Implementasi Retribusi Persampahan / Kebersihan di Kabupaten Sleman Baiduri Ismayanti Fitriana, Achmad Lutfi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik The increasing cost of waste management made the local government of Sleman District issued a local regulation Number 13/2011 concerning on Garbage Disposal that regulate the increasing waste management fee reaching 100%. Some basic societal problems were emerged that affecting both the wheelie bin officer, as well as public whom should pay the fee. Thus research purpose of this study is trying to analyze the implementation of the garbage disposal fee in Sleman District as well as identifying some obstacle in the implemtation process. At the end, researcher conclude that the implementation of garbage disposal fee in Sleman District in not running well and the main contraints that hinder the implementation process is the government’s indecisions which resulted in deviation by some groups Key Word : Policy Implementation, User Charges, retribution for garbage disposal. 1.
Pendahuluan Kemampuan pembiayaan merupakan salah satu segi atau kriteria penting untuk
menilai secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri. Tanpa adanya pembiayaan yang cukup, maka tidak mungkin suatu daerah secara optimal mampu menyelenggarakan tugas dan kewajiban serta segala kewenangan yang melekat dengannya untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sebaliknya, jika kemampuan pembiayaan suatu daerah besar, maka kemampuan daerah untuk mengatur rumah tangganya semakin besar. (Lutfi, 2006, p.1) Semakin banyaknya wewenang yang di limpahkan ke pemerintah daerah maka, tuntutan peningkatan PAD akan semakin besar. Salah satu upaya yang di tempuh pemerintah daerah adalah memaksimalkan pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Retribusi memiliki keunggulan dalam kemudahan pemungutan dan penetapannya yang di tinjau dari segi administrasi dibandingkan dengan pajak. Secara teoritis, retribusi relatif sederhana dan mudah untuk di pungut dengan biaya yang relatif rendah.
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
Kemudahan didalam pemungutan retribusi disebabkan oleh tingkat konsumsi yang mudah diukur sehingga pemakai hanya membayar apa yang telah mereka konsumsi (Santoso, 1995, p19). Di Indonesia, hampir semua daerah mengalami perkembangan retribusi yang berdampak pada jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah. Salah satu daerah yang mengalami perubahan jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah adalah Kabupaten Sleman di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini terlihat dari peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun yang di tunjukan pada tabel berikut ini. Tabel 1 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2009 - 2011 Tahun
Realisasi
2009
Rp. 157.231.267.811,84
2010
Rp. 163.056.459.137,93
2011
Rp. 226.723.271.088,47
Sumber : ppid.slemankab.go.id (Diolah Oleh Peneliti) Dari tabel 1.1 terlihat bahwa realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman meningkat dari tahun ke tahun. Terlihat terdapat peningkatan yang cukup besar dari tahun 2010 ke tahun 2011. Dari Pendapatan Asli Daerah yang cukup besar tersebut di dalamnya terdapat kontribusi dari retribusi daerah kabupaten Sleman sebagai salah satu sumber yang potensial. Untuk lebih jelas nya, akan di sajikan tabel penerimaan retribusi daerah Kabupaten Sleman. Tabel 2 Penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2009 – 2011 Tahun
Realisasi
2009
Rp. 54.719.439.555,90
2010
Rp. 59.110.503.292,07
2011
Rp. 33.163.697.870,80
Sumber : ddip.slemankab.go.id (diolah oleh peneliti) Berdasarkan tabel 1.2 terlihat bahwa realisasi retribusi daerah mengalami peningkatan pada tahun 2010, namun di realisasi tahun 2011 retribusi daerah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Kabupaten Sleman sebagai salah satu daerah yang sangat strategis, menyebabkan perkembangan kabupaten sleman terbilang pesat. Pertambahan jumlah penduduk ini tentu
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
