KEBIASAAN PENCUCIAN RASKIN DAN RESIDU ZAT PEMUTIH (KLORIN) DI KELURAHAN SIDORAME TIMUR KECAMATAN MEDAN PERJUANGAN KOTA MEDAN TAHUN 2013 (The Habit Of Washing Raskin And The Residual Bleach (Chlorine) In The Village Of East Sidorame In Sub-District Of Medan Perjuangan In The City Of Medan In 2013 ) Adelina Irmayani1, Zulhaida Lubis2, Fitri Ardiani2 1
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ² Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT The estimated, there are chlorine used in the Raskin which received by people in the village of East Sidorame because has a white color, not much grain is broken, and it has little sting smell. The aim of this study is to describe the habit of washing Raskin and the residual chlorine in Raskin in the village of East Sidorame. This is the descriptive survey study, with Raskin and the poor family who receive it as a sample. Measurement of chlorine is using argentometry method. The sample is taken with systematic random sampling for 84 families who getting and consuming the Raskin. Base on the laboratory test show that the chlorine found in the Raskin. It has 17,70% chlorine before washing. After the first wash of rice, there was chlorine content decreased to 14,16%, the second wash decreased to 10,18%, the third wash to 5,75%, and the fourth wash, chlorine content decreased to 3,98%. Almost the people wash the rice by stirring the rice and draining water at same time while washing the rice. 38,55% of them washing the rice once. 31,33% of them washing the rice twice. Almost of them washing rice once or twice, but there is still chlorine in great enough quantities if compared washing Raskin to four times. Suggested for Bulog to attention to the quality of rice which distributed to people in terms of food security in rice. Recommended to people to washing Raskin to fourth wash or more to reduce residual chlorine. Keyword : Raskin, Chlorin, Washing Raskin PENDAHULUAN Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan penduduk daerah tropik lainnya. Selain rakyat di wilayah ini sudah begitu mahir dalam teknologi bercocok tanam padi, teknik pengolahan dan pemasakan terhadap beras juga sangat mudah. Tingkat daya beli, pengetahuan mengolah dan menyajikan yang telah dikuasai oleh masyarakat Indonesia sangat sesuai dengan beras sebagai bahan makanan pokok (Sediaoetama, 2009). Beras mengandung nilai gizi yang cukup tinggi yaitu kandungan karbohidrat sebesar 360 kalori, protein sebesar 6,8 gr, dan kandungan mineral seperti kalsium dan zat besi masing-masing 6 dan 0,8 mg. Vitamin yang utama pada beras adalah tiamin, riboflavin, niasin, dan piridoksin (Astawan, 2004).
Di zaman seperti sekarang ini, banyak berbagai macam makanan di Indonesia yang sudah mengandung zat kimia tambahan yang berbahaya bagi kesehatan. Kasus beras dicampur pemutih ini sudah ada sejak tahun 2006. Balai Pengawasan Obat dan Makanan Kota Tangerang menemukan pedagang menjual beras ini dengan bebas. Untuk membuat beras terlihat lebih putih, biasanya beras dicampur dengan klorin. Balai Pengawasan Obat dan Makanan Kota Tangerang menemukan kadar klorin seberat 0,05 ppm dalam beras curah yang diperdagangkan di pasar Tradisional, Tangerang (Lukman, 2010). Klorin merupakan bahan kimia yang biasanya digunakan sebagai pemutih pakaian. Sekarang klorin tidak hanya digunakan sebagai bahan pemutih pakaian saja, tetapi juga telah digunakan sebagai bahan 1
pemutih/pengilat beras agar beras yang berkualitas rendah dapat telihat lebih putih. Dampak dari beras yang mengandung klorin tidak terjadi sekarang, melainkan bahaya kesehatannya akan muncul 15 hingga 20 tahun mendatang, khususnya jika beras tersebut dikonsumsi secara terus menerus. Zat klorin yang ada dalam beras akan menggerus usus pada lambung (korosit). Akibatnya, lambung akan rawan terhadap penyakit maag. Dalam jangka panjang, klorin akan mengakibatkan penyakit kanker hati dan ginjal. Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009), pemerintah telah mengembangkan program subsidi/bantuan pangan berupa beras untuk meningkatkan akses pangan rumah tangga miskin yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan. Mengingat beras adalah bahan pangan pokok yang paling banyak dikonsumsi, maka prioritas utama pemerintah adalah untuk menjamin masyarakat agar dapat mengakses beras dalam jumlah yang mencukupi melalui program subsidi pangan untuk rumah tangga miskin. Beras yang diterima oleh rumah tangga miskin tersebut disebut dengan istilah raskin. Melalui program ini pemerintah mendistribusikan beras dengan harga bersubsidi sehingga masyarakat miskin yang daya belinya sangat terbatas bisa mendapatkan bahan pangan pokok yaitu beras. Berdasarkan survei pendahuluan, dari segi fisik raskin yang diterima warga memiliki tampilan yang bagus, yaitu putih bersih dan bentuk berasnya masih bagus dan utuh. Namun, dari segi aroma, raskin tidak memiliki aroma seperti beras lain. Raskin baunya sedikit menyengat. Air cucian raskin tidak keruh dan kotor ketika dicuci sehingga masyarakat merasa tidak perlu mencuci beras berulang kali karena airnya tidak kotor. Hal ini berbeda ketika kita mencuci beras pada umumnya. Raskin ini pun lebih tahan lama disimpan dan tidak memiliki kutu beras apabila disimpan dalam waktu yang lama. Apabila raskin dimasak dengan jumlah air yang biasa, nasi yang dihasilkan akan keras. Oleh karena itu, pada saat pengolahan warga membutuhkan air yang lebih banyak untuk memasak raskin ini daripada beras biasa. Setelah dimasak menjadi nasi, apabila dibiarkan nasinya akan menjadi keras. Dari segi rasa, raskin ini juga kurang enak apabila dikonsumsi.
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan, maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat apakah terdapat zat pemutih dalam raskin yang diterima masyarakat dan residu zat pemutih setelah dilakukan pencucian serta kebiasaan masyarakat dalam melakukan pencucian raskin. Sehingga dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai beras berpemutih dan penanganannya serta bagaimana pencucian beras yang sebaiknya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kebiasaan pencucian raskin dan residu zat pemutih (klorin) di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan survei yang bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui kebiasaan pencucian raskin di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. Setelah dilakukan survei, akan dilanjutkan dengan melihat kandungan dan residu klorin pada raskin. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang menerima raskin. Sampel dalam penelitian ini yaitu raskin dan keluarga yang memperoleh raskin. Pengambilan sampel terhadap keluarga diperoleh dengan teknik systematic random sampling. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dan dilakukan analisa terhadap data yang diperoleh yang akan disajikan dalam bentuk narasi dengan menggunakan analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi responden beradasarkan kondisi raskin yang diterima di Kelurahan Sidorame Timur adalah bahwa seluruh responden sebanyak 84 orang (100%) menerima raskin dalam kondisi beras yang bagus, warnanya putih bersih, butirannya masih utuh dan tidak banyak yang patah. Raskin memiliki bau yang sedikit menyengat. Selain itu, raskin yang diterima juga tidak berkutu. Dapat terlihat bahwa kondisi fisik tersebut memiliki ciri-ciri seperti beras yang mengandung klorin. 2
Beras yang baik adalah beras yang berwarna putih kecoklatan atau agak kekuningan. Namun, banyak masyarakat menganggap bahwa beras yang baik adalah beras yang berwarna putih bersih. Padahal beras yang berwarna putih bersih sudah banyak kehilangan zat gizi akibat proses penggilingan dan penyosohan. Selain itu, beras yang berwarna putih bersih mengkilap, perlu diwaspadai adanya kandungan zat pemutih. Adapun ciri-ciri beras yang mengandung pemutih yaitu warnanya putih bersih, mengkilap, tercium bau bahan kimia, dan jika beras dicuci, air cuciannya agak putih bersih. Pendapat keluarga mengenai rasa nasi dari raskin yang paling banyak adalah berpendapat bahwa rasanya tidak enak yaitu sebanyak 72 orang (85,71%) dan yang berpendapat bahwa rasanya enak ada sebanyak 12 orang (14,29%). Ibu dalam memasak nasi sehari-hari ada yang memasak untuk sekali makan langsung habis dan ada juga yang memasak nasi 2 kali dalam sehari (pagi dan sore). Ibu yang memasak nasi untuk sekali makan saja (langsung habis) ada sebanyak 69 orang (82,14%). Sedangkan 15 orang (17,86%) memasak nasi di saat pagi dan sore hari. Ratarata nasi yang mereka masak hanya dapat bertahan sekitar 10 jam. Selain itu, ibu juga mengatakan bahwa jika nasi dibiarkan dalam waktu yang lama maka nasinya akan menjadi keras, itulah sebabnya mengapa banyak ibuibu yang hanya memasak nasinya untuk sekali makan saja (langsung habis). Responden yang mencampur raskin dengan bahan lain dalam memasak nasi ada sebanyak 60 orang (71,43%) responden yang tidak mencampur raskin dengan bahan makanan lain saat memasak. Sedangkan responden yang mencampur raskin dengan beras lain saat memasak adalah sebanyak 23 orang (95,83%). Raskin memiliki rasa yang tidak enak jika dibandingkan dengan beras yang dijual di pasar. Nasi yang dihasilkan dari raskin, setelah dimasak akan menghasilkan nasi yang keras. Masyarakat merasa nasi yang keras ini menjadikan rasa nasi menjadi tidak enak. Raskin memiliki tekstur yang keras yang menjadikan masyarakat ketika memasak raskin menambahkan air yang lebih banyak jika dibandingkan dengan memasak beras yang
dijual di pasar. Dalam memasak raskin, masyarakat memilih manambahkan bahan pangan lain ketika memasak raskin untuk mengurangi rasa raskin yang kurang enak akibat tekstur yang keras. Bahan yang dapat ditambahkan sebenarnya cukup beragam seperti beras ketan, ubi, agar-agar, ataupun beras lain yang dibeli di pasar. Namun, masyarakat lebih memilih mencampurkan beras lain ataupun beras ketan ke dalam raskin ketika memasak raskin. Dengan perbandingan raskin lebih banyak dibandingkan bahan yang dicampurkan. Masyarakat juga banyak yang memasak nasi untuk sekali makan saja karena apabila nasi dibiarkan dalam waktu yang lama, nasi akan menjadi keras. Sehingga mereka hanya memasak nasi ketika akan makan saja agar nasi tidak menjadi keras. Nasi yang diolah dari beras organik dapat tahan selama 24 jam tanpa dimasukan ke dalam pemanas nasi elektrik. Sebaliknya, nasi non-organik hanya tahan disimpan selama 12 jam. 24 jam adalah batas maksimum lama penghangatan nasi dengan magic com untuk menjamin nasi yang dikonsumsi selalu masih memiliki kandungan gizi yang memadai, relatif segar, tidak menyebabkan bau tak sedap, serta tentunya hemat energi listrik (Parnata, 2010). Pemeriksaan klorin dilakukan pada beras miskin. Diperoleh klorin positif dari sampel beras miskin yang diperiksa. Kemudian sampel beras miskin juga diperiksa pada sampel beras yang belum dicuci dan pada sampel beras yang dicuci. Adapun hasil pemeriksaan kuantitatif klorin pada beras dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Kadar Klorin Pada Beras Miskin yang Belum Dicuci dan Residu Klorin Pada Pencucian Beras Pertama Sampai dengan Pencucian Beras Keempat No. Sampel Kadar Klorin (%) 1. Beras yang belum dicuci 17,70 2. Pencucian beras pertama 14,16 3. Pencucian beras kedua 10,18 4. Pencucian beras ketiga 5,75 5. Pencucian beras keempat 3,98 3
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa kandungan klorin pada beras miskin sebesar 17,70%. Sedangkan pada proses pencucian pertama pada beras miskin diperoleh kandungan klorin 14,16%. Pada proses pencucian kedua pada beras miskin diperoleh kandungan klorin 10,18%. Pada proses pencucian yang ketiga pada beras miskin diperoleh kandungan klorin 5,75%. Pada proses pencucian yang keempat pada beras miskin diperoleh kandungan klorin 3,98%. Dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kandungan klorin pada setiap kali proses pencucian terhadap beras dan kandungan klorin terendah terdapat pada proses pencucian yang keempat. Kandungan klorin pada raskin mengalami penurunan setelah dilakukan pencucian terhadap raskin. Hal ini terbukti semakin banyaknya pencucian yang dilakukan semakin banyak juga klorin yang terlarut dengan air pencucian beras. Hal ini sesuai dengan sifat klorin yang dapat larut dengan mudah dalam air. Klorin merupakan bahan pemutih yang biasa digunakan sebagai pemutih pakaian ataupun pemutih kertas. Klorin juga digunakan sebagai desinfektan pada pengolahan air minum. Klorin yang digunakan adalah gas klor (Cl2) atau kalsium hipoklorit (Ca(OCl)2). Klorin ini pun digunakan pada beras untuk membuat beras terlihat lebih putih dan bersih. Pada kain, cara kerja bahan pemutih yaitu bahan pemutih bereaksi (mengoksidasi) dengan kotoran sehingga kotoran tidak tampak lagi (kain terlihat lebih bersih). Selain dengan kotoran, bahan pemutih juga akan bereaksi dengan zat warna (pada kain berwarna). Bahan pemutih pakaian umumnya mengandung senyawa klorin yang dapat merusak serat kain dan warna pakaian. Selain itu, senyawa klorin juga dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Mengingat sifat bahan pemutih di atas, dituntut kehati-hatian pada penggunaan bahan pemutih (Dian, 2013). Klorin yang digunakan untuk memutihkan pakaian biasanya dapat merusak pakaian apabila penggunaannya berlebihan. Apalagi apabila klorin digunakan ke dalam bahan pangan, tentunya akan sangat membahayakan kesehatan. Bahaya kesehatan yang terjadi apabila klorin masuk ke dalam
tubuh manusia memang tidak terjadi dalam waktu singkat tetapi dalam jangka waktu panjang. Dampak dari kandungan klorin pada beras sangatlah berbahaya bagi kesehatan tubuh. Dampaknya memang tidak terjadi sekarang. Bahaya kesehatan akan muncul 15 sampai 20 tahun mendatang, khususnya apabila beras tersebut dikonsumsi secara terusmenerus. Bahaya yang ditimbulkan antara lain dapat menyebabkan terganggunya sistem saraf dan ginjal. Gangguan kesehatan lainnya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi beras yang mengandung klorin dalam jangka panjang adalah gangguan usus, ginjal dan hati. Klorin merupakan bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan, ditinjau dari segi manapun penggunaan zat pemutih apabila dicampurkan terhadap beras, sangat tidak dibenarkan karena dampaknya yang begitu besar bagi kesehatan manusia. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, menyatakan bahwa klorin dilarang digunakan pada beras. Klorin tidak tercatat sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP) dalam kelompok pemutih dan pematang tepung. Berdasarkan cara mencuci raskin, hampir seluruh responden atau sebanyak 83 responden (98,81%) mencuci raskin dengan cara mengaduk-aduk beras ketika dicuci dengan menggunakan wadah panci ataupun wadah rice cooker. Sedangkan 1 orang responden (1,19%) mencuci raskin dengan menggunakan wadah saringan dengan cara mengalirkan air sambil di aduk-aduk. Pada umumnya kebiasaan ibu rumah tangga, beras akan dicuci terlebih dahulu sebelum dimasak. Cara mencucinya pun bervariasi. Ada yang mencuci dengan mengosok-gosok berasnya, ada yang mengaduk-aduk secara ringan saja, dan ada pula hanya membiarkan saja sampai kotoran pada beras naik sendiri. Kebanyakan para ibu mencuci beras sampai warna airnya bening. Dari segi gizi, sudah pasti banyak kandungan gizi yang hilang dengan proses pencucian beras, terutama vitamin yang larut dalam air. Beras mengandung nilai gizi yang cukup tinggi yaitu kandungan karbohidrat sebesar 360 kalori, protein sebesar 6,8 gr, dan 4
kandungan mineral seperti kalsium dan zat besi masing-masing 6 dan 0,8 mg. Vitamin yang utama pada beras adalah tiamin, riboflavin, niasin, dan piridoksin (Astawan, 2004) Tiamin (vitamin B1) yang merupakan vitamin yang utama pada beras merupakan salah satu kelompok dari vitamin B yang merupakam salah satu dari vitamin larut air. Tiamin yang terdapat pada kulit ari beras dapat juga hilang ketika proses penggilingan dan proses penyosohan padi. Padahal pada bagian kulit ari tersebut banyak terdapat tiamin (vitamin B1). Proses penyosohan beras pecah kulit menghasilkan beras giling, dedak dan bekatul. Sebagian protein, lemak, vitamin dan mineral akan terbawa dalam dedak, sehingga kadar komponen-komponen tersebut dalam beras giling menurun. Beras giling yang diperoleh berwarna putih karena telah terpisah dari bagian dedaknya yang berwarna coklat. Bagian dedak padi sekitar 5-7 persen dari berat beras pecah kulit. Makin tinggi derajat penyosohan dilakukan makin putih warna beras giling yang dihasilkan, namun makin miskin zat-zat gizi (Sediaoetama, 2009). Masyarakat seringkali melakukan penggilingan padi sampai tahap paling sempurna. Masyarakat menganggap makin putih beras maka kualitasnya makin baik (rasanya lebih enak). Padahal beras yang digiling sampai menjadi putih (giling sempurna), akan kehilangan vitamin B1 didalamnya (Moehyi, 1992). Pada beras giling sudah banyak zat-zat gizi yang hilang akibat proses penggilingan dan penyosohan. Oleh sebab itu, aktivitas mencuci beras diharapkan agar tidak semakin banyak kandungan vitamin B yang hilang yaitu dengan tidak mengaduk-aduk secara kuat ketika mencuci beras. Selain itu, tiamin juga dapat hilang karena proses pencucian beras sebelum dimasak. Oleh karena itu, cara pencucian beras perlu diperhatikan agar kandungan gizi seperti tiamin tidak banyak hilang. Berdasarkan hasil penelitian diatas masyarakat masih mencuci beras dengan cara mengaduk-aduk beras ketika dicuci. Hal ini tentu saja membuat semakin banyak vitamin yang larut dalam air pencucian. Apabila beras
sudah terlihat bersih sebaiknya ketika mencuci beras, tidak perlu diaduk-aduk kuat. Cukup diaduk ringan saja atau dibiarkan saja sampai kotoran pada beras naik ke permukaan air. Selain itu, banyaknya proses penggantian air cucian beras juga dapat menghilangkan kandungan gizi pada beras terutama vitamin yang larut dalam air. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh bahwa frekuensi responden dalam penggantian air cucian raskin dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Distribusi Berdasarkan Frekuensi Penggantian Air Cucian di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan 2013 No. Frekuensi Jumlah % 1. 1 kali 32 38,55 2. 2 kali 26 31,33 3. 3 kali 15 18,07 4. 4 kali 10 12,05 Jumlah 83 100,00 Berdasarkan frekuensi penggantian air cucian, diperoleh bahwa sebesar 38,55% masyarakat mengganti air cucian beras ketika akan memasak adalah sebanyak 1 kali. Sebesar 31,33% masyarakat mengganti air cucian beras adalah sebanyak 2 kali. Sebesar 18,07% masyarakat mengganti air cucian beras adalah sebanyak 3 kali. Sedangkan 12,05% masyarakat mengganti air cucian beras ketika akan memasak adalah sebanyak 4 kali. Jika dilihat dari segi gizi, proses penggantian air cucian yang dilakukan masyarakat sudah cukup baik terlihat dari banyaknya masyarakat yang mencuci beras hanya dengan mengganti air cucian sebanyak 1 atau 2 kali saja. Beras adalah salah satu bahan makanan pokok yang dapat diolah menjadi nasi yang mengandung vitamin B1 yang bentuk murninya adalah tiamin hidroklorida. Faktorfaktor yang mempengaruhi hilangnya tiamin hidroklorida dalam jumlah besar selama proses pengolahan diantarannya: pengeringan, larut dalam pencucian, jumlah air yang digunakan selama pemasakan, waktu pemasakan, penyimpanan, adanya alkali, pH, dan suhu (Nasution, 1991). Pada waktu membeli beras di pasar dianjurkan untuk membeli beras yang bersih. Jika beras itu ternyata kurang bersih juga, 5
cukup mencucinya sekali saja. Itupun dengan cara menuangkan cukup air lalu menggoyanggoyang wadah beras itu, kemudian ditiriskan airnya. Sebaiknya jangan mengaduk-aduk beras dengan kedua tangan, karena hanya akan membuang segenap zat-zat gizi yang sangat diperlukan tubuh (Sitorus, 2009). Dengan pencucian yang berlebihan (digosok dengan kuat), vitamin B1 pada beras akan larut dan hilang bersama air pencuci. Dianjurkan, pencucian beras sebaiknya hanya untuk menghilangkan benda-benda asing yang terikut seperti sisa bekatul dan debu, bukan menggosoknya hingga nutrisi pada lapisan kulit ari larut dan hilang bersama air pencuci (Khomsan, 2009). Mencuci yang baik adalah beras diletakkan dalam wadah kemudian diberi air bersih, lalu diaduk dengan ringan saja, agar kotoran yang lebih ringan dari air akan terapung dan dapat dibuang bersama air pencuci itu. Mencuci cukup satu kali saja, tidak perlu diulang-ulang sampai air pencucinya menjadi bening (Sediaoetama, 2009). Namun, hasil penelitian juga membuktikan bahwa pada beras miskin terdapat kandungan klorin. Dimana, kandungan klorin tidak diperbolehkan pada beras. Klorin memiliki sifat larut dalam air. Sehingga apabila klorin terdapat pada beras, maka cara yang terbaik untuk mengurangi kadar klorin pada beras tersebut adalah dengan melakukan pencucian yang berulang-ulang pada beras. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa semakin banyak dicuci, kandungan klorin juga semakin berkurang. Kebiasaan masyarakat yang mencuci beras hanya 1 atau 2 kali saja, masih meninggalkan klorin yang banyak pada beras. Sedangkan pada masyarakat yang mencuci sampai 4 kali telah mengurangi banyak klorin dari sebelum beras dicuci. Tetapi kebiasaan mencuci beras sampai 4 kali juga tidak baik dari segi kandungan gizinya. Karena sudah pasti banyak juga zat gizi yang hilang bersama air cucian. Dengan kebiasaan masyarakat yang mencuci beras dengan mengganti air cucian 1 atau 2 kali masih menyisakan klorin yang banyak pada beras. Sedangkan masyarakat yang mencuci beras sampai 4 kali pun juga masih menyisakan klorin pada beras meskipun
jumlahnya sudah berkurang. Dengan mencuci beras sampai 4 kali pun yang sebenarnya tidak umum untuk dilakukan, masih sangat berisiko untuk menimbulkan bahaya kesehatan, mengingat klorin memang tidak diperbolehkan pada beras. Klorin yang terdapat pada beras, apabila dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan vitamin B, C dan E dalam tubuh. Hal ini menyebabkan vitamin B, C, dan E yang masuk ke dalam tubuh menjadi tidak bermanfaat karena telah dirusak. Dalam jangka 20 tahun, klorin dapat menimbulkan kerusakan pada usus. Apabila akibat dari klorin tersebut sudah menyebabkan kerusakan pada usus, maka akan menghambat penyerapan nutrisi-nutrisi yang masuk ke dalam tubuh. Zat klorin yang terdapat pada beras apabila masuk ke tubuh akan menggerus usus dan lambung (korosit). Akibatnya lambung akan rawan terhadap penyakit maag. Apabila terjadi kerusakan pada dinding lambung dan usus, maka proses pencernaan makanan juga akan terjadi gangguan. Dengan tergerusnya dinding usus akibat klorin, maka akan mengakibatkan dinding usus akan semakin menipis dan bisa berlubang. Hal ini tentunya akan menggangu penyerapan nutrisinutrisi makanan yang masuk ke dalam tubuh. KESIMPULAN 1. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap raskin diperoleh bahwa di dalam raskin terdapat zat pemutih (klorin). 2. Kandungan klorin pada raskin sebelum pencucian sebesar 17,70%. Kandungan klorin pada pencucian pertama diperoleh sebesar 14,16%. Pada pencucian kedua terjadi penurunan menjadi 10,18%. Pada pencucian ketiga pun terjadi penurunan klorin menjadi 5,75%. Begitu pula pada pencucian keempat, kandungan klorin menurun menjadi 3,98%. Kandungan klorin berkurang seiring dengan semakin banyaknya pencucian. Namun, sampai pencucian yang keempat kali pun, klorin masih tetap ada pada beras. 3. Sebagian besar masyarakat mencuci beras dengan cara mengaduk-aduk beras sambil mengalirkan air sehingga terjadi banyak 6
4.
zat-zat gizi yang hilang bersama air cucian terutama vitamin yang larut dalam air. Berdasarkan frekuensi pencucian raskin, umumnya masyarakat mencuci beras 1 sampai 2 kali tetapi hal ini masih meninggalkan klorin yang cukup besar pada beras jika dibandingkan dengan yang mencuci raskin sampai 4 kali. Meskipun mencuci beras sampai 4 kali masih tetap memiliki risiko akan bahaya kesehatan, namun setidaknya kandungan klorinnya sudah berkurang banyak jika dibandingkan dengan beras sebelum dicuci.
SARAN 1. Bagi Bulog agar memperhatikan lagi kualitas beras yang didistribusikan kepada masyarakat bukan hanya dari segi fisik saja tetapi kandungan-kandungan lain yang berbahaya yang terdapat pada beras. 2. Bagi masyarakat sebaiknya mencuci raskin sebanyak 4 kali atau lebih untuk mengurangi residu klorin yang terdapat pada beras, meskipun akan banyak membuang zat gizinya, terutama zat gizi yang larut dalam air misalnya vitamin B1. Namun, vitamin B1 masih bisa diperoleh dari makanan lain.
Moehyi, S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Penerbit Bharata. Jakarta. Nasoetion, A. H dan Karyadi, D. 1991. Vitamin. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Parnata, A.S. 2010. Meningkatkan Hasil Panen dengan Pupuk Organik. Penerbit Agro Media Pustaka. Jakarta. Sediaoetama, A.D. 2009. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II.Cetakan Keempat. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta. Sitorus, R. 2009. Makanan Sehat dan Bergizi. Penerbit CV Yrama Widya. Bandung
DAFTAR PUSTAKA Astawan, M. 2004. Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Cetakan I. Penerbit Tiga Serangkai. Solo. Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015. Makalah Workshop II Ketahanan Pangan di Jawa Timur. Dian N.F. 2013. Kimia SMP Kelas VII, VIII, dan IX. Penerbit Cabe Rawit. Yogyakarta. Khomsan, A. 2009. Rahasia Sehat dengan Makanan Berkhasiat. Penerbit PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. Lukman, A. 2010. Mengenali Beras Berpemutih. Diakses 11 Agustus 2012;http://www.kompas.com/printne ws/xml/2010/02/13/12171293/Mengen ali. Beras.Berpemutih/trackback.
7
KARAKTERISTIK BAYI PENDERITA GASTROENTERITIS YANG DIRAWAT INAP DI RSUD PURI HUSADA TEMBILAHAN TAHUN 2011-2012 Rivando Fernandus 1; Sori Muda Sarumpaet 2; Hiswani 2. 1 Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Abstract Gastroenteritis disease remains a major cause of morbidity and mortality of children in the world, especially in developing countries, including Indonesia. Based on the results of the morbidity and mortality survey conducted Sub gastroenteritis in 2010, the death rate from gastroenteritis Cause Specific Death Rate by 23 about 100 thousand inhabitants and in infants Age Specific Death Rate by 75 about 100 thousand babies. While in the hospital Puri Husada Tembilahan, the overall proportion of infant gastroenteritis cases by 42.01% and the Case Fatality Rate by 3.12%. Has done research that aims to identify the characteristics of infants hospitalized patients with gastroenteritis in hospitals Puri Husada Tembilahan years 2011-2012, a descriptive case series design, using secondary data. The population is all infants hospitalized patients with gastroenteritis in 2011-2012 as many as 229 people, and a sample of 146 people were taken by simple random sampling. From the research found most babies with gastroenteritis at the age of < 6 months (87,7%), males (56,8%), self-employed parents work (69,2%), good nutrition status (64,4%), the main complaint vomiting (89,0%), the degree of mild dehydration (64,4%), complications (14,4%),management of intravenous fluid administrations/infusion (51,4%), the average treatment time 3,43 during the day and go home in a state of recovery (70,5%). Statistical test results obtained no significant difference in the proportion of state while returning by complications (X2 = 5,882 ; p = 0,053). There is no significant difference in the average long care by age (F = 2,678 ; p = 0,104), there was no significant difference in the average treatment time is based on the degree of dehydrations (F = 2,555 ; p = 0,081). To the hospital is recomended to improve the quality of service and complete the notes on the state of the card baby height measurement, the level of mother’s education and employment. Keywords: gastroenteritis, infant characteristics Malaysia dan Singapura, dimana Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKBA) di Malaysia sudah mencapai 8 per 1.000 kelahiran hidup, sementara AKB di Singapura sudah mencapai 3 per 1.000 kelahiran hidup dan AKBA mencapai 4 per 1.000 kelahiran hidup dan yang tertinggi dicapai oleh Myanmar, yaitu 104 kematian per 1.000 kelahiran hidup sedangkan di Indonesia 36 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Kajian ARSN (Asian Rotavirus Surveillance Networks) kedua pada tahun 2001 dilakukan di beberapa negara di Asia (Cina, Taiwan, Hongkong, Vietnam, Myanmar, Thailand dan Indonesia) terdapat bahwa infeksi rotavirus
Pendahuluan Gastroenteritis hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia, dan semua kelompok usia bisa terinfeksi gastroenteritis. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2009-2010 gastroenteritis merupakan penyebab kematian nomor tiga pada bayi baik di dunia maupun di Asia Tenggara dengan Proportional Mortality Ratio (PMR) 17-18%. Berdasarkan data WHO pada tahun 2010 menunjukkan, derajat kesehatan Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti
1
gastroenteritis dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2,52% dari 10.980 kasus yang dilaporkan. Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa derajat kesehatan di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup bermakna. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat antara lain ditunjukkan oleh semakin meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya angka kematian ibu dan meningkatnya status gizi masyarakat disamping menurunnya angka kematian bayi dan balita dimana berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 didapatkan Angka Kematian Bayi (AKB) yang relatif tinggi di Indonesia yaitu sebesar 46 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKBA) sebesar 58 per 1.000 kelahiran hidup, Sementara berdasarkan hasil SDKI 2002/2003 AKB dan AKBA sudah mengalami penurunan menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup dan 46 per 1.000 kelahiran hidup.
sebesar 45% kejadian gastroenteritis di Asia. Hongkong merupakan daerah dengan prevalensi rotavirus terendah (28%) sedangkan prevalensi tertinggi di Vietnam (59%). Infeksi Rotavirus merupakan salah satu penyebab gastroenteritis dengan dehidrasi berat pada bayi dan balita di seluruh dunia. Sebuah studi analisis yang dilakukan oleh Parashar pada tahun (2009), menunjukkan bahwa infeksi rotavirus dapat menyebabkan 114 juta episode gastroenteritis, 24 juta kunjungan rawat jalan, 2,4 juta kunjungan rawat inap dan 610.000 kematian bayi dan balita pada tahun 2004. Diperkirakan proporsi kematian akibat gastroenteritis rotavirus terjadi pada negara berkembang sebesar 82%, terutama di Asia dan Afrika. Indonesia juga menghadapi beban ganda dalam pembangunan kesehatan dan masih meningkatnya beberapa penyakit menular disamping penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif dan munculnya penyakit baru. Sampai saat ini penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas bayi di Indonesia adalah gastroenteritis atau juga sering disebut diare.5 Kegiatan penanggulangan penyakit gastroenteritis di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1961.
Di Provinsi Riau terjadi peningkatan kasus gastroenteritis dan diare di rumah sakit setiap tahunnya. Berdasarkan data profil kesehatan propinsi Riau yang dihimpun pada tahun 2009 dan tahun 2010 menunjukkan bahwa banyaknya angka kesakitan gastroenteritis tahun 2009 sebesar 4.533 kasus dengan proporsi penderita pada bayi sebesar 42% dan tahun 2010 angka kesakitan gastroenteritis sebesar 5.336 kasus, dengan proporsi penderita pada bayi sebesar 56,03%.
Peningkatan pemberantasan yang berdasarkan kenyataan pelaksanaan di lapangan serta selaras dengan resolusi World Health Assembly tahun 1978 yang mengharapkan bahwa setiap negaranegara anggota WHO dapat mengembangkan pemberantasan penyakit gastroenteritis sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya dapat ditekan seminimal mungkin. Hasil Survei morbiditas dan mortalitas yang dilakukan Subdit Gastroenteritis pada tahun 2010 menunjukkan angka kematian akibat gastroenteritis (Cause Spesific Death Rate) sebesar 23 per 100 ribu penduduk dan pada bayi Age Spesific Death Rate (ASDR) sebesar 75 per 100 ribu bayi. Selama tahun 2010 sebanyak 41 kabupaten 16 propinsi melaporkan terjadi KLB
Berdasarkan data Profil Kesehatan Kabupaten/ Kota Tembilahan tahun 2012 angka kejadian gastroenteritis pada bayi cukup tinggi. Dilaporkan dari 25 puskesmas, terdapat 2.609 kasus dengan proporsi gastroenteritis pada bayi sebesar 66,34%. Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan merupakan salah satu rumah sakit yang menyediakan ruang rawat inap untuk bayi dan anak-anak. Dari tahun 2011 sampai dengan 2012, gastroenteritis menempati urutan pertama berdasarkan data 10 besar morbiditas pasien rawat inap sentinel. Tahun 2010 dilaporkan terdapat 318 kasus gastroenteritis dengan proporsi pada bayi
2
j. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keadaan sewaktu pulang. k. Untuk mengetahui proporsi umur berdasarkan derajat dehidrasi. l. Untuk mengetahui proporsi status gizi berdasarkan derajat dehidrasi. m. Untuk mengetahui proporsi keadaan sewaktu pulang berdasarkan status gizi. n. Untuk mengetahui proporsi keadaan sewaktu pulang berdasarkan derajat dehidrasi. o. Untuk mengetahui proporsi komplikasi berdasarkan keadaan sewaktu pulang. p. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan umur. q. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan status gizi. r. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan derajat dehidrasi. s. Untuk mengetahui derajat dehidrasi berdasarkan dengan penatalaksanaan.
sebesar 40,82%, dan mengalami peningkatan pada tahun 2011-2012 dilaporkan terdapat 545 kasus gastroenteritis dengan proporsi bayi sebesar 42,01% sebanyak 229 orang. Sedangkan mortalitas gastroenteritis menempati urutan kelima berdasarkan data 10 penyakit terbesar yang mengakibatkan kematian dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 3,12%. Oleh karena itu perlu diketahui karakteristik bayi penderita gastroenteritis yang dirawat inap di RSUD Puri Husada Tembilahan. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui karakteristik bayi penderita gastroenteritis yang dirawat inap di RSUD Puri Husada Tembilahan. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan umur. b. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan jenis kelamin. c. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan pekerjaan orang tua. d. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan status gizi waktu masuk rumah sakit. e. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keluhan utama. f. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan derajat dehidrasi. g. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenterituiis berdasarkan komplikasi penyakit. h. Untuk mengetahui distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan penatalaksanaan. i. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata bayi penderita gastroenteritis.
Manfaat Penelitian a. Sebagai bahan masukan kepada rumah sakit terhadap peningkatan pelayanan dan penatalaksanaan terhadap bayi penderita gastroenteritis. b. Untuk meningkatkan pengetahuan penulis tentang gastroenteritis. c. Sebagai bahan referensi di perpustakaan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Metode Penelitian Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diambil dari kartu status pasien yang ada di bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan menggunakan desain penelitian Case Series. Lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan dengan pertimbangan bahwa Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan melayani penderitia gastroenteritis rawat inap. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data
3
bayi penderita gastroenteritis yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Puri Husada Tembilahan Tahun 2011-2012 yaitu sebanyak 229 orang. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 146 bayi yang penderita gastroenteritis. Teknik pengambilan sampel yaitu dilakukan dengan menggunakan cara Simple Random Sampling. Sampel dipilih secara acak sederhana dengan menggunakan undian. Pertama-tama semua nomor identitas kartu status dicatat di atas kertas kecil, Kemudian kertas tersebut diambil secara acak sebanyak 146 kali. Nomor identitas kartu status yang terambil dipilih sebagai sampel. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan komputer. Kemudian data dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Chi-square dan Anova. Selanjutnya hasil disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, diagram pie dan diagram bar.
Tabel 4.2. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Jenis Kelamin yang di Rawat Inap di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun 2011-2012 NO
Umur (bulan)
1
<6
128
Proporsi (%) 87,7
2
>6
18
12,3
146
100
Jumlah
f
f
Proporsi (%)
1 2
Laki – laki 83 56,8 Perempuan 63 43,2 Jumlah 146 100 Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa jenis kelamin bayi penderita gastroenteritis terbanyak adalah laki-laki sebanyak 83 orang (56,8%), dan perempuan sebanyak 63 orang (43,2%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan pekerjaan orang tua dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.3. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Pekerjaan Orang tua yang dirawat Inap di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun 2011-2012
Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.1. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Umur yang di Rawat Inap di RSUD Puri Husada Tembilahan tahun 2011-2012 NO
Jenis Kelamin
NO 1 2 3 4 5
Pekerjaan Orang tua TNI / POLRI PNS
f 3 18
Proporsi (%) 2,1 12,3
Pegawai Swasta Wiraswasta Tidak Bekerja Jumlah
21 101 3 146
14,3 69,2 2,1 100
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa pekerjaan orang tua bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah wiraswasta sebanyak 101 orang (69,2%), pegawai swasta sebanyak 21 orang (14,3%), PNS sebanyak 18 orang (12,3%), TNI/POLRI dan tidak bekerja masing-masing sebanyak 3 orang (2,1%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan status gizi dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.4. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Status Gizi yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembi lahan Tahun 2011-2012
Berdasarkan tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa umur bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah < 6 bulan sebanyak 128 orang (87,7%), dan umur > 6 bulan sebanyak 18 orang (12,3%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
NO 1 2
4
Status Gizi Baik Buruk Jumlah
f 94 52 146
Proporsi (%) 64,4 35,6 100
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa status gizi bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah status gizi baik yaitu sebanyak 94 orang (64,4%), dan status gizi buruk sebanyak 52 orang (35,6%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keluhan utama dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.5. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Keluhan Utama yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun 2011-2012 NO 1
Keluhan Utama Muntah
130
Proporsi (%) 89,0
2
Demam
16
11,0
Jumlah
146
100
f
Tabel 4.7. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Komplikasi yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembi lahan Tahun 2011-2012
f
Proporsi (%)
1
Derajat dehidrasi Ringan
94
64,4
2
Sedang
41
28,1
3
Berat
11
7,5
146
100
Jumlah
Ada
21
2
Tidak ada
125
85,6
Jumlah
146
100
Komplikasi
f
Berdasarkan tabel 4.7 di atas dapat dilihat bahwa bayi penderita gastroenteritis yang mengalami komplikasi adalah sebanyak 21 orang (14,4%), dan yang tidak mengalami komplikasi sebanyak 125 orang (85,6%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan penatalaksanaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.8. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Penatalaksanaan yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun 2011-2012
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa keluhan utama penderita gastroenteritis terbanyak adalah muntah yaitu sebanyak 130 orang (89,0%), dan demam sebanyak 16 orang (11,0%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan derajat dehidrasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.6. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Derajat Dehidrasi yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun 2011-2012 NO
1
Proporsi (%) 14,4
NO
NO
Penatalaksanaan
f
Proporsi (%)
1
Pemberian cairan oralit Pemberian cairan intravena/infus Pemberian obat antibiotik
56
38,4
75
51,4
15
10,2
146
100
2 3
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dilihat bahwa penatalaksanaan bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah pemberian cairan intravena/infus yaitu sebanyak 75 orang (51,4%), pemberian cairan oralit sebanyak 56 orang (38,4%), dan pemberian obat antibiotik sebanyak 15 orang (10,2%). Lama rawatan rata-rata bayi penderita gastroenteritis dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat dilihat bahwa derajat dehidrasi penderita gastroenteritis terbanyak adalah dehidrasi ringan yaitu sebanyak 94 orang (64,4%), dehidrasi sedang sebanyak 41 orang (28,1%), dan dehidrasi berat sebanyak 11 orang (7,5%). Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan komplikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
5
Dan penderita gastroenteritis dengan dehidrasi berat terbanyak adalah pada umur < 6 bulan sebesar 90%.
Tabel 4.9. Lama Rawatan Rata-rata Bayi Penderita Gastroenteritis yang Dirawat Inap di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun 2011-2012
Distribusi Proporsi Status Gizi Berdasarkan Derajat Dehidrasi menunjukkan bahwa bayi penderita gastroenteritis dengan dehidrasi ringan terbanyak memiliki status gizi baik dengan proporsi sebesar 62,8%. Sedangkan penderita gastroenteritis dengan dehidrasi sedang terbanyak memiliki status gizi baik dengan proporsi sebesar 68,3%. Dan penderita gastroenteritis dengan dehidrasi berat terbanyak memiliki status gizi baik dengan proporsi sebesar 36,4%.
Lama rawatan (hari) Rata – rata 3,43 95% Confidence 3,11-3,75 Interval Standar Deviasi 1,975 Coefisien of 57,58 Variation Minimum 1 Maksimum 14
Berdasarkan tabel 4.9 di atas dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata hari bayi penderita gastroenteritis adalah 3,43 hari dengan 95% Confidence Interval 3,11-3,75 hari, standar deviasi 1,975 hari, dan nilai koefisien variasi sebesar 57,58% menunjukkan bahwa lama rawatan bayi penderita gastroenteritis bervariasi dengan lama rawatan minimum 1 hari dan lama rawatan maksimum 14 hari. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.10. Distribusi Proporsi Bayi Penderita Gastroenteritis Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang yang Dirawat Inap Di RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun 2011-2012 NO 1 2 3
Keadaan Sewaktu Pulang Sembuh
f
Proporsi (%)
103
70,5
PAPS Meninggal Jumlah
36 7 146
24,7 4,8 100
Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Status Gizi menunjukkan bahwa bayi penderita gastroenteritis yang memiliki status gizi baik, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 71,3%, dan meninggal sebesar 3% (CFR = 3%). Sedangkan bayi yang memiliki status gizi buruk, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 36%, dan meninggal sebesar 4% (CFR = 4%). Status gizi sangat mempengaruhi kejadian gastroenteritis. Pada anak yang kurang gizi karena pemberian makan yang kurang, episode gastroenteritis lebih berat dan berakhir lebih lama. Resiko meninggal akibat gastroenteritis sangat meningkat bila anak sudah mengalami kurang gizi. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Derajat Dehidrasi menunjukkan bahwa bayi penderita gastroenteritis yang mengalami dehidrasi ringan, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 64,9%, dan meninggal sebesar 1,1% (CFR = 1,1%). Sementara penderita yang mengalami dehidrasi sedang, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh sebesar 87,8%, dan meninggal sebesar 2,4% (CFR = 2,4%).Sedangkan penderita yang mengalami dehidrasi berat, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 54,5%, dan meninggal sebesar 45,5% (CFR = 45,5%). Kehilangan air lebih banyak dari pada pemasukan air merupakan penyebab
Berdasarkan tabel 4.10 di atas dapat dilihat bahwa keadaan sewaktu pulang bayi penderita gastroenteritis yang terbanyak adalah sembuh yaitu sebanyak 103 orang (70,5%), PAPS sebanyak 36 orang (24,7%), dan meninggal sebanyak 7 orang (4,8%). Distribusi proporsi umur berdasarkan derajat dehidrasi menunjukkan bahwa penderita gastroenteritis dengan dehidrasi ringan terbanyak adalah umur < 6 bulan dengan proporsi sebesar 87,2%. Sedangkan penderita gastroenteritis dengan dehidrasi sedang terbanyak adalah pada umur < 6 bulan dengan proporsi sebesar 87,8%.
6
berdasarkan status gizi. Artinya lama rawatan rata-rata penderita gastroenteritis tidak berbeda secara bermakna pada bayi yang berstatus gizi baik maupun buruk. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh memiliki cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit gastroenteritis. Semakin buruk keadaan gizi anak, akan semakin sering dan semakin berat terjadi gastroenteritis. Sehingga dapat dikatakan bahwa bayi yang mempunyai status gizi baik, lama rawatannya berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan bayi yang mempunyai gizi buruk.
terjadinya kematian pada penderita gastroenteritis. Sehingga dapat diasumsikan bahwa anak yang mengalami dehidrasi berat memiliki kemungkinan pulang dalam keadaan meninggal. Distribusi Proporsi komplikasi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang menunjukkan bahwa bayi penderita gastroenteritis yang mengalami komplikasi, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 85,7%, dan meninggal sebesar 9,5% (CFR = 9,5%). Sementara penderita yang tidak mengalami komplikasi, terbanyak pulang dalam keadaan sembuh dengan proporsi sebesar 68%, dan meninggal sebesar 4% (CFR = 4%). Analisa menggunakan Chi-square diperoleh hasil p = 0,053 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara keadaan sewktu pulang berdasarkan komplikasi. Tingginya resiko meninggal pada anak yang mengalami komplikasi, dapat dikaitkan bahwa anak yang mengalami komplikasi akan memperburuk kondisi kesehatannya, sehingga kemungkinan untuk meninggal cukup tinggi.
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Derajat Dehidrasi dapat dilihat bahwa bayi penderita gastroenteritis yang mengalami dehidrasi ringan, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,16 hari dengan SD = 1,953. Sedangkan bayi yang mengalami dehidrasi sedang, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,93 hari dengan SD = 1,738 hari, dan bayi yang mengalami dehidrasi berat, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,91 hari dengan SD=2,663 hari. Hasil uji statistik dengan Anova nilai p = 0,081 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan derajat dehidrasi.
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Umur dapat dilihat bahwa bayi penderita gastroenteritis yang berumur > 6 bulan, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,53 hari dengan SD = 1,638 hari. Sedangkan penderita yang berumur < 6 bulan, lama rawatan rata-ratanya adalah 2,72 hari dengan SD = 2,004 hari. Hasil uji statistik dengan Anova nilai p = 0,104 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan umur. Artinya lama rawatan rata-rata penderita gastroenteritis tidak berbeda secara bermakna pada umur < 6 bulan dan > 6 bulan.
Bayi dengan status gizi baik, bila menderita gastroenteritis maka turgor kulit dapat bertahan cukup baik walaupun terjadi dehidrasi. Bila rehidrasi berhasil dicapai maka dapat diberi pengobatan pemeliharaan. Pada penderita yang mengalami dehidrasi ringan, pemeliharaan terhadap cairan dan nutrisi dapat dilakukan di rumah. Sedangkan penderita yang lebih parah memerlukan pengawasan yang berkelanjutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, penderita dengan dehidrasi ringan dapat dengan cepat mencapai rehidrasi dibandingkan dengan penderita yang mengalami dehidrasi berat, yang membutuhkan perawatan yang lama di rumah sakit.
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Status Gizi bayi penderita gastroenteritis yang memiliki status gizi baik, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,21 hari dengan SD = 1,795 hari. Sedangkan bayi yang memiliki status gizi buruk, lama rawatan rata-ratanya adalah 3,83 hari dengan SD = 2,229 hari. Hasil uji statistik dengan Anova nilai p = 0,072 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata
Distribusi Proporsi Derajat Dehidrasi Berdasarkan Penatalaksanaan dapat dilihat bahwa bayi penderita gastroenteritis yang telah mendapat penatalaksanaan pemberian cairan oralit
7
tertinggi adalah pulang dalam keadaan sembuh yaitu sebesar 70,5% (103 orang). 11.Analisa statistik dengan menggunakan Chisquare diperoleh hasil tidak ada perbedaan yang bermakna antara komplikasi dengan keadaan sewaktu pulang (p = 0,053). 12.Analisa menggunakan Anova diperoleh tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan umur (p = 0,104). 13.Analisa menggunakan Anova diperoleh tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan status gizi (p = 0,072). 14.Analisa menggunakan Anova diperoleh tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan derajat dehidrasi (p = 0,081).
terbanyak adalah dehidrasi ringan dengan proporsi sebesar 66,1% dan yang terendah dengan status dehidrasi berat sebesar 5,4%. Sedangkan penderita gastroenteritis yang mendapat pemberian cairan intravena/infus terbanyak adalah dehidrasi ringan dengan proporsi sebesar 60% dan terendah dengan status dehidrasi berat sebesar 9,3%. Dan penderita gastroenteritis yang mendapat pemberian obat antibiotik terbanyak adalah dehidrasi ringan dengan proporsi sebesar 80% dan yang terendah adalah dehidrasi berat sebesar 6,7%. Kesimpulan dan Saran 1. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan umur yang tertinggi adalah umur < 6 bulan yaitu sebesar 87,7% (128 orang). 2. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan jenis kelamin yang tertinggi adalah laki-laki yaitu sebesar 56,8% (83 orang). 3. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan pekerjaan orang tua yang tertinggi adalah wiraswasta yaitu sebesar 69,2% (101 orang). 4. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan status gizi yang tertinggi adalah status gizi baik yaitu sebesar 64,4% (94 orang). 5. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keluhan utama yang tertinggi adalah muntah yaitu sebesar 89,0% (130 orang). 6. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan derajat dehidrasi yang tertinggi adalah dehidrasi ringan yaitu sebesar 64,4% (94 orang). 7. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis yang mengalami komplikasi yaitu sebesar 14,4% (21 orang). 8. Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan penatalaksanaan yang tertinggi adalah pemberian cairan intravena/infus yaitu sebesar 51,4% (75 orang). 9. Lama rawatan rata-rata bayi penderita gastroenteritis adalah 3,43 hari, SD =1,975 hari dan Coefisiens of Variation sebesar 57,58%. 10.Distribusi proporsi bayi penderita gastroenteritis berdasarkan keadaan sewaktu pulang yang
Saran 1. Kepada pihak rumah sakit disarankan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan sehingga angka kematian bayi akibat gastroenteritis dapat ditekan seminimal mungkin. 2. Kepada bagian rekam medis disarankan untuk melengkapi pencatatan kartu status berupa tinggi badan bayi, pendidikan dan pekerjaan ibu. 3. Selain meningkatkan pelayanan kesehatan, disarankan kepada pihak rumah sakit untuk lebih meningkatkan lagi kinerja petugas kesehatan dan aktif lagi dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai gastroenteritis.
8
Daftar Pustaka 1. WHO., 2010. The World Health Report 2010. http://www.who.int./whr/2010/en/index. html Akses. Akses 18 Desember 2012 2. Depkes RI., 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta 3. Dinas Kesehatan Propinsi Riau., 2011. Profil Kesehatan Propinsi Riau tahun 2011 4. Dinas Kesehatan Kota Tembilahan., 2011. Profil Kesehatan Kota Tembilahan tahun 2012 5. Sunoto., 2012. Gastroenteritis Masalah dan Penatalaksanaannya, IDI Jakarta 6. Irwanto, dkk., 2002. Ilmu Penyakit Anak; Diagnosa dan Penatalaksanaan, Salemba, Medika, Jakarta 7. RSUD Puri Husada Tembilahan., 2012. Profil RSUD Puri Husada Tembilahan Tahun 2012 8. Erlan., 1997. Penatalaksanaan dan pencegahan gastroenteritis. EGC, Jakarta 9. Suratmaja S., 2012. Muntah pada bayi dan anak dalam kapita selekta gastroenterologi anak. Jakarta 10. Anwar A., 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Gastroenteritis Pada Bayi dan Balita. Buletin Penelitian Kesehatan 11. Halim A., 2012. Penatalaksanaan dan Pencegahan Gastroenteritis dan Diare Akut. EGC, Jakarta 12. Depkes RI., 2012. Angka Kejadian Gastroenteritis Masih Tinggi. http://www.depkes.go.id/index.php Akses 21 Desember 2012 13. Notoatmojo S., 2002. Metodologi Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta 14. Jellife., 2009. Kesehatan Anak di Daerah Tropis. Bumi Aksara, jakarta 15. Schwartz W., 2004. Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta
9
KARAKTERISTIK PENDERITA STROKE HAEMORAGIK YANG DIRAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012
Berman1, Hiswani2, Makmur2 1
Mahasiswa Peminatan Epidemiologi FKM USU 2 Staf Pengajar FKM USU
Abstract Stroke was a disorder of blood circulation in the brain due to blocked or rupture of blood vessels. Stroke was divided into two parts based on the pathological namely, ischemic and hemorrhagic stroke. Of entire the number of cases of stroke, 80% had ischemic stroke and 20% of stroke hemorrhagic. Stroke was the main cause of death in Indonesia with a proportion of 14.4%. To determine the characteristics of stroke hemorrhagic patients hospitalized, conducted research at RSUP H. Adam Malik Medan with case series design. Population and the sample was 111 people in 2012 which recorded in hospital medical records. Univariate data were analyzed descriptively while bivariate data were analyzed using Chi-square test and ANOVA. Proportion based on the highest sociodemographic in the age group 45-59 years 48.6%, men 51.4%, muslim 63.1%, high school / equal 41.4%, 96.4% married status, housewife 41, 4%, and 77.5% outside the city of Medan. Proportion based on the highest treatment status, 73% decreased consciousness, hemiparesis dextra 53.2%, hypertension 78.4%, intracerebral hemorrhage 83.8%, 43.7% cerebral hemifer, 99.1% of conservative measures, long maintainability average 6.37 days, insurance 82.9%, and 64.9% died. There was no significant difference between the average treatment time with the main complaints (p = 0.161), location of the paralysis (p = 0.81), and the site of bleeding (p = 0.085). There was a significant difference between the average treatment time of patients with CT-Scan results (0.024) and the condition while returning (p = 0.000). Patients who have a history of hypertension to perform the routine control and a healthy lifestyle. Medical treatment and maintainability for patients was done intensively to reduce mortality rate. For the medical records department of RSUP H. Adam Malik Medan to complete patient data recording such as ethnicity and location of bleeding. Keywords: Characteristics of Patient , Stroke Hemorrhagic, RSUP H. Adam Malik Pendahuluan Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan kematian jaringan otak hingga menimbulkan kelumpuhan dan kematian.1 Stroke diklasifikasikan menjadi 2 jenis yang dikategorikan berdasarkan keadaan patologis yaitu stroke iskemik dan stroke haemoragik. Dari seluruh kasus penderita stroke hampir 80% pasien menderita stroke iskemik (non haemoragik) dan 20% menderita stroke haemoragik.2 Di negara-negara maju, stroke merupakan penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Di samping itu, penyakit stroke menjadi
penyebab cacat badan terbesar dari seluruh penyakit, sehingga dapat menurunkan angka produktifitas kerja dan SDM.3 Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2008 jumlah kematian didunia sebanyak 57 juta jiwa dan 6,17 juta jiwa meninggal dunia akibat stroke dengan Proportional Mortality Rate (PMR) sebesar 10,8%.4 Berdasarkan data National Heart, Lung, and Blood Institute tahun 2008, penyakit stroke menjadi penyebab kematian terbesar ke empat di Amerika Serikat dengan jumlah 134.148 orang dengan angka proporsi sebesar 5,4%.5
Dari hasil penelitian Misbach didapatkan jumlah penderita stroke hemoragik di tujuh negara ASEAN yang mengambil sampel data ASNA tahun 1996 ada sebesar 1.110 orang (29,8%)6. Berdasarkan hasil penelitian Basri di RS Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 2001 diperoleh persentase jumlah penderita stroke haemoragik sebesar 25,2% dan stroke iskemik sebesar 74,8%.7 Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama pada semua kelompok umur adalah stroke dengan proporsi sebesar 15,4%.8 Prevalensi penderita stroke di Indonesia sebesar 8,3 per 1.000 penduduk pada tahun 2007.8 Berdasarkan Profil Kesehatan Nasional (2008) jumlah penderita stroke rawat inap yang dikategorikan menjadi stroke tanpa perdarahan/infark ada sebanyak 4.884 orang, penyakit serebrovaskuler lainnya 1.224 orang, infark serebral 1.070, dan perdarahan intrakranial 3.716. Case Fatality Rate penyakit stroke tertinggi yang dirawat inap dirumah sakit adalah perdarahan intrakranial sebesar 34,46% diikuti stroke tanpa perdarahan/infark sebesar 16,09%, penyakit serebrovaskuler lainnya 15,38%, dan infark serebral 11,2%.8 Jumlah penderita stroke di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2010 sebanyak 1.009 orang stroke dimana proporsi penderita stroke haemoragik sebanyak 346 orang (34,3%)9. Penelitian Napitupulu di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2004-2008 diperoleh jumlah penderita stroke sebanyak 1.718 orang dengan jumlah penderita stroke haemoragik sebanyak 408 orang (23,75%).10 Penelitian yang dilakukan oleh Batubara (2012) di RSUP H Adam tahun 2011 diperoleh jumlah kematian akibat stroke ada sebanyak 88 orang. Tipe stroke yang paling banyak menyebabkan kematian pada penderita stroke adalah stroke hemoragik sebesar 87,5%.11 Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di RSUP H Adam Malik Medan diketahui bahwa penderita stroke haemoragik yang dirawat inap pada tahun 2012 ada sebanyak 111 orang. Stroke haemoragik merupakan pecahnya dinding pembuluh darah di otak sehingga
terjadi perdarahan.12 Sroke haemoragik dibagi menjadi 3 bagian yaitu Perdarahan Intraserebral (PIS), Perdarahan Subarachnoid (PSA), dan Perdarahan Subdural (PSD).13 Penyakit stroke haemoragik diakibatkan beberapa faktor resiko yaitu tidak dapat dikontrol (usia, jenis kelamin, ras/suku, riwayat keluaraga) dan dapat dikontrol (hipertensi, DM, merokok dll).14 Kejadian stroke lebih sering terjadi pada usia tua, karena semakin berkurangnya elastisitas pembuluh darah, menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia didapatkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita stroke dibandingkan perempuan.15,16 Faktor resiko penyebab terjadinya penyakit stroke haemoragik yang paling besar adalah hipertensi, terjadi karena peningkatan tekanan darah yang mendadak sedemikian rupa sehingga pembuluh darah pecah (karena tidak tahan menerima tekanan yang tinggi).12 Gejala stroke haemoragik yang dapat nampak pada awal serangan seperti, kesadaran menurun, lemah lengan/tungkai nyeri kepala yang hebat dan mual-muntah. Diagnosa stroke haemoragik dilakukan melalui pemeriksaan CT-Scan. Berdasarkan hasil CT-Scan dapat diketahui bagian perdarahan (PIS, PSA, dan PSD), letak kelumpuhan, dan lokasi perdarahan (hemisfer serebri, basal ganglia, batang otak dll).1,17 Perumusan masalah Belum diketahui karakteristik penderita stroke haemoragik yang dirawat inap di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2012. Tujuan penelitian Untuk mengetahui karakteristik penderita stroke haemoragik yang dirawat inap di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan sosiodemografi antara lain umur dan jenis kelamin, suku, agama, pendidikan terakhir, status perkawinan, pekerjaan dan asal daerah. b. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan keluhan utama saat pertama datang berobat.
c. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan letak kelumpuhan. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan faktor resiko. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan hasil CTScan. f. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan lokasi perdarahan. g. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan tindakan medis. h. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik. i. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan sumber biaya. j. Mengetahui distribusi proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan keadaan sewaktu pulang k. Mengetahui perbedaan tindakan medis berdasarkan hasil CT-Scan. l. Mengetahui perbedaan letak kelumpuhan berdasarkan hasil CT-Scan. m. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan hasil CT-Scan n. Mengetahui perbedaan keadaan sewaktu pulang berdasarkan hasil CT-Scan o. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan keluhan utama saat masuk pertama kali datang berobat. p. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan letak kelumpuhan. q. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan lokasi perdarahan. r. Mengetahui perbedaan lama rawatan ratarata berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Manfaat penelitian Manfaat penelitian ini adalah: a. Sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan pengetahuan serta wawasan penulis tentang penyakit stroke haemoragik. b. Sebagai bahan masukan untuk peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang penyakit stroke haemoragik. c. Sebagai bahan masukan bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan mengenai
karakteristik penderita stroke haemoragik sehinggga dapat membantu dalam merumuskan kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan stroke haemoragik. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik Medan. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan Februari sampai Juli 2013. Populasi penelitian adalah semua data penderita stroke haemoragik rawat inap yang tercatat di rekam medis rumah sakit tahun 2012 yang berjumlah 111 orang. Besar sampel sama dengan besar populasi (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data unuvariat dianalisis secara deskriptif dan data bivariat dianalisis dengan chi-square test dan anova. Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi penderita stroke haemoragik rawat inap dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1.
Umur (Tahun) <45 45-59 ≥60 Total
Distribusi Proporsi Umur Ber-dasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan f % f % 10 9 7 6,3 28 25,2 26 23,4 19 17,2 21 18,9 57 51,4 54 48,6
Dari tabel 1. dapat diketahui bahwa umur <45 tahun berdasarkan jenis kelamin tertinggi adalah laki-laki yaitu 9%. Umur 45-59 tahun tertinggi adalah laki-laki yaitu 25,2%. Umur ≥60 tahun tertinggi adalah perempuan yaitu 18,9%. Umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke, kejadian stroke lebih sering terjadi pada usia tua karena semakin berkurangnya elastisitas pembuluh darah15. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penderita stroke haemoragik yang paling muda adalah umur 17 tahun. Penderita berjenis kelamin laki-laki dengan faktor risiko akibat konsumsi alkohol dan narkoba berlebih, mengalami Perdarahan Intraserebral (PIS), hemiparesis sinistra, tindakan medis
yang dilakukan konservatif, biaya sendiri dan pasien tersebut meninggal dunia setelah dirawat selama 1 hari. Penderita stroke haemoragik paling tua berumur 83 tahun berjenis kelamin laki-laki memiliki faktor risiko hipertensi, mengalami Perdarahan Intraserebral (PIS), paraparesis, lokasi perdarahan hemifer serebri, tindakan medis yang dilakukan konservatif, biaya asuransi dan pasien tersebut meninggal dunia setelah dirawat selama 2 hari. Kejadian stroke haemoragik lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penelitian yang dilakukan di 28 rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita stroke dibandingkan dengan perempuan.16
pendidikan yang tertinggi adalah berpendidikan SLTA/Sederajat yaitu 41,4% dan terendah adalah Akademi/Perguruan Tinggi yaitu 1,8%, berdasarkan status perkawinan yang bersatatus kawin sebanyak 96,4% dan tidak kawin sebanyak 3,6%. Berdasarkan pekerjaan yang paling tinggi adalah Ibu Rumah Tangga yaitu 41,4% dan yang paling rendah adalah lain-lain (pengrajin kayu) yaitu 0,9%. Berdasarkan tempat tinggal yang tertinggi adalah yang bertempat tinggal di Luar Kota Medan yaitu 77,5% dan yang terendah adalah yang bertempat tinggal di Kota Medan sebanyak 22,5%.
Tabel 2.
Keluhan Utama Nyeri kepala mendadak, mual, muntah Kesadaran menurun Lemah lengan dan tungkai kiri Lemah lengan dan tungkai kanan Lebih dari satu keluahan utama Jumlah
Distribusi Proporsi Sosiodemografi Sosiodemografi
Agama Islam Katolik Kristen Protestan Hindu Jumlah Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD/Sederajat SLTP/Sederajat SLTA/Sederajat Akademi/Perguruan Tinggi Jumlah Status Perkawinan Tidak Kawin Kawin Jumlah Pekerjaan Tidak bekerja PNS/POLRI/TNI/Pensiunan Pegawai Swasta Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Petani Lain-lain Jumlah Tempat Tinggal Kota Medan Luat Kota Medan Jumlah
Berdasarkan
f
%
70 4 36 1 111
63,1 3,6 32,4 0,9 100
6 27 30 46 2 111
5,4 24,3 27,0 41,4 1,8 100
4 107 111
3,6 96,4 100
3 9 1 38 46 13 1 111
2,7 8,1 0,9 34,2 41,4 11,7 0,9 100
25 86 111
22,5 77,5 100
Pada tabel 2. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan agama yang tertinggi adalah agama Islam yaitu 63,1% dan yang terendah adalah Hindu yaitu 0,9%, berdasarkan tingkat
Tabel 3.
Distribusi Proporsi Keluhan Utama
Berdasarkan
f 3
% 2,7
81 18 7 2 111
73 16,2 6,3 1,8 100
Berdasarkan tabel 3. dapat dilihat bahwa proporsi penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama yang tinggi adalah kesadaran menurun sebesar 73% dan terendah adalah lebih dari satu keluhan utama 1,8%. Kesadaran menurun (somnolen) terjadi akibat adanya edema serebral, perubahan terjadi dalam otak dan batang otak diakibatkan karena terdesak sehingga kesadaran secara berangsur-angsur terus menurun. Edema serebral merupakan kondisi dimana terjadi akumulasi cairan di intraseluler dan ekstraseluler otak akibat perdarahan18,19 Tabel 4.
Distribusi Proporsi Berdasarkan Letak Kelumpuhan
Letak Kelumpuhan Hemiparesis dextra Hemiparesis sinistra Paraparesis Jumlah
f 59 47 5 111
% 53,2 42,3 4,5 100
Pada tabel 4. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan letak kelumpuhan tertinggi adalah hemiparesis dextra yaitu 53,2% dan terendah paraparesis yaitu 4,5%.
Tabel 5.
Distribusi Proporsi Berdasarkan Faktor Risiko
Faktor Risiko Diabetes Melitus Hipertensi Pernah Stroke Penyakit Jantung Aneurisma Operasi Tumor Otak Konsumsi Narkoba/Alkohol Lebih dari satu faktor resiko Jumlah
f 6 87 5 1 1 1 1 9 111
% 5,4 78,4 4,5 0,9 0,9 0,9 0,9 8,1 100
Berdasarkan abel 5. dapat diketahui bahwa proporsi faktor resiko penderita stroke haemoragik yang tertinggi adalah hipertensi 78,4% dan yang terendah adalah penyakit jantung, aneurysma, operasi tumor otak, dan konsumsi alkohol/narkoba. Hipertensi merupakan faktor resiko yang sangat mempengaruhi kejadian stroke haemoragik, sekitar 3-4 kali lebih besar kejadian stroke terjadi pada penderita dengan hipertensi dibandingkan non-hipertensi.20 Konsumsi alkohol berat merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke. Alkohol dapat menggangu peredaran darak otak, meningkatkan tekanan darah, mengganggu metabolisme hidratarang dan lemak dalam tubuh, dan menggangu pembekuan darah18 Penderita stroke haemoragik dengan faktor risiko aneurisma berumur 18 tahun berjenis kelamin laki-laki, mengalami Perdarahan Subarachnoid (PSA), paraparesis, tindakan medis yang dilakukan operatif, sumber biaya asuransi dan pulang atas permintaan sendiri setelah dirawat selama 30 hari. Perdarahan subarachnoid sering dikaitkan dengan pecahnya suatu aneurisma dan sering menyerang penderita yang masih muda.20,21
Penderita stroke haemoragik paling tinggi terjadi pada intraserebral dimana perdarahan awal berasal dari pembuluh darah parenkim otak yang bukan disebakan oleh trauma. Perdarahan Intraserebral 60%-70% disebabkan oleh hipertensi hal ini sejalan dengan faktor resiko kejadian stroke haemoragik paling tinggi disebabkan oleh hipertensi.14 Tabel 7.
Letak Kelumpuhan Hemiparesis Dextra Hemiparesisi Sinistra Paraparesis Jumlah
Distribusi Proporsi Berdasarkan Hasil CT-Scan
Hasil CT-Scan Perdarahan Intraserebral (PIS) Perdarahan Subaracnoid (PSA) Perdarahan Subdural (PSD) Jumlah
f 93 13 5 111
% 83,8 11,7 4,5 100
Berdasarkan tabel 6. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik yang tertinggi berdasarkan hasil CT-Scan yaitu mengalami Perdarahan Intraserebral (PIS) 83,8% dan terendah Perdarahan Subdural (PSD) 4,5%.
f 59 47 5 111
% 53,2 42,3 4,5 100
Pada tabel 7. dapat diketahui bahwa proporsi letak kelumpuhan penderita stroke haemoragik tertinggi pada hemiparesis dextra 53,2% dan terendah adalah paraparesis 4,5%. Hemparesis (hemiplagia) merupakan kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan tungkai berikut wajah pada salah satu sisi tubuh. Kelumpuhan tersebut biasanya disebabkan oleh lesi vaskular unilateral di kapsula interna atau kortes motorik. Lesi yang mendasari hemiparesis adalah lesi vaskuler yang diakibatkan terjadi penyumbatan atau perdarahan suatu arteri serebral.(19,22) Tabel 8.
Distribusi Proporsi Berdasarkan Lokasi Perdarahan
Lokasi Perdarahan Tercatat Tidak tercatat Jumlah Tabel 9.
Tabel 6.
Distribusi Proporsi Berdasarkan Letak Kelumpuhan
f 48 63 111
% 43,2 56,8 100
Distribusi Proporsi Berdasarkan Lokasi Perdarahan Tercatat
Lokasi Perdarahan Hemisfer Serebri Basal Ganglia Batang Otak Serebelum Perdarahan Subarachnoid Jumlah
f 21 20 2 2 3 48
% 43,7 41,7 4,2 4,2 6,2 100
Pada tabel 9. dapat diketahui bahwa proporsi lokasi perdarahan penderita stroke haemoragik tertinggi dijumpai pada hemifer serebri 43,7% dan terendah adalah batang otak dan serebelum. 4,2%.
Lokasi perdarahan tertinggi terdapat pada hemisfer serebri. Pada Perdarahan Intraserebaral (PIS) lokasi perdarahan terjadi di hemifer serebri 80% dan batang otak serta serebelum 20%.14 Tabel 10.
Distribusi Proporsi Tindakan Medis
Tindakan Medis Tindakan Konservatif Tindakan Operatif Jumlah
Berdasarkan
f 110 1 111
% 99,1 0,9 100
Pada tabel 10. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan tindakan medis lebih tinggi pada tindakan konservatif yaitu 99,1% dan terendah tindakan operatif yaitu 0,9%. Lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik rawat inap dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 11.
Lama Rawatan Rata-rata Penderita
Lama Rawatan Rata-rata (Hari) N 111 Mean 6,37 SD (Standar Deviasi) 7,739 95% CI 4,91-7,83 Minimum 1 Maksimum 56
Distribusi Proporsi Sumber Biaya
Sumber Biaya Biaya Sendiri Asuransi Jumlah
f 19 92 111
Berdasarkan
% 17,1 82,9 100
Berdasarkan tabel 12. dapat dilketahui proporsi penderita stroke haemoragik yang dirawat inap di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2012 berdasarkan sumber biaya yang tertinggi adalah asuransi yaitu 82,9% dan yang terendah adalah biaya sendiri yaitu 17,1%.
Distribusi Proporsi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang
Keadaan Sewaktu Pulang Pulang berobat jalan (PBJ) Pulang atas permintaan sendiri (PAPS) Meninggal Jumlah
f 27 12 72
% 24,3 10,8 64,9
111
100
Berdasarkan tabel 13. dapat diketahui bahwa proporsi penderita stroke haemoragik tertinggi adalah meninggal dunia 64,9% dan terendah adalah PAPS 10,8%. Case Fatality Rate (CFR) penderita stroke haemoragik yang rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012 sebesar 64,9%. Hal ini disebabkan karena RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pusat rujukan kesehtan regional untuk wilayah Sumatera Bagian Utara dan bagian Tengah, pasien yang dirujuk pada umumnya sudah dalam keadaan parah. Sehingga tindakan medis yang dilakukan tidak menolong untuk menyelamatkan jiwa penderita. Tabel 14.
Pada tabel 11. dapat diketahui bahwa lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik rawat inap di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2012 adalah 6,37 hari (7 hari). Lama rawatan paling singkat 1 hari sedangkan paling lama 56 hari. Tabel 12.
Tabel 13.
Hasil CTScan PIS PSA PSD
Tindakan Medis Berdasarkan Hasil CT-Scan Tindakan Medis Tindakan Tindakan Konservatif Operatif f % f % 93 100 0 0 12 92,3 1 7,7 5 100 0 0
Total f 93 13 5
% 100 100 100
Pada tabel 14. dapat diketahui bahwa dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PIS, dilakukan tindakan konservatif 100% dan tindakan operatif 0%. Dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PSA, dilakukan tindakan konservatif 92,3% dan tindakan operatif 7,7%. Dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PSD, dilakukan tindakan konservatif 100% dan tindakan operatif 0%. Analisis statistik dengan uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 4 sel (66,7%) expected count nya lebih dari 5.
Tabel 15.
Letak Kelumpuhan Berdasarkan Hasil CT-Scan
Letak Kelumpuhan Hasil Total Hemiparesis Hemiparesis CTParaparesis Dextra Sinistra Scan f % f % f % f % PIS 49 52,7 40 43,0 4 4,3 93 100 PSA 5 38,5 7 53,8 1 7,7 13 100 PSD 5 100 0 0 0 0 5 100
Tabel 17.
Hasil CTScan PIS PSA PSD
Keadaan Sewaktu Pulang Berdasarkan Hasil CT-Scan
Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal f % f % f % 25 26,9 10 10,7 58 62,4 2 15,4 2 15,4 9 69,2 0 0 0 0 5 100
Total f 93 13 5
% 100 100 100
Pada tabel 15. dapat diketahui bahwa dari seluruh penderita stroke haemoragik dengan PIS, yang hemiparesis dextra 52,7%, hemiparesis sinistra 43,0% dan paraperesis 4,3%. Dari seluruh penderita stroke haemoragik dengan PSA, yang hemiparesis sinistra 38,5%, hemipareisis sinistra 53,8% dan paraparesis 7,7%. Dari seluruk penderita stroke haemoragik dengan PSD, hemiparesis dextra 100%, hemiparesis sinistra dan paraparesis 0%. Analisis statistik dengan uji chi square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 5 sel (55,6%) expected count nya kurang dari 5.
Pada tabel 17. dapat diketahui bahwa dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PIS, pulang berobat jalan 26,9%, pulang atas permintaan sendiri 10,7% dan meninggal 62,4%. Dari seluruh penderita stroke haemoragik yang mengalami PSA, pulang beronbat jalan 15,4%, pulang atas permintaan sendiri 15,4% dan meninggal 69,2%. Untuk penderita stroke haemoragik yang mengalami PSD, pulang berobat jalan dan pulang atas permintaan sendiri 0% dan meninggal 100%. Analisis statistik dengan uji chi square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 5 sel (55,6%) expected count nya kurang dari 5
Tabel 16.
Tabel 18.
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Hasil CT-Scan
Hasil CT-Scan PIS PSA PSD
Lama Rawatan Rata-rata f x SD 93 5,73 5,721 13 11,77 15,93 5 4,40 4,82
Pada tabel 16 dapat diketahui bahwa lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik yang mengalami Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah 5,73 hari, lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik yang mengalami Perdarahan Subarachnoid (PSA) adalah 11,77 hari, dan lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik yang mengalami Perdarahan Subdural (PSD) adalah 4,4 hari. Hasil analisis satatistik dengan uji Anova diperoleh p(=0,024)<0,05 berarti secara statistik ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan hasil CTScan.
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang
Keluhan Utama Nyeri kepala, mual, dan muntah Kesadaran menurun Lemah lengan tungai kiri Lemah lengan dan tungkai kanan Lebih dari satu keluhan utama
Lama Rawatan Rata-rata f x SD 3 11,33 16,19 81 5,28 8,00 18 8,39 5,05 7 10,43 4,03 2 10,5 3,53
Berdasarkan tabel 18. dapat dilihat bahwa terdapat 3 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa nyeri kepala mendadak, mula dan muntah dengan lama rawatan rata-rata 11,33. Terdapat 81 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa kesadaran menurun dengan lama rawatan rata-rata 5,28. Terdapat 18 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa lemah lengan dan tungkai kiri dengan lama rawatan rata-rata 8,39. Terdapat 7 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa lemah lengan dan tungkai kanan dengan lama rawatan rata-rata 10,43. Terdapat 2 orang penderita stroke haemoragik dengan keluhan utama berupa nyeri kepala mendadak, mula dan muntah dengan lama rawatan rata-rata 10,5.
Dari analisa statistik menggunakan uji Anova, diperoleh nilai p=0,161 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan keluhan utama saat masuk rumah sakit Tabel 19.
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Letak Kelumpuhan
Letak Kelumpuhan Hemiparesis Dextra Hemiparesis Sinistra Paraparesis
Lama Rawatan Ratarata f x SD 59 5,97 6,93 47 6,72 8,81 5 7,80 12,41
Berdasarkan tabel 19. dapat dilihat bahwa terdapat 59 orang penderita stroke haemoragik dengan hemiparesis dextra lama rawatan rata-rata 5,97. Terdapat 47 orang penderita stroke haemoragik dengan hemiparesis sinistra lama rawatan rata-rata 6,72. Terdapat 5 orang penderita stroke haemoragik dengan paraparesis lama rawatan rata-rata 7,80 . Dari analisa statistik menggunakan uji Anova, diperoleh nilai p=0,81 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan yang bermakna yang antara lama rawatan berdasarkan letak kelumpuhan. Tabel 20.
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Lokasi Perdarahan
Lokasi Perdarahan Hemifer Serebri Basal Ganglia Batang Otak Serebelum Perdarahan Subarachnoid
Lama Rawatan Ratarata f x SD 21 5,43 6,47 20 11,95 11,61 2 1.,00 0 2 8,50 0,12 3 15,67 2,88
Berdasarkan tabel 20. dapat dilihat bahwa terdapat 21 orang penderita stroke haemoragik dengan lokasi perdarahan di hemifer serebri dengan lama rawatan ratarata 5,43. Terdapat 20 orang penderita stroke haemoragik dengan lokasi perdarahan di basal ganglia dengan lama rawatan rata-rata 11,95. Terdapat 2 orang penderita stroke haemoragik dengal lokasi perdarahan di batang otak dengan lama rawatan rata-rata 1,00. Terdapat 2 orang penderita stroke haemoragik dengal lokasi perdarahan di serebelum dengan lama rawatan rata-rata 8,50. Terdapat 3 orang penderita stroke
haemoragik dengal lokasi perdarahan di batang otak dengan lama rawatan rata-rata 15,67. Dari analisa statistik menggunakan uji Anova, diperoleh nilai p=0,085 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan yang bermakna yang antara lama rawatan berdasarkan lokasi perdarahan. Tabel 21.
Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang
Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meninggal
Lama Rawatan Ratarata f x SD 27 12,44 4,82 12 10,42 16,49 72 3,42 4,05
Berdasarkan tabel 21. dapat dilihat bahwa terdapat 27 orang penderita stroke haemoragik dengan pulang berobat jalan dengan lama rawatan rata-rata 12,44. Terdapat 12 orang penderita stroke haemoragik dengan perdarahn atas permintaan sendiri dengan lama rawatan ratarata 10,42. Terdapat 72 orang penderita stroke haemoragik meninggal dengan lama rawatan rata-rata 3,42. Dari analisa statistik menggunakan uji Anova, diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) artinya ada perbedaan yang bermakna yang antara lama rawatan berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan sosiodemografi yang tertinggi yaitu pada kelompok umur 45-59 tahun 48,6%, jenis kelamin laki-laki 51,4%, agama Islam 63,1%, tingkat pendidikan SLTA/Sederajat 41,4%, status kawin 96,4%, pekerjaan Ibu Rumah Tangga 41,4%, dan tempat tinggal luar Kota Medan 77,5%. b. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan keluhan utama saat pertama kali masuk rumah sakit yang tertinggi yaitu kesadaran menurun 73%. c. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan faktor risiko yang tertinggi yaitu hipertensi 78,4%. d. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan hasil CT-Scan yang tertinggi
e.
f. g.
h.
i.
j.
yaitu letak kelumpuhan hemiparesis dextra 53,2%., Perdarahan Intraserebral (PIS) 83,8%, dan lokasi perdarahan pada hemifer serebri 43,7% Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan tindakan medis yang terbesar yaitu tindakan konservatif 99,1%. Lama rawatan rata-rata penderita stroke haemoragik adalah 6,37 (6 hari) Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan sumber biaya yang terbesar yaitu asuransi 82,9%. Proporsi penderita stroke haemoragik berdasarkan keadaan sewaktu pulang yang tertinggi yaitu meninggal 64,9%. Analisis statistik dengan uji chi square tidak memenuhi syarat dilakukan untuk tindakan medis berdasarkan hasil CTScan, letak kelumpuhan berdasarkan hasil CT-Scan, dan keadaan sewaktu pulang berdasarkan hasil CT Scan karena terdapat sel yang expected count nya kurang dari 5 Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan keluahan utama (p=0,161), letak kelumpuhan (p=0,81), dan lokasi perdarahan (p=0,085). Ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan ratarata penderita dengan hasil CT-Scan (0,024) dan keadaan sewaktu pulang (p=0,000).
2. Saran a. Bagi penderita rawat inap yang memiliki riwayat hipertensi untuk melakukan kontrol rutin serta menerapkan pola hidup sehat untuk mencegah stroke dan serangan stroke berikutnya. b. Tindakan medis dan perawatan dilakukan secara intensif bagi penderita stroke haemoragik untuk menekan angka kematian. c. Bagi pihak rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan untuk melengkapai pencatatan data penderita seperti lokasi perdarahan (catt: 56,8% tidak tercatat) dan suku.
Daftar Pustaka 1. Ginsberg, L, 2005. Lecture Notes Neurologi. Erlangga, Jakarta 2. Tarwoto dkk, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. CV Sagung Seto, Jakarta 3. Timmreck T, 2001. Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi Kedua. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 4. World Health Organization, 2011. The Top 10 Causes of Death. http://www.who.int/mediacentre/fa ctsheets/fs310/en/index.html (Diakses 28 April 2013) 5. Susan, BS, 2012. Morbidity and mortality: 2012 chartbook on cardiovascular, lung, and blood disease. 6. Misbach, J, 1997. Pattern of hospitalized stroke patients in ASEAN countries an ASNA stroke epidemiological study. Jurnal ASEAN Neurology Association (ASNA). 7. Basri, H dan Raymon A A, 2003. Predictors of in hospital mortality after an acute ischaemic stroke. Jurnal Neurol J Southeast Asia 2003; 8 : 5 – 8 8. Depkes RI, 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta. 9. Adientya, G dan Fitria H, 2012. Stress Pada Kejadian Stroke. Jurnal FK UNDIP 10. Napitupulu, R, 2009. Karakteristik Penderita Stroke Haemoragik yang diwarat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2004-2008. Skripsi FKM USU 11. Batubara, R N, 2012. Penyebab Mortalitas pada Pasien Stroke Fase Akut di RSUP HAM Medan Januari-Desember 2011. Jurnal FK USU. 12. Yayasan Stroke Indonesia. Sekilas Tentang Stroke. Jakarta 13. Bustan, MN, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta.
14. Harsono, 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 15. Japardi, I, 2000. Perdarahan Dalam Otak. FK USU, Medan 16. Lumbantobing, SM. 2003. Stroke. Balai Penerbit, FKUI Jakarta. 17. Harsono, 2005. Capita Selekta Neurologi Edisi Kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 18. Thomas, D.J, 1995. Stroke dan Pencegahannya. Arcan, Jakarta 19. Sidharta, P, 1985. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat, Jakarta. 20. Bornstein, M N, 2009. Stroke: Practical Guide for Clinicians. Karger, Basel-Swiss 21. Price, S A dkk, 1982. Patofisiologi. Buku Kedokteran EGC, Jakarta Dariyo, A, 2008. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Grasindo, Jakarta 22. Mardjono, M dan Priguna S, 2009. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta
KARAKTERISTIK PENDERITA FRAKTUR PADA LANSIA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2011-2012 Cindy Natasia1, Hiswani2, Jemadi2 1
Mahasiswa Peminatan Epidemiologi FKM USU 2 Staf Pengajar Epidemiologi FKM USU
Abstract Fracture, by definition is a condition where discontinuity occur on bone tissue that basically involves direct/indirect trauma. (World Health Organization) WHO reported 200 million people older than 40 years old on 2012 experienced osteoporosis induced fracture. Elder fracture patient that hospitalized in Santa Elisabeth Medan Hospital on 2011-2012 reaches 107 patient. To understand characteristics of elder patients with fracture that hospitalized at Santa Elisabeth Hospital on 2011-2012, a descriptive study with case-series design have been conducted. Population is sample of study contained 107 data (total sampling). Data were collected from medical record and analyzed using chi-square and t-test. Proportion of patients with fractures by highest sociodemographic found in 45-59 years old (55.1%), female (52.3%), Batak ethnicity (74.8%), Protestant (59.8%), has academic degree (43.9%), housewives (25.2%), married (93.5%), from Medan (59.8%), traffic accident (57,9%), closed fracture (86.0%), on pelvic region (29.9%), treated by operation (63.6%), 7 days length of hospitalization, and recover/outpatient (83.2%). No difference between age in proportion to location of fracture (p=0.110). There was difference between age in proportion to cause of fracture (p=0.000). There was difference between gender in proportion to the cause of fracture (p=0.030). No difference between gender in proportion to type of fracture (p=0.112). There was difference between medical treatment in proportion to type of fracture (p=0.045). No difference between causes of fracture in proportion to location of fracture (p=0.131). No significant difference between average length of hospitalization to type of fracture (p=0.830). No significant difference between average length of hospitalization to medical treatment (p=0.069). Early prevention should be done by high risk group of osteoporosis. Higher awareness and avoiding fall risk factors should be done by patients in order to prevent future fractures. Santa Elisabeth Hospital is suggested to add fracture complications and type of fragments in medical record. Keywords: Fractures, Elderly, Characteristics Pendahuluan Penyakit tidak menular adalah penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Salah satu penyakit tidak menular adalah penyakit muskuloskeletal atau penyakit yang menyerang tulang dan jaringan otot. (1) Fraktur adalah kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung.
Pada kelompok usia lanjut kejadian fraktur paling banyak disebabkan oleh osteoporosis dan peristiwa terjatuh. (2) Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikro arsitektur jaringan tulang yang menyebabkan menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga tulang mudah patah. (3)
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012, 200 juta penduduk di seluruh dunia berusia di atas 40 tahun menderita osteoporosis dan berisiko mengalami fraktur. (4) Hasil penelitian Puslitbang Gizi Depkes RI tahun 2005 menunjukkan angka prevalensi osteoporosis sebesar 10,3%, yang berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki risiko untuk menderita osteoporosis. (5) Fraktur panggul merupakan fraktur yang paling banyak terjadi pada lansia dan paling sering menyebabkan kecacatan. Menurut Word Health Organization (WHO) pada tahun 2000 proporsi fraktur panggul dari seluruh kasus fraktur osteoporosis di dunia pada lansia diatas 50 tahun adalah 31%. (6) Di USA dan Eropa pada tahun 2002 insidens terjadinya fraktur panggul pada wanita adalah dua kali lebih besar daripada pria. (7) Di Indonesia, insidens fraktur panggul termasuk dalam kategori rendah yaitu <200 per 100.000 penduduk wanita dan <100 per 100.000 penduduk pria. (8) Peristiwa terjatuh dapat didefinisikan sebagai perubahan posisi tiba-tiba dan tidak disengaja yang menyebabkan seseorang mendarat pada objek dibawahnya, baik pada benda, pada lantai atau pada tanah. (9) Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2007, satu dari tiga lansia diatas usia 60 tahun mengalami peristiwa terjatuh setiap tahunnya yang disebabkan oleh kondisi lingkungan. (10) Berdasarkan data WHO, insidens terjatuh pada lansia berusia 65 tahun sebesar 28-35% setiap tahunnya dan mengalami kenaikan menjadi 32-42% pada kelompok usia diatas 70 tahun. Fall Fatality Rate pada lansia diatas 65 tahun di Amerika Serikat sebesar 36,8 per 100.000 penduduk, sementara di Finlandia sebesar 49,2 per 100.000 penduduk. (11) Di India pada tahun 2003, prevalensi wanita penderita fraktur karena terjatuh pada lansia diatas usia 60 tahun yaitu 26,4% dan pada pria yaitu 16%. (12) Sementara itu di Moroko insidens rate pada lansia wania diatas usia 60 tahun adalah 52 per 100.000 penduduk dan pada pria adalah 43,7 per 100.000 penduduk. (10) Di Indonesia, dari seluruh peristiwa terjatuh yang terjadi pada
tahun 2007, 1.775 orang mengalami fraktur dengan proporsi 3,8%. (1) Penelitian Roby menyatakan di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2009 tercatat 24 kasus fraktur pada lansia berumur 49 tahun ke atas dengan proporsi 21,1%. (13) Sementara itu menurut penelitian Dian tahun 2010 di Rumah Sakit Haji Medan tercatat 110 kasus fraktur pada lansia berumur lebih dari 55 tahun pada tahun 2005-2009. (14) Dari hasil survei pendahuluan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan terdapat 107 penderita fraktur pada lansia yang rawat inap pada tahun 2011-2012 dengan rincian 46 penderita pada tahun 2011 dan 61 penderita pada tahun 2012. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik penderita fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2011-2012. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui karakteristik penderita fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan sosiodemografi antara lain : umur dan jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan tempat tinggal. b. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan penyebab terjadinya fraktur. c. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan jenis fraktur. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan letak fraktur. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan penatalaksanaan medis. f. Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan lama rawatan rata-rata.
g.
