Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
KEBIJAKAN IMPOR SUSU: MELINDUNGI PETERNAK DAN KONSUMEN (Policy on Imported Milk: Protection to Producer and Consumen) RENI KUSTIARI1, ATIEN PRIYANTI2 dan ERWIDODO3 1
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor 3 Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Jakarta ABSTRACT
Local milk production has met only one third of its national demand, while the other two third is imported. In 2006, a total of milk demand was 2.1 million ton and its supply was only 489 thousand ton. Average of per capita milk consumption is 7 kg per annum. A general equilibrium welfare analysis has been used to assess the effect of import tariff on milk. This policy is aimed at protecting domestic producers, in this case are the dairy farmers. The estimation showed that the optimal import tariff is 8 percent, and this would increase production by 4.6 percent, increase government revenue by Rp. 18 billion and producer surplus by Rp. 401 billion, but reduce consumer surplus by Rp. 760 billion. To avoid this adverse effect to consumer welfare, it is recommended for the government to subsidize the price of dairy products. This will compensate the milk price paid by consumen in the liable price. Keywords: Impor tariff, milk, general equilibrium, welfare analysis ABSTRAK Produksi susu di dalam negeri baru memenuhi sepertiga dari kebutuhan, sedangkan dua pertiganya masih harus diimpor. Total permintaan susu pada tahun 2006 adalah 2,1 juta ton, dimana penyediaan baru mencapai sekitar 489 ribu ton. Rata-rata konsumsi susu masyarakat Indonesia saat ini adalah sekitar 7 kg per tahun. Dengan menggunakan analisis keseimbangan umum untuk kesejahteraan masyarakat, telah dilakukan suatu kajian untuk mengkualifikasi dan mengkuantifikasi dampak dari penerapan kebijakan impor yang terkait dengan tarif impor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa penerapan tarif impor yang optimal adalah sebesar 8 persen, yang berdampak terhadap kenaikan produksi sebesar 4,6 persen dan mengakibatkan kenaikan produksi sekitar 4,6 persen, meningkatkan penerimaan pemerintah sebesar Rp. 18 milyar dan surplus produsen sebesar Rp. 401 Milyar, tetapi akan menurunkan surplus konsumen sebesar Rp. 760 milyar per tahun. Guna menghindari efek negatif terhadap kesejahteraan konsumen, maka disarankan agar pemerintah memberikan subsidi pada harga produk-produk susu, sehingga harga di tingkat konsumen tidak meningkat secara drastis. Kata kunci: Tarif impor, susu, analisis keseimbangan, kesejahteraan masyarakat
PENDAHULUAN Penduduk Indonesia merupakan yang terpadat di Asia Tenggara dengan populasi sekitar 230 juta pada saat ini, dan diperkirakan mencapai 240 juta pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan populasi 1,5 persen per tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2003, hampir 38 persen penduduk ini berumur dibawah 19 tahun (BPS, 2007) yang merupakan populasi usia muda yang bersifat positif terhadap generasi penerus bangsa.