akan berdampak pada meningkatnya volume sampah rumah tangga. Upaya menanggulangi permasalahan sampah tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit, dimana biaya yang akan digunakan berasal dari pendapatan asli daerah. Pemerintah harus melakukan tindakan yang nyata dan adil untuk mendapatkan biaya tersebut. Penyempurnaan retribusi sampah dengan menaikan tarif nya menjadi salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sleman untuk menyelesaikan permasalahan persampahan yang terjadi. Mulai bulan Februari 2013 telah ditetapkan kenaikan retribusi pelayanan persampahan/kebersihan yang didasarkan pada Perda Kabupaten Sleman Nomor 13 Tahun 2011 tentang retribusi pelayanan persampahan/kebersihan. Adanya Perda ini ditetapkan kenaikan retribusi sampah hingga 100 persen dari retribusi sebelumnya, sebagai contoh, selama ini, setiap KK di Sleman rata-rata membayar iuran sampah sebesar Rp. 6000,sampai Rp. 8000,- setiap bulannya. Sedangkan tarif baru yang ditetapkan bagi setiap KK berkisar dari Rp. 11.600,- hingga Rp. 17.400,(http://lipsus.berita21.com,
retribusi naik petugas penarik gerobak sampah keberatan, 13
Maret 2013) Ketua Punokawan, Sujito (72) , mengaku kesulitan memenuhi ketentuan yang diatur Perda No. 13/2011 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan. Menurutnya, tarif retribusi tidak realistis dan tidak sebanding dengan penghasilan penarik gerobak sampah per bulannya. Sesuai perda, pungutan yang harus dibayarkan penarik gerobak sebesar Rp35.100 per meter kubik sampah. Dari perhitungan itu, Sujito harus menyetor sebanyak Rp1,3 juta per bulan.Sujito juga menambahkan bahwa ada kerancuan dalam perda ini dimana atas tukang gerobak dikenakan retribusi persampahan berdasarkan volume sampah, sedangkan untuk masyarakat dikenakan berdasarkan jumlah jiwa, misalnya untuk rumah berpenghuni 1-4 orang, tarif dibayarkan Rp 11.600 per bulan. Rumah dengan 5-7 orang tarifnya Rp 17.400 per bulan. Dan penghuni lebih dari 7 orang dalam satu rumah dikenakan retribusi Rp 2.900 per jiwa. Kenaikan tarif retribusi persampahan/kebersihan di Kabupaten Sleman tidak diikuti dengan pengawasan yang baik serta dukungan dari masyarakat. Hal ini terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang tidak membayar sesuai ketentuan yang berlaku. Dari masalah – masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai implementasi serta kendala – kendala yang muncul dari retribusi persampahan/kebersihan yang berlaku di Kabupaten Sleman. Selain itu peneliti ingin mengetahui juga apakah tarif retribusi persampahan / kebersihan yang diterapkan memang
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
layak untuk diberlakukan dengan melihat dampak yang ditimbulkan dari kenaikan tarif retribusi tersebut.
2.
Kerangka Teori Kebijakan publik meliputi hampir pada setiap bidang kehidupan manusia. Ia terwujud
dalam penyelesaian konflik, pemberian tanda penghargaan kepada anggota-anggota masyarakat, pungutan pajak, pengaturan perkawinan, penghapusan jembatan timbang, dan sebagainya. Thomas R. Dye (1976) (dalam Ismail Nawanwi (2009,p8) mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan sedangkan menurut Anderson, dalam Winarno (2004, p16) kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Definisi lain diungkapkan oleh Nugroho yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi,untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. Ada tiga tahapan dalam suatu kebijakan yaitu formulasi, implementasi dan evaluasi, pada penelitian ini lebih fokus kepada implementasi kebijakan. Dalam praktik implementasi kebijakan merupakan proses yang sangat kompleks, sering
bernuansa
politis
dan
memuat
adanya
intervensi
kepentingan.
Untuk
mendeskripsikan implementasi kebijakan, beberapa ahli mendifinisikan sebagai berikut. Menurut Van Meter dan Van Horn (1975) dalam Wahab (1997, p65) implementasi kebijakan merupakan tindakan – tindakan yang dilakukan baik oleh individuindividu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan sedangkan menurut Jones (1991) dalam Ismail Nawawi
(2009,p132) implementasi
kebijakan publik adalah implementasi kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan. Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Menurut Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
Gambar 1 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edward III Komunikasi
Sumberdaya Implementasi Disposisi
Struktur Sumber : Edward III dalam Ismail (2009,p138)
