LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN Penelitian Sosial, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor Desa Rejasari Kota Banjar 29-30 April 2010
Oleh: Kelompok Rejasari
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJAJARAN JATINANGOR 2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
:
Laporan Kuliah Kerja Lapangan Penelitian Sosial Budaya, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor Desa Rejasari Kota Banjar 29-30 April 2010
Pembimbing :
M. Adji, M. Hum. Sugeng Riyanto, M. Hum.
Ketua
:
Indra Sisworo 180110070035
Anggota: 1. Gilang Praisa
180110065001
2. Wahyu Ristatiara
180110070008
3. Bisri Rais
180110070012
4. Devina Christania
180110070015
5. Nick Carter S
180110070018
6. Riska Asiah
180110070024
7. Nurul Wulan
180110070026
8. Adam
180110090001
9. N. Adia Wijaya
180110090011
10. Yana Herdian
180110090017
11. Risnasari Rosman
180110090021
12. Lia Ilyah
180110090022
13. Rizal
180110090026
14. Melinda
180110090030
15. Ilham Wibowo
180110090041
16. Elsa Selviana Rachman
180110090046
LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN DI DESA REJASARI KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR
Jatinangor, Juni 2010
mengesahkan :
Pembimbing 1
Pembimbing 2
M. Adji, M. Hum.
Sugeng Riyanto, M. Hum.
disetujui oleh :
Ketua Jurusan Sastra Indonesia
Tatang Suparman, M. Hum
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan, karena atas kehendakNyalah laporan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini dapat terselesaikan. Laporan ini merupakan hasil kerja dan wujud dari penerapan pelaksanaan disiplin ilmu yang kami dapatkan di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung. Adapun penelitian yang kami lakukan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah bahasa, sastra (foklor), dan budaya di Desa Rejasari Kecamatan Langensari Kota Banjar. Kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing kami selama kami melaksanakan KKL dan juga dalam menyusun laporan ini. Mereka yang selalu dengan ikhlas menuntun, membimbing dan mengawasi kami dari mulai pencarian data hingga selesainya laporan ini. Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Camat Langensari, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, serta Bapak Kepala Desa Rejasari selaku orang tua kedua kami di Desa Rejasari, juga kepada seluruh masyarakat Rejasari yang telah menerima kehadiran kami. Semoga laporan ini bermanfaat untuk pembaca, terlebih lagi penulis. Terima kasih.
Jatinangor, Juni 2010
Penyusun,
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i KATA PENGANTAR............................................................................... .............. iii DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1
Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2
Identifikasi Masalah .......................................................................... 1
1.3
Tujuan ............................................................................................... 2
1.4
Metode Penelitian ............................................................................. 2
1.5
Sumber Data...................................................................................... 2
BAB II
ISI ....................................................................................................... 4 2.1
Gamabaran Umum Daerah Penelitian .............................................. 4 2.1.1 Geografi, Lokasi dan Keadaan Alam Desa Rejasari................................................................. ........ 4 2.1.2 Sejarah Desa........................................................................... 4 2.1.3 Pola Pemukiman............................................................ ........ 5 2.1.4 Sarana dan Prasaran Lingkungan ........................................... 6 2.1.5 Kependudukan ....................................................................... 7 2.1.6 Kebahasaan ............................................................................ 9 2.1.7 Sistem Kekerabatan .............................................................. 10 2.1.8 Sistem Pemerintahan ............................................................. 11 2.1.9 Kehidupan Sosial Budaya ..................................................... 11
2.2
Geolinguistik Bahasa ....................................................................... 13
2.3
Folklor .............................................................................................. 24 2.3.1 Kesenian Tradisional ............................................................ 24 2.3.2 Permainan Anak .................................................................... 28 2.3.3 Mitos .................................................................................... 29
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan. Tujuh unsur kebudayaan
itu adalah sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, IPTEK, bahasa, kesenian, sistem sosial, dan sistem pemerintahan. Kuliah Kerja Lapangan merupakan salah satu jalan untuk menggali akar budaya daerah yang`ada di Indonesia. Saat ini yang kami gali adalah Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Potensi budaya yang ada di Desa Rejasari tersebut nampak setelah kita mendatanginya kemudian melakukan proses pengumpulan dan pengkajian data yang diperoleh. Ragam data yang diteliti dan dikaji tersebut meliputi bidang bahasa, budaya dan foklor. 1.2
Identifikasi Masalah Sesuai dengan program Jurusan Sastra Indonesia program Studi Bahasa
Indonesia, kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini menggali khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan mata kuliah jurusan kami di antaranya: 1.
Geolinguistik bahasa
2.
Folklor
3.
Gambaran umum Desa Rejasari
Seluruh data yang kami telah dapat akan bermafaat untuk menambah pengetahuan akan kekayaan budaya yang terdapat di Indonesia.
1.3
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui semua potensi yang dimiliki oleh Desa Rejasari dari bermacam aspek, baik bahasa, kebudayaan, dan lainnya. 2. Mengetahui gejala-gejala kebahasaan yang timbul di daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
1.4
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu metode pupuan
lapangan dan metode deskriptif. Metode pupuan lapangan terbagi atas dua cara pengumpulan bahan yaitu: 1. Pencatatan langsung 2. Perekaman atau pencatatan langsung Metode deskriptif dapat memberikan penyelesaian-penyelesaian dan gambaran mengenai masalah atau fenomena-fenomena yang jelas. Selain itu, metode deskriptif menggambarkan dan menguraikan data-data yang telah dihimpun oleh tim peneliti yang disebut metode deskriptif, kemudian dianalisis guna memperoleh kesimpulan sehingga data yang dihimpun dapat diperjelas sesuai dengan pengklasifikasian data. Selain itu dengan metode deskriptif kita dapat mengetahui mengenai struktur cerita yang didalamnya terdapat satuan-satuan unsur pembentuk dan aturan susunannya 1.5
Sumber Data Data-data didapatkan di Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar,
Provinsi Jawa Barat. Proses pencarian data-data tersebut melalui kerjasama antara pewawancara dengan informan. Informan ini adalah orang yang banyak tau akan Desa Rejasari ini.
