KATA PENGANTAR Laporan Akhir Koordinasi Strategis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 tahun 2007 disusun dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban atas pelaksanaan Program/Kegiatan Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Bidang Penanggulangan Bencana, sesuai dengan Peraturan Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 05 tahun 2016 tentang Perencanaan, Pelaksanaan, Pelaporan, Pemantauan, dan Evaluasi Kegiatan dan Anggaran. Maksud dan tujuan dilaksanakannya Koordinasi Strategis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 tahun 2007 ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis proses dan hasil pencapaian koordinasi perencanaan nasional di bidang penanggulangan bencana, termasuk diantaranya integrasi pengurangan risiko bencana pada setiap aspek pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. dalam identifikasi dan analisis dari proses dan hasil pencapaian koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengurangan risiko bencana, maka akan terlihat permasalahan serta perkembangan penanganan bencana serta saran untuk perbaikan proses perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan pada tahun berikutnya. Koordinasi Strategis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 tahun 2007 ini masih memiliki banyak kekurangan. Dengan demikian, kami mengharapkan saran dan kritiknya sebagai penyempurnaan pelaksanaan koordinasi pada bidang penanggulangan bencana yang dilakukan pada tahun berikutnya.
Jakarta,
Desember 2016
Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan
Drs. Sumedi Andono Mulyo, M.A, Ph.D
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................................................ ii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 1 1.2. Tujuan dan Sasaran ........................................................................................................ 3 BAB II RUANG LINGKUP ................................................................................................................ 5 2.1. Ruang Lingkup Kegiatan ............................................................................................... 5 2.2. Metode Pelaksanaan ...................................................................................................... 6 2.3. Keluaran yang Diharapkan .......................................................................................... 7 2.4. Organisasi Pelaksana ..................................................................................................... 7 BAB III HASIL PELAKSANAAN ..................................................................................................... 9 3.1. Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) bidang Penanggulangan Bencana 2017 ................................................................................................................... 9 3.2. Koordinasi Lintas Sektor dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Risiko Bencana di Pusat .................................................................. 13 3.2.1.
Perencanaan dan Pelaksanaan Upaya Pengurangan Risiko Bencana dalam Sustainable Development Goals (SDGs) ................................................................... 13
3.2.2.
Koordinasi Pelaksanaan Desa Tangguh Bencana .................................................. 16
3.2.3.
Koordinasi Penyusunan Pedoman Kota Tangguh Bencana .............................. 21
3.2.4.
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Multihazard Nasional........................ 23
3.2.5.
Koordinasi Pemantauan dan Evaluasi Penanggulangan Bencana .................. 28
3.3. Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Daerah Risiko Bencana .......................................................... 30 3.3.1.
Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah ................................................. 31
3.3.2.
Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat ........ 34
3.3.3.
Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I. Yogyakarta ..................... 39
3.3.4.
Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau ............................................................. 41
3.3.5.
Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur ................................ 44
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
i
3.4. Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Daerah Pasca Bencana ................................................................................................ 47 3.4.1.
Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Gn. Sinabung .......................................................................... 48
3.4.2.
Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Banjir Bandang Kota Manado ........................................................ 50
3.4.3.
Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Banjir Bandang Kabupaten Garut ................................................ 51
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...........................................................................54 4.1. Kesimpulan ..................................................................................................................... 54 4.2. Rekomendasi .................................................................................................................. 55
DAFTAR TABEL Tabel 1. Lokasi prioritas bidang penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 - 2019.... 9 Tabel 2. Target TPB terkait Penanggulangan Bencana ................................................................ 14 Tabel 3. Komponen dan Indikator Desa/Kelurahan Tangguh Bencana ................................ 17 Tabel 4. Kriteria Penilaian Desa/Kelurahan Tangguh Bencana ............................................... 18 Tabel 5. Kegiatan Pengembangan Destana di Pusat, Kabupaten/Kota, dan Desa ............. 19 Tabel 6. Proses persiapan rencana aksi Kota Aman dan Tangguh Bencana ........................ 23 Tabel 7. Teknologi EWS di Indonesia .................................................................................................. 24 Tabel 8. Identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Provinsi NTB ......... 35 Tabel 9. Identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Kab. Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat ................................................................................................. 38 Tabel 10. Identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Provinsi Riau ...... 42 Tabel 11. Identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Provinsi NTT ...... 44
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Alur kerja terintegrasi National Disaster Management System (NDMS) .......... 26 Gambar 2. (a), (b), dan (c), Logistik dan Peralatan Kesiapsiagaan Bencana di BPBD Provinsi Sulawesi Tengah.......................................................................................................... 33 Gambar 3. Bangunan Pusdalops BPBD Kabupaten Gunungkidul ............................................. 41 Gambar 4. Rambu Jalur Evakuasi Tsunami di Pantai Ngobaran di Desa Kanigoro Kecamatan Saptosari Kab. Gunungkidul .............................................................................. 41 Gambar 5. Papan Informasi Kantor Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar ................. 44 Gambar 6. Peta Rawan Bencana Kebakaran Hutan dan lahan Desa Rimbo Panjang........ 44
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kerentanan akan bencana yang cukup tinggi akibat ciri khas geografis dan demografisnya. Secara geografis letak Indonesia berada pada pertemuan lempeng bumi serta lintasan gunung api aktif. Kondisi tersebut menjadikan Indonesia berpotensi dan rawan akan bencana seperti letusan gunung api, gempabumi, tsunami yang kerap kali menimbulkan kerusakan dan jumlah korban dalam skala besar. Seiring berjalannya waktu meningkatnya aktivitas manusia yang secara tidak langsung menyebabkan kerusakan lingkungan ditambah dengan fenomena perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrim sehingga mengakibatkan bencana hidrometeorologi seperti, banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan kerap mendominasi kejadian bencana setiap tahunnya. Selama kurun 10 tahun terakhir, kejadian bencana besar masih terus berlanjut, dengan perkiraan kerusakan dan kerugian lebih dari Rp. 162 triliun dan investasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk membangun kembali lebih dari Rp 100 triliun. Perkiraan kerusakan dan kerugian tersebut belum termasuk estimasi kerusakan dan kerugian untuk bencana-bencana lokal yang relatif dampaknya kecil,
dan diperkirakan rata-rata kejadian per tahun
mencapai lebih dari 1.000 kejadian, dimana 90% kejadian merupakan bencana hidrometeorologi yang terjadi hampir setiap tahun. Dengan demikian, diperlukan penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dalam tiga tahapan, yaitu prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. Tujuan dari penyelenggaraan tahap pra bencana difokuskan pada mengurangi risiko dan dukungan untuk tanggap bencana lebih efektif; pada saat tanggap bencana difokuskan pada menyelamatkan lebih banyak kehidupan dan penghidupan; dan pada pasca bencana harus mewujudkan pembangunan kembali untuk penghidupan yang lebih baik dan aman. Sejak penerapan Kerangka Aksi Hyogo untuk Pengurangan Risiko Bencana (Hyogo Framework for Action on Disaster Risk Reduction) pada tahun
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
1
2005 hingga tahun 2015, pelaksanaan pengurangan risiko bencana tingkat nasional dan lokal telah mengalami kemajuan baik dari aspek legislasi maupun kelembagaan.
