Kearifan dalam transformasi pembelajaran: dari teacher-centered ke student-centered learning * Harsono Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Wisdom is not the product of schooling but the lifelong attempt to acquire it. Albert Einstein Pengantar Perubahan p aradigma didorong oleh hasil analisis mutakhir y ang menunjukkan bahwa sistem y ang dianut tidak lagi memberi hasil atau keuntungan y ang memuaskan. Perubahan p aradigma membawa p erubahan mindset, dan p erubahan mindset membawa implikasi op erasional sejalan dengan tujuan y ang akan dicap ai oleh p erubahan p aradigma. Ap abila digambarkan sebagai suatu bagan alir, maka p erubahan di satu titik akan memp engaruhi aktivitas berikutny a, baik dalam aliran linear maupun p aralel, sehingga tamp ak gambar networking y ang komp leks. Komp leksitas networking tadi p erlu dikelola secara efisien, terukur, terp antau, dan terpadu agar tujuan p erubahan p aradigma dapat tercap ai secara mudah dan ekonomis. Untuk mencap ai tujuan tersebut dip erlukan p enataan ulang organisasi y ang di dalamny a terkandung kearifan agar tidak terjadi benturan maup un selisih p endapat y ang tajam, atau untuk meminimalisasi masalah y ang timbul sebagai akibat dari p erbedaan p endap at. Kearifan memerlukan sinergi dan keterp aduan intelligent quotient, emotional quotient, dan spiritual quotient. Kearifan y ang telah dimiliki oleh p ara staf senior perlu diorganisasi dalam aktivitas y ang rasional, mudah dip ahami dan diikuti oleh orang lain, serta menimbulkan insp irasi di kalangan p ara staf y unior dan p ara mahasiswa sehingga tercip ta suatu gerakan saiyeg saeka kapti, saiyeg saeka praya (bahu-membahu dalam satu tekad y ang bulat). Dap at dip astikan bahwa setiap langkah p embaharuan atau p erubahan akan menimbulkan gejolak; dalam hal ini dip erlukan manajemen p erubahan agar gejolak y ang timbul dap at diminimalisasi. Perubahan paradigma pembelajaran Ilmu p engetahuan dan teknologi telah dan terus berkembang dengan p esatny a. Namun demikian masih ada kelambanan dalam p erubahan, yaitu p roses p embelajaran. M etode pembelajaran “I lecture, you listen” masih mewarnai p endidikan di Lembaga Pendidikan Tinggi (LPT). Pengajar / dosen merup akan tokoh sentral dan lebih-kurang 80% waktuny a digunakan untuk transfer ilmuny a secara konvensional (one-way traffic), sementara itu mahasiswa duduk mendengarkan ceramahnya dengan aktivitas yang minimal. *Disam paikan dalam “Sem inar Im plementasi nilai kearifan dalam proses pem belajaran berorientasi student-centered learning, di Balai Senat UGM, 30 Novem ber 2004”. Direvisipada tanggal 31 Agustus 2005.
