KEAUTENTIKAN DOKUMEN PUBLIK ELEKTRONIK DALAM ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN PUBLIK Edmon Makarim1 Abstract Post-reform, quite rapid evolutions of the national legal system related to the development of e-government, especially law No. 11 Year 2008 on Information and Electronic Transaction Law No. 14 of 2008 on Public Information, Law No. 25 of 2009 on Public Service, Law No. 43 of 2009 on Archival Law No.30 of 2014 on Government Administration. These evolutions provide an obligation public bodies or public administration to develop an electronic system for the delivery of public information, public services, archives, and establishment of administrative decisions electronically. However, it turns out the dynamics of the law has still not holisitik show the authenticity of the system to public information and public documents itself. Research Cluster legal research telematics 2nd stage aims to contribute to legal and policy reforms in order to clarify the authenticity of public information and/or documents in the public administration and public services. This study synchronization and harmonization of laws and technology to see the authenticity of appropriate legislation and regulations. By arranging a paradigm of authenticity in law and technology, it was found that the document/certificate must be supported by their authentic identification systems (e-identification) and system authentication (e-authentication system) accountable appropriate degree of reliability (quality level of assurance) were determined. It is better known as the implementation of Service Credibility (trust services) which includes pensertifikasian electronic signature (e-signature), cap electronic (e-seals), seal time (e-time-stamping), service delivery document electronic file (eregistered delivery services), and authentication website. By doing a comparison to the Netherlands which has hosted PKI Government in the service of its authenticity and also following the harmonization of EU regional provisions which issued Regulation 910/2014 of e-identification and trust services, this study will provide the output of the legal and policy framework for clarity authenticity electronic public documents that match the characteristics of the development of the Indonesian legal system. Keywords: public document, government adiministration, public services Abstrak Pasca reformasi, cukup pesat perkembangan sistem hukum nasional terkait dengan pengembangan e-government, khususnya UU No. 11 Tahun 2008
1 Dosen Inti Penelitian
[email protected]
Bidang
Hukum
Telematika
FHUI.
Alamat
kontak:
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
509
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik, UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No 43 tahun 2009 tentang Kearsipan dan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Perkembangan tersebut memberi kewajiban badan publik ataupun administrasi pemerintahan untuk membangun sistem elektronik untuk penyampaian informasi publik, pelayanan publik, kearsipan, dan penetapan keputusan administratif secara elektronik. Namun,ternyata dinamika hukum tersebut masih belum secara holisitik memperlihatkan sistem keautentikan terhadap informasi publik dan dokumen publik itu sendiri. Penelitian klaster riset hukum telematika tahap ke-2 ini bertujuan memberikan kontribusi dalam reformasi hukum dan kebijakan guna memperjelas keautentikan informasi publik dan/atau dokumen publik dalam administrasi pemerintahan dan pelayanan publik. Penelitian ini melakukan sinkronisasi dan harmonisasi hukum dan teknologi untuk melihat keautentikan tersebut sesuai perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertemukan paradigma keautentikan secara hukum dan teknologi, ditemukan bahwa dokumen/akta autentik harus didukung dengan adanya sistem identifikasi (e-identification) dan sistem autentikasi (e-authentication system) yang akuntable sesuai derajat keterpercayaan (quality level of assurance) yang ditentukan. Hal tersebut lebih dikenal dengan istilah penyelenggaraan Layanan Keterpercayaan (trust services) yang mencakup pensertifikasian tanda tangan elektronik (esignature), cap elektronik (e-seal), segel waktu (e-time-stamping), layanan pengiriman dokumen eletronik tercatat (e-registered delivery services), dan pengautentikasian situs (website authentication). Dengan melakukan perbandingan ke Belanda yang telah menyelenggarakan Government PKI dalam pelayanan keautentikannya dan juga mengikuti harmonisasi ketentuan regional Uni Eropa yang mengeluarkan Regulasi No.910/2014 tentang eidentification and trust services, penelitian ini akan memberikan keluaran berupa kerangka hukum dan kebijakan untuk kejelasankeautentikan dokumen publikelektronik yang sesuai dengan karakteristik perkembangan sistem hukum Indonesia. Kata kunci: dokumen publik, administrasi pemerintah, publik servis I.
Pendahuluan
Era reformasi telah mendorongpesatnya perkembangan sistem hukum nasional yang terkait dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Indonesia telah cukup banyak mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan terkait e-Government dan e-Commerce.2 Namun sayangnya hal tersebut
2
Inpres No.3 tahun 2003 tentang e-government, UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU 40 Tahun 2009 tentang Arsip, UU No.3 Tahun 2004 tentang Perindustrian,
510
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
tampak masih belum terjahit rapih secara sempurna dalam suatu bingkai hukum yang utuh. Berbagai peraturan perundang-undangan baru telah diundangkan, namun sinkronisasi satu dan lainnya harus tetap senantiasa disinkronkan dan diharmonisasikan penerapannya. Salah satu titik taut yang akan menentukan efektifnya e-government dan juga e-commerce di Indonesia adalah sejauhmana keautentikan terhadap informasi publik dan/atau dokumen publik itu diselenggarakandan sejauhmana tanggung jawab Administrasi Negara terhadap keautentikan dokumen itu. Perbedaan penerapan keautentikan terhadap dokumen kertas dengan dokumen elektronik bukanlah suatu hal yang mudah, sementara tanggung jawab hukumnya tidaklah ringan karena tidak akan terlepas dari resiko gugatan perdata, administratif bahkan sampai dengan tanggung jawab pidana terhadap kemungkinan beredarnya dokumen palsu ataupun pemalsuan dokumen.3 Public Document: A state paper, or other instrument of public importance or interest, issued or published by authority ofcongress or a state legislature. Also any document or record, evidencing or connectedwith the public business or the administration of public affairs, preserved in or issued byany department of the government. See Ilammatt v. Emerson. 27 Me. 335, 40 Am. Dec. 59S. Law Dictionary: (definition of PUBLIC DOCUMENT from Black's Law Dictionary) Salah satu catatan penting dari UU yang terbaru, yakni UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah adanya suatu terobosan untuk memperkenankan administrasi Negara membuat keputusan yang berbentuk elektronik, namun sayangnya hal tersebut seharusnya dibarengi dengan kejelasan pengaturan tentang keamanan yang akan menentukan keautentikan dokumen administrasi pemerintahan sebagai akta autentik di belakang hari. Hal ini cukup berbeda dengan pendekatan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam lampirannya memiliki ketentuan tentang penerapan persandianyang merupakan sistem pengamanan informasi dan komunikasi dalam penyenggaraan urusan administrasinya. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Penjelasan Administrasi Pemerintahan Pasal 1 Pasal 1 1. Administrasi Pemerintahan adalah Cukup jelas tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, serta revisi UU Administrasi Penduduk dan revisi UU Jabatan Notaris, dan UU No.28 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 3
Tindakan pengubahan atau penyembunyian data (data interference) dan pemalsuan dokumen secara elektronik (computer related forgery) merupakan tindak pidana siber (cybercrime) yang dilarang berdasarkan Pasal 32 dan 35 UU ITE yang diancam dengan Pasal 48 dan 51 UU-ITE
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
511
badan dan/atau pejabat pemerintahan. 2. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan. 3. Keputusan Berbentuk Elektronis adalah Keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau memanfaatkan media elektronik. Pasal 38 (1) Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat Keputusan Berbentuk Elektronis.
Pasal 38 Ayat (1) Prosedur penggunaan Keputusan Berbentuk Elektronis berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik.
(2) Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau disampaikan apabila Keputusan tidak dibuat atau tidakdisampaikan secara tertulis.
Ayat (2) Untuk proses pengamanan pengiriman Keputusan, dokumen asli akan dikirimkan apabila dibutuhkan penegasan mengenai penanggung jawab dari Pejabat Pemerintahan yang menyimpan dokumen asli. Jika terdapat permasalahan teknis dalam pengiriman dan penerimaan dokumen secara elektronis baik dari pihak Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Warga Masyarakat, maka kedua belah pihak saling memberitahukan secepatnya.
(3) Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlakusejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan. (4) Jika Keputusan dalam bentuk
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
512
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
tertulis tidak disampaikan, maka Cukup jelas. yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk elektronis. (5) Dalam hal terdapat perbedaan Ayat (5) antara Keputusan dalam bentuk Cukup jelas. elektronis dan Keputusan dalam bentuk tertulis, yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk tertulis. (6) Keputusan yang mengakibatkan Ayat (6) pembebanan keuangan negara Cukup jelas. wajib dibuat dalam bentuk tertulis Tabel 1.1 UU Tentang Administrasi Pemerintahan Sehubungan dengan itu, beberapa instansi pemerintah telah memberikan layanan administrasi secara elektronik dan salah satu diantaranya adalah Sistem Administrasi Badan Hukum (―SABH‖) yang diselenggarakan oleh Ditjen Administrasi Hukum Umum(AHU) dari Kementrian Hukum dan HAMRepublik Indonesia (―KumHAM‖). Ditjen AHU demi kecepatan pelayanan public mempermudah proses pengesahan badan hukum dan pendaftaran fidusia, namun pada sisi lain terkesan mengabaikan kewajiban administratif untuk melakukan verifikasi/pemeriksaannya dan bahkan cenderung mengalihkan tanggung jawab terhadap konten data kepada Notaris semata. Padahal antara Notaris dan KumHAM bukanlah dalam hubungan subordinatif sehingga tidaklah tepat jika terjadi adanya delegasi ataupun pelimpahan kewenangan untuk urusan tersebut. Hal itu seakan memberikan kewajiban berlebihan kepada Notaris padahal secara hukum, secara administratif Notaris dan KumHAM mempunyai fungsi dan peran serta tanggung jawab hukum yang berbeda. Notaris hanya bertanggung jawab terhadap akte notaris yang dibuatnya dan tidak memberikan jasa pengurusan pengesahan kepada pengguna jasanya. Sementara KumHAM bertanggung jawab terhadap Keputusan Administrasinya secara elektronik hal tersebut merupakan tanggung jawab urusan pemerintahannya. Oleh karena itu, pemasukan data oleh Notaris kepada SABH selayaknya tidak mengakibatkan KumHAM tidak lagi melakukan pemeriksaan untuk memverifikasi kecocokan antara input data dengan dokumen akte dari Notaris yang bersangkutan. Sementara itu, dalam praktek terdapat kesalahpahaman masyarakat terhadap ukuran keautentikan suatu dokumen yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat seakan terjebak kepada asumsi bahwa bahwa keautentikan suatu dokumen didasarkan atas adanya penglekatan Benda Meterai pada Dokumen. Secara tidak langsung telah terjadi benturan antara KUHPerdata (adanya dua jenis bukti tulisan; akta bawah tangan dan akta otentik yang tidak mengamanatkan adanya benda meterai) dengan UU Bea Meterai yang memberlakukan pajak atas dokumen baik kertas maupun elektronik. Ironisnya, hal tersebut telah diterima menjadi kebiasaan sehari-hari, walaupun sebenarnya fungsi keautentikan dari keberadaan suatu Meterai masih
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
513
menjadi suatu pertanyaan besar. Dalam perkembangan terakhir, ketidaktepatan kebijakan itu telah dilanggengkan oleh Menteri Keuangan dengan Permenkeu Nomor 70/PMK.03/2014 dengan dalih tata cara pelunasan Pemeteraian Kemudian, hal mana malahan meluaskan pemberlakuan kewajiban pemeteraian terhadap dokumen elektronik yang sesungguhnya diluar cakupan pengaturan UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai itu sendiri. Hal itu bahkan akan dikuatkan dengan tengah digulirkannya RUU Bea Meterai yang akan mencakup kepada dokumen elektronik.
(1) (2)
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai Pasal1 Dengan namaBeaMeteraidikenakanpajakatas dokumenyangdisebutdalamUndang-undangini. DalamUndang-undangini yangdimaksuddengan : a. Dokumenadalahkertasyangberisikan tulisanyangmengandungartidanmaksudtentangperbuatan,keadaan atau kenyataanbagiseseorangdan/atau pihak-pihakyang berkepentingan; b. Benda meteraiadalahmeteraitempel dankertasmeteraiyangdikeluarkan olehPemerintahRepublikIndonesia; c. Tanda tanganadalah tandatangansebagaimanalazimnyadipergunakan, termasukpula paraf,teraan ataucap tandatanganatau capparaf, teraancapnama atautanda lainnyasebagaipenggantitandatangan; d. Pemeteraiankemudian adalahsuatu cara pelunasanBea Meteraiyangdilakukan olehPejabat Posataspermintaanpemegang dokumen yangBea Meterainyabelumdilunasi sebagaimana mestinya; e. Pejabat Pos adalahPejabat Perusahaan Umum Posdan Giroyangdiserahitugasmelayanipermintaan pemeteraian kemudian.
Sementara itu terkait dengan kebaradaan tanggung jawab negara terhadap arsipnya, UU No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (―UU Arsip‖) justru memiliki paradigma yang berbeda tentang keautentikan, karena membedakan antara fungsi keautentikan dengan fungsi keterpercayaan terhadap arsip untuk menjadi alat bukti yang sah. Padahal KUHPerdata dan HIR menyatakan bahwa akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga seharusnya sudah harus langsung dipercaya oleh pengadilan. Perbedaan pemikiran tersebut cenderung membuat kebingungan bagi publik tentang ukuran keautentikan itu. Secara garis besar, terlihat bahwa berbagai pengaturan yang ada terkait kautentikan dokumen; baik UU Bea Materai, UU Informasi dan Transaksi
514
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Elektronik, UU Informasi Publik, UU Arsip, UU Pelayanan Publik maupun UU Administrasi pemerintahan, masing-masing seakan berjalan secara linear. Struktur dalam Sistem hukum nasional seakan telah terjebak kepada pemikiran untuk membesarkan pungutan/peningkatan kas Negara dengan dalih efisiensi pelayanan public melalui cara mengelektronikkan semua urusan administrasi dan pelayanan. Sayangnya hal itu tampak tidak dibarengi dengan perhatian terhadap pentingnya aspek keamanan yang akan menentukan keautentikan secara holistik dalam suatu bingkai yang utuh yang justru merupakan kewajiban konstitusional dan tanggung jawab pemerintah dalam mencerdaskan dan mensejahterakan bangsanya. Oleh karena itu diperlukanlah penelitian hukum untuk dapat menjelaskan kerangka hukum terhadap sistem keautentikan secara nasional terhadap informasi publik dan/atau dokumen publik itu sendiri. Hal lain yang menarik untuk dicermati adalah sistem legalisasi dokumen publik dalam konteks perdata internasional. Masyarakat yang melakukan transaksi internasional masih terbebankan dengan adanya prosedur yang tidak efisien dan cenderung tidak efektif dalam keautentikan dokumen lintas negara, padahal sudah terdapat mekanisme global dalam Hague Convention 1961, Convention on Abolishing the Requirement of Legalisation for Forign Public Documentsyang memberikan ruang untuk simplifikasi keautentikan dokumen publik lintas Negara melalui satu dokumen yang disebut Apostille, yang dalam perkembangannya juga diselenggarakan secara elektronik (e-Apostille). Jika kelak Indonesia akan mengakses konvensi ini maka kemungkinan besar kebijakan meterai dan penentuan siapa yang akan menjadi Competen Authority sebagai pelaksananya, berpotensi terjadinya tarik menarik kewenangan antara Kementerian KumHAM dan Kementerian Luar Negeri karena menyangkut PNBP instansi mana yang akan menjalankannya. Hague Convention 1961 Article 1 (1) The present Convention shall apply to public documents which have been executed in the territory of one Contracting State and which have to be produced in the territory of another Contracting State. (2) For the purposes of the present Convention, the following are deemed to be public documents: a) documents emanating from an authority or an official connected with the courts or tribunals of the State, including those emanating from a public prosecutor, a clerk of a court or a process-server (“huissier de justice”); b) administrative documents; c) notarial acts; d) Official certificates which are placed on documents signed by persons in their private capacity, such as official certificates recording the registration of a document or the fact that it was in existence on a certain date and official and notarial authentications of signatures. (3) However, the present Convention shall not apply: a) to documents executed by diplomatic or consular agents; b) to administrative documents dealing directly with commercial or customs
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
515
operations. Article 2 Each Contracting State shall exempt from legalisation documents to which the present Convention applies and which have to be produced in its territory. For the purposes of the present Convention, legalisation means only the formality by which the diplomatic or consular agents of the country in which the document has to be produced certify the authenticity of the signature, the capacity in which the person signing the document has acted and, where appropriate, the identity of the seal or stamp which it bears.
Mencermati semua dinamika tersebut di atas, maka penelitian difokuskan untuk menjawab rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perbedaan teknis dan kaedah keautentikan terhadap informasi dan/atau dokumen tertulis dengan informasi dan/atau dokumen secara elektronik 2. Bagaimanakah sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan tentang keamanan dan keautentikan terhadap bukti informasi dan/atau dokumen baik tertulis maupun secara elektronik dalam sistem hukum nasional? 3. Bagaimanakah tanggung jawab hukum administrasi negara dalam menjamin keamanan dan keautentikan terhadap dokumen public tersebut kepada publik. II.