Mengetahui distribusi proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan keadaan sewaktu pulang. h. Mengetahui proporsi umur penderita fraktur pada lansia berdasarkan letak fraktur. i. Mengetahui proporsi umur penderita fraktur pada lansia berdasarkan penyebab fraktur j. Mengetahui proporsi jenis kelamin berdasarkan penyebab fraktur pada lansia. k. Mengetahui proporsi jenis kelamin berdasarkan jenis fraktur pada lansia. l. Mengetahui proporsi jenis fraktur berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia. m. Mengetahui proporsi penyebab fraktur berdasarkan letak fraktur pada lansia. n. Mengetahui proporsi penyebab fraktur berdasarkan keadaan sewaktu pulang pada lansia. o. Mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan jenis fraktur pada lansia. p. Mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: a. Sebagai bahan masukan bagi pihak Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan mengenai karakteristik penderita fraktur pada lansia rawat inap tahun 2011-2012. b. Sebagai sumber informasi atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan fraktur. c. Sebagai sarana untuk menambah wawasan, pengetahuan dan penerapan ilmu bagi penulis selama perkuliahan dan sebagai syarat kelulusan serta memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan dilakukan pada bulan Februari – Agustus 2013
Populasi penelitian ini adalah semua data penderita fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2011-2012 sebanyak 107 penderita. Populasi merupakan sampel (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang tercatat pada kartu status penderita fraktur pada lansia rawat inap yang berasal dari rekam medik Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2011-2012. Cara pengumpulan data adalah dengan mencatat semua variabel yang akan diteliti kemudian dilakukan tabulasi data. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan chisquare dan t-test. Hasil dan Pembahasan Deskriptif Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan sosiodemografi pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 1.
Umur (Tahun) 45 – 59 60 – 74 75 – 90 Total
Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Pria Wanita f % f % 35 32,7 24 22,4 9 8,4 19 17,8 7 6,5 13 12,1 51 47,7 56 52,3
Jumlah f 59 28 20 107
% 55,1 26,2 18,7 100
Berdasarkan umur, proporsi umur terbesar adalah kelompok umur 45-59 tahun yaitu 55,1% (pria 32,7% dan wanita 22,4%). Sex ratio antara pria dengan wanita adalah 1:1,12 artinya penderita fraktur pada lansia lebih banyak terjadi pada jenis kelamin wanita. Sebagian besar kejadian fraktur pada penderita yang berusia 45 tahun atau lebih disebabkan oleh osteoporosis. Pada kelompok lansia, kejadian fraktur lebih banyak terjadi pada wanita karena perubahan hormon yang terjadi pada saat menopause. (15) Selain itu, fraktur dapat juga terjadi karena peristiwa trauma, sehingga proporsi penderita fraktur berdasarkan umur tidak
menunjukkan resiko pada kelompok umur tertentu, tetapi hanya menunjukkan jumlah penderita fraktur terbanyak terdapat pada kelompok umur 45-59 tahun, sesuai dengan komposisi jumlah penduduk lansia di Indonesia, dimana jumlah penduduk lansia yang terbanyak terdapat pada kelompok umur 45-59 tahun. (11)
5. Status Perkawinan Kawin Tidak Kawin Total 6. Tempat Tinggal Kota Medan Luar Kota Medan Total
Tabel 2.
Berdasarkan tabel diatas, proporsi terbesar adalah penderita bersuku Batak 74,8% (80 orang), beragama Kristen Protestan 59,8% (64 orang), pendidikan akademi / sarjana 43,9% (47 orang), pekerjaan ibu rumah tangga 25,2% (27 orang), berstatus kawin 93,5% (100 orang), dan berasal dari kota Medan 59,8% (64 orang). Dalam hal ini bukan berarti suku, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan tempat tinggal memiliki keterkaitan dengan kejadian fraktur pada lansia tetapi hanya menunjukkan jumlah kunjungan mayoritas penderita fraktur ke Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2011-2012. Pendidikan adalah salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya memilih untuk mencari pelayanan kesehatan yang berkualitas agar memperoleh (16) pengobatan yang lebih baik. Penderita yang berasal dari luar kota medan berasal dari berbagai daerah yaitu Lubuk Pakam, Langkat, Brastagi, Kisaran, Siantar, Samosir, Sibolga, Tebing Tinggi, Rantau Prapat, Tapanuli, Nias, Aceh, dan Riau.
Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Suku, Agama,Pendidikan,Pekerjaan, Status Perkawinan, Tempat Tinggal
Karakteristik 1. Suku/Etnis Batak Jawa Nias Melayu Minang Tionghoa India Belanda Total 2. Agama Islam Kristen Protestan Kristen Katolik Hindu Budha Total 3. Pendidikan Tidak Tamat SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Akademi/Sarjana Tidak Tercatat Total 4. Pekerjaan PNS/TNI Karyawan Swasta Wiraswasta Petani Biarawan/Biarawati/Pdt Ibu Rumah Tangga Pensiunan Total
Jumlah f (%) 80 7 4 2 1 9 3 1 107
74,8 6,5 3,7 1,9 0.9 8,5 2,8 0,9 100,0
13 64 22 2 6 107
12,1 59,8 20,6 1,9 5,6 100,0
1 9 8 29 47 13 107
0,9 8,4 7,5 27,2 43,9 12,1 100,0
19 10 21 9 6 27 15 107
17,8 9,3 19,7 8,4 5,6 25,2 14,0 100,0
100 7 107
93,5 6,5 100,0
64 43 107
59,8 40,2 100,0
Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan penyebab pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 3.
Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Penyebab Fraktur
Penyebab Fraktur KLL Terjatuh Terbentur Total
Jumlah f 62 38 7 107
(%) 57,9 35,6 6,5 100,0
Berdasarkan penyebab fraktur, proporsi terbesar penderita fraktur adalah karena kecelakaan lalu lintas yaitu 57,9% (62 orang). Hal ini disebabkan karena sebagian besar penderita fraktur berada pada kelompok usia produktif yaitu di bawah 65 tahun, dimana kejadian terbanyak kecelakaan lalu lintas berada pada kelompok usia ini. (17) Peristiwa terjatuh terjadi di rumah, di panti jompo, dan saat beraktivitas. Sedangkan peristiwa terbentur meliputi kejadian terbentur besi, tertimpa pohon, terkena lemparan batu, dan cedera olahraga. Selain karena lingkungan, peristiwa terjatuh yang terjadi pada lansia juga dapat disebabkan oleh kelemahan fisik, penurunan penglihatan, penurunan pendengaran, dan penurunan refleks karena proses penuaan. (18) Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan jenis fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 4.
Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Jenis Fraktur
Jenis Fraktur Tertutup Terbuka Total
Jumlah f 92 15 107
(%) 86,0 14,0 100,0
Berdasarkan jenis fraktur, proporsi penderita fraktur tertutup lebih besar yaitu 86,0% (92 orang), dibandingkan fraktur terbuka. Fraktur tertutup banyak ditemukan pada lansia karena pada umumnya fraktur terjadi disebabkan oleh massa tulang yang rendah sehingga tulang menjadi rapuh dan rentan mengalami fraktur walaupun hanya mengalami trauma ringan. (19) Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan letak fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 5.
Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Letak Fraktur
Letak Fraktur Kepala Eks. Atas T. Belakang Panggul Eks. Bawah Total
Jumlah f 15 27 3 32 30 107
(%) 14,0 25,2 2,8 29,9 28,1 100,0
Berdasarkan letak fraktur, proporsi terbesar penderita fraktur adalah pada panggul yaitu 29,9% (32 orang). Fraktur panggul adalah fraktur yang paling sering terjadi pada lansia dan memiliki dampak paling serius karena lebih sering menyebabkan kecacatan dibandingkan fraktur tulang lainnya dan membutuhkan biaya yang besar karena proses penyembuhan yang berlangsung lama. (6) Fraktur yang terjadi pada kepala terdiri dari fraktur nasal, fraktur zygomatikum, dan fraktur maksilofasial. Fraktur yang terjadi pada bagian ekstremitas atas terdiri dari fraktur klavikula, fraktur humerus, fraktur radius, fraktur antebrachii, fraktur colles dan fraktur metakarpal. Sedangkan fraktur yang terjadi pada bagian ekstremitas bawah terdiri dari fraktur femur, fraktur patella, fraktur tibia, fraktur fibula, fraktur cruris, dan fraktur metatarsal.
Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 6.
Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Tindakan Medis
Penatalaksanaan Medis Operasi Tanpa Operasi Total
f 68 39 107
Jumlah (%) 63,6 36,4 100,0
Berdasarkan penatalaksanaan medis, proporsi penderita fraktur yang ditangani dengan operasi lebih besar yaitu 63,6% (68 orang), dibandingkan dengan yang tanpa operasi. Sebagian besar kasus fraktur pada lansia memerlukan tindakan operasi atau pembedahan karena penyatuan tulang berlangsung lebih lama, khususnya pada lansia yang mengalami fraktur patologik, dimana keadaan tulang lebih rapuh dan dapat patah kembali apabila tidak diimobilisasi dengan baik, sehingga diperlukan fiksasi internal untuk mempertahankan posisi tulang sehingga tulang dapat menyatu dengan sempurna. (20) Lama rawatan rata-rata penderita fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 7. Lama Rawatan Rata-Rata Lama Rawatan Rata-Rata Mean Standar Deviasi (SD) 95% Confidence Interval (CI) Minimum Maksimum
7,33 7,59 5,87-8,78 1 45
Lama rawatan rata-rata penderita fraktur adalah 7,33 hari (7 hari) dengan standar deviasi sebesar 7,59. Lama rawatan paling singkat adalah 1 hari sedangkan yang paling lama adalah 45 hari.
Terdapat 17 orang penderita dengan lama rawatan rata-rata ≥ 12 hari. Hal ini terjadi karena mayoritas penderita yang mengalami fraktur karena peristiwa trauma disebabkan oleh kejadian kecelakaan lalu lintas. Pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas mengalami cedera yang serius dan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pemulihan pasca kecelakaan. Selain itu usia yang sudah lanjut juga mempengaruhi lama penyembuhan pasien. (21) Distribusi proporsi penderita fraktur berdasarkan keadaan sewaktu pulang pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 8.
Distribusi Proporsi Penderita Fraktur Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang
Keadaan Sewaktu Pulang Sembuh / PBJ PAPS Meninggal Total
f 89 17 1 107
Jumlah (%) 83,2 15,9 0,9 100,0
Berdasarkan keadaan sewaktu pulang proporsi terbesar penderita fraktur adalah pulang sembuh/pulang berobat jalan yaitu 83,2% (89 orang). Proses penyembuhan fraktur pada lansia memerlukan masa penyembuhan yang lama sehingga perawatan pada umumnya dilanjutkan dirumah dengan tetap melakukan kontrol secara rutin (pulang berobat jalan) dan fisioterapi di rumah sakit. (22) Penderita fraktur yang pulang atas permintaan sendiri pada umumnya disebabkan oleh masalah biaya. Terdapat 1 orang wanita penderita fraktur panggul yang meninggal karena gagal ginjal. Penderita yang mengalami fraktur panggul pada umumnya mengalami kesakitan yang hebat sehingga dalam penatalaksanaan, obat anti nyeri biasanya diberikan kepada pasien. (23) Pemberian obat-obatan pada penderita penyakit ginjal membuat kondisi
pasien semakin parah sehingga menyebabkan kematian. (24)
dapat
Analisa Statistik Distribusi proporsi umur berdasarkan letak fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 9.
Letak Fraktur R.Aks R.Apen
Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Letak Fraktur Umur (Tahun) < 60 ≥ 60 f % f % 13 72,2 5 27,8 46 51,7 43 48,3
X2=2,553
df=1
Jumlah f 18 89
% 100 100 p=0,110
Proporsi terbesar penderita fraktur pada rangka aksial dan rangka apendikular adalah pada kelompok umur < 60 tahun dengan proporsi masing-masing yaitu 72,2% (13 orang) dan 51,7% (46 orang). Menurut World Health Organization (WHO) lokasi yang paling sering mengalami fraktur pada pada penderita usia lanjut adalah patah tulang panggul, patah tulang vertebrata, dan patah tulang pergelangan tangan. (25) Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan proporsi antara umur berdasarkan letak fraktur. Distribusi proporsi umur berdasarkan penyebab fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 10. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Sebab Fraktur Penyebab Fraktur Peristiwa Trauma Peristiwa Patologis X2=20,132
Umur (Tahun) < 60 ≥ 60 f % f %
Jumlah f
%
51
69,9
22
30,1
73
100
8
23,5
26
76,5
34
100
df=1
p=0,000
Proporsi penderita fraktur karena peristiwa trauma lebih besar pada kelompok umur < 60 tahun yaitu 69,9% (51 orang). Sedangkan proporsi penderita fraktur karena peristiwa patologis lebih besar pada kelompok umur ≥ 60 tahun yaitu 76,5% (26 orang). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p<0,05, yang berarti ada perbedaan proporsi antara umur berdasarkan penyebab fraktur. Usia di bawah 60 tahun termasuk ke dalam kelompok usia produktif yang memiliki tingkat mobilitas paling tinggi, sehingga kejadian fraktur karena peristiwa trauma paling sering terjadi pada orang-orang di kelompok usia ini. (17) Sedangkan pada kelompok usia 60 tahun ke atas, kejadian fraktur karena peristiwa patologis lebih sering terjadi kerena berkurangnya massa tulang yang disebabkan oleh proses degeneratif seiring dengan pertambahan usia. (26) Distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan penyebab fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 11. Distribusi Proporsi Kelamin Berdasarkan Fraktur Penyebab Fraktur Peristiwa Trauma Peristiwa Patologis X2=4,683
Jenis Kelamin Pria Wanita f % f %
Jenis Sebab
Jumlah f
%
40
54,8
33
45,2
73
100,0
11
32,4
23
67,6
34
100,0
df=1
p=0,030
Proporsi penderita fraktur karena peristiwa trauma lebih besar pada jenis kelamin pria yaitu 54,8% (40 orang). Sedangkan proporsi penderita fraktur karena peristiwa patologis lebih besar pada jenis kelamin wanita yaitu 67,6% (23 orang). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p<0,05, yang berarti ada perbedaan proporsi antara jenis kelamin berdasarkan penyebab fraktur.
Fraktur patologik lebih sering terjadi pada wanita lansia. Salah satu fungsi hormon estrogen adalah menjaga keseimbangan aktivitas sel pembentukan tulang. Perubahan hormon menyebabkan keseimbangan aktivitas sel osteoklastik dan sel osteoblastik terganggu yang menyebabkan resorpsi tulang bekerja lebih cepat daripada formasi tulang, apabila hal demikian terjadi secara terus menerus, terjadi penurunan massa tulang atau osteoporosis. (25) Sementara itu pada pria lansia, proses perapuhan tulang juga terjadi namun tidak berlangsung dengan cepat seperti wanita. Massa tulang pria berkurang sekitar 1% per tahun dari berat tulang mulai usia 70 tahun. Fraktur karena peristiwa trauma lebih banyak terjadi pada pria disebabkan oleh aktivitas yang lebih tinggi daripada wanita sehingga kemungkinan pria mengalami fraktur karena peristiwa trauma lebih besar daripada wanita. (27) Distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan jenis fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 20112012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 12. Distribusi Proporsi Kelamin Berdasarkan Fraktur Jenis Fraktur Tertutup Terbuka X2=2,525
Jenis Kelamin Pria Wanita f % f % 41 44,6 51 55,4 10 66,7 5 33,3 df=1
Jenis Jenis
Jumlah f 92 15
% 100 100
p=0,112
Proporsi penderita fraktur tertutup lebih besar pada jenis kelamin wanita yaitu 55,4% (51 orang). Sedangkan proporsi penderita fraktur terbuka lebih besar pada jenis kelamin pria yaitu 66,7% (10 orang). Fraktur tertutup dan terbuka dapat terjadi pada siapa saja tanpa dipengaruhi jenis kelamin. Jenis fraktur tergantung pada berat ringannya trauma yang diterima tulang. Fraktur terbuka dapat terjadi apabila penderita mendapatkan trauma dengan energi yang besar seperti pada kejadian kecelakaan. (28) Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai
p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan proporsi antara jenis kelamin berdasarkan jenis fraktur. Distribusi proporsi jenis fraktur berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 13. Distribusi Proporsi Jenis Fraktur Berdasarkan Tindakan Medis P. Medis Operasi Tanpa Operasi X2=4,024
Jenis Fraktur Tertutup Terbuka f % f % 55 37
80,9 94,9
13 2 df=1
19,1 5,1
Jumlah f 68 39
% 100,0 100,0 p=0,045
Proporsi terbesar penderita fraktur berdasarkan tindakan operasi maupun tanpa operasi adalah pada jenis fraktur tertutup dengan proporsi masing-masing 80,9% (55 orang) dan 94,9% (37 orang). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p<0,05, yang berarti ada perbedaan proporsi antara penatalaksanaan medis berdasarkan jenis fraktur. Penatalaksanaan fraktur dengan operasi pada umunya dilakukan pada fraktur tertutup yang tidak dapat ditangani dengan reduksi tertutup karena kesulitan mengendalikan dan mempertahankan posisi fragmen tulang pada tempatnya. Pada kasus fraktur terbuka, operasi debridemen agar peredaran darah dapat berjalan dengan lancar pada lokasi terjadinya fraktur. (29) Pada penatalaksanaan operasi yang dilakukan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, plat dan skrup digunakan. Sedangkan penatalaksanaan tanpa operasi dilakukan dengan menggunakan gips pada bagian tubuh yang mengalami fraktur. Distribusi proporsi penyebab fraktur berdasarkan letak fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah.
Tabel 14. Distribusi Proporsi Penyebab Fraktur Berdasarkan Letak Fraktur Penyebab Fraktur Letak Fraktur Rangka Aksial Rangka Apendikular X2=2,279
Peristiwa Trauma
Peristiwa Patologis
Jumlah
f
%
f
%
f
%
15
83,3
3
16,7
18
100
58
66,2
31
34,8
89
100
df=1
p=0,131
Proporsi terbesar penderita fraktur pada rangka aksial dan apendikular disebabkan karena peristiwa trauma dengan proporsi masing-masing sebesar 83,3% (15 orang) dan 66,2% (58 orang). Letak fraktur yang termasuk pada rangka aksial adalah fraktur yang terjadi pada bagian kepala dan tulang belakang, sedangkan yang termasuk pada rangka apendikular adalah fraktur yang terjadi pada bagian ekstremitas atas, ekstremitas bawah, dan panggul. (30) Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan proporsi antara penyebab fraktur berdasarkan letak fraktur. Distribusi proporsi penyebab fraktur berdasarkan keadaan sewaktu pulang pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 15. Distribusi Proporsi Penyebab Fraktur Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Keadaan Sewaktu Pulang Sembuh/PBJ PAPS Meninggal
Penyebab Fraktur Peristiwa Trauma f % 61 60,7 12 70,6 0 0
Peristiwa Patologis f % 28 28,3 5 29,4 1 100
Jumlah f 89 17 1
% 100 100 100
Proporsi terbesar penderita fraktur yang pulang sembuh/pulang berobat jalan (PBJ) dan pulang atas permintaan sendiri (PAPS) disebabkan karena peristiwa trauma
dengan proporsi masing-masing 60,7% (61 orang) dan 70,6% (12 orang). Berdasarkan hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square, terdapat 2 sel (33,3%) memiliki expected count kurang dari 5 sehingga analisa dengan menggunakan uji ini tidak dapat dilakukan. Lama rawatan rata-rata berdasarkan jenis fraktur pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel
16.
Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Jenis Fraktur Lama Rawatan Rata-Rata f X SD 92 7,39 7,9 15 6,93 5,51
Jenis Fraktur Tertutup Terbuka t=0,216
df=105
p=0,830
Lama rawatan rata-rata penderita fraktur tertutup pada lansia adalah 7,39 hari (7 hari) dan lama rawatan rata-rata penderita fraktur terbuka pada lansia adalah 6,93 hari (7 hari). Berdasarkan hasil uji t-test, diperoleh nilai p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara lama hari rawatan rata-rata penderita fraktur tertutup dengan penderita fraktur terbuka. Lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis pada lansia rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel
17.
Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan P. Medis
Penatalaksanaan Medis Operasi Tanpa Operasi t=1,840
Lama Rawatan RataRata f X SD 68 8,34 7,12 39 5,56 8,13 df=105
p=0,069
Lama rawatan rata-rata penderita fraktur dengan operasi adalah 8,34 hari (8 hari) dan lama rawatan rata-rata penderita fraktur tanpa operasi adalah 5,56 hari (6 hari).
Berdasarkan hasil uji t-test, diperoleh nilai p>0,05, yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara lama hari rawatan rata-rata penderita yang ditangani dengan tindakan operasi dan penderita yang tidak ditangani dengan tindakan operasi.
n.
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan sosiodemografi terbesar pada umur 45-59 tahun (55,1%), jenis kelamin wanita (52,3%), suku Batak (74,8%), agama Kristen Protestan (59,8%), pendidikan Akademi/Sarjana (43,9%), pekerjaan ibu rumah tangga (25,2%), berstatus kawin (93,5%), dan berasal dari kota medan (59,8%). b. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan penyebab fraktur terbesar karena kecelakaan lalu lintas (57,9%). c. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan jenis fraktur terbesar pada jenis fraktur tertutup (86,0%). d. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan letak fraktur terbesar pada bagian panggul (29,9%). e. Proporsi penderita fraktur pada lansia berdasarkan penatalaksanaan medis terbesar pada penatalaksanaan operasi (63,6%). f. Lama rawatan rata-rata penderita fraktur pada lansia adalah 7,33 hari (7 hari). g. Proporsi terbesar penderita fraktur pada lansia berdasarkan keadaan sewaktu pulang adalah pulang sembuh/pulang berobat jalan (83,2%). h. Tidak ada perbedaan proporsi umur berdasarkan letak fraktur (p=0,110). i. Ada perbedaan proporsi umur berdasarkan penyebab fraktur (p=0,000). j. Ada perbedaan proporsi jenis kelamin berdasarkan penyebab fraktur (p=0,030). k. Tidak ada perbedaan proporsi jenis kelamin berdasarkan jenis fraktur (p=0,112). l. Ada perbedaan proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan jenis fraktur (p=0,045). m. Tidak ada perbedaan proporsi penyebab fraktur berdasarkan letak fraktur (p=0,131).
2. Saran a. Kepada kelompok yang berisiko osteoporosis khususnya wanita, agar melakukan pencegahan sejak dini seperti berolahraga secara teratur dan konsumsi vitamin dan mineral yang cukup untuk meminimalkan risiko terjadinya fraktur. b. Kepada penderita yang sudah pernah mengalami fraktur, terutama fraktur patologik, diharapkan agar menghindari faktor risiko terjatuh dan lebih berhatihati saat beraktivitas agar tidak terjadi trauma yang dapat menyebabkan fraktur berulang. c. Kepada pihak rumah sakit diharapkan untuk menambahkan data komplikasi fraktur dan bentuk patahan fraktur pada kartu status pasien.
o.
Tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan jenis fraktur (p=0,830). Tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis (p=0,069).
Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan RI, 2011. PTM Penyebab Kematian Terbanyak di Indonesia.www.depkes.go.id.Diakses pada tanggal 20 Februari 2013. 2. Nantulya, V.M. dan M.R. Reich, 2002. The Neglected Epidemic : Road Traffic Injuries in Developing Countries. BMJ. 3. World Health Organization (WHO), 1994. Assessment of Fracture Risk and Its Application to Screening for Osteoporosis. Geneva. 4. World Health Organization (WHO), 2012. Osteoporosis. www.who.int Diakses tanggal 20 Mei 2013 5. Kementrian Kesehatan RI, 2008. Pedoman Pengendalian Osteoporosis. 6. Lane, N.E., 2003. Osteoporosis. Edisi 2. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 7. Cummings, S.R., 2002. Epidemiology and Outcomes Osteoporotic Fractures. Lange Medical Books. 8. Kanis, J.A., 2012. A Systematic Review of Hip Fracture Incidence and
Probability Fracture Worldwide. IOF. 9. Feder, G, 2000. Guidelines for Prevention of Falls in People Over 65. BMJ 10. World Health Organization (WHO), 2007. A WHO Global Report on Falls Among Older Persons 11. World Health Organization (WHO), 2007. WHO Global Report on Falls Prevention in Older Age. Geneva. 12. Krishnaswamy, B, 2003. Falls in Older People. Madras Medical College. Chennai. 13. Novelandi, Roby, 2009. Karakteristik Penderita Fraktur Rawat Inap di RSUP Dr. Pirngadi Medan. Skripsi FKM USU. Medan. 14. Sari, D. M, 2010.. Karakteristik Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2005-2009. Skripsi FKM USU. Medan 15. Reeves,C.J.,2001. Keperawatan Medikal Bedah. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 16. MacKian, S., 2003. Health Seeking Behaviour:Problems,Prospect. Health Development. Manchester. 17.Riyadina,W, 2009. Pola dan Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat Kecelakaan di Indonesia. Pusat Litbang Biomedis dan Farmasi, Balitbang Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 18. National Institutes of Health, 2012. Preventing Falls and Related Fractures.www.niams.nih.gov. Diakses Tanggal 20 Mei 2013. 19. Boufous, Soufiane, 2006. The Epidemiology of Hospitaled Wrist Fractures in Older People. Elsevier New South Wales. 20. Apley, A.G. dan Louis Salomon, 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi 7. Widya Medika. Jakarta. 21. Nugroho, W, 1995. Perawatan Lanjut Usia. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta 22. Boedhi, Darmojo, 2009. Buku Ajar Geriarti (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 23. World Health Organization (WHO), 2007. Assessment of Osteoporosis At The Primary Health Care Level. 24. Underwood, J.C.E., 1999. General and Systematic Pathology. Churchill Livingstone. London. 25. World Health Organization (WHO), 2003. Prevention and Management of Osteoporosis. Geneva. 26. SIGN, 2005. Management Osteoporosis. www.sign.ac.uk.Diakses Tanggal 20 Mei 2013 27. Health Service Executive, 2008. Strategy to Prevent Falls and Fractures in Ireland's Ageing Population. Report of The National Steering Group on The Prevention of Falls in Older People and The Prevention and Management Osteoporosis Through Life 28.Paton,D.F.,1988.Fractures Orthopaedics. Churchill Livingstone Elsevier. New York. 29.Maheshwari,J.,2002.Essential Orthopaedi. Edisi 3 .Metha Publisher. New Delhi. 30. Sloane, E, 2004. Anatomi dan Fisiologi. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
KARAKTERISTIK ANAK YANG MENDERITA LEUKEMIA AKUT RAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011-2012 Sulastriana1, Sori Muda2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
Abstract Acute leukemia (AL) is a disease indicated by abnormal accumulation of leukocytes, malignant and excessive amounts, cause death if not treated. The number of children who suffer AL at RSUP H. Adam Malik Medan in 2011-2012 was 174 people. To determine the characteristics of children who suffer AL at RSUP H. Adam Malik Medan in 2011-2012, it has conducted a descriptive study with case series design. Population is all data of children who suffer AL at RSUP H. Adam Malik Medan in 2011-2012, as many as 174 people. Data sample is children who suffer LA at RSUP H. Adam Malik Medan in 2011-2012 ( total sampling ). Data Source is data obtained from the card status of children who suffer AL recorded in medical records and analyzed statistically using Chi -square test and t-test, it was presented in tabular form distribution proportion, line charts, pie charts, and narrative . The results showed a decrease trend line according to the equation Y = 100,5-3.8 x. The largest proportion of children suffering from acute leukemia is 0-4 years of age (36.8%), male gender (52.9%), Islam (66.1%), residence outside the city of Medan (77.6% ), pale complaints (43.7%), type of leukemia ALL (78.2%), chemotherapy (57.3%), outpatient home (71.3%), average length of stay (8.5 days), and free medical treatment (46.0%). There was no significant differences between age by type AL (p = 0.998), there was no significant difference gender between the type of AL (p = 0.688) and there was no significant difference the average treatment time between the type of AL( p=0,188). To RSUP H. Adam Malik Medan was expected to complete the recording such as ethnicity, family history, and add time AL was diagnosed. To the families of children who suffered AL were expected to take the patient to follow the treatment prodecure until finished. And the public was expected to avoid or protect themselves from exposure pesticides, chemical substances, and radiation that constantly. Keywords: Acute Leukemia, Characteristics of children tahun dan 650 kasus kanker anak per tahun ditemukan di Jakarta yang sebagian besar berasal dari keluarga tidak mampu.3 Salah satu jenis kanker adalah leukemia yang ditandai dengan proliferasi selsel darah putih yang abnormal. Menurut WHO (2002) leukemia terjadi hampir di seluruh dunia. Registrasi kanker telah mencatat sekitar 250.000 kasus baru per tahun (CFR 76%). Dari 100.000 kasus baru kanker,
Pendahuluan Indonesia sebagai negara berkembang mengalami transisi epidemiologi. Kanker merupakan penyebab kematian ke-lima setelah penyakit kardiovaskuler, infeksi, pernapasan dan percernaan.1 Hasil Riset kesehatan Dasar (2007) menyatakan bahwa prevalensi kanker di Indonesia adalah 430 per 100.000 penduduk.2 Di negara Indonesia terdapat kira-kira 11.000 kasus kanker per
1
2 Leukemia Mielositik Akut (LMA) sekitar 2,5%, sementara Leukemia Limfositik Akut (LMA) adalah sekitar 1,3%. Leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak ditemukan pada anak dibawah umur 15 tahun. Estimasi kasus baru penyakit leukemia di Amerika Serikat pada tahun 2013 yaitu 48.610 kasus dan kematian akibat leukemia sebesar 23.720 kasus.4,5 Leukemia Akut (LA) merupakan salah satu jenis leukemia dan merupakan leukemia dengan perjalanan klinis yang cepat. Pada populasi anak, umumnya jenis leukemia yang terjadi adalah LA yang terdiri dari Leukemia Limfositik Akut (LLA) dan Leukemia Mielositik Akut (LMA). LLA lima kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan LMA.4,6 LA pada anak mencapai 97% dari semua leukemia, LLA 82% dan LMA 18%.7 Di Australia, incidence rate LLA pada anak tahun 2008 adalah 12,2 per 100.000 anak, tahun 2009 adalah 13 per 100.000 anak sedangkan LMA incidence rate pada tahun 2008 adalah 2,4 per 100.000 anak dan tahun 2009 adalah 2 per 100.000 anak.8 Di India kanker anak yang paling umum adalah leukemia, 60-85% merupakan LLA.9 Pada tahun 1980-1988 ditemukan 120 anak penderita LLA di RSU Pirngadi Medan. Dari 120 anak yang menderita LLA terdapat 21 penderita yang meninggal (CFR 17,5%).10 Di RSU Dr. Soetomo Surabaya, pada tahun 1991-2000 terdapat 524 kasus leukemia. Dari jumlah tersebut 430 kasus (82%) didiagnosis sebagai LLA, 52 kasus (10%) sebagai LMA, dan 8% Leukemia Mielositik Kronis (LMK).11 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSK Dharmais tahun 2004-2008 kasus LLA sebanyak 34 kasus dan LMA 10 kasus.12 Pada tahun 2007-2009 di Departemen Kesehatan Anak FKUI/RSCM telah dirawat pasien baru LLA sebanyak 198 kasus.13 Upaya untuk menangani masalah penyakit kanker telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah melalui Depkes RI (Departemen Kesehatan Republik Indonesia) dan juga lembaga non pemerintah baik Yayasan Peduli Penyakit Kanker maupun organisasi profesi tetapi upaya tersebut masih dilakukan dengan sporadis dan belum menyeluruh. Oleh sebab itu, permasalahan
penyakit kanker masih belum dapat tertangani dengan optimal.2 Bardasarkan data yang diperoleh dari rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan terdapat data Leukemia Akut pada anak sebesar 174 kasus yaitu 84 kasus pada tahun 2011 dan 90 kasus pada tahun 2012. Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2012. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2012. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui proporsi anak yang menderita LA rawat inap berdasarkan data tahun 2008-2012. b. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sosiodemografi yaitu umur, jenis kelamin, suku, agama, dan tempat tinggal. c. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keluhan. d. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan riwayat penyakit keluarga. e. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis Leukemia Akut. f. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis penatalaksanaan medis. g. Mengetahui lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA. h. Mengetahui lama rata-rata anak menderita LA. i. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang. j. Mengetahui distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sumber biaya. k. Mengetahui distribusi proporsi umur anak yang menderita LA berdasarkan jenis LA. 2
3 l. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin anak yang menderita LA berdasarkan LA. m. Mengetahui distribusi proporsi jenis penatalaksanaan medis anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang. n. Mengetahui distribusi proporsi jenis penatalaksanaan medis anak yang menderita LA berdasarkan sumber biaya. o. Mengetahui distribusi proporsi jenis LA pada anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang. p. Mengetahui lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA berdasarkan jenis LA.
Hasil dan Pembahasan Proporsi Anak yang Menderita LA Berdasarkan Data Lima Tahun Tabel 1 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2012
Manfaat penelitian ini adalah: a. Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian bagi peneliti. b. Memberikan informasi dan masukan mengenai anak yang menderita LA rawat inap bagi RSUP H. Adam Malik Medan dalam upaya peningkatan pelayanannya. c. Sebagai masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti atau melanjutkan penelitian sejenis.
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa data anak yang menderita LA pada tahun 2008 tidak tersedia di RSUP H. Adam Malik Medan. Pada tahun 2009 terdapat 101 anak yang menderita LA (27,8%), tahun 2010 terdapat 89 anak yang menderita LA (24,4%), tahun 2011 terdapat 84 anak yang menderita LA (23,1%), dan tahun 2012 terdapat 90 anak yang menderita LA (24,7%). Dari persamaan y = 100,5 – 3,8x maka dapat diprediksikan pada tahun 2013 jumlah anak yang mendeita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan adalah y = 100,5 – 3,8(5) yaitu 82 kasus, tahun 2014 y = 100,5-3,8(6) yaitu 78 kasus dan tahun 2024 adalah y = 100,5-3,8(16) yaitu 39,7 atau 40 kasus. Sehingga diprediksikan setiap tahunnya terjadi penurunan jumlah kasus anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan.
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total
Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian bersifat deskriptif dengan desain case series. Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan dengan pertimbangan bahwa di RSUP H. Adam Malik Medan tersedia data anak yang menderita LA dan penelitian karakteristik anak yang menderita LA belum pernah dilakukan tahun 20112012. Populasi penelitian ini adalah semua data anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 20112012 yang tercatat dalam kartu status sebanyak 174 penderita. Sampel adalah data anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2012 dan besar sampel sama dengan populasi (total sampling)
f
% -
101 89 84 90 364
27,8 24,4 23,1 24,7 100,0
Karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Tabel 2 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Sosiodemografi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Sosiodemografi f % Umur 0-4 tahun 64 36,8 5-9 tahun 59 33,9 10-14 tahun 51 29,3 Total 174 100,0 3
4 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Agama Islam Kristen Protestan Kristen Katolik Total Tempat tinggal Kota Medan Luar kota medan Total
92 82 174
52,9 47,1 100,0
115 56 3 174
66,1 32,2 1,7 100,0
39 135 174
22,4 77,6 100,0
Medan tahun 2011-2012 yang paling banyak adalah agama Islam. Besarnya proporsi penderita luar kota Medan diasumsikan karena RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit rujukan dari Provinsi Sumatera Utara, NAD, Riau, dan Sumatera Barat sehingga memungkinkan jumlah anak yang menderita LA yang berobat di rumah sakit ini lebih banyak dari luar kota Medan. Tabel 3 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Keluhan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Keluhan f % Pucat 76 43,7 Demam 73 42,0 Perdarahan 35 20,1 Lemas 18 10,3 Pembesaran 15 8,6 kelenjar limfa Nyeri tulang/sendi 13 7,5
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat karakteristik anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2012 yang terbesar berdasarkan sosiodemografi (umur 0-4 tahun 36,8%, jenis kelamin laki-laki 52,9%, agama Islam 66,1%, tempat tinggal luar kota Medan 77,6%). Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan suku tidak tercatat pada kartu status. Leukemia Akut menyerang anak-anak dari semua golongan umur. Pada LLA, puncak usia timbulnya penyakit adalah antara umur 3 dan 4 tahun sedangkan pada anak LMA tidak tampak usia puncak.9 Besarnya kejadian LA pada kelompok umur 0-4 tahun dikaitkan dengan jenis LLA yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan LMA.2 Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Gholami (2011) di West Azerbaijan Province 2003- 2009 terdapat anak yang menderita LA 56 (43,0%) kelompok umur 0-4 tahun, 45 (34,6%) kelompok umur 5-9 tahun dan 29 (22,3%) kelompok umur 10-14 tahun.15 Leukemia Akut lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 1,4 : 1.16 Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Gholami (2011) di West Azerbaijan Province 2003- 2009 terdapat anak yang menderita LA berdasarkan jenis kelamin, 72 (55,4%) lakilaki dan 58 (44,6%) perempuan.15 Besarnya proporsi penderita beragama Islam bukan berarti bahwa agama Islam lebih berisiko untuk menderita LA, namun hanya menunjukan anak yang menderita LA yang datang berobat di RSUP H. Adam Malik
Berdasarkan tabel 3. di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keluhan terbesar adalah pucat dengan proporsi 43,7% (76 orang) dan terkecil adalah nyeri tulang/sendi dengan proporsi 7,5% (13 orang) Gejala yang ditimbulkan LA adalah pucat, panas/demam, perdarahan, adanya rasa lelah, nyeri tulang dan pembesaran kelenjar limfa. Produksi sel darah merah yang berkurang menyebabkan oksigen dalam tubuh berkurang akibatnya penderita terlihat pucat dan mudah lelah. Anak yang menderita LA akan lebih mudah untuk terkena infeksi karena sel darah putihnya tidak berfungsi normal. Akibatnya tubuh anak tersebut mudah terkena infeksi virus ataupun bakteri sehingga menimbulkan keluhan demam. Perdarahan terjadi akibat produksi sel darah putih meningkat dan sel darah lain menurun mengakibatkan anemia, trombositopenia, leukopenia. Trombositopenia mengakibatkan mudahnya perdarahan berupa ekimosis, petekia, perdarahan gusi dan sebagainya.17,18 Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan riwayat penyakit keluarga tidak dapat didistribusikan karena data tidak tersedia pada kartu status. 4
5 57,3% (86 orang) dan terkecil transfusi darah dengan proporsi 16,0% (24 orang). Dari 174 anak yang menderita LA pada tahun 20112012 di RSUP H. Adam Malik Medan terdapat 150 penderita yang mengikuti penatalaksanaan medis seperti kemoterapi, transfusi darah dan kemoterapi + transfusi darah. Penatalaksanaan medis untuk anak yang menderita LA berbeda-beda tergantung pada jenis LA dan kondisi penderita. Kemoterapi merupakan tindakan yang dilakukan pada pasien LA untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia dan transfusi darah merupakan terapi suportif untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan sel-sel leukemia itu sendiri seperti perdarahan. 19 Tabel 6 Distribusi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Lama Rawatan Rata-rata di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Lama rawatan rata-rata Mean 8,5 SD(standar deviasi) 6,6 95% Confidence 7,5-9,5 Interval Coefficient of Variation 77,6%, Minimum 1 Maksimum 29
Tabel 4
Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis LA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Jenis leukemia f % akut Leukemia 136 78,2 limfositik akut(LLA) Leukemia 38 21,8 mielositik akut (LMA) Total 174 100,0 Berdasarkan tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis LA yang lebih besar adalah LLA dengan proporsi 78,2% (136 orang) sedangkan LMA proporsi 21,8% (38 orang). Pada populasi anak, umumnya jenis leukemia yang terjadi adalah LLA dan LMA. Kasus LLA (82%) lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dengan LMA (18%). LMA bisa menyerang segala usia, tetapi paling sering terjadi pada umur dewasa.7 Tingginya proporsi LLA karena sampel pada penelitian ini adalah anak yang menderita LA. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Chandrayani (2009) di RSK Dharmais dari tahun 2004-2008 terdapat 34 (77%) anak yang menderita LLA dan 10 (23%) anak yang menderita LMA.12 Tabel 5 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis Penatalaksanaan Medis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Penatalaksanaan f % medis Kemoterapi 86 57,3 Transfusi darah 24 16,0 Kemoterapi dan 40 26,7 transfusi darah Total 150 100,0
Berdasarkan tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA adalah 8,5 hari (9 hari), SD (Standar Deviasi) 6,6 hari, Coefficient of Variation 77,6% > 10%, artinya lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA bervariasi, lama rawatan minimum adalah 1 hari dan lama rawatan maksimum adalah 29 hari. Penderita dengan lama rawatan 1 hari sebanyak 5 kasus, dimana 4 kasus diantaranya pulang berobat jalan karena menjalani kemoterapi, 2 kasus didiagnosis LLA berumur 6 dan 7 tahun, 2 kasus LMA berumur 2 dan 9 tahun. Dari 5 kasus terdapat 1 kasus meninggal dengan umur 4 tahun, keluhan (pucat, perdarahan, nyeri tulang/ sendi), didiagnosis LLA, berasal dari luar Medan, dan sumber biaya sendiri. Anak yang menderita LA dengan lama rawatan 29 hari merupakan anak yang
Berdasarkan tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan penatalaksanaan medis terbesar adalah kemoterapi dengan proporsi 5
6 menderita LA berusia 11 tahun, pasien berkunjung ke RSUP H. Adam Malik Medan untuk pertama kali, sehingga memungkinkan lama rawatan lama karena penetapan diagnosis membutuhkan waktu yang tidak cepat, pasien datang dengan keluhan demam dan didiagnosis menderita LLA. Penderita menjalani kemoterapi, dengan sumber biaya SKTM dan pulang dengan status berobat jalan. Distribusi proporsi anak yang menderita LA berdasarkan lama rata-rata menderita LA tidak tercatat pada kartu status.
Tabel 8 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012i Sumber biaya f % Umum/biaya 21 12,1 sendiri Askes 27 15,5 Jamkesmas 80 46,0 SKTM 40 23,0 JPKMS 3 1,7 JKA 3 1,7 Total 174 100,0
Tabel 7 Distribusi Proporsi Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Keadaan f % sewaktu pulang PBJ 124 71,3 PAPS 22 12,6 Meninggal 24 13,8 Sembuh 4 2,3 Total 174 100,0
Berdasarkan tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sumber biaya terbesar adalah jamkesmas dengan proporsi 46,0% (80 orang), sumber biaya terkecil adalah JPKMS dan JKA masing-masing dengan proporsi 1,7% (3 orang). Hal ini terjadi karena RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pemerintah yang melayani pasien peserta Jamkesmas. Dapat diasumsikan anak yang menderita LA yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan adalah masyarakat menengah ke bawah. Tingginya kejadian LA pada masyarakat menengah ke bawah diasumsikan karena adanya paparan zat-zat kimia yang cukup lama seperti paparan pestisida di daerah pedesaan yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPKMS) merupakan sumber biaya yang hanya dimiliki oleh penderita yang tinggal di kota Medan sehingga proporsi JPKMS merupakan yang terendah 1,7% (3 orang). Sama halnya dengan JKA yang hanya dimiliki penderita yang berasal dari provinsi NAD. Proporsi JKA sebesar 1,7% (3 orang), rendahnya proporsi JKA disebabkan karena RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit rujukan dari provinsi NAD.
Berdasarkan tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang terbesar adalah pulang berobat jalan (PBJ) dengan proporsi 71,3% (124 orang) dan keadaan sewaktu pulang terkecil adalah sembuh dengan proporsi 2,3% (4 0rang). CFR anak yang menderita LLA adalah 19/136 x 100% =13,9% dan CFR anak yang menderita LMA adalah 5/38 x 100% = 13,1%. Pada pasien LLA lebih dari 2/3 pasien yang diobati akan berada dalam kondisi remisi kompit selama 5 tahun dan kebanyakan kasus akan sembuh sedangkan LMA merupakan suatu kelompok penyakit yang heterogen yang memberikan prognosis yang buruk.14
6
7 Hasil uji Chi-square diperoleh p = 0,688 (p > 0,05), artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis LA dengan jenis kelamin. Tabel 11 Distribusi Proporsi Jenis Penatalaksanaan Medis Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012
Analisa Statistik Tabel 9 Distribusi Proporsi Umur Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis LA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Jenis LA
LLA LMA
Umur 5-9 tahun
0-4 tahun f
%
f
%
50 14
36,8 36,8
46 13
33,8 34,3
Total 10-14 tahun f %
f
%
40 11
136 38
100,0 100,0
29,4 28,9
Keadaan Sewaktu Pulang
Berdasarkan tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa anak yang menderita LA dengan jenis LLA terbesar pada umur 0-4 tahun dengan proporsi 36,8% (50 orang) dan terendah umur 10-14 tahun dengan proporsi 29,4% (40 orang). Anak yang menderita LA dengan jenis LMA lebih besar pada umur 0-4 tahun yaitu 14 orang (36,8%) dan yang lebih kecil pada umur 10-14 tahun dengan proporsi 28,9% (11 orang). Hasil uji Chi-square diperoleh p = 0,998 (p > 0,05), artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara umur berdasarkan jenis LA.
PBJ PAPS Meningg al Sembuh
LLA LMA
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Total
f
%
f
%
f
%
73 19
53,7 50,0
63 19
46,3 50,0
136 38
100,0 100,0
Total
f 66 12 7
% 65,3 57,2 29,2
f 13 4 7
% 12,9 19,0 29,2
f 22 5 10
% 21,8 23,8 41,6
f 101 21 24
% 100,0 100,0 100,0
1
25,0
0
0,0
3
75,0
4
100,0
Berdasarkan tabel 11 di atas dapat dilihat bahwa dari 101 orang anak yang pulang berobat jalan (PBJ) sebanyak 65,3% (66 orang) kemoterapi, 12,9% (13 orang) transfusi darah dan 21,8% (22 orang) kemoterapi dan transfusi darah. Dari 21 orang anak yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) sebanyak 57,2% (12 orang) kemoterapi, 19,0% (4 orang) transfusi darah dan 23,8% (5 orang) kemoterapi dan transfusi darah. Dari 24 orang anak yang meninggal sebanyak 29,2% (7 orang) kemoterapi, 29,2% (7 orang) transfusi darah dan 41,6% (10 orang) kemoterapi dan transfusi darah. Dari 4 orang anak yang menderita LA yang pulang dengan keadaan sembuh sebanyak 25,0% (1 orang) kemoterapi, 75,0% (3 orang) kemoterapi dan transfusi darah. Analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 5 sel (41,7%) yang mempunyai expected count < 5.
Tabel 10 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis LA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Jenis LA
Penatalaksanaan Medis Kemoterapi Transfusi Kemoterapi Darah +Transfusi Darah
Berdasarkan tabel 10 di atas dapat dilihat bahwa anak yang menderita LA dengan jenis LLA lebih besar terjadi pada laki-laki dengan proporsi 53,7% (73 orang) dan lebih kecil terjadi pada perempuan dengan proporsi 46,3% (63 orang). Anak yang menderita LA dengan jenis LMA pada laki-laki dan permpuan masing-masing proporsinya 50,0% (19 orang).
7
8 Tabel
Sumber Biaya
Biaya Sendiri Biaya Tidak Sendiri
12
Penatalaksanaan Medis Kemotera Transfusi Kemotera pi Darah pi +Transfus i Darah f % f % f % 5 45,5 4 36,4 2 18,1
f 11
% 100,0
81
139
100,0
58,3
(28 orang) dengan jenis LMA. Dari 22 orang anak yang menderita LA dengan keadaan sewaktu pulang yaitu pulang atas permintaan sendiri (PAPS) 90,9% (20 orang) dengan jenis LLA, 9,1% (2 orang) dengan jenis LMA. Dari 24 orang anak yang menderita LA dengan keadaan sewaktu pulang yaitu meninggal 79,2% (19 orang) dengan jenis LLA, 20,8% (5 orang) dengan jenis LMA. Dari 4 orang anak yang menderita LA dengan keadaan sewaktu pulang sembuh 25,0% (1 orang) jenis LLA dan 75,0% (4 orang) sembuh jenis LMA. Analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel (37,5%) yang mempunyai expected count < 5. Tabel 14 Distribusi Lama Rawatan Ratarata Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Jenis LA di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Jenis LA Lama Rawatan Ratarata f mean SD LLA 136 8,5 6,8 LMA 38 8,4 6,0 t = 1,744 p= 0,188 df= 172
Distribusi Proporsi Jenis Penatalaksanaan Medis pada Anak yang Menderita LA Rawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012
20
14,4
38
27,3
Total
Berdasarkan tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa dari 11 anak yang menderita LA yang berobat dengan biaya sendiri 45,5% (5 orang) menjalani kemoterapi, 36,4% (4 orang) diberi transfusi darah dan 18,1% (2 orang) menjalani kemoterapi dan diberi transfusi darah. Dari 139 anak yang menderita LA yang berobat dengan biaya yang tidak sendiri 58,3% (81 orang) menjalani kemoterapi, 14,4% (20 orang) diberi transfusi darah dan 27,3% (38 orang) menjalani kemoterapi dan diberi transfusi darah. Analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) yang mempunyai expected count < 5. Tabel 13 Distribusi Proporsi Jenis LA pada Anak Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2012 Keadaan Sewaktu Pulang PBJ PAPS Meningg al Sembuh
Jenis LA LLA
Berdasarkan tabel 14 di atas dapat dilihat bahwa anak yang menderita LA dengan jenis LA, LLA sebanyak 136 orang dengan lama rawatan rata-rata 8,5 hari, LMA sebanyak 38 orang dengan lama rawatan ratarata 8,4 hari. Berdasarkan statistik uji t diperoleh p = 0,188 (p>0,05) artinya tidak ada perbedaan yang bermakna lama rawatan rata-rata berdasarkan jenis LA
Total LMA
f 96 20 19
% 96,9 90,9 79,2
f 28 2 5
% 27,1 9,1 20,8
f 124 22 24
% 100,0 100,0 100,0
1
25,0
3
75,0
4
100,0
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi tertinggi anak yang menderita LA rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan berdasarkan data tahun 2009-2012 adalah pada tahun 2009 yaitu 27,8%. Kecenderungan kunjungan anak yang menderita LA berdasarkan data tahun 2009-2012 menunjukkan penurunan dengan persamaan garis y = 100,5- 3,8x
Berdasarkan tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa dari 113 orang anak yang menderita LA dengan keadaan sewaktu pulang yaitu pulang berobat jalan (PBJ) 96,9% (96 orang) dengan jenis LLA, 27,1% 8
9 b. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur 0-4 tahun 36,8%, jenis kelamin laki-laki (52,9%), agama Islam 66,1%, luar kota Medan 77,6%. c. Proporsi keluhan anak yang menderita LA tertinggi yaitu pucat 43,7%. d. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis LA adalah LLA 78,2%. e. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan jenis penatalaksanaan medis tertinggi adalah kemoterapi 57,3%. f. Lama rawatan rata-rata anak yang menderita LA adalah 8,5 hari (9 hari) g. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah pulang berobat jalan 71,3%. h. Proporsi anak yang menderita LA berdasarkan sumber biaya tertinggi adalah Jamkesmas 46,0%. i. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara umur berdasarkan jenis LA (p =0,998), jenis kelamin berdasarkan jenis LA (p=0,688), dan lama rawatan rata-rata dengan jenis LA (p=0,188).
Daftar Pustaka 1. Kepmenkes RI, 2007. Pedoman Pengendalian Penyakit Kanker. Jakarta 2. Depkes RI, 2009. Obesitas dan Kurang Aktivitas Fisik Menyumbang 30 Kanker http://www.indonesia.go.id. Diakses pada tanggal 27 maret 2013 3. Yayasan Onkologi Anak Indonesia, 2012. Kanker pada Anak di Indonesia. Jakarta 4. National Cancer Institute, 2013 http://www.cancer.gov/cancertopics/fa ctsheet/Sites- Types/childhood Diakses pada tanggal 21 maret 2013 5. Hadi N., dkk, 2008 . A Case ControlStudy Acute Leukemia Risk Factors in Adults, Shiraz, Iran. S hiraz E-Medical Journal. Volume 9, No. 1, January 2008 6. Bakta, M., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. EGC. Jakarta Depkes RI, 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta 7. Permono, B. dan IDG. U., 2010. Leukemia Akut. Dalam: Hematologi Onkologi Anak. Badan Penerbit IDAI. Jakarta 8. Australasian Assosiation of Cancer Registries, 2012. Acute Lymphoblastic Leukemia for Australia. http://www.aihw.gov.au/cancer/aacr/. Diakses pada tanggal 27 maret 2013 9. Indian Jurnal of Cancer, 2009. Epidemiologi of childhood Cancer in India. http://www.indianjcancer.com. Diakses 05 april 2013 10. Arifin, Z., 2004. Pola Leukemia Limfoblastik Akut di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RS Dr. Pirngadi Medan. Jurnal FK USU. Medan 11. IM., Widiaskara, dkk., 2010 . Luaran Pengobatan Fase Induksi Pasien Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Wangaya.
2. Saran a. Kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan diharapkan untuk melengkapi pencatatan pada kartu status, seperti suku, riwayat penyakit keluarga, serta menambahkan pencatatan tentang waktu didiagnosis LA. b. Kepada keluarga anak yang menderita LA diharapkan untuk membawa penderita mengikuti prosedur pengobatan sampai selesai. c. Kepada masyarakat diharapkan untuk menghindari atau melindungi diri dari paparan pestisida, zat-zat kimia maupun radiasi yang terpapar secara terus-menerus.
9
10 Denpasar Bagian Ilmu Kesehatan Anak Universitas Airlangga RS. Dr. Soetomo. Surabaya. 12. S.,chandrayani, 2009. Gambaran Distribusi Distribusi Frekuensi Leukemia di RSK Dharmais dari Tahun 2004-2008. Skripsi FKM UI. Depok 13. Tjitra, S.T., dkk., 2010. Prognosis Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak Obes. Departemen Kesehatan Anak, RS Dr.Cipto Mangunkusumo, FK UI. Jakarta 14. Pui, H.P dan William M.C., 2007. Leukemia. Dalam: Buku Ajar Pediatri Rudolph (Rudolph’s Pediatrics). EGC. Jakarta 15. Gholami, A.,et al., 2011. Parental Risk Factor of Childhood Acute Leukemia: A Case Control Study. Journal of Research in Health Sciences. Iran 16. Irani, P., 2009. Leukemia Limfoblastik Akut. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Internal Publising. Jakarta 17. Kurnianda, J., 2009. Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Internal Publising. Jakarta 18. Buku Kuliah Kesehatan Anak, 1985. Diterbitkan Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta 19. Thomson, A.D dan Cotton, R.E., 1997. Catatan Kuliah Patologi. EGC. Jakarta
10
KARAKTERISTIK PENDERITA HIPERTENSI YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDIKALANG TAHUN 2010-2012
Ria Arihta Ujung 1, Rasmaliah2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155 Email:
[email protected]
Abstract Hypertyension is one of the degenerative disease a public health problem and important risk factor to arise many ailment of vital organ and bring a weakness of physical, blemish and mortality. Hypertension often called as silent killer because often appears without symptoms, while the blood pressure out of normal. Health Research Association (Riskesdas) Balitbangkes in 2007 showed the prevalence of hypertension nationally reached 31,7%. According to Rasmaliah and friends research in 2004 in work area of Puskesmas Pekan Labuhan, Medan Labuhan, incidens rate of hypertension for people who above 26 years old is 26,4% and patiens of yipertension more in 45-60 years old reached 30,8%. To know the charecteristics of patiens who are hospitalized at General Hospital of Sidikalang, descriptive study has been done by using case series design and continued with the statistical analysis. The samples were 213 data of patients. From the record data, the result obtained by the higest proportion of female patiens in the age group >60 years (30,0%), Protestant (72,8%), house wives (30,8%), in Dairi (85,9%), second degree of hypertension (79,3%), without comorbidity (56,8%), dyspepsia (54,3%), stroke (53,8), average length of stay 3,45 days, askes (48,4), medically discharged and becoming out patients (81,7). There is no significant difference between ages with the degree of hypertension (p=0,600). There is no significant difference between sexes with the degree of hypertension (p=0,087). There is no significant difference between jobs with the degree of hypertension (p=0,716). There is a difference significant between average length of stay with the degree of hypertension (p=0,000). To General Hospital of Sidikalang that complement education data recording hospitalized patiens. Give a health promotion to communities to should be empowered, through education in order to contribute active to the prevention and contol of hypertension. To hipertensive patients for his blood pressure checked regurally and maintain a diet and a healthy life style. Keywords : hypertension, patient characteristics, General Hospital of Sidikalang Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Proporsi angka kematian penyakit tidak menular meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 59,5% pada tahun 2007.2 Penyakit tidak menular sebagai penyebab kematian teritinggi diantaranya seperti stroke, disusul dengan hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. Dan kematian akibat PTM juga terjadi di perkotaan maupun pedesaan.3
Pendahuluan Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah terjadinya transisi epidemiologi, yaitu perubahan yang kompleks dalam pola penyakit dan kesakitan yang ditunjukkan dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya prevalensi penyakit noninfeksi (penyakit tidak menular) dibandingkan dengan penyakit infeksi (penyakit menular).1 1
Hipertensi adalah salah satu Penyakit Tidak Menular dengan prevalensi 31,7% secara nasional, serta merupakan faktor risiko yang amat penting bagi timbulnya berbagai gangguan organ-organ vital tubuh dengan akibat kelemahan fisik, cacat maupun kematian.4 Hipertensi sering dikatakan sebagai pembunuh diam-diam (silent killer). Hipertensi umumnya terjadi tanpa gejala (asimptomatis). Sebagian penderitanya tidak merasakan gejala apapun, walau tekanan darahnya telah jauh diatas normal. Keadaan seperti ini dapat berlangsung bertahun-tahun sampai akhirnya penderita jatuh ke dalam kondisi yang lebih parah atau terjadi komplikasi, seperti jantung, ginjal, dan stroke. Komplikasi inilah yang pada akhirnya banyak berujung pada kematian.5 Survei faktor risiko penyakit kardiovaskuler oleh WHO tahun 2006 menunjukkan di Indonesia prevalensi hipertensi berdasarkan jenis kelamin dengan tekanan darah 160/90 mmHg pada pria tahun 1988 proporsinya 13,6%, tahun 1993 proporsinya 16,5%, dan tahun 2000 proporsinya 22,0%, sedangkan pada wanita prevalensi tahun 1988 mencapai 16%, tahun 1993 proporsinya 17%, dan tahun 2000 proporsinya 22,7%.13 Menurut Indonesian Society of Hypertension tahun 2007, secara umum prevalensi hipertensi di Indonesia pada orang dewasa berumur lebih dari 50 tahun adalah antara 15%-20%.6 Berdasarkan penelitian Sukresna Wibowo (2009) di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekan Baru pada tahun 2004 didapat proporsi penderita hipertensi rawat inap 8,92% (265 orang dari 2.971 pasien penyakit dalam), tahun 2005 proporsinya 5,96% (229 orang dari 3.843 pasien penyakit dalam), tahun 2006 proporsinya 5,31% (186 orang dari 3.503 pasien penyakit dalam), tahun 2007 proporsinya 4,79% (171 orang dari 3.573 pasien penyakit dalam), tahun 2008 proporsinya 6,85% (265 orang dari 3.870 pasien penyakit dalam). 7 Dari data rumah sakit, di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan jumlah kasus penderita hipertensi pada tahun 1999
sebanyak 122 kasus dengan proporsi 0,8% dan tahun 2000 meningkat menjadi 215 kasus dengan proporsi 1,5%.8 Menurut penelitian yang dilakukan Rasmaliah, dkk tahun 2004 di wilayah kerja Puskesmas Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan diketahui bahwa angka kejadian hipertensi pada masyarakat di atas usia 26 tahun adalah 26,4% dan penderita hipertensi lebih banyak pada kelompok umur 45 – 60 tahun yaitu 30,8%.9 Berdasarkan data yang diperoleh dari survei pendahuluan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang, didapatkan kasus hipertensi yang di rawat inap dari tahun 20102012 yaitu sebanyak 482 orang. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya karakteristik penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012. Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui karakteristik penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan sosiodemografi yang meliputi umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. b. Mengetahui distribusi proporsi hipertensi berdasarkan derajat hipertensi. c. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan status penyakit penyerta. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan penyakit penyerta. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan komplikasi f. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita hipertensi. g. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan sumber biaya. h. Mengetahui distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan keadaaan sewaktu pulang. 2
i.
Mengetahui distribusi proporsi umur berdasarkan derajat hipertensi j. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan derajat hipertensi. k. Mengetahui distribusi proporsi pekerjaan berdasarkan derajat hipertensi. l. Mengetahui distribusi lama rawatan ratarata berdasarkan derajat hipertensi. m. Mengetahui distribusi derajat hipertensi berdasarkan keadaan sewaktu pulang.
d = Penyimpangan terhadap populasi (0,05) t= Tingkat kepercayaan (95% = 1,96) p = proporsi (0,5) q = 1 – proporsi Dengan menggunakan rumus tersebut diketahui sampel sebanyak 213 data penderita. Data dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang diperoleh dari kartu status sampel penderita hipertensi yang di rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012. Semua kartu status sampel tersebut dikumpulkan kemudian dilakukan pencatatan sesuai dengan jenis variabel yang diteliti. Data analisa dengan menggunakan Chi Square dan T-test.
Manfaat penelitian ini adalah: a. Sebagai masukan bagi pihak rumah sakit agar dapat meningkatkan program pelayanan kesehatan bagi masyarakat. b. Sebagai bahan informasi bagi penelitian lain yang akan melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian tersebut. c. Sebagai sarana bagi penulis untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai hipertensi dan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Hasil dan Pembahasan Sosiodemografi Umur dan Jenis Kelamin Distribusi proporsi penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Sidikalang tahun 2010-2012 berdasarkan sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan tempat tinggal, dapat dilihat pada tabel 1 :
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan case series. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang. Penelitian dilakukan pada bulan Februari – Agustus 2013. Populasi penelitian ini adalah data seluruh penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 yaitu 482 orang yang terdaftar pada bagian rekam medis. Sampel penelitian ini adalah sebagian dari populasi. Besar sampel dihitung berdasarkan teknik sampling yaitu
Tabel
Umur (tahun) 40 41-50 51-60 > 60 Total
t2p q n= 1+
( N
Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan f % f % 11 5,2 9 4,2 15 7,0 25 11,8 26 12,2 23 10,8 40 18,8 64 30,0 92 43,2 121 56,8
Jumlah f 20 40 49 104 213
% 9,4 18,8 23,0 48,8 100
Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa kelompok umur 40 tahun berdasarkan jenis kelamin tertinggi adalah laki-laki sebesar 5,2%. Umur 41-50 tertinggi adalah perempuan sebesar 11,8%, umur 51-60 tertinggi adalah laki-laki sebesar 12,2%, dan umur >60 tahun tertinggi adalah perempuan sebesar 30,0%.
d2 t2p q
1
1.
- 1) d2
N = Jumlah populasi n = Besar sampel minimal 3
Hal ini menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi sering terjadi pada orang berusia >60 tahun karena tekanan darah secara alami cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan dikarenakan penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan data sosiodemografi agama, pekerjaan dan tempat tinggal yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
orang) dan yang terendah di Luar Kabupaten Dairi sebesar 14,1 % (30 orang). Agama bukan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit hipertensi karena penyakit hipertensi dapat diderita oleh semua pemeluk agama. Penderita yang tidak bekerja sebanyak 12 orang merupakan penderita dengan usia diatas 75 tahun dimana secara fisik sudah tidak dapat produktif bekerja. Berdasarkan tempat tinggal menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Sidikalang berasal dari dalam Kabupaten Dairi.
Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Data Sosiodemografi Agama, Pekerjaan dan Tempat Tinggal yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012
Distribusi Proporsi penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel
2
Sosiodemografi Agama Islam Kristen Protestan Katolik Total Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Pensiunan Wiraswasta Petani Ibu Rumah Tangga Tidak bekerja Total Tempat Tinggal Kabupaten Dairi Luar Kabupaten Dairi Total
f
%
55 155 3 213
25,8 72,8 1,4 100
39 23 23 51 65 12 213
18,3 10,8 10,8 24,0 30,5 5,6 100
183 30 213
85,9 14,1 100
Tabel 3 Distribusi
Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Derajat Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012
Derajat Hipertensi Hipertensi Derajat 1 Hipertensi Derajat 2 Total
f 44 169 213
% 20,7 79,3 100
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa proporsi derajat hipertensi penderita hipertensi teringgi adalah hipertensi derajat 2 sebesar 79,3% (169 orang) dan terendah adalah hipertensi derajat 1 sebesar 20,7% (44 orang). Artinya kondisi pasien membutuhkan pertolongan medis. Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan status penyakit penyerta yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi penderita hipertensi berdasarkam agama yang terbesar adalah Kristen Protestan yaitu sebesar 72,8 % (155 orang), diikuti dengan agama Islam sebesar 25,8 % (55 orang). Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan pekerjaan yang terbesar adalah petani sebesar 41,3 % (88 orang) dan terendah adalah tidak bekerja sebesar 5,6% (12 orang). Berdasarkan tempat tinggal yang terbesar berada di dalam Kabupaten Dairi yaitu sebesar 85,9 % (183 4
Tabel
dyspepsia sebesar 54,3% dan yang terendah adalah TB Paru sebesar 7,6%. Hipertensi adalah suatu keadaan patologis yang bersifat menetap, maka obat antihipertensi wajib dikonsumsi setiap hari dan seumur hidup, bukan hanya bila sedang timbul gejala.13 Hal ini merupakan suatu pemicu timbulnya penyakit dyspepsia. Konsumsi obat antihipertensi yang rutin memicu timbulnya gangguan pencernaan, pada penderita hipertensi.
Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Status Penyakit Penyerta yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 20102012
4
Status Penyakit Penyerta Ada Tidak ada Total
f
%
92 121 213
43,2 56,8 100
Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hipertensi berdasarkan status penyakit pernyerta adalah tidak ada penyakit penyerta yaitu sebesar 56,8% dan yang memiliki penyakit penyerta sebesar 43,2%. Meskipun sebagian besar penderita tidak memiliki penyakit penyerta namun penderita tetap perlu dirawat untuk mengontrol tekanan darah agar kembali normal dan mencegah terjadinya komplikasi. Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Tekanan darah kita secara alami berfluktuasi sepanjang hari.10 Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan jenis penyakit penyerta yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5 Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Jenis Penyakit Penyerta yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012 Jenis Penyakit Penyerta Dyspepsia Diabetes Melitus TB paru Lebih dari satu Total
f
%
50 16 7 19
54,3 17,4 7,6 20,7
92
100
Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan komplikasi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel
6 Distribusi
Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Komplikasi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012
Komplikasi Stroke Gagal jantung Gagal ginjal Total
f 7 5 1 13
% 53,8 38,5 7,7 100
Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hipertensi berdasarkan komplikasi terbanyak adalah stroke sebesar 53,8% dan yang terendah adalah gagal ginjal sebesar 7,7%. Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi. stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak menjadi berkurang.6 Lama rawatan rata-rata penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa proporsi penderita hipertensi berdasarkan penyakit pernyerta terbanyak adalah
5
Tabel 7 Proporsi
Penderita Hipertensi Berdasarkan Lama Rawatan yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012
Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan keadaan sewaktu pulang yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Lama rawatan rata-rata Mean 3,45 SD(standar deviasi) 2,802 95% Confidence Interval 3,07-3,82 Minimum 1 Maksimum 26
Tabel 9 Distribusi
Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 20102012
Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata pederita hipertensi adalah 3,45 hari. Lama rawatan tersingkat adalah 1 hari dan terlama adalah 26 hari. Lama rawatan rata-rata penderita hipertensi adalah 3,45 hari. Standar Deviasi (SD) = 2,802 dengan koefisien of varian >10% artinya bahwa hari rawatan penderita hipertensi bervariasi dengan lama rawatan paling singkat 1 hari dan paling lama adalah 26 hari. Penderita dengan lama rawatan terbesar yaitu 26 hari, dikarenakan mengalami komplikasi yaitu gagal ginjal.
Keadaan sewaktu pulang PBJ PAPS Meninggal Total
Distribusi Proporsi Penderita Hipertensi Berdasarkan Sumber Biaya yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012
8
Sumber Biaya Askes Jamkesmas Umum Total
f
%
103 54 56
48,4 25,3 26,3
213
100
%
174 34 5 213
81,7 16,0 2,3 100
Berdasarkan tabel 9 dapat dilihat bahwa distribusi penderita hipertensi berdasarkan keadaan sewaktu pulang yang terbesar adalah pulang berobat jalan yaitu sebesar 81,7 % (174 orang), diikuti oleh pulang atas permintaan sendiri sebesar 16% (34 orang) dan penderita yang meninggal sebesar 2,3 % (5 orang). Penderita pulang berobat jalan dikarenakan oleh keadaan tekanan darah penderita telah normal dan dokter telah memperbolehkan pulang berobat jalan. Penderita yang pulang atas permintaan sendiri kemungkinan dikarenakan ingin mendapat perawatan yang lebih baik di rumah sakit lainnya atau keinginan untuk dirawat di rumah. Penderita yang meninggal sebanyak 5 orang, yaitu dengan jenis kelamin 4 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Penderita meninggal dengan komplikasi stroke sebanyak 3 orang dan dengan penyakit penyerta diabetes melitus sebanyak 2 orang. Analisa Statistik Umur Berdasarkan Derajat Hipertensi
Distribusi proporsi penderita hipertensi berdasarkan sumber biaya yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel
f
Pada tabel 8 dapat dilihat bahwa sumber biaya penderita hipertensi yang terbanyak adalah menggunakan ASKES yaitu sebesar 48,4 % (103 orang). Sementara yang menggunakan Jamkesmas sebesar 25,3 % (54 orang) dan umum sebesar 26,3 % (56 orang). Hal ini dapat dikaitkan dengan proporsi penderita hipertensi berdasarkan pekerjaan yang terbesar adalah Ibu Rumah Tangga (30,5%), dimana pekerjaan suami dari IRT tersebut adalah Pegawai Negeri Sipil.
Distribusi proporsi umur penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
6
Tabel 11 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin
Tabel
10 Distribusi Proporsi Umur Penderita Hipertensi Berdasarkan Derajat Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012
Penderita Hipertensi Berdasarkan Derajat Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 20102012 Jenis Kelamin
Derajat Hipertensi Derajat Hipertensi 1 Derajat Hipertensi 2
Umur (tahun) >50 50
Total
f 11
% 25,0
f 33
% 75,0
f 44
% 100
49
29,0
120
71,0
169
100
Derajat Hipertensi Derajat Hipertensi 1 Derajat Hipertensi 2
Laki-laki f %
Perempuan f %
Total F
%
14
31,8
30
68,2
44
100
78
46,2
91
53,8
169
100
Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa proporsi jenis kelamin penderita dengan derajat hipertensi 1 tertinggi adalah umur >50 tahun sebesar 68,2%. Dengan derajat hipertensi 2 adalah umur >50 tahun sebesar53,8%. Analisa uji statistik dengan uji chisquare diperoleh p > 0,05 artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin dengan derajat hipertensi. Dengan kata lain baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang sama untuk terkena hipertensi, baik hipertensi derajat 1 maupun hipertensi derajat 2. Tingginya penyakit hipertensi pada perempuan diakibatkan beberapa faktor seperti pengaruh faktor hormonal yaitu berkurangnya hormon estrogen pada perempuan yang telah mengalami menopause sehingga memicu meningkatnya tekanan darah dan dipengaruhi oleh faktor psikologis dan adanya perubahan dalam diri wanita tersebut. Selain itu juga dikarenakan karena perempuan lebih tanggap dalam memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan. Peningkatan stress juga dapat dihubungkan dengan kejadian tekanan darah tinggi yang diakibatkan oleh diantaranya tuntutan pekerjaan, hidup dan lingkungan kriminal yang tinggi, kehilangan pekerjaan dan pengalaman yang mengancam nyawa terpapar ke stress bisa menaikkan tekanan darah dan hipertensi dini cenderung menjadi reaktif. Aktivasi berulang susunan saraf simpati oleh stress dapat memulai tangga hemodinamik yang menimbulkan hipertensi menetap.15 Selain itu dapat dilihat bahwa
Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa proporsi umur penderita dengan derajat hipertensi 1 tertinggi adalah umur >50 tahun sebesar 75%. Dengan derajat hipertensi 2 adalah umur >50 tahun sebesar 71%. Analisa uji statistik dengan uji chisquare diperoleh p > 0,05 artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara umur dengan derajat hipertensi. Dengan kata lain setiap kelompok umur memiliki risiko yang sama untuk terkena hipertensi, baik hipertensi derajat 1 maupun hipertensi derajat 2. Menurut kajian pengamatan prospektif pada beberapa kelompok orang, selalu menunjukkan adanya hubungan yang positif antara umur dan tekanan darah. Tekanan Darah Sistolik cenderung meningkat secara progresif dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa untuk mencapai nilai rata-rata 140 mmHg pada usia 70 hingga 80 tahun. Tekanan Darah Diastolik juga cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, tetapi dengan laju lebih rendah dari Tekanan Darah Sistolik, dan nilai rata-rata cenderung tetap datar atau turun setelah usia 50-an tahun. Ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi dan peningkatan Tekanan Darah Sistolik menjadi hal yang biasa dengan bertambahnya umur. 14 Distribusi proporsi umur penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
7
perempuan lebih cepat untuk memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan dibandingkan laki-laki. Distribusi proporsi pekerjaan penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 12 Distribusi Proporsi Pekerjaan Penderita Hipertensi Berdasarkan Derajat Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012 Pekerjaan Derajat Hipertensi
Derajat Hipertensi 1 Derajat Hipertensi 2
Bekerja f 41 160
% 93,2 94,7
Tidak bekerja f % 3 6,8 9 5,3
hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 13 Lama
Rawatan Penderita Berdasarkan Derajat yang Dirawat Inap Sakit Umum Daerah Tahun 2010-2012
Derajat Hipertensi Derajat Hipertensi 1 Derajat Hipertensi 2
Total
f 44 169
Rata-Rata Hipertensi Hipertensi di Rumah Sidikalang
Lama Rawatan Rata-rata f Mean SD 44 1,61 0,618 169
3,92
2,950
Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat bahwa sdari 213 orang penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012, penderita hipertensi derajat 1 sebanyak 44 orang yang memiliki rata-rata lama rawatan 1,61 hari dengan SD=0,618 dan hipertensi derajat 2 sebanyak 169 orang yang memiliki rata-rata lama rawatan 3,92 hari dengan SD=2,950. Berdasarkan uji statistik t-test diperoleh p<0,05 artinya ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan derajat hipertensi. Hal ini dapat dihubungkan dengan banyaknya penderita hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang menderita hipertensi derajat 2. Selain itu lamanya rawatan rata-rata pada hipertensi derajat 2 tinggi dikarenakan penderita hipertensi derajat 2 telah mengalami komplikasi atau disertai dengan penyakit penyerta sehingga membutuhkan pertolongan dan perawatan dari tenaga medis secara intens, sehingga berpengaruh dengan lama rawatan rata-rata penderita.
% 100 100
Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat bahwa proporsi pekerjaan penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi 1 tertinggi adalah bekerja sebesar 93,2% dan derajat hipertensi 2 adalah bekerja sebesar 94,7%. Uji chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat 1 sel (25%) yang expected count-nya kurang dari 5. Dengan demikian dilanjutkan menggunakan uji exact fisher. Hasil analisis dengan menggunakan exact fisher diperoleh nilai p=0,716. Karena nilai p>0,05, artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara pekerjaan dengan derajat hipertensi. Dengan kata lain setiap pekerjaan memiliki risiko yang sama untuk terkena hipertensi, baik hipertensi derajat 1 maupun hipertensi derajat 2. Tekanan darah lebih tinggi dapat dihubungkan dengan peningkatan stress, yang timbul dari tuntutan pekerjaan, hidup dan lingkungan kriminal yang tinggi, kehilangan pekerjaan dan pengalaman yang mengancam nyawa terpapar ke stress bisa menaikkan tekanan darah dan hipertensi dini cenderung menjadi reaktif. Aktivasi berulang susunan saraf simpati oleh stress dapat memulai tangga hemodinamik yang menimbulkan hipertensi menetap.15
Distribusi proporsi pekerjaan penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2010-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Distribusi lama rawatan rata-rata penderita hipertensi berdasarkan derajat 8
Tabel
komplikasi stroke sebanyak 3 orang dan dengan penyakit penyerta diabetes melitus sebanyak 2 orang. Secara umum, penderita yang meninggal dengan hipertensi derajat 1 sebanyak 2 orang dan hipertensi derajat 2 sebanyak 3 orang.
Distribusi Proporsi Derajat Hipertensi Penderita Hipertensi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2010-2012
14
Derajat Hipertensi Keadaan Sewaktu Pulang
PBJ PAPS Meninggal
Derajat Hipertensi 1 f % 31 17,8 11 32,4 2 4,0
Derajat Hipertensi 2 f % 143 82,2 23 67,6 3 6,0
Total
f 174 34 5
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan sosiodemografi adalah kelompok umur >60 tahun yaitu 48,8%, jenis kelamin perempuan yaitu 56,8%, agama Kristen Protestan yaitu 72,8%, pekerjaan ibu rumah tangga yaitu 30,5%, dan tinggal di Kabupaten Dairi yaitu 85,9%. b. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan derajat hipertensi adalah hipertensi derajat 2 sebesar 79,3%. c. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan status penyakit penyerta adalah tidak ada penyakit penyerta sebesar 56,8%. d. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan jenis penyakit penyerta adalah Dyspepsia sebesar 54,3%. e. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan komplikasi adalah stroke sebesar 53,8%. f. Lama rawatan rata-rata penderita hipertensi adalah 3 hari. g. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan sumber biaya adalah menggunakan askes sebesar 48,4%. h. Proporsi tertinggi penderita hipertensi berdasarkan keadaan sewaktu pulang adalah Pulang Berobat Jalan (PBJ) sebesar 81,7%. i. Tidak ada perbedaan bermakna antara umur dengan derajat hipertensi (p=0,600). j. Tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin dengan derajat hipertensi (p=0,087). k. Tidak ada perbedaan bermakna antara pekerjaan dengan derajat hipertensi (p=0,716). l. Ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan derajat hipertensi (p=0,000)
% 100 100 100
Berdasarkan tabel 14 dapat dilihat bahwa derajat hipertensi penderita hipertensi berdasarkan kondisi sewaktu pulang pada pulang berobat jalan yang tertinggi adalah derajat hipertensi 2 sebesar 82,2%, pulang atas permintaan sendiri yang tertinggi adalah derajat hipertensi 2 sebesar 67,6%, dan meninggal tertinggi adalah derajat hipertensi 2 sebesar 6,0%. Analisa uji statistik dengan uji chisquare tidak dapat dilakukan karena terdapat 2 sel (33,3%) yang expected count-nya kurang dari 5. Penderita hipertensi pulang berobat jalan dikarenakan tekanan darah penderita telah kembali normal setelah mendapat pertolongan dan perawatan dari tenaga medis, dan dokter telah memperbolehkan penderita untuk pulang berobat jalan. Penderita yang Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) pada hipertensi derajat 1 sebesar 32,4% dan pada hipertensi derajat 2 sebesar 67,6%. Penderita hipertensi yang pulang atas permintaan sendiri kemungkinan disebabkan karena ingin mendapat perawatan yang lebih baik di rumah sakit lain atau keinginan untuk dirawat di rumah. Penderita yang meninggal pada hipertensi derajat 1 sebesar 4,0% dan pada hipertensi derajat 2 sebesar 6,0%. Artinya semakin tinggi derajat hipertensi kemungkinan peluang pasien meninggal lebih besar dibandingkan jika pasien menderita hipertensi yang ringan. Penderita yang meninggal sebanyak 5 orang, yaitu dengan jenis kelamin 4 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Penderita meninggal dengan 9
7. 2. Saran a. Kepada Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang agar melengkapi pencatatan data pendidikan pasien yang dirawat inap. b. Memberikan penyuluhan kepada penderita oleh petugas kesehatan agar dapat berperan aktif dalam program pencegahan dan pengendalian hipertensi. c. Kepada penderita hipertensi agar rutin memeriksakan tekanan darahnya dan menjaga pola makan dan gaya hidup sehat.
8.
9.
Daftar pustaka 1. Bustan, M.N., 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular . PT. Rineka Cipta. Jakarta. 2. Depkes RI., 2010. Rencana Program Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Tahun 2010-2014, Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PP&PL, Direktorat Pengendalian PTM, 2010, Jakarta. 3. Depkes RI, 2011. Penyakit Tidak Menular (PTM) Penyebab Kematian Terbanyak di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. http://depkes.go.id/index.php/berita/pr ess-release/1637-penyakit-tidak menular-ptm-penyebab-kematianterbanyak-di-indonesia.html, diakses 21 Januari 2013, 21.00 WIB 4. Depkes RI, 2012. Masalah Hipertensi di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.http://depkes.go.id/index.php/b erita/press-release/1909-masalah hipertensi-di-indonesia.html, diakses 20 Januari 2013, 19.50 WIB 5. Hartono, B., 2011. Hipertensi The Silent Killer. Perhimpunan Hipertensi Indonesia.http://www.inash.or.id/uplo ad/news_pdf/news_-DR._Drs.Bambang_Hartono,_SE26.pdf, diakses 20 Januari 2013, 19.50 WIB 6. Indonesian Society of Hypertension tahun 2007. http://www.inash.or.id/news_detail.ht ml?id=34, diakses 15 Februari 2013, 20.00 WIB
10.
11.
12. 13.
14.
15.
10
Wibowo, S, 2009. Karakteristik Penderita Hipertensi Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekan Baru Tahun 2004-2008, Skripsi FKM USU. Medan. Ningsih, E. W, 2002. Karakteristik Penderita Hipertensi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan Tahun 1999-2000. Skripsi Mahasiswa FKM USU. Medan Rasmaliah, dkk.2004. Gambaran Epidemiologi Penyakit Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan Propinsi Sumatera Utara. FKM USU. Medan. Info Kesehatan Masyarakat Vol.IX No.2, diakses 10 April 2013, 17.00 WIB Gray, H.H., dkk, 2003. Lecture Notes : Kardiologi Edisi Keempat. Penerbit Erlangga. Jakarta Obat Antihipertensi : Ketergantungan atau Kebutuhan? http://www.kardioipdrscm.com/18/bac a-artikel/obat-antihipertensi-ketergantungan-atau-kebutuhan#.UefQd9JHKlt Corwin, E., J. 2009. Patofisiologi. EGC. Jakarta Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi, 2006. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Laporan Komisi Pakar WHO, 2001. Pengendalian Hipertensi. ITB. Bandung Kaplan, N.M, dkk. 1991. Pencegahan Penyakit Jantung Koroner : Penatalaksanaan Praktis Dari Faktor-Faktor Risiko. EGC. Jakarta.
KARAKTERISTIK BAYI YANG MENDERITA PENYAKIT HIRCSHSPRUNG DI RSUP H. ADAM MALIK KOTA MEDAN TAHUN 2010-2012 Siska Verawati1, Sori Muda2, Hiswani2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
Abstract Hirschsprung disease is a cause of lower intestinal obstruction most commonly in neonates (0-28 days), the incidence 1:5000 live births. Hirschsprung disease is more common in males than females with a ratio of 4:1. The mortality rate for Hirschsprung disease ranged from 110%. To determine the characteristics of baby suffering from Hirschsprung disease, conducted a research at RSUP H. Adam Malik Medan with case series design. Population and sample was 110 patients in 2010-2012 and recorded in hospital medical records. Univariate data were analyzed descriptively while bivariate data were analyzed using Chi-square, Mann-Whitney, Kruskal Wallis test. Based on sosiodemographic, the highest population is in the age group of 0-28 days (60,0%), male (72,7%%), and came from out of Medan area (85,5%), and referall from Public Hospital District/City (51,8%). Based on the treatment, abdominal distension (56,4%), clinical presentation of abdominal distension, difficult to defecate, delayed passage of meconium (44,5%), test of barium enema (44,6%), medical management of no surgical (59,1%), no complications (80,0%), Jamkesmas (42,7%), the average length of stay 14 days, outpatient control (43,6%). There is a significant differentiation of proportion between age based on medical management (p=0,000), average length of stay based on medical management (p=0,000), medical management based on condition when go home (p=0,000), and average length of stay based on condition when go home (p=0,000). There is no significant differentiation of proportion between age based on sex, complications based on medical management, and average length of stay based on complications. Prognosis of Hirschsprung disease depends on early diagnosed ang surgery approach so that the parents should be given the understanding of the best medical treatment for this disease. Key words : Hirschsprung disease, characterictics of baby, RSUP H. Adam Malik Medan WHO (2010) memperkirakan bahwa sekitar 7% dari seluruh kematian bayi di dunia disebabkan oleh kelainan kongenital. Di Eropa, sekitar 25% kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital.2 Di Asia Tenggara kejadian kelainan kongenital mencapai 5% dari jumlah bayi yang lahir, sementara di Indonesia prevalansi kelainan kongenital mencapai 5 per 1.000 kelahiran hidup.3 Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mencatat salah satu penyebab kematian bayi adalah kelainan kongenital pada usia 0-6 hari sebesar 1% dan pada usia 7-28 hari sebesar 19%. 4
Pendahuluan Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Anak terutama bayi baru lahir merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan dan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat karena masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB). Angka kematian bayi dapat menjadi indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak karena merupakan cerminan dari status kesehatan anak saat ini.1 1
Menurut Departemen kesehatan RI, kelainan kongenital adalah kelainan yang terlihat pada saat lahir, bukan akibat proses persalinan.5 Sekitar 3% bayi baru lahir mempunyai kelainan kongenital. Meskipun angka ini termasuk rendah, akan tetapi kelainan ini dapat mengakibatkan angka kematian dan kesakitan yang tinggi. Angka kejadian kelainan kongenital akan menjadi 4-5% bila bayi diikuti terus sampai berumur 1 tahun.6,7 Penyakit Hirschsprung merupakan suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapat sel ganglion parasimpatik pada pleksus Auerbach di usus besar (kolon). Keadaan yang abnormal tersebut dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal.8 Penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Herald Hirschsprung pada tahun 1886. Hirschsprung mengemukakan dua kasus obstipasi sejak lahir yang dianggapnya disebabkan oleh dilatasi kolon. Sampai pada tahun 1930-an etiologi penyakit Hirschsprung belum diketahui dengan jelas. Penyebab sindrom tersebut dapat diketahui dengan jelas setelah Robertson dan Kernohan (1938), serta Tiffin, Chandler, dan Feber (1940) mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh karena adanya gangguan peristaltik usus dengan defisiensi ganglion usus pada usus bagian distal.9,10 Insidens penyakit Hirschsprung di dunia adalah 1 : 5.000 kelahiran hidup. Di Amerika dan Afrika dilaporkan penyakit Hirschsprung terjadi pada satu kasus setiap 5.400-7.200 kelahiran hidup.9 Di Eropa Utara, insidens penyakit ini adalah 1,5 dari 10.000 kelahiran hidup sedangkan di Asia tercatat sebesar 2,8 per 10.000 kelahiran hidup.11 Angka kematian penyakit Hirschsprung berkisar antara 1-10%. Penelitian Pini dkk. tahun 1993-2010 di Genoa, Italia mencatat ada 8 dari 313 penderita penyakit Hirschsprung yang meninggal (CFR= 2,56%).12 Penyakit Hirschsprung yang tidak segera ditangani atau diobati dapat menyebab-kan kematian sebesar 80% terutama akibat terjadinya enterokolitis dan perforasi usus. Penanganan penyakit Hirschsprung yang dilakukan lebih dini efektif menurunkan kejadian enterokolitis menjadi 30%.13
Hasil penelitian Sarioqlu dkk. tahun 1976-1993 di Ankara, Turki menunjukkan bahwa ada 302 orang yang menderita penyakit Hirschsprung.14 Kartono mencatat ada sekitar 40-60 pasien dengan penyakit Hirschsprung yang di rawat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta setiap tahunnya.9 Sementara di RS Dr. Sardjito Yogyakarta oleh Rohadi dicatat ratarata terdapat 50 pasien menderita penyakit Hirschsprung setiap tahunnya.15 Irwan (2003) mencatat ada 163 kasus penyakit Hirschsprung dari enam provinsi yang diteliti yaitu Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi dan Bengkulu pada Januari 1997 sampai dengan Desember 2002.16 Perumusan Masalah Belum diketahuinya karakteristik bayi yang menderita penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui karakteristik bayi yang menderita penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui karakteristik bayi menderita penyakit Hirschsprung beradasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, daerah asal, dan asal rujukan) b. Mengetahui karakteristik bayi menderita penyakit Hircshprung berdasarkan status rawatan (keluhan utama,gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis, komplikasi, sumber biaya, lama rawatan rata-rata, dan keadaan sewaktu pulang) c. Mengetahui distribusi proporsi umur bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan jenis kelamin. d. Mengetahui distribusi proporsi umur bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan penatalaksanaan medis. e. Mengetahui distribusi proporsi lama rawatan rata-rata bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan penatalaksanaan medis. f. Mengetahui distribusi proporsi komplikasi pada bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan penatalaksanaan medis.
