Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
ISSN 2302-0180 pp. 41- 50
10 Pages
KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN PENYELUNDUPAN MANUSIA DI INDONESIA Evlyn Martha Julianthy 1, Dahlan Ali2, Mujibussalim 3 1)
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 2,3) Staff Pengajar Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala
Abstract: Human smuggling is a transnational organized crime and negatively impacts numerous countries, particularly Indonesia as a transit country. In addition, it should be distinguished from human trafficking. Human smuggling in Indonesia continues to increase significantly and should be addressed. Criminal policies on the mitigation of human smuggling in Indonesia are performed by using the penal policy and non-penal facilities. The penal policies are the amendment of immigration laws that criminalize human smuggling, and as the formulation of criminal sanctions towards the perpetrators of human smuggling. In addition, there are also expansion policies of the authority of civil servant investigators (PPNS) in the immigration in dealing with human smuggling, and the application of non-refoulement principles for the victims of human smuggling. The criminal policies with nonpenal facilities in the mitigation of human smuggling in Indonesia are done by cooperating with other countries, conducting legal counseling to coastal communities, establishing coast guard by using radar system capable of covering the entire territory of Indonesia, improving the quality of law enforcement agencies in mitigating human smuggling in Indonesia, and increasing the budget to support the mitigation and prevention of human smuggling. Keywords: Criminal policy, mitigation, human smuggling. Abstrak: Penyelundupan manusia merupakan kejahatan transnasional terorganisir dan telah membawa dampak negatif pada berbagai negara khususnya Indonesia sebagai negara transit. Penyelundupan manusia harus dibedakan dengan perdagangan orang. Penyelundupan manusia merupakan isu kemanusiaan di samping isu migrasi, dan masih terus terjadi di Indonesia sehingga dibutuhkan suatu upaya yang rasional untuk menanggulangi kejahatan penyelundupan manusia di Indonesia, atau yang dikenal dengan istilah kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal dalam menanggulangi penyelundupan manusia dengan menggunakan hukum pidana yakni pembaruan undang-undang keimigrasian yang memuat kriminalisasi terhadap penyelundupan manusia serta rumusan sanksi pidana terhadap pelaku penyelundupan manusia. Selain itu juga terdapat kebijakan perluasan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian dalam menangani penyelundupan manusia, serta penerapan prinsip non-refoulement bagi korban penyelundupan manusia. Kebijakan kriminal dengan sarana non penal dalam penanggulangan penyelundupan manusia di Indonesia dilakukan dengan cara mengadakan kerjasama dengan negara lain, mengadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat pesisir, membentuk penjaga pantai dengan sistem radar yang mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, peningkatan kualitas aparat penegak hukum dalam menanggulangi penyelundupan manusia di Indonesia, serta peningkatan anggaran untuk menunjang penanggulangan dan pencegahan penyelundupan manusia. Kata Kunci : Kebijakan kriminal, penanggulangan, penyelundupan manusia
I.
wilayah (Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2011 : 72). Era
PENDAHULUAN
dunia yang makin bebas dengan sarana transportasi Wilayah
negara
Republik
Indonesia
memiliki karakteristik luas dan secara geografi dikelilingi oleh perairan. Suryo Sakti Hadiwijoyo menjelaskan
bahwa
perbatasan
negara
yang
merupakan pengaruh dari karakteristik wilayah negara yang memiliki perbatasan laut, terutama akan tampak dalam bidang perniagaan atau perdagangan maupun keamanan dan pertahanan 41 -
Volume 2, No. 2, Agustus 2014
dan
informasi
menunjang
yang
proses
semakin migrasi
lancar, antar
telah negara.
Bergesernya loyalitas nasional dan perpindahan penduduk antar negara akibat pengaruh ekonomi global dan latar belakang yang lain telah menyebabkan Indonesia menjadi daerah yang rawan penyelundupan manusia.
