TESIS
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MEMPERTAHANKAN JENIS PIDANA MATI (STUDI KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA DISERTAI MUTILASI KORBAN)
A.A. SAGUNG MAS YUDIANTARI DARMADI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MEMPERTAHANKAN JENIS PIDANA MATI (STUDI KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA DISERTAI MUTILASI KORBAN)
A.A.SAGUNG MAS YUDIANTARI DARMADI NIM : 1290561032
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MEMPERTAHANKAN JENIS PIDANA MATI (STUDI KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA DISERTAI MUTILASI KORBAN)
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Sarjana Universitas Udayana
A.A.SAGUNG MAS YUDIANTARI DARMADI NIM : 1290561032
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 20 APRIL 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H
Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, S.H., M.H
NIP. 195707091986101001
NIP. 196206051988031020
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM.
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 196111011986012001
NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada 17 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK.Rektor Universitas Udayana Nomor.969/UN14.4/HK/2015 Tanggal 7 April 2015
Ketua
: Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H
Sekretaris
: Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, S.H., M.H
Anggota
: 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S 2. Dr. I Dewa Made Suartha, S.H., M.H 3. Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: A.A. SAGUNG MAS YUDIANTARI DARMADI
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM JUDUL TESIS
: KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MEMPERTAHANKAN JENIS PIDANA MATI (STUDI KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA DISERTAI MUTILASI KORBAN)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas R.I Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 14 April 2015 Yang Menyatakan
(A.A.Sagung Mas Yudiantari Darmadi) NIM. 1290561032
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis Panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas tuntunan dan rahmat-NYA lah, maka tesis yang berjudul “KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MEMPERTAHANKAN JENIS PIDANA MATI (STUDI KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA DISERTAI MUTILASI KORBAN)” ini dapat terselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Hukum pada Program Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam hal ini penulis menyadari bahwa tesis ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, serta arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan yang baik dan terhormat ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H.,M.H, selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, S.H.,M.H, selaku Pembimbing II yang senantiasa memberikan motivasi dan bimbingan dengan ketulusan hati serta kecermatan dan kesabaran dalam membimbing penyusunan tesis penulis, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Ucapan terimakasih juga ditunjukan kepada Rektor Universitas Udayana, Bapak Prof. Dr.dr.Ketut Suastika, Sp.PD-K.E.M.D, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditunjukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ibu Prof. Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H, yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM, atas segala arahan dan saran-saran selama mengikuti perkuliahan dan penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih ini juga ditunjukan kepada Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H.,M.Hum, atas segala arahan dan saran-saran selama mengikuti perkuliahan dan penyusunan tesis ini.Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S, selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan menuntun saya sepanjang di Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, para penguji tesis yaitu Bapak Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S, Bapak Dr. I Dewa Made Suartha, S.H.,M.H, dan Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H.,M.H, yang juga telah memberikan segala arahan, masukan, dan saran-saran demi kesempurnaan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu selama penulis mengikuti perkuliahan, yang telah begitu banyak memberikan vi
dorongan moril dan nasehat untuk dapat segera menyelesaikan penyusunan tesis ini. Kepada seluruh pegawai administrasi dan perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang selalu memberikan bantuan dan dorongan yang tidak ternilai sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta penulis, Tuajik A.A.Ngr.Yusa Darmadi, S.H.,M.H, dan Ibu A.A.Erry Suheri, S.H, yang telah memberikan dorongan moril dan materiil serta kasih sayang yang tiada henti kepada penulis sehingga menjadi semangat untuk menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Hukum dan juga kepada kakak A.A.Ngr.Oka Yudistira Darmadi, S.H.,M.H, yang selalu memberikan dorongan dan motivasi untuk selalu dapat menyelesaikan studi. Kepada rekan-rekan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas semangat, dukungan, kebersaman dan pengalaman yang telah diberikan selama ini. Kepada rekan-rekan di Dinas Perhubungan Kota Denpasar yang selalu memberikan semangat dan dorongan sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Semoga segala bantuan, dukungan, pengorbanan dan petunjuk yang telah diberikan kepada penulis, mendapatkan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Demikian juga penulis menyadari, tesis ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga penulisan ini bermanfaat di kemudian hari.
Denpasar, April 2015
Penulis
vii
ABSTRAK
Penelitian tentang kebijakan hukum pidana mempertahankan jenis pidana mati (studi kasus pembunuhan berencana disertai mutilasi korban), bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis eksistensi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terkait pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang memberatkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan secara normatif dengan mengkaji bahan hukum primer dan sekunder yang dikumpulkan berdasarkan metode pengumpulan bahan hukum normatif dan untuk teknik pengumpulan bahan hukummya digunakan metode kartu yaitu berupa kartu catatan yang digunakan untuk mencatat atau mengutip bahan hukum beserta sumber darimana hal tersebut diperoleh dan dengan menerapkan beberapa jenis pendekatan yaitu, pendekatan perundangundangan, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan, dan pendekatan analitis. Analisa penelitian ini disajikan dalam bentuk deskriptif-analitis dengan teknik evaluatif, sistematis, konstruktif dan argumentatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana masih tetap dipertahankan dan berlaku sampai saat ini di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 340 KUHP. Pidana mati diakui keberadaannya dalam tindak pidana pembunuhan berencana, namun pidana mati dialternatifkan dengan jenis pidana lain yaitu pidana penjara seumur hidup dan maksimal paling lama 20 tahun. Pidana mati hanya dijatuhkan dalam hal adanya halhal yang memberatkan. Dengan belum dimuatnya hal-hal yang memberatkan merupakan pidana dalam KUHP, maka hakim hanya mencantumkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan secara umum. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan bahwa ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP hal-hal yang memberatkan bersifat imperatif. Mengenai kebijakan hukum pidana terkait dengan pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana tercantum dalam Pasal 581 RUU KUHP. Dalam hal ini, RUU KUHP tidak mencantumkan mutilasi secara khusus sebagai alasan yang memberatkan pidana, akan tetapi apabila dilihat dari ketentuan Pasal 55 ayat (1), maka mutilasi dapat merupakan suatu motif dan tujuan melakukan tindak pidana (huruf b); cara melakukan tindak pidana (huruf e); serta sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana (huruf f).
Kata Kunci : Hukum Pidana, Kebijakan, Pidana Mati
viii
ABSTRACT
The research was policy of criminal law maintains kind of death penalty (the case study of plan murder while mutilates the victim), aims to describe and analyze the existence of the death penalty to the crime of plan murder. In addition, this study also aims to determine policies of criminal law related to death penalty for the crime of plan murder accompanied by mutilation as an aggravating. The method used in this research was conducted normatively by reviewing the primary and secondary which was collected based on collecting method of normative law and for the technique of collecting its legal entity were used documenter technique i.e the technique to analyze and collect on various documents that already exists by applying some kind of approach, namely, the approach of legislation, case approaches, comparative approaches and analytical approaches. The analysis of research was presented in form of descriptive-analytical, systematic, constructive and argumentative. The results showed that the existence of the death penalty against the crime of murder is still maintained and in force today in Indonesia, as contained in the provisions of Article 340 of the Criminal Code. Capital punishment are recognized in the criminal offense of premeditated murder, but the death penalty was alternatifed with other criminal types namely life imprisonment and a maximum of 20 years. Death penalty imposed in the case of things that are burdensome. By it did not published things that incriminate a crime in the Criminal Code, the judge only include things that are burdensome and ease generally. This certainly can not be released that the provisions of Article 197 paragraph (1) Criminal Code incriminating things was imperatively. Regarding the criminal law policy relating to the death penalty for the crime of murder was listed in Article 581 of the Criminal Code. In this case, the RUU KUHP did not include the Criminal Code specifically mutilation as a criminal aggravating reasons, however when seen from the provisions of Article 55 paragraph (1), the mutilation may be a motive and purpose of committing a crime (letter b); how committed the crime (letter e); as well as the attitudes and actions of after committing a crime (letter f).
Keywords : Criminal Law, Death Penalty, Policy
ix
RINGKASAN Tesis ini membahas mengenai kebijakan hukum pidana mempertahankan jenis pidana mati (studi kasus pembunuhan berencana disertai mutilasi korban). Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yakni bab pendahuluan, bab tinjauan umum, bab ketiga dan keempat adalah pembahasan, serta bab yang terakhir adalah penutup. Pada bab I, menguraikan latar belakang mengenai penyebab munculnya permasalahan dalam penelitian ini. Pada kasus pembunuhan berencana yang dilanjutkan dengan cara memutilasi korban, beberapa putusan hakim menjatuhkan putusan pidana mati. Dalam hal ini hakim masih mempertahankan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku pembunuhan berencana dikarenakan ketentuan dalam Pasal 340 KUHP masih mengatur hal tersebut. Jenis pidana terhadap tindak pidana pembunuhan berencana, perumusan ancaman pidananya dirumuskan secara alternatif. Penjatuhan berupa sanksi mati dapat saja dijatuhkan dalam hal adanya pemberatan pidana. Namun, dalam hukum pidana positif (yang berlaku saat ini) belum dilengkapi dengan pedoman pemidanaan mengenai hal-hal yang memberatkan maupun yang meringankan pidana. Padahal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak dicantumkannya hal-hal tersebut konsekuensinya adalah batalnya putusan hakim, sesuai dengan aturan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Meskipun mengancamkan batalnya putusan ataupun kelalaian mencantumkan alasan memberatkan dan meringankan terdakwa, akan tetapi apabila diperhatikan seringkali hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan dan meringankan dalam suatu putusan sangat umum sifatnya. Pembunuhan berencana yang disertai dengan mutilasi sebagai suatu hal yang memberatkan dapat dijatuhi putusan pidana mati, hal ini dikarenakan dalam pembunuhan bukan merupakan suatu delik yang dikualifikasi sebagai dasar pemberat. Hal inilah yang menandakan adanya kekosongan norma terhadap pedoman pemidanaan hakim yang memberikan dasar-dasar pertimbangan terhadap putusannya, baik itu dalam pemberatan maupun peringanan dalam putusan dan inipun menjadi suatu permasalahan hukum, karena tiadanya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Rumusan permasalahan yang akan dibahas tentang eksistensi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana serta kebijakan hukum pidana terkait pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang memberatkan. Selanjutnya, terdapat ruang lingkup masalah dalam penelitian ini hanya dibatasi pada keberadaan pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana, sehingga hal ini khusus terkait dengan pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati terhadap kasus pembunuhan berencana dengan cara mutilasi, selanjutnya pada permasalahan kedua akan dibatasi mengenai kebijakan hukum pidana terkait pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang memberatkan. Terhadap tujuan penelitian dapat dibagai menjadi 2 (dua) jenis yakni, tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yakni upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan x
paradigma yang dalam hal ini sebagai upaya pengembangan asas, konsep, dan teori hukum pidana, khususnya masalah pidana dan pemidanaan. Tujuan khusus adalah untuk mendeskripsi dan menganalisis terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya mengenai manfaat penelitian dapat pula dibagi menjadi dua jenis yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis ini diharapkan dapat memberi masukan terhadap perkembangan Ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan tentang permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, dilanjutkan dengan manfaat praktis yaitu diharapkan agar dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat, aparatur penegak hukum, khususnya mahasiswa mengenai kendala yang dihadapi tentang permasalahan dalam penelitian ini. Orisnalitas penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah oleh Eliza Oktaliana Sari dengan judul tesis “Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara Nomor 176 K/Pid/1998)”, selanjutnya yang kedua oleh Suprapto dengan judul disertasi “Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. Landasan teoritis yang dipergunakan adalah konsep negara hukum, teori kebijakan hukum pidana, teori tujuan pemidanaan, dan konsep pembaharuan hukum pidana. Metode penelitian dalam penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan, dan pendekatan analitis. Dimana sumber bahan hukumnya diambil dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana sebagai bahan hukum primer, dan literatur-literatur yang terkait dengan materi pembahasan sebagai bahan hukum sekunder. Bahan hukum berupa bahan hukum primer, dikumpulkan dengan teknik dokumenter yang berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan sedangkan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan sistem kartu. Setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis, hasil dari analisis kemudian disajikan secara deskriptif, evaluatif, sistematif, konstruktif, dan argumentatif. Bab II, membahas pengertian dari variabel judul yang terdiri dari tinjauan umum mengenai kebijakan hukum pidana, pidana mati, tindak pidana pembunuhan berencana dan mutilasi. Kebijakan hukum pidana atau dapat dikatakan politik hukum pidana adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-perundang-undangan pidana agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang (ius constitutum) maupun peraturan perundang-undangan yang dicita-citakan di masa yang akan datang (ius constituendum). Pidana mati merupakan penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana serta diatur dalam undang-undang yang diancam dengan pidana mati. Tindak pidana pembunuhan berencana adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 340 KUHP, serta mutilasi adalah pemotongan atau pemisahan anggota badan yang bertujuan untuk menghilangkan jejak korban setelah pembunuhan dilakukan yang secara rasional, hal ini dilakukan untuk menghilangkan tubuh korban sebagai barang bukti (mutilasi defensif).
xi
Pada bab III merupakan uraian eksistensi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana. Uraian yang dipaparkan dalam bab ini merupakan analisis terhadap permasalahan pertama dalam rumusan masalah yang terdapat pada bagian pendahuluan ini. Pengaturan pidana mati dalam hukum pidana positif Indonesia bermula pada jaman pemerintahan kolonial Belanda. Pidana mati tersebut dijatuhan terhadap jenis-jenis pelanggaran berat. Pidana mati sebagai salah satu pidana pokok di Indonesia merupakan suatu pidana yang paling kontroversial diantara pidana lainnya. Pidana mati mengalami suatu kontroversi terhadap hak hidup dalam konstitusi negara Indonesia maupun aspek pengaturan hukum internasional. Namun secara khusus, ICCPR sama sekali tidak melakukan suatu pelarangan tentang penjatuhan pidana mati akan tetapi untuk menerapkan hal tersebut terdapat batasanbatasan sesuai dengan aturan norma yang berlaku. Berbicara mengenai hukum khususnya mengenai hukum pidana sendiri, tentunya tidak terlepas dari berbagai macam jenis-jenis kejahatan maupun pelanggaran-pelanggaran. Contoh kasus kejahatan yakni pembunuhan yang belakangan terjadi di Indonesia adalah dengan cara sadis salah satunya dilakukan dengan cara memutilasi bagian tubuh korban. Berdasarkan kasus- kasus yang telah dianalisis nampak terlihat mutilasi dilakukan oleh pelaku untuk menghilangkan jejak. Korban yang dimutilasi oleh pelaku dibagi menjadi beberapa bagian memudahkan untuk membuang ataupun menyembunyikan mayat tersebut. Akan tetapi mutilasi juga bisa merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan pelaku terhadap korbannya. Pasal 340 KUHP tidak menyebutkan secara spesifik tentang pada saat kapan hakim berhak menjatuhkan pidana maksimal dan seterusnya. Sehingga, pada akhirnya, hakimlah yang harus dapat memberikan penjelasan dari perbuatan yang telah dilakukan terdakwa yang dikaitkan dengan keterangan saksi-saksi dan barang bukti. Hakim secara jelas harus dapat menjelaskan unsur yang termasuk pada Pasal 340 KUHP terlebih lagi dilanjutkan dengan cara memutilasi korban, sehingga sanksi yang dijatuhkan juga tepat sebagaimana perbuatan yang telah dilakukan. Jadi, beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Penjatuhan pidana tesebut harus diukur berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat oleh pelaku tindak pidana. Sehingga pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku pembunuhan berencana disertai mutilasi dirasa cukup adil dan berdasar pada pertimbangan-pertimbangan lainnya. Memang pada kasus pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu baik pemutilasian terhadap korban dilakukan sebelum maupun sesudah terjadinya pembunuhan, tidak semua kasus dijatuhkan putusan pidana mati, berbagai macam vonis hakim yang dapat dijatuhkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 340 KUHP seperti pidana mati atau pidana seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun. Kata “atau” dalam ketentuan pasal tersebut mencerminkan secara alternatif ketiga pidana tersebut salah satunya dapat dijatuhkan baik itu pidana mati, pidana penjara seumur hidup ataupun maksimal 20 tahun. Putusan pengadilan akan memuat berbagai pertimbangan-pertimbangan hakim untuk menjatuhkan vonis tersebut. Hal yang memberatkan pada kasus di atas, adalah pada sisi kesadisan pelaku dengan memotong-motong anggota tubuh korban, sedangkan xii
terhadap hal yang meringankan tidak ada dicantumkan. Sebagaimana diketahui belum ada pengaturan yang khusus yang mengatur mengenai pedoman pemidanaan bagi hakim dalam mencantumkan hal-hal yang memberatkan tersebut dalam KUHP. Hal inilah yang perlu nantinya dicarikan jalan keluar, agar dibuatkan aturan yang khusus oleh badan legislatif terkait dengan pedoman pemidanaan hakim. Sehingga memudahkan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dan tidak akan lagi menimbulkan pro dan kontra bagi masyarakat terhadap putusan hakim yang nantinya bisa mencerminkan rasa kepastian hukum. Dalam artian asas legalitas dapat diterapkan, sebagaimana kita merupakan negara hukum sudah sepatutnya ada aturan yang jelas dan tegas untuk mengatur hal tersebut. Bab IV menguraikan mengenai kebijakan hukum pidana mempertahankan jenis pidana mati sebagai hal yang memberatkan dalam perspektif ius constituendum. Uraian yang dipaparkan dalam bab ini merupakan analisis terhadap permasalahan kedua dalam rumusan masalah yang terdapat pada bagian pendahuluan ini. Ketentuan terhadap pidana mati dalam RUU KUHP mempunyai maksud tidak mempergunakan pidana mati sebagai hukuman mati, melainkan menaruh pidana ini kedalam pidana secara mengkhusus bersifat alternatif. Hal ini berangkat dari ide keseimbangan atas perlindungan masyarakat, maka pidana mati tetap dipergunakan. Terlebih lagi hal pembunuhan berencana dalam RUU KUHP masih tetap mempertahankan legalitas pidana mati, tertuang dalam Bab XXII Bagian kesatu Pasal 581 RUU KUHP. Kebijakan dalam pembaharuan hukum pidana dalam hal ini pidana mati melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia Pembaharuan hukum pidana dengan upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial, temasuk masalah kemanusiaan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, upaya untuk memperbaharui substansi hukum untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum. Sehingga hukum pidana yang berlaku nantinya adalah hukum pidana yang sesuai dengan nilai yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Dalam RUU KUHP 2013 mengenai pidana mati telah mengalami perubahan yang dikenal tentang adanya masa percobaan terhadap pidana mati itu selama sepuluh tahun dan apabila si terpidana menunjukan perubahan tingkah lakunya, maka pidana mati tersebut dapat berubah menjadi pidana dalam waktu tertentu. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku pembunuhan disertai mutilasi wajib memberikan perhatian pada tujuan pemidananaan sebagai suatu bentuk untuk melindungi kepentingan pribadi maupun umum yang didasarkan oleh dasar negara kita. Khususnya penjatuhan pidana mati terhadap kasus pembunuhan berencana disertai dengan mutilasi sebagai dasar pemberatan haruslah diberikan pedoman pemidanaan bagi hakim, karena dalam KUHP sekarang sama sekali belum diatur hal tersebut. Sehingga, secara khusus sangat perlu dilakukan kebijakan formulasi pedoman pelaksanaan pidana sebagai hal yang memberatkan dalam putusan pertimbangan hakim perihal penjatuhan sanksi pidana mati terhadap motif mutilasi tindak pidana pembunuhan berencana untuk menghilangkan jejak xiii
korban dalam RUU KUHP Nasional Indonesia terkait dengan pidana mati sendiri. Adapun dalam hal pedoman pemidanaan, juga telah tercantum dalam Pasal 55 KUHP. Pedoman pemidanaan dalam RUU KUHP sudah diaplikasikan, dan untuk selanjutnya agar tidak terjadi kekosongan norma, dikarenakan dalam peraturan hukum pidana nasional kita tidak mencantumkan hal ini, maka untuk segera peraturan yang dicita-citakan ini dijadikan kodifikasi hukum Indonesia agar sesuai dengan keinginan budaya bangsa Indonesia. Dalam bab V merupakan bab penutup yang menguraikan simpulan dari hasil pembahasan sesuai dengan rumusan masalahnya yaitu keberadaan pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana masih tetap dipertahankan dan berlaku sampai saat ini di Indonesia, sebagaimana hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 340 KUHP. Pidana mati diakui keberadaannya dalam tindak pidana pembunuhan berencana, namun pidana mati dialternatifkan dengan jenis pidana lain yaitu pidana penjara seumur hidup dan maksimal paling lama 20 tahun. Pidana mati hanya dijatuhkan dalam hal adanya hal-hal yang memberatkan. Dengan belum dimuatnya hal-hal yang memberatkan merupakan pidana dalam KUHP, maka hakim hanya mencantumkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan secara umum. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan bahwa ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP hal-hal yang memberatkan bersifat imperatif. Mengenai kebijakan hukum pidana terkait dengan pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana tercantum dalam Pasal 581 RUU KUHP. Dalam hal ini, RUU KUHP tidak mencantumkan mutilasi secara khusus sebagai alasan yang memberatkan pidana, akan tetapi apabila dilihat dari ketentuan Pasal 55 ayat (1), maka mutilasi dapat merupakan suatu motif dan tujuan melakukan tindak pidana (huruf b); cara melakukan tindak pidana (huruf e); serta sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana (huruf f).
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………..
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER…………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS……………………………................
iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS………………....
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………..
v
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………
vi
HALAMAN ABSTRAK…………………………………………………….
viii
HALAMAN ABSTRACT……………………………………………………
xi
RINGKASAN………………………………………………………………...
x
DAFTAR ISI………………………………………………………………….
xv
PENDAHULUAN ……………………………………………..
1
1.1
Latar Belakang Masalah………………………………...
1
1.2
Rumusan Masalah………………………………............
21
1.3
Ruang Lingkup Masalah……………………………......
21
1.4
Tujuan Penelitian ……………………………………….
22
1.4.1
Tujuan Umum………………...………………….
22
1.4.2
Tujuan Khusus…………………...………………
22
Manfaat Penelitian ……………………………………….
23
1.5.1
Manfaat Teoritis………………...………………..
23
1.5.2
Manfaat Praktis…………………..……………...
23
1.6
Orisinalitas Penelitian.…………………………………..
24
1.7
Landasan Teoriritis.……………………………………..
26
1.8
Metode Penelitian ……………………………………….
49
1.8.1
Jenis Penelitian……………………………...……
49
1.8.2
Jenis Pendekatan………………………….……...
50
BAB I
1.5
xv
BAB II
1.8.3
Sumber Bahan Hukum…………………………..
51
1.8.4
Teknis Pengumpulan Bahan Hukum…………...
54
1.8.5
Teknis Analisis…………………………...………
54
TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN HUKUM PIDANA,
BAB III
BAB IV
PIDANA
MATI,
TINDAK
PIDANA
PEMBUNUHAN BERENCANA DAN MUTILASI …………..
56
2.1
Kebijakan Hukum Pidana …………………………...…...
56
2.2
Pidana Mati …………………………...…………………...
61
2.3
Tindak Pidana Pembunuhan Berencana ………………...
65
2.4
Mutilasi…………………..…………………..……………..
76
PIDANA
MATI
TERHADAP
TINDAK
PIDANA
PEMBUNUHAN BERENCANA DISERTAI MUTILASI .......
80
3.1
Pengaturan Pidana Mati di Dalam dan Luar KUHP .......
80
3.2
Pro dan Kontra Terhadap Pidana Mati...........................
85
3.3
Kasus dan Analisa ............................................................
92
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENETAPKAN PIDANA MATI SEBAGAI SALAH SATU JENIS PIDANA DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM ..................................
113
4.1
Pembaharuan Hukum Pidana ............................................
113
4.2
Pengaturan Pidana Mati Dalam RUU KUHP....................
124
4.3
Komparasi Penjatuhan Pidana Mati di Beberapa Negara Asing.........................................................................
4.4
131
Justifikasi Mempertahankan Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana
Pembunuhan
Berencana
Disertai
Mutilasi..............................................................................
xvi
136
BAB V
PENUTUP .................................................................................
144
5.1
Simpulan.............................................................................
144
5.2
Saran...................................................................................
145
DAFTAR PUSTAKA
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih mengakui dan
mempertahankan legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menjerat pelaku tindak kejahatan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab II mengenai Pidana, Pasal 10 yang menyatakan berbagai macam bentuk pidana yakni, pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati menempati urutan pertama yang termasuk kedalam jenis pidana pokok. Berbagai macam tindak pidana di dalam ketentuan KUHP yang mengatur tentang pidana mati, seperti halnya terhadap kasus kejahatan terhadap keamanan negara, sesuai dengan kentuan Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP dan sebagainya; pencurian dengan kekerasan disertai dengan pemberatan dalam Pasal 365 ayat (4); pembunuhan berencana sesuai dengan Pasal 340 KUHP; pembajakan laut, pantai, dan sungai tercantum dalam Pasal 444 KUHP serta sebagainya. Tidak hanya di dalam KUHP saja, keberadaan pidana mati juga dapat ditemui dalam rumusan perundang-undangan di luar KUHP, seperti UndangUndang (UU) Narkotika yang tercantum dalam Pasal 113 ayat (2), 114 ayat (2), 116 ayat (2), 118 ayat (2), 119 ayat (2), 121 ayat (2), dan 133 ayat (1);
UU
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tercantum dalam ketentuan Pasal 14;
1
2
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2), dan sebagainya. Sehingga dengan menempatkan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang tertuang di dalam KUHP dan beberapa peraturan perundang-undangan di luar KUHP, maka tidak menutup kemungkinan hakim yang ditunjuk menangani suatu perkara pidana yang diancam dengan pidana mati, dapat menjatuhkan vonis pidana mati pada pelaku kejahatan tertentu yang tergolong berat. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman serta semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat disuatu Negara tidak heran jika hukum yang ada dalam suatu Negara mengalami suatu perubahan yang selalu berusaha mewujudkan suatu tujuan hukum yang dicita-citakan. Berkenaan dengan jenis hukum yang berlaku disuatu Negara, terutama mengenai masalah pidana mati tentu di setiap Negara itu mempunyai pandangan yang berbedabeda tentang pemberlakuan hukum pidana mati ini. Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidana, tidak terlepas dari persoalan pidana mati. Pihak pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Adanya pro dan kontra terhadap pidana mati dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan, misalnya pihak yang pro terhadap
3
pidana mati beralasan bahwa pidana mati tetap diperlukan untuk pencegahan dan perlindungan masyarakat dari tindakan kejahatan, termasuk pula sebagai suatu upaya untuk memberikan efek jera kepada penjahat. Pihak ini didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan penjatuhan pidana mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Walaupun sebenarnya putusan tersebut terbatas dalam judicial review tindak pidana narkotika. Namun putusan tersebut dipandang mewakili aspirasi masyarakat luas bahwa penggunaan pidana mati merupakan sanksi yang dapat dijatuhkan pada mereka yang melanggar hukum pidana. Selanjutnya, bagi pihak yang kontra menyatakan bahwa pidana mati menunjukkan adanya ketidakadilan terhadap kehidupan manusia, oleh karena manusia mempunyai hak hidup yang harus dilindungi sehingga hanya Tuhan yang bisa mencabutnya. Salah satu ahli hukum pidana J.E Sahetapy dianggap juga sebagai penentang adanya pidana mati. Dalam disertasi Sahetapy yang berjudul “Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana”, menyatakan: 1. Dalam ranah kriminologi manfaat pidana mati sangat diragukan; 2. Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP dewasa ini dalam praktek merupakan suatu ketentuan abolisi de facto; 3. Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya selama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi, kebebasan hakim dan shame culture.1
Eksistensi pidana mati di Negara Indonesia nampaknya akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru),
1
J.E.Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni, Bandung, h. 13
4
pidana mati masih merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan. Pengaturan pidana mati dalam Rancangan KUHP tahun 2013 diatur dalam Pasal 66, Pasal 87 sampai dengan Pasal 90. Berbicara tentang Rancangan KUHP baru, dalam Rancangan KUHP nasional tahun 2013, bahwa pidana mati tidaklah diatur sebagai pidana pokok akan tetapi sebagai pidana alternatif. Hal ini nampak dari redaksi Pasal 66 Rancangan KUHP yang menyatakan “Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”. Dikeluarkannya pidana mati dari posisi pidana pokok didasarkan pada pertimbangan bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir dan sebagai pengecualian untuk mengayomi masyarakat. Pertimbangan demikian didukung pula oleh beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan, yang kesimpulannya bahwa perlunya pidana mati dipertahankan sebagai sarana untuk menanggulangi
dan
melindungi
masyarakat
dari
penjahat
yang
sangat
membahayakan. Penjatuhan pidana mati oleh hakim pasti akan selalu dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki oleh terpidana mati. Secara konseptual HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir maupun masih dalam kandungan, yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Sudah sepatutnya serta sepantasnya HAM dihormati dan dilindungi oleh individu lainnya maupun Negara hukum.