2
g. Mengetahui lama rawatan rata-rata bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan komplikasi. h. Mengetahui distribusi proporsi penatalaksanaan medis pada bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan keadaan sewaktu pulang. i. Mengetahui distribusi proporsi keadaan sewaktu pulang bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan komplikasi. j. Mengetahui distribusi proporsi lama rawatan rata-rata bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan keadaan sewaktu pulang.
sosiodemografi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Distribusi Proporsi Karakteristik Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Sosiodemografi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Sosiodemografi f % Umur (Tahun) 0-28 hari 66 60,0 >28 hari-1 tahun 44 40,0 Jumlah 110 100,0 Jenis Kelamin Laki-laki 80 72,7 Perempuan 30 27,3 Jumlah 110 100,0 Daerah Asal Kota Medan 16 14,5 Luar Kota Medan 94 85,5 Jumlah 110 100,0 Asal rujukan Rumah Sakit Umum 57 51,8 Kabupaten/Kota Rumah Sakit Swasta 28 25,5 Kabupaten/Kota Dokter Praktik Umum dan 5 4,5 Spesialis Langsung/Tidak Dirujuk 20 18,2 Jumlah 110 100,0
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : a. Sebagai masukan bagi pihak RSUP H. Adam Malik Kota Medan dalam upaya meningkatkan pelayanannya, khususnya pada penanggulangan bayi yang menderita penyakit Hirschsprung. b. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dan untuk menambah wawasan dan penerapan ilmu yang telah didapat selama mengikuti perkuliahan di FKM USU Medan. c. Sebagai bahan masukan atau referensi bagi peneliti selanjutnya.
Dari tabel 1.dapat dilihat bahwa proporsi umur bayi lebih besar adalah pada kelompok umur 0-28 hari 60,0% sedangkan pada kelompok umur >28 hari-1 tahun sebesar 40,0%. Penyakit Hirschsprung merupakan penyebab terbanyak obstruksi kolon pada neonatal (0-28 hari).17 Proporsi jenis kelamin lebih besar adalah laki-laki yaitu sebesar 72,7% sedangkan perempuan sebesar 27,3%. Penyakit Hirschsprung terjadi empat kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan.18 Proporsi daerah asal lebih besar adalah luar Kota Medan 85,5% sedangkan Kota Medan 14,5%. Banyaknya penderita yang berasal dari luar Kota Medan kemungkinan disebabkan fungsi RSUP H. Adam Malik Medan sebagai pusat rujukan kesehatan untuk wilayah Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darusssalam, Sumatera Barat, dan Riau. Proporsi asal rujukan tertinggi adalah rumah sakit kabupaten/kota 51,8% dan terendah dokter praktik umum dan spesialis 4,5%. Asal rujukan Rumah Sakit Umum Kabupaten/Kota merupakan asal rujukan tertinggi kemungkinan disebabkan karena
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini berlokasi di RSUP H. Adam Malik Kota Medan. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Maret 2013 sampai dengan September 2013. Populasi penelitian adalah seluruh data bayi yang menderita penyakit Hirschsprung yang tercatat di rekam medik RSUP H. Adam Malik Kota Medan tahun 2010-2012 sebanyak 110 orang. Besar sampel sama dengan besar populasi (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dianalisa dengan uji Chi-Square,Mann-Whitney, dan uji Kruskal-Wallis. Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi karakteristik bayi menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan 3
masyarakat berasumsi rumah sakit umum menerima lebih banyak jenis pembayaran yang akan memudahkan pasien dalam hal biaya. Distribusi proporsi bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan status rawatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Ada komplikasi Tidak ada komplikasi Jumlah Ada Komplikasi Sepsis Stenosis Enterokolitis Jumlah Sumber Biaya Biaya sendiri ASKES Jamkesmas JPKMS Jampersal JKA SKTM Jumlah Keadaan Sewaktu Pulang Pulang Berobat Jalan (PBJ) Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) Meninggal Jumlah
Tabel 2. Distribusi Proporsi Karakteristik Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Status Rawatan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Status Rawatan f % Keluhan Utama Perut kembung 12 10,9 Perut membesar 62 56,4 Sulit/tidak bisa BAB 25 22,7 Muntah 11 10,0 Jumlah 110 100,0 Gambaran klinis Distensi abdomen, tidak/sulit 49 44,5 BAB, keterlambatan mekonium Distensi abdomen, tidak/sulit 29 26,4 BAB, muntah Distensi abdomen, 4 3,6 keterlambatan mekonium, BAB Distensi abdomen, BAB, 16 14,6 muntah Distensi abdomen, muntah, 12 10,9 keterlambatan mekonium Jumlah 110 100,0 Pemeriksaan Penunjang Melakukan pemeriksaan 94 85,5 penunjang Tidak melakukan pemeriksaan 16 14,5 penunjang Jumlah 110 100,0 Jenis Pemeriksaan Penunjang Foto polos abdomen 16 17,0 Enema barium 21 22,3 Patologi anatomi 1 1,1 Foto polos abdomen + enema 18 19,1 barium Enema barium + retensi 16 17,0 barium Enema barium + patologi 2 2,1 anatomi Foto polos abdomen + enema 19 20,2 barium + retensi barium Enema barium + retensi 1 1,1 barium + patologi anatomi Jumlah 94 100,0 Penatalaksanaan Medis Tidak diterapi 65 59,1 Bedah 45 40,9 Jumlah 110 100,0 Komplikasi
22 88 110
20,0 80,0 100,0
17 2 3 22
77,3 9,1 13,6 100,0
17 3 47 8 6 2 27 110
15,5 2,7 42,7 7,3 5,5 1,8 24,5 100,0
53 33
48,2 30,0
24 110
21,8 100,0
Dari tabel 2.dapat dilihat bahwa proporsi keluhan utama tertinggi adalah perut membesar 56,4% dan terendah muntah 10,0%. Penyakit Hirschsprung terjadi akibat kegagalan sel-sel neuroblas bermigrasi ke dinding usus sehingga menyebabkan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatis otonom pada pleksus submukosa (Meissner) dan myenterik(Auerbach). Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna dapat mengakibatkan peristaltik abnormal pada kolon (usus besar) sehingga proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megakolon yang dapat membuat perut bayi membesar.9,10 Proporsi gambaran klinis tertinggi adalah distensi abdomen, tidak/sulit BAB, keterlambatan mekonium 44,5% dan terendah distensi abdomen, keterlambatan mekonium, BAB 3,6%. Bayi secara normal akan mengeluarkan mekonium (feses pertama bayi yang baru lahir) dalam usia 24-48 jam pertama. Namun, pada bayi dengan penyakit Hirschsprung hal ini tidak terjadi karena tidak adanya sel-sel ganglion pada usus yang berfungsi mengatur kontraksi dan relaksasi pada usus. Hal ini pulalah yang menyebabkan bayi dengan penyakit Hirschsprung kerap mengalami konstipasi atau sulit bahkan tidak dapat BAB (Buang Air Besar). Motilitas yang abnormal pada usus membuat feses tertahan di dalam 4
kolon tanpa dapat dilakukan evakuasi feses secara spontan. Kegagalan mengeluarkan feses tersebut juga mengakibatkan terjadinya dilatasi proksimal dan distensi abdomen (perut membesar).19,20 Proporsi bayi melakukan pemeriksasaan penunjang lebih besar adalah yang melakukan pemeriksaan penunjang 85,5% sedangkan yang tidak melakukan pemeriksaan penunjang 14,5%. Proporsi jenis pemeriksaan penunjang tertinggi adalah pemeriksaan radiologi (enema barium) 22,3% dan terendah pemeriksaan patologi anatomi 1,1%. Pemeriksaan foto polos abdomen dan enema barium merupakan pemeriksaan diagnotik terpenting untuk mendeteksi penyakit Hirschsprung secara dini pada penderita penyakit Hirschsprung.9 Pemeriksaan enema barium merupakan pemeriksaan standart dalam menegakkan penyakit Hirschsprung. Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.15 Proporsi penatalaksanaan medis lebih besar yaitu bayi yang tidak diterapi 59,1% dibandingkan bedah 40,9%. Tindakan yang dilakukan pada bayi tidak diterapi berupa pemberian obat-obatan seperti antibiotik dan pemasangan infus untuk mencegah terjadinya komplikasi dan menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh. 9,21 Proporsi bayi yang menderita penyakit Hirschsprung lebih besar tidak mengalami komplikasi 80,0% sedangkan ada komplikasi 20,0%. Komplikasi yang dialami diantaranya 17 orang mengalami sepsis (77,3%), 2 orang stenosis (9,1%), dan 3 orang enterokolitis (13,6%). Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman dan kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus ke mukosa, submukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis.9
Proporsi sumber biaya tertinggi yaitu jamkesmas 42,7% dan terendah JKA 1,8%. Berdasarkan hasil penelitian Golberg di Baltimore City and County, dikatakan bahwa tidak ada ditemukan hubungan antara kejadian penyakit Hirschsprung dengan kondisi sosialekonomi keluarga.22 Proporsi bayi yang menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah PBJ (Pulang Berobat Jalan) 48,2% dan terendah meninggal 21,8%. CFR (Case Fatality Rate) bayi yang menderita penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2012 adalah 21,8%. Tingginya angka kematian bayi akibat penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik kemungkinan disebabkan karena terlambatnya penanganan atau pengobatan yang dilakukan. Hal ini dapat terjadi karena mayoritas bayi adalah pasien rujukan dari luar Kota Medan. Kondisi bayi yang datang ke RSUP H. Adam Malik sudah dalam keadaan buruk seperti pucat, daya hisap lemah, mengalami dehidrasi, demam, dan sesak nafas. Lama rawatan rata-rata bayi yang menderita penyakit Hirschsprung dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Lama Rawatan Rata-rata Bayi Menderita Penyakit Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Lama Rawatan Rata-rata (hari) Mean 13,56 Standard deviation 11,90 95% CI 11,31 – 15,81 Min 1 Max 62
Dari tabel 3. dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita adalah 13,56 hari (14 hari) dengan Standard Deviasi (SD) 11,90 hari. Lama rawatan paling singkat adalah 1 hari dan paling lama adalah 62 hari. Berdasarkan 95% Confidence Interval diperoleh lama rawatan rata-rata 11,31– 15,81 hari. Analisa Statistik Proporsi umur bayi berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
5
Distribusi Proporsi Umur Bayi Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Umur Bayi Jumlah Jenis 0-28 >28hariKelamin hari 1 tahun f % f % f % Laki-laki 46 57,5 34 42,5 80 100,0 Perempuan 20 66,7 10 33,3 30 100,0 p=0,382
tindakan bedah biasanya dilakukan pada saat umur bayi 3 bulan – 1 tahun.24 Distribusi lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.
Tabel 6. Lama Rawatan Rata-rata Bayi Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Lama Rawatan RataPenatalaksanaan rata Medis f Mean SD Tidak diterapi 65 8,02 8,247 Bedah 45 21,58 11,879 p=0,000
Dari tabel 4. dapat dilihat bahwa dari 80 bayi berjenis kelamin laki-laki terdapat 46 orang (57,5%) berumur 0-28 hari dan 34 orang (42,5%) >28 hari-1 tahun. Dari 30 bayi berjenis kelamin perempuan terdapat 20 orang (66,7%) berumur 0-28 hari dan 10 orang (33,3%) >28 hari- 1 tahun. Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p>0,05 yang artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur bayi berdasarkan jenis kelamin. Distribusi umur bayi berdasarkan penatalaksanaan medis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Dari tabel 6. dapat dilihat bahwa terdapat 65 bayi yang tidak diterapi dengan lama rawatan rata-rata 8,02 (8 hari) dan SD= 8,247. Terdapat 45 bayi yang dibedah dengan lama rawatan rata-rata 21,58 (22 hari) dan SD=11,879. Hasil uji Mann-Whitney diperoleh nilai p<0,05. Hal ini berarti ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis. Penatalaksanaan medis bedah memiliki lama rawatan rata-rata yang lebih lama kemungkinan disebabkan karena persiapanpersiapan yang dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah seperti proses administrasi, terapi medis untuk menunjang kondisi tubuh bayi, serta konseling dengan orang tua bayi mengenai segala kemungkinan yang akan terjadi pada tindak pembedahan. Distribusi komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. Distribusi Proporsi Umur Bayi Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Umur Bayi Penatalak Jumlah 0-28 >28harisanaan hari 1 tahun Medis f % f % f % Tidak 52 80,0 13 20,0 65 100,0 diterapi Bedah 14 31,1 31 68,9 45 100,0 p=0,000
Dari tabel 5. dapat dilihat bahwa dari 65 bayi yang tidak diterapi, terdapat 52 orang (80,0%) berumur 0-28 hari dan 13 orang (20,0%) >28 hari- 1 tahun. Dari 45 bayi yang dibedah, terdapat 14 orang (31,1%) berumur 0-28 hari dan 31 orang (68,9%) >28 hari-1 tahun. Hasil analisis statistik dengan uji Chisquare diperoleh nilai p<0,05 yang artinya ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur bayi berdasarkan penatalaksanaan medis. Penatalaksanaan medis khusus untuk penyakit Hirschsprung ditentukan oleh dokter yang menangani bayi tersebut berdasarkan besarnya masalah yang terjadi, umur dari bayi, kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta toleransi terhadap obat-obatan tertentu.23 Haricharan dkk. mengatakan bahwa bahwa
Tabel 7. Distribusi Proporsi Komplikasi Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Komplikasi Penata Ada Jumlah Tidak ada laksanaan Kompli komplikasi Medis kasi f % f % f % Tidak 16 24,6 49 75,4 65 100,0 diterapi Bedah 6 13,3 39 86,7 45 100,0 p=0,146
Dari tabel 7. dapat dilihat bahwa dari 65 bayi yang tidak diterapi, terdapat 16 orang (24,6%) yang mengalami komplikasi dan 49 orang (75,4%) tidak mengalami komplikasi. Dari 45 bayi yang dibedah, terdapat 6 orang 6
(13,3%) mengalami komplikasi dan 39 orang (86,7%) tidak mengalami komplikasi. Hasil analisis statistik dengan uji Chisquare diperoleh nilai p>0,05 yang artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis. Distribusi proporsi lama rawatan ratarata berdasarkan komplikasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
yang tidak diterapi dan 2 orang (8,3%) yang dibedah. Hasil analisis statistik dengan uji Chisquare diperoleh nilai p<0,05 yang artinya ada perbedaan proporsi yang bermakna antara penatalaksanaan medis berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Keberhasilan pengobatan bayi dengan penyakit Hirschsprung tergantung diagnosis dan pengobatan dini. Penyakit Hirschsprung dapat ditangani dengan melakukan operasi/ tindak bedah. Secara umum, 90% pasien yang menderita penyakit Hirschsprung memiliki prognosis yang baik apabila mendapat tindak pembedahan.25 CFR berdasarkan penatalaksanaan medis lebih besar pada bayi yang tidak diterapi 33,8% sedangkan bayi yang dibedah 4,4%. Bayi yang meninggal karena tidak diterapi tetapi tidak mengalami komplikasi ada 10 orang (CFR=20,4%). Namun, tidak ada satu orang bayi pun yang meninggal setelah mendapat tindak pembedahan serta tidak mengalami komplikasi. Bayi yang meninggal karena tidak diterapi serta mengalami komplikasi ada 12 orang (CFR=75,0%). Sedangkan bayi yang meninggal setelah mendapat tindakan bedah karena mengalami komplikasi ada 2 orang (CFR=33,3%). Distribusi proporsi keadaan sewaktu pulang berdasarkan komplikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 8. Lama Rawatan Rata-rata Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Lama Rawatan Ratarata Komplikasi f Mean SD Ada komplikasi 22 15,05 15,990 Tidak ada komplikasi 88 13,19 10,734 p=0,946
Dari tabel 8.dapat dilihat bahwa terdapat 22 bayi yang mengalami komplikasi dengan lama rawatan rata-rata 15,05 hari (15 hari) dan SD=15,990. Terdapat 88 bayi yang tidak mengalami komplikasi dengan lama rawatan rata-rata 13,19 hari (13 hari) dan SD=10,734. Berdasarkan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p>0,05, hal ini berarti tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan komplikasi. Distribusi proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 9.
Distribusi Proporsi Penatalaksanaan Medis Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Penatalaksanaan Medis Keadaan Jumlah Tidak Sewaktu Bedah diterapi Pulang f % f % f % PBJ 16 30,2 37 69,8 53 100,0 PAPS 27 81,8 6 18,2 33 100,0 Meninggal 22 91,7 2 8,3 24 100,0 p=0,000
Tabel 10.
Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Pulang Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Keadaan Sewaktu Pulang Jumlah Mening Komplikasi PBJ PAPS gal f % f % f % f % Sepsis 1 5,9 3 17,6 13 76,5 17 100,0 Stenosis 2 100,0 0 0,0 0 0,0 2 100,0 Enterokolitis 1 33,3 1 33,3 1 33,3 3 100,0
Dari table 9. dapat dilihat bahwa dari 53 bayi yang pulang berobat jalan (PBJ), terdapat 16 orang (30,2%) yang tidak diterapi dan 37 orang (69,8%) dibedah. Dari 33 bayi yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS), terdapat 27 orang (81,8%) yang tidak diterapi dan 6 orang (18,2%) dibedah. Dari 24 bayi yang meninggal, terdapat 22 orang (91,7%)
Dari tabel 10. dapat dilihat bahwa 17 bayi yang mengalami sepsis, terdapat 1 orang (5,9%) yang pulang berobat jalan (PBJ), 3 orang (17,6) pulang atas permintaan sendiri (PAPS), dan 13 orang (76,5) yang meninggal. Dari 2 orang bayi yang mengalami stenosis, semuanya (100,0%) PBJ. Dari 3 bayi yang 7
mengalami enterokolitis, terdapat 1 orang (33,3%) PBJ, 1 orang PAPS (33,3%), dan 1 orang (33,3%) yang meninggal. CFR berdasarkan komplikasi lebih besar pada bayi yang mengalami komplikasi 63,6% sedangkan bayi tidak mengalami komplikasi 11,4%. CFR bayi dengan komplikasi sepsis adalah 76,5%, stenosis 0%, dan enterokolitis 33,3%. Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 8 sel (88,9%) yang memiliki nilai expected count kurang dari 5. Distribusi proporsi lama rawatan ratarata berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Berdasarkan sosiodemografi, proporsi tertinggi pada kelompok umur 0-28 hari 60,0%, jenis kelamin laki-laki 72,7%, daerah asal luar Kota Medan 85,5%, dan asal rujukan Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota/Kabupaten 51,8%. b. Berdasarkan status rawatan tertinggi yaitu keluhan utama perut membesar 56,4%, gambaran klinis berupa distensi abdomen, tidak/sulit BAB, keterlambatan mekonium 44,5%, melakukan pemeriksaan penunjang 85,5%, pemeriksaan enema barium 44,6%, penatalaksanaan medis non-bedah 59,1%, tidak ada komplikasi 80,0%, sumber biaya jamkesmas 42,7%, PBJ 48,2%. c. Lama rawatan rata-rata penderita adalah 13,56 hari (14 hari) dengan 95% CI diperoleh lama rawatan rata-rata 11,3115,81, SD=11,90 hari dengan rawatan paling singkat 1 hari dan paling lama 62 hari. d. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara proporsi umur bayi berdasarkan jenis kelamin (p=0,382). e. Terdapat perbedaan yang bermakna antara proporsi umur bayi berdasarkan penatalaksanaan medis (p=0,000). f. Terdapat perbedaan bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan penatalaksanaan medis (8,02 : 21,58 ; p=0,000). g. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara komplikasi berdasarkan penatalaksanaan medis (p=0,146). h. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara lama rawatan berdasarkan komplikasi (15,05 : 13,19 ; p=0,946) i. Terdapat perbedaan proporsi bermakna antara penatalaksanaan medis berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p=0,000) j. Analisa statistik dengan menggunakan uji chi-square untuk melihat proporsi keadaan sewaktu pulang berdasarkan komplikasi tidak dapat dilakukan karena terdapat sel dengan expected count < 5. k. Terdapat perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang (17,89 :8,82 :10,54; p=0,000)
Tabel 11.
Lama Rawatan Rata-rata Bayi yang Menderita Penyakit Hirschsprung Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012 Lama Rawatan Rata-rata Keadaan Sewaktu Pulang f Mean SD PBJ 53 17,89 10,606 PAPS 33 8,82 6,807 Meninggal 24 10,54 16,376 χ2= 28,081 df= 2 p=0,000
Dari tabel 10. dapat dilihat bahwa terdapat 53 bayi yang pulang berobat jalan (PBJ) dengan lama rawatan rata-rata 17,89 hari (18 hari) dan SD=10,606. Terdapat 33 bayi yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) dengan lama rawatan rata-rata 8,82 hari (9 hari) dan SD=6,807. Terdapat 24 bayi yang meninggal dengan lama rawatan rata-rata 10,54 (11 hari). Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis diperoleh nilai p<0,05 artinya ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Bayi yang PBJ merupakan bayi yang tetap dirawat di rumah sakit sampai dokter yang merawat bayi tersebut menyatakan bahwa kondisi bayi sudah cukup baik untuk dilakukan perawatan di rumah. Sedangkan bayi yang pulang atas permintaan sendiri memiliki lama rawatan rata-rata tersingkat karena orang tua lebih memilih untuk merawat anaknya sendiri atau mencari pengobatan di luar RSUP H. Adam Malik.
8
7. Effendi, S.H. dan Indrasanto, E. 2008.
2. Saran a. Kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan untuk meningkatkan pelayanan dan manajemen khususnya untuk pelayanan medis bagi bayi yang menderita penyakit Hirschsprung sehingga dapat mengurangi tingginya angka kematian. b. Diharapkan kepada dokter dan perawat di RSUP H. Adam Malik Medan agar memberikan pemahaman kepada keluarga dengan bayi yang menderita penyakit Hirschsprung tentang gejala, tanda, serta penanganan penyakit tersebut agar dapat mengurangi jumlah bayi yang pulang atas permintaan sendiri dan mencegah terjadinya komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. c. Konseling genetik dapat diberikan kepada pasangan yang memiliki riwayat anak yang menderita penyakit Hirschsprung
Buku Ajar Neonatologi. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia 8. Milla,P.J.,2006.Penyakit
Hirschsprung dan Neuropati Lain. Dalam : Buku Pediatri Rudolph Volume 2. Edisi 20. EGC. Jakarta
9. Kartono,D.,2010.Penyakit Hirschsprung.
Cetakan Kedua. Sagung Seto. Jakarta 10. Behrman, R. E. dan William T. S., 1995.
Penyakit Hirschsprung. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Cetakan Ketiga. EGC. Jakarta 11. Parisi, M. A. 2010. Hirschsprung Disease
Overview. National Institutes of Health. Maryland. http:// www. ncbi . nlm. nih. gov/ books/NBK1439/# hirschsprung-ov.REF.parisi.2000.610. Diakses pada tanggal 21 April 2013
Daftar Pustaka 1. Alimul, A.A.,2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Salemba Medika. Jakarta
12. Pini, P.A. dan dkk., 2011. Hirschsprung's
apps.who.Int/gb /ebwha / pdf_files/ WHA 63/ A63 10-en. pdf. Diakses pada tanggal 2 April 2013
disease:what about mortality?Pediatr SurgInt.2011May;27(5):473-8.Doi: 10.1007/s00383-010-2848-2. Diakses pada tanggal 14 Juni 2013
3. WHO. 2010. Preventionand Control of
13. Greene, E. 2010. Hirschsprung Disease
2. WHO. 2010. Birth Defect. Geneva. http://
Birth Defectsin South-East Asia Region. India. http://203.90.70. 117/PDS_DOCS/B4941.pdf. Diakses pada tanggal 02 April 2013
:A Personal Perspective. www spri nger.com/cda/content/.../cda.../978354 0339342-c1.pdf. Diakses pada tanggal 21 April 2013
4. Wijaya, A.M.,2012. Kondisi Angka Ke-
14. Sarioqlu, A. dkk. 1997. Clinical risk
factors of Hirschsprung-associated enterocolitis. Turk J Pediatr.1997 JanMar;39(1):81-9. Diakses pada tanggal 14 Juni 2013
matian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKBAL) Angka Kematian Ibu (AKI), dan Penyebabnya di Indonesia. http:// www. info dok terku.com. Diakses pada tanggal 02 April 2013
15. Kedokteran
UGM. 2010. Megacolon Congenital/Hirschsprung Disease. http://dokterugm.wordpress.com/ 2010/04/27/megacolon-congenitalhirschprung-disease/. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013
5. Depkes RI. 2010. Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Neonatal. Jakarta 6. Markum, A. H., 2002. Ilmu Kesehatan
16. Irwan, B.2003. Pengamatan Fungsi Ano-
Anak Jilid I. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
rektal pada Penderita Penyakit 9
25. Sani R., 2010. Hirschsprung Disease
Hirschsprung Pasca Operasi PullThrough. Tesis Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
(Megacolon Congenital). http:// sanirachman.blogspot.com/2009/10/ hirschprung-disease-megacolon. html. Diakses tanggal 23 Februari 2013
17. Schwartz,M.W., 2004. Clinical Handbook
of Pediatric. EGC. Jakarta 18. John Hopkins Medicine. 2012. Hirsch-
sprung Inheritance. http://www.Hop kinsmedicine.org/geneticmedicine/Cli nical_Resources/Hirschsprung/Inherit ance.html. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 19. American Pediatric Surgical Association.
2003. Hirschsprung’s Diseases. http: //www.pediatricsurgerymd.org. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2013. 20. The Hirschsprung’s & Motility Disorders
Support Network (HMDSN). 2009. Hirschsprung’s Diseases. http:// www.hirschsprungs.info/Information/ literature/HMDSN%20Hirschsprungs %20Booklet%20single.pdf. Diakses pada tanggal 15 Juni 2013. 21. Nasir, A. A, dkk., 2007. Hirschsprung’s
Disease: 8 years Experience in a Nigerian Teaching Hospital. J Indian Assoc Pediatr Surg/Apr-Jun 2007/ Vol 12 / Issue 2. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2013 22. Goldberg, E. L.,1984. An Epidemiological
Study of Hirschsprung's Disease. http://europepmc.org. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2013 23. Lucile Packard Children’s Hospital. 2013.
Hirschsprung’s Disease. http://www. lpch.org/DiseaseHealthInfo/HealthLi brary/digest/hirschpr.html.Diakses pada tanggal 25 Agustus 2013 24. Haricharan, R.N.dkk.,2008. Hirschsprung
Disease.http://www.sassit.co.za/ Journals/Paeds/HirschsprungSurg.Pdf Diakses tanggal 25 Agustus 2013.
10
PERBANDINGAN KUALITAS HIDUP LANJUT USIA YANG TINGGAL DI PANTI JOMPO DENGAN YANG TINGGAL DI RUMAH DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2013 Siti Fatimah Siregar1, Abdul Jalil Amri Arma2, Ria Masniari Lubis2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
ABSTRACT Advances in science and technology have an impact on improving the quality of life of the elderly and life expectancy, along with this, the number of elderly population has also increased. Efforts to improve the quality of life of the elderly in Indonesia could be through home care and aging institution services. The purpose of this study is determine differences in the quality of life (physical, psychological, social and environment domain) of the elderly who live in aging institution and staying at home. Study sample consisted of 38 elderly who lives in aging institution Warga Mas Titian Ridho Ilahi in Batang Angkola Tapanuli Selatan and 38 elderly who stay at home in district of Batang Angkola Pintupadang I Tapanuli Selatan. The statistical test used was the Mann Whitney test. Obtained no difference in physical quality (p=0,085) and environmental quality (0,0157) of elderly people living at aging institution and staying at home, there is a statistically significant difference in the quality of the psychology (p=0,029) and quality of social (p=0,032) of elderly people living at aging institution and staying at home, overall, there are differences in their quality between the elderly living at aging institution and staying at home (p = 0.027). Based on the results of this study are advised to continue to improve the services of psychology in the form of increased productivity, provide information to the elderly and access to health services, especially in the elderly living at aging institution. Keywords : quality of life, the elderly, aging institution
PENDAHULUAN Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), terutama di bidang kedokteran, seperti penemuan antibiotika yang mampu melenyapkan berbagai penyakit infeksi, sehingga berhasil menurunkan angka kematian bayi dan anak, dan memperlambat kematian, perbaikan gizi dan sanitasi menyebabkan kualitas lansia dan umur harapan hidup meningkat. Akibatnya, jumlah penduduk lanjut usia semakin bertambah banyak (Nugroho, 2008). Ketika seseorang sudah mencapai usia tua dimana tubuhnya tidak dapat lagi berfungsi dengan baik maka lansia membutuhkan banyak bantuan dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Kualitas hidup lansia terus menurun seiring dengan semakin bertambahnya usia. Penurunan kapasitas mental, perubahan peran sosial, dementia (kepikunan), juga depresi yang sering diderita oleh lansia ikut memperburuk kondisi mereka. Belum lagi berbagai penyakit degeneratif yang menyertai keadaan lansia membuat mereka memerlukan perhatian ekstra dari orang disekelilingnya. Merawat lansia tidak hanya terbatas pada perawatan kesehatan fisik saja namun juga pada faktor psikologis dan sosiologis (Raudhah, 2012). World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) membagi kualitas hidup dalam enam domain yaitu fisik, psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, lingkungan dan spiritual, agama atau kepercayaan seseorang. Sedangkan World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-BREF membagi kualitas hidup dalam empat domain yaitu fisik,
psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Panti jompo merupakan suatu institusi hunian bersama dari para lansia yang secara fisik/kesehatan masih mandiri, akan tetapi (terutama) mempunyai keterbatasan di bidang sosial-ekonomi (Darmodjo, 1999). Menurut Demartoto (2007) yang dikutip oleh Setyoadi dkk (2011) pelayanan lansia meliputi pelayanan yang berbasiskan pada keluarga, masyarakat dan lembaga. Pelayanan berbasis keluarga dan masyarakat cenderung sulit dipisahkan, sehingga terdapat pengelompokan secara umum terhadap lansia, yaitu lansia dengan pelayanan panti dan lansia dengan pelayanan komunitas (non panti). World Population Data Sheet yang dilansir Population Reference Bureau (PRB) memperkirakan bahwa penduduk lansia di dunia yang berusia 65 tahun ke atas pada tahun 2012 mencapai 8% dari 7 milyar penduduk dunia atau berjumlah sekitar 564 juta jiwa. Sebanyak 53% dari seluruh penduduk lansia dunia itu berada di Asia (BkkbN, 2012). Di Indonesia berdasarkan data statistik Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2005 jumlah pendduduk sebanyak 213.375.287 orang dengan penduduk lansianya sebanyak 15.537.710 orang. Sementara pada tahun 2010 berdasarkan data sensus penduduk yang diselenggarakan BPS penduduk diseluruh wilayah Indonesia sebanyak 237.641.326 orang dengan jumlah lansia sebanyak 18.118.699 orang (BPS, 2010). Di Kabupaten Tapanuli Selatan tercatat jumlah penduduk sebanyak 266.282 orang dengan jumlah lansia sebanyak 16.291 orang dimana laki-
laki sebanyak 6.461 orang dan perempuan sebanyak 9.830 orang (BPS, 2010). Kecamatan Batang Angkola salah satu dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki luas 473,03 km2 terdapat 6 kelurahan terdiri dari 7.737 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 32.395 orang, laki-laki sebanyak 15.779 orang dan perempuan sebanyak 16.616 orang (Tapanuli Selatan Dalam Angka, 2012). Di kecamatan ini ada lansia yang tinggal bersama keluarga di komunitas (desa/kelurahan) dan ada juga lansia yang tinggal di panti jompo. Panti Jompo Warga Mas Titian Ridho Ilahi adalah panti jompo yang ada di Kecamatan Batang Angkola. Lokasinya mudah dijangkau dan tidak sulit terletak di pinggir jalan lintas Sumatera, tepatnya di Jln. Mandailing Natal Km. 13 Desa Huta Holbung Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan. Jumlah lansia yang ada di Panti Jompo Warga Mas Titian Ridho Ilahi sebanyak 38 orang, terdiri dari 36 orang lansia wanita dan 2 orang lansia laki-laki. Di Panti Jompo ini pengurus menerima lanjut usia dengan usia 60 tahun ke atas, dengan kondisi fisik yang baik, tidak dalam kondisi sakit berat (misalnya penyakit jantung). Pengakuan lansia pada saat survei awal menuturkan banyak perubahan yang terjadi pada mereka setelah tinggal di panti jompo, seperti status kesehatannya secara fisik, interaksi social dan lingkungannya, psikologisnya dan status keagamaannya. Usia termuda adalah 60 tahun dan usia tertua adalah 88 tahun.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah di Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah, Mengetahui kualitas kesehatan fisik lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah, Mengetahui kualitas psikologis lansia yang tinggal dipanti jompo dan yang tinggal di rumah, Mengetahui kualitas sosial lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah, Mengetahui kualitas lingkungan lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah. Adapun manfaat penelitian ini adalah diketahuinya domain kualitas hidup lansia yang mana (fisik, psikologi, sosial, dan lingkungan) yang rendah score nya sehingga masih perlu ditingkatkan pelayanannya dan sebagai bahan masukan bagi panti jompo dan pemerintah setempat tentang kualitas hidup lansia jika di lihat dari keempat domain tersebut dan sebagai bahan informasi bagi penelitian selanjutnya tentang kualitas hidup lansia. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah descriptive analytic comparative dengan pendekatan desain cross sectional yang bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan kualitas fisik, kualitas psikologi, kualitas sosial, dan kualitas lingkungan lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah.
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh lansia yang tinggal di panti jompo Warga Mas Titian Ridho Ilahi Kabupaten Tapanuli Selatan sebanyak 38 orang dan yang tinggal di komunitas yaitu seluruh lansia yang ada di kelurahan Pintupadang I Kecamatan Batang Angkola sebanyak 65 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner dengan berpedoman kepada tinjauan pustaka dan kerangka konsep. Pada bagian pertama dari instrumen penelitian berisi karakteristik lansia yang meliputi umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan sebelumnya, status perkawinan dan masalah kesehatan yang dialami. Instrumen kedua berisi kuesioner kualitas hidup dari World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL) – BREF yang terdiri dari 26 pertanyaan. Untuk menilai (WHOQOL) – BREF, maka ada empat domain yang digabungkan yaitu domain fisik, psikologi, hubungan sosial, dan lingkungan. Semua pertanyaan berdasarkan pada skala Likert lima poin (1-5) yang fokus pada intensitas, kapasitas, frekuensi dan evaluasi. Skala respon intensitas mengacu kepada tingkatan dimana status atau situasi yang dialami individu. Skala respon kapasitas mengacu pada kapasitas perasaan, situasi atau tingkah laku. Skala respon frekuensi mengacu pada angka, frekuensi, atau kecepatan dari situasi atau tingkah laku. Skala respon evaluasi mengacu pada taksiran situasi dari situasi, kapasitas atau tingkah laku.
Hasil ukur dari tiap variabel kualitas hidup apabila hasil total score dari kuesioner tinggi maka kualitas hidupnya tinggi sedangkan apabila hasil total score dari kuesioner rendah. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur No
Umur
Panti n
Rumah
(%)
n
(%)
1.
60 – 64 tahun
2
5,26
4
10,53
2.
65 – 69 tahun
6
15,79
13
34,21
3.
70 – 74 tahun
14
36,84
8
21,05
4.
75 – 79 tahun
9
23,68
4
10,53
5.
80 – 84 tahun
3
7,89
6
15,79
6.
85 – 89 tahun
4
10,53
2
5,26
7.
90 – 94 tahun
-
-
1
2,63
Jumlah
38
100,0
38
100,0
Responden di panti jompo yang paling banyak terdapat pada kelompok umur 70 - 74 tahun (36,84%) dan responden yang tinggal di rumah paling banyak terdapat pada kelompok umur 65-69 tahun (34,21%). Tabel 2. Distribusi Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin No
Jenis Kelamin
Panti
Responden
Rumah
n
(%)
n
(%)
94,7
1.
Perempuan
36
94,7
36
2.
Laki-laki
2
5,3
2
5,3
Jumlah
38
100,0
38
100,0
Responden laki-laki yang di panti sebanyak 2 orang (5,3%) dan
perempuan 36 orang (94,7), sedangkan responden yang tinggal di rumah terdapat 2 orang laki-laki (5,3%) dan 36 orang (94,7%) perempuan. Tabel 3. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Suku No
Suku
Panti n
Tabel 5. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Perkawinan
Rumah
(%)
n
terdapat 12 orang (31,6%) sebagai Petani, 21 orang (55,3%) tidak bekerja, 2 orang (5,3%) sebagai Buruh/Karyawan, 2 orang (5,3%) sebagai PNS dan 1 orang (2,6%) Peg.Swasta.
(%) N o
1.
Batak
36
94,7
37
97,4
2.
Jawa
-
-
1
2,6
3.
Minang
1
2,6
-
-
1.
4.
Melayu
1
2,6
-
-
5.
dll
-
-
-
-
38
100,0
38
100,0
Jumlah
Perkawina n
Panti
Rumah
n
(%)
n
(%)
Janda
35
92,1
29
76,3
2.
Duda
2
5,3
2
5,3
3.
Menikah
1
2,6
7
18,4
Jumlah
38
100,0
38
100,0
Responden yang tinggal di panti terdapat 36 orang (94,7%) suku Batak, 1 orang (2,6%) suku Minang dan 1 orang (2,6%) suku melayu. Responden yang tinggal di rumah terdapat 37 orang (97,4%) suku Batak dan 1 orang (2,6%) suku Jawa.
Responden yang tinggal di panti paling banyak Janda 35 orang (92,1%) dan duda 1 orang (5,3%), sedangkan responden yang tinggal di rumah janda sebanyak 29 orang (76,3%) , duda sebanyak 2 orang (5,3%) dan yang menikah sebanyak 7 orang (18,4%).
Tabel 4. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Sebelumnya
Tabel 6. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Masalah Kesehatan
N o
N o
Pekerjaan
Panti
Rumah
n
(%)
n
(%)
Masalah Kesehatan
Panti
Rumah
n
(%)
n
(%)
42,1
17
44,7
1.
Petani
30
78,9
12
31,6
1.
Rematik
16
2.
5
13,2
21
55,3
2.
Hipertensi
11
28,9
14
36,8
3
7,9
2
5,3
3.
15,8
3
7,9
-
-
2
5,3
4.
4
10,5
2
5,3
5.
Peg. Swasta
-
-
1
2,6
1
2,6
2
5,3
Jumlah
38
100,0
38
100,0
Gangguan Penglihatan Gangguan Pendengara n Diabetes Melitus
6
4.
Tidak Bekerja Buruh/kary awan PNS
38
100,0
38
100,0
3.
5.
Jumlah
Responden di panti terdapat 30 orang (78,9%) yang pekerjaan sebelumnya Petani, 5 orang (13,2%) tidak bekerja dan 3 orang (7,9%) sebagai buruh/karyawan, sedangkan responden yang tinggal dirumah
Responden yang tinggal di panti sebanyak 16 orang (42,1%) Rematik, 11 orang (28,9%) yang masalah kesehatannya Hipertensi, gangguan penglihatan sebanyak 6 orang (15,8%),
gangguan pendengaran sebanyak 4 orang (10,5%) dan Diabetes Mellitus sebanyak 1 orang (2,6%), sedangkan responden yang tinggal di rumah terdapat 17 orang (44,7%) Rematik, 14 orang (36,8%) Hipertensi, 3 orang (7,9%) gangguan penglihatan, 2 orang (5,3%) gangguan pendengaran dan 2 orang (5,3%) Diabetes Mellitus. Tabel 7. Hasil Uji Mann Whitney Kualitas Hidup Lansia No
1.
Variabel
Kualitas hidup
Panti
Rumah
n
n
mean rank
38
44,09
mean rank
38
32,91
p
Tabel 8. Hasil Uji Mann Whitney Berdasarkan Domain Fisik, Domain Psikologis, Domain Sosial dan Domain Lingkungan Lansia Variabel
Panti n
mean rank
Rumah n
Berdasarkan Psikologis
Dari tabel didapatkan kualitas psikologis lansia yang tinggal di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan p = 0,029. Artinya terdapat perbedaan kualitas psikologis lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah. Berdasarkan Sosial
0,027
Dilakukan uji Mann Whitney untuk melihat apakah ada perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa kualitas hidup lansia di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti p = 0,027. Artinya terdapat perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah.
N o
uji Mann Whitney menunjukkan p = 0,085. Artinya tidak terdapat perbedaan kualitas fisik yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah.
p
mean rank
1.
Fisik
38
34,20
38
42,80
0,085
2.
Psikologi
38
33,05
38
43,95
0,029
3.
Sosial
38
33,18
38
43,82
0,032
4.
Lingkunga n
38
34,97
38
42,03
0,157
Berdasarkan Kesehatan Fisik Dari tabel didapatkan kualitas fisik lansia yang tinggal di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hasil
Dari tabel didapatkan kualitas sosial lansia yang tinggal di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan p = 0,032. Artinya terdapat perbedaan kualitas sosial lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah. Berdasarkan Lingkungan
Dari tabel didapatkan kualitas lingkungan lansia yang tinggal di rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan p = 0,157. Artinya tidak terdapat perbedaan kualitas lingkungan lansia yang tinggal di panti jompo dan yang tinggal di rumah Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Panti dengan yang Tinggal di Rumah Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah. Ke empat domain (fisik, psikologis, sosial dan lingkungan) sangat memengaruhi kualitas hidup lansia. Setyoadi (2010) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kualitas hidup pada wanita lansia di komunitas dan panti.
Cahyawati (2009) menyatakan bahwa rata-rata skor makna hidup lansia yang tinggal bersama keluarga lebih tinggi daripada rata-rata makna hidup lansia yang tinggal di panti wredha, artinya makna hidup lansia yang tinggal bersama keluarga lebih tinggi dari lansia yang tinggal di panti wredha. Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Panti dengan yang Tinggal di Rumah Berdasarkan Domain Fisik Setyoadi (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kesehatan fisik yang dialami lansia ynag tinggal di panti dengan yang tinggal di rumah. Jenis pelayanan yang berbeda pada kedua kelompok responden tersebut tidak memberikan dampak yang jelas terhadap perbedaan kualitas kesehatan fisik lansia yang tinggal di panti dan yang tinggal di rumah. Kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan fisik lansia yang tinggal di rumah seperti posyandu lansia yang diadakan sekali sebulan oleh petugas puskesmas dan menggunakan pelayanan Rumah Sakit jika di perlukan, tidak menutup kemungkinan bagi lansia yang tinggal di panti jompo karena pemeriksaan kesehatan oleh petugas kesehatan pada lansia yang tinggal di panti dilakukan secara rutin sekali sebulan dan sewaktu-waktu jika diperlukan. Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Panti dengan yang Tinggal di Rumah Berdasarkan Domain Psikologis. Berdasarkan hasil dari setiap poin pertanyaan pada domain psikologis, terdapat perbedaan antara kualitas hidup psikologis lansia yang tinggal di
panti dengan yang tinggal di rumah. Psikologis lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada psikologis lansia yang tinggal di panti Lansia yang tinggal di rumah merasa hidupnya lebih berarti dan merasa aman karena mereka masih bisa berkumpul dengan keluarganya dan tetap menjadi bagian dari masyarakat. Dalam penelitian ini diperoleh adanya perbedaan kualitas hidup psikologis lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah. Kualitas hidup psikologis lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada kualitas hidup psikologis lansia yang tinggal di panti. Lansia yang tinggal di rumah masih bisa tetap aktif di dalam masyarakat dan tetap bisa beriteraksi dengan masyarakatmembuat dirinya lebih berarti dan lebih menikmati hidupnya. Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Panti dengan yang Tinggal di Rumah Berdasarkan Domain Sosial. Terdapat perbedaan kualitas hidup lansia ditinjau dari domain sosial pada lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah. Sesuai penelitian Elvinia (2006) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan hubungan sosial pada janda atau duda yang tinggal bersama keluarga dengan yang tinggal di panti wredha. Persamaan hubungan sosial antara kedua kelompok lansia tersebut dikarenakan oleh masing-masing tempat tinggal memberikan dukungan yang cukup kuat bagi lansia, baik dari keluarga sendiri aupun dari teman sebaya mereka. Lansia yang tinggal di panti lebih sering mendapat dukungan dari teman sebaya, selain itu mereka
juga mendapat kunjungan dari keluarganya. Sedangkan lansia ynag tinggal di rumah memiliki kedekatan yang baik dengan keluarga dimana keluarga merupakan sumber dukungan emosional mereka. Dukungan sosial yang di dapat oleh lansia dari berbagai pihak itu akan berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di Panti dengan yang tinggal di Rumah Berdasarkan Domain Lingkungan Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di panti jompo dengan yang tinggal di rumah berdasarkan domain lingkungan. Lansia yang tinggal di rumah memiliki rata-rata skor domain lingkungan ynag lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti. Hal ini dapat dikaitkan dengan perbedaan pekerjaan lansia yang tinggal di panti dan yang tinggal di rumah yang akan berpengaruh terhadap perekonomian lansia. Lansia yang tinggal di rumah masih bisa bekerja untuk menghidupi kebutuhannya atau bahkan hanya kesenangannya saja. KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kualitas hidup lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada kualitas hidup lansia yang tinggal di panti. 2. Kualitas fisik lansia yang tinggal di panti tidak berbeda dengan kualitas fisik lansia yang tinggal di rumah. 3. Kualitas psikologi lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada
kualitas psikologi lansia yang tinggal di panti. 4. Kualitas sosial lansia yang tinggal di rumah lebih baik daripada kualitas psikologi lansia yang tinggal di panti. 5. Kualitas lingkungan lansia yang tinggal di panti tidak berbeda dengan kualitas lingkungan lansia yang tinggal di rumah. Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, penulis mengajukan beberapa saran yaitu: 1. Bagi Panti Jompo Warga Mas Titian Ridho Ilahi Meningkatkan informasi dan pengetahuan lansia mengenai proses penuaan yang telah dialaminya dan menggalakkan perilaku sehat bagi lansia dengan memberikan penyuluhan kesehatan. Meningkatkan produktifitas lansia di panti seperti memberikan keterampilan pada lansia, membuat warung yang dikelola oleh lansia dengan bantuan yayasan panti. Dengan demikian diharapkan kualitas hidup lansia yang lebih baik dapat tercapai.
2. Bagi Lurah Kelurahan Pintupadang I Terus meningkatkan aspek lingkungan seperti keamanan dan kenyamanan lansia di tempat tinggalnya, membuat kelompokkelompok lansia yang memungkinkan lansia selalu memperoleh informasi baik informasi tentang kesehatan, pengajian dan kemalangan di kelurahan pintupadang I atau bahkan juga di daerah lain.
Meningkatkan akses lansia terhadap pelayanan kesehatan dengan cara membuat kelompok arisan hasil panen padi di kelurahan pintupadang I guna pemenuhan kebutuhan dana kesehatan lansia itu sendiri. Dengan demikian diharapkan kualitas hidup lansia yang lebih baik dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, 2010. Tapanuli selatan Dalam Angka 2011, Kabupaten Tapanuli Selatan. BkkbN, 2012. Asia Belajar Memberdayakan Lansia, http://www.bkkbn.go.id/ViewSiara nPers.aspx?SiaranPersID=15, diakses pada tanggal 1 Agustus 2012. Cahyawati, R. dkk. 2009. Perbedaan Makna Hidup Lansia Yang Tinggal Di Panti Werdha Dengan Yang Tinggal Bersama Keluarga, www.psychology.uii.ac.id/images/s tories/jadwal-kuliah/naskahpublikasi-00320144.pdf, diakses pada tanggal 6 Juni 2013. Darmojo, B dan Martono. 2006. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Elvinia. 2006. Quality of Life pada Lanjut Usia studi perbandingan pada janda atau duda lansia antara yang tinggal di rumah bersama keluarga dengan yang tinggal di panti werdha, http://lib.atmajaya.ac.id/default.asp x?tabID=61&src=k&id=124555,
diakses pada tanggal 1 September 2012. Nugroho, W. 2000. Keperawatan Gerontik, EGC, Jakarta. Raudhah, I. 2012. Kualitas Hidup Lansia di Graha Residen Senior Karya Kasih Medan Sumatera Utara. Skripsi Fakultas Keperawatan USU, Medan. Setyoadi. dkk. 2011. Perbedaan tingkat kualitas hidup lansia di komunitas dan panti, ejournal.umm.ac.id/index.php/keper awatan/article/viewfile/621/641umm-scentific-journal.pdf, diakses pada tanggal 10 September 2012.
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PREEKLAMPSIA PADA KEHAMILAN DI RSU MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN TAHUN 2011-2012 Afni Sucita Resmi1, Asfriyati2, Ria Masniari Lubis2 1
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staff Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU,
2
ABSTRACT Preeclampsia is an illness marked with existing hypertension, proteinuria and edema as emerged long as inception or up to 48 hours post partum. This disorder shall take place on tri-semester III in inception. Preeclampsia is constitute one of causes to death of maternal in pregnancy beside blooding and infection. This study adopted an analytical descriptive method with a case control study which research aimed to determine factors correlating with the preeclampsia in Muhammadiyah Sumatera Utara general hospital for 2011-2012. The sample in case group are the pregnant maternal that has been diagnosed preeclampsia noted on medical record file and the sample on control group are those maternal in pregnancy that not be diagnosed with preeclampsia noted on medical record file. From the result of analysis with chi-square test has been obtained variable correlating with preeclampsia such as age (p=0.015), inception age (p-0.001), and variable not correlated such as Bad Obstetric History (BOH) (p=0.623), parity (p=0.076). From the result of analysis with multivariant the most dominant variable is inception age. The pregnant maternal is encouraged to have examination regularly to the public health service aimed to detect early the condition of his health in order to prevent any preeclampsia and to those paramedical is highly recommended provide counseling to those pregnant maternal to enrich their knowledge about preeclampsia disorder so that the mortality on maternal and mortality upon babies shall decrease down. Keywords: Preeclampsia, age, Bad Obstetric History, parity.
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. AKI juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan milenium ke 5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ risiko
PENDAHULUAN Diperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal setiap harinya atau lebih kurang 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan (Sarjito, 2009).
1
jumlah kematian ibu. Tinggi rendahnya AKI di suatu wilayah dijadikan sebagai indikator yang menggambarkan besarnya masalah kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan dan sumber daya di suatu wilayah (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan milenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus (Haryono 2011). United Nations International Children’s Emergency Found (UNICEF) (2012) menyatakan bahwa setiap tahun hampir 10.000 wanita meninggal karena masalah kehamilan dan persalinan. Target penurunan AKI secara nasional adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 jiwa per 100.000 kelahiran hidup Angka kematian ibu di Indonesia menurut survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 mencapai 307 dari 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan pada tahun 2007 jumlahnya menurun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah khususnya Kementrian Kesehatan (Kemenkes) masih dituntut bekerja keras menurunkannya hingga tercapai target Millennium Development Goal (MDG) 5, menurunkan AKI menjadi 102 dari 100.000 pada tahun 2015. Penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah penyebab obstetri langsung yaitu perdarahan 28 %, preeklampsi/ eklampsi 24 %, infeksi 11 %, sedangkan penyebab tidak langsung adalah trauma obstetri 5 % dan lain – lain 11 % (WHO, 2007). Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan indikator kesehatan yang paling utama yang digunakan untuk menggambarkan
baik atau tidaknya fasilitas kesehatan dalam pelayanan kesehatan. Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007 menyebutkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 228/100.000 Kelahiran Hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 34/1.000 KH, sedangkan target Millenium Development Goals (MDGs), AKI sebanyak 102/100.000 KH, dan AKB sebanyak 23/1.000 KH pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2011). Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab kedua setelah perdarahan sebagai penyebab langsung yang spesifik terhadap kematian maternal (Kelly, 2007). Pada sisi lain insiden dari eklampsia pada negara berkembang sekitar 1 kasus per 100 kehamilan sampai 1 kasus per 1700 kehamilan. Pada negara Afrika seperti Afrika Selatan, Mesir, Tanzania dan Etiopia bervariasai sekitar 1,8% sampai dengan 7,1%. Di Nigeria prevalensinya sekitar 2% sampai dengan 16,7% (Osungbade, 2011). Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 angka kematian ibu adalah 228/100.000 kelahiran hidup, yang disebabkan oleh perdarahan 28%, preeklampsia/eklampsia 24% dan infeksi 11%. Di Sumatera Utara, dilaporkan kasus preeklampsia terjadi sebanyak 3.560 kasus dari 251.449 kehamilan selama tahun 2010, sedangkan di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan dilaporkan angka kematian ibu penderita preeklampsia tahun 2007-2008 adalah 3,45%, pada tahun 2008-2009 sebanyak 2,1%, dan pada tahun 2009-2010 adalah 4,65% (Dinkes Sumut, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Dollar, 2008) dengan 2
judul penelitian Hubungan Karakteristik Ibu Hamil Dengan Kejadian Preeklampsia di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2006-2007 bahwa adanya hubungan paritas terhadap terjadinya preeklampsia pada kehamilan, dimana proporsi paritas 1 pada kelompok yang tidak preeklampsia yaitu (0,32) dengan nilai OR sebesar (2,13). Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti pada bulan maret 2011-2012 di RSU. Muhammadiyah Sumatera Utara Medan terdapat penderita preeklampsia sebanyak 109 kasus selama periode tahun 2011 s/d 2012. Berdasarkan latar belakang dan fenomena diatas, maka selanjutnya peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul Faktor Yang Berhubungan Dengan Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU. Muhammadiyah Sumatera Utara Medan. Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah semakin meningkatnya kejadian preeklampsia pada kehamilan sehingga peneliti ingin meneliti Faktor Yang Berhubungan Dengan Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU. Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun 2011-2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor Yang Berhubungan Dengan Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU.Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun 2011-2012. Penelitian ini mempunyai tujuan khusus untuk mengetahui hubungan umur ibu, usia kehamilan, BOH dan paritas dengan terjadinya preeklampsia pada kehamilan di RSU. Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun 20112012. Manfaat dari penelitian ini adalah Sebagai bahan masukan dan informasi bagi RSU.Muhammadiyah dalam upaya
meningkatkan pelayanan kesehatan untuk dapat membantu meningkatkan derajat kesehatan. Menambah studi kepustakaan tentang faktor yang berhubungan dengan preeklampsia pada kehamilan sehingga dapat dijadikan masukkan dalam penelitian selanjutnya. Untuk peningkatan pengalaman dan wawasan bagi peneliti sendiri dalam menganalisa tentang faktor yang berhubungan dengan preeklampsia pada kehamilan, serta sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan kasus kontrol (Case Control Study). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang kehamilannya didiagnosis preeklampsia berjumlah 109 orang dan yang tidak didiagnosis preeklampsia yang berjumlah 865 orang dan tercatat pada berkas rekam medis RSU.Muhammdiyah Sumut Medan periode tahun 2011 s/d tahun 2012. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol, dimana yang menjadi sampel kelompok kasus penelitian ini adalah data ibu hamil yang didiagnosis preeklampsia yang tercatat pada berkas rekam medis dan sampel kelompok kontrol penelitian ini adalah ibu yang tidak didiagnosis preeklampsia yang tercatat pada berkas rekam medis. Besar sampel pada kelompok kasus dan kelompok kontrol diperoleh dengan rumus (Lemeshow, 1997): {Z n=
3
α
1−
2
2P2(1− P2) + Z1−β P1(1− P1) + P2(1− P2)}2
(P1 − P2)2
Besarnya sampel ditentukan dengan memperkirakan proporsi populasi terpapar dengan menggunakan rumus : (OR ) P2 P1 = (OR )P 2 + (1 − P 2) (2,13)0,32 P1 = (2,13)0.32 + (1 − 0,32) P1 = 0,50 Hasil perhitungan didapat P1 = 0,50 dengan interval kepercayaan 95% (α=0,05) pada kekuatan penelitian 80%, maka besar sampel: n = 91,6 n = 92 Dari perhitungan diatas dapat diketahui jumlah sampel minimal sebanyak 92 orang ibu hamil, karena jumlah kasus preeklampsia yang ditemukan oleh peneliti pada saat survei awal sebanyak 109 orang, maka besar sampel dalam penelitian ini adalah 109 orang dimana seluruh jumlah kasus dijadikan sampel. Maka dengan perbandingan 1:1 dalam penelitian ini adalah 109 orang ibu hamil untuk sampel kasus dan 109 orang ibu hamil untuk sampel kontrol. Untuk pengambilan sampel kontrol dilakukan dengan cara Sistematic Random Sampling. Hasil analisis data disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan persentase. Adapun analisis data meliputi tahapan: Analisis Univariat Untuk menggambarkan (mendeskripsikan) masing-masing variabel independent dan variabel dependen dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi Analisis Bivariat Untuk melihat hubungan masing-masing variabel independen dengan variabel dependen, menggunakan uji chi square (X2). Selain itu dilakukan juga perhitungan Odd Rasio (OR) untuk melihat estimasi risiko terjadinya
outcome, sebagai pengaruh adanya variabel independen. Yang dimaksud OR adalah suatu perbandingan pajanan diantara kelompok kasus terhadap pajanan pada kelompok kontrol. Perubahan satu unit variabel independen akan menyebabkan perubahan nilai OR pada variabel dependen. Estiamasi confidence interval (CI) untuk OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%. Analisis Mulivariat Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik yakni untuk mengetahui hubungan variabel independent secara bersamaan antara satu variabel dependent sehingga diperoleh persamaan regresi logistik sebagai berikut : yi = Ln 1 = β 0 + β1 X 1 + ... + β i X j 1 − P 1 p= − ( β 0 + β1 X 1 +...+ βiXj ) 1+ e e = Bilangan natural (2,176) β = 0,1,2,…,n adalah parameter model regresi logistik β = 0,1,2,…,n adalah parameter bebas yang diperhatikan HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Pada Kelompok Kasus dan Kontrol di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun 2011-2012 Umur 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 Jumlah
ibu
4
Kasus 4 17 31 25 18 14 109
Kontrol 6 15 44 27 11 6 109
Jumlah 10 32 75 52 29 20 218
% 4.6 14.7 34.4 23.9 13.3 9.2 100
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa hamil yang memeriksakan
kehamilannya di RSU Muhammadiyah RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Sumatera Utara Medan Tahun 2011- Medan Tahun 2011-2012 2012 terbanyak berada pada kelompok Paritas Kasus Kontrol Jumlah % 0 54 41 95 43.6 umur 25-29 tahun yaitu sebanyak 75 1 34 32 66 30.3 orang. 2 17 21 38 17.4 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Usia 3 3 9 12 5.5 Kehamilan Pada Kelompok Kasus dan 4 1 6 7 3.2 Kontrol di RSU Muhammadiyah Jumlah 109 109 218 100 Sumatera Utara Medan Tahun 20112012 Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa paritas ibu yang memeriksakan Usia Kasus Kontrol Jumlah % kehamilannya terbanyak banyak pada Kehamilan paritas 0 yaitu sebanyak 95 orang 20-23 0 0 0 0 24-27 0 0 0 0 (43.6%). 28-31 0 4 4 1.8 Analisis bivariat digunakan untuk 32-35 14 18 32 14.7 menjelaskan hubungan antara variabel 36-39 95 87 182 83.5 independen yang meliputi faktor umur, Jumlah 109 109 218 100 Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa usia kehamilan, Bad Obstetric History usia kehamilan ibu yang memeriksakan (BOH) dan paritas dengan variabel kehamilannya di RSU Muhammadiyah dependen yaitu kejadian preeklampsia Sumatera Utara Medan Tahun 2011- yang menggunakan uji chi-square = 0.05. Dikatakan ada 2012 terbanyak pada kelompok usia dengan α kehamilan 36-39 minggu yaitu 182 hubungan yang bermakna secara statistik jika diperoleh nilai p < 0,05. Hubungan orang (83.5%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Bad antara variabel independen dengan Obstetric History (BOH) Pada variabel dependen dengan uji chi-square Kelompok kasus dan kontrol di RSU dapat dilihat dengan hasil sebagai Muhammadiyah Sumatera Utara berikut: Medan Tahun 2011-2012 Hubungan Umur dengan Kejadian BOH Kasus Kontrol Jumlah % Preeklampsia Memiliki 10 8 18 8,3 Hubungan umur ibu dengan Tidak 99 101 200 91,7 Memiliki kejadian preeklampsia pada kehamilan Jumlah 109 109 218 100 dapat dilihat dari Tabel 5. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa Tabel 5. Hubungan Umur pada Bad Obstetric History (BOH) ibu dengan Kejadian Preeklampsia Pada yang memeriksakan kehamilannya Kehamilan di RSU Muhammadiyah terbanyak pada kelompok tidak memiliki Sumatera Utara Medan Tahun 2011BOH yaitu sebanyak 200 orang (91.7%). 2012 Tabel 4. Distribusi Frekuensi Paritas Pada Kelompok Kasus dan kontrol di
Dari Tabel 5 menunjukkan hasil analisis hubungan antara umur ibu dengan 5
kejadian preeklampsia pada kelompok umur <20 tahun dan >35 tahun ditemukan sebanyak 32 orang (65.3%) mengalami preeklampsia dan pada kelompok umur 20-35 tahun 77 orang (45.6%) diantaranya tidak mengalami preeklampsia. Hasil uji statistik dengan chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan kejadian preeklampsia (p = 0.015, OR = 2.249).
dengan kejadian preeklampsia (p = 0.001, OR = 30.196). Hubungan Bad Obstetric History (BOH) dengan Kejadian Preeklampsia Hubungan Bad Obstetric History (BOH) dengan kejadian preeklampsia pada kehamilan dapat dilihat dari Tabel 7. Tabel 7. Hubungan Bad Obstetric History (BOH) dengan Kejadian Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun 20112012
Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Preeklampsia Hubungan usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia pada kehamilan dapat dilihat dari Tabel 6. Tabel 6. Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun 20112012
Dari tabel 7 dapat menunjukkan hasil analisis hubungan antara Bad Obstetric History (BOH) dengan kejadian preeklampsia yang memiliki Bad Obstetric History (BOH) ditemukan sebanyak 10 orang (55.6%) mengalami preeklampsia dan sebanyak 99 orang (49.5%) yang tidak memiliki Bad Obstetric History (BOH) mengalami preeklampsia. Hasil uji statistik dengan chisquare menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Bad Obstetric History dengan kejadian preeklampsia (p = 0.632, OR = 1.275).
Dari Tabel 6 menunjukkan hasil analisis hubungan antara usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia yang memiliki usia >37 minggu ditemukan sebanyak 95 orang (82.6%) mengalami preeklampsia dan pada 20-37 minggu sebanyak 14 orang (13.6%) mengalami preeklampsia. Hasil uji statistik dengan chisquare menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia (p = 0.001, OR = 30.196). Hasil uji statistik dengan chisquare menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara usia kehamilan
Hubungan Paritas dengan Kejadian Preeklampsia Hubungan paritas dengan kejadian preeklampsia pada kehamilan dapat dilihat dari Tabel 8. Tabel 8 Hubungan Paritas dengan Kejadian Preeklampsia Pada Kehamilan di RSU Muhammadiyah
6
bagi variabel hasil dapat masuk dalam model multivariat (Murti, 1997). Berdasarkan hasil uji analisis bivariat antara variabel independent dengan dependent, ternyata ada 3 variabel yang memiliki nilai p <0.25 yaitu umur ibu (p = 0,015), usia kehamilan (p= 0,001) dan paritas (p= 0,076) sehingga ketiga variabel tersebut layak masuk kedalam model regresi logistik ganda. Tabel 9. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda
Sumatera Utara Medan Tahun 20112012
Dari Tabel 8 menunjukkan hasil analisis hubungan antara paritas dengan kejadian preeklampsia yang memiliki paritas 0 ditemukan sebanyak 54 orang (56.8%) mengalami preeklampsia dan pada paritas >0 sebanyak 55 orang (44.7%) mengalami preeklampsia. Hasil uji statistik dengan chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian preeklampsia (p = 0.076, OR = 1.628).
Variabel
B
Konstanta
1.850 3,408
Usia kehamilan
Exp B (OR) 0,157
95% CL FOR Exp B Lower Upper -
0,001
30,196
14,383
0,001
63,39
P
Overall Percentage 84,4 % Memperhatikan hasil regresi dari model terpilih maka diperoleh persamaan regresi logistik sebagai berikut : yi = Ln 1 = β 0 + β1 X 1 + ..... + Bi X j 1 − P p 1 1 + e − { − 1.850 + (3,408) Usia kehamilan = 0,33 = 33,0 %
Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda yakni untuk mengetahui hubungan dari masing-masing variabel independent secara bersamaan dengan variabel dependent yang berbentuk dikotomi (Sabri, 2006). Analisis multivariat dimulai dengan melakukan analisis bivariat pada setiap variabel dengan tujuan melakukan prediksi peranan masing-masing variabel dalam hubungannya dengan kejadian preeklampsia. Selanjutnya dilakukan pemilihan variabel yang potensial layak masuk dalam analisis multivariat dengan menetapkan variabel yang mempunyai nilai p yang kurang dari 0,25 (<0,25). Kriteria kemaknaan statistik yang dipakai cukup besar untuk variabelvariabel yang terselubung yang sesungguhnya penting dapat masuk ke dalam model analisis regresi logistik multivariat dan agar variabel-variabel secara kolektif menjadi prediktor penting
Melalui model ini, jika ibu hamil memiliki usia kehamilan > 37 minggu maka probabilitas untuk terjadinya preeklampsia sebesar 33,0 % dengan kebenaran klasifikasi berdasarkan model (Overall Percentage) sebesar 84,4 %. PEMBAHASAN Hubungan Umur Ibu dengan Kejadian Preeklampsia Hasil uji statistik dengan uji chisquare menunjukan bahwa nilai p= 0.015 < α = 0.05 hal ini berarti terdapat 7
=
}
hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan kejadian preeklampsia dengan nilai Odds Rasio sebesar 2.249 yang berarti ibu hamil yang memiliki umur < 20 tahun dan > 35 tahun memiliki risiko 2.249 kali dibandingkan ibu yang memiliki umur 20-35 tahun terhadap kejadian preeklampsia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh wahyuny di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah makassar tahun 2011-2012 dan Utama (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kejadian preeklampsia, dimana pada penelitian wahyuny di dapat hasil dari uji statistik yaitu (p=0,001 < 0.05) dengan Odds Ratio 3.73 dan pada penelitian Utama dengan nilai Odds Ratio 3.67.
Hasil uji statistik dengan uji chisquare menunjukan bahwa nilai p= 0.632 > α = 0.05 hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Bad Obstetric History dengan kejadian preeklampsia dengan nilai Odds Rasio sebesar 1.275 yang berarti ibu hamil yang memiliki Bad Obstetric History memiliki risiko 1.275 kali dibandingkan yang tidak memiliki Bad Obstetric History terhadap kejadian preeklampsia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tanti (2008) yang menyatakan bahwa riwayat obstetrik yang buruk tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian preeklampsia dengan hasil uji statistik (p= 0.097 > 0.05) dengan nilai Odds Ratio 1.828.
Hubungan Usia Kehamilan dengan Kejadian Preeklampsia Hasil uji statistik dengan uji chisquare menunjukan bahwa nilai p=0.001< α = 0.05 hal ini berarti terdapat hubungan yang bermakna antara usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia dengan nilai Odds Rasio sebesar 30.196 yang berarti ibu hamil yang memiliki usia kehamilan >37 minggu memiliki risiko 30.196 kali lebih besar dibandingkan dengan usia kehamilan 20-37 minggu terhadap kejadian preeklampsia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dollar (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia dengan hasil uji statistik (p= 0.048 < 0.05) dengan nilai Odds Ratio 0.515.
Hubungan Paritas dengan Kejadian Preeklampsia Hasil uji statistik dengan uji chisquare menunjukan bahwa nilai p= 0.076 > α = 0.05 hal ini berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia paritas dengan kejadian preeklampsia dengan nilai Odds Rasio sebesar 1.628 yang berarti ibu hamil yang memiliki paritas 0 memiliki risiko 1.628 kali dibandingkan dengan yang memiliki paritas > 0 terhadap kejadian preeklampsia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2010) yang menyatakan paritas tidak mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian preeklampsia dengan hasil uji statistik (p= 0.194 > 0.05) dengan nilai Odds Ratio 1.34 Menurut Prawirohardjo (2005), paritas 2-3 merupakan paritas paling aman jika di dibandingkan pada ibu primigravida.
Hubungan Bad Obstetric History dengan Kejadian Preeklampsia
8
Dari hasil bivariat menggunakan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh kesimpulan:
Analisis Multivariat Dari hasil analisis regresi logistik berganda diperoleh bahwa umur ibu dan usia kehamilan secara bersamaan dapat berhubungan dengan kejadian preeklampsia. Dimana masing-masing variabel memiliki nilai p < 0,05 yaitu umur ibu (p=0.015 ; OR=2.249), usia kehamilan (p=0.001 ; OR=30.196). Pada penelitian ini nilai Odds Ratio > 1 berarti variabel umur ibu dan usia kehamilan sebagai faktor risiko menyebabkan terjadinya preeklampsia pada kehamilan. Berdasarkan hasil penelitian di lihat dari variabel umur ibu yang mengalami preeklampsia terbanyak pada kelompok umur yang tidak berisiko (20-35 tahun) yaitu sebanyak 77 orang (45,6% ) dibandingkan dengan kelompok umur yang berisiko (<20 tahun dan >35 tahun) yaitu sebanyak 32 orang (65,3%) dimana seharusnya kejadian preeklampsia lebih tinggi pada kelompok umur ibu yang berisiko. Pada variabel usia kehamilan preeklampsia banyak terjadi pada usia kehamilan yang berisiko (>37 minggu) yaitu sebanyak 95 orang (82.6%) dibandingkan dengan usia kehamilan yang tidak berisiko (20-37 minggu) yaitu sebanyak 14 orang (13.6%). Penelitian yang dilakukan oleh Utama (2008) menyatakan bahwa umur ibu <20 tahun dan >35 tahun (OR=3.67) mempunyai hubungan dengan kejadian preeklampsia pada kehamilan. Pada penelitian Dollar (2008) menyatakan bahwa umur ibu (OR=2.063) dan usia kehamilan (OR=0,515) berhubungan secara bersamaan dengan kejadian preeklampsia.
1. Ada hubungan antara umur ibu hamil dengan kejadian preeklampsia p= 0.015 dimana ibu hamil yang memiliki umur < 20 tahun dan > 35 tahun memiliki risiko 2.25 kali dibandingkan ibu hamil yang memiliki umur 20-35 tahun terhadap kejadian preeklampsia . 2. Ada hubungan antara usia kehamilan dengan kejadian preeklampsia p= 0.001dimana ibu hamil yang memiliki usia kehamilan > 37 minggu memiliki risiko 30.2 kali dibandingkan ibu hamil yang memiliki usia kehamilan 20-37 minggu terhadap kejadian preeklampsia . 3. Tidak ada hubungan antara Bad Obstetric History dengan kejadian preeklampsia p= 0.623. 4. Tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian preeklampsia p= 0.076 5. Dari hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda dengan tingkat kepercayaan 95% bahwa antara variabel umur ibu dan usia kehamilan ternyata usia kehamilan lebih dominan berpengaruh dengan kejadiaan preeklampsia di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Tahun 2011-2012. Saran 1. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang risiko kehamilan yang akan terjadi pada usia < 20 tahun dan > 35 tahun dan diharapkan agar tidak hamil pada usia yang berisiko tersebut karena
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
9
Notoadmojo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Rhuneka Cipta, jakarta. Osungbade, K, O, 2011. Publich Heaalth Perspektive of Preeclampsia in Developing Countries. Implication for Health System Strengthening. International Jurnal of Pregnancy. Prawihardjo, 2008. Bab 1-2.pdf (Secured). Bab-II Landasan Teori-upn Veteran Jakarta, http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/ 4S1 kedokteran/207311168/Bab%201. pdf. Diakses 16 Maret 2013. RSU Muhammadiyah, 2013. Laporan Tahunan Rekam Medis, Sumatera Utara. Sarjito, 2009. Gambaran Karekteristik Ibu Hamil Dengan Preeklampsia di RSU, http://addy1571.files.wordpress.co m/2009/08/gambaran-karakteristikibu-hamil-dengan-preeklampsia-dirsu.doc. Diakses 15 Maret 2013. SDKI, 2007. Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI), http://.menegpp.go.id/v2/index.php /datadaninformasi/kesehatan?down load;23%angka-kematian(29/0513). Diakses 29 Maret 2013. Tanti, 2008. Faktor Risiko Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil Melahirkan di RSIA Siti Fatimah Makssar Tahun 2008 http://himapid.blogspot.com/2009/ 05faktor-risiko-kejadianpreeklampsia, html?n=1 diakses 4 Juli 2013. Utama, Y.S. 2008. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadiaan Preeklampsia. WHO, 2007. Penyebab Kematian Ibu-Blog Keperawatan, http://askep-netblogspot.com/2012/12/Penyebab Kematian -Ibu.html. Diakses 15 Maret 2013.
usia tersebut merupakan usia berisiko terhadap terjadianya preeklampsia dan risiko kehamilan lainnya. 2. Memberikan penyuluhan bagi ibu hamil untuk dapat memeriksakan kehamilannya secara rutin sebagai deteksi dini terhadap risiko yang mungkin terjadi pada saat kehamilan dan menganjurkan kepada ibu untuk lebih sering memeriksakan kehamilannya pada usia kehamilan >37 minggu sampai dengan menjelang kelahiran. 3. Menyarankan pada ibu hamil untuk mengatur pola makanan yaitu diet rendah garam dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Dinkes Sumut, 2011. Bab 1-2.pdf (Secured). Bab-II Landasan Teori-upn Veteran Jakarta, http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/ 4S1 kedokteran/207311168/Bab%201. pdf. Diakses 16 Maret 2013. Dollar, 2008. Hubungan Karakteristik Ibu Hamil Dengan Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 20062007. Skripsi FKM USU. Kemenkes RI, 2011. Pengaruh Motivasi Perawat Terhadap Tindakan Perawatan. Chapter I. pdf–usuInsitutional Repository-Universitas Sumatera Utara /http://Repository.usu.ac.id/bitsrea m/123456789/3363/5/chapter%20. pdf. Diakses 15 Maret 2013. Lemeshow, S, Homser Jr.D.W.,Klar.,J.,Lwanga.S.K. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Murti, B. 1997. Prinsip dan Metode Dalam Riset Epidemiologi. Penerbit University Press, Surabaya.
10
KARAKTERISTIK IBU DAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSU SUNDARI MEDAN TAHUN 2012 CHARACTERISTICS OF MOTHERS AND INFANTS WITH LOW BIRTH WEIGHT (LBW) IN GENERAL HOSPITAL SUNDARI MEDAN IN 2012
Fathia Amanda1, Rasmaliah2, Taufik2 1
Mahasiswa Peminatan Epidemiologi FKM USU 2 Staff Pengajar FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
Abstract Infants with Low Birth Weight (LBW) are infants which borned with a birth weight under 2500 grams. According to WHO estimated, more than 20 million infants in the world (15,5% from newborn infants in the world) every years borned with LBW and influenced about 16% LBW in developing countries. Datas of General Hospital Sundari Medan in 2012, there are 188 cases of LBW (8,6%) from 2170 birth. To know the characteristics of mothers and infants with LBW in General Hospital Sundari Medan in 2012,it is conducted a descriptive research by case series design.Population and sample totaled as 188 people.Data’s been analyzed by using Chi-Square test, t-independent and Anova test. From the results, it was obtained that proportion of mothers with LBW infants based on sociodemographic, medical risk factors and patient records aged 20-35 years 79,8%, Islam 84%, housewives 54,3%, first pregnancy 52,7%, gestational age 37-42 weeks 54,8%, spacing pregnancy < 2 years 55,1%, hemoglobin concentration ≥11 gr% 35,6%, good pregnancy history 67%, no complication of pregnancy 66%, patient comes itself 88,3%. Proportion of infants with LBW based on 1500-<2500 grams 76,6%, no complication of LBW 85,6% . Mothers treatment on average 2,3 days, infants treatment of average 2,4 days, mothers circumstances when to go home healthy 83%, infants circumstances when to go home healthy 50,5%. There is no significant differences between spacing pregnancy (p= 0,614),hemoglobin concentration (p= 0,399), infants treatment of average based on complication of LBW (p= 0,878), mothers treatment on average based on circumstances when to go home (p= 0,377), infants treatment of average based on circumstances when to go home (p = 0,421). There is significant differences between mothers aged based on classification of LBW (X2= 9,873; p=0,007), parity based on classification of LBW (X2= 10,009; p= 0,002), gestational age based on classification of LBW (X2= 10,033; p=0,007), pregnancy history based on classification of LBW (X 2= 14,770; p=0,000). The hospital is expected to complete the recording of status card especially hemoglobin concentration as well as the recording of antenatal care to know preganancy history. The hospital must increase quality of life for the infants and for the health department to give an information of nutrient for pregnancy women and ideal spacing pregnancy. Keywords : Low Birth Weight, The characteristics of mothers, The characteristics of infants
1
ada pada Kabupaten Deli Serdang yaitu 375 dari 40.472 kelahiran hidup (0,93%).8 Bayi dengan BBLR umumnya akan mengalai kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang baru.9 Hal tersebut akan berakibat pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan bayi, bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya serta akan meningkatkan morbiditas dan 12 mortalitas. Beberapa efek BBLR adalah menyebabkan anak pendek 3 kali lebih besar dibanding non BBLR, pertumbuhan 13 terganggu dan risiko malnutrisi. Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan di RSU Sundari Medan pada tahun 2012 didapati angka kejadian BBLR sebanyak 188 kasus dari 2170 persalinan (8,6%). Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik ibu dan bayi dengan BBLR di Rumah Sakit Umum Sundari pada tahun 2012.
Pendahuluan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat.2 Mayoritas kematian bayi terjadi pada masa neonatus (0-28 hari).3 Beberapa penyebab kematian neonatus yang terbanyak disebabkan oleh Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR, asfiksia, tetanus neonatorum, sindrom gangguan napas, sepsis, trauma lahir dan kelainan neonatal.9 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa penyebab kematian terbanyak pada kelompok bayi 0-6 hari didominasi oleh gangguan/kelainan pernapasan (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis (12%). 8 BBLR adalah berat bayi yang ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir. BBLR bisa disebabkan oleh 2 hal yaitu, Prematuritas Murni (kehamilan kurang bulan) dan Dismaturitas/KMK (Kecil Masa Kehamilan.10 Menurut WHO, angka kejadian BBLR yang lebih dari 10% merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Karena itu, banyak negara di dunia menggunakan angka BBLR sebagai indikator tingkat kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan lebih dari 20 juta bayi di seluruh dunia (15,5% dari seluruh kelahiran bayi di dunia) setiap tahunnya lahir bayi dengan BBLR dan mempengaruhi sekitar 16% BBLR di negara berkembang.4 Pada tahun 2012, WHO melaporkan kejadian BBLR di dunia pada rentang tahun 2005-2010 adalah sebesar 15%. Di SouthEast Asia angka kejadian BBLR mencapai 24% dan yang tertinggi ada pada negara India dengan persentase 28%. Sedangkan di Indonesia terdapat 9 % bayi baru lahir dengan BBLR.5 Angka kejadian BBLR di Sulawesi Barat pada tahun 2007 adalah 445 dari 18.970 kelahiran hidup (2,35%) dan tertinggi ada pada Kabupaten Polewali Mandar yaitu sebesar 178 per 6.985 kelahiran hidup (2,47%).11 Berdasarkan Profil Kesehatan Sumatera Utara pada tahun 2008, angka kejadian BBLR di Sumatera Utara adalah sebesar 1.315 dari 260.991 kelahiran hidup (0,50%) dan angka kejadian BBLR tertinggi
Perumusan Masalah Belum diketahui karakteristik ibu dan bayi BBLR di Rumah Sakit Umum Sundari pada tahun 2012. Tujuan Penelitian Mengetahui karakteristik ibu dan bayi BBLR di Rumah Sakit Umum Sundari pada tahun 2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: Mengetahui distribusi proporsi ibu yang melahirkan bayi BBLR berdasarkan faktor sosiodemografi (umur, agama, dan pekerjaan); faktor risiko medis kehamilan (paritas, umur kehamilan, jarak kehamilan, kadar Hb, riwayat kehamilan terdahulu, jenis komplikasi kehamilan); status pasien; mengetahui distribusi proporsi bayi dengan BBLR berdasarkan klasifikasi BBLR; komplikasi BBLR; lama rawatan rata-rata ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR; lama rawatan rata-rata bayi dengan BBLR; keadaan ibu sewaktu pulang; keadaan bayi sewaktu pulang. Mengetahui distribusi proporsi umur ibu, paritas, umur kehamilan, jarak kehamilan, kadar Hb ibu, riwayat kehamilan terdahulu, jenis komplikasi kehamilan berdasarkan klasifikasi BBLR. Mengetahui distribusi proporsi komplikasi 1
BBLR berdasarkan klasifikasi BBLR. Mengetahui lama rawatan rata-rata bayi berdasarkan status komplikasi BBLR; lama rawatan rata-rata ibu berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang; lama rawatan rata-rata bayi berdasarkan keadaan bayi sewaktu pulang.
2.
3.
Manfaat Penelitian Sebagai bahan masukan bagi pihak RSU Sundari Medan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan penulis. Sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis mengenai BBLR dan merupakan kesempatan bagi penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan di FKM USU.
Agama Islam Kristen Hindu Budha Jumlah Pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT) Wiraswasta Pegawai Swasta Pegawai Negeri Jumlah
f 158 17 7 6 188 f 102
% 84 9 3,7 3,3 100 % 54,3
59 15 12 115
31,4 8 6,3 100
Mengacu pada tabel 1 dapat diketahui bahwa berdasarkan umur ibu proporsi tertinggi pada kelompok umur 20-35 tahun 79,8% (150 orang), sedangkan terendah pada kelompok umur < 20 tahun 6,9% (13 orang). Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang datang untuk melahirkan ke RSU Sundari mayoritas pada kelompok umur 20-35 tahun. Berdasarkan agama, proporsi tertinggi pada agama Islam 84% (158 orang), sedangkan agama Kristen 9% (17 orang), Hindu 3,7% (7 orang) dan Budha 3,3% (6 orang). Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang datang melahirkan ke RSU Sundari mayoritas beragama Islam dan penduduk yang bertempat tinggal di sekitar RSU Sundari mayoritas beragama Islam. Berdasarkan pekerjaan, proporsi tertinggi pada IRT 54,3% (102 orang), sedangkan terendah pada pegawai negeri 6,3% (12 orang). Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang datang melahirkan ke RSU Sundari mayoritas IRT. Distribusi proporsi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan risiko medis kehamilan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini berlokasi di RSU Sundari Medan. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan Agustus 2012 sampai dengan Agustus 2013. Populasi penelitian adalah seluruh data ibu dan bayi BBLR di RSU Sundari Medan tahun 2012 sebanyak 188 orang. Besar sampel sama dengan besar populasi (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan uji Chi-Square, uji t-independent, dan uji Anova. Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin, agama, dan tempat tinggal dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Distribusi Proporsi Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR Berdasarkan Paritas, Umur Kehamilan, Jarak Kehamilan, Kadar Hb Ibu, Riwayat Kehamilan Terdahulu, Jenis Komplikasi Kehamilan di RSU Sundari Medan Tahun 2012 No. Risiko Medis Kehamilan f % 1. Paritas 0 (nullipara) 99 52,7 ≥1 89 47,3 Jumlah 188 100
Tabel 1. Distribusi Proporsi Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR Berdasarkan Umur, Agama, dan Pekerjaan di RSU Sundari Medan Tahun 2012 No. Sosiodemografi f % 1. Umur (Tahun) < 20 13 6,9 20-35 150 79,8 > 35 25 13,3 Jumlah 188 100
2
2.
3.
4.
5.
6.
Umur Kehamilan (Minggu) < 37 37-42 > 42 Jumlah Jarak Kehamilan (tahun) <2 ≥2 Jumlah Kadar Hb Ibu (gr%) Tidak ada data ≥ 11 < 11 Jumlah Riwayat Kehamilan Terdahulu Baik Buruk Jumlah Jenis Komplikasi Kehamilan Tidak ada komplikasi Ketuban pecah dini Anemia Preeklamsi/eklamsi Placenta previa Jumlah
f
%
76 103 9 188 f
40,4 54,8 4,8 100 %
49 40 89 f 100 67 21 188 f
55,1 44,9 100 % 53,2 35,6 11,2 100 %
126 62 188 f
67 33 100 %
124 22 21 16 5 188
66 11,7 11,1 8,5 2,7 100
orang) sedangkan < 11 gr% 11,2% (21 orang) dan sebanyak 53,2% (100 orang) tidak tercatat pada kartu status. Berdasarkan riwayat kehamilan terdahulu, proporsi tertinggi pada riwayat kehamilan baik 67% (126 orang), sedangkan riwayat kehamilan buruk 33,% (62 orang). Berdasarkan jenis komplikasi kehamilan, proporsi tertinggi adalah tidak ada komplikasi 66% (124 orang), sedangkan terendah pada placenta previa 2,7% (5 orang). Distribusi proporsi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan status pasien dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3. Distribusi Proporsi Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR Berdasarkan Status Pasien di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Status Pasien f % Bukan rujukan 166 88,3 Rujukan (bidan) 22 11,7 Jumlah 188 100
Mengacu pada tabel 3 dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi yaitu pada status bukan rujukan 88,3% (166 orang). Hal ini bukan berarti bahwa pasien bukan rujukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya BBLR tetapi menunjukkan bahwa ibu yang datang untuk melahirkan di RSU Sundari mayoritas pasien bukan rujukan. Distribusi proporsi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan Klasifikasi bayi dengan BBLR dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Mengacu pada tabel 2 dapat diketahui bahwa berdasarkan paritas, proporsi tertinggi pada paritas nullipara 52,7% (99 orang), sedangkan paritas ≥ 1 47,3% (89 orang). Bayi yang lahir pada kehamilan pertama cenderung mempunyai risiko BBLR yang lenbih tinggi. Hal ini terjadi karena faktor umur, biologis dan fisiologis.11 Berdasarkan umur kehamilan, proporsi tertinggi pada umur kehamilan 37-42 minggu 54,8% (103 orang), sedangkan umur kehamilan < 37 minggu 40,4% (76 orang) dan > 42 minggu 4,8% (9 orang). Bayi dengan kelahiran < 37 minggu atau bayi prematur, organ dan alat-alat tubuhnya belum berfungsi secara sempurna untuk bertahan hidup diluar rahim.12 Berdasarkan jarak kehamilan, proporsi tertinggi pada jarak kehamilan <2 tahun 55,1% (49 orang), sedangkan jarak kehamilan ≥ 2 tahun 44,9% (40 orang). Ibu hamil dengan jarak kehamilan < 2 tahun akan meningkatkan risiko terjadinya BBLR. Jarak kehamilan yang dekat dapat mempengaruhi daya tahan dan gizi ibu sehingga berpengaruh terhadap janin.11 Berdasarkan kadar Hb ibu, proporsi tertinggi pada kadar Hb ≥ 11 gr% 35,6% (67
Tabel 4. Distribusi Proporsi Bayi dengan BBLR Berdasarkan Klasifikasi Bayi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Klasifikasi BBLR f % (gram) 1500 - <2500 144 76,6 <1000 - <1500 44 23,4 Jumlah 188 100
Mengacu pada tabel 4 dapat dilketahui bahwa proporsi tertinggi yaitu 1500 - <2500 gram 76,6% (144 orang), sedangkan terendah pada klasifikasi <1000 - <1500 gram 23,4% (44 orang). Tingginya jumlah bayi dengan BBLR dengan berat 1500 - <2500 gram dikaitkan dengan umur kehamilan tertinggi 37-42 minggu. Karena itu, tingginya bayi yang lahir dengan berat mendekati normal. Distribusi proporsi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan komplikasi BBLR dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 3
Mengacu pada tabel 7 dapat diketahui bahwa lama rawatan rata-rata bayi adalah 2,40 hari (2 hari) dengan Standard Deviation (SD) 1,660 hari. Lama rawatan paling singkat adalah 0 hari dan paling lama adalah 11 hari. Berdasarkan 95% Confidence Interval diperoleh lama rawatan rata-rata ibu 2,162,64 hari.
