KEBERHASILAN REZIM PM MAHATHIR MOHAMAD MEMPERTAHANKAN KEKUASAANNYA PADA TAHUN 1997-1999
Debie Octora Anglesia, Cecep Hidayat Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 – Indonesia Email :
[email protected]
ABSTRAK Mahathir Mohamad yang menjadi PM Malaysia sejak 1981 telah membawa Malaysia dalam pembangunan yang berkelanjutan. Skripsi ini membahas mengenai keberhasilan rezim PM Mahathir Mohamad yang mampu bertahan pasca krisis ekonomi Asia tahun 1997-1999. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang menjelaskan bagaimana strategi ekonomi Mahathir mampu membawa Malaysia keluar dari jeratan krisis ekonomi Asia dan strategi politik dalam menghadapi GRM (Gerakan Reformasi Malaysia) dan Pemilu 1999 yang menjadi manifestasi keberhasilan rezim Mahathir. Teori yang dipakai dalam skripsi ini adalah teori model pembangunan Triple Alliance yang dikemukakan oleh Peter Evans untuk menjelaskan Negara Dunia Ketiga dalam menciptakan kestabilan politik demi memacu pertumbuhan ekonomi. Strategi ekonomi dan politik Mahathir yang cepat memulihkan Malaysia dari krisis ini memunculkan kepercayaan rakyat untuk memilihnya kembali pada Pemilu 1999. Untuk itu skripsi ini menggunakan momen puncak krisis ekonomi Asia tahun 1997-1999 untuk menganalisis keberhasilan rezim Mahathir bertahan dari tekanan ekonomi global dan juga krisis politik yang terjadi di Malaysia. ABSTRACT Mahathir Mohamad became Prime Minister of Malaysia since 1981 has brought Malaysia in sustainable development. This thesis describes the triumph of the regime of Prime Minister Mahathir Mohamad who is able to survive post the Asian economic crisis in 1997-1999. Using qualitative research method that explains how the economic strategy and development progress of Mahathir regime survive in Asian economic crisis relatively short period, political strategy to face of the GRM (Reform Movement of Malaysia) and also the general elections 1999 were a manifestation of the success of Mahathir regime. This thesis uses model of the development theory “Triple Alliance” from Peter Evans to explain Third World countries in creating political stability in order to develop economic growth. The success of the economic recovery and political strategies againts oppositions that led to Mahathir was re-elected in the 1999 election period. Therefore this thesis uses the peak moment of the Asian economic crisis of 1997-1999 to analyze the success of the Mahathir regime survive from the global economic pressures and political crisis in Malaysia. Keywords: Malaysia; Economic Development; Asian Economic Crisis 1997; Gerakan Reformasi Malaysia (GRM); General Election 1999 in Malaysia.
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Mahathir Mohamad dilantik menjadi PM Malaysia pada 17 Juli 1981 setelah memenangkan pemilihan sebagai presiden UMNO (United Malays National Organization) yang selanjutnya disebut UMNO. Mahathir menghadirkan perbaikan ekonomi dan sosial seperti yang dijanjikan disamping itu juga memperkuat otoriterisme rezim politik di Malaysia. Kendati demikian, otoriterisme rezim politik yang dibangun dengan dukungan UMNO tampaknya diterima oleh rakyat Malaysia, ditujukan antara lain dengan terus meningkatnya dukungan terhadap UMNO pada pemilu, termasuk kemenangan mutlak UMNO pada Pemilu 1995 ketika perekonomian Malaysia berada di puncak keemasan. Seperti negara-negara berkembang pascakolonial, Malaysia mempertahankan otoriterisme dalam rangka menjaga stabilitas politik dan integrasi nasional. Tidak hanya itu, otoriterisme dijalankan agar lebih leluasa untuk mengambil porsi besar dan aktif dalam perekonomian dan proses industrialisasi dalam rangka memenuhi hasrat nasionalistik untuk menentaskan kemiskinan dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju (Kok Wah & Boo Theik, 2002: 19). Para penguasa terlibat secara mendalam, menguasai dan sekaligus mengatur berbagai aktivitas bisnis yang penting, baik melalui perusahaan negara maupun perusahaan-perusahaan milik partai politik dan politisi-politisi yang mendukung rezim. Pilar terpenting dari rezim politik ini adalah UMNO, partai politik etnis Melayu yang dibentuk tahun 1946 untuk menjamin kepentingan Melayu dan tampil sebagai wakil Melayu pada pemerintahan. Memasuki dekade tahun 1990-an, merupakan saat-saat yang paling kritis bagi Malayisa. Tahun-tahun awal dekade ini menunjukan suatu kemampuan mengesankan bagi pemerintah Malaysia dalam meraih prestasi-prestasi pembangunan mereka. Akan tetapi krisis ekonomi Asia tahun 1997 menjadi batu ujian yang sangat serius bagi pemerintahan Malaysia, pada masa ini dapat dilihat sepak terjang kepemimpinan Mahathir dalam menghadapi krisis ekonomi dan juga politik yang terjadi di Malaysia. Pada dekade ini Mahathir mengeluarkan kebijakan NDP (National Development Policy) yang merupakan kesinambungan dari NEP (New Economic Policy) yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan menanggulangi permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat antar ras. Program Visi 2020 juga dicanangkan sebagai rencana jangka panjang yang bertujuan membangun Malaysia menjadi sebuah negara maju begitu memasuki tahun 2020. Sebagai dampak depresiasi, Mahathir kemudian menyusun serangkaian kebijakan restrukturisasi yang mirip dengan paket kebijakan IMF, hanya saja ia melakukannya tanpa IMF. Pemerintah Malaysia memotong anggaran pengeluaran secara dramatis, menunda proyek-proyek konstruktif yang dinilai “tidak strategis”, menunda impor kapital beberapa
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
BUMN, hingga membatalkan investasi luar negeri yang kontroversial dengan penerapan sistem kontrol devisa (Ahmad, 1997: 24). Namun demikian, langkah Mahathir dalam mengatasi krisis moneternya dengan pemberlakuan kontrol devisa serta penerapan sistem kurs tetap tersebut, dapat dikatakan merupakan langkah yang berani. Oleh karena itu, disaat yang bersamaan, negara-negara Asia lainnya yang mengalami krisis serupa, ternyata tidak mengambil tindakan yang dilakukan Malaysia tersebut. Ini dikarenakan untuk mematok nilai kurs domestiknya secara sepihak, pemerintah negara bersangkutan akan mendapat tentangan dari dunia internasional karena melanggar asas perdagangan bebas dan kecenderungan umum dunia. Di tengah pengambilan kebijakan mengenai krisis ekonomi Asia yang menimpa Malaysia, Mahathir dan Anwar Ibrahim selaku wakil PM terlibat konflik. Ketegangan semakin meruncing diantara kedua belah pihak, sebagai puncak dari konflik tersebut, Mahathir memecat Anwar dari pemerintahan pada 2 September 1998. Akibat pemecatan tersebut memicu gerakan sosial pendukung Anwar yang disebut dengan GRM (Gerakan Reformasi Malaysia). Krisis ekonomi Asia dan GRM ini memberikan tantangan terbesar yang dihadapi Mahathir dan rezim politik Malaysia