Kebahasaan, Sosial budaya, dan Folklor Desa Kujangsari Makalah Diajukan untuk memenuhi tugas KKL (Kuliah Kerja Lapang) Dosen Pembina Indra Sarathan, S.S.
Disusun Oleh Baram Al Muzzamil 180110070047
Renaldy Pratama
180110070048
Iin Kuraesin
180110070039
Eka Rahayu Agustin
180110090019
Egis Lubis Ristia
180110070009
Alberto Felix Pasaribu
180110090029
Fariz
180110070050
Nisaul Fadhilah H
180110090006
Pitauli Simbolon
180110090019
Utari Triajeng Yanuanggi 180110090003
Rarastiti Reineastu
180110070028
Firmansyah
180110090048
Nabila Bunga Pratiwi 180110090049
Muhammad Haikal
180110090003
Sutiyarna
180110070019
T.B. Rangga Ginanjar
180110090037
Popy Jayanthi W.B
180110070038
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2010
KATA PENGANTAR
Mengunjungi daerah dengan penggunaan dua bahasa tutur, akan sangat menarik. Karena di sana akan terdapat dua kebuadayaan yang bercampur. Seperti pada saat KKL (Kuliah Kerja Lapangan) Universitas padjadjaran 2010, di kecamatan Langensari Kota Banjar Jawa Barat. Tepatnya kelompok kami ditempatkan di Desa Kujangsari, yang merupakan Desa terjauh dari semua desa tujuan KKL program studi Sastra Indonesia UNPAD 2010. Desa Kujangsari adalah salah satu desa dari Kecamatan Langensari Kabupaten Banjar Jawa Barat. Sebuah desa dengan berbagai etnik di dalamnya. Ada tiga etnik di desa Kujangsari yaitu, etnik Jawa, etnik Sunda, dan etnik Tionghoa. Desa Kujangsari termasuk sebagai desa dwibahasa, yaitu masyarakat dengan penggunaan dua bahasa ibu, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Sebuah fenomena kebahasaan yang hanya ada di daerah perbatasan. Desa Kujangsari sendiri termasuk kedalam daerah perbatasan, Kabupaten Banjar khususnya Kecamatan Langensari merupakan daerah perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Jawa Tengah. Di daerah perbatasan itu bercampur kebudayaan termasuk bahasa di dalamnya, antara kebudayaan Jawa Barat dengan kebudayaan Jawa Tengah. Hal tersebut akan menjadi sesuatu menarik untuk diteliti dari berbagai segi, baik itu dari segi bahasa maupun dari segi sosial budayanya. Tentunya program KKL tersebut haruslah menjadi sarana pembelajaran selain proses pembelajaran di kampus. Harus ada sesuatu yang bisa diambil sebagai wahana pencerahan dari hasil yang didapat melaui program kuliah lapangan tersebut. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencerahkan. Tentunya pencerahan akan ilmu adalah hal yang diinginkan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak kami sebagai pelaksana KKL dan segenap penduduk Desa Kujangsari. Harusnya ada pertukaran informasi dalam proses kuliah lapangan itu, kemudian mahasiswa sebagai peserta KKL merumuskan serta mengolah data yang telah diperoleh kemudian memberikan sebuah pandangan tentang berbagai data baik itu data kebahasaan,
data sosial budaya, folkor, ataupun kearifan lokal yang didapatkan dari berbagai data tersebut. Semoga data yang telah kami peroleh dan telah kami olah sedemikian rupa bisa bermanfaat untuk yang membacanya.