Tabel 5. Distribusi Proporsi Bayi dengan BBLR Berdasarkan Komplikasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Komplikasi BBLR f % Tidak ada komplikasi 161 85,6 Lahir Mati/Abortus 17 9 Asfiksia 6 3,2 Hiperbilirubinemia 4 2,2 Jumlah 188 100
Mengacu pada tabel 5 dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi yaitu tidak ada komplikasi 85,6% (161 orang), Lahir mati/Abortus 9% (17 orang), sedangkan terendah hiperbilirubinemia 2,2% (4 orang). Penyebab adanya lahir mati bisa dikarenakan karena kekurangan gizi selama masa kehamilan, jarak kehamilan < 2 tahun, komplikasi kehamilan dan faktor psikologis ibu yang tidak stabil.13 Lama rawatan rata-rata (hari) ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Analisa Statistik Distribusi proporsi umur ibu berdasarkan klasifikasi BBLR dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 8. Distribusi Proporsi Umur Ibu Berdasarkan Klasifikasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Berat Umur Ibu (tahun) Jumlah Bayi < 20 20-35 > 35 Lahir f % f % f % f % (gram) 1500 11 7,6 120 83,3 13 9,1 144 100 <2500 <1000 2 4,5 30 68,2 12 27,3 44 100 <1500
Tabel 6. Lama Rawatan Rata-rata (hari) Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Lama Rawatan Rata-rata Ibu (hari) Mean 2,30 Standard deviation 0,979 Coefisiens of Variation 42,57 95% CI 2,16 – 2,44 Min 1 Max 8
Mengacu pada tabel 8 dapat diketahui bahwa proporsi umur ibu dengan klasifikasi BBLR 1500 - <2500 gram tertinggi adalah umur 20-35 tahun sebesar 83,3% (120 orang). Pada klasifikasi BBLR <1000 - <1500 gram tertinggi umur 20-35 tahun 68,2% (30 orang). Hasil analisa statistik menggunakan Chi-square didapat nilai p= 0,007 (p<0,05) berarti terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara umur ibu berdasarkan klasifikasi BBLR. Distribusi proporsi paritas berdasarkan klasifikasi BBLR dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Mengacu pada tabel 6 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata ibu adalah 2,30 hari (2 hari) dengan Standard Deviation (SD) 0,979 hari. Lama rawatan paling singkat adalah 1 hari dan paling lama adalah 8 hari. Berdasarkan 95% Confidence Interval diperoleh lama rawatan rata-rata ibu 2,162,44 hari. Lama rawatan rata-rata (hari) bayi dengan BBLR dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 9. Distribusi Proporsi Paritas Berdasarkan Klasifikasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Berat Paritas Jumlah Bayi Paritas 0 Paritas ≥ 1 Lahir f % f % f % (gram) 1500 85 59 59 41 144 100 <2500 <1000 14 31,8 30 68,2 44 100 < 1500
Tabel 7. Lama Rawatan Rata-rata (hari) Bayi dengan BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Lama Rawatan Rata-rata Ibu (hari) Mean 2,40 Standard deviation 1,660 Coefisiens of Variation 69,16 95% CI 2,16 – 2,64 Min 0 Max 11
Mengacu pada tabel 9 dapat diketahui bahwa proporsi paritas dengan klasifikasi BBLR 1500 - <2500 gram tertinggi pada paritas 0 59% (85 orang). Pada klasifikasi 4
BBLR <1000-<1500 tertinggi paritas ≥ 1 68,2% (30 orang). Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p=0,002 (p<0,05), artinya terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara paritas berdasarkan klasifikasi BBLR. Pada umumnya berat lahir meningkat dengan semakin tingginya paritas. Bayi kedua sekitar 100 gr lebih berat apabila dibandingkan dengan bayi yang lahir pada kehamilan pertama. Bayi yang lahir pada kehamilan pertama cenderung mempunyai risiko BBLR lebih tinggi.11 Distribusi umur kehamilan berdasarkan klasifikasi BBLR dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Dari tabel 11 dapat dilihat bahwa dari 69 bayi dengan klasifikasi BBLR 1500 <2500 gram tertinggi pada ibu dengan jarak kehamilan < 2 tahun 37 orang (53,6%). Pada klasifikasi BBLR <1000 - <1500 terdapat proporsi yang sama 12 orang (60%). Hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-square didapat nilai p= 0,614 (P>0,05) berarti tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara jarak kehamilan berdasarkan klasifikasi BBLR. Distribusi proporsi kadar Hb berdasarkan klasifikasi BBLR dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 12.
Tabel 10. Distribusi Proporsi Umur Kehamilan Berdasarkan Klasifkasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Berat Bayi Lahir (gram) 1500 <2500 <1000 <1500
Umur Kehamilan (minggu) < 37 37-42 > 42 f % f % f %
Berat Bayi Lahir (gram) 1500 <2500 <1000 < 1500
Jumlah f
%
61
42,4
80
55,6
3
2,1
144
100
15
34,1
23
52,3
6
13,6
44
100
Berat Bayi Lahir (gram) 1500 <2500 <1000 < 1500
Tabel 13.
Distribusi Proporsi Jarak Kehamilan Berdasarkan Klasifikasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Jarak Kehamilan (tahun) Jumlah <2 ≥2 f % f % f % 37
53,6
32
46,4
69
100
12
60
8
40
20
100
13
21,3
48
78,7
61
100
8
29,6
19
70,4
27
100
Mengacu pada tabel 12 dapat diketahui bahwa proporsi klasifikasi BBLR 1500 <2500 gram tertinggi pada kadar Hb ≥ 11 gr% 78,7% (48 orang). Pada klasifikasi BBLR <1000 - <1500 tertinggi kadar Hb ≥ 11 70,4% (19 orang). Hasil analisa statistik menggunakan uji Chi-square didapat nilai p= 0,399 (P>0,05) berarti tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara kadar Hb berdasarkan klasifikasi BBLR. Distribusi proporsi riwayat kehamilan terdahulu berdasarkan klasifikasi BBLR dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Mengacu pada tabel 10 dapat diketahui bahwa proporsi klasifikasi BBLR 1500 <2500 gram tertinggi pada umur kehamilan 37-42 minggu 55,6% (80 orang). Pada klasifikasi BBLR <1000 - <1500 tertinggi umur kehamilan 37-42 minggu 52,3% (23 orang). Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p=0,007 (p<0,05), artinya terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara umur kehamilan berdasarkan klasifikasi BBLR. Distribusi jarak kehamilan berdasarkan klasifikasi BBLR dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 11.
Distribusi Proporsi Kadar Hb Berdasarkan Klasifikasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Kadar Hb (gr%) Jumlah < 11 ≥ 11 f % f % f %
Berat Bayi Lahir (gram) 1500 <2500 <1000 < 1500
Distribusi Proporsi Riwayat Kehamilan Terdahulu Berdasarkan Klasifikasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Riwayat Kehamilan Terdahulu Baik Buruk f % f %
Jumlah f
%
107
74,3
37
25,7
144
100
19
43,2
25
56,8
44
100
Mengacu pada tabel 13 dapat diketahui bahwa proporsi klasifikasi BBLR 1500 5
<2500 gram tertinggi pada riwayat kehamilan baik 74,3% (107 orang). Pada klasifikasi BBLR <1000 - <1500 tertinggi riwayat kehamilan buruk 56,8% (25 orang). Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05), artinya terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara riwayat kehamilan terdahulu berdasarkan klasifikasi BBLR. Riwayat kehamilan yang baik tidak menutup kemungkinan terjadinya BBLR. Ibu yang mengalami faktor risiko seperti jarak kehamilan < 2 tahun, ibu yang kekurangan gizi pada masa kehamilan, ibu dengan anemia, ibu dengan umur kehamilan < 37 minggu kemungkinan besar akan mengalami BBLR.14 Tabel 14.
Berat Bayi Lahir (gram) 1500 <2500 <1000 – < 1500
Mengacu pada tabel 15 dapat diketahui bahwa proporsi klasifikasi BBLR 1500 - <2500 gram tertingggi pada bayi yang tidak memiliki komplikasi BBLR 97,9% (141 orang). Pada klasifikasi BBLR <1000 - <1500 gram tertinggi bayi yang tidak memiliki komplikasi kehamilan 45,5% (20 orang). Uji Chi-square tidak dapat digunakan karena terdapat 5 sel (62,5%) memiliki nilai expected count < 5. Tabel 16.
Distribusi Lama Rawatan Rata-rata Bayi (hari) Berdasarkan Status Komplikasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Lama Rawatan Rata-rata Status Komplikasi (hari) BBLR f Mean SD Ada 27 2,44 1,590 Tidak ada 161 2,39 2,063
Distribusi Proporsi Jenis Komplikasi Kehamilan Berdasarkan Klasifikasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012
Tidak ada komplikasi f %
Jenis Komplikasi Kehamilan Placent Preeklam Ketuban a previa si/eklamsi pecah dini f % f % f %
f
%
f
%
101
70,1
3
2,1
8
5,6
14
9,7
18
12,5
144
100
23
52,3
2
4,5
8
18,2
8
18,2
3
6,8
44
100
Mengacu pada tabel 16 dapat diketahui bahwa terdapat 27 bayi yang memiliki komplikasi BBLR dengan lama rawatan ratarata 2,44 hari (2 hari) dan nilai SD= 1,590. Terdapat 161 bayi yang tidak memiliki komplikasi BBLR dengan lama rawatan ratarata 2,39 hari (2 hari) dan nilai SD= 2,063. Hasil uji t-independent diperoleh nilai p=0,878 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara lama rawatan rata-rata bayi berdasarkan status komplikasi BBLR. Distribusi lama rawatan rata-rata ibu berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Jumlah
Anemia
Mengacu pada tabel 14 dapat diketahui bahwa proporsi klasifikasi BBLR 1500 <2500 gram tertinggi pada ibu yang tidak memiliki komplikasi 70,1% (101 orang). Pada klasifikasi BBLR <1000 - <1500 tertinggi ibu yang tidak memiliki komplikasi 52,3% (23 orang). Uji Chi-square tidak dapat digunakan karena terdapat 4 sel (40,0%) memiliki nilai expected count < 5. Distribusi proporsi komplikasi BBLR berdasarkan klasifikasi BBLR dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 15.
Berat Bayi Lahir (gram)
Tidak ada komplikasi
Tabel 17.
Distribusi Lama Rawatan Rata-rata Ibu (hari) Berdasarkan Keadaan Ibu Sewaktu Pulang di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Lama Rawatan Rata-rata Keadaan Ibu (hari) Sewaktu Pulang f Mean SD Sehat 156 2,26 0,895 PBJ 14 2,64 1,781 PAPS 18 2,33 0,840
Distribusi Proporsi Komplikasi BBLR Berdasarkan Klasifikasi BBLR di RSU Sundari Medan Tahun 2012
Komplikasi BBLR Lahir Hiperbilir Mati/Abor ubinemia tus f % f %
f
%
1500 <2500
141
98
0
0
1
<1000 < 1500
20
45,5
17
38,6
3
Asfiksia
Mengacu pada tabel 17 dapat diketahui bahwa terdapat 156 ibu sehat dengan lama rawatan rata-rata 2,26 hari (3 hari) dan nilai SD= 0,895. Terdapat 14 ibu PBJ dengan lama rawatan rata-rata 2,64 hari (3 hari) dan nilai SD= 1,781. Terdapat 18 ibu PAPS dengan lama rawatan rata-rata 2,33 hari (3 hari) dan nilai SD= 0,840.
Jumlah
f
%
f
%
0,7
2
1,4
144
100
6,8
4
9,1
44
100
6
Hasil uji t-independent diperoleh nilai p=0,421 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara lama rawatan rata-rata bayi berdasarkan keadaan bayi sewaktu pulang. Distribusi lama rawatan rata-rata bayi berdasarkan keadaan bayi sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
e. Proporsi tertinggi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan komplikasi BBLR adalah tidak ada komplikasi 85,6%. f. Lama rawatan rata-rata ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR adalah 2,30 hari (3 hari) dengan 95% CI diperoleh lama rawatan rata-rata 2,16-2,44, SD=0,979 hari dengan rawatan paling singkat 1 hari dan paling lama 8 hari. g. Lama rawatan rata-rata bayi dengan BBLR adalah 2,40 hari (3 hari) dengan 95% CI diperoleh lama rawatan rata-rata 2,16-2,64, SD=1,660 hari dengan rawatan paling singkat 0 hari dan paling lama 11 hari. h. Proporsi tertinggi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang yaitu sehat 83%. i. Proporsi tertinggi bayi dengan BBLR berdasarkan keadaan bayi sewaktu pulang yaitu sehat 50,5%. j. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara umur ibu berdasarkan klasifikasi BBLR (p=0,007). k. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara paritas berdasarkan klasifikasi BBLR (p=0,002). l. Terdapat perbedaan yang bermakna antara umur kehamilan berdasarkan klasifikasi BBLR (p=0,007). m. Tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara jarak kehamilan berdasarkan klasifikasi BBLR (p= 0,614). n. Tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara kadar Hb ibu berdasarkan klasifikasi BBLR (p= 0,399). o. Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara riwayat kehamilan terdahulu berdasarkan klasifikasi BBLR (p= 0,000). p. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata bayi berdasarkan status komplikasi BBLR (p= 0,878). q. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata ibu berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang (p= 0,377). r. Tidak terdapat yang bermakna antara lama rawatan rata-rata bayi berdasarkan keadaan bayi sewaktu pulang (p= 0,421).
Tabel 18.
Distribusi Lama Rawatan Rata-rata Bayi (hari) Berdasarkan Keadaan Bayi Sewaktu Pulang di RSU Sundari Medan Tahun 2012 Lama Rawatan Rata-rata Keadaan Bayi (hari) Sewaktu Pulang f Mean SD Sehat 95 2,46 1,827 PBJ 35 2,00 1,163 PAPS 37 2,62 1,831 Meninggal 21 2,38 1,161
Mengacu pada tabel 18 dapat diketahui bahwa terdapat 95 bayi sehat dengan lama rawatan rata-rata 2,46 hari (3 hari) dan nilai SD= 1,827. Terdapat 35 bayi PBJ dengan lama rawatan rata-rata 2,00 hari (2 hari) dan nilai SD= 1,163. Terdapat 18 bayi PAPS dengan lama rawatan rata-rata 2,62 hari (3 hari) dan nilai SD= 1,161. Hasil uji t-independent diperoleh nilai p=0,421 (p>0,05), artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara lama rawatan rata-rata bayi berdasarkan keadaan bayi sewaktu pulang. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi tertinggi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan sosiodemografi adalah umur 20-35 tahun 79,8%, agama Islam 84%, dan IRT 54,3%. b. Proporsi tertinggi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan risiko medis kehamilan adalah paritas 0 52,7%, umur kehamilan 37-42 minggu 54,8%, jarak kehamilan <2 tahun 55,1%, kadar Hb Ibu ≥ 11 gr% 35,6%, riwayat kehamilan baik 67%, tidak ada komplikasi kehamilan 66%. c. Proporsi tertinggi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan status pasien adalah bukan rujukan 88,3%. d. Proporsi tertinggi ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR berdasarkan klasifikasi BBLR 1500-<2500 gram adalah 76,6%. 7
9. Hidayanti, M., 2005. Kurang Energi Kronis dan Anemia Ibu Hamil sebagai Faktor Risiko Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sains Kesehatan Vol. 18 No. 4, UGM, Yogyakarta.
2. Saran a. Bagi pihak rumah sakit perlu diupayakan pencatatan data pasien yang lebih lengkap pada kartu status terutama untuk risiko medis kehamilan seperti kadar Hb. b. Bagi pihak rumah sakit perlu adanya pencatatan mengenai pemeriksaan antenatal pada ibu untuk mengetahui riwayat hamil ibu. c. Bagi pihak rumah sakit untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap bayi BBLR yang lahir hidup agar kualitas hidupnya meningkat. d. Bagi pihak Dinas Kesehatan untuk memberikan penyuluhan mengenai gizi ibu hamil dan penyuluhan mengenai jarak kehamilan yang ideal.
10. Adair, 1999. Filipino Children Exhibit Catch-up Growth From Age 2 to 12 years, The Journal of Nutrition, 129 : 1140-1148. 11.
Ambarwati, E.V., 2011. Asuhan Kebidanan Komunitas, Cetakan Ked[ua, Muha Medika, Yogyakarta.
12. Institute of Medicine, 1990. Preventing Low Birth Weight, National Academy Press Washington DC.
Daftar Pustaka 1. Depkes RI. 2010. Untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Kematian Bayi Perlu Kerja Keras. http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 18 Maret 2013
13. Rochati. P., 2003. Skrinning Antenatal pada Ibu Hamil, Fakultas Kedokteran UNAIR, Surabaya. 14. Manuaba, I.B.G., 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Cetakan Pertama, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
2. BPS,BKKBN,Kemenkes, Measure DHS, ICF International, 2012. Laporan Pendahuluan SDKI 2012. http://www.bkkbn.go.id. Diakses tanggal 4 April 2013. 3. Purwanto, E.R., 2009. Masalah BBLR di Indonesia. http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 18 Maret 2013 4. Dinas Kesehatan Sumatera Utara. 2009 Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2008, Sumatera Utara. 5. Dep. Kes. RI. 2009. Modul Manajemen BBLR, Jakarta. 6. WHO, UNICEF, 2004. Low Birth Weight, New York. 7. WHO, 2012. World Health Statistics, http://www.who.int. Diakses tanggal 19 Maret 2013. 8. Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, 2007. Profil Kesehatan Sulawesi Barat 2007, Sulawesi Barat. 8
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN ANTENATAL CARE (ANC) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN LAWE SUMUR KABUPATEN ACEH TENGGARA TAHUN 2013 Alas Sriwahyu1, Yusniwarti Yusad2, Erna Mutiara2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
Antenatal Care (ANC) is a health service by skilled health personel to a women during her pregnancy, based on standard antenatal care stated in midwifery standard services (Standar Pelayanan Kebidanan = SPK). Based on data from the Ministry of Health Republic of Indonesia in 2012, the coverage of 1st visit of pregnant women in Indonesia was 95.71% and 4th visit was 88.27%. Report of health center of Lawe Sumur subdistrict in 2012, it was found that the coverage of 1st visit was 90.2% and 4th visit was 82%. This research aimed to know the factors related to the utilization of the ANC in the working area of health center of Lawe Sumur Subdistrict, Aceh Tenggara District in 2013. The research design was Cross Sectional study. The population is all of post partum mothers from January to March 2013 living in the working area of health center of Lawe Sumur Subdistrict, as many as 84 mothers and all of them were selected as samples. Data were collected by interview using questionnaires. Data analysis was done by univariate and bivariat analysis used Chi-Square test. The results showed that out of 84 mothers, only 26 mothers (31.0%) utilized the ANC. It’s found there was relationship between knowledge (p=0.001), parity (p=0.005), health personel’s support (p=0.001), trust (p=0.001), the family/husband’s support (p=0.001) and the utilization of ANC. It is expected to Lawe Sumur Subdistrict Health Center to increase extention about the benefit and the purpose of ANC examination, the importance of arranging pregnancy interval, the kind of ANC service which can be given by health center, to change postpartum mother’s perspective and make them believe, by increasing the experience of health center personel, taking training and involving traditional birth attendants and community leaders. Target of information providing is extended to the family or husband because their support have real influence on the utilization of ANC. Keywords : Antenatal Care, Knowledge, Health Personel Support, Trust, and Support Families/Husbands PENDAHULUAN Antenatal Care (ANC)/ Asuhan antenatal adalah suatu program yang terencana berupa observasi, edukasi dan penanganan medik pada ibu hamil, untuk
memperoleh suatu proses kehamilan dan persalinan yang aman dan memuaskan. Kunjungan ANC sebaiknya dilakukan minimal 4x selama kehamilan yaitu K1 sampai dengan K4 (Rosfanty, 2010).
1
Menurut WHO tahun 2011 Angka Kematian Ibu (AKI) di negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia (29/100.000 kelahiran hidup), Thailand (48/100.000 KH), Vietnam (59/100.000 KH), serta Singapore (3/100.000 KH). Dibandingkan dengan negara-negara maju, angkanya sangat jauh berbeda seperti Australia (7/100.000 KH) dan Jepang (5/100.000 KH) (WHO, 2011). Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia saat ini tergolong masih cukup tinggi dibandingkan negara-negara lain yaitu mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan SDKI (2007) dalam Dinkes Aceh (2011). Padahal berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu sampai 3/4 risiko jumlah kematian ibu (Mboi, 2012). Cakupan kunjungan ibu hamil K1 di Indonesia pada tahun 2011 adalah 95,71% dari target 95% dan kunjungan ibu hamil K4 sebanyak 88,27% dari target 90% (Kemenkes RI, 2012). Indonesia kini menjadi salah satu dari 13 negara dengan angka kematian ibu tertinggi di dunia. Menurut WHO (2010) sekita 287.000 ibu meninggal karena komplikasi kehamilan dan kelahiran anak, seperti perdarahan 28%, preeklampsi/eklampsi 24%, infeksi 11%, dan penyebab tidak langsung (trauma obstetri) 5%. Dan sebagian besar kasus kematian ibu didunia terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia (WHO, 2011). Salah satu upaya yang dilakukan Departemen Kesehatan RI dalam mempercepat penurunan AKI dan AKB adalah dengan
menempatkan bidan di desa (Hasnah, 2007). AKI di Aceh berdasarkan Dinas Kesehatan Aceh (2011), Angka kematian ibu di Aceh tahun 2010 adalah 193/100.000 KH, namun program percepatan penurunan AKI diupayakan terus untuk mencapai target pembangunan millenium (MDGs) yaitu 102/100.000 Kelahiran Hidup (KH) tahun 2015 (Dinkes Aceh, 2011). Di Nangro Aceh Darussalam (NAD) cakupan kunjungan ibu hamil K1 sebanyak 95,80% dan cakupan kunjungan ibu hamil K4 sebanyak 88,83% (Kemenkes RI, 2012). AKI di Aceh Tenggara pada tahun 2011 jumlah kematian ibu maternal adalah 6 orang (Dinkes Aceh Tenggara, 2012) sementara di Banda Aceh pada tahun yang sama jumlah kematian maternal adalah 5 orang (Koto, 2012). Data cakupan K1 di Aceh Tenggara tahun 2011 sebanyak 96,2% dan data cakupan K4 di Aceh Tenggara tahun 2011 sebanyak 90,6% (Dinkes Aceh Tenggara, 2012). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Aceh (2011), laporan Puskesmas (2013) dan survei pendahuluan yang dilakukan di Kecamatan Lawe Sumur diperoleh data K1 tahun 2011 yaitu 86,2% dan tahun 2012 yaitu 90,2%, sementara target yang diharapkan adalah 95%, cakupan K4 tahun 2011 yaitu 81,3% dan tahun 2012 yaitu 82%, sementara target yang diharapkan adalah 90%, dari data tersebut maka diketahui bahwa Puskesmas Lawe Sumur merupakan puskesmas yang memiliki cakupan ANC terendah dari 17 kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Aceh Tenggara pada tahun 2011 dan belum mencapai
2
target standar cakupan ANC pada tahun 2012. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan terhadap 6 ibu hamil di Lawe Sumur tahun 2012 diperoleh informasi bahwa dari 6 ibu hamil yang tidak memeriksakan kehamilannya, mengatakan kehamilan adalah hal biasa yang akan dihadapi oleh setiap wanita sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan khusus, terutama pada ibu yang sudah memiliki lebih dari 1 orang anak. Ibu-ibu hamil tersebut belum mengetahui tanda-tanda bahaya pada kehamilan dan tanda-tanda persalinan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Masih rendahnya cakupan K1 (90,2%) dan K4 (82%) di Wilayah kerja Puskesmas Lawe Sumur sehingga ingin diteliti “Faktor apa saja yang Berhubungan dengan Pemanfaatan ANC di Wilayah Kerja Puskesmas Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2013”. Penelitian ini bertujuan untuk Untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan ANC pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2013. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu hamil dengan pemanfaatan ANC. Untuk mengetahui hubungan paritas ibu hamil dengan pemanfaatan ANC. Untuk mengetahui hubungan dukungan petugas kesehatan dengan pemanfaatan ANC. Untuk mengetahui hubungan kepercayaan dengan pemanfaatan ANC. Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga/suami dengan
pemanfaatan ANC. Adapun manfaat penelitian ini adalah Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara dalam upaya untuk meningkatkan kuantitas standar ANC. Sebagai masukan atau informasi bagi Puskesmas Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan ANC. Diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai informasi, perbandingan bagi peneliti selanjutnya. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat analitik, penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi dengan pendekatan cross sectional dimana pengukuran atau pengamatan terhadap subjek penelitian dilakukan pada saat bersamaan/sekali waktu (Hidayat, 2010). Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara. Adapun alasan pemilihan lokasi ini karena, data yang diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan, Puskesmas Lawe Sumur adalah Puskesmas yang memiliki cakupan ANC paling rendah dibandingkan 17 Puskesmas lainnya yang berada di Kabupaten Aceh Tenggara pada tahun 2011 yaitu K1: 86,2%, K4: 81,3% dan pada tahun 2012 yaitu K1: 90,2%, K4: 82% masih belum sesuai standar yang telah ditetapkan pemerintah yaitu K1: 95% dan K4: 90%. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli tahun 2012 sampai dengan Mei tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki
3
bayi berusia 1-3 bulan dari bulan Januari sampai dengan Maret tahun 2013 karena ibu yang memiliki bayi 1-3 bulan sudah melewati masa kehamilan dan sudah melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali (K4). Data ibu yang memiliki bayi 1-3 bulan dari bulan Januari sampai dengan Maret tahun 2013 sebanyak 84 orang yang berada di wilayah kerja Puskesmas Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara (Puskesmas Lawe Sumur, 2012) Sampel adalah ibu yang memiliki bayi 1-3 bulan dari bulan Januari sampai dengan Maret tahun 2013 di Kecamatan Lawe Sumur yang terpilih menjadi sampel serta bersedia ikut serta dalam penelitian. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel tunggal untuk uji hipotesis proporsi (Madiyono, 2011), yaitu:
Maka:
Berdasarkan perhitungan, maka besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk penelitian adalah sebanyak 63 responden. Namun karena data yang ada dari Laporan Puskesmas Lawe Sumur adalah jumlah ibu hamil >32 minggu tahun 2012 sebanyak 84 orang, diperkirakan ibu hamil tersebut akan melahirkan dari bulan Januari sampai dengan Maret 2013 sehingga yang dijadikan populasi adalah ibu yang memiliki bayi 1-3 bulan dari bulan Januari sampai dengan Maret tahun 2013 di Kecamatan Lawe Sumur sebanyak 84 orang, maka seluruh populasi dijadikan sampel.
Data diperoleh dengan dua cara yaitu data primer yang diperoleh dari hasil wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder yang diperoleh dari laporan Profil Dinas Kesehatan Aceh Tenggara tahun 2011, laporan bulanan Puskesmas Lawe Sumur kecamatan Lawe Sumur tahun 2012 dan 2013 tentang cakupan ANC, dan laporan tahunan Puskesmas Lawe Sumur berupa data umum (data geografi, demografi, dan data pelayanan kesehatan) di Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur. Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Data yang telah terkumpul, diolah dan didistribusikan melalui proses editing, coding dan tabulating (Hidayat, 2010). Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Coding adalah kegiatan memberi kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Tabulating adalah proses pemasukan data atau menyusun data kedalam bentuk-bentuk tabel data yang telah terkumpul diolah menggunakan komputer dan akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dalam bentuk narasi. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: Analisis Univariat Dilakukan untuk mendapatkan gambaran karakteristik masingmasing variabel terikat dan variabel
4
bebas yang meliputi pengetahuan, paritas, dukungan petugas kesehatan, kepercayaan, dukungan keluarga/ suami dengan pemanfaatan ANC di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk melihat ada tidaknya hubungan masing-masing variabel terikat dan variabel bebas yang meliputi pengetahuan, paritas, dukungan petugas kesehatan, kepercayaan, dukungan keluarga/suami dengan pemanfaatan ANC di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur dengan menggunakan uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan = 0,05, dengan kriteria: Ho ditolak jika p < α (0,05) maka terdapat hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas dan Ho diterima jika p > α (0,05) maka tidak terdapat hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan ANC di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur Tahun 2013 No 1 2
Pemanfaatan ANC Memanfaatkan Tidak memanfaatkan Total
f 26 58 84
% 31,0 69,0 100,0
memanfaatkan Antenatal Care (ANC) sebanyak 58 ibu (69,0%). Tabel 2. Distribusi Kategori Pengetahuan Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur Tahun 2013 No 1 2 3
Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total
f 12 47 25 84
% 14,3 56,0 29,8 100,0
Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa responden berdasarkan pengetahuan yang terbanyak ibu yang berpengetahuan cukup yaitu 47 ibu (56,0%) dan paling sedikit ibu berpengetahuan baik yaitu 12 ibu (14,3%). Tabel 3. Distribusi Paritas Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur Tahun 2013 No 1 2 3
Paritas 1-2 orang anak 3-4 orang anak > 4 orang anak
f 49 25 10
% 58,3 29,8 11,9
Total
84
100,0
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa responden berdasarkan jumlah paritas yang terbanyak ibu yang memiliki 1-2 orang anak yaitu 49 ibu (58,3%) dan yang paling sedikit ibu yang memiliki > 4 orang anak yaitu 10 ibu (11,9%)
Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat yang memanfaatkan Antenatal Care (ANC) hanya 26 ibu (31,0%) dan yang tidak
5
Tabel 4. Distribusi Dukungan Petugas Kesehatan pada Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur Tahun 2013 No 1 2
Dukungan Petugas Kesehatan Ada pemberian informasi Tidak ada pemberian informasi Total
No f
%
17
20,2
67
79,8
84
100,0
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa responden berdasarkan dukungan petugas kesehatan yang terbanyak tidak ada pemeberian informasi yaitu 67 ibu (79,8%) dan yang terendah ada dukungan petugas kesehatan yaitu 17 ibu (20,2%). Tabel 5. Distribusi Kepercayaan Responden terhadap Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur Tahun 2013 No 1 2
Tabel 6. Distribusi Kategori Dukungan Keluarga/ Suami di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur Tahun 2013
Kepercayaan terhadap Dukun Bayi Tidak percaya Percaya
f
%
22 62
26,2 73,8
Total
84
100,0
1 2
Dukungan Keluarga/Suami Mendukung Tidak mendukung Total
f 35 49 84
% 41,7 58,3 100,0
Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa responden berdasarkan dukungan keluarga/suami yang terbanyak adalah yang tidak mendapat dukungan keluarga/suami yaitu 49 ibu (58,3%) dan yang paling sedikit adalah mendapat dukungan keluarga/ suami yaitu 35 ibu (41,7%). Analisis bivariat dimaksud untuk melihat hubungan masing – masing variabel bebas (pengetahuan, paritas, dukungan petugas kesehatan, kepercayaan, dukungan keluarga/ suami) dengan variabel terikat (pemanfaatan Antenatal Care) dilakukan uji Chi Square pada tingkat kemaknaan α = 0,05.
Berdasarkan Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa responden menurut kepercayaan yang terbanyak yaitu percaya kepada dukun bayi sebanyak 62 ibu (73,8%) dan yang paling sedikit tidak percaya kepada dukun bayi sebanyak 22 ibu (26,2%).
6
Tabel 7. Hubungan Pengetahuan, Paritas, Dukungan Petugas Kesehatan, Kepercayaan, Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan ANC di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur Tahun 2013
No 1
2
3
4
5
Variabel
Pemanfaatan Antenatal Care Tidak Memanfaatkan Memanfaatkan f % f %
Total
p
χ2
f
%
0,0 70,2 100,0
12 47 25
100,0 100,0 100,0
0,001
38,006
27 22
55,1 88,0
49 25
100,0 100,0
0,005
10,715
88,2 16,4
2 56
11,8 83,6
17 67
100,0 100,0
0,001
32,724
18 8
81,8 12,9
4 54
18,2 87,1
22 62
100,0 100,0
0,001
36,084
24 2
68,6 4,1
11 47
31,4 95,9
3 49
100,0 100,0
0,001
39,731
Pengetahuan Baik Cukup Kurang
12 14 0
100,0 29,8 0
0 33 25
Paritas 1-2 3-4
22 3
44,9 12,0
Dukungan Petugas Kesehatan Ada Tidak ada
15 11
Kepercayaan Tidak percaya Percaya Dukungan Keluarga Mendukung Tidak medukung
Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat hasil analisis, yaitu : Dari 47 ibu yang memiliki pengetahuan cukup sebanyak 14 ibu (29,8%) yang memanfaatkan ANC dan 33 ibu (70,2%) yang tidak memanfaatkan ANC diikuti responden yang memiliki pengetahuan kurang ada 25 ibu (100,0%) yang tidak memanfaatkan ANC. Secara statistik terbukti ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemanfaatan ANC (p=0,001). Menunjukkan hasil analisis hubungan antara paritas ibu dengan pemanfaatan ANC diperoleh yang terbanyak dari 49 ibu yang memiliki 1 – 2 orang anak ada 22 ibu (44,9%) yang memanfaatkan ANC dan 27 ibu
(55,1%) yang tidak memanfaatkan ANC diikuti dari 25 ibu yang memiliki 3 – 4 orang anak ada 3 ibu (12,0%) yang memanfaatkan ANC dan 22 ibu (88,0%) yang tidak memanfaatkan ANC. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan pemanfaatan ANC (p=0,005). Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan pemanfaatan ANC (p=0,005). Dari dukungan petugas kesehatan dengan ibu yang memanfaatkan ANC diperoleh yang terbanyak ada dukungan petugas kesehatan yaitu 15 ibu (88,2%) yang memanfaatkan ANC dan 2 ibu (11,8%) yang tidak memanfaatkan
7
ANC diikuti tidak ada dukungan petugas kesehatan yaitu 11 ibu (16,4%) yang memanfaatkan ANC dan 56 ibu (83,6%) yang tidak memanfaatkan ANC. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna antara dukungan petugas kesehatan dengan pemanfaatan ANC (p=0,001). Hubungan kepercayaan ibu dengan pemanfaatan ANC diperoleh yang terbanyak dari 22 ibu yang tidak percaya kepada dukun bayi ada 18 ibu (81,8%) yang memanfaatkan ANC dan 4 ibu (18,2%) yang tidak memanfaatkan ANC diikuti dari 62 ibu yang percaya kepada dukun bayi ada 8 ibu (12,9%) yang memanfaatkan ANC dan 54 ibu (87,1%) yang tidak memanfaatkan ANC. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna antara kepercayaan ibu kepada seseorang/tenaga kesehata dengan pemanfaatan ANC (p=0,001). Dari 34 ibu yang mendapat dukungan keluarga ada 24 ibu (68,6%) yang memanfaatkan ANC dan 11 ibu (31,4%) yang tidak memanfaatkan ANC diikuti dari 49 ibu yang tidak mendapat dukungan keluarga sebanyak 2 ibu (4,1%) yang memanfaatkan ANC dan 47 ibu (95,9%) yang tidak memanfaatkan ANC. Secara statistik terbukti ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan ANC (p=0,001). Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Pemanfaatan Antenatal Care (ANC) Hasil analisis bivariat menunjukkan pengetahuan ibu dengan pemanfaatan ANC diperoleh semua ibu yang memiliki pengetahuan baik memanfaatkan ANC yaitu 5 ibu (100,0%), diikuti oleh kelompok ibu dengan pengetahuan cukup ada 21 ibu (1,3%)
yang memanfaatkan ANC dan 8 ibu (27,6%) yang tidak memanfaatkan ANC, sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan kurang ada 50 ibu (100,0%) dan tidak satupun yang memanfaatkan ANC. Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan pemanfaatan ANC (p=0,001) Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (2009) di kota Medan yang menyatakan bahwa pengetahuan memiliki hubungan yang bermakna dengan pemanfaatan ANC (p=0,001). Murniati (2007) di Kabupaten Aceh Tenggara dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengetahuan ibu mempunyai hubungan dengan pemanfaatan ANC (p=0,001). Hubungan Paritas dengan Pemanfaatan Antenatal Care (ANC) Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,005 < 0,05 hal ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara paritas drngan pemanfaatan ANC. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (2012) di kota Medan yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara variabel paritas dengan pemanfaatan ANC p=0,001 < 0,05. Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan Pemanfaatan Antenatal Care (ANC) Hasil uji statistik diperoleh p=0,001 < 0,05 ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara dukungan petugas kesehatan dengan pemanfaatan ANC. Menurut Sarfino (2002) dikutip oleh Saragih (2012), dukungan petugas kesehatan merupakan dukungan sosial dalam bentuk dukungan informasi, dimana perasaan subjek bahwa lingkungan (petugas kesehatan) memberikan
8
informasi yang jelas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kehamilan. Hubungan Kepercayaan ibu dengan Pemanfaatan Antenatal Care (ANC) Hasil uji statistik diperoleh p=0,001 < 0,05 hal ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kepercayaan yang dimiliki ibu dengan pemanfaatan ANC. Dari hasil wawancara yang dilakukan ibu mengatakan bahwa dukun bayi sudah berpengalaman dalam memeriksa kehamilan dan sudah dipercayai secara turun temurun oleh masyarakat setempat. Menurut teori WHO dalam Notoatmodjo (2003) salah satu yang menyebabkan seseorang memanfaatkan pelayanan kesehatan adalah kepercayaan seseorang terhadap pelayanan kesehatan tersebut. Misalnya alasan-alasan masyarakat tidak mau berobat ke puskesmas karena mereka tidak percaya terhadap pelayanan yang diberikan puskesmas dan sumber daya manusia yang berada di puskesmas. Hubungan Dukungan Keluarga/ Suami dengan Pemanfaatan Antenatal Care (ANC) Hasil uji statistik diperoleh p=0,001 < 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan ANC. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (2012) di kota Medan ada hubungan variabel dukungan keluarga/suami dengan pemanfaatan ANC (p=0,001) KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh dari 84 ibu hanya 26 ibu (31,0%) yang memanfaatkan
Antenatal Care (ANC) dan 58 ibu (69,0%) yang tidak memanfaatkan Antenatal Care (ANC). 2. Faktor pengetahuan, paritas, dukungan petugas kesehatan, kepercayaan dan dukungan keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan Antenatal Care (ANC) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2013. Adapun saran yang dapat diberikan : 1. Hendaknya Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tenggara meningkatkan kegiatan penyuluhan tentang pentingnya, tujuan dan manfaat pemeriksaan ANC dalam mensosialisasikan program Antenatal Care (ANC) kepada masyarakat. 2. Kepada tenaga kesehatan khususnya bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Lawe Sumur agar lebih aktif melakukan penyuluhan tentang pentingnya mengatur jarak dalam kehamilan, pentingnya melakukan pemeriksaan kehamilan, dan informasi tentang pelayanan yang dapat diberikan oleh puskesmas kepada masyarakat tentang Antenatal Care (ANC) dengan memperhatikan tempat-tempat strategis bagi ibu-ibu berkumpul seperti pengajian, sehingga dapat meningkatkan kunjungan pemeriksaan kehamilan. 3. Hendaknya untuk mengubah pendapat masyarakat khususnya ibu-ibu postpartum kepada petugas kesehatan, khususnya Bidan Desa di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan lawe Sumur mengunjungi rumah setiap ibu hamil yang tidak memeriksakan kehamilannya ke
9
Puskesmas dengan membawa alat-alat kesehatan yang diperlukan seperti tensi, timbangan badan, alat pendengar Denyut Jantung Janin (DJJ)/doppler, dan obat-obatan gratis sehingga ibu-ibu tersebut merasa Bidan lebih professional dalam melakukan pemeriksaan dan ibu hamil dapat merasakan manfaat yang lebih baik untuk kehamilannya, sehinga pada kunjungan/kehamilan berikutnya ibu hamil tersebut akan memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas dan menganggap bidan juga berpengalaman dan memiliki alat-alat yang canggih. 4. Hendaknya untuk mengubah pandangan dan membuat ibu-ibu postpartum percaya kepada petugas kesehatan atau bidan, harus dilakukan secara perlahanlahan. Bidan sebaiknya meningkatkan pengalaman dengan mengikuti pelatihanpelatihan, dan memberikan penyuluhan tentang apa-apa saja yang dapat diberikan bidan dalam pelayanan ANC secara langsung melalui media elektronik atau media komunikasi lainnya dengan melibatkan dukun bayi, tokoh masyarakat dan lembaga masyarakat lainnya. 5. Sasaran pemberian informasi oleh tenaga kesehatan hendaknya tidak hanya ibu-ibu hamil tetapi pemberian informasi diperluas kepada keluarga/suami, karena dukungan keluarga/suami memberikan pengaruh nyata terhadap pemanfaatan Antenatal Care (ANC).
DAFTAR PUSTAKA Arikunto S. 2002. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta. Dinas Kesehatan Aceh Tenggara. 2012. Profil Pembinaan Pelayanan Kesehatan 2011. Dinas Kesehatan Aceh Tenggara. Kutacane. Dinas Kesehatan Aceh. 2011. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Aceh 2010. http://www.dinkes.aceh.prov.g o.id/flip_profil2010/indexhtml#24.Diakses 12 Juli 2012. Hasnah N. 2007. Peranan Para Bidan Menekan AKI. http://www.waspada.co.id/ind ex.php?option=comcontent&v iew=article&id=489:perananpara-Bidan-menekanaki&catid=31&itemed=99. Diakses 8 Mei 2012. Hidayat AAA. 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Salemba Medika, Jakarta. Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. http://www.depkes.go.id/dow nloads/PROFIL_KESEHATA N_INDONESIA_TAHUN_20 11.pdf. Diakses. 5 Agustus 2012 Puskesmas Lawe Sumur. 2012. Laporan Bulanan PWS KIA 2012, Kutacane. Rosfanty. 2009. Pentingnya Antenatal Care (ANC). http://www.who.int/gho/mater nal-health/ert/index.html2010. Diakses 18 Agustus 2012. WHO.2012. WHO Countries. http://www.who.int/countries/ en/Diakses 20 Juni 2013
10
FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERKAWINAN USIA MUDA PADA PENDUDUK KELOMPOK UMUR 12-19 TAHUN DI DESA PUJI MULYO KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2013 Priyanti1, Maya Fitria2, Erna Mutiara2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT
Young age marriage is a marriage conducted under the age of 20 years. Maturation age of marriage is an attempt to increase the age at first marriage, so it achieves the minimum age at marriage that is 20 years for women and 25 years for men. This study aimed to understand the factors related to early marriage of the population of the age group 12-19 years at the Puji Mulyo Village, Sunggal Subdistrict, Deli Serdang District in 2013. The study design was cross-sectional. The study population was the entire population of the age group 12-19 years in 2012 as many as 1458 people. Sample is the population of the age group 12-19 years who had father and mother, had been dated, had a girl or boy friend. Data collection was done by using questionnaires. Data analysis was done by univariate and bivariate analysis using chi-square test. The results showed that of 81 population of the age group 12-19 years there were 22 people (27.2%) who did young age marriage. Also it was found no relationship between knowledge (p = 0.001), promiscuity (p = 0.001) and young age marriage. While there is no relationship between education (p = 0.325), father's education (p = 0.428), mother’s education (p = 0.545), culture (p = 0.060) and young age marriage. The village goverment is expected to cooperate with the school and the Office of Religious Affairs to provide counseling related to young age marriage on adolescent and to activate PIK-KRR (Center for Adolescent Reproductive Health Counseling Information) as a mean to obtain information about adolescent reproductive health especially about the meaning and impact of early marriage, the ideal age for marriage and marriage laws as well as parents should pay more attention to the development of their children and adolescents are more selective in choosing friends not to be involved in promiscuity. Keywords : Marriage, Young Age, Population Age 12-19 Years PENDAHULUAN Perkawinan usia muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang berusia dibawah 19
tahun (WHO, 2006). Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan di bawah usia 20 tahun (BkkbN, 2010). Lebih dari 64 juta wanita di dunia menikah di bawah sebelum
1
umur 18 tahun. Adapun faktor penyebabnya adalah keadaan sistem pencatatan sipil di negara tersebut yang belum memadai dengan mekanisme penegakan hukum dalam menangani kasus perkawinan usia muda dan adanya adat dan hukum agama yang membenarkan praktek perkawinan usia muda (UNICEF, 2009). Data Riskesdas 2010 menunjukan bahwa prevalensi umur perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebanyak 41,9 %. Menurut SDKI tahun 2007, sebanyak 17 % wanita yang saat ini berumur 45-49 tahun menikah pada umur 15 tahun, sedangkan proporsi wanita yang menikah pada umur 15 tahun berkurang dari 9 % untuk umur 3034 tahun menjadi 4 % untuk wanita umur 20-24 tahun. Menurut data Susenas tahun 2010, secara nasional rata-rata usia kawin pertama di Indonesia 19 tahun, rata-rata usia kawin di daerah perkotaan 20 tahun dan di daerah pedesaan 18 tahun, masih terdapat beberapa provinsi rata-rata umur kawin pertama perempuan di bawah angka nasional (Ayu dan Soebijanto, 2011). Berdasarkan data dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Sunggal, jumlah remaja umur 12-19 tahun yang melakukan perkawinan di bawah usia 20 tahun pada tahun 2010 yaitu sebanyak 152 pasangan (8,06 %), sementara itu pada tahun 2011 yaitu sebanyak 273 pasangan (17,7 %). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan remaja yang melakukan perkawinan usia muda (KUA Sunggal, 2011). Jumlah remaja umur 12-19 tahun di Desa Puji Mulyo sebanyak 1.458 jiwa, yang terdiri dari 714 jiwa remaja putri dan 744 jiwa remaja putra. Pada tahun 2010, jumlah
perkawinan usia muda di bawah 20 tahun di Desa Puji Mulyo Kecamatan Sunggal sebanyak 29 pasangan (3,9 %), sedangkan pada tahun 2011 yaitu sebanyak 49 pasangan (6,7 %). Dari survei awal yang dilakukan di Desa Puji Mulyo, dari 13 remaja yang melakukan perkawinan usia muda mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu dampak perkawinan usia muda yaitu sebanyak 8 orang (62%), mereka kawin muda karena tidak melanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang berpendidikan SMP sebanyak 2 orang (15,3%) dan yang berpendidikan SMA sebanyak 11 orang (84,7%), sedangkan pendidikan orang tua remaja sendiri yaitu yang berpendidikan SD yaitu sebanyak 3 orang (23%), yang berpendidikan SMP yaitu sebanyak 8 orang (61,5%), yang berpendidikan SMA yaitu sebanyak 2 orang (15,3%). Ditambah adanya budaya masyarakat yang menikahkan anaknya dengan kolega atau masyarakat yang berdomisili satu wilayah pada usia muda yaitu sebanyak 1 orang (7,7%), karena takut anaknya terjerumus dalam pergulan bebas. Hal ini disebabkan karena adanya remaja yang hamil di luar nikah yaitu sebanyak 2 orang (15,4%). Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka yang jadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah tingginya angka perkawinan usia muda pada penduduk kelompok umur 12-19 tahun dan belum adanya informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perkawinan usia muda di Desa Puji Mulyo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang tahun 2013. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan
2
Perkawinan Usia Muda Pada Penduduk Kelompok Umur 12-19 Tahun di Desa Puji Mulyo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan penduduk kelompok umur 12-19 tahun dengan perkawinan usia muda. Untuk mengetahui hubungan pendidikan penduduk kelompok umur 12-19 tahun dengan perkawinan usia muda. Untuk mengetahui hubungan pendidikan ayah dengan perkawinan usia muda. Untuk mengetahui hubungan pendidikan ibu dengan perkawinan usia muda. Untuk mengetahui hubungan pergaulan bebas dengan perkawinan usia muda. Untuk mengetahui hubungan budaya dengan perkawian usia muda. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi pemerintah di Desa Puji Mulyo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, dan bekerjasama dengan pihak sekolah atau KUA Kecamatan Sunggal dalam memberikan konseling yang berhubungan dengan perkawinan dan sebagai sumber referensi bagi peneliti selanjutnya, agar dapat mengkaji hal-hal yang lebih dalam lagi, terutama yang berhubungan dengan perkawinan usia muda. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat analitik, penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi dengan pendekatan cross sectional dimana pengukuran atau pengamatan terhadap subjek
penelitian dilakukan pada saat bersamaan/sekali waktu (Hidayat, 2007). Populasi adalah seluruh penduduk kelompok umur 12-19 tahun yang tinggal di Desa Puji Mulyo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang tahun 2011 yaitu sebanyak 1.458 jiwa. Sampel dalam penelitian ini adalah penduduk kelompok umur 1219 tahun yang masih mempunyai orang tua (ayah dan ibu) yang pernah mempunyai pacar atau yang masih mempunyai pacar yang tinggal di Desa Puji Mulyo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang tahun 2013 baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah yang terpilih menjadi sampel serta bersedia ikut serta dalam penelitian. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel tunggal untuk uji hipotesis proporsi (Hidayat, 2007), yaitu: =
=
/
(1 − ) + ( − )
(1 −
)
1,96 0,35(1 − 0,35) + 1,282 0,19(1 − 0,19)
= 81
(0,19 − 0,35)
Berdasarkan perhitungan, maka besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk penelitian adalah sebanyak 81 responden. HASIL Tabel 1. Distribusi Perkawinan Usia Muda Penduduk Kelompok Umur 12-19 Tahun Perkawinan kawin muda tidak kawin muda Total
n 22 59 81
% 27,2 72,8 100,0
3
Tabel 1 menunjukkan bahwa responden yang melakukan perkawinan usia muda berjumlah 22 responden (27,2 %) dan responden yang tidak melakukan perkawinan usia muda berjumlah 59 responden (72,8 %).
Tabel 4. Distribusi Ayah
Tabel 2. Distribusi Pengetahuan Penduduk Kelompok Umur 12-19 Tahun
Tabel 4 menunjukkan latar belakang pendidikan ayah dari responden, terdapat 34 orang (41,9 %) berpendidikan dasar (Tamat SD, SMP), 47 orang (58,1 %) berpendidikan lanjut (SMA, Akademi/Sarjana)
Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total
n 38 40 3 81
% 46,9 49,4 3,7 100,0
Tabel 2 menunjukkan bahwa 38 orang responden (46,9 %) memiliki pengetahuan yang baik, 40 orang responden (49,4 %) memiliki pengetahuan yang cukup dan 3 orang responden (3,70 % ) memiliki pengetahuan yang kurang terhadap perkawinan usia muda. Tabel 3. Distribusi Pendidikan Penduduk Kelompok Umur 12-19 Tahun Pendidikan Responden Pendidikan Dasar Pendidikan Lanjut Total
n
%
42 39 81
51,8 48,2 100,0
Tabel 3 menunjukkan latar belakang pendidikan responden, terdapat 42 orang responden (51,8 %) berpendidikan dasar, 39 orang responden (48,2 %) berpendidikan lanjut.
Pendidikan Ayah Pendidikan Dasar Pendidikan Lanjut Total
Pendidikan n 34 47 81
% 41,9 58,1 100,0
Tabel 5. Distribusi Pendidikan Ibu Pendidikan Ibu
n
%
Pendidikan Dasar
43
53,1
Pendidikan Lanjut Total
38 81
46,9 100,0
Tabel 5 menunjukkan latar belakang pendidikan ibu dari responden, terdapat 43 orang (53,1 %) berpendidikan dasar (Tamat SD, SMP) , 38 orang (46,9 %) berpendidikan lanjut (SMA, Akademi/ Sarjana). Tabel 6. Distribusi Pergaulan Bebas Penduduk Kelompok Umur 12-19 Tahun Pergaulan Tidak Bebas Bebas Total
n 35 46 81
% 43,3 56,7 100,0
Tabel 6 menunjukkan pergaulan dari responden, 35 orang responden (43,3 %) tidak bergaul secara bebas dan 46 orang responden (56,7 %) bergaul secara bebas.
4
Tabel 7 menunjukan 60 orang responden (74,1 %) tidak memiliki budaya perkawinan usia muda dan 21 orang responden (25,9 %) memiliki budaya perkawinan usia muda.
Tabel 7. Distribusi Budaya Penduduk Kelompok Umur 12-19 Tahun Budaya Tidak Ada Ada Total
n 60 21 81
% 74,1 25,9 100,0
Tabel 8. Hubungan Pengetahuan dengan Perkawinan Usia Muda
Baik Cukup
Perkawinan Usia Muda Tidak Kawin Kawin Muda Muda Jumlah n % n % n % 2 5,3 36 94,7 38 100,0 18 45 22 55 40 100,0
Kurang Jumlah
2 22
Penge tahuan
66,6 27,2
1 59
33,4 72,8
Tabel 8 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pengetahuan responden dengan perkawinan usia muda. Responden yang melakukan perkawinan usia muda sebanyak 2 responden (5,3%) berpengetahuan baik, 18 orang responden (45,0%) berpengetahuan cukup dan 2 responden (66,6%) berpengetahuan kurang. Responden
3 81
p
χ²
0,001
8,011
100,0 100,0
yang tidak melakukan perkawinan usia muda sebanyak 36 responden (94,7 %) berpengetahuan baik, 22 orang responden (55,0 %) berpengetahuan cukup dan 1 responden (33,3%) berpengetahuan kurang. Taraf signifikansi p = 0,001 < 0,05, secara statistik terbukti ada hubungan pengetahuan responden dengan perkawinan usia muda.
Tabel 9. Hubungan Pendidikan dengan Perkawinan Usia Muda
Pendidikan
Pendidikan Dasar Pendidikan Lanjut Jumlah
Perkawinan Usia Muda Kawin Tidak Kawin Jumlah Muda Muda n % n % n % 14
33,3
28
66,7
42
100,0
8 22
20,5 27,2
31 59
79,5 72,8
38 81
100,0 100,0
Tabel 9 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pendidikan responden terhadap perkawinan usia muda. Responden yang melakukan
p
χ²
0,195 1,68
perkawinan usia muda sebanyak 14 responden (33,3%) berpendidikan Dasar dan 8 responden (20,5%) berpendidikan Lanjut. Responden
5
yang tidak melakukan perkawinan usia muda sebanyak 28 responden (66,7%) berpendidikan Dasar, 31 responden (79,5%) berpendidikan
Lanjut. Taraf signifikansi p = 0,195 > 0,05, secara statistik terbukti tidak ada hubungan pendidikan responden dengan perkawinan usia muda.
Tabel 10. Hubungan Pendidikan dengan Perkawinan Usia Muda Perkawinan Usia Muda Tidak Kawin Kawin Jumlah Muda Muda n % n % n %
Pendidikan Ayah
Pendidikan Dasar Pendidikan Lanjut Jumlah
12
36,4
21
33
χ²
100,0 0,123 2,384
10 22
20,8 27,2
38 59
Tabel 10 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pendidikan ayah responden dengan perkawinan usia muda. Responden yang melakukan perkawinan usia muda sebanyak 12 responden (36,4%) pendidikan ayah Pendidikan Dasar, 10 responden (20,8%) pendidikan ayah Pendidikan Lanjut. Responden yang tidak melakukan perkawinan Tabel 11.
63,6
p
79,2 72,8
48 81
100,0 100,0
usia muda sebanyak 21 responden (63,6%) pendidikan ayah Pendidikan Dasar, 38 responden (79,2%) pendidikan ayah Pendidikan Lanjut. Taraf signifikansi p = 0,123 > 0,05, secara statistik terbukti tidak ada hubungan pendidikan ayah responden dengan perkawinan usia muda.
Hubungan Pendidikan Ayah dengan Perkawinan Usia Muda Perkawinan Usia Muda
Pendidikan Ayah Pendidikan Dasar Pendidikan Lanjut Jumlah
Kawin Muda n %
Tidak Kawin Muda n %
Jumlah n %
12
36,4
21
63,6
33
100,0
10 22
20,8 27,2
38 59
79,2 72,8
48 81
100,0 100,0
Tabel 11 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pendidikan ayah responden dengan perkawinan usia muda. Responden yang melakukan perkawinan usia muda sebanyak 12 responden (36,4%) pendidikan ayah Pendidikan Dasar,
p
χ²
0,123 2,384
10 responden (20,8%) pendidikan ayah Pendidikan Lanjut. Responden yang tidak melakukan perkawinan usia muda sebanyak 21 responden (63,6%) pendidikan ayah Pendidikan Dasar, 38 responden (79,2%) pendidikan ayah Pendidikan Lanjut.
6
Taraf signifikansi p = 0,123 > 0,05, secara statistik terbukti tidak ada hubungan pendidikan ayah
responden dengan perkawinan usia muda.
Tabel 12. Hubungan Pendidikan Ibu dengan Perkawinan Usia Muda Perkawinan Usia Muda Pendidikan Ibu Pendidikan Dasar Pendidikan Lanjut Jumlah
Kawin Muda n % 13 9 22
30,2 23,7 27,2
Tidak Kawin Muda n % 30 29 59
Tabel 12 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pendidikan ibu responden dengan perkawinan usia muda. Responden yang melakukan perkawinan usia muda sebanyak 13 responden (30,2%) pendidikan ibu Pendidikan Dasar, 9 responden (23,7%) pendidikan ibu Pendidikan Lanjut. Responden yang
69,8 76,3 72,8
Jumlah n % 33 48 81
p
χ²
0,508
0,437
1000, 100,0 100,0
tidak melakukan perkawinan usia muda sebanyak 30 responden (69,8%) pendidikan ibu Pendidikan Dasar, 29 responden (76,3%) pendidikan ibu Pendidikan Lanjut. Taraf signifikansi p = 0,508 > 0,05, secara statistik terbukti tidak ada hubungan pendidikan ibu responden terhadap perkawinan usia muda.
Tabel 13. Hubungan Pergaulan dengan Perkawinan Usia Muda Perkawinan Usia Muda Pergaulan
Tidak bebas Bebas Jumlah
Kawin Muda n % 3 8,5 19 41,3 22
27,2
Tidak Kawin Muda n % 32 91,5 27 58,7 59
Tabel 13 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pergaulan responden dengan perkawinan usia muda. Responden yang melakukan perkawinan usia muda sebanyak 3 responden (8,5%) bergaul secara tidak bebas dan 19 responden (41,3%) bergaul secara bebas. Responden yang tidak melakukan
72,8
Jumlah n 35 46
% 100,0 100,0
81
100,0
p
χ²
0,001
10,765
perkawinan usia muda sebanyak 32 responden (91,5%) bergaul secara tidak bebas dan 27 responden (58,7%) bergaul secara bebas. Taraf signifikansi p = 0,001 < 0,05, secara statistik terbukti ada hubungan pergaulan responden dengan perkawinan usia muda.
7
Tabel 14. Hubungan Budaya dengan Perkawinan Usia Muda Perkawinan Usia Muda Budaya
Kawin Muda
Tidak bebas Bebas Jumlah
n 13 9 22
% 21,6 42,8 27,2
Tidak Kawin Muda n 47 12 59
Tabel 14 menunjukkan hasil analisis hubungan antara budaya responden dengan perkawinan usia muda. Responden yang melakukan perkawinan usia muda sebanyak 13 responden (21,6%) tidak memiliki budaya menikah usia muda dan 9 responden (42,8%) memiliki budaya menikah usia muda. Responden yang tidak melakukan perkawinan usia muda sebanyak 47 responden (78,4%) memiliki budaya menikah usia muda dan 12 responden (57,2%) tidak memiliki budaya menikah usia muda. Taraf signifikansi p = 0,060 > 0,05, secara statistik terbukti tidak ada hubungan budaya responden dengan perkawinan usia muda. PEMBAHASAN Hubungan Pengetahuan dengan Perkawinan Usia Muda Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan responden dengan perkawinan usia muda. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Responden
% 78,4 57,2 72,8
Jumlah n 60 21 81
% 100,0 100,0 100,0
p
χ²
0,060
3,531
mengatakan memperoleh pengetahuan dari lingkungan sekitar mereka, yaitu dengan melihat kehidupan pasangan muda yang melakukan perkawinan usia muda. Sebagian besar kehidupan pasangan muda tersebut mengalami kesulitan dalam bidang ekonomi. Hubungan Pendidikan dengan Perkawinan Usia Muda Tingkat pendidikan yang rendah atau tidak melanjutkan sekolah lagi bagi seorang wanita dapat mendorong untuk cepat-cepat menikah. Permasalahan yang terjadi karena mereka tidak mengetahui seluk beluk perkawinan sehingga cenderung untuk cepat berkeluarga dan melahirkan (Sekarningrum, 2002). Dalam penelitian yang dilakukan p=0,195, tidak ada hubungan pendidikan responden dengan perkawinan usia muda. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan pendidikan yang tinggi belum tentu tidak melakukan perkawinan usia muda. Pendidikan yang tinggi tidak menentukan banyak nya informasi yang diperoleh tentang damapak dari perkawinan usia muda. Hubungan Pendidikan Ayah dengan Perkawinan Usia Muda Perkawinan usia muda juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
8
masyarakat secara keseluru han. Suatu masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah akan cenderung untuk mengawinkan anaknya dalam usia masih muda (Sekarningrum, 2002). Secara analisis statistik chi-square ditemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dengan perkawinan usia muda. Pendidikan ayah tidak menentukan banyaknya informasi atu kemauan dalam menerima informasi tentang dampak negatif dari perkawinan usia muda, sehingga ayah sebagai kepala rumah tangga dapat berperan dalam menurunkan angka perkawinan usia muda. Dengan alasan dianggap sebagai pemberi keputusan di dalam keluarga. Hubungan Pendidikan Ibu dengan Perkawinan Usia Muda Secara analisis statistik chisquare ditemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan perkawinan usia muda. Dalam hal ini pendidikan ibu tidak menentukan bahwa responden tidak melakukan perkawinan usia muda. Hal ini disebabkan karena adanya faktor pergaulan bebas. Kemudian ditambah lagi ibu yang tidak bisa mengawasi anaknya yang disebabkan karena sebagian besar ibu bekerja sebagai buruh di pabrik. Hubungan Pergaulan Bebas dengan Perkawinan Usia Muda Perkawinan usia muda terjadi karena akibat kurangnya pemantauan dari orang tua yang mana mengakibatkan kedua anak tersebut melakukan tindakan yang tidak pantas tanpa sepengetahuan orang tua. Hal ini tidak sepenuhnya kedua anak tersebut haruslah disalahkan.
Mungkin dalam kehidupannya mereka kurang mendapat perhatian dari orang tuanya, kasih sayang dari orang tuanya dan pemantauan dari orang tua. Yang mana mengakibatkan mereka melakukan pergaulan secara bebas yang mengakibatkan merusak karakter pemuda sebagai makhluk Tuhan. Masa-masa seumuran mereka yang pertumbuhan seksualnya meningkat dan masa-masa dimana mereka berkembang menuju kedewasaan. (Wicaksono, 2013). Secara analisis statistik chi-square ditemukan ada hubungan yang bermakna antara pergaulan bebas dan perkawinan usia muda. Hubungan Budaya dengan Perkawinan Usia Muda Secara analisis statistik chisquare ditemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara budaya dengan perkawinan usia muda. Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan. Faktor adat dan budaya, di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Pada hal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU (Ahmad, 2009).
9
KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan perkawinan usia muda pada penduduk kelompok umur 1219 tahun, dimana responden yang berpengetahuan baik sebanyak 2 responden (5,2%) melakukan perkawinan usia muda dibandingkan dengan responden yang bepengetahuan cukup sebanyak 18 responden (45%). 2. Tidak ada hubungan antara pendidikan responden dengan perkawinan usia muda pada penduduk kelompok umur 1219 tahun, dimana responden yang berpendidikan Dasar sebanyak 14 responden (33,3%) melakukan perkawinan usia muda dibandingkan yang berpendidikan Lanjut 10 responden (20,5%). 3. Tidak ada hubungan antara pendidikan ayah perkawinan usia muda pada penduduk kelompok umur 12-19 tahun, dimana responden yang pendidikan ayahnya berpendidikan Dasar sebanyak 12 responden (36,4%) melakukan perkawinan usia muda dibandingkan dengan responden yang pendidikan ayahnya berpendidikan Lanjut sebanyak 10 responden (20,8 %). 4. Tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan perkawinan usia muda pada penduduk kelompok umur 1219 tahun, dimana responden yang pendidikan ibunya berpendidikan Dasar sebanyak 13 responden (30,2%)
5.
6.
melakukan perkawinan usia muda dibandingkan dengan responden yang pendidikan ibunya berpendidikann Lanjut sebanyak 9 responden (23,7 %). Ada hubungan antara pergaulan bebas dengan perkawinan usia muda pada penduduk kelompok umur 12-19 tahun, dimana responden yang bergaul bebas sebanyak 19 responden (41,3%) melakukan perkawinan usia muda dibandingkan dengan responden yang tidak bergaul bebas sebanyak 3 responden (8,5 %). Tidak ada hubungan antara budaya dengan perkawinan usia muda pada penduduk kelompok umur 12-19 tahun, dimana responden yang memiliki budaya sebanyak 9 responden (42,8%) melakukan perkawinan usia muda dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki budaya sebanyak 13 responden (21,6 %).
Adapun saran dari penelitian ini adalah: 1. Pemerintah Desa Puji Mulyo diharapkan meningkatkan kerjasama lintas sektoral dengan pihak sekolah dan KUA (Kantor Urusan Agama) dalam memberikan konseling yang berkaitan dengan perkawinan usia muda. 2. Pemerintah Desa Puji Mulyo diharapkan bekerjasama lintas sektoral dengan PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana) untuk mengaktifkan PIK-KRR
10
(Pusat Informasi Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja) sebagai sarana untuk memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi remaja khususnya tentang perkawinan usia muda serta memberikan konseling kepada remaja agar lebih selektif dalam pergaulan dan memilih teman. 3. Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut dan mendalam untuk mengetahui faktorfaktor lain yang memengaruhi remaja melakukan perkawinan usia muda. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, 2007.Konsep Pernikahan Dini.http://dr.suparyanto. blogspot.com/2011/02/. Diakses 18 September 2012. Ayu SI, Soebijanto, 2011. Perkawinan Muda dikalangan Perempuan: Mengapa?.http://www.b kkbn.go.id/litbang/pusdu/ Hasil%20Penelitian/Ferti litas/2011/Perkawinan%2 0Muda%20Dikalangan% 20Perempuan.pdf. Diakses 20 Oktober 2012. BkkbN, 2010. Nikah Muda, Berapa Batasan Usianya ??. http://bukanklikunic.blog spot.com/2012/07/nikahmuda-berapa-batasanusianya.html. Diakses 8 Januari 2013. Hanggara, 2010. Pengaruh Budaya Terhadap Maraknya Pernikahan Usia Muda.http://lib.uinmalan
g.ac.id/thesis/chapter_i/0 9780015-uswatun-n.ps. Diakses 20 September 2012. Hidayat, 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analis Data, Salemba Medika. Jakarta. Kantor Urusan Agama Sunggal, 2012. Laporan Tahunan Kantor Urusan Agama Kecamatan Sunggal Tahun 2011. Sekarningrum, 2002. Perilaku Masyarakat Terhadap Perkawinan Usia Muda, Skripsi FKM USU, Medan. UNICEF, 2009. The hallenge. http://www.docstocwww. chilinfo.org/merriage.ht ml. Diakses 21 Februari 2013. Wicaksono, Ibnu, 2013. Pernikahan Usia Dini Akibat Pergaulan Bebas, http://anandaibnuwicakso no.wordpress.com/2013/ 01/08/pernikahan-padausia dini-akibatpergaulan bebas/. Diakses 6 April 2013. WHO, 2006. Pernikahan Usia Dini, http://sehatituinda.blogsp ot.com/2012/10/pernikah an usia-dini.html. Diakses 18 September 2012.
11
FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT PARTISIPASI IBU DALAM PENIMBANGAN BALITA KE POSYANDU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DARUSSALAM KECAMATAN MEDAN PETISAH TAHUN 2013 S. Hindu Mathi1, Heru Santosa2, Maya Fitria2 1
2
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Abstract
The scope of under-five-year-old children weighing in Integrated Health Service is one of indicator that show the high/low participation of community in Integrated Health Service. The scope of under-five-years-old children weighing is percentage of under-five-years-old children weighed in Integrated Health Service divided by the total under-five-year-old children attending Integrated Health Service. In Medan City, the participation was still classified as very low in 2011 which there were 251,199 underfive-year-old children weighed only 126,107 (50.20%). The lowest scope of under-fiveyear-old children weighing in Integrated Health Service was in the working area of Darussalam’s Community Health Centre Medan Petisah Subdistrict in 2011 that amounted to 35.19%. Design of this research was cross sectional with descriptive analytic type in order to know some factors which were related to mothers’ participation in weighing their babies in the Integrated Health Service’ at Darussalam’s Community Health Centre Medan Petisah subdistrict, Medan city. The population was all mother with their 241 babies in health center work Puskesmas Darussalam in 2013.The technique of sampling was simple random sampling and 78 of them were selected to be sample. Data were collected by using questionnaires. Data analysis included univariate and bivariate by using chi-square test. The results of research showed that the mothers’ participation in weighing their babies in the Integrated Health Service’ was bad ; only 39.7 percent of the participation was good. The chi-square test showed that the factors related to mothers’ participation in weighing their babies in the Integrated Health Service’ were mother’s knowledge (p=0.019), mother’s attitude (p=0.021), and in the Integrated Health Service cadre’s attitude (p=0.005). It is expected to the Medan City Health Office or Darussalam’s Community Health Centre officers to counsel mothers with under-five-year-old children to increase their knowledge about the purpose and benefits of growth monitoring and early childhood development through a child's weighing in Integrated Health Service and provide information on how to read a child's growth in Road to Health Care. It is also suggested to increase the cooperation between the cadres with the various parties, especially with community leaders, Empowerment of Family Welfare through the activities of Integrated Health Service and receive the monitoring and supervision of Darussalam’s Community Health Centre and their equipment at Integrated Health Service and encourage people to participate in the implementation of the Integrated Health service’. Keywords : Factors, Predisposing, Enabling, Reinforcing, Participation, Integrated Health Service.
1
PENDAHULUAN Sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas merupakan modal utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. Ukuran kualitas SDM dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat (Depkes RI, 2007). Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Kekurangan gizi belum dapat diselesaikan, prevalensi masalah gizi lebih (obesitas) mulai meningkat khususnya pada kelompok sosial ekonomi menengah ke atas di perkotaan. Dengan kata lain, saat ini Indonesia tengah menghadapi masalah gizi ganda. Hal ini sangat merisaukan karena mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan di masa mendatang (Depkes RI, 2007). Pada Tahun 2005 terdapat sekitar 5 juta balita mengalami gizi kurang diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita diantaranya menderita gizi buruk yang keberadaannya tersebar di Indonesia. United Nations Children's Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7 juta balita (Depkes RI, 2007). Berbagai penelitian telah membuktikan ada hubungan yang sangat erat antara kematian bayi dan balita dengan kekurangan gizi. Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan daya tahan anak sehingga anak mudah sakit hingga bisa berakibat pada kematian. Badan Kesehatan Dunia WHO
memperkirakan bahwa 54% kematian bayi dan anak balita dilatarbelakangi keadaan gizi yang buruk. Menurut Menkes RI (2007), Upaya penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk harus mengedepankan upayaupaya promosi dan pencegahan artinya mengupayakan anak yang sehat agar tetap sehat. Seandainya saja setiap anak ditimbang di posyandu, berat badannya diplot didalam KMS maka dengan mudah ibu dan kader dapat mengetahui gangguan pertumbuhan anak sedini mungkin sebelum anak jatuh pada kondisi gizi kurang atau buruk. Kementrian Kesehatan memprioritaskan untuk selalu meningkatkan fungsi dan kinerja posyandu, utamanya untuk meningkatkan cakupan pemantauan pertumbuhan anak (Kemenkes RI, 2007). Secara kuantitas, perkembangan jumlah posyandu sangat menggembirakan karena di setiap desa ditemukan sekitar 3 sampai 4 Posyandu. Pada saat Posyandu dicanangkan, tercatat sebanyak 25.000 Posyandu, tahun 2004 sebanyak 238.699 Posyandu, dan tahun 2011 meningkat menjadi 268.439 Posyandu. Namun, bila ditinjau dari aspek kualitas, masih ditemukan banyak masalah antara lain kelengkapan sarana dan ketrampilan kader yang belum memadai (Depkes RI, 2011). Ibu yang tidak menimbang balitanya ke posyandu dapat menyebabkan tidak terpantaunya pertumbuhan dan perkembangan balita dan berturut-turut berisiko keadaan gizinya memburuk sehingga mengalami gangguan pertumbuhan (Depkes RI, 2006).
2
Cakupan penimbangan balita di Kota Medan dalam Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2011 masih tergolong cukup rendah yaitu 251.199
balita yang ada hanya 126.107 balita yang ditimbang (50,20%) dengan gizi kurang 3.223 orang.
Tabel 1.1
Cakupan Penimbangan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Medan Petisah Tahun 2011 % Cakupan Balita yang Balita BB Naik Puskesmas Penimbangan % BB Naik No. Ada Ditimbang (N/D) Balita (D/S) Puskesmas 1. 4.142 2.088 1.522 50,41 72,89 Petisah Puskesmas 2. 3.168 1.115 1.025 35,19 91,93 Darusalam Puskesmas 3. 2.603 2.431 2.315 93,39 95,23 Rantang Sumber : Profil Kesehatan Kota Medan, 2012
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008 Tentang Standard Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan Kabupaten/Kota, cakupan pelayanan anak balita yaitu 90% pada Tahun 2010. Puskesmas Darussalam menargetkan cakupan penimbangan balita mencapai 75%. Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2011, diketahui bahwa dari 3.168 balita di Wilayah Kerja Puskesmas hanya 1.115 balita yang dtimbang didapat 22 balita BGM (1,97%) dan balita gizi buruk terdapat 2 balita (0,18%). Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara kepada salah seorang petugas gizi Puskesmas yang juga bertugas di Posyandu diketahui bahwa kesadaran masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah dalam kegiatan Posyandu khususnya membawa balitanya untuk ditimbang masih kurang sehingga Puskesmas mengalami kesulitan dalam mendata balita. Sebagian besar ibu bayi/balita hanya membawa anaknya untuk imunisasi dan menimbang anaknya hingga usia tiga tahun, kemudian mereka tidak datang lagi membawa
anaknya ke posyandu. Laporan cakupan penimbangan di posyandu adalah cakupan penimbangan bayi hingga usia dibawah tiga tahun (batita) dan keadaan ini menunjukkan pertumbuhan anak balita tidak terpantau, oleh karena itu petugas puskesmas terus mengingatkan ibu bayi/balita pada saat pelaksanaan posyandu untuk rutin memantau pertumbuhan anaknya ke posyandu hingga usia lima tahun. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah masih rendahnya cakupan penimbangan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013. Tujuan penelitian untuk mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan kepada kantor Dinas Kesehatan Kota Medan dalam rangka pembinaan Posyandu.
3
2.
Memberikan sumbangan pemikiran kepada Puskesmas Darussalam dalam rangka menyusun strategi pembinaan yang efektif dan efisien terhadap posyandu, inovatif dan menarik perhatian masyarakat Di Wilayah Kerjanya.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan desain cross sectional yaitu untuk mempelajari adanya hubungan pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kehadiran kader posyandu, kelengkapan peralatan posyandu jarak posyandu, sikap kader, dan sikap keluarga dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darusssalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013. Lokasi Penelitian ini dilakukan di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Darusssalam Kecamatan Medan Petisah. Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai balita usia 24-59 bulan yang mengikuti kegiatan penimbangan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013. Berdasarkan perhitungan besar sampel, maka besar sampel minimal yang dibutuhkan sebanyak 78 responden. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan pengambilan metode sistematic random sampling yaitu dengan mengumpulkan seluruh daftar nama populasi ibu yang mempunyai balita usia 24-59 bulan yang menimbangkan balitanya ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam, kemudian
dibuat dalam suatu daftar secara berurutan, selanjutnya dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan tabel random, dan diperoleh jumlah sampel yang dibutuhkan. Berdasarkan data yang sudah ada peneliti melakukan kunjungan ke posyandu untuk mendata responden dengan menggunakan kuesioner. Metode Pengumpulan Data: 1. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden yang berpedoman pada kuesioner penelitian. 2. Data sekunder diperoleh dengan cara melihat catatan kader yang berhubungan dengan penelitian, Profil Puskesmas Darussalam, Profil Dinas Kesehatan Kota Medan. Analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu dengan analisis univariat dan analisis bivariat. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Analisis Bivariat Factor Predisposing Hasil penelitian hubungan factor Predisposing yang meliputi pendidikan ibu, pekerjaan ibu pengetahuan ibu dan sikap ibu dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013. adalah sebagai berikut : Tabel 2. Hubungan Pendidikan Ibu dengan Tingkat Partisipasi Ibu dalam Penimbangan Balita ke Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013 Tingkat Partisipasi Jumlah Pendidikan Baik Kurang n % N % n % Tinggi 24 40,7 35 59,3 59 100 Rendah 7 36,8 12 63,2 19 100 (χ)²= 0,088 dan p = 0,766
4
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi ibu antara ibu yang berpendidikan tinggi dan ibu yang berpendidikan rendah sebanyak (59,3%) dan (63,2%) tingkat partisipasinya masih kurang. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ibu yang berpendidikan tinggi dan rendah dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu karena tingkat partisipasi masih sama-sama rendah. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa probabilitas (p) =0,766 yang berarti p > 0,05 artinya Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan responden dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu. Di Posyandu wilayah kerja puskesmas darussalam tingkat pendidikan responden tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi ibu ke posyandu, karena ibu yang tingkat pendidikannya rendah dan ibu yang tingkat pendidikannya tinggi tingkat partisipasinya ke posyandu samasama rendah untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anaknya setiap bulannya. Rendahnya tingkat patisipasi ibu ke posyandu disebabkan karena pengetahuan para ibu tentang manfaat dari pelaksanaan posyandu masih kurang, dilihat dari masih banyaknya ibu yang mengatakan diposyandu hanya merupakan tempat untuk mendapatkan imunisasi pada bayi dan ketidaktahuan ibu untuk menimbangkan balitanya hingga usia 5 tahun.
Tabel 3. Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Tingkat Partisipasi Ibu dalam Penimbangan Balita ke Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013 Tingkat Partisipasi Jumlah Pekerjaan Baik Kurang n % N % n % Bekerja 7 46,7 8 53,3 15 100 Tidak 24 38,1 39 61,9 63 100 Bekerja (χ)²= 0,372 dan p = 0,542
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi ibu antara ibu yang bekerja dan tidak bekerja sebanyak (53,3%) dan (61,9%) tingkat partisipasinya masih kurang. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa probabilitas (p) = 0,542 yang berarti p > 0,05 artinya Ho diterima. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan responden dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu. Ibu yang bekerja dan tidak bekerja sama-sama punya kesempatan dalam membawa anak ke posyandu karena untuk membawa anak ke posyandu tidak memerlukan waktu yang lama. Dalam penelitian ini tingkat partisipasi ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja untuk membawa anaknya ke posyandu masih sama sama rendah tidak ada perbedaan yang signifikan antara ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain terbatasnya pengetahuan, sikap dan tindakan ibu untuk membawakan anak balitanya ke posyandu.
5
Tabel 4. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan
Tingkat Partisipasi Ibu dalam Penimbangan Balita ke Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013 Tingkat Partisipasi Jumlah Pengetahuan Baik Kurang n % n % n % Baik 18 56,3 14 43,8 32 100 Cukup 9 37,5 15 62,5 24 100 Kurang 4 18,2 18 81,8 22 100 (χ)²= 7,962 dan p = 0,019
Hasil analisis Bivariat menunjukan hanya 18,2% ibu yang berpengetahuan kurang tingkat partisipasi sudah baik. Sedangkan ibu yang berpengetahuan baik ada 56,3% yang tingkat partisipasinya sudah baik. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa probabilitas (p) = 0,019 yang berarti p < 0,05 artinya Ho ditolak. Kesimpulannya adalah ada hubungan yang siginifikan antara pengetahuan responden dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu. Di posyandu wilayah kerja puskesmas darussalam pengetahuan ibu mengenai posyandu berdasarkan penilaian yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner sudah baik, hal ini dapat dilihat dari ibu yang pengetahuannya baik, tingkat partisipasinya ke posyandu juga sudah baik. Maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ibu tentang posyandu sangat berpengaruh terhadap tingkat partisipasi ibu untuk menimbangkan anak balitanya ke posyandu, karena semakin baik pengetahuan ibu tentang pentingnya posyandu maka akan semakin baik kemauan ibu untuk membawakan anaknya ke posyandu dan ibu juga akan mendapatkan manfaat yang dari membawa anaknya ke posyandu, karena di posyandu selain melakukan
penimbangan dan imunisasi pada bayi dilakukan juga penyuluhan kesehatan kepada ibu balita yang dilakukan oleh petugas kesehatan yang hadir pada pelaksanaan posyandu. Penyuluhan kesehatan dilakukan dengan memberikan materi mengenai kesehatan yang berganti setiap bulannya sehingga dapat meningkatkan pengetahuan ibu -ibu yang datang ke posyandu khususnya pengetahuan kesehatan. Namun dari hasil analisis bivariat ditemukan sebanyak 14 responden (43,8%) ibu yang pengetahuannya mengenai manfaat, kegiatan posyandu sudah baik namun tingkat partisipasinya masih rendah dari hasil wawancara langsung ibu tersebut menyatakan malas membawa balitanya untuk ditimbang karena ibu merasa kurang mendapatkan manfaat dari penimbangan balita dengan alasan cuman ditimbang saja tidak pernah diukur tinggi badan anak, selain alasan tersebut ada juga ibu menyatakan jarang membawa balita ke posyandu dikarenakan tidak ada timbangan dewasa karena anak balita usia 4 tahun lebih tidak mau ditimbang dengan timbangan sarung terbukti anak menangis saat ditimbang, selain itu anak lagi tidur pada saat hari buka posyandu dan ibu enggan untuk membangunkan anak, alasan lainnya dikarenakan ibu merasa anak sehat, bobot badan anak normal dan anak aktif maka ibu jarang membawa balita ke posyandu tetapi kalau ada diumumkan diberikan hadiah atau bubur ibu hadir di hari buka posyandu tersebut dan masih banyak yang berpendapat bahwa di posyandu hanya melaksanakan imunisasi.
6
Tabel 5. Hubungan Sikap Ibu dengan Tingkat Partisipasi Ibu dalam Penimbangan Balita ke Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013 Tingkat Partisipasi Jumlah Sikap Baik Kurang n % n % n % Baik 19 57,6 14 42,4 33 100 Cukup 9 28,1 23 71,9 32 100 Kurang 3 23,1 10 76,9 13 100 (χ)²= 7,693 dan p = 0,021
Hasil analisis Bivariat menunjukan 57,6% ibu yang bersikap baik tingkat partisipasinya sudah baik, sedangkan diantara ibu yang bersikap kurang hanya 23,1% tingkat partisipasinya baik. Sikap ibu terhadap posyandu yang baik mempunyai peranan penting dalam peningkatan partisipasi ibu untuk menimbangkan anaknya ke posyandu. Kelompok ibu yang sikapnya terhadap pelaksanaan posyandu yang baik maka tingkat partisipasinya ke posyandu lebih baik dibanding ibu yang sikapnya terhadap pelaksanaan posyandu masih rendah. Sikap ibu terhadap pelaksanaan posyandu akan lebih baik apabila ibu sering mengikuti penyuluhan pada saat pelaksanaan posyandu yang disampaikan oleh kader posyandu maupun petugas kesehatan. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa probabilitas (p) = 0,021 yang berarti p < 0,05 artinya Ho ditolak. Kesimpulannya adalah ada hubungan yang signifikan antara sikap responden dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu. Sebagaimana pendapat Azwar (2007) yang menyatakan bahwa pembentukan sikap seseorang banyak dipengaruhi oleh banyak faktor baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik orang tersebut. Faktor tersebut biasa berupa pengalaman
pribadi, pengaruh orang lain, kebudayaan, media informasi dan faktor emosional orang itu sendiri. Factor Enabling Hasil penelitian hubungan factor Enabling yang meliputi kehadiran kader posyandu, jarak posyandu, kelengkapan peralatan posyandu dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013 tidak dapat dinyatakan ada tidaknya hubungan. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square tidak dapat dilakukan karena data menunjukkan semua responden mengatakan jawaban yang sama seperti halnya kehadiran kader posyandu berdasarkan kuesioner semua responden menyatakan kader posyandu selalu hadir, jarak posyandu semua responden menyatakan dekat dan ketersediaan peralatan posyandu semua responden menyatakan peralatan diposyandu tidak lengkap karena timbangan dewasa dan alat pengukur tinggi tidak tersedia di posyandu. Factor Reinforcing Hasil penelitian hubungan factor Reinforcing yang meliputi sikap kader dan sikap keluarga ibu dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013. adalah sebagai berikut :
7
Tabel 6. Hubungan Sikap Kader Posyandu dengan Tingkat Partisipasi Ibu dalam Penimbangan Balita ke Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013 Tingkat Partisipasi Jumlah Sikap Baik Kurang Kader n % n % n % Ada 28 49,1 29 50,9 57 100 Dukungan Tidak Ada 3 14,3 18 85,7 21 100 Dukungan (χ)²= 7,777 dan p = 0,005
Hasil analisis Bivariat menunjukkan 49,1% ibu yang mendapat dukungan dari kader posyandu tingkat partisipasinya sudah baik, sedangkan ibu yang tidak mendapatkan dukungan dari kader posyandu tingkat partisipasinya 85,7% masih rendah. Responden yang mengatakan tidak ada dukungan dari kader posyandu tingkat partisipasinya ke posyandu lebih rendah dibanding dengan partisipasi ibu yang mengatakan ada dukungan dari kader posyandu. Hal ini disebabkan karena kurangnya kepercayaan masyarakat kepada kader posyandu. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa probabilitas (p) = 0,005 yang berarti p < 0,05 artinya Ho ditolak. Kesimpulannya adalah ada hubungan yang signifikan antara dukungan dari kader posyandu dengan tingkat partisipasi ibu menimbangkan anaknya ke posyandu. Dukungan dari kader posyandu berupa keaktifan kader pada hari pelaksanaan posyandu, pada hari sebelum dan sesudah posyandu. Pada hari sebelum pelaksanaan posyandu kader aktif dalam pemberitahuan pelaksanaan posyandu kepada semua masyarakat yang menjadi sasaran, pada hari pelaksanaan posyandu kader posyandu aktif pada
pelaksanaan posyandu setiap bulannya dan pada hari sesudah posyandu para kader hendaknya melakukan kunjungan rumah kepada para ibu bayi/balita sasaran yang tidak datang ke posyandu serta melakukan penyuluhan secara individu. Selain aktif melaksanakan tugasnya kader posyandu diharapkan semakin terampil melakukan pelayanan kepada ibu balita, karena dapat meningkatkan respon para ibuibu balita untuk datang ke posyandu. Kader posyandu sebaiknya bersikap ramah dan baik dalam melaksanakan tugasnya pada saat hari pelaksanaan posyandu sehingga masyarakat merasa nyaman dan senang datang ke posyandu. Tabel 7. Hubungan Sikap Keluarga dengan Tingkat Partisipasi Ibu dalam Penimbangan Balita ke Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah Tahun 2013 Tingkat Partisipasi Jumlah Sikap Baik Kurang Keluarga n % N % n % Ada 24 43,6 31 56,4 55 100 Dukungan Tidak Ada 7 30,4 16 69,6 23 100 Dukungan (χ)²= 1,180 dan p = 0,277
Hasil analisis Bivariat menunjukan bahwa ibu yang mendapat dukungan keluarga maupun tidak mendapatkan dukungan dari keluarga 56,4% dan 69,6% masingmasing masih rendah tingkat partisipasinya. Responden yang mengatakan mendapat dukungan dari keluarga dan responden yang mengatakan tidak mendapat dukungan dari keluarga tingkat partisipasinya ke posyandu sama-sama masih rendah. Hasil uji stastistik dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa probabilitas (p) = 0,277 yang berarti p > 0,05 artinya Ho diterima. Kesimpulannya adalah
8
tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan dari keluarga responden dengan tingkat partisipasi ibu menimbangkan anaknya ke posyandu. Di Posyandu wilayah kerja Puskesmas Darussalam masih banyak ibu mengaku tidak pernah diingatkan pada saat jadwal hari buka posyandu tiap bulannya dan tidak pernah diinformasikan bahwa penting membawa balita untuk ditimbang sehinga terpantau pertumbuhan dan perkembangan balitanya dari keluarga khususnya kepala keluarga, sehingga terkadang ibu sendiri lupa dan menganggap bahwa penimbangan balita rutin setiap bulan bukan hal yang penting untuk membawa balita ke posyandu pada hari buka posyandu. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dari keluarga khususnya kepala keluarga, ini merupakan suatu masalah dalam pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, masalah ini perlu diselesaikan dengan segera, dalam hal ini perlu dukungan dari tokoh masyarakat khususnya kepala lingkungan dan petugas kesehatan agar memberikan penyuluhan secara individu kepada keluarga tersebut. KESIMPULAN 1. Dari hasil analisis sampel tingkat partisipasi ibu balita dalam penimbangan balita ke posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam masih rendah, dimana dari total keseluruhan 78 responden yang berpartisipasi baik sebanyak 31 responden (39,7%) sedangkan yang berpartisipasi kurang sebanyak 47 responden (60,3%). 2. Tidak semua faktor predisposing yang diduga terbukti secara
signifikan berhubungan dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu. Faktor yang terbukti secara signifikan ada hubungan dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu adalah pengetahuan ibu (p=0,09), sikap ibu (p=0,021) dengan nilai (p<0,05). Sedangkan yang terbukti secara signifikan tidak ada hubungan dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu yaitu pendidikan ibu (p=0,766), pekerjaan (0,542) ibu dengan nilai (p>0,05). 3. Semua faktor Enabling tidak dapat dinyatakan ada tidaknya hubungan, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden menyatakan kehadiran kader posyandu di wilayah kerja puskesmas darussalam menyatakan 100% sudah baik, jarak posyandu semua responden menyatakan dekat dan ketersedian peralatan posyandu semua responden menyatakan tidak lengkap. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji ChiSquare tidak dilakukan karena data menunjukkan semua responden mengatakan hal yang sama. 4. Tidak semua faktor Reinforcing yang diduga terbukti secara signifikan berhubungan dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu. Faktor yang terbukti secara signifikan ada hubungan dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu adalah sikap kader (p=0,005) dengan nilai (p<0,05). Sedangkan yang terbukti secara signifikan tidak ada hubungan dengan
9
tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita ke posyandu yaitu sikap keluarga (p=0,277) dengan nilai (p>0,05). SARAN 1. Kepada Kepala Lingkungan dan Kader Posyandu supaya melengkapi seluruh peralatan posyandu khususnya alat pengukur tinggi badan/microtoise/pita sentimeter yang digunakan untuk melihat pertumbuhan dan status gizi anak bayi dan balita. 2. Kepada Kepala Lingkungan dan Kader posyandu bekerja sama dengan berbagai pihak khususnya tokoh masyarakat, ibu-ibu PKK secara terus menerus supaya lebih memperhatikan pelaksanaan posyandu dan dapat mengkoordinasikan penggerakan masyarakat untuk dapat hadir pada hari buka posyandu. 3. Kepada petugas kesehatan supaya lebih meningkatkan peran serta masyarakat dan kinerja kader posyandu dalam kegiatan posyandu. 4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut yang bersifat kualitatif untuk mengetahui lebih mendalam faktor-faktor lain yang berhubungan dengan tingkat partisipasi ibu dalam penimbangan balita di wilayah kerja Puskesmas Darussalam Kecamatan Medan Petisah. DAFTAR PUSTAKA Azwar S. 2009. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Penerbit Pustaka Pelajar Off Set, Yogyakarta.