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Penyelundupan manusia merupakan salah satu
bentuk
kejahatan
transnasional
untuk
mengintegrasikan,
mengharmonisasikan
yang
kebijakan penal (pidana) maupun non-penal ke
terorganisasi. Siswanto Sunarso merumuskan ciri-
arah penekanan atau pengurangan faktor-faktor
ciri tindak pidana transnasional yakni adanya unsur
petensial
asing dalam perbuatan pidana yang terjadi yang
penyelundupan manusia di Indonesia.
bagi
tumbuh
suburnya
kejahatan
melewati batas teritorial antar negara. Hal ini membawa kesamaan pandangan bahwa setiap kejahatan
yang
bersifat
transnasional
akan
KAJIAN KEPUSTAKAAN
Penyelundupan Manusia Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia
memberi dampak negatif pada setiap negara (Siswanto Sunarso, 2009 : v). Penyelundupan
manusia akhir-akhir
Penyelundupan
manusia
di
Indonesia
dipandang sebagai sebuah isu migrasi atau isu ini
perpindahan penduduk antar wilayah negara. Hal
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.
ini
Meskipun sejauh ini Indonesia bukanlah negara
manusia yang masih dimuat dalam Undang-
tujuan, tapi hanya sebagai negara transit, namun
Undang Keimigrasian dan belum ada aturan
harus disadari kejahatan penyelundupan manusia
perundang-undangan
memiliki potensi menimbulkan kerentanan dan
tentang anti penyelundupan manusia.
kerawanan bagi munculnya kejahatan lain, seperti
terlihat
dari
pengaturan
yang
penyelundupan
khusus
mengatur
Khalid Koser melakukan sebuah survey
pencucian uang, perdagangan orang (trafficking),
terhadap
dan bahkan terorisme.
diselundupkan ke Eropa Barat dan memasuki
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa
pencari
suaka
asal
Iran
yang
negara Belanda. Berdasarkan hasil survey tersebut
dibutuhkan suatu upaya yang rasional untuk
ia
menanggulangi kejahatan penyelundupan manusia
penyelundupan manusia sebagai isu kemanusiaan
di Indonesia, atau yang dikenal dengan istilah
di samping isu migrasi (David Kyle and Rey
kebijakan kriminal (criminal policy). Soerjono
Koslowski, 2001 : 67).
Soekanto berpendapat bahwa penegakan hukum
memberi
Khalid
pernyataan
Khoser
tentang
keberadaan
menyatakan
bahwa
bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-
penyelundupan manusia dilihat sebagai isu migrasi
undang dan atau pelaksanaan keputusan-keputusan
dilihat dari keterlibatan para penyelundup dalam 3
hakim (Soerjono Soekanto, 2012 : 7). Kebijakan
(tiga) tahap, yakni tahap keluar dari negara asal,
kriminal (criminal policy) merupakan bagian yang
tahap perencanaan jalur yang akan dilewati, dan
tidak terpisahkan dari penegakan hukum, sehingga
tahap masuk ke wilayah negara tujuan. Ketiga
dapat dikatakan bahwa upaya rasional untuk
tahap tersebut telah menguatkan keberadaan
menanggulangi kejahatan penyelundupan manusia
penyelundupan manusia sebagai isu migrasi.
tidak hanya sebatas menerapkan undang-undang
Penyelundupan manusia juga merupakan isu
dan melaksanakan keputusan hakim terhadap
kemanusiaan karena adanya 3 (tiga) kerentanan
pelaku, tetapi juga mencakup keseluruhan upaya
yang dialami oleh responden sebagai akibat dari Volume 2, No. 3, Agustus 2014
- 28
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala penyelundupan, yakni secara politik, ekonomi, dan
berhak
atas
kehidupan,
sosial. Kerentanan secara politik yakni para
keselamatan sebagai individu”. Berdasarkan uraian
imigran ilegal terancam akan dideportasi, secara
tersebut,
ekonomi para migran mengalami kemelaratan
dalamnya
karena harus membayar mahal untuk proses
menempatkan seseorang atau kelompok orang
penyelundupan tersebut, secara sosial para migran
dalam situasi yang membahayakan seperti yang
harus berada jauh dari keluarga dan saudara lalu
tersebut di atas, jelas merupakan suatu pelanggaran
masuk ke lingkungan baru dan terisolasi dari
hak asasi manusia.
penyelundupan terdapat
kebebasan,
manusia
tindakan
dan
yang
secara
di
sengaja
interaksi sosial dan rentan terhadap konflik sosial. Pattrick
Manning
memberikan
sebuah
pendapat bahwa migrasi selalu membawa resiko bahkan
sampai
pada
resiko
kematian.
