Kata Pengantar Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga penyusunan buku “Mengenal Kasus-kasus Endokrin Anak” dapat diselesaikan. Buku ini disusun sebagai salah satu upaya memperkenalkan kasus-kasus di bidang endokrinologi anak. Upaya ini dilakukan karena selama ini kasus-kasus endokrin anak relatif belum dikenal luas termasuk di kalangan medis baik dokter spesialis, dokter umum, maupun tenaga medis lain. Di samping itu pengenalan kasus-kasus endokrin anak ini juga untuk memberikan gambaran bahwa ilmu endokrinologi itu tidak sulit dipahami. Bahwa ada aspek-aspek genetik maupun biologi molekuler pada ilmu ini, juga tidak membuat ilmu ini otomatis sulit dimengerti karena memang perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran sekarang sangat pesat. Akhirnya, semoga penyusunan buku ini bermanfaat bagi yang membaca dan mempergunakannya dalam praktek sehari-hari. Kekurangan dan ketidaksempurnaan buku ini sangat mungkin ditemui. Untuk itu masukan, kritik dan saran akan kami terima untuk perbaikan lebih lanjut. Surakarta, 14 Agustus 2011 Penyusun
BAB I MENGENAL DIABETES MELITUS TIPE 1 PADA ANAK Annang Giri Moelyo, dr, SpA, MKes Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNS
[email protected] Pendahuluan Penyakit diabetes pertama kali dideskripsikan pada masa Mesir kuno lebih dari 3500 tahun yang lalu. Saat itu penyakit ini digambarkan sebagai ‘sangat banyak buang air kecil’. Sekitar 2000 tahun lalu, terdapat laporan dari Turki yang juga menyebutkan penyakit ini sebagai kehausan yang sangat serta kencing yang banyak. Pada tahun 1900, Stobolev di Rusia dan Opie di USA, pada waktu yang hampir bersamaan, menyebutkan bahwa diabetes mellitus terjadi akibat destruksi dari pulau-pulau Langerhans kelenjar pancreas (Brink SJ, dkk. 2010). Diabetes melitus secara definisi adalah keadaan hiperglikemia kronik. Hiperglikemia ini dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, di antaranya adalah gangguan sekresi hormon insulin, gangguan aksi/kerja dari hormon insulin atau gangguan kedua-duanya (Weinzimer SA, Magge S. 2005). Pada makalah ini akan dibahas gambaran umum tentang diabetes mellitus tipe 1, karena insidennya lebih banyak pada anak. Sedangkan diabetes mellitus tipe yang lainnya (tipe 2, gestasional ataupun tipe lain) tidak dibahas secara rinci. Epidemiologi Angka kejadian diabetes di USA adalah sekitar 1 dari setiap 1500 anak (pada anak usia 5 tahun) dan sekitar 1 dari setiap 350 anak (pada usia 18 tahun). Puncak kejadian diabetes adalah pada usia 5-7 tahun serta pada masa awal pubertas seorang anak. Kejadian pada laki dan perempuan sama (Weinzimer SA, Magge S. 2005). Insiden tertinggi diabetes mellitus tipe 1 terjadi di Finlandia, Denmark serta Swedia yaitu sekitar 30 kasus baru setiap tahun dari setiap 100.000 penduduk. Insiden di Amerika Serikat adalah 12-15/100 ribu penduduk/tahun, di Afrika 5/100.000 penduduk/tahun, di Asia Timur kurang dari 2/100 ribu penduduk/tahun (Weinzimer SA, Magge S. 2005). Insiden di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data registri nasional untuk penyakit DM pada anak dari UKK Endokrinologi Anak PP IDAI, terjadi peningkatan dari jumlah sekitar 200-an anak dengan DM pada tahun 2008 menjadi sekitar 580-an pasien pada tahun 2011. Sangat dimungkinkan angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa terdiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1 yang dilaporkan. Data anak dengan DM di Subbagian endokrinologi anak IKA FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2008-2010 adalah sebanyak 11 penderita Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 1
DM dengan rincian 4 meninggal karena KAD (semuanya DM tipe 1). Sedangkan 6 anak yang hidup sebagai penderita DM terdiri dari 3 anak DM tipe 1 serta 4 anak DM tipe 2. Klasifikasi International Society of Pediatric and Adolescence Diabetes dan WHO merekomendasikan klasifikasi DM berdasarkan etiologi (Tabel 1). DM tipe 1 terjadi disebabkan oleh karena kerusakan sel β-pankreas. Kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh proses autoimun maupun idiopatik. Pada DM tipe 1 sekresi insulin berkurang atau terhenti. Sedangkan DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin. Pada DM tipe 2 produksi insulin dalam jumlah normal atau bahkan meningkat. DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan sindrom resistensi insulin lainnya seperti obesitas, hiperlipidemia, akantosis nigrikans, hipertensi ataupun hiperandrogenisme ovarium (Rustama DS, dkk. 2010).
