i
KATA PENGANTAR Buku “Fermentasi dan Teknologi Enzim” ini ditulis untuk mahasiswa Strata 1 khususnya di Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri, yang merupakan buku pegangan untuk memahami fermentasi dan teknologi enzim secara umum. Buku Fermentasi dan Teknologi Enzim ini diharapkan dapat digunakan mahasiswa untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca yang tertarik dengan bidang fermentasi. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Orangtua yang telah membantu baik secara moril dan materil 2. Dr. Sri Handayani, M.Pd selaku Kepala Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri, Fakultas Pendidikan Teknologi Agroindustri, Universitas Pendidikan Indonesia. 3. Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Teknologi Agroindustri Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam buku ini, oleh karena itu saran-saran untuk melengkapi ataupun memperbaikinya sangat diharapkan. Akhir kata semoga buku ajar ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan di program studi Pendidikan Teknologi Agroindustri dan semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ......................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 BAB II FERMENTASI dan TEKNOLOGI ENZIM .................................................... 2 2.1 FERMENTASI.................................................................................................... 2 2.2 TEKNOLOGI ENZIM ...................................................................................... 11 BAB III PRODUK HASIL FERMENTASI dan CARA PEMBUATANNYA .......... 14 3.1 Keju ................................................................................................................... 14 3.2 Tape ................................................................................................................... 23 3.3 Yoghurt ............................................................................................................. 26 3.4 Nata de coco ...................................................................................................... 28 3.5 Asinan sayur ...................................................................................................... 32 3.6 Saurkraut ........................................................................................................... 34 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 36
iii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Hubungan Antara Jumlah Asam Dan Pertumbuhan ,Mikroba Pada Susu...4 Gambar 2. Lintasan Pada Proses Fermentasi………...…………………...………….. 7 Gambar 3. Mikroba Yang Barperan Pada Fermentasi Minuman Susu ………………. 10 Gambar 4. Contoh Fermentasi Alkohol atau Campuran Alkohol dan Asam…......…11 Gambar 5. Diagram alir pembuatan keju ………….………………………………...15 Gambar 6. Contoh produk tape singkong ……………………...................................23 Gambar 7. Diagram alir pembuatan tapai singkong …………... …………………..,26 Gambar 8. Skema Pembuatan Yoghurt Buah …………………………………….....27 Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Nata De Coco………………………………....32 Gambar 10. Diagram Pembuatan Asinan Sayur…………………………………..…33 Gambar 11. Diagram Pembuatan Saurkraut
iv
………………………………………35
DAFTAR TABEL Tabel 1. Beberapa Makanan Hasil Fermentasi dan Mikroba yang Aktif Melakukan Fermentasi……………………………………………….…………………1 Tabel 2. Contoh Fermentasi Asam Laktat ………….…………………………….…..8 Tabel 3. Komposisi Ubi Kayu (per 100 gram bahan)…….…………………..……...24 Tabel 4. Nilai Beberapa Senyawa Utama Penyusun Susu dan Yoghurt….………….28
v
BAB I PENDAHULUAN Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang sangat penting untuk menhasilkan energy guna melakukan suatu kegiatan. kebutuhan akan makanan antara setiap individu masyarakat diperoleh dari hewani maupun nabati yang didalamnya mengandung karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin dan air. Seiring perkembangan teknologi maka banyak produk makanan yang dikonsumsi tidak hanya mentahannya saja melainkan sudah diolah terlebih dahulu menjadi berbagai bentuk dan jenis makanan lain. Salah satu teknologi pengolahan makanan adalah dengan cara fermentasi. Di Indonesia makanan-makanan yang dibuat dengan cara fermentasi umumnya tidak menggunakan kultur murni. Sebagai contoh misalnya, ragi pasar mengandung beberapa ragi diantaranya Saccharomyces cerevisiae yang dicampur dengan menggunakan tepung beras yang dikeringkan. Kultur murni yang biasanya digunakan dalam proses fermentasi misalnya, untuk pembuatan anggur, bir, cuka, sosis, roti dan lain-lain. Selain itu proses fermentasi juga dilakukan dengan bantuan mikroorganisme dengan cara menguraikan berbagai senyawa pada substrat organic yang sesuai dalam bahan makanan tersebut. Berbagai jenis mikroorganisme yang sering digunakan dalam proses permentasi dapat dilihat pada Tabel 1. Table 1 Beberapa Makanan Hasil Fermentasi dan Mikroba yang Aktif Melakukan Fermentasi Macam makanan
Bahan dasar
Mikroba yang aktif
Kecap
Kedelai
Aspergillus oryzae
Keju
Susu
Streptococcus lactis
Tauco
Kedelai
Aspergillus
oryzae
dan
beberapa bakteri Tempe
Kedelai
Rhizopus oligosporus
Yoghurt
Susu
Lactobacillus bulgaricus
Sumber : Winarno, Ferdiaz dan Fardio, 1980
1
BAB II FERMENTASI dan TEKNOLOGI ENZIM 2.1 FERMENTASI Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organic yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Pada mulanya yang dimaksud fermentasi adalah pemecahan gula-gula menjadi alcohol dan CO2 tetapi banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu menggunakan substrat gula dan menghasilkan alcohol serta CO2. Hasilhasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan pangan, substrat, macam mikroba dan kondisi disekelilingnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. (Rahman anshori, 1992). PERUBAHAN-PERUBAHAN SELAMA FERMENTASI Mikroba yang bersifat fermentative dapat mengubah karbohidtrat turunanturunannya terutama menjadi alcohol, asam dan CO2. Mikroba protelitik dapat memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak diinginkan, sedangkan mikroba lipopilik akan memecah atau menghadrolisa lemak, fosfoliida dan turunannya dengan menghasilkan bau yang tengik. Bila alcohol dan asam yang dihasilkan oleh mikroba fermentative cukup tinggi maka pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik dapat dapat dihambat. Jadi prinsip pengawetan pangan dengan cara fermentasi sebenarnya adalah mengaktifkan pertumbuhan dan metabolism dari mikroba pembentukan alcohol dan asam dan menekan pertumbuhan mikroba protelitik dan lipolitik. Fermentasi
gula
oleh
ragi
misalnya
Saccharomyces
cerevisiae
dan
Saccharomyces ellipsoideus dapat menghasilkan etil alcohol dan CO2 melalui reaksi sebagai berikut : Ragi C6H12O6
2C2H5OH + 2 CO2 Enzim
2
Reaksi ini merupakan dasar dari pembuatan tape, brem, tuak, anggur, bir, roti dan lai-lain. Alcohol yang berasal dari fermentasi ragi dengan adanya oksigen mengalami fermentasi lebih lanjut oleh bakteri misalnya Acetobacter aceti menjadi asam asetat seperti berikut : mikroba 2C2H5OH+ O2
CH3COOH + H2O
Reaksi ini biasanya timbul pada pembuatan asam cuka atau cuka dapur. Gula yang terdapat di dalam susu dfermentasi oleh bakteri Streptococcus lactis menghasilkan asam laktat
yang menyebabkan turunannya pH sehingga akan
mengendapkan “curd” susu. Reaksi tersebut terjadi pada waktu pembuatan keju. Asam yang dihasilkan dari fermentasi ini dengan adanya oksigen dapat dipecah lebih lanjut oleh kapang. Jika hal ini terjadi maka peranan asam sebagai pengawet melawan mikroba lainnya akan berkurang atau hilang. Protein dipecah oleh bakteri proteolitik misalnya Proteus vulgaris
atau
mikroba lainnya menghasilkan bermacam-macam komponen yang mengandung nitrogen dan memberikan bau busuk pada makanan, misalnya NH3. Bau busuk pada kotoran juga disebabkan oleh karena adanya pemecahan protein, misalkan protein yang mengandung asam amino tryptopan di dalam perut besar dipecah menjadi senyawa indol dan skatol yang berbau busuk. Lemak dapat dipecah oleh bakteri lipolitik misalnya Alcoliigenes lipolyticus atau mikroorganisme lainnya menghasilkan asam-asam lemak. Pemecahan ini dapat menyebabkan bau tengik pada makanan. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FERMENTASI a) Asam Makanan yang mengandung asam biasanya tahan lama, tetapi jika oksigen cukup jumlahnya dan kapang dapat tumbuh serta fermentasi berlangsung terus, maka daya awet dari asam tersebut akan hilang. Pada keadaan ini mikroba proteolitik dan lipopilik dapat berkembang biak. Sebagai contoh misalnya susu segar yang pada umumnya akan terkontaminasi dengan beberapa macam mikroba. Dalam hal ini yang dominan mula-mula adalah Streptococcus lactis sehingga dapat menghasilkan asam
3
laktat (Gambar 1). Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri. Oleh karena itu bakteri tersebut akan menjadi inaktif sehingga kemudian akan tumbuh bakteri jenis Lactobacillus yang lebih toleran terhadap asam daripada Streptococcus. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk “curd” susu.