Perbedaan Paradigma Keautentikan dalam Perspektif Teknologi dan Hukum
Berdasarkan beberapa literature teknis dan hukum yang menjelaskan tentang keautentikan, terdapat perbedaan paradigma dalam memahami makna dan melihat cara dalam menentukan keautentikan. Dalam perspektif teknis, keautentikan lebih dilihat secara proses yang memperhatikan aspek materilnya karena melihat bagaimana melakukan autentikasi baik terhadap identitas, dokumen ataupun perangkat. Sementara dalam perspektif hukum, makna keautentikan lebih dilihat kepada obyeknya yakni keberadaan suatu bukti tulisan yang diasumsikan secara hukum mempunyai nilai pembuktian yang sempurna karena telah terjamin formilitasnya, dibuat oleh yang berwenang (pejabat dibawah sumpah) sehingga terjamin pula material/substansinya. Namun menarik untuk dicermati bahwa secara teknis jika suatu dokumen telah melalui proses autentikasi dan diterima sebagai suatu hal yang otentik, maka secara otomatis dokumen tersebut digunakan atau berjalan kepada proses berikutnya tanpa terhenti. Sementara dalam procedural hukum acara, suatu akta otentik meskipun mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dalam pelaksanaannya tetap dimungkinkan adanya kondisi-kondisi yang membuat ia tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Sebagai contohnya adalah jika judul akta tidak sesuai dengan konstruksi hukumnya atau akta tersebut tidak
516
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
sesuai dengan tata cara pembuatannya (al; tidak cakapnya pejabat, benturan kepentingan, keterangan palsu, dsb). Dalam pengertian teknis, proses autentikasi berarti menjalankan suatu metode keautentikan, setidaknya untuk: (i) mengidentifikasi atau menemukan dan memastikan kebenaran identitas subyek hukum (baik orang ataupun badan hukum) yang menyampaikan informasi (e-identification), dan (ii) memeriksa dan menjamin validitas identitas konten informasi itu sendiri sehingga tidak dimungkinkan adanya suatu penampikan (e-authentication). Dengan kata lain, yang dicari adalah rantai keautentikan itu sendiri. Hal tersebut juga dapat dilihat darihasil penelitian OECD dan UNCITRAL yang mengungkapkan sebagai berikut: - OECD: ―... for the purposes of this guidance, authentication is defined as: a function for establishing the validity and assurance of a claimed identity of a user, device or another entity in an information or communications system. This definition implies two processes and one result: A claim related to a person, other entity or thing is presented (claiming process); That claim is substantiated (substantiation process) As a result, a degree of confidence, or lack thereof, in the claim is generated.
- UNCITRAL:Electronic Authenticationis used to refer to techniques that, depending on the context in which they are used, may involve various elements, such as: Identification of individuals; Confirmation of a person‟s authority (typically to act on behalf of another person or entity) or Prerogatives (for example, membership in an institution or subscription to a service) or Assurance as to the integrity of information4.
Mencermati perspektif OECD dan UNCITRAL tersebut, dalam suatu proses autentikasi terhadap suatu Informasi atau Dokumen Elektronik paling tidak akan melibatkan: 1. Suatu data yang berfungsi sebagai Identitas tertentu; 2. Otoritas atau kewenangan pihak tertentu untuk melakukan pembuatan atau pengecekan; 3. Peralatan (devices) tertentu; 4. Klaim terhadap quality assurance level terhadap proses yang melibatkan pihak tertentu dan pengukuhan/pembuktian terhadapnya; 5. Jaminan originalitas/integritas informasi.
4
Edmon Makarim, et. al., Laporan Penelitian Hibah Klaster Riset: Penyelenggaraan Community Root Certification Authority dan Pengamanan Sumber Daya Internet oleh Komunitas Untuk Kesiapan ASEAN Regional E-Commerce, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
517
Dikaji lebih dalam, maka proses autentikasi tersebut akan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 1.
2. 3.
4. 5.
keabsahan, kebenaran, atau validitas identitas pihak dari mana suatu Informasi atau Dokumen Elektronik berasal dan pihak yang mengirimkan dan menerima Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut, keabsahan wewenang pihak yang membuat, mengirimkan, dan menerima Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut, keabsahan atau validitas dari peralatan (atau secara lebih luas, sistem informasi dan komunikasi, termasuk sistem elektronik) yang digunakan untuk membuat, menyimpan, mengirimkan, dan menerima Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut, keabsahan/validitas proses dalam pembuatan, penyimpanan, pengiriman, dan penerimaan Informasi atau Dokumen Elektronik, serta jaminan keutuhan/integritas Informasi atau Dokumen Elektronik yang berarti bahwa informasi atau dokumen tersebut memang informasi atau dokumen yang benar dan sah, atau unik, yang memang dibuat pertama kali untuk keperluan yang dituju tanpa ada pengubahan secara tanpa hak/wewenang.
Dengan demikian, untuk mendukung proses autentikasi, maka idealnya diperlukan fungsi dan peran pihak ketiga (trusted third party) yang akan menguatkan informasi tersebut di atas (mensertifikasi), dimana pihak ketiga tersebut akan menerbitkan suatu pernyataan informasi (sertifikat) yang menjelaskan originalitas dan jaminan keutuhan terhadap suatu informasi atau dokumen elektronik dalam setiap proses pembuatan, penyimpanan, pengiriman, dan penerimaan atas informasi atau dokumen elektronik tersebut. Dalam perkembangan terakhir, pemikiran tersebut kemudian diperkuat dengan telah berubahnya aturan yang bersifat sebagai pedoman European Directive 1999/93/EC tentang e-signature menjadi aturan yang bersifat mengikat pada negara anggotanya, yakni Regulation 910/2014 tentang eidentification and trust services. Beberapa definisi penting dapat dilihat pada tebel dibawah ini. (1) „electronic identification‟ means the process of using person identification data in electronic form uniquely representing either a natural or legal person, or a natural person representing a legal person; (2) „electronic identification means‟ means a material and/or immaterial unit containing person identification data and which is used for authentication for an online service; (5) „authentication‟ means an electronic process that enables the electronic identification of a natural or legal person, or the origin and integrity of data in electronic form to be confirmed; (16) „trust service‟ means an electronic service normally provided for remuneration which consists of:
518
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
(a) the creation, verification, and validation of electronic signatures, electronic seals or electronic time stamps, electronic registered delivery services and certificates related to those services, or (b) the creation, verification and validation of certificates for website authentication; or (c) the preservation of electronic signatures, seals or certificates related to those services; (17) qualified trust service means a trust service that meets the applicable requirements laid down in this Regulation (19) trust service provider means a natural or a legal person who provides one or more trust services either as a qualified or as a non-qualified trust service provider; (20) qualified trust service provider means a trust service provider who provides one or more qualified trust services and is granted the qualified status by the supervisory body; (35) electronic document means any content stored in electronic form, in particular text or sound, visual or audiovisual recording; (40) validation data means data that is used to validate an electronic signature or an electronic seal; (41) validation means the process of verifying and confirming that an electronic signature or a seal is valid.
Tabel 2.1.a Tabel Definisi EU Regulation 910/2014 Berdasarkan dinamika aturan teknis tersebut di atas, maka dapat diambil suatu pembelajaran bahwa meskipun suatu informasi atau dokumen elektronik mempunyai kerentanan keamanan terhadap adanya perubahan, namun melalui sistem keamanan informasi dan komunikasi maka keautentikannya harus melalui proses e-identification and e-authentication sytem (e-IDAS), yang mencakup layanan penyelenggaraan jasa sertifikasi (trust services provider) berdasarkan kwalifikasi tertentu (quality assurance level) untuk memperjelas aspek keterpercayaan terhadap keberadaan sistem pengamanan itu sendiri (electronic signature, electronic seal, electronic time-stamping, electronic registered delivery services, dan web-site authentication).
Electronic Signature
(9) signatory means a natural person who creates an electronic signature; (10) „electronic signature means data in electronic form which is attached to or logically associated with other data in electronic form and which is used by the signatory to sign; (11) „advanced electronic signature‟ means an electronic signature which meets the requirements set out in
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
519
Article 26; (12) „qualified electronic signature‟ means an advanced electronic signature that is created by a qualified electronic signature creation device, and which is based on a qualified certificate for electronic signatures; (13) „electronic signature creation data‟ means unique data which is used by the signatory to create an electronic signature; (14) „certificate for electronic signature‟ means an electronic attestation which links electronic signature validation data to a natural person and confirms at least the name or the pseudonym of that person; (15) „qualified certificate for electronic signature‟ means a certificate for electronic signatures, that is issued by a qualified trust service provider and meets the requirements laid down in Annex I;
Electronic Seal
(24) „creator of a seal‟ means a legal person who creates an electronic seal; (25) „electronic seal‟ means data in electronic form, which is attached to or logically associated with other data in electronic form to ensure the latter‟s origin and integrity; (26) „advanced electronic seal‟ means an electronic seal, which meets the requirements set out in Article 36; (27) „qualified electronic seal‟ means an advanced electronic seal, which is created by a qualified electronic seal creation device, and that is based on a qualified certificate for electronic seal; (28) „electronic seal creation data‟ means unique data, which is used by the creator of the electronic seal to
520
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
create an electronic seal; (29) „certificate for electronic seal‟ means an electronic attestation that links electronic seal validation data to a legal person and confirms the name of that person; (30) „qualified certificate for electronic seal‟ means a certificate for an electronic seal, that is issued by a qualified trust service provider and meets the requirements laid down in Annex III; (31) „electronic seal creation device‟ means configured software or hardware used to create an electronic seal; (32) „qualified electronic seal creation device‟ means an electronic seal creation device that meets mutatis mutandis the requirements laid down in Annex II;
electronicTime-stamping
(33) „electronic time stamp‟ means data in electronic form which binds other data in electronic form to a particular time establishing evidence that the latter data existed at that time; (34) „qualified electronic time stamp‟ means an electronic time stamp which meets the requirements laid down in Article 42;
Electronic Registered Delivery Services
(36) „electronic registered delivery service‟ means a service that makes it possible to transmit data between third parties by electronic means and provides evidence relating to the handling of the transmitted data, including proof of sending and receiving the data, and that protects transmitted data against the risk of loss, theft, damage or any unauthorised alterations; (37) „qualified electronic registered delivery service‟ means an electronic registered delivery service which meets the requirements laid down in Article 44;
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
Web-site authentication
521
(38) „certificate for website authentication‟ means an attestation that makes it possible to authenticate a website and links the website to the natural or legal person to whom the certificate is issued; (39) „qualified certificate for website authentication‟ means a certificate for website authentication, which is issued by a qualified trust service provider and meets the requirements laid down in Annex IV;
Tabel 2.1.b Tabel Definisi EU Regulation 910/2014 Sementara dalam konteks hukum, khususnya dalam lingkup acara perdataan,makna keautentikan adalah berorientasi kepada obyektif dokumen, Kekuatan pembuktian suatu dokumen tertulis akta autentik, diasumsikan secara hukum tak dapat ditampik karena dibuat oleh Pejabat sesuaiformat dan tata cara yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali jika dapat dibuktikan lain. Akta autentik yang dibuat oleh pejabat yang bekerja dibawah sumpah dan dilakukan secara formil sesuai tata cara yang ditentukan oleh UU, maka secara logis dapat dipahami bahwa dokumen tersebut mempunyai nilai pembuktian yang sempurna baik formil maupun materil, sehingga mempunyai bobot pembuktian yang lebih tinggi nilainya ketimbang bukti tulisan bawah tangan yang dibuat oleh para pihak. Dengan kata lain majelis hakim menjadi terikat untuk mempercayai bukti yang autentik tersebut karena tidak dimungkinkan adanya penampikan, sementara pada akta bawah tangan masih terdapat kemungkinan adanya penampikan. Walaupun begitu, jika suatu akta bawah tangan tidak ada penampikan dari para pihak yang membuatnya, maka keberadaanya juga tetap diterima sehingga dapat dikatakan berfungsi sebagaimana layaknya akta autentik. Keautentikan terhadap DokumenTulisan di atas Kertas (paperbased)
- Tertulis (writing) - Bertanda tangan (signed)
Keautentikan terhadap Dokumen Elektronik (functional equivalent approach + e-identification & authentication system) - Apa yang telah dituliskan/disimpan dapat ditemukan dan dibaca kembali - Terdapat infromasi yang dapat menemukan dan memastikan Subjek Hukum yang bertanggung jawab daripadanya (eidentification)
522
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
- Asli (original)
- Informasi yang telah disimpan dan dikomunikasikandapat dijamin tidak ada perubahan (terjamin keutuhannya) - Keberadaan pembubuhan materai - Keberadaan Penyelenggaraan yang cukup sebagai pendukung Layanan Jasa Keterpercayaan (trust bukti keautentikan terhadap services) terhadap sistem keamanan dokumen. yang menjamin kejelasan proses Keautentikan itu sendiri Syarat Keautentikan terhadap Bukti - Syarat sistem keautentikan secara Autentik: elektronik: - Harus adanya kehadiran fisik pihak - Adanya penyelenggaraan suatu secara langsung penghadap dengan metode keautentikan yang reliable notaris melalui pengembangan sistem - Pembacaan akta dihadapan para pengamanan informasi dan pihak dan para pihak mengerti, komunikasi yang membuat tidak kecuali bila para pihak tidak minta memungkinkan adanya penampikan untuk dibacakan dari pihak yang mengirimkan - Kehadiran dan tanda tangan para dokumen dan juga penerima saksi-saksi yang tidak mempunyai dokumen (salah satunya adalah hubungan darah atau perkawinan, penggunaan tanda tangan elektronik kecuali bila ditentukan lain oleh yang didukung oleh sertifikat UU elektronik pihak ketiga terpercaya): - Paraf para pihak, saksi, dan notaris - e-Identification memastikan bahwa pada setiap halaman sebagai identitas elektronik yang digunakan tindakan persetujuan adalah valid - E-Autenthication memastikan bahwa sistem pengamanan yang digunakan adalah valid (e-sign, eseal, time-stamping, registered delivery services dan web-site authentication). Tabel 2.2 Perbandingan Keautentikan Dokumen Tertulis dengan Dokumen Elektronik III.
Paradigma Keautentikan Menurut Hukum Perdata Indonesia dan Belanda
Meskipun sesuai sejarahnya Indonesia mewarisi hukum belanda, namun dalam perkembangannya, KUHPerdata Belanda tidak lagi seperti KUHPerdata Indonesia karena telah cukup banyak berubah substansi dan strukturnya. Belanda telah mencantumkan keberadaan bukti otentik elektronik dengan memasukkan ketentuan tentang electronic signature di dalam sistem kodifikasinya tersebut, dimana suatu tanda tangan elektronik dapat dipersamakan dengan tanda tangan tertulis di atas kertas manakala memenuhi
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
523
persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Sementara Indonesia justru terkesan meninggalkan sistem kodifikasinya karena tidak melakukan revisi terhadap KUHPerdatanya melainkan membuat UU yang baru dan bersifat lex specialis diluar sistem kodifikasi tersebut. Berdasarkan P asal 1866 KUHPerdata Indonesia, alat pembuktian meliputi: (1) Bukti Tertulis, (2) Bukti Saksi, (3) Persangkaan, (4) Pengakuan, (5) Sumpah. Pada dasarnya hukum Acara Perdata membedakan bukti tulisan sebagai surat (yang tidak bertanda tangan) dan akta (yang terdapat tanda tangan) baik yang dibuat oleh para pihak sebagai akta bawah tangan maupun yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat (akta autentik).5 Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.6 Sedangkan akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa/berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.7 Pejabat umum yang dimaksud termasuk Notaris, sesuai pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. UU Jabatan Notaris
Penjelasan
Pasal 1 Pasal 1 1 (1): Notaris adalah pejabat umum yang Cukup jelas berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini atau berdasarkan undangundang lainnya. 1 (7). Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
5
Edmon Makarim, ―Notaris & Transaksi Elektronik (Kajian Hukum tentang Cybernotary atau Electronic Notary)‖, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 22. 6
7
KUHPerdata, Pasal 1874 ayat 1
Ibid., Pasal 1868, [lihat juga Pasal 1890: Penyalinan suatu akta dalam daftar umum hanya-dapat memberikan bukti permulaan tertulis. Dengan demikian bahwa selain kedua kategori bukti tulisan tersebut, KUHPerdata juga mengenal adanya suatu bukti permulaan yang menurut konteksnya dapat diartikan sebagaimana layaknya perluasan dari lingkup persangkaan]
524
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
1(13). Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas.
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan
Huruf b Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihakdi atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
525
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas. Hurufg Ketentuan ini dimaksudkan bahwa pengangkatan Notaris menjadi Pejabat Lelang Kelas II, diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ―kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan‖, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.
