KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan ridha-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis. Pada kesempatan ini juga saya tidak lupa mempersembahkan tugas ini kepada Ayahanda Tercinta yang telah Tiada, semoga Allah SWT menerima amal ibadahnya. Amin... Tugas ini saya buat dengan analisa dan tidak lupa saya mencari referensi dari bukubuku dan dari internet, guna melngkapi tugas mata kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis. Akhir kata, semoga tugas yang saya buat berguna bagi pembaca.
Jakarta,7 juni 2009
Kalam Bani Aji
A. Gambaran Umum PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk dan Kantor Cabang Manado 1. Sejarah Singkat PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk. PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk didirikan pada tahun 1956 dengan nama PT. Bank Kopra Indonesia. Pada tahun 1976 dilakukan penggantian nama menjadi PT. Bank Danamon Indonesia, nama itu terus dipertahankan hingga kini. Bank Danamon mencatatkan diri sebagai bank devisa swasta pertama di Indonesia pada tahun 1976 dan menjadi Perseroan Terbuka pada tahun 1989. Pada tahun 1997, sebagai akibat krisis moneter di Asia, Bank Danamon mengalami kesulitan likuiditas dan diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai salah satu Bank Take Over (BTO). Pada tahun 1999, Pemerintah Indonesia melalui BPPN merekapitalisasi Bank Danamon dengan obligasi pemerintah senilai Rp 32 triliun. Saat itu juga, Bank Danamon sebagai sebuah bank BTO dilebur ke Perseroan sebagai bagian dari program pembenahan BPPN. Pada tahun 2000, delapan bank BTO lainnya dilebur ke dalam Bank Danamon. Bankbank tersebut adalah : Bank Rama, Bank Duta, Bank Tiara,Bank Nusa Nasional (BNN), Bank Tamara, Bank Risjad Salim Internasional (Bank RSI), Bank Jaya, dan Bank Pos. Sejak saat itu, sebagai surviving entity,Bank Danamon bangkit menjadi salah satu pilar perbankan nasional. Dalam kurun waktu tiga tahun berikutnya, Bank Danamon melakukan restrukturisasi luas mencakup manajemen, sumber daya manusia, organisasi, sistem, nilai, perilaku serta identitas perusahaan. Upaya ini berhasil meletakkan fondasi maupun prasarana baru bagi Perseroan guna meraih pertumbuhan berdasarkan nilai-nilai “Transparansi”, “Responsibilitas”, “Integritas” dan “Profesionalisme” (TRIP). Pada tahun 2003, melalui dealing dengan BPPN, Bank Danamon diambil alih oleh Konsorsium Asia Finance Indonesia (Asia Financial Indonesia, Pte. Ltd.) sebagai pemegang saham pengendali. Kepemilikan terbesar dari Konsorsium Asia Finance ini adalah Temasek, Pte. Ltd., yaitu salah satu BUMN-nya Singapura. Dengan kendali manajemen baru, serta modal 180-hari pemetaan model bisnis dan strategi baru, Bank Danamon terus menjalani perubahan transformasional yang dirancang untuk dijadikannya sebagai bank nasional terkemuka dan pelaku regional unggulan. Menurut data publikasi Bank Danamon per tanggal 30 September 2007, kepemilikan saham Bank Danamon adalah 68,2 % oleh Asia Financial (Indonesia) Pte. Ltd., dan sisanya 31,8% oleh publik. Dalam menjalankan operasionalnya, Bank Danamon mempunyai Visi : “Kita peduli dan membantu jutaan orang mencapai kesejahteraan (We care and Enable Millions to Prospers).” Visi tersebut berjalan beriringan dengan misinya “Danamon bertekad untuk menjadi Lembaga Keuangan Terkemuka di Indonesia yang keberadaannya diperhitungkan”. Sebagai suatu organisasi yang terpusat pada nasabah, Bank Danamon yang melayani semua segmen dengan menawarkan nilai yang unik untuk masing-masing segmen, berdasarkan keunggulan penjualan dan pelayanan, dan didukung oleh teknologi kelas dunia. Aspirasinya adalah menjadi perusahaan pilihan untuk berkarya dan yang dihormati oleh nasabah, karyawan, pemegangan saham, regulator dan komunitas dimana Bank Danamon berada. Guna merealisasikan Visi dan Misi tersebut, Bank Danamon memiliki nilainilai yang harus dipegang teguh oleh seluruh karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Nilai-nilai tersebut adalah “Peduli (caring), Jujur (honesty), Mengupayakan yang terbaik (passion to excel), Kerjasama (teamwork) dan Profesionalisme yang disiplin (disciplined professionalism). Berdasarkan data publikasi Bank Danamon per tanggal 30 September 2007,
kinerja keuangan Bank Danamon dari bulan Januari hingga bulan September 2007 dinilai sangat baik, terjadi peningkatan yang signifikan dibanding periode yang sama pada tahun 2006. Dengan Total Aktiva Rp.87.987 Milyar, Bank Danamon berhasil mengumpulkan Laba Bersih Sebelum Pajak sebesar Rp.2.542 Milyar, Laba Bersih Setelah Pajak Rp.1.600 Milyar (ROAA 2,5 %), dengan cost to income ratio sebesar 46,8 %. Total kredit yang disalurkan adalah Rp.50.153 Milyar dan berhasil membukukan dana pihak ketiga sebesar Rp.58.853 Milyar. Rasio kecukupan modalnya (CAR) adalah 19,2 %, diatas ketentuan CAR nasional. Rasio penyaluran kredit dibandingkan total dana pihak ketiga (loan to deposit ratio) termasuk salah satu yang tertingi di perbankan yang ada saat ini, yaitu dengan ratio 85 %. Bank Danamon juga berhasil menekan non performing loan-nya dengan ratio gross 2,8 %, angka ini masih berada dalam angka yang terkendali dan dibawah angka rata-rata perbankan nasional. Hingga saat ini Bank Danamon di dukung oleh 1.400 cabang, tersebar di seluruh wilayah 33 Propinsi di Indonesia, 7 Kantor Wilayah, dengan jumlah karyawan 33.000 orang. Selain unit konvensional, Bank Danamon juga telah memiliki unit usaha