.300-8.300 personil dan 66 staf internasional dan local (Sayigh, 2011:5). Tabel III.C.2 Daftar Bantuan USSC & EUPOL COPPS terhadap Palestina 2008-2010 Misi/ bantuan USSC (2008, 2009, dan 2010) Pelatihan Perlengkapan keamanan Pembangunan atau rehabilitasi fasilitas Peningkatan kapasitas Biaya perencanaan program/ pengawalan & kendaraan lapis baja untuk personil USSC EUPOL COPPS (2008 and 2009) Pelatihan Peralatan Total *angka di atas adalah perkiraan kantor akuntan umum AS
Juta dolar 400* 160 89 99 22 23 47 16 31 447
Sumber: Carnegie Endowment for International Peace oleh Yezid Sayigh pada 2011, Policing the People, Building the State; Authoritarian Transformation in the West Bank and Gaza.
Secara struktur EUPOL COPPS dipimpin oleh Henrik Malmquist, Head of Mission/ Police Commissioner yang bertugas mengatur dan memastikan program keamanan untuk Palestina dilaksanakan oleh sumber daya sesuai rencana. Sebagai polisi senior di Swedia, ia memiliki banyak pengalaman bekerja di banyak negara. Elemen lain yang terdapat dalam struktur EUPOL COPPS yaitu advisory section, programme coordination section, dan administration section (Official Journal of the European Union, 2005: 66; (QCEA), 2012: 15). Advisory section berperan
50
mengkordinir bantuan yang nantinya digunakan untuk keperluan memperbaiki institusi polisi Palestina (Palm, 2010: 19). Henrik Malmquist sebagai pemimpin EUPOL COPPS membawahi 53 pegawai Uni Eropa dan 27 pegawai lokal. Para pegawai tersebut berasal dari 19 negara Anggota Uni Eropa, Norwegia, dan Kanada (QCEA, 2012: 15). Pelatih yang memberikan materi mengenai hak asasi manusia (HAM) dan gender dalam EUPOL COPPS disebut sebagai Human Rights Experts (HRE). HRE juga memiliki partner kerja dengan lembaga-lembaga yang memiliki fokus di bidang HAM (Palm, 2010: 19). Sebagai lembaga yang mengupayakan reformasi bagi sistem keamanan Palestina, EUPOL COPPS bersikap terbuka pada media dan publik dalam memberikan informasi seputar program dan misinya melalui Press and Public Information Officer (PPIO) misalnya berupa factsheet dan newsletter (Palm, 2010: 22). Secara spesifik, program yang dijalankan EUPOL COPPS terbagi ke dalam dua kategori yaitu pertama, level strategik dan politik berupa misi untuk menyelesaikan inti masalah konflik Israel-Palestina; kedua, level praktis dan operasional yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas polisi Palestina (Kerkkanen, Rantanen, & Sundqvist, 2008: 3). c. Jordanian International Police Training Center (JIPTC) JIPTC dibentuk pada 2003 dengan donor dari AS untuk melatih polisi Irak. Pasukan yang dilatih berasal dari Tepi Barat. Pasukan ini akan dilatih untuk keperluan cadangan pasukan dan bala bantuan. Palestinian Guard dilatih secara khusus dalam pelatihan di JIPTC (Zanotti, 2010: 15-16).
51
2. Jumlah Anggota CIA, Israel Security Service (Shabak), Jordan intelligence, dan intelijen Palestina memiliki catatan mengenai nama-nama yang terlibat kasus kekerasan dan aktivitas teroris. Nama yang tercatat oleh keempat lembaga tersebut tidak diperbolehkan untuk ikut terlibat dalam pelatihan pasukan USSC (Kushner dan Bedein, 2011: 6). Dalam jangka waktu antara Januari 2008 hingga Maret 2009, sebanyak 2.100 pria dilatih di JIPTC (Sayigh, 2009: 5). Bagan III.C.1 Struktur Elemen Keamanan Palestina Struktur dan Garis Koordinasi Lembaga Keamanan Palestina
Presiden*
Perdana Menteri
Menteri Dalam Negeri
Keamanan Nasional
Menteri Keuangan
Keamanan Internal
Pasukan Keamanan Nasional
Pengawal Presiden
Intelijen Militer
Departemen Intelijen Umum
Aparatur pencegahan keamanan *
Polisi sipil
9.3009.700
2.300
1.5002.000
3.0003.500
3.500
7.3008.000
CIA
USSC
52
EUPOL COPPS
Key: Kewenangan formal Kontrol Kewenangan focal dan kontrol Bantuan resmi Bantuan tidak resmi Total PASF: 27.000-29.000 (including 1.000+in auxiliary service) * Presiden otonomi Palestina berada di bawah mandate hukum tahun 2003 sebagai pemegang otoritas tertinggi pasukan keamanan nasional, tapi mendelegasikan tanggungjawab keamanan internal pada Menteri Dalam Negeri. Presiden memegang kontrol penuh semua lembaga keamanan.
53
BAB IV EFEKTIVITAS KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP PALESTINA MELALUI USSC A. Evaluasi Reformasi Sektor Keamanan USSC Penelitian ini menganalisa efektivitas kebijakan luar negeri AS terhadap Palestina melalui USSC menggunakan konsep bantuan luar negeri dan kepentingan nasional yang sudah dijelaskan pada Bab I. Penelitian ini mengevaluasi USSC melalui laporan program reformasi sektor keamanan dan menganalisis dampaknya terhadap keamanan dan ketertiban sipil di Palestina. Penilaian terhadap USSC dapat menjadi alat ukur dari tujuan kebijakan luar negeri AS terhadap Palestina. AS menggunakan bantuan luar negeri sebagai instrumen dari kebijakan luar negerinya. Dana yang dikeluarkan kongres AS untuk bantuan luar negeri sebesar satu setengah dari satu persen anggaran federal. Sehingga dana tersebut dapat digunakan secara efisien jika dapat mencapai tujuan kebijakan luar negeri AS (Levin, 2000:1). Untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari setiap kebijakan perlu ada perbandingan antara tujuan awal dengan hasil dari bantuan luar negeri. Menurut Lawson (2013:4), jika bantuan luar negeri berhasil maka yang perlu dilakukan hanya pemantauan kinerja atau performance monitoring. Sedangkan jika mengalami kegagalan maka dilakukan evaluasi kinerja atau performance evaluation. Penilaian efektivitas bantuan luar negeri dilakukan dengan mengevaluasi dampak sebuah kebijakan dari hasil penilaiannya. Setelah dibentuk USSC pada tahun 2005 untuk membantu reformasi sektor keamanan Palestina, terdapat sejumlah laporan mengenai hasil kinerjanya. USSC melaporkan pencapaian reformasi sektor keamanan pada pemerintah AS. 54
Lalu pemerintah AS yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri melaporkan hasil tersebut pada Kuartet. Dalam memberikan laporan kinerja, pejabat USSC kurang memberikan penilaian dan evaluasi melainkan hanya menggambarkan hal-hal teknis yang telah dilakukan seperti jumlah personil yang telah dilatih dan dilengkapi peralatan militer. Mereka juga tidak memiliki indikator untuk mengukur bagaimana keberhasilan mereka dalam mereformasi sektor keamanan di Palestina dan sejauh mana USSC telah membantu Palestina dalam memenuhi kewajiban dalam Road Map Obligations (GAO:27). Awal mula dibentuk sebagai lembaga yang bertugas mereformasi sektor keamanan Palestina, USSC memiliki visi dan misi yang menjadi pedoman untuk menjalankan
programnya.