5
Hak hidup dalam hukum nasional Indonesia juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi dan tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, selanjutnya diatur pula dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pada hakikatnya hak ini mutlak dimiliki oleh manusia secara bebas, tidak ada suatu jaminan manapun yang dapat membatasi hak tersebut. Ketika suatu hak yang digunakan manusia secara bebas ini melampui batas dan telah melanggar normanorma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, maka diperlukan suatu aturan atau ketentuan-ketentuan untuk membatasinya. Apabila pidana mati dilihat dari prespektif UUD NRI Tahun 1945 yang notabene adalah sumber hukum tertinggi di Indonesia, maka hukuman mati dapat dikatakan melanggar dan menghambat penegakan HAM di Indonesia terlebih lagi apabila juga mengkaitkan dengan UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, maka pemberlakuan pidana mati ini sudah tidak sesuai lagi dengan adanya UU tersebut. Pasal 28A UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Akan tetapi, bukan berarti setiap orang dapat menggunakan hak-hak yang dimilikinya secara bebas, karena HAM seseorang juga diberikan batasan-batasannya berdasarkan Pasal 28J UUD 1945, yaitu : 1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6
2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang …”
Dari 2 (dua) rumusan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap orang memiliki hak hidup dan kehidupannya namun hak tersebut tidaklah absolut adanya, hak tersebut dapat dibatasi dengan penerapan pidana mati sepanjang dijalankan sesuai norma atau aturan yang berlaku.2 Banyak negara-negara di dunia ini belum menghapuskan hukuman mati sebagai sanksi atas pelanggaran berat hukum pidana dalam aturan hukum pidana, antara lain Arab Saudi, Amerika Serikat, Jepang, Thailand, Cina, Yugoslavia, Malaysia,
dan
salah
satunya
Indonesia.
Negara-negara
tersebut
tetap
mempertahankan pidana mati sebagai sanksi dari pelanggaran terhadap perbuatan yang dianggap sebagai extra ordinary crime dengan alasan yang jelas, salah satu alasannnya, ialah dikarenakan ancaman pidana mati diharapkan dapat memberikan efek jera dan pembelajaran bagi setiap orang akan arti penting menjaga, menghargai serta menghormati hak-hak antar sesama dan tidak melanggarnya. Selanjutnya pembahasan pidana mati dalam konteks HAM, tidak akan terlepas dari ketentuan-ketentuan hukum HAM internasional seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) dan Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau
2
Arif Firmansyah, 2007, Penerapan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Perlindungan Hak Azasi Manusia, Jurnal Hukum: Vol IX. No.3, http://hukum.unisba.ac.id/syiarhukum/index.php/jurnal/item/87-penerapan-pidana-mati-dalam-hukumpidana-nasional-dan-perlindungan-hak-azasi-manusia,diakses 15 Nopember 2014.
7
International Convention On Civil And Political Rights (ICCPR). Universal Declaration of Human Rights adalah dokumen dasar dari HAM yang diadopsi pada tanggal 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mana DUHAM ini merupakan referensi umum seluruh dunia dan menentukan standar bersama untuk pencapaian HAM. Sedangkan, ICCPR 1966, merupakan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik adalah suatu naskah hukum yang pertama dan mengikat secara internasional yang mana mewajibkan Negara untuk melindungi warga negaranya.3 Pemerintah
Republik
Indonesia
sendiri
telah
meratifikasi
Konvensi
Internasional Hak Sipil dan Politik ini berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik atau International Convention On Civil And Political Rights berkewajiban untuk berupaya melindungi,
menghormati,
mempertahankan,
dan
tidak
boleh
mengurangi,
mengabaikan ataupun merampas hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang secara krodati melekat pada diri manusia yang bersifat universal. Dalam kenyataannya, Indonesia sendiri masih menerapkan hukuman mati dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hukuman mati di Indonesia masih bisa diterapkan, hal ini terjadi karena kewajiban secara universal seperti yang disampaikan sebelumnya baik itu menghormati, melindungi dan sebagainya itu telah disepakati dengan adanya
3
Siswanto Sunarso, 2009, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Rineka Cipta, Jakarta, h.35.
8
beberapa pengecualian (exceptional) yang disebut dengan prinsip sirakusa (syracruse principle). Hal seperti ini diungkapkan oleh Hamid Awaluddin, pengecualian terhadap Konvenan Hak Sipil dan Hak Politik dapat dilakukan oleh Negara yang meratifikasinya bisa tidak diberlakukan, dengan alasan Limitation (pembatasan), dengan ketentuan : Priscribe by Law, dalam artian ketika Negara ingin membatasi kebebasan individu maka harus diatur oleh hukum nasional. Selanjutnya in democratic society, artinya bahwa pembatasan hanya dapat dilaksanakan jika bentuk pemerintahan bersifat demokratis yang tidak sewenang-wenang menggunakan pembatasan.4 Dalam Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan mengenai hak hidup sebagai berikut: "Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini harus dilindungi oleh hukum.Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Dalam artian Pasal 6 ayat (1) ini menekankan dan mengakui adanya sifat hak hidup sebagai karunia Tuhan yang bersifat kodrati. Jika melihat isi protokol Pasal 6 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik ini menunjukkan bahwa larangan hukuman mati tersebut tidak sepenuhnya dilarang dalam artian masih mengakui adanya hukuman mati atau diberikan pembatasan-pembatasan dalam melakukan hukuman mati, dan jika hukuman mati masih diatur dalam hukum nasional haruslah berdasarkan pada legal justice, moral justice,dan social justice.
4
Ibid
9
Pidana mati jika dikaitkan dengan HAM memang menjadi suatu masalah yang besar bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi para aparat penegak hukum. Oleh karena di satu pihak mereka harus menegakkan keadilan dan dilain pihak dianggap menghambat proses penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Belum adanya rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana positif di Indonesia menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang tidak konsisten dan tumpang tindih. 5 Sebagaimana yang dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief dan Muladi terkait hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan merupakan titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal.6 Oleh karena dalam hal penentuan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana, atau tindakan yang akan digunakan. Jika dilihat dari sudut politik kriminil, maka tidak terkendalinya peningkatan terhadap perkembangan kriminalitas dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan. 7 Beberapa contoh kasus yang terjadi di Indonesia dimana hakim menjatuhkan putusan pidana mati, misalnya pidana mati untuk Sugeng dan Mariasih. Kasus yang melibatkan kedua orang ini dinyatakan terbuki dan sah melakukan perbuatan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Letkol Mar Purwanto dan keluarga pada
5
Zainal Abidin, 2005, Positioin Paper Advokasi RUU KUHP Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta h. 131. 6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief I), h. 95 7
Ibid, h. 89
10
tahun 1998, kedua pelaku tersebut sudah menjalani eksekusi mati pada tahun 2008 silam. Selanjutnya, Ahmad Suradji alias Dukun AS melakukan tindak pidana pembunuhan berencana kepada 42 (empat puluh dua) orang wanita dari tahun 1986 sampai tahun 1997, pelaku telah menjalani eksekusi mati pada tahun 2008. Tidak hanya pelaku tindak pidana pembunuhan berencana saja yang pernah dijatuhi pidana mati di Indonesia, pelaku terorisme yakni Amrozi, Imam Samudera dan Muklas pada tahun 2008 telah pula dieksekusi mati. Ketiga orang ini merupakan teroris yang melakukan pengoboman di Kuta, Bali pada tahun 2002. Selain itu pula pada tahun yang sama, yakni tahun 2008 eksekusi mati dilakukan terhadap Samuel Iwuchukuwu Okoye dan Hansen Anthony Nwalioasa asal Nigeria, mereka merupakan pelaku tindak pidana narkoba yang terjadi di daerah Banten. Pada tahun 2015 sekarang pun eksekusi pidana mati bagi tindak pidana narkoba tetap dilakukan, yakni terhadap Rani Andriani, Namaona Denis asal Malawi, Ang Kim Soe asal Belanda, Marco Archer Cardoso Moreira asal Brazil, M. Adami Wilson alias Abu asal Malawi dan Tran Thi Bich Hanh asal Vietnam. Serta banyak lagi kasus lainnya. Selain kasus-kasus tersebut di atas, ada kasus yang paling hangat pada tahun 2008 serta akan menjadi kajian dalam penulisan ini adalah kasus pembunuhan berencana disertai dengan mutilasi yang dilakukan oleh Very Idham Heryansyah, atau dikenal dengan panggilan Ryan. Kasus ini sangat menarik untuk dikaji, selain merupakan kasus pembunuhan berencana disertai dengan mutilasi yang hangat terjadi pada tahun 2008, kasus ini pun belum sampai pada tahap eksekusi. Walaupun sudah
11
ada putusan yang berkekuatan tetap yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1036/Pid/B/2008/PN.DPK. Kasus Very Idham Heryansyah bermula dari ditemukannya 7 (tujuh) potongan tubuh manusia di dalam 2 (dua) buah tas dan sebuah kantong plastik terletak di 2 (dua) tempat di dekat Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan pada hari Sabtu pagi tanggal 12 Juli 2008. Korban tersebut adalah Heri Santoso, seorang manager penjualan sebuah perusahaan swasta di Jakarta, dimana Heri dibunuh dan dimutilasi tubuhnya oleh Ryan di sebuah apartemen di Jalan Margonda Raya, Depok dan seiring dengan penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik ternyata diketemukan beberapa tubuh manusia yang sudah meninggal dikubur di halaman rumahnya, sebagaimana diketahui pula pelaku melakukan pembunuhan secara berantai kepada 11 (sebelas) orang lainnya. 8 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok dalam amar putusannya yakni Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor: 1036/Pid/B/2008/PN.Dpk menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, tentunya dalam hal ini Hakim Pengadilan Negeri Depok mempunyai pertimbangan dalam memutus tindak pidana pembunuhan berencana tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 340 KUHP dan memberikan pemidanaan atau hukuman terhadap pelaku. Oleh karena dasar pertimbangan Hakim tersebut merupakan landasan atau kunci pokok yang akan
8
Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, 2013, 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia, Niaga Swadaya, Jakarta, h. 274.
12
menghasilkan putusan terhadap semua jenis pemidanaan, termasuk dalam hal ini adalah pidana mati. Eksistensi pertimbangan hukum sangat penting dan menentukan bagi putusan pengadilan. Terlebih lagi menjatuhkan vonis hukuman mati oleh Majelis Hakim pada terdakwa merupakan salah satu vonis hukuman yang paling berat karena putusan tersebut akan memberikan berbagai macam pandangan pro kontra di masyarakat dengan berbagai macam argumentasinya. Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) seperti yang dilakukan Ryan tersebut adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain 9. Salah satu kejahatan terhadap nyawa seseorang adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain yang menurut KUHP yang berlaku disebut sebagai pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seseorang harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.10 Pembunuhan yang terjadi di Indonesia saat ini semakin hari semakin mengalami perkembangan yang sangat signifikan dengan diiringi model dan gaya pembunuhan yang beraneka ragam, dari cara yang paling sederhana sampai dengan cara yang terbilang sangat sadis dan kejam. Pembunuhan dengan cara mutilasi, seperti yang dilakukan oleh terpidana Very Idham Heryansyah menjadi suatu trend 9
Adam Chazawi, 2007, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Adam Chazawi I), h. 55. 10
Lamintang, P.A.F, dan Lamintang, Theo, 2013, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h.1.
13
atau gaya terbaru dalam hal melakukan suatu kejahatan pembunuhan di Indonesia. Tidak hanya Very Idham Heryansyah, banyak pula kasus-kasus pembunuhan berencana disertai dengan mutilasi lainnya yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan, seperti pada April 1998 Pengadilan Negeri Sekayu menjatuhi hukuman mati terhadap Jurit bin Abdullah, karena dari fakta-fakta yang terjadi di persidangan Jurit terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap korban Soleh bin Zaidan di Banyuasin Sumatera Selatan pada Mei 1997 silam, selain itu pula Jurit juga didakwa melakukan pembunuhan lainnya dengan korban Arpan bin Cik Din di Banyuasin pada Agustus 1997. Kedua pembunuhan itu dilakukan dengan cara yang sangat sadis yakni memotong leher dan anggota badan korban, oleh karena itu Jurit dijatuhi vonis hukuman mati dan telah dilakukan eksekusi mati pada tahun 2013. Selain itu pula, terdapat kasus yang dilakukan oleh Astini alias Bu Lastri pelaku pembunuhan terhadap 3 orang wanita di daerah Surabaya, ia dinyatakan bersalah karena melakukan pembunuhan disertai dengan mutilasi yang mana mayat korban dimasukkan ke dalam kantong plastik yang dibuang di beberapa tempat sampah dan sungai di Surabaya. Pada 17 Oktober 1996, Astini divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya, beberapa upaya seperti banding, kasasi, PK (peninjauan kembali), dan grasi dilakukan agar ia tidak divonis hukuman mati, ternyata semua upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil dan pada tahun 2005 eksekusi mati terhadap Astini dilakukan.
14
Pembunuhan berencana disertai dengan mutilasi merupakan suatu motif pembunuhan yang dilakukan secara sadis dan kejam dan memang motif yang terjadi di
lapangan
ini
menyatakan
bahwa
perbuatan
tersebut
dilakukan
untuk
menghilangkan jejak perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku maupun bisa saja pelaku sendiri mengalami kelainan psikologis yang menyebabkan pelaku melakukan tindakan mutilasi terhadap korbannya. Sungguh sangat ironis memang jika ternyata motif-motif
dari
pembunuhan
disertai
mutilasi
tersebut
terkadang
hanya
dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan yang bisa dianggap hal sepele, seperti saling mengejek, rasa dendam, sakit hati terhadap korban, dan persoalan-persoalan lain sebagainya yang sesungguhnya dapat diatasi dengan gaya berpikir dewasa dan jernih. Tindak pidana pembunuhan sudah sangat lama dikenal dalam hukum nasional Indonesia melalui KUHP, yaitu pada Bab XIX Buku II Pasal 338 sampai dengan 350 KUHP yang menggolongkan beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadapa nyawa. Adapun jenis-jenis pembunuhan yang diatur dalam bab ini, meliputi : 1. Pembunuhan dengan sengaja (Pasal 338 KUHP) ; 2. Pembunuhan yang dapat memperberat hukuman (Pasal 339 KUHP); 3. Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP); 4. Pembunuhan terhadap bayi yang dilakukan oleh ibunya (Pasal 341 KUHP); 5. Pembunuhan terhadap bayi yang direncakan terlebih dahulu (Pasal 342 KUHP);
15
6. Pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan dari korban (Pasal 344 KUHP); 7. Tindakan yang dilakukan secara sengaja menganjurkan atau membantu atau memberi dengan upaya kepada orang lain untuk melakukan bunuh diri (Pasal 345 KUHP); 8. Menggugurkan kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346 KUHP); 9. Menggugurkan kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347 KUHP); 10. Matinya kandungan dengan izin wanita yang mengandungnya (Pasal 348 KUHP); 11. Dokter atau bidan yang membantu menggugurkan atau matinya kandungan (Pasal 349 KUHP). Jika dilihat dari Pasal-Pasal tersebut diatas, Negara Indonesia sendiri belum mempunyai peraturan yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana kejahatan dengan cara memutilasi seseorang. Akan tetapi hal ini bukan merupakan suatu yang menandakan terjadinya kekosongan norma dalam hukum pidana nasional Indonesia. Oleh karena, kebanyakan pembunuhan yang disertai mutilasi ini merupakan suatu motif pembunuhan yang pada awalnya tidak direncanakan. Walaupun sebenarnya pelaku hanya berencana untuk membunuh saja, tetapi secara tidak langsung si pelaku kebingungan untuk menghilangkan jejak daripada si korban maka dilakukanlah mutilasi itu sendiri. Hal inilah yang menjadi dasar pemberat ancaman hukum pidana bagi pelaku kejahatan pembunuhan disertai mutilasi yang dapat dijatuhi ancaman maksimal
16
pidana mati. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan oleh Hakim terhadap terdakwa sangat erat sekali kaitannya dengan dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Bahkan bisa dikatakan bahwa dasar pertimbangan Hakim adalah landasan atau kunci pokok yang akan menghasilkan putusan terhadap semua jenis pemidanaan termasuk pula di dalamnya putusan pidana mati. Terlihat dalam dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan pidana mati tersebut nampak adanya suatu perbuatan yang sangat sadis, sistem alternatif pemidanaan, dan juga melihat daripada korban itu sendiri (protection victim). Walaupun memang secara tertulis dalam hukum pidana kita tidak pernah dijumpai aturan yang menggariskan suatu pedoman yang dipakai landasan oleh Hakim sebagai dasar pertimbangan dalam penjatuhan pidana tersebut. Hal ini cenderung membawa konsekuensi karena tidak ada landasan berpijak bagi Hakim sebagai pedoman di dalam memberikan dasar pertimbangan. Hal inilah yang menandakan adanya kekosongan norma terkait dengan belum adanya pedoman yang dipakai landasan oleh Hakim sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan pidana, terlebih lagi pidana mati terhadap hal yang memberatkan dalam aturan hukum pidana positif Indonesia sekarang. Pentingnya formulasi pedoman penjatuhan sanksi pidana berupa pedoman pemidanaan (sentencing guidelines) agar dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana, yaitu sanksi pidana yang proporsional sesuai dengan berat ringannya dan tingkat berbahayanya suatu tindak pidana.
17
Adapun jenis pidana terhadap tindak pidana pembunuhan berencana, perumusan ancaman pidananya dirumuskan secara alternatif. Hakim dapat memilih jenis pidana, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, ataupun paling lama 20 tahun. Adapun contoh kasus pembunuhan berencana yang dsertai dengan mutilasi dimana pelaku pembunuhan tidak dijatuhi pidana mati seperti kasus-kasus yang telah dipaparkan sebelumnya adalah kasus Fikri alias Erik yang melakukan pembunuhan secara sadis disertai mutilasi terhadap Diana Sari alias Nana. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarapura menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu dan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan hukuman penjara seumur hidup. Selain itu, adapula terhadap kasus yang sama di daerah Magetan dengan terdakwa Gilang Maulana, melakukan pembunuhan secara sadis dan kejam, dimana terdakwa melakukan pembunuhan disertai mutilasi terhadap Ayu Wulandari. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Magetan menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah melanggar ketentuan Pasal 340 KUHP dan menjatuhkan terdakwa dengan vonis 15 tahun penjara. Banyak hal-hal yang menjadi pertimbangan oleh Hakim untuk bisa sampai dalam putusan. Hakim berperan penting, dimana ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu.11Akan tetapi, bisa dikatakan setiap kasus yang ditangani pasti
18
berbeda satu sama lain, walaupun kasus terhadap pelanggaran Pasal yang sama, jadi Hakim tidak dapat menyamaratakan penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan dikarenakan keadilan tidak didasarkan terhadap penyamarataan pidananya melainkan harus dilihat dari kualitas, kondisi, keadaan, atau kesalahan yang dilakukan terdakwa. Pidana mati dapat saja dijatuhkan dalam hal adanya pemberatan pidana. Namun, dalam KUHP (yang berlaku saat ini) belum dilengkapi dengan pedoman pemidanaan mengenai hal-hal yang memberatkan maupun yang meringankan pidana. Padahal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak dicantumkannya hal-hal yang memberatkan maupun meringankan pidana tersebut konsekuensinya adalah putusan hakim yang batal demi hukum, sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Meskipun mengancamkan batalnya putusan ataupun kelalaian mencantumkan alasan memberatkan dan meringankan terdakwa, akan tetapi apabila diperhatikan seringkali hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan dan meringankan dalam suatu putusan sangat umum sifatnya. Terhadap alasan yang memberatkan seperti perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, menimbulkan kerugian bagi korban, menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi korban, dan sebagainya, sedangkan untuk hal yang meringankan seperti mengakui dan menyesali, terdakwa sudah tua, terdakwa masih muda dan mempunyai tanggungan keluarga, serta sopan di persidangan.
11
Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup (Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia), UMMPress, Malang, h.57
19
Beberapa putusan juga sering ditemui beberapa alasan yang memberatkan berupa terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan berbelit-belit di persidangan. Selain itu, melihat daripada ketentuan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan hakim wajib untuk menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh putusan, sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2). Dalam setiap putusan yang dihasilkan lembaga pengadilan, senantiasa terlihat pula dalam putusan tersebut hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana. Terkait jika nanti terdapat suatu pedoman pemidanaan bagi hakim, maka hakim disini tidak mendapatkan kebebasan sepenuhnya tanpa adanya pedoman atau kendali/kontrol. Perumusan terhadap tujuan dan pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas, dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.12 Pembunuhan berencana yang disertai dengan mutilasi sebagai suatu hal yang memberatkan dapat dijatuhi putusan pidana mati, hal ini dikarenakan dalam pembunuhan bukan merupakan suatu delik yang dikualifikasi sebagai dasar pemberat. Penerapan pidana mati juga dimaksudkan sebagai sarana pencegahan terjadinya tindak kriminal, sebagaimana ide dasar hukuman mati adalah sebagai bentuk pembalasan terhadap kejahatan. Sehingga nantinya penjatuhan pidana mati yang dilakukan oleh hakim, haruslah dilakukan dengan selektif mungkin dan terpidana
12
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi I), h.107.
20
mati tidak boleh terlalu lama menunggu waktu terkait eksekusi mati yang dilakukan terhadapnya. Salah satu komponen penting dari ilmu pengetahuan hukum pidana modern adalah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana mempunyai jelajah yang cukup luas untuk menerapkan kerjanya, dikarenakan semua tujuan yang ditujukan guna membuat hukum positif menjadi lebih baik termasuk ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini. Untuk membuat maupun merumuskan hukum pidana menjadi lebih baik bukanlah suatu tugas yang mudah, apalagi hukum pidana merupakan bagian dari ilmu pengetahuan sosial yang secara terus menerus berkembang mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu suatu pembaharuan hukum pidana sangat penting untuk dilakukan dalam hal mengatasi segala permasalahan seiring dengan perkembangan zaman dan selain itu pula untuk memberikan rasa perlindungan bagi masyarakat guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, telah mendorong penulis untuk mengangkat dan mengkajinya lebih dalam dengan mewujudkannya ke dalam suatu penelitian yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana Mempertahankan Jenis Pidana Mati (Studi Kasus Pembunuhan Berencana Disertai Mutilasi Korban)”.
21
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka
dapat diidentifikasi beberapa rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini. Masalah-masalah tersebut dapat dirumuskan, yaitu antara lain : 1. Bagaimanakah eksistensi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana ? 2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terkait pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang memberatkan ?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Pembatasan terhadap masalah adalah hal yang sangat penting dikarenakan
tidak mustahil akan terjadi kekeliruan dalam pengertian bilamana tidak ada pembatasan ruang lingkup yang sifatnya jelas dan tegas. Pembahasan masalah tanpa ruang lingkup yang jelas dapat menimbulkan ketidakjelasan pandangan mengenai permasalahan tersebut, sehingga tujuan untuk mengerti dan memahami permasalahan, berikut usaha pemecahannya tidak akan tercapai sebagaimana yang diinginkan. Namun sebaliknya, apabila pembahasan masalah tersebut terlalu sempit, maka pembahasan tidak akan dapat memberikan arti yang bermanfaat secara maksimal dalam pemahaman permasalahan. Dalam hal tidak terjadinya pembahasan yang berlebihan dan agar terjadi kesesuaian antara pembahasan dengan permasalahan, maka merasa perlu untuk
22
memberikan batasan-batasan terhadap permasalahan tersebut di atas. Permasalahan yang pertama akan dibahas mengenai keberadaan jenis pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana, sehingga hal ini khusus terkait dengan pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati terhadap kasus pembunuhan berencana dengan cara mutilasi, selanjutnya pada permasalahan kedua akan dibahas mengenai kebijakan hukum pidana terkait pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang memberatkan.
1.4
Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian yang bersifat ilmiah biasanya mempunyai suatu tujuan
tertentu, demikian pula dalam penelitian ini juga mempunyai tujuan, yaitu : 1.4.1
Tujuan Umum Tujuan umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk
pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma “scince as a process (ilmu sebagai proses). Sehingga, dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya terhadap kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. Dalam hal ini sebagai upaya pengembangan asas, konsep, dan teori hukum pidana, khususnya masalah pidana dan pemidanaan. 1.4.2
Tujuan Khusus Tujuan khusus diadakannya penulisan ini adalah sebagai berikut : 1) Untuk mendeskripsi dan menganalisis mengenai eksistensi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana.