Depkes RI. 2006. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu, Jakarta. --------------. 2007.Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010 Diluncurkan. http://www.bappenas.go .id/node/62/2015/rencan a-aksi-nasional-pangandan-gizi-2006-2010/ --------------. 2011. Modul Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Kader Posyandu, Jakarta. Dinas Kesehatan Kota Medan. 2012. Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2011, Medan. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011, Medan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2007. http://www.depkes.go.id /index.php/berita/pressrelease/848-menkesresmikan-rumahpemulihan-gizibalita.html Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomor 741/Menkes/PER/VII/2 008 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota, Jakarta. http://www.depkes.go.id/ downloads/SKSPM.pdf Profil Puskesmas Darusalam Medan, Medan. 2012.
10
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN TINDAKAN PERAWATAN KEHAMILAN PADA IBU HAMIL YANG MENGALAMI ABORTUS SPONTAN DI KLINIK BIDAN NERLI DESA SAMPE RAYA KECAMATAN BAHOROK KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2013
Nency Respina Silitonga1, dr. Ria Masniari Lubis, M.Si2, Asfriyati, SKM, M.Kes2 1 Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Departemen Kependudukan dan Biostatistik 2 Departemen Kependudukan dan Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan, 20155, Indonesia Email:
[email protected] Abstract Abortion is one problem in reproduction in Indonesia even abortion is causal factor of bleeding and maternal mortality. The care of pregnant woman is one of sustainable program during pregnancy and partum that consist of education, screening, early detection, prevention, treatment, rehabilitation in order to provide the pregnant woman with safety and comfort that enable them to case their baby. This research aims to study a correlation of knowledge and attitude to the care treatment during pregnancy of the pregnant women who take spontaneous abortion in delivery clinic of Midwife Nerli in village of Sampe Raya sub disrict of Bahorok. District of Langkat in 2013. This research is analytic descriptive study by cross sectional design approach. The population is all of pregnant women who have spontaneous abortion at Delivery Clinic of Midwefe Nerli, up to May 2013 for 54 persons. The result of study indicates that good care treatment 40.7% and poor care treatment 59.3%. There is a significant correlation between knowledge (p = 0.016) and attitude (p = 0.024) to the care treatment of pregnancy to the pregnant women that have spontaneous abortion at delivery clinic midwife Nerli in village of Sampe Raya. It is suggested to the pregnant women to pay attention to her health and use the health service facilities by check up the pregnancy not less than 4 times and pay attention to the food consumption pattern to have a health fetus. Delivery Clinic of Midwife Nerli in village of Sampe Raya must increase health service specially in assessment of antenatal care and provide the pregnant women with information about the condition of the mother that cause the pregnancy complication. Keywords: Treatment, Knowledge, Attitude, Pregnancy Care, Abortion. Pendahuluan Kehamilan adalah suatu proses reproduksi yang akan berakhir dengan kelahiran bayi. Namun tak jarang kehamilan sering berakhir dengan keguguran. Umumnya kehamilan merupakan hal yang paling membahagiakan bagi setiap pasangan suami istri yang telah menikah atau didalam keluarga. Selain itu juga merupakan ancaman bagi setiap wanita yang disebabkan karena perubahan yang dialami ibu baik perubahan fisik maupun emosional serta perubahan sosial dalam keluarga (Saifuddin, 2006). Menurut data WHO persentase kemungkinan terjadinya abortus cukup
tinggi sekitar 15%-40% angka kejadian, diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif hamil dan 60%-75% angka abortus terjadi sebelum usia kehamilan 12 minggu (Lestariningsih, 2008). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2006 tingkat kasus aborsi di Indonesia tercatat yang tertinggi di Asia Tenggara mencapai dua juta kasus dari jumlah kasus yang terjadi di negara-negara Association of South East Asian Nation (ASEAN) sekitar 4,2 juta kasus pertahun (www. kabarin. indonesia. com.online, diakses 09 April 2010). Di Indonesia, diperkirakan sekitar 2 – 2,5 % juga mengalami keguguran setiap
tahun, sehingga secara nyata dapat menurunkan angka kelahiran menjadi 1,7 pertahunnya (Manuaba, 2010). Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan, dan sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Prawirohardjo, 2009). Menurut data dari puskesmas Bukit Lawang Desa Sampe Raya Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat pada tahun 2012 sampai Mei 2013 kejadian abortus spontan sebanyak 21 orang dari 105 ibu hamil. Berdasarkan survei awal di Klinik Bersalin Bidan Nerli Desa Sampe Raya Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat pada tahun 2012 ibu hamil yang mengalami abortus spontan sebanyak 46 orang, diantaranya kasus abortus incompletus sebanyak 16 orang, abortus kompletus 7 orang, abortus iminens 8 orang, abortus incipiens 5 orang, missed abortion 6 orang, dan abortus habitualis 4 orang. Dilihat dari data ibu yang mengalami abortus spontan, kebanyakan terjadi pada usia 20 – 29 tahun 21 orang, dan pada usia < 20 tahun 10 orang serta pada usia > 29 tahun 15 orang. Kejadian abortus spontan lebih sering terjadi pada trimester 1 yang mana dapat dilihat atau dideteksi secara dini melalui pemeriksaan kehamilan. Dengan banyaknya kejadian abortus spontan pada ibu hamil, peneliti secara singkat mewawancarai beberapa ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya tentang kejadian abortus spontan. Berdasarkan hasil wawancara pada 15 orang wanita hamil terdapat 4 orang yang melakukan perawatan kehamilan dengan melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC) dan 11 orang yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan (antenatal care). Menurut salah seorang ibu hamil yang diwawancarai bahwa ibu tersebut jarang mengkonsumsi makanan yang bergizi, seimbang dan beragam seperti karbohidrat, protein, lemak, sayur-sayuran, buah-buahan, vitamin dan mineral, serta zat besi yang harus dipenuhi oleh ibu hamil untuk pertumbuhan perkembangan janin. Disamping itu kegiatan sehari-hari ibu harus bekerja sebagai buruh yang dapat melelahkan keadaan ibu dan membuat ibu
menjadi lelah dan kurang istirahat. Hal ini disebabkan karena kebanyakan ibu hamil belum mengetahui tentang pentingnya perawatan kehamilan untuk merawat kehamilannya dan merupakan salah satu upaya untuk mengurangi terjadinya abortus spontan Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti bagaimana “Hubungan pengetahuan dan sikap dengan tindakan perawatan kehamilan pada ibu hamil yang mengalami abortus spontan di klinik bersalin bidan Nerli desa Sampe Raya kecamatan Bahorok kabupaten Langkat tahun 2013”. Perawatan kehamilan merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan (Depkes RI, 2010). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan gambaran perilaku ibu hamil yang mengalami abortus spontan dan perencanaan dalam membuat suatu kebijakan sehingga menambah pengetahuan dan mampu memiliki sikap dalam melakukan perawatan kehamilan. Tinjauan Pustaka Perawatan kehamilan merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan (Depkes RI, 2010). Menurut Mansjoer (2005), tujuan perawatan kehamilan adalah memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi; meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial ibu dan bayi; mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau kompliksi yang mungkin terjadi selama hamil termasuk riwayat penyakit secara umum. Implementasi Keperawatan pada Trimester I yaitu penyuluhan tentang nutrisi, aktivitas, kebiasaan tidur, hubungan seksual, dan pemakaian obat. Jadwal kunjungan, sejak konsepsi sampai dengan 28 minggu kehamilan setiap 4 minggu, 29-36 minggu kehamilan setiap 2 atas 3 minggu, 37
minggu kehamilan sampai lahir setiap 1 minggu Informasi tanda bahaya kehamilan seperti perdarahan per vaginan dengan tanda atau tanpa nyeri, sakit kepala yang berlebihan, gangguan penglihatan, nyeri abdomen, serta demam. Pemeriksaan kehamilan sebaiknya dilakukan sedini mungkin, segera setelah seorang wanita merasa dirinya hamil. Dalam pemeriksaan antenatal selain kuantitas (jumlah kunjungan), perlu diperhatikan pula kualitas pemeriksaannya. Antenatal care merupakan salah satu asuhan yang diberikan untuk ibu hamil sebelum melahirkan dengan cara memeriksakan kepada dokter, bidan, atau puskesmas yang mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil hingga mampu menghadapi persalinan, nifas, persiapan menyusui, dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar ( Manuaba, 2001 ). Setiap ibu hamil mengalami risiko komplikasi yang dapat mengancam jiwanya. Oleh karena itu, setiap wanita hamil perlu sedikitnya empat kali kunjungan selama periode antenatal. Setiap kunjungan ibu akan mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kehamilannya terutama tentang tanda bahaya kehamilan tiap trimester yang dapat mengancam keselamatan baik ibu maupun janinnya (Pusdisnakes, 2002). Kerangka Konsep
Metode penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan desain cross sectional yaitu untuk mempelajari adanya Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Perawatan Kehamilan pada Ibu Hamil yang mengalami abortus spontan di Klinik Bersalin Bidan Nerli Desa Sampe Raya,
Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat Tahun 2013. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua Ibu Hamil yang mengalami abortus spontan di Klinik Bersalin Bidan Nerli Desa Sampe Raya, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat tahun 2012 sampai Mei 2013 sebanyak 54 orang dan seluruhnya dijadikan sampel. Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada ibu hamil yang mengalami abortus spontan dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun. Data sekunder diperoleh dari Klinik Bersalin Bidan Nerli Desa Sampe Raya Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat yang berupa data umum dan data demografi, seperti data PWS-KIA (Jumlah ibu hamil terdata). Analisis Data Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan melihat persentase data yang telah dikumpul dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi. Analisa data dilanjutkan dengan membahas hasil penelitian sesuai dengan teori dan kepustakaan yang ada. Analisis data dilakukan dengan cara bertahap yaitu sebagai berikut: 1. Analisis Univariat Analisis univariat merupakan analisis yang digunakan untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang akan diteliti. Dalam penelitian ini analisis univariat digunakan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan angka atau nilai karakteristik responden berdasarkan pengetahuan, dan sikap dengan tindakan perawatan kehamilan. 2. Analisis Bivariat Analisis ini merupakan analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi (Notoadmodjo, 2002). Dalam penelitian ini, analisis bivariat digunakan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, dan sikap dengan tindakan perawatan kehamilan sehingga dalam analisis ini dapat digunakan uji statistik chi-square dengan α = 0,05. Dengan kriteria :
1. Ho ditolak jika p < α (0,05) maka ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. 2. Terima Ho jika p > α (0,05) maka tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
tahun 2012 diketahui jumlah penduduk sebanyak 2604 jiwa, terdiri dari 1306 lakilaki dan 1298 perempuan, terdapat 775 kepala keluarga, jumlah pasangan usia subur sebanyak 426 orang. Data kejadian abortus spontan tahun 2012 – Mei 2013 adalah sebagai berikut:
Hasil Penelitian Berdasarkan profil Desa Sampe Raya Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat Tabel 1: Data Kejadian Abortus Spontan di Klinik Bidan Nerli Desa Sampe Raya Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat pada Tahun 2012- Mei 2013 No. 1 2 3 4 5 6
Abortus Spontan Abortus Iminens Abortus Insipiens Abortus Incompletus Abortus Kompletus Missed Abortion Abortus Habitualis Jumlah
Jumlah 11 7 18 8 6 4 54
Persentase 20.5 12.9 33.3 14.8 11.1 7.4 100
Berdasarkan data kunjungan ibu hamil sebagai berikut: (K1 - K4) tahun 2012 – Mei 2013 adalah Tabel 2: Data Kunjungan Ibu Hamil (K1-K4) di Klinik Bidan Nerli Desa Sampe Raya Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat pada Tahun 2012- Mei 2013 No. Kunjungan Kehamilan Jumlah Persentase 1 Melakukan kunjungan K1-K4 38 38.8 2 Tidak melakukan kunjungan K1-K4 60 61.2 Jumlah 98 100 Dari data tahun 2012 - Mei 2013 40 tahun sebesar 9,3%. Usia kehamilan saat jumlah ibu hamil sebanyak 98 orang, dimana abortus lebih banyak pada usia <12 minggu 38 orang yang melakukan kunjungan sebesar 72,2% dari pada usia kehamilan 12kehamilan dan 60 orang yang tidak 20 minggu sebesar 27,8%. Tingkat melakukan kunjungan kehamilan (K1-K4). pendidikan responden lebih banyak pada Dari 98 orang ibu hamil terdapat 54 orang pendidikan SLTP kebawah sebesar 79,6%, yang mengalami keguguran spontan yang dibandingkan yang berpendidikan SMA dijadikan sampel pada penelitian ini. keatas sebesar 20,4%. Lebih banyak Karakteristik responden dalam responden yang bekerja sebesar 75,9% penelitian ini dilihat berdasarkan umur, usia dibandingkan IRT sebesar 24,1%. Paritas kehamilan saat abortus, pendidikan, yang lebih banyak pada paritas 1 sebesar pekerjaan dan paritas. Responden pada 42,6%, dan paling lebih sedikit pada paritas kelompok umur 15-20 tahun dan umur 21- 5 sebesar 9,3%, secara jelas dapat dilihat 25 tahun sama banyak yaitu sebesar 29,6% pada tabel berikut: dan paling sedikit pada kelompok umur 36Tabel 3 Distribusi Frekuensi Karakteristik (Umur, Usia Kehamilan Saat Abortus, Pendidikan, Pekerjaan dan Paritas) di Klinik Bidan Nerli Desa Sampe Raya Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat No. Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%) 1 Umur 15-20 tahun 16 29,6 21-25 tahun 16 29,6 26-30 tahun 8 14,8 31-35 tahun 9 16,7 36-40 tahun 5 9,3 Jumlah 54 100,0
2
Usia Kehamilan Saat Abortus <12 minggu 39 72,2 12-20 minggu 15 27,8 Jumlah 54 100,0 3 Pendidikan SLTP kebawah 43 79,6 SLTA keatas 11 20,4 Jumlah 54 100,0 4 Pekerjaan IRT 13 24,1 Bekerja 41 75,9 Jumlah 54 100,0 5 Paritas Paritas 0 23 42,6 Paritas 1 11 20,4 Paritas 2 6 11,1 Paritas 3 9 16,7 Paritas 4 5 9,3 Jumlah 54 100,0 Distribusi responden berdasarkan sebanyak 39 orang (72,2%) yang pengetahuan yaitu sebanyak 15 orang pengetahuan buruk, seperti terlihat pada (27,8%) yang pengetahuan baik dan Tabel 4.berikut: Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan tentang Perawatan Kehamilan di Klinik Bidan Nerli No Pengetahuan Jumlah (n) Persentase (%) 1 Baik 15 27,8 2 Buruk 39 72,2 Jumlah 54 100,0 Pertanyaan mengenai pengetahuan yang diperoleh sebagian besar ibu hamil ibu hamil di Klinik Bidan Nerli Desa Sampe berpengetahuan buruk, secara lebih jelas Raya tentang perawatan kehamilan tercakup dapat dilihat pada Tabel 5; dalam 13 pertanyaan. Dari seluruh jawaban Tabel 5 Distribusi Frekuensi Jawaban Item Pertanyaan Pengetahuan Tentang Perawatan Kehamilan di Klinik Bidan Nerli No
Pertanyaan
1.
Yang termasuk dalam perawatan kehamilan adalah melakukan pemeriksaan kehamilan Yang diperoleh ibu pada waktu pemeriksaan kehamilan adalah ditimbang berat badan, diukur tekanan darah dan pemberian tablet zat besi Berapakah usia kehamilan pada kejadian keguguran spontan adalah usia kehamilan <20 minggu Mengapa ibu hamil perlu melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin adalah untuk mendeteksi secara dini bila ada keluhan pada kehamilan Tujuan utama pemeriksaan kehamilan adalah mendeteksi sedini mungkin keluhan pada kehamilan Makanan yang dikonsumsi ibu hamil berguna untuk kesehatan ibu dan pertumbuhan-perkembangan janin Pekerjaan yang harus dihindari ibu saat hamil adalah mengangkat beban berat dan melelahkan
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Benar n % 24 44,4
Salah n % 30 55,6
17
31,5
37
68,5
22
40,7
32
59,3
28
51,9
26
48,1
17
31,5
37
68,5
35
64,8
19
35,2
23
42,6
31
57,4
8. 9. 10. 11. 12. 13.
Aktifitas sehari-hari yang harus dihindari ibu saat hamil adalah senam pada ibu hamil Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna Kenaikan berat badan ibu hamil secara normal pada trimester I adalah 0-6 kg Kebiasaan merokok pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran janin karena gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin terhambat Hubungan seksual pada ibu hamil muda dapat menyebabkan keguguran karena dapat merangsang kontraksi pada rahim Jumlah pemberian zat besi yang seharusnya dikonsumsi oleh ibu hamil adalah 90 tablet selama kehamilan
25
46,3
29
53,7
16
29,6
38
70,4
19
35,2
35
64,8
22
40,7
32
59,3
19
35,2
35
64,8
17
31,5
37
68,5
Berdasarkan pengetahuan ibu hamil, 9) yaitu ada 38 ibu hamil (70,4%) yang tidak yang lebih banyak mereka ketahui yaitu tahu. makanan yang dikonsumsi ibu hamil Distribusi responden berdasarkan berguna untuk kesehatan ibu dan sikap ibu hamil yaitu tidak ada ibu yang pertumbuhan-perkembangan janin bersikap baik tentang perawatan kehamilan, (pertanyaan nomor 6) yaitu ada 35 ibu hamil sebanyak 36 orang (66,7%) bersikap sedang (64,8%) yang tahu, dan yang lebih banyak dan sebanyak 18 orang (33,3%) yang sikap mereka tidak ketahui yaitu kekurangan gizi buruk, seperti terlihat pada Tabel 6 berikut; pada ibu hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna (pertanyaan nomor Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Terhadap Perawatan Kehamilan di Klinik Bidan Nerli No Sikap Jumlah (n) Persentase (%) 1 Sedang 36 66,7 2 Buruk 18 33,3 Jumlah 54 100,0 Pertanyaan mengenai sikap ibu jawaban diperoleh sebagian besar ibu hamil hamil di Klinik Bidan Nerli Desa Sampe bersikap sedang, secara lebih jelas dapat Raya terhadap perawatan kehamilan dilihat pada Tabel 7 berikut ini: tercakup dalam 10 pertanyaan. Dari seluruh Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Jawaban Item Pertanyaan Sikap Ibu Terhadap Perawatan Kehamilan di Klinik Bidan Nerli No
Pertanyaan
1 Ibu hamil sebaiknya memeriksakan kehamilan pada trimester pertama (kehamilan <20 minggu) 2 Wanita hamil harus makan lebih banyak sewaktu hamil dibandingkan biasanya 3 Ibu hamil dilarang mengangkat beban berat pada saat hamil muda 4 Ibu hamil sebaiknya tidak merokok 5 Ibu hamil sebaiknya melakukan istirahat cukup, tidur siang ± 1 jam 6 Ibu yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan berisiko terjadi keguguran 7 Ibu yang sedang hamil muda dilarang melakukan hubungan seksual 8 Ibu yang melakukan hubungan seksual saat hamil dapat menyebabkan keguguran
STS n %
TS n %
RG n %
n 11 20,4 30 55,6 10 18,5 2
S
SS %
%
n 1
1,9
3,7 22 40,7 10 18,5 14 25,9 6
11,1
11 20,4 11 20,4 16 29,6 11 20,4 5
9,3
2
3,7
2
3,7 15 27,8 8 14,8 15 27,8 14 25,9
4
7,4 12 22,2 19 35,2 11 20,4 8
14,8
3
5,6
11,1
5
9,3 31 57,4 9 16,7 6
13 24,1 19 35,2 9 16,7 4 14 25,9 7
7,4
9
16,7
13,0 20 37,0 11 20,4 2
3,7
9 Ibu yang melakukan kegiatan sehari-hari dan melelahkan dapat menyebabkan keguguran 10 Ibu yang sering bepergian jarak jauh dan melelahkan dapat menyebabkan terjadinya keguguran
19 35,2 13 24,1 9 16,7 6 11,1 7
13,0
16 29,6 14 25,9 16 29,6 6 11,1 2
3,7
Sebanyak 41 orang (76,0%) ibu pemeriksaan kehamilan berisiko terjadi hamil bersikap tidak perlu memeriksakan keguguran. kehamilan pada trimester pertama Distribusi responden berdasarkan (kehamilan < 20 minggu) dan sebanyak 29 tindakan yaitu sebanyak 22 orang (40,7%) orang (53,7%) ibu hamil bersikap setuju yang tindakan baik dan sebanyak 32 orang bahwa ibu hamil sebaiknya tidak merokok, (59,3%) yang tindakan buruk, seperti terlihat sedangkan ibu hamil yang bersikap ragu- pada Tabel 8 berikut: ragu sebanyak 31 orang (57,4%), terhadap pernyataan bahwa ibu yang tidak melakukan Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Tindakan tentang Perawatan Kehamilan di Klinik Bidan Nerli No Tindakan Jumlah (n) Persentase (%) 1 Baik 22 40,7 2 Buruk 32 59,3 Jumlah 54 100,0 Pertanyaan mengenai tindakan di diperoleh sebagian besar ibu hamil Klinik Bidan Nerli Desa Sampe Raya bertindakan buruk secara lebih jelas dapat terhadap perawatan kehamilan tercakup dilihat pada Tabel 9. dalam 14 pertanyaan. Dari seluruh jawaban Tabel 9 Distribusi Frekuensi Jawaban Item Pertanyaan Tindakan tentang Perawatan Kehamilan di Klinik Bidan Nerli Ya
No
Pertanyaan
1. 2.
Ibu pernah melakukan pemeriksaan kehamilan Ibu memeriksakan diri ke klinik bidan setelah mengalami terlambat datang bulan Setelah perdarahan ibu pergi memeriksakan kehamilan Ibu sering (setiap minggu) mengkonsumsi nasi, ikan, telur, daging, buah-buahan dan sayur-sayuran Ibu rutin mengkonsumsi tablet Fe (zat besi) Ibu cukup tidur pada malam hari Ibu melakukan istirahat siang Ibu pernah mengangkat beban berat saat hamil Ibu sering melakukan kegiatan naik turun tangga selama hamil Ibu sering melakukan perjalanan jauh dan melelahkan selama kehamilan Ibu punya kebiasaan merokok Ibu merokok pada waktu hamil Ibu pernah memakai sepatu hak tinggi saat melakukan kegiatan sehari-hari saat hamil Ibu melakukan hubungan seksual lebih dari 2 kali seminggu saat hamil
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Sebanyak 35 orang (64,8%) ibu hamil yang lebih banyak menjawab Ya pada pertanyaan nomor 1 yaitu ibu pernah melakukan pemeriksaan kehamilan, dan yang lebih banyak menjawab Tidak pada pertanyaan nomor 13 yaitu ibu pernah
n 35 25
% 64,8 46,3
n 19 29
Tidak % 35,2 53,7
30 21
55,6 38,9
24 33
44,4 61,1
23 31 22 19 19
42,6 57,4 40,7 35,2 35,2
31 23 32 35 35
57,4 42,6 59,3 64,8 64,8
27
50,0
27
50,0
19 19 15
35,2 35,2 27,8
35 35 39
64,8 64,8 72,2
30
55,6
24
44,4
memakai sepatu tinggi saat melakukan kegiatan sehari-hari saat hamil sebanyak 39 orang (72,2%). Berdasarkan hasil penelitian hubungan pengetahuan dengan tindakan perawatan kehamilan pada ibu hamil
menunjukkan bahwa dari 15 orang yang square menunjukkan bahwa nilai p=0,016 pengetahuan baik yaitu sebesar 66,7% yang (p<0,05) yang artinya ada hubungan yang tindakannya baik dan 33,3% yang tindakan signifikan antara pengetahuan dengan buruk, sedangkan yang berpengetahuan tindakan perawatan kehamilan. buruk ada 39 orang yaitu 30,8% yang Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10. tindakan baik dan 69,2% yang tindakan buruk. Hasil uji statistik dengan uji chiTabel 10 Tabulasi Silang Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan Perawatan Kehamilan di Klinik Bidan Nerli Tindakan Baik Buruk n % n % 10 66,7 5 33,3 12 30,8 27 69,2
Pengetahuan Baik Buruk
Jumlah n 15 39
% 100,0 100,0
p 0,016
Berdasarkan Tabel 10 diperoleh orang yaitu 52,8% yang tindakannya baik bahwa sikap berhubungan dengan tindakan dan tindakan buruk 47,2%, sedangkan sikap perawatan kehamilan pada ibu hamil yang buruk ada 18 orang yaitu 16,7% yang mengalami abortus spontan di klinik bidan tindakannya baik dan yang tindakan buruk Nerli desa Sampe Raya dengan nilai (p= sebesar 83,3%, secara jelas dapat dilihat 0,024). Ibu hamil yang sikap sedang ada 36 pada tabel berikut: Tabel 11 Tabulasi Silang Hubungan Sikap dengan Tindakan Perawatan Kehamilan di Klinik Bidan Nerli Tindakan Baik
Sikap Sedang Buruk
n 19 3
% 52,8 16,7
Buruk n % 17 47,2 15 83,3
Pembahasan Hasil analisis univariat tentang karakteristik responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada pada kelompok umur 15-20 tahun dan 21-25 tahun sebanyak 16 orang (29,6%). Dimana karena pada umur tersebut merupakan usia subur bagi seorang wanita untuk bereproduksi sehat. Untuk diagnosis abortus spontan pada usia di bawah 20 tahun data menunjukkan yaitu 16 orang (29,6%). Hal ini berkaitan dengan Konperensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Cairo tahun 1994 memperkirakan sekitar 50% penduduk dunia berusia berada dibawah 20 tahun dan mereka menanggung risiko terbesar terkena masalah kesehatan. Manakala, abortus spontan yang terdapat daripada data penelitian ini untuk usia 35 tahun ke atas menunjukkan jumlah yang agak besar yaitu seramai 23 orang pasien yang mengalami keguguran dengan persentase 39,6. Persantase abortus spontan keseluruhannya adalah rendah dan stabil
Jumlah n 30 15
% 100,0 100,0
p 0,024
sebelum usia 30 (7-15%), sedikit meningkat pada usia 30 hingga 34 (8-21%), meningkat lebih banyak pada usia 35 hingga 39 (1728%), dan usia 40 atau lebih adalah 34-52% (Speroff dan Fritz, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan risiko terjadinya abortus spontan setelah usia ibu mencapai 35 tahun dan ke atas. Pada saat penelitian pada umumnya ibu hamil tidak pernah melakukan pemeriksaan kehamilan 35 orang (64,8). Hal ini disebabkan karena sebagian besar ibu hamil tidak mengetahui pentingnya melakukan pemeriksaan kehamilan untuk mendeteksi secara dini keluhan yang terjadi pada kehamilan dan memastikan keadaan ibu dan pertumbuhan-perkembangan janinnya. Sementara responden melakukan pemeriksaan kehamilannya apabila ada keluhan yang terjadi pada kehamilan. Selain jarang mengkonsumsi sayuran, buahan, daging, responden juga tidak mengkonsumsi tablet Fe (zat besi) 31 orang (57,4%), padahal tablet Fe (zat besi) sangat penting untuk kesehatan ibu dan pertumbuhan dan perkembangan janinnya
disamping ibu yang sehari-harinya harus bekerja sebagai buruh tani yang membutuhkan tenaga yang cukup melelahkan bagi ibu hamil sehingga ibu hamil perlu mengkonsumsi tablet Fe (zat besi) sebagai penambah suplemet zat besi bagi kesehatan ibu hamil dan janinnya. Hal ini berarti bahwa responden tidak memiliki tindakan yang baik dalam mengkonsumsi tablet zat besi selama kehamilan. Dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan diperoleh bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang tindakan perawatan kehamilan pada ibu hamil yang mengalami abortus spontan sebanyak 15 orang (27,8%), sedangkan yang memiliki pengetahuan yang buruk yaitu sebanyak 39 orang (72,2%), Hal ini berarti bahwa responden yang berkunjung keklinik bidan nerli belum mengetahui dan memahami tentang pentingnya perawatan kehamilan untuk memeriksakan kehamilan dan mendeteksi secara dini keluhan pada kehamilan. Hasil analisis statistik chi-square menunjukkan ternyata ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan tindakan perawatan kehamilan pada ibu hamil yang mengalami abortus spontan p=0,016 dengan demikian (p<0,05). Jadi pengetahuan sangat dibutuhkan agar ibu hamil yang mengalami abortus spontan mengetahui tentang tindakan perawatan kehamilan, pemeriksaan kehamilan, nutrisi pada ibu hamil, kegiatan sehari-hari yang boleh dilakukan ibu hamil dan yang tidak boleh dilakukan ibu hamil serta pengaruh hubungan seksual bagi ibu hamil. Hasil dari penelitian ini menunjukan sebagian besar responden memiliki sikap yang sedang yaitu sebanyak 36 orang (66,7%) tentang tindakan perawatan kehamilan pada ibu hamil yang mengalami abortus spontan dan responden yang memiliki sikap buruk sebanyak 18 orang (33,3%). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyebab terjadinya keguguran spontan pada ibu hamil yaitu pola makan dan kebiasaan makan yang tidak terpenuhi asupan nutrisi untuk kesehatan ibu dan pertumbuhan dan perkembangan
janinnya. Sebagian besar yang menyatakan tidak setuju adalah ibu hamil sebaiknya memeriksakan kehamilan pada trimester pertama (kehamilan <20 minggu) sebanyak 30 orang (55,6%), sementara yang menyatakan setuju adalah ibu hamil sebaiknya tidak merokok sebanyak 15 orang (27,8%). Hal ini menunjukkan bahwa sikap ibu tentang tindakan perawatan kehamilan masih buruk. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ibu hamil yang mengalami abortus spontan di Klinik Bidan Nerli Desa Sampe Raya sama banyaknya pada kelompok umur 15-20 tahun dan umur 21-25 tahun sebesar 29,6%. Usia kehamilan saat abortus lebih banyak pada usia <12 minggu sebesar 72,2% dan tingkat pendidikan ibu hamil lebih banyak pada pendidikan SLTP kebawah sebesar 48,1% dan bekerja sebesar 75,9% serta paritas yang lebih banyak yaitu paritas 0 sebesar 42,6%. 2. Terdapat hubungan pengetahuan dengan tindakan perawatan kehamilan pada ibu hamil di Klinik Bidan Nerli Desa Sampe Raya dengan nilai p = 0,016. 3. Terdapat hubungan sikap dengan tindakan perawatan kehamilan pada ibu hamil di Klinik Bidan Nerli Desa Sampe Raya dengan nilai p = 0,024. Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, ada beberapa hal yang dapat disarankan demi keperluan pengembangan dari hasil penelitian tindakan perawatn kehamilan pada ibu hamil di Klinik Bidan Nerli Desa Sampe Raya. 1. Kepada ibu hamil agar memperhatikan kesehatannya dan melakukan pemeriksaan kehamilan untuk mendeteksi sedini mungkin keluhan pada kehamilan serta memperhatikan pola konsumsi makanan untuk kesehatan ibu dan pertumbuhan perkembangan janinnya. 2. Ibu hamil sebaiknya rutin mengkonsumsi tablet zat besi 90 tablet selama kehamilan untuk kesehatan ibu dan pertumbuhan perkembangan janinnya.
3. Ibu hamil sebaiknya mengkonsumsi makanan yang bergizi selama kehamilan untuk kesehatan ibu dan pertumbuhan perkembangan janinnya. 4. Bagi Klinik Bersalin Nerli Desa Sampe Raya perlu meningkatkan pelayanan kesehatan terutama memberikan informasi kepada ibu hamil untuk melakukan perawatan kehamilan dengan melakukan pemeriksaan kehamilan dan menganjurkan pada ibu hamil untuk sering mengkonsumsi makanan yang bergizi untuk pertumbuhan perkembangan janinnya serta menganjurkan rutin mengkonsumsi tablet zat besi, 90 tablet selama kehamilan. Daftar Pustaka Depkes RI. 2010, Program Safe Motherhood di Indonesia, Jakarta: Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2005, Profil Kesehatan Kota Bandar Lampung Tahun 2005, Bandar Lampung. Google.com, Lestariningsih, 2008, dikutip dari WHO, Abortus Spontan, diakses pada tanggal 05 Mei 2011. Hidayat, A., 2007, Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data, Jakarta: Salemba Medika. Huliana, 2001, Panduan Menjalani Kehamilan Sehat, Jakarta: Puspa Swara. JNPK-KR, 2008, Asuhan Persalinan Normal, Jakarta: JNKP-KR. Kusmiyati, 2009, Perawatan Ibu Hamil, Yogyakarta: Fitramaya. Krisbani, R., 2006, Pengaruh Program Safe Motherhood INICEF terhadap Kinerja Bidan Desa di Kt Sorong. Program Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Working Paper Series No. 4, KMPK – UGM, Yogyakarta. Kodim, N, 1998, Epidemiologi Abortus yang Tidak Aman, http://www.tempointeraktir.com/medika/a rsip/012001/top-1, htm, diakses tanggal 10 Maret 2008. Llewellyn, 2005, Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi, Jakarta: Hipokrates.
Manuaba, 2010, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta: EGC. Mansjoer, 2005, Kapita Selekta Kedoktran, Jakarta: Media Aesculapius. Mitayaru, 2009, Asuhan Keperawatan Maternitas, Jakarta: Salemba Medika. Notoatmodjo, S, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta: PT. Rineka Cipta. _____________, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. ____________, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Prawirohadjo, S, 2009, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Prohealth, 2009, Pengetahuan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi, //forbetterhealt.wordpres.com/2009/04/19/ pengetahuan-dan-faktor-faktor-yangmempengaruhi. [02 Februari 2013]. Purba, F.Y., 2011. Pengaruh Pengetahuan, Kepercayaan dan Adat Istiadat terhadap Partisipasi Suami dalam Perawatan Kehamilan Istri di Kelurahan Pintu Sona Kabupaten Samoris. Tesis S2 IKM USU. Medan Saifuddin, 2006, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: Bina Pustaka. Sarwono, 2008, Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohadjo, Jakarta: PT. Bina Pustaka. Sholihah, 2005, Panduan Lengkap Hamil Sehat, Yogyakarta: Diva Press. Stright, R, 2004, Panduan Belajar: Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir, Jakarta: EGC. Speroff, L.,Fritz, M.A, 2005. Female Infertility. In: Clinical Gynaecologic Endocrinology and Infertility.7th edition.Philadelphia,PA : Lippincott Williams and Wilkins, 10141019. Varney, 2006, Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Jakarta: EGC. Wahyuningsih, 2009, Dasar-dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam Kebidanan, Yogyakarta: Fitramaya. Wasis, 2008, Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat, Jakarta: EGC. www.kabarinindonesia.com.online, Abortus, diakses pada tanggal 19 Maret 2010. www.kabarinindonesia.com.online, Abortus, diakses pada tanggal 19 April 2010..
ANALISIS ENERGI DAN PROTEIN SERTA UJI DAYA TERIMA BISKUIT TEPUNG LABU KUNING DAN IKAN LELE Analysis of Energy and Protein Acceptability Test of Biscuit Pumpkin Yellow Flour and Catfish) Ika Rohimah1, Etti Sudaryati², Ernawati Nasution² 1
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ² Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT Diversification program needs no introduction processed pumpkin and catfish to get new food alternatives . Yellow squash and catfish have the potential as a source of nutrients because it contains a number of macro-nutrients and micro-nutrients . The purpose of this study was to determine the nutrient content of energy and protein biscuits and test the acceptance of pumpkin flour and catfish organoleptic analysis covering the taste , aroma , color , and texture of the biscuit is determined by using a hedonic scale.This study is an experimental research making biscuits with the addition of pumpkin flour and catfish by 20 %, 30 %, and 40 %. Meanwhile, the protein content using the method Kjeldhal, fat extraction method , carbohydrate hydrolysis method, and energy by using the method of calculations carried out in the laboratory of Research and Standardization Agency for Industrial Field. Panelists in this study was the son of SD Negeri No. 067 097 Medan, as many as 30 people, FKM USU students as much as 30 people, and pregnant women at the Maternity Clinic as many as 30 people.The results showed that pumpkin flour biscuits and catfish has an energy content of 40% and a high protein and low in carbohydrates and fat. Based on the results of organoleptic test showed that the addition of flour biscuits with pumpkin and catfish include aroma, color, flavor, and texture are the most preferred and pumpkin flour biscuits catfish 20 % in primary school children. Advised the public to be able to make biscuits and pumpkin flour catfish as a food supplement for pregnant women and for children of primary school age and developmental growth. Also, further research needs to be done on making pumpkin flour biscuits and catfish to enhance the flavor and aroma that pregnant women like to eat pumpkin biscuit flour and catfish. Keywords : Analysis, Energi and Protein, Biscuits, Pumpkin Flour Yellow, Catfish Meal, Power Accept PENDAHULUAN Indonesia merupakan daerah tropis yang kaya akan hasil sumber daya alam. Salah satu hasilnya adalah sayuran. Seperti yang kita ketahui sayuran dan buah-buahan merupakan salah satu sumber pangan yang begitu penting untuk dikonsumsi oleh masyarakat karena kandungan gizi pada sayuran dan buah-buahan sendiri sudah terbukti berperan penting dalam menunjang kesehatan tubuh. Makanan yang kita konsumsi harus mengandung zat gizi, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Zat gizi vitamin dan mineral banyak dikandung oleh sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah merupakan bahan pangan yang mudah
didapatkan di berbagai tempat. Hanya saja, masih banyak orang yang tidak suka mengkonsumsinya dengan berbagai alasan. Padahal dengan kandungan vitamin dan mineralnya yang begitu lengkap serta bervariasi, sayuran dan buah merupakan bahan pangan yang sangat penting bagi kita. Selain kandungan vitamin dan mineralnya, buah juga banyak mengandung serat yang melancarkan pencernaan (Novary, 1997). Buah yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah labu kuning. Penyebaran labu kuning telah merata di Indonesia, hampir di semua kepulauan Nusantara terdapat tanaman buah labu kuning. Labu kuning dapat menjadi sumber 1
pangan yang dapat diandalkan (Anonim, 2010). Jumlah produksi labu kuning cukup melimpah setiap tahunnya, labu kuning mudah dijumpai baik di pasar tradisional maupun modern. Labu kuning merupakan bahan pangan yang mengandung kalori, karbohidrat, protein, lemak, mineral (kalsium, fosfor, besi, natrium, kalium, tembaga dan seng), ß-karoten, tiamin, niacin, serat dan vitamin C. Daging buahnya pun mengandung antioksidan sebagai penangkal berbagai jenis kanker. Sifat labu kuning lunak dan mudah dicerna serta dapat digunakan untuk menambah warna menarik dalam olahan pangan lainnya, tetapi sejauh ini pemanfaatannya belum optimal. Tingkat konsumsi labu kuning masih tergolong rendah kurang dari 5 kg per kapita per tahun. Pemanfaatan labu kuning selama ini terbatas dalam ruang lingkup olahan tradisional, misalnya sebagai sayuran, bahan dasar kolak dan aneka kue. Bagi masyarakat Manado labu kuning digunakan dalam bentuk bubur Manado dan di Sulawesi Selatan, labu kuning digunakan sebagai pencampuran dalam sayur bayam (Sari, 2011). Labu kuning termasuk pangan lokal yang mudah rusak dan busuk apabila bahan makanan tersebut mengalami kerusakan, sehingga perlu diolah menjadi suatu produk yang tahan lama untuk disimpan, antara lain dapat dibuat menjadi tepung. Pembuatan tepung labu kuning akan menguntungkan karena pemanfaatannya menjadi lebih luas sebagai campuran makanan, dan mempunyai daya simpan yang tinggi serta mudah dibentuk, diperkaya zat gizi, lebih cepat masak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis. Tepung labu kuning dapat digunakan pada beberapa produk pangan misalnya pada mie, roti, es krim, biskuit, cake, dan lain-lain. Protein juga sangat dibutuhkan oleh tubuh kita, karena protein berfungsi sebagai salah satu sumber energi yang dibutuhkan tubuh. Selain itu pula protein juga berperan dalam sintesis hormon dan pembentukan enzim serta antibodi. Protein merupakan bagian penting selama masa pertumbuhan dan masa perkembangan tubuh manusia, misalnya untuk tulang, otot dan organ tubuh lainnya.
Kekurangan protein pada masa-masa ini akan menyebabkan pembentukan otot, tulang dan organ lainnya terganggu. Efeknya adalah keterlambatan pertumbuhan sampai dengan adanya kekurangan gizi seperti kurus, gangguan kulit, dan lesuh (Mardhatillah, 2008). Usaha yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan protein adalah dengan cara pemanfaatan bahan alam yaitu ikan lele yang memiliki kandungan protein yang tinggi. Selama lima tahun terakhir produksi ikan lele terus meningkat. Pada tahun 2008 produksi nasional ikan lele sebesar 114,371 ton, tahun 2009 terus meningkat menjadi 144,755 dan makin meningkat di tahun 2010, angka sementara yan dipublikasikan produksi ikan lele dari hasil budidaya sebesar 273,554 ton (Ditjen Perikanan Budidaya, 2012). Ikan lele merupakan salah satu bahan pangan bergizi yang mudah untuk dihidangkan sebagai lauk. Nilai gizi ikan lele meningkat apabila diolah dengan baik yang terdapat pada ikan lele segar yang belum rusak dan busuk (Abbas, 2012). Ikan lele mengadung karoten, vitamin A, protein, lemak, karbohidrat, fosfor, kalsium, zat besi, vitamin B1, vitamin B6, vitamin B12, dan kaya akan asam amino. Daging ikan lele mengandung asam lemak omega-3 yang sangat dibutuhkan untuk membantu perkembangan sel otak pada anak dibawah usia 12 tahun sekaligus memelihara sel otak. Kandungan komponen gizi ikan lele mudah dicerna dan diserap oleh tubuh manusia baik pada anak-anak, dewasa, dan orang tua. Manfaat ikan lele dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Kandungan asam amino esensial sangat berguna untuk tumbuh kembang tulang, membantu penyerapan kalsium dan menjaga keseimbangan nitrogen dalam tubuh, dan memelihara masa tubuh anak agar tidak terlalu berlemak. Ikan lele memiliki kandungan air tinggi sebesar 80% yang dapat menyebabkan daging ikan mudah rusak. Selain itu kandungan kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan daging ikan mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat menghambat 2
penggunaanya sebagai bahan pangan, oleh karena itu diperlukan proses pengolahan untuh menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk, maupun daya awetnya (Adawyah, 2007). Tepung ikan lele merupakan usaha pengolahan yang memerlukan banyak bahan baku ikan segar dengan harga yang murah. Sampai saat ini penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal, kegunaan utama tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak. Pembuatan tepung ikan lele dapat menjadi suatu bentuk alternatife bahan pangan. Nilai gizi pada tepung ikan lele yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu tepung ikan lele juga kaya akan vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat. Tepung ikan lele merupakan sumber kalsium (Ca) dan posfor (P), serta mengandung trace element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) (Moeljanto, 1982). Penggunaan tepung ikan sebagai bahan subsitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit merupakan salah satu alternatife penggunaan yang menjanjikan, terutama dari segi kualitas zat gizi yang dihasilkan. Biskuit merupakan salah satu kue kering yang sampai saat ini banyak digemari oleh masyarakat sebagai makanan jajanan atau camilan dari berbagai kelompok ekonomi dan umur. Menurut (Moehji, 2000) biskuit sering dikonsumsi oleh anak balita, anak usia sekolah, dan orang tua, yang biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan atau makanan bekal. Harga biskuit terjangkau oleh berbagai kelompok ekonomi juga menjadi satu alasan mengapa biskuit banyak disukai oleh masyarakat. Secara umum bahan pembuatan biskuit biasanya dibuat dari tepung terigu. Biskuit mengandung zat gizi makro seperti karbohidrat, protein dan lemak dan sedikit mengandung zat gizi lainnya seperti zat fosfor, kalsium dan zat besi. Oleh karena itu, melalui penambahan tepung labu kuning dan ikan lele dalam pembuatan biskuit dapat mengurangi pemakaian tepung terigu dan meningkatkan kandungan gizi.
Masalah gizi kurang masih tersebar luas di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan tepung ikan lele dengan perbandingan 20%, 30%, 40%. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan penambahan tepung ikan lele, maupun tepung labu kuning adanya peningkatan kandungan protein. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kandungan energi dan protein serta daya terima biskuit tepung labu kuning dan ikan lele. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap yang haya terdiri dari satu faktor yaitu dengan 3 perlakuan penambahan tepung kacang merah sebesar 20%, 30% dan 40%. Pembuatan tepung labu kuning dan ikan lele dilakukan di laboratorium Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU. Uji kadar Energi dan protein dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan, sedangkan uji daya terima biskuit kacang merah dilakukan di SD Negeri 067097 Medan, FKM USU dan di Klinik Bersalin Masdha Ayumi. Data yang dikumpulkan, diolah secara manual. Hasil analisis kandungan energi dilakukan dengan metode perhitungan dan protein dengan metode kjdehdal. Untukuji organoleptik dilakukan Uji Kesamaan Varians (Uji Bartlet). Selanjutnya dilakukan Analisa Sidik Ragam dan Uji Ganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biskuit dengan Penambahan Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele Untuk biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele memiliki warna, rasa dan aroma yang berbeda pada setiap perlakuan. Untuk tekstur dengan penambahan 40% sedikit keras dibandingkan dengan yang 20%.
3
Analisa Kandungan Gizi Energi dan Protein Biskuit dengan Penambahan Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele Hasil analisa kandungan gizi energi dan protein biskuit dengan tiga perlakuan penambahan tepung kacang merah dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 500 400 300 200 100 0
458.5 458,7
466,1
A1 13 16.5 32
61.3 58.4 48.2
17.92 17.68 16.2
A2 A3
Biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele sebesar 20%, 30% dan 40% dalam tiap 100 gram ( 10 keping biskuit) memberikan sumbangan energi masing-masing sebesar 458,5kkal, 458,7dan 466,1 kkal. Dalam hal ini, energi merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga sebagai zat pembangun dan pengatur. Dari hasil analisis kandungan energi dan protein pada biskuit tepung labu kuning dan ikan lele menunjukkan peningkatan kandungan energi dan protein dibandingkan dengan biskuit biasa. Biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele sebesar 20%, 30% dan 40% tiap 100 gram ( 10 keping biskuit) memberikan sumbangan energi 458,5 kkal, 458,7 kkal, dan 466,1 kkal. Dalam hal ini energi berperan sebagai metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen keseluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan. Seorang yang gemuk menggunakan lebih banyak energi untuk melakukan suatu pekerjaan daripada seorang yang kurus, karena orang yang gemuk membutuhkan usaha yang lebih besar untuk menggerakkan berat badan tambahan.
Berdasarkan perhitungan komposisi zat gizi biskuit yang mengacu pada Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009), dapat dilihat perbedaan kandungan zat gizi dalam biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele sebesar 20%, 30% dan 40%. Berdasarkan Syarat Mutu Biskuit Menurut SNI 01-2973-1992 kandungan gizi tepung labu kuning dan ikan lele sebesar 20%, 30% dan 40% sudah memenuhi uji kriteria. Protein juga mempunyai peranan yang sangat penting di dalam tubuh. Fungsi utamanya sebagai zat pembangun atau pembentuk struktur sel, misalnya untuk pembentukan otot, rambut, kulit membrane sel, jantung, hati, ginjal dan beberapa organ penting lainnya. Kemudian terdapat pula protein yang mempunyai fungsi khusus yaitu protein yang aktif. Beberapa diantaranya adalah enzim yang bekerja sebagai biokatalisator, hemoglobin sebagai pengangkut oksigen,hormon sebagai pengatur metabolism tubuh dan antibody untuk mempertahankan tubuh dari serangan penyakit (sirajuddin dkk, 2010). Biskuit tepung labu kuning dan ikan lele sebesar 20%, 30% dan 40% dalam tiap 100 gram ( 10 keping bsikuit) memberikan sumbangan protein masing-masing sebesar 13,0 gram, 16,5 gram, dan 32,0 gram. Protein merupakan suatu zat gizi yang penting bagi tubuh, karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga sebagai zat pembangun dan pengatur. Berdasarkan hasil laboratorium Balai Standarisasi Industri Medan, dapat dilihat kandungan zat gizi dalam biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele sebesar 20%, 30% dan 40% terjadi peningkatan pada kandungan protein dan sudah melewati batas minimum 9%. Dengan demikian maka biskuit tepung labu kuning dan ikan lele tersebut telah sesuai dengan standart yan disyaratkan oleh Mutu Biskuit Menurut SNI 01-2973-1992. Protein juga berfungsi sebagai pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, dan sebagai sumber 4
energi. Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwasriokor pada anakanak dibawah lima tahun. Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekuarangan energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus (Almatsier, 2003). Kebutuhan Energi dan Protein Pada Anak Sekolah Dasar Penelitian ini dilakukan pada anak SD kelas IV dengan kelompok usia 11-12 tahun dengan jenis laki-laki dan perempuan. Kecukupan energi pada kelompok usia ini membutuhkan kecukupan energi sebesar 2050 kkal dan kecukupan protein 50 gr. Dari hasil analisis kandungan energi dan protein biskuit tepung labu kuning dan ikan lele 40% dapat menyumbangkan 466,6 kkal. Untuk memenuhi kebutuhan energi anak SD usia 11-12 tahun dapat mengkonsumsi biskuit tepung labu kuning dan ikan lele sebanyak kurang lebih 10 keping per hari dan dapat ditambah dengan makanan atau cemilan lain yang mengandung energi dan protein sedangkan protein dapat menyumbangkan 32,0gr per100 gr bahan untuk memenuhi kebutuhan protein anak SD dapat mengkonsumsi biskuit tepung labu kuning dan ikan lele sebanyak kurang lebih 10 keping per hari. Biskuit tepung labu kuning dan ikan lele bermanfaat untuk membantu masa pertumbuhan pada anak SD. Usia sekolah adalah usia puncak masa pertumbuhan yang paling pesat kedua setelah masa balita. Dimana kesehatan yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan yang optimal pula. Perhatian terhadap kesehatan sangat diperlukan pada masa pendidikan juga digalakan untuk perkembangan mental yang mengacu pada skil anak. Kebutuhan Energi dan Protein Pada Mahasiswa FKM USU Penelitian ini mengambil mahasiswa FKM USU yang masih tergolong pada tingkat remaja dengan kelompok usia 17 – 19 tahun. Remaja sebagai suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia
menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya (pubertas) sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Pada masa ini individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa. Kelompok usia remaja yaitu usia 1618 tahun membutuhkan kecukupan energi pada laki-laki 2600 kkal dan protein 65 gr, sedangkan perempuan membutuhkan kecukupan energi sebessar 2200 kkal dan protein 55 gr. Sementara itu pada kelompok usia 19 tahun ke atas membutuhkan kecukupan energi pada laki-laki sebesar 2550 kkal dan protein 60 gr, sedangkan pada perempuan membutuhkan energi 1900 kkal dan protein 50 gr. Biskuit tepung labu kuning dapat memberikan sumbangan energi 466,6 kkal dan protein 32,0 gr yang diharapkan dapat membantu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja ini. Biskuit tepung labu kuning dan ikan lele ini dapat dikomsumsi 10 keping per hari. Kebutuhan Energi dan Protein Pada Ibu Hamil Selama hamil, perempuan memerlukan tambahan energi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan jaringan tambahan lainnya. Tambahan yang diperlukan adalah 285kkal/hari. Pada saat laktasi, seorang ibu memerlukan tambahan energi untuk memproduksi air susu ibu (ASI), untuk energi yang tersimpan didalam ASI sendiri. Karbohidrat merupakan sumber utama untuk tambahan kalori yang dibutuhkan selama kehamilan. Kebutuhan protein bagi wanita hamil adalah sekitar 60 gr. Artinya wanita hamil butuh protein 10 – 15 gr lebih tinggi. Protein tersebut dibutuhkan untuk membentuk jaringan baru, maupun plasenta dan janin. Protein juga dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan diferensiasi sel. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele 40% memiliki kandungan Potein yang lebih tinggi dan tinggi kalori. Dapat disimpulkan semakin banyak tepung labu kuning dan ikan lele 5
maka semakin tinggi kandungan protein dan kalori nya. Biskuit ini dapat memberikan sumbangan energi dan protein sebagai makanan tambahan untuk membantu masa pertumbuhan dan perkembangan bagi ibu hamil dan dapat dikonsumsi sebanyak 10-15 keping per hari dan ditambah dengan makanan atau cemilan lain yang mengandung energi dan protein. Berdasarkan pertimbangan tersebut, biskuit yang disarankan untuk dikonsumsi adalah biskuit tepung labu kuning dan ikan lele 40%. Biskuit ini dapat dijadikan sebagai salah satu makanan tambahan untuk membantu memenuhi kecukupan energi dan protein baik pada anak usia 1-9 tahun, ibu hamil maupun ibu menyusui. Untuk memenuhi kandungan zat gizi mikro khususnya vitamin A, dan C baik pada anak usia 1-9 tahun, ibu hamil, maupun ibu menyusui, dapat mengonsumsi labu kuning dan ikan lele dengan cara memasaknya sebagai lauk pauk. Selain itu, biskuit ini dapat dijadikan sebagai makanan tambahan bagi balita, yang diolah menjadi bubur susu untuk lebih mudah dikonsumsi. Analisis Organoleptik Aroma Biskuit dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele Berdasarkan uji daya terima anak SD, mahasiswa FKM USU dan ibu hamil yang telah dilakukan dengan menggunakan pengujian organoleptik terhadap aroma menunjukkan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele 20% yang disukai oleh anak SD dan mahasiwa FKM USU, sedangkan pada ibu hamil kurang menyukai biskuit tepung labu kuning dan ikan lele karena masih beraroma amis dari ikan lele. Hasil analisis organoleptik aroma biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 1. Hasil analisa sidik ragam pada anak SD, mahasiswa FKM USU dan ibu hamil. FHitung ternyata lebih besar dari FTabel. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penambahan tepung labu kuning dan ikan lele 20%, 30% dan 40% terhadap aroma biskuit dan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele dengan berbagai variasi memberi
pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma biskuit yang dihasilkan. Munculnya perbedaan aroma pada biskuit menghasilkan penilaian yang berbeda dari panelis. Hal ini disebabkan karena bahanbahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit yaitu seperti tepung terigu, tepung labu kuning dan ikan lele, mentega dan susu masing-masing mempunyai aroma yang khas. Biskuit dengan penambahan sebesar 10% memiliki aroma yang lezat, dimana aroma susu dan mentega sangat menonjol. Anakanak sekolah dan mahasiswa pada umumnya menyukai makanan yang memiliki aroma yang wangi sedangkan pada ibu hamil menyukai aroma dengan penambahan 30%. Berdasarkan penelitian Gracia dkk (2009), pada pembuatan biskuit dengan penambahan tepung jagung, skor rata-rata penilaian aroma biskuit meningkat dengan adanya penambahan margarin, gula dan telur. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah konsentrasi margarin, gula dan telur akan mempengaruhi aroma dari biskuit jagung sehingga disukai oleh panelis. Analisis Organoleptik Rasa Biskuit dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele Rasa dalam biskuit merupakan kombinasi antara cita rasa dan aroma yang tercipta untuk memenuhi selera panelis. Pada umumnya, rasa biskuit merupakan hal yang menunjang karena hal pertama yang akan diperhatikan oleh panelis pada saat memberikan penilaian adalah rasa. Dari hasil penelitian, uji daya terima terhadap rasa menunjukkan bahwa rasa biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele 20% disukai oleh anak SD dan mahasiwa FKM USU karena rasanya manis dan gurih. Sedangkan ibu hamil kurang menyukai rasa biskuit tepung labu kuning dan ikan lele karena memiliki aroma rasa dari ikan lele dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, bahwa nilai FHitung ternyata lebih besar Ftabel. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penambahan tepung labu kmuning dan ikan lele 20%, 30% dan 40% terhadap rasa biskuit dan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele dengan berbagai variasi tersebut 6
memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa biskuit yang dihasilkan. Oleh karena adanya perbedaan antara penambahan tepung kacang merah terhadap rasa, maka dilanjutkan dengan Uji Ganda Duncan untuk mengetahui perlakuan mana yang sama dan didapatkan hasilnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Utami (2012), pembuatan biskuit dengan penambahan tepung pisang kepok sebanyak 45% memiliki penilaian tertinggi yaitu dengan skor 86 dan jumlah presentase sebesar 95,5%. Menurut Ginting (2009) yang dikutip oleh Utami (2012), peningkatan jumlah presentasi hedonik terhadap rasa diikuti pula dengan peningkatan skor hedonik terhadap aroma. Semakin banyak konsentrasi subtitusi tepung pisang kepok maka semakin rendah skor penilaian panelis terhadap rasa biskuit pisang kepok. Analisis Organoleptik Warna Biskuit dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele Uji daya terima terhadap warna menunjukkan bahwa biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele 20% disukai oleh anak SD dan mahasiswa FKM USU sedangkan pada ibu hamil menyukai biskuit tepung labu kuning dan ikan lele 30% dapat dilihat pada tabel 3. Warna tepung labu kuning dan ikan lele memang berpengaruh terhadap warna produk biskuit yang dihasilkan, dimana semakin banyak konsentrasi penggunaan tepung labu kuning dan ikan lele, warna biskuit akan semakin coklat. Panelis yang merupakan anak sekolah memiliki cara pemilihan makanan yang berbeda dari orang dewasa. Anak sekolah pada umumnya lebih memperhatikan warna dalam memilih makanan, mereka cenderung menyukai warna-warna cerah pada makanan. Menurut mereka warna yang cerah sangat indah dilihat dan membuat mereka tertarik untuk mengonsumsinya. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam warna bahwa nilai FHitung ternyata lebih besar dari FTabel. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penambahan tepung labu kluing dan ikan lele 20%, 30%, dan 40% terhadap warna biskuit dan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele dengan
berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut Utami (2012), pada pembuatan biskuit dengan penambahan tepung pisang kepok, tingkat kesukaan panelis terhadap 25% penambahan tepung pisang kepok dalam pembuatan biskuit memiliki skor tertinggi yaitu 85 (94,4%). Presentase skor hedonik semakin meningkat dengan semakin berkurangnya konsentrasi tepung pisang kepok yang digunakan sebagai pensubtitusi. Warna biskuit yang semakin kecoklatan tidak disukai oleh panelis yaitu anak Sekolah Dasar. Analisis Organoleptik Tekstur Biskuit dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele Berdasarkan hasil uji daya terima terhadap tekstur menunjukkan bahwa biskuit dengan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele 20% sangat disukai. Sedangkan pada ibu hamil menyukai tekstur dengan penambahan 40% yang teksturnya agak keras karena berbeda dari biskuit pada umumnya yang dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam bahwa nilai FHitung ternyata lebih besar dari FTabel. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penambahan tepung labu kuning dan ikan lele 20%, 30% dan 40% terhadap tekstur biskuit dan penambahan tepung labu kuning dan ikan lele dengan berbagai variasi tersebut memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur biskuit yang dihasilkan. Oleh karena adanya perbedaan antara ketiga perlakuan tersebut, maka dilanjutkan dengan Uji Ganda Duncan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Utami (2012), pada pembuatan biskuit dengan penambahan tepung pisang kepok, tingkat kesukaan panelis terhadap 45% penambahan tepung pisang kepok memilki skor tertinggi yaitu 77 (85,6%). Kandungan serat pada tepung pisang kepok mengindikasikan kondisi biskuit menjadi semakin keras sehingga kurang disukai oleh panelis.
7
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Penambahan tepung labu kuning dan ikan lele dalam pembuatan biskuit dengan berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap penilaian organoleptik baik dari segi warna, aroma tekstur serta rasa. 2. Berdasarkan uji daya terima biskuit pada anak SD dan Mahasiswa FKM USU menyukai biskuit tepung labu kuning dan ikan lele 20%. 3. Berdasarkan uji daya terima biskuit pada ibu hamil kurang menyukai rasa, dan aroma biskuit tepung labu kuning dan menyukai warna biskuit tepung labu kuning dan ikan lele. 4. Penambahan tepung labu kuning dan ikan lele dalam pembuatan biskuit memberikan peningkatan kandungan gizi makro maupun kandungan gizi mikro. 5. Dari segi zat gizi biskuit tepung labu kuning dan ikan lele yang baik dikonsumsi adalah biskuit tepung labu kuning dan ikan lele 40% karena memiliki kandungan energi dan protein serta kandungan zat gizi mikro yang tinggi sudah memenuhi standar kandungan gizi berdasarkan SNI 01-2973-1992. SARAN 1. Perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut dari pembuatan biskuit tepung labu kuning dan ikan lele untuk meningkatkan cita rasa dan menyiasati aroma dengan member jeruk atau lemon agar pada kalangan ibu hamil bisa mengkonsumsi bsikuit tersebut dan meningkatkan vitamin C. 2. Disarankan pada ibu hamil untuk mengkonsumsi biskuit tepung labu kuning dan ikan lele karena dapat memenuhi kebutuhan AKG energi dan protein. DAFTAR PUSTAKA Astawan, M. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang Dengan Biji-bijian. Cetakan pertama. Penebar Swadaya. Jakarta
Dasar di Desa Ujung Bawang Kecamatan Dolok Silau Kecamatan Simalungun. Skripsi. Jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan Gracia, Cynthia, Sugiyono, dan Haryanto, Bambang. 2009. Kajian Formulasi Biskuit Jagung Dalam Rangka Subtitusi Tepung Terigu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol XX No.1. Hardinsyah dan Tambunan, V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. LIPI. Jakarta Moehji, S. 2000. Ilmu Gizi Dan Diet. Bharata Karya Aksara. Jakarta Syarief, H. 1997. Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat Sumber Daya Keluarga, FP IPB. Bogor Utami,
Suriyani. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Pisang Kepok Terhadap Daya Terima Biskuit Sebagai Alternatif Makanan Tambahan Anak Sekolah. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan
Ginting, Sadar. 2009. Pemanfaatan Ubi Jalar Orange Sebagai Bahan Pembuat Biskuit Untuk Alternatif Makanan Tambahan Anak Sekolah 8
Tabel 1.
Hasil Analisa Organoleptik Aroma Biskuit Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele
Aroma Panelis n Anak SD 81 FKM USU 78 Ibu Hamil 59 Total 218
Biskuit Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele A2 A3 Kriteria n % Kriteria n % Suka 74 82,3 suka 67 74,4 Suka 61 67,8 Kurang suka 54 60 Kurang suka 51 56,67 Kurang suka 55 61,1 186 206,8 176 195,5
A1 % 90,0 86,5 65,56 242,6
Kriteria Kurang suka Kurang suka Kurang suka
Tabel 2. Hasil Analisa Organoleptik Rasa Biskuit Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele Rasa
Biskuit Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele
Panelis
A1 %
n Anak SD 86 FKM USU 72 Ibu Hamil 61 Total 219
91,5 80 67,77 239,3
A2 Kriteria Suka Suka Kurang suka
n 77 49 46 172
A3 %
Kriteria
85,5 54,4 51,11 191,1
Suka Kurang suka Tidak suka
n
%
57 62 45 164
63,4 68,9 50 182,3
Kriteria Kurang suka Kurang suka Tidak suka
Tabel 3. Hasil Analisa Organoleptik Warna Biskuit Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele Warna Panelis n Anak SD 84 FKM USU 75 Ibu Hamil 66 Total 225
A1 % 93,3 83,2 73,3 249,8
Kriteria Suka Suka Kurang suka
Biskuit Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele A2 A3 n % Kriteria n % 67 74,4 Kurang suka 49 54,4 55 61,1 Kurang suka 56 62,2 74 93,3 Suka 65 72,2 196 228,8 170 188,8
Kriteria Tidak suka Kurang suka Kurang suka
Tabel 4. Hasil Organoleptik Tekstur Biskuit Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele Tekstur Panelis Anak SD FKM USU Ibu Hamil Total
n 81 76 43 200
A1 % 90,0 84,4 47,8 222,2
Kriteria Suka Suka Tidak suka
Biskuit Tepung Labu Kuning dan Ikan Lele A2 n % Kriteria n % 73 81,1 Suka 63 70,0 65 72,1 Kurang suka 62 68,8 39 43,3 Tidak suka 71 99,9 177 196,5 196 238,7
A3 Kriteria Kurang suka Kurang suka Suka
9
GAMBARAN POLA KONSUMSI DAN STATUS GIZI BADUTA (BAYI 6-24 BULAN) YANG TELAH MENDAPATKAN MAKANAN TAMBAHAN TABURIA DI KELURAHAN KEMENANGAN TANI KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2012
Mona Sylvia J. Manullang¹, Albiner Siagian², Arifin Siregar² ¹ Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ² Staff Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT Taburia means supplemental food of multivitamin and multimineral to fulfill nutrient needs and the growth for the babies aged 6-24 months. Taburia is as the expansion of local product of micronutrient powder (MNP) and as the strategy to overcome the anemia as the effect of iron deficiency and other micro nutrient deficiencies. The objective of this research was to know the description of consumption pattern and nutrient status of the babies aged 6-24 months getting Taburia in Kemenangan Tani area, Medan Tuntungan, Medan City in 2012. This research was quantitative descriptive with Cross sectional design. The results of research showed that consumption pattern of the babies aged 6-24 months based on the category of food menu was categorized good for 67,7% and consumption pattern of the babies aged 6-24 months based on the category of eating frequency was categorized good for 53,2%, whereas based on the weight per age was categorized normal for 57,6%, nutritional status based on height per age was categorized normal for 68,1% and nutritional status based on weight per height was categorized normal for 73,0%. Taburia administration program may enhance nutritional status of two years old of the babies into normal. Hence, it is expected that Health Department should continue Taburia administration program since it is proved that it may enhance nutritional status of two years old of the babies in Kemenangan Tani area, Medan Tuntungan and also it is expected that Primary Health Center is more active in giving the socialization of information and counseling about good consumption pattern of the baby and Taburia administration. Key words : consumption pattern, Taburia, nutritional status, two years old - babies PENDAHULUAN Latar Belakang : Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi.
Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik.Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional (Depkes, 2010). Status gizi yang baik untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin yakni sejak manusia itu masih berada dalam 1
kandungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah makanannya. Melalui makanan bayi mendapatkan zat gizi yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk tumbuh dan berkembang. Ketidaktahuan tentang cara pemberian makan pada bayi baik dari jumlah, jenis dan frekuensi makanan secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab terjadinya masalah kurang gizi pada bayi (Sufnidar, 2010). Berdasarkan hasil Riskesdas (2010) bahwa salah satu provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang tertinggi yaitu Provinsi Sumatera Utara dengan perevalensi gizi buruk sebesar 7,8% dan prevalensi gizi kurang sebesar 13,5%. Bayi usia 6-24 bulan (baduta) menjadi salah satu kelompok rawan mengalami gizi kurang, hal ini dikarenakan bayi berusia 6-24 bulan memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar. Pola pemberian makan juga sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan bayi. Dengan pola makan gizi seimbang, bayi usia 6-24 bulan akan mengalami tumbuh optimal termasuk kecerdasannya, apabila dalam periode ini mengalami kekurangan maka pertumbuhan bayi akan terhambat. Tetapi masih banyak terdapat bayi usia 6-24 bulan yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu dan cakupan pelayanan gizi guna mengatasi permasalahan gizi di Indonesia adalah melalui program Taburia. Taburia merupakan makanan tambahan multivitamin dan multimineral untuk memenuhi kebutuhan gizi dan tumbuh kembang balita umur 6-24 bulan. Taburia merupakan pengembangan produk lokal micronutrient powder (MNP) atau Bubuk Tabur Gizi (BTG) yang menjadi strategi dalam mengatasi anemia kurang zat besi dan kekurangan zat gizi mikro lainnya. Kelurahan Kemenangan Tani merupakan salah satu kelurahan di wilayah Kota Medan yang mendapatkan program pemberian bubuk Taburia dengan alasan bahwa di kelurahan ini dianggap banyak keluarga miskin yang memiliki bayi berusia 6-24 bulan dibandingkan dengan kelurahan
lain di Kecamatan Medan Tuntungan. Hal ini dapat dilihat data dari Bapeda Kota Medan tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat 2747 KK miskin di Kecamatan Medan Tuntungan dan wilayah Kelurahan Kemenangan Tani memiliki distribusi KK miskin sebanyak 111 kepala keluarga (27, 22%) dalam kategori miskin dengan jumlah total penduduk miskin sebanyak 437 orang dan terdapat 228 orang (52,5%) masuk dalam kategori anak-anak. Pemberian Taburia telah terbukti dapat meningkatkan status gizi, meningkatkan HB dan mengurangi kejadian anemia pada bayi sehingga sudah seharusnya setiap ibu memberikan Taburia kepada bayinya. Menurut Depkes (2010), lebih dari 85% balita mau mengonsumsi bubuk Taburia, akan tetapi tidak selamanya pemberian Taburia dapat berjalan dengan lancar, hal ini dapat dillihat dari hasil penelitian Rauf (2010) yang menunjukkan sebanyak 27,5 % balita di Kecamatan Pangkajahe tidak mengonsumsi Taburia dengan rutin dan berkala yang dikarenakan rasa Taburia tidak enak, bosan, minimnya pengetahuan ibu tentang manfaat dan pola konsumsi pemberian Taburia yang baik dan benar. Hasil penelitian Rauf (2010) juga menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang pemberian Taburia dapat mempengaruhi kepatuhan ibu dalam memberikan Taburia di Kabupaten Pangkep. Oleh karena itu, peneliti berfikir bahwa perlu ada penelitian tentang” Gambaran pola konsumsi dan status gizi baduta (bayi 6-24 bulan) yang telah mendapatkan makanan tambahan Taburia Di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2012”. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif dengan desain penelitian Cross Sectional. Aspek Pengukuran 1. Pola Konsumsi Jenis makanan dan frekuensi makanan diperoleh melalui food recall 24 jam untuk 2
jumlah energi protein dan energy yang dikonsumsi bayi 6-24 bulan Dari hasil food recall 24 jam. 1. Jenis makanan diatur dengan pengkategorian berupa: a. Baik, apabila jenis makanan yang diberikan berupa Umur 6-12 bulan : ASI, Nasi tim/ bubur dan sari buah Umur 13- 24 bulan : ASI, Makanan Keluarga b. Tidak baik, apabila pemberian makanan diluar ketentuan diatas. 2. Jumlah dan frekuensi makan yang diberikan kepada anak untuk memenuhi kebutuhan gizi. a. Baik, apabila Umur 6-12 bulan 210250 ml PASI/ASI sebanyak 3-4 kali sehari, 1 piring kecil Nasi tim/ bubur sebanyak 2-3 kali sehari Konsumsi ASI sebanyak 100-250 ml pada setiap hari atau konsumsi ASI 6 kali per hari. Umur 13- 24 bulan 250 ml PASI/ASI sebanyak 2-3 kali sehari, makan setengah dari yang dimakan orang dewasa sebanyak 3-4 kali sehari. b. Tidak baik, apabila diluar dari ketentuan yang telah ditetapkan. 2. Status Gizi Status gizi diperoleh melalui pengukuran antropometri berat badan menurut umur (BB/U), Panjang badan menurut umur (PB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/PB). Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-skor sebagai batas ambang kategori. Rumus perhitungan Z-skor sebagai berikut :
Untuk kategori status gizi dan batasanbatasannya, digunakan standar WHO (2005), sebagai berikut : a. Kategori berdasarkan BB/U : 1. BB Normal : -2 SD s/d < 1 SD 2. BB Kurang : -3 SD s/d < -2 SD 3. BB Sangat Kurang : < -3 SD
b. Kategori berdasarkan PB/U : 1. PB Lebih Dari Normal : > 3 SD 2. PB Normal : -2 SD s/d 3 SD 3. PB Pendek : < -2 SD s/d -3 SD 4. PB Sangat Pendek : < -3 SD c. Kategori berdasarkan BB/PB : 1. Sangat Gemuk : > 3 SD 2. Gemuk : > 2 SD s/d 3 SD 3. Resiko Gemuk : 1 SD s/d 2 SD 4. Normal : -2 SD s/d 1 SD 5. Kurus : < -3 SD s/d -3 SD HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun karakteristik ibu meliputi umur dan pekerjaan dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Ibu di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2012 No Karakteristik Ibu f % 1 Umur Ibu 20-24 tahun 20 32,3 25-29 tahun 14 22,6 30-34 tahun 27 43,5 35-39 tahun 1 1,6 Total 62 100,0 2 Pekerjaan Ibu IRT 42 67,8 Wiraswata 7 11,2 Petani 13 21 PNS/ TNI/Polri 0 0 Total 62 100,0 3 Pendidikan Tidak tamat SD 6 9,7 Tamat SD 5 8,1 SMP 23 37,1 SMA 28 45,1 Total 62 100,0 Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat karakteristik ibu menurut umur, yang paling banyak adalah pada umur 30-34 tahun sebanyak 27 orang (43,5%) dan paling sedikit pada umur 35-39 tahun sebanyak 1 orang (1,6%). Karakteristik ibu menurut pekerjaan yang paling banyak adalah IRT sebanyak 42 orang (67,8%) sedangkan paling sedikit 3
adalah sebagai Petani sebanyak 13 orang (21%) dan tidak terdapat satu orang pun yang memiliki pekerjaan sebagai PNS/TNI/Polri. Karakteristik ibu menurut pendidikan yang paling banyak adalah tamat SMA sebanyak 28 orang (45,1%) dan yang paling sedikit memiliki tamat SD sebanyak 5 orang (8,1%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Baduta 6-24 Bulan di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2012 No Karakteristik anak 6-24 bulan f % 1 Jenis Kelamin Laki-laki 30 48,4 Perempuan 32 51,6 Jumlah 62 100,0 2 Umur 6-12 Bulan 22 35,5 13-18 Bulan 14 22,6 19-24 Bulan 26 41,9 Jumlah 62 100,0 Berdasarkan tabel 4.2. dapat dilihat bahwa jenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu berjumlah 32 orang (51,6%) dibandingkan laki-laki yang berjumlah 30 orang (48,4%). Sedangkan karakteristik menurut umur anak, jumlah anak yang paling banyak adalah umur 19-24 bulan yaitu 26 orang (41,9%), dan yang paling sedikit adalah umur 13-18 bulan yaitu 14 orang (22,6%). Tabel 3. Distribusi Tingkat Susunan Makanan Pada Bayi 6-24 Bulan di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2012 No Tingkat Susunan Makanan Jumlah (n) % 1 Baik 42 67,7 2 Tidak Baik 20 32,3 Total 62 100,0
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa ada terdapat 42 bayi (67,7%) dari 62 bayi yang tingkat susunan makanan nya baik, sedangkan 20 bayi (32,3%) dari 62 bayi memiliki tingkat susunan makanan yang tidak baik.
Masih adanya 20 bayi berusia 6-24 bulan (32,3%) memiliki pola konsumsi dengan tingkat susunan makanan yang tidak baik sesudah diberikan taburia dapat terjadi karena pengetahuan ibu yang masih kurang tentang pola konsumsi makanan untuk bayi yang ditambah dengan kebiasaan memberikan makanan yang sebenarnya tidak perlu diberikan kepada bayi yang dapat membahayakan kesehatan bayi. Menurut Suhardjo dalam Sitompul (2010), kebiasaan mengonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula, dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya gizi yang dibutuhkan tubuh. Tabel 4. Distribusi Tingkat Frekuensi Mengkonsumsi ASI, Nasi Bubur/Nasi Tim, Sumber Protein dan Buah Pada Bayi 6-24 Bulan di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2012 No Tingkat Frekuensi Makanan f % 1 Baik 33 53,2 2 Tidak Baik 29 46,8 Total 62 100,0 Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa ada terdapat 33 bayi (53,2%) dari 62 bayi yang memiliki tingkat frekuensi makanan nya baik, sedangkan 29 bayi (46,8%) dari 62 bayi memiliki tingkat frekuensi makanan yang tidak baik. Hal ini dapat terjadi dikarenakan masih banyaknya ibu yang memberikan anaknya pola konsumsi ASI dan nasi bubur/ nasi tim dengan frekuensi yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak mereka sesuai dengan umurnya. Padahal setiap anak yang berada pada kelompok umur tertentu sudah memiliki ketentuan dalam mengkonsumsi makanan yang termasuk juga ketentuan dalam frekuensi makanan. Ketentuan ini diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi pada bayi berdasarkan kebutuhan zat gizi pada kelompok umurnya. 4
Menurut Aminah (2005) pada kelompok umur bayi 6-12 bulan misalnya membutuhkan ASI dengan frekuensi 3-4 kali dalam sehari dan kebutuhan akan bubur/nasi tim dengan frekuensi 1-2 kali dalam sehari sedangkan untuk bayi berusia 13-24 bulan membutuhkan ASI dengan frekuensi yang lebih sedikit yaitu hanya 2-3 kali dan kebutuhan akan bubur/nasi tim pada bayi 1324 bulan harus diberikan dengan frekuensi 3 kali dalam sehari. Hal yang tidak jauh berbeda juga diutarakan oleh Ramadhani (2008), makanan yang ideal harus mengandung cukup zat gizi esensial dan bahan bakar yang harus dalam jumlah yang cukup sesuai dengan keperluan sehari-hari yaitu pemberian ASI hendaknya kapan saja diminta hingga berusia 2 tahun, pemberian makanan lembek seperti bubur sebanyak 1 piring sedang dengan frekuensi 3-4 kali dalam sehari. Pada saat usia bayi 6-24 bulan pemberian makanan harus seimbang yang dikarenakan masa pertumbuhan diusia ini sangat pesat sehingga harus diperhatikan kecukupan gizinya sehingga jika pola konsumsi makanan tidak diperhatikan maka akan dapat membuat berbagai permasalahan pertumbuhan bayi kedepannya. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Status Gizi Bayi 6-24 Bulan Berdasarkan Indeks BB/U dan Kelompok Umur di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2013 No
Kelompok Umur
1 2 3
6-12 bulan 13-18 bulan 19-24 bulan
BB/U Normal Kurang f % f % 11 50 11 50 7 50 7 50 15 57,6 11 42,3
Total f % 22 100,0 14 100,0 26 100,0
Berdasarkan tabel 5. dapat dilihat indeks BB/U dalam kategori normal pada kelompok umur bayi berusia 6-12 bulan sebanyak 11 bayi (50,0%), kelompok umur bayi berusia 13-24 bulan sebanyak 7 bayi (50,0%) dan 15 bayi (57,6%) dalam kelompok umur 19-24 bulan berada dalam
kategori normal. Bayi dalam kategori kurang pada kelompok umur bayi berusia 6-12 bulan dan kelompok umur bayi berusia 19-24 bulan masing-masing terdapat sebanyak 11 bayi. Mengenai status gizi anak berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) jika dilihat lebih lanjut setelah pemberian taburia bahwa terdapat sebahagian besar bayi dengan kelompok umur 19-24 bulan memiliki kategori berbadan normal dan status gizi dengan kategori badan kurang. Hal ini dikarenakan pola konsumsi berdasarkan frekuensi makan bayi tidak baik yang dapat dilihat dari pola konsumsi bayi yang mengkonsumsi nasi bubur/nasi tim yang mayoritas hanya 1-2 kali dalam sehari sebagai salah satu sumber energi sehingga bayi tidak memiliki kebutuhan zat gizi yang cukup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Alim (2011) bahwa terdapat fenomena tingginya prevalensi kejadian status gizi kurang dan buruk yang diukur berdasarkan berat badan menurut umur pada bayi yang mendapatkan Taburia disebabkan karena konsumsi makanan yang mengandung energi masih rendah yang semakin diperparah dengan konsumsi Taburia yang tidak teratur. Rendahnya tingkat konsumsi bayi 1324 bulan semakin diperparah dengan masih banyaknya ibu yang tidak memberikan taburia secara rutin dan berkala kepada anaknya padahal mereka telah mendapatkan taburia sehingga tidak tercapainya hasil yang optimal terhadap peningkatan berat badan bayi. Tabel 6. Distribusi Frekuensi Status Gizi Bayi 6-24 Bulan Berdasarkan Indeks PB/U di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2013 Status Gizi PB/U Kelompok Sangat No Normal Pendek Umur Pendek n % n % n % 1 6-12 bulan 15 68,1 7 31,8 0 0 2 13-18 bulan 6 42,8 5 35,7 3 21,4 3 19-24 bulan 7 26,9 9 34,1 10 38,4
Total n % 22 100,0 14 100,0 26 100,0
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat indeks PB/U dalam kategori normal yang terdapat pada kelompok umur bayi berusia 612 bulan sebanyak 15 bayi (68,1%) dan dalam kategori sangat pendek pada kelompok umur 5
bayi berusia 6-12 bulan tidak terdapat ada bayi yang tergolong kategori sangat pendek. Adanya bayi berusia 6-12 bulan yang memiliki panjang badan dengan kategori pendek dapat disebabkan karena bayi berusia 6-12 bulan memiliki susunan pola konsumsi yang kurang baik khususnya dalam hal mengkonsumsi ASI yang diketahui mengandung protein yang tinggi. Menurut Winarno dalam Ramadhani (2008) bahwa semakin bertambahnya usia maka pertambahan panjang badan pun akan semakin tinggi namun, hal ini tidak lepas dari asupan zat gizi (protein, kalsium) yang cukup sesuai dengan usia anak. Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Menurut Solihin (2003) dalam Nadeak (2011) bahwa seorang bayi akan membutuhkan protein dalam jumlah yang cukup tinggi untuk memenuhi pertumbuhannya sehingga bayi tersebut memiliki pertumbuhan yang baik khususnya pertumbuhan panjang badan yaitu sebanyak 15 gram protein untuk bayi berusia 7-12 bulan dan 23 gram protein untuk bayi berusia 13-36 bulan. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan protein dalam tubuh maka seorang bayi akan memerlukan makanan yang memiliki kandungan protein yang tinggi. Tabel 7. Distribusi Frekuensi Status Gizi Bayi 6-24 Bulan Berdasarkan BB/PB di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan Tahun 2013 Status Gizi (BB/PB) Kelompok Normal Kurang Umur n % n % 1 6-12 Bulan 15 68,1 7 31,8 2 13-18 Bulan 10 1,4 4 28,5 3 19-24 Bulan 19 73,0 7 26,9
No
Total n % 22 100,0 14 100,0 26 100,0
Berdasarkan tabel 7 yaitu pada kelompok umur bayi berusia 19-24 bulan dengan kategori normal terdapat sebanyak 19 bayi (73,0%) dan dalam kategori kurang (kurus) pada kelompok umur bayi berusia 6-
12 bulan dan bayi berusia 19-24 bulan masing-masing berjumlah 7 bayi. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah anak baduta yang masih perlu perhatian khusus sebanyak 18 bayi, jumlah ini dihitung dari jumlah anak kategori kurus pada kelompok umur 6-24 bulan. Hasil penelitian Wahyuni (2011) menunjukkan bayi yang mendapatkan taburia dan menjaga pola konsumsi makan baik protein dan karbohidrat dengan baik membuat bayi memiliki mayoritas berat badan menurut panjang badan dengan kategori normal sebanyak 139 bayi (96,5%). Oleh karena itu, keberlanjutan program pemberian makanan tambahan berupa pemberian taburia agar masalah gizi baduta dapat diatasi ditambah dengan pemberian informasi yang benar tentang taburia harus diperhatikan agar tidak terjadi salah persepsi tentang pemberian taburia kepada anak. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan pola konsumsi bayi berusia 6-24 bulan berdasarkan susunan makanan berada dalam kategori baik sebanyak 67,7% sedangkan pola konsumsi dengan kategori tingkat susunan makanan dalam kategori tidak baik sebanyak 32,3%. Pola konsumsi bayi berusia 6-24 bulan berdasarkan frekuensi makan berada dalam kategori baik sebanyak 53,2% sedangkan pola konsumsi dengan tingkat frekuensi makan dalam kategori tidak baik sebanyak 46,8%. Status gizi bayi dari hasil penelitian ini menunjuk kan ada peningkatan setelah mendapatkan makanan tambahan Taburia. Adapun peningkatan nya dapat dilihat dari pertambahan berat badan, panjang badan serta tidak ada terdapat bayi dalam keadaan status gizi buruk. Namun masih adanya bayi tergolong dalam status gizi kurang, sangat pendek maupun kurus, hal dikarenakan kader masih kurang dalam mensosialisasikan manfaat pemberian taburia dan pola konsumsi yang baik kepada ibu.
6
Saran Diharapkan Kementerian Kesehatan harus lebih memperhatikan program pemberian Taburia oleh karena masih kurang efektifnya proses pemberian taburia pada anak yang diharapkan dapat meningkatkan status gizi. Puskesmas Tuntungan dan kader posyandu diharapkan lebih aktif untuk melakukan sosialisasi informasi dan penyuluhan mengenai pola konsumsi makan bayi yang baik dan pemberian Taburia sehingga dapat memperbaiki tindakan ibu dalam memberikan pola konsumsi kepada bayi dan pemberian Taburia. Ibu baduta di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan harus memperhatikan pola konsumsi anak baik itu susunan makanan yang diberikan dan frekuensi makan sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian taburia dapat meningkatkan pola konsumsi dan status gizi yang lebih baik, sehingga program pemberian taburia harus dilanjutkan dan disosialisasikan kembali. DAFTAR PUSTAKA Alim,
A. 2011. Evaluasi Program Pemberian Bubuk Taburia Di Kota Makasar. Unhas. Makasar.
Aminah, S. 2005. Gambaran Konsumsi Makanan Dan Status Gizi Baduta Di Kelurahan Tanjung Leidong Kecamatan Kualuh Leidong Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara. Skripsi. USU Depkes,
2010. Taburia. http://www.gizikia.depkes.go.id diakses tanggal 3 Mei 2011.
Ramadhani, I. (2008). Pola Konsumsi Protein dan Panjang Badan Anak Umur 6-24 Bulan di Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2008. Skripsi USU. Rauf,
F,
2010. Pengaruh Pemberian Taburia Terhadap Perubahan Status Gizi Anak Gizi Kurang Umur 12-24 Bulan Di Kecamatan Pangkajahe Kabupaten Pangkep Tahun 2010. Media Gizi Pangan Vol XIII, Edisi 1. Poltekkes Kemenkes Makasar.
Riskesdas, 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta.Badan Penelitian dan Pengenbangan Kementrian Kesehatan RI. Sitompul, N. 2010. Konsumsi Pngan dan Status Gizi Anak Peserta Program Pendidik Anak Usia Dini di Kelurahan Merdeka Kecamatan Medan Baru Tahun 2010. Skripsi USU. Sufnidar. 2010. Pola Makan dan Status Gizi Bayi Di Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie Provinsi Aceh Tahun 2010. Skripsi. USU. Wahyuni, K. 2012. Pengaruh Taburia Terhadap Status Anemia Dan Status Gizi Balita Gizi Kurang Di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis. UGM.
Nadeak, M, 2011. Gambaran Pola Makan Dan Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Karakteristik Keluarga Di Kelurahan Pekan Dolok Marsihul Tahun 2011. Skripsi. USU.