Mengurangi
risiko
bencana
merupakan
investasi
dalam
mengurangi risiko kerugian dimasa depan. Pasca HFA 2005-2015, kerangka Pengurangan Risiko Bencana kembali diadopsi oleh Negara-negara termasuk Indonesia pada penyelenggaraan konferensi dunia di Sendai, Jepang pada tanggal 14-18 Maret 2015 yang menghasilkan Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for Disaster Risk ReductionSFDRR) 2015-2030 dengan tujuan: 1) mencegah timbulnya dan mengurangi risiko bencana; 2) mencegah dan menurunkan keterpaparan dan kerentanan; dan 3) meningkatkan ketangguhan dan peningkatan kesiapsiagaan, tanggapan dan pemulihan. Untuk mempersiapkan menghadapi ancaman bencana dan tantangan mengurangi risiko bencana di masa mendatang dan sejalan dengan tujuan SFDRR 2015-2030 tersebut, Pemerintah Indonesia secara aktif dan terus menerus menerapkan
upaya
pengurangan
risiko
bencana
dalam
perencanaan
pembangunannya baik tingkat nasional maupun daerah, yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019, dimana upaya pengurangan risiko bencana menjadi salah satu prioritas aksi nasional untuk 5 tahun mendatang. Sesuai dengan amanat UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, salah satu tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan. Sejalan dengan Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, sasaran penanggulangan bencana adalah pengurangan indeks risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan yang memiliki indeks risiko bencana tinggi. Bidang kebencanaan memiliki lingkup penanganan yang sangat komprehensif dan melibatkan multi sektoral. Sesuai amanat dalam UU No. 24/2007, penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan membutuhkan partisipasi semua pihak. Dengan demikian dalam pengurangan risiko bencana dan penanganan daerah pasca
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
2
bencana alam di daerah, membutuhkan peran serta pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan semua pihak terkait. Masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, yaitu masih minimnya pemahaman pemerintah di daerah akan penerapan pengurangan risiko bencana yang merupakan asset penting dalam proses pembangunan. Padahal saat terjadi bencana pemerintah daerah sebagai first responder yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat di daerahnya dari dampak bencana. Hal ini menjadi dasar perlunya peningkatan koordinasi perencanaan pengurangan risiko bencana di pusat dan daerah menjadi lebih baik lagi. 1.2.
Tujuan dan Sasaran Tujuan pelaksanan Kegiatan Koordinasi Strategis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24/2007 diantaranya adalah: 1. Mewujudkan harmonisasi dan sinergitas perencanaan dan pelaksanaan upaya-upaya
pengurangan
indeks
risiko
bencana
antar
kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sipil pada daerah yang berisiko bencana tinggi; 2. Melaksanakan pemulihan daerah pasca bencana yang menerapkan pengurangan risiko bencana dengan konsep build back better and safer; 3. Mewujudkan kemitraan dan kerjasama antar semua pelaku yang terkait dengan pengurangan indeks risiko bencana di pusat dan daerah. Sasaran dari pelaksanaan kegiatan Koordinasi Strategis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24/2007 meliputi : 1. Terlaksananya penguatan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengurangan indeks risiko bencana antar semua pelaku baik di pusat dan daerah yang memiliki indeks risiko bencana tinggi; 2. Terlaksananya penguatan koordinasi upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana pada daerah yang indeks risiko bencana tinggi; Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
3
3. Terlaksananya koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pemulihan daerah pasca bencana yang menerapkan pengurangan risiko bencana dengan konsep build back better and safer; 4. Terlaksananya penguatan kemitraan dan kerjasama antar semua pelaku yang terkait dengan pengurangan indeks risiko bencana di pusat dan daerah; 5. Terlaksananya penyusunan data dan informasi kebencanaan pada daerah yang memiliki indeks risiko bencana tinggi dan pemulihan daerah pasca bencana sebagai bahan masukan dan rekomendasi untuk perbaikan dalam perencanaan program penanggulangan bencana pada masa yang akan datang.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
4
BAB II RUANG LINGKUP 2.1.
Ruang Lingkup Kegiatan Sebagaimana yang tercantum dalam UU No.24/2007, pengurangan risiko
bencana merupakan bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana. Pengurangan risiko bencana dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul saat terjadinya bencana seperti kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Tingkat risiko bencana pada wilayah Indonesia diukur melalui indeks risiko bencana (Indeks Risiko Bencana Indonesia) yang telah dipublikasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai acuan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 bidang penanggulangan bencana. Sejalan dengan sasaran penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 – 2019 difokuskan pada penurunan indeks risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi yang salah satu strateginya adalah ‘internalisasi pengurangan risiko bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di pusat maupun daerah’. Dengan demikian, kegiatan Koordinasi Strategis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24/2007 yang dilakukan oleh Bappenas, meliputi: a. Mengumpulkan dan mengolah data, bahan, dan informasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pengurangan indeks risiko bencana di pusat maupun daerah; b. Melaksanakan
koordinasi
serta
sinkronisasi
perencanaan
dan
pelaksanaan upaya pengurangan indeks risiko bencana lintas sektor dengan pihak-pihak terkait baik di pusat maupun daerah; c. Melaksanakan
koordinasi
persiapan
perencanaan
Program
Penanggulangan Bencana untuk meningkatkan komitmen pemangku kepentingan melaksanakan pengurangan risiko bencana yang dilandasi pada arah kebijakan penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 -2019; d. Mengembangkan
konsepsi
dan
rancangan
sebagai
rekomendasi
kebijakan penanggulangan bencana pada masa mendatang, berdasarkan Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
5
hasil pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pengurangan risiko bencana dengan memperhatikan arah kebijakan penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 – 2019; e. Melakukan kunjungan lapang dalam rangka pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemulihan daerah pasca bencana dan penerapan upaya pengurangan risiko bencana. 2.2.
Metode Pelaksanaan Untuk mencapai tujuan kegiatan dan keluaran yang diharapkan, maka
metode
pelaksanaan
Kegiatan
Koordinasi
Strategis
Perencanaan
dan
Pelaksanaan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24/2007 terdiri dari: a.
Melakukan penyiapan bahan, data dan informasi yang diperlukan terkait upaya pengurangan indeks risiko bencana dan pelaksanaan pemulihan daerah pasca bencana di pusat dan daerah;
b.
Melakukan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan dengan stakeholder terkait sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan dan strategi serta peningkatan efektivitas dan percepatan kegiatan dalam penyelenggaraan program pengurangan risiko bencana dan pemulihan daerah pasca bencana di tingkat pusat. Kegiatan ini berupa inisiasi mengundang
stakeholder
maupun
secara
aktif
terlibat
dalam
pelaksanaan koordinasi yang diagendakan oleh unit pelaksana kegiatan lain terkait
program penanggulangan bencana terutama dalam hal
pengurangan risiko bencana; c.
Melaksanakan koordinasi dan bimbingan terhadap pelaku program dalam hal peningkatan kapasitas pelaku program terkait pelaksanaan pemulihan daerah pasca bencana dan upaya pengurangan risiko bencana di daerah;
d.
Melaksanakan koordinasi pemantauan dan evaluasi pengurangan indeks risiko bencana dan pelaksanaan pemulihan daerah pasca bencana;
e.
Melakukan analisia terhadap berbagai informasi dan data yang diperoleh dari pelaksanaan koordinasi, pemantau, dan evaluasi secara langsung
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
6
maupun memanfaatkan informasi dan data yang dilaksanakan unit pelaksana lain yang berkompeten terkait penanggulangan bencana. Hasil analisa tersebut sebagai bahan rekomendasi untuk mendukung pelaksanaan dan perbaikan/pengembangan program penanggulangan bencana terutama dalam penurunan indeks risiko bencana selanjutnya. f.
Penyusunan laporan akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24/2007 sebagai bahan masukan dan rekomendasi untuk mendukung
pelaksanaan
dan
perbaikan/pengembangan
program
penanggulangan bencana terutama dalam penurunan indeks risiko bencana selanjutnya. 2.3.