Harsono – www.inp arametric.com
1
Apatis dan sikap tidak tertarik terhadap p roses p embelajaran merup akan karakteristik mahasiswa dalam sistem p endidikan konvensional. Sebagian besar mahasiswa memiliki kemamp uan konsep tualisasi y ang terbatas karena mereka belajar dalam struktur dan p engarahan yang kaku. M ereka tidak dapat “think outside the box”. Untuk mengatasi situasi demikian ini dip erlukan p erubahan, dari p endidikan tradisional menjadi sesuatu y ang berbeda dan inovatif y aitu p aradigma baru. Perubahan p aradigma p endidikan di LPT mencakup pengertian “…a paradigm shift from a teacher-centered instruction paradigm to a student-centered learning paradigm”. Perubahan p aradigma ini bersifat institusional y ang ap abila diterap kan pada staf p engajar akan berubah menjadi p erubahan mindset. Perubahan paradigma ada yang meny ebutny a sebagai transformasi, revolusi pembelajaran, atau sekedar sebagai suatu p ergeseran p aradigma. Perubahan p aradigma maup un p erubahan mindset membawa imp likasi p erubahan sistem, organisasi, imp lementasi, dan evaluasi y ang cukup komp leks. Dengan demikian p erubahan p aradigma harus disiap kan secara arif, mencakup p emahaman tentang rasional, hati-hati, sedikit-demi sedikit, sederhana (tidak ruwet), terus-menerus, konsisten, terukur, terkontrol, dan gejolak maup un penolakan y ang minimal. Ap abila p ersiap an sudah (dianggap ) matang, maka imp lementasi p erubahan p aradigma juga tetap memerlukan kearifan, dalam hal ini mencakup bidang efisiensi dan keefektivan yang dapat diukur / dievaluasi dengan metodologi baku. Keberhasilan, kekurangan, deviasi, keterlambatan, dan bahkan kegagalan p encap aian tujuan harus dilap orkan kepada seluruh civitas academica secara jujur dan terbuka. Kejujuran merup akan kearifan yang melindungi institusi dari berbagai masalah. Setiap p erubahan mengakibatkan berbagai macam reaksi bagi individu yang mengalaminy a, terutama kelompok individu y ang tidak diikutsertakan secara aktif dalam p erencanaan p erubahan. Pengambil kebijakan atau kep utusan atas p erubahan yang diberlakukan p erlu memperhatikan berbagai gejala negatif di antara para stafny a, yaitu mudah marah, selalu merasa lelah, dep resi, defensif, dan sinis. Individu yang menunjukkan gejala atau sekelomp ok gejala tadi menunjukkan tidak adanya resiliency p ada diriny a. Resiliency menggambarkan kemamp uan untuk segera p ulih seperti sediakala sebagai akibat dari adany a p erubahan, kerja keras, atau p erasaan tidak beruntung. Bagi setiap individu, p engembangan resiliency memerlukan p erhatian terhadap komp leksitas p engalaman, emosi, dan kemauanny a untuk belajar dari keberhasilan dan kekecewaan atau kegagalannya. Individu y ang memp uny ai resiliency menunjukkan fleksibilitas, day a tahan y ang tinggi, sikap optimis, dan terbuka untuk selalu belajar. Dalam hubungan antarindividu dip erlukan kearifan (kemampuan) untuk 1 menilai adany a resiliency atau tidak. Perubahan p aradigma memerlukan p imp inan yang arif. Seorang y ang arif atau bijaksana tidak bereaksi segera secara ekstrem terhadap suatu stimulus, sebelum ia menelaahnya lebih dari dua sisi. Pendap atny a terukur, tidak berlebihan, tidak fanatik. M elihat sesuatu maka ia ingin mengetahui keadaannya, riway atny a dan kemungkinankemungkinanny a. Ia tidak melomp at dan menerkam sesuatu y ang baru sebagai suatu y ang menggantikan ap a yang telah ada seluruhny a; ia akan memp ertimbangkanny a lebih dahulu. Orang y ang airf dap at membedakan ap a y ang harus segera dihadap i dan ap a yang dapat ditunda, lalu bekerja sesuai dengan itu. Ia dapat memahami mengapa seseorang
Harsono – www.inp arametric.com
2