syariah, yang dirintis sejak tahun 2002, hingga saat ini telah dibuka 7 Kantor Cabang Syariah, tersebar di kota-kota besar di Indonesia, dengan 3 unit Kantor Cabang Pembantu dan 12 Cabang Office Channeling. Berkat dukungan dari berbagai stake-holder, di tahun 2007 ini Bank Danamon telah meraih beberapa penghargaan yang cukup prestisius dan membanggakan yakni, Indonesian Bank Loyalty Award (IBLA 2007) pada Januari 2007, Worlds Best Trade Finance Awards 2007 pada bulan Januari 2007 dan Service Quality Award 2007 pada bulan Maret 2007. Demikian juga dengan unit usaha syariahnya, telah mendapatkan penghargaan antara lain The Best Phone Handling dan The Best Overall Service Quality dari Islamic Banking Quality Award pada tahun 2005, pemenang kedua Loyalty Index Syariah Banking pada tahun 2005, pemenang ketiga Best Syariah Banking pada tahun 2006 dan The Most Innovative syariah Bank pada bulan September 2007 2. Bank Danamon Kantor Cabang Manado Sebagai Ibukota Propinsi Sulawesi Utara, Kota Manado, dinilai memiliki nilai strategis, karena selain sebagai kota yang sedang berkembang di Indonesia Timur, juga merupakan salah satu kota yang menjadi pusat perdagangan di perbatasan Indonesia dan Philipina, sehingga memiliki potensi bisnis yang baik di masa yang akan datang. Untuk itulah Bank Danamon membuka kantor cabangnya di Kota Manado. Kantor Cabang Manado didirikan pada Bulan Mei tahun 1989,berkedudukan di Jl. Toar No.17 Manado. Seiring perkembangan bisnis yang dicapai, saat ini Bank Danamon Manado memiliki 3 kantor cabang pembantu, masing-masing Kantor Cabang Pembantu (KCP) Manado Sutomo, KCP Ranotana dan KCP Bahu Malalayang. Operasionalisasi ketiga KCP ini di remote oleh Kantor Cabang Induknya yaitu Kantor abang Manado Toar. Organisasi kerja Bank Danamon Kantor Cabang Manado didukung oleh empat unit kerja, yakni : Unit Bisnis, yang terdiri dari Small Medium Enterpize (SME) dan Consumer atau Primagold Banking (PB); Unit Operasional; dan Supporting Business Unit. Keempat unit kerja ini masing-masing dipimpin oleh seorang Manager yang kedudukan jabatannya selevel satu dengan lainnya. Setiap unit kerja bertanggung jawab atas pencapaian kinerja di unitnya masing-masing. Unit bisnis yang terbagi dalam dua sub unit, diberi tanggung jawab pada pencapaian target baik dari sisi penyaluran kredit (loan) maupun pengumpulan dana pihak ketiga (funding). Target market unit SME adalah nasabah-nasabah yang memiliki skala usaha kecil-menengah (UKM), dengan kriteria total asset produktif nasabah tidak boleh lebih dari Rp.5 milyar, atau indikator lainnya dari sisi kredit, total kredit perbankan yang dinikmatinya maksimum Rp.5 milyar. Dari sisi funding, SME ditargetkan untuk pencapaian funding yang berasal dari danadana hasil usaha produktif nasabah. Target market unit konsumer adalah pemberian kredit
atas kebutuhan kebutuhan konsumtif nasabah, misalnya untuk pembelian rumah, pembelian mobil, pembelian sepeda motor dan / atau kebutuhan-kebutuhan konsumtif lainnya. Dari sisi funding, target market unit consumer adalah nasabah-nasabah perorangan yang memiliki variabel fixed income, seperti karyawan swasta, pegawai negeri, anggota Kepolisian Republik Indonesia dan atau anggota Tentara Nasional Indonesia beserta pensiunannya. Unit operasional bertanggung jawab atas seluruh pelayanan transaksitransaksi tunai maupun nontunai di teller serta pelayanan jasa-jasa bank lainnya berupa jasa transfer, inkaso, kliring, anjungan tunai mandiri (ATM), save deposit box dan sebagainya. Sedangkan unit supporting bisnis bertanggung jawab atas penata-usahaan, pengikatan dan dokumentasi kredit, yang pekerjaannya meliputi administrasi, pembukuan, dan pembuatan laporan-laporan perkreditan ke Bank Indonesia. Secara struktural, masing-masing unit kerja ini bertanggung jawab secara vertikal ke Kantor Wilayah sesuai garis bidangnya masing-masing, seterusnya Kantor Wilayah bertanggung jawab kepada Divisinya masingmasing di Kantor Pusat dan terakhir Divisi bertanggung jawab kepada Dewan Direksi. 2. Pencapaian Bisnis Bank Danamon Cabang Manado Keberadaan Bank Danamon Kantor Cabang Manado, cukup diperhitungkan oleh bank-bank kompetitor yang ada di Manado. Dari data Statistik Bank Indonesia Manado, per tanggal 31 Agustus 2007, mengindikasikan angka-angka kinerja yang cukup baik. Dari sisi kredit, Bank Danamon berhasil menguasai market share sebesar 12,9 % dari total penyaluran kredit perbankan yang ada di wilayah Kota Manado sebesar Rp.1.972 milyar. Di sisi funding juga demikian, berhasil menguasai market share sebesar 9,5 % dari total funding perbankan sebesar Rp.3.836 milyar. Penyaluran kredit terkontrol dengan baik, hal itu nampak pada angka gross kredit bermasalah yang hanya sebesar Rp.6,0 milyar. Dari segi profitabilitas, sesuai data per tanggal 30 September 2007, Bank Danamon Cabang Manado berhasil memperoleh laba sebesar Rp.16,6 milyar,dengan total asset Rp.389,7 milyar. Angka-angka ini membuktikan bahwa kinerja bisnis Kantor Cabang Manado cukup berperan dalam kerangka pembangunan ekonomi masyarakat guna peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia. Peran serta ini akan terus bergulir seiring dengan tuntutan kinerja cabang yang ditentukan oleh Kantor Pusat Bank Danamon. Dengan dukungan karyawan yang berjumlah 145 orang, Bank Danamon Cabang Manado bertekad untuk terus berkarya dan memberi warna dalam upaya peningkatan taraf hidup seluruh masyarakat Indonesia.
