Ironi Kebijakan Impor Ikan Indonesia Di tengah gencarnya klaim Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang melimpahnya ikan di laut Indonesia setahun terakhir, tiba-tiba beberapa waktu lalu Kementerian ini mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor ikan. Impor ikan ini secara luas meliputi semua jenis ikan, kecuali jenis-jenis ikan yang dilindungi dan dilarang untuk diperdagangkan di pasar domestik. Kebijakan ini mendapatkan kritik keras dari sejumlah kalangan. Pasalnya Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang tiga perempat wilayahnya berupa laut dengan potensi produksi Lestari (maximum sustainable yield/MSY) ikan laut sebesar 7,3 juta ton per tahun, atau sekitar 8% total MSY stok ikan laut Dunia. Di perairan umum darat (danau, sungai, waduk, dan perairan rawa tawar) terdapat pula potensi produksi ikan 0,9 juta ton per tahun. Selain itu, total potensi produksi perikanan budidaya (aqua culture) di laut, perairan payau (tambak), dan perairan tawar ditaksir mampu menyumbang kekayaan sumber daya perikanan senilai 60 juta ton per tahun. Dengan demikian Indonesia sejatinya memiliki total potensi produksi perikanan tangkap dan Perikanan budidaya 68,2 juta ton pertahun. Nilai tersebut merupakan potensi produksi terbesar di dunia (FAO,2012). Sementara itu, konsumsi ikan per kapita sekitar 38 kg dengan jumlah penduduk sekitar 254 juta, total kebutuhan ikan nasional hanya sekitar 9,7 juta ton pertahun. Artinya jika sektor perikanan dikelola secara cerdas dan benar, Indonesia tidak hanya akan mampu memasok ikan untuk kebutuhan domestik, tetapi juga bisa mengekspor beragam produk perikanan untuk kebutuhan Global (feeding the world) secara berkelanjutan. Sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia baru kali ini Pemerintah mengeluarkan kebijakan impor ikan secara luas. Sebelumnya Indonesia pernah mengimpor ikan, tetapi sebagian besar berupa tepung ikan sebagai bahan baku untuk industri pakan ternak dan ikan, dan jenis-jenis ikan yang tak bisa diproduksi di dalam negeri seperti salmon dan kepiting Alaska, itupun dengan volume terbatas dan nilainya kecil. Pada tahun 2004 total nilai ekspor Perikanan Indonesia sebesar 2,9 miliar dollar AS, dan nilai impornya hanya 0,1 miliar dollar AS. Lalu pada 2014 nilai ekspor perikanan mencapai 4,7 miliar dollar AS, sedangkan impor nya 0,46 miliar Dollar AS.
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai kebijakan impor ikan untuk menutup kekurangan bahan baku industri pengolahan ditengah kenaikan produksi ikan secara nasional adalah sebuah kejanggalan sistematis. Wakil Sekjen Dewan Pengurus Pusat (DPP) KNTI, Niko Amrullah, menilai kebijakan ini justru menciderai nelayan kecil yang menaruh harapan besar terhadap pemerintah. Terlebih Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan yang meningkat di tengah kelesuan ekonomi global, menunjukkan performa ekonomi perikanan yang baik. Sehingga ia menyebut janggal abila impor ikan menjadi pilihan. KNTI merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di mana produksi total perikanan tangkap di laut menunjukkan tren peningkatan dari 4.812.235 ton di tahun 2009 menjadi 5.779.990 ton di 2014 dengan kenaikan rata-rata sebesar 3,75 persen dan 1,28 persen pada kurun 2013 sampai 2014. Untuk jenis Ikan Tuna, terjadi peningkatan dari 163.965 ton pada 2009 menjadi 310.560 ton pada 2014. Sedangkan untuk Udang, meningkat dari 236.870 ton di 2009 menjadi 255.410 ton di 2014. Kebijakan importasi ini kontra produktif dengan kebijakan yang ditempuh pemerintah sendiri dalam urusan kedaulatan di sektor hulu perikanan. Dibukanya investasi di sektor pengolahan perikanan, harus sejalan dengan serapan produksi ikan dari nelayan domestik. Selain itu Koalisi Rakyat Keadilan dan Perikanan (Kiara) menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan implementasi impor komoditas kelautan dan perikanan. Hasil evaluasi ini diperlukan untuk mengantisipasi dampak dari kebijakan dan praktik impor yang selama ini dilakukan di Indonesia. Menurutnya, saat ini kebijakan impor ikan sudah memberikan dampak negatif terhadap produksi ikan dalam negeri, seperti halnya penurunan harga kepiting di sentra produksi yang terletak di Cirebon, Jawa Barat. hal tersebut dapat berujung kepada matinya tingkat daya saing produk perikanan yang ditangkap oleh nelayan nasional dan terjadinya alih profesi secara besar-besaran, khususnya bagi para ABK. Bahkan, lanjutnya, gempuran produk impor perikanan itu juga dinilai bakal membuat tidak terjaminnya atau menurunnya kualitas produk perikanan di pasaran yang ada di dalam negeri. Sekjen Kiara berpendapat bahwa pemberian izin impor ikan yang meluas juga karena terlampau fokusnya KKP pada urusan eksternal seperti memerangi praktik pencurian ikan secara
ilegal.
Hal tersebut, lanjutnya, menjadi terlantarnya penataan permasalahan tidak terhubungnya sistem bisnis perikanan di dalam negeri. Padahal, menurut dia, hal tersebut juga dapat berakibat pada pemberlakuan sejumlah praktek liberisasi perikanan seperti pembukaan kran impor.