bersikap atau bertindak sep erti itu; ia mengenal manusia. Kearifan tidak dap at dip isahkan 2 dari keadilan dan kejujuran. Proses pembelajaran Komp onen p embelajaran melip uti input, p roses, output, outcome, dan impact. Input terdiri dari mahasiswa (dengan berbagai atribut y ang melekat p adany a), kurikulum, dan fasilitas (dosen, gedung, laboratorium, p erp ustakaan, dana). Proses pembelajaran melibatkan mahasiswa, dosen, staf p endukung, kurikulum, fasilitas, dan p eluang. Output dapat diukur dari IPK, p rop orsi lulusan, lama studi, dan waktu tunggu untuk memp eroleh p ekerjaan. Outcome dicirikan oleh kriteria komp etensi lulusan y ang harus dikuasai dan dilaksanakan olehny a; kriteria ini melekat p ada tujuan p embelajaran dari masing-masing p rogram studi. Impact dap at diukur, dilihat, atau digali dari komunitas, stake holders, maup un alumni, beberapa waktu setelah lulusan bekerja. Walaup un sulit diukur, dari output, outcome, dan impact dapat diambil manfaatny a untuk perbaikan mutu mahasiswa 3 baru, kurikulum, fasilitas, serta p roses p embelajaran itu sendiri. Proses p embelajaran harus mengacu p ada tujuan pendidikan; sementara itu implementasi inovasi p endidikan harus memp ertimbangkan tantangan (bukan hambatan) y ang selalu muncul sebagai akibat dari up ay a p encapaian tujuan p endidikan. M enurut Tiffin dan Rajasingham, tujuan pendidikan adalah “….providing assistance to learners that enables them to achieve levels of development (and efficiency) that they would not be able to achieve by themselves”, dan tantangan p endidikan adalah “…creating effective 4 learning environment and resources”. Sementara itu, p endidikan memp uny ai tujuan sosial, bukan semata-mata p encap aian p engetahuan, ketramp ilan, dan kemampuan 5 tertentu y ang bersifat individual. S PICES Strategi inovasi pendidikan secara integral melip uti p endekatan student-centered learning, problem-based, integrated curriculum, community oriented, elective program, dan systematic (SPICES). Dari 6 elemen tadi maka student-centered learning, integrated curriculum, dan elective program merup akan elemen-elemen y ang sangat penting dan p elaksanaanny a memerlukan kearifan dari semua p ihak y ang terkait di dalam p roses p endidikan. Student-centered learning Student-centered learning (SCL) is where students work in both groups and individually to explore problems and become active knowledge workers rather than 6 passive knowledge recipients. SCL merup akan strategi p embelajaran y ang menemp atkan mahasiswa sebagai p eserta didik (suby ek) aktif dan mandiri, dengan kondisi p sikologik sebagai adult learner, bertanggung jawab sep enuhny a atas p embelajaranny a, serta mamp u belajar beyond the classroom. Kelak, p ara alumni diharapkan memiliki dan menghay ati karakteristik life-long learning y ang menguasai hard skills, soft skills, dan life-skills yang saling mendukung. Di sisi lain, p ara dosen beralih fungsi, dari p engajar
Harsono – www.inp arametric.com
3
menjadi mitra p embelajaran maup un sebagai fasilitator (from mentor in the center to guide on the side). M ateri dan model p eny amp aian p embelajaran dalam SCL secara lengkap melip uti 3 asp ek, y aitu (a) isi ilmu p engetahuan (IPTEK), (b) sikap mental dan etika yang 7 dikembangkan, dan (c) nilai-nilai y ang diinternalisasikan kepada p ara mahasiswa. Di dalam p roses SCL terdapat hubungan “tarik-menarik” antara learner support dan learner 8 control. Hubungan tadi dap at dilihat p ada gambar di bawah ini:
Learner support
Intelligent tutoring systems Self-directed learning Contextualized tutoring
Domain-oriented design environments End-user modifiability
Learning on demand
Interactive learning environments
Learner control