7
HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN PADA IBU HAMIL TRIMESTER KETIGA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DESA LALANG KECAMATAN MEDAN SUNGGAL TAHUN 2013
Marissa Anggraini1, Evawany Y Aritonang², Zulhaida Lubis² 1
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ² Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT Food consumption pattern is a description of the quantity, type and frequency of food that people eat everyday and it is typical to one particular group of people. The research objective was to determine the relationship of the pattern of food consumption with haemoglobin levels in pregnant mother in the third trimester in Desa Lalang Health Center in Medan Sunggal SubDistrict in 2013. This type of research is an observational cross-sectional design. The population is all pregnant mother with gestational age 27-40 weeks ( third trimester ) who reside in the Desa Lalang Health Center as many as 70 people. The samples are randomly by 50 people. The results showed that mothers who have normal haemoglobin levels are 40.0 % and 60.0 % are anemia. There are significant relationship between energy sufficiency, the adequacy of protein, the adequacy of iron, the adequacy of folic acid and iron supplement tablets with hemoglobin levels in pregnant mother in the third trimester Desa Lalang Health Center in Medan Sunggal SubDistrict in 2013. In other hand there was no relationship between the adequacy of vitamin B12 with the levels of hemoglobin in the third trimester pregnant mother. It is recommended to pregnant mother to pay attention to the pattern of food consumption and nutrition supplements of iron tablets during pregnancy to prevent anemia in pregnant mother in the third trimester that affecting mother and fetus. Keywords : Haemoglobin Levels, Food Consumption Pattern, Pregnant Mother, Third Trimester PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu pembangunan yang telah memperhitungkan dengan seksama berbagai dampak positif maupun negatif setiap kegiatan terhadap kesehatan masyarakat. Menurut Depkes RI (1994) tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2015 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil
dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia. Menurut Wirakusumah (1999) di Indonesia anemia pada ibu hamil trimester ketiga mencapai 30-50% disebabkan kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi. Keadaan ini dapat membawa akibat negative seperti rendahnya kemampuan kerja jasmani dan rendahnya kemampuan intelektual dan pertumbuhan fisik terganggu, terutama pada balita, bayi akan mengalami berat bayi lahir rendah, rendahnya kekebalan tubuh sehingga mengakibatkan tingginya angka kesakitan, sebagai salah satu penyebab tingginya angka kesakitan ibu. Menurut Santosa (2004) pola konsumsi pangan merupakan gambaran 1
mengenai jumlah, jenis dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang seharihari dan merupakan ciri khas pada satu kelompok masyarakat tertentu. lemak, vitamin dan mineral dalam porsi yang sesuai. Pola konsumsi pangan individu atau keluarga dapat berfungsi sebagai cerminan dari kebiasaan makan individu atau keluarga. Frekuensi makan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi makan ini bisa menjadi penduga tingkat kecukupan konsumsi gizi, artinya semakin tinggi frekuensi makan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar. Makan makanan yang beranekaragam relatif akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan ibu hamil. Menurut Khomsan (2003) pola konsumsi pangan disusun berdasarkan data jenis bahan makanan, frekuensi makan dan berat bahan makanan yang dimakan. Semakin sering suatu pangan dikonsumsi dan semakin berat pangan yang bersangkutan dimakan, maka semakin besar peluang pangan tersebut tergolong dalam konsumsi pangan individu atau keluarga. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Pada penilaian secara kualitatif data yang dikumpulkan lebih menitik beratkan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan kebiasaan makan seperti frekuensi makan, frekuensi menurut jenis makanan yang dikonsumsi maupun cara memperoleh makanan, penataan gizi pada wanita hamil sangat diperlukan untuk menjamin kecukupan kalori, protein, vitamin, mineral, dan cairan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi ibu dan janin. Menurut Mochtar (1998), konsentrasi hemoglobin pada saat ibu hamil terlihat menurun walaupun sebenarnya lebih besar dari pada orang yang tidak hamil. Anemia fisiologi ini disebabkan oleh volume plasma yang meningkat. Konsentrasi hemoglobin menurun dari 12 g/dl menjadi 10 g/dl pada umur kehamilan 32-34 minggu hal ini berkaitan dengan meningkatnya volume plasma yang dapat mengakibatkan anemia. Selama kehamilan peningkatan volume darah sebesar 35-40% dari wanita-wanita tidak hamil terutama untuk peningkatan volume
plasma 45-50% dan masa sel-sel darah merah sebesar 15-20% pada trimester ketiga. Menurut RISKESDAS (2007) wanita dengan kadar hemoglobin <11,28 gr/dl di Indonesia sebanyak 11,3 %, sedangkan di Sumatera Utara sebesar 15,6 %. Dari hasil survey awal yang dilakukan pada bulan September Tahun 2012 di Kecamatan Medan Sunggal, ditemukan bahwa kejadian anemia pada ibu hamil sebesar 21,7%, dan angka ini lebih besar dari puskesmas-puskesmas lainnya. Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan antara pola konsumsi pangan dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013. Untuk mengetahui hubungan pola konsumsi pangan dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013. Dimana tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kecukupan gizi (energi, protein, zat besi, asam folat, vitamin B12) pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013. Untuk mengetahui konsumsi tablet besi pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013. Dengan manfaat sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal dalam rangka penanggulangan masalah kekurangan gizi pada ibu hamil, terutama anemia gizi besi. Sehingga masalah gizi pada ibu hamil dapat lebih cepat diturunkan, dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya pembangun bangsa. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian selanjutnya. Memberi masukan bagi perencana, penanggulangan faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada ibu hamil dan membuat kebijakan dalam pengembangan program ibu hamil.
2
METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat observasional dengan desain cross sectional (potong lintang) yaitu metode penelitian yang mengamati subjek dengan pendekatan suatu saat atau subjek diobservasi sekali saja pada saat penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan pola konsumsi pangan dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang tahun 2013. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Penelitian Lokasi Desa Lalang terletak di jalan Binjai Km 7,5 pasar II Kelurahan Lalang Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan. Dan mempunyai wilayah kerja sebanyak 2 kelurahan yaitu Kelurahan Lalang dan Sei Kambing B. Puskesmas Desa Lalang terletak di Ibukota Provinsi Sumatera Utara dengan wilayah kerja dataran rendah. Adapun batasbatas wilayah yaitu : Sebelah Utara : Kelurahan Cinta Damai Sebelah Selatan : Kelurahan Sei Kambing B Sebelah Barat : Kelurahan Lalang Sebelah Timur : Kelurahan Simpang Tanjung Batas wilayah kerja puskesmas yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan berdasarkan Geografis, Demografis, sarana transportasi, masalah setempat, sumber daya dan lain-lain. Kelurahan Lalang 13 Lingkungan dan Kelurahan Sei Kambing B 22 Lingkungan. Jumlah penduduk Desa Lalang Tahun 2012 adalah 48.580 jiwa yang terdiri dari 10.149 jiwa laki-laki dan 9.927 jiwa perempuan dengan jumlah Kepala Keluarga adalah 584 jiwa. Kebayakan penduduk Desa lalang bersuku Jawa, Agama Islam, lebih banyak berpendidikan D3, serta bermata pencaharian wiraswasta. Distribusi jumlah penduduk menurut kepala keluarga dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Data Daftar Nama Kelurahan, Luas dan Penduduk Puskesmas Desa lalang Tahun 2012 Jumla Jumlah Jumlah Nama Luas h Lingkun Penduduk Kelura Wila Pendu gan LK PR han yah duk Lalang 125 20.076 13 10.1 9.92 49 7 SSB 284 28.504 22 14.5 13.9 85 19 Jumlah 409 48.580 35 24.7 23.8 39 46 Sumber: Puskesmas Desa Lalang, Tahun 2012
Jumlah Jum lah KK 4.06 9 4.51 5 8.58 5
Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini dilihat berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan suami, penghasilan, usia kehamilan dan kehamilan ke- yaitu bahwa responden paling banyak pada kelompok umur 27-29 tahun sebesar 30,0% dan sedikit pada kelompok umur 18-40 tahun sebesar 8,0%, responden paling banyak berpendidikan SMA/SMK sebesar 46,0% dan sedikit yang tamat SD sebesar 12,0%, responden paling banyak bekerja sebagai tukang bangunan sebesar 30,0% dan sedikit yang sebagai pegawai Bank sebesar 8,0%, responden paling banyak berpenghasilan <2 juta sebesar 78,0% dan sedikit ≥2 juta sebesar 22,0%, usia kehamilan responden paling banyak 8 bulan sebesar 56,0% dan sedikit usia kehamilan 7 bulan sebesar 44,0%, sedangkan responden paling banyak pada kehamilan pertama sebesar 44,0% dan sedikit kehamilan keempat sebesar 8,0%. Konsumsi Ibu Hamil Kecukupan Energi Distribusi data responden berdasarkan kecukupan energi terlihat bahwa sebanyak 7 orang (14,0%) yang energi baik, sebanyak 9 orang (18,0%) yang energi sedang, sebanyak 13 orang (26%) yang energi cukup dan sebanyak 21 orang (42,0%) yang energi defisit, seperti terlihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kecukupan Energi di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2013 No Kecukupan Jumlah Persentase Energi (n) (%) 1 Baik 7 14,0 2 Sedang 9 18,0 3 Cukup 13 26,0 4 Defisit 21 42,0 Jumlah 50 100,0
3
Kecukupan Protein Distribusi data responden berdasarkan kecukupan protein terlihat bahwa sebanyak 12 orang (14,0%) yang protein baik, sebanyak 12 orang (24,0%) yang protein sedang, sebanyak 10 orang (20,0%) yang protein cukup dan sebanyak 16 orang (32,0%) yang protein defisit, seperti terlihat pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kecukupan Protein di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2013 No Kecukupan Jumlah (n) Persentase Protein (%) 1 Baik 12 24,0 2 Sedang 12 24,0 3 Cukup 10 20,0 4 Defisit 16 32,0 Jumlah 50 100,0
Kecukupan Zat Besi Distribusi responden berdasarkan kecukupan zat besi yaitu sebanyak 5 orang (10,0%) yang zat besi baik dan sebanyak 45 orang (90,0%) yang zat besi kurang, seperti terlihat pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kecukupan Zat Besi di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2013 No Kecukupan Zat Jumlah Persentase Besi (n) (%) 1 Baik 5 10,0 2 Kurang 45 90,0 Jumlah 50 100,0
Kecukupan Asam Folat Distribusi responden berdasarkan kecukupan asam folat yaitu sebanyak 28 orang (55,0%) yang asam folat baik dan sebanyak 22 orang (44,0%) yang asam folat kurang, seperti terlihat pada Tabel 5 berikut : Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kecukupan Asam Folat di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2013 No Kecukupan Jumlah Persentase Asam Folat (n) (%) 1 Baik 28 55,0 2 Kurang 22 44,0 Jumlah 50 100,0
Kecukupan Vitamin B12 Distribusi responden berdasarkan kecukupan vitamin B12 yaitu sebanyak 35 orang (70,0%) yang vitamin B12 baik dan
sebanyak 15 orang (30,0%) yang vitamin B12 kurang, seperti terlihat pada Tabel 6 berikut : Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kecukupan Vitamin B12 di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2013 No Kecukupan Jumlah Persentase Vitamin B12 (n) (%) 1 Baik 35 70,0 2 Kurang 15 30,0 Jumlah 50 100,0
Frekuensi Makanan Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu setiap hari, minggu, bulan, atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau makanan dan frekunsi penggunaan makanan pada periode tertentu.Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden. Supariasa (2002) Distribusi responden berdasarkan frekuensi makanan diperoleh bahwa makanan pokok lebih banyak responden mengkonsumsi nasi >1x/hari (100,0%), lauk hewani lebih banyak mengkonsumsi telur 1x/hari (72%), lauk nabati lebih banyak mengkonsumsi tahu 4-6x/minggu (56%), sayur-sayuran lebih banyak mengkonsumsi daun singkong 46x/minggu (76%), responden lebih banyak mengkonsumsi buah pepaya 4-6x/minggu (66%), lebih banyak responden mengkonsumsi makanan jananan rujak 13x/minggu (74%), minuman susu lebih banyak dikonsumsi 1x/hari oleh ibu hamil (76%), sedangkan ibu hamil yang tidak pernah mengkonsumsi dari bahan makanan adalah lauk hewani yaitu daging (76%). Suplemen Tablet Besi (Fe) Distribusi responden berdasarkan konsumsi suplemen tablet besi yaitu sebanyak 11 orang (22,0%) yang baik mengkonsumsi suplemen tablet besi (≥90) dan sebanyak 39 orang (78,0%) yang kurang mengkonsumsi 4
tablet besi (<90), seperti terlihat pada Tabel 7 berikut : Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Konsumsi Suplemen Tablet Besi (Fe) di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2013 No Suplemen Jumlah Persentase Tablet Besi (n) (%) 1 Baik (≥90) 11 22,0 2 Kurang (<90) 39 78,0 Jumlah 50 100,0
Penelitian oleh Sari (2012) tentang hubungan antara keteraturan mengkonsumsi tablet Fe dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil di BPS titikariati Surabaya, menunjukkan bahwa ada hubungan antara ketaatan konsumsi tablet Fe dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil, dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Idealnya semua zat gizi yang dibutuhkan ibu hamil dapat dipenuhi dari pola makan ber-Gizi Seimbang. Namun, pada ibu hamil terjadi peningkatan kebutuhan sangat tinggi sehingga tidak dapat atau sulit dipenuhi hanya dari makanan. Oleh karena itu ibu hamil dianjurkan minum suplemen zat besi, yang dikenal dengan nama tablet tambah darah (TTD). Ibu hamil dianjurkan minum 1 tablet per hari selama kehamilannya dan dilanjutkan selama masanifas (Kurniasih, 2010). Zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan, sebagai inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Menurut Almatsier, pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang, dan besi yang terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah. Kadar Hemoglobin Distribusi data responden berdasarkan kadar hemoglobin terlihat bahwa sebanyak 20 orang (40,0%) yang normal dan sebanyak 30 orang (60,0%) yang anemia, seperti terlihat pada Tabel 8 berikut :
Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2013 No Kadar Jumlah Persentase Hemoglobin (n) (%) 1 Normal (Hb ≥ 20 40,0 11gr/dl) 2 Anemia (Hb < 30 60,0 11 gr/dl) Jumlah 50 100,0
Hubungan Kecukupan Energi dengan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Energi merupakan sangat penting dibutuhkan pada tubuh. Pada seorang wanita selama kehamilan memiliki kebutuhan energi yang meningkat. Energi ini digunakan untuk pertumbuhan janin, pembentukan plasenta, pembuluh darah, dan jaringan baru. Almatsier (2009). Dari hasil penelitian 14,0% ibu hamil yang kecukupan energi dalam jumlah yang mencukupi yaitu 2850 sesuai dengan angka kecukupan gizi ibu hamil, sedangkan kecukupan energi yang defisit 42,0%, energi sedang 18,0% dan energi cukup 26%. Hubungan energi dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil menunjukkan bahwa yang energi baik yaitu sebesar 85,7% yang normal dan 14,3% yang anemia, energi sedang yaitu 88,9% yang normal dan 11,1% yang anemia, energi cukup yaitu 23,1% yang normal dan yang anemia 76,9%, sedangkan energi defisit yaitu 14,3% yang normal dan yang anemia 85,7%. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa masih banyak kecukupan konsumsi energi ibu hamil yang rendah. Sedangkan energi sangat dibutuhkan pada masa kehamilan, apabila kekurangan energi dapat menyebabkan kematian saat persalinan, perdarahan, persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Depkes RI (2004). Kecukupan energi dapat dilihat juga dari frekuensi makanan ibu hamil yang tidak pernah mengkonsumsi daging 76,0%. Hasil uji statistik dengan uji chi-square menunjukkan bahwa nilai p=0,001 (p<0,05) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara energi dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. Hal ini sesuai dengan penelitian Husaini (1998), yang menemukan bahwa konsumsi makanan memengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil. Apabila konsumsi 5
energi lebih rendah dari kebutuhan, mengakibatkan sebagian cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan. Pemecahan jaringan lemak akan diikuti penurunan berat badan dan anemia. Seorang ibu yang sedang hamil seharusnya terpenuhi kecukupan gizinya untuk kepentingan dirinya sendiri dan janin yang sedang dikandungnya. Hubungan Kecukupan Protein dengan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Protein merupakan bahan dasar pembentukan sel-sel dan jaringan baru dalam tubuh. Protein juga berfungsi untuk pertumbuhan , pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh yang rusak. Contoh nyata penggunaan protein dalam tubuh adalah untuk memperbaiki struktur rambut, otot, kuku, dan struktur tubuh lainya. Selain itu, protein juga berfungsi sebagai enzim dan hormon. Sebagai contoh, mengombinasikan serelia dengan bijibijian menghasilkan protein lengkap, dimana kedua sumber protein tersebut saling melengkapi asam amino yang dimilikinya. Dengan mengkonsumsi makanan yang bervariasi maka akan mengurangi resiko anemia pada ibu hamil. Wirakusumah (1999) Berdasarkan kecukupan protein dapat diliha bahwa protein baik 14,0%, protein sedang 24,0%, protein cukup 20,0% dan protein defisit 32,0%. Ibu hamil yang protein baik 75,0% yang normal 25,0% anemia, protein sedang 16,7% yang normal 83,3% anemia, protein cukup 50,0% yang normal 50,0% anemia, dan protein defisit 25,0% yang normal 75,0% anemia. Dari hasil tersebut bahwa kecukupan protein ibu hamil masih rendah, kecukupan protein bagi ibu hamil seharusnya didapat 67gram perhari sesuai angka kecukupan gizi, tetapi dapat dilihat dari frekuensi makanan ibu hamil yang masih kurang mengkonsumsi lauk hewani sebagai contoh daging dan ayam. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa nilai p=0,013 yang artinya ada hubungan antara protein dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. Hubungan Kecukupan Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Jumlah zat besi sangat di butuhkan oleh ibu hamil, selama kehamilan seorang ibu memerlukan tambahan zat gizi untuk
menunjang pembentukan Hb. Jumlah tambahan zat besi yang dibutuhkan bervariasi, darah seorang ibu hamil memerlukan 500 mg zat besi, darah janin membutuhkan 200mg zat besi dan darah plasenta membutuhkan 25 mg zat besi. Total yang dibutuhkan selama kehamilan diperkirakan sebanyak 1000 mg. Krisnatuti (2000) Berdasarkan kecukupan zat besi yaitu zat besi baik 10,0% dan 90,0% yang zat besi kurang. Ibu hamil yang zat besi baik yaitu 100,0% yang normal dan tidak ada ibu hamil yang anemia, sedangkan zat besi kurang yaitu 33,3% yang normal dan yang anemia sebesar 66,7%. Dari hasil diatas bahwa masih kurangnya kecukupan zat besi pada ibu hamil, sedangkan kecukupan zat besi pada ibu hamil sangat dibutuhkan selama kehamilan, zat besi juga dibutuhkan untuk mensuplai pertumbuhan janin dan plasenta serta meningkatkan jumlah sel darah pada ibu. Dapat dilihat juga dari suplemen tablet besi 78,0% dimana ibu hamil masih kurang mengkonsumsi tablet besi. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa nilai p=0,007 yang artinya ada hubungan antara zat besi dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. Hubungan Kecukupan Asam Folat dengan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Asam folat berperan penting selama kehamilan, salah satunya adalah untuk mencegah terjadinya kelainan dan kecacatan pada saluran syaraf serta membantu dalam proses pembentukan otak. Setiap ibu hamil harus bisa memastikan terpenuhinya kebutuhan asam folat, karena asam folat juga bisa mencegah terjadinya kecacatan pada sumsum tulang belakang. Jumlah angka kecukupan harian untuk ibu hamil adalah 400-600 microgram perhari sesuai dengan angka kecukupan gizi. Rustan (2001) Berdasarkan kecukupan asam folat yaitu 55,0% yang asam folat baik dan 44,0% yang asam folat kurang. Ibu hamil yang asam folat baik yaitu 60,7% yang normal dan anemia 39,3%, sedangkan asam folat kurang yaitu 13,6% yang normal dan anemia sebesar 86,4%. Dari hasil tersebut dapat dilihat kurangnya kecukupan asam folat pada frekunsi makanan dimana kurangnya mengkonsumsi daging dan ikan dan hasil uji 6
chi square menunjukan bahwa nilai p=0,002 yang artinya ada hubungan asam folat dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. Hubungan Kecukupan Vitamin B12 dengan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Vitamin B12 merupakan kebutuhan pokok manusia dalam jumlah yang sangat kecil yaitu 2 mikro-gram perhari, dan kebutuhan bagi ibu hamil 2,6 ug perhari. Sumber vitamin B12 yang tinggi termasuk dalam daging dan organ tubuh seperti hati domba atau sapi, ginjal dan kerang. Dalam jumlah yang cukup tinggi terdapat dalam susu bubuk tanpa lemak, beberapa makanan laut, dan kuning telur. Wirakusumah (1999). Berdasarkan kecukupan vitamin B12 yaitu 70,0% yang vitamin B12 baik dan 30,0% yang vitamin B12 kurang. Vitamin B12 dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil menunjukkan bahwa yang vitamin B12 baik yaitu 48,6% yang normal, sedangkan yang vitamin B12 kurang 20,0% yang mengalami normal. Dapat dilihat dari hasil diatas kecukupan vitamin B12 bagi ibu hamil baik, dikarenakan kecukupan ibu hamil tercukupi dengan mengkonsumsi susu setiap hari dan menutupi kekurangan asupan konsumsi lauk hewani. Hasil uji chi square diperoleh nilai p=0,115 artinya tidak ada hubungan antara vitamin B12 dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. Hubungan Konsumsi Suplemen Tablet Besi dengan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Konsumsi tablet besi adalah suplemen tablet besi yang dikonsumsi ibu hamil selama kehamilan. Pada ibu hamil kecukupan zat besi sangat dibutuhkan untuk membantu mensuplai oksigen keseluruh tubuh ibu dan janin. Zat besi pada ibu hamil adalah sekitar 20-30 mg setiap hari, untuk membantu mencukupi kebutuhan itu maka diberikan suplemen tablet besi bagi setiap ibu hamil, setidaknya ibu mengkonsumsi 90 tablet besi pada masa kehamilan. Krisnatuti (2000) Berdasarkan konsumsi suplemen tablet besi yaitu 100% yang mengkonsumsi suplemen tablet besi (≥90) dengan kadar hemoglobin normal. Yang suplemen tablet
besi kurang (<90) sebesar 23,1% memiliki kadar hemoglobin normal dan 76,9% anemia dengan suplemen tablet besi kurang (<90). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa ibu hamil masih kurang mengkonsumsi suplemen tablet besi. Hasil uji chi square menunjukkan nilai p=0,0001 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi suplemen tablet besi dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. KESIMPULAN 1. Ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2013 paling banyak pada kelompok umur 27-29 tahun 30,0%, berpendidikan tamat SMA/SMK 46,0%, pekerjaan suami sebagai tukang bangunan 30,0% dengan pengahsilan <2 juta 78,0%, usia kehamilan ibu adalah 8 bulan 56,0% dan pada kehamilan pertama 44,0%. 2. Anemia banyak terjadi pada ibu hamil, tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil dapat memberikan dampak negatif terhadap janin yang dikandungnya dan ibu dalam kehamilan, dimana di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2013 terdapat ibu hamil 60,0% yang mengalami anemia. 3. Kurangnya akan kecukupan energi pada ibu hamil sampai mengalami energi defisit 42,0%, dan signifikan antara hubungan kecukupan energi dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013. 4. Kurangnya akan kecukupan protein pada ibu hamil sampai mengalami protein defisit 32,0%, dan signifikan antara hubungan kecukupan protein dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013. 5. Berdasarkan kecukupan zat besi 90,0% yang mengalami zat besi kurang dan signifikan antara hubungan kecukupan zat besi dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013. 7
6.
7.
8.
Berdasarkan kecukupan asam folat 44,0% yang asam folat kurang, yang signifikan antara hubungan kecukupan asam folat dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013. Berdasarkan kecukupan vitamin B12 70,0% yang vitamin B12 baik, dan tidak ada hubungan kecukupan vitamin B12 dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013 Berdasarkan konsumsi suplemen tablet besi 78,0% yang kurang mengkonsumsi tablet besi, dan signifikan antara hubungan konsumsi suplemen tablet besi dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal tahun 2013
Mochtar, R, 1998. Sinopisis Obstetri. Jilid I, EGC, Jakarta. Rustan E, Saidin M, Rosmalina Y. Pengaruh penambahan asam folat, vitamin B12, dan B6 pada pil besi terhadap kadar homosistein plasma ibu hamil anemia. Pen Gizi dan Makanan 2001; (24): 4450. Santoso, Soegeng. 2004 Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta Supariasa, I. D. N, Bachyar Bakri dan Ibnu Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC Wirakushuma, E, S. 1999. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. PT. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta
SARAN Kepada ibu hamil agar memperhatikan pola konsumsi pangan dan memberikan informasi kepada ibu hamil bagaimana menjaga kesehatan janin, tentang pentingnya kecukupan gizi dan suplemen tablet besi agar kebutuhan zat besi dapat terpenuhi serta dapat lebih cepat menurunkan masalah kekurangan gizi pada ibu hamil terutama anemia gizi besi dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya pembangunan bangsa. DAFTAR PUSTAKA Ali Khomsan. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo persada. Departemen Kesehatan RI. 1994. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta Krisnatuti, D., & R. Yenrina. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Puspa Swara, Jakarta. Kusmiyati, Y. 2009. Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta : Fitramaya
8
UJI DAYA TERIMA DAN NILAI GIZI BISKUIT YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEPUNG KACANG MERAH
﴾Acceptability Test and The Nutritional Value Of The Modified Biscuit With Red Bean Flour) Petti Siti Fatimah1, Ernawati Nasution², Evawany Y Aritonang² 1
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ² Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT Red bean flour can be processed to various food product that can give his nutrient contributing such as food hawker a schoolchild, like the biscuit. The purpose of this research is to know the nutrient content and acceptability from a biscuit with addition of red bean flour. This research is a research experiment, that is the manufacture of biscuits with the addition of red bean flour by 10%, 17.5% and 25%. Panelists in this study are elementary school students of SDN 067097, as many as sixty people. Acceptance of test data obtained were analyzed by descriptive and nutrient value of protein and fiber is determined using the Kjeldhal Method and Gravimetry Method in the test in Research Agency and Industrial Standardization Laboratory Medan. The result showed that the acceptability of students elementary school against granting biscuit by the addition of flour red beans who favored is biscuit by the addition of 10 % The addition of flour red beans in making biscuits give increased amount of protein and fibers in biscuit The addition of flour red beans in making biscuits with wide variations give the influence of different real the assessment test acceptability both in terms of texture and flavor and the resulting nutritional biscuits Then it is advisable to socialization of information that can be made and received biscuits from red bean flour is primarily used as a additional food school children. Further research needs to be done to see the micro-nutrient content contained on red bean flour Keywords: Biscuits, Red Beans Flour, Acceptability Test, Elementary School PENDAHULUAN Tanaman kacang-kacangan sudah ditanam di Indonesia sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Tanaman ini terdiri atas berbagai jenis, misalnya kacang kedelai, kacang hijau, kacang tanah, dan berbagai jenis kacang sayur misalnya kecipir, kapri, kacang panjang dan buncis. Perhatian pemerintah terhadap tanaman kacang-kacangan sangat besar. Dalam PelitaVI, pemerintah memprogramkan pembangunan subsektor pertanian tanaman pangan dan hortikultura termasuk palawija, terutama kacang-kacangan. Permintaan terhadap kacang-kacangan pada masa yang akan datang, diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Mengacu pada Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2000, konsumsi rata-
rata kacang-kacangan penduduk Indonesia adalah sebesar 35,88 g/kapita/hari (Astawan,2009) Kacang-kacangan (leguminosa), seperti kacang hijau, kacang tolo, kacang gude, kacang merah, kacang kedelai, dan kacang tanah, sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan dapat diolah menjadi berbagai produk pangan, seperti tepung, makanan kaleng, susu, konsentrat protein, digoreng untuk kudapan, dan lain-lain. Dalam bentuk biji atau polong muda, kacang-kacangan dapat digunakan sebagai bahan sayuran segar, dikeringkan atau dibekukan (Astawan,2009) Kacang merah merupakan jenis kacangkacangan yang banyak terdapat di pasar-pasar tradisional sehingga mudah di dapat dan 1
harganya relatif murah. Kacang merah sering dipergunakan untuk beberapa masakan, seperti sup, rendang, dan juga kue-kue, kini bahkan umum digunakan untuk makanan bayi mengingat kandungan nilai gizinya yang tinggi terutama sebagai sumber protein dan fosfor. Dalam diversifikasi bahan makanan, termasuk juga diversifikasi sumber protein makanan, salah satu faktor yang penting adalah tersedianya bahan pangan alternatif yang bergizi tinggi, serta aman bagi tubuh. Biskuit adalah salah satu jenis kue kering yang sampai saat ini banyak digemari oleh masyarakat sebagai makanan jajanan atau camilan dari berbagai kelompok ekonomi dan kelompok umur. Menurut Moehji (2000) biskuit sering dikonsumsi oleh anak balita, anak usia sekolah, dan orang tua, yang biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan atau makanan bekal. Harga biskuit yang terjangkau oleh berbagai kelompok ekonomi juga menjadi satu alasan mengapa biskuit banyak disukai oleh masyarakat. Konsumsi rata-rata kue kering di kota besar dan pedesaan di Indonesia 0,40 kg/kapita/tahun. Anak usia sekolah dasar (SD) adalah anak yang berumur antara 6-12 tahun. Pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak sekolah dasar perlu mendapat perhatian yang cukup karena anak yang berkualitas merupakan salah satu aset pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Kekurangan zat gizi pada makanan, termasuk makanan jajanan anak sekolah dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan terutama pertumbuhan fisik yang terlihat dari ukuran tubuh yang pendek, gemuk atau kurus. Dampak dari gangguan pertumbuhan antara lain, menyebabkan rendahnya daya tahan tubuh sehingga anak sakit-sakitan dan cepat lelah. Hal ini akan menghambat pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang (Syarief, 1997). Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan biskuit dengan penambahan tepung kacang merah dengan perbandingan sebesar 10%, 17,5% dan 25% dari berat tepung terigu dimana biskuit akan menghasilkan kepadatan dan kerenyahan yang baik. Pengenalan penggunaan tepung kacang merah kepada masyarakat akan lebih efektif bila diterapkan sebagai bahan baku atau
tambahan dalam pembuatan makanan yang sudah dikenal oleh masyarakat, salah satunya adalah biskuit. Dalam hal ini, penambahan tepung kacang merah salah satu bentuk pengolahan makanan tambahan atau jajanan yang dimana dapat memberi sumbangan zat gizi yang dibutuhkan. Penetapan perbandingan sebesar 10%, 17,5% dan 25% dilakukan karena peneliti telah melakukan penelitian pendahuluan sebelum melakukan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, apabila presentase terlalu besar akan menghasilkan adonan biskuit yang keras dan bau langu dari kacang merah akan lebih terasa. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan penambahan tepung kacang merah dalam berbagai jenis pangan menunjukkan peningkatan kandungan protein dan serat pada makanan tersebut. Yaumi (2011), melakukan penelitian penambahan tepung kacang merah dalam pembuatan donat dan daya terimanya menunjukkan bahwa kandungan serat pada tepung kacang merah dalam pembuatan donat meningkat jika dibandingkan dengan donat pada umumnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan tepung kacang merah dalam pembuatan biskuit terhadap komposisi zat gizi serta daya terimanya berdasarkan indikator warna, rasa, aroma, dan tekstur. Sehingga dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang penganekaragaman suatu produk dari kacang merah yang selama ini hanya dikonsumsi sebagai sayuran. Selain itu, sebagai alternatif pengolahan kacang merah sebagai makanan tambahan serta untuk mengurangi pemakaian tepung terigu sebagai bahan dasar pembuatan biskuit. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap yang hanya terdiri dari satu faktor yaitu dengan 3 perlakuan penambahan tepung kacang merah sebesar 10%, 17,5% dan 25%. Pembuatan tepung kacang merah dilakukan di rumah peneliti (Jl. Kasuari Gg. Pribadi No.5 Medan). Uji kadar serat dan protein dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan (Jl. 2
Sisingamangaraja N0.24 Medan), sedangkan uji daya terima biskuit kacang merah dilakukan di SD Negeri 067097 Jl. Karya II Medan. Bahan yang digunakan dalam eksperimen ini adalah kacang merah yang berkualitas baik, yaitu tidak busuk, tidak berubah warna. Adapun bahan-bahan yang digunakan di dalam eksperimen ini yaitu : a. Bahan untuk pembuatan biskuit Tepung Terigu, Tepung Kacang Merah, baking powder, garam, gula halus, kuning telur, tepung maizena, mentega dan susu bubuk. b. Bahan untuk penilaian zat gizi biskuit Bahan yang digunakan untuk melakukan penelitian kadar serat terdiri dari: Asam Sulfat H2SO4 1,25%, Natrium Hidroksida NaOH 3,25%, Etanol 96%, Kertas Saring Whatman 54, 541, atau 41. Untuk kadar protein terdiri dari Campuran Selen (Campuran 2,5 g serbuk SeO2, 100 g K2SO4 dan 20 g CuSO4.5H2O), Indikator Campuran (Larutan bromocresol green 0,1% dan Larutan merah metil 0,1% dalam alkohol 95% secara terpisah. Campur 10 ml bromocresol green dengan 2 ml merah metil), Larutan Asam Borat H3BO3 2% (Larutkan 10 g H3BO3 dalam 500 ml air suling. Setelah dingin pindahkan ke dalam botol bertutup gelas. Campur 500 ml asam borat dengan 5 ml indikator), Larutan Asam Klorida HCl 0,01N, Larutan Natrium Hidroksida NaOH 30% (Larutkan 150 g natrium hidroksida ke dalam 350 ml air, simpan dalam botol bertutup karet). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tepung Kacang Merah yang Dihasilkan Berdasarkan hasil penelitian, tepung kacang merah yang dihasilkan memiliki karakteristik yang berbeda dengan tepung terigu. Tepung terigu memiliki warna putih (khas terigu), aroma normal (khas terigu) dan tekstur halus, sedangkan tepung kacang merah memiliki warna kemerah-merahan, aroma normal (khas kacang merah) dan tekstur sedikit kasar.
Karakteristik Biskuit dengan Penambahan Tepung Kacang Merah Untuk biskuit dengan penambahan tepung kacang merah memiliki warna dan aroma yang sama pada setiap perlakuan. Tetapi, untuk penambahan yang 17,5 % tekstur sedikit keras dibandingkan dengan yang 10%. Sedangkan untuk penambahan 25% dalam hal rasa sedikit pahit karena serat pada biskuit lebih terasa. Dan tekstur jauh lebih keras dan berserat dibandingkan dua perlakuan lainnya. Analisis Organoleptik Aroma Biskuit dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Kacang Merah Berdasarkan uji daya terima siswa Sekolah Dasar yang telah dilakukan dengan menggunakan pengujian organoleptik terhadap aroma menunjukkan penambahan tepung kacang merah 10% yang disukai, karena memiliki presentase tertinggi yaitu 80,6%. Sedangkan untuk penambahan tepung kacang merah 17,5% dan 25% masing-masing memiliki presentase yaitu 78,3% dan 77,8%. Hasil analisis organoleptik aroma biskuit dengan penambahan tepung kacang merah dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada tabel di bawah, dapat dilihat bahwa nilai FHitung 0,24 ternyata lebih kecil dari FTabel 3,11. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara penambahan tepung kacang merah 10%, 17,5% dan 25% terhadap aroma biskuit dan penambahan tepung kacang merah dengan berbagai variasi tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma biskuit yang dihasilkan. Tabel 2. Hasil Analisis Aroma Sumber Keragaman
Perlakuan
Db 2
JK
Sidik Ragam terhadap KT
F
F tabel
hitung
(0,05)
0,25 0,125 0,24
Galat
177 91,85 0,52
Total
179 92,10 0,645
Ket
3,11 Tidak Ada Perbe daan
Munculnya perbedaan aroma pada biskuit menghasilkan penilaian yang berbeda dari panelis. Hal ini disebabkan karena bahanbahan yang digunakan dalam pembuatan 3
biskuit yaitu seperti tepung terigu, tepung kacang merah, mentega dan susu masingmasing mempunyai aroma yang khas. Biskuit dengan penambahan sebesar 10% memiliki aroma yang lezat, dimana aroma susu dan mentega sangat menonjol. Anak-anak sekolah pada umumnya menyukai makanan yang memiliki aroma yang wangi. Berdasarkan penelitian Gracia dkk (2009), pada pembuatan biskuit dengan penambahan tepung jagung, skor rata-rata penilaian aroma biskuit meningkat dengan adanya penambahan margarin, gula dan telur. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah konsentrasi margarin, gula dan telur akan mempengaruhi aroma dari biskuit jagung sehingga disukai oleh panelis. Analisis Organoleptik Rasa Biskuit dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Kacang Merah Rasa dalam biskuit merupakan kombinasi antara cita rasa dan aroma yang tercipta untuk memenuhi selera panelis. Pada umumnya, rasa biskuit merupakan hal yang menunjang karena hal pertama yang akan diperhatikan oleh panelis pada saat memberikan penilaian adalah rasa. Dari hasil penelitian, uji daya terima terhadap rasa menunjukkan bahwa rasa biskuit dengan penambahan tepung kacang merah 10% disukai oleh panelis karena memiliki presentase tertinggi yaitu 88,9%. Sedangkan biskuit dengan penambahan 25% memiliki presentase terendah yaitu 66,7% (dapat dilihat pada Tabel 3). Biskuit dengan penambahan 10% lebih disukai oleh panelis, menurut panelis rasanya manis dan gurih. Semakin banyak tepung kacang merah yang ditambahkan, maka rasa biskuit yang dihasilkan terasa pahit. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada tabel di bawah, dapat dilihat bahwa nilai FHitung 12,28 ternyata lebih besar dari Ftabel 3,11. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penambahan tepung kacang merah 10%, 17,5% dan 25% terhadap rasa biskuit dan penambahan tepung kacang merah dengan berbagai variasi tersebut memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa biskuit yang dihasilkan.
Tabel 4. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Rasa F F tabel Db JK KT Ket
Sumber Keragaman
Perlakuan
hitung
2 13,51 6,75 12,28
Galat
177 97,73 0,55
Total
179 111,2 7,30
(0,05)
3,11
Ada Perbe daan
Oleh karena adanya perbedaan antara penambahan tepung kacang merah terhadap rasa, maka dilanjutkan dengan Uji Ganda Duncan untuk mengetahui perlakuan mana yang sama dan didapatkan hasilnya seperti tabel di bawah ini: Tabel 5. Hasil Uji Ganda Duncan terhadap Rasa A3 A2 A1 Perlakuan Rata-rata
2,0
2,4
2,67
A2 – A3 = 2,4 – 2,0 = 0,4 > 0,27
Jadi, A2 ≠ A2
A1 – A2 = 2,67 – 2,4 = 0,27 < 0,28
Jadi, A1 = A2
A1– A3 = 2,67 – 2,0 = 0,67 > 0,27
Jadi, A1 ≠ A3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Utami (2012), pembuatan biskuit dengan penambahan tepung pisang kepok sebanyak 45% memiliki penilaian tertinggi yaitu dengan skor 86 dan jumlah presentase sebesar 95,5%. Menurut Ginting (2009) yang dikutip oleh Utami (2012), peningkatan jumlah presentasi hedonik terhadap rasa diikuti pula dengan peningkatan skor hedonik terhadap aroma. Semakin banyak konsentrasi subtitusi tepung pisang kepok maka semakin rendah skor penilaian panelis terhadap rasa biskuit pisang kepok. Analisis Organoleptik Warna Biskuit dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Kacang Merah Uji daya terima terhadap warna menunjukkan bahwa biskuit dengan penambahan tepung kacang merah 10% disukai oleh siswa Sekolah Dasar karena memiliki presentase tertinggi yaitu 82,3% (dapat dilihat pada Tabel 6). Warna tepung kacang merah memang berpengaruh terhadap warna produk biskuit yang dihasilkan, dimana semakin banyak konsentrasi penggunaan 4
tepung kacang merah, warna biskuit akan semakin coklat. Panelis yang merupakan anak sekolah memiliki cara pemilihan makanan yang berbeda dari orang dewasa. Anak sekolah pada umumnya lebih memperhatikan warna dalam memilih makanan, mereka cenderung menyukai warna-warna cerah pada makanan. Menurut mereka warna yang cerah sangat indah dilihat dan membuat mereka tertarik untuk mengonsumsinya. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada tabel di bawah, dapat dilihat bahwa nilai FHitung 0,82 ternyata lebih kecil dari FTabel 3,11. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara penambahan tepung kacang merah 10%, 17,5%, dan 25% terhadap warna biskuit dan penambahan tepung kacang merah dengan berbagai variasi tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Tabel 7.Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Warna F F tabel Sumber Db JK KT Ket Keragaman Perlakuan
2 0,54
0,27
Galat
177 90,45 0,51
Total
179 90,99 0,78
hitung
(0,05)
0,53
3,11 Tidak Ada Perbe daan
Menurut Utami (2012), pada pembuatan biskuit dengan penambahan tepung pisang kepok, tingkat kesukaan panelis terhadap 25% penambahan tepung pisang kepok dalam pembuatan biskuit memiliki skor tertinggi yaitu 85 (94,4%). Presentase skor hedonik semakin meningkat dengan semakin berkurangnya konsentrasi tepung pisang kepok yang digunakan sebagai pensubtitusi. Warna biskuit yang semakin kecoklatan tidak disukai oleh panelis yaitu anak Sekolah Dasar. Analisis Organoleptik Tekstur Biskuit dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Kacang Merah Perbedaan jumlah tepung terigu dan tepung kacang merah berpengaruh terhadap tingkat kekerasan biskuit. Berdasarkan hasil uji daya terima terhadap tekstur menunjukkan bahwa biskuit dengan penambahan tepung kacang merah 10% sangat disukai. Biskuit dengan penambahan 10% menghasilkan
tekstur biskuit yang renyah bila dibandingkan biskuit dengan penambahan 17,5% dan 25% (dapat dilihat pada tabel 8) . Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada tabel di bawah, dapat dilihat bahwa nilai FHitung 9,11 ternyata lebih besar dari FTabel 3,11. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penambahan tepung kacang merah 10%, 17,5% dan 25% terhadap tekstur biskuit dan penambahan tepung kacang merah dengan berbagai variasi tersebut memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur biskuit yang dihasilkan. Tabel 9.Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Tekstur F F tabel Sumber Db JK KT Ket Keragaman Perlakuan
2
8,93 4,46
Galat
177 86,07 0,49
Total
179 95,0
hitung
(0,05)
9,11
3,11
Ada Perbe daan
4,95
Oleh karena adanya perbedaan antara ketiga perlakuan tersebut, maka dilanjutkan dengan Uji Ganda Duncan dan didapatkan hasilnya dalam tabel di bawah ini: Tabel 10. Hasil Uji Tekstur A3 Perlakuan Rata-rata
1,87
Ganda
Duncan
A2
2,23
terhadap
A1
2,4
A2 – A3 = 2,23 – 1,87 = 0,36 > 0,25 Jadi, A2 ≠ A3 A1 – A2 = 2,4 – 2,23 = 0,17 < 0,27
Jadi, A1 = A2
A1– A3 = 2,4 – 1,87 = 0,53 > 0,25
Jadi, A1 ≠ A3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Utami (2012), pada pembuatan biskuit dengan penambahan tepung pisang kepok, tingkat kesukaan panelis terhadap 45% penambahan tepung pisang kepok memilki skor tertinggi yaitu 77 (85,6%). Kandungan serat pada tepung pisang kepok mengindikasikan kondisi biskuit menjadi semakin keras sehingga kurang disukai oleh panelis. Analisa Kandungan Gizi Protein dan Serat Biskuit dengan Penambahan Tepung Kacang Merah Hasil analisa kandungan gizi protein dan serat biskuit dengan tiga perlakuan 5
penambahan tepung kacang merah dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Kandungan Gizi 10 8
8,51
8,94
7,27 Protein
6
Serat Kasar
4 2
1,03
1,15
1,11
0 A1
A2
A3
Gambar 1. Kandungan Protein dan Serat Kasar dalam Biskuit
Biskuit dengan penambahan tepung kacang merah sebesar 10%, 17,5% dan 25% dalam tiap 100 gram (± 10 keping biskuit) memberikan sumbangan protein masingmasing sebesar 7,27 gram, 8,51 gram dan 8,94 gram. Dalam hal ini, Protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga sebagai zat pembangun dan pengatur. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004), angka kebutuhan gizi rata-rata yang dianjurkan bagi anak usia sekolah 7-12 tahun yaitu protein sebesar 45-50 gram per orang per hari. Berpedoman pada program PMT-AS tahun 2011, makanan tambahan setidaknya mampu menyediakan 10% dari total kebutuhan protein sesuai dengan usia anak sekolah tersebut. Dengan kata lain kandungan gizi pada setiap makanan tambahan setidaknya mengandung protein sebesar 4,5-5 gram. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam tiap 100 gram biskuit dengan penambahan tepung kacang merah sebesar 10%. 17,5% dan 25% telah mampu menyediakan protein 17% - 19% dari total kebutuhan protein. Dengan demikian, maka biskuit tersebut telah sesuai dengan standar yang disyaratkan oleh program PMT-AS tahun 2011 sebagai makanan tambahan anak sekolah. Protein memegang peranan penting dalam berbagai proses biologi, salah satunya yaitu proteksi imun. Antibodi merupakan protein yang sangat spesifik dan sensitif dapat
mengenal kemudian bergabung dengan benda asing seperti virus, bakteri, dan sel dari organisme lain. Oleh karena itu protein sangat dibutuhkan oleh anak usia sekolah karena memiliki banyak aktivitas baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Biskuit dengan penambahan tepung kacang merah sebesar 10%, 17,5% dan 25% dalam tiap 100 gram (± 10 keping biskuit) memberikan sumbangan serat masing-masing sebesar 1,03 gram, 1,15 gram dan 1,11 gram. Kacang merah mengandung serat larut (soluble fiber). Serat larut akan larut dalam air dan membentuk gel dalam usus sehingga memperlambat penyerapan karbohidrat yang akan diubah menjadi glukosa. Hal ini akan memperlambat kenaikan glukosa darah. Serat yang terdapat dalam kacang merah membantu melancarkan pencernaan sehingga BAB (Buang Air Besar) dan mencegah berbagai gangguan pencernaan. Di dalam usus besar, serat difermentasi oleh bakteri kolon dan akan menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid). Asam lemak ini dapat menghambat mobilisasi lemak dan mengurangi glukoneogenesis sehingga berpengaruh pada pemakaian glukosa, sekresi insulin dan pemakaian glukosa oleh sel hati. KESIMPULAN 1. Penambahan tepung kacang merah dalam pembuatan biskuit dengan berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap penilaian uji daya terima baik dari segi tekstur dan rasa maupun kandungan zat gizi biskuit yang dihasilkan tetapi tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma dan warna biskuit. 2. Berdasarkan uji daya terima biskuit yang disukai panelis adalah biskuit dengan penambahan tepung kacang merah 10%. 3. Penambahan tepung kacang merah dalam pembuatan biskuit memberikan peningkatan jumlah protein dan serat pada biskuit. SARAN 1. Perlu sosialisasi tentang informasi agar bisa dibuat dan diterima biskuit dari tepung kacang merah terutama digunakan sebagai makanan tambahan untuk anak sekolah. 6
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat kandungan gizi mikro yang terdapat pada tepung kacang merah.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan
DAFTAR PUSTAKA Astawan, M. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang Dengan Biji-bijian. Cetakan pertama. Penebar Swadaya. Jakarta Ginting, Sadar. 2009. Pemanfaatan Ubi Jalar Orange Sebagai Bahan Pembuat Biskuit Untuk Alternatif Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar di Desa Ujung Bawang Kecamatan Dolok Silau Kecamatan Simalungun. Skripsi. Jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan Gracia, Cynthia, Sugiyono, dan Haryanto, Bambang. 2009. Kajian Formulasi Biskuit Jagung Dalam Rangka Subtitusi Tepung Terigu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol XX No.1. Hardinsyah dan Tambunan, V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. LIPI. Jakarta Moehji, S. 2000. Ilmu Gizi Dan Diet. Bharata Karya Aksara. Jakarta Syarief, H. 1997. Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat Sumber Daya Keluarga, FP IPB. Bogor Utami,
Suriyani. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Pisang Kepok Terhadap Daya Terima Biskuit Sebagai Alternatif Makanan Tambahan Anak Sekolah. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan
Yaumi, H. 2010. Penambahan Tepung Kacang Merah Dalam Pembuatan Donat Dan Daya Terimanya. 7
KARAKTERISTIK PENDERITA BRONKITIS YANG DIRAWAT JALAN BERDASARKAN KELOMPOK UMUR ≥ 15 TAHUN DI RSU DR.FERDINAN LUMBAN TOBING SIBOLGA TAHUN 2010-2012 Rinaldi Togap1, Rasmaliah2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
Abstract Bronchitis is described as inflammation of the bronchial vessels. It is characterized by inflammation of the bronchial tubes and divided into acute and chronic forms. Indonesia does not have accurate data on morbidity of acute or chronic bronchitis. Bronchitis including ten biggest disease in the outpatient Dr. Ferdinand L. Tobing General Hospital. Total cases of bronchitis in 2010-2012 there were 442 cases. To determine the characteristics of patients with bronchitis outpatient from 2010 until 2012 conducted a descriptive study design case series. The Populations in this study as much as 442 data and the samples in this study as much as 206 data obtained by sampling random tables C.Survey program, data analysis by using Chi-square test. Results showed that the highest proportion with bronchitis in the age group 24-32 years 21,8%, for male gender in the age group of 24-32 years 22,6%, for female gender in the age group of 42-50 years 25,6%, 19,4% self-employed jobs, with marital status 75,2%, residence in Sibolga 63,6%, 100% clinical symptoms of cough, chronic bronchitis type 58,3%, 61,7% smoking history, number of visits ≤ 4 times 78,2% and other general expenses 51,5%. Statistical test results showed there is significant difference proportion between of patients aged by type of bronchitis (p <0,05), gender by type of bronchitis (p <0,05), sex based on a history of smoking (p <0,05), and bronchitis type by type of smoking history (p<0,05). There is no significant difference proportion between of patients aged by a history of smoking (p> 0.05) and the number of visits by source of funding (p> 0.05). Expected to bronchitis sufferers to increase body resistance, hygiene, environmental sanitation and reduce smoking and the doctors and nurses Dr. Ferdinand L.Tobing General Hospital Sibolga to give understanding to patients and their families about the disease bronchitis. Keywords: Bronchitis, Caractheristic of patient, Dr. Ferdinand L.Tobing General Hospital. penyakit dan penyebab kematian telah berubah. Penyakit menular yang selalu menjadi penyebab kesakitan dan kematian utma mulai bergeser dan digantikan oleh penyakit tidak menular, salah satunya adalah penyakit Berdasarkan saluran pernapasan yaitu bronkitis.2 Pada tahun 2002 penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah terbesar di Indonesi. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
Pendahuluan Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin.1 Berbagai transisi yang ada, baik transisi demografik, sosio-ekonomi maupun epidemiologi telah menimbulkan pergeseran – pergeseran, termasuk bidang kesehatan. Angka kematian menurun dan usia harapan hidup secara umum makin panjang, pola 1
saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut, tuberculosis, asma dan bronkitis masih menduduki peringkat tertinggi.Infeksi merupakan penyebab yang tersering. Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan turunnya insidens penyakit saluran napas akibat infeksi. Di lain pihak kemajuan dalam bidang industri dan transportasi menimbulkan masalah baru dalam bidang kesehatan yaitu polusi udara. Bertambahnya umur rata-rata penduduk, banyaknya jumlah penduduk yang merokok serta adanya polusi udara meningkatkan jumlah penderita.3 Bronkitis adalah salah satu kondisi teratas yang pasien mencari perawatan medis.Hal ini ditandai dengan peradangan Berdasarkan saluran bronkial (atau bronkus), saluran udara yang membentang dari trakea ke dalam saluran udara kecil dan alveoli.Bronkitis ada 2 macam menurut terminologi lamanya penyakit berdiam didalam tubuh penderita yaitu bronkitis akut dan bronkitis kronik.Penelitian yang sering dilakukan juga banyak mengacu ke pembagian bronkitis tersebut. Penelitian yang membahas tentang bronkitis tidak mempunyai data – data yang lengkap yang bisa digunakan dalam penelitian – penelitian ilmiah.4 Suatu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat Berdasarkan tahun 2005 didapat angka Insidens rate dari bronkitis akut berkisar 4,6 per 100. Di Amerika Serikat, bronkitis akut adalah penyakit yang paling umum kesembilan diantara pasien rawat jalan atau sekitar 4,60% atau 12,5 juta orang di Amerika Serikat. Sebuah data Insiden ekstrapolasi di Amerika Serikat untuk bronkitis akut: 12.511.999 per tahun, 1.042.666 per bulan, 240.615 per minggu, 34.279 per hari, 1.428 per jam, dan 23 per menit.5 Sedangkan peneltian Berdasarkan tahun 2006 di kota London, Inggris bronkitis akut mempengaruhi 44 dari setiap 1000 orang dewasa > 16 tahun, dengan sebagian besar episode yaitu sekitar 82% episode terjadi Berdasarkan musim gugur atau musim dingin. Di Australia, bronkitis akut ditemukan menjadi alasan yang paling umum kelima untuk berkonsultasi dengan dokter umum.6
Di Amerika Serikat prevalensi rate untuk bronkitis kronik adalah berkisar 4,45% atau 12,1 juta jiwa dari populasi perkiraan yang digunakan 293 juta jiwa. Sedangkan ekstrapolasi tingkat prevalensi bronkitis kronik di Mongolia berkisar 122.393 orang dari populasi perkiraan yang digunakan adalah berkisar 2.751.314 juta jiwa. Untuk daerah ASEAN, negara Thailand salah satu negara yang merupakan angka ekstrapolasi tingkat prevalensi bronkitis kronik yang paling tinggi yaitu berkisar 2.885.561 jiwa dari populasi perkiraan yang digunakan sebesar 64.865.523 jiwa, untuk negara Malaysia berada di sekitar 1.064.404 dari populasi perkiraan yang digunakan sebesar 23.552.482 jiwa.7 SKRT 2001, asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-3 (PMR 12,7%) sebagai penyebab angka kesakitan umum di Indonesia setelah sistem sirkulasi, infeksi, dan parasit.8 Indonesia belum memiliki data yang akurat tentang angka morbiditas bronkitis akut maupun bronkitis kronik. Data mengenai bronkitis akut dapat kita peroleh dari rumah sakit yang menyediakan bagian penyakit respiratory ataupun rumah sakit sentra pendidikan. Penelitian untuk membahas tentang bronkitis kronik jarang dilakukan, data angka kesakitan dapat diperoleh dari rumah sakit – rumah sakit sentra pendidikan.9 Di Rumah Sakit H.Adam Malik Medan (2004) jumlah pasien bronkitis kronik yang dirawat inap ada sebanyak 89 kasus dengan proporsi 1,43% yang terbagi atas lakilaki 76 orang dan perempuan 13 orang dan usia paling banyak adalah usia 45 tahun sebanyak 64 orang. Sedangkan untuk rawat jalan tahun 2002 kasus bronkitis kronik ada 97 kasus dengan proporsi 0,12% dan Berdasarkan tahun 2003 terdapat 156 kasus dengan proporsi 0,2% dan Berdasarkan tahun 2004 terdapat 232 kasus dengan proporsi 0,28% dan terlihat ada peningkatan kasus setiap tahunnya.10Berdasarkan survei pendahuluan yang penulis lakukan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga, bahwa terdapat pasien yang rawat jalan Berdasarkan kelompok umur ≥ 15 tahun yang menderita bronkitis terdapat 135 orang Berdasarkan tahun 2010, Berdasarkan tahun 2011 terdapat 149 orang dan Berdasarkan tahun 2012 2
terdapat 153 orang. Dari uraian Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan tentang karakteristik penderita bronkitis yang rawat jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga dari bulan Januari 2010 – Desember 2102. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Belum diketahui karakteristik penderita bronkitis yang rawat jalan Berdasarkan kelompok umur ≥ 15 tahun di RSU Dr.Ferdinand L.Tobing Sibolga Tahun 2010 – 2012. Tujuan penelitianini untuk mengetahui bronkitis yang rawat jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga dari bulan Januari 2010 – Desember 2102. Tujuan khususpenelitian ini: a. Mengetahui distribusi proporsi penderita bronkitis berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan dan tempat tinggal) b. Mengetahui distribusi proporsi penderita bronkitis berdasarkan gejala klinis. c. Mengetahui distribusi proporsi penderita bronkitis berdasarkan jenis bronkitis. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita bronkitis berdasarkan riwayat merokok. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita bronkitis berdasarkan jumlah kunjungan. f. Mengetahui distribusi proporsi penderita bronkitis berdasarkan sumber pembiayaan. g. Mengetahui distribusi proporsi umur penderita bronkitis berdasarkan jenis bronkitis. h. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin penderita bronkitis berdasarkan jenis bronkitis. i. Mengetahui distribusi proporsi riwayat merokok penderita bronkitis berdasarkan jenis bronkitis. j. Mengetahui distribusi proporsi jumlah kunjungan penderita bronkitis berdasarkan sumber pembiayaan. Manfaat penelitian ini adalah: a.Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi pihak Rumah Sakit Umum Dr. Ferdinand L.Tobing Sibolga. b. Sebagai bahan masukan/informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan/melanjutkan penelitian tentang penderita bronkitis.
c. Sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan di FKM USU. d. Salah satu persyaratan bagi penulis dalam menyelesaikan studi Berdasarkan FKM USU. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series.Penelitian ini dilakukan di RSU Dr.Ferdinan L.Tobing Sibolga.Penelitian dilakukan Berdasarkan bulan November 2012 – Juli2013. Populasi Berdasarkan penelitian ini adalah semua data penderita penyakit bronkitis yang dirawat jalan di RSUD Dr.Ferdinand Lumban Tobing Sibolga tahun 2010-2012 yang berumur ≥ 15 tahun sebanyak 442 kasus. Sampel adalah sebagian dari populasi atau penderita bronkitis yang dirawat jalan di RSUD Dr.Ferdinand Lumban Tobing Sibolga tahun 2010-2012 yang berumur ≥ 15 tahun yang akan diteliti. Besar sampel diperoleh denganmenggunkan rumus : 𝑡 2 𝑃𝑄
𝑛=
𝑑2 1 𝑡 2 𝑃𝑄
1 + 𝑁 ( 𝑑 2 − 1) n = Jumlah sampel minimal N = jumlah populasi yaitu 442 kasus t = tingkat kepercayaan (digunakan 0,95 sehingga nilai t = 1,96) d = taraf kekeliruan (digunakan 0,05) p = proporsi dari karakteristik tertentu (golongan) / proporsi penyakit bronkitis Berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu 0,5 q = 1-p (proporsi bukan penyakit bronkitis) 1= bilangan Konstan11 Dengan menggunakan rumustersebutdiketahui sampel sebanyak 206 kasus. Pengambilan sampel dari daftar populasi yang telah disiapkan dilakukan secara acak sederhana (Simpel Random Sampling) dengan menggunakan tabel random Berdasarkan program C.Survey. Penderita bronkitis yang menjadi populasi peneltian mempunyai peluang yang sama untuk menjadi sampel Data dikumpulkan dari data sekunder yang diperoleh dari kartu status penderita bronkitis Berdasarkan kelompok ≥ 15 tahun yang bersumber dari Rekam Medik RSUD 3
usia produktif adalah kelompok umur 15 – 55 tahun. Penderita bronkitis pada umumnya menyerang kelompok usia pekerja dikarenakan seringnya terpapar dengan zat polutan pada lingkungan sekitar tempat kerja seperti asap kendaraan, rokok, debu, dll.12
Dr.Ferdinand L.Tobing Sibolga Tahun 20102012.Kartu status dengan kasus bronkitis yang terpilih sebagai sampel dikumpulkan lalu dilakukan pencatatan variabel-variabel yang diteliti kemudian dilakukan tabulasi data.Data dikumpulkan, diolah, dan dianalisa secara statistik deskriptif dengan menggunakan uji Chi-Square. Data disajikan dalam bentuk narasi, tabel distribusi proporsi, diagram pie dan diagram bar.
Tabel 2 Distribusi Proporsi Sosiodemografi Penderita Bronkitis Yang Dirawat Jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 No. Sosiodemografi f % 1. Pekerjaan Nelayan 9 4,4 PNS/TNI/POLRI 27 13,1 Pegawai Swasta 24 11,7 Wiraswasta 40 19,4 Ibu Rumah Tangga 31 15,1 (IRT) 28 13,6 Pelajar/Mahasiswa 27 13,1 Tidak Bekerja 20 9,6 Tidak tercatat Jumlah 206 100 2. Status Perkawinan Kawin 155 75,2 Belum Kawin 51 24,8 Jumlah 206 100 3. Tempat Tinggal Kota Sibolga 131 63,6 Luar Kota Sibolga 69 33,5 Tidak Tercatat 6 2,9 Jumlah 206 100 Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa penderita Bronkitis berdasarkan pekerjaan tertinggi yaitu Wiraswasta sebanyak 19,4% (40 orang) dan terendah adalah Nelayan sebanyak 4,4% (9 orang) serta terdapat yang tidak tercatat pada kartu status sebanyak 9,6% (20 orang),
Hasil dan Pembahasan Analisis Deskriptif Proporsi penderita Bronkitis berdasarkan karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal) yang dirawat jalan di RSU Dr.Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 20102012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1
Distribusi Proporsi Umur dan Jenis Kelamin Bronkitis Yang Dirawat Jalan di RSU Dr.Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 Jenis Kelamin
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Umur (thn) 15–23 24–32 33 –41 42–50 51–59 60–68 69–77 78–86
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
f
%
f
%
f
%
24 28 19 18 16 15 4 0
19,4 22,6 15,3 14,5 12,9 12,1 3,23 0
17 17 10 21 8 6 2 1
20,3 20,7 12,2 25,6 9,9 7,3 2,4 1,6
41 45 29 39 24 21 6 1
19,9 21,8 14,1 18,9 11,7 10,2 2,9 0,5
124
100
82
100
206
100
berdasarkan status perkawinan tertinggi yaitu kawin sebanyak 75,2% (155 orang) dan tempat tinggal umumnya berasal dari Kota Sibolga sebanyak 63,6% (131 orang) dan tidak tercatat sebanyak 2,9% (6 orang). Wiraswasta yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pedagang (dipasar, rumah toko dan kaki lima), supir dan tukang becak. Penderita dengan kedua pekerjaan (wiraswasta dan ibu rumah tangga) ini lebih banyak terpapar zat polutan yang berbahaya seperti debu, asap, kendaraan bermotor, dan asap rokok. Hal ini sejalan dengan penelitian Artaida (2005) tentang Karakteristik Penderita Bronkitis Kronik di RS Santa Elisabeth Medan, dimana hasil penelitiannya pekerjaan yang paling banyak menderita
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa proporsi penderita Bronkitis berdasarkan umur, kelompok umur tertinggi berada pada kelompok umur 24 – 32 tahun yaitu sebanyak 21,8% (45 orang), sedangkan penderita bronkitis pada jenis kelamin, jenis kelamin laki-laki jumlah penderitanya yaitu sebanyak 60,2% (124 orang) dengan kelompok tertingginya, pada kelompok umur 24 – 32 tahun sebanyak 22,6% (28 orang) dan jenis kelamin perempuan jumlah penderitanya ada sebanyak 39,8% (82 orang) dengan kelompok tertinggi pada kelompok umur 42– 50 tahun ada sebanyak 25,6% (21 orang). Sesuai dengan UU No.13 tahun 2003 Bab 1 pasal 1 ayat 2, bahwa yang termasuk 4
Bronkitis adalah wiraswasta sebanyak 26,5% (31 orang) dari 117 orang.13 Status perkawinan secara tidak langsung dapat menjadi salah satu faktor pemicu terserangnya penyakit bronkitis. Seorang kepala rumah tangga harus memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan bekerja. Jenis pekerjaan mempunyai kemungkinan dapat terpapar dengan faktor pemicu terserangnya penyakit bronkitis. Sesuai dengan hasil penelitian ini pekerjaan yang paling banyak terserang penyakit bronkitis adalah Wiraswasta (pedagang (dipasar, rumah toko dan kaki lima), supir, dan tukang becak). Proporsi penderita Bronkitis berdasarkan tempat tinggal yang dirawat jalan RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 terbanyak tinggal di kota Sibolga, sedangkan penduduk yang berasal dari Luar Kota Sibolga biasanya berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Proporsi gejala klinis penderita Bronkitis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4 Distribusi Proporsi Jenis Penderita Bronkitis Yang Jalan di RSU Dr. Ferdinan Sibolga Tahun 2010-2012 Jenis Bronkitis f Bronkitis akut 90 Bronkitis Kronik 116 Jumlah 206
Bronkitis Dirawat L.Tobing % 44 56 100
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa proporsi jenis bronkitis penderita Bronkitis, menunjukkan jenis yang tertinggi adalah Bronkitis kronik yaitu sebanyak 56% (116 orang) . Sesuai dengan kutipan dari Sutoyo, (2008) menyebutkan bahwa zat-zat polutan yang berbahaya dpat menyebabkan bronkitis khususnya bronkitis kronik seperti zat-zat pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksida seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.14 Rahmadani, (2011) Bronkitis akut biasanya terjadi karena alergi debu, infeksi virus (influenza virus, parainfluenza virus, RSV, adenovirus, rhinovirus, dll), infeksi bakteri (Staphylococcus, Pertusis, Tuberculosis, mikroplasma, dll) dan infeksi virus (RSV, Parainfluenza, Influenza, Adeno).15 Proporsi riwayat merokok penderita Bronkitis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3 Distribusi Proporsi Gejala Klinis Penderita Bronkitis Yang Dirawat Jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 Gejala Klinis f % Batuk 206 100 Sesak napas 116 58,3
Tabel 5 Distribusi Proporsi Riwayat Merokok Penderita Bronkitis Yang Dirawat Jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 Riwayat f % Merokok Merokok 127 61,7 Tidak Merokok 79 38,3 Jumlah 206 100
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi gejala klinis penderita Bronkitis gejala klinis Bronkitis pada umumnya adalah batuk sebanyak 100% (206 orang). Dari data yang diperoleh dari kartu status penderita Bronkitis yang dirawat jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 menunjukkan gejala klinis batuk produktif (frekuensi batuk yang sering dengan mengahsilkan sputum karena terbentuknya mukosa Berdasarkan saluran napas). Proporsi jenis bronkitis penderita Bronkitis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa proporsi riwayat merokok penderita Bronkitis, menunjukkan bahwa penderita Bronkitis yang mempunyai kebiasaan merokok yang tertinggi yaitu sebanyak 61,7% (127 orang). Penelitian Artaida (2005) juga menunjukkan hasil yang sama, dimana penderita bronkitis paling banyak yaitu sebesar 69,2%.13 Proporsi jumlah kunjungan penderita Bronkitis dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
5
Tabel 6 Distribusi Proporsi Jumlah Kunjungan Penderita Bronkitis Yang Dirawat Jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012
Analisis Statistik Proporsi Umur berdasarkan Jenis Bronkitis Tabel 8 Distribusi Proporsi Umur Penderita Bronkitis Berdasarkan Jenis Bronkitis Yang Dirawat Jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012
Jumlah f % Kunjungan ≤ 4 kali 158 76,7 >4 kali 48 23,3 Jumlah 206 100 Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita Bronkitis, menunjukkan penderita Bronkitis melakukan kunjungan ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang tertinggi adalah dengan kunjungan ≤ 4 kali yaitu sebanyak 76,7% (158 orang) . Bronkitis akut dapat sembuh jika ditangani dengan cepat, pengobatan yang tepat dan menghindari faktor resiko. Oleh sebab itu, penderita bronkitis akut yang melakukan pengobatan di RSU Dr.Ferdinand L.Tobing Sibolga biasanya hanya sekali atau 2 kali melakukan kunjungan. Proporsi sumber pembiayaan penderita Bronkitis dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Jenis Bron Kitis Bron kitis akut Bronki tiskro nik
Umur (tahun)
Jumlah
15 – 36 f % 63 70
37 -58 f % 21 23,3
59 – 80 f % 6 6,7
f 90
% 100
40
53
23
116
100
34,5
45,7
19,8
Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa dari 116 orang penderita Bronkitis jenis Bronkitis kronik yang tertinggi berada pada kelompok umur 37 – 58 tahun sebanyak 45,7% (53 orang) dan yang terendah berada pada kelompok umur 59 – 80 tahun yaitu sebanyak 19,8% (23 orang). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti secara umum terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara umur penderita berdasarkan jenis bronkitis. Proporsi Jenis Kelamin berdasarkan Jenis Bronkitis
Tabel 7 Distribusi Proporsi Sumber Pembiayaan Penderita Bronkitis Yang Dirawat Jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 Sumber f % Pembiayaan Biaya Sendiri 106 51,5 Bukan Biaya 100 48,5 Sendiri Jumlah 206 100
Tabel 9 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita Bronkitis Berdasarkan Jenis Bronkitis Yang Dirawat Jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 Jenis Bronkitis
Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa proporsi sumber pembiayaan penderita Bronkitis, menunjukkan penderita menggunakan biaya sendiri untuk melakukan pengobatan yaitu sebanyak 51,5% (106 orang) . Pengobatan Bronkitis di RSU Dr.Ferdinad L.Tobing Sibolga relatif terjangkau berkisar Rp12.000,- diketahui dari buku kunjungan Berdasarkan Poliklinik Paru dan Saluran Napas. Hal tersebut menjadi suatu alasan yang kemungkinan besar masyarakat tidak terlalu khawatir untuk melakukan pengobatan di rumah sakit ini.
Bronkitis akut Bronkitis kronik
Jenis Kelamin Laki-laki f % 35 38,9 89
76,7
Jumlah
Perempuan f % 55 61,1 27
23,3
f 90
% 100
116
100
Berdasarkan tabel 9 menunjukkan bahwa dari 116 orang penderita Bronkitis jenis bronkitis kronik tertinggi pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 76,7% (89 orang) dan yang terendah pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 23,3% (27 orang). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti secara umum terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin penderita berdasarkan jenis bronkitis. 6
Jenis bronkitis berdasarkan Riwayat Merokok
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,223 (p>0,05) yang berarti secara umum tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin penderita berdasarkan jenis bronkitis.
Tabel 10 Distribusi Proporsi Riwayat Merokok Penderita Bronkitis Berdasarkan Jenis Bronkitis Yang Dirawat Jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 Jenis Bronkitis
Bronkitis Akut Bronkitis Kronik
Riwayat Merokok Meroko Tidak k Merokok f % f % 31 34,4 59 75,6
f 90
% 100
96
116
100
82,8
20
17,2
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a.Proporsi penderita Bronkitis yang dirawat jalan di RSU Dr. Ferdinand L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 berdasarkan karakteristik sosiodemografi tertinggi yaitu berdasarkan umur, kelompok umur tertinggi berada Berdasarkan kelompok umur 24 – 32 tahun (21,8%), sedangkan Berdasarkan jenis kelmain laki-laki (60,2%) dengan kelompok tertingginya Berdasarkan kelompok umur 24 – 32 tahun (22,6%) dan Berdasarkan jenis kelamin perempuan (39,8%) dengan kelompok tertinggi Berdasarkan kelompok umur 42– 50 tahun (25,6%),pekerjaan sebagai wiraswasta 19,4%, status kawin 75,2% dan berasal dari Kota Sibolga 63,6%. b. Proporsi penderita Bronkitis yang dirawat jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 berdasarkan gejala klinis batuk 100%. c. Proporsi penderita Bronkitis yang dirawat jalan di RSU Dr. Ferdinand L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 berdasarkan jenis Bronkitis tertinggi yaitu bronkitis kronik 56%. d.Proporsi penderita Bronkitis yang dirawat jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 berdasarkan riwayat merokok tertinggi yaitu merokok 61,7%. e. Proporsi penderita Bronkitis yang dirawat jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 berdasarkan jumlah kunjungan tertinggi ≤ 4 kali 76,7% f. Proporsi penderita Bronkitis yang dirawat jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 berdasarkan sumber pembiayaan tertinggi adalah menggunakan biaya sendiri 51,5%. g. Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur penerita berdasarkan jenis Bronkitis. (p=0,000 ; χ2=26,073).
Jumlah
Berdasarkan tabel 10 menunjukkan bahwa dari 116 orang penderita bronkitis kronik yang mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 82,8% (96 orang) dan yang tidak merokok sebanyak 17,2% (20 orang).
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti secara umum terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara riwayat merokokpenderita berdasarkan jenis bronkitis. Jumlah Kunjungan berdasarkan Sumber Pembiayaan Tabel 11 Distribusi Proporsi Jumlah Kunjungan Penderita Bronkitis Berdasarkan Sumber Pembiayaan Yang Dirawat Jalan di RSU Dr. Ferdinan L.Tobing Sibolga Tahun 2010-2012 Sumber Pembia Yaan Biaya Sendiri Bukan Biaya Sendiri
Jumlah Kunjungan ≤ 4 kali >4 kali f % f % 85 80,2 21 19,8
f 106
% 51,5
73
100
48,5
73
27
27
Jumlah
Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa dari 106 orang penderita Bronkitis, penderita yang berobat jalan ke rumah sakit ≤ 4 kali menggunakan biaya sendiri sebanyak 80,2% (85 orang) dan yang datang berobat jalan ke rumah sakit >4 kali menggunakan biaya sendiri sebanyak 19,8% (21 orang). 7
h. Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin penerita berdasarkan jenis Bronkitis. (p=0,000 ; χ2=30,278). i. Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara riwayat merokok penerita berdasarkan jenis bronkitis. (p=0,000 ; χ2=50,036). j. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jumlah kunjungan penerita berdasarkan sumber pembiayaan. (p=0,223 ; χ2=0,529).
6. Hisyam, dkk., 2010. Bronchitis. http://www.healthcommunities.com/bronc hitis.shtml diakses tanggal 14 September 2012 pukul 14.30 WIB 7. Menezes,A.M., et al., 2010. Prevalensi dan Faktor Risiko Bronkitis Kronik di Pelotas, RS. Brazil. Thorax 2010, 49: 1217-1221 doi: 10.1136/thx.49.12.1217. http://translate.googleusercontent.com/tra nsalte_c?depth=1&ei=JDajULzm42Prge_ 84CADg&hl=id&langpair=en%7Cid&rur diakses Berdasarkan tanggal 16 September 2012 pukul 15.00 WIB. 8. Jamal, S., 2004. Deskripsi Penyakit Sistem Sirkulasi : Penyebab Kematian Utama di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran no.143. Jakarta 9. Depkes RI., 2004. Profil Kesehatan Indonesia 2006. DEPKES RI., Jakarta 10. Depkes RI., 2004. Laporan RL 24 Rawat Inap Rumah Sakit H.Adam Malik, Medan.. DEPKES RI, Jakarta. 11. Cochran, William G., 1990. Sampling Techniques, Fourth Edition. Wiley Series In Probability and Mathematical Statistic. USA.. 12. Soemantri, Irman. 2008. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. 13. Artaida, P., 2005. Karakteristik Penderita bronchitis Kronik Dewasa Rawat Inap Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2003-2004. FKM,USU. 14. Sutoyo, K.D., 2008. Bronkitis Kronis dan Lingkaran yang tak Berujung Berpangkal (Vicious Circle).http://www.jurnalrespirologi.org/j urnal/Jan09/.pdf, diakses tanggal 23 Oktober 2012 pukul 13.00 WIB 15. Rahmadani, R.Q., Marlina, R., 2011. Bronkitis Berdasarkan Anak. Akademi Kebidanan Berdasarkanng Sidempuan, Sumatera Utara.
2. Saran a. Diharapkan keBerdasarkan dokter dan perawat RSU Dr. Ferdinand L.Tobing Sibolga agar memberikan pemahaman keBerdasarkan penderita dan keluarga mengenai penyakit Bronkitis agar segera mencari pengobatan untuk mencegah komplikasi. b. Diharapkan keBerdasarkan penderita Bronkitis untuk segera mencari dan menjalani pengobatan secara tuntas agar tidak terjadi keparahan ataupun komplikasi penyakit yang lain dan menjaga daya tahan tubuh seperti makan makanan bergizi, olah raga yang teratur, dan menghindari rokok. Selain itu menjaga personal hygiene (pemakaian masker sewaktu di jalan raya menghindari debu, asap kendaraan dan faktor polutan lainnya) dan sanitasi lingkungan seperti kebersihan rumah dari debu. c. KeBerdasarkan pihak RSU Dr. Ferdinand L.Tobing Sibolga, untuk melengkapi pencatatan data pasien yang lebih lengkap Berdasarkan kartu status, terutama untuk pendidikan. Daftar Pustaka 1. Adisasmito, 2008.Sistem Kesehatan. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2. Depkes Ri., 2007.Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta 3. Aditama, 2002.Paru Kita Masalah Kita. Majalah Kesehatan Medika tahun XXVIII, No. 11 hal : 743 - 745 4. Cunha, J.P., 2012. Bronchitis. http://www.emedicinehealth.com diakses tanggal 5. Setiyanto, H., dkk., 2009. Acute Bronchitis. http://www.rightdiagnosis.com/.html diakses tanggal 14 September 2012 pukul 14.00 WIB
8
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi Pada Lansia Di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Martati Siringoringo1, Hiswani2, Jemadi2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Abstract
Hypertension is one of the degenerative disease a public health problem in the world because hypertension often appears without symptoms. Health Research Association (Riskesdas) Balitbangkes in 2007 showed the prevalence of hypertension nationally reached 31,7%. According to the Ministry of Health of the Republic of Indonesia (2010) suggested that hypertension is the third cause of death is by PMR 6,7% of the population deaths in all age groups in Indonesia. To determine factors associated with hypertension in Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir in 2013, conducted research using cross sectional design. The sample was 179 people were taken by non random with purposive sampling. Univariate data were analyzed descriptively and bivariate data were analyzed using the chi square test with 95 % CI. Based on the results obtained proportion prevalance of hypertension 62,01 %, the highest proportion of respondents with hypertension in this age group is the age group 60-74 years (74,57%), female (63,16%), elementary education/equivalent (66,67%), employment status work (68,75%), family history (84,00%), nutritiona status obesity (72,73%), and insufficient physical activity (70,97%), have the habit of smoking (63,64%), saturated fat >3 times/week (71,05%), eating salt ≤ 3 times/week (67,65%). Results of the bivariate analizes, in general there is a significant association between age (p=0,041), family history (p=0,000,), and the habit of eating saturated fat (p=0,032) and the incidence of hypertension. And there was no significant relationship between gender, level of education, employment, nutritional status, physical activity, smoking habit, and the habit of eating natrium with incident hypetension. In Posyandu elderly should be done counseling about the risk factors and the prevention of hypertension. Elderly should set the pattern of consumption of saturated fats and checking the blood pressure regularly. Keywords: Hypertension, Elderly, Risk Factors
Pendahuluan Pentingnya pengetahuan tentang penyakit tidak menular dilatarbelakangi dengan kecenderungan semakin meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular dalam masyarakat, termasuk kalangan masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia yang sementara membangun dirinya dari suatu negara agraris yang sedang berkembang menuju masyarakat industri membawa kecenderungan baru dalam pola penyakit dalam masyarakat. Perubahan pola struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri memberikan andil terhadap perubahan
pola fertilitas, gaya hidup, dan sosial ekonomi yang dapat memicu peningkatan penyakit tidak menular. Perubahan pola dari penyakit tidak menular ke penyakit tidak menular disebut transisi 1 epidemiologi. Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global.2 Salah satu penyakit degeneratif yang perlu diwaspadai adalah hipertensi. Hipertensi masih menjadi masalah kesehatan karena merupakan penyakit the silent killer karena tidak terdapat tandatanda atau gejala yang dapat dilihat dari
luar, yang akan menyebabkan komplikasi pada organ target.2 Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas normal sehingga memiliki resiko penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas normal sehingga memiliki resiko penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal.3 Perubahan gaya hidup secara global berperan besar dalam meningkatkan angka kejadian hipertensi. Semakin mudahnya mendapatkan makanan siap saji membuat konsumsi sayuran segar dan serat sangat berkurang, konsumsi garam, lemak, gula, dan kalori meningkat. Terlebih lagi penurunan aktivitas fisik sehingga menyebabkan peningkatan jumlah populasi orang yang kelebihan berat badan dan beresiko menyandang diabetes. 4 Komisi Pakar Organisasi Kesehatan Dunia tentang Pengendalian Hipertensi mengadakan pertemuan di Jenewa, E. Barmes, mengemukakan bahwa hipertensi adalah gangguan pembuluh darah jantung (kardiovaskular) paling umum yang merupakan tantangan kesehatan utama bagi masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosioekonomi dan epidemiologi.5 Pada tahun 2011, WHO mencatat satu miliar orang di dunia menderita hipertensi. Hipertensi penyebab kematian hampir 8 juta orang setiap tahun di seluruh dunia dan hampir 1,5 juta orang setiap tahun di Asia Tenggara. Sekitar sepertiga dari populasi orang dewasa di daerah Asia Tenggara memiliki tekanan darah tinggi.6 Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) tahun 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7%. Prevalensi ini jauh lebih tinggi dibanding Singapura (27,3%), Thailand (22,7%), dan Malaysia (20%).7
Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, dengan PMR (Proportional Mortality Rate) mencapai 6,7 % dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia.8 Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 yang merujuk hasil Riskesdas 2007 di Sumatera Utara, dari 10 jenis penyakit tidak menular diketahui bahwa prevalensi hipertensi menduduki peringkat tertinggi keempat dengan proporsi 5,8% setelah persendian, jantung, dan gangguan mental. Prevalensi hipertensi tertinggi di Kabupaten Nias Selatan 9,6% dan terendah di Kabupaten Serdang Bedagai yaitu 2,4%.9 Menurut hasil penelitian Manik di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Marihat Siantar (2012) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, ditemukan prevalence rate hipertensi Lansia sebesar 30,50 %.10 Berdasarkan laporan bulanan Posyandu Lansia bulan Februari 2013 di Puskesmas Mogang Kabupaten Samosir diketahui bahwa proporsi penderita hipertensi yang berkunjung di Posyandu Lansia pada bulan Februari adalah 20,1% ( 40 orang dari 199 orang).11 Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui Belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013. Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui proporsi prevalens hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013
b.
c.
d.
Untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor intrinsik (umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga) dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 Untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor ekstrinsik (pendidikan, pekerjaan, status gizi, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh, dan kebiasaan mengonsumsi garam) dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 Untuk mengetahui Ratio Prevalence (RP) umur, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat keluarga, status gizi, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh, dan kebiasaan mengonsumsi garam dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: a. Masukan bagi Puskesmas Mogang Kabupaten Samosir dalam program penanggulangan penyakit hipertensi di Desa Sigaol Simbolon. b. Masukan bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan dan dapat dijadikan referensi c. Bagi penulis adalah sebagai pengalaman langsung dalam menambah wawasan dan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Metode Penelitian Penelitian ini bersifat survei analitik, dengan menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun. Penelitian dilakukan pada bulan Februari – Oktober 2013. Populasi dalam penelitian adalah seluruh Lansia ≥ 45 tahun yang ada di
desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 yang berjumlah 333 orang. Cara pengambilan sampel dengan menggunakan metode non random dengan purposive sampling. Perhitungan sampel dengan menggunakan rumus besar sampel dengan jumlah populasi yang diketahui. 12 n= Z2 [p (1-p)] N 2 Z [p (1-p)] + (N-1) E2 Dengan menggunakan rumus tersebut diketahui sampel sebanyak 179 orang. Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari Lansia dengan metode wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner tertutup, pengukuran tekanan darah, berat badan, dan tinggi badan Lansia. Dalam hal ini peneliti mengunjungi rumah Lansia yang menjadi sampel dalam penelitian. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Desa Sigaol Simbolon berupa gambaran wilayah desa. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan chi-square 95% CI.
Hasil dan Pembahasan Analisis Univariat Proporsi prevalens kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013. Tabel 1. Proporsi Prevalens Kejadian Hipertensi di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Kejadian Hipertensi Hipertensi Tidak Hipertensi Total
f 111 68 179
% 62,01 37,99 100,00
Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa proporsi prevalens kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 adalah 62,01 %. Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif sehingga sering ditemukan pada Lansia. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran
darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas normal sehingga memiliki resiko penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal.2 Menurut hasil penelitian Kusugiharjo (2003) di Posyandu Lansia Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Provinsi DIY dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, ditemukan prevalensi hipertensi yaitu 34,4%.13 Hubungan umur dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013. Tabel 2.
Hubungan Umur Tahun dengan Hipertensi Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013
Umur HipertenTidak (tahun) si Hipertensi f % f % 45-59 58 54,72 48 45,28 60-74 44 74,57 15 25,43 75-90 9 64,29 5 35,21
Jumlah f 106 59 14
% 100 100 100
p
RP (95 % CI)
0,041
0,734 (0,584-0,922) 1,160 (0,764-1,762)
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa proporsi hipertensi pada kelompok umur 45-59 tahun adalah 54,72%, pada kelompok umur 60-74 tahun 74,57%, dan pada kelompok umur 75-90 tahun adalah 64,29%. Hasil uji secara statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,041 yang berarti secara umum terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian hipertensi. Sedangkan jika dibandingkan menurut kelompok umur 45-59 tahun dengan kelompok umur 60-74 tahun, hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,012 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian hipertensi. Rasio prevalens kejadian hipertensi pada kelompok umur 45-59 tahun dibandingkan dengan kelompok umur 60-74 tahun adalah 0,734 (p=0,012). Artinya Lansia pada kelompok umur 60-74 tahun memiliki kemungkinan resiko yang lebih besar mengalami hipertensi dibandingkan dengan Lansia pada kelompok umur 4559 tahun.
Untuk kelompok umur 60-74 tahun jika dibandingkan dengan kelompok umur 75-90 tahun dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,438 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian hipertensi. Tekanan darah secara alami cenderung meningkat seiring bertambahnya usia.14 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sugiharto di Kabupaten Karanganyar (2009) dengan menggunakan desain penelitian case control, ditemukan proporsi hipertensi pada kelompok umur 36–45 tahun sebesar 84%, umur 46–55 tahun sebesar 93,1%, dan umur 56–65 tahun sebesar 95%.15 Hubungan jenis kelamin dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Tabel 3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013
Jenis Hipertensi Kelam in f % Laki- 51 60,71 laki 60 63,16 Perem puan
Tidak Hipertensi f % 33 39,29 35 36,84
Jumlah f 84 95
% 100 100
p
0,737
Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi pada kelompok lakilaki adalah 60,71% dan pada kelompok perempuan adalah 63,16%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chisquare, diperoleh nilai p=0,737 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalance hipertensi pada kelompok laki-laki dan perempuan adalah 0,961 (p=0,737), artinya jenis kelamin bukan sebagai faktor resiko untuk kejadian hipertensi. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,737 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalance hipertensi pada kelompok lakilaki dan perempuan adalah 0,961 (p=0,737), artinya jenis kelamin bukan
RP (95 % CI) 0,961 (0.763 – 1,211)
sebagai faktor resiko untuk kejadian hipertensi. Hubungan pendidikan dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Tabel 4. Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013
Pendidikan
Tidak tamat SD SD/ Sederajat SLTP/ Sederajat SLTA/ Sederajat Akademi/ Sarjana
Hipertensi
f 13
% 65,00
Tidak Jumlah Hiperten si f % f % 7 35,00 20 100
40
66,67
20
33,33 60
100
24
60,00
16
40,00 40
100
26
59,10
18
40,90 44
100
8
53,33
7
46,67
15 100,
p
0,855
RP (95%CI)
0,975 (0,6751,409) 1,083(0,7 20-1,631) 1,100(0,7 34-1,649) 1,219( 0,6882,160)
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa proporsi hipertensi pada kelompok tidak tamat SD/ tidak sekolah adalah 65,00%, pada SD adalah 66,67%, pada SLTP adalah 60,00%, pada SLTA adalah 59,10%, dan pada Akademi/ PT adalah 53,33%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,855 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian hipertensi. Sedangkan jika Lansia yang memiliki pendidikan terakhir SD/Sederajat dibandingkan dengan Lansia yang tidak tamat SD, hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p=0,891 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian hipertensi. Pada kelompok lansia yang memiliki pendidikan terakhir SLTA/Sederajat dibandingkan dengan Lansia yang tidak tamat SD, hasil uji statistik dengan menggunakan uji chisquare diperoleh nilai p=0,653 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian hipertensi. Sedangkan pada kelompok Lansia yang memiliki pendidikan terakhir
Akademi/Sarjana dibandingkan dengan Lansia yang tidak tamat SD, hasil uji statistik dengan menggunakan uji chisquare diperoleh nilai p=0,486 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian hipertensi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yulia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Sering Medan Tembung (2011) dengan menggunakan desain penelitian crosssectional, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan hipertensi (p=0,688).16 Hubungan pekerjaan dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Tabel 5. Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia di desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013
Dari tabel 5 diketahui bahwa Pekerjaan
Bekerja Tidak Bekerja
Hipertensi f %
Tidak Hipertensi f %
22 68,75 10 89 60,54 58
31,25 39,46
Jumlah f 32 147
% 100 100
p
RP (95 % CI) 0,386 1,136 (0,8691,484)
proporsi hipertensi pada kelompok yang bekerja adalah 68,75% dan pada kelompok yang pensiunan/tidak bekerja adalah 60,54%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,386 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok bekerja dan pensiunan/ tidak bekerja adalah 1,136 (95% CI=0,8691,484). Hubungan riwayat keluarga dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013
Tabel 6. Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Riwayat Hiperten Keluarga si Ada Tidak ada
f 42 69
% 84,00 53,49
Tidak Hipertensi f 8 60
% 16,00 46,51
Jumlah f 50 129
% 100 100
p
RP (95 % CI)
0,000
1,570 (1,2841,921)
Dari tabel 6 dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki riwayat keluarga adalah 84,00% dan pada kelompok yang tidak memiliki riwayat keluarga adalah 53,49%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,000 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok ada riwayat keluarga dan tidak ada riwayat keluarga adalah 1,570 (p=0,000), artinya kemungkinan resiko kejadian hipertensi yang memiliki riwayat keluarga lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki riwayat keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah seorang anak akan lebih mendekati tekanan darah orang tuanya bila mereka memiliki hubungan darah dibandingkan dengan anak adopsi. Hal ini menunjukkan bahwa gen yang diturunkan, dan bukan hanya faktor lingkungan (seperti makanan atau status sosial), berperan besar dalam menentukan tekanan darah.4 Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita yang kembar monozigot (satu telur) apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran dalam terjadinya hipertensi.17 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Irza di Sumatera Barat (2009) dengan menggunakan desain penelitian cross sectional, ditemukan proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki riwayat keluarga 35,98% dan yang tidak memiliki riwayat keluarga 8,77%. Berdasarkan hasil penelitian yang sama, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi (p=0,000).18
Hubungan status gizi dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Status Gizi
Hipertensi f % 24 72,73
Obesitas Tidak Obesitas
87 59,59
Tidak Hipertensi f % 9 27,27 59 40,41
p
RP (95% CI)
0,160
1,220 (0,9521,564)
Jumlah f 33 146
% 100 100
Dari tabel 7 dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang obesitas adalah 72,73% dan pada kelompok yang tidak obesitas adalah 59,59%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,160 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang obesitas dan tidak obesitas adalah 1,220 (p=0,160), artinya status gizi bukan sebagai faktor resiko terjadinya hipertensi. Hubungan aktivitas fisik dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Tabel 8.
Aktivitas Fisik
Cukup Tidak Cukup
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Hipertensi
f 89 22
% 60,14 70,97
Tidak Hipertensi f 59 9
% 39,86 29,03
Juml ah
p
f % 148 100 0,259 31 100
RP (95 % CI) 0,847 (0,653 1,100)
Dari table 8 dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang aktivitas fisiknya cukup adalah 60,14% dan pada kelompok yang aktivitas fisiknya tidak cukup adalah 70,97%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,259 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi. Ratio
prevalence hipertensi pada kelompok yang aktivitas fisiknya cukup dan tidak cukup adalah 0,847 (p=0,259), artinya aktivitas fisik bukan sebagai faktor resiko kejadian hipertensi.