23
2) Untuk mendeskripsi dan menganalisis mengenai kebijakan hukum pidana terkait pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang memberatkan.
1.5
Manfaat Penelitian Setiap karya tulis ilmiah mempunyai suatu manfaat baik dilihat dari aspek
teoritis maupun praktisnya. Dalam penulisan ini manfaat penelitian dapat dilihat dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1.5.1
Manfaat Teoritis Kontribusi untuk keperluan teoritik ini adalah diharapkan dapat memberi
masukan terhadap perkembangan Ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan tentang eksistensi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dan kebijakan hukum pidana terkait pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang memberatkan. 1.5.2
Manfaat Praktis Kontribusi untuk keperluan praktek ini adalah diharapkan agar dapat menjadi
bahan masukan bagi masyarakat, aparatur penegak hukum, khususnya mahasiswa mengenai kendala yang dihadapi tentang eksistensi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dan kebijakan hukum pidana terkait pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang memberatkan.
24
1.6
Orisinalitas Penelitian Sepanjang pengetahuan dari peneliti, penelitian dengan judul “Kebijakan
Hukum Pidana Mempertahankan Jenis Pidana Mati (Studi Kasus Pembunuhan Berencana Disertai Mutilasi Korban)”, belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, baik di lingkungan Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana maupun di lingkungan Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Universitas lain. Akan tetapi, permasalahan yang berkaitan dengan pidana mati sudah pernah diteliti oleh beberapa orang, yakni oleh saudara Eliza Oktaliana Sari mahasiswa Universitas Sumatera Utara dengan judul Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara Nomor 176 K/Pid/1998), Rumusan Masalah: (1) Bagaimana ratio dan pengaturan hukum positif di Indonesia terhadap hukuman mati ?, (2) Mengapa hukuman mati tetap dipertahankan di Indonesia?, (3)Bagaimanakah pertimbangan hakim di dalam penjatuhan hukuman mati terhadap kasus Ahmad Suradji (dalam perkara no. 176/K/1998) ?, adapun kesimpulan dalam penelitian tesis ini adalah salah satu jenis hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang merupakan hukum positif di Indonesia adalah hukuman mati. Secara realitis kondisi hukum di Indonesia masih membutuhkan adanya pelaksanaan hukuman mati, tentu saja khususnya bagi kejahatan-kejahatan yang tergolong extra ordinary crime. Kasus Ahmad Suradji sendiri diangkat oleh penulis dikarenakan terdapat hal yang menarik yaitu perbuatan yang dilakukan telah berulang kali dengan modus yang sama. Arti kata perbuatan yang Ahmad Suradji lakukan bukan semata-mata untuk mencari harta kekayaan, melainkan dibayangi oleh ilmu sesat yang ia anut dan untuk mencapai
25
keberhasilannya harus memakan korban sebanyak-banyaknya. Berdasarkan perbuatan yang telah dilakukan oleh Ahmad Suradji, untuk terciptanya suatu keadilan dan kepastian hukum sudah sangat tepat ia dijatuhi hukuman mati, agar tidak muncul kembali Suradji-Suradji yang lain. Selanjutnya, tentang pidana mati penelitian juga pernah dilakukan oleh saudara Suprapto mahasiswa Universitas Padjajaran yang berjudul “Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, adapun rumusan masalah yang diangkat dalam disertasi ini adalah (1) Bagaimanakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana psikotropika dalam praktek peradilan pidana di Indonesia ?, (2) Apakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika melangar HAM berdasarkan UUD 1945 ?, dan kesimpulan daripada disertasi ini adalah dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika dalam praktik peradilan pidana di Indonesia penerapannya terhadap pengimpor, pengedar narkotika golongan I jenis heroin, kokain, dengan jumlah minimum barang bukti seberat 300 gram, serta memproduksi dan mengedarkan psikotropika golongan I jenis ekstasi secara terorganisir. Terkait dengan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika dikatakan tidak melanggar hak asasi manusia karena tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan tidak melanggar kewajiban hukum internasional Indonesia yang lahir
26
dari perjanjian internasional tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika sehingga penegakan hukumnya perlu ditingkatkan.
1.7
Landasan Teoritis Guna menunjang penelitian ini sesuai dengan permasalahannya sehingga
terwujud suatu karya tulis yang benar, maka berpedoman pada asas-asas, konsepkonsep, maupun teori-teori dari pendapat para sarjana dan peraturan perundangundangan yang menyangkut tentang Kebijakan Hukum Pidana Mempertahankan Jenis Pidana Mati (Studi Kasus Pembunuhan Berencana Disertai Mutilasi Korban). 1.7.1
Konsep Negara Hukum Pada zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan oleh beberapa para ahli seperti Julius Stahl, Immanuel Kant, Fichte, dan lain-lain yang mempergunakan istilah “Rechtsstaat” dalam bahasa Jerman. Sedangkan konsep Negara hukum dalam Anglo Saxon, dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan istilah “The Rule of Law”. Menurut A.V. Dicey dalam konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, itu terdapat tiga unsur penting, yaitu: 1. Supremasi hukum (Supremacy of Law), yaitu tidak adanya kesewenangwenangan dalam menjalankan kekuasaan. 2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (Equality Before The Law), dalam artian berlaku bagi siapa saja, baik itu orang biasa maupun orang pejabat. 3. Penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum (Due Process of Law).13
13
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT.Raja Grafindo Persada, h.3-4
27
Sedangkan, menurut Julius Stahl dalam konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu terdapat empat unsur penting, yaitu: 1. Peradilan Tata Usaha Negara 2. Pemerintahan berdasarkan undang-undang. 3. Pembagian kekuasaan. 4. Perlindungan hak asasi manusia.14 Apabila pendapat konsep Negara hukum daripada tersebut digabungkan antara A.V. Dicey (The Rule of Law) dengan Julius Stahl (rechtsstaat), hal tersebut dapat menandakan ciri-ciri daripada Negara Hukum modern di zaman sekarang ini. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambahkan lagi dengan adanya prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang pada zaman sekarang makin dirasakan sangat diperlukan oleh negara demokrasi, misalnya saja seperti Indonesia. Adapun prinsip-prinsip Negara Hukum yang dianggap penting oleh “The International Commission of Jurists” tersebut adalah: 1. Pemerintah menghormati hak-hak individu. 2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak. 3. Negara harus tunduk pada hukum. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 menyatakan, bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebagaimana, Negara hukum yang dimaksudkan yaitu negara yang menegakan supremasi hukum dalam hal menegakkan kebenaran 14
Ibid, h.3
28
dan
keadilan
dan
tidak
ada
satupun
kekuasaan
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut Friedman, negara hukum mengandung arti pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.15 Dalam suatu negara hukum, kekuasaan negara dan politik tidaklah absolut adanya, hal ini dikarenakan terdapat pembatasanpembatasan terhadap kewenangan maupun kekuasaan negara dan politik tersebut. Semata-mata hal ini ditujukan untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Hal ini dikarenakan dalam suatu negara hukum, hukum akan memainkan peranan yang sangat penting, serta berada di atas kekuasaan negara dan politik yang menimbulkan munculnya istilah pemerintah di bawah hukum. 16 Lebih lanjut Munif Fuadi, menyatakan dalam negara hukum kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat dan oleh karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara demokratis. 17 Sebagaimana, Indonesia sebagai Negara Hukum dapat ditandai oleh beberapa asas, seperti asas bahwa segala tindakan Negara atau pemerintah harus didasarkan pada suatu ketentuan hukum tertentu yang ada sebelum tindakan itu dilakukan. Asas ini sering disebut dengan asas legalitas (legaliteits beginsel). Sehingga, untuk memungkinkan adanya kepastian perwujudan asas legalitas ini, haruslah dibuat
15
Friedman, 1960, Legal Theory, Stren& Stou Limited, London, h.456
16
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat), Refika Aditama, Bandung, h.2
17
Ibid,h.3
29
berbagai bentuk peraturan hukum antara lain dengan adanya peraturan perundangundangan. Oleh karena itu dalam hal penulisan ini, harus ada aturan khusus mengenai pedoman hakim dalam memberikan dasar pertimbangan penjatuhan putusan ancaman sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan mengenai hal-hal yang memberatkan maupun hal-hal yang meringankan, khususnya dalam penulisan ini adalah terkait dengan motif mutilasi dengan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.
1.7.2
Teori Kebijakan Hukum Pidana Secara fundamental dan gradual, terminologi kebijakan berasal dari istiliah
policy (Inggris) dan politiek (Belanda), yang dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam mengelola, mengatur ataupun menyelesaikan urusan publik, masalah-masalah masyarakat maupun dalam bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan menempatkan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Berbicara mengenai kebijakan hukum pidana, melihat dari kedua istilah asing tersebut di atas, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Pada hakekatnya kebijakan hukum pidana adalah suatu usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang baik agar sesuai dengan ius contitutum dan ius constituendum. Sehingga, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan suatu pemilihan agar mencapai hasil perundang-
30
undangan pidana yang paling baik, ini berarti telah memenuhi syarat keadilan dan daya guna.18 Politik hukum sebagai suatu kebijakan hukum melalui produk-produk hukum yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara negara kemudian diberlakukan untuk mencapai tujuan. Mengingat pentingnya fungsi hukum dalam hal pengaturan kehidupan masyarakat, sebagaiman dinyatakan oleh Mac Iver : “whithout law there is no order, and without order men are lost, not knowing where they go, no knowing what they do;”19 (tidak ada ketertiban tanpa hukum, dan tanpa peraturan manusia kehilangan arah, tidak tahu kemana arah mereka pergi, dan tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan). Konsekuensi logis daripada kebijakan hukum pidana adalah identik dengan penal reform dalam arti yang sempit, oleh karena merupakan suatu sistem hukum pidana yang terdiri dari culture (kultur), structural (struktural), dan substantive (substansi) law. Menurut Friedman, kebijakan itu memang tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum, yakni “a legal system is the union of primary rules and secondary rules, primary rules are norms of behavior and secondary rules are norms about those norms-how to decide whether they are valid, how to enforce them, etc;” 20(sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan primer yang didapat dari perilaku masyarakat 18
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.153
19
Mac Iver, 1967, The Web of Goverrment, The Macmillan Company, New York, p.61
20
M. Lawrence Friedman, 1975, The Legal System; A Social Science Perspective, Rusell Sage Fundation, New York, p.14
31
sedangkan peraturan sekunder norma yang ada dalam hukum). Selain itu, Barda Nawawi Arief, menyatakan “masalah kebijakan hukum pidana bukan hanya sematamata membuat teknik peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik”.
21
Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum
pidana merupakan tindakan yang berhubungan dalam hal-hal : -
Upaya pemerintah dalam menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana. Merumuskan hukum pidana supaya sesuai dengan kondisi dalam masyarakat. Kebijakan pemerintah dalam mengatur masyarakat dengan hukum pidana. Menggunakan hukum pidana dalam mengatur masyarakat guna mencapai tujuan yang lebih besar.22
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (hukum pidana) dan jalur non penal (diluar hukum pidana).
Upaya
penanggulangan
kejahatan
melalui
jalur
penal
ini
lebih
menitikberatkan pada sifat represif atau penindasan. Adapun dalam kebijakan hukum pidana melalui sarana penal merupakan serangkaian proses yang yang terdiri dari : a) Tahap Formulasi (kebijakan legislatif); b) Tahap Aplikasi (kebijakan yudikatif); c) Tahap Eksekusi (kebijakan eksekutif/ administratif).23
21
Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi II), h.23. 22
Wisnubroto, 1997, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.12. 23 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni , Bandung, (selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief II), h. 77
32
Sehingga, kebijakan hukum pidana secara penal ini diharapkan dapat terwujud dalam satu jalinan mata rantai yang berkolerasi dalam sebuah kebulatan sistem.24 Oleh karena pada tahap formulasi, upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak saja menjadi tugas aparat penegak hukum, tetapi juga tugas daripada aparat pembuat hukum yakni pada tahap legislatif. Sehingga kebijakan legislatif nantinya akan menjadi tahapan yang paling strategis dari penal policy, oleh karena kesalahan ataupun kelemahan dari kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang tentunya menjadi faktor penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada kebijakan aplikatif dan kebijakan administratif.25 Sedangkan untuk upaya non penal lebih menitikberatkan terhadap penanggulangan yang bersifat preventif atau pencegahan sebelum kejahatan tersebut terjadi, oleh karena itu sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut berpusat kepada kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung menimbulkan kejahatan.26 Upaya melalui jalur non penal dalam mencegah kejahatan sangat berkaitan erat dengan usaha melalui jalur penal, yang mana usaha non penal dengan sendirinya akan sangat menunjang penyelenggaraan sistem peradilan pidana (criminal justice system) guna mencapai tujuannya. Sehingga, penanggulangan ataupun pencegahan kejahatan harus dilaksanakan melalui suatu pendekatan integral 24
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Almuni, Bandung, (Selanjutnya disebut Lilik Mulyadi I), h.391. 25
26
Muladi dan Barda Nawawi II, op.cit, h. 78-79 Barda Nawawi II, op.cit, h.40
33
yakni antara jalur penal dan non penal serta pula didukung oleh meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.
1.7.3
Konsep Pembaharuan Hukum Pidana Pembaharuan hukum pidana nasional merupakan suatu usaha yang langsung
menyangkut harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia serta merupakan sarana pokok bagi tercapainya tujuan nasional.27 Pada intinya merupakan suatu usaha untuk melakukan peninjauan dan pembentukan kembali hukum sesuai dengan nilainilai umum sosial-filosofik, sosial politik, dan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan hukum pidana formil, hukum pidana materil dan hukum pelaksanaan pidana. Semuanya ini dalam suatu kerangka untuk mewujudkan satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Usaha pembaharuan hukum pidana sangatlah diperlukan dengan tujuan utama yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial Belanda. Pembaharuan hukum pidana mencakup persoalan-persoalan utama yang berkaitan dengan tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana, yakni tentang masalah tindak pidana,
27
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana: Reformasi Hukum, PT.Grasindo, Jakarta, h. 22.
34
masalah kesalahan atau pertanggungawaban pidana, serta masalah pidana dan pemidanaan.28 Pada umumnya pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari suatu kebijakan. Dikatakan sebagai upaya kebijakan karena pembaharuan hukum pidana diperuntukan sebagai pembaharuan suatu substansi hukum (legal substance) dalam rangkaian lebih mengefektifkan penegakan hukum. Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa dewasa ini dalam upaya melakukan pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) telah diupayakan dan sampai sekarang masih terus dilakukan pengolahan.29 Dalam setiap kebijakan tersebut terkandung pula pertimbangan nilai yang oleh karena pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Bangsa Indonesia saat ini sedang melakukan pembaharuan di bidang hukum pidana, salah satunya adalah pidana mati. Pihak pendukung dan penentang pidana mati mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, hasil pikiran bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan. Pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif daripada sekedar mengganti KUHP. Pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana. Jika
28
29
Barda Nawawi II, op.cit, h. 73.
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi III) h. 3.
35
ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana dan pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana. Latar belakang Konsep pembaharuan KUHP sendiri (sistem hukum pidana materil) merupakan suatu pokok pemikiran yang secara garis besar dapat disebut sebagai “ide keseimbangan”. Ide keseimbangan ini antara lain mencakup: 1. Keseimbangan monodualistik antara kepentingan individu/ perorangan dan kepentingan umum/ masyarakat; 2. Keseimbangan kepentingan umum/ individu itu tercakup juga dalam ide perlindungan/ kepentingan korban dan ide individualisasi pidana; 3. Keseimbangan antara faktor subjektif (sikap batin/ batiniah) dan objektif (perbuatan/lahiriah); 4. Keseimbangan antara kriteria materiil dan formal; 5. Keseimbangan antara kepastian hukum, fleksibilitas, dan keadilan. 6. Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai internasional.30
Selain dari pokok pemikiran tersebut di atas, masih dipertahankannya pidana mati ke dalam suatu peraturan perundang-undangan maupun rancangan peraturan perundang-undangan, khususnya disini adalah rancangan KUHP didasarkan pula kepada ide untuk menghindari reaksi dari masyarakat yang bersifat sewenangwenang, balas dendam, emosional, tak terkendali atau bersifat extra-legal execution.
30
Barda Nawawi Arief, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi IV) h.292
36
1.7.4
Teori Tujuan Pemidanaan Pidana merupakan bagian mutlak daripada hukum pidana, yang pada dasarnya
hukum pidan memuat dua hal, yaitu syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidananya itu sendiri. Melihat KUHP Indonesia, mengenai penjatuhan ancaman hukuman terhadap orang yang telah melakukan suatu pelanggaran tindak pidana sifatnya adalah memberikan pelajaran agar tidak mengulangi perbuatan yang jahat dan dapat kembali kepada masyarakat yang baik, dengan kata lain menjadi orang baik.31 Penjatuhan pidana tentunya tidak lepas dari teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah menjatuhkan pidana terhadap sesesorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Pidana itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu penderitaan atau nestapa yang sengaja dijatuhkan negara kepada mereka atau seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Sehubungan dengan hal tersebut, haruslah dicari dasar pembenarnya, yang dapat dilihat dari teori tentang pemidanaan. Adapun teori-teori tentang pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan tujuan pidana) tersebut adalah : 1.
Teori Absolut atau Teori Pembalasan Pidana itu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai
suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Oleh karena kejahatan itu, mengakibatkan penderitaan kepada orang yang terkena kejahatan, maka
31
Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, h.21.
37
menurut teori absolut atau teori pembalasan, penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa pidana kepada orang yang melakukan kejahatan itu. Menurut Andi Hamzah : tujuan pembalasan (revenge) disebut sebagai tujuan untuk memuaskan pihak yang memiliki dendam, baik masyarakat sendiri maupun pihak yang merasa dirugikan ataupun menjadi korban kejahatan, ini bersifat primitif tetapi terkadang pengaruhnya masih terasa pada zaman yang semakin modern seperti ini.32
Teori pembalasan ini pula melegitimasi pemidanaan sebagai suatu sarana untuk melakukan pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Kejahatan tersebut dipandang sebagai suatu pebuatan yang asusila dan amoral dalam kehidupan masyarakat, oleh karena pelaku tindak kejahatan tersebut haruslah dibalas dengan menjatuhkan pidana terhadapnya. Menurut Hegel, persyaratan dipidananya penjahat berdasarkan keadilan dialektik, dengan melihat kejahatan sebagai pengingkaran hukum, oleh karena itu setiap kejahatan harus dipidana. Namun hal ini harus terdapat keseimbangan antara pidana dan kejahatan yang diperbuat. Keseimbangan yang dimaksud bukan merupakan keseimbangan jenis, melainkan keseimbangan nilai.33 Sahetapy, dalam disertasinya yang berjudul “Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan
Berencana”
mengemukakan
bahwa
pemidanaan
bertujuan
32
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h.53.
33
J.E. Sahetapy, op.cit, h. 155
38
pembalasan.34 Menurut Sahetapy tidak dapat disangkal bahwa pengertian pidana terdapat unsur penderitaan. Akan tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah hanya untuk memberikan penderitaan agar si pelaku merasa menderita akibat dari pembalasan dendam, melainkan derita tersebut harus dilihat sebagai jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan jalan untuk bertobat dengan penuh keyakinan. Lebih lanjut Immanuel Kant, mengatakan bahwa pidana mengkehendaki agar setiap perbuatan melawan hukum harus dibalas karena merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak yang dibenarkan sebagai pembalasan. Oleh karena itu konsekuensinya adalah setiap pengecualian dalam pemidanaan yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu selain pembalasan harus dikesampingkan. Terdapat dua corak dalam teori pembalasan ini, yakni corak objektif yaitu pembalasan yang ditujukan hanya sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan; kedua adalah corak subjektif yaitu pembalasan yang secara langsung ditujukan kepada kesalahan si pembuat.35 Menurut Romli Atmasasmita, penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori pembalasan ini mempunyai alasan pembenaran seperti ; 1. Tipe aliran Retributif Vindicative, yaitu penjatuhan pidana kepada pelaku akan memberikan rasa puas balas dendam si korban, baik bagi perasaan adil terhadap dirinya, temannya, maupun keluarganya. 34
35
J.E. Sahetapy, op.cit, h.153.
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, h.41, dikutip dari Philip Bean, Punishment (A Philosophical and Criminological Inquiry), Martin Robertson, Oxford, University, Laiden Bibl, 1981, h. 27.
39
2. Tipe Aliran Retributif Fairness, yaitu penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat lainnya sebagai peringatan bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain ataupun mendapatkan keuntungan dari orang lain secara tidak wajar akan menerima ganjaran. 3. Tipe Aliran Retributif Proportionality, yaitu pidana yang dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan.36
Sedangkan Nigel Walker dalam “Sentencing in A Ratinal Society” menyatakan bahwa asumsi lain atas dasar retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar. Adapun asumsi ini dimasukkan dalam undang-undang yang member sanksi-sanksi pidana maksimum yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil daripada usahausaha yang berhasil.37 Selanjutnya Nigel Walker membagi penganut teori retributif ini menjadi dua golongan, yaitu teori retributif murni (the pure retributivist) dan teori retributif tidak murni. Teori retributif murni memandang bahwa pidana tersebut harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan, teori retributif tidak murni dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni: a. Penganut teori retributif terbatas (the limiting retributivist) Pidana tidaklah harus sepadan dengan adanya kesalahan, akan tetapi tidak melebihi batas kesepadanan dengan kesalahan terdakwa. Terlebih penting adalah keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam 36
Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, h.83-84. 37
Nigel Walker, 1971, Sentencing in A Rational Society, Inc., Publisher, New York, p.8
40
hukum pidana tersebut tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran.38 b. Penganut teori retributif distributif (retribution in distribution) Penganut dalam teori ini menyatakan bahwa tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pembalasan, akan tetapi juga harus ada gagasan bahwa terdapat batasan yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi. Kaum retributif ini berpandangan bahwa selama kita membatasi sanksi dalam hukum pidana pada orang-orang yang telah melakukan pelanggaran kejahatan dan tidak membenarkan sanksi ini digunakan pada orang yang bukan pelanggar, maka kita memperhatikan prinsip retribusi yang menyatakan, “masyarakat tidak mempunyai hak menerapkan tindakan yang tidak menyenangkan pada orang lain yang bertentangan dengan kehendak kecuali orang tersebut dengan sengaja melakukan sesuatu yang dilarang”. 39
Akhirnya menurut Nigel Walker bahwa hanya penganut teori retributif murni yang mengemukakan dasar-dasar pembenaran untuk pemidanaan. Selanjutnya menurut pendapat dari Karl O. Christinsen mengidentifikasikan 5 (lima) ciri pokok dari teori retributif ini, yakni :
38
Ibid, h.14
39
Ibid, h.15-16
41
1. The purpose of punishment is just retribution (tujuan pidana hanya sebagai pembalasan); 2. Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a means to any other aim, as for instance social welfare which fom this point of view is without any significance whatsoever (pembalasan ialah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung
sarana-sarana
untuk
tujuan
lain
seperti
kesejahteraan
masyarakat); 3. Moral guilt is the only qualification for punishment (kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan); 4. The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender (pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku); 5. Punishment point into the past, it is pure reproach, and itu purpose is not to improve, correct, educate or resocialize the offender (pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik, dan meresosialisasi pelaku).40
Sehingga teori retributif dalam pengertian khusus, bahwa pidana mati bukanlah suatu pembalasan, akan tetapi refleksi dari sikap jenuh masyarakat terhadap adanya penjahat dan kejahatan, maka hukuman mati harus didayagunakan demi
40
Karl O Christiansen, 1974, Some Consideration on the Possibility of a Rational Criminal Policy, Resource Material Series No.7, UNAFEI, Tokyo, p. 69
42
menjaga keseimbangan dalam terciptanya tertib hukum (khususnya dalam extra ordinary crime).
2.
Teori Relatif atau Teori Tujuan Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib
masyarakat dan akibatnya, tujuan pidana untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda, yaitu menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terpidana telah terbukti melakukan kesalahan, melainkan karena pemidanaan mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga orang lain dalam masyarakat. 41 Sehingga, teori ini disebut juga sebagai teori konsekuensialisme.42 Hal ini berarti dicantumkannya sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan hanya merupakan peringatan terhadap perilaku dan moral bagi setiap orang untuk tidak melakukan pelanggaran dan kejahatan umumnya.43 Menurut Karl O. Christiansen, terdapat ciri-ciri pokok dari teori relatif ini yakni : 1. The purpose of punishment is prevention (tujuan pidana adalah pencegahan);
41
M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 42 42
Yong Ohoitimur, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 24 43
Leden Merpaung, 2008, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h.54
43
2. Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim, e.g. social welfare (pencegahan bukan tujuan yang lebih tinggi yakni kesejahteraan masyarakat); 3. Only breaches of the law which are imputable to the perpetrator as intent or negligence quality for punishment (hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana); 4. The penalty shall be determined by is utility as an instrument for prevention of crime (pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat pencegah kejahatan); 5. The punishment is prospective it point into the future; it may contain as element of reproach, but neither reproach not retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or social welfare.44(pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat).
Sehingga dengan demikian menurut teori relatif ini, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan kegiatan balas dendam terhadap pelaku kejahatan, akan tetapi lebih dari itu pidana memiliki tujuan lain yang bermanfaat. Oleh karena teori ini memiliki 44
Karl O. Christiansen, op.cit, h. 71
44
tujuan-tujuan tertentu dalam pemidanaan, maka teori relatif ini sering disebut juga sebagai teori tujuan (utilitarian theory), sebagaimana dasar pembenar teori ini terdapat pada tujuan pidana yang dijatuhkan bukan karena orang bertindak jahat, akan tetapi agar orang tersebut tidak berbuat jahat. Sementara itu, Nigel Walker lebih senang menyebut teori relatif sebagai reduktivisme, karena dasar pembenarannya untuk mengurangi frekuensi jenis-jenis perilaku yang dilarang oleh hukum pidana. Reduktivis murni menurut Nigel Walker, siap menggunakan tindakan apa saja yang kemungkinan akan efektif dalam mengurangi insidensi setiap perbuatan yang diputuskan oleh masyarakatnya, termasuk di dalam ruang lingkup sistem hukum pidana. Reduktivis akan menyetujui tindakan-tindakan social hygiene, jika hal ini ternyata dapat mengurangi kejahatan. Ia akan mendorong tindakan-tindakan mengurangi kesempatan untuk kejahatan, selain itu ia juga akan menerima general deterrent yang tampaknya menekan para kriminal yang potensial. Redukivis akan mempertimbangkan pula dengan pikiran terbuka setiap tindakan koreksi yang kemungkinan kuat mengurangi kecenderungan kejahatan pelanggar yang diketahui, apakah ia bertindak sebagai individual deterrent (alat pencegah) atau sebagai reformative influence.45 Mengenai tujuan pidana itu sendiri ada beberapa pendapat, yakni : 46
45
Nigel Walker, op.cit, p.3 - 4
46
Tolib Setiady, op.cit, h.56
45
1. Tujuan pidana ialah menentramkan masyarakat yang khawatir dan gelisah akibat daripada terjadinya suatu tindak kejahatan. 2. Tujuan pidana ialah mencegah suatu tindak kejahatan yang dapat dibedakan atas pencegahan umum (generale preventive) dan pencegahan khusus (special preventive). a) Pencegahan Umum (Generale Preventie) Berdasarkan pemikiran bahwa pidana dimaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan melakukan kejahatan. Dalam hal penggunaan pencegahan umum sudah dikenal sejak berabad-abad silam yaitu dengan memfokuskan kepada eksekusi hukuman yang dilaksanakan didepan umum.47 Bertujuan semata-mata untuk memberikan efek jera kepada setiap orang agar tidak melakukan perbuatan jahat.48 Menurut Van Veen, pencegahan umum mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma.49 Untuk mencapai maksud dan tujuan daripada generale preventive terdapat beberapa cara seperti : 1. Dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakutnakuti orang agar tidak melakukan kejahatan. Akan tetapi, menurut
47
Marlina, op.cit, h.58.