Penyusun
Jatinangor, 6 Juni 2010
DAFTAR ISI KataPengantar
I
Daftar Isi
III
Bab I. DATA KEBAHASAAN
1
A. B. C. D.
Bilingualisme Alih Kode dan Campur Kode Kosakata Desa Perbandingan Data
BAB II. KEADAAN SOSIAL BUDAYA DESA KUJANGSARI
1 1 2 5 6
A. Data Statistik
6
B. Sejarah Desa Kujangsari
9
BAB III. DATA KEBUDAYAAN DAN FOLKOR
12
DESA KUJANGSARI A. Tradisi Hajat Bumi
12
B. Kesenian Gonggo
15
KESIMPULAN
18
BAB I DATA KEBAHASAAN A. Bilingualisme Bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya (Bloomfield, 1933:56). Masyarakat Desa Kujangsari memiliki lebih dari dua bahasa yang mereka kuasai, di antaranya bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Umumnya, mereka menggunakan dua bahasa saat berinteraksi dengan tetangga yaitu bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Kedua bahasa dapat mereka tuturkan tersebut sama baiknya. Jadi, masyarakat Desa Kujangsari tergolong masyarakat bilingualisme. Mereka menggunakan bahasa Jawa ketika berinteraksi dengan orang Jawa dan menggunakan bahasa Sunda ketika berinteraksi dengan orang Sunda, namun orang Sunda maupun orang Jawa itu pun bisa menggunakan kedua bahasa tersebut. Keunikan dalam berbahasa di desa ini sangat terlihat. Menurut kami, mereka masih tetap mempertahankan bahasa ibunya agar tidak hilang sehingga mereka lebih memilih untuk menguasai bahasa lain daripada harus menghilangkan bahasa ibu mereka. Alih Kode dan Campur Kode Hymes (1875:103) menyatakan bahwa alih kode itu terjadi bukan hanya antar bahasa, melainkan dapat juga terjadi antara ragam-ragamatau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa.Kami mengamati cara masyarakat Desa Kujangsari dalam berbahasa dengan orang lain,seperti berikut.
Ada dua orang ibu yang sedang berbincang di depan warung menggunakan bahasa Sunda, kemudian datanglah seorang ibu lagi yang menggunakan bahasa Jawa sehingga percakapan yang terjadi selanjutnya di sana berubah bahasa menjadi bahasa Jawa. Lalu kami pun mendekati mereka dengan alasan ingin wawancara dan salah satu di antara kami mencoba menggunakan bahasa Jawa tetapi mereka tetap merespon dengan bahasa Indonesia dan percakapan pun berubah menjadi formal. Mungkin karena mereka tahu kami mahasiswa dan bukan orang sana sehingga mereka menyesuaikan bahasa kami yang kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia saat berinteraksi dengan orang-orang sana.
Dari contoh di atas, pengalihan bahasa dan pengalihan ragam santai ke ragam resmi berkenaan dengan situasi non formal ke situasi formal adalah tercakup dalam peristiwa yang disebut alih kode. Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Menurut Thelander (1976; 103) alih kode terjadi bila ada suatu peristiwa peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur , klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa itu disebut campur kode. Campur kode pada masyarakat Desa Kujangsari seringkali terjadi saat berbicara atau berinteraksi dengan orang lain. Misalnya saat salah satu dari kami ke warung, kebetulan di sana sedang ada pembeli lain yang juga penduduk desa itu, kami mendengar percakapan mereka seperti ini:
Pembeli : “Bu meser rokok Djarum Coklat, piro?” Penjual : “Enem ngewu.”
B. Kosakata Desa Bahasa yang dipakai masyarakat Desa Kujangsari yaitu tiga bahasadi antaranya bahasa Sunda, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, namun bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Berikut ini merupakan beberapa contoh bahasa yang digunakan oleh masayarakat Desa Kujangsari. Data I No
Glosarioum
001 Kakek* 002 003 004 005 006
Nenek* Ayah* Ibu*# Paman tua Paman muda