Dalam literatur-literatur mengenai keuangan negara dan daerah, terdapat banyak ahli keuangan yang mengajukan retribusi. Ada beberapa pengertian retribusi menurut sejumlah tokoh. Menurut Rochmat Soemitro (1994 : 17) secara umum retribusi diartikan sebagai pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara. Sedangkan menurut Suparmoko (2000 : 94), retribusi adalah suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan antara balas jasa yang langsung diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut. Salah satu jenis retribusi daerah adalah retribusi jasa umum. Menurut Zorn
(1991,p137) retribusi jasa umum merupakan pembayaran yang
dibayarkan secara sukarela atas layanan publik yang disediakan dan memberikan keuntungan bagi individu tertentu, tetapi menunjukkan karakteristik barang publik (public goods) atau terkait erat dengan barang publik. Retribusi jasa umum memiliki peran yang penting dalam isu penyediaan pelayanan publik. Retribusi memungkinkan pemerintah untuk mengenakan biaya layanan pada warga yang mengunakan layanan tersebut. Retribusi merupakan metode yang efektif untuk mengurangi konsumsi langka akan sumber daya. Zorn (1991 , p137) menegaskan bahwa : “.. it focuses on distinctly public-sector activities that do not compel individuals to contribute. User charges and fees are payments for voluntarily purchased, publicly provided services that benefits specific
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
individuals, but exhibit public-good characteristics or are closely associated with public goods.” Retribusi Persampahan termasuk ke dalam Retribusi Jasa umum. Persampahan / kebersihan merupakan instrumen kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk mengatur kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan baik di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan kota. Melalui mekanisme persampahan/kebersihan ini pemerintah dapat melakukan pengendalian atas eksternalitas negatif yang timbul dari tumpukan sampah yang tidak terkontrol. Menurut
Fisher
(2006,
p193)
pengenaan
biaya
retribusi
pelayanan
persampahan/kebersihan tergantung pada jumlah dan jenis limbah yang dihasilkan. Penerapan harga atas pelayanan kebersihan tidak sepenuhnya dibebankan kepada pengguna melainkan mendapat subsidi pemerintah (marginal cost), sehingga semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan jasa tersebut. Dalam penerapan tarifnya, tarif retribusi persampahan/kebersihan biasanya dipungut dari konsumen melalui tagihan bulanan atau kuartalan. Dalam jenis tarif retribusi menurut Green dalam bukunya Handbook on Water Economics: Principles and practice sebagaimana dikutip oleh Nallathiga (p6) terdapat beberapa jenis tarif yang biasanya diterapkan dalam user charge, yaitu : Flat Rate Tariff, Unit Rate Charging, Variable Block Pricing, Seasonal Rate Schedule, Marginal Cost Pricing, Average Cost Pricing, Average Incremental Cost Princing, Two-art or Multi_part Tariff. Jenis tarif yang digunakan dan sesuai dengan Retribusi Persampahan/Kebersihan di Kabupaten Sleman adalah Variable Block Pricing, yaitu Jenis tarif ini lebih bersifat blok atau golongan dimana besaran tarif untuk setiap blok atau golongan akan berbeda. Pada tarif jenis ini bisa saja terjadi semakin banyak konsumen menggunakan layanan maka semakin murah tarif perlayanan yang diberikan ataupun sebaliknya semakin banyak kosumen mengkonsumsi layanan maka semakin tingi tarif perlayanan yang diberikan. 3.
Metode Penelitian Penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini
peneliti bertujuan untuk menganalisis implementasi retribusi persampahan / kebersihan di Kabupaten Sleman. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai suatu gejala atau fenomena. Jadi tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan mekanisme sebuah proses formulasi kebijakan. Teknik pengumpulan data
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
bertujuan untuk mengumpulkan data atau informasi yang dapat menjelaskan permasalahan suatu penelitian secara obyektif. Data kualitatif terbagi menjadi tiga bentuk yaitu Studi Lapangan (Field Research) , Studi Kepustakaan (Library Research) dan Observasi. 4.
Analisis Di dalam perda No 14 Tahun 2007 dijelaskan bahwa pengelolaan sampah
dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu pengurangan, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan dan pengolahan. Tahapan pengurangan dapat dilakukan dengan dua cara, salah satunya adalah memanfaatkan kembali sampah secara langsung, hal ini sudah berlangsung di kabupaten Sleman, ada beberapa daerah yang sudah melakukan pemanfaatan kembali sampah. Daerah-daerah tersebut membentuk kelompok-kelompok yang memang bertugas untuk mengurus sampah-sampah yang dapat di manfaatkan kembali, mereka menamai kelompok mereka sebagai kelompok pengelola sampah mandiri. Tahapan yang kedua yaitu tahapan pemilahan sampah, pemerintah Sleman sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan sosialisasi tentang perbedaan jenis sampah yang akan di buang, salah satunya adalah dengan menyediakan tempat sampah yang berbeda sesuai dengan jenis sampahnya. Sampah dimasukan di tempat sampah sesuai karakteristiknya. Akan tetapi ketersediaan tempat sampah ini masih sangat terbatas, belum semua daerah di sleman memiliki tempat sampah seperti ini, hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab kurang berjalannya tahapan pemilahan sampah ini, hal dipertegas pula oleh DPUP kabupaten Sleman. Untuk tahapan selanjutnya, yaitu tahap pengumpulan, pada tahapan ini dijelaskan bagaimana proses pengambilan atau pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penyimpanan sementara (TPS) atau transferdepo. Semua sampah yang dikumpulkan akan bermuara pada transferdepo di kabupaten Sleman sebelum di angkut ke tempat pembuangan akhir. Di kabupaten Sleman terdapat 9 buah transferdepo yang berada dalam pengelolaan pemerintah kabupaten Sleman. Proses pengangkutan sampah di sleman sebelum di angkut ke TPA di Bantul di kumpulkan dulu di transferdepo yang tersedia, setiap transferdepo memiliki seorang koordinator dan puluhan anggota petugas gerobak sampah. Setiap harinya transferdepo selalu menerima kiriman sampah dari petugas gerobak sampah yang di ambil dari rumah masyarakat. Tahapan selanjutnya adalah pengangkutan sampah, pada proses ini sampah-sampah yang telah terkumpul di transferdepo di angkut ke TPA Piuangan di Bantul. Kabupaten
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
sleman menggunakan armada truck untuk mengangkut sampah dari transferdepo ke TPA Piuangan, kegiatan pegangkutan ini dilakukan setiap hari sekitar jam 09.00 – 11.00. Tahapan proses yang terakhir dari pengelolaan sampah adalah pengolahan sampah. Pada tahapan ini dijelaskan bahwa sampah akan diolah dengan cara penimbunan. Di Sleman proses terakhir ini terjadi di TPA Piungan , Bantul. Sampah-sampah yang sudah terkumpul selanjutnya akan di tanam atau di timbun ke tanah. Dalam analisis ini digunakan teori yang dikemukakan oleh Edward III yaitu keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan. Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu : variabel komunikasi, variabel sumberdaya, variabel disposisi dan variabel struktur birokrasi. Dilihat dari variabel Komunikasi, di kabupaten Sleman retribusi sampah mengalami kenaikan tarif hingga mencapai 100% berdasarkan Perda Kabupaten Sleman Nomor 13 tahun 2011. Dijelaskan oleh Indra Darmawan selaku kepala seksi persampahan DPUP Kabupaten Sleman, tujuan kenaikan retribusi sampah ini adalah untuk mengurangi subsidi dari pemerintah supaya bisa di alokasi kan untuk sektor yang lain dan juga untuk membiayai pembiayaan proses retribusi sampah yang terus meningkat apalagi semenjak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Di dalam Perda Nomor 13 tahun 2011, retribusi Persampahan/ kebersihan di kabupaten sleman dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan persampahan/kebersihan, lebih dijelaskan oleh DPUP sleman bahwa retribusi persampahan/kebersihan dikenakan kepada produsen rumah tangga, produsen niaga dan produsen lembaga-lembaga yang lain. Kenaikan tarif retribusi di rasakan oleh semua subyek retribusi tersebut. Menurut Indra, kenaikan tarif retribusi tidak bermasalah bagi produsen sampah niaga dan lembaga lain, tetapi tidak sama hal nya dengan tarif bagi produsen sampah rumah tangga, hal ini terjadi karena produsen rumah tangga menggunakan jasa petugas gerobak sampah. Kenaikan tarif retribusi persampahan membuat penghasilan dari jasa pengangkutan sampah yang di terima oleh petugas gerobak menjadi berkurang karena besaran jumlah retribusi yang harus di setor kan menjadi lebih besar. Dari sisi masyarakat sendiri tidak ada keberatan sama sekali perihal kenaikan tarif retribusi persampahan ini, dikatakan oleh