Keluaran yang Diharapkan Adapun keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan Koordinasi Strategis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24/2007 adalah: 1. Tersedianya data dan informasi pelaksanaan pengurangan indeks risiko bencana dan pemulihan daerah pasca bencana; 2. Terlaksananya koordinasi pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi upaya pengurangan indeks risiko bencana dan pemulihan daerah pasca bencana; 3. Tersusunnya rencana kerja, rencana tindak lanjut/eksidental tahunan Program Penanggulangan Bencana; 4. Meningkatnya komitmen serta keterpaduan program/kegiatan Kementerian/Lembaga (K/L) di pusat dan pemerintah daerah dalam mendukung upaya pengurangan indeks risiko bencana; 5. Teridentifikasinya permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam perencanaan maupun pelaksanaan pengurangan indeks risiko bencana dan pemulihan daerah pasca bencana; 6. Tersusunnya alternatif rekomendasi dan perbaikan yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran bidang penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 – 2019; 7. Tersusunnya laporan akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24/2007.
2.4.
Organisasi Pelaksana
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
7
Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional selaku penanggung jawab dan Ketua Tim Pengarah bersama K/L terkait. Sementara Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan selaku Ketua Tim Pelaksana dan beberapa tim pelaksana dari K/L terkait. Untuk mendukung kelancaran koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengurangan indeks risiko bencana untuk mendukung UU. No 24 Tahun 2007, tim pengarah dan tim pelaksana dibantu oleh secretariat yang terdiri dari beberapa tenaga ahli/teknis yang sehari-harinya bertugas membantu penyiapan data, informasi, bahan, dan informasi sebagai masukan dan rekomendasi dalam menetapkan kebijakan serta melakukan evaluasi terhadap perkembangan dan hasil pelaksanaan program penanggulangan bencana khususnya dalam pengurangan indeks risiko bencana.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
8
BAB III HASIL PELAKSANAAN Penanggulangan bencana tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan pembangunan nasional, dimana aspek pembangunan yang diselenggarakan diharapkan pengurangan
dapat
dilaksanakan
risiko
penyelenggaraan
bencana.
penanggulangan
dengan Hal
mengintegrasikan
tersebut
bencana
upaya-upaya
menggambarkan
merupakan
bahwa
kegiatan
yang
melibatkan multisektoral. Dengan demikian, diperlukan koordinasi secara sistematik dalam rangka meningkatkan pemahaman dan komitmen diantara seluruh stakeholder terkait dalam pelaksanaan penanggulangan bencana terutama upaya pengurangan risiko bencana. Adapun kegiatan yang telah terselenggara dalam rangka meningkatkan koordinasi upaya pelaksanaan pengurangan risiko bencana dan pemulihan pasca becana dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah selama tahun 2016 adalah sebagai berikut: 3.1.
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) bidang Penanggulangan Bencana 2017 Penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 – 2019 diarahkan untuk
menurunkan indeks risiko bencana khususnya pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang berisiko tinggi. Adapun strategi yang dilakukan untuk mencapai target dalam RPJMN 2015 – 2019, yaitu: (1) Internalisasi pengurangan risiko bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di pusat dan daerah; (2) Penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana; (3) Peningkatan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penanggulangan bencana. Terdapat 136 kabupaten/kota yang merupakan sasaran lokasi prioritas pengurangan risiko bencana dalam RPJMN 2015 – 2019 (Tabel 1). Tabel 1. Lokasi prioritas bidang penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 2019 Wilayah Kepulauan Papua Jawa - Bali Kalimantan Maluku
Jumlah Kabupaten/Kota Sasaran dalam Buku III RPJMN 2015 - 2019 Berisiko Sedang Berisiko Tinggi 1 9 5 31 4 14 12
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
9
Nusa Tenggara Sulawesi Sumatera Nasional
1 3 2 16 Kab/Kota
14 21 19 120 Kab/Kota
Arahan Presiden terkait Penyusunan RKP 2017, menggunakan pendekatan kebijakan anggaran belanja berdasarkan money follow program prioritas. Adapun tema RKP 2017, yaitu ‘Memacu Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi untuk Meningkatkan Kesempatan Kerja Serta Mengurangi Kemiskinan dan Kesenjangan Antar Wilayah’. Pendekatandalam perencanaan pembangunan mengadopsi unsur secara holistic, tematik, terintegrasi, dan spasial. Dalam RKP 2017, penanggulangan bencana tidak secara khusus menjadi prioritas nasional. Namun demikian, BNPB yang mempunyai peran koordinasi penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
berupaya
mengidentifikasi
kebutuhan integrasi pengurangan risiko bencana yang dilaksanakan melalui program dan kegiatan KL dimasing-masing prioritas, dengan harapan bahwa seluruh target yang ditetapkan dalam RKP 2017 dilaksanakan dan terbangun dengan baik, serta memiliki ketahanan terhadap bencana. Kegiatan BNPB mendukung 7 dari 22 program prioritas pembangunan dalam RKP 2017, yaitu (1) Program Pelayanan Pendidikan; (2) Program Perumahan dan Permukiman; (3) Program Kemaritiman dan Kelautan; (4) Program Pengembangan Daerah Perbatasan; (5) Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal; (6) Program Desa dan Kawasan Perdesaan; dan (7) Program Pembangunan Pariwisata. Setelah disepakati konsep RKP 2017, diadakan Pertemuan Tiga Pihak Penyusunan Rancangan RKP 2017 dan alokasi pagu indikatif BNPB yang memiliki tujuan antara lain: 1. Menjamin konsistensi RPJMN 2015 – 2019 dengan RKP 2017 dan Renja K/L 2017; 2. Menyempurnakan Rancangan Awal RKP 2017; 3. Menyusun rancangan Renja K/L 2017 dengan mengacu pada Rancangan Pagu Indikatif hasil pembahasan Pertemuan Tiga Pihak; 4. Membahas program dan kegiatan belanja untuk untuk program prioritas dengan menajamkan sasaran, target, lokasi, dan indikasi pendanaannya.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
10
Pertemuan tiga pihak (trilateral meeting) tersebut menghasilkan beberapa catatan yang menjadi perhatian bagi BNPB untuk menjalankan kegiatannya dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana, yaitu:
Perlu diadakan penekanan tentang arahan presiden terkait penyusunan RKP 2017.
Kementerian/Lembaga perlu mencermati kegiatan yang akan dilakukan dan benar-benar bermanfaat untuk rakyat dengan mengadopsi Money Follow Program. Perlu dicermati lagi tentang pengertian money follow program, apakah sesuai dengan Tusi dari K/L.
Penyesuaian volume target kegiatan dengan ketersediaan pagu anggaran dengan tetap harus mengikuti rancangan dengan money follow program.
Nomenklatur diharapkan dapat dipertajam agar lebih konkrit, tidak lagi menggunakan kata-kata yang multitafsir.
Kegiatan harus integrated, disamping itu juga harus dapat dispasialkan.
Penanggulangan bencana lebih kepada mainstreaming, tidak hanya dilakukan oleh BNPB tetapi K/L lain juga diharapkan dapat memberikan support, dari sini diperlukan fungsi BNPB sebagai Koordinator K/L terkait Penanggulangan Bencana.
Usulan tambahan agar diprioritaskan dengan skala prioritas: 1) pemenuhan Prioritas Nasional; 2) pencapaian target RPJMN 2015-2019; dan 3) kebutuhan mendesak lainnya.
Usulan agar kegiatan Penanggulangan Bencana menjadi prioritas nasional akan menjadi pertimbangan dalam penyusunan rencana pembangunan tahun berikutnya.