Hubungan kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Tabel 10.
Hubungan Kebiasaan Mengonsumsi Lemak Jenuh dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013
Hubungan kebiasaan merokok dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013
Konsumsi Lemak Jenuh
Tabel 9. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013
f % ≤ 3 kali/minggu 57 55,34 >3 kali/minggu 54 71,05
Kebiasaan Merokok
Hipertensi
Tidak Hipertensi
Jumlah
Ada
f 42
% 63,64
f 24
% 39,36
f 66
% 100
Tidak ada
69
61,06
44
38,94
113
100
p
RP (95 % CI)
1,042 0,732 (0,8241,317)
Dari tabel 9 dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok adalah 63,64% dan pada kelompok yang tidak memiliki kebiasaan merokok adalah 61,06%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,732 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok dan tidak memiliki kebiasaan merokok adalah 1,042 (p=0,732), artinya kebiasaan merokok bukan sebagai faktor resiko terjadinya hipertensi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sarasaty di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2012 ditemukan proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan merokok adalah 68,3% dan pada kelompok yang tidak memiliki kebiasaan merokok adalah 64,1%. Berdasarkan hasil penelitian yang sama, menunjukkan bahwa terdapat tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaaan merokok dengan kejadian hipertensi (p=0,656).19
Hipertensi
Tidak Hipertensi f % 46 44,66 22 28,95
Jumlah
f % 103 100 76 100
p
RP (95 % CI)
0,032 0,779(0, 6220,976)
Dari tabel 10 dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh ≤ 3 kali dalam seminggu adalah 55,34% dan pada kelompok memiliki kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh > 3 kali dalam seminggu adalah 71,05%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,032 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh ≤ 3 kali dalam seminggu dan > 3 kali dalam seminggu adalah 0,779 (p=0,032), artinya kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh > 3 kali dalam seminggu memiliki kemungkinan resiko kejadian hipertensi yang lebih besar dibandingkan dengan memiliki kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh ≤ 3 kali dalam seminggu. Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan resiko atherosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.20 Hasil analisis statistik pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Sugiharto di Kabupaten Karanganyar (2007) dengan menggunakan desain penelitian case control kebiasaan sering mengkonsumsi lemak jenuh (> 3 kali per minggu) terbukti merupakan faktor resiko hipertensi (p=0,022).15 Lemak jenuh (ditemukan pada mentega, cake, pastry, biskuit, produk daging, dan krim) telah terbukti dapat
meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Kolesterol yang terlalu tinggi dalam darah dapat mempersempit arteri, bahkan dapat menyumbat peredaran darah.4 Lemak jenuh (ditemukan pada mentega, cake, pastry, biskuit, produk daging, dan krim) telah terbukti dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Kolesterol yang terlalu tinggi dalam darah dapat mempersempit arteri, bahkan dapat menyumbat peredaran darah.4 Hasil analisis statistik pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Sugiharto di Kabupaten Karanganyar (2007) dengan menggunakan desain penelitian case control kebiasaan sering mengkonsumsi lemak jenuh (> 3 kali per minggu) terbukti merupakan faktor resiko hipertensi (p=0,022).15 Hubungan kebiasaan mengonsumsi garam dengan hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Tabel 11.
Konsumsi Garam
Hubungan Kebiasaan Mengonsumsi Garam dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 Tidak HiperJumlah tensi % f % f % 67,65 33 32,35 102 100
Hipertensi
f ≤ 3kali/minggu 69 > 3kali/minggu 42
54,55 3 5
45, 45
77
100
p 0,074
RP (95 % CI) 1,240 (0,9721,583)
Dari tabel 11 dapat diketahui bahwa proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan mengonsumsi garam ≤ 3 kali dalam seminggu adalah 67,65% dan pada kelompok yang memiliki kebiasaan mengonsumsi garam > 3 kali dalam seminggu adalah 54,55%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,074 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mengonsumsi garam dengan kejadian hipertensi. Ratio prevalence hipertensi pada kelompok yang memiliki kebiasaan mengonsumsi garam ≤ 3 kali
dalam seminggu dan > 3 kali dalam seminggu adalah 1,240 (p=0,074), artinya kebiasaan mengonsumsi garam bukan sebagai faktor resiko terjadinya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan natrium dengan hipertensi pada beberapa individu. Asupan natrium akan meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan yang meningkatkan volume darah.20 Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Proporsi prevalens kejadian hipertensi di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 adalah 62,01%. b. Proporsi Lansia yang mengalami hipertensi di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir Tahun 2013 yang tertinggi pada kelompok umur 60-74 tahun (74,57%), jenis kelamin perempuan (63,16%), pendidikan SD/sederajat (66,67%), status pekerjaan bekerja (68,75%), memiliki riwayat keluarga (84,00%), status gizi obesitas (72,73%), dan aktivitas fisik tidak cukup (70,97%), memiliki kebiasaan merokok (63,64%), mengonsumsi lemak jenuh > 3 kali/minggu (71,05%), mengonsumsi garam ≤ 3 kali/minggu (67,65%). c. Terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013(p=0,041 ) d. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 (p=0,737). e. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 (p=0,855) Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 (p=0,386) Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 (p=0,000) Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 (p=0,160). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 (p=0,259) Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 (p=0,732) Terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mengonsumsi lemak jenuh dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 (p=0,032). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan mengonsumsi garam dengan kejadian hipertensi pada Lansia di Desa Sigaol Simbolon Kabupaten Samosir tahun 2013 (p=0,074)
2. Saran a. Di Posyandu Lansia sebaiknya dilakukan penyuluhan tentang faktor risiko dan upaya pencegahan hipertensi
b. Lansia sebaiknya mengatur pola konsumsi lemak jenuh dan rutin memeriksa tekanan darah setiap minggu. Daftar Pustaka 1. Bustan, M., 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta 2. World Health Organization, 2011. Global Status Report On Noncommunicable Diseases 2010. Geneva 3. Sudoyo, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV.Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta 4. Palmer, A., 2007. Simple Guide Tekanan Darah Tinggi. Erlangga. Jakarta 5. Laporan Komisi Pakar WHO, 2001. Pengendalian Hipertensi. Penerbit ITB. Bandung 6. WHO, 2011. Hypertension Fact Sheet. Department of Sustainable Development and Healthy Environments 2011. http://www.searo.who.int/linkfiles/ non_communicable_diseases_hype rtension fs.pdf 7. Hartono, B., 2011. Hipertensi The Silent Killer Perhimpunan Hipertensi Indonesia. http://www.inash.or.id/upload/new spdf/news- Dr. Drs. Bambang Hartono.SE26.pdf 8. Depkes RI, 2011. Penyakit Menular Penyebab Kematian Terbanyak Di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. http://www.depkes.go.id/index.php /berita/press-release/810-hipertensi penyebab-kematian-nomortiga.html 9. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2009. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2008. Medan 10. Manik, M., 2012. Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Hipertensi Pada Lansia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Siantar Marihat Pematang Siantar Tahun 2011. Skripsi Mahasiswa FKM USU 11. Laporan Bulanan Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Mogang Kabupaten Samosir Bulan Februari Tahun 2013 12. Eriyanto, 2007. Teknik Sampling Analisis Opini Publik. PT Pelangi Aksara : Yogyakarta 13. Kusugiharjo, W. 2003. Studi Prevalensi dan Karakteristik Demografi Serta Faktor Risiko Hipertensi Pada Usia Lanjut di Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Propinsi DIY. FKM UNDIP. Semarang 14. Davey, P., 2003. At a Glance Medicine. Erlangga. Jakarta 15. Sugiharto, A., 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II Pada Masyarakat. Program Studi Magister Epidemiologi Program Pasca Sarjana UNDIP. Semarang 16. Yulia. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Lansia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Sering Medan Tembung Tahun 2010. FKM USU. Medan 17. Dalimartha, dkk. 2008. Care Your Self, Hipertensi. Penebar Plus. Jakarta 18. Irza, S. 2009. Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung Sumatera Barat. FKM USU. Medan 19. Sarasaty, R. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi Pada Kelompok Lanjut Usia Di Kelurahan Sawah Baru Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan Tahun 2011. FKM UINSYAH .Jakarta 20. Hull, A. 1996. Penyakit Jantung, Hipertensi, dan Nutrisi. Jakarta: Bumi Aksara
KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER YANG DIRAWAT INAP DI RSUD TANJUNG PURA TAHUN 2011-2012 Christna Uly S1, Jemadi2, Rasmaliah2 1
Mahasiswa Departemen Epidemiologi FKM USU 2 Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155
Abstract Coronary Heart Disease (CHD) is one of the most important heart disease because CHD is the main cause of mortality in some countries include Indonesia. In 2008, WHO informed cardiovascular disease PMR is 30% and died of CHD is 7,3 millions people. In 2007, Riskesdas collected CHD data based on diagnosis by healthcare professsional is 12,5%. In Semarang in 2004 CHD proportion is 26,00%. To know the CHD patients characteristics which are treated in RSUD Tanjung Pura in 2011-2012, descriptive research has been done with case series design. Population is 109 people and sample is same with population (Total Sampling). Data has been analyzed with Chi-Square, Mann-whitney, and Kruskal wallis test. The results shown that the highest CHD proportion based on sociodemographic, for female and male gender in the age group >60 years 22%, Javanese 74,3%, moslem 94,5%, housewifes 49,5%, married 88,1%, out of Tanjung Pura 61,5%, chest pain 77,1%, hypertension 89%, blood sugar level 65,1%, high total cholesterol 72,5%, Jamkesmas 64,2%, home medical treatment way 50,5%, CFR 7,3%. There is significant different age proportions based on blood pressure (p=0,002), blood sugar level (p=0,015). There is no significant different age proportions based on total cholesterol (p=0,068), the average treatment time based on age (p=0,199), the average treatment time based on cost source (p=0,303). There is significant different average treatment time based on blood pressure (p=0,093). There is no significant difference average treatment time based on blood sugar level(p=0,608). total cholesterol (p=0,468). There is significant differerent average treatment time based on condition when out (p=0,029). RSUD Tanjung Pura is expected to give information about risk factor of CHD and recommend medical check up regularly. The hospital is recommended to refer the patients as soon as possible if can not be handled. For Hypertention, DM, and Cholesterol patients are recommended to consume drug regularly, and medical check up to control their blood pressure, blood sugar level, and total cholesterol. Keywords
: Coronary Heart Disease (CHD), Characteristic
1
PMR 24,57%. 7 Pada tahun 2010 di Inggris, penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian yang utama, yaitu lebih dari 147.000 kematian dan PJK penyebab terbesar dibandingkan penyakit kardiovaskular lain yaitu sebesar 65.000 kematian.8 Pada tahun 2007, Riskesdas mendata penyakit jantung berdasarkan adanya riwayat didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan adanya gejala yang mengarah ke penyakit jantung kongenital, angina, aritmia, dan dekompensasi kordis. Diperoleh hasil prevalensi penyakit jantung di Indonesia berdasarkan wawancara sebesar 7,2%, berdasarkan riwayat didiagnosis tenaga kesehatan hanya ditemukan sebesar 0,9%. Cakupan kasus jantung yang sudah didiagnosis oleh tenaga kesehatan sebesar 12,5% dari semua responden yang mempunyai gejala subyektif menyerupai gejala penyakit jantung.9 Dari hasil laporan rumah sakit di Indonesia tahun 2007 mengenai penderita PJK, jumlah pasien rawat jalan sebanyak 31.853 pasien dan pasien rawat inap sebanyak 78.330 pasien. Sedangkan, case fatality rate (CFR) tertinggi terjadi pada infark miokard akut 13,49%, gagal jantung 13,42%, dan penyakit jantung lainnya 13,37%.9 Hasil Riskesdas 2007 di Sumatera Utara, dari 10 jenis penyakit tidak menular diketahui bahwa penyakit jantung menempati urutan kedua dengan prevalensi 7%. Prevalensi penyakit jantung tertinggi di Kabupaten Mandailing Natal yaitu 12,1% dan terendah di Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu 0,9%.10 Menurut data laporan tahunan R.S Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, terjadi peningkatan jumlah kasus koroner dari 660 kasus pada tahun 2008 menjadi 750 kasus pada tahun 2009. 11 Hasil survei pendahuluan di Rumah Sakit Umum Daerah Tanjung Pura diperoleh jumlah penderita penyakit jantung koroner (PJK) rawat inap tahun 2011-2012 sebanyak 109 orang. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita PJK di Rumah Sakit Umum Daerah Tanjung Pura tahun 20112012.
Pendahuluan Indonesia sedang mengalami beban ganda dalam menghadapi masalah penyakit, yang mana penyakit menular dan penyakit tidak menular keduanya menjadi masalah kesehatan. Bahkan terjadi perubahan pola dari penyakit menular ke penyakit tidak menular yang lebih dikenal dengan sebutan transisi epidemiologi. 1 Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronik yang membutuhkan perawatan, pengobatan yang mahal sehingga dapat menjadi beban pemerintah dan masyarakat. Kasus penyakit tidak menular yang paling banyak adalah hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke, dan diabetes mellitus.2 Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbesar di dunia, diperkirakan 17,1 juta orang meninggal dunia karena penyakit kardiovaskuler, khususnya serangan jantung dan stroke setiap tahunnya.3 Di negara maju kejadian penyakit jantung koroner mengalami penurunan, tetapi terjadi peningkatan pada negara berkembang dikarenakan meningkatnya usia harapan hidup, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup. Sekitar 60% masalah global mengenai penyakit jantung koroner (PJK) terjadi di negara berkembang. 4 Berdasarkan Disability-Adjusted Life Years (DALYs), penyakit kardiovaskuler bertanggung jawab terhadap 10 % kehilangan tahun produktif di negara miskin dan berkembang, dan 18% di negara maju. Masalah PJK akan meningkat dari 47 juta pada tahun 1990 menjadi 82 juta pada tahun 2020.4 PJK adalah salah satu penyakit jantung yang sangat penting karena penyakit ini diderita oleh jutaan orang dan merupakan penyebab kematian utama dibeberapa negara termasuk Indonesia.5 Pada tahun 2008, WHO memperkirakan 17,3 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskular dengan PMR 30%. Dari kematian karena penyakit kardiovaskular tersebut, kematian karena PJK sebesar 7,3 juta orang.6 Pada tahun 2009 di Amerika Serikat , PJK merupakan peringkat pertama dari sepuluh penyebab kematian terbesar dengan 1
Agustus 2012 sampai dengan Oktober 2013. Populasi penelitian adalah semua data penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 sebanyak 109 orang. Besar sampel sama dengan besar populasi (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan uji Chi-Square, uji Mann-Whitney, dan uji Kruskal-Wallis.
Perumusan Masalah Belum diketahui karakteristik penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura tahun 2011-2012. Tujuan Penelitian Mengetahui karakteristik penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura tahun 2011 - 2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui distribusi proporsi penderita PJK berdasarkan sosiodemografi, yaitu umur dan jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan, status perkawinan, dan tempat tinggal. b. Mengetahui distribusi proporsi keluhan utama penderita PJK yang Dirawat Inap. c. Mengetahui distribusi proporsi penderita PJK berdasarkan tekanan darah. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita PJK berdasarkan kadar gula darah. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita PJK berdasarkan kadar kolesterol total. f. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita PJK. g. Mengetahui distribusi proporsi penderita PJK berdasarkan sumber biaya h. Mengetahui distribusi proporsi penderita PJK berdasarkan keadaan sewaktu pulang. i. Mengetahui distribusi proporsi umur penderita PJK berdasarkan keadaan pemeriksaan saat masuk. j. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan umur. k. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan sumber biaya. l. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan keadaan pemeriksaan saat masuk. m. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan keadaan sewaktu pulang. n. Mengetahui distribusi proporsi sumber pembiayaan penderita PJK berdasarkan keadaan sewaktu pulang
Hasil dan Pembahasan Distribusi proporsi penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 berdasarkan data sosiodemografi meliputi umur dan jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan, status perkawinan dan tempat tinggal dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1.
N o 1 2 3 4
Distribusi Proporsi Penderita PJK Yang Dirawat Inap Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUD Tanjung Pura Tahun 20112012 Umur Jenis Kelamin (Tahun) Laki-Laki Perempuan f % f % < 40 4 3,7 7 6,4 41-50 4 3,7 11 10,1 51-60 17 15,6 18 16,5 > 60 24 22 24 22 Jumlah 49 45 60 55
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 49 penderita PJK dengan jenis kelamin laki-laki, proporsi terbesar pada kelompok umur >60 tahun sebesar 22% (24 orang). dan proporsi terkecil pada kelompok umur 41-50 tahun sebesar 3,7% (4 orang), serta pada kelompok umur < 40 tahun sebesar 3,7% (4 orang). Dari 60 penderita PJK dengan jenis kelamin perempuan, proporsi terbesar pada kelompok umur >60 tahun sebesar 22% (24 orang). dan proporsi terkecil pada kelompok umur < 40 tahun sebesar 6,4% (7 orang). Umur adalah faktor risiko terpenting, semakin bertambahnya umur risiko terkena jantung koroner makin tinggi dan pada umumnya dimulai pada umur 40 tahun ke atas.12 Jenis kelamin merupakan faktor risiko PJK, pada usia dibawah 45 tahun risiko terjadinya PJK pada laki-laki 10 kali lipat dibandingkan dengan perempuan.22 Dari hasil
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini berlokasi di RSUD Tanjung Pura. Waktu penelitian dilakukan sejak bulan 2
penelitian ini penderita PJK lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki sebab pada kelompok umur >40 tahun perempuan akan memasuki masa menopause sehingga kejadian PJK lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Pada perempuan yang sudah memasuki masa menopause, risiko terjadinya PJK meningkat karena terjadinya penurunan hormon estrogen sebagai faktor protektif yang berperan melindungi perempuan terhadap terjadinya PJK.13 Tabel 2.
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Kabupaten Langkat mayoritas bersuku bangsa Jawa (56,87%).14 Berdasarkan agama proporsi yang tertinggi adalah agama Islam 94,5% (103 orang), dan proporsi terendah adalah agama Budha 0,9% (1 orang). Hal ini bukan berarti agama Islam lebih berisiko menderita PJK, namun karena mayoritas penderita PJK yang berobat ke RSUD Tanjung Pura adalah beragama Islam. Hal ini didukung oleh data jumlah penduduk Kabupaten Langkat mayoritas beragama Islam (90%).14 Berdasarkan Pekerjaan, proporsi tertinggi adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) 49,5% (54 orang), dan proporsi terkecil adalah lain-lain 1,8% (2 orang). Hal ini bukan berarti pekerjaan ibu rumah tangga lebih berisiko menderita PJK, namun karena mayoritas penderita PJK yang berobat ke RSUD Tanjung Pura adalah mempunyai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dan jumlah penderita PJK yang datang berobat ke RSUD Tanjung Pura 2011-2012 lebih banyak berjenis kelamin perempuan (55%). Berdasarkan status perkawinan, proporsi yang tertinggi adalah kawin 88,1% (96 orang), dan proporsi terkecil belum kawin 1,8% (2 orang). Hal ini bukan berarti status kawin lebih berisiko menderita PJK, namun karena mayoritas penderita PJK yang berobat ke RSUD Tanjung Pura adalah berstatus kawin. Hal ini bisa dikaitkan dengan kelompok umur, pada golongan kelompok umur <40 dan >40 pada umumnya sudah berstatus kawin. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi terbesar adalah berasal dari luar Tanjung Pura 61,5%, sedangkan proporsi terkecil berasal dari dalam Tanjung Pura 38,5% (42 orang). Hal ini karena RSUD Tanjung Pura merupakan rumah sakit rujukan di kabupaten Langkat dan pasien yang datang berobat kebanyakan merupakan rujukan dari puskesmas yang ada di dalam maupun di luar Tanjung Pura. Penderita PJK yang berasal dari luar Tanjung Pura, berasal dari daerah-daerah yang dekat dengan Kecamatan Tanjung Pura yang berada diwilayah Kabupaten Langkat.
Distribusi Proporsi Penderita PJK Yang Dirawat Inap Berdasarkan Sosiodemografi di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Sosiodemografi Suku f % Batak 16 14,7 Jawa 81 74,3 Minang 1 0,9 Melayu 10 9,2 Cina 1 0,9 Jumlah 109 100 Agama f % Islam 103 94,5 Kristen Protestan 5 4,6 Budha 1 0,9 Jumlah 109 100 Pekerjaan f % PNS 9 8,3 Pensiunan 7 6,4 Petani 6 5,5 Wiraswasta 31 28,4 Ibu Rumah Tangga (IRT) 54 49,5 Lain-lain 2 1,8 Jumlah 109 100 Status perkawinan f % Belum Kawin 2 1,8 Kawin 96 88,1 Janda/Duda 11 10,1 Jumlah 109 100 Tempat Tinggal f % Luar Tanjung Pura 67 61,5 Dalam Tanjung Pura 42 38,5 Jumlah 109 100
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 berdasarkan data sosiodemografi adalah sebagai berikut, berdasarkan suku proporsi tertinggi adalah suku Jawa 74,3% (81 orang), dan proporsi terkecil adalah suku Minang dan Cina yang masing-masing 0,9% (1 orang). Hal ini bukan berarti suku Jawa lebih berisiko menderita PJK, namun karena mayoritas penderita PJK yang berobat ke RSUD Tanjung Pura adalah suku Jawa. Hal ini didukung oleh data jumlah penduduk 3
Akan tetapi ada satu pasien yang berasal dari luar kabupaten langkat yaitu berasal dari Rantau Parapat.
dan pada akhirnya berkembang menjadi PJK.17 Akan tetapi, bukan berarti semua penderita PJK dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) memiliki risiko tinggi terjadinya PJK namun dalam keadaan normal penderita juga menderita PJK sebab ada faktor risiko lain yang memicu terjadinya PJK seperti kadar gula darah, dan kadar kolesterol. Distribusi proporsi penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 berdasarkan kadar gula darah dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Distribusi proporsi keluhan utama penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3.
No 1. 2. 3. 4. 5.
Distribusi Proporsi Keluhan Utama Penderita PJK yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Keluhan f % Nyeri dada 84 77,1 Jantung berdebar 51 46,8 Sesak nafas 45 41,3 Keringat dingin 19 17,4 Lemas 63 57,8
Tabel 5.
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa penderita PJK dengan proporsi tertinggi berdasarkan keluhan utama adalah nyeri dada 77,1% (84 orang), dan proporsi terkecil keringat dingin 17,4% (19 orang). Nyeri dada merupakan gejala yang khas pada penderita PJK karena terjadinya kekurangan oksigen pada otot jantung yang disebabkan oleh peningkatan kebutuhan aliran darah koronaria sedangkan suplai oksigen mengalami penurunan.15 Selain itu dinding pembuluh darah arteri koroner akan mengalami pengerutan serabut otot polos dan mengakibatkan penyempitan pada saluran pembuluh darah sehingga penderita merasakan nyeri dada.16
No 1. 2.
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan kadar gula darah, yaitu pada penderita dengan kadar gula darah tinggi 65,1% (71 orang), dan yang terendah adalah penderita dengan kadar gula darah normal 34,9% (38 orang). Hal ini bukan berarti semua penderita PJK memiliki Kadar gula darah puasa tinggi, namun dalam keadaan normal penderita juga dapat terkena PJK karena ada faktor risiko lain yang mempengaruhinya seperti hipertensi dan kadar kolesterol total. Kadar gula darah yang tinggi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan dislipidemia (peningkatan konsentrasi lemak darah) dan kerusakan pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan risiko 16 terjadinya PJK. Penderita Diabetes Mellitus (DM) cenderung untuk mengalami atherosklerosis pada usia yang lebih dini dan penyakit yang ditimbulkan lebih cepat dan lebih berat pada penderita DM daripada non DM.18 Distribusi proporsi penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 berdasarkan kadar kolesterol total dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.
Distribusi proporsi penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 berdasarkan tekanan darah dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4.
No. 1. 2.
Distribusi Proporsi Penderita PJK yang Dirawat Inap Berdasarkan Kadar Gula Darah di RSUD Tanjung Pura Tahun 20112012 Kadar Gula Darah f % Normal 38 34,9 Tinggi 71 65,1 Jumlah 109 100
Distribusi Proporsi Penderita PJK yang Dirawat Inap Berdasarkan Tekanan Darah di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Tekanan Darah f % Normal 12 11 Hipertensi 97 89 Jumlah 109 100
Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan tekanan darah, yaitu pada penderita dengan hipertensi 89% (97 orang), dan proporsi terendah adalah penderita dengan tekanan darah normal 11% (12 orang). Hipertensi berperan penting terhadap hipertrofi ventrikel kiri, iskemik miokard, dan infark yang semua proses tersebut mempercepat disfungsi sistolik dan diastolik 4
Tabel 6.
No. 1. 2.
Distribusi Proporsi Penderita PJK yang Dirawat Inap Berdasarkan Tekanan Darah di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Kadar Kolesterol Total f % Normal 30 27,5 Tinggi 79 72,5 Jumlah 109 100
Tabel 8.
No 1. 2. 3.
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan kadar kolesterol total, yaitu pada penderita dengan kadar kolesterol total tinggi 72,5% (79 orang), dan yang terendah adalah penderita dengan kadar kolesterol normal 27,5% (30 orang). Kolesterol dalam darah digolongkan menjadi LDL, HDL, dan VLDL. Kadar kolesterol LDL yang tinggi akan memicu penimbunan kolesterol di sel, yang menyebabkan munculnya atherosclerosis (pengerasan dinding pembuluh darah arteri) dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Hal ini dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit akibat gangguan pembuluh darah seperti penyakit jantung koroner.19 Penderita PJK berdasarkan lama rawatan rata-rata yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini.
Distribusi Proporsi Penderita PJK yang Dirawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Sumber Biaya f % Biaya Sendiri 17 15,6 ASKES 22 20,2 Jamkesmas 70 64,2 Jumlah 109 100
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa proporsi sumber biaya tertinggi adalah dengan Jamkesmas 64,2% (70 orang), dan proporsi terendah dengan Biaya sendiri 15,6% (17 orang). Hal ini karena RSUD Tanjung Pura merupakan rumah sakit rujukan dari puskesmas di kabupaten Langkat yang menggunakan jaminan kesehatan berupa ASKES dan Jamkesmas. Hal ini didukung oleh data penerima jaminan kesehatan di kabupaten Langkat tahun 2011 yaitu dari 352.091 orang yang menerima jaminan kesehatan ada sebanyak 304.767 (86,6%) merupakan peserta Jamkesmas.42 Distribusi proporsi penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 berdasarkan keadaan sewaktu pulang dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini. Tabel 9.
Tabel 7. Penderita PJK yang Dirawat Inap Berdasarkan Lama Rawatan Rata-rata di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Lama Rawatan Rata-rata (hari) Mean : 3,79 Standard deviation : 3,16 95% CI : 3,19-4,39 Min :1 Max : 22
No 1. 2. 3. 4.
Distribusi Proporsi Penderita PJK yang Dirawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulangdi RSUD Tanjung Pura Tahun 20112012 Keadaan Sewaktu Pulang f % PBJ 55 50,5 PAPS 30 27,5 Meninggal 8 7,3 Rujuk 16 14,7 Jumlah 109 100
Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan keadaan sewaktu pulang adalah Pulang Berobat Jalan (PBJ) 50,5%, dan proporsi yang terendah adalah meninggal 7,3% (8 orang). Penderita pulang berobat jalan paling tinggi hal ini menunjukkan bahwa perlu dilakukan kontrol terhadap penderita PJK dari waktu ke waktu setelah pulang dari rumah sakit sehingga diteruskan dengan pulang berobat jalan dengan tujuan untuk mengetahui keadaan medis dari penderita PJK tersebut agar kondisi penderita PJK tetap dapat dikontrol dengan jelas. Penderita yang pulang atas permintaan sendiri kemungkinan dikarenakan
Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura tahun 2011-2012 adalah 3,79 hari (4 hari) dengan Standar Deviasi (SD) 3,16 hari (4 hari), lama rawatan minimum adalah 1 hari dan lama rawatan paling lama (maksimum) adalah 22 hari. Distribusi proporsi penderita PJK yang dirawat inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 berdasarkan sumber biaya dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini.
5
pasien ingin mencari pengobatan yang lebih baik di rumah sakit lainnya atau keinginan pasien untuk dirawat dirumah. Pada pasien yang pulang dirujuk, rumah sakit rujukannya adalah RSUP Adam Malik dan RSU Dr. Pirngadi. Pada penderita dengan keadaan sewaktu pulang meninggal disebabkan penderita sudah tidak dapat ditolong lagi karena penderita sudah mengalami komplikasi gagal jantung, pihak rumah sakit sudah menganjurkan untuk merujuk pasien ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya akan tetapi dari catatan rekam medik pihak keluarga tidak bersedia untuk merujuk keluarganya.
Distribusi Proporsi umur penderita PJK berdasarkan kadar gula darah di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 11.
No. 1. 2.
Berdasarkan tabel 11 dapat dilihat bahwa dari 38 penderita PJK dengan Kadar Gula Darah Normal, terdapat 21,1% (8 orang) pada kelompok umur < 40 tahun dan 78,9% (30 orang) pada kelompok umur >40 tahun. Dari 71 penderita PJK dengan Kadar Gula Darah Tinggi, terdapat 4,2% (3 orang) pada kelompok umur < 40 tahun dan 95,8% (68 orang) pada kelompok umur >40 tahun. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Exact Fisher diperoleh p(0,015) < 0,05 berarti ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur penderita PJK berdasarkan jenis kadar gula darah. Umur sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar gula darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. DM tipe II terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin meningkat setelah usia 40 tahun, dan terus meningkat pada usia lanjut. Seseorang yang berusia >40 tahun memiliki peningkatan risiko terhadap terjadinya DM dan intoleransi glukosa oleh karena faktor degeneratif yaitu menurunnya fungsi tubuh untuk memetabolisme glukosa.19 Distribusi Proporsi umur penderita PJK berdasarkan kadar kolesterol darah di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Distribusi Proporsi umur penderita PJK berdasarkan tekanan darah di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 10.
No.
1. 2.
Distribusi Proporsi Umur Penderita PJK Berdasarkan Kadar Gula Darah yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Umur (Tahun) Total Kadar Gula < 40 >40 Darah f % f % f % Normal 8 21,1 30 78,9 38 100 Tinggi 3 4,2 68 95,8 71 100
Distribusi Proporsi Umur Penderita PJK Berdasarkan Tekanan Darah yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 20112012 Tekanan Umur (Tahun) Total Darah < 40 >40 f % f % f % Normal 5 41,7 7 58,3 12 100 Hipertensi 6 6,2 91 93,8 15 100
Berdasarkan tabel 10 dapat dilihat bahwa dari 12 penderita PJK dengan tekanan darah normal, terdapat 41,7% (5 orang) pada kelompok umur < 40 tahun dan 58,3% (7 orang) pada kelompok umur >40 tahun. Dari 97 penderita PJK dengan tekanan darah hipertensi, terdapat 6,2 % (6 orang) pada kelompok umur < 40 tahun dan 93,8% (91 orang) pada kelompok umur >40 tahun. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Exact Fisher diperoleh p(0,002) < 0,05 berarti ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur penderita PJK berdasarkan tekanan darah. Tekanan darah meningkat sesuai usia karena arteri secara perlahan-lahan kehilangan keelastisannya. Usia membawa perubahan pada tubuh manusia termasuk sistem kardiovaskuler. Tekanan Darah Sistolik cenderung meningkat secara progresif dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa untuk mencapai nilai rata-rata 140 mmHg pada usia 70 hingga 80 tahun. 16
Tabel 12.
No.
1. 2.
Distribusi Proporsi Umur Penderita PJK Berdasarkan Kadar Gula Darah yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Kadar Umur (Tahun) Total Gula <40 >40 Darah f % f % f % Normal 6 20 24 80 30 100 Tinggi 5 6,3 74 93,7 79 100
Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat bahwa dari 30 penderita PJK dengan Kadar 6
Kolesterol Total normal, terdapat 20% (6 orang) pada kelompok umur < 40 tahun dan 80% (24 orang) pada kelompok umur >40 tahun. Dari 79 penderita PJK dengan Kadar Kolesterol Total Tinggi, terdapat 6,3% (5 orang) pada kelompok umur < 40 tahun dan 93,7% (74 orang) pada kelompok umur >40 tahun. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Exact Fisher diperoleh p(0,068) < 0,05 berarti tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur penderita PJK berdasarkan kadar kolesterol total. Bertambahnya usia akan meningkatkan kadar kolesterol total, kolesterol dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya memberi O2 ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya O2 akan menyebabkan otot jantung menjadi lemah, sakit dada, serangan jantung bahkan kematian.16
tidak dapat dilakukan dengan uji t-test kemudian dilanjutkan dengan uji MannWhitney. Berdasarkan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p>0,05. Hal ini berarti secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan umur. Usia adalah faktor risiko terpenting, semakin bertambah usia risiko terkena jantung koroner makin tinggi dan pada umumnya dimulai pada usia 40 tahun ke atas.12 Tekanan darah meningkat sesuai usia karena arteri secara perlahan-lahan kehilangan keelastisannya. Oleh karena itu pada usia > 40 tahun lama rawatan rata-rata penderita PJK lebih lama dibandingkan pada usia < 40 tahun dikarenakan pada usia > 40 tahun seseorang mulai mengalami hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit degeneratif lainnya. Lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan Sumber Pembiayaan di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 14.
No
Lama rawatan penderita PJK berdasarkan umur di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 13.
No 1. 4.
1. 2. 3.
Berdasarkan tabel 14 dapat dilihat bahwa dari 109 penderita PJK terdapat 17 penderita yang menggunakan biaya sendiri selama menjalani rawat inap di rumah sakit dengan lama rawatan rata-rata 2,94 hari (3 hari), 22 penderita yang menggunakan Asuransi Kesehatan (ASKES) menjalani rawat inap di rumah sakit dengan lama rawatan rata-rata 3,36 hari (3 hari), dan 70 penderita yang menggunakan JAMKESMAS menjalani rawat inap di rumah sakit dengan lama rawatan rata-rata 4,13 hari (4 hari). Berdasarkan uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai p (0.303) > 0,05 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya. Walaupun tidak ada perbedaan yang bermakna, lama rawatan rata-rata penderita PJK dengan sumber pembiayaan Jamkesmas dan ASKES lebih lama dibandingkan pasien
Lama Rawatan Rata-rata Penderita PJK Berdasarkan Umur yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Lama Rawatan Rata-rata Umur
<40 >40
f 11 98
Means 2,91 3,89
Lama Rawatan Rata-rata Penderita PJK Berdasarkan Sumber Pembiayaan yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Sumber Lama Rawatan Rata-rata Pembiayaan f Means SD Biaya Sendiri 17 2,94 1,952 ASKES 22 3,36 2,361 Jamkesmas 70 4,13 3,563
SD 2,256 3,239
Berdasarkan tabel 13 dapat dilihat bahwa dari 109 penderita PJK terdapat 11 penderita pada kelompok umur < 40 tahun yang menjalani rawat inap dengan lama rawatan rata-rata 2,91 hari (3 hari) dan 98 penderita pada kelompok umur > 40 tahun yang menjalani rawat inap dengan lama rawatan rata-rata 3,89 hari (4 hari). Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh p<0,005 artinya data lama rawatan rata-rata tidak berdistribusi normal sehingga 7
Tabel 16.
dengan sumber pembiayaan biaya sendiri. Hal ini kemungkinan karena pasien Jamkesmas dan ASKES semua pembiayaan rawat inap dibiayai oleh pemerintah sehingga tidak perlu mengkhawatirkan banyaknya biaya seperti pada pasien dengan biaya sendiri. Lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan tekanan darah di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
No 1. 2.
1. 2.
Normal Tinggi
38 71
3,63 3,87
3,088 3,216
Berdasarkan tabel 16 dapat dilihat bahwa dari 109 penderita PJK terdapat 38 penderita yang memiliki kadar gula darah normal menjalani rawat inap di rumah sakit dengan lama rawatan rata-rata 3,63 hari (4 hari), 71 penderita yang memiliki kadar gula darah tinggi menjalani rawat inap di rumah sakit dengan lama rawatan rata-rata 3,87 hari (4 hari). Berdasarkan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p (0,608) > 0,05 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan kadar gula darah. Walaupun tidak ada perbedaan yang bermakna, lama rawatan rata-rata penderita PJK dengan keadaan kadar gula darah tinggi lebih lama dibandingkan pasien dengan kadar gula darah normal kemungkinan disebabkan penderita dengan kadar gula darah tinggi perlu dikontrol kadar gulanya oleh petugas kesehatan dan mendapatkan pengobatan sampai benar-benar diperbolehkan pulang oleh dokter. Lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan kadar kolesterol total di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 15.
No
Lama Rawatan Rata-rata Penderita PJK Berdasarkan Kadar Gula Darah yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Kadar Gula Lama Rawatan Rata-Rata Darah f Mean SD
Lama Rawatan Rata-rata Penderita PJK Berdasarkan Tekanan Darah yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 20112012 Lama Rawatan Rata-Rata Tekanan Darah f Mean SD Normal 12 2,50 1,446 Hipertensi 97 3,95 3,28
Berdasarkan tabel 15 dapat dilihat bahwa dari 109 penderita PJK terdapat 12 penderita yang memiliki tekanan darah normal menjalani rawat inap di rumah sakit dengan lama rawatan rata-rata 2,50 hari (3 hari), dan 97 penderita yang memiliki tekanan darah hipertensi menjalani rawat inap di rumah sakit dengan lama rawatan rata-rata 3,95 hari (4 hari). Berdasarkan Mann-Whitney diperoleh nilai p(0,093) > 0,05 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan tekanan darah. Walaupun tidak ada perbedaan yang bermakna, lama rawatan rata-rata penderita PJK dengan keadaan hipertensi lebih lama dibandingkan pasien dengan keadaan tekanan darah normal kemungkinan disebabkan penderita dengan hipertensi perlu dikontrol tekanan darahnya oleh petugas kesehatan dan mendapatkan pengobatan sampai benar-benar diperbolehkan pulang oleh dokter. Lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan Kadar Gula Darah di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 17.
No
1. 2.
Lama Rawatan Rata-rata Penderita PJK Berdasarkan kadar Kolesterol Total yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Kadar Lama Rawatan Rata-Rata Kolesterol Total f Mean SD
Normal Tinggi
30 79
3,23 4,00
1,942 3,501
Berdasarkan tabel 17 dapat dilihat bahwa dari 109 penderita PJK terdapat 30 penderita yang memiliki keadaan kolesterol total normal menjalani rawat inap di rumah sakit dengan lama rawatan rata-rata 3,23 hari (4 hari), dan 79 penderita yang memiliki kadar kolesterol total tinggi menjalani rawat inap di rumah sakit dengan lama rawatan ratarata 4 hari. 8
Berdasarkan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p (0,468) > 0,05 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan kadar kolesterol total. Walaupun tidak ada perbedaan yang bermakna, lama rawatan rata-rata penderita PJK dengan keadaan kadar kolesterol tinggi lebih tinggi dibandingkan pasien dengan kadar kolesterol normal kemungkinan disebabkan penderita dengan kadar kolesterol total tinggi perlu dikontrol kolesterolnya oleh petugas kesehatan dan mendapatkan pengobatan sampai benar-benar diperbolehkan pulang oleh dokter. Lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
mendapatkan pengobatan selanjutnya namun dari catatan rekam medik pasien dan keluarga tidak mau untuk dirujuk sehingga pasien hanya mendapatkan pertolongan seadanya dan akhirnya tidak dapat ditolong lagi. Lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 19.
N o
1. 2. 3. 4.
Keadaan Sewaktu Pulang
1 2
PBJ PAPS
Sumber Pembiayaan Biaya JamkesASKES Sendiri mas f % f % f % 9 16,4 11 20 35 63,6 6 20 6 20 18 60
3 4
Meninggal Dirujuk
1 12,5 1 6,25
0 5
0 31,25
7 10
87,5 62,5
Jumlah f
%
55 30
100 100
8 16
100 100
Berdasarkan tabel 19 dapat dilihat bahwa dari 55 penderita PJK dengan Keadaan sewaktu pulang PBJ, terdapat 16,4% (9 orang) yang sumber biayanya biaya sendiri, kemudian 20% (11 orang) yang sumber biayanya berasal dari ASKES, dan 63,6% (35 orang ) yang sumber biayanya Jamkesmas. Berdasarkan Keadaan sewaktu pulang PAPS dari 30 penderita PJK, terdapat 20% (6 orang) yang sumber biayanya biaya sendiri, kemudian 20% (6 orang) yang sumber biayanya berasal dari ASKES, dan 60% (18 orang ) yang sumber biayanya Jamkesmas. Berdasarkan keadaan sewaktu pulang meninggal dari 8 penderita PJK, terdapat 87,5% (7 orang) yang sumber biayanya Jamkesmas, dan dengan biaya sendiri 12,5% (1 orang). Berdasarkan Keadaan sewaktu pulang dirujuk dari 16 penderita PJK, terdapat 6,25% (1 orang) yang sumber biayanya biaya sendiri, kemudian 31,25% (5 orang) yang sumber biayanya berasal dari ASKES, dan 62,5% (10 orang ) yang sumber biayanya Jamkesmas. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi square tidak memenuhi syarat karena terdapat 5 sel (41,7%) yang memiliki expected count yang besarnya kurang dari 5.
Tabel 18.
No
Proporsi Sumber Pembiayaan Penderita PJK Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012
Lama Rawatan Rata-rata Penderita PJK Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang yang Dirawat Inap di RSUD Tanjung Pura Tahun 2011-2012 Keadaan Lama Rawatan Rata-Rata Sewaktu f Mean SD Pulang PBJ 55 4,02 2,361 PAPS 30 3,80 3,347 Meninggal 8 5,00 7,231 Dirujuk 16 2,38 1,628
Berdasarkan tabel 18 dapat dilihat bahwa dari 109 penderita PJK terdapat 55 penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit Pulang Berobat Jalan (PBJ) dengan lama rawatan rata-rata 4,02 hari (5 hari), 30 penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) dengan lama rawatan rata-rata 3,80 hari (4 hari), 8 penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit pulang meninggal dengan lama rawatan rata-rata 5 hari, 16 penderita yang menjalani rawat inap di rumah sakit dirujuk ke rumah sakit lain dengan lama rawatan ratarata 2,38 hari (3 hari). Berdasarkan uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai p (0,029) < 0,05. Hal ini berarti ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Dapat dilihat dari gambar bahwa lama rawatan rata-rata pada keadaan sewaktu pulang meninggal lebih lama yakni 5 hari disebabkan penderita seharusnya dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap untuk
Kesimpulan dan Saran 9
o. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan kadar gula darah. (p=0,608) p. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan kadar kolesterol total. (p=0,468) q. Ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang. (p=0,029)
1. Kesimpulan a. Karakteristik penderita PJK berdasarkan sosiodemografi dengan proporsi tertinggi adalah umur > 60 tahun pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang masing-masing sebesar 22%, suku Jawa sebesar 74,3%, agama Islam sebesar 94,5%, pekerjaan Ibu Rumah Tangga sebesar 49,5%, status perkawinan kawin sebesar 88,1%, dan tempat tinggal berada di luar Tanjung pura sebesar 61,5%. b. Proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan keluhan utama adalah nyeri dada sebesar 77,1 %. c. Proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan tekanan darah adalah Hipertensi sebesar 89%. d. Proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan kadar gula darah adalah kadar gula darah tinggi sebesar 65,1, e. Proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan kadar kolesterol total adalah kadar kolesterol total tinggi sebesar 72,5%. f. Lama rawatan rata-rata penderita PJK adalah 3,79 hari. g. Proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan sumber biaya adalah Jamkesmas sebesar 64,2%. h. Proporsi tertinggi penderita PJK berdasarkan keadaan sewaktu pulang adalah pulang berobat jalan (PBJ) sebesar 50,5%. CFR penderita PJK sebesar 7,3%. i. Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan tekanan darah. (p=0,002) j. Ada perbedaan yang bermakna antara proporsi umur berdasarkan kadar gula darah. (p=0,015) k. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara umur berdasarkan kadar kolesterol total. (p=0,068) l. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata penderita PJK berdasarkan umur. (p=0,199) m. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber pembiayaan. (p=0,303) n. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan tekanan darah. (p= 0,093)
2. Saran a. Pihak rumah sakit sebaiknya memberikan informasi kepada pasien PJK tentang faktor risiko PJK, dan menyarankan untuk rutin medical check up sehingga keadaan penderita setelah pulang dari rumah sakit dapat terkontrol. b. Diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk segera merujuk pasien apabila sudah tidak dapat ditangani lagi. c. Pada penderita Hipertensi dan Diabetes Mellitus diharapkan agar teratur dalam minum obat, dan menghindari makanan yang dapat meningkatkan tekanan darah dan kadar gula darah. Daftar Pustaka 1. Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Cetakan kedua. Jakarta: Rineka Cipta 2. Kandum, I Nyoman. 2006. Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Bandung : Departemen Kesehatan 3. WHO. 2011. Cardiovascular Disease. http://www.who.int/cardiovascul ar _diseases/resources/atlas/en/. diakses tanggal 21 Februari 2013. 4. WHO. 2011. Coronary Heart Disease. http://www.who.int/ cardiovascular_diseases/en/cvd_ atlas_13_coronaryHD.pdf. Diakses tanggal 21 Februari 2013. 5. Joewono. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University press 10
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
WHO.2012.Cardiovascular Diseases (CVDs) . http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs317/en/ index.html. Diakses tanggal 14 Maret 2013. Rogers, Abby. 2011. The Top 10 Causes Of Death In The United States. http://www.businessinsider.com/ top-causes-of-death-unitedstates-201111?op=1#ixzz2NTZCwxV2. Diakses tanggal 14 Maret 2013 The British Heart Foundation. 2012. Coronary Heart Disease Statistics in England 2012. http://www.bhf.org.uk/plugins/P ublications SearchResults/idoc.ashx?ocid=e 3b705eb-ceb3-42e2-937d45ec48f6a 797&version=-1. Diakses tanggal 21 februari 2013 Depkes RI . 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2008. http://www.depkes. go.id/downloads/publikasi/Profil %20Kesehatan%20Indonesia%2 02008.pdf. Diakses tanggal 14 maret 2013 Dinkes Jawa Tengah. 2006. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2004.http://www.dinkesjatengpr ov.go.id/dokumen/profil/profile2 004/ bab4.htm. Diakses tanggal 14 Maret 2013 Sangkot,H.S. 2010. Mortalitas dan Morbiditas Pada Pasien Elektif Dalam Daftar Tunggu Operasi Bedah Pintas Koroner Di RS. Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita Tahun 2010. http://www.google.co.id/. Diakses tanggal 16 Mei 2013. Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta Gowan dan Mary P. 2001. Menjaga Kebugaran Jantung. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
14.
15.
16.
17.
18.
19.
11
BPS Langkat. 2009. Penduduk dan Tenaga Kerja. http://www.langkatkab.go.id/upl oad/pdf/LDA2010/LDA_2010_ BAB%20III%20PENDUDUK% 20DAN%20TENAGA%20KER JA_16.pdf. Diakses tanggal 13 Agustus 2013. Ruhyanuddin, F. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Edisi kedua. Malang : UMM Press Soeharto, I. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung; Pencegahan, Penyembuhan, Rehabilitasi. Edisi Kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Price, Sylvia Anderson dan Lorraine M Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC Supriyono, Mamat. 2008. FaktorFaktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Kelompok Usia < 45 tahun. http://eprints.undip. ac.id/18090/1/MAMAT_SUPRI YONO.pdf. Diakses tanggal 25 Maret 2013. Wicaksono, R.P, 2011. FaktorFaktor yang berhubungan dengan kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2. http://eprints.undip.ac.id/37104/ 1/Radio_P.W.pdf. Diakses tanggal 15 Oktober 2013
KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) YANG DIRAWAT INAP DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Panamotan Sidabutar1, Rasmaliah2, Hiswani2 1
2
Mahasiswa Peminatan Epidemiologi FKM USU Staf Pengajar Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 USU Medan, 20155
Abstract Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease characterized by continuous and progressive airflow resistance and is usually associated with increased chronic inflammatory response to noxious particles and gases in the respiratory tract. The high proportion of smokers in Indonesia is 65.9% of the male population aged and 4.2% of women above 15 years old and the use of cigarettes are too early to describe COPD. To determine the characteristics of patients with COPD who are hospitalized in H. Adam Malik Hospital Medan, conducted research by using a case series design. Population and the samples were 110 patients in 2012, were recorded in hospital medical records. Univariate data was analyzed descriptively while bivariate data was analyzed by using Chi-square test, Mann-Whitney and Kruskal Wallis with 95% CI. Based on socio-demographic, the highest proportions were in the age group ≥ 60 years (64.5%), male gender (86.5%), 56.4% Protestant religion, level of education high school / equivalent (61.8%), retired job (36.4%), and the outsider of Medan city (67.3%). Highest proportion based on the medical conditions were shortness of breath (100%), mild severity stage (50%), the last type of disease and hypertension pulmonary TB (28.4%), exacerbation of complications (63.1%), and history of smoking (70, 9%). The length Maintainability was on average 7.44 days, it was not their own cost but it was cost source (84.5%), while the condition by outpatient treatment (77.3%). There is a significant difference between the cost of a long treatment with source (p = 0.001) and the condition after going out of being hospitalized (p = 0.001). There is no significant difference between smoking history based on complications and duration of treatment based on complications. The hospital are expected to complete the registration card status and continuing education programs for the patients and the families of patients, and to the patients are expected to reduce exposure to COPD risk factors. Keywords: COPD, patient characteristics Pendahuluan Pada awalnya Penyakit Tidak Menular (PTM) ini hanya menyerang usia lanjut sehingga disebut juga penyakit degeneratif. Akan tetapi saat ini sudah banyak menyerang usia produktif. Berdasarkan laporan Badan
Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2010 angka mortalitas tinggi karena PTM, diantaranya penyakit jantung koroner 48%, kanker 21%, penyakit pernapasan kronis 12%, dan diabetes 3%. Pada tahun 2008 proporsi kematian karena PTM di Indonesia 63% dan
7% diantaranya disebabkan penyakit respirasi kronik.(1) Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang terus menerus dan bersifat progresif dan biasanya berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronis terhadap partikel dan gas berbahaya pada saluran udara napas. Pada tahun 2002 jumlah penderita PPOK sedang hingga berat di negara – negara Asia Pasifik memiliki angka prevalens 6,3%. Angka prevalens bagi masing-masing negara berkisar 3,5-6,7%. Negara dengan prevalensi terkecil adalah Hongkong dan Singapura 3,5%, sedangkan negara dengan prevalensi terbesar adalah Vietnam 6,7%. Indonesia memiliki angka prevalens 5,6%.(2) Pada tahun 2008 Amerika memiliki angka prevalens bronkitis 4,3% dan prevalens emfisema 1,68%.(3) PPOK menjadi salah satu penyakit dengan angka morbiditas yang tinggi di Selandia Baru pada tahun 2012 dengan proporsi 14% penduduk usia 40 tahun ke atas dan pada tahun berikutnya diperkirakan akan mengalami kenaikan.(4)
di Indonesia. Sebanyak 10% penduduk usia 40 tahun keatas menderita PPOK.(8) Berdasarkan penelitian Manik (2004) di RS Haji Medan pada tahun 2000–2002 terdapat sebanyak 132 orang penderita PPOK dengan proporsi penderita laki-laki sebanyak 100 orang (75,8%) dan 32 orang (24,2%) berjenis kelamin perempuan dengan Case Fatality Rate (CFR) 10,61%.(9) Berdasarkan penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang terdapat 58 orang penderita pada tahun 2007 dan terjadi peningkatan jumlah kasus pada tahun 2008 sebanyak 81 orang. Dari 139 kasus proporsi penderita laki-laki sebanyak 100 orang (72%)dan 39 orang (28%) penderita perempuan.(10) Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan diperoleh data penderita PPOK sebanyak 110 kasus selama periode Januari–Desember 2012.
Tingginya proporsi perokok di Indonesia yaitu 65,9% dari penduduk laki-laki berusia 15 tahun keatas dan 4,2% wanita berusia 15 tahun keatas serta pemakaian rokok yang terlalu dini dapat menggambarkan PTM yang disebabkan rokok, salah satunya PPOK.(5) Namun tidak ada data nasional yang menjelaskan prevalensi penderita PPOK di Indonesia. Pada tahun 2000 di RS Persahabatan Jakarta PPOK menduduki peringkat ke-5 dari seluruh penderita yang dirawat jalan dan peringkat ke-4 dari seluruh penderita yang dirawat. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan jumlah penderita 3 kali lebih besar dari tahun 2000.(6) Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukkan PPOK berada di urutan pertama dengan proporsi 35%, diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).(7) Pada tahun 2010 Dinas Kesehatan Yogyakarta menyatakan PPOK menduduki peringkat ke-4 penyebab kematian
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita PPOK di RSUP HAM Medan tahun 2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui distribusi proporsi penderita berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal). b. Mengetahui distribusi proporsi penderita PPOK berdasarkan keadaan medis (keluhan, tingkat keparahan, jenis penyakit sebelumnya, jenis komplikasi, dan riwayat merokok). c. Mengetahui lama rawatan rata-rata penderita PPOK. d. Mengetahui distribusi proporsi penderita PPOK berdasarkan sumber pembiayaan. e. Mengetahui distribusi proporsi penderita PPOK berdasarkan keadaan sewaktu pulang. f. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin penderita PPOK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya.
Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik penderita PPOK di RSUP HAM Medan tahun 2012.
g.
Mengetahui distribusi proporsi pekerjaan penderita PPOK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya. h. Mengetahui distribusi proporsi komplikasi penderita PPOK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya. i. Mengetahui distribusi proporsi riwayat merokok penderita PPOK berdasarkan komplikasi. j. Mengetahui distribusi proporsi lama rawatan penderita PPOK berdasarkan komplikasi. k. Mengetahui distribusi proporsi lama rawatan penderita PPOK berdasarkan sumber biaya. l. Mengetahui distribusi lama rawatan penderita PPOK berdasarkan keadaan sewaktu pulang. m. Mengetahui distribusi kejadian komplikasi penderita PPOK berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: a. Dapat digunakan sebagai informasi atau masukan dalam meningkatkan pelayanan khususnya pada program perencanaan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan PPOK di RSUP HAM Medan. b. Dapat digunakan sebagai sumber informasi atau referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan penulis di FKM USU Medan. c. Sebagai sarana meningkatkan wawasan dan pengetahuan penulis mengenai PPOK dan sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU Medan. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP. Adam Malik Medan dilakukan pada bulan Februari – Oktober 2013 Populasi penelitian ini adalah semua data penderita PPOK rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2012 sebanyak 110 penderita. Populasi merupakan sampel (total sampling).
Data dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang tercatat pada kartu status penderita PPOK rawat inap yang berasal dari rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012. Cara pengumpulan data adalah dengan mencatat semua variabel yang akan diteliti kemudian dilakukan tabulasi data. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dengan chi-square, Mann-whitney, dan Kruskal Wallis. Hasil dan Pembahasan Deskriptif Distribusi proporsi umur dan jenis kelamin penderita PPOK di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1.
Umur (Tahun) < 40 40 − 49 50 – 59 ≥ 60 Total
Distribusi Proporsi Penderita PPOK berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Pria Wanita f % f % 2 1,8 0 0 2 1,8 0 0 20 18,3 2 1,8 71 64,5 13 11,8 95 86,4 15 13,6
Jumlah f 2 2 22 84 110
% 1,8 1,8 20,1 76,4 100
Mengacu pada tabel 1 dapat dilihat bahwa dari 110 penderita PPOK, sebesar 86,4% (95 orang) berjenis kelamin laki-laki dan 13,6% (15 orang) berjenis kelamin perempuan dengan sex ratio 635%. Proporsi kelompok umur tertinggi pada jenis kelamin laki-laki adalah ≥ 60 tahun sebesar 64,5% (71 orang) dan terendah pada kelompok umur< 40 tahun dan 40−49 tahun masing-masing sebesar 1,8%. Sementara itu proporsi tertinggi pada jenis kelamin perempuan terbanyak pada kelompok umur yang sama sebesar 11,8% dan tidak ada penderita pada kelompok umur < 40 tahun dan 40−49 tahun. PPOK merupakan penyakit yang muncul setelah terpapar dalam waktu yang lama dengan bahan-bahan iritan. Gejala PPOK lebih sering muncul pada usia di atas 50 tahun.(11) Pada usia di atas 60 tahun juga daya tahan tubuh akan semakin menurun.
Sex ratio penderita PPOK sebesar 635% artinya proporsi penderita laki-laki lebih tinggi dibanding penderita perempuan. Hal ini dikaitkan dengan kebiasaan merokok yang lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2009 diperoleh prevalensi perokok lakilaki di atas 15 tahun sebanyak 65,9%. Hal ini sangat berbeda jauh dengan prevalensi perokok perempuan yaitu 4,2%.(5) Distribusi proporsi berdasarkan sosiodemografi penderita PPOK di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2.
Distribusi Proporsi Sosiodemografi Penderita PPOK di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012 Jumlah Karakteristik f (%) 1. Agama Islam 39 35,4 Protestan 62 56,4 Katolik 9 8,2 Total 110 100,0 Pendidikan Tidak sekolah 4 3,6 SD/Sederajat 13 11,8 SMP/Sederajat 17 15,5 SMA/Sederajat 68 61,8 Akademi/PT 8 7,3 Total 110 100,0 2. Pekerjaan Pegawai Negeri 12 10,9 Pegawai Swasta 2 1,8 Pensiunan 40 36,4 Petani/Pekerja Lepas 15 13,6 Wiraswasta 27 24,5 Ibu Rumah Tangga 10 9,1 Tidak Bekerja 4 3,6 Total 110 100,0 3. Tempat Tinggal Medan 36 32,7 Luar Kota Medan 74 67,3 Total 110 100,0
Proporsi penderita berdasarkan agama, penderita terbanyak adalah beragama Protestan yaitu 56,4% (62 orang), kemudian agama Islam yaitu 35,5% (39 orang), dan terendah adalah agama Katolik sebesar 8,2% (9 orang). Berdasarkan tingkat pendidikan, terbanyak adalah tamat SMA/sederajat yaitu 61,8% (68 orang), diikuti tamat SMP/sederajat sebesar
15,5%, tamat SD/sederajat sebesar 11,8%, Akademi/PT sebesar 7,3%,dan terendah adalah tidak sekolah/tidak tamat SD sebesar 3,6%. Dalam hal ini bukan berarti agama, pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal memiliki keterkaitan dengan kejadian PPOK tetapi hanya menunjukkan jumlah kunjungan mayoritas penderita PPOK di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012. Pendidikan berkaitan dengan penderita PPOK yang berobat ke RSUP HAM Medan lebih tinggi berpendidikan SMA/Sederajat. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi juga kesadaran untuk mencegah faktor risiko dari PPOK masih kurang. PPOK merupakan penyakit yang bersifat progresif, artinya semakin lama akan semakin memburuk dan sifatnya ireversibel.(11) Kemungkinan penderita sudah menderita PPOK semasa bekerja. Namun karena gejalanya masih ringan penderita masih berobat di rumah sakit daerah. Hal ini juga dikaitkan dengan RSUP HAM Medan merupakan rumah sakit rujukan dan menerima pengguna jaminan kesehatan askes. Sehingga penderita yang memiliki kartu askes langsung dirujuk ke RSUP HAM Medan. Banyaknya penderita yang berasal dari luar Kota Medan disebabkan RSUP HAM Medan merupakan rumah sakit rujukan dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) setiap kabupaten di Sumatera Utara dan beberapa provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau. Selain itu juga kemungkinan disebabkan tersedianya pelayanan kesehatan lain di wilayah Kota Medan sehingga perilaku pengobatan masyarakat Kota Medan bervariasi. Tabel 3.
Distribusi Proporsi Keluhan Berdasarkan Penderita PPOK di RSUP HAM Medan Tahun 2012
Keluhan (n=110) Sesak napas Batuk Produksi sputum Lain-lain Mengi
f 110 97 87 87 47
% 100,0 88,2 79,1 79,1 42,7
Proporsi keluhan tertinggi yang dialami penderita yaitu sesak napas (100%), kemudian disusul batuk (88,2%), produksi sputum dan lain-lain (79,1%), dan keluhan yang paling sedikit adalah mengi (napas berbunyi) sebanyak 47 orang (42,7%). Sesak napas merupakan keluhan utama penderita PPOK. Terjadinya penyempitan aliran napas menyulitkan penderita untuk bernapas. Batuk terjadi karena adanya peningkatan reaktivitas terhadap sel-sel yang sudah mati yang akan dikeluarkan dan meningkatnya produksi sputum. Gejala lain juga akan menyertai gejala ini, akan tetapi gejala yang paling sering muncul adalah sesak napas dan batuk.(12) Distribusi proporsi penderita PPOK berdasarkan tingkat keparahan di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.
Distribusi Proporsi Penderita Berdasarkan Tingkat Keparahan
Tingkat Keparahan Tidak Tercatat Tercatat Jumlah Tercatat Ringan Sedang Berat Sangat Berat Jumlah
f 82 28 110 f 14 7 4 3 28
% 25,5 74,5 100,0 % 50,0 25,0 14,3 10,7 100,0
Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa dari 28 data tingkat keparahan yang tercatat sebanyak 14 orang (50%) berada pada stadium ringan, dan terendah pada stadium sangat berat yaitu 3 orang (10,7%). Pada stadium ringan gejala sudah ada namun muncul pada aktivitas sedang. Pada saat penderita sudah mengalami gejala PPOK, mereka sudah memeriksakan diri ke rumah sakit. Hal ini berkaitan dengan pekerjaan penderita yang kebanyakan adalah pensiunan. Tingkat pengetahuan dan kesadaran untuk memeriksakan diri sudah lebih baik. Data tingkat keparahan yang tersedia hanya 28
penderita sehingga tidak mewakili keseluruhan data. Distribusi proporsi penderita PPOK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.
Distribusi Proporsi Penderita PPOK Berdasarkan Riwayat Penyakit Sebelumnya di RSUP HAM Medan Tahun 2012
Riwayat Penyakit Sebelumnya Tercatat Tidak Tercatat Jumlah Tercatat TB Paru Hipertensi Bronkitis kronis Asma bronkial Lebih dari satu penyakit Jumlah
f
%
67 60,9 43 39,1 110 100,0 f % 19 28,4 19 28,4 14 20,9 9 13,4 6 9,0 67 100,0
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa dari 67 data penyakit sebelumnya yang tercatat, penyakit sebelumnya yang terbanyak adalah TB Paru dan Hipertensi sebanyak 19 orang (28,4%), dan yang terendah adalah lebih dari satu penyakit yaitu 6 orang (9,0%). Penderita yang pernah mengalami TB Paru akan mengalami penurunan fungsi faal paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada orang yang memiliki paru yang normal sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK.(13) Hipertensi merupakan penyakit penyerta. Bahan alergen yang masuk ke dalam sistem pernapasan penderita asma bronkial akan merangsang pembentukan IgE. Ikatan antara IgE dengan antigen dan sel mast akan menyebabkan degranulasi sel mast sehingga keluarlah mediator. Mediator tersebut akan memproduksi elastase, dan merangsang pembentukan prostaglandin, tromboksan, lekotriena, dan anion superoksida. Hal ini menunjukkan keseimbangan protease dan antiprotease akan terganggu. Apabila hal ini
terjadi maka akan terjadi destruksi jaringan paru.(12) Distribusi proporsi penderita berdasarkan jenis komplikasi di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 6.
Distribusi Proporsi Penderita Berdasarkan Jenis Komplikasi di RSUP HAM Medan Tahun 2012 Komplikasi f % Ada komplikasi 65 59,1 Tidak ada komplikasi 45 40,9 Jumlah 110 100,0 Eksaserbasi 41 63,1 Kor Pulmonal 18 27,7 Lain-lain 6 9,2 Jumlah 65 100,0
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa dari 110 penderita terdapat 59,1% (65 orang) yang mengalami komplikasi. Proporsi komplikasi tertinggi adalah eksaserbasi yaitu 63,1% (41 orang). Eksaserbasi merupakan peningkatan respon inflamasi pada saluran pernapasan oleh bahan-bahan iritan dan zat kimia. Hal ini juga dipicu oleh adanya infeksi bakteri atau virus.13 Terdapatnya sputum yang purulen pada saluran pernapasan penderita menjadi tempat berkoloni bakteri maupun virus sehingga lama-kelamaan akan menyebabkan infeksi pada jalan napas. Distribusi proporsi penderita PPOK berdasarkan riwayat merokok di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 7.
Distribusi Proporsi Penderita PPOK Berdasarkan Riwayat Merokok di RSUP HAM Medan Tahun 2012
Riwayat Merokok
f
%
Merokok/pernah merokok Tidak merokok Jumlah
78 32 110
70,9 29,1 100,0
Lama Merokok Tercatat Tidak Tercatat
f 58 20
% 74,4 25,6
Jumlah
78
100
Lama Merokok Tercatat (tahun) 1-10 11-20 21-30 >30 Jumlah
f
%
1 8 13 36 58
1,7 13,8 22,4 62,1 100,0
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa sebesar 70,9% (78 orang) merupakan perokok aktif maupun pernah merokok sebelumnya tetapi sudah berhenti. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat dari 58 data lama merokok yang tercatat, proporsi lama merokok tertinggi yaitu diatas 30 tahun sebanyak 62,1% dan terendah yaitu 1-10 tahun sebesar 1,7%. Zat-zat yang terkandung di dalam rokok merupakan bahan iritan sehingga menyebabkan peradangan pada aliran napas maupun alveoli. Hal ini juga berkaitan dengan jumlah rokok yang dikonsumsi dan lama merokok. Semakin banyak rokok yang dikonsumsi dan semakin lama penderita merokok maka akan semakin berisiko untuk menderita PPOK.(11) Hal ini juga kemungkinan berkaitan dengan faktor usia harapan hidup, mengingat penderita yang memiliki riwayat mengonsumsi rokok lebih tinggi pada usia di atas 50 tahun. Lama rawatan rata-rata penderita PPOK di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 8.
Lama Rawatan Rata-Rata di RSUP HAM Medan Tahun 2012
Lama Rawatan Rata-rata (hari) Mean 7,44 Standar Deviasi (SD) 4,605 95% Confidence Interval 6,57-8,31 Nilai Maksimum 23 Nilai Minimum 2 Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat lama rawatan rata-rata penderita adalah 7,44 hari (7 hari) dengan Standard Deviasi (SD) 4,605. Lama rawatan paling singkat adalah 2
hari dan lama rawatan paling lama adalah 23 hari. Dari Confidence Interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini lama rawatan rata-rata penderita PPOK adalah 6,57 − 8,31 hari. Karakteristik penderita dengan lama rawatan paling lama adalah laki-laki berusia 53 tahun, bekerja sebagai petani dan tinggal di luar Kota Medan. Sumber biaya penderita yaitu askes. Keluhan yang dirasakan adalah sesak napas, batuk, napas berbunyi (mengi), nyeri dada, dan menghasilkan sputum. Penderita memiliki riwayat merokok selama 35 tahun sebanyak 30 batang per hari, memiliki riwayat penyakit TB Paru, dengan stadium berat. Penderita mengalami PPOK eksaserbasi dan pulang dengan berobat jalan. Proporsi penderita PPOK berdasarkan sumber biaya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 9
Distribusi Proporsi Penderita Berdasarkan Sumber Biaya di RSUP HAM Medan Tahun 2012
Sumber Pembiayaan Bukan Biaya Sendiri Biaya Sendiri Jumlah Bukan Biaya Sendiri Askes SKTM JPKMS Jamkesmas PT.KAI JKA Jumlah
f 93 17 110 f 66 13 6 5 2 1 93
% 84,5 15,5 100,0 % 70,9 14,0 6,4 5,4 2,2 1,1 100,0
Proporsi penderita berdasarkan sumber pembiayaan lebih tinggi yang menggunakan bukan biaya sendiri yaitu 84,5% (93 orang) dibandingkan dengan menggunakan biaya sendiri yaitu 17 orang (15,5%). Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa proporsi terbanyak yaitu pengguna Askes sebanyak 66 orang (70,9%) dan terendah yaitu menggunakan JKA (Jaminan Kesehatan Aceh) yaitu 1,1% (1 orang). sakit
RSUP HAM Medan merupakan rumah yang menerima layanan jaminan
kesehatan pemerintah. Sehingga penderita yang memiliki kartu jaminan kesehatan lebih memilih berobat ke RSUP HAM Medan untuk mengurangi biaya. Distribusi penderita PPOK berdasarkan keadaan sewaktu pulang di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10
Distribusi Proporsi Penderita Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP HAM Medan Tahun 2012 Keadaan Sewaktu f % Pulang PBJ 85 77,3 PAPS 13 11,8 Meninggal Dunia 12 10,9 Jumlah
110
100,0
Proporsi penderita PPOK berdasarkan keadaan sewaktu pulang terbanyak adalah pulang berobat jalan sebesar 77,3% (85 orang), kemudian pulang atas permintaan sendiri sebesar 11,8% (13 orang), dan meninggal 10,9% (12 orang). Penderita yang diperbolehkan untuk dirawat jalan adalah penderita yang sudah memungkinkan untuk dirawat di rumah, akan tetapi harus melakukan kontrol kembali ke rumah sakit. Penderita yang pulang atas permintaan sendiri yaitu penderita dengan alasan tidak ada yang menjaga di rumah sakit dan penderita yang memilih untuk dirawat di pelayanan kesehatan lain. Case Fatality Rate (CFR) penderita PPOK di RSUP HAM Medan sebesar 10,9%. Penderita yang meninggal adalah penderita yang datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan stadium berat, tidak sadarkan diri dan mengalami komplikasi kor pulmonal. Analisa Statistik Distribusi proporsi jenis kelamin penderita PPOK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 11. Distribusi Jenis Kelamin Penderita PPOK Berdasarkan Riwayat Penyakit Sebelumnya di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012 Riwayat Penyakit Sebelumnya
Jenis Kelamin Laki-laki Peremp uan f % f %
Jumlah
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa proporsi penyakit bronkitis kronis dan asma bronkial tertinggi pada penderita yang tidak bekerja. Sementara itu, penyakit TB Paru, hipertensi, dan lebih dari satu penyakit tertinggi pada penderita yang bekerja.
f
%
14 9 19 19 6
100 100 100 100 100
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi square 4 sel (40%) yang nilai harapannya kurang dari 5 sehingga uji ini tidak dapat digunakan.
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa semua jenis penyakit sebelumnya tertinggi pada jenis kelamin laki-laki. Sementara itu, penderita yang mengalami jenis penyakit sebelumnya yang lebih dari satu hanya ada pada laki-laki.
Riwayat penyakit sebelumnya bisa terjadi ketika penderita masih berstatus bekerja. Akan tetapi menderita PPOK setelah tidak bekerja. Penyakit ini bisa menjadi PPOK dalam jangka waktu yang lama dan disebabkan terjadinya infeksi yang berulangulang.
Kejadian penyakit sebelumnya bisa terjadi karena paparan dengan faktor risiko seperti rokok, bahan kimia, dan bahan alergen. Lakilaki lebih sering terpapar terhadap faktor risiko tersebut.
Distribusi proporsi komplikasi penderita PPOK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Bronkitis Kronis Asma Bronkhial TB Paru Hipertensi Lebih dari satu penyakit
8 7 18 16 6
57,1 77,8 94,7 84,2 100,0
6 2 1 3 0
42,9 22,2 5,3 15,8 0
Tabel 13.
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi square terdapat 6 sel (60%) yang nilai harapannya kurang dari 5 sehingga uji ini tidak dapat digunakan. Distribusi proporsi pekerjaan penderita PPOK berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 12. Distribusi Pekerjaan Penderita PPOK Berdasarkan Riwayat Penyakit Sebelumnya di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012 Riwayat Penyakit Sebelumnya Bronkitis Kronis Asma Bronkhial TB Paru Hipertensi Lebih dari satu penyakit
Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja f % f % 4 3 13 10 4
28,6 33,3 68,4 52,6 66,7
10 6 6 9 2
71,4 66,7 31,6 42,4 33,3
Jumlah
f
%
14 9 19 19 6
100 100 100 100 100
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Bronkitis Kronis Asma Bronkhial TB Paru Hipertensi Lebih dari satu penyakit
Distribusi Komplikasi Penderita PPOK Berdasarkan Riwayat Penyakit Sebelumnya di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012 Komplikasi Ada Tidak Komplikasi ada komplik asi f % f % 8 5 13 11 4
57,1 55,6 68,4 57,9 66,7
6 4 6 8 2
42,6 44,4 31,6 42,1 33,3
Jumlah
f
%
14 9 19 19 6
100 100 100 100 100
Berdasarkan Tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa proporsi penderita yang mengalami komplikasi pada semua jenis penyakit sebelumnya lebih tinggi disbanding-kan dengan yang tidak mengalami komplikasi. Berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi square terdapat
3 sel (30%) yang nilai harapannya kurang dari 5 sehingga uji ini tidak dapat digunakan. Proporsi TB Paru lebih tinggi terkena komplikasi. Hal ini dikaitkan dengan fungsi faal paru yang semakin menurun ketika terjadi penyakit sebelumnya. Sehingga memudahkan untuk terjadi komplikasi.16 Adanya infeksi bakteri pada saluran pernapasan akan membentuk antibodi, antiprotease, fagositosis, dan proteolisis yang selanjutnya akan terjadi komplikasi yang serius. Proses proteolisis pada saat daya tahan tubuh menurun atau kadar inhibitor protease yang rendah akan mempercepat perusakan jaringan.17 Distribusi proporsi riwayat merokok penderita PPOK berdasarkan komplikasi di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.14 Distribusi Riwayat Merokok Penderita PPOK berdasarkan Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012 Komplikasi
Riwayat merokok Jumlah
Ada Komplikasi Tidak Ada Komplikasi
Merokok/ bekas merokok f % 49 75,4 29 64,4
Tidak merokok f 16 16
% 24,6 35,6
f 65 45
% 100 100
Berdasarkan tabel 4.14 di atas dapat dilihat bahwa proporsi penderita yang mengalami komplikasi lebih tinggi pada perokok maupun yang pernah merokok yaitu 49 orang (75,4%) dibanding yang tidak merokok yaitu 16 orang (24,6%). Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai (p=0,214)>0,05 artinya tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna riwayat merokok berdasarkan komplikasi. Kandungan zat yang terdapat di dalam rokok merupakan bahan iritan terhadap paru sehingga memudahkan untuk terkena komplikasi.(11)
Distribusi proporsi lama rawatan ratarata penderita PPOK berdasarkan komplikasi di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 15.
Distribusi Lama Rawatan Ratarata Penderita PPOK berdasarkan Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012
Komplikasi Ada komplikasi Tidak ada komplikasi
Lama Rawatan Rata-rata f Mean SD 65 7,82 4,96 45 6,89 4,01
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata penderita yang mengalami komplikasi adalah 7,82 hari dan lama rawatan rata-rata penderita yang tidak mengalami komplikasi yaitu 6,89 hari. Penderita yang mengalami komplikasi perlu mendapat perawatan yang lebih lama untuk memulihkan komplikasi yang dialami penderita. Berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p>0,05 (p=0,454)artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata dengan komplikasi. Distribusi proporsi lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya penderita PPOK di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah berkut ini: Tabel 16.
Distribusi Lama Rawatan Rata-rata Penderita PPOK berdasarkan Sumber Biaya di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012
Sumber Biaya Biaya Sendiri Bukan Biaya Sendiri
Lama Rawatan Rata-rata f Mean SD 17 93
4,59 7,96
3,483 4,608
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa lama rawatan rata-rata yang menggunakan biaya sendiri adalah 4,59 hari, dan lama rawatan rata-rata penderita yang menggunakan bukan biaya sendiri adalah 7,96 hari (8 hari).
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p<0,05 (0,001) artinya ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya. Pengobatan PPOK membutuhkan biaya yang besar sehingga penderita yang menggunakan biaya sendiri akan pulang apabila sudah memungkinkan untuk pulang walaupun tidak sepenuhnya pulih.
b.
Distribusi proporsi kejadian komplikasi penderita PPOK berdasarkan keadaan sewaktu pulang di RSUP HAM Medan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut.
c. d.
Tabel 17.
e.
Distribusi Komplikasi Penderita PPOK Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012
Keadaan Sewaktu Pulang
PBJ PAPS Meninggal Dunia
Kejadian Komplikasi Ada komplikasi
f 45 8 12
% 52,9 61,5 100,0
Tidak Ada Komplika si f % 40 47,1 5 38,5 0 0
Jumlah
f. f 85 13 12
% 100 100 100
Berdasarkan Tabel 17 di atas dapat dilihat bahwa dari 85 penderita yang pulang dengan berobat jalan terdapat 45 penderita (52,9%) mengalami komplikasi, dari 13 penderita dengan pulang atas permintaan sendiri 8 orang diantaranya mengalami komplikasi, dan penderita yang meninggal seluruhnya adalah penderita yang mengalami komplikasi. Berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi square diperoleh nilai p = 0,008 artinya ada perbedaan yang bermakna antara komplikasi dengan keadaan sewaktu pulang. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a.
Berdasarkan karakteristik sosiodemografi diperoleh bahwa proporsi penderita PPOK yang dirawat inap di RSUP HAM Medan tertinggi yaitu pada kelompok
g.
h.
i.
umur ≥ 60 tahun sebesar 64,5%, jenis kelamin laki-laki 86,5%, agama Protestan 56,4%, pendidikan tamat SMA/sederajat 61,8%, pekerjaan pensiunan 36,4%, dan tempat tinggal di luar kota Medan 67,3%. Berdasarkan keadaan medis, keluhan tertinggi adalah sesak napas dengan proporsi 100%, stadium ringan 50%, riwayat penyakit terdahulu TB Paru dan Hipertensi masing-masing 28,4%, komplikasi eksaserbasi 63,1%, dan riwayat penderita yang merokok 70,9%. Lama rawatan rata-rata adalah 7,44 hari. Proporsi penderita berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi adalah pulang berobat jalan yaitu 77,3%. Uji Chi Square tidak dapat dilakukan untuk melihat perbedaan jenis kelamin, pekerjaan, komplikasi berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya, riwayat merokok berdasarkan keadaan sewaktu pulang. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara riwayat merokok berdasarkan komplikasi (p=0,214). Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan berdasarkan komplikasi (p=0,454) Ada perbedaan yang bermakna antara lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya (p=0,001). Ada perbedaan yang bermakna antara kejadian komplikasi berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p=0,008)
2. Saran a. Diharapkan kepada pihak RSUP HAM Medan untuk melengkapi pencatatan kartu status seperti tingkat keparahan, lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi, dan jenis penyakit sebelumnya sehingga memudahkan analisis data. b. Diharapkan kepada pihak RSUP HAM Medan untuk melanjutkan program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) secara berkala dan penyakit yang lebih spesifik khususnya PPOK untuk memaparkan penanganan dini dan pencegahan kepada keluarga penderita.
c.
Diharapkan kepada penderita yang masih merokok untuk tidak merokok sehingga memperlambat progresivitas PPOK dan penderita yang masih terpapar dengan bahan allergen agar mengurangi paparan.
Daftar Pustaka 1. WHO.2011. noncommunicable Diseases Country Profile 2010. 2. Regional COPD Working Group. COPD prevalence in 12 Asia-Pasific countries and regions: projec-tions based on the COPD prevalence estimation model. Respirology 2003;8:192-8. 3. Advisory comitte. 2011. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Guidelines and protocols. 4. WHO.2013.World COPD Day in Your Country.http://www.goldcopd.or g/wcd in yourcountry.html? country_id=55&submit=Go. Diakses tanggal 2 Maret 2013. 5. DEPKES. 2010. Prevalensi perokok di Indonesia. Riskesdas 2010. 6. Wiyono HW. Penyakit paru obstruktif kronik. Tantangan dan peluang. Pidato Pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 28 Februari 2009. 7.Kemenkes RI 2008. Pedoman Pengendalian Paru Obstruktif Kronik Menteri Kesehatan RI 2008. Jakarta. 8.Simposium dan Workshop PPOK tanggal 11 April 2012. http://www.idi belitung.org Diakses tanggal 1 Maret 2013 9. Manik, Crysti. 2004. Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obs-truksi Kronik (PPOK) yang dirawat Inap di RS Haji tahun 2000 – 2002 . Skripsi, FKM USU.
10. Rahmatika, Anita. 2009. Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang dirawat Inap di RSUD Aceh Tamiang Tahun 2007- 2008. Skripsi, FKM USU. 11.Djojodibroto, R Darmanto. 2009. Respirologi ( Respiratory Medicine). Jakarta: EGC 12. Amin, Muhammad. 1996. Penyakit Paru Obstruksi Menahun Polusi Udara, rokok, dan alfa-1antitripsin. Surabaya: Airlangga University Press. 13. Barnett, Margaret. 2006. Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Primary Care. Chichester: John Wiley & Sons, Ltd.
UJI DAYA TERIMA DAN NILAI GIZI BROWNIES SINGKONG Acceptability Test and Nutrient Composition brownies cassava) Elvina Novyanti Pulungan1, Albiner Siagian², Ernawati Nasution² 1
Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ² Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT Cassava is one of the food ingredients to support food diversification program. For it is necessary to introduce processed cassava product to get new food alternatives. Brownies made with cassava flour and cassava flour can add additional types of brownies that have been there in the market. This study is an experiment that is making brownies using 100% cassava flour and cassava flour addition of 50%. Panelists in this study were student school of public health University of North Sumatra as thirty people. Acceptability test data obtained were analyzed descriptively and nutritional value of carbohydrates was deretmined by hydrolysis methode and phosphor was determined by AAS method (atomic absorption spectrofotometri) and the method was tested in the laboratorty standardization agency for industrial research and medan. the results showed that student receive the test public health University of North Sumatraagainst brownies. The addition of cassava flour is preferred by the addition of 50% brownies. The addition of cassava flour in making brownies giving increasing amountd of carbohydrat and phosphor on the brownies. The addition of cassava flour in making brownies with a variety of different influence evident on the assessment test acceptability in terms of taste, aroma and texture and nutrient content of the resulting brownies. But did not give a significatly different efect on the color brownies. Then it is recommended that the public can make brownies cassava as food alternatives because it contains carbohydrates and phosphorus necessary body. Keyword : Brownies, Cassava, Nutrient Composition, Acceptability Test PENDAHULUAN Indonesia merupakan daerah tropis yang kaya akan hasil sumber daya alam. Salah satu hasilnya adalah umbi-umbian seperti singkong. Seperti yang kita ketahui singkong merupakan salah satu sumber kalori pangan yang paling murah di Dunia. Tanaman ini dikonsumsi sebagai tanaman pokok oleh kira-kira 400 juta orang di daerah-daerah tropik yang lembab (Damardjati,1990). Singkong merupakan salah satu makanan yang kaya karbohidrat, selain itu terdapat kandungan gizi seperti protein, vitamin c, kalsium, posfor, kalori, lemak, zat besi dan vitamin B1. Dengan berbagai kandungan gizi yang terdapat pada singkong maka singkong baik dikonsumsi oleh masyarakat. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya serat dan
karbohidrat namun miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin ( Richana, dkk. 2012). Menurut badan pusat statistik produk singkong di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 24.044.025 ton (BPS). Tingginya produksi tanaman singkong ini sebanding dengan pemanfaatannya yang bisa dijadikan sebagai bahan makanan. Hampir semua bagian dari pohon singkong bisa dimanfaatkan mulai dari umbinya hingga daunnya. Umbi singkong biasanya hanya diambil dagingnya saja untuk digoreng atau direbus serta dijadikan tepung tapioka, bagian daunnya dijadikan sebagai sayuran dan bagian kulitnya bisa dijadikan sebagai makanan ternak. 1
Singkong yang juga disebut kaspe, dalam bahasa latin di sebut Manihot Esculenta Crantz, merupakan tanaman yang banyak mengandung karbohidrat. Oleh karena itu singkong dapat digunakan sebagai smber karbohidrat disamping beras, selain dapat pula digunakan untuk keperluan bahan baku industri seperti : tepung tapioka, gaplek, gula pasir, gasohol, protein, sel tunggal, dan asam sitrat. Tepung tapioka dengan kadar amilase yang rendah tetapi berkadar amilopektin yang tinggi merupakan sifat yang khusus dari singkong yang tidak dimiliki oleh jenis tepung yang lain nya (Rismayani, 2007). Komoditas umbi singkong ini sangat layak dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan. Pemerintah sendiri sudah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi pangan, karena program tersebut dapat meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi sehingga dapat meningkatkan status gizi masyarakat (Almatsier, 2004). Upaya diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan mengganti atau memodifikasi pangan yang berbahan dasar terigu dengan pangan lokal yang ada di Indonesia. Salah satunya diversifikasi pangan dengan singkong sebagai alternatif pangan, harus diikuti dengan perancangan olahan singkong untuk meningkatkan penerimaan komsumen. Produk olahan yang sekiranya dapat dijadikan sebagai alternatif pangan adalah brownies (Haryanto, 2004). Dewasa ini telah dilakukannya usaha perbaikan gizi keluarga dengan meningkatkan mutu konsumen pangan. Salah satu anjuan untuk menanggulangani masalah gizi masyarakat berupa pangan. Singkong merupakan salah satu pangan yang mengandung banyak karbohidrat dan vitamin, singkong merupakan penghasil kalori yang efisien, artinya tanaman singkong mempunyai kemampuan dalam menghasikan kalori yang produktif dan efisien didaerah tropis, singkong mampu menghasilkan kalori 66,66 persen lebih tinggi dari pada tanaman bijibijian lainnya. Sebagai komoditi yang mudah rusak singkong memerlukan penanggulangan khusus untuk memperpanjang masa simpannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah prosespengawetan dan pengolahan
singkkong menjadi bentuk lain, sehingga dapat dijadikan makanan tambahan yang bergizi. Pembentukan tepung singkong yang ditambahkan kedalam pembuatan brownies merupakan salah satu bentuk pengembangan teknologi lepas panen dan pengolahan makanan tambahan atau jajanan yang diharapkan akan dapat memberi sumbangan kalori dan zat gizi lainnya pada anak sekolah (Pudjiadi, 2002). Brownies adalah salah satu makanan jajanan yang disukai anak-anak. Dan merupakan salah satu kue yang trend dan favorit banyak orang. Brownies sudah sejak lama dikenal masyarakat sebagai jajanan yang cukup mengenyangkan dan juga sering menggantikan menu sarapan pagi dan bekal sekolah anak. Tidak seperti jajanan atau kue tradisional yang rata-rata hanya mampu bertahan sehari dan kemudian basi, brownies dapat bertahan dua sampai tiga hari tanpa bahan pengawet. Membuat brownies relatif mudah, pemulapun dapat belajar dalam waktu singkat. Cukup mengikuti resep dan teknik pembuatan yang tepat maka langsung bisa menguasai pembuatan brownies. Asalkan ada kemauan dan berusaha. Bahan-bahannya juga mudah didapat dan bisa dibuat dengan peralatan yang sederhana (Sufi, 2009). Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan brownies dengan tepung singkong. Pengenalan penggunaan tepung singkong kepada masyarakat akan lebih efektif bila diterapkan sebagai bahan baku atau tambaha dalam pembuatan makanan yang sudah dikenal oleh masyarakat, salah satunya adalah browniees. Dalam hal ini, penambahan tepung singkong merupakan salah satu bentuk pengolahan makanan tambahan atau jajanan yang dimana dapat member tambahan zat gizi yang dibutuhkan. Berdasarkan hal tersebut peneliti mencoba memanfaatkan tepung singkong dalam pembuatan brownies. Hal ini menarik untuk diteliti dalam sebuah penelitian yang berjudul “ Uji Daya Terima Dan Nilai Gizi Brownies Singkong”. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap yang haya terdiri dari satu faktor yaitu dengan 2
2 perlakuan penambahan tepung singkong 100% dan 50%. Pembuatan tepung singkong dan uji daya terima dilakukan di laboratorium Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU. Uji kadar karbohidrat dan fosfor dilakukan di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan. Data yang uji daya terima, diolah secara manual. Hasil analisis kandungan karbohidrat dilakukan dengan Metode hidrolisis dan fosfor dengan Metode SSA (Spektofotometri Serapan Atom). Untuk uji organoleptik dilakukan Uji Kesamaan Varians. Selanjutnya dilakukan Analisa Sidik Ragam dan Uji Ganda Duncan.