B. Pelaksanaan Kredit dengan pengikatan Jaminan Deposito Yang Tidak Turut Ditanda-tangani oleh Isteri atau Suami Pemilik Deposito Jaminan 1. Hasil Penelitian a. Penelitian Terhadap Responden Bank Telah dikemukakan diatas bahwa Bank Danamon Manado terus menunjukan eksistensinya dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat pada umumnya. Dalam kerangka itu, Bank Danamon terus berupaya meningkatkan angka penyaluran kredit kepada masyarakat, selain tentunya berusaha untuk memperoleh tingkat keuntungan tertentu sebagaimana ditargetkan oleh Kantor Pusat. Dari tahun ke tahun, akses masyarakat untuk memperoleh fasilitas kredit terus dibuka, sehingga seluruh masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh fasilitas kredit di Bank Danamon. Tetapi sungguhpun demikian, tidak semua masyarakat tentunya dapat menikmati fasilitas yang ditawarkan itu, karena harus melalui proses tahap-tahapan analisa kelayakan terlebih dahulu, sehingga hanya nasabah yang benar-benar bankable-lah nantinya yang akan menikmati fasilitas kredit. Untuk menunjang upaya penetrasi pasar, Bank Danamon menawarkan berbagai jenis kredit yang dikemas sedemikian rupa mengikuti tuntutan kebutuhan pasar yang ada. Terdapat berbagai pilihan variasi produk yang masing-masing memiliki karakter dan keuntungan sendiri-sendiri. Untuk kebutuhan modal kerja, terdapat Kredit Rekening Koran (KRK) dan Kredit Berjangka (KB). Untuk kebutuhan investasi berupa pembelian atau pembiayaan barang modal usaha seperti mesin-mesin, pembukaan out-let baru usaha, renovasi tempat usaha, ataupun ekspansi usaha lainnya, terdapat Kredit Angsuran Berjangka (KAB) yang jangka waktu pengembaliannya dapat disesuaikan dengan cash flow usaha nasabah. Untuk fasilitas penunjang usaha lainnya dalam bentuk non-cash loan terdapat produk-produk tradefinance seperti L/C, Guarantee Bank, Trust Receipt, Pre Export Financing, Post Export Financing dan Rediscontro. Sedangkan untuk kebutuhan konsumtif terdapat fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Mobil (KPM), Kredit Sepeda Motor (KPSM), dan Kredit Multi Guna (KMG), yang tergantung kepada kebutuhan konsumtif nasabah. Kebijakan dan prosedur penyaluran kredit, dari waktu ke waktu terus dievaluasi dan dilakukan penyesuaian dengan tuntutan kebutuhan pasar yang semakin hari juga semakin kompetitif. Langkah ini mau tak mau harus dilakukan agar Bank Danamon tetap dapat bersaing di tengah semakin ketatnya persaingan pasar, karena disaat yang sama bank-bank kompetitor juga semakin ekspansif dalam penyaluran kredit. Salah satu perubahan mendasar yang dilakukan adalah pola marketing, dari pola yang lama marketing pasif “menunggu di tempat” dirubah menjadi marketing aktif “turun ke pasar”. Marketing Officer (MO) atau biasa dikenal juga Account Officer (AO) sebagai ujung tombak di lapangan di haruskan untuk aktif melakukan approach untuk mendapatkan prospek nasabah. Dari prospek nasabah ini MO akan melakukan analisa-analisa awal, apakah memungkinkan untuk diproses lebih lanjut atau tidak. Jika hasil penilaian awal baik, maka MO akan melakukan collecting data yang diperlukan, mulai dari data legal aspect usaha berupa ijin-ijin usaha; aspek keuangan nasabah berupa laporan keuangan, mutasi rekening bank yang dimiliki; serta aspek collateral, berupa bukti kepemilikan atas barang jaminan yang akan diserahkan guna menjamin kredit. Setelah melakukan taksasi jaminan, marketing officer mengolah data yang ada untuk selanjutnya dibuatkan memo analisa kredit dalam bentuk proposal kredit dan diajukan kepada komite kredit yaitu pejabat pemegang wewenang memutus kredit, untuk disetujui sesuai limitnya.
Memo analisa kredit ini berisikan analisa-analisa yang berkaitan dengan pemenuhan prinsipprinsip perkreditan yang dikenal dengan “the 5 principles of credit”. Dari sini nantinya Komite Kredit akan me-review dan selanjutnya dikeluarkan Memo Keputusan Kredit (MKK atau Credit Approval). Dari aspek pemberian jaminan, satu perkembangan yang cukup positif dalam praktek belakangan ini adalah pemberian jaminan berupa deposito Untuk mengakomodir demand pemberian jaminan dalam bentuk deposito tersebut, Bank Danamon menciptakan suatu produk kredit yang cukup ekslusif dengan nama Kredit dengan Jaminan Deposito atau di internal Bank Danamon lasimnya disebut Pinjaman dengan Jaminan Deposito (PJD atau kredit back to back). Dibandingkan dengan jenis-jenis kredit umum yang telah disebutkan diatas, terdapat beberapa perbedaan penanganan terhadap produk kredit ini. Perbedaannya terletak pada proses pengajuan dan approval kreditnya, pengikatan kredit dan jaminannya, maintenance debitur dan penentuan plafond kredit yang dapat diberikan. Dalam proses pengajuan kredit back to back, analisa mendalam tidak perlu dilakukan selayaknya kredit umum lainnya, karena kredit jenis ini benar-benar atas pertimbangan jaminan (based on collateral). Dengan demikian, Bank Danamon memberikan target service level yang lebih singkat dibandingkan dengan kedit umum lainnya. Service level yang diukur sejak dari pengajuan kredit oleh MO hingga pengikatan dan pencairan kreditnya, untuk kredit back to back hanya satu hari kerja. Dari segi pengikatan kredit dan jaminannya, pada kredit umum dengan jaminan sertifikat tanah dan bangunan ataupun berupa jaminan lainnya, pengikatannya harus dilakukan secara notaril, berbeda halnya dengan kredit back to back. Pengikatan kredit dan jaminan pada kredit back to back cukup dilakukan dengan akta dibawah tangan. Pertimbangannya adalah karena barang jaminan tersebut ada dalam penguasaan Bank Danamon, sehingga dipandang sudah sangat aman bagi bank. Tetapi hal penting yang diperhatikan oleh bank dalam hal ini adalah pemenuhan aspek hukum dalam pelaksanaan pengikatannya, apakah terpenuhi dengan baik atau tidak. Dalam pengikatan kredit dan jaminannya, digunakan format standar yang elah dibakukan oleh Kantor Pusat Bank Danamon. Baik perjanjian pokoknya yang berupa Perjanjian Kredit maupun perjanjian accesoirnya berupa Perjanjian Gadai Deposito, standar bakunya telah disiapkan. Untuk lebih memberikan alas hak kepada bank, maka perjanjian gadai deposito tersebut diikuti dengan Surat Kuasa Mencairkan Deposito yang diberikan oleh debitur atau pemilik jaminan deposito. Semua format pengikatan ini telah distandarisir oleh kantor pusat, cabang selaku pelaksana di lapangan tinggal mengisi blanko yang sudah ada, selanjutnya memintakan penanda tanganan debitur/penjamin. Ketentuan standar yang berlaku dalam hal pengikatan perjanjian kredit dan jaminan, perjanjian itu selain ditanda tangani oleh debitur/pemilik