Alokasi anggaran disesuaikan untuk mendukung Prioritas Nasional, pencapaian sasaran RPJMN 2015-2019 di 136 Kab/Kota lokasi prioritas, dan kebutuhan yang mendesak.
Transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan kegiatan dan pemanfaatan dana penanggulangan bencana (dana kontinjensi bencana, dana siap pakaidan rehab-rekons) perlu diperkuat dan penyamaan persepsi semua pihak tentang penanganan bencana dengan melibatkan instansi terkait.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
11
BNPB perlu memperkuat data ketersediaan sumber daya, pendataan korban bencana dan koordinasi penyaluran bantuan dari donor, masyarakat dan swasta kepada korban bencana agar tidak terjadi penumpukan atau kekurangan bantuan.
Perencanaan kebutuhan logistik kebencanaan agar direncanakan dengan baik dengan memperhatikan ketersediaan logistik pada instansi lain, K/L, SKPD, swasta dan gudang-gudang regional di daerah dan disesuaikan usulan kebutuhan daerah.
Kebutuhan pengadaan logistik agar dirinci sesuai jenis dan lokasi, tidak dalam bentuk paket.
Pendanaan
dan
penyelesaian
rehab-rekons
pascabencana
agar
diprioritaskan pada bencana skala besar dan memperkuat monitoring dan evaluasi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Bantuan pemulihan ekonomi diarahkan pada sektor yang memiliki daya ungkit (leverage) untuk memulihkan mata pencaharian korban bencana, sesuai dengan kebutuhan dan berkelanjutan.
Keterbatasan anggaran BNPB untuk mendukung pemulihan ekonomi pascabencana, perlu memperkuat koordinasi dengan K/L terkait dan menggalang dana CSR dari perusahaan skala nasional untuk mendukung pemulihan ekonomi pascabencana.
Penguatan sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada K/L dan daerah untuk integrasi pengurangan risiko bencana rencana tata ruang daerah berbasis mitigasi.
Perencanaan kebutuhan peralatan kebencanaan agar direncanakan dengan baik dengan memperhatikan ketersediaan pada instansi lain, K/L, SKPD, dan swasta serta disesuaikan usulan kebutuhan daerah.
BNPB
melakukan
kajian
kebutuhan
standar
minimal
peralatan
penanggulangan bencana pada daerah yang paling membutuhkan.
BAST terhadap peralatan yang diserahkan kepada daerah agar diselesaikan secepatnya pada tahun 2016.
Untuk pengadaan peralatan berikutnya agar memperhatikan pengelolaan asetnya.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
12
BNPB perlu mensinkronkan dengan kegiatan yang sifatnya pemberdayaan masyarakat yang ada pada K/L lainnya sehingga upaya menwujudkan desa tangguh bencana yang komprehensif dapat terwujud.
Diperlukan
peningkatan
penyebarluasan
dan
diseminasi
informasi
pengurangan risiko bencana kepada masyarakat terutama pada daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi dan jumlah penduduk terpapar bencana yang tinggi di 136 kabupaten/kota sasaran RPJMN 2015-2019.
Bantuan peralatan TIK yang diberikan ke daerah, agar dirinci jenis, jumlah dan lokasinya.
3.2.
Koordinasi Lintas Sektor dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pengurangan Risiko Bencana di Pusat Upaya pelaksanaan pengurangan risiko bencana difokuskan pada
peningkatan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam hal penanggulangan bencana. Kegiatan – kegiatan koordinasi upaya perencanaan dan pelaksanaan pengurangan risiko bencana yang dilakukan oleh pemerintah pusat difokuskan pada ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana. Masyarakat diharapkan akan memiliki kemampuan dan kapasitas sebagai first responder terhadap bencana sekaligus memiliki daya lenting untuk memulihkan diri
ketika
terdampak
diselenggarakan
oleh
bencana.
pemerintah
Beberapa pusat
kegiatan
dalam
koordinasi
rangka
yang
menyelaraskan
perencanaan dan pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana yang terdiri dari peningkatan kapasitas serta mengembangkan kesiapsiagaan terhadap bencana di daerah sebagai berikut: 3.2.1. Perencanaan dan Pelaksanaan Upaya Pengurangan Risiko Bencana dalam Sustainable Development Goals (SDGs) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs) adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. TPB merupakan Komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat mencakup 17 Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
13
tujuan yaitu (1) Mengakhiri Kemiskinan; (2) Menghilangkan Kelaparan; (3) Hidup Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi; (7) Energi Terjangkau dan Terbarukan; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Mengurangi Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman Berkelanjutan; (12) Pola Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan; (13) Mengatasi Perubahan Iklim; (14) Sumber Daya Maritim Berkelanjutan; (15) Pengelolaan Ekosistem
Terestrial
Berkelanjutan;
(16)
Perdamaian,
Keadilan
dan
Kelembagaan yang Kukuh; (17) Kemitraan Pembangunan yang Berkelanjutan. Diperlukan sinergi kebijakan perencanaan di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota dalam upaya pencapaian target TPB. Bappenas telah ditunjuk sebagai koordinator untuk mendukung perencaan dan pelaksanaan TPB di tingkat pusat maupun daerah. Pada tingkat pusat, Bappenas bersama dengan kementerian/lembaga, telah melakukan koordinasi dalam merumuskan target-target TPB yang sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 dalam bentuk program, indikator dan target yang terukur serta indikasi dukungan pembiayaannya. Dalam komitmen global untuk mewujudkan pencapaian target TPB, penanggulangan bencana menjadi salah satu bidang yang memiliki andil agar tercapainya kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Perencanaan dan pelaksanaan penanggulangan bencana dalam komitmen global difokuskan pada upaya pelaksanan pengurangan risiko bencana. Terkait kebencanaan, BNPB sebagai lead dalam Penanggulangan Bencana menjadi penanggung jawab dalam beberapa target yang ada di TPB, yaitu: Tabel 2. Target TPB terkait Penanggulangan Bencana Goal/Target Global
Indikator Global
Goal 1. Mengentaskan Segala Bentuk Kemiskinan 1.5 Pada tahun 2030, 1.5.1 Jumlah membangun ketahanan kematian, orang yang masyarakat miskin dalam hilang, dan terdampak menghadapi situasi rentan, oleh bencana per dan mengurangi kerentanan 100.000 penduduk mereka terhadap kejadian 1.5.3 Jumlah negara yang mempunyai ekstrem terkait iklim dan
Target Nasional (RPJMN 2015 – 2019) 1.Penanggulangan Bencana/ Pengurangan risiko benca 1.Tersedianya strategi nasional dan daerah
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
Indikator Nasional
1.Jumlah Lokasi Penguatan Pengurangan Risiko Bencana daerah (lokasi) Strategi nasional dan daerah untuk
14
guncangan ekonomi, sosial dan guncangan lingkungan serta bencana