Gambar 1. Hubungan Antara Jumlah Asam Dan Pertumbuhan ,Ikroba Pada Susu. Pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolysis, sehingga keduanya akan menurunkan asam sampai titik dimana bakteri pembusukan proteolitik dan lipolitik akan mencerna :curd” dan menghasilkan gas serta bau busuk. b) Alcohol Kandungan alcohol yang terbentuk selama fermentasi anggur tergantung pada kandungan gula didalam buah anggur, macam ragi, suhu fermentasi dan jumlah oksigen. Seperti juga mikroba lainnya yang menghasilkan asam ragi tidak tahan
4
terhadap alcohol dalam kepekaan tertentu. Sebagai contoh misalnya anggur asli biasanya mengandung alcohol 9-13% dari hasil fermentasi. Oleh karena itu jumlah ini tidak cukup digunakan sebagai pengawet, maka anggur harus dipasteurisasi atau ditambahkan alcohol untuk mencapai konsentrasi 20%. c) Mikroba Fermentasi biasanya dilakukan dengan menggunakan kultur murni yang dihasilkan dilaboratorium. Kultur ini dapat disimpan dalam keadaan kering atau dibekukan, misalnya kultur murni dari bakteri asam laktat untuk membuat keju. Akan tetapi kadang-kadang tidak menggunakan kultur murni untuk fermentasi sebagai starter. Misalnya pada pembuatan tempe atau oncom digunakan hancuran tempe da noncom yang sudah jadi, pada penggumpalan susu untuk membuat keju dilakukan dengan memasukan “curd” yang telah menggumpal kedalam cairan susu atau pada pembuatan anggur. Diindonesia makanan yang dibuat dengan cara fermentasi pada umumnya tidak menggunakan kultur murni. d) Suhu Suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan selama fermentasi. Misalnya fermentasi pada pembuatan sayur asin sangat sensitive terhadap perubahan suhu. Jika konsentrasi asam yang dikehendaki terlah tercapai. Maka suhu dapat dinaikan untuk menghentikan fermentasi. e) Oksigen Udara atau oksigen selama proses fermentasi harus diatur sebaik mungkin untuk memperbanyak atau menhambat pertumbuahan miroba tertentu misalnya Acetobacter yang penting dalam pembuatan cuka adalah bakteri aerobic yaitu bakteri yang memerlukan oksigen atau ragi yang menghasilkan alcohol dari gula akan lebih baik dalam keadaan anaerobic. Pertumbuhan atau membentuk sel-sel baru dan untuk fermentasi. f) Garam Mikroba dapat dibedakan berdasarkan ketahanannya terhadap garam. Misalnya mikroba pembentuk asam laktat dalam acar, asinan yang biasanya toleran terhadap konsentrasi garam antara 10-18 %. Beberapa mikroba proteolitik dan penyebab
5
kebusukan tidak toleran terhadap konsentrasi garam 2.5% . penambahan garam akan menyebabkan pengeluaran air dan gula dari sayur-sayuran dan menyebabkan timbulnya mikroba asam laktat. Proses fermentasi dalam pengolahan pangan mempunyai beberapa keuntungankeuntungan, antara lain : a) proses fermentasi dapat dilakukan pada kondisi pH dan suhu normal, sehingga tetap mempertahankan (atau sering bahkan meningkatkan) nilai gizi dan organoleptik produk pangan, b) karakteristik flavor dan aroma produk yang dihasilkan bersifat khas, tidak dapat diproduksi dengan teknik/metoda pengolahan lainnya. c) memerlukan konsumsi energi yang relatif rendah karena dilakukan pada kisaran suhu normal, d) modal dan biaya operasi untuk proses fermentasi umumnya rendah, dan e) Teknologi fermentasi umumnya telah dikuasi secara turun temurun dengan baik.
KLASIFIKASI PRODUK PANGAN FERMENTASI Berdasarkan pada perubahan yang terjadi pada karbohidrat sebagai akibat dari aktivitas mikroorganisme, maka produk fermentasi dapat di kelompokan sebagai proses fermentasi yang merubah karbohidrat (i) menjadi asam-asam organic dan (ii) alcohol dan karbondioksida sebagai komponen utama. Proses fermentasi dikatakan bersifat homofermentatif jika hanya menghasilkan satu jenis komponen saja sebagai hasil utamanya; dan heterofermentatif jika menghasilkan campuran berbagai senyawa/komponen
utama.
Lintasan
metabolism
Embedden-Meyerhoff-Panas
(Gambar 2) merupakan lintasan yang utama terjadi pada proses fermentasi. Gambar 2. Lintasan Pada Proses Fermentasi
6
TIPE-TIPE FERMENTASI 1. Fermentasi asam laktat Urutan jenis bakteri asam laktat pada proses fermentasi di tentukan terutama oleh toleransinya terhadap asam. Pada proses fermentasi bahan pangan yang berasam rendah misalnya susu dan daging, inoculum ditambahkan untuk memberikan jumlah mikroorganisme yang cukup, sehingga akan mencapai jumlah yang besar dalam jumlah yang lebih singkat dan sekaligus menghambat pertumbuhan bakteri pathogen dan pembusuk. Pada proses fermentasi yang lain penambahan inoculum ini tidak diperlukan karena jumlah mikroorganisme pada flora normal bahan pangan telah mencukupi untuk menurunkan pH secara cepat sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain yang tidak dikehendaki. Contoh fermentasi asam laktat pada beberapa bahan yang umum dapat dilihat pada Tabel 2.