Tabel 2.3 UU Tentang Jabatan Notaris Sifat dari akta autentik adalah mengikat dan sempurna, dan harus dianggap benar, dipercaya oleh Hakim, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan dan tidak memerlukan tambahan pembuktian (Prof. R. Subekti, S.H.). Diungkapkan oleh GHS Lumban Tobing tiga kekuatan pembuktian akta autentik: 1. Kekuatan pembuktian lahiriah, karena akta itu sendiri mampu membuktikan sendiri keabsahannya; 2. Kekuatan pembuktian formal karena akta tersebut dijamin kebenaran formalnya oleh pejabat sebagaimana diuraikannya dalam akta, dan 3. Kekuatan pembuktian material karena akta tersebut menurut substansi/isinya yang lengkap dan dianggap kebenaran (kepastian sebagai yang sebenarnya) untuk diberlakukan kepada setiap orang atau pihak ketiga.8
526
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Senada dengan itu, menurut Retnowulan Sutantio,9 akta autentik dipahami mempunyai tiga aspek, yakni: (1) kekuatan pembuktian formil, karena membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut, (2) kekuatan pembuktian materiil karena membuktikan antara para pihak bahwa benar-benar peristiwa tersebut dalam akta telah terjadi; dan (3) kekuatan pembuktian ke luar yang mengikat, karena keberlakuannya juga mengikat kepada pihak ketiga di luar para pihak. Menurut R. Subekti, akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.10 Suatu akta resmi (autentik) mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs), apabila suatu pihak mengajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.11 Namun perlu juga dipahami bahwa pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, ia hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai tulisan di bawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.12 Selanjutnya, pada pasal 1877 KUHPerdata juga dinyatakan bahwa jika suatu akta autentik, yang berupa apa saja, dipersangkakan palsu, maka kekuatan eksekutorialnya dapat ditangguhkan menurut ketentuanketentuan dalam Reglement Acara Perdata.13 Sementara di Belanda telah terjadi reformasi hukum acara perdatanya dimana pada dasarnya setiap pihak dapat mengajukan semua jenis bukti dan hakim mempunyai kewenangan untuk menilainya (free assessment). Hakim bersifat pasif dan hanya akan melakukan putusan atas dasar bukti yang dihadirkan. Alat bukti dalam konteks perdata tidak lagi rigid dan tidak lagi mempunyai hierarkis nilai pembobotan alat bukti, melainkan semua alat bukti dianggap setara, baik bukti dokumen (documentary evidence)14, keterangan saksi (witness testimony), laporan ahli (expert report), maupun pemeriksaan
8
G.H.S. Lumban Tobing, ―Peraturan Jabatan Notaris‖, Cet. 2 (Jakarta: Erlangga, 1983), hal. 55-
59. 9
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, ―Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek‖, (Bandung: CV Mandar Maju, 1997), hal. 67-68. 10
R. Subekti, ―Pokok-Pokok Hukum Perdata‖, (Jakarta: PT. Intermasa, 1980), hal. 178.
11
R.Subekti, ―Hukum Pembuktian‖, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005), hal. 7.
12
Op.Cit. hal. 29.
13
Ibid.
14 Documentary evidence mencakup (i) ordinary documents, (ii) private documents, dan (iii) public documents .
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
527
tempat/lokasi (local inspection). Khusus untuk dokumen biasanya dimintakan kehadirannya dalam bentuk original. Di Belanda, artikel 160(1) kitab undang-undang hukum acara perdata (code of civil procedure) mengatakan bahwa kekuatan pembuktian dari bukti tulisan berada dalam dokumen yang orisinil. Salinan dari bukti tulisan tersebut dapat dihadirkan di persidangan namun para pihak dapat meminta bukti orisinal nya.15 Berkaitan dengan dokumen elektronik, di Belanda dokumen elektronik dapat di gunakan sebagai alat bukti. Artikel 152 mengatakan bahwa nilai pembuktian dari dokumen elektronik sama seperti nilai pembuktian alat bukti lainnya, left to the free evaluation of judge.16Untuk dipertimbangkan sebagai instrument hukum dengan status bukti yang special, dokumen elektronik harus sesuai dengan syarat-syarat yang relevan (they should qualify as private or public evidentiary documents). Dokumen elektronik dapat ditanda tangani dengan cara tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik diatur di dalam artikel 3:15 dari Kitab undang-undang Hukum Perdata Belanda. Article 152(1) of the Dutch Code of Civil Procedure provides that proof may be administered by all means unless the law determines otherwise. Accordingly, in most cases there are no limitations as regards the means by way of which evidence may be administered, i.e. Dutch law does not know a numerus clausus in this respect. Some means of proof are specifically regulated by the Code of Civil Procedure: documentary evidence (including proof by way of accounts), witness testimony (including the testimony of party-witnesses), expert reports and a local inspection. An example of a means of proof that is not regulated in the Code of Civil Procedure is presumptions.
Indonesia Ps 1866 KUHPerdata: => Alat Bukti: 1. Bukti Tulisan 2. Bukti Saksi 3. Persangkaan 4. Pengakuan 5. Sumpah
Belanda Types of evidence: 1. Documentary Evidence a) Ordinary document b) Private document c) Authentic document 2. Witness testimony 3. Experts reports 4. Local Inspection
Terdapat bobot pembuktian yang berbeda antara alat bukti
Tidak ada pembedaan bobot alat bukti karena semua diserahkan kepada hakim untuk menilainya. Sepanjang tidak ada penampikan
15 C.H. van Rhee & A. Uzelac, “Evidence in Contemporary Civil Procedure, Fundamental issues in a Comparative Perspective‖, (England: Cambridge Intersentia, 2015), hal. 13. 16
Ibid., hal. 15.
528
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
1867. Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. 1868. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. 1870. Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya. 1871. Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan. 17
Ibid.,
dari para pihak terhadap bukti maka diterima oleh hakim sebagai alat bukti yang sah dan mengikat Sepanjang terhadap akta otentik maka hakim meminta penyampaian dalam bentuk originalnya Artikel151(2): If the charater of a public evidentiary document or the signature of the signature under a private evidentiary document is not contested, but the content of these documents is, counter-proof is available without limitations unless excluded by law Artikel 156(1) memberikan definisi ―evidentiary documents‖ (akten) sebagai dokumen yang dibuat dan bertanda tangan dalam hal untuk menjadi bukti. Artikel 156(2), public evidentiary documents are documents that are drafted in the required manner by an official who is competent to do so according to the law, aiming at recording what the official has perceived or what he has executed. Artikel 159 (2) menyebutkan if the signature under private evidentiary documents is expressly contested by the party against whom it would serve as full proof, such a private evidentiary documents cannot serve as proof unless the origin of the signature under the document can be proven by the party who uses the document as evidence.17 Artikel 160(2): aunthenticated and full copies of public evidentiary documents that need to be archived by the relevant authorities according to the
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
529
1874. Yang dianggap sebagai tulisan relevant legal rules may also serve di bawah tangan adalah akta as evidence. yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat . urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang Netherlands Civil Code: Book 3 pejabat umum. 1875. Suatu tulisan di bawah tangan Article 3:15a Legal effects of an electronic signature yang diakui kebenarannya - 1. An electronic signature oleh orang yang dihadapkan has the same legal effect as a kepadanya atau secara hukum handwritten signature if the dianggap telah dibenarkan method used for its olehnya, menimbulkan bukti authentication is sufficiently lengkap seperti suatu akta reliable, considering the otentik bagi orang yang purpose for which the menandatanganinya, ahli electronic data were used as warisnya serta orang-orang well as all other circumstances yang mendapat hak dari of the situation. mereka; - 2. A method as meant in paragraph 1 is presumed to be sufficiently reliable if the Pasal 5 dan 6 UU ITE : electronic signature meets the Informasi Elektronik dan/atau following requirements: Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan a. it is linked in a unique way to merupakan perluasan bukti yang the signatory; sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. b. it makes it possible to identify (dengan kata lain dapat menjadi the signatory; perluasan alat bukti yang ada maupunsebagai alat bukti lain c. it comes about by means of (baru) selain yang telah dikenal resources which the signatory is dalam hukum acara sebelumnya. able to keep under his exclusive ―Dalam hal terdapat ketentuan control; lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu d. it is linked in such a way to the informasi harus berbentuk tertulis electronic file to which it relates, atau asli, Informasi Elektronik that each modification of the dan/atau Dokumen Elektronik data can be traced afterwards; dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat e. it is based on a qualified diakses, ditampilkan, dijamin certificate as meant in Article
530
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
keutuhannya, dan dapat 1.1, components ss, of the Dutch dipertanggungjawabkan sehingga Telecommunication Act, and; menerangkan suatu keadaan.‖ (Penjelasan) ―Selama ini bentuk f. it has been generated by using tertulis identik dengan informasi safe equipment for producing dan/atau dokumen yang tertuang electronic signatures as meant in di atas kertas semata, padahal Article 1.1, components vv, of pada hakikatnya informasi the Dutch Telecommunication dan/atau dokumen dapat Act. dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. - 3. A method as meant in paragraph 1 Dalam lingkup Sistem Elektronik, cannot be considered to be Informasi yang asli dengan insufficiently reliable on the sole salinannya tidak relevan lagi ground that: untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya - it is not based on a qualified beroperasi dengan cara certificate as meant in Article 1.1, penggandaan yang mengakibatkan components ss, of the Dutch informasi yang asli tidak dapat Telecommunication Act; dibedakan lagi dari salinannya.‖ - it is not based on a certificate [Dengan kata lain, informasi/dokumen which is delivered by a elektronik IMemenuhi kriteria certification service provider as menjadi alat bukti hukum yang sah meant in Article 18.16, first sepanjang tidak dikecualikan dan paragraph, of the Dutch dapat memenuhi syarat functional Telecommunication Act; or equivalent approach dan berasal dari - it is not generated by using safe sistem elektronik yang memenuhi equipment for producing persyaratan perundang-undangan]. electronic signatures as meant in Article 1.1, components intended Rumusan kriteria penyelenggaraan vv, of the Dutch tanda tangan adalah sama dengan Telecommunication Act. ketentuan artice 3:15a Buku ke-3 KUHPerdata Belanda. - 4. An „electronic signature‟ is understood as a signature which exists from electronic data linked to or logically associated with other electronic data that is used as a method for authentication. - 5. A „signatory‟ is understood as the person who uses a method for producing electronic signatures in the meaning of Article 1.1, components intended uu, of the Dutch Telecommunication Act.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
531
- 6. Parties may mutually set aside paragraph 2 and 3 as far as it concerns their mutual relationship. Tabel 2.4 Perbandingan Kualifikasi Alat Bukit Indonesia- Belanda Sementara itu, berdasarkan praktek teknis yang berkembang, pembicaraan terhadap keautentikan informasi sesungguhnya tidak lepas dari kaedah sistem komunikasi elektronik yang aman (secured communication), yakni: confidentiality, integrity, authorization/authenticity, dan nonrepudiation.18 Pengamanan itu dilakukan dengan cara penggunaan suatu sistem penandatangan seccara elektronik. Keberadaan suatu tanda tangan elektronik esensinya adalah sebagai metode verifikasi dan autentik berikut akuntabilitas atau reliabilitas sistem elektroniknya sesuai lingkup tujuan penggunaannya. Sesuai perkembangan teknologi, terdapat beberapa model teknologi dari suatu tanda tangan elektronik, antara lain: 1. Penggunaan kata kunci (password) ataupun kombinasinya (hybridmethods); 2. Tanda tangan yang dipindai secara elektronik (scanned signatures) atau pengetikan nama pada suatu informasi (typed names); 3. Penggunaan fitur tombol tanda persetujuan atau tanda penerimaan secara elektronik (OK button atau accept button) yang ditunjang dengan saluran komunikasi yang aman (Secure Socket Layer); 4. Penggunaan tanda yang unik pada anggota badan (biometric), dan 5. Penggunaan tanda tangan digital yang berbasiskan enkripsi suatu pesan (digital signatures).19 Derajat pemenuhan kaedah keamanan tersebut di atas akan menentukan sejauhmana tingkat reliabilitas sistem keamanan yang akan menentukan nilai pembuktian nantinya sesuai kwalifikasi yang ditentukan. Secara teknis sistem keamanan itu adalah penggunaan teknologi kriptografi baik yang bersifat simetris maupun asimetris. Sesuai evolusi teknologi terkini, salah satu tanda tangan elektronik yang relative dapat dikatakan telah cukup mapan secara teknologi adalah penggunaan kriptografi asimetris yang diwujudkan dalam penyelenggaraan Tanda Tangan Digital dengan dukungan Sertifikat Digital yang berbasiskan kepada penyelenggaraan Infrastruktur Kunci Publik.
18
Kriptografi pada intinya merupakan pengacakan suatu informasi menjadi sesuatu yang tidak terbaca dengan mudah dan kemudian menyusunnya kembali agar suatu informasi tersebut terjamin (i) kerahasiaannya, (ii) integritasnya, (iii) otorisasi, (iv) ketersediaannya, dan (v) nir-sangkal sehingga para pihak tidak dapat menampik nilai kekuatan pembuktiannya di belakang hari. Bruce Schneier, ―Applied Cryptography, Protocol, Algorithms and Source Code in C”, (Oak Park: John Wiley & Sons Inc, 1996), hal. 1. 19
Ibid., hal. 59-63.
532
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Secara teknis pembicaraan terhadap keautentikan informasi tidak lepas dari kaedah sistem komunikasi elektronik yang aman (secured communication), yakni: confidentiality (kerahasiaan), integrity (keutuhan), authorization/authenticity (otoritas), dan non-repudiation (nir-penyangkalan). Derajat pemenuhan kaedah keamanan tersebut yang akan menentukan sejauhmana tingkat reliabilitas sistem keamanan yang akan menentukan nilai pembuktian nantinya. Hal ini untuk memenuhi kekuatan pembuktian suatu Surat Keputusan elektronik yang dapat dipersamakan dengan Surat Keputusan yang dibuat secara tertulis di atas kertas. Berdasarkan pendekatan functional equivalent approach,20 yakni mempersamakan secara fungsional bahwa suatu Informasi atau Dokumen elektronik adalah sama dengan bukti tulisan jika memenuhi setidaknya tiga dasar, yakni: 1. Informasi tersebut dianggap ‗tertulis‘ jika ia dapat disimpan dan ditemukan kembali; 2. Informasi tersebut dianggap ‗asli‘ jika yang disimpan dan ditemukan serta dibaca kembali tidak berubah substansinya, atau terjamin keautentikan dan integritasnya, dan 3. Informasi tersebut dianggap ―bertanda tangan‖ apabila terdapat informasi yang menjelaskan adanya suatu subjek hukum yang bertanggung jawab di atasnya atau terdapat sistem autentikasi yang reliable yang menjelaskan identitas dan otorisasi ataupun verifikasi dari pihak tersebut. Sesuai keberlakuan Pasal 15 UU ITE, telah diamanatkan bahwa setiap penyelenggara harus menyelenggarakan sistemnya secara handal, aman dan bertanggung jawab. Khusus aspek keamanan dan pertanggungjawaban, sesungguhnya tidak hanya menyangkut kepada keamanan penggunaan melainkan juga kepada dampak informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik itu sendiri sebagai alat bukti yang sah dan mengikat di belakang hari. Dengan kata lain semakin akuntable suatu sistem elektronik maka semakin tinggi bobot keautentikannya sebagai alat bukti di belakang hari. Menarik untuk dicermati bahwa meskipun Informasi Publik telah ditayangkan, namun sayangnya belum tentu ada jaminan bahwa informasi yang disampaikan adalah sama dengan dokumen aslinya. Hal itu tidak cukup dilakukan dalam bentuk scanning dokumen menjadi bentuk pdf file semata, melainkan membutuhkan kejelasan keautentikan yang melekat pada dokumen tersebut secara elektronik. Penggunaan algoritma enkripsi nasional sesungguhnya sangat dibutuhkan untuk memperjelas hal itu. Demikian pula halnya dengan dokumen keputusan administrasi Negara yang dilakukan secara elektronik, dapat dikatakan masih belum mampu menjelaskan secara teknis aspek keautentikannya jika tidak didukung dengan penggunaan sarana infrastruktur kunci publik yang berinduk kepada root CA pemerintah atau Nasional. Dalam kaitannya dengan dokumen/akta dalam bentuk elektronik,
20 Edmon Makarim, ―Buku Seri Hukum Telematika: Notaris dan Transaksi Elektronik‖, 2 nd ed., (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 75.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
533
atau surat/informasi tertulis lainnya yang dibuat atau ditetrbitkan dalam bentuk elektronik (bukan di atas kertas), Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyebutkan dalam ayat (1): Penting untuk dicermati bahwa rumusan tersebut menekankan bahwa suatu informasi/dokumen elektronik dapat diakui nilai pembuktian sejak dalam bentuk originalnya yang elektronik tanpa harus dilakukan pencetakannya. Sementara rumusan yang merujuk kepada hukum acara yang berlaku di Indonesia adalah dalam rangka untuk mengakomodir adanya dua pemahaman, dimana (i) ada suatu UU tindak pidana khusus yang mengkategorikan bukti elektornik sebagai perluasan dari alat bukti petunjuk (contoh: UU Pemberantasan Korupsi), dan (ii) ada juga UU khusus lainnya yang mengkategorikannya sebagai alat bukti lain diluar kategori 5 alat bukti yang telah dikenal dalam KUHAP maupun HIR (contoh: UU Perdagangan Orang, UU Pencucian Uang, UU Narkotika, dsb). Selanjutnya mengacu kepada ketentuan Pasal 6 UU ITE maka, suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya: 1. Dapat diakses, yaitu data digital yang ditemukan dapat diakses oleh sistem elektronik; 2. Dapat ditampilkan, yaitu data digital tersebut dapat ditampilkan oleh sistem elektronik; 3. Dijamin keutuhannya, yaitu bukti digital yang dihasilkan proses pemeriksaan dan analisis harus utuh isinya; 4. Dapat dipertanggungjawabkan, yaitu apa yang dihasilkan mulai dari proses pembuatan dokumen sampai dengan pengiriman dapat dijamin keasliannya.21 Hal ini sejalan dengan aspek kekuatan pembuktian akta autentik bahwa sebagai alat bukti, akta atau dokumen tersebut harus memiliki kekuatan pembuktian formal dan materiil, yang apabila dari segi elektronik: secara materiil Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut harus dijamin keutuhan isinya, dan secara formal dapat dipertanggungjawabkan proses hingga pengirimannya bahwa Informasi atau Dokumen tersebut benar dan asli. UU ITE melalui pengaturannya mengungkapkan bahwa setiap orang dapat menggunakan Tanda Tangan Elektronik (e-signature), baik dengan dukungan maupun tanpa dukungan suatu sertifikat elektronik. Namun, dalam hal transaksi elektronik dilakukan dalam lingkup pelayanan public maka harus dilakukan dengan tanda tangan elektronik yang selayaknya didukung oleh suatu sertifikasi elektronik (certification service provider/CSP) untuk
21
Aulia Citra, Keabsahan Dokumen Elektronik Pengesahan Badan Hukum Yayasan oleh Kemenkumham Secara Elektronik, Tesis, Fakulta Hukum Program Studi Kenotariatan, Universitas Indonesia, 205, hal. 27-28.