Amad Muhammad Parjo Bahasa Sunda Bahasa Jawa Bahasa Sunda Aki Simbah/ mbah Aki kakung Nini Mbah putri Nini Bapak Rama Bapa Ema Biung Ibu Uwa pakde Ua Paman Mamang
Bahasa Jawa Mbah Nini Bapa Ibu/simbo Pakde Lilik
007 Bibi tua Bibi 008 Bibi muda* 009a Laki-laki# Lalaki 009b Perempuan Awewe 010 Kakak laki-laki Lanceuk 011 Kakak perempuan* Eceu 012 Adik laki-laki Adi 013 Adik perempuan 014 Anak Budak 015 Keponakan tua Ipar 016 Keponakan muda Alo 017 Cucu Incu 018 Suami Salaki 019 Istri# Pamajikan 020 Mertua Mitoha 021 Menantu Minantu 022 Besan Besan 023 Ipar Ipar 024a Penggilan untuk anak Asep lk* 024b Panggilan untuk anak Neng pr* 024c Tiri# Budak tere 025a Nama# Ngaran 026 Pegawai desa Pamong 027 Pesuruh di desa* Pamong 028 Kepala desa Kuwu 029 Kepala kampung* Kadus 030 Juru tulis Juru tulis 031 Penghulu Naid 032 Peronda Ronda 033a Dukun beranak Paraji 033b Dukun sunat Paraji sunat 033c Arisan* Arisan 034 Selamatan (kenduri)* Ngariung 035 Kerja bakti Kerja bakti 036 Kepala# Hulu 037 Otak# Otak 038a Kening Tarang 038b Mata# Panon 038c Bulu mata Bulu mata
Bude Bibi Lanang Wadon Kakang Mbakyu Ade Ade Anak Ipe Keponakan Putu Bojo Bojo Mertua Mantu Besan Ipe Tole
Bibi
Uwa/ bude Bule Pameget Lanang Istri Wadon Akang Kakang Ceu-ceu/ eceu Yayu Ujang Dek Neng/nyai Dek Putra Putra Alo Keponakan Keponakan Incu Putu Caroge/salaki Suami Istri Bojo Mitoha Mertua Menantu Menantu Besan Besan Ipar Ipe/grepean Ujang/asep -
Gendok
Neng
-
Kewalon Jenengan Pamong Pamong Lurah Kadus Carik Penghulu Randa Dukun bayi Dukun sepit Arisan Kenduren Kridan Endas Otak Batuk Meripat Idep
Anak tere Ngaran/ nami Pedamel desa Juru kebon Kuwu Golongan Kaur Naïf Ronda Indung berang Tukang khitan Arisan Riungan Keridan Sirah Otak Kening Panon Bulu panon
Anak walon Jeneng Pedamel desa Lurah Golongan Carik Amil Ronda Dukun bayi Dukun sepit Arisan Kenduri Keridan Sirah Utek Kening Meripat Idep
039 Air mata# 040a Hidung 041 Mulut# 042a Air ludah# 042b Dahak# 043 Bibir 044 Gigi 045a Geraham 046 Lidah 047 Telinga 048a Leher 049 Pundak 050 Belikat 051a Jari tangan
Cai mata Irung Sungut Ciduh Rehak Biwir Huntu Careham Letah Ceuli Beuheung Tak tak Walikat Ramo
Uluh Cungur Cangkem idoh Riak Bibir Untu
052a 053 054a 055 056 057 058
Jempol Curuk Jajangkung Jari manis Cingir Leungeun Talapak leungeun Kuku Suku Pingping Tuur Bitis Bincurang Mumuncangan Talapak suku Tulang Buuk Halis Getih Sumsum Jantung hate
Driji Penunjuk
Ibu jari Telunjuk Jari tengah Jari manis Kelingking Tangan Telapak tangan
059 Kuku 060a Kaki 060b Paha 061 Lutut# 062 Betis 063 Tulang kering 064 Mata kaki 065a Telapak kaki 065b Tulang 067 Rambut 068 Alis 069a Darah# 070 Sumsum# 071 Jantung 072 Hati#
Ilat Kuping Gulu Pundak Welikat Driji
Jari manisa Jentik Tangan Telapak Kuku Sikil Pupu Dengkul Kempol Gares Ento-ento Telapakan Balung Rambut Alis Getih Sumsum Jantung Ati
Cai panon Irung Baham Ciduh Rehak Biwir Huntu Gugusi Letah Celi Beheung Taktak Belikat Ramo Jempol Curuk Jajangkung Cingir Lengeun
Kuku Siku Pingping Tuur Bitis
Eluh Irung Cangkem Idoh Riyak Lambe Untu Baham Ilat Kuping Gulu Pundak Centongan Cericih tangan Jempol Teriji Jentik manis Jentik
Kuku Sikil Pupu Dengkul Kempol Gares Mumuncangan Ento-ento Dampal suku Tealapakan Tulang Balung Buuk Rambut Halis Alis Getih Getih Sumsum Sumsum Jantung Jantung Hate Ati
C. Perbandingan Data Dari data di atas yang di dapat dari dua informan, kedua bahasa baik bahasa Jawa maupun Sunda hampir sama penyebutannya. Bedanya hanya terdapat di beberapa kata misalnya seperti kata telunjuk yang menurut Bapak Amad dalam bahasa Jawa “penunjuk” sedangkan menurut Bapak Parjo “tariji”, namun dalam bahasa Sunda mereka menyebutnya sama yaitu “curuk”.