BAB II ISI
2.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 2.1.1 Geografi, Lokasi dan Keadaan Alam Desa Rejasari Desa Rejasari terletak di Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berada di daerah pedalaman dengan tipologi berupa dataran. Desa ini juga berada di wilayah paling timur Jawa Barat, dekat dengan sungai Citanduy yang merupakan pembatas antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Keadaan alam di desa ini masih terjaga keasriannya, kontur tanah serta iklim di daerah ini memungkinkan sebagian besar masyarakat bisa bercocok tanam padi, karet serta aren. 2.1.2 Sejarah Desa Pada tahun 1945, Desa Rejasari termasuk ke dalam Kecamatan Pataruman, yang wilayahnya terbentang dari Citamiang hingga ke Ciroak Banjar. Kemudian, dalam kesatuan kecamatan itu terjadi pemekaran desa menjadi enam wilayah bagian, diantaranya adalah Desa Rejasari, Waringinsari, Langensari, Muktisari, Kujangsari, Bojongkantong, dan Dirgasari. Di dalam wilayah Desa Rejasari, kemudian dipecah lagi menjadi beberapa dusun, diantaranya yaitu Sindanggalih, Bantargawang, Tamping, dan Rancabulus. Pada zaman dahulu, desa ini merupakan perkebunan karet milik colonial Belanda. Perusahaan ini beroperasional di bawah naungan seorang mandor yang bernama Martinem. Mandor Martinem adalah seorang pengawas perkebunan karet yang sangat baik hati, tegas, bijaksana, dan menjadi sosok panutan buruh-buruh perkebunan. Sifat baik yang dimilikinya membuat kehidupan para buruh menjadi lebih baik. Pemikiran kaum buruh menjadi lebih kooperatif untuk menerima saran dan
perubahan pada perkebunan, akhirnya perkebunan ini dibuka untuk lahan pemukiman penduduk. Raden Endang sebagai camat pertama di desa ini orang pertama yang banyak berjasa mendirikan Desa Rejasari. Sebagai
rasa terimakasih dan
penghormatan, akhirnya nama Mandor Martinem di abadikan oleh penduduk sebagai nama jalan. Selain jalan Mandor MArtinem, ada juga nama jalan lain yang memiliki sejarah penamaan, yaitu jalan Wanalare. Dikisahkan, bahwa nama Wanalare berasal dari kata Wana yang berarti leuweung (hutan) dan Lare yang berarti bocah (anakanak), Wanalare adalah jalan yang sering digunakan tempat bermain anak-anak pada zaman dahulu. Terlepas dari cerita tersebut, secara etimologi Rejasari berasal dari kata Reja/ Rejo yang berarti pecahan dan Sari yang berarti inti. Jadi Rejasari bisa diartikan sebagai pecahan dari inti, hal ini sangat berkaitan dengan asal mula Desa Rejasari yang menurut sejarah merupakan pecahan dari Kecamatan Pataruman. Pataruman berasal dari kata patarungan. Masyarakat Pataruman meyakini bahwa wilayah Pataruman adalah tempat bertempurnya lelakon orang- orang Budha sewaktu penyebaran agama Budha menyebar ke wilayah Indonesia, khususnya Jawa Barat. 2.1.3 Pola Pemukiman Pemukiman penduduk di desa ini sangat teratur dan tertata rapi. Rumah-rumah berpola membentuk barisan dan berhadap-hadapan. Rumah-rumah di desa ini beragam, ada yang masih bertahan dengan kesederhanaan rumah tradisional namun adapula yang sudah merenovasi rumah menjadi sedikit agak modern, namun secara umum gaya arsitektur Jawa. Walaupun bentuk rumah sederhana namun sebagian rumah di sana memiliki halaman yang luas, kolam ikan, lahan tempat menumbuk dan menjemur padi, serta selokan kecil di depan rumah, rumah terdiri dari beberapa
ruangan dengan ruang tengah yang paling luas dan tidak berplafon. Batas antara rumah ke rumah hanya ditandai dengan pohon atau batu. Ciri lain yang menjadi khas pola pemukiman daerah ini adalah jalan raya yang tidak berkelok-kelok serta tidak ada polisi tidur. Hal yang paling menarik dan sangat menentukan dominasi penduduk yang tinggal di tiap dusun desa ini adalah etnis. Empat dusun yang terdapat di Desa Rejasari ini membentuk blok yang bergantung pada kaum minoritas atau mayoritas. Sebagai contoh, Dusun Sindanggalih merupakan dusun yang percampuran etniknya seimbang, masyarakat yang mendiami dusun ini 50% Sunda dan 50% Jawa, lain halnya dengan dusun Rancabulus dan Bantargawang yang mayoritas wilayahnya didominasi oleh etnis Sunda, sedangkan dusun Tamping, wilayah pemukiman disominasi oleh etnis Jawa. Hal tersebut membuktikan bahwa etnis di Desa Rejasari hidup berkoloni dengan etnisnya dan pola pemukiman pun bisa dilihat dari mayoritas etnis yang mendominasi. 2.1.4 Sarana dan Prasarana Lingkungan Desa ini memang terletak di pedalaman Ciamis, namun jangan salah, modernisasi ternyata sudah masuk ke desa ini. Masyarakat tidak sulit mendapatkan energi listrik dan air. Barang-barang elektronik tidak lagi tabu di mata masyarakat, sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas masyarakat pun cukup memadai. Karena mayoritas masyarakat di desa ini adalah muslim, maka tempat peribadatan yang ada di sesa ini adalah masjid dan mushola, sedangkan bagi umat non muslim (Kristen) pergi ke gereja yang berada di desa lain. Masyarakat di desa ini cukup agamais, sering sekali diadakan pengajian rutin setiap minggunya, pengetahuan pendidikan agama yang semakin maju menjadikan masyarakat di desa ini perlahan mulai sedikit demi sedikit meninggalkan tradisi leluhur yang tidak sesuai dengan