534
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
memperjelas identitas subjek hukum dan melindungi keamanan serta keautentikan Informasi atau Dokumen Elektronik yang dikomunikasikan melalui sistem elektronik. Selanjutnya, penyelenggaraan sertifikasi elektronik tersebut dibedakan status operasional pengakuannya dalam kriteria terdaftar, tersertifikasi dan berinduk. Dalam perkembangannya kemudian dalam transaksi lintas negara maka diperlukan adanya interoperabilitas antara penyelenggara tersebut baik dengan mekanisme mutual recoginition maupun cross border certificate. Kejelasan mekanisme penyelenggaraan antara Root CA pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat adalah menjadi kata kuncinya. IV. Kewajiban Bea Meterai sebagai pendukung keautentikan terhadap Dokumen Berbeda dengan Belanda yang sejak lama sudah tidak memberlakukan kewajiban meterai (duty stamp), Indonesia masih memberlakukan ketentuan produk warisa era kolonial ini. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, ketentuan mengenai penggunaan bea materai diatur dalam Undangundang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (―UU Bea Meterai‖). Pada dasarnya ada 2 (dua) kepentingan dari keberadaan Bea Meterai, yakni (i) fungsi budgetair, dan (ii) fungsi keautentikan terhadap dokumen untuk kepentingan pembuktian. Dalam prakteknya, fungsi budgetair telah tercapai namun fungsi keautentikan dapat dikatakan masih belum efektif jika tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Penting untuk dicermati bahwa lingkup dokumen yang ditentukan dalam UU Bea Meterai adalah terbatas kepada dokumen dalam bentuk kertas tertulis saja, sehingga dengan tidak adanya kata-kata elektonik dalam UU tersebut, maka selayaknya tidak berlaku untuk dokumen yang dibuat dan dikomunikasikan secara elektronik. Dengan kata lain, dokumen elektronik diluar cakupan UU Bea Meterai. Tentu dapat dimaklumi bahwa pada saat undang-undang ini dibuat, tentunya belum ada pengaturan secara spesifik terhadap keberadaan dokumen elektronik, namun dalam perkembangannya kemudian ternyata disadari adanyapotensi pemasukan negara dari dokumen elektronik tersebut. Pada sisi lain juga terdapat kebutuhan kepastian hukum atas keberadaan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, dimana sesungguhnya sesuai ICT‟s best practices membutuhkan adanya kepastian proses identifikasi dan autentikasi dokumen secara elektronik yang seharusnyajuga menyertakan sistem layanan keterpercayaan terhadap sistem pengamanan informasi itu sendiri.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 1985: Bea Meterai dikenakan atas dokumen yang berbentuk: a) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
b) c) d)
e) f)
535
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata; akta-akta notaris termasuk salinannya; akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkaprangkapnya; Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah): a. yang menyebutkan penerimaan uang; b. yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; d. yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah); efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Jika dikorelasikan antara pasal 2 ayat (1) huruf (a) UU Bea Meterai dengan keberlakuan pasal 1875 KUHPerdata maka terlihat adanya suatu inkonsistensi ketentuan, karena pada dasarnya kekuatan pembuktian suatu akta bawah tangan kembali kepada para pihak untuk kelak mengakuinya atau tidak. Jika para pihak menampiknya barulah kemudian masuk dalam proses pembuktian di persidangan terhadap keautentikannya. Dengan kata lain kewajiban pembebanan meterai hanya relevan apabila dokumen tersebut memang akan digunakan dalam persidangan, yang mana hal itu dapat dilakukan dalam bentuk pemeterain kemudian. Jadi seharusnya bea meterai bukan ditentukan sejak awal pembuatan dokumen sebagai kewajiban keautentikan dokumen meskipun purposifnya untuk kepentingan pembuktian di belakang hari. Dengan demikian, kewajiban pembubuhan meterai menjadi berlebihan dalam konteks privat dokumen karena seharusnya ia bersifat fakultatif atau pilihan (opsional) bagi pihak yang mempunyai kepentingan untuk pembuktian di belakang hari. Pembebanan meterai kepada pembuat dokumen dalam prakteknya malah dibebankan kepada pihak yang menerima dokumen, padahal dokumen itu sendiri dibuat secara sepihak oleh pembuat dokumen (contoh: penyampaian rekening bank, tagihan pemakaian telepon, dsb). Bahkan kini meterai juga diterapkan juga terhadap keberadaan kode rahasia yang tidak pernah dicetak dalam dokumen kertas (contoh pembelian token pulsa secara elektronik). Apabila kita melihat ketentuan yang terdapat diatas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ternyata secara teknis fungsi utama Bea Meterai adalah fungsi budgetair dimana keberadaannya adalah pengenaan pajak atas dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen-dokumen tertentu. Sementara fungsi keautentikannya atas dokumen tidak pernah tercapai karena
536
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
keberadaanya tidak menjelaskan fungsi keautentikannya. Tidak penah dicatatkan oleh penerbit meterai, bahwa meterai nomor tertentu melekat kepada dokumen nomor tertentu, sehingga log catatan tersebut dapat digunakan menjadi pendukung keautentikan atas dokumen. Bahkan Meterai juga tidak pernah menjadi syarat sahnya perjanjian, sehingga dokumen bukti transaksi yang tidak dibubuhkan meterai tidak membuat konten perjanjian itu menjadi tidak sah. Akan tetapi, jika seseorang bermaksud untuk menjadikan dokumen tersebut sebagai alat bukti di pengadilan, maka negara berhak mengenakan pajak atas dokumen tersebut dengan Bea Meterai. Dengan kata lain, masalah baru akan timbul apabila suatu dokumen akan dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan. Dari paparan tersebut, dapat kita ketahui bahwa Meterai ternyata bukanlah bukti keautentikan suatu dokumen, melainkan hanya bukti bahwa yang membuat surat atau dokumen tersebut telah membayarkan pajak terhadap dokumen itu kepada Negara. Proses autentikasi tetap dilakukan oleh para pejabat publik yang berwenang dalam proses pembuatan atau pengarsipan dokumen-dokumen tersebut. Menjadi pertanyaan besar bagi public dalam negara hukum modern yang merdeka, mengapa negara harus memungut pajak jika tenyata tidak memberikan fungsi kontraprestasi apapun kepada public bahkan warga negara yang miskinpun masih dibebankan biaya tersebut? Menilik kepada sejarahnya maka bea meterai sebenarnya adalah produk negara penjajah kepada wilayah jajahannya, terbukti sekarang ini di Belanda keberadaan meterai sudah lama tidak berlaku meskipun Belanda mewarisi bentuk negara kerajaan. Oleh karena itu, menjadi ―Ironis‖ dalam suatu pemerintahan negara hukum modern yang demokratis manakala paradigma pemerintahnya tetap melanggengkan kebijakan pemberlakuan pajak atas dokumen karena menimbulkan biaya ekonomi tinggi yang tidak hanya dibebankan kepada pihak yang mampu melainkan juga kepada pihak yang tidak mampu. Kebijakan ini hanya berorientasi menambah kas negara tanpa memberikan kontribusi apapun kepada dokumen yang dipegang oleh warga negaranya. Bahkan Kepmenkeu No. 476/KMK.03/2002 Tahun 2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dgn Cara Pemeteraian Kemudian bahkan membebankan kepada dokumen elektronik dengan dalih bahwa keberadaannya tetap merupakan suatu dokumen yang dapat dicetak, padahal dokumen elektronik tidak termasuk dalam lingkup definisi dokumen dalam UU Meterai. Dalih solusi ‗pemeteraian kemudian‘ ternyata justru menjadi dis-insentif bagi upaya pemerintah untuk mereduksi pemakaian kertas. Sayangnya, kebijakan meterai atas dokumen elektronik tersebut akan dilanggengkan oleh pemerintah melalui pembuatan RUU Bea Meterai yang tegas memasukkan keberadaan dokumen elektronik dalam cakupan dokumen yang dikenakan meterai. Hal tersebut boleh jadi masih relevan jika memang pada sisi yang lain pemerintah menyiapkan sistem yang dapat memberikan kejelasan fungsi keautentikan atas dokumen elektronik itu (originalitas dokumen) dan bersifat sebagai opsional bagi para pihak yang membutuhkannya. Namun tetap saja hal itu berdampak sebagai biaya ekonomi
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
537
tinggi bagi para pelaku usaha dan juga masyarakat, yang secara tidak langsung justru menurunkan nilai kompetitif Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Pasal 1 Rancangan Undang-undang Bea Meterai, terdapat pengertian sebagai berikut: 1. Dokumen adalah kertas maupun selain kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam undangundang di bidang informasi dan transaksi elektronik; 2. Tanda Tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik untuk Dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik; 3. Meterai Tempel adalah label atau carik dengan bentuk dan ukuran tertentu yang mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. V.
Legalisasi dan Pemerintahan
Keautentikan
dalam
Dokumen
Administrasi
Berdasarkan pasal 73 UU Administrasi pemerintahan dinyatakan bahwa legalisasi adalah tanggung jawab administrasi negara yang mengeluarkan dokumen tersebut yang dapat juga dijalankan oleh Notaris. Dalam pelaksanaan legalisasi tersebut, administrasi negara yang bersangkutan harus memperhatikan aspek originalitas ataupun keasliannya, sehingga jika terdapat keraguan atas keasliannya, maka legalisasi menjadi tidak dapat dilakukan.
UU Administrasi Pemerintahan Pasal 1 12. Legalisasi adalah pernyataan Badan atau Pejabat Pemerintahan tentang keabsahan suatu salinan surat atau dokumen administrasi pemerintahan yang dinyatakan sesuai dengan aslinya; 13. Sengketa Kewenangan adalah
Penjelasan Pasal 1 Cukup Jelas
538
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
klaim penggunaan Wewenang yang dilakukan oleh 2 (dua) Pejabat Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang berwenang menangani suatu urusan pemerintahan. 14. Konflik Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya. 15. Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan.
Bab IV bagian ke VI- Legalisasi Dokumen: Pasal 73 (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan berwenang untuk melegalisasi salinan/fotokopi dokumen Keputusan yang ditetapkan. (2) Legalisasi salinan/fotokopi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lain yang diberikan wewenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau pengabsahan oleh notaris.
Pasal 73 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ―salinan/fotokopi‖ adalah termasuk juga copy collationee.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan ―dokumen‖ adalah setiap informasi yang terdokumentasi dalam bentuk tertulis atau bentuk elektronik yang dikuasai oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berkaitan dengan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dan/atau pelayanan publik.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
539
Kewenangan notaris untuk mengesahkan dokumen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Legalisasi Keputusan tidak dapat dilakukan jika terdapat keraguan terhadap keaslian isinya.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan ―terdapat keraguan‖ adalah karena robek, penghapusan kata, angka dan tanda, perubahan, kata-kata yang tidak jelas terbaca, penambahan atau hilangnya lembar halaman yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dokumen.
(4) Tanda Legalisasi atau pengesahan harus memuat: a. pernyataan kesesuaian antara dokumen asli dan salinan/fotokopinya; dan b. tanggal, tanda tangan pejabat yang mengesahkan, dan cap stempel institusi atau secara notarial. (5) Legalisasi salinan/fotokopi dokumen yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan tidak dipungut biaya.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 74 Pasal 74 (1)Keputusan wajib menggunakan Cukup jelas. bahasa Indonesia. (2) Keputusan yang akan dilegalisasi yang menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. (3) Penerjemahan wajib dilakukan oleh penerjemah resmi. Tabel 2.5 UU Tentang Administrasi Pemerintah Pada sisi yang lain, mengingat bahwa dokumen administrasi pemerintahan adalah merupakan arsip yang menjadi bukti pertanggung jawaban penyelenggara negara maka keberadaannya juga harus memperhatikan kaedah yang ditentukan dalam UU Kearsipan. Namun dalam penentuannya
540
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
seakan terdapat potensikonflik kewenangan antara Arsip dengan KemPANRB dan juga Kominfo dalam menentukan suatu keautentikan terhadap dokumen public, khususnya dalam menciptakan suatu sistem penyelenggaraan kearsipan nasional yang komprehensif dan terpadu. UU Kearsipan Pasal 3 Penyelenggaraan kearsipan bertujuan untuk: a. menjamin terciptanya arsip dari kegiatan yang dilakukan oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan, serta ANRI sebagai penyelenggara kearsipan nasional; b. menjamin ketersediaan arsip yang autentik dan terpercaya sebagai alat bukti yang sah;
Penjelasan Pasal 3
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan ―menjamin ketersediaan arsip yang autentik dan terpercaya sebagai alat bukti yang sah‖ adalah bahwa penyelenggaraan kearsipan harus dapat menjamin arsip sebagai rekaman kegiatan atau peristiwa yang dapat disediakan atau disajikan dalam kondisi autentik dan terpercaya, sehingga dapat berfungsi sebagai alat bukti yang sah maupun dapat menjadi sumber informasi dalam pelaksanaan kegiatan pada masa yang akan datang. Yang dimaksud dengan ―arsip yang autentik‖ adalah arsip yang memiliki struktur, isi, dan konteks, yang sesuai dengan kondisi pada saat pertama kali arsip tersebut diciptakan dan diciptakan oleh orang atau lembaga yang memiliki otoritas atau kewenangan sesuai dengan isi informasi arsip. Yang dimaksud dengan ―arsip terpercaya‖ adalah arsip yang isinya dapat dipercaya penuh dan akurat karena merepresentasikan secara lengkap dari suatu tindakan,
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
541
kegiatan atau fakta, sehingga dapat diandalkan untuk kegiatan selanjutnya. c. menjamin terwujudnya pengelolaan arsip yang andal dan pemanfaatan arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Huruf c Yang dimaksud dengan ―pengelolaan arsip yang andal‖ adalah pengelolaan arsip yang dilaksanakan berdasarkan sistem yang mampu menampung dan merespons kebutuhan perkembangan zaman. Sistem pengelolaan arsip yang andal memiliki kemampuan: menjaring atau menangkap (capture) semua arsip dari seluruh kegiatan yang dihasilkan organisasi; menata arsip dengan cara yang mencerminkan proses kegiatan organisasi; melindungi arsip dari pengubahan, pengurangan, penambahan, atau penyusutan oleh pihak yang tidak berwenang; menjadi sumber utama informasi secara rutin mengenai kegiatan yang terekam dalam arsip; dan menyediakan akses terhadap semua arsip berikut beserta metadatanya.
d. menjamin pelindungan kepentingan negara dan hak-hak keperdataan rakyat melalui pengelolaan dan pemanfaatan arsip yang autentik dan terpercaya;
Huruf d Yang dimaksud dengan hak-hak keperdataan rakyat meliputi: hak sosial, hak ekonomi, dan hak politik dan lainlain yang dibuktikan dalam arsip misalnya sertifikat tanah, ijazah, surat nikah, akte kelahiran, kartu penduduk, data kependudukan, surat wasiat, dan surat izin usaha.
e. mendinamiskan penyelenggaraan kearsipan nasional sebagai suatu sistem yang komprehensif dan terpadu;
Huruf e Yang dimaksud dengan ―mendinamiskan penyelenggaraan kearsipan nasional‖ adalah bahwa dengan adanya sistem yang komprehensif dan terpadu
542
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
penyelenggaraan kearsipan menjadi lebih dinamis dan terarah. f. menjamin keselamatan dan keamanan arsip sebagai bukti pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
Huruf f Yang dimasud dengan ―menjamin keselamatan dan keamanan arsip‖ adalah bahwa arsip baik secara fisik maupun informasinya harus dijaga keselamatan dan keamanannya, sehingga tidak mengalami kerusakan atau hilang. Arsip perlu dijaga kerahasiaanya dari pengaksesan oleh pihak yang tidak berhak, karena arsip merupakan bukti pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
g. menjamin keselamatan aset nasional dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan, serta keamanan sebagai identitas dan jati diri bangsa; dan
Huruf g Yang dimaksud dengan ―aset nasional‖ adalah kekayaan negara dan masyarakat baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, maupun aspek kehidupan lain yang terekam dalam arsip seperti daftar kekayaan negara maupun buktibukti kepemilikan yang harus dilindungi dan dijaga keselamatannya.
h. meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan dan pemanfaatan arsip yang autentik dan terpercaya.