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
Ellya Noor, kenaikan tarif retribusi persampahan tidak apa apa, kasihan petugas gerobak sampahnya juga, tapi asalkan pelayanannya di tingkatkan juga. Hal ini lah yang menyebabkan adanya masalah pada produsen
rumahtangga ketika tarif retribusi
persampahan dinaikan. Menurut petugas gerobak sampah, kesusahan yang mereka hadapi ketika mau menaikan tarif jasa pengangkutan sampah adalah karena para pelanggan yang sudah lama berlangganan jasa mereka sekarang ini sudah banyak yang pensiun dan juga di tambah kenaikan yang terjadi berulang – ulang membuat beberapa masyarakat keberatan. Namun pada kenyataan nya, di kalangan masyarakat, hanya sebagian yang mengetahui kenaikan tarif retribusi ini. Pernyataan masyarakat tidak mendukung alasan yang di berikan petugas gerobak sampah, bagaimana mungkin masyarakat merasa keberatan dengan kenaikan tarif apabila tidak semua masyarakat mengetahui tentang kenaikan tarif retribusi persampahan ini. Padahal, banyak dari warga masyarakat yang tidak merasa keberatan apabila terjadi kenaikan tarif retribusi ini, mereka pun bersedia untuk membayar lebih demi lingkungan sekitar rumah mereka bersih. Di perda tarif retribusi langsung naik 100% , tetapi di dalam prakteknya pemerintah khususnya dinas persampahan di DPUP yang berhubungan langsung dengan petugas dan masyarakat tidak dapat serta merta menaikan tarif sekaligus. Dinas PUP memilih menaikan tarif secara bertahap, agar petugas gerobak sampah dapat beradaptasi dengan kenaikan tersebut. Oleh sebab itu, dinas PUP gencar melakukan diskusi dan evaluasi perihal kenaikan tarif retribusi persampahan/kebersihan dengan masyarakat maupun petugas gerobak sampah dengan cara mendatangi langsung transferdepo yang tersebar di wilayah Sleman. Dilihat dari variabel Sumberdata, untuk Retribusi Persampahan/kebersihan di kabupaten sleman, sumber daya manusia terdiri dari pemerintah, petugas gerobak sampah dan masyarakat. Ketiga sumberdaya manusia tersebut menjadi pengerak implementasi yang sangat penting. Pemerintah harus mampu mengatur dan mengawasi proses implementasi retribusi persampahan ini. Sumber daya selanjutnya adalah sumber daya material, di kabupaten Sleman, sumber daya material terdiri dari tempat pembuangan sementara (TPS), transferdepo dan kendaraan/ armada yang menjadi alat pengangkut sampah, sedangkan untuk Tempat
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
pembuangan akhir (TPA) kabupaten Sleman belum memilikinya. Sampai saat ini, baru tersedia 137 buat TPS, 9 buah Transferdepo dan 3 macam kendaraan armada, yaitu : 1. Armada Dump truck 2. Armada Motor roda tiga 3. Armada Armoll truck Selain ketiga armada di atas, ada satu armada lagi yang digunakan untuk mengangkut sampah yaitu gerobak sampah, namun armada yang satu ini kebanyakan di miliki secara pribadi oleh petugas gerobak sampah. Jumlah material yang tersedia sekarang belum mampu mencakup seluruh wilayah di kabupaten sleman yang luasnya mencapai 754,82 Km2 dengan 17 Kecamatan, 86 Desa dan 1.212 Padukuhan, sebagai contoh di wilayah ngeringan sendangrejo, minggir , Kabupaten Sleman, warga masyarakat yang tinggal di daerah
itu tidak mengenal adanya iuran
sampah. Sampah-sampah yang berasal dari rumah tangganya di tanam langsung di tanah. Mereka menyebut tempat pembuangan sampah di dalam tanah dengan jugangan, masingmasing rumah memiliki jungangannya sendiri. Kekurangan material sehingga tidak mampu melayani semua masyarakat tidak sesuai dengan teori retribusi sampah yang dikemukakan oleh Fisher, dikatakan Fisher bahwa penetapan harga atas pelayanan kebersihan tidak sepenuhnya di bebankan kepada pengguna melainkan mendapat subsidi pemerintah, sehingga semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan jasa tersebut, namun, dikatakan indra, pemerintah penetapan harga yang berlaku sekarang sudah di hitung dan mendapatkan subsidi pemerintah. Di Sleman, retribusi persampahan dibayar kan perbulan, petugas gerobak sampah selain bertugas mengumpulkan sampah dari rumah warga juga mengumpulkan uang retribusi persampahan dari warga yang berlangganan. Sistem pelayanan yang berlangsung sekarang pun berbeda-beda. Adapun alur pemungutan adalah (diolah oleh penulis):
Retribusi persampahan
Dititipkan melalui supir truck
Gambar 2 Skema pemungutan retribusi persampahan dengan menggunakan truck.