BAB II KEADAAN SOSIAL BUDAYA DESA KUJANGSARI Desa Kujangsari merupakan salah satu kelurahan dari kecamatan Langensari kabupaten Banjar provinsi Jawa Barat. Desa ini letaknya paling jauh dari perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun jumlah etnik sunda lebih sedikit dari etnik jawa. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya keunikan dan akulturasi antara kedua etnik tersebut. Berikut ini data yang didapatkan mengenai sosial budaya di desa Kujangsari. A. Data Statistik Desa Kujangsari a. Keterangan tentang Titik Pengamatan Nama Desa : Kujangsari Kecamatan : Langensari Kabupaten : Banjar Provinsi : Jawa Barat b. Situasi Kebahasaan Sebelah timur desa berbahasa : Ds. Puloerang, Sunda Sebelah barat desa berbahasa : Ds. Mulyasari, Sunda Sebelah utara desa berbahasa : Ds. Bojongkantong, Jawa Sebelah selatan desa berbahasa : Ds. Puloerang, Sunda c. Situasi Geografis Letak : Pedesaan Morfologi : Dataran rendah
d. Penduduk Pria
: 5.781 jiwa
Wanita
: 5.573 jiwa
Jumlah
: 11.354 jiwa
Di bawah 20 tahun : 4.205 jiwa Antara 20-40 tahun : 3.811 jiwa Di atas 40 tahun : 3.153 jiwa Mayoritas etnik : Jawa (65%) Sunda (34%) Minoritas etnik : Tionghoa (1%) e. Mata Pencarian Dalam data yang telah ditemukan, jumlah data untuk bertani dan buruh merupakan jumlah akumulatif. Begitu juga untuk data Pegawai negeri dan Pegawai Swasta. Bertani : 1.087 Nelayan : Peg. Negeri &Swasta : 87 Berdagang : 420 Buruh tani Pengrajin
: 705 : 103
Peternak Kuli
: 2.686
: 337
f. Pendidikan PAUD : 1264 orang SD
: 1.228 orang
SLP : 839 orang SLA : 215 orang Perguruan Tinggi : 1.006 orang Madrasah Ibtidaiyah : 235 orang Madrasah Tsanawiyah : 167 orang Madrasah Aliyah : 201 orang g. Agama Islam
: 1.340 orang
Kristen (Katolik-Protestan): Hindu Buddha
::-
PBB (aliran sesat)
: 14 orang
h. Hubungan ke Luar Hubungan desa Kujangsari dengan desa lainnya sangat lancar karena banyak penduduk yang mempunyai lahan di luar desa sehingga
memudahkan penduduk desa Kujangsari untuk berinteraksi dengan desa tetangga. j. Prasarana Hubungan Kendaraan yang paling banyak digunakan oleh penduduk desa Kujangsari adalah sepeda motor. Untuk para pelajar banyak mengunakan sepeda. Andong juga digunakan di desa ini untuk mengangkut barang. Angkutan umum di desa ini jarang sekali. Menurut informan, angkutan umum di desa ini hanya beroperasi setiap 3 jam sekali dan pukul 17.00 angkutan umum tersebut sudah tidak beroperasi. j. Usia Desa Usia desa Kujangsari di bawah 50 tahun yaitu sekitar 31 tahun B. Sejarah Desa Desa Kujangsari adalah salah satu desa dari Kecamatan Langensari Kabupaten Banjar Jawa Barat. Sebuah desa dengan berbagai etnik di dalamnya. Ada tiga etnik di desa Kujangsari yaitu, etnik Jawa, etnik Sunda, dan etnik Tionghoa. Desa Kujangsari termasuk sebagai desa dwibahasa, yaitu masyarakat dengan penggunaan dua bahasa ibu, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Sebuah fenomena kebahasaan yang hanya ada di daerah perbatasan. Desa Kujangsari sendiri termasuk kedalam daerah perbatasan, Kabupaten Banjar khususnya Kecamatan Langensari merupakan daerah perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Jawa Tengah. Di daerah perbatasan itu bercampur kebudayaan termasuk bahasa di dalamnya, antara kebudayaan Jawa Barat dengan kebudayaan Jawa Tengah. Hal tersebut akan menjadi sesuatu menarik untuk diteliti dari berbagai segi, baik itu dari segi bahasa maupun dari segi sosial budayanya.