Ia
menyatakan bahwa migrasi walaupun memberikan harapan, namun selalu membawa dampak dan bahaya. Dampak yang paling jelas dari migrasi adalah kematian akibat pemindahan. Tingkat kematian yang normal dalam suatu komunitas bisa saja meningkat apabila anggota komunitas tersebut menjadi migran. Kelaparan, kehausan, penyakit, badai,
dan
luka-luka
akibat
kecelakaan,
perselisihan selama perjalanan, dan menghadapi peperangan dan pembajakan, semua itu membawa resiko
kematian
perjalanan
saat
seseorang
meninggalkan
tempat
melakukan tinggalnya
(Pattrick Manning, 2013 : 8).
bahwa penyelundupan manusia telah menimbulkan masalah kemanusiaan. Jenis kejahatan lintas negara ini menempatkan seseorang atau kelompok dalam
situasi
yang
membahayakan
keamanan dan keselamatannya. Cara-cara yang digunakan penyelundup tersebut sangat tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa “setiap orang 29 -
Sebagai
Upaya
Kebijakan kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal ini merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy). Semuanya merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy), yakni usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan
warganya
(Muladi
dan
Barda
Nawawi Arief, 2007 : 1). Kebijakan
kriminal
(kebijakan
penanggulangan kejahatan) seyogianya ditempuh dengan pendekatan atau kebijakan yang integral, baik dengan menggunakan sarana penal maupun dengan sarana non penal, baik dengan melakukan pembinaan atau penyembuhan terpidana maupun
Pernyataan tersebut di atas menunjukkan
orang
Kebijakan Kriminal Perlindungan HAM
Volume 2, No. 3, Agustus 2014
dengan pembinaan atau penyembuhan masyarakat (Barda Nawawi Arief, 2005 : 79). Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal operasionalisasinya melalui beberapa tahap (Moh.Hatta, 2010 : 38): 1). tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2). tahap aplikasi (kebijakan yudikatif); 3) tahap eksekusi (kebijakan administratif). Salah satu masalah sentral dalam kebijakan
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala kriminal adalah sanksi hukum pidana. Penggunaan sanksi
hukum
pidana
seharusnya
a. Melakukan perbuatan yang bertujuan mencari
dilakukan
keuntungan, baik secara langsung maupun tidak
melalui pendekatan rasional, karena jika tidak,
langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang
akan menimbulkan krisis kelebihan kriminalisasi
lain;
dan krisis pelampauan batas dari hukum pidana
b. Untuk membawa seseorang atau kelompok
(Sholehuddin, 2004 : 6). Sudarto mengemukakan
orang, baik secara terorganisasi maupun tidak
bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan,
terorganisasi;
hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan
c. Memerintahkan orang lain untuk membawa
politik kriminal atau social defence planning, yang
seseorang atau kelompok orang , baik secara
inipun harus merupakan bagian integral dari
terorganisasi maupun tidak terorganisasi;
rencana pembangunan nasional (Sudarto, 1977 : 104).
d. Tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki wilayah Indonesia atau keluar dari wilayah
Kebijakan kriminal memiliki tujuan untuk
Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain,
perlindungan masyarakat yang sering pula dikenal
yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk
dengan istilah social defense. Tujuan kebijakan
memasuki wilayah tersebut secara sah;
kriminal tersebut mengandung pengertian guna
e. Baik dengan menggunakan dokumen sah
membebaskan diri dari gangguan yang dapat
maupun
membahayakan
menggunakan dokumen perjalanan;
atau
merugikan
masyarakat
dengan menerapkan hukum (penal) dan didukung oleh sarana non-penal (Moh.Hatta, 2010 : 11).
dokumen
palsu,
atau
tanpa
f. Baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak.
Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan
Definisi tersebut menunjukkan bahwa unsur
sama sekali dari nilai-nilai kemanusiaan. Karena
penyelundupan manusia berbeda dengan unsur
kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah
perdagangan orang yang dimuat dalam Pasal 2
kemanusiaan (human problem) dan mengandung
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
unsur yang dapat menyerang kepentingan atau
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia
Adanya paksaan, kekerasan, dan atau penipuan
(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010 : 167).
untuk tujuan ekploitasi adalah kunci utama untuk
Dengan
menentukan
demikian,
kebijakan
kriminal
juga
merupakan upaya perlindungan hak asasi manusia.