strategi nasional untuk pengurangan pengurangan dan daerah untuk risiko bencana risiko bencana pengurangan risiko bencana Goal 11. Membangun Kota dan Permukiman yang Inklusif, Aman Tangguh dan Berkelanjutan 11.5 Pada tahun 2030, secara 11.5.1 Jumlah 11.5.1. Menurunnya Menurunkan indeks signifikan mengurangi kematian, orang Indeks Risiko Bencana risiko bencana jumlah kematian dan hilang dan terluka (IRBI) mencapai 30% (IRBI). jumlah orang terdampak, karena bencana per hingga tahun 2019 Menurunnya jumlah dan secara substansial 100 ribu orang kematian, orang mengurangi kerugian hilang, dan terluka ekonomi relatif terhadap karena bencana per PDB global yang 100 ribu orang. disebabkan oleh bencana, termasuk bencana yang 11.5.2 Kerugian 11.5.2. Meningkatnya Kerugian ekonomi berhubungan dengan air, ekonomi langsung kapasitas masyarakat langsung akibat dengan fokus pada akibat bencana dan kelembagaan bencana, termasuk melindungi orang miskin terhadap global dalam membangun kerusakan dan orang-orang dalam PDB, termasuk ketahanan kota infrastruktur vital situasi rentan kerusakan terhadap perubahan dan tidak infrastruktur vital iklim dan bencana berfungsinya dan tidak (urban resilience) layanan dasar. berfungsinya Jumlah layanan dasar terbentuknya Kota Tangguh Bencana. 11.B. Pada tahun 2020, 11.B.1 Proporsi 11.B.1. Peningkatan Proporsi pemerintah meningkatkan secara pemerintah daerah pembangunan daerah yang substansial jumlah kota yang menyusun kawasan perkotaan menyusun kebijakan dan permukiman yang kebijakan dan untuk mewujudkan dan strategi mengadopsi dan strategi kota layaak huni yang pengurangan risiko mengimplementasi pengurangan risiko aman dan nyaman; dan ketahanan kebijakan dan dan ketahanan hijau yang bencana. perencanaan yang bencana selaras berketahanan iklim terintegrasi tentang dengan SFDRR dan bencana penyertaan, efisiensi untuk pengurangan sumber daya, mitigasi dan risiko bencana 2015 adaptasi terhadap – 2030. perubahan iklim, ketahanan terhadap bencana, serta mengembangkan dan mengimplementasikan penanganan holistic risiko bencana di semua lini, sesuai dengan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015 – 2030. Goal 13: Membuat langkah segera untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya 13.1 Memperkuat kapasitas 13.1.1 Jumlah negara 13.1.1 Sasaran Jumlah Dokumen ketahanan dan adaptasi yang memiliki penanggulangan Kajian Pengurangan terhadap bahaya terkait strategi bencana dan Risiko Bencana iklim dan bencana alam di pengurangan risiko pengurangan risiko (Matriks Bidang semua negara; bencana nasional bencana adalah Pembangunan hal dan lokal menurunnya indeks II.10.M-177) risiko bencana pada 13.1.2 Jumlah orang Menurunnya jumlah pusat pertumbuhan meninggal, hilang kematian, orang ekonomi yang dan terkena dampak hilang, dan terluka memiliki indeks bencana per karena bencana per Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
15
100.000 orang
risiko tinggi bencana (Buku 2 hal 10-35)
100 ribu orang.
Pengimplementasi TPB melibatkan pemangku kepentingan tidak hanya pemerintah, akan tetapi juga melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil (OMS), filantropi, dan bisnis. Adapun ketelibatan pemangku kepentingan tersebut dalam pelaksanaan dan implementasi TPB memiliki peran sebagai berikut: a. Pengkajian, pengoordinasian, dan penyusunan kebijakan di bidang pembangunan nasional, strategi pembangunan nasional, arah kebijakan, serta pengembangan kerangka regulasi, kelembagaan, dan pendanaan di bidang penanggulangan bencana; b. Penyusunan rancangan rencana pembangunan nasional secara holistik dan integratik di bidang penanggulangan bencana dalam penetapan program dan kegiatan Kementerian/Lembaga/Daerah; c. Pengoordinasian dan pengendalian rencana pembangunan nasional dalam rangka sinergi antara Rencana Kerja Pemerintah dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mitra K/L yang merupakan lead dalam bidang penanggulangan bencana, yaitu BNPB; d. Pemantauan, evaluasi, dan pengendalian atas pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan di bidang penanggulangan bencana. 3.2.2. Koordinasi Pelaksanaan Desa Tangguh Bencana Korban terbesar dari bencana adalah masyarakat miskin dan saat terjadi bencana
masyarakat
mengembangkan
merupakan
program
first
responder,
pengurangan
risiko
maka
pemerintah
bencana
berbasis
pemberdayaan masyarakat dari unit terbawah dalam sistem administrasi kependudukan, yaitu pemberdayaan dan pembinaan masyarakat dalam menghadapi bencana di lingkup desa/kelurahan. BNPB sebagai lembaga penanggulangan
bencana
nasional
telah
melaksanakan
program
Pengembangan Desa Tangguh Bencana sejak tahun 2012, sesuai dengan terbentuknya Perka BNPB No.1 Tahun 2012 mengenai Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Pengembangan Desa Tangguh Bencana (Destana) diselenggarakan dalam rangka upaya mewujudkan salah satu strategi nasional dalam bidang penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 – Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
16
2019, yaitu ‘peningkatan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penanggulangan bencana’. Dalam pelaksanaan pengembangan Destana, BNPB membuat pedoman sebagai acuan dalam memasukkan unsur-unsur pengurangan risiko bencana ke dalam program-program lain di tingkat desa/keluarahan yang dilakukan oleh pemerintah maupun mitra-mitra non pemerintah. Secara umum program pengembangan Destana terdiri dari 6 komponen dan 20 indikator sesuai dengan
Perka
BNPB No.1 Tahun
2012
mengenai
Pedoman
Umum
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Komponen dan indikator tersebut juga merupakan sebagai standar ukuran pencapaian program pengembangan Destana yang dijabarkan pada tabel berikut: Tabel 3. Komponen dan Indikator Desa/Kelurahan Tangguh Bencana KOMPONEN
No
INDIKATOR
LEGISLASI
1
Kebijakan/Peraturan di Desa/Kel tentang PB/PRB
PERENCANAAN
2
Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Aksi Komunitas, dan Rencana kontijensi
3
Forum PRB
4
Relawan Penanggulangan Bencana
5
Kerjasama antar pelaku dan wilayah
6
Dana tanggap darurat
7
Dana untuk PRB
8
Pelatihan untuk pemerintah desa
9
Pelatihan untuk tim relawan
10
Pelatihan untuk warga desa
11
Pelibatan/partisipasi warga desa
12
Pelibatan Perempuan dalam tim relawan
13
Peta dan analisa risiko
14
Peta dan jalur evakuasi serta tempat pengungsian
15
Sistem peringatan dini
16
Pelaksanaan mitigasi struktural (fisik)
KELEMBAGAAN
PENDANAAN
PENGEMBANGAN KAPASITAS
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA
17 Pola ketahanan ekonomi untuk mengurangi kerentanan masyarakat 18
Perlindungan kesehatan kepada kelompok rentan
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
17
19
Pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk PRB
20
Perlindungan aset produktif utama masyarakat
Sumber: Perka BNPB No. 1 Tahun 2012
Dalam rangka evaluasi program pengembangan Desatana, BNPB menilai kinerja program melalui capaian 20 indikator pada Tabel 3 yang telah dibuat kuisioner sebagai alat untuk mengukur tingkat ketangguhan secara sederhana. Tingkat capaian kinerja desa dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu (1) Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama; (2) Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya; (3) Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama. Masing – masing kategori memiliki kriteria sebagai berikut: Tabel 4. Kriteria Penilaian Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama Tingkat ini adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh sebuah desa/kelurahan yang berpartisipasi dalam program ini. Tingkat ini dicirikan dengan: a. Adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk Perdes atau perangkat hukum setingkat di kelurahan b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam RPJMDes dan dirinci ke dalam RKPDes c. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/ kelurahan, yang berfungsi dengan aktif. d. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya e. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatankegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan f. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya Tingkat ini adalah tingkat menengah yang dapat dicapai oleh sebuah desa/kelurahan yang berpartisipasi dalam program ini. Tingkat ini dicirikan dengan: a. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa/kelurahan b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrument perencanaan desa c. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif d. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