Untuk
menilai
keberhasilan
atau
kegagalan
implementasi programnya, penelitian ini mengamati apakah program tersebut telah sesuai dengan misi USSC. Pencapaian USSC juga akan dibandingkan dengan poin-poin kewajiban yang harus dipatuhi Palestina dalam Road Map for Peace. Untuk itu, USSC akan dievaluasi berdasarkan laporan-laporan tersebut yang terdiri dari laporan mengenai konstruksi infrastruktur bagi polisi Palestina di Tepi Barat pada Maret 2011 dan laporan pelatihan dan pendukung logistik untuk polisi Palestina pada Juli 2011. Visi dan misi tersebut diturunkan ke dalam program-program. Adapun program USSC difokuskan ke dalam empat yaitu pertama, melakukan pelatihan dan memberikan perlengkapan militer terhadap Palestina; kedua, meningkatkan kapasitas kementerian dalam negeri Palestina yang bertanggungjawab terhadap seluruh pasukan keamanan; ketiga, pembangunan infrastruktur yang layak.
55
Ketiga hal tersebut secara teknis pelaksanaan cukup berjalan dan terealisasi. USSC berhasil mengkoordinasikan bantuan keamanan dari negaranegara pendukung lainnya dan menjalankan pelatihan maupun pembangunan infrastruktur. Namun, setelah program-program tersebut tercapai, USSC dapat dikatakan belum berhasil menjadi salah satu faktor pendukung untuk membawa permasalahan Israel-Palestina untuk melakukan negosiasi damai. Untuk lebih mendalam, penelitian ini membandingkan sejauh mana program-program tersebut dapat sesuai dengan misi USSC yang terdiri tiga poin. Misi pertama yaitu memfasilitasi kerjasama Palestina dan Israel dan memastikan kapabilitas Palestinian Authority Security Force (PASF) tidak mengancam Israel. Kaitannya antara bantuan luar negeri AS terhadap Palestina dengan Israel, menurut Levin (2000:1) Israel merupakan negara di Timur Tengah yang dapat menjadi jembatan pengaruh di wilayah tersebut. Sehingga tidak mengherankan jika AS sangat protektif terhadap keamanan Israel. Dalam implementasinya, distribusi dana yang dikelola USSC memang tidak diperbolehkan diberikan atau digunakan untuk kelompok militan yang anti Israel seperti Hamas. Sehingga polisi dan pasukan keamanan nasional yang dilatih pun tidak boleh berstatus sebagai anggota Hamas. Israel tetap memegang peranan penting untuk memantau bantuan keamanan untuk Palestina. Bantuan keamanan terhadap Palestina dapat memperkuat kapasitas lembaga keamanan sehingga berpotensi membahayakan keamanan Israel. Sehingga tidak mengherankan jika AS bekerjasama dengan Israel menggunakan sistem yang ketat untuk menyaring bentuk bantuan keamanan yang tepat untuk Palestina yang tidak membahayakan posisi Israel.
56
Selain itu, melalui reformasi sektor keamanan Palestina, sipil mendapatkan wewenang untuk mengontrol militer. Adanya kontrol sipil diharapkan Palestina akan lebih condong terhadap negosiasi untuk mencapai kesepakatan daripada aksi kekerasan yang membahayakan Israel. Bedein mengutip Mohammed J. Herzallah, mantan pemimpin gerakan solidaritas Palestina Harvard yang juga peneliti Carnegie Endowment for International Peace berpendapat bahwa program yang dijalankan USSC berbahaya karena AS melakukan intervensi secara langsung terhadap organ inti Palestina. Herzallah menambahkan bahwa koordinasi keamanan oleh USSC juga melemahkan kepresidenan Palestina dan membuat Palestina bergantung pada bantuan AS (Bedein, 2009:10). Bantuan keamanan AS melalui USSC melemahkan legitimasi politik pemerintahan Mahmoud Abbas karena secara keuangan bergantung pada AS. Ketergantungan secara ekonomi untuk mereformasi sektor keamanan dapat membuat pemerintahan Abbas membuat kebijakan berdasarkan kepentingan AS. Apalagi AS yang memiliki status sebagai aliansi Israel, tentu memberikan bantuan keamanan untuk tujuan keamanan Israel. Hal itu menunjukkan bahwa dibalik bantuan keamanan terhadap Palestina, AS memiliki tujuan untuk melindungi Israel. Kewaspadaan AS dalam memberikan bantuan keamanannya terhadap Palestina di Tepi Barat tidak mengancam Israel memang berhasil. Tapi di sisi lain, bantuan keamanan AS menjadi pemicu bantuan keamanan negara lain terhadap Hamas seperti dari Iran.
57
Misi kedua USSC yaitu memimpin dan mengkoordinasikan bantuan untuk PASF dari Amerika Serikat dan donor internasional. Secara operasional, USSC memang telah mengelola jalannya program yang dananya berasal dari beberapa negara dan aktor internasional lain seperti Yordania, Rusia, Mesir, PBB, dan Uni Eropa. Donor bantuan keamanan yang dikelola USSC mayoritas berasal dari negara-negara yang memiliki kedekatan secara politik dengan AS. Poin lain terhadap evaluasi terhadap USSC yaitu adanya perubahan rencana di lapangan yang seringkali terjadi karena ada hal tertentu. Misalnya pada Juni 2007 Hamas mengambil alih Gaza. Akibatnya penempatan batalion khusus yang semula rencananya akan ditempatkan sebanyak lima batalion di Tepi Barat dan dua di Gaza mengalami perubahan. Sebanyak tujuh batalion khusus ditempatkan di Tepi Barat yang berarti peningkatan jumlah batalion dan jumlah tiap batalion dikurangi dari 3.500 personil menjadi 500-700 personil tiap batalion. Pada tahun 2009, pemerintah AS juga melihat masih terdapat fungsi yang tumpang tindih misalnya antara pasukan keamanan Palestina dengan pasukan pengawal presiden (GAO, 2010:27). Dari segi grassroot, dampak reformasi sektor keamanan melalui USSC diamati oleh sebuah lembaga penelitian, Palestinian Center for Policy and Survey Research yang mengadakan poling pada tahun 2009. Pertanyaan yang diajukan pada responden masyarakat Palestina yaitu mengapa mereka tidak melaporkan tindakan kriminal pada polisi. Hasilnya sebanyak 80 persen responden menyatakan mereka tidak percaya pada polisi atau tidak yakin jika polisi dapat melakukan tindakan atas laporan mereka (Kristoff, 2012:10).