7
Table 2. Contoh Fermentasi Asam Laktat Bahan
Mikroorganisme
pangan Ketela pohon
Kondisi inoculum Suhu
Waktu
Corynebacterium Suhu kamar
Lain-lainnya
96 bulan
sp Geotricum sp Ikan
Bacillus pumilus
Suhu kamar
3-12 bulan
Ditambahkan
Bacillus
garam dengan
licheniformis
perbandingan ikan/garam antara
3/1
sampai 5/1 Jagung
Corynebacterium Suhu kamar
24-27 jam
sp
udara (RH) =
Aerobacter sp
85-90%
S. cereviseae Lactobacillus sp Candida mycoderma Daging
Pediococcus
15-25
24 jam
40-45
2-3 jam
22
14-16 jam
cerevisiae Lactobacillus plantarum Lactobacillus curvatus Susu yoghurt
Streptococcus Thermophiles L. bulgaricus
Keju
Kelembaban
Streptococcus
8
“cottage”
diacetyactis
Keju
S. cremoris
“camembert”
S, lactis
32
A
32
B
Suhu kamar
46-260 jam
Panicillum caseicolum Keju
S. cremoris
“chedar”
S. lactis S. diacetylactis Lactobasilli
Sayur-
Lactobacillus
sayuran
Mesenterioides
Kadar
garam
2.5-6 %
L. brevis Penicillum cerevisiae L. plantarum A. Disimpan dari inoculum B. Proses fermentasi keju terus berlangsung dari 1-12 bulan untuk proses pematangan. 2. Fermentasi ikan dan daging Sosis fermentasi misalnya salami, pepperoni dan bologna) diproduksi dari campuran daging yang halus, rempah-rempah, garam kiuring, garam dan gula. Daging tersebut dimasukan dalam selongsong sosis kemudian di fermentasi dan akhirnya dipasteurisaasi pada suhu 65-680C selama 4-8 jam dikeringkan dan kemudian disimpan pada suhu rendah 4-70C. proses ini menghasilkan produk sosis yang awet. 3. Fermentasi sayuran Produk fermentsi sayuran yang terkenal adalah acar ketimun, sayur asin dan lainlain. Proses fermentasi sayuran ini sangat sederhana. Setelah dicuci, ketimun atau sayuran direndam dalam air garam yang nantinya akan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Sekaligus, pada proses ini kontak udara sebisa mungkin dikurangi 9
dengan cara menutup panci perendam dengan rapat dan air rendaman dibiarkan penuh sehingga tidak ada ruang tersisa. Dengan demikian kondisi fementasi dapat bersifat anaerobic. Dengan cara ini, secara alami akan menyebabkan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat secara bergiliran sesuai dengan nilai pH. Pada kondisi tersebut (relative anaerobic) akan terbentuk asam laktat sekitar 1 %. 4. Fermentasi serealia dan kacang-kacangan 5. Fermentasi susu Yoghurt, yakult dan sejenisnya merupakan produk fermentasi susu. Berdasarkan pada tingkat keasamannya produk-produk fermentasi susu ini dikelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu a) berasam rendah; misalnya susu krim dan susu mentega; b) berasam sedang; misalnya yoghurt, yakult dan susu asidofilus; c) berasam tinggi; misalnya susu bulgarikus; dan d) mengandung campuran asam dan alkohol, misalnya ketir. Diantara produk-produk fermentasi susu tersebut, yoghurt merupakan produk yang paling dikenal luas. Pada prinsipnya metode pembuatan minuman susu fermentasi hampir sama. Yang membedakan produk-produk tersebut adalah jenis mikroba yang berperan pada proses fermentasi serti disampaikan pada Gambar 4. Gambar 3. Mikroba Yang Barperan Pada Fermentasi Minuman Susu
6. Fermentasi alcohol Produk fermentasi tradisional seperti tape dan brem merupakan contoh-contoh produk fermentasi alkohol. Sesuai dengan namanya, fermentasi alkohol akan 10
mengkonversi pati (karbohidrat) menjadi alkohol sebagai hasil akhir utamanya. Proses fermentasi alkohol juga dapat dijelaskan dengan lintasan Embden-MeyerhoffParnas (Gambar 1.). Pada umumnya produk alkohol yang diproduksi adalah etanol, dan karenanya mempunyai pengaruh pengawetan. Gambar 3. berikut ini menjelaskan beberapa contoh fermentasi alkohol beserta jenis mikroorganisme yang terlibat dan kondisi fermentasinya. Gambar 4. Contoh Fermentasi Alkohol atau Campuran Alkohol dan Asam
7. Fermentasi asam 8. Fermentasi antibiotic 2.2 TEKNOLOGI ENZIM Beberapa kelompok enzim yang penting 1. Karbohidtase 2. Menghidrolisis polisakarida atau oligosakarida.
11
Tipe yg penting scr komersial: a. a-amilase, b. glukoamilase, c. invertase, d. laktase, e. glukosa isomerase. Alfa-amilase menghidrolisis ikatan a-1,4 menjadi pati cair atau maltose. Produk yang dihasilkan digunakan untuk bahan tambahan dalam soup kering, makanan bayi dan saus. Glukoamilase (amiloglukosidase) adalah enzim sakarifikasi sehingga dihasilkan glukosa. Substrat yang umum digunakan adalah pati dari jagung, gandum, tapioka dan kentang. Invertase menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa untuk mencegah kristalisasi molase, ice cream laktase untuk membantu orang yang tidak mampu mencerna laktosa (lactose intolerance) glukosa isomerasi digunakan dalam produksi HFS yg lebih manis dari glukosa. Produk digunakan secara luas dalam industri permen dan roti, produksi dekstrosa dari pati jagung, penjernihan juice buah dan wine, menghilangkan glukosa dari putih telur dsb 3. Enzim Pektat Mencakup: pektin esterase, poligalakturonase, pektin liase. Pektin esterase menghidrolisis gugus metoksil dari molekul pektin menjadi bentuk pektin dg metoksil rendah dan asam poligalakturonat. Poligalaturonase menghidrolisis ikatan a1,4 pada poligalakturomat mjd oligogalaktironan dan asam galakturonat. Enzim pektat dari jamur digunakan untuk memepercpat filtrasi juice, menghilangkan pektin dan buah terutama untuk industri jam dan pure dsb 4. Selulase dan Hemiselulase 5. Protease Setelah amylase, enzim terpenting dewasa ini adalah protease. Setiap tahun di produksi sekitar500 ton enzim protease. Protease terutama digunakan dalam bidang industry deterjen dan industry susu. Bidang-bidang lain yang menggunaka protease ialah obat-obatan, industry makanan dan digunakan pula oleh industry pengolahan
12
limbah. Ada beberpa jenis protease yang juga digunakan dalam proses fermentasi adalah :
Bacillus licheniformis
Bacillus amyloliquefaciens
Bacillus pumillus
Streptomyces griseus
Aspergillus niger
Aspergillus soyae
Aspergillus oryzae Peranan enzim protease dalam proses fermentasi dilakukan oleh jenis protease
asam. Enzim yang termasuk dalam kelompok ini adalah kapang yang menyerupai renin dan terutama digunakan dalam produksi induksi keju. Selain itu juga protease asam yang diproduksi oleh galur Aspergillus telah digunakan untuk memecah gluten gandum dalam pembuatan roti. 6. Oksidase 7. Lipase Lipase memecah lemak menjadi di- atau monogliserida dan asam-asam lemak. Lipase umumnya merupakan enzim ekstraseluler. Diantara genera yang termasuk kedalam enzim lipase dan sering digunakan dalam proses fermentasi adalah Aspergillus, Mucor, Rhizopus dan Candida yang sekarang sudah diproduksi secara komersil. Dalam banyak kasus produksi enzim harus diinduksi dengan menambahkan minyak atau lemak. Tetapi pada beberapa kasus lemak tidak berpengaruh terhadap produksi enzim lipase.