Tabel 1. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi (ISPAD 2009). I.
II. III.
DM Tipe-1 (destruksi sel- ) a. Immune mediated b. Idiopatik DM tipe-2 DM Tipe lain a. Defek genetik fungsi pankreas sel b. Defek genetik pada kerja insulin c. Kelainan eksokrin pankreas Pankreatitis; Trauma/pankreatomi; Neoplasia; Kistik fibrosis; Haemokhromatosis; Fibrokalkulus pankreatopati; Dan lain-lain d. Gangguan endokrin Akromegali; Sindrom Cushing; Glukagonoma; Feokromositoma; Hipertiroidisme; Somatostatinoma; Aldosteronoma; Dan lain-lain e. Terinduksi obat dan kimia Vakor; Pentamidin; Asam Nikotinik; Glukokortikoid; Hormon tiroid; Diazoxid; Agonis -adrenergik; Tiazid; Dilantin; -interferon; Dan lain-lain Diabetes mellitus kehamilan
IV. Sumber: ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009.
Kriteria Diagnosis Diabetes melitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan gejala (polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu kali sudah Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 2
dapat menegakkan diagnosis DM. Sedangkan bila tanpa gejala, maka diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang berbeda (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009). Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah: 1. Kadar gula darah sewaktu >200 mg/dl atau 2. Kadar gula darah puasa >126 mg/dl atau 3. Kadar gula darah 2 jam postprandial >200 mg/dl. Untuk menegakkan diagnosis DM tipe 1, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, yaitu C-peptide <0,85 ng/ml. C-peptide ini merupakan salah satu penanda banyaknya sel β-pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan lain adalah adanya autoantibodi, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic acid decarboxylase autoantibodies (65K GAD), IA2 ( dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine posphatase) autoantibodies dan Insulin autoantibodies (IAA). Adanya autoantibodi mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya pemeriksaan autoantibodi ini relatif mahal (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009) Perjalanan penyakit Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines tahun 2009, yaitu: Periode pra-diabetes Periode manifestasi klinis diabetes Periode honey-moon Periode ketergantungan insulin yang menetap Periode pra-diabetes Pada periode ini gejala-gejala klinis diabetes belum nampak karena baru ada proses destruksi sel β-pankreas. Predisposisi genetik tertentu memungkinkan terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan mulai berkurangnya sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-peptide mulai menurun. Pada periode ini autoantibodi mulai ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium. Periode manifestasi klinis Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Karena sekresi insulin sangat kurang, maka kadar gula darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula darah yang melebihi 180 mg/dl akan menyebabkan diuresis osmotik. Keadaan ini menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit melalui urin (poliuria, dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak dapat di-uptake ke dalam sel, penderita akan merasa lapar (polifagi), tetapi berat badan akan semakin kurus. Pada periode ini penderita memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-uptake ke dalam sel. Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 3
Periode honey-moon Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode ini sisasisa sel β-pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan berkurang hingga kurang dari 0,5 U/kg berat badan/hari. Namun periode ini hanya berlangsung sementara, bisa dalam hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu adanya edukasi pada orang tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang menetap. Periode ketergantungan insulin yang menetap Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. Pada periode ini penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh seumur hidupnya. Pitfall dalam diagnosis Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala awalnya tidak terlalu khas dan mirip dengan gejala penyakit lain. Di samping kemiripan gejala dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis juga tidak menyadari kemungkinan penyakit ini karena jarangnya kejadian DM tipe 1 yang ditemui ataupun belum pernah menemui kasus DM tipe 1 pada anak. Beberapa gejala yang sering menjadi pitfall dalam diagnosis DM tipe 1 pada anak di antaranya adalah: 1. Sering kencing: kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran kemih atau terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan ini adalah adanya enuresis (mengompol) setelah sebelumnya anak tidak pernah enuresis lagi. 2. Berat badan turun atau tidak mau naik: kemungkinan diagnosis adalah asupan nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain. Hal ini disebabkan karena masih tingginya kejadian malnutrisi di negara kita. Sering pula dianggap sebagai salah satu gejala tuberkulosis pada anak. 3. Sesak nafas: kemungkinan diagnosisya adalah bronkopnemonia. Apabila disertai gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria. Padahal gejala sesak nafasnya apabila diamati pola nafasnya adalah tipe Kusmaull (nafas cepat dan dalam) yang sangat berbeda dengan tipe nafas pada bronkopnemonia. Nafas Kusmaull adalah tanda dari ketoasidosis. 4. Nyeri perut: seringkali dikira sebagai peritonitis atau apendisitis. Pada penderita DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan ketoasidosis. 5. Tidak sadar: keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan pada kemungkinan diagnosis seperti malaria serebral, meningitis, ensefalitis, ataupun cedera kepala (Brink SJ, dkk. 2010)
Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 4
Pilar-pilar Manajemen DM Tipe 1 Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain selain insulin yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines. 2009) Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu: 1. Insulin 2. Diet 3. Aktivitas fisik/exercise 4. Edukasi 5. Monitoring kontrol glikemik 1. Insulin Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita DM Tipe 1. Dalam pemberian insulin perlu diperhatikan jenis insulin, dosis insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis yang diperlukan. a. Jenis insulin: kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin campuran (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah). Penggunaan jenis insulin ini tergantung regimen yang digunakan. b. Dosis insulin: dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1 unit/kg berat badan pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan diatur disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada penyakitnya maupun penderitanya. c. Regimen: kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix-split regimen dapat berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari. Sedangkan regimen intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada regimen basal bolus dibedakan antara insulin yang diberikan untuk memberikan dosis basal maupun dosis bolus. d. Cara menyuntik: terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam hal absorpsinya yaitu di daerah abdomen (paling baik absorpsinya), lengan atas, lateral paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling buruk absorpsinya. e. Penyesuaian dosis: Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia pubertas (terkadang kebutuhan meningkat hingga 2 unit/kg berat badan/hari), kondisi stress maupun saat sakit. 2. Diet Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 5
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya untuk mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri dari 5055% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM tipe 1 asupan kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis insulin yang diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori perhari sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Ada beberapa anjuran pengaturan persentase diet yaitu 20% makan pagi, 25% makan siang serta 25% makan malam, diselingi dengan 3 kali snack masing-masing 10% total kebutuhan kalori perhari. Pemberian diet ini juga memperhatikan regimen yang digunakan. Pada regimen basal bolus, pasien harus mengetahui rasio insulin:karbohidrat untuk menentukan dosis pemberian insulin. 3. Aktivitas fisik/exercise Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan berolahraga akan membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan berat badan apabila menjadi obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga akan membantu menurunkan kadar gula darah serta meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin. Namun perlu diketahui pula bahwa olahraga dapat meningkatkan risiko hipoglikemia maupun hiperglikemia (bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak DM memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjalankan olahraga, di antaranya adalah target gula darah yang diperbolehkan untuk olahraga, penyesuaian diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman. Apabila gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta didapatkan adanya ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula darah di bawah 90 mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambahkan diet karbohidrat untuk mencegah hipoglikemia. 4. Edukasi Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya, patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin (regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek samping penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah ataupun HbA1c yang diinginkan. 5. Monitoring kontrol glikemik Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan sudah baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki kualitas hidup pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah berkala dalam sehari. Setiap 3 bulan memeriksa HbA1c. Di samping itu, efek samping pemberian Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 6
insulin, komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan perkembangan perlu dipantau Tabel 2. Target kontrol metabolik pada anak dengan DM tipe 1 Target Baik Baik Sedang Kurang metabolik sekali Preprandial
<120 <140 mg/dL mg/dL Postprandial <140 <200 Urin reduksi HbA1c <7% 7-7.9% Sumber: Rustama DS, dkk. 2010.