58
Melalui poling tersebut, dapat diamati bahwa peningkatan kapasitas lembaga keamanan Palestina melalui USSC tidak begitu berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat. Sebanyak 80 persen masyarakat tidak melaporkan adanya penemuan tindak kejahatan pada polisi. Ketidakpercayaan mereka muncul karena tidak yakin polisi dapat menangani kasus kriminal bahkan walaupun status peningkatan kapasitas polisi Palestina telah ditingkatkan. Pertanyaan selanjutnya dalam poling yang dilakukan Palestinian Center for Policy and Survey Research yaitu apakah para responden memiliki atau tidak memiliki kepercayaan terhadap kelompok-kelompok bersenjata dan keamanan seperti polisi, National Security Forces, Al-Aqsa Martyrs Brigades, dan Izzeddin al Qassam Brigades (Kristoff, 2012:10). Berikut tabel yang menunjukkan hasil dari poling tersebut:
Tabel IV.A Poling Tingkat Kepercayaan Masyarakat Palestina terhadap Lembaga Keamanan
10,8
Pasukan Keamanan Nasional 9,5
Brigade Brigade Syuhada Al- Izzeddin AlAqsa Qassam 9,8 12,9
46,8 25,5
38,8 30,6
39,8 28,8
32,4 30,7
11,3
11,5
12,5
15,8
5,6
9,6
9,1
8,1
Total %
Polisi
Sangat percaya Percaya Tidak percaya Sangat tidak percaya Tidak tahu
Berdasarkan data di atas, dapat dijelaskan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Palestina terhadap polisi sangat rendah. Jika membandingkan antara polisi, pasukan keamanan dengan kelompok sipil militer, angka poling
59
menunjukkan jumlah yang tak terlalu jauh. Ketidakpercayaan tersebut timbul karena alas an seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa polisi belum tentu akan melakukan tindakan atau bentuk penegakan hukum terhadap masalah yang menimpa mereka. Jika lembaga negara seperti polisi tidak dipercaya masyarakat, maka hal itu tentu juga akan berpengaruh terhadap legitimasi politik pemerintahan Abbas dari segi akar rumput. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi Palestina dibandingkan dengan kelompok militan lain di Palestina. Pertanyaan poling lebih spesifik lain dilakukan pada Juni 2007 dan September 2011 mengenai keamanan Palestina di tingkat akar rumput yaitu apakah keamanan dan keselamatan para responden dan keluarganya dapat terjamin atau tidak (Kristoff, 2012:11). Citra polisi paska reformasi sektor keamanan di mata masyarakat masih sama dengan stereotipe bahwa polisi hanya memiliki cenderung menanamkan rasa takut di masyarakat dan polisi Palestina bekerjasama dengan Israel. Akibat stereotipe tersebut, masyarakat Palestina cenderung tidak percaya terhadap polisi. Walaupun begitu terdapat peningkatan rasa percaya karena terdapat peningkatan angka rasa percaya dari tahun 2007 sebesar 21,9 persen naik hingga 58,9 persen pada tahun 2011. Berikut Tabel hasil poling tingkat keyakinan masyarakat Palestina terhadap jaminan keamanan pemerintahnya.
Tabel IV.A Poling Tingkat Keyakinan Masyarakat Palestina terhadap Jaminan Keamanan oleh Pemerintah Total % Sangat yakin Yakin Tidak yakin Sangat tidak yakin
Juni 2007 4,3 21,9 48,6 24,6
September 2011 7,7 58,9 27,2 4,7
60
Tidak tahu
0,5
1,5
Adanya operasi kontraterorisme oleh polisi sipil Palestina juga menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas polisi sejak awal memang ditujukan untuk mendukung keamanan Israel. Idealnya polisi sipil harus membangun hubungan dengan masyarakat, melindungi masyarakat dari kekerasan, dan bekerja sama sebagai salah satu komponen peradilan pidana (Kristoff, 2012:11). Dalam reformasi sektor keamanan local ownership menjadi hal penting untuk keberhasilan tujuan reformasi. Menurut Laurie Nathan dikutip dalam Donais (2009:6), local ownership adalah ‘the principle of local ownership of SSR means that the reform of security policies, institutions and activites in a given country must design, manage, and implemented by domestic actore than external actors’ (prinsip kepemilikan lokal dalam reformasi sektor keamanan berarti bahwa reformasi kebijakan keamanan, lembaga dan kegiatan di suatu negara harus dirancanng, dikelola, dan dilaksanakan oleh aktor lokal daripada aktor eksternal). Dalam konteks USSC, pengelolaan bantuan hingga implementasi program reformasi sektor keamanan, semuanya dikelola oleh USSC dan pihak di luar Palestina yang ikut mendukung. Jika local ownership atau kepemilikan lokal diterapkan maka pemerintah Palestina di Tepi Barat dapat mengimplementasikan dan mereformasi sektor keamanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Adanya bantuan dan model reformasi dari asing hanya menjadi pendukung dari program pemerintah lokal. Selain itu, Donais (2009:9) juga menjelaskan bahwa aktor dari local ownership secara minimal adalah elit politik di tingkat nasional dan secara
61
maksimal aktornya juga melibatkan masyarakat sipil domestik. Reformasi sektor keamanan yang dilakukan di Palestina sangat jauh dari prinsip local ownership. Pada umumnya, menurut Ball, Bartu, dan (2006:19) reformasi sektor keamanan diterapkan pada negara yang telah merdeka dan tidak berada dalam situasi konflik. Reformasi sektor keamanan Palestina diterapkan dalam kondisi yang tidak normal. Kondisi tersebut membuat aktor-aktor yang mereformasi keamanan tentu mendapatkan hambatan dan tantangan yang lebih misalnya tarik menarik kepentingan antara AS dengan anggota kuartet lainnya dan juga konflik domestik faksional Palestina. Misi terakhir yaitu membantu Palestinian Authority (PA) untuk memperbaiki dan memprofesionalkan keamanan dengan melatih dan melengkapi PASF untuk Palestinian Obligations dalam Roadmap Obligations (Government Accountability Office, 2010: 11). Dalam menilai sejauh mana Road Map Obligations dilaksanakan oleh Palestina, anggota Kuartet memonitor dan mengevaluasi sejauh mana kemajuan yang dicapai Palestina. Lalu penilaian akhir dilakukan dengan konsensus tiap anggota Kuartet (Friedrich dan Luethold:204).
B. Efektivitas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Palestina Melalui USSC pada periode 2005-2012 USSC telah menghasilkan polisi dan pasukan militer yang telah dilatih dan dilengkapi peralatan. Untuk melihat sejauh mana reformasi sektor keamanan memenuhi Palestinian Obligations, perlu melihat kembali poin-poin yang ada di dalamnya.