apakah
manusia
dalam
pelaksanaannya menggunakan kekerasan, paksaan,
Berdasarkan definisi yang dimuat dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dapat
telah
diperdagangkan atau tidak. Perdagangan
HASIL PEMBAHASAN
seseorang
diuraikan
beberapa unsur dalam penyelundupan manusia,
dan tipu daya untuk tujuan ekploitasi, sedangkan penyelundupan manusia dalam pelaksanaannya tidak menggunakan kekerasan atau paksaan untuk tujuan
ekpsploitasi,
bahkan
orang
yang
yaitu: Volume 2, No. 3, Agustus 2014
- 30
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala diselundupkan
menyadari
sepenuhnya
proses
penyelundupan.
penyelundupan manusia, namun Undang-Undang Keimigrasian yang lama ada mengatur tentang
Sebuah penelitian tentang penyelundupan
ketentuan pidana bagi orang yang masuk atau
manusia di Indonesia mencatat sebanyak 30 (tiga
keluar
puluh) kasus penyelundupan manusia di Indonesia
pemeriksaan keimigrasian, dan bagi orang yang
yang terjadi sepanjang tahun 2011-2012. Kasus-
dengan sengaja memalsukan izin keimigrasian
kasus tersebut sudah memperoleh putusan hakim
untuk dapat berada dalam wilayah Indonesia.
dengan menerapkan Pasal 120 Undang-Undang Keimigrasian
(Melissa
Crouch
dan
Antje
Missbach, CILIS Policy Paper, 2013)
wilayah
Indonesia
tanpa
melalui
Salman Luthan, sebagaimana dikutip oleh Mahrus
Ali,
mengemukakan
beberapa
teori
kriminalisasi antara ordenings strafrecht. Menurut teori ini hukum pidana adalah alat instrumen
Kebijakan Penal Dalam Penanggulangan Penyelundupan Manusia di Indonesia
Kebijakan penal yang dilakukan dalam
kebijakan pemerintah. Penggunaan hukum pidana sebagai
instrumen
kebijakan
pemerintah
penanggulangan penyelundupan manusia yakni
merupakan kebijakan baru dalam perkembangan
pembaruan hukum pidana. Hal ini terlihat dari
hukum pidana modern (Mahrus Ali, 2012 : 242).
lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
Jika kita merujuk kepada teori tersebut,
tentang Keimigrasian yang merupakan perubahan
maka
dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
terhadap penyelundupan manusia di Indonesia
Keimigrasian.
dalam Pasal 120 Undang-Undang Keimigrasian
Undang-Undang Keimigrasian yang baru telah
merumuskan
dikatakan
bahwa
kriminalisasi
bukan berpangkal tolak dari pendapat masyarakat
penyelundupan
bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
manusia serta ketentuan pidananya, hal mana yang
harus dipandang sebagai kriminalitas karena
tidak diatur dalam Undang-Undang Keimigrasian
bersifat merusak dan merugikan orang lain.
yang
perluasan
Kriminalisasi terhadap penyelundupan manusia di
Negeri Sipil
Indonesia lebih didasarkan pada kenyataan bahwa
(PPNS) Imigrasi, serta ketentuan khusus bagi
perbuatan penyelundupan manusia melanggar
orang yang diselundupkan.
kebijakan pemerintah tentang lalu lintas keluar
lama.
kewenangan
Selain
definisi
dapat
itu
adanya
Penyidik Pegawai
atau masuk wilayah negara Republik Indonesia Kriminalisasi Penyelundupan Manusia Kriminalisasi
terhadap
yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-
penyelundupan
manusia di Indonesia terlihat dengan dimuatnya ketentuan pidana terhadap penyelundupan manusia dalam Pasal 120 Undang-Undang Keimigrasian. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa undangundang 31 -
sebelumnya
tidak
mengatur
Volume 2, No. 3, Agustus 2014
tentang
Undang Keimigrasian yang lama. Hal ini terlihat dari
substansi
Pasal
120
Undang-Undang
Keimigrasian yang hanya menekankan pada keabsahan perlintasan masuk atau keluar wilayah Republik
Indonesia,
penggunaan
Perjalanan, dan pemeriksaan imigrasi.