Masalah penamaan sebuah desapun tidak akan lepas dari aspek bahasa dan juga aspek sosial budayanya. Seperti penamaan Desa Kujangsari. Pada mulanya Desa Kujangsari adalah hasil pemekaran dari Desa Pataruman (1968). Waktu itu Banjar masih masuk dalam salah satu Kecamatan dalam Kabupaten Ciamis, dan ada salah satu desa dalam Kecamatan Banjar yaitu Desa Pataruman. Pada tahun 1968, Desa pataruman dimekarkan menjadi dua Desa, yaitu Desa Tambak Baya dan Desa Langensari. Pada tahun 1973 Desa tambak Baya berganti nama menjadi Mulyasari, berdasarkan keinginan Kepala Desa terpilih pada saat itu. Pemilihan nama pengganti untuk Desa Tambak Baya disesuaikan dengan nama Kepala Desa terpilih yang bernama Sardi. Mulyasari artinya mulya Sardi, yang berarti yang mulia adalah Sardi karena telah terpilih menjadi kepala Desa. Karena pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dari kedua Desa hasil pemekaran dari Desa Pataruman, yaitu Desa Mulyasari dan desa Langensari, pada tahun 1979 kedua Desa itu kembali dipecah menjadi delapan Desa. Setiap Desa dipecah menjadi empat desa baru. Dari hasil pemekaran Desa Mulyasari ada sebuah Desa yang bernama Desa Kujangsari. Itulah sejarah berdirinya Desa Kujangsari, yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Pataruman (1969) dan Desa Mulyasari (1973). Nama Kujangsari tersebut diambil dari nama salah satu senjata perang paling sakti yang bernama Kujang Gerang, yang menjadi keramat masyarakat sekitar yang berada di Gunung Sangkur. Konon menurut cerita masyarakat sekitar, pengambilan nama Kujang Gerang tidak seluruhnya digunakan sebagai nama Desa, karena kalau seluruhnya “Kujang Gerang” digunakan sebagai nama Desa maka akan terdengar terlalu menakutkan, karena “Gerang” artinya ganas. Maka “Gerang” diganti dengan “Sari” yang berarti mata air yang mengalir ke desa itu berasal dari sari mata air Gunung Sangkur. Maka tersebutlah nama Desa ini menjadi Desa Kujangsari.
BAB III DATA KEBUDAYAAN DAN FOLKOR DESA KUJANGSARI A. TRADISI HAJAT BUMI Menurut warga Desa Kujangsari, hajat bumi adalah sebuah acara tahunan setiap bulan Suro, yang dilaksanakan sebagai rasa syukur mereka terhadap hasil bumi. Semacam rasa terimakasih mereka kepada Dewi Sri (masyarakat Desa Kujangsari menganggap sebagai Dewa pemelihara tanah) sebagai utusan Tuhan untuk memelihara tanah agar tetap subur. Acara hajat bumi dilaksanakan selama satu hari. Inti dari acara hajat bumi tersebut adalah pagelaran wayang kulit dengan lakon Dewi Sri pada siang harinya. Menurut warga Desa Kujangsari, pagelaran wayang kulit pada siang hari dengan lakon Dewi Sri adalah sarana untuk meruwat (ngaruwat). Barulah pada malam harinya diadakan lagi pagelaran wayang kulit sebagai hiburan, lakon yang biasanya dipentaskan adalah lakon Mahabarata atau Ramayana. Ketika pementasan wayang kulit ruwatan, masih ada mitos yang berkembang dalam masyarakat Desa Kujangsari, yaitu menjaga pengantin yang diruwat ketika pementasan wayang kulit ruwatan itu dilaksanakan, agar tidak dimakan oleh Batara Kala. Konon katanya kalau pengantin ruwatan yang dimakan oleh Batara Kala, maka ia akan bertingkah seperti orang yang kerasukan dan menyakiti dirinya sendiri bahkan mencoba untuk membunuh dirinya sendiri. Contohnya sang pengantin ruwatan yang dimakan Batara Kala akan bertingkah seperti orang yang kerasukan mahkluk halus, kemudian mencoba bunuh diri dengan loncat ke dalam sumur misalnya. Oleh karena itu pengantin ruwatan harus dijaga dengan ketat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ada sesuatu hal yang menarik pada pemakaiaan wayang kulit sebagai sarana meruwat dan hiburan dalam acara hajat bumi. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Desa Kujangsari adalah salah satu desa di Kecamatan Langensari Kabupaten Banjar yang masih termasuk ke dalam provinsi Jawa Barat. Kenapa menggunakan wayang kulit? Sedangkan wayang yang umum digunakan di daerah Jawa Barat adalah wayang golek. Rupanya ada beberapa alasan mengapa digunakan wayang kulit bukan wayang golek. Diantaranya adalah masyarakat Desa kujangsari merasa wayang kulit dianggap paling efektif