yang dibangunnya. Namun tantangan ini dimanfaatkan oleh Mahathir untuk mempercepat pelaksanaan pemilu yang akhirnya ia menangkan pada tahun 1999 Pemilihan studi dalam skripsi ini jatuh pada Malaysia sebab, Pertama, negara ini memiliki rezim pemerintahan yang kuat pra Krisis Ekonomi 1997. Pembangunan dan stabilitas rezim menjadi faktor utama yang melandasi dukungan dari rakyat dan kegagalan ekonomi dapat menghancurkan rezim. Sehingga pola pembangunan di Malaysia berorientasi terhadap pertumbuhan ekonomi meski ironisnya hambatan politik dari oposisi maupun lainnya dibendung oleh rezim yang berkuasa. Kedua, Malaysia mampu bertahan pasca krisis ekonomi Asia yang menghantam perekonomian pada tahun 1997 dan mampu keluar dari jeratan krisis lebih cepat dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia, Korea Selatan dan Thailand. Untuk itu artikel ini menggunakan momen puncak krisis ekonomi Asia tahun 1997-1999 untuk menganalisis keberhasilan rezim Mahathir bertahan dari tekanan ekonomi global dan juga krisis politik yang terjadi di Malaysia. Permasalahan Pengembangan ekonomi saat kepemimpinan Mahathir pada masa tahun 1981 sampai dengan 1999, merupakan bentuk nyata dari pengabdian Mahathir sebagai PM dan ketua UMNO dalam rangka memajukan Malaysia. Beberapa kebijakan yang digunakan oleh
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Mahathir dalam mensukseskan pembangunan ekonomi yang juga tidak lepas dari gerakan politik yang dilakukan oleh Mahathir dalam rangka menjaga stabilitas dan menanggulangi konflik-konflik yang terjadi. Keberhasilan pembangunan ekonomi di Malaysia bukanlah sebuah perjalanan yang singkat. Sebagai salah satu negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, Malaysia bisa dikatakan sebagai negara yang mampu melakukan pembangunan ekonomi dengan mengagumkan dan juga berhasil melewati krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1997-1998. Artikel ini menjelaskan keberhasilan rezim Mahathir dengan karakter otoriter mampu bertahan melampaui krisis ekonomi Asia serta implikasi terhadap politik Malaysia. Menjelaskan keberhasilan Mahathir dan rezimnya bertahan berarti menjelaskan tanggapan Mahathir terhadap krisis ekonomi Asia dan implikasi politiknya. Penelitian ini menarik untuk dibahas karena keberhasilan Mahathir membawa Malaysia keluar dari krisis dengan paket kebijakan kontrol devisa yang ditawarkan mampu menaikkan kembali kepercayaan rakyat untuk memilihnya dalam pemilu periode selanjutnya. Kebijakan ekonomi Mahathir mengatasi krisis menjadi strategi ketahanan Malaysia terhadap kehancuran perekonomian yang mendalam. Selain itu dengan strategi tersebut mampu mematahkan gerakan-gerakan reformasi dan oposisi yang berjuang menggulingkan rezim Mahathir. Sehingga peluang gerakan demokratisasi di Malaysia tidak berhasil menjatuhkan rezim di tengah krisis seperti hal yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Telah banyak studi literatur yang membahas kasus Malaysia dalam menghadapi krisis Asia. Salah satunya yaitu tulisan Milne & Mauzy dalam Malaysian Politics Under Mahathir (1999) menggambarkan kondisi politik Malaysia sejak Mahathir menjadi perdana menteri pada tahun 1981. Dalam literatur ini dijelaskan bagaimana pemerintahan Mahathir selama 14 tahun dan segala kebijakan ekonomi dan politik yang membawa Malaysia ke dalam pembangunan yang berkelanjutan. Milne dan Mauzy menjelaskan otoriterisme rezim Mahathir bukan semata karena kepemimpinannya namun sebagai konsekuensi pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas kebijakan. Di buku ini juga dijelaskan penempatan pribadi Mahathir dan pribadi politik Anwar sebagai variabel yang menentukan politik Malaysia. Anwar dinilai Milne dan Mauzy, sengaja mengambil pilihan politik untuk berhadapan dengan dengan Mahathir sehingga dipecat dan pemecatannya menjadi momentum lahirnya gerakan reformasi. Literatur ini menyajikan pemaparan pada sistem pemerintahan Mahathir dibanding sistem politiknya. Keberhasilan pemimpin yang paling kontroversial di Asia Tenggara dieksplorasi melalui strategi mengelola ketegangan etnis, kebijakan industrialisasi,
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
modernisasi dan kebijakan luar negerinya. Namun yang membedakan dengan skripsi ini, Milne dan Mauzy tidak menjelaskan keberhasilan Mahathir dalam memenangkan Barisan Nasional di Pemilu 1999. Di sinilah benang merah yang penulis angkat untuk menjadi analisis ketahanan rezim Mahathir melewati krisis ekonomi dan politik di Malaysia. Dalam salah satu sub bab di buku berjudul Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF yang disusun oleh Syamsul Hadi, et.al. dari Pusat Kajian Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia (Syamsul Hadi, et.al., 2004; 154), krisis ekonomi di Malaysia juga dibahas sebagai suatu contoh kasus yang dijadikan komparasi penanganan krisis ekonomi di Asia. Tulisan ini membahas langkah Mahathir menanggulangi krisis pada tahun 1997 dengan mengeluarkan kebijakan kontrol modal dan sistem kurs tetap. Terakhir diceritakan bagaimana langkah-langkah kebijakan tersebut berhasil membawa Malaysia keluar dari krisis. Dalam buku ini lebih banyak disampaikan deskripsi kronologis peristiwa krisis ekonomi tahun 1997 dan penanganannya. Namun peneliti mengangkat realita Malaysia yang tidak hanya mampu bertahan dari tekanan krisis regional di Asia namun juga mampu bertahan dari krisis politik akibat gerakan sosial yang muncul untuk menjatuhkan rezim Mahathir. Penelitian ini semoga bisa memperkaya studi-studi politik kawasan terutama di Malaysia ini sendiri. Berangkat dari kondisi dan konteks latar belakang tersebut, skripsi ini akan menganalisis keberhasilan rezim Mahathir dalam mengatasi krisis ekonomi Malaysia pada tahun 1997 melalui strategi ekonomi dan juga strategi politik dalam menghadapi GRM yang muncul di tengah krisis. Kemenangan BN dalam Pemilu 1999 juga menjadi strategi politik Mahathir untuk melanjutkan kekuasaannya. Maka dirumuskan suatu pertanyaan penelitian yaitu: Bagaimanakah rezim PM Mahathir Mohamad dapat berhasil mempertahankan kekuasaannya pada tahun 1997-1999? Teori Pembangunan Ekonomi Triple Alliance Dalam memahami karakteristik rezim Mahathir, terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Malaysia hingga mampu bertahan dalam tekanan krisis ekonomi Asia tahun 1997 dapat dijelaskan melalui model pembangunan yang diterapkan di negara tersebut. Pembangunan ekonomi Malaysia tidak lepas dari nilai-nilai historis pada masa kolonialisme yang membuat Malaysia menjadi negara moderen dengan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi maka dibutuhkan situasi negara yang kondusif, aman dan stabil sehingga rezim otoriter digunakan negaranegara pascakolonial untuk memacu kecepatan pembangunan negara yang baru merdeka.