18
terlalu aktif e. Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan, tetapi belum terlalu teruji f. Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama Tingkat ini adalah tingkat awal yang dapat dicapai oleh sebuah desa/kelurahan yang berpartisipasi dalam program ini. Tingkat ini dicirikan dengan: a. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa/kelurahan b. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB c. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat d. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan PB Desa/Kelurahan e. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko, dan pengurangan kerentanan f. Adanya upaya-upaya awal untuk meningktakan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana Sumber : Perka BNPB No. 1 Tahun 2012
Program Pengembangan Destana yang diselenggarakan oleh BNPB diharapkan dapat melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan mendapat dukungan dari pemerintah di pusat maupun di daerah. Hingga saat ini kegiatan pengembangan Destana yang telah dilaksanakan oleh BNPB pada 5 desa per kabupaten/kota terbagi dalam kegiatan di Pusat, Kabupaten/Kota, dan Desa yang dijelaskan pada tabel berikut : Tabel 5. Kegiatan Pengembangan Destana di Pusat, Kabupaten/Kota, dan Desa Kegiatan di Pusat (BNPB) 1. Rekruitmen fasilitator bersama dengan provinsi dan Kabupaten/Kota 2. Perjanjian kerjasama dengan Kabupaten dan Pembekalan Fasilitator desa 3. Monitoring dan Evaluasi dibantu PMU Kegiatan di Kabupaten/Kota 1. Pengelola Kegiatan (BPBD Kab/Kota) Kalak BPBD, PJOK, BPP, Pengelola keuangan (2 orang) 2. Sosialisasi dan Koordinasi, dilaksanakan di Kabupaten/Kota dengan peserta sebanyak 100 orang (sosialisasi program, sinkronisasi dengan program existing, Mengundang Bupati/Walikota, Dinas-dinas terkait, Kecamatan, Perangkat desa, Tomas, Toga, Organisasi desa, dll) 3. Seminar Akhir, dilaksanakan di kabupaten dengan peserta 100 orang Untuk memaparkan hasil program, evaluasi manfaat program, dan rencana tindak lanjut, Mengundang Bupati/Walikota, Dinas-dinas terkait, Kecamatan, Perangkat desa, Tomas, Toga, Organisasi desa, dll Kegiatan di masing-masing Desa 1. Pertemuan di Desa, Pertemuan dilaksanakan di desa sebanyak 20 kali dan
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
19
peserta 35 orang (Anggota pokja merupakan keterwakilan semua warga dan kelompok masyarakat yang ada di desa/kelurahan seperti misalnya PKK, Kelompok Tani, Kelompok Nelayan, Kelompok Kesenian, KarangTaruna RT, RW, Sibat, dll, termasuk Babinsa dan Bhabinkamtibmas, Penyusunan indikator oleh pokja dengan metode pendekatan partisipatif, Proses penyusunan indikator didampingi penuh oleh fasilitator) 2. Fasilitator desa, sebanyak 2 (dua) orang, 1 dari professional dan 1 dari masyarakat desa (Rekrutmen fasilitator dilaksanakan secara terbuka, diutamakan berpengalaman dalam bidang PRB dan program pemberdayaan masyarakat, Co-fasilitator dipilih dari masyarakat lokal, sekaligus juga untuk pengkaderan) 3. Pelatihan Relawan, dikuti oleh 20 orang, dilaksanakan di desa 4. Bantuan Peralatan untuk Desa, untuk desa multi hazard berupa peralatan komunikasi, sedangkan untuk desa karhutla selain peralatan komunikasi diberikan juga pompa air, kegiatan pembuatan sumur hidran, pembuatan kanal blocking
Pada
saat
ini
banyak
program
yang
dilaksanakan
berbagai
Kementerian/Lembaga, OMS, filantropi dan bisnis masuk ke desa untuk mempercepat program pembangunan yang ada di desa, samahalnya yang dilakukan oleh BNPB dalam mengembangkan Program Desa Tangguh Bencana. Tidak sedikit K/L dan mitra-mitra non pemerintah mengembangkan program di desa untuk mewujudkan ketangguhan masyarakat desa dalam menghadapi bencana. Bappenas bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan BNPB melakukan koordinasi untuk menyelaraskan Program Pengembangan Desa Tangguh Bencana yang telah dilakukan oleh K/L dan mitra-mitra non pemerintah dengan Program Desa Tangguh Bencana yang dilaksanakan BNPB agar dapat mengukur pencapaian sasaran nasional bidang penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 – 2019, yaitu ‘menurunnya indeks risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi’. Untuk mencapai target RPJMN 2015 – 2019 menurunkan IRBI sebesar 30% sampai dengan 2019, salah satu upaya melalui pembentukan Desa Tangguh Bencana sebanyak 5.000 desa di tahun 2019 dari 74.000 desa yang ada di Indonesia. Tercatat hingga tahun 2016 BNPB telah melaksanakan pengembangan Destana dengan pembiayaan APBN pada 378 desa di 179 kabupaten/kota.
Sementara
program
pengembangan
Destana
yang
diselenggarakan oleh K/L lain maupun mitra-mitra non pemerintah belum terdata dan terselaraskan dengan Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
20
Bencana yang disusun oleh BNPB sebagai lead agency dalam penanggulangan bencana di Indonesia. BNPB menyampaikan bahwa dibutuhkan sinergitas dan partnership pengembangan Destana antar stakeholder terkait untuk mencapai target penurunan indeks risiko bencana pada RPJMN 2015 – 2019 terutama dalam menyelaraskan komponen pengembangan Destana beserta kesepakatan lokasi prioritas yang dilaksanakan oleh masing-masing K/L lain maupun mitramitra non pemerintah. 3.2.3. Koordinasi Penyusunan Pedoman Kota Tangguh Bencana Salah satu strategi nasional untuk mewujudkan Kota Berkelanjutan dan Berdaya Saing dalam RPJMN 2015 – 2019 adalah mengembangkan Kota Hijau yang Berketahanan Iklim
dan
Bencana. BNPB sebagai
lead agency
penanggulangan bencana, berinisiasi menyusun Pedoman Kota Tangguh Bencana untuk mendukung upaya mengembangkan Kota Hijau yang Berketahanan Iklim dan Bencana. Hal tersebut sejalan dengan sasaran nasional dalam bidang penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 – 2019, yaitu ‘Menurunnya Indeks Risiko Bencana Pada Pusat – pusat Pertumbuhan yang Berisiko tinggi’. Rencana penyusunan pedoman Kota Tangguh Bencana didasarkan pada pentingnya perhatian khusus dalam aspek kebencanaan di daerah perkotaan yang disebabkan oleh :
Tingkat urbanisasi yang tinggi, pada 2045 diperkirakan lebih dari 60% penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan, apabila tidak diantisipasi terhadap kondisi bencananya, dikhawatirkan akan berdampak sangat signifikan baik dari segi jiwa, dampak sosial, ekonomi, infrastruktur, dll
50 % dari kota otonom di Indonesia berada di daerah pesisir, yang rawan terhadap perubahan iklim dan bencana banjir rob akibat kenaikan permukaan air laut.