Taksonomi intelligent tutoring systems meliputi hubungan fungsional dosen terhadap mahasiswa (tutor, p enasihat, kritik, memberi bantuan, konsultan, agen) dan aktivitas dosen (mengajar, membimbing, memberi visualisasi, menjelaskan, memberi 7 kritik, beradu p endap at, dan bahkan “menghambat”). M emp erhatikan taksonomi tadi maka dosen y ang terlibat di dalam p roses p embelajaran y ang berorientasi SCL perlu memiliki kearifan y ang sesuai dengan p roses y ang sedang berjalan. Di lain p ihak, p enanggung jawab institusi terdep an p erlu memp erhatikan seluruh aspek y ang terkait dan terlibat dalam proses pembelajaran (lihat gambar) agar seluruh kebijakan (policy) didasarkan atas kearifan y ang menjamin terselenggarany a proses pembelajaran secara kondusif, efisien, dan efektif. M enurut Wordnet Dictionary, kearifan adalah kemampuan untuk menggunakan p engetahuan atau p engalaman atau p engertian atau akal sehat dan wawasan dalam 9 konteks tertentu, sehingga memberi p encerahan. M asalahnya adalah bagaimana nilainilai kearifan itu dihay ati oleh dosen dan diaktual-kontekstualisasikan melalui sikap , p endap at, tingkah laku dan p erbuatan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban seharihari. Untuk itu dibutuhkan dukungan struktur dan kultur y ang kondusif, tersediany a suatu
Harsono – www.inp arametric.com
4
suasana dalam lingkungan kerja y ang memberi peluang bagi para dosen untuk mengembangkan standing dan tamp ilanny a (performance) sebagai ilmuwan, y ang harus 10 berp eran baik sebagai p engajar maup un sebagai pendidik. Perubahan mindset y ang kemudian berlanjut p ada tuntutan adany a kearifan dalam 11 implementasi SCL didasarkan atas p erbedaan-p erbedaan sep erti tercantum di bawah ini: Instructor-le d m ode l focuse s on:
Stude nt-ce nte red le arning focuse s on:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1. Problem-solving 2. Team skills 3. Learning how to learn 4. Continuous improvement 5. Interdisciplinary knowledge 6. Interacting & processing information 7. Technology integral learning
Facts Individual efforts Passing the test Achieving the grade Individual courses Receiving information Technology separate from learning
Di dalam rangkaian kebutuhan akan kearifan y ang berkaitan dengan p erubahan mindset, Jordan & Sp encer menyatakan bahwa “… student-centered learning demands that not only that teachers are experts in their fields but also – and more importantly – 12 that they understand how people learn”. Lebih jauh Harmon dan Hirumi menegaskan bahwa “…because of new emerging technologies such as networking and rapid access to vast stores of knowledge, the students can become active seekers rather than passive 6 recipients to knowledge”. Gambaran lain tentang p erbedaan antara traditional teaching dan student-centered learning adalah sebagai berikut: Traditional teaching
Stude nt-ce nte red le arning
A teacher-centered environment The teacher is in control Power and responsibility are primarily teachercentered The teacher is the instructor and decision maker
A student-centered environment Students are in control of their own learning Power and responsibility are primarily studentcentered The teacher is a facilitator and guide. The students are the decision makers The learning experience is often competitive in Learning may be co-operative, collaborative or nature. The competition is usually between students. independent. Students work together to reach a The students resent others using their ideas common goal. Students willingly help each other sharing / exchanging skills and ideas. Students compete with their own previous performance, not against peers Series of smaller teacher defined tasks organized Authentic, interdisciplinary projects and problems within separate subject discipline Learning takes place in the classroom Learning extends beyond the classroom The content is most important The way of information is processed and used is most important Students master knowledge through drill and Students evaluate, make decisions and are practice responsible for their own learning. Students master knowledge by constructing it Content is not necessarily learned in context Content is learned in a relevant context
Harsono – www.inp arametric.com
5