syariat, mayoritas masyarakat tidak lagi percaya pada takhayul dan lebih berpikir rasional serta tidak lagi melakukan pemujaan terhadap batu atau pohon. Kondisi jalan beraspal yang cukup baik menjadikan mobilitas masyarakat Desa Rejasari berjalan dengan lancer Transportasi pun cukup memadai. Sebagian besar masyarakat menggunakan kendaraan sepeda motor dalam mendukung aktivitasnya, terdapat 276 sepeda motor yang terdata di desa ini, selain itu ada juga kendaraan lain berupa kuda sebanyak 6 buah, gerobak 3 buah, becak 2 buah, perahu 17 buah, angkutan pedesaan 14 buah, truk 1 buah, dan colt sebanyak 4 buah. Sarana lain yang mendukung kemajuan desa adalah tersedianya gedung olahraga di kelurahan yang kerap dijadikan pula sebagai gedung serbaguna bahkan gedung itu juga digunakan sebagai tempat berlangsungnuya program pemberantasan buta huruf. Selain itu, di desa ini juga sudah terdapat gedung sekolah serta PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). 2.1.5 Kependudukan Berdasarkan data yang kami dapat dari kelurahan, penduduk di desa ini berjumlah 9.374 jiwa, terdiri atas 4.776 laki-laki (50,94%) dan 4.598 perempuan (49,06). Jumlah kepala keluarga sebanyak 2.609 KK. JIka dilihat berdasarkan umur, penduduk dengan golongan usia 0-20 tahun adalah sebanyak 3.158 jiwa (33,7%), usia 20-40 tahun sebanyak 3.170 jiwa (33,8 %), dan usia 40 tahun ke atas sebanyak 3.046 jiwa (32,5%). Jumlah penduduk berdasarkan etnik adalah 5.156 jiwa (55%) suku Jawa, dan 4.218 jiwa (45%) suku Sunda. Jumlah penduduk berdasarkan Agama adalah 9.344 jiwa (99,7%) umat Islam, 11 jiwa (0,1%) umat Kristen Katolik, dan 19 jiwa (0,2%) umat Kristen Protestan. Selain ketiga agama tersebut, masyarakat Rejasari ada yang memeluk Agama yang
bernama KWN dan PBB. Agama ini
dianggap sesat karena mencampur adukkan Agama islam dengan Kristen.
Pendidikan, menurut masyarakat di desa ini adalah suatu hal yang penting. Hal itu bisa dibuktikan dengan besarnya antusias warga, terutama para orang tua yang dulunya tidak sempat mengenyam pendidikan mengikuti program pemberantasan buta huruf pada sore hari, di Gedung Olah Raga (GOR) yang terletak di samping kantor kelurahan Rejasari. Kesadaran akan pentingnya pendidikan pun terbiukti dengan data kependudukan berdasarkan tingkat pendidikan, yaitu tingkat SD sebanyak 4.073 jiwa (63,3%), SMP sebanyak 1.491 jiwa (23,2%), SMA sebanyak 725 jiwa (11,3%), Perguruan Tinggi (S1) sebanyak 127 jiwa (2%), Perguruan Tinggi (S2) sebanyak 1 jiwa (0,001%) dan Kursus-kursus sebanyak 13 jiwa (0,2%). Pada umumnya masyarakat di desa ini memiliki kesibukan mengurus lahan sawah dan perkebunan karet serta aren, namun menurut data yang kami dapat dari kelurahan setempat mereka memiliki mata pencaharian tetap yang diantaranya adalah sebagai berikut; 1. PNS
: 62 Jiwa
11. Salon
: 1 jiwa
2. BUMN
: 12 jiwa
12. Penarik Becak
: 4 jiwa
3. TNI
: 4 jiwa
13. Kusir
: 6 jiwa
4. POLRI
: 2 jiwa
14. Dukun Bayi
: 5 jiwa
5. Swasta
: 214 jiwa
15. Tukang Pijat
: 3 jiwa
6. Wiraswasta
: 615 jiwa
16. Rias Pengantin
: 2 jiwa
7. Bidan
: 2 jiwa
17. Kenek
: 6 jiwa
8. Wartawan
: 1 jiwa
18. Tukang Kayu
: 24 jiwa
9. Sopir
: 18 jiwa
19. Tukang Tembok : 55 jiwa
10. Ojek
: 21 jiwa
2.1.6 Kebahasaan Sistem kebahasaan di desa Rejasari cukup menarik untuk ditelaah. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa di desa ini etrdapat dua suku (etnik), yaitu Jawa dan Sunda. Begitu pun dengan bahasa yang digunakan ada dua, yaitu bahasa sunda dan bahasa jawa. Jika orang Jawa dan orang Sunda terlibat dalam komunikasi, identitas mereka tetap dipertahankan oleh masing-masing pihak. Misalnya, orang Jawa menyapa dengan bahsa Jawa, maka orang Sunda yang diajak bicara menjawab dengan bahasa Sunda, namun demikian, kedua masyarakat tersebut tetap mengerti apa yang masing-masing katakan. Selain keunikan itu, tak jarang pula masyarakat mencampuadukan kedua bahasa dalam suatu percakapan. Pemakaian bahasa Indonesia di Desa Rejasari sering dipakai dalam acara-acra formal, tetapi karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerahnya masing-masing pada akhirnya mereka terkadang mencampur penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Terkadang sebagian dari masyarakat di desa ini beranggapan bahwa seseorang yang menggunakan bahasa Indonesia adalah seorang yang sok kota, karena yang mereka tahu, orang-orang yang tinggal di kota kebanyakan adalah orang yang berilmu, maka mereka yang menggunakan bahasa Indonesia terkesan sok pintar, padahal mereka hidup di pedesaan. Dampak dari penggunaan bahasa Indonesia adalah rasa gengsi, akan tetapi, fungsi krusial kedudukan bahasa Indonesia ini sebenarnya merupakan bahasa pemersatu, atau jembatan yang menghubungkan komunikasi masyarakat etnis Sunda dan Jawa yang tak mengenal istilah atau kosakata masingmasing etnis. Situasi kebahasaan dapat dilihat dari lokasi kebahasaan menurut perbatasan desa dengan daerah lain. Sebelah timur desa menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, sebelah barat desa berbahasa Sunda, sebelah
utara desa berbahasa Sunda, dan sebelah selatan desa berbahasa Jawa. Walaupun di desa ini hidup dua bahasa yang berbeda, namun hal itu tak menimbulkan konflik karena adanya salah pengertian dalam berkomunikasi.