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Pada periode 1950-an hingga 1960-an, rantai krisis dan ketidakstabilan politik yang terjadi di negara sedang berkembang melemahkan gagasan mengenai modernisasi. Mobilisasi sosial, urbanisasi, tingkat partisipasi dan lainnya dianggap sebagai modal ketidakstabilan tersebut. Saat dimana awalnya ingin membangun rezim demokratis, tetapi yang terjadi justru kudeta militer. Revolusi sosial, konflik etnis dan akhirnya lahir pemerintahan yang otokratik (Budiman,1996: 89). Rezim otoriter muncul di Negara Dunia Ketiga yang sebelumnya dijajah terlanjur memiliki kekuasaan yang besar. Hal ini disebabkan karena ketika masyarakat masih dijajah, negara kolonial ketika itu dipersiapkan untuk menguasai masyarakat jajahannya. Negara kolonial diatur sedemikian rupa sehingga aparat birokrasi, perangkat hukum dan kekuatan militer yang ada dipakai untuk memperkuat kekuasaan negara. Sehingga kebebasan rakyat yang mau menguatkan kedaulatan rakyat dibatasi ruang geraknya. Seperti yang dirumuskan oleh Stephen D. Krasner, rezim lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip, norma-norma, aturanaturan dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa sebuah negara (Lawson, 1991: 4). Dengan demikian, rezim yang otoriter berarti penguasa negara tersebut mengikuti prinsip, norma, aturan dan prosedur yang otoriter dalam pengambilan keputusan. Dalam menghubungkan bentuk rezim otoriter yaitu peran negara yang besar dalam pembangunan dengan taraf perkembangan ekonomi diungkapkan oleh Peter Evans (Budiman, 1996: 114) dalam model pembangunan persekutuan tiga unsur (triple alliance) yakni: modal asing, pemerintah di Dunia Ketiga (negara) dan borjuasi lokal atau kelompok kapitalis domestik. Modal atau pengusaha asing melakukan investasi di negara-negara Dunia Ketiga. Bersamaan dengan masuknya modal, masuk juga akses kepada teknologi dan pasar internasional. Karena itulah, modal asing sangat dibutuhkan oleh pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga. Sama halnya dengan pembangunan di Malaysia, di awal kemerdekaan, perekonomian Malaysia sedang melakukan industrialisasi yang berorientasi kegiatan ekspor. Sehingga modal asing menjadi sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi. Meskipun begitu, negara memainkan peranannya untuk mencegah supaya modal asing mendominasi dengan memperkuat borjuasi nasional untuk mengimbangi pengaruh modal asing tersebut. Penguatan borjuasi nasional oleh negara juga dipakai untuk mendapatkan kekuatan politik dari dalam negeri. Tanpa ini, negara akan dituduh sebagai boneka modal asing. Dari pola ini terjadi persekutuan atau aliansi antara ketiga komponen tersebut, dan masing-masing mengambil keuntungan dari hubungan ini. Kerjasama pemerintah dengan borjuasi nasional lebih bersifat politis, disamping tentu saja ada aspek ekonomi yang ingin dicapai. Namun bagi
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Malaysia, borjuasi nasional menjadi permasalahan baru ketika ternyata sebagian besar dari mereka ternyata merupakan peranakan atau penduduk pendatang dalam hal ini etnis Cina. Evans menjelaskan sifat-sifat negara di Dunia Ketiga yang sedang melangkah ke pembangunan industri berorientasi ekspor. Negara dalam fase pembangunan-dalamketergantungan terjadi proses dimana negara menjadi semakin kuat dan otoriter. Hal ini tentunya tampak pada Malaysia, dimana masyarakat tidak banyak berpartisipasi pada pembangunan politik. Adanya mayoritas tunggal di Malaysia di bawah UMNO dipercaya oleh rakyat dapat memberikan pembangunan yang berkesinambungan. Sebagai gantinya, rakyat tampak tidak banyak berpartisipasi pada politik, apalagi mendorong demokratisasi atau pemerintah yang lebih transparan. Partisipasi yang terjadi hanya sebatas aktivitas kampanye partai dalam setiap pemilu. Untuk itu negara muncul sebagai sebuah mesin demokrasi yang besar dimana tujuan yang ingin dicapai hanya satu yaitu meningkatkan produksi ekonomi. Guna mengamankan tujuan ini makan negara menjadi otoriter, karena pembangunan ekonomi membutuhkan stabilitas politik. Senada dengan model pembangunan triple alliance, Huntington juga mengemukakan bahwa dalam model pembangunan teknokratik seperti di Malaysia, pada umumnya di negara tersebut partisipasi politik ditekan serendah mungkin dan terjadi investasi yang tinggi di negara tersebut-terutama investasi asing, tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, serta kesenjangan tingkat penghasilan yang terus meningkat. Model pembangunan seperti ini mengasumsikan bahwa partisipasi ekonomi perlu disingkirikan untuk sementara dan negara berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Pembangunan seperti ini biasanya menciptakan distribusi pendapatan tidak merata dan ketimpangan terus meningkat. Hal ini suatu saat akan dapat menimbulkan ledakan partisipasi politik jika kesempatan itu terjadi (Huntington, 1976: 23). Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif yang menggunakan teori/kerangka pemikiran sebagai landasan penelitian (Neuman, 2003: 78). Penelitian kualitatif digunakan karena jenis penelitian ini ingin mencari dan menjelaskan hubungan kausalitas dari faktor-faktor keberhasilan rezim Mahathir dengan mengambil beberapa variabel. Dalam pengambilan data mengenai Malaysia dilakukan menggunakan studi literatur atau bahan kepustakaan yang merupakan instrumen dari penelitian kualitatif. Analisa data sekunder dapat menjadi sumber yang bernilai dan dapat memberikan perspektif baru kepada data yang sudah ada, menggunakan elemen-elemen dari data yang belum
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