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
Disetorkan ke kantor dinas PUP
Pelayanan pengambilan sampah yang langsung menggunakan truck dari rumah ke rumah, dikatakan indra pelayanan jenis ini memakan biaya paling tinggi yaitu sekitar Rp 16.000/ kk. Jenis pelayanan ini uang retribusi dari masyarakat dititipkan melalui supir truck yang kemudian akan di setorkan oleh supir truck tersebut. Retribusi persampahan
Disetorkan ke kantor dinas PUP
Dititipkan melalui petugas gerobak sampah
Disetorkan kepada koordinator di TPS
Gambar 3 Skema pemungutan retribus persampahan dengan menggunakan petugas gerobak sampah. Berbeda dengan pelayanan dari rumah menggunakan truck, pelayanan jenis yang satu ini menggunakan jasa petugas gerobak sampah, yaitu pelayanan dari rumah ke rumah. Lingkungan yang menggunakan pelayanan jenis ini biasa nya memiliki TPS, nanti dari TPS baru sampah-sampah akan di angkut oleh truck untuk dibawa ke transferdepo. Dilihat dari variabel disposisi, selain masalah keberatan dari petugas gerobak sampah, masalah disiplin, kurangnya rasa jujur dan keterbukaan petugas gerobak juga menjadi penghalang proses retribusi persampahan ini. Petugas tidak jujur dalam melaporkan jumlah pelanggannya, pendataan yang sangat sederhana membuat pemerintah dan koordinator di TPS kesulitan untuk mengetahui seberapa banyak pelangganan dari seorang petugas gerobak sampah. Pendataan hanya menggunakan buku catatan yang di pegang oleh koordiantor di TPS. Banyaknya sampah yang di bawa petugas setiap harinya tidak dapat menjadi alat tolak ukur untuk mengetahui berapa banyaknya pelanggan yang berlangganan. Dikatakan oleh dinas PUP,
petugas gerobak sampah tidak pernah mau jujur mengenai jumlah
pelanggannya. Hal ini pun di dukung dengan pernyataan dari Budi, petugas gerobak sampah yang juga menjadi koordinatir di Transferdepo condongcatur yang mengatakan hal serupa.
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
Kurangnya keterbukaan juga menjadi masalah tambahan dalam proses retribusi persampahan ini. Petugas gerobak sampah kurang terbuka mengenai kesejahteraannya, di mulai dari hal yang paling mendasar, sebenarnya para petugas gerobak gerobak sampah sering mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual sampah yang memang masih memiliki harga jual sebelum sampah – sampah tersebut disetorkan ke transferdepo. Tidak sedikit pula petugas gerobak sampah yang sebenarnya sudah memiliki hidup yang layak. Sebagai contoh, di salah satu daerah ada petugas gerobak sampah yang memilih bekerja sebagai petugas gerobak hanya untuk mengisi kesibukan karena sebenarnya dia adalah orang mampu bahkan memiliki usaha di bidang lain. Tidak terbukanya petugas dengan pemerintah membuat pemerintah menjadi binggung, apa para petugas itu betul-betul kekurangan sehingga sangat berat untuk memenuhi kenaikan tarif retribusi atau sebenarnya para petugas hanya tidak jujur dengan keadaan mereka yang sebenarnya. Ketidakdisplinan petugas gerobak sampah juga memperburuk jalan proses retribusi ini, petugas gerobak sampah sering sekali tidak tepat waktu dalam pengambilan sampah dari rumah masyarakat. Hal ini menjadi keluhan terbesar yang datang dari masyarakat. Masyarakat sama sekali tidak keberatan apabila tarif retribusi persampahan dinaikan tapi masyarakat juga menuntut adanya peningkatan pelayanan yang diberikan. Banyak masyarakat yang harus menyimpan sampah sampai berhari-hari di depan rumah nya atau sekedar merapihkan sampahnya kembali ke dalam tong sampah karena berantakan di acakacak hewan. Masyarakat sangat berharap kedepannya pelayanan persampahan ini menjadi lebih baik dan tidak ada lagi keterlambatan yang sangat merugikan pemilik rumah karena sampah yang menumpuk di depan rumah sangat menggangu, selain berbau tidak sedap juga merupakan sumber penyakit. Dari variable struktur birokrasi, semua pemungutan retribusi sampah yang tejadi di Kabupaten Sleman harus menggunakan SKRD atau dokumen lain yang di persamakan dalam bentuk kupon, karcis atau kartu berlanganan. Hal ini sudah berjalan dengan baik, masyarakat sudah mendapatkan karcis apabila telah membayarkan retribusinya melalui petugas gerobak sampah atau pun supir truck. Untuk tata cara pembayaran, pembayaran retribusi persampahan harus dibayarkan secara langsung/ tunai, namun apabila ada wajib retribusi yang dengan alasan kuat dan dapat di pertanggung jawabkan mau mengangsur dalam jangka waktu tertentu dapat meminta izin kepada bupati atau pejabat yang di tunjuk bupati. Pembayaran retribusi tersebut diberikan bukti pembayaran yang sah. Sedangkan