62
Poin pertama dalam Road Map Obligations yaitu Palestina bersikap tegas mengakhiri kekerasan dan terorisme dan melakukan upaya nyata untuk menahan dan mengendalikan individu dan kelompok yang menjalankan dan merencanakan serangan kekerasan terhadap Israel. Poin ini tidak dapat dipenuhi Palestina karena wilayah Jalur Gaza yang dikuasai Hamas menerima donor dari USSC. Hal itu membuat Hamas dapat bergerak lebih leluasa untuk mempertahankan diri atau menyerang balik Israel. Walaupun dalam prakteknya, di wilayah Tepi Barat terdapat salah satu pemimpin Hamas yang tewas dan anggota lainnya ditangkap. Adanya dualisme pemerintahan membuat keamanan di Palestina tidak stabil. Poin kedua yaitu membangun dan memusatkan kembali aparatur keamanan Palestina untuk mempertahankan, menargetkan, dan mengoperasikan secara efektif semua yang terlibat dalam teror dan membongkar kemampuan dan infrastruktur teroris. Termasuk melakukan penyitaan senjata ilegal dan konsolidasi keamanan, terbebas dari keterlibatan teror dan korupsi. USSC memberikan sejumlah pelatihan untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga keamanan Palestina. Peningkatan kapasitas tersebut tidak hanya melalui pelatihan tapi juga operasi untuk melihat sejauh mana keberhasilan reformasi sektor keamanan. Operasi tersebut dilakukan di beberapa daerah di Tepi Barat seperti Jenin, Hebron, dan Qalqiya. Pada Mei hingga Juni 2008, Pasukan Pengawal presiden melakukan operasi pertamanya di Jenin yang dinamakan Operation Hope and Smile untuk menangani counterterorrism. Hasilnya daerah operasi bersih dari senjata dan mobil ilegal dan kelompok bersenjata tidak bisa lagi berkeliaran di jalan secara terbuka. Bagi pengamat dari perspektif AS, operasi
63
di Jenin tersebut berhasil membersihkan senjata, mobil ilegal, dan gerombolan orang bersenjata di jalan terbuka (Zanotti, 2010:21). Lalu pada Oktober 2008, dimulai operasi yang disebut sebagai Homeland Rising di Hebron, Tepi Barat. Sebanyak 600 personel keamanan otoritas Palestina ditempatkan untuk menambah keamanan dan menangkal konflik akibat pendudukan Israel terhadap pemukiman Palestina. Di tahun yang sama pada bulan Desember, sebanyak 1600 personel keamanan ditempatkan untuk menangani protes warga Palestina terhadap aksi militer Israel di Gaza (Zanotti, 2010:22). Selanjutnya Di Qalqilya pada April 2009, pasukan otoritas Palestina menggerebek gudang senjata Hamas yang berlokasi di bawah masjid berisi 80 kilogram bahan peledak dan menahan tujuh orang yang terkait hal itu. Penggerebekan ini menewaskan pemimpin militer Hamas Qalqilya yang masuk ke dalam daftar orang yang paling dicari Israel selama sepuluh tahun terakhir, asistennya, tiga militan Hamas, empat personel militer otoritas Palestina dan satu warga sipil (Zanotti, 2010:23). Penggerebekan di Qalqiya mengakibatkan Hamas melakukan balas dendam melalui serangan terhadap pejabat pemerintahan Palestina dan gedung di Nablus pada Juni 2009. Bagi Hamas, pelatihan pasukan Palestina di bawah pemerintahan Abbas dan Fayyad memang ditujukan untuk melawan Hamas. Sehingga penegakan hukum yang diterapkan di Tepi Barat oleh kelompok Hamas dianggap memihak. Di sisi lain, kritik yang ditujukan terhadap pasukan otoritas Palestina oleh Hamas dianggap sebagai pembelaan Hamas dan keberhasilan pasukan Abbas. Aksi pasukan pemerintah otonomi Palestina di Hebron dan
64
Qalqiya dijadikan alasan untuk Hamas agar tidak melakukan rekonsiliasi dengan Fatah untuk tujuan persatuan Palestina (Zanotti, 2010:23). Melalui operasi-operasi yang dijalankan pasukan keamanan yang dilatih USSC, penulis melihat tujuan dari mengurangi teroris yang dimaksud adalah gerakan militan Hamas. Operasi tersebut juga menunjukkan bahwa bantuan keamanan AS melalui USSC lebih tangguh dibandingkan bantuan keamanan negara lain untuk Hamas di Jalur Gaza dengan adanya anggota Hamas yang ditangkap dan dibunuh. Jelas operasi tersebut juga bertujuan untuk melemahkan posisi Hamas. Jika pemimpin-pemimpin Hamas ditangkap, keamanan diinternal Palestina akan lebih stabil. Poin terakhir yaitu semua organisasi keamanan Palestina digabung ke dalam tiga layanan yang dilaporkan pada kementerian dalam negeri. USSC juga mengupayakan perbaikan infrastruktur komunikasi. Hasilnya Palestina dapat memperbaiki hingga 100 persen komunikasi di Jalur Gaza dan 60-70 persen di Tepi Barat. Pendataan administrasi seperti senjata, kendaraan, dan kasus juga telah dikelola lebih baik melalui sistem jaringan radio digital di tiap stasiun polisi yang bias saling menghubungkan mereka (Kerkkanen, Rantanen, dan Sundqvist, 2008:26-27). Selanjutnya, peningkatan kapasitas lembaga keamanan Palestina masih di tahap yang sangat awal, sehingga target yang sesuai dengan standar masih sulit untuk diterapkan. Misalnya Menteri dalam negeri belum menjalankan tugasnya untuk mengkoordinasikan semua bantuan asing hingga Agustus 2009. Tantangan lain yang dihadapi USSC yaitu pemerintah AS baru memberikan cetak biru atau blueprint USSC pada tahun 2009 (GAO, 2010:28).
65
Di sisi lain, pemerintahan sementara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza bersaing untuk meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga keamanannya melalui berbagai sumber pendanaan yang berbeda. Sumber pendanaan yang berbeda membuat proses dan hasil yang didapatkan dalam peningkatan kapasitas keamanan pemerintahan di kedua wilayah juga berbeda. Di Tepi Barat, peningkatan
profesional
kapasitas
lembaga
keamanan
meningkat.
Tapi
kelemahannya, rantai komando pasukan keamanan di bawah kontrol sipil pemerintahan Fayyad melemah. Sementara kontrol sipil terhadap militer di Jalur Gaza sangat kuat di bawah Menteri Dalam Negeri, Fathi Hammad. Terdapat perbedaan mengenai kontrol sipil terhadap militer di kedua pemerintahan tersebut, pasukan keamanan Palestina setia pada Fatah dan Hamas. Tapi yang menjadi persoalan, kesetiaan tersebut tidak tertuju pada pada negara Palestina yang akan dibentuk (Sayigh, 2011:3). Penelitian ini melihat bahwa perbedaan kekuatan rantai komando dan hasil pelatihan antara lembaga keamanan Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza dikarenakan negara pendonor memiliki tujuan yang berbeda dalam memberikan bantuan keamanan. Sumber pendanaan yang berbeda untuk kedua daerah tersebut membuat kedua faksi di internal Palestina terpecah. Sumber pendanaan yang berbeda dan persaingan untuk meningkatkan kapasitas lembaga keamanan di Tepi Barat dan Jalur Gaza membuat Fatah dan Hamas semakin sulit untuk diintegrasikan. Jika disintegrasi antara kedua faksi tersebut tetap ada, maka tercapainya keamanan yang stabil dan solusi dua negara Israel-Palestina juga akan semakin sulit dicapai (Zanotti:23-24). Elgindy (2012:35-36) mengatakan bahwa evaluasi yang dilakukan Kuartet juga memiliki kekurangan karena beberapa faktor. Pertama, secara komposisi
66
anggota-anggota Kuartet kurang proporsional karena didalamnya tidak melibatkan negara ataupun aktor regional. Padahal isu yang mereka tangani berada dalam kawasan Timur Tengah. Bantuan keamanan yang diberikan terhadap Palestina pasti berpengaruh terhadap stabilitas keamanan di kawasan Timur Tengah. Jika negara-negara Timur Tengah dilibatkan, pihak Kuartet bisa lebih terbantu untuk mendorong, menekan, ataupun memberikan masukan terhadap proses perdamaian Israel-Palestina. Masih menurut Elgindy (2012), kedua, secara kelembagaan, Kuartet tidak memiliki struktur fungsional yang jelas seperti PBB. Bentuk Kuartet yang informal membuatnya mampu memotong hambatan struktural sehingga lebih fleksibel dalam bergerak menentukan keputusan. Sifat fleksibel Kuartet membuat anggotanya yang juga memiliki kepentingan masing-masing dapat membantu mengakhiri konflik Israel-Palestina. Tiap anggota Kuartet dapat berperan secara maksimal tanpa mengganggu kebebasan individu aktor tersebut. USSC dapat terbentuk karena bentuk kelembagaan Kuartet yang informal dan fleksibel. Di dalamnya aktor seperti Uni Eropa (UE) dan beberapa negara UE maupun negara di kawasan Timur Tengah dapat menunjukkan komitmennya dalam membantu proses perdamaian Israel-Palestina. Sehingga, monitoring dan evaluasi yang Kuartet lakukan sebenarnya merupakan bagian dari evaluasi terhadap upaya masing-masing anggota Kuartet dalam membantu Palestina memenuhi Road Map Obligations. Karena setiap negara memiliki kepentingan nasional masing-masing, maka Palestina akan berkompetisi memperjuangkan kepentingannya dengan negara-negara donor lainnya.