teranalisis (Ritchie, 2004: 61). Pengumpulan data sekunder berupa studi dokumen atau kepustakaan yang terdiri dari buku, artikel, makalah, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar yang membahas mengenai rezim politik PM Mahathir rentang waktu 1997-1999 hingga pemilu di Malaysia berlangsung. Jangkauan penelitian mencakup kurun waktu 1997-1999 yang secara umum dapat dibagi kedalam tinga peristiwa. Pertama, krisis ekonomi Asia yang melanda Malaysia menyebabkan gejolak politik nasional dan Mahathir mengesahkan kebijakan kontrol devisa sehari sebelum memecat Anwar Ibrahim dari kursi Deputi PM dan Menteri Keuangan. Kedua, kemunculan gerakan reformasi sebagai reaksi kekuatan politik baru dan oposisi terhadap pemecatan Anwar. GRM dimanifestasikan dalam aksi menuntut Mahathir mundur. Ketiga, kemenangan BN pada Pemilu 1999 sekaligus sebagai kemenangan Mahathir sebagai PM dan implikasinya terhadap politik Malaysia Pembangunan Ekonomi dan Politik Mahathir di Malaysia Sebelum Krisis Ekonomi Asia 1997 Pada awal kemerdekaan Negara Federasi Malaysia, koalisi aliansi tiga etnis di Malaysia yang terdiri dari UMNO, MCA (Malaysian Chinese Association) dan MIC (Malaysian Indian Congress) merefleksikan gambaran kehidupan sosial dan distribusi akses terhadap otoritas politik dan ekonomi di negara tersebut. Ras Melayu dominan dalam bidang politik (birokrasi), dan ras Cina, beserta India dalam proporsi yang jauh lebih kecil, menguasai perekonomian (Syamsul Hadi, 2004: 95). Pembagian ini sebenarnya bukanlah distribusi akses politik dan ekonomi yang ideal, karena etnis Melayu yang merupakan mayoritas tidak bisa menerima kondisi mereka yang sangat inferior secara ekonomi terhadap etnis Cina. Meski UMNO dan ras Melayu menguasai posisi mayoritas dalam kehidupan politik-birokratis, namun pengaruh kepentingan dan suara politik etnis Cina di sisi lain juga signifikan dalam perumusan kebijakan pembangunan di Malaysia. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat MCA memang merupakan penyumbang dana terbesar dalam aliansi. Hingga puncaknya terjadi kerusuhan rasial pada bulan Mei 1969 yang juga mengakhiri rezim aliansi tersebut. Mahathir menjalankan pemerintahan secara otoriter sebagai kelanjutan kondisi dari budaya politik masa penjajahan Inggris. Sejumlah undang-undnag anti-subversi rezim kolonial yang sangat represif dan birokrasi yang kuat diberlakukan di Malaysia kini. Harold Crouch (Crouch, 1996: 135) menggambarkan bahwa rezim yag berkembang di negara Asia bersifat pemerintah yang kuat (strong goverment) atau lebih tepatnya eksekutif yang kuat
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
(strong excecutive). Akar otoritarianisme eksekutif di Malaysia justru memiliki pijakan legal dalam konstitusi Malaysia pasca kerusuhan etnis 1969 yang mengabsahkan intervensi negara dalam pemerataan pembangunan. Rezim Mahathir merupakan sebuah rezim politik yang sepenuhnya konstitusional sehingga perundangan menjadi legitimasi untuk menjaga pertumbuhan dan modernisasi ekonomi. Perundangan ini dijadikan sebagai alat kontrol negara untuk membatasi partisipasi rakyat demi menjaga stabilitas nasional. Perundangan yang dibentuk rezim Mahathir yang antara lain; UU Keamanan Dalam Negeri (ISA- Internal Security Act), UU Penghasutan (Sedition Act), dan UU Rahasia Negara (Official Secrets Act). Ketiga UU ini merupakan contoh undang-undang warisan kolonial Inggris yang menjelaskan otoriterisme secara lebih gamblang di Malaysia. Pada tahun 1998, Mantan Deputi Anwar Ibrahim dua kali ditahan dengan UU ini akibat tuduhan melanggar UU keamanan. Anwar ditangkap setelah memimpin rapat akbar di Kuala Lumpur dan tuduhan yang sama terjadi sebelumnya pada tahun 1974 karena memimpin demonstrasi anti-korupsi (Crouch, 1996: 81). Malaysia mengalami kemajuan ekonomi paling pesat karena didukung peletakan basis pembangunan industri yang kuat pada era awal NEP sebelumnya. Mahathir kembali melanjutkan pembangunan industri di Malaysia secara visioner dan taktis. Industrialisasi di malaysia dialihkan dari sekadar industri padat karya menjadi industri berat yang difungsikan bagi industrialisasi yang berteknologi lebih maju (Heavy Industries Corporation of Malaysia /HICOM). Proyek mobil nasional PROTON mejadi salah satu proyek HICOM yang paling membanggakan dan contoh keberhasilan industri berat Malaysia. Sebagai tindak lanjut kebijakan NEP, pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan baru yang dinamakan Kebijakan Pembangunan Nasional atau NDP (National Development Policy) yang merupakan kebijakan program kelanjutan dari NEP dan tertuang dalam Rencana Malaysia keenam (1991-1995) melalui pembangunan sumber daya manusia. Guna mencapai target yang telah ditetapkan NDP, Mahathir seringkali menyebut “kebijakan diskriminatif positif” dan memetakan tantangan strategis untuk menghadapi masa depan ke dalam rancangan Visi 2020. Pada awal dekade 1980-an, gelombang privatisasi sedang berhembus kencang. Mahathir melihat ide privatisasi dapat diimplementasikan di Malaysia. Mahathir menekankan pentingnya program privatisasi dan konsep privatisasi dalam kerangka Malaysian Incorporated yang bertujuan memberantas inefisiensi, manajemen yang lemah dan kurangnya disiplin keuangan di sektor publik. Sementara, Malaysian Incorporated sebagai sebuah konsep diarahkan pada kehendak agar sektor publik mampu berkolaborasi secara lebih efektif
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
dengan sektor swasta. Bagi Mahathir, yang dimaksud dengan “privatisasi” adalah transfer pelayanan pihak pemerintah dan perusahaan-perusahaan terhadap sektor swasta. Sedangkan Malaysian Incorporated ialah Malaysia seharusnya dipandang sebagai perusahaan dimana pemerintah dan sektor swasta bekerja sama dan merupakan pemilik perusahaan tersebut (Mohamad, 1999: 55-56). Mahathir terinspirasi oleh sistem kapitalisme Jepang (mencontoh Japanese Incorporated) yang menurutnya mampu mengatasi masalah perekonomian Malaysia. Pada kasus Malaysia, sesuai dengan model pembangunan triple alliance Evans bahwa kedekatan hubungan kelas pengusaha (borjuasi) dengan pemerintah dipertahankan secara kuat. Sebagai implikasi dari kebijakan pembangunan di awal era NEP dan program privatisasi yang dijalankan sejak tahun 1983, maka bermunculanlah pengusaha-pengusaha Bumiputera sebagai pengimbang kepemilikan modal di Malaysia yang pada zaman dulu hanya didominasi oleh pengusaha-pengusaha Cina. Para pengusaha Bumiputera tersebut loyal mendukung program-program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Malaysia. mereka menjadi orang-orang dekat dengan lingkaran kekuasaan dan pembuatan kebijakan negara. Salah satu nama yang paling terkenal adalah Daim Zainudin yang kemudian diangkat sebagai menteri keuangan oleh Mahathir. Stabilitas politik yang menjadi dasar pembangunan ekonomi Malaysia di bawah Mahatir telah melakukan sejumlah adaptasi politik, yang memberikan ruang demokrasi