48
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit, h.15.
49
Marlina, op.cit, h. 53.
46
Feurbach dengan ancaman pidana saja tidaklah cukup karena harus diperlukan pula penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana. 50 2. Dengan menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana yang dilakukan dengan cara yang sangat kejam dan dipertontonkan kepada khayalak umum, sehingga setiap orang akan merasa takut dan malu untuk melakukan suatu perbuatan kejahatan. b) Pencegahan Khusus (Speciale Preventie) Berdasarkan pemikiran bahwa pidana dimaksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan. Menurut Van Hamel, menyatakan bahwa “special preventive ini adalah suatu tindak pidana yang harus memuat unsur menakutkan, memperbaiki terpidana, membinasakan penjahat yang tidak mungkin untuk diperbaiki lagi, sehingga tujuan satusatunya pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum.” 51 Dalam hal mencapai maksud dan tujuan tersebut terdapat berbagai cara, yaitu: a. Memperbaiki si penjahat dengan cara memberikan pendidikan kepada penjahat selama menjalani pidananya. b. Menjauhkan si penjahat dari pergaulan masyarakat dengan cara apabila si penjahat sudah kebal atau sudah tidak menghiraukan ancaman-ancaman pidana yang berupa menakut-nakuti agar dijatuhi pidana yang bersifat 50
Tolib Setiady, op.cit, h.57
51
Ibid
47
menyingkirkan dari pergaulan masyarakat dengan menjatuhkan pidana penjara seumur hidup ataupun dengan cara yang mutlak yaitu dengan pidana mati.
Teori relatif ini semakin lama semakin mengalami perkembangan kemudian timbullah suatu teori relatif modern (modern relative) atau teori tujuan modern. Menurut teori ini dasar pembenaran pidana adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Berpokok pangkal pada susunan Negara oleh karena sifat hakikat serta tujuan dari Negara yaitu menjamin ketertiban hukum di wilayahnya. Adapun cara yang harus dilakukan adalah dengan membuat peraturan yang mengandung kewajiban dan larangan yang berupa norma. Agar norma tersebut ditaati, maka pelanggar daripada norma tersebut harusalah diberikan sanksi yang berupa ancaman pidana.
3.
Teori Gabungan atau Teori Integratif Teori ini merupakan gabungan dari Teori Retributif dengan Teori Relatif.
Menurut teori gabungan, teori pembalasan dan teori tujuan itu harus digabungkan menjadi satu, sehingga akan menjadi praktis, puas, dan seimbang, sebab pidana bukan hanya sebagai penderitaan tetapi juga harus seimbang dengan kejahatannya. Sehingga dengan adanya teori gabungan ini menganggap bahwa pemidanaan sebagai unsur penjeraan dibenarkan, akan tetapi tidak mutlak dan wajib memiliki tujuan untuk membuat pelaku dapat berbuat baik di kemudian hari. Ada beberapa tujuan yang menjadi titik berat dari teori ketiga ini yaitu:
48
a. Menitikberatkan kepada unsur pembalasan, tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban masyarakat. b. Menitikberatkan kepada perbuatan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh berat daripada beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana. c. Memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat sebagai suatu hal yang sama. 52
Selain itu, Muladi yang merupakan penganut teori integratif menyatakan bahwa tujuan dari teori gabungan ini adalah pencegahan yang bersifat umum dan khusus; perlindungan bagi masyarakat; memelihara solidaritas antara masyarakat; pengimbalan atau pengimbangan.53 Begitu halnya dengan Thomas Aquino dalam teori gabungan dengan menitikberatkan pada tertib hukum dan masyarakat berpandangan bahwa dasar pidana adalah kesejahteraan umum. Untuk adanya suatu pidana, haruslah terdapat kesalahan pada perbuatan yang dilakukan dengan sukarela, dimana pidana tersebut bersifat pembalasan. Sifat pembalasan merupakan sifat umum dari sebuah pidana, namun tetap dengan tujuan pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.54 Pada hakekatnya, ketiga hal tersebut menjadi dasar diadakannya sanksi pidana, dimana dari teori tersebut di atas dapatlah diketahui tujuan daripada pemidanaan adalah : 1. Menjerakan si penjahat. 52
Tolib Setiady, op.cit, h.60.
53
Muladi, 2008, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, h.61.
54
Fajrimei A Gofar, op.cit, h. 168
49
2. Membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si penjahat. 3. Memperbaiki pribadi si penjahat.55
1.8
Metode Penelitian
1.8.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, yang berarti bahwa semua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini selalu mengacu pada tinjauan secara hukum, baik secara normatif maupun berdasarkan pandangan-pandangan dari pakar hukum dan juga termasuk dalam lingkup dogmatik hukum yang mengkaji atau meneliti aturan-aturan hukum. Ilmu hukum dogmatik memiliki karakter “sui-generis”.56 Abdulkadir Muhammad menyatakan penelitian hukum normatif adalah sebagai berikut : Penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek sejarah, teori, perbandingan, komposisi, filosofi dan struktur, lingkup dan konsistensi, materi, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undangundang, penjelasan umum Pasal demi Pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahan hukum yang digunakan, akan tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya, maka penelitian hukum normatif dapat juga disebut sebagai “penelitian hukum dogmatic” atau “penelitian hukum teoritis” (dogmatig theoretical law search). 57
Penelitian normatif mempunyai ciri beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma, menggunakan landasan teoritis serta menggunakan bahan hukum primer dan 55
56
57
40.
Muladi, op.cit, h. 107. Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.2. Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
50
bahan hukum sekunder. Landasan teoritis yang dipergunakan adalah undang-undang, teori-teori maupun norma-norma yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti.58 Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode normatif karena penelitian ini menganalisis beberapa kasus-kasus yang terjadi terkait dengan tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi, mempelajari bahan-bahan hukum sebagai acuan dalam penyelesaian masalah penelitian, dan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, yang akan dikaji berdasarkan teori-teori dan ketentuanketentuan hukum yang berlaku. Perlunya penelitian hukum normatif ini pula adalah beranjak dari belum adanya norma hukum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
1.8.2
Jenis Pendekatan Dalam kaitannya dengan penelitian yang bersifat normatif, Johnny Ibrahim
menyatakan bahwa pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan yaitu: pendekatan filsafat (philosophical approach),pendekatan perundangundangan (statute approach),pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).59
58
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta (Selanjutnya disebut Bambang Sunggono I), h.68. 59
Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Cet.Ketiga, Bayumedia Publishing, Malang, h.300.
51
Terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, maka pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang berasal dari perundang-undangan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani dan mempergunakan pendekatan kasus (case approach) yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai kajian pokok di dalam pendekatan kasus dalam pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. Selain itu pula menggunakan juga pendekatan perbandingan (comparative approach) merupakan melakukan suatu perbandingan terhadap sebuah aturan hukum mengenai pidana mati di suatu wilayah atau negara dengan wilayah atau negara lainnya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui beberapa persamaan maupun perbedaan hukum yang terkandung dalam beberapa wilayah hukum yang berbeda. Selanjutnya, pendekatan analitis (analytical approach) yang dimaksud adalah dimana seorang peneliti akan mengkaji secara mendalam atas tulisan dalam sebuah putusan-putusan pengadilan dan juga peraturan perundang-undangan.
1.8.3
Sumber Bahan Hukum Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, suatu penelitian hukum
normatif mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum
52
sekunder.60 Dalam penelitian hukum, kedua bahan hukum tersebut disebut bahan hukum sekunder yang memiliki kekuatan mengikat kedalam. 61 Adapun bahan hukum tersebut antara lain : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai sifat autoritatif, dalam artian mempunyai otoritas. 62 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.63 Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); c. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP; d. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; e. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; f. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; 60
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 61
Bambang Sugono, 2006, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta (Selanjutnya disebut Bambang Sunggono II), h.13. 62
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 118. 63
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 141.
53
g. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; h. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; i. Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik; j. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika; k. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM); l. Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor:1036/Pid/B/2008/PN.Dpk yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, rancangan undang-undang dan seterusnya.64 Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi, jurnal-jurnal hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan dan buku-buku teks.65 Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diambil atau diperoleh dari
64
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, loc.cit.
65
Peter Mahmud Marzuki, loc.cit.
54
buku-buku (text book), artikel, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, serta kamus hukum, ensyclopedia, dan lain-lain.66
1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
sebagaimana lazimnya metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian hukum normatif, yaitu metode kartu. Metode kartu adalah kartu kutipan yang digunakan untuk mencatat atau mengutip bahan hukum beserta sumber darimana hal tersebut diperoleh.67 Selain itu, untuk teknik pengumpulan bahan hukummya digunakan teknik dokumenter yakni, teknik untuk mengkaji dan mengumpulkan tentang berbagai dokumen-dokumen yang sudah ada.68 Dalam hal ini dokumen yang dimaksud adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Putusan Pengadilan yang menjatuhi putusan pidana mati terkait kasus yang dianalis.
1.8.5
Teknik Analisis Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, maka dalam penelitian ini
yang dianalisis bukanlah data, tetapi bahan hukum yang diperoleh lewat penelusuran dengan metode sebagaimana disebutkan di atas. Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah setelah bahan-bahan hukum dikumpulkan, 66
67
68
Johnny Ibrahim, op.cit, h. 296. Sarjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, h.53
Salim, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 19.
55
kemudian diolah dan dianalisis secara hukum. Dalam menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dilakukan dengan teknik deskriptif-analitis, evaluatif, sistematis, konstruktif, dan argumentatif. Teknik deskripsi ialah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian-uraian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum. Teknik ini kemudian dilanjutkan dengan langkah analisis, analisis yang dikemukakan bersifat evaluatif dalam artian melakukan evaluasi atau penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah ataupun tidak sah
terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,
keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Teknik sistematis adalah upaya untuk mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat. Teknik konstruktif berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi. Teknik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, hal ini tidak dapat dilepaskan dari teknik evaluatif. Dalam permasalahan-permasalahan hukum makin banyak argumen menunjukkan makin dalam penalaran hukumnya.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN HUKUM PIDANA, PIDANA MATI, TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DAN MUTILASI
2.1
Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan berasal dari istilah policy (Inggris) dan politiek (Belanda). Kedua
istilah asing ini dapat dilihat bahwa kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan politik hukum pidana. Istilah politik hukum pidana dalam kepustakaan asing dikenal dengan berbagai macam istilah, seperti criminal law policy, strafrechtpolitiek, atau penal policy. Marc Ancel menyatakan penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis dalam memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, serta pengadilan yang menerapkan undang-undang maupun kepada pelaksana putusan pengadilan.69 Sedangkan menurut A.Mulder, strafrechtpolitiek adalah garis kebijakan untuk menentukan :70 a. Sejauh mana ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku untuk diperbaharui (diubah ataupun diganti); b. Langkah apa yang akan diperbuat untuk mencegah tejadinya tindak pidana;
69
70
Barda Nawawi Arief II, op.cit, h.19, Barda Nawawi Arief II, op.cit, h. 23,
56
57
c. Bagaimana cara untuk melakukan penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana.
Beberapa pengertian diatas menerangkan bahwa kebijakan hukum pidana memiliki dua tugas utama, yakni Pertama, kebijakan hukum pidana memberikan arah bagi aturan hukum pidana yang mana arah yang dituju oleh aturan hukum pidana tercermin baik itu secara eksplisit maupun implisit dalam peraturan pidana yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Selain itu, arah yang ditentukan dalam kebijakan hukum pidana harus tetap berpedoman dari lembaga legislatif. Kedua, kebijakan hukum pidana mempunyai tugas untuk melakukan re-evaluasi, rekonstruksi dan mereorganisasi aturan hukum pidana dan badan pelaksananya agar keduanya selalu sejalan seiring dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Usaha dan kebijakan dalam membuat peraturan hukum pidana yang baik, tidak dapat dilepaskan dari tujuan untuk penanggulangan kejahatan. Sehingga, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Politik kriminal pada hakikatnya adalah bagian daripada upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
58
(social welfare).71 Dikatakan bahwa politik kriminal merupakan bagian dari politik sosial, yakni kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, yang secara skematis dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :72 Social Welfare Tujuan Social Policy
Social defence
Criminal policy
Penal - Formulasi - Aplikasi - Eksekusi
Non Penal Skema 1 Skema kebijakan hukum pidana sebagai korelasi antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial
Skema diatas menjelaskan bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah bagian dari criminal policy yang bertujuan untuk melindungi masyarakat (social defence) guna untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare), yang mana tujuan criminal policy sama dengan tujuan daripada social policy. Dalam
71
Lilik Mulyadi, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Viktimologi, Djambatan, Jakarta, (Selanjutnya disebut Lilik Mulyadi II ), h.30 72
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan , Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi V) h.74
59
tahap pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal terdapat beberapa tahap, yakni : 1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/ yudisial); 3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/ administratif).73 Dalam tahap formulasi, yakni suatu tahap penegakan hukum in abstarcto oleh pembuat undang-undang, dimana memberikan tanggung jawab kepada aparat penegak hukum untuk menetapkan maupun merumuskan perbuatan yang dapat atau tidaknya dipidana dalam satu kesatuan sistem hukum pidana, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif. Dengan demikian, apapun jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi patokan. Oleh karena itu, harus ada kesamaan pandang atau pemahaman yang sama pada tahap kebijakan legislasi tentang apa hakikat dari sanksi pidana dan/atau tindakan itu sendiri. Tahap aplikasi, yakni tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum yang dimulai dari kepolisian sampai pada tingkat pengadilan tahap ini disebut dengan tahap kebijakan yudikatif. Tahap eksekutif , yakni tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana tahap ini disebut dengan tahap kebijakan eksekutif atau administratif.74 Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan peraturan 73
Muladi dan Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
74
Lilik Mulyadi I, op.cit, h. 391
60
perundang-undangan yang berlaku sekarang (ius constitutum) maupun peraturan perundang-undangan yang dicita-citakan di masa akan datang (ius constituendum). Secara gradual dan konkret, kebijakan terhadap penggunaan hukum pidana berkaitan dengan aspek kriminalisasi. Kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal yang mempergunakan sarana hukum pidana, dan oleh karena itu merupakan bagian daripada kebijakan hukum pidana.75Adapun ruang lingkup kriminalisasi tidak hanya terkait dengan penentuan perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang dilarang, kemudian dilarang disertai ancaman sanksi tertentu, akantetapi berkaitan pula dengan pemberatan sanksi pidana terhadap pidana yang sudah ada.76 Hal ini bertujuan untuk menciptakan peraturan perundangundangan yang baik sesuai dengan situasi dan keadaan sekarang maupun yang akan datang dan disamping itu dapat menciptakan kepastian hukum serta keadilan bagi masyarakat. Kriminalisasi timbul ketika dihadapkan pada perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada. Persoalan kriminalisasi ini pun muncul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga memunculkan suatu pertanyaan adakah hukum untuk menjatuhkan perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana. Sehingga timbulah suatu kesan kemudian, yakni telah terjadi kekosongan hukum yang pada akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. 75
76
Barda Nawawi Arief I, loc.cit Ali Mahrus, op.cit, h. 37.
61
Menurut Prof. Soedarto terdapat 4 (empat) syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan kriminalisasi : a. Tujuan kriminalisasi adalah menciptakan ketertiban masyarakat didalam rangka menciptakan Negara kesejahteraan (welfare state) dan pengayoman terhadap masyarakat. b. Perbuatan yang diakibatkan oleh pidana haruslah perbuatan yang menimbulkan kerugian atas masyarakat dan menimbulkan korban. c. Harus mempertimbangkan faktor biaya dan hasil. d. Harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat penegak hukum melampaui melampaui batas tugas.77
Sedangkan menurut Simposium Pembaharuan Hukum Nasional di Semarang pada tahun 1980, syarat daripada kriminalisasi adalah sebagai berikut : a. Perbuatan tersebut tidak disukai oleh masyarakat karena dapat berdampak merugikan maupun dapat mendatangkan korban. b. Biaya mengkriminalisasi harus seimbang dengan hasil yang akan dicapai. Dalam artian biaya pembuatan undang-undang, pengurusan, dan penegakan hukum serta beban korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus pula seimbang dengan keadaan tertib hukum yang akan dicapai. c. Perbuatan tersebut apakah menghambat cita-cita bangsa Indonesia, yakni terciptanya masyarakat adil dan sejahtera, sehingga menjadikannya bahaya bagi seluruh masyarakat. d. Beban aparat penegak hukum apakah semakin bertambah atau secara nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya. 78
2.2
Pidana Mati Pidana mati merupakan penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup
seseorang yang telah melakukan tindak pidana serta diatur dalam undang-undang yang diancam dengan pidana mati. Pidana mati merupakan salah satu jenis pidana 77
Lilik Mulyadi I, op.cit, h. 397
78
Lilik Mulyadi I, op.cit, h. 398
62
dalam Pasal 10 KUHP, yang mana merupakan jenis pidana yang paling berat dari semua jenis pidana, baik itu dalam negara-negara yang menganut sistem civil law maupun negara-negara yang menganut sistem common law. Banyak pro dan kontra yang terjadi dalam hal penggunaan sarana pidana mati ini, bagi pihak yang pro terhadap pidana mati ini menyatakan bahwa pidana mati masih diperlukan untuk mencegah dan melindungi masyarakat dari tindakan kejahatan, termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Sedangkan, bagi pihak yang kontra menyatakan bahwa adanya ketidakadilan terhadap kehidupan manusia, dimana manusia memiliki hak hidup yang harus dilindungi sehingga hanya Tuhan yang bisa mencabutnya. Disamping itu, salah satu ahli hukum pidana, Soedarto menyatakan bahwa beliau tidak setuju dengan adanya pidana mati, dengan alasan bahwa manusia tidak mempunyai hak untuk mencabut nyawa orang lain, terlebih diingat bahwa hakim bisa saja salah menjatuhkan hukumannya. 79 Pidana mati dalam konteks hukum pidana nasional Indonesia sekarang, penggunaan pidana mati masih dirasakan sangat efektif untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan yang berat atau extra ordinary crime. Hal ini dapat dilihat dalam KUHP nasional yang masih menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, selain itu hukum pidana di luar KUHP juga menempatkan sebagian pidana mati sebagai sanksi dari dilanggarnya suatu perbuatan. Selain Negara Indonesia, adapula negara Jepang, Argentina, Malaysia, Yugoslavia, dan sebagainya masih mempertahankan pidana mati. Akan tetapi, ada juga negara79
Widnyana, op.cit, h.90
63
negara yang sudah menghapus pidana mati dari KUHPnya, seperti Negara Belanda yang telah menghapuskan pidana mati pada tahun 1870 yang berdasarkan pada Stb 162 tanggal 17 September 1870, selain itu pula negara-negara seperti Brazil, Costarica, Urugay, Chili dan Denmark juga menghapus pidana mati. Adapun kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP warisan Belanda, seperti, Pasal 104 KUHP; Pasal 368 ayat (2) KUHP; Pasal 111 ayat (2) KUHP; Pasal 124 ayat (3) KUHP; Pasal 140 ayat (4) KUHP; Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP Pasal 365 ayat (4) KUHP; Pasal 444 KUHP; Pasal 127 dan 129 KUHP. Sebagai bahan komparatif perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di Indonesia, ada baiknya juga apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut : 1. Tindak pidana makar, berupa makar terhadap presiden (Pasal 215); 2. Pengkhianatan terhadap negara dan pembocoran rahasia negara (Pasal 228); 3. Tindak pidana sabotase dan pada waktu perang (Pasal 237); 4. Tindak pidana terorisme (Pasal 242, 244, 247); 5. Perusakan pesawat udara (Pasal 262); 6. Tindak pidana terhadap negara sahabat (makar terhadap kepala negara sahabat) Pasal (269); 7. Tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia (Pasal 399);
64
8. Tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika (narkotika) Pasal 504, 506 (psikotropika) (Pasal 513); 9. Tindak pidana terhadap nyawa (Pasal 574); 10. Tindak pidana jabatan (penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara) (Pasal 686).
Usulan rancangan KUHP Indonesia Tahun 2013 masalah pidana mati diatur dalam Pasal 87-90. Dalam Pasal 87 RUU KUHP 2013 menyatakan bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai suatu upaya untuk melakukan pengayoman terhadap masyarakat”. Selanjutnya, dalam Pasal 88 RUU KUHP 2013 menyatakan bahwa : 1) Pidana mati dilakukan dengan cara menembaki terpidana sampai mati oleh regu tembak. 2) Pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan di hadapan umum. 3) Pelaksanaan pidana mati yang dilakukan kepada wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. 4) Pidana mati baru dapat dilakukan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. Pasal 89: 1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika: a.reaksi dari masyarakat kepada terpidana tidak terlalu besar; b. terpidana menunjukkan adanya rasa penyesalan; c.kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d.terdapat alasan-alasan yang meringankan si terpidana. 2) Jika selama masa percobaan si terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang baik maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri
65
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. 3) Jika selama masa percobaan terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang baik serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Pasal 90: “Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak oleh Presiden dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”.
2.3
Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Sebelum membahas secara langsung tentang tindak pidana pembunuhan
berencana, dalam penelitian terlebih dahulu akan dibahas mengenai ”pidana” dan ”tindak pidana” Istilah ”pidana” dipergunakan oleh rumusan Pasal 4 Undang-undang No.1 Tahun 1946 dalam peresmian nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pemakaian istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana dan untuk pengertian yang sama pula sering digunakan istilah lainnya seperti, pemidanaan, penghukuman, pemberian pidana, hukuman, hukuman pidana dan penjatuhan hukuman.80 Menurut para ahli, adapun beberapa pengertian pidana seperti : a. Ted Honderich
80
Marlina, op.cit, h.13
66
”Punishment is an authority’s infliction of penalty (smothing involving deprivation or distress) on an offender for an offense.” 81 Dalam artian pidana tersebut merupakan hukuman yang diberikan oleh pihak yang berwenang (sesuatu yang mencakup pencabulan/penderitaan) terhadap seorang pelanggar dari sebuah pelanggaran. b. Van Hammel ”Pidana merupakan suatu penderitaan yang bersifat khusus yang dijatuhkan oleh pihak yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar.”82 c. Fritzgerald ”Pidana merupakan suatu penderitaan dari pihak yang berwenang terhadap sebuah pelanggaran.”83 d. Black’s Law Dictionary ”Punishment is any fine, penalty of confinement inflicted upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court, for some
81
Muhammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana, Yogyakarta, h.18 82
Marlina, op.cit, h.18
83
Marlina, op.cit, h.19
67
crime of offense commited by him, or for his commision of a dry enjoined by law.”84 e. Bonger ”Pidana ialah menjatuhkan suatu penderitaan yang disebabkan karena orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat.” 85
Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana tersebut adalah suatu penderitaan atau nestapa sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi dalam Dwija Priyatno, yakni: pidana dijatuhkan tidak karena melakukan perbuatan jahat akan tetapi agar jangan diperbuat kejahatan.86 Selanjutnya menurut Hulsman, ”pidana merupakan suatu upaya untuk menyerukan tertib, dimana pidana mempunyai dua tujuan utama untuk mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik yang timbul.”87 Menurut Binsbergen, hakikat pidana tersebut merupakan penunjukkan salah oleh penguasa sehubungan dengan suatu tindak pidana, dimana tingkah laku pembuat pidana tidak dapat diterima baik untuk mempertahankan lingkungan masyarakat maupun untuk menyelamatkan pembuat sendiri.88
84
85
Barda Nawawi Arief I, op.cit, h 2-4 W.A Bonger, 1997, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.20
86
Dwija Priyatno, 2007, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.8-9 87
Marlina , op.cit, h.21
88
Marlina, loc.cit.