jaminan, juga harus turut ditanda tangani oleh isteri atau suami debitur atau oleh isteri atau suami pemilik jaminan deposito. Ketentuan ini dikecualikan jika terdapat bukti-bukti yang kuat yang menyatakan bahwa dalam perkawinan debitur/penjamin terdapat perjanjian kawin. Akan tetapi karena umumnya latar belakang munculnya kredit back to back adalah atas inisiatif bank yang menawarkan faslitas itu kepada debitur, maka dokumen menyangkut perjanjian kawin jarang dimintakan konfirmasinya kepada debitur/penjamin. Untuk itu bank memberi perlakuan (jalan pintas) dengan menggeneralisir bahwa tidak ada perjanjian kawin, sehingga beranggapan bahwa seluruh harta dalam perkawinan adalah harta bersama suami-isteri dari debitur/penjamin secara bulat (terjadi persatuan harta secara bulat). Untuk itu setiap perjanjian yang dibuat harus turut ditanda tangani atau mendapatkan persetujuan daripada isteri atau suami debitur/penjamin. Maka dalam pelaksanaan perjanjian jaminannya, isteri atau suami debitur/pemilik jaminan deposito wajib hadir dan turut membubuhkan tanda tangan pada formulir
perjanjiannya. Normatif ketentuan dalam pelaksanaan pengikatan tersebut memang sangat ideal, tetapi sebagus-bagusnya aturan itu dirumuskan untuk dilaksanakan, tidak selamanya seratus persen mulus terlaksana dalam praktek seperti yang diharapkan. Dalam praktek, khususnya terhadap kredit back to back, terdapat berbagai macam argumentasi yang menyebabkan aturan tertulis tersebut diterobos bahkan disimpangi. Ini dilatarbelakangi oleh karena pada umumnya yang memiliki deposito itu adalah nasabah yang secara ekonomi cukup kuat (kalangan berkecukupan atau the have), dan inisiasi kredit itu berasal dari pihak bank untuk tujuan pencapaian bisnis, sehingga golongan ini memiliki bargaining position tersendiri di mata bank. Menyadari bargaining position-nya, debitur yang sekaligus juga pemilik deposito mengajukan syarat dispensasi-dispensasi dalam hal pengikatan kredit dan atau jaminan depositonya. Alasan-alasan yang umum dikemukakan oleh debitur adalah tidak mau repot, deposito atas nama debitur sendiri, dalam urusan penempatan deposito isteri atau suami tidak pernah dilibatkan, sibuk, dan sebagainya. Berdasar alasan-alasan tersebut, debitur mensyaratkan agar perjanjian kredit dan atau jaminan depositonya tidak ditanda tangani oleh isteri atau suaminya. Hal ini tentu membuat bank dalam posisi sulit, jika tidak memenuhi permintaan debitur/pemilik deposito jaminan berarti kemungkinan bank akan kehilangan bisnis dari dua sisi sekaligus : dari sisi funding, karena depositonya bisa dicairkan atau dipindahkan ke bank lain; dari sisi kredit, tidak ada incremental kredit karena kredit tidak jadi realisasi. Disisi lain, jika memenuhi permintaan debitur/pemilik deposito sama artinya dengan mengabaikan aspek hukum, sehingga membuka celah hukum yang dapat melemahkan bank. Diperhadapkan dengan adanya tarik menarik kepentingan ini, pada akhirnya bank memilih mengikuti kemauan nasabah, setelah menempuh prosedur standar internal bank. Maka terjadilah pengikatan kredit dan atau jaminan depositonya tanpa turut ditanda tangani oleh isteri/suami pemilik deposito. Pelaksana dan management cabang bukannya tidak menyadari resiko hukum yang dihadapi, tetapi pertimbangan bisnis selalu menjadi pilihan “terpaksa” jika diperhadapkan dengan masalah di atas. Maka dengan motivasi bisnis, cabang melakukan terobosan dengan cara berupayamengalihkan resiko kepada pemutus kredit di kantor pusat. Untuk itu, pelaksana di cabang menempuh jalan dengan mengajukan permohonan one up level approval (OLA) yaitu mengajukan permohonan persetujuan atas penyimpangan atau deviasi kepada komite kredit kantor pusat di Jakarta. Pengalaman yang ada bahwa komite kredit kantor pusat dalam menanggapi dan merekomendasikan permohonan cabang tidak lepas dari pertimbangan business orientation, sehingga cenderung menyetujui realisasi kredit dengan pelaksanaan pengikatan sesuai permintaan nasabah. Dalam menanggapi permohonan cabang, komite kredit kantor pusat akan memberikan rekomendasi (solusi) dengan syarat agar cabang memenuhi salah satu alternatif solusi, sebagai berikut : 1) disyaratkan agar dibuat persetujuan umum, yang dilakukan secara terpisah dari pengikatan kredit dan gadai deposito oleh isteri atau suami debitur/penjamin, yang isinya menyetujui tindakan hukum apapun yang dilakukan oleh suaminya, termasuk mengajukan kredit dan menjaminkan seluruh harta bersama kepada bank. 2) jika surat persetujuan yang sifatnya umum tersebut tidak dapat diberikan, maka debitur diwajibkan membuat pernyataan bahwa atas segala resiko yang timbul dari kredit dan deposito jaminan ini adalah dalam tanggung jawab debitur sepenuhnya seorang diri. Solusi ini sebetulnya juga merupakan bentuk upaya dari komite kredit untuk bebas dari tanggung jawab hukum atas pemberian persetujuan yang menyimpang akan tetapi pada prakteknya tidak selalu disetujui oleh debitur/penjamin. Maka untuk mengatasi hal itu, pelaksana di cabang akan terus melakukan permohonan dengan mengajukan argumentasi dan
perbandingan bisnis yang nyata (akan terjadi) bahwa jika syarat nasabah tidak diikuti maka kredit terancam batal realisasi, sehingga dengan batalnya realisasi, cabang akan kehilangan bisnis dari dua sisi : kredit dan funding (deposito). Dengan kegigihan cabang berargumentasi, pada akhirnya (selalu terjadi demikian), komite kredit kantor pusat merekomendasikan deviasinya. Berdasar rekomendasi komite kredit kantor pusat maka dilaksanakanlah pengikatan kredit back to back tanpa turut ditanda tangani oleh isteri atau suami debitur/penjamin (pemilik deposito). Sebaliknya, jika tanpa rekomendasi dari pemutus kredit, cabang tidak akan melakukan pengikatan. Perbedaan lainnya adalah dalam hal account maintenance. Untuk kredit back to back, account maintenance setelah kredit dicairkan cukup dilakukan oleh Marketing Officer sekali sebulan. Itupun tidak diwajibkan harus melakukan on the spot kepada nasabah, melainkan cukup dengan media telepon saja. Pada kredit umum, account maintenance dilakukan lebih intensif, minimal dalam sebulan, MO harus on the spot kepada debitur. Hal lainnya yang berbeda adalah tentang penentuan plafond kredit. Dalam kredit dengan jaminan deposito, plafond kredit ditentukan sematamata dari jumlah deposito yang dijaminkan, komite kredit dapat menyetujui hingga maksimum sama besarnya dengan jumlah deposito jaminan yang diserahkan, sedangkan pada kredit umum, penentuan plafond kredit tidak semata-mata berdasarkan pada jaminan yang diberikan, tetapi gabungan dari seluruh aspek