67
Jika Palestina telah melakukan kewajibannya, negosiasi damai terhadap konflik
Israel-Palestina
dan
solusi
dua
negara
akan
lebih
mudah
diimplementasikan. Jika perdamaian kedua negara telah sampai pada status quo, anggota Kuartet telah menunjukkan kapasitas mereka sebagai negara dan lembaga yang berpengaruh dan berkomitmen untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung
lama.
Pada
konteks
AS,
USSC
berperan
penting
untuk
mengkoordinasikan anggota Kuartet dalam upaya membantu upaya reformasi keamanan Palestina. Menurut Dayton dikutip dalam Laipson (2007:102), pada prakteknya hasil dari reformasi sektor keamanan yang telah dilakukan ternyata mengecewakan. Harapan yang dimiliki untuk mencapai solusi dua negara adalah upaya Fatah untuk tetap meningkatkan efisiensi dalam sektor keamanan dan dapat melakukan kerjasama dengan Israel. Namun, dalam menjalankan bantuan luar negeri AS terhadap Palestina, tantangan yang dihadapi AS yaitu tujuan dan program bantuan tersebut dapat bertentangan dengan kepentingan Israel, Fatah, dan Hamas dan koordinasi bantuan dengan negara-negara donor (Zanotti, 2012:10). Pada bab III, telah dijelaskan kebijakan luar negeri AS terhadap Palestina. Latar belakang bantuan keamanan AS untuk menjaga agar Palestina dapat meningkatkan keamanan internalnya. Jika keamanan internal Palestina terjaga, maka keamanan Israel dari ancaman kelompok militan Palestina juga terjaga. Berdasarkan bantuan keamanan yang diberikan AS melalui USSC terhadap Palestina, tujuan bantuan keamanan tersebut efektif untuk mereformasi keamanan Palestina dan perdamaian Israel-Palestina.
68
Bantuan keamanan AS terhadap Palestina dapat berfungsi sebagai stick ataupun carrot. Bantuan AS terhadap pemerintahan palestina di Tepi Barat bisa disebut sebagai carrot karena menguatkan sektor keamanan melalui aliran dana. Sehingga dapat meningkatkan kerjasama antara AS dan pemerintah Palestina di Tepi Barat. USSC telah sukses melatih puluhan ribu polisi dan berhasil melakukan operasi untuk wilayah Tepi Barat. Daerah Tepi Barat dapat dikatakan sebaga daerah steril dari ancaman terhadap Israel karena peningkatan keamanan dan ketertiban oleh polisi Palestina. Keberhasilan secara teknis program USSC juga dapat memotong radikalisme di Tepi Barat karena telah dilakukan juga penyitaan terhadap senjata illegal. Sehingga potensi rakyat Tepi Barat untuk melakukan aksi kekerasan atau menyerang Israel semakin sedikit. Sementara itu, berbeda dengan wilayah Jalur Gaza yang tidak mendapatkan bantuan keamanan dari AS. Pemerintahan di Jalur Gaza tidak memungkinkan AS untuk mengontrol wilayahnya agar tidak mengancam atau membuat aksi kekerasan melawan Israel. Bantuan keamanan yang diberikan AS terhadap pemerintahan Palestina di Tepi Barat juga menjadi cara bagi AS agar Hamas dapat dilemahkan dengan menguatkan faksi lawannya yaitu Fatah yang dapat lebih bekerjasama dengan AS. Tujuan AS untuk dapat melemahkan Fatah dari segi keamanan tidak tercapai karena walaupun AS telah mengeluarkan biaya untuk membantu keamanan di Palestina, ancaman terhadap keamanan Israel masih tetap ada karena AS hanya memberikan bantuannya yaitu Tepi Barat. Walaupun begitu, ancaman kekerasan terhadap Israel bukan semata-mata karena AS tidak memberikan bantuan keamanan pada Hamas. AS tidak mungkin memberikan bantuan tersebut karena Hamas yang anti-AS pasti menolaknya.
69
Selanjutnya, kebijakan luar negeri AS melalui bantuan keamanan terhadap Palestina memang berhasil secara teknis tapi tidak berhasil secara politik. Maksudnya bantuan keamanan tersebut tidak berhasil membuat pihak pemerintah Palestina di pihak Hamas melunak karena posisinya yang lemah saat tidak mendapatkan bantuan. Hamas juga tidak berhenti melakukan aksi kekerasan terhadap Israel. Selain itu, adanya bantuan membuat Fatah dan Hamas semakin bertentangan secara politik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bantuan keamanan AS tidak efektif karena tidak berpengaruh terhadap keamanan Israel dan negosiasi untuk perdamaian Israel dan Palestina.
70
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kebijakan luar negeri AS terhadap Palestina melalui USSC menunjukkan kepentingan nasinalnya. Kepentingan tersebut menjadi latar belakang mengapa AS memberikan bantuan keamanan terhadap Palestina melalui USSC. Penelitian ini menyimpulkan beberapa alasan AS memberikan bantuan keamanan melalui USSC dengan mereformasi sektor keamanan Palestina. Pertama, bantuan keamanan melalui reformasi sektor keamanan Palestina diberikan sebagai cara untuk mencegah terorisme. Pasca peristiwa 11 September 2001, terorisme menjadi musuh utama AS. Sehingga AS mengeluarkan kebijakan luar negeri dengan bantuan keamanan ke negara-negara yang berpotensi melakukan serangan teror termasuk Palestina. Reformasi sektor keamanan yang dibantu AS secara tidak langsung akan menguntungkan posisi AS dari segi keamanan. Hal itu dikarenakan keamanan internal negara penerima donor mendapatkan bantuan dari AS dan lembaga keamanannya akan lebih terkonsolidasi sehingga ancaman untuk menyerang AS semakin kecil. Kedua, AS memiliki kepentingan nasional di Timur Tengah baik dari segi ekonomi dan politik. Negara yang beraliansi dengan AS di Timur Tengah adalah Israel. Sehingga AS berusaha menjaga keamanan Israel dari serangan pihak lain. Jika Israel kalah dalam konflik Israel-Palestina, AS akan semakin sulit menyebarkan pengaruhnya di Timur Tengah. Bantuan keamanan yang diberikan AS pada Palestina bertujuan untuk memperkecil kemungkinan serangan terorisme terhadap Amerika maupun Israel. Sehingga bantuan tersebut dapat bermanfaat
71
untuk menjaga keamanan Israel dan melindungi kepentingan AS di Timur Tengah. Ketiga, bantuan AS terhadap Palestina merupakan cara AS untuk memperlemah Hamas dan menguatkan Fatah sebagai dua faksi yang dominan di Palestina. Jika Fatah memiliki kekuatan secara militer dan mendapatkan dukungan politik secara internasional, akan lebih mudah untuk mengontrol Hamas agar tidak melakukan serangan perlawanan ataupun pertahanan terhadap Israel. Jika Hamas diperlemah, posisi Palestina akan semakin mudah dikendalikan dan keamanan Israel juga semakin terjamin. Dalam pelaksanaannya penelitian ini mengevaluasi beberapa kelemahan dari hasil kinerja USSC. Pertama, Palestina tidak memiliki local ownership karena USSC tidak memberikan Palestina keleluasaan untuk mereformasi sektor keamanannya sesuai kebutuhan. Hal itu terlihat dari larangan AS untuk memberikan sedikit pun bantuan untuk Hamas di Jalur Gaza. Pada penerapannya, sektor keamanan Palestina di Tepi Barat secara penuh dikontrol dan dikendalikan oleh AS. Selain itu, Israel juga memegang peranan penting dalam menentukan proses kebijakan di USSC seperti perlunya meminta persetujuan terhadap persenjataan yang akan diberikan terhadap lembaga keamanan Palestina. Kedua, peningkatan kapasitas lembaga keamanan melalui USSC tidak berpengaruh terhadap pelayanan keamanan dan tingkat kepercayaan masyarakat Palestina. Pada poling yang dilakukan terhadap masyarakat Palestina, sebanyak 80 persen masyarakat Palestina tidak melaporkan temuan atas tindakan kejahatan karena menganggap polisi tidak akan mengusut hal tersebut. Sehingga pelatihan-
72
pelatihan yang dilakukan hanya menyentuh tingkat elit dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Ketiga, pelatihan yang diadakan USSC membuat politik domestik Palestina tidak stabil. Fatah semakin dekat dengan AS karena kerjasamanya melalui USSC dan Hamas semakin anti AS karena operasi yang dilakukan polisi Palestina merugikan Hamas. Kerenggangan hubungan antara Fatah dan Hamas membuat Palestina tidak menyatu dan sulit mencapai kesepakatan bersama. Keempat, bantuan keamanan AS melalui USSC juga tidak berpengaruh secara politik. Maksudnya pihak Israel dan Palestina tetap menemukan jalan untuk perundingan damai. Padahal tujuan adanya USSC untuk dapat mencapai Road Map Obligations. Sedangkan ketika Road Map Obligations mulai dipenuhi Palestina, tujuan solusi dua negara tidak juga tercapai.