terbatas tetapi sekaligus menguatkan posisi politik UMNO dalam sistem politik yang semi demokratis atau semi otoriter. UMNO telah menjadi sedemikian penting dengan kepentingan ekonomi-sosial etnis Melayu yang dominan sehingga perubahan politik di Malaysia hanya bisa berlangsung dari dan di bawah arahan UMNO. Strategi Ekonomi Mahathir Mengatasi Krisis Ekonomi Asia 1997 Malaysia mengalami krisis moneter sejak Juli 1997 yang diawali dari devaluasi mata uang baht (Thailand) tanggal 2 Juli 1997. Rezim Mahathir mendapat tekanan domestik dan internasional untuk mengambil kebijakan liberalisasi ekonomi dan reformasi politik bagi pemulihan krisis seperti direkomendasikan oleh IMF. Nilai tukar ringgit terhadap mata uang asing, terutama dolar, jatuh dan diikuti merosotnya nilai aset milik negara. Harga barangbarang impor dan domestik melaju tinggi, sementara daya beli merosot dan inflasi meningkat tajam. Utang luar negeri Malaysia meningkat justru karena perbedaan nilai tukar, yakni dari 98,8 milyar dolar AS pada tahun 1997 menjadi 1.662,2 milyar dolar AS pada tahun yang
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
sama, lalu berkembang menjadi 171,8 milyar dolar pada tahun 1998 (Henderson, 1998: 273). Utang yang besar menyebabkan sebagian besar perbankan terancam bangkrut, baik perusahaan yang berada di bawah UMNO maupun oposisi. Secara ekonomi Malaysia lebih kuat dibandingkan negara-negara tetangga yang terkena dampak krisis ekonomi. Selain dari keunggulan indikator ekonomi makro, ada satu faktor lain menyolok dalam menopang kinerja ekonomi Malaysia selama krisis, yakni ekspor dalam jumlah dan jenis komoditas yang baik. Dengan demikian, pemerintah Malaysia secara konsisten membiayai kebijakan penurunan angka kemiskinan, jaminan kesehatan dan perluasan pendidikan bukan dengan hutang luar negeri. Malaysia mampu bertahan tanpa paket bantuan dari IMF sebagaimana ditempuh Indonesia, Korea Selatan dan Thailand. Kebijakan kontrol devisa dimaksudkan untuk mengisolasi ekonomi Malaysia dari sistem kapitalisme global sebagaimana dituduhkan kalangan pers asing dan pengamat ekonomi asing. Malaysia masih terlibat dalam perdagangan ekonomi internasional di bawah rezim ekonomi yang berlaku kecuali perdagangan mata uang (Beeson, 2000: 20-22). Malaysia juga masih menerima masuk investasi asing, walaupun untuk investasi baru berjangka pendek melalui pembelian saham. Pemerintah memberlakukan izin yang ketat baik dalam jumlah maupun mekanisme yang dibatasi hanya di bursa saham KLSE atau pasar modal yang ditunjuk pemerintah. Untuk investasi jangka panjang di sektor riil dalam bentuk FDI (Foreign Direct Investment) Malaysia mengeluarkan aturan baru tentang kepemilikan yang lebih menguntungkan bagi para investor. Mahathir menyikapi bantuan yang ditawarkan oleh IMF sebagai upaya neokolonialisme baru negara Barat terhadap negara-negara Asia yaitu kolonialisme ekonomi. Mahathir menuding, lembaga-lembaga keuangan internasional menyajikan “bantuan” keuangan dengan berkedok membantu negara-negara miskin (Mohamad, 1999: 71). Mahathir lebih percaya, bahwa upaya pemulihan ekonomi Malaysia lebih ditekankan dengan menggiatkan sektor nasional Malaysia. Di tengah krisis ekonomi Asia, Mahathir melakukan pengetatan anggaran dan pengeluaran pemerintah untuk melakukan efisiensi serta masih mempertahankan perusahaan-perusahaan besar Malaysia milik negara dan swasta. Tanda-tanda menuju pemulihan ekonomi mulai terlihat pada bulan kelima sejak penerapan kontrol devisa. Setelah lima bulan penerapan kebijakan ini, mata uang ringgit stabil, cadangan devisa pembayaran luar negeri meningkat rata-rata US$ 1,5 milyar per bulan dan indeks komposit KLSE menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Peningkatan juga berlangsung pada aktivitas ekonomi yang lain, terutama di sektor riil. Belanja negara dan modal yang dipinjamkan dari bank menjadi pendorong utama terus beroperasinya ekonomi
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
riil Malaysia selama penerapan kontrol devisa, dan ini turut memberikan kontribusi penting bagi pemulihan ekonomi. Tabel 1 Pertumbuhan Ekonomi Malaysia Pasca-Krisis Ekonomi Asia 1997 1997
111998
1999
2000E
7,3
-7,4
5,6
8,6
7,5
-10,9
8.0
12,1
8,6 0,7
-4,7 -3,3
4.0 3.3
5,9 3,0
74.123 55.909 18.215
83.933 77.368 21.673
99.041 77.368 21.673
5,3
2,8
1,6
Exchange rate (year 3,8 3,8 3,8 end) E : ESTIMATED Sumber: Regional Outlook, Southeast Asia 2001-2002. Singapore:ISEAS
3,8
GDP Growth (% change) Industry Sector Growth Service Sector Growth Agriculture sectore growth Exports (US million) Imports Trade Balance Inflations
77.881 74.005 3.876 2,7
Kemampuan Malaysia untuk menangani krisis dalam konteks stabilitas politik sangat penting karena berdasarkan apa yang terjadi di negara-negara tetangganya, kegagalan mengatasi krisis dapat menimbulkan gelombang reformasi untuk menurunkan rezim yang berkuasa, seperti yang terjadi di Indonesia, Filipina (ditandai dengan terpilihnya Joseph Estrada yang dianggap lebih populis), serta perubahan konstitusi yang terjadi di Thailand (Robinson, et.al., 2000: 29). Jika Huntington mengatakan bahwa model pembangunan teknokratis suatu saat akan menimbulkan ledakan partisipasi politik, di Malaysia hal ini terjadi saat muncul gerakan-gerakan sosial dan oposisi yang menuntut keadilan dan good governance. GRM menjadi salah satu gerakan masa yang dibentuk sebagai aksi protes terhadap pemecatan Anwar Ibrahim. Namun dengan keberhasilan pemerintah Malaysia (di bawah UMNO sebagai mayoritas tunggal) menunjukkan stabilitas ekonomi politik dan pembagunan yang relatif merata gerakan ini tidak mampu menggulingkan rezim. Strategi Politik Mahathir Melawan GRM dan Menghadapi Pemilu tahun 1999. Menyusul pemberitaan pemecatan Deputi PM Anwar Ibrahim 2 September 1998, muncul gerakan massa terorganisir pendukung Anwar yang ingin menentang PM Mahathir sebagai konsekuensi dari pemecatan tersebut. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai Gerakan