sebagai sarana ruwatan, selain itu wayang kulit juga disebut dengan wayang purwa, artinya jenis wayang pertama yang ada di Nusantara yang dibawa oleh Wali Songgo sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam. Mayoritas etnik juga sangat berpengaruh dalam penggunaan wayang kulit sebagai sarana ruwatan ataupun sebagai sarana hiburan biasa. Desa Kujangsari merupakan Desa dengan multi etnis di dalamnya, sekitar ada tiga etnis yaitu etnik Jawa sekitar 65 %, etnik Sunda sekitar 33 %, dan etnik Tionghoa sekitar 2 %. Dengan mayoritas etnik Jawa menduduki presentasi tertinggi, maka itu adalah alasan lain untuk pemakaian wayang kulit untuk sarana ruwatan atau hiburan. Alasan selanjutnya karena di daerah tersebut adalah daerah perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Di sana terjadi percampuran budaya antara Sunda dengan Jawa. Kebanyakan penduduk Desa kujangsari adalah para pendatang, dengan mayoritas pendatang dari Kebumen (Jawa Tengah). Tetapi yang menarik di Desa Kujangsari walaupun berbagai etnis bercampur disitu, menurut warga sekitar belum pernah terjadi pergesekan antar etnis. Satu sama lain hidup berdampingan, termasuk dalam masalah sosial budaya. Tidak ada pihak yang merasa tersisihkan, termasuk ketika penggunaan wayang kulit sebagai sarana ruwatan atau hiburan. Seperti yang kita ketahui bahwa daerah Desa Kujangsari termasuk dalam daerah Jawa Barat, dan biasanya di dareah Jawa Barat dalam pementasan wayang selalu menggunakan wayang golek. Acara hajat bumi identik dengan meruwat, bisa dilihat dari acara inti hajat bumi yaitu pementasan wayang kulit ruwatan. Tidak hanya pada saat hajat bumi saja, di Desa Kujangsari ada beberapa macam ruwatan, yaitu ruwatan ketika pernikahan dan ruwatan untuk anak. Pada ruwatan ketika pernikahan, misalnya pasangan yang harus diruwat adalah jika pada mempelai prianya adalah anak pertama dan mempelai wanitanya adalah anak bungsu. Maka jika keadaan kedua mempelai seperti itu berarti harus diruwat. Kalau ruwatan untuk anak, misalnya kalu mempunyai anak tunggal laki-laki, biasanya anak tersebut harus diruwat pada waktu khitanan atau ketika acara pernikahannya. Perbedaan antara wayang ruwatan dengan wayang hiburan terletak pada lakon yang dimainkan. Lakon yang biasanya dimainkan untuk acara hiburan biasanya memainkan lakon
Mahabharata atau Ramayana. Sedangkan untuk wayang ruwatan lakonnya tergantung apa tema ruwatannya. Misalnya untuk acara sedekah bumi dimainkan lakon Dewi Sri, sedangkan untuk acara pernikahan biasanya dimainkan lakon Arjuna Wiwaha. Secara sepintas saja kita bisa melihat maksud dari acara tahunan warga desa kujangsari ini, selain sebagai rasa syukur kepada Sang pencipta atas berbagai hasil tanah. Juga sebagai alat pemikat solidaritas masyarakat setempat. Dalam bahasa Jawa, ngaruwat berarti menguatkan. Menguatkan solidaritas atau silaturahmi antar masyarakat. Bentuk solidaritas tersebut dapat dilihat pada saat pertamakali para masyarakat mulai berkumpul merumuskan acara tahunan ini, membentuk panitia, sampai patungan dana untuk keperluan acara tahunan tersebut. Yang menarik pada saat pelaksanaan acara, para warga berbondong-bondong dengan membawa makanan yang dimasukan ke dalam tenong (wadah makanan yang terbuat dari bambu), sampai terkumpul ratusan tenong makanan. Dalam tenong tersebut ada bermacam-macam makanan yang melambangkan Dewi Sri, sebagai bentuk rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan karena telah menurunkan Dewi Sri sebagai pemelihara tanah agar tetap subur. B. KESENIAN GONGGO Gonggo atau angguk ialah kesenian tradisional dari Desa Kujangsari, tetapi lebih sering disebut kesenian gonggo. Kesenian gonggo adalah kesenian dengan bentuk semacam wayang orang. Dalam bahasa Jawa gonggo artinya adalah gongnya tidak dianggo, atau gongnya tidak dipakai. Memang dalam kesenian tradisional ini tidak memakai instrumen gong, tidak seperti kesenian-kesenian lain sejenisnya seperti wayang orang atau wayang kulit yang selalu memakai intrumen gong. Kesenian gonggo di populerkan di Desa kujangsari pada tahun 1950 oleh Ramin (70). Sebelum Ramin membentuk grup kesenian gonggo di Desa Kujangsari, pada tahun 1940 Ramin melihat pertunjukan gonggo yang dipentaskan di Tenggogo Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis, pada saat itu pemimpin rombongan sekaligus pendiri grup kesenian gonggo bernama Ishak. Baru setelah tahun 1950 Ramin berinisiatif untuk mendirikan grup kesenian gonggo di desa kujangsari.