penilaian kredit. Ketentuan yang berlaku jika plafond kredit back to back diberikan sama dengan jumlah deposito yang diserahkan, adalah penempatan deposito harus secara automatic roll over (ARO) dan bunga dikapitalisasi ke pokok. Tingkat suku bunga deposito jaminan hanya dapat diberikan counter-rate artinya deposito jaminan tidak diperkenankan menggunakan special rate. Sedangkan untuk suku bunga kreditnya adalah suku bunga deposito + 2%, artinya suku bunga kredit dengan jaminan deposito bunganya lebih mahal 2 % dibandingkan dengan bunga depositonya sendiri. Selisih bunga ini diharapkan oleh bank akan menutupi overhead cost atas maintenance debitur back to back, artinya selisih bunga ini membiayai diri sendiri. Dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, pertimbangan yang cukup mendasar sehingga dibuatkan produk kredit dengan jaminan deposito ini dilatar belakangi oleh karena faktor keamanan bagi bank, bahwa dengan sifat deposito yang pasti jumlahnya dan sangat likuid dibandingkan jaminan lainnya, keamanan bank atas resiko kredit ini sudah pasti teratasi dengan penguasaan barang jaminan secara fisik oleh bank. Selain itu, dari sisi debitur, memang menghendaki agar depositonya dijaminkan guna mendapatkan kredit bank. Dan dengan penjaminan deposito ini, aspek birokrasi dalam pengajuan dan pencairan kredit diperpendek, selain itu juga biaya dapat ditekan sedemikian rupa. b. Penelitian Dengan Responden Pihak Debitur Sekaligus Pemilik Deposito Jaminan Dari penelitian lapangan yang dilakukan kepada para debitur kredit dengan jaminan deposito diketahui bahwa latar belakang mereka mengajukan kredit back to back umumnya disebabkan karena probalilitas persetujuan kreditnya yang sudah pasti, proses persetujuannya cepat, tidak bertele-tele dan biaya murah. Berbeda dengan kredit umum dengan jaminan sertifikat tanah dan bangunan, setelah mengajukan permohonan peluang diterimanya hanya 50 %. Dari lama proses, pada kredit umum dengan jaminan selain deposito, waktu prosesnya paling cepat dalam 14 hari kerja, sedangkan kredit back to back sudah bisa cair hanya dalam waktu paling lama 2 hari kerja. Dari segi biaya, kalau kredit umum dengan jaminan bukan deposito, selain biaya provisi dan administrasi, juga yang paling besar biayanya adalah biaya pengikatan jaminan di notaris serta biaya asuransi atas objek jaminan. Pada kredit back to back biaya pengikatan di
notaris dan asuransi jaminan tidak ada, yang ada hanya dikenai biaya provisi dan administrasi, itupun masih dapat ditekan 50 – 75 % dari provisi administrasi pada kredit umum. Faktor lain yang juga melatar belakangi diberikannya deposito sebagai jaminan kredit adalah faktor psikologis penggunaan kredit bank. Jika deposito yang dicairkan dan dipakai sebagai penambah modal dalam kebutuhan usaha, karena memang bawaannya adalah milik sendiri maka pemakaiannya biasanya kurang ketat perhitungannya, artinya bisa saja debitur menggunakannya kepada hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pembiayaan usaha. Sedangkan jika menggunakan kredit bank, debitur merasa ada beban tersendiri yang harus dipikul, dan karena itulahmaka penggunaannya benar-benar difokuskan kepada pembiayaan usaha yang produktif, sehingga dari usaha itu menghasilkan uang guna pembayaran kewajiban ke bank. Dalam pengikatan kredit dan jaminan deposito, karena pada dasarnya yang dibutuhkan oleh nasabah adalah kecepatan pencairan kreditnya, maka para nasabah umumnya tidak secara detail memperhatikan isi dari perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh bank. Umumnya mereka berpendapat bahwa perjanjian itu hanya memenuhi formalitas saja, yang penting sudah ditanda tangani supaya kreditnya cepat cair. Debitur atau pemilik deposito jaminan tidak sampai berpikir jauh tentang konsekuensi hukum dari apa yang mereka tanda tangani dalam perjanjian kredit dan gadai jaminan deposito. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah jika kreditnya bermasalah maka deposito itulah yang dicairkan guna pelunasannya. Berangkat dari latar belakang pengikatan yang hanya memenuhi formalitas saja, para debitur penerima kredit back to back tidak mau tahu jika pengikatan-pengikatan yang dibuat oleh bank terlalu menyulitkannya misalnya dengan mengharuskan isteri atau suaminya turut ikut menanda tangani perjanjian. Logika yang dipegang oleh debitur adalah bilyet deposito tertulis atas namanya, maka yang berhubungan dengan bank hanyalah siapa yang tertulis di dalam bilyet deposito tersebut. Bahwa selama penerbitan bilyet deposito, isteri atau suami tidak pernah dilibatkan oleh bank, karenanya adalah hal yang wajar juga jika mereka tak mau tahu dan tak mau mengerti jika isteri atau suaminya turut dibawa-bawa dalam perurusan tersebut. Ketika ditanyakan dengan pertanyaan bagaimana jika pihak bank memaksakan agar isteri atau suaminya turut bertanda tangan dalam perjanjian kredit dan jaminannya? Tentang hal ini ada dua pendapat yang sedikit berbeda satu dengan lainnya, yang pertama, adalah golongan yang keras dengan pandangannya bahwa bagaimanapun isteri atau suami tidak perlu untuk turut ikut menanda tangani perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh bank. Kalau dipaksakan oleh bank, konsekuensinya kredit back to back yang telah disetujui tidak akan direalisasikannya, dan debitur memilih depositonya yang dicairkan atau dipindahkan sebagai jaminan ke bank lain yang lebih mudah ketentuannya untuk tambahan modal usaha. Pandangan kedua, adalah mereka yang cukup moderat dengan sedikit mengalah, jika memang bank memaksa untuk itu, ada sedikit kompromi yaitu dengan jalan membuat surat persetujuan dalam dokumen tersendiri, tetapi intinya hanya persetujuan umum bahwa isteri atau suaminya menyetujui suami atau istrinya memperoleh pinjaman di bank dan kemudian menjaminkan barang-barang yang merupakan harta bersama dalam perkawinan. Jika jalan kompromi telah didapatkan, maka perjanjian dapat segera direalisasikan. Dalam pelaksanaan penandatanganan perjanjian kredit dan gadai jaminan deposito, debitur tidak membaca detail isi perjanjiannya. Ketika ditanyakan tentang hal ini mengapa, umumnya selain berargumentasi bahwa hanya melakukan formalitas bank, juga karena semuanya telah dibuat dalam bentuk format baku, maka mereka mengikuti saja. Membaca dan menanyakan detail isi perjanjian adalah hal yang tidak berguna, hanya membuang-buang waktu kerja saja. Yang inti dipegang oleh debitur adalah jika kreditnya bermasalah maka depositolah yang dicairkan, maka persoalan selesai. Penggunaan kredit back to back bagi debitur tidak ada bedanya dengan penggunaan