13
BAB III PRODUK HASIL FERMENTASI dan CARA PEMBUATANNYA
3.1 Keju Untuk kebanyakan keju yang diproduksi di seluruh dunia, digunakan susu sapi, akan tetapi susu dari hewan lain, terutama kambing dan domba juga banyak digunakan. Kualitas susu yang digunakan di (semi-) industri pembuatan keju dikontrol dengan ketat di Eropa. Mayoritas keju dibuat dari susu dengan perlakuan panas atau susu pasteurisasi (baik penuh, rendah lemak, maupun tanpa lemak). Jika non-pasteurisasi susu yang digunakan, keju harus dimatangkan (dengan cara diperam) paling sedikit selama 60 hari pada suhu tidak kurang dari 4 °C untuk memastikan keamanan melawan organisme yang membahayakan (patogen). Persyaratan pasteurisasi susu yang digunakan untuk membuat keju varietas khusus diatur berbeda di setiap negara. Pembuatan keju melibatkan sejumlah tahapan yang umum untuk kebanyakan tipe keju. Susu keju diberi perlakuan pendahuluan, bisa berupa pematangan awal setelah penambahan kultur bakteri yang tepat untuk setiap tipe keju, dan dicampur dengan rennet. Aktivitas enzim pada rennet menyebabkan susu terkoagulasi menjadi jelly padat yang dikenal dengan koagulum. Jelly ini dipotong dengan alat pemotong khusus menjadi kubus-kubus kecil sesuai ukuran yang diinginkan – ditempat pertama untuk memfasilitasi pengeluaran whey. Selama periode proses pembuatan dadih (curd), bakteri tumbuh dan membentuk asam laktat, dan butiran-butiran dadih dikenai perlakuan mekanik dengan alat pengaduk, sementara itu pada saat yang bersamaan dadih dipanaskan menurut seting program. Kombinasi efek dari tiga perlakuan ini – pertumbuhan bakteri, perlakuan mekanik, dan perlakuan panas – menghasilkan sineresis, yaitu pemisahan whey dari butiran-butiran dadih. Dadih yang telah selesai diletakkan dalam cetakan keju yang terbuat dari metal, kayu atau plastik, yang menentukan bentuk keju akhir. 14
Keju dipres, baik oleh beratnya sendiri atau pada umumnya dengan mempergunakan tekanan terhadap cetakan. Perlakuan selama permbuatan dadih dan pengepresan menentukan karakteristik keju. Aroma keju yang sesungguhnya ditentukan selama pematangan keju. Proses pembuatan Keju
Gambar 5. Diagram alir pembuatan keju
berikut ini adalah langkah-langkah dalam membuat keju: a. Pasteurisasi Sebelum pembuatan keju yang sesungguhnya dimulai, susu biasanya menjalani perlakuan pendahuluan yang dirancang untuk menciptakan kondisi optimum untuk produksi. Susu yang diperuntukkan untuk tipe keju yang memerlukan
15
pematangan lebih dari sebulan sebenarnya tidak perlu dipasteurisasi, tetapi biasanya tetap dipasteurisasi. Susu yang diperuntukkan untuk keju mentah (keju segar) harus dipasteurisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa susu keju untuk tipe yang membutuhkan periode pematangan lebih dari sebulan tidak harus dipasteurisasi di kebanyakan negara. Susu yang diperuntukkan untuk Emmenthal, Parmesan dan Grana asli, beberapa tipe keju ekstra keras, tidak boleh dipanaskan melebihi 40°C, agar tidak mempengaruhi rasa, aroma, dan pengeluaran whey. Susu yang diperuntukkan untuk keju tipe ini biasanya berasal dari peternakan pilihan dengan inspeksi ternak secara rutin oleh dokter hewan. Walaupun keju terbuat dari susu yang tidak terpasteurisasi diyakini memiliki rasa dan aroma lebih baik, kebanyakan produser (kecuali pembuat keju tipe ekstra keras) mempasteurisasi susu, karena kualitas susu yang tidak dipasteurisasi jarang dapat dipercaya sehingga mereka tidak mau mengambil risiko untuk tidak mempasteurisasinya. Pasteurisasi harus cukup untuk membunuh bakteri yang dapat mempengaruhi kualitas keju, misalnya coliforms, yang bisa membuat “blowing” (perusakan tekstur) lebih dini dan rasa tidak enak. Pateurisasi reguler pada 72 – 73°C selama 15 – 20 detik paling sering dilakukan. Meskipun demikian, mikroorganisme pembentuk spora (spore-forming microorganism) yang dalam bentuk spora, tahan terhadap pasteurisasi dan dapat menyebabkan masalah serius selama proses pematangan. Salah satu contohnya adalah Clostridium tyrobutyricum, yang membentuk asam butirat dan volume gas hidrogen yang besar dengan memfermentasi asam laktat. Gas ini menghancurkan tekstur keju sepenuhnya (“blowing”), selain itu asam butirat juga tidak enak rasanya. Perlakuan panas yang lebih sering akan mengurangi risiko seperti tersebut di atas, tetapi juga akan merusak sifat-sifat umum keju yang terbuat dari susu, sehingga digunakan cara lain untuk mengurangi bakteri tahan panas. Secara tradisional, bahanbahan kimia tertentu telah ditambahkan dalam susu keju sebelum produksi. Hal ini untuk mencegah “blowing” dan perkembangan rasa tidak enak yang disebabkan oleh bakteri tahan panas dan pembentuk spora (terutama Clostridium tyrobutyricum).
16
Bahan kimia yang paling sering digunakan adalah sodium nitrat (NaNO3), tetapi pada produksi keju Emmenthal , hidrogen peroksida (H2O2) juga digunakan. Meskipun demikian, karena penggunaan bahan kimia telah banyak dikritik, maka cara mekanis untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang tidak diinginkan telah diadopsi, terutama di negara-negara dimana penggunaan inhibitor kimia dilarang. b. Biakan Biang Biakan biang merupakan faktor penting dalam pembuatan keju; biakan ini memiliki beberapa peran. Dua tipe utama biakan yang digunakan dalam pembuatan keju: biakan
mesophilic dengan suhu optimum antara 20 dan 40 °C
biakan
thermophilic yang berkembang sampai suhu 45 °C
Biakan yang paling sering digunakan adalah biakan turunan campuran (mixedstrain), dimana dua atau lebih turunan bakteri mesophilic dan thermophilic berada dalam simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Biakan ini tidak hanya memproduksi asam laktat tetapi juga komponen aroma dan CO2. Karbondioksida sangat penting untuk menciptakan rongga-rongga di tipe keju butiran dan tipe “mata bundar (round-eyed) ”. Contohnya keju Gouda, Manchego dan Tilsiter dari biakan mesophilic dan Emmenthal dan Gruyère dari biakan thermophilic. Biakan turunan tunggal (single-strain) terutama digunakan ketika obyek dipakai untuk mengembangkan asam dan berkontribusi terhadap degradasi protein, misalnya pada keju Cheddar dan tipe keju yang sejenis. Tiga sifat biakan biang yang paling penting dalam pembuatan keju yaitu:
kemampuan memproduksi asam laktat
kemampuan memecah protein dan, jika memungkinkan,
kemampuan memproduksi karbondioksida Tugas utama biakan adalah mengembangkan asam dalam dadih, Ketika susu
mengental, sel-sel bakteri terkonsentrasi dalam koagulum dan kemudian dalam keju. Perkembangan asam menurunkan pH yang penting untuk membantu sineresis (kontraksi koagulum disertai dengan pengurangan whey).