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Reformasi Malaysia. Selama beberapa pekan di bulan September–Oktober 1998 ibukota Kuala Lumpur diwarnai demontrasi massa menuntut Mahathir untuk mundur. Menurut Boo Theik (Boo Theik, 2001: 132), GRM muncul lebih sebagai implikasi dari pemecatan Anwar dan bukan gerakan sosial-politik yang dipersiapkan sejak awal. Tujuan GRM dimuat dalam deklarasi Permatang Sauh dirumuskan oleh para organisator GRM menjadi tiga slogan utama reformasi: keadilan sosial, demokrasi dan pemerintahan bersih Pendukung GRM melibatkan mahasiswa, aktivis LSM, buruh dan kaum profesional. Norani Othman mencatat aksi-aksi demonstrasi massa anti-Mahathir pasca pemecatan Anwar sebagai peristiwa yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah Malaysia sebagai ungkapan protes terhadap rezim politik yag otoriter (Heryanto dan Mandal, 2004: 251). Mahathir melakukan tindakan yang bersifat represif untuk meningkatkan stabilitas politik dan keamanan Malaysia guna mendukung dari pemulihan krisis termasuk memasung kebebasan media dan aspirasi kelompok oposisi yang dilakukan melalui aksi demonstrasi dan gerakan reformasi. Pasca krisis ekonomi 1997, Malaysia melakukan berbagai upaya stabilitas politik nasional. Upaya meredam gejolak politik dilakukan rezim Mahathir dengan memanfaatkan elemen legal yaitu Undang Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA), terhadap oposisi dan gerakan reformasi Malaysia Upaya-upaya pengendalian segala elemen di masyarakat menjadi strategi politik Mahathir untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik dalam mewujudkan negara yang kuat (strong state). Demikian juga dengan upaya menyingkirkan figur-figur yang dianggap tidak sepaham dengan kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mengukuhkan kekuasaan dan stabilitas nasional Malaysia. sehingga GRM yang memanfaatkan peluang di tengah krisis Asia tidak mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan baru dan perubahan rezim di Malaysia akibat lemahnya membangun dukungan di tingkat elit maupun massa akar rumput. Aksi-aksi demontrasi massa di bawah GRM mengalami disorientasi dan kemunduran memasuki tahun 1999. Sejumlah pimpinan GRM baik dari kalangan aktivis LSM maupun partai-partai oposisi mulai menyatakan secara terbuka bahwa pergantian kekuasaan di Malaysia tidak bisa berlangsung seperti di Indonesia dan harus dilakukan melalui pemilu (Heryanto dan Mandal, 2004:7). Pemilu dimaksudkan untuk mengetahui kehendak rakyat Malaysia yang sesungguhnya, apakah tetap akan mempertahankan mandat Mahathir yang didukung koalisi BN atau menghendaki pemerintahan baru dari partai-partai oposisi. Keberhasilan pemerintah memulihkan ekonomi dari krisis melalui penerapan kebijakan kontrol devisa memberikan kontribusi besar bagi menguatnya posisi politik Mahathir dan penjadwalan pemilu yang dipercepat. Dengan posisi politik yang semakin
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
menguat dan GRM yang semakin kehilangan dukungan rakyat, Mahathir pada 12 November 1999 mengumumkan pembubaran parlemen untuk membuka jalan bagi penyelenggaraan pemilu yang baru. Pemilu Malaysia dilakukan paing sedikit lima tahun sekali. Malaysia menganut sistem multipartai namun Pemilu 1999 hanya diikuti dua kontestan, yaitu partai yang tergabung dalam koalis BN (Barisan Nasional) dan yang tergabung dalam koalisi BA (Barisan Alternatif). BN terdiri dari koalisi partai penguasa dengan partai UMNO, MCA dan MIC, serta sebelas partai pendukung lainnya. Sedangkan BA adalah kumpulan beberapa partai oposisi yang dipimpin PAS (Partai Islam se-Malaysia), PKN (Partai Keadilan Nasional), DAP (Democratic Asian Party) dan PRM (Partai Rakyat Malaysia) yang mendukung gerakan reformasi dan menuntut demokratisasi terjadi di Malaysia (Juo-Yun-Lin, 2001). BA yang muncul untuk menandingi BN bertujuan menggerakkan reformasi politik dan memasang agenda politik untuk melakukan perubahan rezim otoriter di Malaysia menjadi demokratis. Namun perpecahan di tubuh BA terjadi karena munculnya perbedaan ideologi yang saling bertentangan di antara partai-partai anggotanya, khususnya antara PAS dan DAP. PAS sebagai partai dominan dalam BA bersikeras untuk menggunakan isu agama dengan ide pembentukan negara Islam sebagai konsep politi koalisi BA (Agustini, 2009:179). Isu ini ternyata mendapat dukungan dari rakyat Malaysia khususnya golongan bukan Melayu dan golongan Melayu modern. Di sisi lain keberhasilan Mahathir Mohamad dalam menyelamatkan Malaysia dari krisis ekonomi 1997 juga merupakan isu politik yang membuat rakyat Malaysia tetap mendukung BN. Tabel 2 Perolehan Kursi BA dan BN dalam Pemilu Raya Malaysia 1999 PARTAI POLITIK
NAMA PARTAI DAP
BARISAN ALTERNATIF
KEADILAN
(BA)
PAS PRM
JUMLAH KURSI DI DEWAN RAKYAT 10
JUMLAH KURSI DI DUN
5 7 -
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
11 4 98 -
PARTAI POLITIK
BARISAN NASIONAL (BN)
OPOSISI
NAMA PARTAI
JUMLAH KURSI DI DEWAN RAKYAT
JUMLAH KURSI DI DUN
UMNO
71
176
GERAKAN
6
21
LDP
1
-
MCA
29
69
MIC
7
15
PBB
10
-
PBDS
6
-
SAPP
2
-
SNAP
4
-
SUPP
4
-
UPKO
8
-
PPP
-
-
PBS
3
-
Sumber: Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia, 2000.
Dengan demikian, dari 193 kursi Dewan rakyat yang diperebutkan, koalisi BN (terdiri dari 14 partai utama UMNO, MCA, dan MIC) memenangkan 148 kursi dan koalisi BA (terdiri dari PAS, PKN, DAP, dan PRM) memenangkan 42 kursi. Penjelasan dan intepretasi hasil Pemilu Malaysia 1999 dalam perspektif menang dan kalah menghasilkan hal yang berbeda. Dilihat dari konteks koalisi, maka jelas bahwa koalisi BN menjadi pemenang dan koalisi BA pihak yang kalah. Namun, jika dilihat dalm konteks partai-partai maka baik pihak pemenang dan pihak yang kalah berada di kedua koalisi. Partai pemenang pemilu adalah PAS (anggota koalisi oposisi) dan MCA (anggota koalisi pemerintah). Sedangkan partai yang kalah adalah UMNO (koalisi pemerintah), DAP (koalisi oposisi) dan PKN (koalisi oposisi). Sumbangan suara UMNO kepada koalisi BN merosot dari 94 kursi menjadi 72 kursi. Karenanya, dari segi ini maka UMNO dapat dikategorikan partai yang kalah dalam Pemilu 1999. Kendati demikian, walaupun UMNO kehilangan banyak kursi, dukungan yang didapatkan oleh PKN juga jauh lebih rendah daripada yang diperkirakan sebelumnya. Dengan hanya mendapat lima kursi di dewan rakyat, PKN gagal menjadi partai pemimpin koalisi oposisi BA karena justru berada di urutan ketiga setelah PAS (27 kursi) dan DAP (10 kursi). PKN bahkan kalah di ibukota Kuala Lumpur, yang selama berlangsung GRM dianggap sebagai wilayah basis dukungan bagi Anwar.