Dokumen
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Rumusan Sanksi Terhadap Penyelundupan Manusia
Dalam
Pelaku
Pasal
120
Undang-Undang
Keimigrasian tersebut tidak menunjukkan adanya
Pasal 120 Undang-Undang Keimigrasian
muatan
sanksi
tindakan
terhadap
pelaku
memuat ketentuan pidana terhadap penyelundupan
penyelundupan manusia di Indonesia (Sholehuddin,
manusia, yakni sebagai berikut:
2004 : 189). Selain
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang
itu
Pasal
120
Undang-Undang
bertujuan mencari keuntungan, baik secara
Keimigrasian ayat (2) menetapkan pidana yang
langsung maupun tidak langsung, untuk diri
sama terhadap percobaan melakukan tindak pidana
sendiri atau untuk orang lain yang membawa
penyelundupan manusia. Hal ini bertentangan
seseorang atau kelompok orang, baik secara
dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) KUHP yang
terorganisasi maupun tidak terorganisasi atau
mengatur
memerintahkan orang lain untuk membawa
terhadap kejahatan dalam hal percobaan dikurangi
seseorang atau kelompok orang, baik secara
sepertiga.
terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang
Ketentuan Terhadap Diselundupkan
tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki
bahwa
maksimum
pidana
Orang
pokok
Yang
wilayah
Pasal 86 Undang-Undang Keimigrasian
Indonesia dan/atau masuk negara lain yang
menyebutkan : “Ketentuan Tindakan Administratif
orang tersebut tidak memiliki hak untuk
Keimigrasian tidak diberlakukan terhadap korban
memasuki wilayah tersebut secara sah, baik
perdagangan orang dan penyelundupan manusia”.
dengan menggunakan dokumen sah maupun
Pasal
dokumen palsu, atau tanpa menggunakan
diselundupkan sebagai “korban”. Padahal
Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan
orang yang diselundupkan menyadari keseluruhan
imigrasi
proses dan bahkan ikut berperan aktif, sehingga
wilayah
Indonesia
maupun
atau
tidak,
keluar
dipidana
karena
Penyelundupan Manusia dengan pidana penjara
tersebut
menyebut
orang
yang
dapat pula disebut sebagai pelaku.
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
dalam kondisi tertentu korban dan pelaku adalah
sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
dwi tunggal, dengan kata lain korban dan pelaku
rupiah)
Rp.
adalah tunggal atau satu. Jenis pelanggaran hukum
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
tersebut tidak dapat membedakan secara tegas
rupiah)
antara siapa korban dan siapa pelaku (Romli
dan
paling
banyak
(2) Percobaan untuk melakukan tindak pidana Penyelundupan
Manusia
dipidana
dengan
Atmasasmita, 1992 : 7). Orang yang diselundupkan pada umumnya menyatakan
diri
sebagai
pengungsi
Volume 2, No. 3, Agustus 2014
yang - 32
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala mengalami penganiayaan di negaranya. Pengungsi
Perluasan kewenangan lainnya yakni dalam
adalah orang-orang yang berada di luar negara
undang-undang lama diatur bahwa Berita Acara
kebangsaannya atau tempat tinggalnya sehari-hari
Penyidikan (BAP) diserahkan ke Penuntut Umum
yang
akan
melalui Penyidik Polri, sedangkan dalam Pasal 107
mendapat penganiayaan dikarenakan ras, agama,
Undang-Undang Keimigrasian yang baru PPNS
kebangsaan, keanggotaan di dalam kelompok
Imigrasi dapat langsung menyerahkan kepada
sosial tertentu atau memiliki pendapat politik
Penuntut Umum disertai dengan tersangka dan
tertentu. Penanganan terhadap imigran yang
alat-alat bukti dengan tembusan saja kepada
berstatus pengungsi dilakukan berdasarkan prinsip
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
non-refoulement sesuai dengan ketentuan Pasal 33
Penerapan Sanksi Pidana Dalam Perkara Penyelundupan Manusia
mempunyai
ketakutan
beralasan
Konvensi Wina Tahun 1951 tentang Status Pengungsi.
Rumusan kebijakan legislasi akan sangat
Prinsip non-refoulement merupakan dasar
berpengaruh
pada
kebijakan
yudikasi
yakni
hukum pengungsi yang melarang negara untuk
putusan hakim dalam perkara penyelundupan
mengusir atau mengembalikan seseorang ke
manusia. Seperti halnya dalam putusan Pengadilan
negara
Pacitan No.116/PID.Sus/2012/ PN-PCT terhadap
asalnya
kebebasannya refoulement
di
akan telah
mana terancam.
kehidupan
dan
Prinsip
non-
dikembangkan
terdakwa
Agus
Dianto,
di
mana
hakim
menjadi
memutuskan pidana penjara selama 2 (dua) tahun
kebiasaan hukum internasional. Penerapan hukum
penjara dan denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima
kebiasaan Internasional disebutkan dalam Pasal 38
ratus juta rupiah), padahal Jaksa menuntut pidana
Konvensi Wina Tahun 1969 yang pada intinya
terhadap terdakwa karena kesalahannya dengan
menetapkan bahwa hukum kebiasaan Internasional
pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda
mengikat bagi semua negara.
sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Putusan hakim Pengadilan Pacitan yang
Perluasan Kewenangan Bagi PPNS Imigrasi Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian dalam Undang-Undang Keimigrasian yang lama masih terbatas, tetapi dalam Undang-Undang Keimigrasian yang baru kewenangan PPNS Keimigrasian menjadi lebih luas. Perluasan kewenangan tersebut dimuat dalam Pasal 106 dan 107 Undang-Undang Keimigrasian. Pasal 106 memberikan kewenangan kepada PPNS Keimigrasian untuk melakukan penahanan, hal mana tidak diberikan oleh undang-undang lama. 33 -
Volume 2, No. 3, Agustus 2014
menerapkan pidana di bawah batas minimum yang ditetapkan
undang-undang
merupakan
penyimpangan terhadap asas legalitas. Menurut asas legalitas, untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang perbuatan tersebut haruslah terlebih dahulu dilarang dan diperintahkan oleh hukum pidana tertulis dan terhadapnya telah ditetapkan ketentuan
pidana.
Oleh
karena
itu
dapat
disimpulkan bahwa seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang.
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan
dan bukan keadilan bagi masyarakat maupun negara.
dengan keadilan. Hukumnya demikian bunyinya, maka harus dijalankan (kepastian hukum), tetapi
Kebijakan Non Penal Dalam Penanggulangan Penyelundupan Manusia
kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil. Kalau dalam pilihan putusan sampai kepastian
terjadi konflik antara keadilan dan hukum
serta
kemanfaatan,
maka
keadilanlah yang harus didahulukan (Sudikno Mertokusumo, 2010 : 79) Putusan hakim Pengadilan Negeri Pacitan juga memuat argumentasi yang menyebutkan bahwa pelaku hanya bertindak sebagai supir yang menjemput dan mengantar orang asing, selain itu motif dan sikap batin terdakwa dalam melakukan tindak pidana adalah karena tuntutan ekonomi, dimana terdakwa dalam status pengangguran dan membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini hakim menganggap sangatlah tidak adil apabila terhadap pelaku yang demikian dijatuhi pidana yang diberlakukan untuk semua warga negara Indonesia tanpa pandang bulu apa motif perbuatan si pelaku, bagaimana keadaan ekonomi pelaku, bahkan sejauh mana tingkat berpikir mereka terkait tindakan yang mereka lakukan. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Pacitan yang lebih mengutamakan unsur keadilan daripada kepastian hukum dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum yang ditetapkan oleh undang-undang, dapat saja dibenarkan jika mengacu pada pandangan Sudikno Mertokusumo. Namun demikian putusan tersebut tetap saja menimbulkan pertanyaan, sebab keadilan yang dimaksud di sini hanyalah keadilan bagi si pelaku
Pasal
89
ayat
(1)
Undang-Undang
Keimigrasian berbunyi “Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk melakukan upaya preventif dan represif dalam rangka mencegah terjadinya perdagangan orang dan penyelundupan manusia”. Selanjutnya Pasal 89 ayat (2) Undang-UndangUndang Keimigrasian mengatur bahwa upaya preventif yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara: 1. Pertukaran informasi dengan negara lain dan instansi terkait di dalam negeri, meliputi modus operandi,
pengawasan,
dan
pengamanan
dokumen perjalanan, serta legitimasi dan validitas dokumen; 2. Kerjasama teknis dan pelatihan dengan negara lain meliputi perlakuan yang berdasarkan perikemanusiaan terhadap korban, pengamanan kualitas dokumen perjalanan, deteksi dokumen palsu, pertukaran informasi, serta pemantauan dan deteksi penyelundupan manusia dengan cara konvensional dan nonkonvensional; 3. Memberikan masyarakat
penyuluhan bahwa
hukum
perbuatan
kepada
perdagangan
orang dan penyelundupan manusia adalah tindak pidana agar orang tidak menjadi korban; 4. Menjamin bahwa dokumen perjalanan atau identitas yang dikeluarkan berkualitas sehingga dokumen tersebut tidak mudah disalahgunakan, dipalsukan, diubah, ditiru, atau diterbitkan secara melawan hukum; Volume 2, No. 3, Agustus 2014
- 34
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 5. Memastikan bahwa integritas dan pengamanan
Pelatihan bagi aparat hukum dan kerjasama
dokumen perjalanan yang dikeluarkan atau
dengan luar negeri juga hal yang sangat penting
diterbitkan oleh atau atas nama negara untuk
untuk
mencegah pembuatan dokumen tersebut secara
penyelundupan manusia. Selain itu, pelaksanaan
melawan hukum dalam hal penerbitan dan
kebijakan
penggunaannya.