73
DAFTAR PUSTAKA Artikel dan Buku Ayyad, Ahmad dan Anthony Pym. 2012. Translator Intervention in Middle-East Peace Initiative. Beverly Adab: Gregory Shreve Discourse of Translation Burchill, Scott dan Andrew Linklater. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media. Chandra, Prakash. 1979. International Politics. India: Vikas Publishing House. Elgindy, Khaled. 2012. The Middle East Quartet: A Post Mortem. Washington, D.C.: The Saban Center for Middle East Policy at Brookings Feng, Liu, dan Zhang Ruizhuang dkk. 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. Frankel, Joseph. 1988, International Relations in a Changing World Fourth Edition, New York: Oxford University Press. Fraenkel, Jack R. Dan Norman E. Wallen. 1993. How to Design and Evaluate Research In Education. New York: McGraw-Hill. Holsti, K. J. 1992. Politik Internasional, Suatu Kerangka Analisis. Bandung: Bina Cipta. Ikbar, Yanuar. 2007. Ekonomi Politik Internasional 2, Impelentasi Konsep dan Teori. Bandung: PT. Refika Aditama. Mas’oed, Mohtar. 2002. Hubungan Internasional. Jakarta: Pustaka LP3ES. Mendelsohn, Everett dkk. 2010. Israel and Palestine: Two States for Two Peoples, If Not Now, When? Boston Study Group on Middle East Peace. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Neuman, W. L. 2007. Basics of Social Research: Quantitative and Qualitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon. Papp, Daniel S. 1984. Contemporary International Relations, Framework for Understanding. New York: Macmillan Publications. Pratt, Julius. 1965. A History of United States Foreign Policy,Second Edition. United States of America: Prentice-Hall. Jackson, Robert, dan Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rossenau, James N. 1997. International Politic and Foreign Policy: A Reader in Research and Theory. New York: Macmillan Publishing CO. Inc., Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Artikel dan Laporan (Internet) Abdullah, Daud. 2009. Concerns about British and EU Roles in Palestinian Authority Human Rights Abuses in the Occupied West Bank. London: Middle East Monitor (MEMO) Abu-Amr, Ziad. 1993. Hamas: A Historical and Political Background. Journal of Palestine Studies XXII no. 4 (http://www.palestine-studies.org/files/pdf/jq/11537.pdf) 74
Addis, Casey L. 2011. U.S. Security Assistance to Lebanon. Congressional Research Service. Ball, Nicole, Peter Bartu, dan Adriaan Verheul. 2006. Squaring the Circle: SecuritySector Reform and Transformation and Fiscal Stabilisation in Palestine. Report for UK Department for International Development. Bedein, David. 2009. “The Implications of United States Military Training of Palestinian Security Forces.” The Center for Near East Policy Research Ltd. Jerusalem: Beit Agron International Press Center. Benvenisti, Eyal. 1993. “The Israeli-Palestinian Declaration of Principles: A Framework for Future Settlement.” European Journal of International Law. Bouris, Dimitris. 2011. The European Union’s Role in the Palestinian Territory: State-building through Security Sector Reform? Hyatt Regency Boston: 12th Biennial International Conference. Brown, Nathan J. 2010. The Hamas-Fatah Conflict: Shallow but Wide. The Fletcher Forum of World Affair, Vol.34:2. (http://ui04e.moit.tufts.edu/forum/archives/pdfs/34-2pdfs/Brown.pdf) Cohen, Yoram & Jeffrey White. 2009. Hamas in Combat, The Military Performance of the Palestinian Islamic Resistance Movement. The Washington Institute for Near East Policy. Dayton, Keith. 2009. “Program of the Soref Symposium Michael Stein Address on U.S. Middle East Policy.” Washington D.C.: The Washington Institute for Near East Policy. Transcript by Federal News Service. Dermer, Philip J. 2010. Special Document: Trip Notes on a Return to Israel and the West Bank: Reflections on U.S. Peacemaking, the Security Mission, and What Should Be Done. Journal of Palestine Studies Vol. XXXIX, No. 3. Donais, Timothy. 2009. Understanding Local Ownership in Security Sector Reform. Elgindy, Khaled. 2012. The Middle East Quartet: A Post Mortem. Washington, D.C.: The Saban Center for Middle East Policy at Brookings Evera, Stephen W. Van. 2005. Why U.S. National Security Requires Mideast Peace. Massachusetts Institute of Technology Center for Internasional Studies. Factsheet. 2006. European Union Police Mission for the Palestinian Territories (EUPOL COPPS). Brussels: EU Council Secretariat. Friedrich, Roland dan Arnold Luethold. 2008. And They Came In and Took Possession of Reforms: Ownership and Palestinian SSR. The Democratic Control of Armed Forces Publications. Holland, Laura. 2010. Country Profile: Palestinian Territories. Security Sector Reform Resource Center, CIGI. Kerkkanen, Ari, Hannu Rantanen, dan Jari Sundqvist. 2008. Building Capacity for the Palestinian Civil Police: EUPOL COPPS and Communications Project. CMC Finland Civilian Crises Management Studies Volume 1: Number 3/ 2008. Kristoff, Madeline. 2012. Policing in Palestine: Analyzing the EU Police Reform Mission in the West Bank. The Security Sector Reform Issue Papers, The Centre for International Governance Innovation.