Huruf h Yang dimaksud dengan ―meningkatkan kualitas pelayanan publik‖ adalah penyelenggaraan kearsipan yang komprehensif dan terpadu dengan dukungan sumber daya manusia yang profesional serta prasarana dan sarana yang memadai akan meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam memanfaatkan arsip yang dibutuhkan melalui ketersediaan arsip yang faktual, utuh, sistematis, autentik, terpercaya, dan dapat digunakan. Tabel 2.6 UU Tentang Kearsipan
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
543
Perlu diperhatikan bahwa Undang-Undang Kearsipan membedakan arsip yang autentik dengan arsip yang terpercaya, padahal seperti yang telah dibahas pada bagian perspektif teknologi dan hukum mengenai keautentikan, dokumen atau data yang autentik seharusnya terpercaya karena telah melalui proses pengecekan terhadap integritas data dibandingkan dengan original copy darimana dokumen atau data tersebut berasal. Sepertinya, Penyusun UU Arsip berusaha membedakan antara integritas formil dilihat dari susunan huruf dan angka yang harus persis sama dengan arsip asli dengan integritas materiil yang memastikan bahwa informasi yang terdapat pada arsip tersebut memiliki fungsi nirsangkal dari pembuatnya. Berdasarkan Peraturan Kepala ANRI Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Autentikasi Arsip Elektronik, autentikasi merupakan proses pemberian tanda dan/atau pernyataan tertulis atau tanda lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi yang menunjukan bahwa arsip yang diautentikasi adalah asli atau sesuai dengan aslinya. Pemberian tanda dan/atau pernyataan tertulis atau tanda lainnya tersebut meliputi elemen ekstrinsik dan elemen instrinsik. Elemen ekstrinsik adalah elemen arsip yang membentuk tampilan luarnya, sementara elemen intrinsik adalah elemen arsip yang menyampaikan tindakan yang direkam dalam arsip dan konteksnya secara langsung.
Elemen Ekstrinsik 1. 2. 3. 4.
Fitur Presentasi Tanda Tangan Elektronik Segel Elektronik Cap-Waktu Digital (Digital Time-Stamp) 5. Tanda-tanda khusus lainnya, seperti digital watermarks, simbol kebanggaan organisasi (logo, lambang, merek), logo personal, dan kode identitas pengirim
Elemen Intrinsik
Nama pembuat, Nama pengirim, Tanggal arsip, Nama tempat asal pengiriman arsip, Nama penerima, Nama penerima kopi (Tembusan), Petunjuk mengenai tindakan/urusan, Deskripsi mengenai tindakan/urusan, Nama penulis, Pernyataan legalisasi, dan Pengesahan, Tabel 2.7. Autentikasi Berdasarkan Peraturan Kepala ANRI
Adapun salinan terhadap arsip elektronik dianggap autentik dan sesuai dengan arsip yang direproduksi sampai bukti selanjutnya dapat ditunjukkan. Jika terdapat beberapa kopi dari arsip yang sama, pencipta arsip dapat menetapkan prosedur yang mengidentifikasi copy arsip mana yang sah.
544
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Dalam pelaksanaannya, perbuatan legalisasi lazim dilakukan apabila dilakukan perbuatan menyalin atau menggandakan suatu arsip/dokumen, sehingga pejabat yang berwenang harus menyatakan bahwa salinan dari arsip/dokumen tersebut sama persis dengan arsip/dokumen yang sudah dibuat sebelumnya. Dengan kata lain, harus dilakukan pemeriksaan terlebih dulu terhadap integritas informasi yang terdapat pada dokumen tersebut agar terbukti tidak ada perubahan yang disengaja maupun kecacatan yang tidak disengaja. Kelalaian dalam melakukan hal tersebut bisa mengakibatkan arsip yang dimaksud tidak lagi autentik dan terpercaya sehingga tidak memiliki kekuatan hokum atau tidak dapat menjadi alat bukti yang sah menurut UU Arsip. Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan administrasi pemerintahan mulai dilakukan secara elektronik dan hal ini tercermin pada ketentuan yang terdapat pada UU Arsip, UU Administrasi Pemerintahan, UU ITE, UUKIP, dan UU Pelayanan Publik. Kesemua UU tersebut adalah undangundang terkait administrasi pemerintahan yang telah mengatur kebolehan untuk membuat atau menyimpan dokumen secara elektronik. Hal ini tentu mengakibatkan ketentuan mengenai legalisasi dan autentikasi juga harus bisa dilakukan secara elektronik. Legalisasi dan autentikasi sendiri sebenarnya sudah melekat dengan sendirinya dan tidak bisa terpisahkan, dikarenakan proses legalisasi membutuhkan autentikasi, meskipun biasanya dilakukan secara manual apabila masih menggunakan cara konvensional, yaitu menggunakan hard copy. Apabila Indonesia ingin bersungguh-sungguh menuju era eGovernment, maka selayaknya harus memandang jauh ke depan dan mulai memikirkan proses autentikasi dan legalisasi digital secara penuh. Saat ini, pemerintah beranggapan bahwa eGovernment hanya sekedar merubah media penyimpanan arsip dari berkas kertas menjadi media penyimpanan elektronik, padahal seharusnya sudah mulai bisa membangun infrastruktur yang lebih besar. Apabila ingin mewujudkan era paperless, maka hal yang pertama kali menjadi perhatian selayaknya adalah bagaimana membuktikan bahwa suatu dokumen elektronik bisa disimpan dengan aman dan salinannya bisa dibuktikan keutentikannya dengan merujuk pada penyimpanan yang aman tersebut. Cita-cita ideal dari administrasi pemerintahan secara elektronik adalah apabila para pejabat publik dapat membuat suatu dokumen yang berisikan informasi atau ketetapan secara elektronik, namun tetap memiliki kekuatan hukum yang sama dengan versi cetaknya. Saat ini, suatu dokumen yang bersifat tercetak memiliki nilai keabsahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan versi elektroniknya, padahal sebelum dokumen tersebut dicetak, ia terlebih dulu dibuat versi elektroniknya. Untuk merubah paradigma tersebut, tentunya harus dapat membuktikan dari segi teknis dan hukum suatu dokumen/arsip elektronik juga dapat memenuhi syarat autentik dan terpercaya. Hal ini bisa tercapai dengan membangun infrastruktur penyimpanan (repository) yang didukung oleh layanan terpercaya (trustservices) sehingga bisa dibuktikan integritas dari
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
545
konten dokumen/arsip tersebut dengan adanya kelengkapan berupa time stamping, electronic signature, dan electronic seal. Berdasarkan paparan tersebut, juga dapat terlihat bahwa seakan terdapat inkonsistensi pengaturan antara paradgima keautentikan dalam UU Arsip bila dibandingkan dengan KUHPerdata. Pemikiran KUHPerdata menentukan bahwa suatu bukti yang autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang dengan sendirinya mempunyai fungsi yang layak dipercaya.Dengan demikian seharusnya terminology autentik seharusnya inherent dengan kepercayaan, tidak harus dipertentangkan satu dengan lainnya. Namun jika mencermati paradigma teknisnya maka fungsi keautentikan akan menjadi sempurna jika memang didukung oleh suatu fungsi keterpercayaan sebagaimana dianut dalam Regulasi 910/2014.Dengan demikian dua paradigma itu dalam prakteknya adalah saling melengkapi satu sama lain. VI.
Legalisasi dan Keautentikan Dokumen Publik lintas Negara berdasarkan Konvensi Internasional tentang Hubungan Konsular dan Konvensi Internasional tentang Apostile
Dalam prakktek hubungan internasional, penyampaian dokumen publik lintas negara dilakukan melalui jalur hubungan diplomatic berdasarkan Vienna Convention (1961) on Diplomatic Relations dan Vienna Convention (1963) on Consular Relation dengan memfungsikan perwakilan diplomatik ataupun perwakilan konsuler pada masing-masing negara yang bersangkutan.22 Sesuai article 5 butir (f) dari Konvensi tersebut Konsular melakukan fungsi sebagaimana layaknya notaris untuk melakukan legalisasi dokumen publik lintas negara.Seiring dengan itu bergulir juga Konvensi Den Haag 1961 untuk mensimplifikasi legalisasi dokumen publik asing antara negara (convention abolishing the requirement of legalization for foreign public documents) dengan mekanisme penggunaan sertifikat apostile yang menerangkan keautentikan dari tanda tangan pejabat penerbit dokumen yang bersangkutan. Article 5 Consular functions
22 Pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik sudah lama diadakan yaitu sejak Kongres Wina Tahun 1815 yang diubah oleh Protokol Aix-la-Chapelle tahun 1818.Kemudian atas prakarsa Perserikatan Bangsa-bangsa diadakan konperensi mengenai hubungan diplomatik di Wina dari tanggal 2 Maret 1961. Konperensi tersebut membahas rancangan pasal-pasal yang dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa dan menerima baik suatu Konvensi mengenai Hubungan diplomatik, yang terdiri dari 53 pasal yang mengatur hubungan diplomatik, hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalannya. Sementara, Pengaturan Hubungan Konsuler dan Perwakilan Konsuler yang dalam sejarah berkembang melalui tahap-tahap pertumbuhan hukum kebiasaan internasional baru dikodifikasikan pada tahun 1963 dalam Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Diadakannya Konvensi ini yang terdiri dari 79 pasal yang keseluruhannya mengenai hubungan konsuler, hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalannya akan meningkatkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa tanpa membedakan ideologi, sistim politik atau sistim sosialnya.
546
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Consular functions consist in: (a) protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its nationals, both individuals and bodies corporate, within the limits permitted by international law; (b) furthering the development of commercial, economic, cultural and scientific relations between the sending State and the receiving State and otherwise promoting friendly relations between them in accordance with the provisions of the present Convention; (c) ascertaining by all lawful means conditions and developments in the commercial, economic, cultural and scientific life of the receiving State, reporting thereon to the Government of the sending State and giving information to persons interested; (d) issuing passports and travel documents to nationals of the sending State, and visas or appropriate documents to persons wishing to travel to the sending State; (e) helping and assisting nationals, both individuals and bodies corporate, of the sending State; (f) acting as notary and civil registrar and in capacities of a similar kind, and performing certain functions of an administrative nature, provided that there is nothing contrary thereto in the laws and regulations of the receiving State; (g) safeguarding the interests of nationals, both individuals and bodies corporate, of the sending State in cases of succession mortis causa in the territory of the receiving State, in accordance with the laws and regulations of the receiving State; (h) safeguarding, within the limits imposed by the laws and regulations of the receiving State, the interests of minors and other persons lacking full capacity who are nationals of the sending State, particularly where any guardianship or trusteeship is required with respect to such persons; (i) subject to the practices and procedures obtaining in the receiving State, representing or arranging appropriate representation for nationals of the sending State before the tribunals and other authorities of the receiving State, for the purpose of obtaining, in accordance with the laws and regulations of the receiving State, provisional measures for the preservation of the rights and interests of these nationals, where, because of absence or any other reason, such nationals are unable at the proper time to assume the defence of their rights and interests; (j) transmitting judicial and extra-judicial documents or executing letters rogatory or commissions to take evidence for the courts of the sending State in accordance with international agreements in force or, in the absence of such international agreements, in any other manner compatible with the laws and regulations of the receiving State; (k) exercising rights of supervision and inspection provided for in the laws and regulations of the sending State in respect of vessels having the nationality of the sending State, and of aircraft registered in that State, and in respect of their crews;
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
547
(l) extending assistance to vessels and aircraft mentioned in sub-paragraph (k) of this Article and to their crews, taking statements regarding the voyage of a vessel, examining and stamping the ship's papers, and, without prejudice to the powers of the authorities of the receiving State, conducting investigations into any incidents which occurred during the voyage, and settling disputes of any kind between the master, the officers and the seamen in so far as this may be authorized by the laws and regulations of the sending State; (m) performing any other functions entrusted to a consular post by the sending State which are not prohibited by the laws and regulations of the receiving State or to which no objection is taken by the receiving State or which are referred to in the international agreements in force between the sending State and the receiving State. Penting dipahami bahwa dengan melakukan legalisasi (pengesahan dokumen asing oleh kedutaan/konsuler negara yang bersangkutan) maka keaslian tanda tangan dan kewenangan pejabat yang membuat dokumen tersebut dianggap sah.Legalisasi dokumen hanya dilakukan terhadap dokumen asli oleh pengadilan, notaris atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu, sementaradokumen yang dikeluarkan oleh Lurah atau Camat menurut pengalaman tidak dapat dilegalisir, oleh karena contoh tanda tangan para pejabat tersebut biasanya tidak ada pada instansi yang lebih tinggi. Secara umum, legalisasi dokumen Indonesia didasarkan atas keberadaan dokumen yang asli dan memerlukan langkah-langkah berikut ini secara berurutan: 1. Membawa dokumen tersebut ke Kementrian Kehakiman Republik Indonesia, Jl. HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, untuk pengesahan tanda tangan pejabat yang mengeluarkan dokumen tersebut; 2. Membawa dokumen tersebut kemudian ke Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia (Ditjen Protokol dan Konsuler, Direktorat Konsuler, Subdirektorat "Clearance and Legalisation", Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta Pusat untuk pengesahan tanda tangan pejabat di Kementrian Kehakiman; 3. Kemudian membawa dokumen tersebut ke Kedutaan Negara Yang Dituju Jerman (Bagian Konsuler). Sehubungan dengan itu terdapat beberapa pengecualian, sebagai contohnya adalah Keputusan Cerai dan Akte Cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama harus terlebihdahulu dilegalisir di Mahkamah Agung. Sesudah itu selanjutnya seperti butir 1 (Kementrian Kehakiman dst.)/ dokumen yang dikeluarkan oleh KUA (misalnya Surat Keterangan Belum Menikah atau Buku Nikah) harus terlebih dahulu dilegalisir oleh Kementrian Agama di Jakarta. Untuk itu Kementrian Agama dapat meminta untuk dibawakan
548
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
beberapa dokumen lain, oleh karenanya dalam lingkup ini Kementrian Agama harus dihubungi terlebih dahulu untuk mendapatkan informasi dokumen apa saja yang harus dilampirkan. Selanjutnya seperti butir 1 (kementrian kehakiman dst.). Hanya dokumen yang telah mendapatkan cap dari kementrian luar negeri Indonesiasaja yang dapat diajukan ke kedutaan dan terhadap proses legalisasi dokumen ada yang perlu dan ada tidak perlu diterjemahkan tergantung pada negara yang dituju.23 Sebagai contoh adalah legalisasi dokumen public ke negara Belanda. Akte yang dibuat di Indonesia sah menurut hukum di Belanda jika sudah dilegalisir oleh tiga instansi ini menurut urutan sebagai berikut: (i) Kementerian Hukum dan HAM, Jl. HR Rasuna Said Kav. 8-9, Jakarta Selatan; (ii) Kementerian Luar Negeri, Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta Pusat; (iii) Kedutaan Besar Kerajaan Belanda , Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3, Kuningan, Jakarta 12950. Dokumen asli Indonesia yang ditulis dilegalisir dalam bahasa Indonesia harus disertai dengan terjemahan. Terjemahan ini harus oleh pihak berwenang Indonesia. Legalisasi terjemahan oleh Kedutaan Besar tidak mungkin dilakukan tanpa disertai dokumen asli yang telah dilegalisasi. Untuk legalisasi dan informasi, maka masyarakat dapat menghubungi loket urusan Belanda di Bagian Konsuler Kedutaan Besar atau salah satu Konsulat. Legalisasi oleh Kementerian KumHam dan Urusan Luar Negeri di Jakarta tidak dapat diurus oleh Kedutaan Besar. Masyarakat dapat melakukannya sendiri atau melalui perantara. Kedutaan Besar dan konsulat dapat membantu dalam mencarikan perantara namun tidak bertanggung jawab atas layanan yang diberikan. Kedutaan Besar juga tidak berpengaruh atas tarif perantara atau tarif yang diberikan oleh Kementerian KumHAM dan Kementerian Luar Negeri di Jakarta.Jika akte sudah dilegalisasi oleh Kementerian KumHam dan Kemenetrian Luar Negeri maka akte yang tidak dilaminasi dapat dilegalisasi oleh Kedutaan Besar.Permohonan untuk legalisasi ini dapat diajukan melalui konsulat atau petugas kontak konsuler.24 Mencermati proses yang cukup panjang tersebut, maka dalam konteks perdata internasional, terhadap negara yang meratifikasi konvensi Internasional Hague Convention 1961 maka warga negara mereka akan dapat mensimplifikasi urusan tentang legalisasi keautentikan dokumen publik asing
23 Kedutaan Besar Belanda Indonesia,
, diakses pada tanggal 29 November 2015. Lihat juga Bagian Hukum dan Konsuler Kedutaan Jerman, , diakses pada tanggal 29 November 2015.