2.1.7 Sistem Kekerabatan Masyarakat di desa ini pada umumnya bersistem patrilineal atau biasa disebut juga bilateral. Dalam sistem kekerabatan yang dimiliki, terdapat tujuh tingkatan kekerabatan yaitu generasi ke atas dan generasi ke bawah, sebagai berikut: Generasi ke atas: 1. Orang tua (kolot)
Generasi ke bawah: 1. Anak
2. Embah/ Eyang (uyut)
2. Incu (putu)
3. Buyut
3. Buyut
4. Bao
4. Bao
5. Jangga Wareng
5. Jangga Wareng
6. Udeg-udeg
6. Udeg-udeg
7. Kait Siwur
7. Gantung Siwur
2.1.8 Sistem Pemerintahan Sistem pemerintahan tertinggi di desa ini dipegang oleh kepala desa. Masyarakat memanggil kepala desa dengan sebutan Kuwu. Di bawah kepala desa terdapat beberapa orang kepala dusun yang memimpin empat dusun di desa Rejasari. Selanjutnya tingkat pemerintahan turun ke tingkat Rukun Warga (RW) dan kemudian Rukun Tangga (RT).
2.1.9 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Rejasari mayoritas memeluk agama Islam, namun dalam hal tersebut ada sebagian masyarakat yang menjalankan sistem kepercayaan lain misalnya: bersemedi, menyediakan sesajen dan memohon berkat kepada benda keramat tertentu, seperti di cadas gantung. Dalam kehidupan lainnya masyarakat Desa Rejasari masih melaksanakan upacara yang mengangkut daur hidup manusia, sperti upacara perkawinan, upacara kemahmilan, upacara kelahiran dan upacara kemaitian. 1. Upacara perkawinan Ritual yang dilakukan dalam upacara perkawinan yaitu a. memilih tanggal atau hari baik b. injak telur: mempelai pria menginjak telur dan mempelai wanita membersihkan dengan air kendi, hal ini merupakan simbol pengabdian seorang istri terhadap suami c. sawer: kedua mempelai menyawer dengancara melemparkan beras yang bercampur dengan uang kearah para tamu undangan, hal ini merupakan simbol dari keberkahan dalam rumah tangga d. menikahkan didepan jasad: ritual ini dilaksanakan apabila orang tua mempelai meninggal
dunia sebelum
pernikahan dilaksanakan.
Mempelai melangsungkan akad didepan jenazah atau menunda pernikahan selama 1 tahun. Masyarakat di Desa ini pada umumnya memakai pakaian adat Jawa apabila sedang melaksanakan pernikahan, namun tak jarang pula adanya percampuran
baju adat, hal itu dikarenakan kedua mempelai berasal dari etnik yang berbeda. Ciri khas lain dalam acara pernikahan di Desa ini adalah tersedianya makanan tradisional yaitu “jenang”. Jenang adalah makanan sejenis dodol yang ternuat dari beras ketan, tepung beras dicampur dengan kelapa dan gula merah, lalu dibungkus dengan daun pisang atau plastik. 2. Upacara kehamilan dan kelahiran Ritual yang biasa dilakukan sebagai berikut: a. 7 bulanan atau 4 bulanan: acara ini merupakan bentuk rasa syukut orang tua atas janinnya. Biasanya acara ini diisi dengan pengajian dan menyajikan bubur 7 rupa b. penguburan ari-ari: setelah bai lahir, ari-ari bayi tersebut dimaskukkan ke dalam kendi lalu dikubur, atau ari-ari yang telah dimasukkan ke dalam kendi digantung di ujung rumah. Menurut kepercayaan masyarakat, ari-ari adalah kembaran bayi yang hidup di alam lain. Penguburan dan penggantungan ari-ari tersebut adalh simbol keberadaan ari-ari tesebut yang akan menjaga bayi selama hidupnya c. among-among: ketika usia bai menginjak 1-7 bulan, orang tua bayi tersebut melaksanakan ritual ini dengan cara membagikan urap telur ke tetangga dan kerabat. 3. Upacara kematian Beberapa ritual yang menyangkut kematian sebagai berikut a. tahlilan: yaitu pembacaan surat yasin pada saat 40 harian, 100 harian hingga seterusnya, hal ini bertujuan untuk mendoakan jenazah
b. ritual ngolong: keluarga yng ditinggalkan harus berjalan dibawah jenazah, hal ini bertujuan agar keluarga yang ditinggalkan ikhlas menerima dan tidak larut dalam kedukaan c. menabur gula merah dan membelah kelapa diatas kuburan.
2.2 Geolinguistik Bahasa Kondisi kebahasaan di Kota Banjar ini bilingualisme. Pemakaian bahasa Jawa dan Sunda yang cukup seimbang membuat pengguna bahasa terpengaruh oleh kedua bahasa tersebut. Berikut adalah data yang kami dapatkan dari dua informan yang berbeda: 1. Samudin, 55 tahun No.
GLOS
Bahasa Sunda
Bahasa Jawa
001
Kakek
Aki
mbah kakuŋ
002
Nenek
Nini
mbah putri
003
Ayah
bapa?
bapa?