484
Dikaitkan dengan semakin ketatnya persaingan dalam penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas, maka asupan protein hewani menjadi sangat penting karena merupakan salah satu dasar pembentukan dan pengembangan kecerdasan otak manusia. Berdasarkan tiga indikator human development index yakni, kesehatan hidup dan umur panjang, tingkat pengetahuan serta kelayakan standar hidup, kualitas sumberdaya manusia Indonesia pada tahun 2003 menduduki peringkat ke 110, dua tingkat lebih rendah
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
dibandingkan dengan Vietnam. Apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Philippina (YIF, 2007). Salah satu asupan protein hewani yang mengandung zat nutrisi lengkap dan sangat dibutuhkan manusia, khususnya anak-anak adalah susu, dimana saat ini produksi dalam negeri baru memenuhi sepertiga, sedangkan dua pertiganya masih harus diimpor. Total permintaan susu pada tahun 2006 adalah 2,1 juta ton, dimana penyediaan baru mencapai sekitar 489 ribu ton (DITJEN PETERNAKAN, 2006). Rata-rata konsumsi susu masyarakat Indonesia saat ini adalah 7 kg per tahun, atau sekitar 10 – 20 tetes per hari. Memang telah terjadi ketimpangan distribusi konsumsi susu terutama di perkotaan dan perdesaan, sehingga menimbulkan masalah gizi ganda, yaitu ”gizi lebih” atau ”gizi salah” yang terjadi di perkotaan dan kekurangan gizi di perdesaan. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,5 persen dan peningkatan pendapatan sebesar 1,45 persen per kapita, maka pada tahun 2010 diperkirakan konsumsi susu akan mencapai 0,73 gr per hari, yang masih jauh jika dibandingkan dengan konsumsi di negara-negara ASEAN. Tidak dapat dipungkiri bahwa susu merupakan nutrisi bergizi yang dapat mencegah terjadinya lost generation anak bangsa. Oleh karena itu, agribisnis persusuan memiliki arti penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini juga berperan dalam menanggulangi kemiskinan di pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja sehingga mampu mengurangi tingkat urbanisasi. Makalah ini membahas tentang suatu kajian untuk mengkualifikasi dan mengkuantifikasi dampak dari penerapan kebijakan impor yang terkait dengan tarif impor. Hal ini sangat relevan dalam kaitannya dengan upaya antisipasi perubahan kebijakan pemerintah terhadap subsidi energi dan pengaruhnya terhadap pengembangan usaha sapi perah. PROFIL INDUSTRI PETERNAKAN SAPI PERAH Usaha sapi perah didominasi oleh usaha peternakan rakyat dengan rata-rata pemilikan sapi yang relatif masih rendah. Secara nasional
lebih dari 90 persen populasi sapi perah berada di Pulau Jawa dan meningkat sebesar 6,7 persen selama periode 2002 sampai 2006 (DITJEN PETERNAKAN, 2006). Berdasarkan sensus pertanian pada tahun 2003, jumlah rumahtangga peternak sapi perah di Pulau Jawa juga menunjukkan peningkatan seiring dengan pertambahan populasi, kecuali untuk Jawa Barat (BPS, 2007). Jumlah rumahtangga peternak sapi perah mencapai 118 ribu orang. Dibandingkan dengan sensus penduduk pada tahun 1993, jumlah rumahtangga peternak sapi perah di Jawa Barat menurun sebesar 4,8 persen, sedangkan hal tersebut di Jawa Timur dan Jawa Tengah meningkat masing-masing sebesar 33 persen dan 18 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata kepemilikan sapi perah di Jawa Barat per rumahtangga peternak relatif meningkat. Pada tahun 2006, rata-rata kepemilikan sapi perah per rumahtangga peternak adalah 2,6 ekor, 3,2 ekor dan 3 ekor berturut-turut untuk Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Berdasarkan sensus pertanian tahun 2003 terdapat 417 organisasi usaha peternakan yang sebagian besar merupakan koperasi dan perusahaan swasta maupun perorangan. Jawa Timur merupakan wilayah terbanyak memiliki usaha ini, diikuti oleh Jawa Barat (DITJEN PETERNAKAN, 2006). Fenomena ini menunjukkan bahwa pasar produk susu di Indonesia cukup besar, dimana perkembangan produksi meningkat sebesar 3,4 persen per tahun pada periode 2002-2006. Namun hal ini belum mampu memenuhi seluruh permintaan konsumen di dalam negeri karena perubahan peningkatan konsumsi susu relatif lebih cepat dibandingkan produksinya. Pada periode yang sama, konsumsi susu meningkat sebesar 4,7 persen per tahun (Gambar 1). Jawa Timur merupakan pemasok utama produk susu dan mengalami peningkatan produksi secara bertahap sejak tahun 1996, sedangkan Jawa Barat telah kembali bangkit dari keterpurukannya akibat krisis moneter tahun 1997 dan saat ini menjadi produsen susu segar terbesar di Indonesia. Meskipun pada kenyataannya Indonesia masih mengimpor sebesar 70 persen untuk memenuhi kebutuhan susu nasional, namun kegiatan ekspor juga dilakukan dalam jumlah yang relatif kecil (Gambar 2).