UN Habitat menunjukkan, 70% wilayah perkotaan di dunia berkontribusi signifikan terhadap efek GRK. Sehingga selain mendorong perkotaan menjadi kota yang tangguh, juga menjadi kota yang hijau untuk mengurangi efek Gas Rumah Kaca.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
21
Selain itu, inisiasi pembentukan pedoman Kota Tangguh Bencana ini juga sejalan dengan salah satu komitmen global dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana, yaitu mewujudkan Goal 11 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/SDGs, “Membangun Kota dan Permukiman yang Inklusif, Aman Tangguh dan Berkelanjutan”. Penyusunan pedoman kota tangguh sudah banyak dilakukan oleh KL lain, termasuk Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), dan BNPB. Akan tetapi, Kebanyakan dokumen yang sudah ada, hanya sebatas konsepsi dan definisi kota tangguh saja, bagaimana strategi implementasi, rencana aksi konkrit, strategi dan pembiayaan implementasi di daerah untuk mewujudkan kota tangguh tersebut masih belum jelas. Dengan demikian, penyusunan Pedoman Kota Tangguh Bencana yang dilaksanakan oleh BNPB ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam memasukkan unsur-unsur pengurangan risiko bencana pada programprogram lain di tingkat kabupaten/kota yang dilakukan oleh pemerintah maupun mitra-mitra non pemerintah untuk mewujudkan target nasional maupun global dalam membentuk kota hijau yang berketahanan iklim dan bencana. Mengawali rencana aksi implementasi program pengembangan Kota Tangguh Bencana, BNPB menetapkan 10 langkah mendasar, diantaranya : 1. Adanya organisasi untuk ketangguhan terhadap bencana 2. Mengidentifikasi, memahami dan menggunakan skenario risiko saat ini dan masa mendatang. 3. Memperkuat kapasitas keuangan untuk mewujudkan ketangguhan. 4. Mengupayakan pembangunan dan rancangan kota yang tangguh. 5. Melindungi penyangga alami untuk meningkatkan fungsi perlindungan oleh ekosistem. 6. Memperkuat kapasitas kelembagaan untuk ketangguhan. 7. Memahami dan memperkuat kemampuan masyarakat untuk mewujudkan ketangguhan. 8. Meningkatkan ketangguhan infrastruktur. 9. Memastikan kesiapsiagaan dan tanggap bencana yang efektif. 10. Mempercepat pemulihan dan membangun kembali dengan lebih baik. Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
22
Sementara proses persiapan rencana aksi Kota Aman dan Tangguh Bencana terdiri dari 5 tahap serta 14 langkah yang dijabarkan sebagai berikut:
Tabel 6. Proses persiapan rencana aksi Kota Aman dan Tangguh Bencana
Indikator pengembangan Kota Tangguh Bencana merupakan replikasi dari upaya pengurangan risiko bencana yang memiliki strategi utama, yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Program pengembangan Kota Tangguh Bencana yang disusun oleh BNPB ini sejalan dengan pengembangan Desa Tangguh Bencana. Diharapkan BNPB dapat meningkatkan interkoneksi program pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dengan Kota Tangguh Bencana di daerah, agar terbentuk kesatuan dan keselarasan dalam upaya pengurangan risiko bencana yang terintegrasi dalam suatu daerah. 3.2.4. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Multihazard Nasional Strategi utama dalam pengurangan risiko bencana adalah peningkatan kapasitas. Sejalan dengan strategi bidang penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 – 2019, yaitu ‘peningkatan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bencana’ yang salah satunya adalah penyediaan sistem peringatan dini bencana. Berbagai Kementerian dan Lembaga di Indonesia telah memiliki Early Warning System sesuai dengan tugas dan fungsinya masing – masing (Tabel 7). Akan tetapi, sistem-sistem untuk Monitoring Hazard yang telah ada belum terintegrasi dengan baik sehingga Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
23
informasi terkait dengan peringatan dini yang diterima oleh publik menjadi terlambat dan belum lengkap. Tabel 7. Teknologi EWS di Indonesia Teknologi EWS Bencana Gempabumi dan Tsunami * Ina-TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) dengan Buoy, sea level monitoring (satellite altimetry), tide gauge/mareograph/ marigraph – Kementerian Riset dan Teknologi sebagai Koordinator * Seismometer – BMKG * WRS (Warning Receiver System – BMKG sebagai tools diseminasi yang memungkinkan sharing informasi dari komputer BMKG kepada komputer institusi interface * Sirine Tsunami Utama - BMKG sebagai tool informasi agar masyarakat malakukan evakuasi * Sirine Lokal Tsunami – BNPB dan BPBD dukungan jangkauan penguatan sirine utama Teknologi EWS Bencana Banjir/Longsor/Cuaca Ekstrem * Radar Cuaca, Stasiun AWS , data Cuaca dan Klimatologi - BMKG * Pengelolaan Citra - BMKG * Sadewa - Satellite Disaster Early Warning System (LAPAN) mencakup informasi Deteksi dini cuaca ekstrem melalui pengamatan satelit * SIMBA - Sistem Informasi untuk Mitigasi Bencana (LAPAN) mencakup informasi peringatan dini dan tanggap darurat bencana berbasis data penginderaan jauh. * Pengelolaan Citra – BMKG * Aplikasi WEB Sijampang – BPPT * Aplikasi Web MHEWS - Multihazard Early Warning System (Banjir &Longsor) – BNPB, BMKG, PVMBG, LAPAN, BPPT, PUSAIR (on Developing) mencakup informasi data hidrologi dan klimatologi, data sebaran sensor FEWS dan LEWS, data kerentanan dan potensi banjir dan gerakan tanah. * Pengukur Debit Air (Flood EWS) – BPPT * Instrumentasi : Landslide EWS dengan ekstensometer, tiltmeter atau accelerometer, rain gauge (penakar curah hujan), soil moisture, sensor induk dan sirine – BPPT * Instrumentasi : Lanslide EWS dengan ekstensometer, tiltmeter, penakar hujan (rain gauge), sirine dan repeater – UGM * Intrumentasi : Landslide EWS dengan ekstensometer, tiltmeter, dan rain gauge PVMBG * Aplikasi Delf-FEWS (Flood Early Warning System) – PUSAIR, KEMENTERIAN PU PERA, BMKG, BPPT * Aplikasi Delf-DEWS (Drought Early Warning System) – PUSAIR, KEMENTERIAN PU PERA, BMKG, BPPT * EWS longsor GEULIS (Geo-scince Early Warning Landslide and Information System) - Puslit Geoteknologi LIPI dan Japan Radio Co. Ltd (JRC) Teknologi EWS Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan * Aplikasi Sipongi (sistem deteksi dini kebakaran hutan) - LAPAN, BMKG, BNPB, KLHK mencakup informasi deteksi dini kebakaran hutan dengan teknologi satelit * FRS (Fire Risk System) - IPB, UNORCHID mencakup informasi analisa bahaya kebakaran * FDRS (Fire Danger Rating System) - BPPT, LAPAN, BMKG * Citra Satelit BMKG untuk pemantauan hotspot menggunakan satelit * Aplikasi SIMBA – LAPAN untuk pemantauan hotspot menggunakan satelit Teknologi EWS Bencana Letusan Gunungapi * PVMBG monitoring and warning system * Prediksi longsor bulanan
Sumber: BNPB, 2016
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
24
BNPB sebagai unsur pelaksana penanggulangan bencana yang memiliki fungsi
koordinasi,
komando,
dan
pelaksana
dalam
penyelenggaraan