penyelundupan manusia harus didukung oleh
Pemerintah
Indonesia
telah
dilakukan
dalam
penanggulangan
penanggulangan
dan
pencegahan
melakukan
teknologi, dan hal tersebut membutuhkan biaya
kerjasama dengan pemerintah Australia yang
yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pemerintah
tertuang dalam Lombok Treaty (2006) untuk
perlu melakukan peningkatan anggaran untuk
imigran gelap yang menggunakan Indonesia
penanggulangan dan pencegahan penyelundupan
sebagai negara transit menuju Australia. Di tingkat
manusia. Masing-masing instansi terkait perlu
kawasan, Indonesia dan Australia menjadi ketua
melakukan peningkatan anggaran kinerja secara
bersama dalam forum regional Bali Process
internal dalam rangka mendukung penanggulangan
sebagai salah satu upaya penanggulangan masalah
dan pencegahan penyelundupan manusia.
penyelundupan manusia, perdagangan orang, dan kejahatan transnasional yang terorganisir lainnya
Kesimpulan
di kawasan Asia Pasifik. Putusan hakim Pengadilan Negeri Pacitan terhadap Agus Dianto dalam uraian sebelumnya, menunjukkan
adanya
motif
ekonomi
yang
mendorong terjadinya penyelundupan manusia. Dalam hal ini, memberantas kemiskinan akan sangat
membantu
dalam
penyelundupan
upaya
manusia.
mengurangi Peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang dibarengi dengan peningkatan pemahaman rohani akan mengurangi keinginan masyarakat untuk melakukan tindakan yang melawan hukum. Sebagai negara maritim, sudah seharusnya Indonesia
memiliki
mengembangkan
KESIMPULAN DAN SARAN
penjaga radar
yang
dan
dikemukakan
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa masih terdapat banyak kelemahan pada kebijakan
kriminal
dalam
penanggulangan
penyelundupan manusia di Indonesia khusunya dalam
kebijakan
legislasi.
Pasal
120
UU
Keimigrasian belum dapat mencakup keseluruhan aspek
dalam
manusia.
penanggulangan
Penyelundupan
penyelundupan
manusia
merupakan
tindak pidana yang bersifat khusus dan sudah selayaknya diatur dalam aturan yang khusus. Saran Berdasarkan
kesimpulan
yang
diperoleh,
dapat
disarankan kepada pemegang kebijakan legislasi
menjangkau seluruh wilayah Indonesia, sehingga
untuk segera menerbitkan peraturan yang khusus
seluruh aktifitas kegiatan di laut dapat terdeteksi,
mengatur tentang penyelundupan manusia. Selain
termasuk kegiatan penyelundupan manusia yang
itu pemerintah juga perlu upaya serius untuk
menggunakan jalur laut.
menanggulangi
35 -
sistem
pantai
Berdasarkan uraian pembahasan yang
Volume 2, No. 3, Agustus 2014
serta
mencegah
dampak
Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala berkepanjangan akibat penyelundupan manusia,
DAFTAR PUSTAKA
khususnya tentang keberadaan warga negara asing
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Kyle, David, Global Human Smuggling, Johns Hopkins University Press, 2011. Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana,Sinar Grafika, Jakarta, 2012 Manning, Pattrick Migration In World History, Routledge-Taylor & Francis Group, New York and London, 2005. Melissa Crouch dan Antje Missbach, Trials of People Smugglers in Indonesia 2007-2012, CILIS Policy Paper, 2013 Moh.Hatta, Kebijakan Politik Kriminal – Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2010. Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1992. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2004. Siswanto Sunarso, Ekstradisi & Bantuan Timbal Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2009. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar : Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010. Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigras
yang mencari suaka di Indonesia, hal tersebut demi terwujudnya
perlindungan
kesejahteraan rakyat.
masyarakat
serta
Volume 2, No. 3, Agustus 2014
- 36