24 Terhadap dokumen pernikahan, jika pernikahan dilakukan secara agama Islam maka yang harus dilegalisasi juga adalah dokumen berikut:Buku-buku nikah asli yang telah dilegalisasi. Buku ini harus dilegalisasi dulu oleh KUA dan kemudian oleh Departemen Agama. Kemudian buku nikah juga harus dilegalisasi oleh Departemen Kehakiman dan Departemen Luar Negeri Indonesia di Jakarta dan baru kemudian oleh Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Jika terjadi perubahan nama pihak yang menikah maka harus mengacu kepada nama sesuai akta kelahiran di negara yang bersangkutan.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
549
tersebut dalam bentuk suatu sertifikat keautentikan Apostille. Dalam perkembangannya kemudian, mekanisme terebut telah juga dilakukan secara elektronik dengan e-apostille yang dalam praktek teknisnya membutuhkan kejelasan regulasi suatu negara terhadap Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik.
Gambar 2.1 Production of Public Document Abroad Apostille sesungguhnya merupakan suatu sertifikat yang mengontentifikasi the origin (asal mula) dari dokumen publik (contoh: akta kelahiran, sertifikat nikah atau kematian, penetapan, atau akta notaris). Latar belakang dibahasnya mengenai Apostille ini adalah atas usulan dari Council of Europe. atas usulan tersebut, the Hague Conference on Private International Law memutuskan untuk mengembangkan sebuah konvensi yang akan memfasilitasi autentifikasi dari dokumen publik yang akan digunakan lintas Negara. Pada tahun 1961, lahir konvensi dengan judul: The Hague Convention of 5 October 1961 Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Document, commonly known as the “Apostille Convention”. Tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk menghapuskan syarat-syarat legalisasi diplomatik atau konsuler dan untuk memfasilitasi penggunaan dari dokumen publik lintas Negara. Ruang lingkup dari konvensi ini menurut pasal 1 ayat (1) konvensi tersebut adalah dokumen publik dan dokumen-dokumen yang telah dibuat didalam wilayah salah satu Negara peserta dan akan dilaksanakan didalam wilayah salah satu Negara peserta lainnya. Apostilles hanya bisa diterbitkan untuk dokumen yang diterbitkan di Negara yang tunduk/peserta terhadap apostille Convention dan dokumen tersebut akan digunakan di Negara yang tunduk/peserta juga terhadap apostilles Convention. Dokumen-dokumen publik yang dimaksud adalah dokumen yang berasal dari instansi atau pejabat yang mempunyai hubungan dengan pengadilan dan badan-badan peradilan suatu Negara, seperti dokumendokumen yang berasal dari jaksa, juru sita pengadilan untuk melakukan panggilan-panggilan, dokumen administratif, akta notaris dan sertifikat resmi yang ditempelkan atas dokumen-dokumen yang ditandatangani orang-orang
550
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
dalam kapasitasnya secara pribadi seperti misalnya sertifikat resmi berkenaan dengan pendaftaran suatu dokumen atau akta bahwa dokumen bersangkutan benar berada pada suatu tanggal tertentu dan juga legalisasi dari Notaris dan pejabat resmi mengenai tanda tangan (―waarmerking‖).25 Disamping simplifikasi yang diberikan, penting juga diketahui beberapa keterbatasan dari Apostille tersebut, yakni; 1. Apostille hanya mengontentifikasi The Origin of The Underlying Public Document. Implikasi dari sebuah apostile adalah bersifat terbatas, dimana Apostile hanya mengotentikasi the origin of public document. 2. Apostille tidak menjamin isi dari Underlying Public Document. Dengan kata lain Apostille tidak berhubungan dalam hal isi dari konten Underlying Public Document. Meskipunbiasanya dokumen tersebut menyatakan bahwa konten dalam dokumen tersebut adalah benar dan cocok, apostilles tidak menyentuh lebih jauh hal itu (enhanced), atau menambahkan any legal significance to, the legal effect that the signature and / or seal would produce without an Apostile 3. Apostille tidak menjamin bahwa semua syarat dari domestic law,atau dengan kata ain Apostile tidak menjamin bahwa sebuah publik dokumen telah dilaksanakan berdasarkan dengan semua ketentuanketentuan hukum domestiknya (proper execution of the underlying document are met). 4. Apostile tidak mempengaruhi penerima, diterimanya, atau nilai pembuktian dari dokumen publik tersebut. Konvensi Apostile tidak mempengaruhi kewenangan dari Negara yang dituju untuk menentukan penerima, diterimanya dan nilai pembuktian dari dokumen publik asing. 5. Apostille tidak membatasi jangka waktu berlakunya dokumen tersebut. Konvensi apostile tidak mencantumkan limitasi waktu untuk berlakunya efek dari apostile tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan konvensi apostille ini adalah untuk menghapus syarat-syarat legalisasi diplomatik dan konsuler dari dokumen-dokumen luar negeri yang bersifat publik untuk memperlancar hubungan perdata internasional. Di contohkan oleh Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, S.H., M.H., apabila terjadi perkara perdata dimuka Pengadilan Negeri di Jakarta dimana salah satu pihak misalnya Tergugat tinggal di luar negeri dan menguasakan perkaranya kepada seorang pengacara di Jakarta. Dalam kasus ini pihak klien (asing) yang berada di luar negeri itu tidak dapat langsung menandatangani dokumen surat kuasa yang dikirim pengacaranya dari Jakarta dan mengirim kembali kepada pengacaranya di Jakarta untuk dapat berlaku di Pengadilan di Jakarta. (Dokumen) Surat Kuasa itu harus ditandatangani dihadapan Notaris, dimana si klien tinggal atau berdomisili. Kemudian tandatangan Notaris tersebut harus pula dilegalisir oleh Kementerian
25 Zulfa Djoko Basuki, ―Kemungkinan Indonesia Mengaksesi The Hague Convention Abolishing the Requirement of Legalization for Foreign Public Documents”, BPHN, (Maret 2013), hal. 2.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
551
Kehakiman Negara tersebut. Selanjutnya dokumen (Surat Kuasa) itu disampaikan ke Kementerian Luar Negeri dari Negara bersangkutan yang melegalisir tandatangan Pejabat Kementerian Kehakiman itu. Setelah itu Surat Kuasa itu dikirim ke pada Kedutaan atau Konsulat Republik Indonesia dinegara bersangkutan untuk sekali lagi dilegalisir oleh Kedutaan atau Konsulat RI bersangkutan. Barulah lengkap dokumen (Surat Kuasa) tersebut untuk dikirim kembali ke Pengacara klien di Jakarta dengan penuh cap dan tandatangan legalisasi dari instansi-instansi bersangkutan untuk dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di Jakarta. Hal ini berlaku pula untuk dokumen luar negeri lainnya yang hendak dipakai sebagai bukti otentik dalam suatu perkara di Pengadilan-Pengadilan di Indonesia. Dengan adanya apostille, prosedur legalisasi secara berantai demikian diubah menjadi menempelkan sebuah strook kertas tertentu yang dinamakan ―Apostille”.26 Sesuai dengan article 6 dari konvensi apostile, masing-masing Negara yang meratifikasi wajib membuat satu atau lebih otoritas resmi yang mempunyai kekuasaan untuk menerbitkan Apostil (otoritas yang berwenang). Setiap Negara tersebut bebas untuk menetukannya. Otoritas yang berwenang merupakan tulang punggung dari keseluruhan pengerjaan konvensi apostil. Otoritas yang berwenang menjalankan 3 fungsi dasar yakni: (i) Verifying the authenticity (origin) of public documents; (ii) Issuing Apostilles, dan (iii) Recording each Apostille issued in a register in order to be able to verify, at the request of a recipient, the origin of an apostille supposedly issued by that competent authority.27 Sebelum menerbitkan apostil, otoritas yang berwenang harus yakin bahwa kovensi apostile tersebut dapat diterapkan. Dalam hal ini, harus diperhatikan sebagai berikut: 1. Dimana saja konvensi tersebut berlaku – cakupan geografis dari konvensi 2. Kapan konvensi tersebut berlaku – cakupan sementara dari konvensi 3. Kepada dokumen apa konvensi tersebut berlaku – cakupan isi dari konvensi Pada Article 1 Konvensi Apostile, menyatakan dengan jelas bahwa sistem apostile hanya untuk antara Negara member atau Negara yang telah memberlakukan konvensi apostil tersebut.Jika dokumen publik digunakan atau ditujukan untuk di Negara yang tidak memberlakukan konvensi apostile, maka pihak yang berkepentingan sebaiknya menghubungi kedutaan atau konsultan dari Negara yang dituju yang berada di Negara pihak yang berkepentingan tersebut untuk mencari tahu opsi-opsi yang tersedia.
26
27
Ibid., hal. 3-4.
Fungsiotoritas yang berwenang; (i) Resourcing and Statistics; (ii) Desk Instructions; (iii) Training; (iv) Delivery of Apostille Services; (v) Public Information, dan (vi) Combating Fraud.
552
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Konvensi Apostile juga memungkinkan Negara yang meratifikasi konvesi untuk memperluas konvensi tersebut menjadi Overseas Territories mengikuti: (i) Pada waktu di tandatangani, diratifikasi atau pencapaian – dengan deklarasi; atau (ii) Pada saat kapan saja kemudian – dengan pemberitahuan kepada Depository. Jadi pada prinsipnya, apostile tidak bisa di terbitkan oleh Negara yang tidak meratifikasi konvesi dari apostile tersebut. Apostile juga tidak bisa digunakan kepada Negara yang dituju jika Negara yang dituju tersebut tidak meratifikasi konvensi apostile. Apostile hanya boleh digunakan di Negara yang sudah memberlakukan konvensi tersebut. Namun, Negara yang ikut serta kedalam konvensi tersebut tidak bisa langsung untuk memberlakukan konvensi. Terdapat waktu menunggu yang harus dilalui sebelum konvensi tersebut diratifikasi oleh sebuah Negara. Lamanya waktu menunggu tersebut bergantung kepada bagaimana sebuah Negara ikut serta dalam konvensi tersebut, yakni: (i) Untuk Negara yang ikut serta dengan ratifikasi, konvensi mulai berlaku di 60 hari setelah the deposit of the instrument of ratification; (ii) Atau Negara yang ikut serta tambahan, konvensi mulai berlaku di 60 hari setelah masa berakhirnya 6 bulan periode diikuti dengan deposit of the instrument of accession Tujuan dari konvensi apostile ini adalah untuk memfasilitasi penggunaan dokumen publik lintas Negara. Istilah dari dokumen publik itu sendiri ditentukan oleh hukum yang berlaku pada masing-masing Negara. Namun, konvensi apostile memberikan panduan dan ketentuan tentang kategori dokumen yang dianggap sebagai dokumen publik, yakni ada 4 (empat) kategori: (a) Document emananting from an authority or an official connected with a court or tribunal, including those emanating from a public prosecutor, a clerk of a court or a process-server; (b) Dokumen administrasi;(c) Akta notaris; (d) Sertifikat resmi yang mana ditempatkan pada dokumen ditandatangani oleh seseorang dalam wilayah privatnya, seperti official certificates recording the registration of a document or the fact that it was in existence on a certain date and official and notarial authentications of signatures.Konvensi apostile tidak berlaku kepada 2 dokumen sebagai berikut: (i) Documents executed by diplomatic or consular agents; and(ii) Administrative documents dealing directly with commercial or customs operations Apostil dapat dimintakan oleh baik oleh pembawa dokumen (seseorang yang bermaksud untuk menerbitkan dokumen publik lintas Negara), atau seseorang yang executed document (pejabat yang berwenang atau notaris). Konvensi apostil tidak membedakan antara pribadi kodrati atau badan hukum (sebuah perusahaan), maupun menentukan kepatuhan hukum yang diperlukan untuk pemohon (nasionalitas atau status personal). Lebih jauh, konvensi apostil tidak menuntut pemohon untuk menjelaskan alasannya untuk permohonan apostil tersebut. Konvensi apostil tidak mengharuskan bahwa si pemohon apostil harus orang yang memegang dokumen publik tersebut. Sesuai dengan hal tersebut, permintaan untuk apostil dapat dilakukan oleh agen atau orang yang diberikan kuasa. Namun, berhubungan dengan prosedur internal, otoritas yang berwenang dapat meminta bukti bahwa agen atau orang yang diberi kuasa
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
553
tersebut adalah benar diberikan wewenang oleh yang berkepentingan. Penolakan untuk penerbitan sebuah apostile selayaknya disertai Alasan penolakan.28 Berdasarkan alasan diatas, dalam konvensi, otoritas yang berwenang setelah melakukan verifikasi29 dapat menolak untuk mengeluarkan apostil jika: (i) Dokumen publik tidak dihasilkan di Negara yang tidak meratifikasi konvensin apostil, atau yang sedang dalam proses untuk meratifikasi (meskipun otoritas yang berwenang tidak boleh menolak untuk mengeluarkan sebuah apostil jika pemohon tidak mengenali Negara yang dituju); (ii) Dokumen publik merupakan dokumen yang dikecualikan (dokumen yang dengan jelas dikecualikan dari cakupan konvensi apostile); (iii) Dokumendokumen yang bukan merupakan dokumen publik oleh hukum dari Negara asal; (iv) Otoritas berwenang yang hanya berkompeten untuk mengeluarkan apostil kepada dokumen-dokumen publik yang spesifik dan permintaan akan apostil itu bukan untuk dokumen publik yang spesifik tersebut; (v) Otoritas berwenang yang hanya berkompeten untuk mengeluarkan apostil untuk dokumen publik yang dilaksanakan di teritorial tertentu dan permintaan akan apostil itu bukan untuk dokumen publik yang akan dilaksanakan di teritorial tertentu tersebut; (vi) Otoritas berwenang tidak dapat memeriksa keaslian dari dokumen publik dimana dokumen publik tersebut dimintakan apostil. Di beberapa Negara, hukum domestik dapat mengizinkan atau mengharuskan otoritas berwenang untuk menolak pengeluaran apostil dengan alasan tambahan. Sebagai contoh, pengeluaran sebuah apostil dapat ditolak jika: 1. Pemohon merupakan sebuah agen atau wakil dari yang berkepentingan, dan tidak dapat menunjukan bukti bahwa mereka yang memang benar mendapatkan kuasa dari yang berkepentingan; 2. Pemohon tidak membayar biaya yang dibutuhkan (jika ada); 3. Isi dari dokumen publik bertentangan dengan hukum; 4. Otoritas yang berwenang menduga bahwa dokumen publik tersebut palsu. Dalam perkembangannya kemudian, Apostille elektronik (e-APP) pertama kali diperkenalkan di tahun 2006, the Hague Conference, bekerja sama dengan National Notary Association of the United States of America, dengan judul: Electronic Apostille Pilot Program (e-APP). Latar belakang diperkenalkannya e-APP tersebut adalah perjanjian mengenai Apostille harus mengikuti inisiasi dan perkembangan dari e-Government untuk tetap relevan
28
The convention does not provide a basis upon which a competent authority may refuse to issue an apostille for a valid public document that needs to be produced in another contracting state. 29 Verifikasi keaslian dokumen publik, The importance of verifying the origin; (i) the authenticity of the signature on the underlying public document (if any);(ii) the capacity in which the person signing the document has acted; and (iii) the identity of the seal or stamp which the document bears (if any).
554
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
terhadap pemerintah dan pengguna (individu dan pebisnis yang memerlukan dokumennya untuk dipergunakan di luar negeri). Alasan khususnya adalah: 1. More and more public documents are executed in electornic format (incl. e-notarial acts) 2. 2003 Special Commission on the practical operation of apostille convention acknowledge that the Convention operates in an environment which is subject to important technical developments 3. 2003 Special Commision also noted that the spirit and letter of the apostille convention are not obstacles to the use of modern technology and that its operation can be further improved by relying on such technologies.