75
Kull, Steven. 2003. American on the Middle East Road Map. California: The PIPA, The American Public on International Issues. Kushner, Arlene, & David Bedein. 2011. “The Dangers of U.S. Aid to Palestinian Security Forces.” The Center for Near East Policy Research Ltd. Jerusalem: Beit Agron International Press Center. Laipson, Ellen. 2007. Prospects for Middle East Security-Sector Reform. Survival vol. 49 no. 2 Lancaster, Carol. 2000. Redesigning Foreign Aid. Foreign Affairs. Lawson, Marian Leonardo. 2012. Does Foreign Aid Work? Effort to Evaluate U.S. Foreign Assistance. Congressional Research Service. Levin, Yuval. 2000. American Aid to the Middle East: A Tragedy of Good Intentions. Institute for Advance Strategic and Political Studies. Mark, Clyde R. 2005. Israel: U.S. Foreign Assistance. Congressional Research service. Mark, Clyde. 2001. “Palestinians and Middle East Peace: Issues for the United States.” Congressional Research Service. Migdalovitz, Carol. 2010. “Israeli-Arab Negotiatios: Background, Conflicts, and U.S. Policy.” Congressional Research Service. Diunduh 3 Oktober 2012 (http://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33530.pdf) Morse, Eric S. 2012. U.S. Foreign Policy: Challenges, Oppotunities, and Organizing Principles. The National Strategy Forum Review. Owens, Mackubin Thomas. 008. The Bush Doctrine: The Foreign Policy of Republican Empire. Elsevier Limited, Foreign Policy Research Institute. Palm, Malin. 2010. Accountability and Effectiveness of CSDP Mission: the Role of Civil Society, the Cases of EULEX (Kosovo) and EUPOL COPPS (Palestinian Territories). European Peacebuilding Liaison Office. Pina, Aaron D. 2006. Palestinian President Mahmoud Abbas: Overview of Internal and External Challenges. Congressional Research Service. Phillips, James. 2011. “Promoting Peace? Reexamining U.S. Aid to the Palestinia Authority, Part II.” The Heritage Foundation Leadership for America. (http://www.heritage.org/research/testimony/2011/09/promoting-peacereexamining-us-aid-to-the-palestinian-authority-part-ii) Popovic, Nicola. 2004. Penilaian, Pemantauan & Evaluasi Reformasi Sektor Keamanan dan Gender. Geneva: DCAF, OSCE/ODIHR, UN-INSTRAW. Preble, Christopher, Hadar Leon. Cato Handbook for Policymakers. Cato Institute. Quaker Council for European Affairs (QCEA). 2012. Briefing Paper. European Union Common Security and Defense Policy. The European Union Crisis Management Mission in the Occupied Palestinian Territories. Report. 2011. Performance Evaluation of Palestinian Authority Security Forces Infrastructure Construction Projects in the West Bank. United States Department of State and the Broadcasting Board of Governors, Office of Inspector General. Report. 2011. Training and Logistical Support for Palestinian Authority Security Forces. United States Department of State and the Broadcasting Board of Governors, Office of Inspector General. 76
Rodriguez, Fernando. 2011. The 1991 Madrid Peace Conference: U.S. Efforts Towards Lasting Peace in the Middle East Between Israel and its Neighbors. University of New Orleans Theses and Dissertations. Paper 1343. Sayigh, Yezid. 2009. Fixing Broken Windows: Security Sector Reform in Palestine, Lebanon, and Yemen. Carnegie Middle East Center. Carnegie Endowment for International Peace. Sayigh, Yezid. 2011. Policing the People, Building the State; Authoritarian Transformation in the West Bank and Gaza. Carnegie Middle East Center. Carnegie Endowment for International Peace. Sedra, Mark (ed). 2010. The Future of Security Sector Reform. The Centre for International Governance Innovation. Sharp, Jeremy M. 2006. U.S. Aid to the Palestinian. Congressional Research Service. Sharp, Jeremy M. 2010. U.S. Foreign Assistance to the Middle East: Historical Background, Recent Trends, and the FY2011 Request. Congressional Research Service. Sullivan, Patricia L, Tessman, Brock F, Xiaojun Li. 2011. U.S. Military Aid and Recipient State Cooperation. Foreign Policy Analysis. Sullivan, Patricia. 2012. Is Military Aid An Effective Tool for U.S. Foreign Policy? Scholars Strategy Network. Tarnoff, Curt dan Larry Nowels. 2005. Foreign Aid: An Introductory Overviwe of U.S. Programs and Policy. Congressional Research Service. Tarnoff, Curt dan Marian Leonaardo Lawson. 2012. Foreign Aid: An Introduction to U.S. Programs and Policy. Congressional Research Service. USAID. 2010. Interagency Security Sector Assessment Framework: Guidance for the U.S. Government. Chemonics International, Inc. US GAO. 2010. “Palestinian Authority, U.S. assistance is Training and Equipping Security Forces, but the Program Needs to Measure Progress and Faces Logistical Constraints: Report to the Committee on Foreign Affairs and Its Subcommittee on the Middle East and South Asia, House of Representatives.” United States Government Accountability Office. Zanotti, Jim. 2010. “U.S. Security Assistance to the Palestinian.” Congressional Research Service. Diunduh 3 Oktober 2012 (http://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33476.pdf) Zanotti, Jim. 2012. “Israel: Background and U.S. Relations.” Congressional Research Service. Diunduh 3 Oktober 2012 (http://www.fas.org/sgp/crs/mideast/RL33476.pdf) Zanotti, Jim. 2012. “U.S. Foreign Aid to the Palestinian.” Congressional Research Service. Zanotti, Jim, Marjorie Ann Browne. 2011. Palestinian Initiatives for 2011 at the United Nations. Washington, DC: Congressional Research Service. ________. 2010. “Palestinian Authority, U.S. assistance is Training and Equipping Security Forces, but the Program Needs to Measure Progress and Faces Logislitacl Constraints: Report to the Committee on Foreign Affairs and Its Subcommittee on the Middle East and South Asia, House of Representatives.” United States Government Accountability Office. 77
________. 2011. “Performance Evaluation of Palestinian Authority Security Forces Infrastructure contruction Projects in the West Bank”. Middle East Regional Office, Report Number MERO-I-11-03. United States Department of State and the Broadcasting Board of Governors, Office of Inspector General. ________. 2003. “Special Documents The Roadmap.” Institute for Palestine Studies. Berkeley: University of alifornia Press, Journals Divisions. ________. 2009. Security Sector Reform. U.S. Agency for International Development, U.S. Department of Defense. U.S. Department of State.
Media AlJazeera, 25 Januari 2011. Dayton’s MissionL A Reader’s Guide. (http://www.aljazeera.com/palestinepapers/2011/01/2011125145732219555.html)
Diakses 20 Oktober 2013. Republika Online, 20 November 2012. Antara Israel, Gaza dan Hamas. (http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestinaisrael/12/11/20/mdru 5t-antara-israel-gaza-dan-hamas-1) Diakses 2 Agustus 2013. US Departement of State. United States Security Coordinator for Israel and the Palestinian Authority. (http://www.state.gov/s/ussc/index.htm) Diakses 5 Juli 2013. Ma’an News Agency. 2010. Lieutenant General Keith Dayton: United States Security Coordinator. (http://maannews.net/eng/ViewDetails.aspx?ID=265173) Diakses 5 Juli 2013. USAID, 27 Maret 2013. Working in Crises and Conflict. (http://www.usaid.gov/west-bank-and-gaza/working-crises-and-conflict) Diakses 19 Oktober 2013.
78
Lampiran
DRAFT HASIL WAWANCARA Narasumber Jabatan Instansi Tempat Hari/Tanggal
: DRS. M. Hamdan Basyar, M.Si : Peneliti Utama Bidang Politik pada Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) : Gedung LIPI Departemen Politik : Selasa, 1 Oktober 2013 HASIL TANYA JAWAB
1. Bagaimana pendapat Anda mengenai bantuan keamanan AS terhadap Palestina? Ini bagian dari dukungan AS sebagai salah satu negara yang ikut merumuskan Road Map dan berusaha berjalan walaupun Road Map tidak tuntas. Karena tujuan Road Map adanya sebuah negara Palestina tapi sampai sekarang belum jelas. Sebagai sebuah negara besar yang menginisiasi Road Map sudah selayaknya melakukan bantuan untuk pelatihan. Tapi kenyataannya Road-nya tidak semulus yang dibayangkan sehingga tidak terjadi goal yang sesuai.