004
Ibu
Mamah
əma?/ mama
005
Paman tua
Uwa
pa?dԐ
006
Paman muda
Mamaŋ
pa?lԐ
007
Bibi tua
Uwa
budԐ
008
Bibi muda
Bibi
bulԐ
008a
Laki-laki
paməgət
lanaŋ
008b
Perempuan
awԐwԐ
wԐdↄ
009
Kakak laki-laki
Aa
mas
010
Kakak perempuan
tԐtԐh/ öcö
mba?/ mba? yu
011
Adik laki-laki
adi lalaki
adԐ lanaŋ
012
Adik perempuan
adi awԐwԐ
adԐ wԐdↄ
013
Anak
Putra
putra
014
Keponakan tua
kəpↄnakan
kəpↄna’an
015
Keponakan muda
kəpↄnakan
kəpↄna’an
016
Cucu
Incu
putu
017
Suami
Salaki
garwↄ
018
Istri
Pamajikan
strikulↄ
019
Mertua
mitↄha
mertuↄ
020
Menantu
Minantu
mantu
021
Besan
bԐsan
bԐsan
022
Ipar
Ipar
ipar
022a
Panggilan untuk anak
022b
Lk
ujaŋ/ AsԐp
naŋ/IԐ
022c
Panggilan untuk anak
nԐŋ
ndↄ?
022d
Pr
023
Tiri
tԐrԐ
kwalↄn
023a
Nama
ŋaran/ nami
jənəŋ
024
Pegawai desa
pamↄŋ dԐsa
pəgawai dԐsa
025
Pesuruh di desa
pəsuruh
pəsuruh
026
Kepala desa
Kuwu
lurah
027
Kepala kampong
kəpala gↄlↄŋan
kəpala gↄlↄŋan
028
Juru tuis
juru tulis
carik
029
Penghulu
amil/ naib
pəŋhulu
030
Peronda
rↄnda
rↄnda
030a
Dukun beranak
induŋ bəraŋ
dukun bayi
030b
Dukun sunat
dukun sunat
dukun səbԐt
030c
Arisan
Arisan
arisan
031
Selamatan (kenduri)
kəndurԐn
kəpuŋan
032
Kerja bakti
kəridan
kərja bakti
033
Kepala
Sirah
sirah
034
Otak
ↄtak
utək
034a
Kening
Taraŋ
batu?
034b
Mata#
sↄca
məripat
034c
Bulu mata
bulu sↄca
idəp
035
Air mata#
cimata/ cisↄca
eluh
035a
Hidung
pangambuŋ
iruŋ
036
Mulut#
Baham
tutu?
036a
Air ludah#
Dahdir
ilər
036b
Dahak#
rəhak
riak
037
Bibir
Biwir
lambԐ
038
Gigi
Huntu
untu
038a
Geraham
Geraham
gəraham
039
Lidah
lԐtah
ilat
040
Telinga
cəpil
kupiŋ
040a
Leher
bəhəŋ
gulu
041
Pundak
tak-tak
undak
042
Belikat
Walikat
wəlikat
042a
Jari tangan
ramↄ
jari
042b
Ibu jari
jəmpↄl
jəmpↄl
043
Telunjuk
təlunjuk
təlunjuk
043a
Jari tengah
jari təŋah
jari təŋah
044
Jari manis
jari manis
jari manis
045
Kelingking
Ciŋir
jəntik
046
Tangan
Panaŋan
taŋan
047
Telapak tangan
Dampal
təlapak
048
Kuku
Kuku
kuku
048a
Kaki
Suku
sikil
048b
Paha
piŋ-piŋ
pupu
049
Lutut#
tu’ur
dəŋkul
050
Betis
Bitis
kԐmpↄl
051
Tulang kering
Baluŋ
baluŋ
052
Mata kaki
mumuncaŋan
ntↄ?-ntↄ?
052a
Telapak kaki
dampal suku
təlapak sikil
052b
Tulang
Tulaŋ
baluŋ
053
Rambut
Rambut
rambut
054
Alis
Halis
alis
054a
Darah#
gətih
gətih
055
Sumsum#
sum-sum
sum-sum
Jantung
Jantuŋ
jantuŋ
Hati#
Hati
hati
2. Wasiatun, 45 tahun No.
GLOS
Bahasa Sunda
Bahasa Jawa
001
Kakek
Aki
mbah kakuŋ
002
Nenek
Nini
mbah putri
003
Ayah
bapa?
bapa?
004
Ibu
Mamah
ema?/ mama
005
Paman tua
Uwa
pa?dԐ
006
Paman muda
Mamaŋ
pa?lԐ
007
Bibi tua
Uwa
budԐ
008
Bibi muda
Bibi
bulԐ
008a
Laki-laki
paməgət
lanaŋ
008b
Perempuan
awԐwԐ
wԐdↄ
009
Kakak laki-laki
Aa
mas
010
Kakak perempuan
tԐtԐh/ öcö
mba?/ mba? yu
011
Adik laki-laki
adi lalaki
adԐ lanaŋ
012
Adik perempuan
adi awԐwԐ
adԐ wԐdↄ
013
Anak
Putra
putra
014
Keponakan tua
kəpↄnakan
kəpↄna’an
015
Keponakan muda
kəpↄnakan
kəpↄna’an
016
Cucu
Incu
putu
017
Suami
Salaki
garwↄ
018
Istri
Pamajikan
strikulↄ
019
Mertua
mitↄha
mərtuↄ
020
Menantu
Minantu
mantu
021
Besan
bԐsan
bԐsan
022
Ipar
Ipar
ipar
022a
Panggilan untuk anak
022b
Lk
ujaŋ/ AsԐp
naŋ/IԐ
022c
Panggilan untuk anak
nԐŋ
ndↄ?
022d
Pr
023
Tiri
tԐrԐ
kwalↄn
023a
Nama
ŋaran/ nami
jənəŋ
024
Pegawai desa
pamↄŋ dԐsa
pəgawai dԐsa
025
Pesuruh di desa
pəsuruh
pəsuruh
026
Kepala desa
Kuwu
lurah
027
Kepala kampong
kəpala gↄlↄŋan
kəpala gↄlↄŋan
028
Juru tuis
juru tulis
carik
029
Penghulu
amil/ naib
pəŋhulu
030
Peronda
rↄnda
rↄnda
030a
Dukun beranak
induŋ bəraŋ
dukun bayi
030b
Dukun sunat
dukun sunat
dukun sebԐt
030c
Arisan
Arisan
arisan
031
Selamatan (kenduri)
kəndurԐn
kəpuŋan
032
Kerja bakti
kəridan
kərja bakti
033
Kepala
Sirah
sirah
034
Otak
ↄtak
utək
034a
Kening
Taraŋ
batu?