Gambar 2.2 Paper Apostilles Vs e- Apostilles Secara teknis, terdapat dua komponen dalam elektronik apostille, yakni; (i) sistem aplikasi e-Apostilles yang menerbitkan apostille dalam format elektronik dengan sertifikat digital, dan (ii) system e-Registers yang mengoperasikan pencatatan/registrasi dalam format elektronik yang dapat diakses secara online untuk memverifikasi originalitas dokumen dan eApostille-nya.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
555
Gambar 2.3 e-Apostille dan e-Register Component Berikut beberapa keuntungan dari penggunaan elektronik Apostille tersebut. Lebih efisien
Fleksibel
Mudah
Dalam lingkungan elektronik, permintaan untuk Apostiles bisa dibuat secara online (dan hal tersebut tidak ada campur tangan manusia), dan Aposstilles dapat dikirim secara online (contoh: dengan email, atau melalui website yang sudah terverifikasi aman) Sistem elektronik untuk membuat e-Apostilles dapat terintegrasi kedalam sebuah database tanda tangan elektronik sehingga ke aslian dari dokumen pokok dapat terverifikasi dengan hanya satu klik. E-Register berarti tidak ada lagi tatap muka langsung dengan penerima apostilles (atau waktu yang terbuang di dalam ruang arsip) Kemungkinan untuk mempunyai satu central eRegister untuk beberapa CA‘s yang lintas Negara. Sentralisasi e-Register memfasilitasi akses kepada kebutuhan informasi statistikpenerbitan Apostilles E-apostilles dan e-Register dapat di terapkan secara terpisah satu sama lain (tidak harus dalam waktu yang bersamaan) Aplikasi e-Apostilles tidak hanya dapat digunakan untuk dokumen public yang dieksekusi secara elektronik saja (tahap pertama) melainkan juga dapat digunakan untuk Apostile dokumen yang dibuat secara kertas (tahap kedua). CA‘s dapat mengadopsi solusi teknis yang terbaik dan sesuai dengan legal dan IT environment nya mereka masing-masing secara bebas. (no technical solution is imposed) Tidak membingungkan dan tidak selalu mahal Mudah digunakan (easy to use).
penggunaan e-APP yang didukung dengan Sertifikat Digital akan mereduksi konsumsi kertas Ramah Lingkungan (green program) Tabel 2.8 Keuntungan Elektronik Apostille Terkait dengan penyelenggaraan e-Apostile tersebut, perlu dicatat keterkaitannya dengan penyelenggaraan CA dalam transaksi elektronik.
556
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
e-Appostile
e-Register
CA‘s harus mempersilahkan pengguna untuk consult the eRegister melalui koneksi yang aman, yang mana didukung oleh semua major web browsers. E-Register harus memungkinkan pengguna untuk meverifikasi identitas CA‘s dengan mudah (use of Extended Validation (EV) SSL Certificates, yang diindikasikan dengan keberadaan warna hijau pada URL bar dalam web browser, atau penggunaan teknologi yangserupa dengan itu) E-Registers harus memungkinkan CA untuk dapat bebaskan secara penuh dari kewajibannya di bawah article 7 of the Apostille Convention Dengan berpandangan untuk mencegah ―fishing expedition‖, eRegister harus menuntut penggunanya untuk memasukan informasi yang unik terhadap apostille yang diterima. Tabel 2.9. Keterkaitan e-Apostille dan e-Register dengan CA
Penting untuk menerapkan standar yang tinggi terhadap penerbitan dan pengelolaan dari surat mandate yang berbentuk digital Memilih CA‘s yang sudah well recognised dalam menyediakan sertifikat digital yang berfungsi di semua major browsers dan cocok untuk semua format dokumen yang di pilih oleh otoritas yang berwenang Use Long Term Signatures that remain valid beyond the expiry of the digital credential, such as “Advanced Electronic Signature” for PDF (PAdES) and HML (XAdES-T) CA‘s harus menjamin bahwa scanning dari dokumen publik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum domestik yang berlaku.
Dari paparan tersebut di atas, dalam kebutuhan untuk melakukan legalisasi dokumen publik lintas negara, negara perlu memfasilitasi dua jalur yang dapat digunakan oleh masyarakat, baik yang konvensional konvensional melalui mekanisme konvensi internasional tentang hubungan konsuler, maupun melalui penggunaan mekanisme konvensi internasional melalui sistem elektronik (e-Apostille). Pemerintah mau tidak mau harus mempersiapkan diri untuk mengakses konvensi internasional tentang Apostile tersebut dengan jmenyiapkan infrastruktur untuk penyelenggaraan e-Apostille terlebih dahulu. Hal itu sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia demi menghadapi transaksi elektronik regional di ASEAN. Tambahan lagi, isu pentingnya mengakses Konvensi Apostile juga telah berkumandang dalam rapat-rapat pembahasan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)30 dimana terdapat 4 (empat) fokus MEA pada tahun 2015 yaitu:31
30 Syabi Keane, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 (MEA 2015), , diunduh pada tanggal 18 Juni 2015.[MEA
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
557
Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang Tinggi, memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce. Dengan demikian dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation, dan; meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online. Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi. Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global. Peningkatan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggarapada jaringan pasokan global melalui pengembangan paket bantuan teknis kepada negara-negara anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas sehingga tidak hanya terjadi peningkatan partisipasi mereka pada skala regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.
Karakteristik Utama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)32:
Bentuk kerjasama MEA33
1. Pasar dan basis produksi tunggal, 1. Pengembangan sumber daya 2. Kawasan ekonomi yang manusia dan peningkatan kapasitas; kompetitif, 2. Pengakuan kualifikasi profesional; adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN yang akan melahirkan sistem perdagangan bebas antara negaranegara ASEAN. MEA adalah realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang di anut dalam visi 2020, yang didasarkan pada konvergensi kepentingan negara-negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi memalui inisiatif yang ada dan baru dengan batas waktu yang jelas]. 31
Ibid.
32
Ibid.
33
Ibid.
558
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
3. Wilayah pembangunan ekonomi 3. Konsultasi lebih dekat pada yang merata kebijakan makro ekonomi dan 4. Daerah terintegrasi penuh dalam keuangan; ekonomi global. 4. Langkah-langkah pembiayaan perdagangan; 5. Meningkatkan infrastruktur; 6. Pengembangan transaksi elektronik melalui e-ASEAN; 7. Mengintegrasikan industri di seluruh wilayah untuk mempromosikan sumber daya daerah; 8. Meningkatkan keterlibatan sektor swasta untuk membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Beberapa poin yang disampaikan oleh Hague Convention kepada delegasi Indonesia mengenai Apostille adalah sebagai berikut: 1. HCCH menyampaikan bahwa Indonesia terlebih dahulu harus menyiapkan infrastruktur dan sarana prasarana serta frame work yang jelas, sebelum melakukan aksesi. Karena dalam mengaksesi suatu konvensi, tidak hanya membutuhkan keputusan domestik dari negara yang akan melakukan aksesi konvensi di maksud, namun juga dibutuhkan kepercayaan dari negara-negara anggota HCCH atau negara yang telah melakukan aksesi konvensi di maksud. 2. HCCH menyampaikan perlunya penjelasan posisi Indonesia saat ini dalam proses persiapan aksesi sudah pada tahapan yang telah spesifik diketahui Indonesia dan disampaikan secara detail kepada HCCH untuk bantuan asistensi. Sehingga HCCH dapat mempersiapkan expertisnya dibidang yang dibutuhkan oleh Indonesia. 3. Untuk menjadi anggota dan mengaksesi konvensi yang ada di HCCH, tahapan yang harus dilakukan adalah menentukan Competent Authority, kemudian menyampaikan informasi tentang kesiapan infra struktur, dengan mengisi formulir isian yang terdapat di website HCCH. Hakimhakim yang berwenang untuk menangani peradilan di Indonesia terkait konvensi perlu di sampaikan curiculum viteanya untuk dapat di pelajari oleh negara lainnya. 4. Berkaitan dengan keputusan dari negara-negara anggota HCCH atau negara yang telah mengaksesi konvensi tersebut apakah akan menerima atau menolak usulan keanggotaan atau aksesi Indonesia terhadap konvensi dimaksud (dalam jangka waktu 6 (enam) bulan), guna memperoleh mutual trust dari negara lain, sehingga establishment dari Competent Authority dan infrastruktur lainnya menjadi hal yang utama guna memperoleh mutual trust tersebut. Jadi apabila terjadi penolakan
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
5.
6.
7.
8.
559
setelah rentang waktu tersebut maka, apostlle Indonesia tidak akan berlaku di negara yang menolak tersebut. Pada saat akan melakukan aksesi, terdapat salah satu tahapan yaitu mengisi questioner yang tujuannya HCCH dapat mengetahui tentang CA di negara tersebut apakah sudah terbentuk, bagaimana implementasi legislasi di negara tersebut, kesepakatan mengenai format Apostille sesuai dengan model certificate yang tercantum di dalam website HCCH yang akan diterbitkan. Membuat profil Negara dengan menjelaskan secara detai tentang kopetensi dari CA. Indonesia menanyakan mengenai bagaimana negara lain dapat mengenali sertifikat apostille yang di terbitkan oleh suatu negara adalah asli. HCCH menjawab keaslian dari sertifikat apostille disamping melihat secara fisik dari dokumen juga dilihat dari nomor registrasi yang terdapat pada sertifikat apostille. Nomor register Sertifikat Apostille terhubung secara online dengan website HCCH dan sehingga dapat di akses contracting party lainnya, sehingga Indonesia harus mempersiapkan infrasutruktur di bidang IT yang ditentukan oleh Indonesia sendiri dengan berkonsultasi kepada negara contracting party lainnya.
Terkait dengan kemungkinan penerapan e-Apostille, tampaknya hal tersebut akan banyak menghadapi kendala di antaranya adalah: 1. Indonesia sejak lama belum meratifikasi Konvensi Apostile sementara dinamika terakhirnya sudah menerapkan e-Apostille; 2. Indonesia masih menganut pemberlakuan pajak atas dokumen baik kertas maupun elektronik. Meskipun UU Bea Materai secara tegas hanya menyatakan pemateraian atas dokumen kertas, namun dalam pelaksanaannya Ditjen Pajak tetap meminta pelunasan bea materai atas sesuatu dokumen yang memungkinkan untuk dicetak. Padahal sistem keotentikan secara elektronik juga tidak disediakan oleh pemerintah; 3. Indonesia masih belum memiliki dan menyelenggarakan Root CA Pemerintah dan juga belum ada CA Pemerintah yang dapat digunakan untuk keamanan informasi dan komunikasi dalam e-Apostille; 4. Dalam urusan legalisasi dokumen ke luar negeri selain instansi Kemenkumham juga akan melibatkan instansi lain, yakni Kementrian Luar Negeri cq Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal Indonesia di luar negeri. Urusan layanan administratif pemerintahan biasanya akan berbanding lurus dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang akan menjadi hak dari instansi penyelenggara yang bersangkutan, sehingga instansi mana yang berhak dan penentuan Key Performance Indicator instansi mana yang akan membaik, bukanlah suatu hal yang dapat dijawab dengan mudah.
560
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka pemerintah cq Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Kementrian KumHAM serta Kementrian Luar Negeri harus segera membentuk tim atau satuan tugas untuk mempersiapkan langkah-langkah secara bertahap untuk implementasinya, khususnya dengan memberikan kejelasan kebijakan dan regulasi terhadap keautentikan identitas subyek hukum yang mencakup ekosistem dalam pemanfaatan e-Identity Nasional dan juga dokumen publiknya yang keduanya juga sangat tergantung kepada kebijakan Penyelenggaraan CA di Indonesia. Mengamati perkembangan terakhir tentang CA, semula disepakati akan dilakukannya kebijakan strict hierarkis satu Root CA Nasional baik untuk Govenrment maupun Privat dengan model turunan Intermediate CA dan Operasional CA. Namun dalam perkembangannya setelah mendapatkan advis dari pihak Korea tampaknya terdapat perbedaan pendapat antara Kominfo dengan Lemsaneg terkait kebijakan penerapan hierarkis dalam CA tersebut. Dengan pertimbangan relative lambatnya saluran komunikasi Internet di Indonesia, Kominfo berpendapat untuk menghilangkan keberadaan Intermediate CA dan langsung saja kepada Operasional CA di bawahnya. Sementara menurut Lemsaneg hal itu justru kurang baik karena berakibat relative rentannya keamanan akibat beratnya beban Root CA untuk berhubungan langsung. Masing-masing ide tersebut tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangannya, namun jika keamanan yang akan menjadi prioritas tentunya Intermediary CA tetap diperlukan demi menjaga efektifitas keamanan itu sendiri. VII.
Catatan Analisis terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik untuk Pelayanan Publik dan Administrasi Pemerintahan (SABH dari KumHAM dan SPAM-KODOK dari LKPP)
Berdasarkan beberapa perundang-undangan tersebut di atas, penelitian ini mencoba melihat implementasinya pada beberapa sistem elektronik pemerintah, yakni Sistem Administrasi Badan Hukum dan Sistem Pengamanan Dokumen pada proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang diselenggarakan oleh LKPP dan Lembaga Sandi Negara. Hasil pengamatan disampaikan dalam table berikut ini.
Sistem Pengamanan
SABH
SPAM KODOK
Lembaga Yang Kementrian Hukum dan Lembaga Menggunakan Ham Pengadaan Pemerintah
Kebijakan Barang/Jasa
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
Tata Pengamanan
Cara Menggunakan QR Code Menggunakan Sistem dan ID Login Kunci Asimetris / Publik
Jangkauan Penggunaan
Dokumen Diamankan
561
Digunakan Nasional
Secara Digunakan Nasional
Secara
Yang SK Perseoraan Terbatas, Dokumen Penawaran Yayasan, Perkumpulan Untuk Proses Lelang Berbada Hukum dan Fidusia
Tujuan Pengamanan
Sebagai tanda & pernyataan SK berasal dari Kementrian Hukum dan Ham
Untuk menjamin jaringan komunikasi yang digunakan untuk mengirim dokumen penawaran
Proses identifikasi
Menggunakan Login Menggunakan informasi Akun Pengirim data yang ada didalam akun ataupun notaris
Pemeriksaan Dokumen
Tidak terdapat pemeriksaan terhadap keabasahan informasi yang dikirimkan apakah telah sesuai dengan dokumen yang ada
Pemeriksaan dilakukan oleh pihak yang menerima informasi tersebut. Tidak dilakukan pemeriksaan secara elektronik terhadap dokumen.
Informasi Authentik
Tidak terdapat authentifikasi terhadap siapa pengirim dan penerima dari QR Code Tersebut.
Hanya terhadap penerima pesan sedangkan pengirim pesan tidak terdapat authenfikasi siapa yang mengirimkan
562
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Alat Untuk Aplikasi Menjalankan sistem Code, pengamanan
Pembaca
QR Aplikasi SPAMKODOK
Keamanan Website
Tidak terdapat sertifikat Terdapat sertifikat digital digital ataupun ataupu penggunaan Secure penggunaan Secure Sockets Layer Sockets Layer (Menggunakan jasa dari Symantec)
Mudah Digunakan
Mudah Digunakan, Sulit Untuk Digunakan, Hanya mengisi Uraian Membutuhkan Pelatihan Tambahan
Security Breach
QR Code mengalami error
Man In The Middle Attack
Fake QR Code berisikan Dokumen yang diunggah malware berisikan malware
Intrution didalam sistem melalui Malware ( SQL Injection, Rootkit ataupun cara-cara lain ke sistem data base)
QR Code mengalami kerusakan dan tidak dapat diakses Tabel 2.10. Perbandingan SABH dengan SPAMKODOK Bila dibandingkan sistem pengamanan informasi antara penyelenggaraan yang dilakukan oleh SABH dengan SPAMKODOK maka dapat dilihat sebuah perbedaan mendasar. Didalam SABH seluruh proses pelaksanaan dilakukan
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
563
melalui 1 atap terkait dengan pendaftaran dan penerbitan SK. Seluruh kegiatan ini bertumpu kepada kemampuan sistem Kemenkumham seorang. Sedangkan didalam SPAM Kodok sebagai aplikasi untuk menjamin informasi yang diberikan adalah aman, LKPP bekerjasama dengan LEMSANEG untuk menyediakan sistem kunci asimetris/publik. Bila kita melihat kepada pemanfaatan yang dilakukan oleh LKPP mengaet LEMSANEG untuk melakukan pengamanan jaringan, hal ini tentu memecah tanggung jawab dari LKPP kepada pihak 3 yaitu LEMSANEG. Bila suatu saat terjadi permasalahan di LKPP ataupun LEMSANEG maka masih ada pihak yang menjaga informasi satu sama lain. Sedangkan kondisi yang ada didalam SABH apabila sistem di Kemenkumham mendapatkan serangan dan menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Maka tanggung jawab terhadap kerusakan data, hilangnya data menjadi beban tunggal Kemenkumham. Selanjutnya proses pengaman yang digunakan oleh SABH adalah sistem login tanpa menggunakan SSL ataupun Tanda tangan Digital. Pengamanan SPAMKODOK menggunakan sistem kunci asimetris/publik dalam menjaga informasi yang diarahkan menggunakan SPAMKODOK. Sangat disayangkan bahwa kesadaran terhadap pengamanan yang ada didalam SABH dapat dikatakan sangat rendah. Padahal sistem kunci asimetris/publik telah digunakan oleh LKPP. Walaupun pemanfaatan kunci asimetris oleh SPAMKODOK hanya sebatas menjamin bahwa informasi diterima oleh pihak yang berhak namun tidak ada proses pemeriksaan terhadap siapakah pengirim sesungguhnya. Setidaknya sistem ini dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk menjaga keamanan database dari SABH. Terkait dengan kemungkinan Security Breach didalam sistem SABH jauh akan lebih mudah dibandingkan sistem SPAMKODOK. Kemungkinan sistem SABH di rusak muncul dari berbagai sisi, mulai dari dari keadaan Website yang tidak aman berujung kepada kerusakan Data Base SABH. Penggunaan QR Code palsu yang memiliki tujuan untuk mengelabui user, pengguna lain ataupun masuk kedalam sistem SABH. Serta kemampuan dan kapabilitas dari user untuk menjaga keamaan sistem yang kurang baik. Didalam sistem SPAMKODOK, ketidakmampuan dari user untuk menggunakan aplikasi SPAMKODOK membuat aplikasi tidak dapat digunakan dan menjamin bahwa sistem SPAMKODOK tetap aman. Kemudian terkait dengan keamanan website LKPP telah terdapat Digital Certificate dan SSL dari perusahaan Symantec. Sedangkan didalam proses pengamanan dokumen melalui aplikasi SPAMKODOK menggunakan sistem kunci asimetris yang dibangun melalui LEMSANEG sebagai Certificate Authority. Dapat dikatakan kemungkinan security breach adalah penyerangan didalam protokol yang dibangun oleh LEMSANEG dan pengiriman paket informasi yang tidak aman oleh pengguna. Untuk penyerangan protokol dapat di jaga melalui update sistem SPAMKODOK yang saat ini SPAMKODOK versi 1.4 telah dikeluarkan. Sedangkan terkait dengan pengiriman paket informasi yang tidak aman akan menjadi pertanyaan sejauh mana sistem pengamanan internal LKPP dapat menjaga hal tersebut.