68
Sehingga berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat dikatakan bahwa pidana mengandung unsur-unsur serta ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pada hakikatnya pidana adalah suatu penjatuhan penderitaan atau nestapa. 2. Pidana secara sengaja diberikan oleh orang atau badan yang telah diberikan wewenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab. 3. Pidana diberikan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana menurut peraturan hukum yang berlaku. Adapun pengertian tindak pidana dalam dalam KUHP dikenal dengan istilah strafbaarfeit, sedangkan dalam istilah kepustakaan hukum pidana sering disebut dengan istilah delict dan bagi para pembuat undang-undang dalam merumuskan suatu undang-undang menggunakan istilah tindak pidana atau perbuatan pidana. Adapun tindak pidana-tindak pidana yang termuat dalam Buku II dan II KUHP merupakan rumusan perbuatan-perbuatan tertentu baik itu secara pasif maupun aktif yang dilarang untuk diperbuat oleh orang yang disertai dengan adanya ancaman pidana tertentu bagi siapapun yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. 89 Beberapa pakar hukum pidana berusaha memberikan pandangan mengenai pengertian daripada tindak pidana, seperti : a. Van Hamel
89
Adam Chazawi, op.cit, h.1
69
“Tindak pidana adaah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang mana bersifat melawan hukum dan pantas dipidana serta dilakukan dengan melakukan kesalahan.”90 b. Moeljatno “Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum, dimana larangan tersebut disertai dengan sanksi atau ancaman yang berupa pidana tertentu, terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut.”91 c. Wirjono Prodjodikoro “Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang mana pelaku dikenakan hukuman pidana.”92 d. Simons “Strafbaarfeit merupakan handeling atau kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum dan berhubungan dengan kesalahan, serta dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.” 93 Jika melihat pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dalam pokoknya tindak pidana ternyata : 90
Frans Maramis, 2013, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
h. 58 91
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 54 92
93
Wirjono Projodikoro, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, h.50
Adam Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disebut Adam Chazawi II) h.75
70
1. Bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti tingkah laku (handeling). 2. Bahwa penjelasan daripada strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang berkelakuan tadi.94 Menguraikan suatu rumusan delik ke dalam suatu unsur-unsurnya, maka yang dapat ditemukan adalah suatu perbuatan atau tindakan dari manusia yang telah melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Setiap tindak pidana yang tercantum dalam KUHP Indonesia pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsurunsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif tersebut merupakan unsur yang terdapat dari dalam diri si pelaku tindak pidana.Unsur-unsur subjektif dalam tindak pidana, yaitu : a. Kealpaan (culpa) Hal ini terdapat seperti dalam Pasal 201, Pasal 203, Pasal 359, Pasal 360, dan lain-lain. b. Kesengajaan (dolus) Hal ini terdapat seperti dalam Pasal 263, Pasal 310, Pasal 338, dan lain-lain. c. Maksud (oogmerk) Hal ini terdapat dalam kejahatan-kejahatan, seperti pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), pemalsuan (Pasal 263 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP), dan lain-lain d. Niat (voortnemen) Hal ini terdapat seperti dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP yakni percobaan (poging) e. Dengan rencana terlebih dahulu (met voorbedachte rade) Hal ini terdapat seperti dalam Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu, Pasal 342 KUHP yakni melakukan pembunuhan terhadap anak sendiri dengan perencanaan, dan lain-lain. f. Perasaan takut (vrees) g. Hal ini terdapat seperti dalam Pasal 341 KUHP yakni membuang anak sendiri.95 94
95
Widnyana, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, h.35 Tolib Setiady, op.cit, h.13
71
Selanjutnya pengertian daripada unsur objektif adalah unsur yang terdapat dari luar si pelaku tindak pidana, sedangkan menurut PAF.Lamintang, unsur objektif dari tindak pidana adalah unsur yang berhubungan dengan keadaan-keadaan dimana keadaan dari si pelaku itu harus dilakukan.
96
Unsur-unsur objektif dalam tindak
pidana meliputi : a. Perbuatan manusia Dalam hal ini perbuatan atau kelakuan daripada manusia baik itu secara aktif (berbuat sesuatu) maupun pasif (tidak melakukan sesuatu). Misalnya secara aktif terdapat dalam Pasal 338 KUHP (pembunuhan), Pasal 362 KUHP (pencurian), dan sebagainya; secara pasif misalnya terdapat dalam Pasal 531 KUHP, yakni tidak memberikan pertolongan kepada orang yang sedang mengalami bencana. b. Akibat yang menjadi syarat mutlak daripada delik Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dirumuskan secara materil, seperti penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP), dan sebagainya. c. Bersifat melawan hukum Suatu perbuatan yang dilarang dan diancam oleh peraturan perundangundangan hukum pidana yang memenuhi semua unsur rumusan delik yang tertulis harus bersifat melawan hukum, jika tidak bersifat melawan hukum
96
Tolib Setiady, op.cit, h.11
72
tidak dapat dipidana (misalnya, sengaja membunuh tentara musuh yang dilakukan oleh tentara dalam peperangan). d. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana Terdapat beberapa tindak pidana yang untuk dapat memiliki sifat tindak pidananya memerlukan hal-hal objektif dan subjektif yang menyertainya.Halhal objektif yang dimaksud seperti melakukan penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan (Pasal 282 KUHP), dan lain-lain.Serta, hal-hal yang subjektif seperti melakukan pembunuhan terhadap anak sendiri yang dilakukan oleh ibu kandungnya (Pasal 341-342 KUHP), kejahatan jabatan (Pasal 413-437 KUHP), dan sebagainya. Sehingga dalam hal ini, unsur-unsur tersebut harus ada pada saat perbuatan dilakukan, oleh karena ditentukan oleh sifat tindak pidana itu sendiri. e. Pemberatan pidana Delik-delik yang dapat dikualifikasikan oleh suatu akibat, yang mana ditimbulkan oleh akibat tertentu, sehingga ancaman pidananya diperberat, misalnya seperti merampas kemerdekaan orang (Pasal 333 ayat 1 KUHP) diancam
dengan
pidana
penjara
8
tahun,
jika
perbuatan
tersebut
mengakibatkan luka-luka berat, maka ancaman pidananya diperberat menjadi 9 tahun (Pasal 333 ayat 2 KUHP), dan apabila mengakibatkan kematian, maka ancaman pidananya diperberat lagi menjadi paling lama pidana penjara selama 12 tahun (Pasal 333 ayat 3 KUHP) , dan sebagainya. f. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana
73
Hal ini misalnya tampak dalam Pasal 164-165 KUHP dimana seseorang yang mengetahui adanya suatu kejahatan-kejahatan tertentu tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib atau kepada orang yang terancam (pelaku hanya dapat dipidana jika kejahatan jadi dilakukan), Pasal 531 KUHP dimana seseorang tidak memberikan pertolongan kepada orang lain yang sedang menghadapi maut (pelaku hanya dapat dipidana jika kemudian orang tersebut meninggal dunia), dan sebagainya. Seorang ahli hukum pidana, yakni Moeljatno merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut : a) Unsur-unsur formal: a. Perbuatan manusia b. Perbuatan tersebut dilarang oleh aturan hukum c. Larangan itu disertai dengan sanksi atau ancaman berupa pidana tertentu d. Larangan tersebut dilanggar oleh manusia b) Unsur-unsur materil a. Perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, yakni harus dengan benar dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu perbuatan yang tidak patut dilakukan. Tindak Pidana Pembunuhan sudah lama di kenal oleh Hukum Nasional Indonesia melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam Bab XIX Buku II KUHP menggolongkan beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap Nyawa, meliputi Pembunuhan dengan sengaja (Pasal 338 KUHP);
74
Pembunuhan yang dapat memperberat hukuman (Pasal 339 KUHP);Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP);Pembunuhan terhadap bayi yang dilakukan oleh ibunya (Pasal 341 KUHP);Pembunuhan terhadap bayi yang direncakan terlebih dahulu (Pasal 342 KUHP);Pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan dari korban (Pasal 344 KUHP);Tindakan yang dilakukan secara sengaja menganjurkan atau membantu atau memberi dengan upaya kepada orang lain untuk melakukan bunuh diri (Pasal 345 KUHP);Menggugurkan kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346 KUHP);Menggugurkan kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347 KUHP);Matinya kandungan dengan izin wanita yang mengandungnya (Pasal 348 KUHP);Dokter atau bidan yang membantu menggugurkan atau matinya kandungan (Pasal 349 KUHP). Dalam penelitian ini, secara khusus akan dibahas mengenai Pasal 340 KUHP yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu. Pasal 340 KUHP, yakni “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Adapun unsur-unsur dalam Pasal ini, yaitu : a. Perbuatan dengan sengaja; b. Perbuatan itu harus dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu; c. Perbuatan tersebut dimaksudkan untuk menimbulkan matinya orang lain. Unsur kesengajaan dalam Pasal 340 KUHP mengandung pengertian bahwa unsur-unsur lain yang posisinya dibelakang unsur kesengajaan, harus dianggap
75
diliputi oleh unsur kesengajaan, patut diterangkan bahwa unsur kesengajaan dalam Pasal 340 KUHP merupakan unsur kesengajaan dalam arti yang luas. Hal ini dalam Pasal 340 KUHP, terdapat suatu unsur yang disebutkan dengan “direncanakan terlebih dahulu” artinya ialah : a. Telah merencanakan kehendaknya terlebih dahulu; b. Rencana tersebut harus dilakukan dalam keadaan tenang; c. Rencana pelaksanaan kehendak itu memerlukan jangka waktu yang agak lama. Pembunuhan berencana (moord) terdiri dari pembunuhan yang dalam artinya Pasal 338 KUHP ditambah dengan adanya unsur direncanakan terlebih dahulu. Pada pembunuhan berencana ini, ancamannya lebih berat dibandingkan dengan pembunuhan dalam Pasal 338 mauppun 339 KUHP dikarenakan terdapatnya unsur direncanakan terlebih dahulu tersebut. Untuk memenuhi unsur daripada Pasal 340 KUHP ini, maka perbuatan itu harus merupakan pelaksanaan daripada niat yang telah direncanakan dan dipertimbangkan dengan tenang.97 Mengutip dari buku “Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana”, menurut R.Soesilo menyatakan bahwa direncanakan terlebih dahulu (voorbedacbte) adalah “antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih terdapat waktu tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan dengan cara
97
Frans Maramis, op.cit, h.300
76
seperti apa pembunuhan akan dilakukan”. 98 Hal waktu tempo yang diperlukan, tidak diberikan batasan yang mana tidak terlalu lama maupun tidak terlalu sempit, hanya saja dalam tempo tersebut si pembuat masih dapat berpikir dengan tenang dimana sebenarnya ia masih mempunyai kesempatan untuk membatalkan niatnya, namun waktu itu tidak ia pergunakan.
2.4
Mutilasi Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “mutilasi” merupakan suatu
proses atau tindakan memotong-motong tubuh manusia maupun hewan. 99 Jika dilihat, kata “mutilasi” tidak selalu identik dengan hewan atau manusia. Mutilasi biasanya diidentikan dengan suatu pekerjaan dengan memotong-motong atau memilah sesuatu menjadi bagian yang lebih kecil. Menurut pendapat dari Burton’s Legal Thesaurus, mutilasi (mutilate) adalah “amputate, batter, blemish, broise, butcher, cripple, sut, damage, debilitate, deface, deform, deprive of an important part, disable, disfigure, dismantle, dismember, distort, gash, impair, incapatitate, injure, knock out of shape, lacerate, maim, mangle, render a document imperfect”.100
98
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, 2014, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Kencana Prenamedia Group, Jakarta, h.110 99
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/mutilasi, diakses pada tanggal 11 Agustus
2014. 100
William, C.Burton, 1998, Burton’s Legal Thesaurus¸McGraw-Hill, New York,
77
Dilihat dalam konteks hukum pidana, pengertian Mutilasi terlihat pada Black’s Law Dictionary yaitu “the act of cutting off maliciously a person’s body, esp. to impair or destroy the vistim’s capacity for self-defense.”101 Jika dilihat dalam konteks hukum pidana tersebut, tindak mutilasi hanya terbatas pada korban yang berupa manusia secara alamiah baik merupakan perseorangan maupun kelompok dan bukan berupa hewan maupun tumbuhan. Tindakan mutilasi dapat dilakukan oleh pelaku kepada korban yang masih dalam keadaan bernyawa maupun tidak bernyawa lagi dengan alasan untuk menghilangkan jejak korban maupun dengan alasan balas dendam dan ini merupakan tindakan yang sangat tercela oleh masyarakat maupun di mata Tuhan sebagaimana tindakan ini amat sangat kejam dan jahat. Sehingga, tindakan memotong tubuh manusia secara hidup-hidup ataupun mayat manusia sangatlah pantas untuk dimasukkan ke dalam kejahatan dan bukan suatu pelanggaran. Hal ini didasarkan pada fungsi hukum pidana sebagai suatu hukum publik yang melindungi serta menjamin rasa kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat umum. Melihat dari sisi ilmu kriminologi, pengertian daripada mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar.102 Sedangkan, menurut beberapa ahli kejahatan pidana kejahatan ini biasanya terjadi tergantung daripada kondisi psikis daripada pelaku, dimana pelaku cenderung mengalami gangguan jiwa, sedangkan menurut pendapat lain ahli 101
Bryan Garner, 1999, Black Law Dictionary, Oxford University, p.127
102
Adrianus Meliala, 2006, Kriminologi Tindak Pidana, Gramedia, Jakarta h. 57
78
kejahatan pidana dimana kejahatan memutilasi tubuh seseorang merupakan suatu kejahatan susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan, yang dimaksudkan untuk menutupi kejahatan pembunuhan, sehingga korban tidak diketahui secara jelas keberadaannya ataupun jika diketahui maka akan mengelabui penyidik untuk mengungkap identitasnya. Beberapa pengertian kata mutilasi menurut beberapa sarjana, seperti : a. Ruth Winfred “Mutilasi atau flagelasi merupakan pembedahan dengan membuang bagian tubuh.”103 b. Zax Specter “Mutilasi merupakan suatu aksi yang menyebabkan satu atau beberapa bagian tubuh manusia tidak dapat berfungsi.”104
Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat dipahami bahwa mutilasi atau amputasi adalah suatu keadaan, kegiatan yang secara sengaja memisahkan, memotong, membedah atau membuang satu atau beberapa bagian dari tubuh yang menyebabkan berkurang atau tidak berfungsinya organ tubuh. Mutilasi apabila dilihat dalam sejarah merupakan suatu budaya yang pada dasarnya sudah berlangsung selama lebih dari ratusan tahun bahkan sampai ribuan tahun, dimana banyak sukusuku di dunia telah banyak melakukan budaya mutilasi yang mana perbuatan tersebut 103
104
Supardi Ramlan, 2001, Patofisiologi, Rineka Cipta, Bandung, h.35 Gilin Grosth, 2004, Pengantar Ilmu Bedah Anestesi, Prima Aksara, Yogyakarta, h.73
79
adalah identitas dari suku mereka terhadap dunia seperti suku aborigin, suku amazon, suku-suku Brazil, Amerika, Peru, Conibos, dan Meksiko. Secara umum, mutilasi itu sendiri dilakukan terhadap perempuan yang merupakan prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan yang sensitif atau sering disebut dengan female genital mutilation (FGM). Akan tetapi secara de facto, mutilasi tidak hanya digunakan dalam suatu tradisi kebudayaan yang terdapat nilai estetika dan nilai filosofis, akan tetapi mutilasi masuk ke dalam suatu modus operandi tindak kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan dengan tujuan untuk menghilangkan jejak pelaku, menyamarkan identitas korban maupun juga untuk menghilangkan jejak daripada korban dengan cara memotong-motong bagian tubuh korban menjadi beberapa bagian. Adapun secara umum mutilasi dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni : a. Mutilasi ofensif (offensive mutilation), ialah suatu tindakan irasional yang dilakukan dalam keadaan mengamuk, “frenzied state of mind”.Dimana mutilasi ini dilakukan sebelum pembunuhan korban dilakukan. b. Mutilasi defensif (defensive mutilation), ialah pemotongan atau pemisahan anggota badan yang bertujuan untuk menghilangkan jejak korban setelah pembunuhan dilakukan. Secara rasional, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan tubuh korban sebagai barang bukti.105
105
Supardi Ramlan, loc.cit
BAB III PIDANA MATI TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DISERTAI MUTILASI
3.1
Pengaturan Pidana Mati di Dalam dan Luar KUHP Pengaturan pidana mati dalam hukum pidana positif Indonesia bermula pada
jaman pemerintahan kolonial Belanda sejak tanggal 1 Januari 1918, yang mana diatur dalam wetbook van strafrecht voor nederlandsch inide dalam Buku I, Bab II tentang pokok-pokok pidana dalam Pasal 10 jo Pasal 11. Pidana mati tersebut dijatuhan terhadap jenis-jenis pelanggaran berat, akan tetapi sekarang di Belanda pidana mati telah dihapuskan sudah lama melalui UU tanggal 17 September dengan stb 162 tahun 1870. Dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas pidana mati merupakan hukum positif yang berlaku secara sah dan secara tegas diatur oleh Pasal 10 KUHP (tentang jenis-jenis pemidanaan).106 Adapun kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP warisan Belanda, seperti ; 1. Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara; 2. Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ;
106
Pasal 10 KUHP : “a. Pidana Pokok: 1. Pidana Mati, 2.Pidana Penjara, 3.Pidana Kurungan, 4. Pidana Denda, b. Pidana Tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang tertentu, 3. Pengumuman putusan hakim.”
80
81
3. Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia; 4. Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang; 5. Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat; 6. Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu; 7. Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati; 8. Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ; 9. Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang; Pidana mati tidak hanya diatur dalam KUHP, melainkan diatur pula di luar KUHP seperti: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer; 2. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang Senjata Api, Amunisi Atau Sesuatu Bahan Peledak; 3. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan Tentang Memperberat Ancaman Hukuman
82
Terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan; 4. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom; 5. Pasal 2 Perpu No. 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi; 6. Pasal 36, 37, 41 dan 42 ayat (3), Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; 7. Pasal 2 ayat (2), Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 8. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 9. Pasal 14, Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; 10. Pasal 113 ayat (2), 114 ayat (2), 116 ayat (2), 118 ayat (2), 119 ayat (2), 121 ayat (2), dan 133 ayat (1), Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pidana mati bagi kejahatan extra ordinary crime, sama sekali bukan murni dengan tujuan balas dendam seperti yang sering dituduhkan oleh kelompok yang kontra terhadap pidana mati melainkan berdasarkan keyakinan moral bahwa
83
kejahatan yang mereka lakukan, secara moral adalah kejahatan yang sangat berat dan meresahkan serta melukai perasaan moral keadilan masyarakat. Pidana mati sebagai salah satu pidana pokok di Indonesia merupakan suatu pidana yang paling kontroversial diantara pidana lainnya. Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali melarang pidana mati melainkan membatasi penerapannya. Keberadaan pidana mati di Indonesia masih tetap dipertahankan dengan catatan pemberlakuannya harus ditempatkan sebagai sarana terakhir dalam pemberian hukuman apabila pidana pokok yang lain diperkirakan tidak bisa memperbaiki si pelaku. Pencantuman mengenai sanksi yang berupa pidana mati ini juga masih sangat diperlukan dalam KUHP Indonesia, hal ini dikarenakan keberagaman bangsa Indonesia baik secara geografis maupun budaya disamping itu pula secara ekonomi dan politik yang belum stabil dan peningkatan kualitas dan kuantitas daripada kejahatan sampai kepada kejahatan yang diluar batas-batas kemanusiaan. Hanya saja sebagai pengecualian penerapan pidana mati ini harus dilakukan secara khusus. Adapun beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi jika pidana mati ini masih tetap dipertahankan, yakni : a. Pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila benar-benar kepentingan umum terancam.
84
b. Pidana mati hanya boleh dijatuhkan apabila hakim benar-benar yakin akan kesalahan si terdakwa dapat dibuktikan selengkap-lengkapnya. c. Pidana mati harus diancamkan secara alternatif dengan lain jenis pidana, artinya tidak dijatuhkan semata-mata sehingga hakim dapat memilih yang menurut keyakinannya lebih sesuai dengan kesalahan si terdakwa. 107
Pengaturan pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dilihat dari aspek peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah HAM di Indonesia, mempunyai Legitimasi yang kuat. Legitimasi tersebut lebih diperkuat lagi dengan salah satu instrumen hukum penegakan HAM internasional, yaitu International Convenant on Civil and Political Right. Dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR dinyatakan bahwa bagi negara yang belum menghapus ketentuan hukuman mati, putusan tersebut berlaku hanya pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini. Menurut kovenan ini jika suatu kejahatan diasumsikan sebagai kejahatan berat atau kejahatan serius maka, pidana mati terhadapnya dapat dibenarkan. Selain ICCPR , berbagai konvensi internasional memperbolehkan diberlakukannya pidana mati dalam keadaan tertentu, seperti Protocol Additional I to 1949, “Convention and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict”, Protocol Additional II to 1949, “Convention and Relating to the Protection of Non International Armed Conflict”, Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC), Eropean Convention On Human Rights, dan sebagainya yang mana kesemuanya itu membolehkan penjatuhan hukuman mati.
107
Tolib Setiady, op.cit, h.85
85
Pemidanaan memang mustahil menghapuskan kejahatan dari muka bumi, akan tetapi paling tidak pemidanaan menyebabkan the sense of justice of the victims menjadi terwujud.108 Pemidanaan yang didalamnya termasuk pidana mati ini dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan hukum yaitu kedamaian (peace), keadilan (justice), kemanfaatan (utility), dan kepastian (certainty).109
3.2
Pro dan Kontra Terhadap Pidana Mati Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada dihampir seluruh masyarakat
dan Negara di dunia baik secara nasional maupun internasional. Indonesia pun tak luput dari kontraversi ini. Oleh karena itu sangatlah wajar bahwa pidana mati merupakan suatu problema yang paling kontroversial. Kontroversial dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal tolak yang sama tetapi berakhir dengan hasil yang berlawanan. Selain itu, kontroversial ialah dua buah landasan pemikiran yang jelas berbeda atau bertolak belakang sejak semula. Bahkan kontroversial pula karena tidak ada kesepakatan tentang sarana pelaksanaan pidana mati.110 Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan Uji materiil terhadap penerapan pidana mati dalam Undang-undang Nomor: 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, disatu pihak menunjukan eksistensi pidana mati di Idonesia semakin memiliki legalitas. Dipihak lain putusan MK tersebut telah menjadi causa 108
Achmad Ali, 2010, Menguak Realitas Hukum :Rampai Kolom & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.36 109
Ibid
110
J.E. Sahetapy, op.cit, h. 94
86
celebre (pemicu) munculnya kembali polemik yang tidak akan pernah tuntas tentang pro dan kontra mengenai tetap dipertahankannya pidana mati dalam hukum pidana positif di Indonesia. Dilihat dalam perjalanan sejarah munculnya pendapat yang pro dan kontra pidana mati, masing-masing ditunjang dengan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Jika dikaitkan dengan sila ke-2 Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan “hak hidup” setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945, pelaksanaan hukuman mati dianggap telah merampas hak hidup dan dari sisi kemanusiaannya dianggap tidak adil, karena telah merampas hak hidup seseorang yang oleh konstitusi jelas-jelas disebutkan bahwa hak hidup seseorang itu tidak dapat dan tidak boleh dirampas ataupun dikurangi dalam keadaan apapun. Permasalahan terjadi di Indonesia ketika penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak terpidana mati mengalami ketidakjelasan nasib. Walaupun telah mendapatkan vonis mati namun eksekusi tidak kunjung dijalankan sampai bertahun-tahun. Hal seperti itu malah menimbulkan penderitaan baru bagi para terpidana. Mengingat yang akan dihadapinya adalah kematian. Dengan mempertahankan hukuman mati maka dapat menciptakan ketertiban di dalam masyarakat karena apabila tidak ada hukuman mati maka akan terjadi keresahan di masyarakat. Hal ini mungkin saja terjadi karena terpidana yang seharusnya dihukum mati, apabila tidak dihukum mati dikhawatirkan jika ia kembali ke masyarakat dapat mengulangi perbuatannya kembali dan mungkin saja semakin parah.
87
Pidana mati bagi kejahatan extra ordinary crime sama sekali bukan dengan tujuan balas dendam seperti yang sering dituduhkan oleh kelompok yang kontra terhadap pidana mati melainkan berdasarkan keyakinan moral bahwa kejahatan yang mereka lakukan, secara moral adalah kejahatan yang sangat berat dan meresahkan serta melukai perasaan moral keadilan masyarakat. Sampai hari ini pihak yang pro hukuman mati dan yang kontra hukuman mati masih silang sengketa. Masing-masing datang dengan rasional dan tumpukan bukti yang berseberangan dan dalam banyak hal seperti mewakili kebenaran itu sendiri. Pidana mati akan selalu menjadi topik debat klasik diantara masing-masing kelompok, baik yang pro (kelompok retensionis) maupun yang kontra (kelompok abolisionis) terhadap pidana mati mendasarkan pendapatnya pada argumen yang kuat. Memang tidak ada suatu keharusan untuk menerapkan hukum pidana di Indonesia harus seutuhnya sama dengan Negara yang menjadi kiblat hukum pidana nasional kita, namun karena pidana mati berkaitan dengan hak hidup seseorang maka tentu akan menimbulkan pertentangan yang melahirkan pro kontra antara para ahli hukum pidana yang sampai pada saat ini belum jelas akhirnya. Sangat wajar pertentangan tersebut muncul, namun Negara tentu mempunyai pertimbangan-pertimbangan khusus memberlakukan pidana mati dalam hukum pidana kita sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 huruf a angka 1 KUHP tersebut. Adapun kecendrungan para ahli yang setuju terhadap pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya pada umumnya didasarkan pada alasan konvensional yakni kebutuhan pidana mati masih sangat dibutuhkan untuk menghilangkan orang-
88
orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa sudah tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan bagi mereka yang kontra terhadap pidana mati umumnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan ditemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim ataupun tidak dapat memberikan efek jera kepada orang lain, karena masih saja banyak yang melakukan kejahatan serupa. Salah satu hal pula yang dijadikan alasan pihak yang kontra pidana mati di Indonesia, adalah di Belanda sendiri yang merupakan sumber dari KUHP, sejak tahun 1870 sudah menghapuskan sanksi pidana mati, sejalan dengan isu perkembangan HAM. Selain itu, menurut pandangan kalangan yang menolak pidana mati, keberadaan pidana mati di Indonesia bertentangan dengan amanat konstitusi yang secara tegas memberikan jaminan atas hak hidup. Sehingga mempertahankan penerapan pidana mati telah melanggar HAM. Secara komprehensif, baik dilihat dari aspek sejarah, budaya maupun kecenderungan-kecenderungan masyarakat internasional, secara obyektif pidana mati di Indonesia telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pidana mati bukan saja telah memberikan jaminan perlindungan atas Hak Asasi semua warga negara, tetapi telah sejalan dengan kesepakatan- kesepakatan masyarakat Internasional yang beradab. Oleh karena itu, dalam hukum positif, pidana mati sebagai salah satu sanksi yang sangat keras masih tetap dibutuhkan bagi para pelaku kejahatan berat. Hanya saja dalam pengaturan serta penerapannya perlu dilakukan secara selektif dan hati- hati, termasuk pelaksanaan eksekusi mati yang dilaksanakan lebih baik lagi. Dengan
89
demikian, sistem peradilan pidana yang punitif dan represif tidak menjadi faktor kriminogen. Menurut pendapat dari Lombroso dan Garafolo yang setuju terhadap pidana mati menyatakan bahwa pidana mati adalah alat yang mutlak, yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin diperbaiki lagi. Dalam artian, bahwa setiap individu yang tidak dapat diperbaiki lagi, haruslah dilenyapkan dan dengan hilangnya mereka, tidak ada kewajiban negara untuk memeliharanya. 111 Salah satu pakar hukum pidana Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan : “bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana).112
Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para pendukung pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan pidana mati sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif. Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang diperintah menjadi rentan dan lemah layaknya kekuasaan otoriter yang menjadikan
111
Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, h.72
112
Barda Nawawi Arief III, op.cit., h.89.