034b
Mata#
sↄca
məripat
034c
Bulu mata
bulu sↄca
idəp
035
Air mata#
cimata/ cisↄca
əluh
035a
Hidung
pangambuŋ
iruŋ
036
Mulut#
Baham
tutu?
036a
Air ludah#
Dahdir
ilər
036b
Dahak#
rəhak
riak
037
Bibir
Biwir
lambԐ
038
Gigi
Huntu
untu
038a
Geraham
gəraham
gəraham
039
Lidah
lԐtah
ilat
040
Telinga
cəpil
kupiŋ
040a
Leher
bəhəŋ
gulu
041
Pundak
tak-tak
undak
042
Belikat
Walikat
wəlikat
042a
Jari tangan
ramↄ
jari
042b
Ibu jari
jəmpↄl
jəmpↄl
043
Telunjuk
təlunjuk
təlunjuk
043a
Jari tengah
jari təŋah
jari təŋah
044
Jari manis
jari manis
jari manis
045
Kelingking
Ciŋir
jəntik
046
Tangan
Panaŋan
taŋan
047
Telapak tangan
Dampal
təlapak
048
Kuku
Kuku
kuku
048a
Kaki
Suku
sikil
048b
Paha
piŋ-piŋ
pupu
049
Lutut#
tu’ur
dəŋkul
050
Betis
Bitis
kԐmpↄl
051
Tulang kering
Baluŋ
baluŋ
052
Mata kaki
mumuncaŋan
ntↄ?-ntↄ?
052a
Telapak kaki
dampal suku
təlapak sikil
052b
Tulang
Tulaŋ
baluŋ
053
Rambut
Rambut
rambut
054
Alis
Halis
alis
054a
Darah#
gətih
gətih
055
Sumsum#
sum-sum
sum-sum
Jantung
Jantuŋ
jantuŋ
Hati#
Hati
hati
3. Kedua informan tersebut memberikan data yang sama. Berbagai keunikan kami dapatkan dalam penelitian geolinguistik kali ini. Pengucapan [?] seringkali digunakan dalam kosa kata bahasa Jawa. Pelafalan kosa kata dalam bahasa Jawa pada kata “idep” yakni [i][t][d][e][p]. Pelafalan kata tutul dalam bahasa Jawa yakni [t][u][o][t][u][o][l], pelafalan [u] terdengar seperti [u][o]. Pelafalan kata “kuping” dalam bahasa Jawa yakni [k][u][p][i][e][n][g], pelafalan [i] terdengar seperti [i][e]. Pelafalan kata “getih” dalam bahasa Jawa yakni [g][e][t][i][h], uniknya dalam bahasa Jawa, [t] diucapkan lebih menggunakan tekanan sehingga terdengar seperti [g][e][t][t][i][h].
Kosa kata bahasa Sunda yang kami dapatkan, tidak jauh berbeda dengan bahasa Sunda yang ada di Bandung. Perbedaannya hanyalah pada logat yang digunakan. Masyarakat di Desa Rejasari menggunakan bahasa Sunda yang sedikit berlogat Jawa. Ada sebuah perbedaan konsep yang kami dapatkan setelah penelitian ini. Kata “amil” di Desa Rejasari kita terjemahkan sebagai “penghulu”. Berbeda dengan Desa Muktisari yang menyebut “amil” adalah sebagai “ pemandi jenazah”. 2.3 Folklor 2.3.1
Kesenian Tradisional
Kesenian tradisional yang sangat terkenal di Kota Banjar antara lain: a. Hadroh Hadroh adalah sebuah kesenian khas islami yang berasal dari Kota Banjar. Iramanya yang menghentak, rancak dan variatif membuat kesenian ini masih banyak digandrungi oleh pemuda-pemudi hingga sekarang. Seni jenis ini bisa disebut pula aset atau ekskul terbaik di pondok-pondok pesantren. Sampai detik ini seni hadrah yang berasal dari kota Banjar ini bisa dibilang paling konsisten dan paling banyak diminati oleh kalangan santri, bahkan saat ini di beberapa kampus mulai ikut menyemarakkan jenis musik ini. Hadroh masih merupakan jenis musik rebana yang mempunyai keterkaitan sejarah pada masa penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga, Jawa. Karena perkembangannya yang menarik, kesenian ini seringkali digelar dalam acara-acara seperti Maulid Nabi, Isra' Mi'raj atau hajatan semacam sunatan dan pernikahan. Alat rebananya sendiri berasal dari daerah Timur Tengah dan dipakai untuk acara kesenian. Kemudian alat musik ini semakin meluas perkembangannya hingga ke Indonesia, mengalami penyesuaian dengan
musik-musik tradisional baik seni lagu yang dibawakan maupun alat musik yang dimainkan. Demikian pula musik gambus, kasidah dan hadroh adalah termasuk
jenis
kesenian
yang
sering
menggunakan
rebana.
Keunikan musik rebana termasuk banjar adalah hanya terdapat satu alat musik yaitu rebana yang dimainkan dengan cara dipukul secara langsung oleh tangan pemain tanpa menggunakan alat pemukul. Musik ini dapat dimainkan oleh siapapun untuk mengiringi nyanyian dzikir atau sholawat yang bertemakan pesan-pesan agama dan juga pesan-pesan sosial budaya. Umumnya menggunakan bahasa Arab, tapi belakangan banyak yang mengadopsi bahasa lokal untuk kresenian ini. Jadi, sebagai generasi penerus kita harusnya berbangga hati karena dapat menjaga apa yang telah di ajarkan oleh nabi sebelumnya. Akhirnya, mari kita bersama melestarikan kesenian islami ini. b. Kuda kepang Narasumber
: Abdul Majid, Usia 75 tahun
Jenis Kesenian
: Tradisional
Nama Kesenian
: Kuda Kepang
Lokasi
: Desa Rejasari
Sejarah Pendiri
: masyarakat
Motif pendirian
: hiburan rakyat
Pewarisan
: sanggar seni
Kondisi saat ini
: masih terjaga
Peralatan Nama peralatan
: gong, kuda-kudaan, gendang, arang, kaca semprong.