564
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Kemudahan penggunaan dapat dikatakan lebih dimiliki SABH dibandingkan SPAMKODOK. Penggunaan SABH yang user friendly dan langsung dapat digunakan oleh pihak umum tanpa adanya proses yang membingungkan. Hanya dengan melakukan pengisian input hingga akhir permintaan maka sebuah SK dapat diterbitkan. Serta seluruh proses dilaksanakan melalui basis web, menjadikan pelaksanaan seluruh proses selain pembayaran berada didalam 1 pintu. Sedangkan SPAMKODOK pemanfaatannya akan lebih sulit karena sistem enkripsi yang dilakukan oleh aplikasi SPAMKODOK dilakukan sendiri oleh pengguna. Pengguna harus memliki aplikasi SPAMKODOK, kemudian membuka website LKPP dan kembali ke aplikasi SPAMKODOK. Disertai dengan beberapa fungsi yang harus dijalankan oleh pengguna. Dapat dikatakan alur proses SPAMKODOK lebih sulit untuk digunakan dan lebih sulit untuk dipahami tanpa proses pelatihan dalam penggunaan SPAMKODOK. Aplikasi penunjang yang digunakan dalam menjalankan proses SABH lebih mudah digunakan oleh banyak pihak, mengingat aplikasi QR Code Scan dapat didownload dengan mudah di berbagai model ponsel pintar. Serta tidak diperlukan aplikasi tambahan (QR Code Scan) untuk dapat membuat SK diterbitkan oleh sistem SABH. Didalam pelaksanaan SPAMKODOK fungsi aplikasi menjadi hal yang paling penting. Tanpa aplikasi SPAMKODOK maka tidak dapat dilakukan proses enkripsi dan dekripsi terhadap informasi yang akan dikeluarkan. Aplikasi ini juga tetap tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak terdapat pengambilan Kunci Publik yang disediakan oleh Website LKPP maka aplikasi SPAMKODOK tidak dapat berjalan. Ini membuat aplikasi SPAMKODOK bergantung kepada kemampuan user mengelaborasi antara aplikasi dengan website. Namun penting untuk dicatat bahwa QR Code mempunyai kelemahan karena penerima dokumen tidak mendapatkan konfirmasi keautentikan dari pembuat dokumen atau penyelenggara situs. Asumsi QR Code cukup layakndiandalkan sebagai bukti keautentikan dokumen public sebenarnya cukup riskan, oleh karena itu sebaiknya pemerintah tetap menggunakan mekanisme public key infrastructute untuk memperjelas rantai keautentikan itu. VIII. Reformasi Hukum untuk Keautentikan Dokumen Publik Secara Elektronik Setelah reformasi, meskipun begitu pesatnya perkembangan jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun dapat dikatakan bahwa ternyata perhatian terhadap kerangka keautentikan dan/atau aketerpercayaan terhadap alat bukti elektronik masih belum cukup baik. Hal tersebut terbukti dengan beragamnya pemikiran dan pengakuan terhadap status dan kedudukan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, meskipun sudah berlakunya UU ITE. Melengkapi alat bukti menurut KUHPerdata dan KUH Acara Perdata (HIR/RIB), maka Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE telah memberikan pengakuan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dimana dalam melihatnya dapat
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
565
memberlakukan prinsip kesetaraan fungsional (tertulis, bertandatangan dan original). Pada sisi yang lain, dalam pasal 15 UU ITE juga telah menguraikan adanya ukuran akuntabilitas sistem elektronik yang mencakup, aspek keandalan, aspek keamanan dan aspek kejelasan tanggung jawab. Dengan demikian, meskipun tidak ditegaskan adanya tingkatan ataupun spektrum reliabilitas keamanan yang akan menentukan keautentikan dokumen, namun best practices dalam ke amanan informasi selayaknya dapat menjadi perhatian sebagai kaedah yang hidup dan berlaku dalam komunitas Tekonologi Informasi dan Komunikasi. Dengan kata lain, sejauhmana hakim terikat kepada alat bukti elektronik yang dihadirkan adalah juga tergantung kepada reliabilitas keamanan informasi dan komunikasi dalam sistem elektronik tersebut. Seiring dengan itu, sehubungan dengan penyelenggaraaan sistem informasi dan komunikasi elektronik yang digunakan untuk Administrasi Pemerintahan dan Pelayanan Publik, kedua UU yang mendasari kegiatan tersebut juga telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah. Bahkan terdapat ruang bagi Administrasi Negara untuk menetapkan Keputusan Secara Elektronik, namun sayangnya masih terkontaminasi dengan pemikiran tentang keautentikan secara kertas dan kurang mengeksplorasi aturan keamanan informasi secara elektronik. Alhasil, masih menjadi pertanyaan bagi masyrakat apakah legalisasi terhadap dokumen elektronik masih harus diperlukan, padahal terhadap dokumen elektronik tidak lagi memerlukan proses legalisasi cukup ditunjang dengan sistem autentikasi yang baik terhadap dokumen elektronik itu sendiri. Mencermati paradigma keautentikan dalam Hukum Perdata dibandingkan dengan paradigma UU Arsip, maka terlihat adanya suatu benturan pemikiran dimana menurut UU Arsip, suatu arsip yang autentik tidak dengan serta merta terpercaya. Dengan kata lain autentikasi dan keterpercayaan adalah dua hal yang berbeda, padahal dalam hukum perdata suatu akta autentik sudah memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga otomatis harus dipercaya sehingga dapat menjadi alat bukti yang sah dan berdiri sendiri. Penelitian ini berhasil mengharmonisasikan kedua pemikiran tersebut di atas dimana bukti yang autentik harus ditunjang oleh proses identifikasi dan autentikasi yang ditunjang dengan suatu layanan keterpercayaan (trust services) yang dijalankan atas dasar kwalifikasi tertentu. Hal itu sejalan dengan dinamika yang tengah berkembang di Eropa dengan Regulation 910/2014 tentang sistem pengidentifikasian secara elektronik dan layanan keterpercayaan. Oleh karena itu, keautentikan dokumen public sesungguhnya dapat dibingkaikan dalam kerangka hukum sebagaimana disampaikan dalam table di bawah ini.
Perundangundangan
Catatan
Usulan Perbaikan
566
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
KUHPerdata
Meskipun tidak terdapat ketentuan tentang mekanisme pengautentikasian, namun autentikasi dengan pasangan tongkat berkelar untuk melakukan persetujuan sudah dikenal dalam pasal 1887 KUHPerdata Keautentikan formil dan materil menurut KUHPerdata dapat diperkuat dengan layanan sistem pengidentifikasian dan pengautentikasian secara elektronik yang dapat diturunkan dari amanat UU ITE
Keberlakuan aturan dalam sistem kodifikasi KUHPerdata selayaknya ditetapkan dalam satu UU dan kemudian diperbaiki dalam wadah kodifikasi tersebut. Reformasi hukum menjadi tidak terserak dalam berbagai UU yang saling berpotensi konflik satu dengan yang lainnya.
Kitab UndangUndang Hukum Acara Perdata (HIR/RIB)
Tidak terdapat ketentuan yang tegas menerima kehadiran suatu bukti elektronik
Perlu ditambah kategori alat bukti yang baru yaitu alat bukti elektronik dengan tetap memperhatikan reliabilitas keamanannya
UU ITE
IE/DE dapat menjadi alat bukti yang sah, namun harus memenuhi syarat kesetaraan fungsional dan dibuat berdasarkan sistem elektronik yang akuntable
Perlu dipertegas kehadiran suatu bukti elektronik harus didukung oleh suatu layanan keterpercayaan yang akuntable.
UU KIP
Setiap badan public harus memyampaikan informasi public melalui sistem informasi
Perlu dipertegas bahwa sistem infomrasi tersebut harus akuntable sesuai aturan dalam UU ITE
UU Arsip
Arsip harus memastikan integritas dan keautentikan
Perlu diperbaiki bahwa auntentik sudah
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
567
data
mencakup aspek originalitas dokumen
UU Pelayanan Publik
IE/DE dapat diterima sebagai alat bukti
Perlu dipertegas bahwa pelayanan public melalui sistem elektronik harus ditunjang oleh sistem keamanan yang patut
UU Jabatan Notaris
Notaris dapat melakukan sertifikasi transaksi elektronik, namun belum diturunkan peraturan pelaksanaannya
Perlu ada peraturan menteri Hukum dan HAM untuk memfaslitasi kewenangan tersebut
UU Administrasi Penduduk
Dokumen kependudukan diangggap autentik berdasarkan UU ini, padahal proses autentikasi belum berjalan dengan baik.
Selayaknya kautentikan harus didukung oleh sistem keamanan yang akuntabel sesuai UU ITE
Kebijakan sentralisasi pengidentifikasian (single credential) menimbulkan beban teknis penyelenggaraan
UUAdministrasi Pemerintahan
Administrasi Negara dapat memberikan keputusan secara elektronik, namun paradigma legalisasi masih didasarkan atas media kertas.
Perlu ditambahkan aturan tentang dukungan sistem identifikasi dan autentikasi yang baik dalam menjalankan keputusan secara elektronik, sehingga legalisasi untuk dokumen public elektronik tidak diperlukan lagi.
568
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
UU Bea Meterai
IX.
Dibebankan kewajiban Selayaknya bersifat pemeteraian terhadap dokumen fakultatif (optional) dan elektronik privat (bawah harus ditunjang oleh etangan) IAS yang akuntable.
Penutup 1.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Terdapat perbedaan teknis dan kaedah keautentikan terhadap informasi dan/atau dokumen tertulis dengan informasi dan/atau dokumen secara elektronik. Keautentikan secara teknis melihat kepada aspek perbuatan dan proses teknis identifikasi berikut kepastiannya untuk nir-sangkal, sementara hukum melihat kepada obyek dan akibat hukum yang tak tertampik (bukti yang sah dan mengikat). Perbedaan paradigma itu pada dasarnya saling melengkapi dimana suatu dokumen public elektronik membutuhkan adanya suatu jaminan keamanan untuk mendukung keberadaannya sebagai akta yang otentik. Hal itu akan membutuhkan kejelasan aturan tentang sistem pengidentifikasian subyek hukum berikut layanan keterpercayaan berdasarkan atas adanya kwalifikasi terhadap sistem pengautentikasian tersebut. 2) Sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan tentang keamanan dan keautentikan terhadap bukti informasi dan/atau dokumen baik tertulis maupun secara elektronik dalam sistem hukum nasional harus menjamin pelaksanaan kaedah-kaedah dalam UU ITE, UU Arsip, UU Pelayanan Publik dan UU Administrasi Pemerintahan. Guna menjamin keautentikan dokumen public dalam administrasi pemerintahan dan pelayanan publik, instansi pemerintahan yang bersangkutan harus menggunakan Infrastruktur Kunci Publik yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan berinduk kepada Root CA Pemerintah sehingga rantai keautentikan terhadap validitas dokumen public elektronik dapat ditelusuri dengan baik. 3) Tanggung jawab hukum administrasi negara dalam menjamin keamanan dan keautentikan terhadap dokumen public tersebut kepada public, harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sesuai kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam suatu penyelenggaraan sistem elektronik pada suatu urusan pemerintahan tertentu, maka instansi yang bersangkutan harus bertanggungjawab dan tidak dapat mengalihkannya kepada pihak lain. Dalam perspektif publik sesungguhnya masing-masing
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
569
instansi pemerintah seharusnya merepresentasikan totalitas fungsi pemerintahan sehingga gugatan public tentunya tidak akan memandang adanya ego sektoral maupun tumpeng tindih kewenangan dalam menjawab kebutuhan akan keautentikan itu. 2.
Saran 1) Pemerintah harus segera memperjelas kebijakan dan aturannya tentang pengakuan CA dan pengoperasian Root CA oleh Pemerintah. Hal tersebut akan menjadi lebih efektif bila didukung dengan peraturan menteri hukum dan ham yang memfasilitasi peranan notaris secara elektornik (cybernotary) sebagaimana diamanatkan dalam UU Jabatan Notaris. 2) Instansi pemerintah harus menggunakan layanan keterpercayaan terhadap sistem pengamanan itu, sesuai tugas pokok dan fungsi yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 3) Pemerintah harus menyadari tanggung jawabnya bahwa semua instansi pemerintah terkait sesungguhnya bertangungg jawab secara renteng (bersama-sama) kepada public, sehingga seharusnya tidak ada indikasi ego sektoral ataupun perebutan kewenangan penyelenggaraan CA oleh pemerintah. 4) Pemerintah perlu mempertimbangkan adanya pengakuan terhadap Root CA komunitas yang dapat menjadi sarana alternative untuk mendukung administrasi pemerintahan dan pelayanan public. 5) Kedepan, Pemerintah perlu memikirkan adanya kebijakan dan regulasi terhadap Public Document Repository untuk menunjang fungsi pelayanan keterpercayaan terhadap keautentikan dokumen public elektronik.
570
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 No.4 Oktober-Desember 2015
Daftar Pustaka Adams, Carlisle, and Steve Lloyd. Understanding Public-Key Infrastructure Concepts, Standards, and Deployment Considerations, Indianapolis: Macmillan Technical Publishing, 1999. Furht, Borko. Book of Augmented Reality, New York: Springer, 2011. Gao, Jie. Reed Solomon Code, New York: Stony Brook University, 2007. Kieseberg, Pater, Research.
et. al. QR Code Security, Tidak dipublikasikan, SBA
Leenes, Ronald E., Bert-Jaap Koops and Paul De Hert. Constitutional Rights and New Technologies, Leiden, Netherlands: T-M-C Asser Press, 2008. Lembaga Sandi Negara. Petunjuk Penggunaan Pengamanan Komunikasi & Dokumen (SPAMKODOK), Jakarta: Lembaga Sandi Negara, 2014. Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Makarim, Edmon. Notaris & Transaksi Elektronik (Kajian Hukum tentang Cybernotary atau Electronic Notary), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012. Makarim, Edmon. Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Hasil Kajian, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Makarim, Edmon. Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010. Oeripkartawinata, Retnowulan Sutantio dan Iskandar. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1997. Prins, J.E.J. (ed.). Redisigning E-Government: On the Crossroads of Technological Innovation and Institutional Change, Hague: Kluwer Law In ternational, 2001. Rannenberg, Kai, et. al., (ed.). The Future of Identity in the Information Society: Challanges and Opportunities, Frankfurt: Springer, 2009. Schenier, Bruce. Applied Cryptography, 2nd ed., New York: John-Willey and Son, 1996. Smith, Richard E. Internet Cryptography, Massachusetts: Addison Wesley Longman Inc., 1997. Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1980. Subekti, R. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita, 2005. The Hague Conference Permanent Bureau. Apostille Handbook, Netherland: Permanent Bureau, 2013.
Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari
571
Uzelac, C.H. van Rhee dan A. Evidence in Contemporary Civil Procedure, England: Cambridge Intersentia, 2015.