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
untuk tata cara penagihan retribusi di atur dalam Pasal 16 Perda Kabupaten Sleman No 13 Tahun 2011. Penagihan retribusi persampahan di Sleman di lakukan oleh petugas gerobak sampah / supir truk sampah tergantung dengan pelayanan yang di gunakan masyarakat. Pembayaran retribusi seharusnya di bayar setiap bulan, namun faktanya di lapangan, retribusi bisa ditagih 2 bulan sekali oleh petugas gerobak sampah, padahal di atur dalam Pasal 2 Perda No 13 tahun 2011 ayat (2) hasil pembayaran yang dilakukan di tempat lain yang di tunjuk , penerimaan retribusi daerah harus di setor ke kas daerah paling lambat 1x24 jam atau dalam waktu yang di tentukan oleh bupati. Peraturan mengenai tata cara penagihan tersebut tidak berjalan dengan baik, karena masyarakat tidak mendapatkan STRD maupun surat teguran apabila membayar 2 bulan sekaligus. Seharusnya pengawasan dari pemerintah lebih memperhatikan proses pembayaran retribusi ini, bagaimana mungkin banyak masyarakat yang bisa membayar 2 bulan sekali sedangkan retribusi persampahan / kebersihan ini harus di setorkan setiap bulan. Seharusnya pelanggaran seperti di atas, ditindak sesuai dengan di aturan yang berlaku di dalam perda No 13 Tahun 2011. Di perda jelas di atur tahapan – tahapan yang harus di lakukan pemerintah, mulai dari pemeriksaan , penyidikan dan yang terakhir adalah ketentuan pidana. Melihat fakta penanganan pelanggaran di lapangan, tahapan yang sudah di atur jelas di perda sama sekali tidak berjalan dengan baik, masyarakat dengan mudahnya tanpa rasa takut bisa menunggak bayaran retribusi selama 2 bulan dan dengan gampang nya tinggal membayar double di bulan berikutnya. Selain pelanggaran yang timbul, ada juga keberatan yang berasal dari petugas gerobak sampah. Mengenai keberatan yang timbul akibat kenaikan tarif retribusi persampah / kebersihan seperti yang sudah di jelaskan pada sub bab sebelumnya, keberatan harus dilakukan dengan mengajukan surat kepada bupati secara tertulis dengan menggunakan bahasa indonesia di sertai dengan alasan-alasan yang jelas. Keberatan yang terjadi di Sleman dilakukan dengan mengadakan musyawarah yang menghasilkan pengurangan jumlah retribusi yang harus di setorkan, artinya peraturan yang sudah mengatur tentang tata cara keberatan yang seharusnya dilakukan tidak berjalan dengan baik. Masalah sampah di setiap daerah pasti merupakan masalah penting, hal yang paling penting berada dalam proses pengelolaan sampah itu sendiri. Begitu pula Sleman yang
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
baru saja terjadi kenaikan tarif dalam pemungutan sampah memiliki kendala dalam mengimplementasikan kenaikan tarif retribusi persampahan tersebut. Beberapa kendala yang muncul adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai retribusi persampahan. Di Kabupaten Sleman, tidak sedikit ditemukan sampah berserakan di pinggir jalan yang disebabkan oleh kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya masih sangat kecil dan konsep retribusi persampahan pun tidak dipahami dengan baik. Pemikiran masyarakat yang masih mudah untuk membuang sampah di sembarang tempat membawa dampak yang buruk bagi lingkungan yang kemudian menjalar ke retribusi persampahan / kebersihan Kendala yang kedua adalah ketidakdisiplinan petugas gerobak sampah. Sikap petugas gerobak sampah yang kurang disiplin ini menjadi kendala yang besar bagi berlangsungnya proses retribusi sampah. Kurang jujur mengenai jumlah pelanggannya sehingga berakibat kepada tidak terkumpul dengan maskimalnya penyetoran uang retribusi, tidak terbukanya petugas gerobak sampah mengenai kesejahteraan hidupnya dengan pemerintah sleman membuat pemerintah sulit mengambil keputusan apabila timbul keberatan terkait kenaikan tarif retribusi dan yang terakhir adalah kurangnya pelayanan bagi masyarakat yaitu keterlambatan dalam pengambilan sampah dari rumah masyarakat dan membuang sampah menumpuk berhari-hari di depan rumah. Kendala yang terakhir adalah kurang tegasnya pemerintah. Sebagai pengontrol jalannya suatu kebijakan, pemerintah tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Pemerintah kurang tegas dalam memutuskan suatu keputusan, mulai dari penetapan kenaikan tarif yang tidak naik secara sekaligus dimana seharusnya ketika perda no 13 tahun 2011 berlaku tarif retribusi harus langsung naik, namun pada kenyataannya kenaikan tarif dilakukan secara bertahap sampai mencapai kenaikan yang di tetapkan. Ketika ada pelanggaran pemerintah juga tidak bisa menjalankan ketentuan hukuman yang sudah di tetapkan oleh perda. Seharusnya pemerintah lebih tegas dalam mengambil sikap agar penyimpangan-penyimpangan dalam proses retribusi persampahan ini dapat di minimalisir. 5.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan penelitian yang telah di lakukan, maka simpulan hasil penelitian adalah : 1) Implementasi Retribusi Persampahan/ Kebersihan di Kabupaten Sleman tidak berjalan dengan baik dan kendala utama yang menghambat proses ini adalah ketidaktegasan