17
Selanjutnya, garam kalsium dan phosphor dilepaskan, yang mempengaruhi konsistensi keju dan membantu meningkatkan kekerasan dadih. Fungsi penting lain yang dilakukan oleh bakteri pemroduksi asam adalah menekan bakteri yang tahan pasteurisasi atau rekontaminasi bakteri yang membutuhkan laktosa atau tidak bisa mentolerir asam laktat. Produksi asam laktat berhenti ketika semua laktosa dalam keju (kecuali pada keju tipe lembut) telah terfermentasi. Biasanya fermentasi asam laktat merupakan proses yang relatif cepat. Pada beberapa tipe keju, seperti Cheddar, fermentasi harus lengkap sebelum keju dipres, dan pada tipe lain dalam seminggu. Jika biakan juga mengandung bakteri pembentuk CO2, pengasaman dadih disertai dengan produksi karbondioksida, melalui aksi bakteri pemfermentasi asam sitrat. Biakan turunan campuran dengan kemampuan mengembangkan CO2 sangat penting untuk produksi keju dengan tekstur lubang-lubang bundar atau seperti bentuk mata yang tidak beraturan. Gas yang berkembang awalnya terlarut dalam fase moisture keju; ketika larutan menjadi jenuh, gas dilepaskan dan membentuk matamata. Proses pematangan pada keju keras dan semi-keras merupakan efek kombinasi proteolitik dimana enzim asli dari susu dan dari bakteri dalam biakan, bersama dengan enzim rennet, menyebabkan dekomposisi protein. c. Penambahan lain sebelum pembuatan dadih Kalsium Klorida (CaCl2 ) Jika susu untuk pembuatan keju merupakan kualitas rendah, maka koagulum akan halus. Hal ini menyebabkan hilangnya “ fines ” (kasein) dan lemak, serta sineresis yang buruk selama pembuatan keju. 5-20 gram kalsium klorida per 100 kg susu biasanya cukup untuk mencapai waktu koagulasi yang konstan dan menghasilkan kekerasan koagulum yang cukup. Kelebihan penambahan kalsium klorida bisa membuat koagulum begitu keras sehingga sulit untuk dipotong. Untuk produksi keju rendah lemak, dan jika secara sah diijinkan, disodium fosfat (Na2PO4), biasanya 1020 g/kg, bisa kadang-kadang ditambahkan dalam susu sebelum kalsium klorida ditambahkan. Hal ini meningkatkan elastisitas koagulum karena pembentukan koloid
18
kalsium fosfat (Ca3(PO4)2), yang akan memiliki efek hampir sama dengan tetesan lemak susu yang terperangkap dalam dadih. Karbondioksida (CO2) Penambahan CO2 adalah salah satu cara untuk memperbaiki kualitas susu keju. Karbondioksida terjadi secara alami dalam susu, tetapi kebanyakan hilang dalam pemrosesan. Penambahan karbondioksida dengan buatan berarti menurunkan pH susu; pH asli biasanya berkurang 0.1 sampai 0.3 unit. Hal ini kemudian akan menghasilkan waktu koagulasi yang lebih singkat. Efek ini bisa digunakan untuk mendapatkan waktu koagulasi yang sama dengan jumlah rennet yang lebih sedikit. Saltpetre (NaNO3 atau KNO3) Masalah fermentasi bisa dialami jika susu keju mengandung bakteri asam butirat (Clostridia) dan/atau bakteri coliform. Saltpetre (sodium atau potassium nitrate) bisa digunakan untuk menghadapi bakteri jenis ini, tetapi dosisnya harus ditentukan secara akurat dengan merujuk pada komposisi susu, proses yang digunakan untuk keju jenis ini, dan lain-lain; karena saltpetre yang terlalu banyak juga akan menghambat pertumbuhan biang. Overdosis saltpetre bisa mempengaruhi pematangan keju atau bahkan menghentikan proses pematangan. Saltpetre dengan dosis tinggi bisa merubah warna keju, menyebabkan lapisanlapisan kemerah-merahan dan rasa yang tidak murni. Dosis maksimum yang diijinkan sekitar 30 gram saltpetre per 100 kg susu. Dalam dekade terakhir ini, penggunaan saltpetre dipertanyakan dari sudut pandang kedokteran, dan juga dilarang di beberapa negara. Bahan-bahan pewarna Warna keju dalam cakupan yang luas ditentukan oleh warna lemak susu dan melalui variasi musiman. Warna-warna seperti karoten dan orleana , pewarna anatto alami, digunakan untuk mengoreksi variasi musiman di negara-negara dimana pewarnaan diperbolehkan. Klorofil hijau (pewarna kontras) juga digunakan, contohnya pada keju blueveined, untuk mendapatkan warna “pucat” yang kontras dengan birunya biakan mikroorganisme di keju.
19
Rennet Kecuali untuk tipe-tipe keju segar seperti keju cottage dan guarg dimana susunya digumpalkan/dikentalkan terutama oleh asam laktat, semua pembuatan keju tergantung pada formasi dadih oleh aksi rennet atau enzim-enzim sejenis. Penggumpalan kasein merupakan proses dasar dalam pembuatan keju. Hal ini umumnya dilakukan dengan rennet, tetapi enzim proteolitik yang lain juga bisa digunakan, dan juga pengasaman kasein ke titik iso-elektrik (pH 4.6-4.7). Prinsip aktif pada rennet adalah enzim yang disebut chymosine , dan penggumpalan terjadi dengan singkat setelah rennet ditambahkan ke dalam susu. Ada beberapa teori tentang mekanisme prosesnya, dan bahkan saat ini hal tersebut tidak dimengerti secara menyeluruh. Bagaimanapun juga, hal ini jelas bahwa proses berjalan dalam beberapa tahapan; secara umum dibedakan sebagai berikut: transformasi
kasein ke parakasein di bawah pengaruh rennet
pengendapan
parakasein didalam ion-ion kalsium yang ada
Keseluruhan proses ditentukan oleh suhu, keasaman, kandungan kalsium susu, dan juga oleh faktor-faktor lain. Suhu optimum untuk rennet sekitar 40 °C, tetapi dalam praktik biasanya digunakan suhu yang lebih rendah untuk menghindari kekerasan yang berlebihan pada gumpalan. Rennet diekstrak dari perut anak sapi yang masih muda dan dipasarkan dalam bentuk larutan dengan kekuatan 1:10000 sampai 1:15000, yang berarti bahwa satu bagian rennet bisa mengentalkan 10000 – 15000 bagian susu dalam 40 menit pada 35 °C . Rennet dari bovine (termasuk keluarga sapi) dan babi juga digunakan, sering dikombinasikan dengan rennet anak sapi (50:50, 30:70, dll). Rennet dalam bentuk bubuk biasanya 10 kali kekuatan rennet cair. Pengganti rennet hewan Sekitar 50 tahun yang lalu, penelitian dimulai untuk menemukan pengganti rennet hewan. Hal ini dilakukan terutama di India dan Israel karena penolakan para vegetarian untuk menerima keju yang dibuat dengan rennet hewan. Di dunia Muslim, penggunaan rennet babi sudah jelas hukumnya, dimana merupakan alasan penting yang lebih jauh untuk menemukan pengganti yang sesuai. Ketertarikan produk
20
pengganti telah tumbuh lebih luas pada tahun-tahun terakhir karena keterbatasan rennet hewan yang berkualitas bagus. Ada dua tipe utama pengganti bahan pengental:
enzim penggumpal dari tanaman
enzim penggumpal dari mikroorganisme Penelitian telah menunjukkan bahwa kemampuan penggumpalan pada
umumnya baik dengan persiapan yang dibuat dari enzim tanaman. Satu kelemahan adalah bahwa keju sering mengembangkan rasa pahit selama penyimpanan. Berbagai macam tipe bakteri dan jamur telah diteliti, dan enzim pengentalan yang diproduksi dikenal dalam berbagai macam nama pasaran. Teknologi DNA telah digunakan belakangan ini, dan sebuah rennet DNA dengan karakteristik identik dengan rennet anak sapi saat ini sedang dites secara menyeluruh dengan satu maksud untuk menjamin persetujuan/penerimaan. d. Pemotongan gumpalan Pe-rennet-an atau waktu penggumpalan pada umumnya sekitar 30 menit. Sebelum gumpalan dipotong, sebuah tes sederhana biasanya dilakukan untuk menentukan whey penghilang kualitas. Biasanya, sebuah pisau ditusukkan pada permukaan gumpalan susu dan kemudian ditarik perlahan-lahan ke atas sampai terjadi pecahan yang cukup. Dadih bisa dipertimbangkan siap untuk pemotongan ketika kerusakan seperti gelas pecah/retak dapat diamati. Pemotongan dengan hatihati memecah dadih sampai ke dalam granule dengan ukuran 3-15 mm, tergantung pada tipe keju. Semakin halus potongan, semakin rendah kandungan air dalam keju yang dihasilkan. e. Pra-pengadukan Segera setelah pemotongan, granule dadih sangat sensitif terhadap perlakuan mekanik, itulah sebabnya pengadukan harus dilakukan dengan lembut, tetapi cukup cepat, untuk menjaga granule tercampur dalam whey. Sedimentasi dadih di dasar tong menyebabkan pembentukan bongkahan-bongkahan. Ini membuat kerusakan pada mekanisme pengadukkan, dimana pasti sangat kuat. Dadih keju rendah lemak cenderung kuat untuk tenggelam di dasar tong, yang berarti bahwa pengadukannya