2. Seberapa penting isu keamanan bagi konflik Israel-Palestina? Harap diingat juga bahwa foreign policy AS punya kepentingan nasional terhadap Israel. Secara umum foreign policy AS di Timur Tengah adalah menjaga keamanan Israel. Bagaimanapun eksistensi Israel harus dijaga oleh AS. Karena ada hubungannya dengan Palestina, Palestina juga diberikan bantuan tapi jangan sampai membuat keamanan Israel terganggu. Jadi tetap tidak akan seimbang. Artinya bantuan yang diberikan terhadap Israel akan lebih tinggi dibandingkan Palestina. Itu tujuannya agar di dalam Palestina sendiri tidak ada teroris dan supaya di Palestina bisa menertibkan masyarakatnya jika timbul riot atau kekerasan seperti suicide bomb yang mengancam keamanan Israel. Jadi, bayangannya bantuan tidak dibuat seimbang karena akan berbahaya untuk Israel.
3. Pendapat Anda mengenai politik domestik di Palestina? Kalau secara umum wilayah domestik Palestina terpecah di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang secara pemerintahan juga terpecah, Gaza di bawah Hamas dan Tepi Barat di bawah Fatah. Ini bagi Palestina tidak menguntungkan secara politik, perpecahan akan melemahkan kekuatannya. Masalahnya diantara mereka belum ada kesepakatan yang
79
kuat. Mereka kadang bersepakat tapi terpecah lagi. Kepentingannya agak berbeda. Yang dianggap Israel maupun AS mewakili Palestina adalah Fatah. Hamas punya perdana menteri sendiri berdasarkan hasil pemilu 2006. Di internal politik saya kira merugikan Palestina. Karena yang dibantu adalah yang di Tepi Barat. AS tidak terlalu menganggap Hamas yang dianggap sebagai teroris.
4. Kenapa AS baru mendirikan USSC saat pemerintahan Mahmoud Abbas? Saya kira itu proses. Sebenarnya dari 1993 prosesnya panjang. Karena kesepakatankesepakatan yang dilakukan mereka tidak berjalan mulus. Selama belum berjalan mulus, AS mendorong terus tapi tidak berhasil. Tapi di tengah perjalanan Bush juga mendorong alternatif. Kalau saya melihat karena ada sikap dari pemimpin Israel yang maju mundur. Pada prinsipnya Israel tidak mau mengembalikan tanah berdasarkan kesepakatan tahun 1967. Makanya mereka berusaha sebisa mungkin tidak mengembalikan. Tapi desakan internasional, mereka harus mengembalikan berdasarkan keputusan tahun 1967. Tapi tidak terlalu ketat karena tidak ada sanksi. Ini makanya kasus ini maju mundur. Semacam tahapan-tahapan. Dan tahapan yang suatu saat kemudian tanah akan dikembalikan secara bertahap. Tahun 1995, tahun 2000. Setelah ada kesepakatan dilanggar lagi. Permasalahannya adalah pemukiman Yahudi di Tepi Barat yang terus dilakukan oleh Israel. Dan sebagian pemukiman itu adalah rumah-rumah mewah.
Sekarang Menlu Lieberman tinggal di Tepi Barat. Kenapa dia tinggal disana karena dia memberikan simbol bahwa tidak mau mengembalikan tanah yang sudah dirampas. Ini makanya agak sulit membuat perdamaian Israel-Palestina. AS posisinya juga maju mundur. AS ingin mendorong Israel-Palestina berdamai. Solusinya adalah dua negara, itu sudah dipilih. Tapi karena Israel tidak mau mengembalikan bagaimana bisa. Obama juga pernah bersitegang dengan Netanyahu. Obama pun tidak bisa menekan. Sebenarnya permasalahan utama dielit politik Israel yang tidak rela ada sebuah negara Palestina. Kalau kita lihat bagaimana pasukan Israel ditarik dari Gaza.
5. Apakah bantuan keamanan AS terhadap Palestina dapat berpengaruh terhadap perdamaian Israel-Palestina? Seperti saya katakan di awal, bagaimana pun AS akan mem-back up Israel agar jangan sampai Israel menjadi hilang. Sebenarnya kalau AS konsisten juga harus menghukum Israel yang melanggar masalah tanah tapi tidak terjadi. Israel seperti anak nakal yang 80
dimanjakan terus menerus, dibiarkan, kenapa Palestina diberikan bantuan untuk keseimbangan. Tujuannya agar Palestina bisa mengurus keamanannya sendiri jangan sampai orang-orang Palestina ikut mengganggu keamanan Israel, makanya diberikan bekal dan dilatih. Tujuannya menekan kekuatan teman-temannya sendiri dari lain faksi.
6. Seperti apa sistem dan kinerja lembaga-lembaga keamanan di Palestina sehingga Road Map maupun AS fokus pada soal bantuan keamanan? Apakah Palestina tidak bisa mereformasi sektor keamanannya sendiri? Keamanan versi AS adalah mengamankan lebih banyak kepentingan Israel. Dan secara finansial kekuatan Palestina karena puluhan tahun berperang tidak bisa mereformasi atau memperbaiki kekuatan. Makanya setelah kesepakatan kalau ada masalah domestic bisa. Saya juga tidak punya data jumlah personil dan jumlah penduduk dan wilayah. Ada beberapa pos, padahal tanah Palestina. Selama elit Israel tidak tulus berdamai dan mengembalikan tanah akan sulit. Karena dilihat dari elit yang berkuasa yang menang yang kanan dan tengah kanan partai Israel yang keras yang tanahnya tidak mau dilepas.
7. Bagaimana pendapat Anda mengenai bantuan luar negeri Iran terhadap Hamas? Ini harus dicek apakah benar Hamas mendapat bantuan dari Iran dan dapat jalur dari mana. Isunya seperti itu hanya saya tidak bisa melihat jalur ke arah sana. Kalau Hizbullah memang punya jalur ke Iran tapi kalau Hamas posisinya dekat dengan Mesir. Kalau libanon selatan, dari Iran bisa lewat suriah atau sudan. Tapi kalau ke hamas di Gaza agak sulit Iran bisa menembus jalur. Saya masih ragu apakah benar Hamas mendapat bantuan secara persenjataan dari Iran. Karena semangatnya beda dari sisi ideology. Hamas ideologi ikhwan. Kecuali lewat jalur gelap. Menerobos Irak tidak gampang.
8. Menurut Anda apakah USSC cukup efektif untuk mereformasi sector keamanan di Palestina atau efekifkah kontribusinya sebagai pendukung perdamaian IsraelPalestina? Kalau kita lihat kondisi sekarang tidak berhasil. Tapi waktu itu sebenarnya punya tujuan yang cukup baik. Supaya masyarakat Palestina lebih. Tapi ternyata tidak karena Road Map juga tidak berjalan. Sehingga bantuan ini tidak efektif. Goal-nya supaya Palestina bisa berdiri sendiri dan terjadi perdamaian, dua negara yang hidup bertetangga. Tadinya seperti itu, karena berdamainya ga terjadi, jadi tidak selesai.
81
9. Dampak bantuan keamanan AS untuk Palestina terhadap kebijakan luar negeri AS? Tujuannya lebih cenderung menjaga Israel tidak diserang, tapi itu tidak berhasil karena ternyata Hamas tidak bisa dikendalikan. Artinya kalau tujuannya lebih ke Israel, tidak tercapai karena masih ada gangguan terhadap keamanan Israel. Inti permasalahannya AS tidak mau berdamai. Jadi yang sudah dilakukan jadi tidak berhasil. Tujuannya supaya Israel lebih aman. Menurutnkan tingkat kekerasan terhadap Israel.
10. Kalau pengaruhnya terhadap pencitraan AS? AS sebagai inisiator Road Map. Kita jangan terjebak terhadap sesuatu yang retorika. Karena kalau USSC membahayakan pasti tidak akan didirikan.
82