Lakon yang dimainkan dalam kesenian gonggo adalah lakon Umar Amir. Lakon Umar Amir diadaptasi dari cerita yang berasala dari Madinah Arab. Secara garis besar gonggo menceritakan perjalanan Jayang Rana menuntut ilmu yang didampingi oleh Umar Maya. Dalam lakon gonggo, Jayang Rana adalah seorang raja dan Umar Maya adalah pengawalnya.
Menurut Ramin (70), kesenian gonggo merupakan sarana shyar Islam. Lakon Umar Amir yang biasa dimainkan, secara garis besarnya menceritakan perjalanan Jayang Rana dalam mencari ilmu agama, di dalamnya terkandung petuah-petuah bijak tentang kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Seperti bentuk kesenian wayang pada umumnya, dalam sebuah judul cerita lakonnya, gonggo terdiri dari beberapa bagian atau adegan. Dalam naskahnya, setiap adegan hanya ada ringkasan ceritanya saja dengan menggunakan bahasa Jawa. Tidak ada percakapan yang tertulis dalam naskah, para pemain babas berimprovisasi dalam pementasan selama improvisasi itu tidak keluar dari benang merah ringkasan cerita pada naskah. Ada sesuatu yang menarik pada penggunaan kostum para tokoh pemain gonggo. Walaupun ceritanya berasal dari Madinah Saudi Arabia, tetapi kostum yang digunakan adalah kostum kerajaan di Indonesia pada jaman dahulu. Dalam kesenian ini telah terjadi penyesuaian kebudayaan, dari kebudayaan Arab ke kebudayaan Indonesia. Penyesuaian kebudayaan ini serupa dengan penyesuaiaan kebudayaan pada kesenian wayang yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Setelah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa, maka otomatis kostum, bahasa, kultur budaya, setting tempat, dan idealisme cerita akan berbeda dengan cerita aslinya di India. Bahkan wayang di Jawa dan Bali ada penambahan tokoh-tokoh Punakawan, yaitu Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng, yang tidak ada dalam cerita Ramayana dan Mahabharata yang asli. Yang menarik pada penggunaan kostum tokoh utamanya yaitu tokoh Jayang Rana dan Tokoh Umar Maya. Kostum kedua tokoh itu mirip dengan kostum salah satu tokoh dalam lakon wayang Mahabharata. Seperti bisa kita lihat kostum tokoh Umar Maya sangat mirip dengan kostum Gatot Kaca, dan kostum tokoh Jayang Rana mirip dengan kostum Samiaji atau Arjuna. Kemiripan kostum tokoh-tokoh tersebut sepertinya bukan karena kebetulan semata. Mengingat kesenian ini juga cara pementasanya mirip dengan wayang orang, setidaknya ada pengaruh dari kesenian wayang orang, baik itu dari segi pementasan ataupun dari segi tokoh dan cerita.