kredit umum lainnya. Debitur tidak secara khusus memperuntukkan dana kredit ini hanya untuk kebutuhan tertentu, tetapi semuanya dipakai untuk usaha. Jadi keuntungan menggunakan kredit ini adalah dalam hal waktu proses kredit cepat dan biayanya murah. Inilah yang umum menjadikan deposito menjadi salah satu alternatif pengajuan kredit kepada bank. 2. Pembahasan Pemberlakuan bentuk perjanjian tertulis dibidang perkreditan bank merupakan salah satu pelaksanaan asas kehati-hatian dalam hubungan hukum antara bank dengan debitur. Dengan lain perkataan bahwa dibuat tertulisnya perjanjian kredit dan atau perjanjianperjanjian lainnya yang timbul dalam hubungan hukum antara bank dan debitur mempunyai tujuan : 1) Untuk menjamin kepercayaan secara timbal-balik antara bank dan debitur; 2) Untuk dokumentasi hukum jika terjadi kredit bermasalah yang dapat merugikan bank. Praktek umumnya bank, termasuk Bank Danamon, perjanjianperjanjian tersebut telah distandarisir sedemikian rupa oleh Kantor Pusat, bahkan dalam pelaksanaannya telah dibuatkan dalam bentuk formulir atau blanko perjanjian, sehingga pelaksana di cabang tinggal menyesuaikan dengan debiturnya, artinya pelaksana bank tinggal mengisi kolomkolom yang kosong sesuai dengan data debitur dan fasilitasnya. Dalam teori perjanjian, perjanjian semacam ini disebut sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku.Pemberlakuaan bentuk perjanjian kredit berikut perjanjian jaminannya yang bersifat standard dan baku dalam hubungan hukum antara bank dengan debitur/penjamin,dimaksudkan untuk : a. Untuk penyeragaman isi dari klausul-klausul perjanjian kredit di seluruh cabang Bank Danamon; b. Untuk kepraktisan bagi pelaksana di cabang, dalam hal ini bagian legal Bank Danamon di dalam melakukan pengikatan kredit. Dari sisi ini diharapkan oleh managemen akan melahirkan efisiensi waktu sehingga pekerjaan dapat lebih terukur efektifitasnya. c. Untuk memudahkn monitoring atau supervisi atas legal documentation, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi dan dapat segera diidentifikasi adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan pengikatannya. Untuk memperoleh kesempurnaan dan daya ikat yang efektif dari suatu pengikatan kredit dan jaminan deposito bagi kredit back to back, disyaratkan adanya tiga dokumen yang harus dibuat. Ketiga dokumen hukum tersebut adalah sebagai berikut : a. Perjanjian Kredit, sebagai perjanjian pokok. b. Perjanjian gadai deposito, sebagai perjanjian jaminannya. c. Surat kuasa mencairkan deposito Pada tahap ini tidak ada pilihan bagi debitur/penjamin karena formulirformulir itu telah disiapkan oleh bank. Hanya ada dua kemungkinan bagi debitur/penjamin, menyetujui atau menolak, jika menyetujuinya maka perjanjian dilaksanakan, sebaliknya jika tidak maka kredit tersebut terancam tidak terealisasi. Disinilah letak kelemahan perjanjian standar, tidak adanya kesempatan lagi bagi debitur/penjamin untuk menegosiasi klausul-klausul yang ada di dalamnya. Tetapi sungguhpun demikian, praktek perbankan yang terjadi seperti itulah adanya. Ketentuan dasar Bank Danamon yang mengharuskan isteri atau suami dari debitur/pemilik jaminan ikut turut menandatangani perjanjian kredit dan perjanjian gadai deposito jaminan adalah hal yang normatif dilakukan. Adanya penyimpangan-penyimpangan
dalam praktek bahwa pengikatan kredit dan gadai jaminan tetap dilaksanakan tanpa turut ikut ditanda tangani oleh isteri atau suami debitur/penjamin, secara hukum merupakan suatu kelemahan tersendiri bagi bank. Hal yang pertama dilakukan menurut hukum adalah mengetahui status perkawinan daripada debitur/penjamin, apakah didalam perkawinan mereka terdapat perjanjian kawin atau tidak. Apabila terdapat perjanjian kawin dengan mana menyatakan terdapat pemisahan atas harta, maka perlakuan hukumnya berbeda. Dengan tindakan menggeneralisir seluruh debitur kredit back to back bahwa tidak ada perjanjian kawin, maka hukumnya adalah seluruh harta yang diperoleh sepanjang perkawinan adalah harta bersama secara bulat. Dengan demikian perlakuan hukum terhadap harta bersama satu sama lainnya harus saling memberikan persetujuan. Demikian juga terhadap perbuatan penjaminan deposito ke bank, harus dilakukan atas dasar persetujuan suami isteri secara bersama-sama. Jadi kelemahan bank disini jelas berkaitan dengan jumlah resiko yang ter-cover. Karena deposito merupakan harta bersama, maka nilai deposito yang diikat sebagai jaminan itu menjadi berkurang separoh, karena masing-masing dari suami ataupun isteri atas deposito tersebut berhak atas separohnya. Dengan dermikian, secara hukum, bank telah di cover dengan separuh nominal kredit saja, artinya bank telah tidak dicover penuh sebesar nilai kredit yang dicairkan. Jadi dalam hal ini terdapat potensi kerugian bagi bank jika kreditnya bermasalah. Tentang adanya alternatif jalan keluar yang ditempuh bank dalam merealisasikan kredit ini yaitu dengan memintakan persetujuan umum kepada isteri atau suami debitur penjamin, dari sudut pandang hukum, khususnya hukum perjanjian, juga tetap mengandung unsur kelemahan bagi bank. Terjadi kelemahan hukum karena dalam surat persetujuan tersebut tidak menyebutkan secara spesifik perbuatan hukum yang menjadi objek perjanjian. Artinya, surat persetujuan seharusnya berisi tentang perbuatan hukum yang sudah spesifik, dalam hal ini menyetujui suami atau isteri untuk meminjam kredit ke bank dengan jumlah, jangka waktu dan jenis kredit yang spesifik. Dengan hanya menerima persetujuan yang bersifat umum, ini merupakan satu kelemahan tersendiri bagi bank. Celah hukum ini bisa saja dimanfaatkan oleh isteri atau suami yang memberi persetujuan untuk mengajukan klaim ke bank atas kekaburan persetujuan yang diberikannya. Jalan terakhir dengan adanya persetujuan atas penyimpangan yang diajukan oleh pelaksana di cabang hanyalah persetujuan yang bersifat administratif, karena tidak menyangkut substansi hukum dan perbuatan hukumnya. Secara administratif memang membebaskan pelaksana cabang atas penyimpangan pengikatan jaminan, tetapi dari aspek hukum penyimpangan ini tetap merupakan kelemahan bagi bank. Pelaksanaan pemberian jaminan deposito dengan tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito pada satu sisi merupakan kelemahan hukum bagi bank atas perjanjian yang dibuat, tetapi pada sisi lainnya merupakan kekuatan hukum tersendiri bagi pihak penjamin karena dengan isteri atau suaminya tidak ikut turut menanda tanganiperjanjian, menjadi dasar hukum yang kuat untuk melakukan penuntutan haknya terhadap deposito yang dijaminkan ke bank.