Fungsi peralatan : sarana pertunjukan Bahan pembuatan : besi, bambu, kaca Bentuk peralatan : sesuai dengan alatnya sendiri Cara menggunakan: sesuai dengan alatnya sendiri Arena/tempat Sifat arena
: bebas
Luas arena
: bebas
Pemain Jumlah pemain
: lebih dari lima belas orang
Umur pemain
: sepuluh tahun ke atas
Jenis kelamin
: bebas, namun mayoritas pria
Syarat lain
: pemain harus terlatih
Penonton Syarat menonton : tidak ada Ritual Nama ritual
: tidak ada
Alasan dilakukan : memanggil para leluhur Pelaku
: pemimpin pertunjukan
Waktu melakukan : sebelum pertunjukan dimulai Tempat melakukan: di arena pertunjukan Syarat melakukan : hanya dilakukan oleh pemimpin pertunjukan Pertunjukan Sifat
: sakral
Durasi
: 15-30 menit
Cerita/ narasi Pertunjukan ini diadakan semata-mata untuk hiburan rakyat saja. Di desa Rejasari, sanggar untuk kesenian kuda kepang ini telah ada sejak desa ini berdiri. Pada awal pertunjukan ini biasanya pemimpin pertunjukan lebih dahulu mengadakan ritual untuk memanggil para leluhurnya, biasanya dia membakar kemenyan. Setelah selesai, alunan musik daerah mengalun, satu-persatu pemain memasuki arena pertunjukan sambil menari mengikuti alunan musik. Sesaat kemudian ada pemain yang ternyata telah kerasukan, bisa 2-3 pemain. Biasanya pemain yang telah kerasukan bisa memakan bara api, kaca, hingga kebal terhadap senjata tajam. Pemain berhenti kerasukan hanya pada saat pemimpin pertunjukan tersebut menyentuh kepala pemain yang kerasukan. Suasana pertunjukan bagi beberapa penonton acara ini menyenangkan, tetapi tidak sedikit juga yang takut saat menyaksikannya.
2.3.2 Permainan Anak
Permainan anak di Banjar ternyata masih banyak yang bersifat tradisional. Permainan itu antara lain: 1.
Ucing dodok
2.
Gundu
3.
Congklak
4.
Sondah
5.
Bola bekel.
2.3.3 Mitos Cadas Gantung Mitos ini berasal dari Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, Kabupaten Banjar, Propinsi Jawa Barat. Cadas gantung memiliki makna “batu gantung”, dimana ada sebuah batu yang tidak menempel pada tanah tetapi dapat berdiri. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu tersebut dapat memberi apa saja yang diminta, sehingga tempat itu dijadikan tempat semedi bagi barangsiapa yang ingin meminta. Pada jaman “togel” misalnya, banyak masyarakat yang datang dengan membawa kotak korek api yang di bungkus dengan daun pisang. Setelah bersemedi menurut cerita bila beruntung di dalam kotak korek api tersebut telah tertulis angka yang akan keluar. Menurut kesaksian tukang ojeg, dia pernah mengantarkan seorang gadis ke Desa Rejasari dari kota Bandung. Selama di perjalanan tukang ojeg tersebut sama sekali tidak merasakan hal-hal yang mencurigakan. Sesampainya di Desa Rejasari, gadis itu meminta kepada tukang ojeg agar berhenti tepat di depan batu gantung tersebut. Setelah member ongkos, tukang ojeg itu kaget melihat ternyata wanita tersebut masuk ke dalam batu tersebut. Tanpa piker panjang ia langsung kabur dari tempat tersebut dan menceritakan kejadian tersebut pada warga Desa Rejasari keesokan harinya. Hingga saat ini batu itu masih ada, dan masih ada masyarakat setempat yang bersemedi di tempat tersebut.
Mbah Bonar Mbah bonar adalah seorang pawang buaya, menurut cerita masyarakat ia dapat berbicara dengan buaya yang ada di sepanjang sungai. Pekerjaannya sehari hari adalah menjaga manusia dari terkaman buaya. Mbah bonar memiliki 4 orang anak, Suni, Iding, Unit, dan Iting. Mereka tinggal di pinggir sungai. Suatu hari ada seorang warga yang meminta tolong pada Mbah Bonar karena salah satu anggota keluarganya hilang di sungai. Warga tersebut takutkalau anggota keluarganya tersebut telah dimakan oleh buaya. Mbah Bonar pun pergi ke hulu sungai, dia mengambil selembar daun sirih dan mengucapkan mantera kemudian menjatuhkannya ke sungai. Perlahan daun sirih tersebut mengalir mengikuti arus sungai diikuti oleh Mbah Bonar. Tak beberapa lama kemudian, tiba-tiba daun sirih tersebut berhenti pada suatu tempat, padahal arus sungai tetap mengalir. Mbah Bonar langsung mengganti pakaiannya dan masuk ke dalam sungai tersebut. Ketika sampai di dasar sungai, Mbah Bonar bertemu dengan sekumpulan buaya, Mbah Bonar bertanya, “ Siapa di antara kalian yang telah memakan manusia?”. Tak seekorpun dari buaya tersebut menjawabnya. Tak jauh dari tempat kumpulan buaya tersebut ternyata ada seekor buaya yang menyendiri. Mbah Bonar segera menghampiri buaya tersebut. Mbah Bonar bertanya hal yang sama pada buaya tersebut, buaya tersebut kelihatan ketakutan dan tak mau bergerak. Mbah Bonar melihat ada sesuatu yang disembunyikan oleh buaya tersebut di bawahnya. Mbah Bonar memerintahkan buaya tersebut agar beranjak dari tempatnya. Ternyata ada gundukan pasir yang di dalamnya ada mayat manusia. Mbah Bonar