21
harus lebih sering daripada pengadukan untuk dadih keju tinggi lemak. Bongkahanbongkahan bisa mempengaruhi tekstur keju, juga menyebabkan hilangnya kasein dalam whey. f. Pra-pengeringan whey Untuk beberapa tipe keju, seperti Gouda dan Edam, diinginkan untuk membersihkan granule dengan jumlah whey yang banyak sehingga panas bisa disuplai dengan penambahan langsung air panas ke dalam campuran dadih dan whey, yang juga dapat merendahkan kandungan laktosa. Beberapa produser juga mengeringkan whey untuk mengurangi konsumsi energi yang dibutuhkan untuk pemanasan dadih secara tidak langsung. Untuk setiap tipe keju, sangat penting bahwa jumlah whey yang sama – biasanya 35%, kadang-kadang sebanyak 50% volume batch – dikeringkan setiap saat. g. Pemanasan/Pemasakan/Pembakaran Perlakuan panas diperlukan selama pembuatan keju untuk mengatur ukuran dan pengasaman dadih. Pertumbuhan bakteri pemroduksi asam dibatasi oleh panas, sehingga digunakan untuk mengatur produksi asam laktat. Selain efek bakteriologi, panas juga mendukung pemadatan dadih disertai dengan pengeluaran whey (sineresis). Tergantung pada tipe keju, pemanasan bisa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: o Dengan steam di dalam tong/jaket tong saja. o Dengan steam di dalam jaket dikombinasikan dengan penambahan air panas ke dalam campuran dadih/whey. o Dengan penambahan air panas ke dalam campuran dadih/whey saja. Waktu dan suhu untuk pemanasan ditentukan oleh metode pemanasan dan tipe keju. Pemanasan sampai suhu diatas 40 °C, kadang-kadang disebut pemasakan, biasanya dilakukan dalam dua tahap. Pada 37 – 38°C aktivitas bakteri asam laktat mesophilic terhambat, dan pemanasan terhenti untuk mengecek keasaman, setelah itu pemanasan berlanjut sampai suhu akhir yang diinginkan. Diatas 44 °C bakteri
22
mesophilic ternon-aktifkan secara keseluruhan, dan mereka mati pada suhu 52 °C antara 10 dan 20 menit. Pemanasan melebihi 44 °C biasanya disebut dengan scalding (pembakaran). Beberapa tipe keju, seperti Emmenthal, Gruyère, Parmesan dan Grana, dibakar pada suhu setinggi 50 – 56 °C. Hanya bakteri pemroduksi asam laktat yang paling tahan panas yang bertahan pada suhu ini. Salah satunya adalah Propionibacterium freudenreichii ssp. shermanii , yang sangat penting dalam pembentukan karakter keju Emmenthal. h. Pengadukan akhir Sensitifitas granule dadih
menurun selama
proses pemanasan
dan
pengadukan. Lebih banyak whey diteteskan dari granule selama periode pengadukan akhir. Hal ini terutama karena perkembangan asam laktat yang berkesinambungan, juga karena efek mekanis pengadukan. Durasi pengadukan akhir tergantung pada keasaman yang diinginkan dan kandungan air dalam keju. i. Pembersihan akhir whey dan prinsip-prinsip penanganan dadih Segera setelah keasaman dan kekerasan dadih yang diinginkan telah tercapai – dan dicek oleh produser – sisa whey dibersihkan dari dadih dengan berbagai cara, tergantung pada tipe keju. 3.2 Tape
Gambar 6. Contoh produk tape singkong
23
Serealia dan umbi-umbian banyak tumbuh di Indonesia. Produksi serealia terutama beras sebagai bahan pangan pokok dan umbi-umbian cukup tinggi. Begitu pula dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan akan serealia dan umbi-umbian sebagai sumber energi pun terus meningkat. Tanaman dengan kadar karbohidrat tinggi seperti halnya serealia dan umbi-umbian pada umumnya tahan terhadap suhu tinggi. Serealia dan umbi-umbian sering dihidangkan dalam bentuk segar, rebusan atau kukusan, hal ini tergantung dari selera. Usaha penganekaragaman pangan sangat penting artinya sebagai usaha untuk mengatasi masalah ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja. Misalnya dengan mengolah serealia dan umbi-umbian menjadi berbagai bentuk awetan yang mempunyai rasa khas dan tahan lama disimpan. Bentuk olahan tersebut berupa tepung, gaplek, tapai, keripik dan lainya. Hal ini sesuai dengan program pemerintah khususnya dalam mengatasi masalah kebutuhan bahan pangan, terutama non-beras. Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu bahan makanan sumber karbohidrat (sumber energi).
Table 3. Komposisi Ubi Kayu (per 100 gram bahan) Komponen Kalori Air Phosphor Karbohidrat Kalsium Vitamin C Protein Besi Lemak Vitamin B1 Berat dapat dimakan
Kadar 146,00 kal 62,50 gram 40,00mg 34,00 gram 33,00 mg 30,00 mg 1,20 gram 0,70 0,30 gram 0,06 mg 75
Ubi kayu dalam keadaan segar tidak tahan lama. Untuk pemasaran yang memerlukan waktu lama, ubi kayu harus diolah dulu menjadi bentuk lain yang lebih awet, seperti gaplek, tapioka (tepung singkong), tapai, peuyeum, keripik singkong dan lain-lain. Pada proses pembuatan tapai, karbohidat mengalami proses peragian
24
oleh mikroba atau jasad renik tertentu, sehingga sifat-sifat bahan berubah menjadi lebih enak dan sekaligus mudah dicerna. Pada hakekatnya semua makanan yang mengandung karbohidrat bisa diolah menjadi tapai. Tetapi sampai sekarang yang lazim diolah adalah ketan dan ubi kayu (berdaging putih atau kuning). Tapai dari ubi kayu yang berdaging kuning lebih enak dari pada yang berwarna putih, karena ubi kayu berwarna kuning dagingnya lebih halus tanpa ada serat-serat yang kasar. Ubi kayu yang bagus untuk dibuat tapai adalah yang umurnya 6 bulan 1 tahun, baru saja dicabut dari kebun dan langsung dikukus. Selama ini orang berpendapat bahwa tapai dan peuyeum adalah sama, tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang sangat mendasar pada kedua cara pembuatannya hingga hasil akhirnyapun berlainan. Tapai dari Jawa Tengah tidak tahan disimpan lama karena cepat sekali berair, sedangkan peuyeum dari Jawa Barat lebih tahan disimpan karena tahan berair. Bahan
Alat
1) Ubi kayu 5 kg
1) Pisau
2) Ragi 5 lempeng
2) Panci
3) Air secukupnya
3) Dandang
4) Ragi tapai 2 lempeng
4) Daun talas atau plastik 5) Keranjang 6) Kain bersih untuk tutup tangan
25
Gambar 7. Diagram alir pembuatan tapai singkong Cara Pembuatan 1) Kupas ubi kayu lalu potong-potong sesuai dengan ukuran yang diinginkan kemudian cuci; 2) Rendam selama 1~2 jam dalam air bersih lalu kukus; 3) Gerus ragi hingga halus kemudian taburkan hingga rata di atas ubi kayu; 4) Masukkan satu per satu ke dalam keranjang yang telas dilapisi dengan daun talas atau plastik, kemudian tutup; 5) Peram selama ± 3 hari 3 malam. Catatan: Pada saat pemeraman, bila penyimpanannya terlalu lama maka tapai yang dihasilkan akan semakin berair dan rasanyapun semakin asam. 3.3 Yoghurt Susu yang digunakan untuk pembuatan yoghurt umumnya susu murni, susu bubuk atau susu kental. Jika digunakan susu murni biasanya susu dikentalkan sehingga bolumenya berkurang 15 sampai 20%. Jika yoghurt dibuat dari susu bubuk, 26
maka susu direkonstitusi (dilarutkan dalam air) dengan konsentrasi 10 – 12%. Pemanis yang umumnya digunakan adalah sukrosa tetapi bisa juga digunakan sirup jagung atau madu. Dalam proses pembuatan yoghurt seringkali ditambahkan buahbuahan yang telah dihaluskan sebanyak 15 – 20%.