485
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Ton 2000000 1500000 1000000 500000 0 2002
2003
2004
2005
2006 Tahun
Produksi
Konsumsi
Gambar 1. Perkembangan produksi dan konsumsi susu
Pada periode tahun 2001-2005 terjadi peningkatan volume ekspor susu sebesar 10 persen per tahun, dengan nilai sebesar US$ 90,150 pada tahun 2005. Pada periode yang sama, hal tersebut untuk volume impor juga meningkat sebesar 8,9 persen per tahun dengan nilai sebesar US$ 399,165 (DITJEN PETERNAKAN, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat trend impor dan ekspor susu yang meningkat, sejalan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. DELGADO et al. (1999) menyatakan bahwa perubahan pola konsumsi produk hewani ini bukan hanya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi tetapi juga didorong oleh arus urbanisasi, serta kesadaran gizi dan perubahan gaya hidup masyarakat. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk akan mendorong permintaan terhadap produk peternakan melonjak, meningkat dengan laju yang semakin pesat. Kondisi ini merupakan kekuatan penarik yang cukup besar sebagai landasan terjadinya Revolusi Peternakan (Livestock Revolution) di negara-negara sedang berkembang. Peluang ini harus dapat dimanfaatkan oleh usaha peternakan sapi perah di dalam negeri, sehingga ke depan ketergantungan terhadap produk impor dapat diminimalkan. Karena sifat usahanya yang masih dominan dilakukan oleh peternakan rakyat, maka usaha
486
sapi perah ini memerlukan suatu wadah usaha bersama yang dikelola dalam bentuk koperasikoperasi primer. Gabungan dari beberapa koperasi ini disebut dengan Gabungan Koperasi Susu Indonesia yang dibentuk sejak tahun 1979. Jumlah anggota koperasi atau KUD yang tergabung dalam GKSI adalah 99 buah dengan jumlah industri pengolah susu (IPS) sebanyak 5 pabrik. Rata-rata produksi susu yang dihasilkan adalah 11 l/ekor/hari dengan total produksi sebesar 1185 ton per hari (SULISTIYANTO, 2008). Susu segar ini sebagian besar dipergunakan sebagai bahan baku oleh IPS (80 persen), sedangkan sisanya langsung diberikan kepada konsumen (10%) dan lain-lain seperti pengolahan untuk usaha peternakan dan pasokan susu bagi anak sapi (pedet). Lebih lanjut disampaikan bahwa penyetor susu terbesar ke GKSI dilakukan oleh peternak yang memiliki sapi dengan rata-rata produksi susu sekitar 10-20 l per hari (76 persen). GKSI bersama-sama dengan Dinas Peternakan juga memberikan pembinaan dalam bentuk bimbingan teknis kepada kelompok peternak dalam upaya meningkatkan standar produk susu yang telah ditetapkan untuk diterima oleh IPS. Dalam hal ini koperasi dan peternak sapi perah berperan sebagai mitra IPS yang berorientasi kepada kualitas susu dan pelanggan (customer services).
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Ton 200000 150000 100000 50000 0 2001
2002
2003
2004
2005 Tahun
Ekspor
Impor
Gambar 2. Perkembangan volume ekspor dan impor produk susu
Dalam penentuan harga susu, kualitas susu menjadi kriteria utama yang sangat menentukan. Sejak tahun 2004, penentuan kualitas susu juga didukung oleh peraturan pangan terbaru yang memasukkan beberapa aspek dari CODEX dalam hal kandungan residu pestisida, residu obat hewan dan kandungan bakteri. KPSBU (2005) menyatakan bahwa rata-rata harga susu segar di tingkat peternak di Lembang, Jawa Barat naik sebesar 15,2 persen per tahun pada periode 2000-2006. PRIYANTI dan MARIYONO (2008) melaporkan bahwa harga susu segar di tingkat peternak di Pasuruan, Jawa Timur selama periode tahun 2002-2005, mengalami rata-rata kenaikan harga ini relatif kecil, hanya sekitar 4 persen. Hal ini baru terasa mulai akhir tahun 2005 sampai tahun 2006, yang rata-rata meningkat sebesar 14 persen. Secara signifikan, rata-rata kenaikan harga susu terjadi pada awal tahun 2007 sampai saat ini mencapai 41 persen. DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR Dengan menggunakan metode: parsial analisis keseimbangan umum dilakukan estimasi dampak kebijakan tarif impor produk susu untuk kesejahteraan masyarakat. Data sekunder yang dipergunakan meliputii tarif impor, harga susu segar, harga impor produk