Kurikulum terpadu Di dalam SCL, kurikulum terpadu tidak dap at dihindarkan karena mahasiswa sebagai active learner ataup un active seeker tidak dap at dihambat dan bahkan harus didorong dan diberi p eluang untuk itu. Sebagai active & adult learner, mahasiswa akan menikmati p encarian informasi di luar materi y ang tersaji; dia akan mencari informasi y ang utuh dan kontekstual, tidak sep otong-sep otong. Peny usunan kurikulum terpadu memerlukan kerelaan p ara dosen p engamp u untuk “berasimilasi”. Para dosen p engamp u ini berasal dari p rogram studi dan jurusan y ang berbeda maup un y ang sama. Kemauan dan kerelaan dosen untuk “berasimilasi” guna meny usun “kurikulum baru” merup akan langkah awal kearifan. Perancangan dan p engembangan kurikulum terpadu harus memp erhatikan karakteristik aturan dasar y ang merup akan kombinasi antara metoda dan filosofi y ang dikenal sebagai SCL, sistem tutorial, dan belajar secara mandiri. Program elektif Di dalam SCL, program elektif merup akan hak p ara mahasiswa. Mereka harus diberi p eluang untuk memilih materi tambahan y ang sesuai dengan minat, bakat, dan kecakap an mereka serta relevan dengan lapangan kerja (the real setting). M ateri tambahan (sebagai kurikulum fakultas) harus disiap kan dan disediakan oleh institusi. Dari p rogram elektif ini mahasiswa belajar untuk mencari jati diriny a, dalam rangka professional maupun carrier development mereka. Dengan demikian p rogram elektif tidak lagi menjadi beban tambahan bagi p ara mahasiswa melainkan menjadi sesuatu yang menarik dan kemudian mendorong mereka untuk menemukan jati diri mereka. Di sinilah p eran kearifan (dalam asp ek pemikiran jauh ke dep an) pemegang tanggung jawab institusi (dekan, ketua jurusan, ketua p rogram studi) sangat dip erlukan. Kearifan dan kendala dalam implementasi SCL Implementasi SCL tidak akan terbebas dari keterbatasan atau kendala. Untuk mengantisip asi hal demikian ini maka dip erlukan kearifan dari p ara p enentu kebijakan. Dengan kearifan maka keterbatasan atau kendala diubah menjadi tantangan y ang harus diatasi atau diselesaikan secara bijaksana. Hal-hal y ang p erlu dip erhatikan oleh mereka adalah modus norma dan modus op erasional, norma ekstrinsik dan intrinsik, sumber day a manusia (mahasiswa, dosen, p egawai non-dosen), keanekaragaman sikap mental dan etika p rofesi, serta kebersamaan dalam key akinan, kebanggaan, semangat, gairah, dan 7 komitmen. Untuk meminimalisasi kendala imp lementasi inovasi maka strategi inovasi dan manajemen di LPT harus berp egangan p ada konsep harmonizing reality and idealism. Konsep ini dapat dijabarkan sebagai kombinasi strategi top-down, bottom-up, dan inside-out selama p roses difusi untuk mencap ai koherensi, kolegialitas dan 13 kepemilikan.
Harsono – www.inp arametric.com
6
Kearifan dalam kebudayaan lokal Untuk mengubah sesuatu y ang lama menjadi y ang baru diperlukan alasan dan tujuan y ang maton (rasional, tegas dan jelas). Di samping itu, dimensi sosial, ekonomi, p sikologik, p olitik, ruang, dan waktu perlu diperhatikan secara seksama. Sifat p erluny a p erubahan, ap akah sangat dip erlukan sehingga harus segera dilaksanakan atau sangat diperlukan namun dap at dilaksanakan secara perlahan-lahan, p erlu mendap at p erhatian dan p ersetujuan bersama. Kebuday aan Jawa memberi kontribusi y ang cukup bany ak terhadap nilai-nilai kearifan y ang p erlu dip ertimbangkan dalam melaksanakan p erubahan p aradigma di LPT. Kebat kliwat, alon-alon awewaton kelakon meny iratkan bahwa tercap ainy a tujuan (dengan dimensi waktu lambat) lebih p enting darip ada kecep atan p roses y ang nota bene memp uny ai risiko tinggi untuk meleset atau tidak mencap ai tujuan. Dalam konteks p erubahan p aradigma p endidikan, p esan tadi p erlu dikaji lebih mendalam karena SCL memerlukan p erubahan manajemen p endidikan secara total y ang tidak terlep as dari tujuan diselenggarakanny a p erubahan p aradigma dan dimensi waktu. Di dalam manajemen perubahan, ada p esan y ang p erlu dip erhatikan, ialah “p eganglah ikan tanp a mengeruhkan air” y ang meny iratkan tercap ainy a tujuan tanp a menggoy ahkan sistem. Kalau