Gambar 8. Skema Pembuatan Yoghurt Buah Metode pembuatan yoghurt bervariasi, tetapi umumnya fermentasi yoghurt dimulai dengan penambahan kultur starter yang merupakan campuran bakteri pembentukan asam yaitu Lactobacillus dan Streptococcus thermohilus pada susu yang telah mengalami pemanasan. Pemanasan ini penting dilakukan untuk membunuh mikroba pencemar. Disamping itu, pemasan juga diperlukan untuk memberikan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan starter, serta menyebabkan denaturasi kasein sehingga memberikan konsistensi lebih baik dan lebih seragam pada produk akhir. Proses fermentasi yoghurt dapat dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam atau pada suhu lebih tinggi yaitu 45oC selama 3-4 jam. Yoghurt yang baik mempunyai nilai total asam 0.90 – 0.95 persen; pH antara 3,8 – 4,6; dapat diambil dengan sendok tanpa meninggalkan cairan (whey), tekstur lembut dan tanpa butiran atau granula
27
yang kasar. Selam proses fermentasi yoghurt, bakteri asam laktat akan merubah gula susu (laktosa) menjadi asam laktat dan asam-asam lain sehingga susu menjadi asam dan mempunyai citarasa khas. Kedua kultur startet untuk pembuatan yoghurt ditumbuhkan secar terpisah dalam susu skim yang telah direkonstitusi (10%) dan dicampur pada waktu akan dipakai. Table 4. Nilai Beberapa Senyawa Utama Penyusun Susu dan Yoghurt Komposisi (Unit/ 10 gram) Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Natrium (mg) Kalium (mg)
Susu Murni 67,5 3,5 4,25 4,75 119 94 50 152
Skim 36 3,3 0,13 5,1 121 95 52 145
Yoghurt Full Fat 72 3,9 3,4 4,9 145 114 47 186
Low Fat 64 4,5 1,6 6,5 150 118 51 192
Fruit 98 5,0 1,25 18,6 176 153 254
Sumber: Deeth and Tamime (1981) Journal of Food Protection 3.4 Nata de coco Menurut Hastuti (2010), Nata de coco ialah sejenis makanan fermentasi yang dibuat dengan bahan dasar air kelapa. Nata tersusun dari senyawa yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum. Acetobacter xylinum dapat hidup dalam air kelapa dan juga dalam buah-buahan yang mengandung glokosa dalam cairan buah nenas, yang kemudian diubah menjadi selulose dan dikeluarkan ke permukaan sel. Lapisan selulosa ini terbentuk selapis demi selapis pada permukaan sari buah, sehingga akhirnya menebal inilah yang disebut nata. Menurut Muljoharjdo dalam Suharsini (2010), Nata adalah selulosa hasil sisntesis gula oleh bakteri Acetobacter xylinum berbentuk agar, berwarna putih dan mengandung air sekitar 98%. Nata de cashew dikonsumsi sebagai makanan tambahan, bahan pencampur coctail, yogurt dan sebagai makanan penutup.
28
Nata tergolong makanan yang berkalori rendah karena mengandung serat pangan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk proses pencernaan makanan yang terjadi dalam usus dan penyerapan air dalam usus besar. Jenis-jenis Produk Nata Menurut suharsini (1999), ada beberapa jenis nata yang sudah banyak dikenal di masyarakat yaitu antara lain: a. Nata de coco, yaitu nata yang diperoleh dari pemamfaatan limbah air kelapa sebagai media pertumbuhan bakteri. b. Nata de pina yaitu nata yang diperoleh dengan memamfaatkan sari buah nanas sebagai media pertumbuhan bakteri. c. Nata de Soya, yaitu nata yang diperoleh dari pemamfaatan limbah tahu yang cair (“whey”) sebagai media pertumbuhan bakteri. Saat ini nata yang paling banyak adalah nata yang berbahan baku air kelapa atau yang dikenal dengan Nata de Coco, nata yang berbahan baku air tahu atau yang dikenal dengan Nata de Soya, serta nata yang berbahan baku dari air singkong/ketela atau sering disebut Nata de Casava. Padahal bahan pembuatan nata itu sendiri tidak hanya terbatas dari air kelapa, air tahu maupun air singkong saja, namun air cucian beras juga memenuhi syarat untuk tempat tumbuhnya bakteri Acetobacter xylinum, karena di dalam air cucian beras terdapat kandungan gula, karbohidrat, Vitamin B1 (tiamin) dan serat pangan (fiber). Prinsip utama suatu bahan pangan dapat diolah menjadi nata adalah adanya kandungan karbohidrat yang cukup memadahi. Dan akhirnya diperoleh temuan variasi nata baru yaitu Nata de Lerry, yang berasal dari air cucian beras serta akan menjadi icon baru diantara nata yang sudah ada di masyarakat (Anonim, 2010). Sedangkan ditinjau dari hasil produksinya, akan memberikan manfaat sebagai berikut: a. Meningkatkan pendapatan keluarga, b. Menigkatkan diet rendah kalori dan diet penderita diabetes, c. Jika produksi secara besar-besaran, dapat merupakan salah satu komoditas ekspor non migas yang cukup potensial.
29
Air Kelapa Sebagai Bahan Dasar Produksi air kelapa cukup berlimpah di Indonesia, yaitu mencapai lebih dari dua juta liter per tahun. Namun, pemanfaatannya dalam industri pangan belum begitu menonjol, sehingga masih banyak air kelapa yang terbuang percuma. Selain mubazir, buangan air kelapa dapat menimbulkan polusi asam asetat yang terbentuk akibat fermentasi air kelapa. Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dibuat minuman fermentasi karena kandungan zat gizinya yang kaya dan relatif lengkap, sehingga sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Komposisi gizi air kelapa tergantung pada umur kelapa dan varietasnya. Air kelapa mengandung sejumlah zat gizi, yaitu protein, lemak, gula, sejumlah vitamin, asam amino, dan hormon pertumbuhan. Kandungan gula maksimal, yaitu 3 gram per 100 ml air kelapa, tercapai pada bulan keenam umur buah, kemudian menurun dengan semakin tuanya kelapa. Jenis gula yang terkandung glukosa, fruktosa, sukrosa, dan sorbitol. Menurut Hidayat, 2006, bahwa dalam perkembangan industri nata belakangan ini, bahan pangan ini umumnya dibuat dari air kelapa. Nata dengan rasa buah dibuat dari air kelapa, tetapi ditambahkan citarasa buah. Kita pun mudah mendapatkan produk nata dengan rasa vanila, stroberi, pisang, jeruk, jambu biji, nanas, dan lainlain.