susu dikompilasi dari berbagai publikasi terdahulu. Peningkatan penggunaan bahan baku pakan ternak terutama jagung untuk bahan baku biofuel merupakan penyebab utama kenaikan harga susu yang sangat tajam. Produksi biofuel dari jagung yang dilakukan oleh negara-negara maju, seperti USA dan EU, untuk mengimbangi kenaikan harga minyak yang terus membubung, maka dapat dipastikan bahwa harga bahan baku susu di pasar internasional akan cenderung naik. Padahal kebutuhan susu nasional sebagian besar dicukupi dari impor. Dengan perkataan lain, dalam tatanan perdagangan internasional produk-produk susu, Indonesia berada pada posisi sebagai net-consumer. Industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku susu. Pada bulan Maret 2007 terjadi suatu perubahan yang tidak diduga di pasar internasional, yaitu ketika harga komponen bahan baku susu masing-masing skim milk powder dan butter milk mulai naik drastis. Harga rata-rata Milk powder yang pada bulan Januari 2007 hanya sekitar US$ 3.050 per metrik ton, tiba-tiba melonjak secara tajam menjadi US$ 3.800 per metrik ton di bulan Maret 2007. Harga terus meningkat sampai mencapai puncaknya pada bulan Agustus 2007 yaitu sekitar US$ 5.000 per metrik ton. Pada periode yang sama harga rata-rata butter milk,
487
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
di pasar internasional naik dari sekitar US$ 2.025 per metrik ton menjadi US$ 2.300 per metrik ton (SUSAPTOYONO, 2008). Sebagai akibat dari kenaikan harga susu dunia, peternak sapi perah yang pada umumnya merupakan usaha sapi perah rakyat dapat turut menikmati keadaan tersebut, karena IPS juga menaikkan harga pembelian susu segar dari sapi perah rakyat. Sejak bulan Mei 2007 harga susu di tingkat peternak mencapai kisaran antara Rp. 2500Rp. 3250 per liter, sesuai dengan kualitas susu. Meski sebenarnya jika dibandingkan dengan
harga bahan baku susu impor setara susu segar, harga susu di tingkat peternak masih lebih rendah. Untuk mengantisipasi peningkatan harga bahan baku susu di pasar internasional maka perlu upaya untuk memacu industri susu domestik. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan tarif impor bahan baku susu, dimana pada gilirannya harga susu di tingkat peternak akan meningkat. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan tarif impor berdampak pada harga konsumen, harga produsen, permintaan, penawaran dan volume impor (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisa dampak kenaikan tarif import susu (FCMP) Efek perubahan tarif
Simulasi 1: 5% ke 8%
Simulasi 2: 5% ke 11%
Perubahan tarif (Rp/kg)
965,4
1930,8
Perubahan harga konsumen (Rp/kg)
965,4
1930,8
45809,1
46774,5
Persentase perubahan harga konsumen (%)
2,153
4,306
Persentase perubahan harga produsen (%)
2,2
4,3
941,8
1883,7
44691,9
45633,7
Efek terhadap permintaan (%)
-3,3
-6,6
Perubahan jumlah permintaan (000ton)
-26,5
-53,0
Permintaan pada t1(000ton)
773,5
747,0
Efek terhadap penawaran (%)
4,6
9,1
Perubahan jumlah penawaran (000ton)
131,4
262,9
Penawaran pada t1 (000ton)
491,4
622,9
Harga konsumen pada t1 (Rp/kg)
Perubahan harga produsen (Rp/kg) Harga produsen pada t1 (Rp/kg)
Jumlah impor pada t1 (000ton)
282,0
124,1
Efek terhadap jumlah impor (000ton)
-158,0
-315,9
Efek terhadap surplus konsumen (juta Rp)
-759514,6
-1493424,6
Efek terhadap surplus produsen (juta Rp)
400965,0
925728,1
Efek terhadap penerimaan pemerintah (juta Rp)
18113,8
-268767,8
-340435,8
-836464,3
Efek terhadap surplus bersih (juta Rp)