90
pidana mati sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang yang bersebrangan dengan penguasa. 113 Sedangkan bagi pihak yang kontra terhadap pidana mati seperti, T.Mulya Lubis, Sudarto, J.E Sahetapy, VB Da Costa, memiliki alasan-alasan sebagai berikut : 1. Hukuman mati tidak selalu efektif sebagai cara untuk menakut-nakuti penjahat; 2. Pembebasan dari hukuman mati, tidak akan selalu menimbulkan pengeroyokan; 3. Melanggar nilai-nilai hidup manusia dan cenderung untuk membenarkan pembunuhan; 4. Kesalahan dalam peradilan tidak dapat diperbaiki kembali; 5. Hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia.114
Roeslan Saleh dalam salah satu karangannya menguraikan tentang alasan hukuman mati tidak dapat diterima dan tidak dapat dibenarkan, antara lain dengan mengajukan alasan-alasan bahwa hukuman mati pada pokoknya tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam Pancasila dan Dasar Negara Indonesia. Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa hukuman mati tidak layak dan tidak pantas di terapkan di Indonesia. Oleh karena itu, Roeslan Saleh lebih menekankan kepada penjara seumur hidup dan pidana-pidana lainnya yang merupakan pembatasan dan perampasan atas kemerdekaan dan harta kekayaan seseorang sejalah yang dapat dipandang sebagai pidana, sedangkan hukuman mati tidak. Selain itu, juga mendasari pendapatnya yang
113
Philip Nonet & Philip Selznick, 2007, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, h.. 33.
114
Yesmil Anwar dan Adang, loc.cit.
91
menentang hukuman mati dengan alasan demoralisasi, di mana hukuman mati dianggap sebagai hukuman yang merendahkan kewajiban negara. 115 Seorang tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah seorang berkebangsaan Italia yang bernama Beccaria. Ia menyatakan bahwa pidana mati berentangan dengan tujuan pemidanaan sebab sebenarnya tujuan pemidanaan adalah mencegah timbulnya kejahatan atau pelanggaran, selain itu pemidanaan diharapkan dapat memperbaiki individu yang telah melakukan tindak pidana disamping untuk melindungi masyarakat. Ferri yang juga seorang berkebangsaan Italia menentang pidana mati, ia berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.116 Selanjutnya krminolog Oxvord, Roger Hood yang menggunakan analisis efek jera pidana mati dan penjara seumur hidup. Adapun pendapatnya adalah gegabah bila kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.117 Menurut penulis jelas pendapat Ferri maupun Roger Hood bertentangan dengan apa yang telah disampaikan Foster (terpidana mati) yang lebih memilih mati 115
Habib Shulton Asnawi, 2012, Hak Asasi Manusia Islam dan Barat ( Studi Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati ), Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 1, No. 1, Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta, h. 19. 116
117
Ibid., h.38.
Todung Mulia Lubis & Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas Media Group, Jakarta, h. 106.
92
dibandingkan dipidana penjara seumur hidupnya. Jelas, hal ini melahirkan kontradiksi sikap batin yang sangat mencolok yang menurut penulis melahirkan pendapat yang apriori dikarenakan sikap batin pada setiap orang adalah relatif.
3.3
Kasus dan Analisa a. Kasus Posisi Pada hari Jumat tanggal 11 Juli 2008 sekitar pukul 20.00 wib, Terdakwa Very
Idham Heryansyah alias Rian Jombang, bertempat di Apartemen Margonda Residence Block C Nomor 309 A Jalan Margonda Raya, Depok secara sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, yaitu Hery Santoso selaku korban. Kejadian ini bermula pada saat muncul keinginan dari Terdakwa untuk membunuh korban Hery Santoso, yang kemudian Terdakwa menyusun rencana untuk membunuh korban Hery Santoso. Oleh karena itu, pada tanggal 9 Juli 2008 Terdakwa menghubungi korban Hery Santoso kembali, dimana sebelumnya Terdakwa sama sekali berlum pernah menghubungi kembali korban Hery Santoso sejak akhir bulan Juni 2008. Terdakwa pun mulai mempersiapkan alat-alat yang nantinya akandipergunakan untuk membunuh korban Hery Santoso. Setelah selesai menyiapkan alat-alat, Terdakwa kembali menghubungi korban Hery Santoso untuk diajak bertemu di Apartemen Margonda Residence Block C Nomor 309 A. terdakwa beralasan bertemu dengan korban Hery Santoso akan memperkenalkannya dengan
93
penghuni Apartemen Margonda Residence, yang sebenarnya ini hanyalah alasan Terdakwa untuk dapat bertemu dengan korban Hery Santoso lalu membunuhnya. Sesampainya Terdakwa dan korban Hery Santoso di Apartemen Margonda Residence kamar Block C No.309 A, Terdakwa dan korban Hery Santoso membicarakan penghuni Residence, yang rencananya akan diperkenalkan oleh Terdakwa kepada korban Hery Santoso. Saat sedang membicarakan hal tersebut, korban Hery Santoso menanyakan kepada Terdakwa tentang siapakah pacar Terdakwa pada saat itu dan dijawab oleh Terdakwa sembari menunjukkan foto pacarnya, yaitu saudara Noval. Setelah melihat foto saudara Noval, korban Hery Santoso tertarik kepada saudara Noval dan ingin mengajaknya untuk berkencan. Terdakwa yang tidak terima dengan hal tersebut langsung adu mulut serta sampai pada pemukulan diantara Terdakwa dan korban Hery Santoso.Selanjutnya, Terdakwa mengambil sebilah pisau yang langsung ditusukkan kepada korban Hery Santoso. Penusukkan terjadi berulang kali di sekitar wajah, perut, dada, dan mulut korban Hery Santoso. Terdakwa juga memukul korban Hery Santoso menggunakan besi ulir, sehingga akhirnya korban Hery Santoso tidak bergerak lagi. Setelah mengetahui korban Hery Santoso sudah dalam keadaan tidak bernyawa, Terdakwa lalu membuka seluruh pakian korban Hery Santoso kemudian mengambil pisau untuk memotongmotong bagian tubuh (mutilasi) korban Hery Santoso menjadi 7 (tujuh) buah bagian. Ketujuh potongan tersebut lalu dimasukkan ke dalam beberapa tas koper dan plastik warna hitam, lalu membuang potongan-potongan tubuh korban Hery Santoso tersebut di tanah kosong yang berada di Jalan Kebagusan. Sebelum melakukan pembuangan
94
terhadap ketujuh bagian tubuh korban Hery Santoso, Terdakwa mengambil barangbarang milik korban Hery Santoso, seperti uang, handphone, dan beberapa kartu kredit. Dari sedikit pemaparan kasus tersebut diatas, adapun hal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan Nomor Register: PDM5/Depok/11/2008 tanggal 11 Nopermber 2008 mendakwa terdakwa dengan dakwaan berlapis yang disusun secara kombinasi: subsideritas-allternatif, yakni dakwaan kesatu primair Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana), subsidair Pasal 339 KUHP (pembunuhan dengan kekerasan), lebih subsidair Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa), selanjutnya dakwaan kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (3) KUHP (Pencurian dengan kekerasan).
b. Pertimbangan Hakim Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, keterangan saksisaksi, keterangan Terdakwa serta keberadaan barang bukti, maka hal-hal yang perlu dipertimbangkan oleh Majelis Hakim pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Menimbang, bahwa Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa dengan dakwaan berlapis yang disusun secara kombinasi : Subsideritas – Alternatif sebagai berikut : Kesatu : -
Primair : sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP;
-
Subsidair : sebagaimana diatur dan diancam pidana dala Pasal 339 KUHP;
95
-
Lebih Subsidair : sebagaimana diatur dan diancam pidana dala Pasal 338 KUHP;
Atau Kedua : Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (3) KUHP; 2. Menimbang, Majelis Hakim berkeyakinan ketika terdakwa melakukan kejahatan pembunuhan terhadap Hery Santoso dilakukan dengan sadar dan sehat akal pikirannya, tidak dalam terganggu jiwanya, sehingga terhadap terdakwa dapat diminta pertanggungjawaban secara hukum. 3. Menimbang, bahwa hal ini juga dikuatkan dengan keterangan saksi ahli Drs. Untung Laksono, M.Si, psikolog dari Markas Besar Kepolisian RI yang melakukan pemeriksaan psikologi terdakwa, menyimpulkan bahwa terdakwa memiliki kompetensi psikologi dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, karena
memiliki
kecerdasan
normal
dan
memiliki
kecenderungan
memanipulasi untuk kepentingan pribadinya. 4. Menimbang, bahwa selama pemeriksaan Majelis Hakim tidak menemukan adanya alasan-alasan pembenar ataupun alasan-alasan pemaaf yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa dan kesalahan terdakwa, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatan yang telah dilakukan.
96
5. Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya. 6. Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana atas diri terdakwa perlu dipertimbangkan tentang hal-hal yang memperberatkan maupun meringankan, sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan : -
Perbuatan terdakwa sangat sadis dan tidak berperikemanusiaan;
-
Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;
-
Terdakwa sama sekali tidak menghargai kehidupan sebagai anugerah dari Tuhan;
-
Perbuatan terdakwa menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi keluarga korban, terutama istri dan anak korban yang masih kecil harus kehilangan ayahnya;
-
Terdakwa tidak menunjukkan penyesalannya;
-
Terdakwa
menyatakan
di
muka
persidangan
serangkaian pembunuhan di Jombang, Jawa Timur; Hal-hal yang meringankan : -
Tidak ada hal-hal yang meringankan bagi Terdakwa
pernah
melakukan
97
c. Putusan Hakim Memperhatikan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 346 KUHP, serta Pasal-Pasal dari peraturan hukum lain yang bersangkutan, MENGADILI : 1. Menyatakan terdakwa Very Idam Heryansyah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan Berencana”; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Very Idam Heryansyah atas perbuatan tersebut dengan pidana MATI; 3. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan; 4. (dan seterusnya)
Analisa Putusan Pengadilan Nomor Perkara: No.1036/Pid.B/2008/PN.Dpk Dalam putusan dengan Nomor Perkara: No.1036/Pid.B/2008/PN.Dpk, dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam penjatuhan pidana mati adalah dari segi hukum (yuridis) dan dari segi non hukum (non yuridis). Berdasarkan dari segi hukum (yuridis), diketahui bahwa berdasarkan faktafakta yang ditemukan dalam persidangan yaitu setelah menghubungkan antara keterangan saksi yang diajukan di depan persidangan maupun keterangan dari terdakwa, baik yang dibacakan di muka persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun saksi yang hadir di muka persidangan.
98
Sebelumnya dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah didakwa dengan Pasal 339 KUHP dengan ancaman hukuman seumur hidup yaitu ; “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dan pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara malawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”, hal ini karena setelah Ryan melakukan pembunuhan dia juga melakukan mutilasi atau memotong-motong tubuh korban agar tidak diketahui oleh orang lain terhadap tindakannya terhadap korban (Heri Santoso) yang telah dibunuh Ryan selain itu juga Ryan menguasai harta yang dimiliki korban untuk digunakan bersama dengan Noval. Selain Pasal 339 KUHP, Ryan juga didakwa lebih subsider terhadap Pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara yaitu ; “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun penjara”, ini karena Ryan dengan sengaja melakukan pembunuhan terhadap korban (Heri Santoso) yang pada saat itu berselisih dengan pelaku, hal ini terbukti dengan tindakan yang Ryan lakukan dengan mengambil pisau diatas meja untuk ditusukkan terhadap korban yang bukan hanya sekali tetapi berkali-kali yang berarti pembunuhan yang Ryan lakukan merupakan tindakan melawan hukum yang dilakukan secara sengaja untuk menghilangkan nyawa seseorang dan bukan suatu tindakan untuk melindungi diri, karena apabila
99
tindakan melindungi diri tidak akan mengulangi tindakan menikam secara berkalikali kecuali ada dendam sebelumnya. Selain itu pula Ryan dapat didakwa Pasal 365 ayat 3 KUHP dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara yaitu ; “Jika perbuatan (pencurian) mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, ini karena Ryan telah melakukan pencurian yang sebelumnya didahului dengan pembunuhan terhadap korban. Akan tetapi Ryan sebagai pelaku pembunuhan tidak hanya didakwa dengan dakwan seperti yang telah disebutkan diatas, tetapi juga didakwa dengan Pasal 340 KUHP, sebagaimana Dakwaan kesatu primer yang didakwakan oleh JPU dengan ancaman hukuman mati yaitu ; “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”, hal ini karena Ryan sebagai pelaku pembunuhan tidak hanya melakukan pembunuhan pada Heri Santoso saja tetapi pada korban-korban lain sebelum Heri yang dilakukan dengan sengaja dan berencana untuk menguasai harta yang dimiliki korban kecuali korban ke 4 yang dibunuh karena menjadi saksi atas tindakan yang telah Ryan lakukan terhadap korban sebelumnya. Selanjutnya, melihat putusan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa terdakwa Very Idam Heryansyah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana yaitu Pasal 340 KUHP (pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu) dan terdakwa telah terbukti secara sah meyakinkan melakukan
100
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana yang terkandung di dalam Pasal 340 KUHP tersebut. Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung tiga syarat atau unsur, yakni : 1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang, ialah pada saat memutuskan kehendak membunuh itu dilakukan dalam suasana batin yang tenang. Suasana batin yang tenang adalah suasana yang tidak dilakukan dengan tergesa-gesa atau terburu-buru dan tidak dalam keadaan terpaksa serta emosi yang tinggi. 2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, ialah waktu yang cukup ini relatif dalam artian tidak diukur dari lamanya waktu tertentu, melainkan bergantung pada keadaan kongkret yang berlaku. 3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang, ialah tidak dilakukan secara tergesa-gesa, tida ada rasa takut yang berlebihan, amarah yang tinggi, dan sebagainya. Ketiga syarat tersebut syarat dengan rencana terlebih dahulu sebagaimana yang dijelaskan di atas, bersifat kumulatif dan saling berhubungan, dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, jika sudah terpisah maka sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai dengan rencana terlebih dahulu. Pasal 340 KUHP adalah Pasal pembunuhan dengan pemberatan pidana dimana pembunuhan sebelum dilaksanakan telah direncanakan terlebih dahulu.
101
Kasus pembunuhan berencana disertai ini dalam Pasal 340 KUHP disebutkan unsur-unsurnya, akan tetapi tidak disebut kualifikasinya. Barang siapa secara sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, hanya terdapat unsur-unsur saja seperti : 1. Barang siapa; 2. Dengan sengaja; 3. Direncakan terlebih dahulu; 4. Menghilangkan nyawa orang lain. Ad.1. Barang siapa Bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah orang sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang dijatuhkan didepan persidangan karena telah didakwa melakukan suatu perbuatan pidana dan atas perbuatannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. Dipersidangan telah dihadapkan terdakwa yang bernama Very Idam Heryansyah yang telah didakwa melakukan suatu tindak pidana sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan tersebut dan terdakwa telah membenarkan identitasnya serta terdakwa adalah subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum, oleh karena itu unsur “barang siapa” telah terpenuhi.
102
Ad.2. Dengan sengaja Dalam hal ini pembuat undang-undang tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan sengaja (opzet),akan tetapi dalam Memorie van Toelichting (MvT) yang dimaksud dengan sengaja adalah menghendaki dan mengetahui. Hal tesebut dapat memberikan kesan bahwa seseorang dianggap sengaja melakukan dan mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukan atau secara umum suatu perbuatan yang disadari akibatnya oleh pelaku.118 Sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan, bahwa sudah jelas terdakwa Very Idam Heryansyah menyadari perbuatan yang dilakukannya tersebut sampai korban meninggal dunia, terlebih dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa Very Idam Heryansyah terbilang sangat sadis dengan memotong-motong bagian tubuh korban Hery Santoso. Sehingga, dalam hal ini unsur “dengan sengaja” telah terpenuhi dengan perbuatan terdakwa.
Ad.3. Direncakan terlebih dahulu Unsur perencanaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan jarak yang cukup waktu atau tempo antara timbulnya keinginan atau niat untuk melakukan perbuatan dengan pelaksanaannya. Dalam hal ini terdakwa Very Idam Heryansyah sebagaiman uraian peristiwa yang terjadi dalam persidangan, terdakwa dengan sengaja dan berencana terlebih dahulu melakukan perbuatan pidana ini dapat dilihat ketika terdakwa menusuk perut 118
Frans Maramis, op.cit, h. 119
103
korban dan kondisi korban sudah tidak berdaya, terdakwa dapat berpikir dengan tenang untuk membatalkan atau melanjutkan perbuatannya, tetapi justru terdakwa malah menyeret korban ke kamar mandi dan memukul kepala korban hingga korban tidak bergerak lagi, ditambah dengan memotong-motong tubuh korban menjadi 7 (tujuh) bagian. Sehingga berdasarkan hal ini, unsur “dengan direncanakan terlebih dahulu” menghilangkan nyawa orang lain telah terpenuhi.
Ad.4. Menghilangkan nyawa orang lain Penekanan dalam unsur ini adalah akibat dari suatu perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Dari keterangan terdakwa Very Idam Heryansyah, terdakwa telah mengakui perbuatannya terhadap korban Hery Santoso, dimana terdakwa telah menusuk perut dan mulut korban, serta menyeret ke kamar mandi dan memukul kepala korban menggunakan batang shower yang ada di kamar mandi, lalu dengan besi ulir hingga korban tidak bergerak lagi, kemudian memotongmotong bagian tubuh korban dan akhirnya potongan-potongan tersebut dibuang di kebun kosong di daerah Kebagusan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Serta hal ini diperkuat dengan hasil Visum Et Repertum dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta No. 955/SK.II/VII/2- 2008 tertanggal 11 Agustus 2008 yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Abdul Mun’im Idries , dimana korban diperiksa dalam keadaan sudah meninggal dalam keadaan terpotong-potong menjadi 7 (tujuh) bagian. Sehingga, dalam hal ini berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka unsur hilangnya nyawa orang lain telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan.
104
Dengan terpenuhinya unsur-unsur yang ada dalam Pasal 340 KUHP, maka Majeis Hakim telah memperoleh bukti yang sah menurut hukum dan oleh karenanya timbulah keyakinan bagi Majelis Hakim bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwa merupakan pelakunya. Dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan yang sama terhadap apa yang dikemukakan oleh Penuntut Umum tentang fakta-fakta dan dasar-dasar hukumnya. Akan tetapi, menurut pertimbangan Majelis Hakim Dakwaan subsidair-alternatif yang disampaikan oleh Penuntut Umum, yang mana dengan telah terbuktinya Dakwaan Kesatu Primair maka terhadap Dakwaan selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi. Selain melihat dari segi hukum (yuridis), sebelum menjatuhkan pemidanaan bagi terdakwa Majelis Hakim mempertimbangkan dari segi non hukum (non yuridis), yang diterapkan di dalam unsur-unsur yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa guna memperoleh penerapan hukum yang adil bagi terdakwa, sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan seperti yang telah diuraikan di atas, dimana hal-hal yang meringankan bagi terdakwa Very Idam Heryansyah sama sekali tidak ada dikarenakan perbuatan yang dilakukan terdakwa sama sekali tidak bisa ditoleransikan, sesuai dengan apa yang tercantum dalam halhal yang memberatkan di atas. Tidak hanya kasus yang dilakukan oleh Very Idham Heryansyah yang dijatuhi pidana mati oleh hakim, terdapat kasus lain lagi yakni yang dilakukan oleh Astini. Pada tanggal 17 Oktober 1996, Astini divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri
105
Surabaya, sebagaiman terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan pembunuhan berencana sesuai dengan ketentuan Pasal 340 KUHP . Astini yang tidak terima dengan putusan tersebut, lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Begitupun, pada 8 Januari 1997, Pengadilan Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya untuk menjatuhkan pidana mati. Namun, Astini terus berupaya menghindar dari vonis hukuman mati tersebut. Perempuan itu lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Akan tetapi putusan Mahkamah Agung
pada 13 Juni 1997 ternyata menguatkan kedua putusan
sebelumnya, yakni Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Astini tidak pantang menyerah, ia mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan hasilnya
pun tetap sama, yakni pidana mati. Putusan tersebut tetap
diberikan, mengingat perempuan tersebut melakukan pembunuhan berencana disertai dengan cara yang sangat sadis dan kejam yakni mutilasi. Putusan peninjauan kembali diberikan Mahkamah Agung pada 20 Februari 1998. Grasi menjadi harapan terakhir Astini, langkah hukum itu pun diajukan dan pada tanggal 12 Agsutus 2004 keluar surat Kepala Subdirektorat Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa permohonan grasi Astini ditolak presiden. Dalam Surat Keputusan Presiden R.I Nomor 9/G Tahun 2004 tentang grasi atas Astini, dinyatakan bahwa grasi yang diajukan lewat penasihat hukumnya ditolak. Putusan Presiden itu dikeluarkan tanggal 9 Juli 2004 dengan alasan tidak terdapat alasan yang cukup untuk diberikan grasi. Sehingga, pada Minggu 20 Maret pukul
106
01.20, Astini dieksekusi oleh regu tembak Brimob Kepolisian Daerah Jawa Timur yang beranggotakan 12 orang. Sebanyak enam peluru menerjang tepat di jantung Astini. Namun tidak diketahui secara jelas dimana eksekusi tersebut dilaksanakan. Adapun kasus Astini bermula dari masalah utang yang dimiliki Astini kepada para korbannya. Ia memiliki utang kepada tiga orang tetangganya, karena merasa tersinggung setiap kali ditagih dengan kata-kata kasar, akhirnya ia membunuh serta memutilasi ketiganya satu per satu. Korban pertama adalah Ibu Sukur alias Ny. Rahayu. Perempuan yang berusia 60 tahun tersebut dibunuh Astini pada Agustus 1992, hal ini dikarenakan Astini mempunyai utang sebasar Rp 1.250.000 kepada Ibu Sukur tetapi sulit untuk membayar hutang tersebut. Dalam hal ini korban meninggalkan 10 orang anaknya. Selanjutnya korban kedua Astini adalah Ny. Sri Astutik Widjaja yang dibunuh pada 1 November 1993 karena kasus hutang pula sebesar Rp 225.000 dan Rp 300.000. korban kedua ini meninggalkan suami dan tiga anaknya yang masih kecil, saat itu anaknya baru saja lulus SD, satu masih duduk di kelas tiga SD, dan yang terakhir masih balita (bawah lima tahun). Korban terakhir adalah Pudji Astutik yang dibunuh pada 1 Februari 1996. Astini meminjam uang Rp. 20.000 kepada Pudji Astutik dan Astini tidak bisa membayar utang tersebut setelah secara terus ditagih oleh Pudji Astitik. Kesal dengan hal tersebut Astini lalu membunuh korban, lalu mayatnya dipotong-potong dan dibuang ke tempat yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, baik Astini maupun keluarga korban tidak bisa lagi menemukan potongan tubuh Pudji.
107
Berdasarkan kasus- kasus tersebut di atas nampak terlihat mutilasi dilakukan oleh pelaku untuk menghilangkan jejak. Korban yang dimutilasi oleh pelaku dibagi menjadi beberapa bagian memudahkan untuk membuang ataupun menyembunyikan mayat tersebut. Akan tetapi mutilasi juga bisa merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan pelaku terhadap korbannya. Sehingga, dengan demikian, pembunuhan yang disertai dengan mutilasi berarti pelaku melakukan pembunuhan hingga tewas lalu diikuti dengan tindakan memotong motong bagian tubuh korban untuk menghilangkan jejak maupun untuk melampiaskan dendam si pelaku. Pasal 340 KUHP tidak menyebutkan secara spesifik tentang pada saat kapan hakim berhak menjatuhkan pidana maksimal dan seterusnya. Sehingga, pada akhirnya, hakimlah yang harus dapat memberikan penjelasan dari perbuatan yang telah dilakukan terdakwa yang dikaitkan dengan keterangan saksi-saksi dan barang bukti. Hakim secara jelas harus dapat menjelaskan unsur yang termasuk pada Pasal 340 KUHP terlebih lagi dilanjutkan dengan cara memutilasi korban, sehingga sanksi yang dijatuhkan juga tepat sebagaimana perbuatan yang telah dilakukan. Jadi, beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Penjatuhan pidana tesebut harus diukur berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat oleh pelaku tindak pidana. Sehingga pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku pembunuhan berencana disertai mutilasi dirasa cukup adil dan berdasar pada pertimbangan-pertimbangan lainnya. Terlebih lagi pertimbangan penjatuhan pidana mati secara perspektif yuridis masih berlaku secara sah untuk dijatuhkan pada beberapa tindak pidana, secara
108
ketentuan formal masih diatur dalam Pasal 10 KUHP yang mana pidana mati sebagai pidana pokok. Hal ini terkait dengan konsep negara hukum ialah terdapat batasanbatasan kekuasaan negara oleh hukum, sebagaiman yang dinyatakan oleh Friedman. Sehingga hakim dapat menyimpulkan karena belum adanya pencabutan atas pidana mati, sebagaimana pidana mati masih diatur dalam hukum pidana positif. Dengan demikian pidana mati masih sangat diperlukan di Negara Indonesia, sehingga penjatuhan pidana mati tidak melebihi batas-batas kekuasaan negara, karena telah diatur secara tegas sesuai dengan aturan hukum yang ada di Indonesia pada saat ini Terhadap kedua kasus tersebut hakim menjatuhkan putusan pidana mati, sehingga untuk mencegah terjadinya kekeliruan terhadap putusan hakim, agar jangan sampai ada terdakwa yang tidak melakukan kesalahan terlanjur dipidana mati, maka para hakim hanya boleh memvonis pidana mati si terpidana yang memang benarbenar sudah sangat meyakinkan dan terbukti dialah pelaku kejahatannya. Terlebih lagi jika di muka persidangan, selain daripada saksi-saksi yang membuktikan kejahatan terdakwa, juga terdakwa sendiri pun sudah mengakui perbuatan jahatnya tersebut. Sehingga, penjatuhan pidana mati hanya dapat diputuskan oleh hakim jika kejahatan si terdakwa memang benar-benar terbukti dengan sangat meyakinkan alias beyond reasonable doubt.119 Memang pada kasus pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu baik pemutilasian terhadap korban dilakukan sebelum maupun sesudah terjadinya pembunuhan, tidak semua kasus dijatuhkan putusan pidana mati, berbagai macam 119
Achmad Ali, op.cit, h.89
109
vonis hakim yang dapat dijatuhkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 340 KUHP seperti pidana mati atau pidana seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun. Kata “atau” dalam ketentuan Pasal tersebut mencerminkan secara alternatif ketiga pidana tersebut salah satunya dapat dijatuhkan baik itu pidana mati, pidana penjara seumur hidup ataupun maksimal 20 tahun. Putusan pengadilan akan memuat berbagai pertimbangan-pertimbangan hakim untuk menjatuhkan vonis tersebut. Hal yang memberatkan pada kasus di atas, adalah pada sisi kesadisan pelaku dengan memotong-motong anggota tubuh korban, sedangkan terhadap hal yang meringankan tidak ada dicantumkan. Sebagaimana diketahui belum ada pengaturan yang khusus yang mengatur mengenai pedoman pemidanaan bagi hakim dalam mencantumkan hal-hal yang memberatkan tersebut dalam KUHP, sehingga nampak terjadi kekosongan norma dalam peraturan perundang-udangan di Indonesia. Sedangkan, menurut ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP penjatuhan putusan hakim harus memuat keadaan hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut, jika hal tersebut tidak dilakukan maka putusan akan batal demi hukum. Serta pula dalam UU Kekuasaan Kehakiman pun mewajibkan hakim untuk menyampaikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan perkara yang sedang diperiksa dan menjadi suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh putusan. Walaupun belum ada ketentuan yang mengatur, hakim tidak boleh untuk menolak suatu perkara terlebih untuk tidak mencantumkan dasar pertimbangan tersebut, dikarenakan hakim dianggap tahu hukum sesuai dengan asas curia novit dan putusan akan menjadi batal demi hukum karena dasar pertimbangan tidak
110
dicantumkan dalam putusan. Apabila kita memperhatikan putusan hakim diatas, terlihat pertimbangan hakim mengenai hal-hal yang memberatkan tergolong bersifat umum, seperti terdakwa tidak menyesali perbuatannya, terdakwa tidak menghargai kehidupan, dan sebagainya. Hal inilah yang perlu nantinya dicarikan jalan keluar, agar dibuatkan aturan yang khusus oleh badan legislatif terkait dengan pedoman pemidanaan hakim. Sehingga memudahkan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dan tidak akan lagi menimbulkan pro dan kontra bagi masyarakat terhadap putusan hakim yang nantinya bisa mencerminkan rasa kepastian hukum. Dalam artian asas legalitas dapat diterapkan, sebagaimana kita merupakan negara hukum sudah sepatutnya ada aturan yang jelas dan tegas untuk mengatur hal tersebut. Profesionalisme para hakim merupakan suatu indikator penting yang diamanatkan oleh Butir 10 dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 120 Butir 10.4 menyatakan bahwa penerapan pofesionalisme hakin adalah “Hakim wajib menghindari terjadinya suatu kekeliruan dalam hal membuat keputusan atapun mengabaikan fakta-fakta yang bisa menjerat terdakwa atapun secara sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya”. Sehingga, hakim dapat dikatakan professional apabila ia sudah dengan benar menerapkan hukum acara, hukum materiil, penalaran hukum
120
Keputusan Bersama Ketua Makamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, dikutip dari Komisi Yudisial Indonesia, 2011, Penerapan dan Penemuan Hukum Dalam Putusan Hakim, Sekretariat Jendral Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, h.92
111
dan penjatuhan sanksi pidana. Dengan menjatuhkan sanksi pidana, maka semua permasalahan harus selesai, keseimbangan harus kembali dan mendatangkan rasa damai terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan tujuan hukum pidana dengan segala operasionalisasinya merupakan “protection of the public and the promotion of justice for victim, offender and community.” 121 Tentang bagaimana dengan terpidana mati Rian Jombang maupun bagi mereka yang terancam pidana mati, apakah bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak, sudah pasti bahwa konstitusi kita selain menjamin HAM, juga memperbolehkan HAM tersebut dibatasi dengan ketentuan hukum yang berlaku maupun dengan melihat daripada pertimbangan moral, ketertiban umum, dan keamanan bagi masyarakat luas. Membahas masalah pidana mati dari sisi hak asasi manusia, kita pasti akan terjebak dalam diskusi panjang, sepanjang masalah hak asasi tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa Pemerintah Indonesia sejak tahun 1978 telah mengeksekusi tidak kurang dari 38 (tiga puluh delapan) jiwa dan di masa datang akan segera mengeksekusi mati pelaku kejahatan lainnya. 122 Oleh sebab itu, akan menjadi tidak adil jika menyatakan pidana mati tidak dapat diterapkan di Indonesia karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan persoalan mengenai
121
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h. 105 122
Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara, Kompas Media Nusantara, Jakarta, h.21
112
penghukuman pidana mati oleh pengadilan terhadap seseorang haruslah dilihat dari kaca mata hukum.