<180
>180
<240 +8-9%
>240 >+ >10%
Penutup Penderita terbanyak diabetes mellitus tipe 1 adalah usia anak dan remaja. Perlu kewaspadaan pada tenaga medis mengenai penyakit ini maupun komplikasi yang mungkin terjadi yang seringkali salah diagnosis. Keterlambatan dalam diagnosis akan berakibat fatal bagi keselamatan jiwa penderita DM tipe 1.
Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 7
Daftar Pustaka Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children and adolescents, basic training manual for healthcare professionals in developing countries, 1st ed. Argentina: ISPAD, h 20-21. Weinzimer SA, Magge S (2005). Type 1 diabetes mellitus in children. Dalam: Moshang T Jr. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Mosby Inc, h 3-18. Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N (2010). Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta: Sagung Seto 2010, h 124-161. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009. Pediatric Diabetes 2009: 10.
Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 8
BAB 2 MENGENAL HIPOTIROID KONGENITAL Annang Giri Moelyo, dr, SpA, MKes Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNS
[email protected]
Definisi dan Epidemiologi Hipotiroid adalah keadaan yang disebabkan oleh kurangnya produksi hormon tiroid atau kelainan aktivitas reseptor hormon tiroid. Hipotiroid kongenital adalah kelainan fungsi tiroid yang terjadi sebelum atau saat lahir. Berdasarkan penyebabnya dapat dibagi hipotiroid primer, sekunder dan tersier. Hipotiroid primer terjadi apabila kelainan terdapat pada kelenjar tiroid. Hipotiroid sekunder terjadi kelainan pada kelenjar hipofisis, dan hipotiroid tersier terjadi kelainan pada hipotalamus (LaFranchi S. 2000). Prevalensi di seluruh dunia sekitar 1:3000-4000. Pada penderita sindroma Down insiden hipotiroid kongenital lebih tinggi, yaitu 1:141. Tidak ada perbedaan kasus ini berdasarkan jenis kelamin, tetapi penelitian lain mengatakan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, yaitu 2:1. (LaFranchi S. 2000; Fort PF, Brown RS. 1996; Fadil R. 2005; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005)
Patogenesis Kelenjar tiroid mulai berkembang pada umur 24 hari gestasi sebagai suatu divertikulum, yaitu suatu pertumbuhan dari endoderm pada bucopharyngeal cavity. Kelenjar tiroid yang berkembang turun pada leher anterior, pada branchial pouches ke-4 dan mencapai posisi orang dewasa setinggi C5-7 pada minggu ke-7 gestasi. Proses migrasi dari faring posterior ke leher anterior ini dapat terhenti yang mengakibatkan timbulnya kelenjar tiroid ektopik (Fadil R. 2005; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005). Pada umur gestasi 10-11 minggu, kelenjar tiroid fetal sudah mampu menghasilkan hormon tiroid, namun kadarnya masih sedikit. Saat gestasi 18-20 minggu, kadar T4 (tiroksin) dalam sirkulasi fetus sudah mencapai kadar normal, pada masa ini aksis pituitari-tiroid fetal secara fungsional sudah bebas dari pengaruh aksis pituitari-tiroid maternal. Produksi T3 (triiodotironin) tergantung dari maturasi enzim deiodinase hepar, yaitu sekitar umur 30 minggu gestasi (Fort PF, Brown RS. 1996; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005). Kelenjar tiroid memerlukan tirosin dan iodium untuk membuat T4 dan T3, iodium masuk ke dalam sel folikel kelenjar tiroid dengan cara transport aktif. Di dalam sel, iodium akan dioksidasi oleh enzim tiroid peroksidase menjadi iodida. Kemudian terjadi organifikasi, yaitu iodida akan berikatan dengan molekul tirosin sehingga terbentuk Monoiodotirosin (MIT) dan Diiodotirosin (DIT). Kemudian terjadi proses coupling. Dua molekul DIT akan membentuk tetraiodotironin=tiroksin (T4) dan satu molekul MIT dengan satu molekul DIT akan
Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 1
membentuk triiodotironin (T3). Tiroglobulin dengan T3 dan T4 berikatan dan disimpan dalam lumen folikel.4 TSH akan mengaktifkan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk melepaskan ikatan T3 dan T4 dari tiroglobulin. T4 merupakan hormon utama yang diproduksi dan dilepaskan oleh kelenjar tiroid dan hanya 10-40% dari T3 dalam sirkulasi yang dilepaskan oleh kelenjar tiroid, sedangkan sisanya dihasilkan dari proses monodeiodonisasi dari T4 di kelenjar perifer. (Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001; Guyton AC. 1995). T3 merupakan mediator utama yang mempunyai efek biologis dari kelenjar tiroid dengan mengadakan interaksi dengan reseptor nuclear specific. Bila terjadi abnormalitas dari reseptor tersebut akan mengakibatkan terjadinya hormon tiroid resisten. Pemeriksaan T3 dilakukan apabila dicurigai adanya resisten hormon tiroid yaitu ditemukan gejala klinis hipotiroid namun kadar T4 dan TSH-nya normal, serta dibuktikan tidak adanya kelainan kadar T3 (Fadil R. 2005; Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005; Guyton AC. 1995). Pengaruh kadar hormon tiroid ibu terhadap fetus sangat minimal, tapi penyakit tiroid ibu dapat mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid fetus atau neonatus. Hormon T4 dapat melewati plasenta secara bebas, sedangkan hormon-hormon tiroid lain tidak (LaFranchi S. 2000). Autoantibodi IgG pada ibu penderita tiroiditis autoimun dapat melewati plasenta dan akan menghambat fungsi kelenjar tiroid fetus (Dussault JH, Fisher DA. 1999). Tiamin yang dipakai untuk terapi hipertiroid dapat memblok sintesis hormon tiroid fetal, tapi kebanyakan hal ini bersifat transien. Iodium radioaktif yang dipakai ibu hamil akan merusak kelenjar tiroid fetus secara permanen (Fadil R. 2005; Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001). Obat-obat lain yang dapat mempengaruhi kelenjar tiroid adalah litium, estrogen, testosteron, salisilat dan antikonvulsan (karbamazepin, fenobarbital, difenilhidantoin, fenitoin) (Rossi WC, Caplin N, Alter CA 2005; Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001). Hormon tiroid memberikan efek yang luas pada pertumbuhan, perkembangan dan metabolisme, termasuk perubahan konsumsi oksigen, metabolisme protein, karbohidrat, lipid dan vitamin (Rossi WC, Caplin N, Alter CA. 2005; Guyton AC. 1995). Hormon tiroid diperlukan untuk pertumbuhan otak dan proses mielinisasi dari sistem konektivitas jaringan saraf. Periode kritis terbesar untuk perkembangan otak akan dipengaruhi hipotiroid, yaitu pada beberapa minggu atau bulan setelah lahir (Fadil R. 2005). Etiologi Etiologi dari hipotiroid kongenital tidak selalu mudah diketahui. Beberapa etiologi adalah sebagai berikut: - tiroid agenesis, tiroid disgenesis (aplasia, hipoplasia), tiroid ektopik sekitar 75-85%. - dishormogenesis (TSH unresponsiveness, iodine trapping defect, defek organifikasi, defek tiroglobulin, defisiensi atau insensitif terhadap TRH) sekitar 10-18%. - disfungsi aksis hipotalamik-pituitari-tiroid sekitar 5%. - transplasental obat antitiroid dari ibu ke bayi (iodium, obat-obatan atau antibodi ibu) sekitar 10%. - resistensi jaringan perifer terhadap hormon tiroid. - ibu yang mengkonsumsi makanan goitrogenik (Fadil R. 2005; Djemli A, dkk. 2004; Caron P, dkk. 2003; Unachak K, Dejkhamron P. 2004).
Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 2
Manifestasi Klinis Manifestasi klinik tergantung dari tingkat fungsi kelenjar tiroid. Gejala hipotiroid yang khas seringkali ringan atau tidak ada selama minggu-minggu pertama kehidupan. Hanya 1015% bayi baru lahir dengan hipotiroid yang terlihat secara klinis (Fort PF, Brown RS. 1996). Manifestasi klinis awal berupa letargi, malas minum, kurang aktif, distres pernafasan, hipotonia otot, fontanel anterior dan posterior terbuka dan lebar, pucat, sianosis perifer, suara tangis serak, konstipasi, hipotermi, dan prolonged physiologic jaundice (Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS. 2001). Manifestasi klinis lanjut berupa depresi nasal bridge, muka yang sempit (narrow forehead), kelopak mata bengkak, kulit kasar tebal dan kering, rambut kasar, lidah besar, distensi abdomen, hernia umbilikalis, refleks menurun, bradikardia, kardiomegali, efusi perikardial asimtomatik, hipotensi, gangguan tekanan nadi, tuli neurosensoris, anemia tak berespon terhadap besi, dapat terjadi slipped capital femoral epiphysis, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, retardasi mental, maturasi seksual terlambat, Kocher-Debre semeliain syndrom yang terdiri dari hipertropi seluruh otot sehingga anak seperti Herculean appearance (Fadil R. 2005; Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS. 2001). Pemeriksaan penunjang 1. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan darah rutin/darah perifer lengkap dan fungsi tiroid (TSH, T4, T3, TBG). Pemeriksaan fungsi tiroid yang diperiksa untuk hipotiroid adalah TSH, T4 total (TT4), atauT4 bebas (fT4). Kadar TSH normal di bawah 20-25 uU/ml setelah 24 jam pertama kehidupan. Bila kadar TSH antara 25-50 uU/ml maka perlu evaluasi lebih lanjut seperti kadar T4. Bila kadar TSH>50 uU/ml kemungkinan hipotiroid kongenital sangat besar. Pada pasien ini kadar TSH 494,46 uIU/ml, sehingga didiagnosis hipotiroid kongenital primer. Kadar TSH yang sangat tinggi dan kadar fT4 yang sangat rendah kebanyakan karena atireosis/aplasia tiroid,19 dan hasil dari USG pasien menyokong diagnosis adanya disgenesis kelenjar tiroid (hipoplasia). Hasil pemeriksaan kadar AMA dan ATA yang negatif, menyingkirkan adanya hipotiroid yang didapat (Fadil R. 2005; Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS. 2001). Anemia sering terjadi pada pasien hipotiroid. Biasanya anemia normositik normokrom, terkadang mikrositik karena penurunan absorpsi besi, atau makrositik karena defisiensi folat dan kobalamin. Gambaran sumsum tulang tampak lemak lebih banyak dan hiposeluler, sedangkan eritropoesis biasanya normoblastik. Pada anemia makrositik dan sumsum tulang megaloblastik perlu dipikirkan adanya penyakit autoimun sehingga antibodi melawan sel parietal sebagaimana melawan kelenjar tiroid.Terapi hormon biasanya cukup efektif memperbaiki anemia tsb (Lane PA, Nuss R, Ambruso DR. 2001; Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS. 2001; Lanzkowsky P. 1995).
Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 3
2. Radiologis: Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui beberapa gejala dari hipotiroid, seperti adanya kardiomegali pada foto toraks, umur tulang yang terlambat (delayed bone age) (Fadil R. 2005). 3. Sidik tiroid: Sintigrafi atau sidik tiroid menggunakan Tc99 atau I123 yang dapat membantu menentukan etiologi hipotiroid kongenital. Tidak adanya uptake radionuclide memberikan kemungkinan sporadic athyroid hipotiroidism, tiroid ektopik di lingual atau sublingual (Fadil R. 2005). 4. USG: Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pengganti sidik tiroid tapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan adanya tiroid ektopik ((Fadil R. 2005). Pengobatan Tindakan utama pengobatan hipotiroid kongenital adalah diagnosis dini dan replacement hormon tiroid. Waktu paling baik pemberian hormon tiroid bila diagnosis dapat ditegakkan sebelum bayi berumur 13 hari dan kadar hormon tiroid dalam darah mencapai normal dalam umur 3 minggu (Topliss DJ, Eastman CJ. 2004; Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS. 2001). Obat yang diberikan adalah Na-levotiroksin. Dosis obat berbeda-beda menurut umur pasien dan juga berdasarkan respon klinis maupun laboratorium terhadap terapi yang diberikan. Dosis: umur 0-3 bulan 3-6 bulan 6-12 bulan 1-5 tahun 6-12 tahun >12 tahun
dosis (ug/kg) 10-15 8-10 6-8 5-6 4-5 2-3
Tanda-tanda overtreatment yang harus dievaluasi selama terapi hormon adalah nervousness, hiperaktif, kecemasan, takikardia, palpitasi, tremor, demam, diaforesis, keluhan di perut, berat badan menurun. Prognosis Diagnosis seawal mungkin dan terapi yang adekuat akan memberikan hasil yang lebih baik (Caron P, dkk. 2003; Narendra MB. 2002).Meskipun demikian, studi menunjukkan bahwa walaupun diterapi sedini mungkin dikatakan tetap ada kelainan intelektual meski sedikit (Hanukoglu A, dkk. 2001).
Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 4
DAFTAR PUSTAKA LaFranchi S (2000). Disorders of the thyroid gland. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadephia:WB Saunders Co;1696-1705. Fort PF, Brown RS (1996). Thyroid disorders in infancy. Dalam:Lifshitz F. Pediatric Endocrinology. Edisi ke-3. New York: Marcel Dekker Inc:369-381. Fadil R (2005). Hipotiroid kongenital. Dalam: Simposium peran endokrinologi anak dalam proses tumbuh kembang anak. Padang: Bagian IKA FK Unand bekerjasama dengan UKK Endokrinologi Anak IDAI. h. 8-17. Djemli A, Fillion M, Belgoudi J, Lambert R, dkk (2004). Twenty years later: a reevaluation of the contribution of plasma thyroglobulin to the diagnosis of thyroid dysgenesis in infants with congenital hypothyroidism. Clinical Biochemistry.37:818– 822. Rossi WC, Caplin N, Alter CA (2005). Thyroid disorders in children. Dalam:Moshang T, Jr. Pediatric endocrinology: the requisites in pediatrics. Edisi 1. Missouri: Mosby Inc.h.171-190. Caron P, Moya CM, Malet D, Gutnisky VJ, Chabardes B, Rivolta CM, Targovnic HM (2003). Compound heterozygous mutations in the thyroglobulin gene (1143delC and 6725G3A [R2223H]) resulting in fetal goitrous hypothyroidism. J Clin Endocrinol Metab.88:3546–3553. Unachak K, Dejkhamron P (2004). Primary congenital hypothyroidism: clinical characteristics and etiological study. J Med Assoc Thai.87(6):612-617. Topliss DJ, Eastman CJ (2004). Diagnosis and management of hyperthyroidism and hypothyroidism. MJA 2004;180:186–193. Lane PA, Nuss R, Ambruso DR (2001). Hematologic disorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer MJ, editor. A Lange medical book: Current pediatric diagnosis & treatment.Edisi 15.New York:McGraw-Hill Inc. h.750-751. Guyton AC (1995). Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.h.677686. Dussault JH, Fisher DA (1999). Thyroid function in mothers of hypothyroid newborns. Obstet Gynecol.93:15–20. Kappy MS, Steelman JW, Travers SH, Zeitler PS (2001). Endocrine disorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer MJ, editor. A Lange medical book: Current pediatric diagnosis & treatment. Edisi 15. New York: McGraw-Hill Inc.h.843-845. Hanukoglu A, Perlman K, Shamis I, Brnjac L, Rovet J, Daneman D (2001). Relationship of etiology to treatment in congenital hypothyroidism. J Clin Endocrinol Metab.86:186–191. Lanzkowsky P (1995). Manual of pediatric haematology and oncology. Edisi ke-2. New York: Churchill Livingstone Inc.h.66-67.
Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 5
Narendra MB (2002). Penilaian dan perkembangan anak. Dalam: Narendra MB, Sularyo T, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IGN, editor. Tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi ke-1. Jakarta: CV Sagung Seto.h.95-111.
Annang Giri Moelyo,dr, SpA, MKes – Fakultas Kedokteran UNS
Page 6