C. Pencairan Deposito Jaminan Yang Tidak Ditanda Tangani Suami atau Isteri Pemilik Deposito Jika kredit macet 1. Hasil Penelitian 1) Penelitian Dengan Responden Pihak Bank Dari hasil penelitian lapangan diketahui bahwa prosedur/penanganan kredit back to back yang bermasalah dilakukan secara lebih simpel dibandingkan hal yang sama terhadap kredit lainnya yang dijamin dengan jaminan selain deposito. Tanggung jawab penanganan kredit bermasalah untuk kredit back to back tetap menjadi tanggung jawab Marketing Officer (MO) sebagai yang bertanggung jawab dalam account maintenance. Bentuk-bentuk maintenance terhadap debitur ini dilakukan dengan jalan kunjungan kepada debitur secara periodik, paling tidak sekali dalam setiap bulan. Hasil pertemuan dengan debitur dituangkan dalam bentuk call memo (call visit atau call report). Dalam formulir call memo atau call visit atau call report tersebut dituangkan informasi-informasi terbaru debitur dalam hal kemajuan usaha, kondisi keuangan dan atau permasalahan-permasalahan yang ada dalam pengelolaan usahanya. Informasi-informasi ini menjadi sangat perlu dalam rangka pemeliharaan debitur, karena dari sini dapat dengan mudah diidentifikasi potensi masalah kredit yang mungkin terjadi di kemudian hari. Dengan cara ini, sejak dini MO akan mengetahui potensi masalah ini sehingga di kemudian hari akan mudah pula penanganannya. Fungsi maintenance account dari debitur ini adalah salah satu tugas dan tanggung jawab pokok MO selain mencari debitur baru untukpencapaian target. Keberhasilan dalam melaksanakan fungsi maintenance ini sangat erat hubungannya dengan terjadinya kredit bermasalah. Hubungan yang terjadi bisa sebagai hubungan sebab akibat, jika berhasil menjaga, maka resiko kredit bermasalah bisa ditekan, sebaliknya jika tidak berhasil maka risiko kredit bermasalah menjadi semakin besar. Jika ternyata setelah dilakukan maintain tetap saja timbul masalah dalam pemenuhan kewajiban kepada bank, maka pola penangananya telah jelas diatur dalam Standard Operating Prosedure (SOP) perkreditan back to back. SOP penanganan masalah ini adalah, setelah menunggak bunga dan atau angsuran pokok dalam 3 hari, MO wajib membuat surat Surat Peringatan (SP), berturutturut SP 1 – SP 3 yang mengingatkan tentang pemenuhan kewajiban debitur untuk masa tertentu diwajibkan harus melunasi tunggakannya. Dalam surat tersebut selain memberikan peringatan akan tunggakan debitur, ditegaskan juga bahwa jika tetap menunggak maka dalam 14 hari sejak tunggakannya, deposito jaminan akan dicairkan guna melunasi total outstanding (O/S) kredit. Pencairan jaminan ini tidak saja akan melunasi terhadap total tertunggak tetapi terhadap seluruh outstanding (O/S) pinjaman yang masih tersisa, akan dibayar secara sekaligus dengan dana dari deposito jaminan. Surat-surat peringatan ini kemudian dilakukan filing oleh bagian administasi kredit guna melengkapi dokumendasi hukum yang ada bagi setiap debitur. Jika dalam jangka waktu 14 hari debitur tidak juga melakukan pembayaran maka dengan dasar SP 1-3 tersebut telah merupakan dasar hukum yang kuat bagi bank untuk menyatakan bahwa debitur wanprestasi. Dan berdasarkan adanya wanprestasi ini pencairan deposito jaminan dilakukan. Pencairan deposito ini dilakukan atas dasar perjanjian gadai dan surat kuasa pencairan deposito dari debitur/penjamin yang telah ditanda tangani pada tahap awal pencairan kredit. Dana hasil pencairan deposito tersebut dimasukkan ke rekening debitur, selanjutnya dengan tersedianya dana ini maka pendebetan/pelunasan kredit segera dilakukan. Pelunasan kredit dilakukan terhadap seluruh O/S pinjaman tersisa, tunggakan bunga, dan denda berjalan sampai dengan hari dilakukan pelunasan atas kreditnya. 2) Penelitian Dengan Responden Pihak Debitur Sekaligus Pemilik Deposito Jaminan
Dari penelitian lapangan kepada debitur/penjamin (pemilik deposito jaminan) diketahui bahwa pelaksanaan maintenance account kredit back to back dirasakan tidak dilakukan sepenuhnya dengan baik oleh bank. Menurut debitur, kemungkinan ini terjadi karena bank di satu sisi merasa sudah sangat aman dengan menguasai deposito jaminan yang diikat secara “ketat” oleh bank. Sehingga dengan alasan itu bank tidak mau membuang waktu untuk melakukan monitoring kredit dengan langkahlangkah maintain yang benar kepada debitur. Terinformasi dari debitur back to back bahwa ketika kewajiban tertunggak, tiba-tiba saja debitur mendapatkan surat peringatan 1 – 3 dengan ancaman bahwa jika terjadi tunggakan yang terus-menerus untuk jangka waktu 14 hari, maka bank akan melakukan pencairan deposito jaminan. Yang lebih memprihatinkan adalah dengan tanpa adanya langkah-langkah persuasif, misalnya menggalang komunikasi dengan mencari tahu sumber masalah mengapa kredit tertunggak, hingga pemberian surat-surat peringatan sebelumnya, tiba-tiba debitur mendapatkan surat pemberitahuan dari bank bahwa seluruh O/S kredit dari debitur telah dilakukan pelunasan dengan pencairan deposito. Menghadapi kenyataan ini, debitur tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain berusaha mengerti kondisi dan kenyataan yang dihadapinya. 2. Pembahasan Bank Indonesia adalah pemegang otoritas dalam hal mengeluarkan regulasi, kebijakan dan pengawasan perbankan yang ada di Indonesia. Di bidang kredit, Bank Indonesia berupaya selalu meng up-date peraturanperaturan perkreditan yang berlaku bagi seluruh bank dengan mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia (SK Dir BI), Peraturan Bank Indonesia (PBI) ataupun Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Tetapi sungguhpun Bank Indonesia selalu melakukan up-dating peraturan yang berlaku, bank-bank yang ada tetap diberi kewenangan khusus untuk membuat regulasinya sendiri-sendiri dengan berpedoman pada ketentuanketentuan Bank Indonesia, termasuk kebijakan perkreditan. Dengan demikian ketentuan perkreditan internal berlaku sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh bank dan debitur dalam hubungannya dengan kredit yang ada. Bahwa dalam ketentuan penanganan kredit back to back, Bank Danamon mengeluarkan ketentuan Standard Operating Prosedure (SOP) tersendiri mulai dari tatacara handling sampai pada penanganan kredit bermasalahnya, maka dalam hal menangani kredit back to back bermasalah, ketentuan itulah yang berlaku. Permasalahannya adalah apakah ketentuan tersebut benar-benar telah dilaksanakan oleh para user di lapangan atau tidak. Untuk efektifitas pelaksanaannya, perlu dilakukan supervisi dari para atasan (supervisor). Secara periodik harus dilakukan penilaian dan evaluasi atas kinerja pelaksana cabang (user) agar tidak terjadi penyimpanganpenyimpangan yang dapat merugikan para pihak. Satu kajian hukum yang sangat penting dalam penanganan kredit back to back bermasalah adalah penentuan kapan debitur wanprestasi. Menurut Pasal 1238 KUH Perdata, tentang wanprestasi sebaiknya diatur secara jelas dan spesifik dalam perjanjian. Tetapi jika tidak dirumuskan secara spesifik tentang kapan terjadinya wanprestasi dalam perjanjian, maka lewatnya waktu dalam melaksanakan prestasi sudah merupakan titik dimana salah satu pihak telah wanprestasi terhadap perjanjian. Dalam perjanjian kredit Bank Danamon, ketentuan tentang wanprestasi sudah secara jelas dirumuskan. Menurut Pasal 12 Formulir Surat Perjanjian Kredit Bank Danamon menyatakan bahwa dengan mengenyampingkan jangka waktu kredit dalam pasal 1, bank dapat dengan seketika dan sekaligus memintakan pelunasan segala kewajiban debitur, apabila : a) Angsuran pokok atau bunga atau jumlah yang terhutang lainnya tidak dibayar lunas pada waktunya, dimana dengan lewatnya waktu saja sudah merupakan bukti yang cukup dan sah bahwa debitur telah wanprestasi;