Sanangat mungkin jika kesenian ini mengadopsi cara pementasan ataupun karakter tokoh dari kesenian wayang orang. Apalagi jika didukung oleh sedikit kesamaan latar ataupun ide cerita. Secara psikologis masyarakat pada saat itu (tahun 1940) haus akan hiburan. Dengan konsep pertunjukan yang lebih sederhana dan cerita yang memberikan pembaruan kepada jiwa masyarakat, sangat mungkin gonggo lahir dengan kesederhanaannya untuk memenuhi asupan rohani masyarakat. Bisa disebut juga gonggo sebagai kesenian wayang orang mini, karena pemain dan penayaga (penabuh gamelan tidak selengkap wayang orang). Dalam kesenia gonggo ada kesesuaian karakter Umar Maya dengan gatot Gaca dan Jayang Rana dengan Arjuna. Dalam kesenian gonggo, Jayang Rana adalah seorang raja dan Umar Maya adalah pengawalnya yang menemaninya menuntut ilmu sehingga tercapainya ilmu hidup sejati. Dalam lakon Mahabharata pun sebenarnya raja atau penurun keturunan raja adalah Arjuna bukan Samiaji, karena dalam cerita kelak Arjuna akan diwisuda menjadi raja karena hanya Arjuna yang mempunyai keturunan, yang kelak akan meneruskan keberlangsungan kerajaan Astina, dan Gatot Kaca adalah pengawal negara yang secara tidak langsung adalah penjaga keamanan jiwa Arjuna sendiri. Dalam lakon perang Bharatayuda, Arjuna dan Gatot Kaca memiliki ikatan batin tersendiri, karena pada akhirnya Gatot Kaca rela mengorbankan dirinya sendiri demi menjaga Arjuna agar tidak tewas dalam perang Bharatayuda. Menurut Ramin (70) yang merupakan pendiri kesenian gonggo di Desa Kujangsari, kesenian gonggo ini selain untuk sarana hiburan masyarakat juga sebagai media dakwah Islam. Menurutnya, ketika gerakan Komunis merajarela di Indonesia, kesenian gonggo ini sudah ada dan tetap berbicara dengan dengan dakwahnya. Tetapi ketika ditanya apakah ada kaitannya kesenian gonggo ini dengan gerakan komunis yang sedang merajarela, Ramin membantahnya, bahwa kesenian ini tidak terpengaruh oleh aktivitas politik yang sedang berlangsung, dan kesenian gonggo ini murni sebagai sarana hiburan dan dakwah Islam, sederhananya dakwah melalui kesenian. Tetapi kalau dilihat dari sudut pandang lain, satu sama lain akan saling memberikan pengaruh. Ketika gerakan komunis meracuni masyarakat dengan pahamnya, maka kesenian gonggo dengan dakwahnya akan menjadi semacam penawar dari racun yang disebarkan oleh gerakan komunis tersebut.
KESIMPULAN Masyarakat Desa Kujangsari memiliki lebih dari dua bahasa yang mereka kuasai, di antaranya bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Umumnya, mereka menggunakan dua bahasa saat berinteraksi dengan tetangga yaitu bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Kedua bahasa dapat mereka tuturkan tersebut sama baiknya. Jadi, masyarakat Desa Kujangsari tergolong masyarakat bilingualisme. Mereka menggunakan bahasa Jawa ketika berinteraksi dengan orang Jawa dan menggunakan bahasa Sunda ketika berinteraksi dengan orang Sunda, namun orang Sunda maupun orang Jawa itu pun bisa menggunakan kedua bahasa tersebut. Keunikan dalam berbahasa di desa ini sangat terlihat. Menurut kami, mereka masih tetap mempertahankan bahasa ibunya agar tidak hilang sehingga mereka lebih memilih untuk menguasai bahasa lain daripada harus menghilangkan bahasa ibu mereka. Pada mulanya Desa Kujangsari adalah hasil pemekaran dari Desa Pataruman (1968). Waktu itu Banjar masih masuk dalam salah satu Kecamatan dalam Kabupaten Ciamis, dan ada salah satu desa dalam Kecamatan Banjar yaitu Desa Pataruman. Pada tahun 1968, Desa pataruman dimekarkan menjadi dua Desa, yaitu Desa Tambak Baya dan Desa Langensari. Nama Kujangsari tersebut diambil dari nama salah satu senjata perang paling sakti yang bernama Kujang Gerang, yang menjadi keramat masyarakat sekitar yang berada di Gunung Sangkur. Konon menurut cerita masyarakat sekitar, pengambilan nama Kujang Gerang tidak seluruhnya digunakan sebagai nama Desa, karena kalau seluruhnya “Kujang Gerang” digunakan sebagai nama Desa maka akan terdengar terlalu menakutkan, karena “Gerang” artinya ganas. Maka “Gerang” diganti dengan “Sari” yang berarti mata air yang mengalir ke desa itu berasal dari sari mata air Gunung Sangkur. Maka tersebutlah nama Desa ini menjadi Desa Kujangsari. Desa Kujangsari ini memiliki sebuah kesenian tradisional yang tidak terdapat di daerah Indonesia mana pun yaitu kesenian gonggo. Tatanan masyarakat yang dibentuk oleh desa ini bisa dijadikan percontohan agar desa-desa di Indonesia bisa meniru tatanan
masyarakat di Desa Kujangsari ini. Keasrian alam, sarana dan prasarana Desa dijaga serta dirawat oleh penduduk desa ini. Pemuda Desa ini banyak yang sedang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, hal ini menunjukkan bahwa penduduk sadar akan pendidikan. Sekian kesimpulan dari penyusun.