ingin mengimp lementasikan p esan tersebut maka diperlukan strategi y ang cukup rumit, karena ikan y ang akan dip egang p asti bergerak dan gerakan ikan tadi akan mengeruhkan air. Sementara itu, p esan “berhati-hatilah agar tidak tersandung tanah datar” menyiratkan kehati-hatian y ang esktrem sehingga p roses p embaharuan menjadi lamban atau bahkan terhenti karena sikap terlalu berhati-hati. “Sekali merengkuh day ung dua tiga p ulau terlamp aui” meny iratkan efisiensi kerja y ang p erlu dip ertimbangkan dalam p elaksanaan SCL. “Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” meny iratkan ketekunan dan konsistensi kerja sehingga p erubahan p aradigma dap at terwujud dalam waktu y ang terukur berikut hasil yang sesuai dengan keinginan institusi. Ing ngarsa sung tuladha (keletaladanan) ing madya mangun karsa (motivator), ing wuntat tut wuri handayani (fasilitator, dinamisator) merup akan filosofi p endidikan y ang tep at untuk imp lementasi SCL. Keteladanan, motivator dan fasilitator merup akan nilai-nilai kearifan y ang sangat dip erlukan dalam p elaksanaan SCL. Ajaran Ki Hadjar Dewantara ini p erlu dijabarkan secara op erasional agar dap at diimp lementasikan dalam SCL secara tep at. Ringkasan Setiap p erubahan p aradigma memerlukan kearifan y ang berakar p ada alasan dan tujuan diselenggarakanny a p erubahan p aradigma tadi. Dengan kearifan tadi maka p roses p embaharuan dilaksanakan dengan tetap menggunakan nilai-nilai kearifan yang terkait dengan langkah dan tatacara p embaharuan, serta tetap mengacu pada tujuan diselenggarakannya p erubahan paradigma. Seluruh kearifan y ang dituntut tidak akan terlep as dari kejujuran, kedewasaan, p engalaman, dan keadilan p engambil keputusan atau kebijakan. M engajak tanp a memaksa, mendorong tanpa mendesak, menjelaskan tanp a menggurui, memberi contoh tanp a maksud p amer, dan menilai tanpa maksud mencela
Harsono – www.inp arametric.com
7
merup akan nilai-nilai kearifan y ang perlu dipertimbangkan dalam p elaksanaan SCL. Kecerdasan kolektif sangat dip erlukan dalam p erubahan p aradigma dan mindset.
Kepustakaan 1. Pulley M L, Wakefield M. Building Resiliency : How to thrive in times of change. Center for Creative Leadership .2001. 2. Jacob T. Arif dan bijaksana. Focus Group Discussion: Kearifan Guru Besar, Keteladanan / Buday a Panutan; Universitas Gadjah M ada, 29 Oktober 2004. 3. Ludmerer KM . Learner-centered medical education. N Engl J Med 2004;351(12):1163-64. 4. Tiffin J, Rajasingham L. Purp ose of education; 2002. 5. Boelen C, Des Marchais JE, Dohner CW, Kantrowitz M P. Develop ing p rotocols for change in medical education. World Health Organization, Geneva 1995. 6. Harmon SW, Hirumi A. A sy stematic ap p roach to the integration of interactive distance learning into education and training. J Educ Business 1996;71(5):267-71. 7. Sudjarwadi. Catatan teori-teori tentang p embelajaran. Focus Group Discussion: Kearifan Guru Besar, Keteladanan / Buday a Panutan; Universitas Gadjah Mada, 29 Oktober 2004. 8. Fischer G, Palen L. Learner-centered design: bey ond “gift-wrap p ing”. Center for Lifelong Learning & Design University of Colorado at Boulder 1999. 9. Anony mous. M eaning of wisdom. Available on http://www.hy p erdictionary .com/search.asp x?Dict=&define=wisdom, 11/8/2004. 10. Siswomihardjo KW. Kearifan Guru Besar dalam p ersp ektif normatif dan aktualitasny a. Focus Group Discussion: Kearifan Guru besar, Keteladanan / Buday a Panutan; Universitas Gadjah M ada, 29 Oktober 2004. 11. Cook J, Cook L. How technology enhances the quality of student-centered learning. Quality Progress 1998;31(7):59-63. 12. Jordan R, Sp encer J. Learner-centered ap p roaches in medical education. BM J 1999;318:1280-83. 13. Uys PM , Nley a P, Molelu GB. Technological innovation and management strategies for higher education in Africa: harmonizing reality and idealism. Educ M edia International 2004;41 (1):68-80
Harsono – www.inp arametric.com
8