Seperti lazimnya pengaruh perubahan harga, maka akan tercipta keseimbangan pasar yang baru. Pada simulasi pertama, yaitu kenaikan tarif impor dari 5 persen ke 8 persen, harga konsumen akan naik sebesar kenaikan tarif spesifik (Rp. 965) yaitu dari semula Rp. 44.844/kg menjadi Rp. 45.809/kg atau naik sebesar 2,2%. Peningkatan harga konsumen pada akhirnya ditransmisikan ke harga di
488
tingkat produsen, sehingga harga produsen full cream milk powder (FCMP) naik sebesar 2,2% atau sebesar Rp. 942/kg. Hal ini menyebabkan harga produsen naik dari Rp. 43.750/kg menjadi Rp. 44.692/kg. Kenaikan harga di pasar domestik menyebabkan permintaan berkurang sebesar 3%. Permintaan FCMP turun dari sekitar 800 ribu ton menjadi hanya 774 ribu ton. Peningkatan harga FCMP
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
mendorong peningkatan penawaran FCMP domestik sebesar 4,6% atau meningkat menjadi 491 ribu ton dari sebelumnya 360 ribu ton. Kenaikan harga impor karena tarif menyebabkan volume impor turun sebesar 158 ribu ton, yaitu dari 440 ribu ton menjadi 282 ribu ton. Kenaikan harga konsumen akan menurunkan kesejahteraan konsumen, hal ini dicerminkan oleh turunnya surplus konsumen sebesar Rp. 760 Milyar per tahun. Sementara jika tarif ditingkatkan sampai 11 persen (tingkat tarif yang diusulkan oleh GKSI), maka surplus konsumen akan turun sebesar Rp 1,5 Trilyun per tahun. Namun demikian, kenaikan tarif impor akan menguntungkan produsen, ini terefleksi dari surplus produsen yang naik sekitar Rp. 400 Milyar untuk kenaikan tarif impor dari 5% ke 8% dan Rp. 926 Milyar per tahun untuk kenaikan tarif impor dari 5% ke 11%. Penerimaan pemerintah dari bea masuk impor hanya akan naik sebesar 18 Milyar. Sebaliknya, peningkatan tarif dari 5 persen menjadi 11 persen akan mengakibatkan penerimaan pemerintah turun sebesar Rp. 269 Milyar per tahun. Ini terjadi karena peningkatan tarif menyebabkan permintaan impor menurun drastis, sehingga penerimaan pemerintah dari tarif akan turun (permintaan susu bersifat sangat elastis). Secara agregat perekonomian susu nasional akan menanggung biaya peningkatan tarif masing-masing sebesar Rp. 340 Milyar dan Rp. 836 Milyar per tahun (dead weight losses). Tarif impor sebesar 8% adalah tingkat tarif yang dapat dianggap optimum dengan kriteria tingkat tarif yang dapat memacu produksi susu dalam negeri sesuai dengan tingkat produksi yang diinginkan yaitu sekitar 130 ribu ton per tahun. Namun demikian, peningkatan tarif impor dari 5% menjadi 8% akan membebani konsumen. Bahkan sebagai akibat dari peningkatan tarif impor dari 5% menjadi 11% penerimaan pemerintah dari tarif impor turun drastis sebesar 269 milyar per tahun. Kenaikan tarif hanya menguntungkan produsen FCMP oleh karena itu jika tarif susu akan dinaikan maka pemerintah harus mencari cara agar dapat mengkompensasi penurunan kesejahteraan konsumen, misalnya dengan memberikan subsidi dan bantuan susu segar bagi anak-anak melalui puskesmas, sekolah dan posyandu.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi tarif impor, makin tinggi harga konsumen susu di pasar domestik, dan semakin tinggi beban yang harus ditanggung oleh konsumen susu terutama yang berpendapatan rendah (kelompok miskin) dan semakin tinggi biaya sosial neto. Tingkat tarif impor perlu selalu disesuaikan dengan harga di pasar internasional. Tarif bukanlah satu-satunya cara untuk melindungi peternak susu, perlu kebijakan lain yang dapat memberikan insentif bagi peternak untuk berproduksi dan meningkatkan kegiatan usahanya. Penerapan tarif impor yang terlalu tinggi justru menyebabkan inefisiensi alokasi sumberdaya pertanian serta membebani konsumen dan perekonomian nasional. Untuk itu diperlukan peningkatan penegakkan hukum karena adanya tarif impor yang terlalu tinggi akan mendorong penyelundupan dan praktek perdagangan ilegal, sehingga hanya