Inti Permasalahan Kebijakan impor ikan secara luas bukan hanya ironis, tetapi juga mencederai cita-cita Luhur Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia (PMD). Makna poros maritim dunia adalah menjadikan laut sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru, pendulang devisa, penciptaan lapangan kerja, kesejahteraan, dan daya saing baru. Impor ikan secara luas bukan hanya menghamburkan devisa yang tak perlu karena potensi produksi perikanan jauh lebih besar ketimbang kebutuhan nasional tetapi juga berpotensi membanjiri pasar dalam negeri, menghancurkan daya saing, dan kesejahteraan nelayan kita. Dengan mengimpor ikan, harga diri (dignity) dan kedaulatan ekonomi kita sebagai bangsa maritim juga tergerus. Mestinya dikala negara kewalahan akibat ketergantungan pada impor daging sapi yang harga nya kelewat mahal, kita genjot produksi ikan serta produk perikanan lain, dan mengedukasi masyarakat agar beralih mengkonsumsi ikan dan seafood yang lebih bergizi dan sehat ketimbang daging sapi. Perumusan Untuk Sumber Daya Ikan yang Lebih Baik 1. Pengeluaran Izin penangkapan untuk ribuan kapal ikan milik rakyat Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai sekarang mesti segera mengeluarkan izin penangkapan untuk ribuan kapal ikan milik rakyat dan pengusaha nasional yang sudah berbulan-bulan menganggur tertambat di sejumlah Pelabuhan Perikanan. Demikian juga halnya untuk sekitar 500 kapal ikan berukuran besar (diatas 100GT) dan kapal modern “eks asing” yang memang sudah lama menjadi milik pengusaha nasional dan dinyatakan hanya ada kesalahan kecil oleh Satgas IUU Fishing. Ribuan kapal besar dan modern ini segera digunakan untuk menangkap ikan di wilayah wilayah perairan laut yang menurut kementerian kelautan perikanan stoknya melimpah (under fishing ) atau yang selama ini menjadi lokasi penjarahan ikan oleh kapal kapal asing. Contohnya di Laut Natuna, Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Banda, Laut Arafura, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di bagian Samudra Pasifik dan Samudera Hindia.
2. Pengawalan penangkapan ikan yang berkelanjutan Sudah tentu bahwa semua aktivitas penangkapan ikan oleh kapal kapal tersebut harus ramah lingkungan dan tingkat penangkapan ikan di wilayah wilayah perairan tidak melebihi MSY-nya. Kaidah ini sangat penting untuk memastikan usaha perikanan tangkap dan memasok kebutuhan ikan nasional dan menyejahterakan seluruh nelayan secara berkelanjutan. Secara pararel, kita meningkatkan produksi berbagai jenis ikan melalui intensifikasi ekstensifikasi dan diversifikasi usaha perikanan budidaya ramah lingkungan di perairan laut, payau, dan tawar. Jenis ikan budidaya laut yang relatif mudah dibudidayakan sangat dibutuhkan untuk pasar domestik maupun ekspor, dan keuntungannya lumayan besar, antara lain berbagai jenis kerapu, kakap, bawal bintang, bandeng, gobia, abalone, kerang hijau, gonggong, teripang, dan lobster. Untuk perairan payau, antara lain udang windu, udang vanamme, kerapu lumpur, bandeng, nila salin, dan berbagai jenis kepiting termasuk kepiting soka. Di perairan tawar, kita bisa budidayakan ikan nila, patin, lele, emas, gurami, belida, Baung, bawal air tawar, udang galah, lobster air tawar (Cerax spp). Sekedar ilustrasi betapa besarnya potensi ekonomi perikanan budidaya adalah usaha budidaya udang vanamme. Indonesia memiliki 3 juta hektar lahan pesisir yang cocok untuk budidaya tambak udang vanamme. Jika kita usahakan 500.000 hektar (17 persen total potensi) dengan rata-rata produktivitas selama ini sekitar 40 ton per hektar per tahun, maka bisa diproduksi 20 ton atau 20 miliar kilogram udang per tahun. Saat ini harga udang vaname di tambak rata-rata 4 Dollar AS/ kg, sehingga bisa dihasilkan nilai ekonomi 80 miliar dollar AS (Rp 1.000 Triliun pertahun atau sekitar 40% APBN 2016 rata-rata keuntungan bersih sekitar 10 juta per hektar per bulan). 3. Menyempurnakan elemen penunjang bisnis perikanan Selain itu, pemerintah harus menjamin ketersediaan sarana produksi perikanan (seperti alat tangkap, bahan bakar, perbekalan melaut, benih ikan, benur, dan pakan) dengan jumlah mencukupi dan harga relatif murah bagi semua nelayan dan pembudidaya ikan di seluruh wilayah NKRI.
Pasar untuk ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya harus dijamin dengan harga yang menguntungkan nelayan serta pembudidaya, dan sekaligus terjangkau oleh rakyat. Permodalan (kredit perbankan) dengan suku bunga relatif murah dan persyaratan relatif lunak (seperti di emerging economies lainnya) harus bisa diakses oleh seluruh nelayan dan pembudidaya ikan. Peningkatkan kapasitas dan etos kerja nelayan dan pembudidaya ikan melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (DIKLATLUH) secara sistematis dan berkesinambungan
juga
perlu
dilakukan
untuk
mengembangkan usaha dalam bisnis perikanan ini.
semakin
menstabilkan
dan