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
pemerintah membuat implementor leluasa untuk melakukan penyimpangan. Dilihat dari variabel komunikasi, masih kurangnya informasi yang didapat masyarakat. Dari variabel sumberdaya, tidak tersedianya sumberdaya material yang cukup untuk seluruh masyarakat Kabupaten Sleman. Dari variabel disposisi, masih kurangnya keterbukaan dan kejujuran dari petugas gerobak sampah hal ini pun didukung oleh variabel struktur birokasi yaitu dengan kurang tegasnya pemberian hukuman dari pemerintah atas penyimpangan yang terjadi. 2) Kendala – kendala yang terjadi dalam implementasi retribusi persampahan kebersihan di Kabupaten Sleman adalah
/
kurangnya pemahamam masyarakat
mengenai retribusi persampahan, ketidakdisiplinan petugas gerobak sampah dalam menjalankan proses retribusi persampahan dan kurang tegasnya pemerintah dalam menjalankan proses retribusi persampahan. Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah : 1) Dari sisi pengawasan
pemerintah, diharapkan lebih di tingkatkan. Mulai dari
pelaksanaan pemungutan dilapangan sampai dengan pengecekan ke TPS/Transferdepo seharusnya di lakukan setiap bulan. Dengan adanya hal seperti ini, penyimpanganpenyimpangan yang terjadi di lapangan dapat diminimalisir dan retribusi persampahan/kebersihan dapat terkumpul dengan maksimal. 2) Dari sisi pengenaan hukuman, pemerintah seharunya lebih tegas dalam mengambil keputusan. Tidak berjalan dengan tegasnya hukuman yang sudah di atur membuat penyimpangan-penyimpangan mudah terjadi berulang-ulang. Di harapkan ke depannya aturan mengenai hukuman yang sudah di atur dalam perda dapat berjalan dengan lebik baik.
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Buku Cresswell, J.W. (2004). Research Design 4th Edition: Qualitative and Quanttative Approaches. California: Sage Publications. Fisher, Ronal. C. (1996). state and Local Public Finance. Chicago, USA : Irwin. Ismail, N. (2009). Public Policy : Analisis Strategi Advokasi Teori dan Praktek. Surabaya : PMN. Soemitro, Rochmat. (1994). Dasar-Dasar hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Bandung : Eresco. Suparmoko, M. (2000). Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta : BPFE. John E. Petersen dan Denise R. Strachorn “Local Government Finance : Concept And Practice. Chicago : Government Finance Officers Association Of United States and Canada. Jurnal Lutfi, Achmad (2006). Penyempurnaan Administrasi Pajak Daerah dan retribusi Daerah : Suatu Upaya Dalam Optimalisasi Penerimaan Asli Daerah, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi : Bisnis & Birokrasi, Volume XIV, Nomor 1, Januari 2006, Departemen Ilmu Adminstrasi, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Zorn, Kurt. (1991). User Charges and Fees. (Kumpulan artikel John E. Petersen dan Denise R. Strachorn “Local Government Finance : Concept And Practice.
Chicago : Government Finance Officers Association Of
United States and Canada.) Publikasi Elektronik Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman. Diakses pada 13 Maret 2013 ddip.slemankab.go.id. Penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten Sleman. Diakses pada 13 Maret 2013, ddip.slemankab.go.id. Jumlah
Penduduk
Kabupaten
Sleman.
Diakses
pada
13
www.yogyakarta.bps.go.id
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013
Maret
2013,
Punokawan Keluhkan Tingginya Retribusi Sampah. Diakses pada 15 Maret 2013, www.harianjogja.com Punokawan Keberatan Retribusi Sampah. Diakses pada 15 Maret 2013, www.radarjogja.co.id Retribusi Naik Petugas Penarik Gerobak Sampah Keberatan. Diakses pada 13 Maret 2013, www.lipsus.berita21.com Nallathiga, Ramakrishna. User charge pricing for Municipal services: Principles, fixation,
process
and
guidelines,
http://www.researchgate.net/publication/228423036_User_charge_pricin g_for_Municipal_services_Principles_fixation_process_and_guidelines/f ile/d912f50e41c5dc501d.pdf
Implementasi retribusi..., Baiduri Ismayanti F., FISIP UI, 2013