kemudian membujuk buaya tersebut agar mau ikut dengannya ke permukaan. Mbah Bonar menjanjikan akan member buaya tersebut cincin dan gelang emas apabila ia mau ke atas. Setelah me,beri mayat manusia tersebut pada keluarganya, Mbah Bonar kemudian mengambil rotan dan mengikat keempat kaki buaya tersebut. Setelah mengikatnya, Mbah Bonar menarik rotan tersebut dan megikat rotan tersebut pada empat pohon sesuai dengan letak kaki buaya tersebut. “Jika kamu kuat, cobalah dengan sekuat tenagamu untuk melepaskan diri!” perintah Mbah Bonar. Buaya tersebut meronta-ronta, tapi ia tak dapat melepaskan diri. Mbah Bonar mengambil rotan yang lainnya dan memukul buaya tersebut. Buaya itu hanya diam, dan meneteskan satu air mata kemudian dia mati. Beberapa tahun kemudian Mbah Bonar meninggal dunia. Mbah Bonar terkena kutukan karena pekerjaannya sebagai pawang buaya, maka setelah ia meninggal maka ia akan berganti wujud menjadi seekor buaya. Setelah tiga tahun meninggalnya Mbah Bonar, keempat anaknya mengadakan selamatan untuk Mbah Bonar. Suatu hari iding bermimpi tentang ayahnya, Mbah Bonar. Dalam mimpinya Mbah Bonar menyuruh iding untuk tetap tinggal di tepi sungai, dan mencari penghasilan dari sungai. Iding pun mematuhi permintaan ayahnya, pagi-pagi sekali dia pergi ke sungai mencari ikan. Setiap dia melempar jalanya, selalu ada saja ikan yang menempel di jalanya. Begitulah setiap harinya, Iding selalu membawa ikan yang banyak untuk keperluan hidupnya. Pada saat hendak mencari ikan, Iding berjumpa seekor buaya tepat di depannya. Buaya tersebut anehnya tidak memiliki ekor, dan buaya tersebut hanya diam meratap Iding. Iding teringat akan kutukan yang diterima ayahnya, ia
berkata pada buaya tersebut “jika kamu adalah ayahku, maka kamu jangan bergerak, karena aku akan membuatkan kamu sebuah rumah!”. Buaya tersebut hanya diam dan pasrah, Iding merasa pasti bahwa buaya tersebut adalah jelmaan ayahnya. Iding mengangkat buaya tersebut dan menaruhnya di dasar sungai yang paling dalam, namanya Pedungjama. Banyak dari nasyarakat percaya kebenaran dari cerita ini, karena hingga saat ini tidak pernah ada seorangpun anggota warga Desa Rejasari yang di makan oleh buaya. Masyarakat percaya bahwa Mbah Bonar selalu menjaga masyarakat di sekitar sungai dari terkaman buaya-buaya yang datang dari desa-desa lain. Iding, hingga sekarang masih tinggal di dekat sungai, dan merupakan saksi kunci dari mitos ini. Sayangnya penulis tidak dapat bertemu langsung dengan Iding karena jaraknya yang terlalu jauh.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kota Banjar adalah kota kecil yang sudah cukup maju jika dilihat dari segala aspek. Baik pemerintahan, pendidikan, kondisi setiap desa, maupun ekonomi. 2. Kondisi kebahasaan di Kota Banjar ini bilingualisme. Penduduk menggunakan bahasa Jawa dan Sunda. Hal ini disebabkan oleh keadaan wilayah ini yang merupakan daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Timur. Keduanya saling memengaruhi. 3. Folklor di Kota Banjar ini masih ada namun sudah mulai pudar. Folklor itu berupa mitos-mitos, kesenian daerah dan permainan anak yang masih tradisional dan merupakan ciri khas Kota Banjar ini. 4. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, baik dari segi pekerjaan, budaya, kebiasaan, adat-istiadat, dsb. Desa Rejasari misalnya, kebiasaan dan budaya di masa lalu telah banyak ditinggalkan oleh generasi saat ini. Generasi saat ini lebih nyaman dengan sarana dan prasarana yang telah maju. Dapat kita lihat dari cara berpakaian, alat komunikasi, internet, hingga permainannya sendiri. Permainan anak yang sangat jelas terlihat, hanya beberapa terlihat jenis permainan tradisional, mayoritas anak lebih menyukai permainan elektronik seperti playstation.
5. Saya melihat hal ini dapat mengurangi nilai sosial atau kebersamaan di wilayah tersebut, sifat egois dari manusia tersebut semakin lama semakin besar seiring bergulirnya waktu. Kesenian yang saat ini masih ada di Desa Rejasari tinggal beberapa saja, pemain kesenian tersebut semakin sedikit. Hanya ada satu sanggar seni di Desa Rejasari, dan di sanggar seni tersebut lebih berfungsi untuk menyimpan alat-alat pertunjukan sedangkan untuk latihan hanya dipakai pada saat akan diadakannya pertunjukan. 6. Peran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk tetap menjaga kesenian agar tidak hilang. Dapat dimulai dari pengadaan festival kesenian
masyarakat
yang dapat
memicu
kembali
kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjaga kesenian tersebut. Kemudian mengadakan penyuluhan, hingga membuat anggaran untuk peralatan kesenian tersebut. 7. Kehidupan masyarakat di desa hanya akan kita dapatkan di desa saja, kita tidak akan mendapatkan kehidupan tersebut saat di kota, tapi apa yang akan terjadi saat kehidupan di desa telah terkontaminasi dengan kehidupan kota yang penuh dengan keegoisan?
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Jakarta: Rineka Cipta.
KETERANGAN INFORMAN
1. Nama
: Samudin
Usia
: 55 tahun
Pendidikan
: D3 Pertanian
Pekerjaan
: Ketua RT
Agama
: Islam
2. Nama
: Wasiatun
Usia
: 45 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Agama
: Islam
3. Nama
: Ade Suherman
Usia
: 47 tahun
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Kepala Dusun
Agama
: Islam