4,18. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penambahan 100% dan 50% terhadap aroma brownies dan penambahan tepung singkong dengan berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma brownies yang dihasilkan. Tabel 5. Hasil Analisis Aroma Sumber Keragaman
Perlakuan Panelis Eror Total
Aroma
Biskuit Kacang Merah A1 A2 Panelis Skor % Panelis Skor Suka 19 57 63,3 26 78 Kurang Suka 11 22 24,4 4 8 Tidak Suka 0 0 0 0 0 Total 30 30 87,7 30 60 Skala Hedonik
JK JKTR
1 1,0 29 3,8 29 6,4 59 11,2
1,0 0,13 0,22 0,43
F
F tabel
hitung
(0,05)
4,54
4,18 Fh>Ft
Ket
Munculnya perbedaan aroma pada brownies menghasilkan penilaian yang berbeda dari panelis. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan brownies yaitu seperti tepung terigu, Tepung singkong, mentega dan coklat masing-masing mempunyai aroma yang khas. Brownies dengan penambahan tepung singkong sebesar 50% memiliki aroma yang lezat, dimana aroma singkong dan mentega sangat menonjol. Masyarakat pada umumnya menyukai makanan yang memiliki aroma yang wangi. Berdasarkan penelitian Gracia dkk (2009), pada pembuatan biskuit dengan penambahan tepung jagung, skor rata-rata penilaian aroma biskuit meningkat dengan adanya penambahan margarin, gula dan telur. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah konsentrasi margarin, gula dan telur akan mempengaruhi aroma dari biskuit jagung sehingga disukai oleh panelis. Analisis Organoleptik Rasa Browies dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Singkong Rasa dalam brownies merupakan kombinasi antara cita rasa dan aroma yang tercipta untuk memenuhi selera panelis. Pada umumnya, rasa brownies merupakan hal yang menunjang karena hal pertama yang akan diperhatikan oleh panelis pada saat memberikan penilaian adalah rasa. Dari hasil penelitian, uji daya terima terhadap rasa menunjukkan bahwa rasa brownies dengan penambahan tepung singkong 50% disukai oleh panelis karena memiliki presentase tertinggi yaitu 96,6%. Sedangkan brownies dengan penambahan 100% memiliki
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Brownies yang Dihasilkan Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa brownies dengan penambahan tepung singkong 100% berwarna cokelat tua, beraroma khas singkong, rasanya didominasi oleh khas singkong, dan teksturnya lebih mengembang, lembut dan sedikit padat. Brownies dengan penambahan tepung singkong 50% (perbandingan tepung terigu 50% dan tepung singkong 50%) berwarna cokelat muda, beraroma khas brownies, rasanya khas brownies dan teksturnya lembut. Analisis Organoleptik Aroma Brownies dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Singkong Berdasarkan uji daya terima mahasiswa yang telah dilakukan dengan menggunakan pengujian organoleptik terhadap aroma menunjukkan penambahan tepung singkong 50% yang disukai, karena memiliki presentase tertinggi yaitu 86%. Sedangkan untuk penambahan tepung singkong 100% memiliki presentase yaitu 79%. Hasil analisis organoleptik aroma brownies dengan penambahan tepung singkong dengan sekala hedonik dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4. Hasil Analisis Organoleptik Brownies Tepung Singkong
Db
Sidik Ragam terhadap
% 90 6,7 0 140
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada tabel di bawah, dapat dilihat bahwa nilai FHitung 4,54 ternyata lebih besar dari FTabel 3
presentase yaitu 86,6%. Brownies dengan penambahan tepung singkong 50% lebih disukai oleh panelis, menurut panelis rasanya manis dan lembut.
Analisis Organoleptik Warna Biskuit dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Kacang Merah Uji daya terima terhadap warna menunjukkan bahwa brownies dengan penambahan tepung singkong 50% disukai oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU karena memiliki presentase tertinggi yaitu 86%. Warna tepung singkong memang berpengaruh terhadap warna produk brownies yang dihasilkan, dimana semakin banyak konsentrasi penggunaan tepung singkong, warna brownies akan semakin coklat. Panelis yang merupakan mahasiswa memiliki cara pemilihan makanan yang berbeda. Mahasiswa pada umumnya lebih memperhatikan warna dalam memilih makanan, mereka cenderung menyukai warna-warna cerah pada makanan. Menurut mereka warna yang cerah sangat indah dilihat dan membuat mereka tertarik untuk mengonsumsinya brownis
Tabel 6. Hasil Analisis Organoleptik Rasa Brownies Tepung Singkong Brownies Singkong A1 A2 Panelis Skor % Panelis Skor % Suka 18 54 60 27 81 90 Kurang Suka 12 24 26,6 3 8 8,8 Tidak Suka 0 0 0 0 0 0 Total 30 78 88,6 30 87 98,8 Skala Hedonik
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada tabel di bawah, dapat dilihat bahwa nilai FHitung 6,5 ternyata lebih besar dari Ftabel 4,18. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penambahan tepung singkong 100% dan 50% terhadap rasa brownies dan penambahan tepung singkong dengan berbagai variasi tersebut memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa birownies yang dihasilkan.
Tabel 9. Hasil Analisis Organoleptik Tepung Singkong
Tabel 7. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Rasa F F tabel Sumber Db JK JKTR Ket Keragaman hitung
Perlakuan Panelis Eror Total
1 1,3 29 3,7 29 6,2 59 11,2
1,3 0,12 0,2 0,43
6,5
Warna
Biskuit Singkong A1 A2 Panelis Skor % Panelis Skor % Suka 21 63 70 26 78 86,7 Kurang Suka 9 18 20 4 8 8,9 Tidak Suka 0 0 0 0 0 0 Total 30 82 90 30 86 95,6 Skala Hedonik
(0,05)
4,18 Fh>Ft
Oleh karena adanya perbedaan antara penambahan tepung singkong terhadap rasa, maka dilanjutkan dengan Uji Ganda Duncan untuk mengetahui perlakuan mana yang sama dan didapatkan hasilnya (A2-A1=2,92,5=0,4>0,23). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Utami (2012), pembuatan biskuit dengan penambahan tepung pisang kepok sebanyak 45% memiliki penilaian tertinggi yaitu dengan skor 86 dan jumlah presentase sebesar 95,5%. Menurut Ginting (2009) yang dikutip oleh Utami (2012), peningkatan jumlah presentasi hedonik terhadap rasa diikuti pula dengan peningkatan skor hedonik terhadap aroma. Semakin banyak konsentrasi subtitusi tepung pisang kepok maka semakin rendah skor penilaian panelis terhadap rasa biskuit pisang kepok.
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada tabel di bawah, dapat dilihat bahwa nilai FHitung 0,4 ternyata lebih kecil dari FTabel 4,18. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara penambahan tepung singkong 100% dan 50% terhadap warna brownies dan penambahan tepung singkong dengan berbagai variasi tidak memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna brownies yang dihasilkan. Tabel 10.Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Warna F F tabel Sumber Db JK JKTR Ket Keragaman hitung
Perlakuan Panelis Eror Total
1 0,4 0,4 29 3,7 0,12 29 6,1 0,2 59 11,2
2
(0,05)
4,18 Fh>Ft
Menurut Utami (2012), pada pembuatan biskuit dengan penambahan tepung pisang kepok, tingkat kesukaan panelis terhadap 25% penambahan tepung pisang kepok dalam pembuatan biskuit memiliki skor tertinggi yaitu 85 (94,4%). 4
Presentase skor hedonik semakin meningkat dengan semakin berkurangnya konsentrasi tepung pisang kepok yang digunakan sebagai pensubtitusi. Analisis Organoleptik Tekstur Brownies dengan Berbagai Variasi Penambahan Tepung Singkong Perbedaan jumlah tepung terigu dan tepung singkong berpengaruh terhadap tingkat kekerasan singkong. Berdasarkan hasil uji daya terima terhadap tekstur menunjukkan bahwa brownies dengan penambahan tepung singkong 50% sangat disukai. Brownies dengan penambahan 50% menghasilkan tekstur brownies yang lembut bila dibandingkan brownies dengan penambahan 100%.
tepung pisang kepok mengindikasikan kondisi biskuit menjadi semakin keras sehingga kurang disukai oleh panelis. Analisa Kandungan Gizi Karbohidrat dan Fosfor Brownies dengan Penambahan Tepung Singkong Berdasarkan hasil uji laboratorium yang telah dilakuakan, dapat diketahui bahwa kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada brownies dengan menggunakan tepung singkong 100% , yaitu sebesar 33,1% (33,1 gram per 100 gram brownies singkong). Brownies singkong memiliki kandungan karbohidrat yang lebih rendah dibanding brownies biasa. Brownies singkong dapat dijadikan alternatif bagi seseorang yang ingin melakukan diet rendah kalori karena kandungan kalori brownies singkong lebih rendah dari brownies biasa. Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi makro. Karbohidrat ada yang dapat dicerna oleh tubuh sehingga menghasilkan glukosa dan energi, dan ada pula karbohidrat yang tidak dapat dicerna yang berguna sebagai serat makanan. Fungsi utama karbohidrat yang dapat dicerna bagi manusia adalah untuk menyediakan energi bagi sel, termasuk sel-sel otak yang kerjanya tergantung pada suplai karbohidrat berupa glukosa. Kekurangan glukosa darah (hipoglikemia) bisa menyebakan pingsan atau fatal; sementara bila kelebihan glukosa darah menimbulkan hiperglikemia yang bila berlangsung terus meningkatkan risiko penyakit diabetes atau kencing manis (Mahan K. dan Escott-Stump, 2008). Karbohidrat dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah unit gula (glukosa) yang dikandungnya. Bila mengandung satu unit gula disebut mono sakarida, seperti glukosa dan fruktosa yang banyak terdapat dalam larutan gula dan buah-buahan. Bila mengandung dua unit gula disebut disakarida, seperti sucrose (dalam gula meja, buah dan sayur), lactose (dalam susu) dan maltose (dalam karamel). Bila mengndung 3-10 unit gula disebut oligosakarida, seperti raffinose and stachyose yang banyak dijumpai dalam kacang-kacangan. Bila mengandung lebih dari sepuluh unit gula disebut polisakarida seperti kanji (starch), glikogen dan sellulosa.
Tabel 11.Hasil Analisis Organoleptik Tekstur Brownies Brownies Singkong A1 A2 Panelis Skor % Panelis Skor % Suka 20 60 66,7 22 84 93,3 Kurang Suka 10 20 22,2 2 4 4,4 Tidak Suka 0 0 0 0 0 0 Total 30 80 88,9 30 88 97,4 Skala Hedonik
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada tabel di bawah, dapat dilihat bahwa nilai FHitung 10 ternyata lebih besar dari FTabel 4,18. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara penambahan tepung singkong 50% dan 50% terhadap tekstur brownies dan penambahan tepung singkong dengan berbagai variasi tersebut memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur brownies yang dihasilkan. Tabel 11.Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Tekstur F F tabel Sumber Db JK JKTR Ket Keragaman hitung
Perlakuan Panelis Eror Total
1 29 29 59
1 6 3 10
1 0,2 0,1
10
(0,05)
4,18 Fh>Ft
Oleh karena adanya perbedaan antara ketiga perlakuan tersebut, maka dilanjutkan dengan Uji Ganda Duncan dan didapatkan hasilnya (A2-A1=2,9-2,7=0,2<0,14). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Utami (2012), pada pembuatan biskuit dengan penambahan tepung pisang kepok, tingkat kesukaan panelis terhadap 45% penambahan tepung pisang kepok memilki skor tertinggi yaitu 77 (85,6%). Kandungan serat pada 5
Kandungan fosfor tertinggi terdapat pada brownies dengan berbahan dasar tepung singkong 50% dan tepung terigu 50% yaitu sebesar 43 mg. Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh, yaitu 1% dari berat badan. Kurang lebih 85% fosfor di dalam tubuh terdapat sebagai garam kalsium fosfat yang tidak dapat larut yang terdapat di dalam tulang dan gigi. Fosfor di dalam tulang berada dalam perbandingan 1 : 2 dengan kalsium. Fosfor selebihnya terdapat di dalam semua sel tubuh, separuhnya di dalam otot dan di dalam cairan ekstraseluler. Sebagai fosfolipid, fosfor merupakan komponen struktur dinding sel. Sebagai fosfat organik, Fosfor memegang peranan penting dalam reaksi yang berkaitan dengan penyimpanan atau pelepasan energi dalam bentuk Adenin TriPosfat (ATP) (Almatsier, 2004). Fosfor mempunyai peranan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, sebagai fosfolipid, fosfor merupakan komponen esensial bagi banyak sel dan merupakan alat transport asam lemak. Fosfor berperan pula dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa (Pudjiadi, S., 2000). Fosfor dapat diabsorpsi secara efisien sebagai fosfor bebas di dalam usus setelah dihidrolisis dan dilepas dari makanan. Bila konsumsi fosfor rendah, taraf absorbsi dapat mencapai 90% dari konsumsi fosfor. Fosfor dibebaskan dari makanan oleh enzim alkalin fosfatase di dalam mukosa usus halus dan diabsorpsi secara aktif dan difusi pasif. Terdapat sebagai fosfat anorganik atau sebagai fosfolipida (Almatsier, 2004). Kebutuhan fosfor bagi ibu hamil yaitu 700 mg. KESIMPULAN 1. Penambahan tepung singkong dalam pembuatan brownies dengan berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap uji daya terima baik dari segi rasa, rasa brownies dengan penggunaan tepung singkong 100% lebih didominasi khas singkong beraroma khas singkong dan tekstur sedikit lebih mengembang dan padat sedangkan brownies dengan penggunaan tepung singkong 50% memiliki rasa khas brownies aroma khas coklat dan tekstur lebih lembut, tetapi tidak memberi pengaruh
yang berbeda nyata terhadap penilaian warna brownies. 2. Berdasarkan uji daya terima brownies yang disukai panelis adalah brownies singkong dengan penambahan tepung singkong 50 %. 3. Brownies singkong memiliki kandungan karbohidrat sebesar 33,1 mg per 100 gr brownies singkong dan fosfor 43 mg per 100 gr brownies singkong yang lebih rendah dibanding brownies biasanya. SARAN 1. Agar masyarakat dapat menjadikan brownies singkong sebagai bahan makanan alternatif karena mengandung karbohidrat dan fosfor yang diperlukan tubuh. 2. Agar dapat dijadikan alternatif bagi seseorang yang ingin melakukan diet rendah kalori karena kandungan karbohidrat brownies singkong lebih rendah dari brownies biasanya DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Budiman, H. 2004. Sukses Bertanam Jagung (Komoditas Pertanian yang Menjanjikan). Pustaka Baru Press. Yogyakarta. Damardjati. 1990. Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar. Penebar Swadaya. jakarta Ginting, S. 2009. Pemanfaatan Ubi Jalar Orange Sebagai Bahan Pembuat Biskuit Untuk Alternatif Makanan Tambahan Anak Sekolah Dasar di Desa Ujung Bawang Kecamatan Dolok Silau Kecamatan Simalungun. Skripsi. Jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan Gracia, dkk. 2009. Kajian Formula Biskuit Jagung Dalam Rangka Substitusi Tepung Terigu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol XX No. 1 Mahan, K. dan Escott-Stump. (2008). Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B Saunders Company Pudjiadi, S. (2002). Ilmu Gizi Klinik pada Anak. Edisi Ke-empat. Jakarta: Penerbit FK UI. Halaman 421 6
Richana, dkk. 2012. Budidaya Singkong. ITB . Bandung Rismayani. 2007. Usahatani dan Pemasaran. Jakarta Sufi, S.Y. 2009. Sukses Bisnis Roti. Kriya Pustaka. Jakarta
7
KARAKTERISTIK PENDERITA HIV/AIDS DI KLINIK VCT RUMAH SAKIT UMUM HKBP BALIGE TAHUN 2008 – 2012 Desima M Hutapea1, Sori Muda Sarumpaet2, Rasmaliah2 1
Mahasiswa Peminatan Epidemiologi FKM USU 2 Staf Pengajar Epidemiologi FKM USU
ABSTRACT Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) is a collection of symptoms caused by a drop in immunity due to infection with Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV/AIDS is a disease of Sexually Tansmitted Infections (STIs) with increasing cases every year. The aim of the study is to determine the characteristics of the patients with HIV/AIDS utilized VCT’s clinic of HKBP Balige General Hospital in 2008 – 2012. The type of the study is descriptive study with case series design. The population is all the data of people with HIV/ADS totaling 145 data and used as sample. Univariate data were analyzed descriptively while bivariate data were analyzed using Chi-Square test with 95% CI. The results of the study indicated that the trend of patient with HIV/AIDS frequency is increasing according to the linear equation y = – 4,3 + 11,1x. The distribution of frequency based on sociodemographic, the highest population is in the age group of 30-39 years old (58,6%), male (75,2%), senior high school (66,9%), job self-employed (36,6%), married (77,2%), in the area of Toba Samosir regency (62,8%). Highest transmission is heterosexual transmission of promiscuity (66,9%), length suffered of AIDS since diagnosed <1 year (74,1%), the highest opportunistic infection type is oral candidiasis (33,8%), death (54,6%). There is a significant differentiation of proportion between sex based on the transmission infection (p=0,000), married based on the transmissions infection (p=0,000), length of life based on last condition (p=0,000). There is no significant differentiation of proportion between married based on sex (p=0,584), age based on the transmissions infection (p=0,216) and work based on the transmissions infection (p=0,810). Expected to groups at high risk of HIV/AIDS to not promiscuity in order to prevent the heterosexual transmission, VCT’s clinic of HKBP Balige General Hospital expected to introduce VCT’s services and promote early inspection, increase patient assistance program, and complete the record data of job self-employed in job variable. Key Words
: HIV/AIDS, Characteristic of Patients, VCT’s Clinic of HKBP Balige General Hospital
Pendahuluan Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang 1 menyebabkan kematian penderitanya. Salah satu fokus perhatian pemerintah di bidang kesehatan masyarakat yang cukup menonjol saat ini adalah upaya untuk memutus rantai penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS. AIDS adalah sindroma berkurangnya daya
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. AIDS merupakan salah satu penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) yang sangat ditakuti karena pertambahan kasusnya sangat cepat dan dapat dipastikan akan membawa kematian bagi penderitanya sebab sampai sekarang belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkannya. Penyebaran HIV tidak mengenal umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan daerah tempat tinggal penderitanya, karena
dengan jumlah yang cukup dan potensi HIV, virus ini dapat menginfeksi orang lain.2,3 Asia merupakan wilayah dengan penduduk terinfeksi HIV terbesar kedua di dunia setelah Sub-Sahara Afrika. Berdasarkan data UNAIDS (2008), di Asia terdapat 4,7 juta orang terinfeksi HIV, dengan CFR 7,02%. Jumlah kasus baru 350.000 orang (7,44%) dengan 21.000 orang (6%) diantaranya adalah anak-anak.4 Data Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan RI tahun 2010, menunjukkan bahwa DKI Jakarta merupakan provinsi tertinggi pertama dengan kasus HIV/AIDS sebanyak 3.740, sedangkan posisi tertinggi ke-2 adalah Provinsi Jawa Barat dengan jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 3.710, kemudian diikuti Provinsi Jawa Timur sebanyak 3.540 kasus. Pada posisi ke-4 adalah Papua dengan jumlah kasus HIVAIDS 2.858 dan di posisi ke-10 adalah Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah kasus sebanyak 477.5 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gifani Anastasya di Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 – 2007, dilaporkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 522 orang (429 HIV dan 93 AIDS).12 Penelitian Nurviana di Klinik VCT Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan tahun 2005 sampai dengan Oktober 2007, melaporkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 152 orang (127 kasus HIV dan 25 kasus AIDS).6 Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) Rumah Sakit Umum HKBP Balige, diperoleh jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun 2008 – 2012 yaitu 145 kasus (37 kasus HIV dan 108 kasus AIDS), 9 kasus tahun 2008, 23 kasus tahun 2009, 19 kasus tahun 2010, 36 kasus tahun 2011, dan 58 kasus tahun 2012. Jumlah kasus ini diperoleh dari data pengunjung Klinik VCT dan melakukan tes HIV. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS di Klinik
VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui karakteristik penderita HIV/AIDS di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012. Tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Mengetahui kecenderungan (trend) distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan waktu dirinci menurut data tahun 2008 – 2012 b. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan daerah tempat tinggal) c. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan d. Mengetahui distribusi proporsi penderita AIDS berdasarkan lama menderita sejak didiagnosa e. Mengetahui distribusi proporsi penderita AIDS berdasarkan jenis IO f. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan keadaan terakhir penderita g. Mengetahui distribusi proporsi status pernikahan penderita HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin h. Mengetahui distribusi proporsi umur penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan i. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan j. Mengetahui distribusi proporsi status pekerjaan penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan k. Mengetahui distribusi proporsi status pernikahan penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan
l.
Mengetahui distribusi proporsi lama menderita berdasarkan keadaan terakhir penderita AIDS
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: a. Sebagai bahan masukan bagi pihak rumah sakit dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige b. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang berguna dalam pengembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya mengenai HIV/AIDS c. Sebagai sarana meningkatkan wawasan penulis mengenai HIV/AIDS dan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan menggunakan desain case series. Penelitian ini dilaksanakan di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige dilaksanakan pada bulan Februari – September 2013. Populasi penelitian ini adalah seluruh data penderita HIV/AIDS di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 yang berjumlah 145 data penderita dan dijadikan sebagai sampel (total sampling). Data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari laporan bulanan Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012. Cara pengumpulan data adalah dengan mencatat semua variabel yang diteliti kemudian dilakukan tabulasi data menggunakan komputer melalui program SPSS (Statistical Product and Service Solution). Data univariat dijelaskan secara deskriptif dan data bivariat dianalisa dengan menggunakan uji Chi-Square, serta disajikan dalam bentuk narasi, tabel distribusi proporsi, diagram garis, diagram bar, dan diagram pie.
Hasil dan Pembahasan Deskriptif Distribusi proporsi penderita HIV dan AIDS berdasarkan waktu dirinci menurut data tahun 2008 – 2012 di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1.
Distribusi Proporsi Penderita HIV dan AIDS yang Dirinci Menurut Tahun 2008 – 2012
Tahun
Penderita HIV dan AIDS HIV AIDS f % f %
2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah
6 9 2 6 14 37
4,1 6,2 1,4 4,1 9,7 25,5
3 14 17 30 44 108
2,1 9,7 11,7 20,7 30,3 74,5
Jumlah f
%
9 23 19 36 58 145
6,2 15,9 13,1 24,8 40,0 100,0
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 145 penderita HIV/AIDS di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige pada tahun 2008 – 2012, 37 orang (25,5%) diantaranya adalah penderita HIV dan 108 orang (74,5%) lainnya adalah penderita AIDS. Penderita HIV/AIDS berdasarkan waktu antara lain, terendah pada tahun 2008 sebanyak 9 orang (6,2%), tahun 2009 sebanyak 23 orang (15,9%), tahun 2010 sebanyak 19 orang (13,1%), tahun 2011 sebanyak 36 orang (24,8%) dan tertinggi pada tahun 2012 sebanyak 58 orang (40,0%). Kecenderungan distribusi frekuensi penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 menunjukkan peningkatan dengan persamaan garis y = – 4,3+11,1x yang diperoleh berdasarkan metode kuadrat kecil (least square), frekuensi penderita HIV/AIDS meningkat 49 kasus, simple rasio peningkatan 6,4 kali, dan proporsi peningkatan sebesar 84,48%. Penderita HIV/AIDS tertinggi pada tahun 2012 yaitu 58 orang dan terendah tahun 2008 sebanyak 9 orang. Peningkatan penderita HIV/AIDS mempunyai keterkaitan dengan jumlah penderita HIV/AIDS yang datang berkunjung ke klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige mengalami peningkatan selama tahun 2008 – 2012.
Distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan sosiodemografi di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada tabel 2 dan 3 berikut ini: Tabel 2.
Distribusi Proporsi Umur dan Jenis Kelamin Penderita HIV/AIDS
< 20 20-29 30-39 40-49 ≥ 50
Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan f % f % 1 0,7 3 2,1 27 18,6 13 9,0 67 46,2 18 12,4 11 7,6 1 0,7 3 2,1 1 0,7
f 4 40 85 12 4
% 2,8 27,6 58,6 8,3 2,8
Jumlah
109
145
100,0
Umur (tahun)
75,2
36
24,8
Jumlah
Berdasarkan tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa pada penderita laki-laki, proporsi tertinggi berada pada kelompok umur 30-39 tahun yaitu sebanyak 46,2% dan terendah pada kelompok umur <20 tahun sebanyak 0,7%. Sementara itu pada penderita perempuan, proporsi tertinggi juga berada pada kelompok umur 30-39 tahun yaitu sebanyak 12,4% dan terendah pada umur 4049 tahun dan ≥50 tahun masing-masing 0,7%. Infeksi HIV/AIDS sebagian besar atau 58,6% terjadi pada kelompok umur 30-39 tahun, dimana kelompok ini termasuk usia produktif (15-49 tahun).7 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita yang didiagnosis AIDS pada umur 30-39 tahun sudah terpapar virus HIV pada saat remaja akhir dan dewasa awal karena AIDS membutuhkan waktu 5-10 tahun untuk memperlihatkan gejala klinisnya sejak pertama kali terinfeksi. Meskipun risiko terinfeksi HIV lebih tinggi pada perempuan dari pasangan lakilakinya yang menderita HIV/AIDS dibandingkan pada laki-laki dari pasangan perempuannya yang menderita HIV/AIDS, namun frekuensi laki-laki untuk terinfeksi lebih tinggi diakibatkan oleh karena perilaku berisiko yang lebih sering dilakukannya dibandingkan perempuan, seperti melakukan hubungan seksual tidak terlindung menggunakan jasa PSK dan menggunakan
jarum suntik bergantian bagi pecandu narkoba suntikan. Perempuan yang terinfeksi terutama karena mendapatkannya dari suami mereka, sebanyak 80,6% perempuan berstatus menikah. Dalam hal ini, laki-laki bertindak sebagai jembatan infeksi HIV yang diperoleh dari PSK ke pasangannya. Dapat dilihat dari proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan yang diperoleh tertinggi adalah heteroseksual sebesar 66,9%. Tabel 3. Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, Status Pernikahan, dan Daerah Tempat Tinggal 1. Tingkat Pendidikan f % Tidak/Belum Sekolah 4 2,8 Tamat SD 1 0,7 Tamat SLTP 7 4,8 Tamat SLTA 97 66,9 Akademi/Sarjana 36 24,8 Jumlah 145 100,0 2. Pekerjaan f % PNS 6 4,1 Pegawai swasta 7 4,8 Wiraswasta 53 36,6 Sopir 15 10,3 Petani 21 14,5 Ibu rumah tangga 13 9,0 Pekerja seks 3 2,1 komersial 27 Tidak bekerja 18,6 Jumlah 145 100,0 3. Status Pernikahan f % Menikah 112 77,2 Belum menikah 33 22,8 Jumlah 145 100,0 4. Daerah Tempat f % Tinggal Wilayah Kabupaten 91 62,8 Toba Samosir 54 37,2 Luar Wilayah Kabupaten Toba Samosir Jumlah 145 100,0 Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi adalah tamat SLTA sebanyak 97 orang (66,9%), diikuti tamat Akademi/Sarjana 36 orang (24,8%), tamat SLTP 7 orang
(4,8%), tidak/belum sekolah 4 orang (2,8%), dan terendah adalah tamat SD 1 orang (0,7%). Distribusi proporsi penderita berdasarkan pekerjaan tertinggi adalah wiraswasta sebanyak 53 orang (36,6%) dan terendah adalah pekerja seks komersial sebanyak 3 orang (2,1%).Distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan status pernikahan lebih tinggi dengan status menikah yaitu 112 orang (77,2%) daripada belum menikah yaitu 33 orang (22,8%). Distribusi proporsi berdasarkan daerah tempat tinggal lebih tinggi adalah penderita yang berasal dari dalam wilayah Kabupaten Toba Samosir yaitu 91 orang (62,8%) daripada penderita dari luar wilayah Kabupaten Toba Samosir 54 orang (37,2%). Distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan transmisi penularan penderita HIV/AIDS dapat dilihat dari tabel di bawah ini : Tabel 4. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Berdasarkan Transmisi Penularan Penderita HIV/AIDS Transmisi Penularan Penasun Heteroseksual Homoseksual Perinatal
f 43 64 1 1
Jenis Kelamin Lk Pr % f % 29,7 0 0,0 44,1 33 22,8 0,7 0 0,0 0,7 3 2,1
Jumlah f 43 97 1 4
% 29,6 66,9 0,7 2,8
109 75,2 36 24,8 145 100,0 Jumlah Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa distribusi proporsi penderita berdasarkan transmisi penularan tertinggi adalah melalui hubungan heteroseksual yaitu 97 orang (66,9%), selanjutnya Penasun 43 orang (29,6%), perinatal 4 orang (2,8%), homoseksual 1 orang (0,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian Anastasya di Pusyansus klinik VCT RSUP Haji Adam Malik Medan (data tahun 20062007) yang menemukan penderita HIV/AIDS dengan transmisi penularan tertinggi adalah heteroseksual sebanyak 57,1% kemudian diikuti Penasun sebanyak 35,8%.8 Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2009 jumlah kumulatif penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan,
heteroseksual menempati urutan pertama (44,5%), sedangkan Penasun berada pada urutan kedua (40,4%).9 Tingginya penderita dengan transmisi penularan heteroseksual berganti-ganti pasangan menunjukkan perilaku yang buruk baik pada laki-laki maupun perempuan. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa penularan HIV/AIDS heteroseksual juga terjadi pada perempuan sebanyak 22,8%. Dengan demikian untuk mencegah penularan HIV/AIDS secara seksual dapat dihindari dengan setia terhadap satu pasangan dan apabila hal tersebut tidak memungkinkan juga maka penggunaan kondom secara konsisten menjadi pilihan berikutnya yang tidak hanya berlaku pada laki-laki tetapi juga pada perempuan. Distribusi proporsi penderita aids berdasarkan lama menderita sejak didiagnosa AIDS dapat dilihat dari tabel di bawah ini : Tabel 5. Distribusi Proporsi Penderita AIDS Berdasarkan Lama Menderita Sejak Didiagnosa AIDS Lama Menderita f % Sejak Didiagnosa <1 tahun 80 74,1 1 – 2 tahun 21 19,4 3 – 4 tahun 7 6,5 Jumlah 108 100,0 Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa distribusi proporsi penderita AIDS berdasarkan lama menderita sejak didiagnosa tertinggi adalah <1 tahun yaitu 80 orang (74,1%), kemudian 1 – 2 tahun sebanyak 21 orang (19,4%), dan terendah 3 – 4 tahun sebanyak 7 orang (6,5%). Pengkategorian ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh pemberian ARV terhadap lamanya seorang penderita HIV/AIDS untuk bertahan hidup, dimana diketahui bahwa dengan pelaksaan terapi ARV secara patuh akan memberikan pengaruh terhadap perbaikan kualitas hidup ODHA termasuk menjaga agar sistem imun ODHA tidak memburuk sehingga rentang progresivitas penyakit dari HIV menjadi AIDS dapat dicegah ataupun berjalan lambat. Lamanya menderita AIDS ini juga akan
dihubungkan dengan keadaan terakhir penderita untuk melihat apakah ada perbedaan yang bermakna antara lama menderita AIDS dengan penderita yang hidup dan meninggal.
2008 2009 2010 2011 2012
0 6 5 14 24
0,0 5,6 4,6 13,0 22,2
3 8 12 16 20
2,8 7,4 11,1 14,8 18,5
3 14 17 30 44
2,8 13,0 15,7 27,8 40,7
Distribusi proporsi jenis infeksi oportunistik pada penderita AIDS dapat dilihat dari tabel di bawah ini :
Jumlah
49
45,4
59
54,6
108
100,0
Tabel 6. Distribusi Proporsi Jenis Infeksi Oportunistik Pada Penderita AIDS Jenis Infeksi Oportunistik (n=108) Oral candidiasis Diare kronis TB paru Toksoplasma encephalitis Herpes zoster
Keadaan Terakhir Hidup Meninggal f % f % 46 42,6 51 47,2 44 40,7 49 45,4 41 38,0 51 47,2 1 0,9 3 2,8 1 0,9 0 0,0
Jumlah f 97 93 92 4 1
% 89,8 86,1 85,2 3,7 0,9
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa dari 108 penderita AIDS, jenis IO oral candidiasis adalah yang paling banyak dilaporkan yaitu 97 kasus (89,8%), kemudian diare kronis 93 kasus (86,1%), TB paru 92 kasus (85,2%), toksoplasma encephalitis 4 kasus (3,7%), dan yang paling sedikit adalah herpes zoster 1 kasus (0,9%). Tingginya proporsi oral candidiasis diakibatkan oleh karena infeksi ini merupakan manifestasi paling umum dan dini sebagai tanda permulaan dari infeksi HIV. Distribusi proporsi penderita AIDS berdasarkan keadaan terakhir penderita di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 dapat dilihat dari tabel di bawah ini : Tabel 7. Distribusi Proporsi Penderita AIDS Berdasarkan Keadaan Terakhir Penderita di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige Tahun 2008 – 2012 Tahun
Keadaan Terakhir Penderita AIDS Hidup Meninggal f % f %
Jumlah f
%
Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa distribusi proporsi penderita AIDS berdasarkan keadaan terakhir adalah hidup 49 orang (45,4%) dan meninggal sebanyak 59 orang (54,6%). Angka kematian (Case Fatality Rate) penderita AIDS di Rumah Sakit Umum HKBP Balige berubah-ubah, hal ini sesuai dengan jumlah penderita AIDS yang datang berkunjung meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2008 CFR penderita AIDS sebesar 100%, tahun 2009 sebesar 57,1 %, tahun 2010 sebesar 70,6%, tahun 2011sebesar 53,3 %, tahun 2012 sebesar 45,5%. Dengan demikian Cumulative Case Fatality Rate (CCFR) penderita AIDS pada tahun 2008 – 2012 di Rumah Sakit Umum HKBP Balige adalah sebesar 54,6%. Analisis Bivariat Distribusi Proporsi status pernikahan penderita HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 8. Distribusi Proporsi Status Pernikahan Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kela min Lk Pr
Status Pernikahan Belum Menikah Menikah f % f % 83 76,1 26 23,9 29 80,6 7 19,4
Jumlah f 109 36
% 100,0 100,0
X2=0,299 df=1 p=0,584 Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa dari 109 penderita HIV/AIDS berjenis kelamin laki-laki, 83 orang (76,1%) dengan status menikah dan 26 orang (23,9%) dengan status belum menikah. Dari 36 orang penderita HIV/AIDS berjenis kelamin perempuan, 29 orang (80,6%) dengan status menikah dan 7 orang (19,4%) dengan status belum menikah.
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p>0,05. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status pernikahan berdasarkan jenis kelamin. Perempuan dengan status menikah mayoritas adalah ibu rumah tangga sebanyak 12 orang, kemudian wiraswasta 10 orang, PNS 3 orang, pegawai swasta, petani, PSK serta tidak bekerja masing-masing 1 orang dengan umur termuda 25 tahun. Sementara itu, perempuan dengan status belum menikah 3 orang diantaranya adalah balita dengan faktor risiko perinatal, 2 orang PSK dan masing-masing 1 orang wiraswasta dan tidak bekerja. Dari gambaran di atas, dapat dilihat bahwa pada perempuan dengan status menikah tidak tertutup kemungkinan akan menjadi berisiko, karena mereka dapat terinfeksi dari pasangannya sendiri dan bisa menularkan kepada bayinya apabila terjadi kehamilan. Distribusi proporsi umur berdasarkan transmisi penularan dapat dilihat dari tabel di bawah ini : Tabel 9. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Transmisi Penularan Transmisi Penularan Seksual Non Seksual 2
Umur (tahun) 0 - 39 F % 85 86,7 44 93,6
Jumlah
>39 f
%
f
%
13 3
13,3 6,4
98 47
100,0 100,0
X =1,533 df=1 p=0,216 Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa dari 98 penderita dengan transmisi penularan melalui hubungan seksual, 85 orang (86,7%) adalah kelompok umur 0-39 tahun dan 13 orang (13,3%) adalah kelompok umur >39 tahun. Selanjutnya, dari 47 penderita dengan transmisi penularan non seksual, 44 orang (93,6%) adalah kelompok umur 0-39 tahun dan 3 orang (6,4%) adalah kelompok >39 tahun. Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p>0,05. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan transmisi penularan.
Kelompok umur 0-39 tahun merupakan kelompok umur yang aktif dalam melakukan aktivitas seksual, demikian juga hal nya untuk penggunaan narkoba suntikan didominasi oleh kaum muda. Hal ini sesuai dengan laporan Departemen Kesehatan RI bahwa proporsi transmisi penularan AIDS kumulatif yang dilaporkan tertinggi adalah melalui heteroseksual (50,3%) dan Penasun (40,2%).10 Sementara itu, tingginya proporsi penderita pada kelompok umur >39 tahun melalui transmisi penularan hubungan seksual diasumsikan oleh karena mereka mendapatkan HIV pada usia dewasa akhir dimana secara ekonomi sudah bisa memenuhi kebutuhan sendiri dan memungkinkan untuk menggunakan jasa PSK. Distribusi proporsi jenis kelamin penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 10. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Berdasarkan Transmisi Penularan Trans. Penulara n Seksual Non Seksual
X2=12,676
Jenis Kelamin Lk Pr f 65 44
% 66,3 93,6
f 33 3
df=1
% 33,7 6,4
Jumlah f 98 47
% 100,0 100,0
p=0,000
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,000. Hal ini menunjukkan ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan transmisi penularan. Seperti diketahui bahwa transmisi penularan non seksual lebih tinggi pada lakilaki dibanding perempuan, hal ini sesuai dengan laporan Departemen Kesehatan RI bahwa presentase kumulatif pengguna narkoba suntikan tertinggi adalah laki-laki (91,8%).10 Distribusi proporsi status pekerjaan penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 11. Distribusi Proporsi Status Pekerjaan Berdasarkan Transmisi Penularan Status Pekerjaan Trans. Penularan Seksual Non Seksual
Bekerja f 69 34
% 70,4 72,3
Tidak Bekerja f % 29 29,6 13 27,7
Jumlah f 98 47
% 100,0 100,0
X2=0,058 df=1 p=0,810 Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,810. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status pekerjaan berdasarkan transmisi penularan. Banyaknya penderita HIV/AIDS dengan transmisi penularan seksual dan non seksual pada kategori bekerja, berkaitan dengan jenis pekerjaan dan perilaku seksual penderita. Dalam penelitian ini diperoleh bahwa jenis pekerjaan tertinggi adalah wiraswasta (36,6%) namun tidak dijelaskan jenis wiraswasta yang dimaksud sehingga tidak dapat dipastikan bahwa pekerjaan tersebut lebih berisiko untuk tertular HIV/AIDS. Selain itu, banyaknya penderita HIV/AIDS yang berstatus bekerja dikarenakan kelompok umur penderita 30-39 tahun merupakan kelompok usia produktif. Distribusi proporsi status pernikahan penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi penularan di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 12. Distribusi Proporsi Status Pernikahan berdasarkan Transmisi Penularan Status Pernikahan Trans Penularan Seksual Non Seksual
Menikah f 86 26
% 87,8 55,3
Belum Menikah f % 12 12,2 21 44,7
Jumlah f 98 47
% 100,0 100,0
X2=19,011 df=1 p=0,000 Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,000. Hal ini menunjukkan ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status pernikahan berdasarkan transmisi penularan.
Tingginya proporsi hubungan seksual pada kelompok menikah dapat dijelaskan melalui jenis kelamin. Laki-laki yang sudah menikah dan menderita HIV/AIDS diakibatkan oleh perilaku berisiko mereka. Sedangkan perempuan yang sudah menikah dan menderita HIV/AIDS diasumsikan karena mendapatkannya dari suami mereka. Hal ini terlihat dari 36 perempuan, 29 orang (80,6%) sudah menikah. Distribusi proporsi lama menderita berdasarkan keadaan terakhir penderita AIDS di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 13. Distribusi Proporsi Lama Menderita Berdasarkan Keadaan Terakhir Keadaan Terakhir Hidup Meninggal
X2=36,390
Lama Menderita < 1 tahun ≥ 1 tahun
Jumlah
f 23 57
f 49 59
% 46,9 96,6
df=1
f 26 2
% 53,1 3,4
% 100,0 100,0
p=0,000
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,000. Hal ini menunjukkan ada perbedaan proporsi yang bermakna antara lama menderita berdasarkan keadaan terakhir. Sebanyak 96,6% penderita AIDS meninggal dengan lama menderita <1 tahun, yang berarti bahwa penderita tersebut terlambat memeriksakan diri ke klinik VCT sehingga pengobatan dan perawatan yang dilakukan tidak memberikan hasil yang optimal. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gejala HIV/AIDS juga menjadi salah satu penyebab keterlambatan memeriksakan diri, dengan masa inkubasi HIV yang tergolong lama dan penurunan sistem kekebalan tubuh yang berangsur perlahan tidak menimbulkan kecemasan secara langsung terhadap penderita HIV/AIDS. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a Kecenderungan (trend) frekuensi penderita HIV/AIDS di klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
2008 – 2012 menunjukkan peningkatan dengan persamaan garis y = – 4,3+11,1x Berdasarkan karakteristik sosiodemografi, diperoleh bahwa proporsi penderita HIV/AIDS di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun 2008 – 2012 tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (58,6%), jenis kelamin laki-laki (75,2%), tingkat pendidikan tamat SLTA (66,9%), pekerjaan wiraswasta (36,6%), status menikah (77,2%), serta bertempat tinggal di wilayah kabupaten Toba Samosir (62,8%) Proporsi transmisi penularan tertinggi adalah melalui hubungan heteroseksual yaitu 66,9% Proporsi lama menderita sejak didiagnosa AIDS yang lebih banyak adalah <1 tahun yaitu 74,1% Proporsi jenis infeksi oportunistik tertinggi tertinggi adalah oral candidiasis yaitu 89,8% Proporsi keadaan terakhir penderita AIDS lebih banyak adalah meninggal yaitu 54,6% Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status pernikahan berdasarkan jenis kelamin (p=0,584) Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan transmisi penularan (p=0,216) Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan transmisi penularan (p=0,000) Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status pekerjaan berdasarkan transmisi penularan (p=0,810) Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status pernikahan berdasarkan transmisi penularan (p=0,000) Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara lama menderita berdasarkan keadaan terakhir (p=0,000)
2. Saran a. Kepada kelompok berisiko tinggi HIV/AIDS diharapkan untuk tidak berganti-ganti pasangan (be faithful) demi mencegah transmisi penularan heteroseksual dan apabila tidak
b.
c.
memungkinkan juga maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten Kepada petugas klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige diharapkan untuk melaksanakan upaya promotif untuk memperkenalkan VCT sehingga kelompok berisiko tinggi HIV/AIDS dapat memeriksakan diri ke pelayanan VCT sedini mungkin Kepada petugas klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige diharapkan agar semakin meningkatkan pelaksanaan program pendampingan ODHA dan memantau kepatuhan mengonsumsi ARV pasien serta mencatat informasi lebih rinci mengenai jenis wiraswasta yang dimaksudkan pada variabel pekerjaan
Daftar Pustaka 1. Ditjen PP & PL DepKes R.I., 2005. Program Prioritas Nasional Pemberantasan Penyakit Menular Jangka Menengah 2005-2009, Jakarta 2. Tengadi, A, 1996. Petunjuk Penting AIDS, Edisi Ketiga. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 3. Bodiharto, Martuti, dkk., 1997. AIDS Penyebaran dan Prospek Pengobatannya. Jurnal Epidemiologi Indonesia Vol. I. Edisi 3. Hal.25 4. UNAIDS, 2009. Global Summary of the AIDS Epidemic December 2008. http://ata.unaids.org/pub/EpiReport/2008 /JC1700-EpiUpdate-2009en.pdf. Diakses 10 Maret 2013 5. Ditjen PP & PL DepKes RI, 2010. Laporan Ttriwulan Situasi Perkembangan HIV&AIDS di Indonesia sd 30 Juni 2010, Jakarta 6. Nurviana, 2008. Karakteristik Penderita HIV/AIDS di Klinik VCT Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan tahun 2005-2007, Skripsi FKM USU, Medan 7. Dirjen PP&PL Depkes RI., 2012. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia Triwulan III tahun 2012, Jakarta 8. Anastasya, 2008. Karakteristik Penderita HIV/AIDS di Pusat
Pelayanan Khusus (Pusyansus) Klinik Voluntary and Counseling Testing (VCT) RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2007, Skripsi FKM USU, Medan 9. Dinkes Sumut, 2009. Gambaran Kasus AIDS di Sumatera Utara s/d April 2009, Medan 10. Ditjen PP & PL DepKes RI, 2010. Laporan Triwulan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia s/d 31 Desember 2009, Jakarta
UJI DAYA TERIMA DAN NILAI GIZI MI BASAH YANG DIMODIFIKASI DENGAN TEMPE DAN WORTEL (Daucus carota L.) Yohana Tetty Gultom1, Albiner Siagian2, Zulhaida Lubis3 1
Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat 2,3 Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan, 20155, Indonesia Email:
[email protected] Abstract
Noodle is one of the most popular foodstaple in the community. Nowdays, the noodle was made as a replacement food of other staple foods such as rice. Generally, raw material of noodle is flour. However, the flour can also be modified with other foods such as tempe and carrot. Based on its nutrient composition, tempe and carrot are potential as a source of nutrition, which contains proteins, fat, calcium, phosphorus, iron, vitamin A, tiamin , vitamin C, riboflavin, niasin and fiber. The purpose of this research is to know the nutrient content and acceptability from the noodle with addition of tempe and carrot. This research is a research experiment making wet noodle with addition of tempe and carrot by comparison (30% : 20%, 25% : 25%, 20% : 30%). Panelists in this study are university students of public healty in University North Sumatera , as many as thirty peoples. Acceptance of test data was analyzed by anova test and double Duncan test, and nutrient content is determined by using DKBM. The parameters analyzed include the lucrative nature of the organoleptic color, aroma, taste and texture of wet noodle. The results of this research showed that the organoleptic test of color, flavor, taste, and texture are the most preferred panelist is wet noodle by addition of 25% tempe and 25% carrot. Based on the analysis of varians, the addition of tempe and carrot in different concentration on the creation of a wet noodle gave different effects of calor, flavor, taste, texture of a wet noodle.
Keywords : wet noodle, tempe, carrot, organoleptic test, nutrient content PENDAHULUAN Masalah gizi utama di Indonesia masih tetap didominasi oleh masalah gizi kurang yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan anemia zat besi. Masalah gizi dapat diperbaiki dengan konsumsi pangan yang beragam. Setiap jenis makanan mempunyai cita rasa, tekstur, aroma dan daya cerna
tersendiri yang memberikan sumbangan gizi berbeda-beda yaitu dengan memanfaatkan tempe dan wortel. Tempe merupakan bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai yang menggunakan jamur Rhizopus oligosporus atau Rhizopus oryzae. Tempe dapat diperoleh dengan harga relatif lebih terjangkau dan lebih mudah diperoleh.
Tempe merupakan sumber gizi yang baik karena mengandung protein, asam amino esensial, asam lemak esensial, vitamin B kompleks, dan serat dalam jumlah cukup (Anonim,2012) Wortel merupakan sayuran yang kaya akan beta karoten sebagai antioksidan yang bisa mencegah penyakit jantung, kanker kulit dan penuaan dini. Wortel dikenal memiliki kandungan vitamin A yang sangat tinggi. Wortel memiliki unsur lain seperti kalori, protein, kalsium, dan besi (Kumalaningsih, 2006). Mi merupakan bahan pangan yang cukup potensial, selain harganya relatif murah dan pengolahannya yang praktis. Mi memiliki kandungan gizi yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi, sehingga mi disukai masyarakat sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi yang mengenyangkan dan mi juga merupakan makanan favorit mulai anak – anak hingga lanjut usia. Saat ini berbagai jenis mi telah banyak dikonsumsi dan dijual di pasaran. Mi basah adalah salah satu bentuk mi yang mudah diolah oleh masyarakat umum dan bahan-bahan pembuatan ini pun mudah didapat, dimana kemungkinan setiap orang dapat membuatnya sendiri (Muhajir, 2007). Bahan utama pembuatan mi adalah tepung terigu yang mana selama ini mi yang biasa dikonsumsi hanya mengandung zat gizi makro saja yaitu karbohidrat, protein dan lemak, dan sangat sedikit atau bahkan tidak mengandung zat gizi lainnya seperti vitamin dan mineral. Sehingga diharapkan dengan penambahan tempe dan wortel dapat memperbaiki kandungan gizi mi basah yang mana pada tempe dan wortel kaya akan kandungan vitamin dan mineralnya dan juga dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu yang merupakan bahan impor dan menduduki porsi terbesar dalam pembuatan mi basah. Sehingga masyarakat yang mengganggap mi sebagai makanan
selingan, tidak hanya untuk mengenyangkan perut tetapi juga menambah asupan gizi pada mereka. Hastuti et al (1985) melaporkan bahwa terigu jenis “soft” cap kunci dapat disubstitusi dengan tepung sorgum sampai 10% dalam pembuatan mie kering dengan hasil yang masih disukai panelis. Royaningsih dan Pangloli (1988) melaporkan bahwa terigu jenis medium cap segitiga biru dapat disubstitusi dengan tepung sagu sampai 30% dalam pembuatan mie basah. Sedangkan penelitian Marzempi et al (1994) melaporkan bahwa jumlah maksimum tepung ubi kayu yang dapat mensubstitusi terigu dalam pembuatan mie adalah 20%. Khusus untuk pemanfaatan wortel sebagai bahan dasar pembuatan mi, Zuraidah Nasution (2005) telah melakukan penelitian substitusi bubur wortel terhadap terigu dan melaporkan bahwa bubur wortel dapat digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan mie basah sebesar 20% dan mengandung vitamin A. Warna, aroma, penampilan, kekenyalan dan rasa mi yang dihasilkan disukai panelis. Dari penelitian yang pernah dilakukan, masing-masing penelitian terdapat keunggulan dan kelemahan sehingga tercetuslah ide untuk membuat mi basah dengan memanfaatkan tempe dan wortel dengan perbandingan sebesar (30% : 20%), (25% : 25%), dan (20% : 30%). Penetapan konsentrasi tempe dan wortel sebesar (30% : 20%), (25% : 25%), dan (20% : 30%) dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan dan menghasilkan adonan mi yang dapat dibentuk. Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang diangkat dalam penilitian ini adalah bagaimana pengaruh penambahan tempe dan wortel dalam pembuatan mi basah terhadap daya terima dan nilai gizinya
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tempe dan wortel dalam pembuatan mi basah terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur mi basah dan nilai gizi mi basah dengan penambahan tempe dan wortel. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi masyarakat dalam pembuatan mi basah yang bergizi ,sebagai salah satu upaya penganekaragaman bahan makanan dari tempe dan wortel, dan sebagai alternative untuk mengurangi pemakaian tepung terigu sebagai bahan dasar pembuatan mi basah. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah eksperimen. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor yaitu tempe dan wortel. Uji statistika dilakukan secara ANOVA. Setelah dianalisa, maka Fhitung yang diperoleh dibandingkan dengan Ftabel. Langkah selanjutnya adalah menentukan perlakuan mana yang lebih baik melalui uji ganda Duncan. Alat yang digunakan yaitu timbangan, blender, alat pencetak mi (ampia), kompor, pisau, baskom, gelas ukur, talenan, tirisan, panci, sendok, dan kemasan mi. Bahan penelitian yang digunakan yaitu tepung terigu hard flour cap “cakra kembar”, tempe, wortel, telur, dan garam. Mi basah yang terbuat dari campuran tepung terigu, tempe dan ubi jalar merah ini terdiri atas empat perlakuan. Perlakuan pertama (E1), perbandingan tepung terigu, tempe dan wortel yaitu (50%, 30%, 20%). Perlakuan kedua (E2), perbandingan tepung terigu, tempe dan wortel yaitu (50%, 25%, 25%) dan perlakuan ketiga (E3), perbandingan tepung terigu, tempe dan wortel yaitu (50%, 20%, 30%).
Tabel 1. Jenis dan Ukuran Bahan Penelitian Bahan Tepung terigu Tempe Wortel Garam Telur Sari wortel
Perlakuan E1 250 g
E2 250 g
E3 250 g
150 g 100 g 10 g 50 g 30 ml
125 g 125 g 10 g 50 g 30 ml
100 g 150 g 10 g 50 g 30 ml
Prosedur Penelitian Prosedur pembuatan mi basah meliputi 4 tahap, yaitu persiapan bahan baku, pencampuran bahan, pencetakan dan perebusan mi basah. Persiapan Bahan-bahan yang perlu dipersiapkan adalah tepung terigu, tempe, wortel, telur, dan garam. Sebelum digunakan wortel dikupas kemudian dicuci bersih dengan air mengalir. Kemudian wortel dan tempe dipotong dan ditimbang beratnya sesuai dengan perlakuan. Kemudian tempe dan wortel di haluskan Pencampuran Bahan-bahan dalam pembuataan mi basah yang terdiri dari terigu, tempe dan wortel dengan perbandingan (50%:30% :20%), (50%:25%:25%), (50%:20%:30%), masing-masing dimasukkan kedalam baskom yang berbeda dan diaduk rata, kemudian ditambahkan garam, telur, dan sari wortel sedikit demi sedikit sambil diaduk rata hingga terbentuk adonan yang homogen. Adonan selanjutnya diuleni sampai menjadi kenyal dan kalis. Pencetakan Tahapan pencetakan meliputi pembentukan lembaran dengan roll press dan pembentukan mi. Adonan dibentuk bulat kemudian dipipihkan dengan menggunakan roll press agar terbentuk lembaran tipis setebal ± 1.5 cm. Selanjutnya
mi ditipiskan dan diratakan menggunakan cetakan mi yang permukaannya halus dimulai dari ukuran terbesar/tebal sampai ukuran terkecil/tipis.. Lembaran mi selanjutnya dicetak menggunakan cetakan mi bergerigi untuk mendapatkan mi dengan ukuran yang seragam. Perebusan Mi yang sudah terbentuk selanjutnya di rebus selama 2 menit pada suhu 100ºC agar tekstur mi menjadi lebih baik dan warnanya seragam. Selanjutnya mi ditiriskan dan ditambahkan minyak goreng agar tekstur mi lebih mengkilap dan pita-pita mi tidak lengket. Prosedur pembuatan mi basah pada penelitian dapat dilihat pada Gambar dibawah ini. Tempe T1 = 30 % T2 = 25 % T3 = 20 %
Tepung terigu 50 %
Wortel W1 = 20 % W2 = 25 % W3 = 30 %
Pencampuran bahan
Pengulenan adonan 15 menit
Pembentukan lembaran
Bahan : Garam 10 g Telur 50 g Sari wortel 30 ml
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan keempat mi basah yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini : Tabel 2. Karakteristik Mi Basah dengan Penambahan Tempe dan Wortel Karak teris tik
Warna
Kuning pucat
Kuning muda
Aroma
Khas tempe Khas tempe Basah dan elastis
Khas tempe wortel Khas tempe wortel Basah dan elastis
Rasa Tekstur
Kuning sedikit kecoklatan Khas wortel Khas wortel Basah dan elastis
Uji Organoleptik Warna Tabel 3. Hasil Analisa Organoleptik Warna Mi Basah dengan Penambahan Tempe dan Wortel Rasa
Pembentukan mi dengan ampia
Perebusan 100ºC selama 2 menit
E2
Penirisan
E3
Mi basah Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Mi Basah dari Tempe dan Wortel
E3
Keterangan: E1 : tepung terigu 50%, tempe 30% dan wortel 20% E2 : tepung terigu 50%, tempe 25% dan wortel 25% E3 : tepung terigu 50%, tempe 20% dan wortel 30%
E1
Penambahan minyak
Mie basah E2
E1
Kriteria
S
KS
TS
Skor P S % P S % P S %
3 8 24
2 17 34
20 60
10 20
10 30
19 38
1 5 5 70 0 0 88,89 1 1 76,66
Keterangan : S : Suka KS : Kurang Suka TS : Tidak Suka
S P
Total 30 63 30 80 30 69
: Skor : Panelis
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa nilai organoleptik warna tertinggi yaitu pada mi basah yang mendapat tambahan tempe 25% dan wortel 25% dengan skor tertinggi
yaitu 80 (88,89 %) dengan kriteria kesukaan adalah sangat suka dan suka. Sedangkan yang terendah yaitu mie basah dengan penambahan tempe 30% dan wortel 20% . Tabel 4. Hasil Analisis Uji Ganda Duncan Terhadap Warna Mi Basah dengan Penambahan Tempe dan Wortel Perlakuan Rata-rata
E1 2,1
E3 2,3
E3 – E1= 2,3 – 2,1 = 0,2 < 0,29 E2 – E1= 2,67 – 2,1 = 0,57 > 0,30 E2 – E3=2,67 – 2,3 = 0,37 > 0,29
E2 2,67
Jadi E3 = E1 Jadi E2 E1 Jadi E2 E3
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam nilai (Fhitung (7,75) > Ftabel (3,15) bermakna bahwa penambahan tempe dan wortel dengan berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna mi basah yang dihasilkan. Hasil Uji Ganda Duncan terhadap warna mi basah menunjukkan bahwa mi basah yang mendapatkan perlakuan terbaik adalah mi basah dengan penambahan tempe 25% dan wortel 25% dengan skor penilaian paling tinggi (2,67) dimana semakin tinggi tingkat penilaian, semakin disukai oleh panelis. Aroma Tabel 5. Hasil Analisa Organoleptik Aroma Mi Basah dengan Penambahan Tempe dan Wortel Aroma E1
E2
E3
Kriteria Skor P S % P S % P S %
Keterangan : S : Suka KS : Kurang Suka TS : Tidak Suka
S 3 14 42
KS 2 14 28
20 60
10 20
10 30
17 34
S P
TS 1 2 2 80 0 0 88,89 3 3 74,44
: Skor : Panelis
Total 30 72 30 80 30 67
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa nilai organoleptik aroma tertinggi yaitu pada mi basah yang mendapat tambahan tempe 25% dan wortel 25% dengan skor tertinggi yaitu 80 (88,89%) dengan kriteria kesukaan adalah suka. Sedangkan yang terendah yaitu mie basah dengan penambahan tempe 20% dan wortel 30%. Tabel 6. Hasil Analisis Uji Ganda Duncan Terhadap Aroma Mi Basah dengan Penambahan Tempe dan Wortel Perlakuan Rata-rata
E3 2,23
E1 2,40
E1 – E3= 2,40 – 2,23 = 0,17 < 0,29 E2 – E3= 2,70 – 2,23 = 0,47 > 0,31 E2 – E1 = 2,70 – 2,40 = 0,30 > 0,29
E2 2,70
Jadi E1 = E3 Jadi E2 E3 Jadi E2 E3
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam nilai (Fhitung 5,09 > Ftabel 3,15) bermakna bahwa penambahan tempe dan wortel dengan berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma mi basah yang dihasilkan. Hasil Uji Ganda Duncan terhadap aroma mi basah menunjukkan bahwa mi basah yang mendapatkan perlakuan terbaik adalah mi basah dengan penambahan tempe 25% dan wortel 25% dengan skor penilaian paling tinggi (2,70) dimana semakin tinggi tingkat penilaian, semakin disukai oleh panelis Rasa Tabel 7. Hasil Analisa Organoleptik Rasa Mi Basah dengan Penambahan Tempe dan Wortel Rasa E1
E2
E3
Kriteria Skor P S % P S % P S %
S 3 7 21
KS 2 15 30
17 51
13 26
6 18
18 36
TS 1 8 8 65,55 0 0 85,56 6 6 66,67
Total 30 59 30 77 30 60
Keterangan : S : Suka KS : Kurang Suka TS : Tidak Suka
S P
Aroma
: Skor : Panelis
E1
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa nilai organoleptik rasa tertinggi yaitu pada mi basah yang mendapat tambahan tempe 25% dan wortel 25% dengan skor tertinggi yaitu 77 (85,56%) dengan kriteria kesukaan adalah suka. Sedangkan yang terendah yaitu mi basah dengan penambahan tempe 30% dan wortel 20%. Tabel 8. Hasil Analisis Uji Ganda Duncan Terhadap Rasa Mi Basah dengan Penambahan Tempe dan Wortel Perlakuan Rata-rata
E1 1,97
E3 2
E3 – E1= 2 – 1,97 = 0,03 < 0,32 E2 – E1= 2,56 – 1,97 = 0,59 > 0,34 E2 – E3 = 2,56 – 2 = 0,56 > 0,32
E2 2,56
Jadi E3 = E1 Jadi E2 E1 Jadi E2 E3
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam nilai (Fhitung (8,77) > Ftabel (3,15) bermakna bahwa penambahan tempe dan wortel dengan berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap rasa mi basah yang dihasilkan. Hasil Uji Ganda Duncan terhadap rasa mi basah menunjukkan bahwa mi basah yang mendapatkan perlakuan terbaik adalah mi basah dengan penambahan tempe 25% dan wortel 25% dengan skor penilaian paling tinggi (2,56) dimana semakin tinggi tingkat penilaian, semakin disukai oleh panelis. Tekstur Tabel 9. Hasil Analisa Organoleptik Tekstur Mi Basah dengan Penambahan Tempe dan Wortel
E2
E3
Kriteria Skor P S % P S % P S %
Keterangan : S : Suka KS : Kurang Suka TS : Tidak Suka
S 3 10 30
KS 2 18 36
17 51
13 26
9 27
18 36
S P
TS 1 2 2 75,55 0 0 85,56 3 3 73,33
Total 30 68 30 77 30 66
: Skor : Panelis
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa nilai organoleptik tekstur tertinggi yaitu pada mi basah yang mendapat tambahan tempe 25% dan wortel 25% dengan skor tertinggi yaitu 77 (85,56 %) dengan kriteria kesukaan adalah suka. Sedangkan yang terendah yaitu mi basah dengan penambahan tempe 30% dan wortel 20%. Tabel 10. Hasil Analisis Uji Ganda Duncan Terhadap Tekstur Mi Basah dengan Penambahan Tempe dan Wortel Perlakuan Rata-rata
E3 2,20
E1 2,26
E1 – E3= 2,26 – 2,20 = 0,06 < 0,29 E2 – E3= 2,57 – 2,20 = 0,37 > 0,30 E2 – E3 = 2,57 – 2,26 = 0,31 > 0,29
E2 2,57
Jadi E3 = E1 Jadi E2 E3 Jadi E2 E1
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam nilai (Fhitung 3,59 > Ftabel 3,15) bermakna bahwa penambahan tempe dan wortel dengan berbagai variasi memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap tekstur mi basah yang dihasilkan. Hasil Uji Ganda Duncan terhadap tekstur mi basah menunjukkan bahwa mi basah yang mendapatkan perlakuan terbaik adalah mi basah dengan penambahan tempe 25% dan wortel 25% dengan skor penilaian paling tinggi (2,57) dimana semakin tinggi tingkat penilaian, semakin disukai oleh panelis.
Nilai Gizi Mi Basah Nilai gizi mi basah dengan tambahan tempe dan wortel berdasarkan DKBM dalam 500 gram bahan dapat dilihat pada tabel 10 di bawah ini : Tabel 10. Kandungan Nilai Gizi Dalam 550 gram Bahan Mi Basah Berdasarkan DKBM Zat Gizi E1 Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Vitamin A (SI) Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin C (mg) Air (g)
252,03 10,15 8,61 36,91 0,64 62,58 177,83 1,95 12,5 40,83 2105 0,1 0,06 0,33 3 39,91
Perlakuan E2 245,15 9,32 16,37 36,68 0,63 58 167,33 1,83 15,42 51,04 2402 0,1 0,06 0,38 3,75 41,36
E3 238,28 8,5 7,93 36,45 0,61 53,41 156,83 1,70 18,33 61,25 2698 0,1 0,06 0,42 4,5 42,80
Penambahan tempe dan wortel dalam pembuatan mi basah dapat meningkatkan nilai gizi mi basah yang dihasilkan. Mi basah yang paling banyak disukai oleh panelis adalah mi basah dengan penambahan tempe 25% dan wortel 25% (E2). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), kandungan gizi mi basah dengan penambahan tempe 25 % dan wortel 25% menyumbang 245,15 kal energi, 9,32 g protein, 16,37 g lemak, 36,68 g karbohidrat, 0,63 g serat, 58 mg kalsium, 167,33 mg fosfor, 1,83 mg besi, 15,42 mg natrium, 51,04 mg kalium, 2402 SI vitamin A, 0,1 mg tiamin, 0,06 mg riboflavin, 0,38 mg niasin, 3,75 mg vitamin C.Dalam pembuatan mi basah melalui proses pemanasan pada wortel dan tempe diperkirakan bahwa nilai gizi mikro dalam
mie basah seperti vitamin A, vitamin B, dan vitamin C akan berkurang. Dengan mengkonsumsi mi basah yang terbuat dari 100 gram bahan ini diharapkan dapat menyumbangkan 9,6 % AKG energi, 15,53 % AKG protein, 400 % AKG vitamin A, 8,3 % AKG tiamin, 4,6 % AKG riboflavin, 2,3 % AKG niasin, 4,2 % AKG vitamin C, 6,38 % AKG kalsium, 27,8 % AKG fosfor, dan 14 % AKG zat besi pada laki-laki dewasa berusia 19 – 29 tahun dengan kategori aktivitas sedang. Sedangkan pada wanita dewasa dapat menyumbangkan 13 % AKG energi, 18,6 % AKG protein, 480 % AKG Vitamin A ,10 % AKG tiamin, 5,45 % AKG riboflavin, 2,7 % niasin, 5 % AKG vitamin C, 7,3 % AKG kalsium, 27,9 % AKG fosfor, dan 7,03 % AKG zat besi. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Penambahan tempe dan wortel dalam pembuatan mi basah memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap penilaian organoleptik baik dari segi warna, aroma, rasa, tekstur maupun kandungan zat gizi. 2. Berdasarkan indikator warna, aroma, rasa, dan tekstur, mi basah dengan penambahan tempe dan wortel yang disukai panelis adalah mi basah dengan penambahan tempe 25% dan wortel 25% (E2). 3. Penambahan tempe dan wortel dalam pembuatan mi basah memberikan sumbangan protein tertinggi yaitu mi basah E1 9,53 gram, kandungan lemak tertinggi yaitu mi basah E2 14,46 gram, kandungan karbohidrat tertinggi yaitu mi basah E1 36,88 gram, kandungan serat tertinggi yaitu mi basah E1 0,64 gram. 4. Penambahan tempe dan wortel dalam pembuatan mi basah memberikan sumbangan vitamin seperti vitamin A, tiamin, riboflavin, niasin dan vitamin C.
Mi Basah tempe wortel yang memiliki kandungan vitamin A tertinggi yaitu mi basah E3 2693 SI, kandungan tiamin terdapat pada mi basah E1 ,E2 , E3 yaitu 0,1 mg, kandungan riboflavin terdapat pada mi basah E1, E2 , E3 yaitu 0,05 mg kandungan niasin tertinggi yaitu E3 0,42 mg, kandungan vitamin C tertinggi yaitu mi basah E3 4,5 mg. 5. Penambahan tempe dan wortel dalam pembuatan mi basah memberikan sumbangan mineral seperti kalsium, fosfor, natrium, dan kalium yang dapat meningkatkan kandungan gizi pada mi basah. Mi basah tempe wortel memiliki kandungan kalsium tertinggi yaitu mi basah E1 58,28 mg, kandungan fosfor tertinggi yaitu mi basah E1 164,93 mg, kandungan natrium tertinggi yaitu mi basah E3 18,33 mg, kandungan kalium tertinggi yaitu mi basah E3 61,25 mg. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hal yang dapat disarankan adalah: 1. Mi basah dengan penambahan tempe dan wortel cocok direkomendasikan bagi penderita diabetes melitus karena mengandung zat gizi karbohidrat dan lemak yang rendah. 2. Perlu dilakukan upaya untuk menyebarluaskan pembuatan mi basah dengan penambahan tempe dan wortel. 3. Perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut dari mi basah untuk meningkatkan daya terimanya.
DAFTAR PASTAKA
Anonim. 2012. Tempe. http://repository.ipb.ac.id. Diakses tanggal 10 Agustus 2013 Hastuti, P.S., E. Sutriswati dan I.S. Utami. 1985. Tepung Sorgum (Sorgum vulgare) Sebagai Pengganti Tepung Gandum dalam Pembuatan Mie dan Roti Tawar. Jurnal. Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta. Kumalaningsih, S. 2006. Antioksidan Alami Penangkal Radikal Bebas. Trubus Agisarana. Surabaya. Marzempi, D. Sastrodipuro, Azman dan Aswardi. 1994. Penggunaan Tepung Ubi Kayu Sebagai Bahan Substitusi Terigu dalam Pembuatan Mie Kering. Di dalam Nasrun, et al. (Ed). Risalah Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami. Solok Muhajir. 2007. Peningkatan Gizi Mie Instan dari Campuran Tepung Terigu dan Tepung Ubi Jalar Melalui Penambahan Tepung Tempe dan Tepung Ikan. Sumatera utara. Medan. Munarso dan Bambang. 2009. Perkembangan Teknologi Pengolahan Mie Diakses http://www.iptek.net.id. tanggal 10 Februari 2013 Royaningsih, S. dan P. Pangloli. 1988. Pembuatan Mie Basah (boiled noodle) dari Campuran Terigu dan Tepung Sagu. Di dalam E.S. Heruwati (Ed). Prosiding Seminar Penelitian Pasca Panen Pertanian. Balitbang Penelitian, Departemen Pertanian. Bogor.
HUBUNGAN STATUS STRES PSIKOSOSIAL DENGAN KONSUMSI MAKANAN DAN STATUS GIZI SISWA SMU METHODIST-8 MEDAN (The Relationship between the status of psychosocial stress with food consumption and nutritional status of the students of SMU Methodist-8 Medan) Tienne A. U Nadeak1, Albiner Siagian2, Etti Sudaryati3 1
2,3
Program Sarjana FKM USU Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU, Medan, 20155, Indonesia email:
[email protected]
Abstract Being a teenager is the period development transition between childhood and adulthood involving biological, cognitive and psychosocial changes. Stress causes eating disorder in the forms of less or increasing appetite and nutritional absorption disorder. The purpose of this quantitative analytical survey study with cross-sectional design was to the relationship between the status of psychosocial stress with food consumption and nutritional status. The samples for this study were 77 students of SMU Methodist 8 Medan. The data about the status of psychosocial stress were obtained through distributing ALCES questionnaire. The data about food consumption were obtained through 2 x 24 hour food recall forms. The data about anthropometry collected were body height and body weight. The data obtained were analyzed through Chi-square test. The result of this study showed that 30 respondents (39%) were with normal nutritional status, 27 respondents (35%) were fat, 11 respondents (14.3%) were thin. It was also found out that 47 respondents (61.0%) were with the status of severe psychosocial stress, 18 respondents (23.4%) with the status of medium psychosocial stress. The result of Chi-square test showed that there was a significant relationship between the status of psychosocial stress and food consumption, between the status of psychosocial stress and nutritional status, and between energy consumption and the students’ nutritional status. It is suggested to reduce the stress status of the students, need to facilitate the development of the talent of the students through sport, art or any other activity. Keywords: Psychosocial Stress, Teenager, Food Consumption, Nutritional Status PENDAHULUAN Remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahanperubahan biologis, kognitif, dan Psikososial (Sarwono, 2010). Pertumbuhan fisik menyebabkan remaja membutuhkan asupan nutrisi
yang lebih besar dari pada masa anak-anak. Perubahan psikis menyebabkan remaja sangat mudah terpengaruh oleh teman sebaya. Masalah gizi yang sering timbul pada masa remaja sekarang ini adalah pola makan yang tidak teratur, kehamilan pada remaja, gangguan makan , obesitas dan
1
anemia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kebiasaan makan yang buruk, pemahaman gizi yang keliru, kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu, promosi yang berlebihan melalui media massa dan masuknya produk- produk makanan baru (Adriani dkk, 2012). Dari data Riskesdas tahun 2010 Prevalensi Status Gizi Remaja di Indonesia diperoleh hasil sebagai berikut; Remaja umur 13-15 tahun (IMT/U) status gizi yang sangat kurus 2,7%, kurus 7,4%, normal 87,4%, dan yang gemuk 2,5%. Remaja umur 16-18 tahun (IMT/U) status gizi yang sangat kurus 1,8%, kurus 7,1%, normal 89,7% dan gemuk 1,4%. Sedangkan di Sumatera Utara berdasarkan data Riskesdas 2010 Remaja umur 13-15 tahun (IMT/U) status gizi yang sangat kurus 2,6 %, kurus 5,3%, normal 89,2%, dan yang gemuk 3%. Remaja umur 16-18 tahun (IMT/U) status gizi yang sangat kurus 1,4%, kurus 4,6%, normal 93,1% dan gemuk 1%. Masa remaja merupakan masa yang rentan dengan permasalahan, mengingat emosi mereka yang belum stabil. Masalah yang banyak dialami remaja pada saat ini merupakan manifestasi dari stres diantaranya depresi, kecemasan, pola makan tidak teratur, penyalahgunaan obat sampai penyakit yang berhubungan dengan fisik. Stres berhubungan dengan peningkatan berat badan dan penurunan berat badan. Beberapa orang memilih untuk mengkonsumsi garam, lemak dan gula. Untuk menghadapi ketegangan dan kemudian mengalami penambahan berat badan. Turunnya berat badan merupakan salah satu akibat yang
paling non spesifik dari keadaan stres kronis. Sistem pencernaan penderita stres kemungkinan terganggu sehingga penderita tidak berselera makan karena merasa mual dan muntah- muntah (Tirta, 2006). Siswa SMU Methodist-8 Medan mempunyai latar belakang yang beraneka ragam. Berbagai masalah muncul dan dialami oleh setiap siswa. Permasalahan yang dialami siswa-siswi sangatlah komplek. SMU Methodist 8 Medan memiliki tiga kelas unggulan dari sembilan kelas yang ada, dimana untuk masuk ke dalam kelas unggulan siswa harus mengikuti test kemampuan sesuai dengan standart sekolah. Dimana fasilitas di kelas ini juga berbeda dibandingkan dengan kelas yang lain. Jam pelajaran juga lebih tinggi pada kelas ini yaitu sampai dengan pukul 16.00 WIB, hal ini dianggap sebagai faktor pemicu terjadinya stres pada siswa SMU Methodist 8 Medan. Dari hasil wawancara dan observasi (Mei 2013) yang telah dilakukan sebelumnya pada 15 siswa, 10 orang siswa mengalami masalah seputar pendidikan, pertemanan, orangtua dan keuangan. Selain itu masalah berkenaan dengan teman lawan jenis juga dialami siswa-siswi, dimana masalahmasalah yang dihadapi terkadang mengakibatkan gangguan makan mereka. Stres dapat berupa perubahan peristiwa kehidupan yang terjadi, baik di lingkungan sekolah, tempat tinggal maupun masyarakat. Stres psikososial yang terjadi pada remaja menuntut penyesuaian tersendiri. Bila penyesuaian tersebut gagal, individu dapat mengalami beberapa gangguan, salah satunya adalah gangguan makan.
2
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan status stres psikososial dengan konsumsi makanan dan status gizi. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan desain cross sectional yaitu untuk mengetahui bagaimana hubungan status stres psikososial dengan konsumsi makanan dan status gizi siswa SMU Methodist -8 Medan. Sebagai lokasi dalam penelitian ini dilakukan di SMU Methodist -8 Medan, pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa SMU Methodist8 Medan yang berusia 15-18 tahun yaitu berjumlah 332 orang dan sampel yang diambil berjumlah 77 orang yang ditentukan secara Proporsionate Stratified Random Sampling. Data primer mencakup gambaran umum responden yaitu nama, umur, jenis kelamin, kelas; data status gizi siswa diperoleh melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan. Hasilnya dinilai dengan acuan IMT/U berdasarkan standar WHO 2005; data konsumsi makanan diketahui dengan menggunakan formulir food recall 2x24 jam, data skor stres psikososial diperoleh dari pengisian kuesioner Adolescent Life Change Event Scale (ALCES). Data sekunder meliputi profil sekolah, daftar absensi siswa, jadwal pelajaran harian, jadwal pelajaran tambahan, kegiatan siswa yang dilakukan di sekolah data ini diperoleh dari pihak SMU Methodist -8 Medan.
Status stres psikososial adalah keadaan stres seseorang yang dialami akibat dari peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan adaptasi lingkungan dan hubungan sosial. Status stres psikososial dinyatakan dengan penilaian kuesioner ALCES (Dacey, J. 1997), yang dikategorikan dalam 3 kriteria yaitu: tidak stres ( < 150), stres sedang (150-299), stres berat (>300). Konsumsi makanan adalah konsumsi energi dan protein yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG), yang dikategorikan menjadi 4 kriteria yaitu : Baik ( 100% AKG), Sedang (80-99%), Kurang (70-80% AKG), Defisit (< 70%) (Supariasa, 2002). Status gizi : keadaan gizi sebagai akibat dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk kedalam dalam tubuh yang diukur dengan membandingkan IMT terhadap Umur (IMT/U), yang dikategorikan dalam 5 kriteria yaitu : Kategori : < 14,7 : Sangat Kurus 14,7 – 15,8 : Kurus 15,7 – 25,4 : Normal 25,5 – 29,7 : Gemuk 29,8- 36,2 : Obesitas (Kemenkes RI, 2010). Pengolahan data dilakukan dengan tahapan editing, coding, tabulating dan entry data dengan menggunakan program computer SPSS 17.0. Data Status stres diperoleh melalui wawancara 31 pertanyaan dalam kuesioner ALCES. Data konsumsi makanan diperoleh melalui wawancara langsung kemudian di olah ke dalam Nutrisurvey Versi Indonesia yang di rata-rata untuk 2x recall. Data status Gizi diperoleh melalui pengukuran antropometri berupa penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
3
badan yang hasilnya kemudian dinilai dengan acuan IMT/U menggunakan standar WHO 2005. Hasil akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan tabulasi silang. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Karakteristik responden di SMU Methodist-8 Medan No 1.
2.
Karakteristik Responden Umur Responden − 15-16 − 16-17 − 17-18 Jumlah Jenis Kelamin − Laki-laki − Perempuan Jumlah
n
%
27 35 15 77
35,1 45,4 19,5 100,0
41 36 77
53,2 46,8 100,0
Dari tabel 1. diatas menunjukkan siswa umur 16-17 tahun yang paling banyak yaitu 35 orang dan jenis kelamin laki-laki yang paling banyak yaitu 41 orang. Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran langsung terhadap kondisi antropometri responden yang hasilnya menunjukkan bahwa berat badan rata-rata responden sebesar 63,16 kg ± 11,69 (minimal = 39,8 kg; maksimal = 98,0 kg), sedangkan rata-rata tinggi badan responden dalam penelitian ini adalah 1,656 m ± 0,065 m (minimal= 151,5 cm ; maksimal = 180,0 cm ). Angka ratarata ini menggambarkan kondisi status gizi siswa normal dan gemuk. Berikut distribusi frekuensi status gizi siswa.
Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Status Gizi Responden di SMU Methodist-8 Medan Jumlah Status Gizi n % Kurus 11 14,3 Normal 30 39,0 Gemuk 27 35,1 Obesitas 9 11,7 Total 77 100,0
Tabel 2. di atas menunjukkan bahwa dari 77 siswa dengan status gizi normal yaitu 30 orang (39,0%) sementara status gizi obesitas 9 orang (11,7%). Pengukuran terhadap konsumsi makanan yaitu konsumsi energi dan protein responden tujuan nya adalah untuk menggambarkan suatu alur yang lebih jelas yang dapat menghubungkan antara kedua variabel penelitian. Konsumsi makanan diukur menggunakan formulir food recall 24 jam. Data yang diperoleh dari dua kali perhitungan kemudian diolah dengan menggunakan Nutrisurvey versi Indonesia dan dinyatakan dalam persentase kecukupan konsumsi makanan responden. Tabel 3 Distribusi Frekuensi Konsumsi Energi Responden Siswa SMU Methodist-8 Medan Jumlah Konsumsi Energi n % Baik 28 36,4 Sedang 40 51,9 Kurang 7 9,1 Defisit 2 2,6 Total 77 100,0 Konsumsi energi responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden memilki konsumsi energi 4
yang dikategorikan sedang, yaitu 40 orang (51,9%), kategori defisit, yaitu 2 orang (2,6%) dengan rata-rata konsumsi energi yaitu 96,87%. Sedangkan konsumsi protein diketahui bahwa sebagian besar responden memilki konsumsi protein yang dikategorikan baik, yaitu 73 orang (94,8%), kategori sedang, yaitu 4 orang (5,2%) dengan rata-rata konsumsi protein yaitu 146,9 %. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Konsumsi Protein Responden di SMU Methodist-8 Medan Jumlah Konsumsi Protein n % Baik 73 94,8 Sedang 4 5,2 Total 77 100,0 Tabel
5. Distribusi Frekuensi Status Stres Psikososial Responden di SMU Methodist-8 Medan Jumlah Status Stres Psikososial n % Tidak Stres (< 150) 16 20,7 Stres Sedang (15025 32,5 299) Stres Berat ( > 300) 36 46,8 Jumlah 77 100 Dari hasil pengukuran terhadap kondisi stres psikososial didapat bahwa sebagian besar responden dapat digolongkan dalam kondisi stress berat, yaitu 36 orang (46,8%), kondisi stress sedang, yaitu 25 orang (22,5%), sedangkan yang tidak stress, yaitu 16 orang (20,7%). Dengan rata-rata skor jawaban yaitu 309.
Hubungan Status Stres Psikososial dengan Konsumsi Energi dan Protein. Untuk hubungan Status Stres Psikososial dengan konsumsi energi dari hasil uji chi-square didapat nilai p = 0,0448, artinya bahwa terdapat hubungan yang signifikan. Semakin tinggi status stres seseorang maka konsumsi energi semakin tinggi. Hubungan stres dengan konsumsi energi dapat dilihat pada tabel 6. Hasil penelitian Subiyati (2009) dalam Hendrik (2011), didapat bahwa terdapat hubungan asupan energi dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu (p = 0,000) pada pasien Skizofrenia di RSUD Amino Gonouhutomo Semarang dan tidak terdapat hubungan asupan protein dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu (p = 0,123). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nishitani dan Sakakibara (2006) yang menyatakan bahwa kondisi kehidupan penuh stres akan mempengaruhi perilaku makan, yaitu lebih pada konsumsi berlebih dan berkontribusi terhadap kejadian obesitas. Begitu juga dengan penelitian O’connor (2004) yang menyatakan bahwa orang-orang karakteristik tertentu pada saat berada dalam kondisi stres mengkonsumsi kudapan lebih banyak dan mengalami peningkatan total konsumsi makan. Dariyo (2004), menyatakan bahwa pada remaja, gambaran kondisi emosional yang tidak stabil menyebabkan individu cenderung melakukan pelarian diri dengan cara banyak makan makanan yang mengandung kalori atau kolesterol tinggi, energi dan protein, sehingga berakibat pada kegemukan. Hal ini terutama ditemukan pada kondisi kehidupan yang penuh stres. Makan
5
berlebih cenderung ditemukan pada penderita stres. Karena makanan terbukti dapat menimbulkan rasa nyaman (Tirta, 2006). Untuk hubungan Status Stres Psikososial dengan konsumsi protein dari hasil uji chi-square didapat nilai p = 0,317, artinya bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hubungan stres dengan konsumsi protein dapat dilihat pada tabel 7. Hubungan Konsumsi Energi dan Protein dengan Status Gizi Untuk hubungan Konsumsi Energi dengan Status Gizi dapat dilihat pada tabel 8. Dari hasil uji chi-square didapat nilai p = 0,000, artinya bahwa terdapat hubungan yang signifikan. Dari tabel di atas menunjukkan tingginya konsumsi energi seseorang dapat mempengaruhi tingkat status gizi nya yang ditandai dengan peningkatan IMT/U. Untuk hubungan Konsumsi Protein dengan Status Gizi dapat dilihat pada tabel 9. Dari hasil uji chi-square didapat nilai p = 0,306, artinya bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan. Menurut WHO (dalam Rumida, 2009), ketidakseimbangan asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan. Selain itu kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas penyimpanan protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan dioksidasi, sedangkan karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Bila konsumsi energi berlebihan, maka sekitar 60-80 %
disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Kebiasaan makan remaja sekarang ini kurang baik seperti makan apapun asal kenyang, ataupun makan sekedar untuk bersosialisasi, demi kesenangan dan supaya tidak kehilangan status. Unsur-unsur gizi pada makanan yang dikonsumsi kurang diperhatikan, sebab saat memilih makanan remaja lebih mementingkan nilai kesenangan. Adapun kebiasaan makan remaja tersebut ditunjukkan dengan mengkonsumsi makanan fast food dan Junk food. Kini makanan fast food dan junk food telah menjadi bagian dari prilaku sebagian anak sekolah dan remaja. Anak yang memperoleh intake energi dari fast food dan junk food sebanyak 75% lebih berpengaruh untuk menjadi gemuk bahkan obesitas dari pada anak yang tidak memperoleh intake energi yang dikonsumsi dari fast food dan junk food. Penjelasan lain yang dapat diberikan adalah adanya kemungkinan riwayat penyakit yang dialami oleh responden dalam rentang waktu yang berdekatan dengan waktu penelitian yang diadakan, yang pada saat penelitian berlangsung dinyatakan sudah sembuh. Hal ini sesuai dengan penelitian Permaisih (2003) yang menyatakan bahwa status gizi remaja dipengaruhi secara signifikan oleh riwayat sakit dan keluhan sakit satu bulan yang lalu. Hubungan Status Stres Psikososial dengan Status Gizi Dari tabel 10. menunjukkan semakin tinggi skor stres seseorang, semakin tinggi tingkatan indikator status gizinya. Dapat dilihat bahwa individu yang status gizinya gemuk,
6
dan obesitas mengalami stres berat dan stres sedang. Dari 31 pertanyaan dalam kuesioner ALCES, yang menjadi masalah pemicu stres pada siswa adalah ketika mereka gagal 1 atau lebih mata pelajaran di sekolah, tuntutan orang tua dan guru yang menginginkan nilai yang baik menjadikan mereka berada pada tekanan dan stres, pada siswa dari kelas unggulan dan IPA mata pelajaran yang sering gagal adalah Fisika dan Kimia, sedangkan pada siswa dari kelas IPS yaitu mata pelajaran Akuntansi dan Sejarah. Begitu juga dengan putus dengan pacar, hubungan sosial dengan teman lawan jenis membuat banyak siswa berada pada tekanan emosi, masalah dengan orangtua, masalah dengan guru, masalah dengan saudara, masalah jerawat dan berada dalam keadaan sakit. Saat dalam keadaan stres siswa mengalami perubahan nafsu makan, siswa dengan status gizi gemuk dan obesitas lebih banyak melakukan pelarian pada makanan, konsumsi energi lebih banyak yaitu makan makanan tinggi kalori dan lemak. Sedangkan pada siswa dengan status gizi kurus mereka lebih banyak mengurangi konsumsi energi. Saat mengalami stres, otak akan merangsang sekresi adrenalin. Bahan kimia ini akan menuju ginjal dan mamicu proses perubahan glikogen menjadi glukosa sehingga mempercepat peredaran darah. Tekanan darah akan meningkat, pernafasan semakin cepat (untuk meningkatkan asupan oksigen) dan pencernaan terkena dampaknya. Stres bukan lah suatu penyakit, melainkan mekanisme pertahanan tubuh. Namun jika mekanisme
pertahanan ini menjadi kronis maka akan lebih rentan terhadap penyakit. Tingginya status stres psikososial pada responden sangat mempengaruhi status gizi pada responden karena yang mengalami penurunan IMT/U dan peningkatan IMT/U sehingga status gizi responden banyak yang kurus, gemuk, dan obesitas. Menurut Prawirohusodo (1988), timbulnya efek negatif dari stres tergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan, status kesehatan, falsafah hidup, kekuatan keyakinan akan agama dan kepercayaan yang dianut,, persepsi terhadap stres dan stres-prone (kecendrungan mengalami stres). Untuk itu perlu dilakukan pendekatan dan komunikasi khusus yang oleh pihak sekolah untuk mencari solusi dari tingginya status stres psikososial pada siswa dan juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga konsumsi makanan dan hidup sehat melalui program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), penggalakan gizi seimbang dan meningkatkan kegiatan penyaluran bakat siswa melalui olahraga, seni ataupun bidang lainnya. Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), adalah ujung tombak dalam pemberdayaan masyarakat/ siswa dalam melakukan promosi kesehatan. Untuk itu perlu dilakukan advokasi dan bina suasana terhadap pihak sekolah, agra sekolah mendukung penuh kegiatan UKS terutama dalam mengatasi status stres siswa dan status gizi siswa. Begitu juga dengan pihak kantin sekolah dimana perlu pemberian informasi seputar jajanan sehat buat siswa.
7
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, umumnya responden memiliki status gizi normal dan gemuk dan digolongkan stres berat. Dari hasil pengumpulan data skor status stres dapat disimpulkan bahwa yang menjadi masalah pemicu terjadi nya stres yaitu gagal 1 atau lebih mata pelajaran di sekolah, putus dengan pacar, sakit, masalah dengan orangtua, masalah dengan guru, jerawat dan masalah dengan saudara. Bagi institusi pendidikan dan orangtua lebih memperhatikan perkembangan psikologi siswa, memperhatikan jam belajar dan memberikan fasilitas dalam pengembangan bakat siswa baik dalam bidang olahraga, seni dan bidang lainnya. DAFTAR PUSTAKA Andriani , M, dkk. 2012. Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Prenada Media, Jakarta Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Ghalia Indonesia. Bogor Dacey, J. et al 1997. Adolescent Development. Times mirror HE Group. Depkes RI. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta Hendrik, T. 2011. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Serta Status Gizi pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Inap RSJD Prov. SU. Medan. Tesis. FKM. Universitas Sumatera Utara. Rumida, 2009. Pengaruh Prilaku Makan Dan Aktivitas Fisik Terhadap Terjadinya Obesitas Pada Pelajar SMU Methodist Medan. Tesis . Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Sarwono. 2010. Psikologi Remaja. Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta Tirta, M.P.L.K, dkk 2006. Status Stres Psikososial Dan Hubungannya Dengan Status Gizi Siswa SMP Stella Duce 1 Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, Volume 6, No 3. Maret 2010
8