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Meskipun Mahathir berhasil melanjutkan masa pemerintahan pascakrisis namun terdapat beberapa fenomena yang menjadi sorotan dalam hasil pemilu tersebut. Berubahnya preferensi suara pemilih Melayu dan etnis Cina harus dicermati oleh rezim Mahathir karena mempengaruhi politik di masa depan. Dukungan etnis Cina yang solid menjadi dasar keberhasilan Mahathir dalam pemilu periode tersebut. Akan tetapi perpecahan suara yang terjadi pada etnis Melayu menunjukan hilangnya dominasi pemerintahan yang berkuasa. Selain itu kekuatan PAS naik menjadi oposisi utama dan status politik etnis Cina mengalami penurunan. Kemenangan partai fundamentalisme Islam akan mengisi gerakan reformasi di parlemen Malaysia.
Hal inilah yang menjadi pandangan beberapa kalangan akademisi
terhadap politik masa depan Malaysia (Juo-Yu-lin, 2001). Dalam Pemilu 1999 ini menunjukkan terkikisnya pengaruh dan hegemoni politik BN dibanding pencapaian di tahun-tahun sebelumnya. BN mengalami kemerosotan suara, yang secara tidak langsung menggambarkan kemerosotan suara populer di berbagai negara bagian di Malaysia. Hasil Pemilu 1999 dapat dipahami adanya perubahan masyarakat Malaysia secara holistik (Saliha Hasan, “NGO, Masyarakat Sipil dan Demokrasi” dalam Agustini, 2009: 321). Persoalan yang muncul menjelang Pemilu 1999 banyak mempersoalkan isu-isu yang bersifat nasional. Banyak kalangan yang mulai mempersoalkan isu yang dirasakan tidak adil dan tindakan penyelewengan. Tuntutan good goverment semakin banyak di suarakan meskipun tidak direspon pemerintah. Kesimpulan Artikel ini mengidentifikasikan dua faktor yang saling berkaitan yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan rezim Mahathir bertahan pada tahun 1997-1999, yaitu: Pertama, strategi ekonomi dalam mengatasi krisis ekonomi Malaysia melalui kebijakan kontrol devisa dan melawan liberalisasi ekonomi dengan menolak kebijakan rekomendasi IMF. Kedua, strategi politik melawan GRM dan oposisi serta strategi menghadapi Pemilu 1999 membawa Mahathir kembali berkuasa di Malaysia. Keberhasilan rezim Mahathir dan rezimnya bertahan melalui krisis ekonomi Asia ditentukan oleh pilihan kebijakan ekonomi Mahathir dalam merespon krisis. Kegagalan GRM dalam melakukan demokratisasi di Malaysia dan kemenangan BN pada Pemilu 1999 menjadi manifestasi kekuatan rezim otoritarian Mahathir. Keberhasilan Mahathir dalam mengatasi krisis ekonomi Asia tidak terlepas dari kekuatan pembangunan fondasi perekonomian yang telah diciptakan pada masa awal pemerintahannya. Seperti yang diungkapan Peter Evans untuk menjawab pembangunan di
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Negara Dunia Ketiga ada tiga unsur persekutuan yakni; negara, modal asing, dan borjuasi nasional. Kegiatan perekonomian merupakan sub-ordinasi dari target pembangunan dan kepentingan negara. Negara menjadi aktor utama yang secara aktif dan rasional mengatur ekonomi demi meningkatkan kekuasaan negara. Peran negara seperti ini terlihat pada Malaysia karena pemerintah Malaysia memutuskan untuk tidak terikat pada lembaga keuangan internasional. Hal ini yang menghasilkan percepatan pemulihan ekonomi pasca krisis tahun 1997 di Malaysia dan berbeda dengan negara-negara tetangganya seperti Indonesia dan Thailand yang menunjukkan ketergantungannya terhadap IMF dan Bank Dunia. Keyakinan Mahathir untuk menolak rekomendasi IMF semakin menguat ketika negaranegara penerimaan bantuan IMF ternyata jauh lebih terlambat pemulihan ekonominya dibanding Malaysia yang tidak menerima bantuan IMF. Dalam banyak kasus kejatuhan rezim otoriter, keutuhan kekuatan politik pendukung rezim tidak bisa dipertahankan apabila kondisi sosial-ekonomi terus merosot. Namun yang terjadi di Malaysia sebaliknya, stabilitas nilai mata uang dan perekonomian Malaysia berkat kontrol devisa menjaga dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap Mahathir. Fenomena pembangunan di Malaysia masa Mahathir juga dapat dikemukakan ke dalam model pembangunan teknokratik Huntington, dimana partisipasi politik ditekan serendah mungkin dan terjadi investasi yang tinggi di negara tersebut-terutama investasi asing. Modal asing dibutuhkan demi memacu pertumbuhan ekonomi yang berorientasi kepada industrialisasi. Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi, serta kesenjangan tingkat penghasilan juga terus meningkat. Model seperti ini mengasumsikan bahwa partisipasi politik perlu disingkirkan untuk sementara dan negara berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Namun pembangunan seperti ini rentan terhadap gejolak ledakan partisipasi politik akibat ketidakpuasan segelintir orang dalam menyalurkan aspirasinya. Di Malaysia ledakan partisipasi politik ini terjadi saat munculnya GRM sebagai reaksi ketidakpuasaan rakyat atas pemecatan Anwar Ibrahim. Faktor penentu keberhasilan rezim Mahathir bertahan terletak pada kegagalan GRM yang tidak mampu memobilisasi dukungan massa untuk menjatuhkan rezim Mahathir. Ketidakpastian strategi dan pengorganisasian membuat GRM tidak bisa membuat basis dukungan massa berkembang mencapai jumlah besar dan meluas ke seluruh kota penting di Malaysia. Hal ini berbeda dengan aksi-aksi demonstrasi dalam gerakan reformasi di Indonesia, GRM untuk pro-demokrasi muncul lebih sebagai aksi yang tiba-tiba sebagai kelanjutan dari pemecatan Anwar ketimbang aksi massa yang teroganisir dan berlangsung secara terus-menerus dalam rentang waktu yang panjang.