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENETAPKAN PIDANA MATI SEBAGAI SALAH SATU JENIS PIDANA DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM
4.1
Pembaharuan Hukum Pidana Dewasa ini pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum
pidana telah dilakukan sejak lama dan sampai sekarang masih tetap diupayakan serta terus dilakukan pengolahan. Tetapi dalam prakteknya, pembaharuan hukum pidana sekarang hanya berorientasi pada pembaharuan undang-undang pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan hukum pidana materil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana. Semuanya ini di dalam suatu kerangka untuk mewujudkan satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional berlandaskan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Pembangunan dalam bidang hukum tersebut tidak hanya mencakup pembangunan lembaga-lembaga hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme, tetapi harus pula mencakup pembangunan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan-peraturan yang bersifat kultural, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya suatu sistem hukum. Demikian pula halnya dengan pembaharuan hukum pidana selain rasional harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
113
114
Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan dikarenakan pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan dan didalam setiap kebijakan tersebut terkandung pula pertimbangan nilai, sehingga pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Dikatakan sebagai suatu upaya kebijakan karena pembaharuan hukum pidana ini diperuntukkan sebagai pembaharuan suatu substansi hukum (legal substance) dalam rangkaian lebih mengefektifkan penegakan hukum. Selain itu pula, kebijakan yang dimaksud adalah untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat. Adapun ruang lingkup pembaharuan sistem hukum pidana itu sendiri meliputi; 1. Pembaharuan Substansi Hukum Pidana Pembaharuan substansi hukum pidana meliputi hukum pidana materiil, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Pembaharuan sistem substansial ini bermula dari hukum pidana materiil, hukum formil, serta pelaksanaannya dimana terkandung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, termasuk diantaranya pembaharuan KUHP (sektor perundang-undangan). 2. Pembaharuan Struktur Hukum Pidana Pembaharuan
struktur
hukum
pidana
meliputi
sistem
kelembagaan,
administrasi, dan manajemen dari institusi penegakan hukum (penyidik, penuntut, pengadilan, pelaksana pidana), termasuk koordinasi diantara penegak hukum tersebut baik secara nasional, regional, maupun internasional.
115
3. Pembaharuan Budaya Hukum Pidana Pembaharuan budaya hukum pidana ini menekankan pada perubahan kultur, moralitas dan perilaku (perilaku taat hukum dan kesadaran mentaati hukum), serta pendidikan hukum serta ilmu hukum yang mengiringi pelaksanaan hukum tersebut. Ketiga hal diatas merupakan satu bagian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain (non fragmenties), dimana pembaharuan yang satu akan mempengaruhi pembaharuan lainnya. Hal ini mengingat pembaharuan substansi, struktural, maupun kultural dari hukum pidana tersebut merupakan satu kesatuan dalam sebuah sistem besar (Penal System). Dilihat dari sudut pendekatan nilai, menurut Barda Nawawi Arief pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana. 123 Hal ini sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum Indonesia. Bukanlah pembaharuan hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (dalam hal ini adalah KUHP baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum lama warisan Belanda (KUHP lama). Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana. 123
Barda Nawawi Arief III, loc.cit
116
Menurut Sudarto, adapun alasan-alasan yang mendasari diperlukannya suatu pembaharuan hukum pidana nasional adalah: alasan politik, sosiologis, dan kemudian praktis atau alasan kebutuhan dalam praktik. 124 1. Alasan yang bersifat politik ialah sangatlah wajar bangsa Indonesia yang sudah merdeka memiliki KUHP sendiri, hal ini dikarenakan simbol dari kebanggaan sebagai bangsa yang telah merdeka. 2. Secara sosiologis KUHP (WvS) tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, hal ini tentu saja bertentangan dengan masalah kebudayaan dan di sisi lain KUHP Belanda ini berdasarkan pada sistem kapitalisme dan liberal. Sedangkan, bangsa Indonesia sendiri berdasarkan kebersamaan dan kekeluargaan. 3. Terakhir, dalam teks resmi KUHP adalah berbahasa Belanda, maka sehubungan dengan itu tidaklah cocok dengan Bahasa Indonesia yang sudah mendarah daging dari Bangsa Indonesia ini.
Muladi, menambahkan pula alasan pembaharuan di bidang hukum pidana yaitu alasan yang bersifat adaptif. KUHP nasional di masa yang akan datang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang telah disepakati oleh masyarakat beradab. Khususnya sepanjang yang menyangkut alasan-alasan sosiologis, hal yang dapat
124
Sudarto, op.cit, h. 66-69
117
menyangkut baik hal yang sifatnya ideologis yang bersumber pada filsafat bangsa yakni Pancasila, maupun yang berkaitan dengan kondisi alami dari Negara Indonesia. Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana semata-mata bukanlah pekerjaan teknik peraturan perundang-undangan yang bisa dilakukan dengan cara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, melainkan pula juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan historis, sosiologis, komparatif, kompherensif dan integral. Kebijakan hukum pidana meneruskan arah perkembangan tertib hukum, dari arah hukum yang berlaku sekarang menuju pada tahap penyusunan hukum yang dicita-citakan pada masa yang akan datang.125 Kebijakan hukum pidana mencakup baik itu seni maupun pengetahuan memiliki usaha untuk mencapai tujuan-tujuan praktis, yang memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik sekaligus memberikan pedoman bagi legislatif selaku pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga bagi aparat koreksi yang secara konkrit menjadikan putusan pengadilan tersebut memiliki efek praktis.126
Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa KUHP jika dilihat dari tiga sisi masalah dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP sehingga diperlukan adanya suatu pembaharuan hukum pidana kedepannya, antara lain: a. Tindak pidana Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-undang (asas legalitas formil). 125
126
Sudarto, op.cit, h.59 Muladi, op.cit, h.131
118
Sehingga, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan. KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidana yang muncul di era modern ini, khusunya tindak pidana pembunuhan berencana disertai dengan cara memotong-motong bagian tubuh seseorang guna untuk menghilangkan jejak sebagai suatu motif tindak pidana pembunuhan berencana sebagai hal yang memberatkan belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Konsep KUHP bertolak dengan KUHP sekarang, hal tersebut dapat dilihat dalam konsep KUHP memperluas perumusan secara materil dengan menegaskan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (3) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian, berlakunya hukum tertulis (UU) sebagai kriteria patokan formal yang pertama, konsep juga masih memberikan kesempatan kepada sumber hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Dalam RUU KUHP 2013, dinyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam konsep tersebut, sudah tidak mengenal lagi pembedaan antara pelanggaran dan kejahatan dengan alasan sebagai berikut :
119
1. Tidak dapat dipertahankannya kembali kriteria pembedaan kualitatif antara rechtsdelict dan wetsdelict ; 2. Penggolongan dua jenis tindak pidana tersebut memang relevan dengan kompetensi pengadilan pada waktu itu. Pelanggaran pada dasarny diperiksa oleh pengadilan kepolisian dengan hukum acaranya sendiri, sementara kejahatan diperiksa oleh pengadilan negeri atau pengadilan tinggi dengan acaranya sendiri pula.127
Walaupun konsep RUU KUHP tidak lagi mengenal pembagian kejahatan dan pelanggaran sebagai kualifikasi delik, akan tetapi pola kerjanya, konsep masih mengadakan pengklasifikasian bobot delik (sangat ringan, berat, sangat serius). Adapun tindak pidana yang dirumuskan dalam konsep RUU KUHP ini terdiri dari: Tindak Pidana Makar (Bab I Bagian Kedua); Tindak Pidana terhadap Pertahanan dan Keamanan Negara (Bab I Bagian Ketiga); Tindak Pidana Terorisme (Bab I Bagian Keempat); Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden (Bab II); Tindak Pidana Terhadap Negara Sahabat (Bab III); Tindak Pidana Terhadap Kewajiban dan Hak Kenegaraan (Bab IV); Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum (Bab V); Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan (Bab VI); Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama (Bab VII); dan seterusnya sampai pada Bab XXXIV tentang Tindak Pidana Penerbangan dan Tindak Pidana Terhadap Sarana serta Prasarana Penerbangan. b. Pertanggungjawaban pidana Beberapa masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara
127
Yesmil Anwar & Adang, op.cit, h.33
120
tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS. Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas). Dalam konsep, walaupun pada prinsipnya bertolak dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang sangat ketat (strict liability) dalam Pasal 37, dan Pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dalam Pasal 38 ayat (2).128 Pertanggungjawaban pidana berdasarkan pada kesalahan, terutama didasarkan pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), dapat dipidananya delik kealpaan hanya bersifat eksepsional apabila ditentukan secara tegas oleh undangundang. Sedangkan, pertanggungjawaban pidana terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya dikenakan jika seseorang tersebut mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya terdapat kealpaan. Sehingga, pada dasarnya konsep tidak menganut doktrin menanggung akibat (erfolghaftung) secara murni, akan tetapi diorientasikan pada asas kesalahan.
128
Pasal 38 ayat (2) Konsep RUU-KUHP; “Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”
121
c. Pidana dan pemidanaan Pidana dalam KUHP bersifat kaku dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. KUHP juga tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama. Pemidanaan mempunyai arti penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Setiap
peraturan
perundang-undangan
pada
umumnya
mencantumkan pemidanaan berupa sanksi pidana, sebagai konsekuensi dari tindakan kejahatan ataupun pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur sebagai tindakan yang dilarang terkait dengan isi dari suatu peraturan perundang-undangan. Adapun masalah pidana dan pemidanaan dalam konsep RUU KUHP bertolak dari pemikiran bahwa: 1. Pidana pada hakikatnya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama merumuskan tujuan pemidanaan. Menurut Pasal 54 ayat (1) konsep RUU KUHP, pemidanaan bertujuan untuk : a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
122
2. Syarat pemidanaan dalam konsep bertolak dari pemikiran keseimbangan (monodualistik) antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu, antara faktor objektif dengan faktor subjektif; 3. Menitikberatkan kepada perlindungan kepentingan masyarakat, sehingga wajar konsep masih mempertahankan jenis pidana mati walaupun tidak termasuk dalam pidana pokok melainkan ditempatkan tersendiri sebagai jenis pidana yang bersifat khusus atau eksepsional. Pidana mati pada hakikatnya memang bukanlah sarana pokok untuk mengatur ketertiban dan memperbaiki masyarakat, melainkan sebagai ultimum remidium atau upaya terakhir. Pidana mati dalam konsep, benar-benar masih dipertahankan dengan alasan untuk melindungi masyarakat, sehingga dengan kata lain pidana mati lebih berorientasi terhadap perlindungan masyarakat. 4. Pemidanaan juga harus berorientasi pada faktor pelaku tindak pidana. Sebagaiman tercantum dalam Pasal 37 konsep RUU KUHP yang menyatakan bahwa “tiada seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan”.
Sebagaimana, menurut Anwar dan Adang, ini berarti bahwa pembaharuan hukum pidana nasional harus dilatarbelakangi oleh sumber-sumber yang berorientasi pada ide dasar yang mengandung konsep ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan,
123
demokrasi dan keadilan sosial.129 Sejalan dengan pendapat di atas , Prof. Barda memaparkan: Kekurangwaspadaan dan kekurang bijaksanaan dari pengajar hukum pidana di dalam menyampaikan dogma-dogma dan substansi yang terdapat di dalam KUHP, akan menghasilkan “output” yang terlalu kaku (dogmatis) sehingga dapat menghambat tujuan penegakan hukum pidana maupun ide-ide pembaharuan hukum pidana di Indonesia. 130
Oleh karena itu, berbicara tentang kebijakan regulasi pembaharuan hukum pidana Indonesia harus tetap mengacu pada dasar negara yakni Pancasila dan tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945, dengan kata lain kebijakan regulasi pembaharuan hukum pidana Indonesia terhadap pidana mati harus sesuai dengan roh yang terkandung dalam Pancasila dan pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan sumber hukum di Indonesia. Selain itu apabila dikaitkan antara landasan Pancasila dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum (yurisprudence), haruslah ditarik pada garis kemanfaatannya untuk kepentingan umum bagi masyarakat terlebih dahulu, kemudian baru bagi kepentingan individu dan dimana jika terdapat pertentangan atas dua kepentingan tersebut, maka sudah semestinya memakai sandaran bahwa bekerjanya tertib hukum yang efisien, lebih baik bertitik tolak kepada kepentingan masyarakat yang menjadi dasar diatas kepentingankepentingan yang lain. Dalam artian, apabila terdapat kepentingan hukum, maka kepentingan yang lain tidak dapat dilaksanakan. Pencegahan kejahatan ataupun 129
130
Yesmil Anwar dan Adang, loc.cit
Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi VII), hal. 128
124
pencegahan oleh adanya ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kejahatan, maka atas dasar subsociale yang menjadi alasan dibahayakannya suatu kepentingan umum bagi masyarakat mempunyai sifat lebih tinggi kalau diperlukan adanya suatu pembenaran.
4.2
Pengaturan Pidana Mati Dalam RUU KUHP Konsep RUU KUHP 2013 dalam buku I, selain memuat ketentuan umum juga
memuat tentang ketentuan pemidanaan sama halnya dengan KUHP. Dalam RUU KUHP 2013 tersebut, pidana mati masih tetap dipertahankan eksistensinya walaupun bukan termasuk jenis pidana pokok yang bersifat umum tetapi termasuk jenis pidana alternatif, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 66 RUU KUHP 2013. Hal ini berangkat dari ide keseimbangan atas perlindungan masyarakat, maka pidana mati tetap dipergunakan. Terlebih lagi hal pembunuhan berencana dalam RUU KUHP masih tetap mempertahankan legalitas pidana mati, tertuang dalam Bab XXII Bagian kesatu Pasal 581 RUU KUHP yang menyatakan bahwa “setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan berencana dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Kebijakan dalam pembaharuan hukum pidana dalam hal ini pidana mati melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di
125
Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief.131 Pembaharuan hukum pidana dengan upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial, temasuk masalah kemanusiaan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, upaya untuk memperbaharui substansi hukum untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum. Sehingga hukum pidana yang berlaku nantinya adalah hukum pidana yang sesuai dengan nilai yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Dalam RUU KUHP 2013 mengenai pidana mati telah mengalami perubahan yang dikenal tentang adanya masa percobaan terhadap pidana mati itu selama sepuluh tahun dan apabila si terpidana menunjukan perubahan tingkah lakunya, maka pidana mati tersebut dapat berubah menjadi pidana dalam waktu tertentu. Pidana mati dalam rancangan konsep KUHP ini sebisa mungkin tidak menerapkan pidana mati, dimana terpidana mati masih diberikan kesempatan untuk menyesali perbuatan dan memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik. Masih dipertahankannya pidana mati sampai pada peraturan perundang-undangan Indonesia di masa yang akan datang sebagai suatu upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat yang penerapannya harus sangat selektif, penuh kehati-hatian dan berorientasi. Keberadaan pidana mati dalam RUU KUHP 2013 sebagai suatu sarana kebijakan regulasi pembaharuan hukum pidana mengenai pidana mati di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari jiwa hukum pidana Indonesia yang mana merupakan sebagai sarana penjatuhan pidana terhadap bentuk kejahatan yang terjadi. Hal ini pun 131
Barda Nawawi Arief II, loc.cit
126
dalam kebijakan pembangunan sistem hukum nasional terhadap pidana mati tidak dapat dilepaskan pada ide dan kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila. Mengenai kebijakan formulasi dalam pidana mati mempunyai pertimbangan terhadap perlindungan individu yakni dengan mengadakan ketentuan penundaan pelaksanaan pidana mati dan dapat diubahnya pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun. 132 Mempertahankan pidana mati juga didasarkan pada ide untuk menghindari reaksi masyarakat yang menuntut balas dendam terhadap pelaku kejahatan, hal ini pun tersedianya pidana mati dalam peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan saluran terhadap emosi masyarakat. Apabila pidana mati tidak tersedia dalam peraturan perundangundangan bukan merupakan suatu jaminan tidak adanya pidana mati dalam kehidupan masyarakat secara nyata. Oleh karena itu, untuk menjauhkan aksi balas dendam yang tidak rasional memandang bahwa pidana mati harus tetap tersedia dalam undang-undang. Ketentuan terhadap pidana mati menunjukkan bahwa RUU KUHP mempunyai maksud untuk tidak mempergunakan pidana mati sebagai jenis hukuman mati yang mana hal ini ditandai dengan dengan menempatkan pidana mati sebagai pidana khusus yang bersifat alternatif. Pertimbangan-pertimbangan yang nantinya dinyatakan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana mati ditujukan pada perbuatan dan dampak daripada perbuatan terdakwa, supaya ancaman pidana mati yang dijatuhkan 132
Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, h.73
127
dapat seimbang dengan perbuatan dan akibat yang ditimbulkan oleh terdakwa yakni sampai menimbulkan akibat matinya orang lain. Apabila perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tidak sampai mengakibatkan matinya orang lain, maka sebaiknya dihindarkan untuk menjatuhkan pidana mati kepada terdakwa terkecuali bagi perbuatan yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia pada saat sekarang maupun di masa nanti. Sehingga, konsep pemasyarakatan dalam hal ketentuan UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut dapat diwujudkan sebagai bentuk proses pembinaan untuk narapidana yang bertujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan yang mengarah pada kehidupan yang lebih baik lagi. Dengan menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana bisa memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Dengan demikian, dapat diidentifikasikan kebijakan konsep mengenai pidana mati dalam RUU KUHP adalah sebagai berikut : 1. Pidana mati tetap dipertahankan sebagai pidana khusus/ eksepsional dan tidak dapat dijatuhkan terhadap anak. 2. Pidana mati merupakan pidana alternatif yang digunakan sangat selektif dan sebagai upaya terakhir. 3. Upaya yang dijatuhkan/ dilaksanakannya pidana mati itu melalui tahapan sebagai berikut : a) Sejauh mungkin dihindari memilih pidana alternatif berupa pidana seumur hidup atau penjara dalam waktu tertentu, paling lama 20 tahun (untuk orang dewasa) atau 10 tahun (untuk anak).
128
b) Dimungkinkannya penundaan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. c) Dalam penundaan pidana mati itu, dimungkinkan perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. d) Terpidana berhak mengajukan grasi. e) Pidana mati baru dilaksanakan setelah permohonan grasi ditolak oleh presiden. f) Apabila grasi ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup.
Tingkat kriminalitas di Indonesia semakin meningkat, terlebih lagi kejahatankejahatan yang sangat menyinggung asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Penjatuhan pidana harus memperhatikan pula tujuan daripada pemidanaan itu sendiri yaitu dengan cara memperbaiki si pelaku, akan tetapi untuk kejahatan yang dilakukan diluar batas kemanusiaan maka untuk memperbaiki si pelaku hal tersebut sangatlah sulit. Sehingga tetaplah perlu mencantumkan mengenai pidana mati dalam hukum nasional Indonesia. Sebagaimana, pidana mati sebagai pengecualian yang dipisahkan dari pidana pokok, oleh karena sedapat mungkin seseorang tersebut tidak dijatuhi pidana mati, diberikan kesempatan kepada terpidana untuk bertobat dan berkesempatan unutk memperbaiki dirinya menjadi lebih baik. Apabila ternyata terpidana tersebut tidak menunjukkan perubahannya dalam arti ke arah yang lebih baik, maka barulah pidana mati dapat dijalankan.
129
Adapun perbuatan yang dapat dijatuhi pidana mati seperti yang diuraikan diatas pada dasarnya adalah perbuatan yang dilakukan secara tidak wajar diluar batasbatas kemanusiaan, perbuatan tersebut dilakukan dengan cara yang sangat kejam dan sadis, misalnya saja pembunuhan disertai dengan mutilasi ini. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku pembunuhan dengan cara mutilasi harus tetap memperhatikan tujuan hukum pidana sebagai suatu bentuk perlindungan kepentingan individu maupun kepentingan umum yang berlandaskan Pancasila. Khususnya dalam penjatuhan pidana mati terhadap kasus pembunuhan berencana disertai dengan mutilasi sebagai dasar pemberatan haruslah diberikan pedoman pemidanaan bagi hakim, karena dalam KUHP sekarang sama sekali belum diatur hal mengenai pedoman pemidanaan tersebut. Padahal hakim disini diharuskan untuk memberikan dasar pertimbangan dalam setiap putusannya, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Pasal 14 ayat (2), Dengan demikian, pertimbangan Hakim sebelum menjatuhkan putusan pidana harus sesuai dengan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Sehingga, secara khusus sangat perlu dilakukan formulasi pedoman pelaksanaan pidana sebagai hal yang memberatkan dalam putusan pertimbangan hakim perihal penjatuhan sanksi pidana terhadap motif mutilasi tindak pidana pembunuhan berencana dalam RUU KUHP Nasional Indonesia terkait dengan pidana mati sendiri, sehingga akan tercapai tujuan pemidanaan tersebut. Adapun dalam hal pedoman pemidanaan, juga telah tercantum dalam Pasal 55 RUU KUHP 2013 yakni :
130
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan : a. Kesalahan pembuat tindak pidana; b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap bathin pembuat tindak pidana; d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. Cara melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; h. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; i. Pemaafan dari korban dan/ atau keluarganya; dan/atau j. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. (2). Ringannya perbuatan keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Istilah pedoman pemidanaan ini haruslah dibedakan dengan pengertian daripada pola pemidanaan. Adapun dalam pola pemidanaan adalah suatu hal yang dapat digunakan sebagai model, acuan, pegangan, atau pedoman untuk membuat atau menyusun sistem sanksi (hukum) pidana. Sedangkan pengertian daripada pedoman pemidanaan lebih merupakan pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan atau menerapkan pemidanaan. Pedoman pemidanaan bagi hakim sangat diperlukan bagi hakim agar tidak menimbulkan keragu-raguan dalam penerapannya dan dapat mempertebal rasa percaya diri bagi Hakim itu sendiri serta lebih jauh dapat memberikan kepastian hukum. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP tersebut menyatakan bahwa pedoman pemidanaan akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan dan hal inipun akan mempermudah dalam menetapkan takaran pemidanaan. Dengan memperhatikan isi
131
rumusan Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP, maka diharapkan pidana yang dijatuhkan dapat lebih professional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun oleh terpidana sendiri. Sebagaimana, isi rumusan Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP tidak bersifat limitative, yang mana hakim dapat “menambahkan” pertimbangan pada halhal lain selain apa yang tercantum dalam pasal tersebut. Terkait dengan mutilasi sebagai hal yang memberatkan dalam kasus pembunuhan berencana, belum tampak diatur dalam Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP 2013 ini, tetapi apabila dilihat dalam huruf (b) Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP tersebut maka istilah mutilasi dapat dipandang sebagai suatu motif yang dilakukan secara sadis dan kejam yaitu dengan memotong-motong bagian tubuh korban, dilanjutkan dengan huruf (e) cara melakukan tindak pidana pembunuhan berencana diikuti dengan mutilasi, dan huruf (f) sikap dan tindakan pelaku pidana tersebut bertujuan untuk menghilangkan jejak maupun memang murni karena rasa balas dendam pelaku kepada korban, maka dilakukan mutilasi. Dalam hal ini pedoman pemidanaan dalam RUU KUHP sudah diaplikasikan, dan untuk selanjutnya agar tidak terjadi kekosongan norma, dikarenakan dalam KUHP kita tidak mencantumkan hal ini, maka untuk segera RUU KUHP ini dijadikan KUHP Indonesia agar sesuai dengan cita-cita budaya bangsa Indonesia.