b) Debitur tidak memenuhi, terlambat memenuhi atau memenuhi namun hanya sebagian kewajiban yang diperjanjikan; c) Jika suatu pernyataan, surat keterangan atau dokumen yang diberikan oleh debitur kepada bank tidak sesuai dengan yang sebenarnya; d) Bila menurut bank, keadaan keuangan, bonafiditas dan solvabilitas debitur mundur sedemikian rupa sehingga debitur tidak dapat melakukan kewajibannya; e) Bila debitur dan atau penjamin mengajukan permohonan dinyatakan pailit f) Bila debitur dan atau penjamin mengambil keputusan bubar atau membubarkan diri (jika debitur adalah perusahaan); g) Bila harta kekayaan debitur dan atau penjamin disita oleh instansi\berwenang sehingga membahayakan pelaksanaan kewajiban ke bank; h) Bila barang-barang jaminan disita oleh instansi berwenang; i) Bila debitur dan atau penjamin lalai atau melanggar ketentuan dalam perjanjian kredit; j) Bila perpanjangan kredit tidak dapat lagi dilakukan; k) Bila asset debitur dan penjamin menurut penilaian bank menurun; l) Bila debitur masuk dalam daftar hitam Bank Indonesia. Dengan perumusan yang terdapat pada pasal 12 perjanjian kredit Bank Danamon tersebut telah jelas saat mana seorang debitur dikategorikan telah wanprestasi. Jika salah satu dari hal-hal tersebut diatas dilanggar oleh debitur maka untuk seketika dan sekaligus tanpa perlu adanya surat teguran dari juru sita atau surat lainnya yang serupa dengan itu dan tanpa perantaraan Pengadilan, Bank dapat langsung menjual harta benda yang dijaminkan oleh debitur dan atau penjamin. Dengan ditandatanganinya perjanjian kredit maka berdasarkan pasal 12 tersebut bank diberi kekuasan untuk melakukan tindakan hukum terhadap jaminan deposito guna pelunasan kewajiban debitur. Praktek dan itikad baik yang dilakukan oleh Bank Danamon saat ini adalah tetap memberikan SP 1-3 kepada debitur dengan memberi waktu 14 hari guna menyelesaikan tunggakannya. Pencairan deposito jaminan baru benar-benar akan dilakukan Bank Danamon setelah tenggang waktu ini tidak juga ditaati oleh debitur Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa dasar fundamental dari perjanjian kredit dan jaminan adalah persetujuan, yang dilakukan berupa menanda tanagani seluruh dokumen perjanjian kredit dan jaminan, maka dengan adanya hal ini telah meletakan dasar hukum yang kuat bagi para pihak untuk mengikatkan diri dan taat pada perjanjian itu. Dalam hal telah ditanda-tanganinya seluruh dokumen perjanjian dalam pemberian kredit back to back maka dimata hukum, apapun tindakan hukum yang dilakukan bank dalam rangka pelunasan kredit yang bermasalah tersebut dipandang sebagai ketentuan yang berdasar hukum dan mengikat bagi para pihak termasuk debitur atau penjaminnya. Sebaliknya dengan tidak adanya persetujuan dari isteri atau suami pemilik deposito jaminan, pihak yang tidak turut bertanda tangan tersebut memiliki dasar hukum yang kuat guna melakukan tuntutan hukum kepada bank atas pencairan deposito yang separohnya adalah hak yang bersangkutan. Pemberian persetujuan atas pemberian jaminan deposito yang merupakan harta bersama menjadi sangat perlu diperhatikan oleh bank dalam pelaksanaan pemberian kredit back to back jika bank tidak ingin terjadi kerugian dalam pengembalian kredit.
PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukankan di atas maka dapatlah ditarik kesimpulan atas pokok masalah yang diteliti, sebagai berikut : 1. Bahwa untuk melaksanakan perjanjian gadai atas deposito yang perjanjiannya tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito, maka dilakukan langkahlangkah yang telah terpola, sebagai berikut : a) pelaksana di Cabang mengajukan permohonan persetujuan atas penyimpangan atau deviasi kepada komite kredit kantor pusat; b) pengikatan kredit dan jaminan deposito tanpa turut ditanda tangani oleh isteri atau suami debitur/penjamin dilakukan berdasarkan rekomendasi komite kredit kantor pusat. Pengikatan kredit dan jaminan deposito tanpa turut ditanda tangani oleh isteri atau suami debitur/penjamin tidak dapat dilakukan oleh cabang jika tidak ada rekomendasi dari komite kredit kantor pusat. Pengikatan jaminan deposito dengan tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito guna menjamin kredit back to back tidak sepenuhnya melindungi Bank Danamon dari resiko kredit. 2. Dalam hal terjadinya wanprestasi atas kredit back to back yang pengikatan jaminan gadainya tidak turut ditandatangani oleh isteri atau suami pemilikn deposito, bank melakukan langkah-langkah yang telah terpola (prosedur standar), sebagai berikut : a) Memberikan Surat Peringatan 1 sampai 3 (SP 1-3), yang isinya debitur telah lalai dalam memenuhi kewajibannya, dan untuk itu diberi waktu selama 14 hari agar debitur segera menyelesaikan/melunasi kewajiban tertunggaknya kepada bank. b) Jika debitur tidak memenuhi prestasi yang dituangkan dalam SP 1-3 tersebut dalam jangka waktu 14 hari, maka bank melakukan pencairan deposito, dana hasil pencairan tersebut dikreditkan (dimasukkan) ke rekening debitur. c) Langkah selanjutnya adalah melakukan pelunasan atas seluruh outstanding (O/S) kredit, berikut bunga tertunggak dan denda keterlambatan debitur dengan cara mendebet rekening debitur. d) Langkah terakhir yang dilakukan bank adalah memberikan pemberitahuan tertulis kepada debitur bahwa seluruh O/S kredit berikut dengan tunggakan bunga dan denda, telah dilakukan pelunasan dengan pencairan deposito jaminan.
B. Saran Untuk mencegah terjadinya pengikatan jaminan kredit yang tidak sempurna yang pada akhirnya menyebabkan bank tidak sepenuhnya terlindungi dalam pemberian kredit back to back, maka bersama ini disarankan : 1. Bank perlu merubah kebijakan kredit back to back-nya, tidak semata mendasarkan diri pada orientasi bisnis gna pencapaian target tetapi juga selektif menerima debitur kredit back to back, dengan memperhatikan pemenuhan aspek hukumnya. Orientasi bisnis perlu dijalankan secara beriringan dengan aspek hukumnya. Selanjutnya kebijakan itu agar dilakukan secara konsisten dalam pelaksanaannya. 2. Pemberian kredit dengan jaminan dengan deposito yang tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami dari pemilik deposito jaminan hendaknya dihindari, karena bagaimanapun bank menyiasati pengikatannya, dimata hukum tetap merupakan pengikatan yang tidak aman bagi pihak bank, karena didalamnya terdapat celah hukum yang dapat digunakan oleh pihak yang tidak turut menanda tangani perjanjian jaminan untuk melakukan tuntutan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Subekti, R., 1990, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. Subekti, R., 1991, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Subekti, R., Tjitrosudibio, R., 2006, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara Nomor 1 tahun 1974 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara Nomor 31 tahun 1992 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara Nomor 182 tahun 1998A Lamandasa,R. Flora, 2008, Tesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada,Yogyakarta.