menguntungkan kelompok tertentu. Harga bukan satu-satunya peubah penentu pertumbuhan produksi susu nasional, dan harga juga bukan satu-satunya peubah penentu keuntungan petani. Untuk meningkatkan keuntungan (dan kesejahteraan) petani, kebijakan perlu diarahkan untuk memacu produktivitas dengan meningkatkan investasi untuk penelitian dan pengembangan, mengurangi distorsi pasar dan pasar masukan produksi, serta memperluas kesempatan kerja di pedesaan. REKOMENDASI IMPLIKASI KEBIJAKAN Bahan baku susu, seperti FCMP merupakan salah satu komoditas impor yang cukup membebani perekonomian Indonesia, dimana impor diperkirakan akan terus mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya harga komoditas pangan di pasar internasional. Dengan posisi Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor, maka kenaikan harga bahan baku susu di pasar dunia akan sangat membebani devisa negara. Revolusi putih harus segera dilaksanakan, yaitu dengan meningkatkan produksi dan konsumsi susu nasional. Adapun kebijakan
489
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
dapat dilakukan dalam upaya substitusi impor susu antara lain sebagai berikut. Pertama, Pemerintah secara proaktif memberikan dukungan nyata untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil ternak (susu) kepada para peternak, melalui peningkatan kualitas pakan dan pemeliharaan. Kedua, perlu dibentuk wadah kemitraan yang jujur dan memperhatikan kepentingan bersama antara peternak, koperasi susu dan IPS, sehingga pengembangan sistem agribisnis berbasis peternakan dapat berjalan seperti yang diharapkan. Ketiga, koperasi susu perlu didorong dan difasilitasi dengan teknologi sederhana agar dapat melakukan pengolahan susu segar. Hal ini disertai dengan program promosi (generic advertisement) secara luas kepada masyarakat, terutama anak-anak. Keempat, Pemerintah Pusat maupun Daerah harus dapat membuat kebijakan-kebijakan yang mampu memperkuat posisi tawar peternak sapi perah. Kelima, peran Dewan Persusuan Nasional harus dapat diefektifkan, terutama dalam hal merangkul seluruh stakeholder persusuan termasuk IPS yang mengatur regulasi harga dan penyerapan susu yang berpihak pada peternak rakyat. Diharapkan kelima kebijakan di atas dapat segera diwujudkan oleh para pengambil kebijakan dalam rangka menjamin ketersediaan suplai susu domestik, meningkatnya pendapatan peternak dan pelaku usaha lainnya di bidang agribisnis susu nasional. Pencapaian revolusi putih diharapkan akan meningkatkan produksi, mengurangi ketergantungan pada bahan baku susu impor dan meningkatkan konsumsi susu nasional yang pada gilirannya dapat menjamin dihasilkannya produk-produk susu yang berdaya saing dan terjadinya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, terutama generasi muda.
490
DAFTAR PUSTAKA BADAN PUSAT STATISTIK. 2007. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. DELGADO, C., M. ROSEGRANT, H. STEINFELD, S. EHUI, C. COURBOIS. 1999. Livestock to 2020. The Next Food Revolution. International Food Policy Research Institute. Washington. USA. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan 2006. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta. KOPERASI PENGUSAHA SSUSU BANDUNG UTARA. 2005. 35 years of KPSBU. Koperasi Susu Bandung Utara, Bandung. PRIYANTI, A DAN MARIYONO. 2008. Analisis keseimbangan rasio harga pakan terhadap susu segar pada peternakan rakyat. Makalah disampaikan dalam Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. SULISTIYANTO. 2008. Prospek dan pengembangan usaha agrobisnis (Usaha persusuan bagi koperasi). Makalah disajikan dalam Workshop Pengembangan Peternakan Dalam Bidang Usaha Agrobisnis Persusuan. Jakarta, 11 Maret 2008. SUSAPTOYONO, Y. 2008. Bahan baku susu naik tajam. www.jurnalnasional.com. YIF. Visi Indonesia 2030. Yayasan Indonesia Forum, Jakarta.