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Tidak adanya jaringan nasional yang kuat maka GRM mudah dipatahkan dengan represi aparat keamanan dan kontra-isu dari pemerintah. Pendukung GRM gagal memanfaatkan momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan Mahathir. Kelemahan GRM dapat dilihat baik melalui jumlah pendukungnya maupun dalam perbandingan dengan kekuatan rezim Mahathir. Kontra isu yang dilancarkan kubu Mahathir bahwa GRM hanya akan membawa Malaysia menuju anarki sosial dan pemiskinan seperti di Indonesia turut menjauhkan simpati publik. Kekuatan politik proMahathir justru berhasil mengkonsolidasi kekuasaan di masa-masa selama dan setelah sidang pengadilan terhadap Anwar Ibrahim. Strategi politik Mahathir mengangkat Abdullah Badawi sebagai Menteri Luar Negeri dan sebagai Deputi PM menggantikan posisi Anwar Ibrahim menjadi salah satu penyebab meningkatnya konsolidasi politik pro-Mahathir dan melemahnya GRM. Pemulihan ekonomi cepat berkat kontrol devisa menutup peluang bagi gerakan reformasi untuk meluaskan dukungan publik.
Strategi ekonomi dan politik Mahathir menentukan keberhasilan rezimnya bertahan di Malaysia dalam periode selanjutnya melalui Pemilu 1999. Pemilu 1999 yang oleh pengamat Malaysia disebut sebagai pemilu yang dipengaruhi krisis ekonomi dan gerakan reformasi, menunjukkan beberapa hal. Kemenangan BN pada pemilu ini disebabkan karena kontribusi suara dari partai-partai mitra koalisinya, terutama MCA yang memiliki pemilih pada etnis Cina kelas menengah. Meskipun BN menang, namun UMNO sendiri kehilangan dukungan besar dari pemilih Melayu di negara-negara bagian Semenanjung. Pemilih UMNO yang kecewa mengalihkan suara kepada PAS bukan kepada PKN yang dibentuk sebagai partai pendukung Anwar. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih Melayu yang kecewa terhadap Mahathir tidak otomatis menyukai Anwar. Di lain pihak, BA yang meskipun muncul sebagai koalisi multi-etnis yang kuat tidak sepenuhnya berhasil menentukan posisi politik sebaik posisi politik BN. BN berhasil menempati posisi politik bisa diterima beragam etnis namun koalisi oposisi BA tidak berhasil membangun posisi yang setara diterima pemilih tanpa menimbang etnisitas. Suara pendukung DAP yang berada dalam koalisi BA justru banyak yang beralih ke MCA yang berada dalam koalisi BN. Mahathir secara konsisten menjalankan strategi ekonomi dan politik dengan karakteristik otoriter yang kuat. Keberhasilan Mahathir mempertahankan kekuasaannya pada tahun 1997-1999 memperlihatkan daya tahan kepemimpinannya dibawah tekanan global yaitu krisis ekonomi Asia. Mahathir memanfaatkan masa-masa pascapemilu untuk memulihkan stabilitas sosial-politik Malaysia hingga mundur secara resmi dari jabatan PM pada 31 Oktober 2003 dan digantikan oleh Abdullah Badawi yang ditunjuk langsung oleh Mahathir.
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Daftar Acuan Acuan buku Agustini, Leo (Ed.). Politik dan Perubahan: Antara Reformasi Politik di Indonesia dan Politik baru di Malaysia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. Ahmad, Aziz Zariza. Mahathir’s Paradigma Shift: The Man behind the Vision. Malaysia: Firma Malaysia Publishing, 1997. Budiman, Arif. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: Gramedia, 1996. Crouch, Harold. Goverment and Society in Malaysia. Cornell, Cornell University Press, 1996. Fuston, John. Malaysia: Development State Challenged, dalam John Funston (Ed.), Goverment and Politics in Southeast Asia. Singapore: ISEAS, 2001. Gomes, T. Edmund dan Jomo K.S. Malaysia’s Political Economy: Politics Patronage, Profits. Cambridge: Cambridge University Press, 1997. Hadi, Syamsul. et.al. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta: Granit, 2004. Henderson, Callum. Asia Falling?: Making Sense of the Asian Currency Crisis and Its Aftermath. Singapore: McGrawth-Hill Book, 1998. Heryanto, Ariel dan Sumit K. Mandal (Eds.). Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. UK: Routledge Curzon, 2003. Hilley, John. Malaysia: Mahathirsm, Hegemony and the New Opposition. London: Zed Books, 2001. Hoi, Kai Long dan Chin. Mahathir Administration Perfomance and Crisis in Goverment. Singapore: Times Books International, 2001. Kunio, Yosihara. Kapitalis Semu Asia Tenggara, terj. A Setiawan Abadi. Jakarta: :LP3ES, 1990. Milne, Robert. S dan Diane K. Mauzy. Malaysian Politic Under Mahathir. Routledge: London, 1999. Mohamad, Mahathir. A new Deal for Asia: Peran Baru Asia di Dunia, terj. Riki Nalsya. Jakarta: Handal Niaga Pustaka, 1999. Mohamad, Mahathir. The Malay Dilemma: With a New Preface., Singapore: Marshall Cavendish Editions, 2010.
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013
Rasiah, Raja. Class, Ethnicity and Economy Development in Malaysia, dalam The political economic of South-East Asia: An Introduction, Rodan (Eds.), Melbourne: Oxford niversity Press, 1997. Ritchie, Ritchie and Jane Lewis. Qualitative Research A Guide for Social Students and Researchers. London: Sage Publications, 2004. Soesastro, Hadi. Currency Turmoil in east Asia: Long Term Implication for Developing Countries, (KL: ISIS, 1999) W. L. Neuman. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (5th ed.). USA: Macmillan, 2003. Wah, Loh Kok dan Khoo Boo Theik (Ed.). Democracy in Malaysia. Curzon Press: Great Britain. Zakaria, Ahmad. Government and Politics of Malaysia. Singapore: Oxford University Press. Acuan Jurnal Ilmiah Krasner, S. State power and the structure of international trade. World Politics, 28 (1): 317347, 1976. Beeson, Mark. Mahathir and The Markets: Globalization and The Pursuit of economic Autonomy in Malaysia. (Pasific Affair, Vol. 73. No. 3 Fall, 2000). Acuan Skripsi Cempakasari, Farah. Langkah Kebijakan Malaysia Dalam mengatasi Krisi ekonomi 1997: Tinjauan Atas Faktor-Faktor Penyebab Penerapan Kontrol Modal dan Sistem Kurs Tetap pada September 1998. Skripsi HI. Depok: FISIP UI, 2001. Acuan Artikel dan Website Transformasi Ekonomi Malaysia”, Pikiran Rakyat, diakses melalui
(12 April 2013 pukul. 20.39 WIB) Faris A. Noor, Malaysia Election 1999: A Shift in the Political Terrain, dalam <www.malaysiakini.com> (diakses pada tanggal 24 Maret 2013 pukul 10.22 WIB). Juo-Yun-Lin, 1999, A stucktural Analysis of the 1999 Malaysia General Election: Changing Voting Preference of Ethnic Chinese and Malay Groups and Party dalam <www.electionsworld.org/malaysia.html> (diakses pada tanggal 2 April 2013 pukul 12.43 WIB).
Keberhasilan rezim..., Debie Octora Anglesia, FISIP UI, 2013