Adanya
beragam
rasa
ini
mempunyai
arti
penting
dalam
upaya
memasyarakatkan produk ini di Indonesia. Nata de coco merupakan hasil fermentasi air kelapa dengan bantuan mikroba Acetobacter xylinum. Gula pada air kelapa diubah menjadi asam asetat dan benangbenang selulosa. Lama-kelamaan akan terbentuk suatu massa yang kokoh dan mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Dengan demikian, nata de coco dapat juga dianggap sebagai selulosa bakteri yang berbentuk padat, berwarna putih, transparan, berasa manis, bertekstur kenyal, dan umumnya dikonsumsi sebagai makanan ringan Starter atau biakan mikroba merupakan suatu bahan yang paling penting dalam pembentukan nata. Sebagai starter, digunakan biakan murni dari Acetobacter xylinum. Bakteri ini secara alami dapat ditemukan pada sari tanaman bergula yang
30
telah mengalami fermentasi atau pada sayuran dan buah-buahan bergula yang sudah membusuk. Bila mikroba ini ditumbuhkan pada media yang mengandung gula, organisme ini dapat mengubah 19 persen gula menjadi selulosa. Selulosa yang dikeluarkan ke dalam media itu berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida berlendir membentuk jalinan yang terus menebal menjadi lapisan nata. Mikroorganisme pembentuk nata Novrischa (2010) mengungkapkan bahwa nata terbentuk dari aktivitas bakteri Acetobacter xylinum dalam sari buah yang mengandung glukosa yang kemudian diubah menjadi asam asetat dan benang-benang selulosa. Lama-kelamaan akan terbentuk suatu massa yang kokoh dan mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Selulosa yang dikeluarkan ke dalam media itu berupa benang-benang yang bersamasama dengan polisakarida berlendir membentuk jalinan yang terus menebal menjadi lapisan nata. Bakteri Acetobacter xylinum akan dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan Karbon (C) dan Nitrogen (N), melalui proses yang terkontrol. Dalam kondisi demikian, bakteri tersebut akan menghasilkan enzim akstraseluler yang dapat menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa. Dari jutaan renik yang tumbuh pada air kelapa tersbeut, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya nampak padat berwarna putih hingga transparan. Proses Pembuatan Nata
31
Air kelapa
Pasteurisasi Suhu 500C, 10 menit Pendinginan (280C Starter 10% dari volume
Inokulasi Inkubasi (suhu kamar, 14 hari) pemanenan Pemotongan 1,5x1,5cm tebal nata Penghilangan Asam (perendaman dalam air 3 hari)
Direbus 30 menit dengan sirup gula
Nata de coco
Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Nata De Coco 3.5 Asinan sayur Sayur asin merupakan produk olahan sayuran yang mempunyai rasa khas. Sayur asin dihasilkan dari proses peragian dengan menggunakan air tajin sebagai bahan pertumbuhan bakteri.Tujuan pembuatan sayur asin ini untuk memperpanjang daya simpan sayuran yang mudah busuk dan rusak. Sayur asin ini selain dibuat dari sawi, juga dari bahan-bahan lain, seperti: genjer, kubis dan lain-lain. Cara pembuatan:
32
1. Pisahkan daun sawi helai demi helai. Cuci, lalu diamkan di atas tikar bersih selama 1 malam; 2. Remas-remas daun sawi dengan garam kemudian masukkan ke dalam stoples beserta cairannya; 3. Masak beras (seperti menanak nasi) sampai mendidih, lalu ambil airnya (air tajin); 4. Campurkan air tajin tersebut pada sawi hingga rata dalam stoples; 5. Tutup rapat dan simpan di tempat yang gelap selama 3 hari.
Gambar 10. Diagram Pembuatan Asinan Sayur
Keuntungan: Dengan pengolahan yang baik, sayur asin ini dapat awet sampai 1 bulan. Catatan: 1. Sayur asin ini tidak hanya daunnya saja yang diolah tetapi termasuk juga tangkai daunnya. 2. Sayur asin harus diletakkan pada tempat gelap agar proses peragiannya benarbenar sempurna sehingga tidak busuk. 3. Penutup stoples harus benar-benar rapat agar udara tidak ada yang masuk sehingga harus benar-benar rapat agar tidak ada yang masuk sehingga sayur asin benar-benar masak dan tidak terjadi proses pembusukan. 4. Setiap habis mengambil sayur asin, stoples harus ditutup rapat kembali.
33
3.6 Saurkraut Sayuran ini diolah dengan cara peragian dan menggunakan garam sebagai zat pengawetnya. Proses pembuatannya sebenarnya agak begitu jauh berbeda dengan sayur asin, hanya saja ukurannya setelah layu diiris tipis-tipis. Tujuan pengolahan ini selain mengawetkan sayuran juga dapat meningkatkan rasa sayuran itu. Kol atau kubis merupakan sayuran yang paling umum diolah jadi sauerkraut, karena jenis sayuran ini banyak ditanam di Indonesia. Selain kubis, sayuran lain yang dapat diolah menjadi sauerkraut antara lain: sawi, kangkung, genjer, dan lain-lain. Cara pembuatan: 1. Layukan kol selama 1 malam; 2. Buang daun kol bagian luar dan bagian-bagian yang rusak serta hatinya, lalu cuci; 3. Iris tipis-tipis � 2 – 3 mm, tulang daun sedapat mungkin tidak disertakan. Campurkan dengan garam 25 g, aduk hingga rata kemudian masukkan ke dalam ember kecil sambil ditekan-tekan agar padat. Tutup dengan plastik serta diberi beban di atasnya. 4. Tutup ember dengan penutupnya, lalu sepanjang lingkaran penutup dilem atau diberi lilin agar tak ada udara yang masuk; 5. Biarkan peragian selama 2 – 3 minggu pada suhu ruangan, setelah itu pisahkan cairannya; 6. Segeralah masukkan padatan sauerkraut tersebut ke dalam botol selai; 7. Buat larutan garam dengan melarutkan 25 g dalam 1 l air dan aduk sampai rata. Panaskan hingga mendidih; 8. Dalam keadaan panas, masukkan larutan garam tersebut ke dalam botol selai yang telah berisi padatan sauerkratut (untuk padatan 1 kg yang memerlukan cairan sebanyak 1 ½ l). kemudian tutup rapat; 9. Rebus botol selai tersebut dalam air mendidih selama 30 menit, kemudian angkat dan dinginkan. Catatan:
34
1. Penekanan dan pemberian garam pada proses peragian dimaksudkan agar cairan dalam kubis ke luar dan mencegah pembusukan. Selain itu juga berpengaruh terhadap rasa dan kerenyahan sauerkraut tersebut. 2. Padatan dalam botol diusahakan terendam dalam cairan untuk menghindari terjadinya perubahan warna atau kerusakan lainnya.
Gambar .11. Diagram Pembuatan Saurkraut
35
DAFTAR PUSTAKA Ansori Rahman, 1992. Teknologi Fermentasi Industrial. Bogor : ARCAN Astawan, M. dan Mita W. Teknologi pengolahan pangan nabati tepat guna. Jakarta : Akademika Pressindo, 1991. Hal. 94-96. Fardiaz, S. 1987. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktur Jendral Pendidikan Pusat Antar Universitas dab Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. F.G, Winarno, Srikandi Fardiaz dan Dedi Fardio, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Bogor : Percetakan PT Gramedia, Jakarta. Hidayat, 2006, Mikrobiologi Industri, Yogyakarta: Andi offset Misgiyarta, 2007. Teknologi Pembuatan Nata de Coco.
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Perdana,
Dea.
2008.
Bakteri
Nata
De
Coco,
(Online),
(http://inacofood.wordpress.com/, diakses 29 November 2010). Puslitbang Fisika Terapan – LIPI, 1990. Hal. 18-27. Rahmat Hidayat, 2008. Proses dan Produk Makanan Fermentasi. (online). http://ebookpangan.com. Diakses pada 8 Juli 2015. Sarwono, B. Membuat tempe dan oncom. Jakarta : PT. Penebar Swadaya, 1982. Hal. 10-15. Suarsini, Endang. 1999. Budidaya Nata. Malang. FMIPA IKIP Malang. Tri Radiyati et.al. Pengolahan Kedelai. Subang: BPTTG Puslitbang Fisika Terapan – LIPI, 1992. Hal. 1-5. Tri Radiyati dan Agusto, W.M. Pendayagunaan ubi kayu. Subang : BPTTG
36
37