4.3
Komparasi Penjatuhan Pidana Mati Di Beberapa Negara Asing Bukan hanya Negara Indonesia yang masih mempertahankan pidana mati
pada saat sekarang, terlebih pada masa pemerintahan baru di bawah Joko Widodo
132
tidak mengubah banyak dalam praktik hukuman mati di Indonesia. Banyak negaranegara lain yang masih menerapkan ancaman pidana mati, misalnya adalah Negara Jepang. Dalam KUHP Jepang (The Penal Code of Japan), tindak pidana pembunuhan di Jepang diatur dalam Buku II Kejahatan Bab XXVI tentang Kejahatan Pembunuhan, mulai Pasal 199 sampai dengan Pasal 203 KUHP Jepang. Sebagaimana, Pasal 11 ayat (1) KUHP Jepang, pidana mati akan dieksekusi dengan cara digantung di suatu penjara, sedangkan dalam ayat (2) seseorang yang telah dipidana mati akan dikurung di dalam penjara sampai pidana dieksekusi. 133 Adapun Pasal-Pasal yang mengancam pidana mati bagi kejahatan pembunuhan ini adalah: a. Pasal 199 KUHP Jepang, mengatur tentang pembunuhan, yakni seseorang yang membunuh orang lain, diancam dengan pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup atau tidak kurang dari tiga tahun; b. Pasal 200 KUHP Jepang, mengatur pembunuhan orang tua secara vertikal ke atas, yaitu seseorang yang membunuh orang tuanya sendiri secara vertikal ke atas atau orang tua istri/ suami secara vertikal ke atas, diancam dengan pidana mati atau pidana kerja paksa seumur hidup. c. Pasal 201 KUHP Jepang, mengatur tentang persiapan, yaitu seseorang yang membuat persiapan untuk tujuan melakukan kejahatan yang ditentukan dalam dua Pasal terdahulu, diancam dengan pidana kerja paksa selama tidak lebih dari dua tahun; ditentukan bahwa pidananya dapat dikurangi sesuai keadaankeadaan. 133
Andi Hamzah, 1987, Seri KUHP Asing: KUHP Jepang, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 71
133
d. Pasal 202 KUHP Jepang, mengatur tentang penyertaan di dalam bunuh diri, yaitu seseorang yang karena dorongannya atau bantuannya menyebabkan orang lain melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain atas permintaannya atau dengan persetujuannya, diancam pidana penjara dengan atau tanpa kerja paksa selama tidak lebih dari enam bulan dan tidak lebih dari tujuh tahun. e. Pasal 203 KUHP Jepang, mengatur tentang percobaan, yaitu percobaan untuk melakukan kejahatan yang ditentukan di dalam Pasal 199, Pasal 200 dan Pasal terdahulu, diancam pidana.
Hal yang menarik dalam KUHP Jepang bahwa ketentuan tentang orang yang menyerah sebelum diketahui sebagai penjahat, pidananya tersebut dikurangi. Hal ini tidak terdapat KUHP Indonesia, walaupun dalam KUHP Indonesia dalam ketentuan Buku I tentang Aturan Umum, Bab III tentang hal-hal yang mengahapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana, tetapi tidak satu pasalpun yang menyebutkan tentang penyerahan si pelaku kejahatan. Dari beberapa gambaran tindak pidana pembunuhan dari KUHP Indonesia, dan KUHP Jepang di atas tindak pidana pembunuhan, mempunyai arti yang berbedabeda dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan bahkan berbagai KUHP asing juga memberikan perumusan yang berbeda-beda walaupun maksudnya adalah sama yaitu menghilangkan nyawa seseorang atau orang lain. Tetapi banyak KUHPKUHP yang tidak secara jelas memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan
134
pembunuhan itu, bagaimana pembunuhan itu dilakukan, siapa-siapa pelakunya, apakah pelakunya sengaja atau karena kelalaian, siapa yang dibunuh, dan sebagainya. KUHP Indonesia mengatur tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun. KUHP Jepang juga mengatur tentang pembunuhan berencana ini (istilahnya persiapan), tetapi ancaman hukumannya berbeda dengan KUHP Indonesia, yaitu dengan ancaman pidana penjara kerja paksa selama tidak lebih dari 2 tahun, dan ada ketentuan bahwa pidananya dapat dikurangi sesuai dengan keadaankeadaan. Begitupun Negara Malaysia, dalam KUHP Malaysia Bab XVI tentang delik terhadap badan manusia, termasuk didalamnya adalah nyawa, aborsi, pembunuhan bayi, penganiayaan, pembatasan dan pengurungan orang, penyerangan terhadap orang, penculikan, melarikan orang, perbudakan dan kerja paksa. Apabila orang yang telah dijatukan pidana mati, hukuman itu hendaknya memerintahkan supaya ia digantung lehernya sehingga mati, tetapi tidak boleh dinyatakan tempat dan masa hukuman gantung akan dilaksanakan/ dijalankan, hal ini sesuai dengan Pasal 277 KUHP Malaysia. Begitu pula dengan KUHP Yugoslavia yang menganut “double track system” yaitu sistem sanksi yang terdiri dari sanksi pidana dalam Bab IV Pasal 24 sampai dengan Pasal 60 dan tindakan keamanan (security measures) dalam Bab V Pasal 61
135
sampai dengan Pasal 63A.134 Terlihat bahwa dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) salah satu jenis pidana yang tercantum adalah pidana mati. Pidana mati dijatuhkan secara eksepsional untuk kasus-kasus yang sangat berbahaya dari delik-delik yang ditetapkan oleh undang-undang. Pidana mati ini hanya dapat dikenakan sebagai pidana pokok (principal punishment) sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat (1). Adapun eksekusi pidana mati menurut Pasal 27 ayat (1) KUHP Yugoslavia ini dilaksanakan dengan tembakan, selanjutnya pidana mati tidak dapat dikenakan oleh seseorang yang pada saat melakukan delik tersebut di bawah umur dan juga wanita hamil. Akan tetapi seseorang yang pada saat dilakukan belum mencapai 21 tahun, dapat dikenakan pidana mati hanya untuk delik-delik yang sangat membahayakan masyarakat, negara, dan angakatan bersenjata yang diancam dengan pidana mati. Dalam Pasal 29 KUHP Yugoslavia menyatakan bahwa pidana mati dapat diperingan dengan amnesti atau ditangguhkan menjadi pidana “severe imprisonment” untuk selama 20 tahun, demikian pula untuk alasan-alasan yang dapat dibenarkan/ layak, pengadilan dapat memperingan pidana mati menjadi pidana “severe imprisonment” untuk selama 20 tahun. Adapun pada Bab IV Bagian Umum KUHP Yunani menjelaskan tentang sanksi pidana dan tindakan keamanan, sebagaimana pidana pokoknya masih terdapat jenis pidana mati. Sehingga, untuk KUHP Yunani sendiri tidak menghapus pidana mati, akan tetapi penerapannya dibatasi. Semua kejahatan yang diancam pidana mati,
134
Barda Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief VIII), h. 85
136
dapat dijatuhi pidana seumur hidup, kecuali satu delik dalam Pasal 138, yaitu bersekongkol melawan keadulatan negara. Selanjutnya, pada Pasal 116:1 UU Keadaan Bahaya (Emergency Act) 125/1967 menegaskan bahwa pidana mati yang tidak dilaksanakan dalam tiga tahun setelah pidana itu dijatuhkan, secara hukum dikonversi menjadi pidana penjara seumur hidup.
4.4
Justifikasi
Mempertahankan Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana
Pembunuhan Berencana Disertai Mutilasi Eksistensi pidana mati di Indonesia secara yuridis telah memperoleh landasan yang kuat. Tidak ada satu Pasal pun dalam KUHP yang menyebutkan dasar justifikasi diaturnya pidana mati tersebut sehingga eksistensinya masih menimbulkan pertanyaan pro dan kontra. Banyak para ahli yang menentang maupun mempertahankan pidana mati, sebagaimana pula juga telah diuraikan diatas, yang mana pada umumnya penolakan terhadap pidana mati oleh para ahli tersebut dilakukan tidak kontekstual, dalam artian penolakan terhadap pidana mati tidak dikaitkan dengan konteks kejahatan apa yang diancamkan dan bagaimana akibat yang ditimbulkan dari kejahatan itu. Sehingga pidana mati tesebut masih sangat penting untuk dipertahankan selama institusi hukum belum maksimal dan tertib dalam menjalankan hukum. Terkait dengan hukuman mati hendaknya sudah pantas untuk pelaku pembunuhan berencana baik sebelum ataupun sesudah melakukan pembunuhan dilakukan dengan cara mutilasi sebagai suatu hukuman atas tindakan yang dinilai
137
sangat tepat bagi pelaku, oleh karena pelaku telah melakukan pembunuhan secara kejam dan sadis. Terlepas dari unsur latar belakang dari pelaku, apapun mutilasi menurut hukum acara pidana (KUHAP) merupakan suatu bentuk perbuatan kriminal dan sebagai bentuk perbuatan di luar kewajaran. Sehingga, sampai kapanpun pidana mati akan tetap dibutuhkan terhadap pelaku-pelaku kejahatan berat yang secara langsung membahayakan nyawa sesama manusia, seperti pembunuhan berencana dengan cara mutilasi yang tergolong sadis ini, tetapi bukan sekedar mengancamkan dalam undang-undang, melainkan benarbenar dalam realitasnya menjadi vonis hakim dan dieksekusi benar-benar. Hanya saja, memang teknis pelaksanaan eksekusi mati itu yang perlu direvisi kembali, sehingga nantinya akan mengurangi rasa sakit si terpidana, sebagaimana diketahui belum ada aturan yang jelas pula tentang berapa lama proses eksekusi mati terhadap si terpidana mati. Betapa perlunya pidana mati ini dipertegas kembali oleh Immanuel Kant dalam “The Science Right”, yang menyatakan bahwa: “if you slander another, you slander yourself; if you steal from another, you steal from yourself; if you strike another, you strike yourself; if you kill another, you kill yourself.”135 Kalimat diatas yang dinyatakan oleh Immanuel Kant, menegaskan dukungannya terhadap pidana mati bagi pelaku kejahatan serius, baik yang memang secara nyata telah menghilangkan nyawa manusia, maupun yang dapat dianggap telah menghilangkan sejumlah nyawa manusia meskipun secara tidak langsung, sebagaimana yang 135
Achmad Ali, op.cit h. 37
138
menurut penulis sendiri termasuk didalamnya adalah pembunuhan berencana dengan modus sadis dan kejam (pembunuhan disertai mutilasi). Tidak logis jika menyatakan bahwa hukuman mati tersebut tidak membuat jera. Hal ini tidak bisa diketahui, bagaimana mungkin mengetahui orang yang sudah dihukum mati jera akan perbuatannya tersebut. Akan tetapi, jika “tak jera” ini dikaitkan dengan fakta bahwa di negara-negara yang memberlakukan hukuman mati tingkat kejahatannya tidak berkurang maka itu pun bisa menjadi hipotesi yang dibalik. Bisa saja diajukan hipotesis sebaliknya, yakni bahwa sudah ada hukuman mati tingkat kejahatan tetap tinggi, apalagi jika tidak diberlakukan hukuman mati tersebut. Terlebih lagi argumen yang menyatakan bahwa hak mencabut nyawa seseorang tersebut adalah hak Tuhan yang tidak boleh dirampas oleh manusia dengan menghukum mati seseorang. Argumen ini menurut penulis tidak benar karena sebenarnya mengurung orang di dalam penjara pun adalah hak Tuhan. Intinya menjatuhkan pidana penjara maupun pidana mati adalah sama-sama hak Tuhan, akan tetapi hak untuk menghukum itu baik dengan pidana penjara atau pidana mati diperbolehkan oleh Tuhan asal diatur dengan hukum. Usaha untuk mencari pembenaran terhadap eksistensi pidana mati akan selalu dikaitkan dengan tujuan pemidanaan. Hal ini dikarenakan hukum atau pidana tentu saja tidak bisa terlepas dari tujuan diberlakukannya hukum itu sendiri, sesuai dengan ajaran hukum pidana yang memandang sanksi pidana hanya sebagai media atau alat unutk tercapainya tujuan pemidanaan. Legislator tidak menyusun ketentuanketentuan sanksi tanpa tujuan apapun, melainkan di sana terdapat tujuan tertentu yang
139
luas. Sehingga untuk mencari dasar justifikasi pengaturan pidana mati khususnya terhadap tindak pidana pembunuhan berencana yang disertai dengan motif mutilasi juga harus dikaitkan dengan teori-teori tentang tujuan pemidanaan yang terdapat dalam ajaran hukum pidana. Teori-teori pidana sama sekali tidak melepaskan dasar teori tentang pidana yang berupa teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau pencegahan, baik pencegahan umum maupun khusus, dimana masing-masing tujuan diintegrasikan untuk dipergunakan secara efektif menurut keperluannya sesuai peristiwanya. Semua teori ini pada dasarnya dapat dikatakan masih merupakan suatu pandangan yang melihat persoalan pidana secara conceptual abstraction. Walaupun demikian, dalam mengkaji masalah justifikasi pengaturan keberadaan pidana mati khususnya tindak pidana pembunuhan berencana bermotifkan mutilasi dari perspektif ilmu hukum pidana ini, teori-teori pemidanaan masih relevan unutk dijadikan dasar melihat seberapa jauh pidana mati itu dapat dibenarkan secara ilmiah. Menurut teori absolut ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Pembalasan setimpal terhadap suatu kejahatan adalah mutlak dibutuhkan sebagai manifestasi dari tuntutan rasa keadilan karena berdasar asas keseimbanagan makin besar atau berat kejahatan yang terjadi, maka harus semakin berat pula pidana yang mesti dijatuhkan. Dalam pengertian pembalasan sebagaimana penganut teori
140
absolut, keberadaan pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi jelas dibenarkan dan tentunya memperoleh tempat yang layak untuk dipertahankan. Karena kejahatan pembunuhan disertai mutilasi merupakan kejahatan kemanusiaan yang sangat tergolong sangat sadis dan tidak bersifat manusiawi. Sebagaimana dinyatakan oleh Immanuel Kant, pidana mengkehendaki agar setiap perbuatan melawan hukum harus dibalas karena merupakan keharusan yang bersifat mutlak yang dibenarkan sebagai pembalasan. Menurut Helbert L. Packer memberikan pendapat tentang teori absolut sebagai teori balas dendam, yaitu pemidanaan sebagai pembalasan mutlak dan harus dipertanggungjawabkan oleh individu yang melakukan kejahatan. Teori absolut menginginkan bahwa pemidanaan bertujuan untuk menderitakan pelaku tindak pidana sehingga memberikan efek jera oleh karena itu pidana berfungsi untuk menghilangkan kejahatan dengan memberikan sanksi, khususnya dalam hal ini adalah mengenai sanksi pidana mati bagi pelaku pembunuhan berencana disertai mutilasi. Dari berbagai pandangan terhadap teori absolut/ retributf, Nigel Walker menyatakan bahwa teori retributif murni sajalah yang mengemukakan alasan-alasan atau dasar pembenaran untuk pengenaan pidana, sehingga pidana mati dapat dijatuhkan pada perbuatan yang tergolong berat tersebut. Selanjutnya, menurut teori relatif memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Ditinjau dari teori relatif ini pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi juga mendapat dasar justifikasi bagi keberadaannya. Oleh karena pembunuhan berencana
141
disertai mutilasi merupakan kejahatan yang sangat sadis dan kejam. Sehingga pencegahannyapun harus dilakukan dengan sangat sungguh-sungguh dan nampaknya pidana mati merupakan jenis sanksi yang tepat untuk mencegahnya, sebab pidana ini merupakan pidana yang sangat berat dan kemungkinan untuk ditakuti sangat besar. Kemungkinan untuk dapat dicegahnya kejahatan tersebut juga besar walaupun dalam kenyataannnya belum tentu berhasil karena masih bersifat relatif tidak mutlak. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan perlindungan dan terciptannya ketertiban dalam masyarakat yang sangat diperlukan dalam pembangunan seperti di Indonesia maka keberadaan pidana mati yang bersifat menjaga kemungkinan timbulnya kekacauan akibat kejahatan yang membahayakan masyarakat seperti pembunuhan berencana disertai mutilasi terasa masih sangat diperlukan. Dengan demikian tujuan teori relatif ataupun menakut-nakuti sudah tertuang dalam pelaksanaan pidana mati. Oleh karena itu, pelaksanaan pidana mati bagi pelaku kejahatan pembunuhan berencana disertai mutilasi ini merupakan suatu perwujudan daripada fungsi law is a tool of social engineering, yang nantinya hukum dapat diaplikasikan secara benar dapat aktif dan tidak hanya sekedar reaktif dalam melakukan efektivitas mencapai tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Mengenai keadilan menurut pendapat dari Aristoteles, diantaranya terdapat dua jenis keadilan, yakni distributive justice dan commutative justice. Prinsip daripada distributive justice menurut Aristoteles adalah memperlakukan sama yang sama dan memperlakukan tidak sama yang tidak sama, sedangkan prinsip
142
commutative justice adalah pemberian sanksi harus proporsional dengan tindakan pelaku. Sehingga dengan kedua jenis keadilan ini sangat mendukung diberlakukannya pidana mati. Sepanjang pemidanaan tidak mengandung kesetaraan dengan kejahatannya, maka sepanjang itu pula akibatnya keadilan akan menjadi lemah dan sakit parah. 136 Dengan demikian tidak ada alternatif pidana lain, selain pidana mati bagi pelaku kejahatan serius itu. Jika melihat pidana seumur hidup adalah ganjaran yang tidak setimpal keadilannya bagi para pelaku kejahatan serius. Terlepas dari adanya kemungkinan seorang terpidana yang dipidana seumur hidup dapat melarikan diri atau mendapatkan remisi karena berkelakuan baik, sebagaimana menurut pembuat konstitusi Amerika Serikat, Thomas Jefferson berkeyakinan : the framers of the constitution clearly believed that capital punishment was an acceptable mess of protecting society form “wicked dissolute men”.(para penyusun konstitusi jelas meyakini bahwa pidana mati merupakan suatu kekacauan, tetapi kekacauan yang bisa diterima untuk melindungi masyarakat dari orang-orang yang paling jahat).137
Pelaku kejahatan pembunuhan dan mutilasi seperti kasus-kasus yang telah dipaparkan sebelumnya merupakan orang yang berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat.
Tersangka
kejahatannya
bila
136
Achmad Ali, op.cit, h.64
137
Achmad Ali, op.cit, h.64
memiliki tidak
kecenderungan
dihentikan.
Oleh
untuk karena
terus itu,
mengulangi Hukum
143
di negara kita harus menjatuhkan hukuman yang berat bagi tersangka. Kecenderungannya untuk kembali melakukan tindak kejahatan besar, karena itu perlu penanganan hukum yang serius bagi tersangka. Sehingga, penulis akan tetap berkeyakinan bahwa pidana mati akan selalu ditegakkan dan tetap tidak dapat disalahkan selama diterapkan terhadap kejahatankejahatan yang serius, termasuk pembunuhan berencana yang disertai dengan mutilasi. Pidana mati membela keadilan korban-korbannya sebagai suatu prinsip dasar penerapan undang-undang. Pidana mati juga dapat dibela dari berbagai aspek dan argumentasi, tetapi sudah cukup untuk menyatakan bahwa pidana mati yang merupakan satu-satunya pidana yang adil untuk kejahatan-kejahatan serius yang sangat dibenci oleh masyarakat beradab, termasuk didalamnya adalah kejahatan pembunuhan disertai mutilasi yang dilakukan oleh terpidana mati Ryan Idham Heryansyah dan Astini yang telah dieksekusi mati, serta kasus lainnya yang serupa.
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Bertolak daripada perumusan masalah dan uraian hasil penelitian dan analisis
yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, maka dalam tulisan tesis ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni : 1.
Keberadaan atau eksistensi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana masih tetap dipertahankan dan berlaku sampai saat ini di Indonesia, sebagaimana hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 340 KUHP.
2.
Kebijakan hukum pidana terkait dengan pidana mati masih tetap dipertahankan dan diatur dalam ketentuan Pasal 66 RUU KUHP, walaupun bukan merupakan jenis pidana pokok tetapi sebagai pidana alternatif. Terkait dengan tindak pidana pembunuhan berencana yang tercantum dalam Pasal 581 RUU KUHP, masih juga mencantumkan pidana mati namun memang dapat diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, seperti pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun. Dalam hal ini, RUU KUHP tidak mencantumkan mutilasi secara khusus sebagai alasan yang memberatkan pidana, akan tetapi apabila dilihat dari ketentuan Pasal 55 ayat (1) RUU KUHP, maka mutilasi dapat merupakan suatu motif dan tujuan melakukan tindak pidana (huruf b);
144
145
cara melakukan tindak pidana (huruf e); serta sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana (huruf f).
5.2
Saran Saran yang dapat penulis berikan guna menunjang fungsionalisasai kebijakan
hukum pidana mempertahankan jenis pidana mati (studi kasus pembunuhan berencana disertai mutilasi korban), antara lain : 1.
Pemerintah harus tetap mempertahankan ancaman pidana mati dengan membuat aturan yang secara jelas dan tegas mengenai pedoman pemidanaan dalam menjatuhkan putusan pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan berencana. Hukum di negara Indonesia masih tetap mempertahankan pidana mati, sehingga hakim dapat menentukan sikap dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan berencana.
2.
Kebutuhan KUHP Nasional sudah sangat mendesak, pemerintah sudah sewajarnya, segera mengundangkan hal tersebut. Sehingga ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55 RUU KUHP dapat dijadikan sebagai pedoman pemidanaan bagi hakim dalam penjatuhan putusan pidana terhadap tindak pembunuhan berencana disertai mutilasi sebagai hal yang memberatkan, sesuai dengan tujuan hukum, yaitu terciptanya kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Arief, Barda Nawawi, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. , 2001, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan , Citra Aditya Bakti, Bandung. ______, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, , 2002, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta. , 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, , 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Perbandingan , Citra Aditya Bakti, Bandung.
Dalam
Perspektif
Kajian
______, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ______, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta. Ali, Mahrus, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Ali, Achmad, 2010, Menguak Realitas Hukum :Rampai Kolom & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, Prenada Media Group, Jakarta Amiruddin dan Asikin, H. Zainal, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Atmasasmita, Romli, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung Bonger, W.A, 1997, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta. Burton, William C, 1998, Burton’s Legal Theasaurus, Mc Graw-Hill, New York
Chazawi, Adam, 2007, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada, Jakarta. , 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Christiansen, Karl.O, 1974, Some Consideration on the Possibility of a Rational Criminal Policy, UNAFEI, Tokyo. Friedman, M. Lawrence, 1975, The Legal System; A Social Science Perspective, Rusell Sage Fundation, New York. Garner, Bryan, 1999, Black Law Dictionary, Oxford University. Gofar, Fajrimei A, 2005, Positoin Paper Advokasi RUU KUHP Asas Legalitas Dalam Rancagan KUHP, Elsam, Jakarta. Grosth, Gilin 2004, Pengantar Ilmu Bedah Anestesi, Prima Aksara, Yogyakarta. Hamzah, Andi, 1987, Seri KUHP Asing: KUHP Jepang, Ghalia Indonesia, Jakarta. Ibrahim, Johnny, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Cet.Ketiga, Bayumedia Publishing, Malang. Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, 2014, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Kencana Prenamedia Group, Jakarta. Iver, Mac 1967, The Web of Goverrment, The Macmillan Company, New York. Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta. Lamintang, P.A.F, dan Lamintang, Theo, 2012, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta. Maramis, Frans, 2013, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Marpaung, Leden, 2008, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Bandung. Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Meliala, Adrianus, 2006, Kriminologi Tindak Pidana, Gramedia, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. , 2008, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Mulia Lubis, Todung dan Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Konstitusi, Kompas Media Group, Jakarta. Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Viktimologi, Djambatan, Jakarta. , 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Alumni, Bandung. Nonet, Philip dan Philip Selzhick, 2007, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung. Ohoitimur, Yong, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Priyatno, Dwija, 2007, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Projodikoro, Wirjono, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta. Ramlan, Supardi, 2001, Patofisiologi, Rineka Cipta, Bandung Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sahetapy, J.E, 2009, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Setara Press, Malang.
Salim, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Setiady, Tolib, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Cet.I, Alfabeta, Bandung. Sholehuddin, M, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Soekanto, Soerjono, & Mamudji, Sri, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2006, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. ______,2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Sunarso, Siswanto, 2009, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Rineka Cipta, Jakarta. Suparni, Niniek, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta. Syamsuddin, Amir, 2008, Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara, Kompas Media Nusantara, Jakarta. Taufik Makarao, Muhammad, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup (Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia), UMMPress, Malang. Wahyu Kuncoro, Nur Muhammad, 2012, 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia, Niaga Swadaya, Jakarta. Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Walker, Nigel, 1971, Sentencing in A Rational Society, Inc, Publisher, New York.
Widnyana, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta. Wisnubroto, 1997, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana: Reformasi Hukum, PT.Grasindo, Jakarta.
Sumber Elektronik : Firmansyah, Arif, 2007, Penerapan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Nasional dan Perlindungan Hak Azasi Manusia, Jurnal Hukum: Vol IX. No.3, http://hukum.unisba.ac.id/syiarhukum/index.php/jurnal/item/87-penerapanpidana-mati-dalam-hukum-pidana-nasional-dan-perlindungan-hak-azasimanusia, diakses 15 Nopember 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/mutilasi, diakses 11 Agustus 2014.
Jurnal/Majalah Ilmiah: Habib Shulton Asnawi, 2012, Hak Asasi Manusia Islam dan Barat ( Studi Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati ), Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 1, No. 1, Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta.
Artikel atau Majalah: Keputusan Bersama Ketua Makamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, dikutip dari Komisi Yudisial Indonesia, 2011, Penerapan dan Penemuan Hukum Dalam Putusan Hakim, Sekretariat Jendral Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional HakHak Sipil dan Politik Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor:1036/Pid/B/2008/PN.Dpk Rancangan KUHP 2013