penanggulangan bencana menginisiasikan pengembangan Multi Hazard Early Warning System (MHEWS). Untuk mendukung pengembangan sistem tersebut, BNPB melaksanakan koordinasi dengan berbagai K/L untuk mengintegrasikan sistem-sistem peringatan dini yang telah dikembangkan oleh K/L lain sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam hal ini, BNPB sebagai koordinator dalam penyusunan dokumen Keputusan Presiden terkait Pembentukan Tim dan Masterplan Pengembangan Multihazard secara sistematik yang harus diselesaikan pada tahun 2016. Tantangan peringatan dini yang ada selama ini adalah bagaimana masyarakat dapat merespon peringatan dini. Seperti diketahui bahwa BMKG sudah memiliki sistem EWS Tsunami yang cukup lama dan sudah berjalan cukup baik, namun ada kekurangan dari sisi kultur tentang kepedulian masyarakat terhadap warning atau peringatan dini bencana. Hal yang perlu ditingkatkan, yaitu public awardness dan kegiatan-kegiatan yang bersifat public education sehingga masyarakat dapat mengerti dan dapat merespon informasi dengan baik dari sistem peringatan dini yang ada. BNPB pada saat ini akan menyiapkan semacam Total Management dalam Early Warning secara keseluruhan dan tidak hanya prasarananya saja dan mencakup analisis-analisisnya, monitoringnya, diseminasinya sampai kepada respon masyarakat dan Total Early Warning secara terintegrasi nasional sampai ke masyarakat yang menjadi fokusnya. Dalam pengembangan Sistem Nasional Peringatan Dini Multi Bencana (National Early Warning System Multihazar) yang menjangkau semua K/L dan masyarakat dan sudah ada contoh seperti INATEWS (INA Tsunami Early Warning System) dan bisa kita adopsi dan kita siapkan National Early Warning System nya dan contoh lain adalah Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami dimana ada 4 Program
yaitu
Kesiapsiagaannya,
Peringatan Dukungan
Dini,
Mitigasi
Teknologi
Strukturalnya,
Program
beserta
Penguatan K/L
yang
melaksanakan dan Pejabat yang membawahinya. BNPB menawarkan dalam bentuk alur atau skema National Disaster Management System Integration Planning sebagai suatu informasi untuk petinggi dan semua pelaku Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
25
kebencanaan akan mendapatkan semua informasi yang sama baik peta maupun analisis risikonya. National Disaster Management System (NDMS) merupakan system terpadu yang mengintegrasikan seluruh system kebencanaan yang ada saat ini. Dapat dijadikan system rujukan nasional yang dapat digunakan oleh berbagai K/L dan stakeholder dalam meningkatkan management penanggulangan bencana yang dijelaskan pada Gambar 1. Engine utama NDMS adalah advanse system penggabungan DIBI (Database Informasi Bencana Indonesia), InaWare (Sistem pembuatan keputusan dalam pengelolaan bencana) dan Multiplatform GIS (konten secara mendetil dari berbagai peta yang pernah dihasilkan oleh BNPB, BPBD, K/L, NGO dan stakeholder lainnya). Berbentuk Portal dan apa yang akan dapat diakses sesuai user id yang terdaftar.
Gambar 1. Alur kerja terintegrasi National Disaster Management System (NDMS) Sumber: BNPB, 2016
Sebisa mungkin semua sistem yang telah ada pada sistem yang ada di BNPB sendiri maupun pada KL lain dapat terintegrasi dan menjadikan NDMS sebagai muara sistem peringatan dini bencana di Indonesia sehingga dapat tercipta sistem peringatan dini satu pintu. Selama in sistem informasi yang dibuat paling lengkap dan paling besar dalam bidang kebencanaan berada di BMKG. Selain itu, untuk EWS bencana banjir yang memiliki akurasi dan sistem penyampaian informasi yang baik ada pada Kementerian PUPR, yaitu PUSAIR. Dengan demikian, fokus pengembangan NDMS ini adalah bagaimana
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
26
mengintegrasikan serta mengembangkan pusat data dan informasi dari berbagai instansi terkait tanpa mengubah struktur dan sistem yang telah ada pada masing-masing instansi. Terdapat 5 kelompok sistem yang mendukung implementasi NDMS terdiri dari: (1) Monitoring & Warning Services, merupakan kelompok modul / sistem yang
berfungsi
melakukan
pemantauan
kondisi
cuaca,
gempa,
vulkanologi dan kerawanan bencana lainnya serta melakukan peringatan kepada Pusdalops BNPB dan BPBD serta kepada masyarakat. System harus
terintegrasi
dengan
kelompok
sistem
Communication
&
Dissemination dalam menyebarluaskan peringatan dini; (2) Resource Management, merupakan kelompok sistem / modul yang berfungsi melakukan pengaturan sumberdaya / kapasitas kebencanaan. Terdiri dari SDM, Logistik, Peralatan, kendaraan. Baik internal (BNPB dan BPBD) dan external (Instansi terkait dan NGO/unsur masyarakat lokal dan internasional); (3) Preparedness System, Merupakan kelompok sistem / modul yang berfungsi menghimpun dokumentasi tentang kondisi kewilayahan, rencana-rencana penanggulangan kebencanaan (RPB, Renkon, dll) pada berbagai level pemerintah Kelurahan, Kecamatan, Kota / Kab, Provinsi hingga Nasional, dan juga skenario penanganan serta best practice knowledge management; (4) Risk Analysis Systems, Merupakan kelompok sistem / modul yang berfungsi melakukan perhitungan / analisa resiko bencana suatu daerah; (5) Communication & Dissemination, merupakan kelompok sistem yang mengatur komunikasi baik yang sifatnya satu arah (broadcast), maupun dua arah. Baik yang berupa textual basis (sms), maupun multimedia (text dan gambar) hingga suara (call centre dan radio). Berdasarkan hasil rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh BNPB ini, seluruh KL mendukung baik inisiasi BNPB dalam mengembangkan NDMS. Diharapkan
dengan
tersusunnya
masterplan
sistem
peringatan
dini
multihazard ini sistem peringatan dini yang ada pada semua instansi terkait dapat saling terkoneksi. Hal yang perlu disepakati bersama dalam Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
27
pengembangan NDMS ini adalah stand ar informasi semua bencana yang akan disampaikan kepada masyarakat serta bagaimana pengembangan edukasi pada masyarakat dalam mengambil tindakan saat mendapat peringatan dini bencana. 3.2.5. Koordinasi Pemantauan dan Evaluasi Penanggulangan Bencana BNPB selaku lead agency penanggulangan bencana mengadakan Rapat Koordinasi
Pemantauan
dan
Evaluasi
pelaksanaan
program/kegiatan
penanggulangan bencana pada KL. Kegiatan koordinasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi program dan anggaran KL dalam rangka mendukung pelaksanaan penanggulangan bencana dengan dana APBN serta memperoleh informasi capaian target sesuai dengan RKP. Kegiatan pemantauan dan evaluasi ini telah dimulai sejak tahun 2015 dan akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2019 dalam rangka mengembangkan program/kegiatan penanggulangan bencana untuk mendukung pencapaian sasaran RPJMN 2015 – 2019 bidang penanggulangan bencana, yaitu menurunkan indeks risiko bencana Indonesia. Untuk mengetahui capaian sasaran penurunan indeks risiko bencana, diperlukan dukungan dari KL teknis lain dalam melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana pada berbagai bidang pembangunan. Pada tahun 2015, pemantauan yang dilaksanakan oleh BNPB baru dilakukan dalam bentuk penghimpunan nilai investasi APBN untuk penanggulangan bencana, dan belum mengidentifikasi program/kegiatan/output dalam r KL. Total alokasi anggaran APBN dalam belanja KL yang terkait langsung dengan pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana sebesar Rp 15 triliun, tersebar di 30 KL. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi tahun 2016 mengalami kemajuan dibandingkan tahun 2015, dimana pada tahun 2016 telah teridentifikasi program dan kegiatan K/L yang terkait penanggulangan bencana. Untuk meningkatkan kapasitas data dan informasi terkait investasi pengurangan risiko bencana di tingkat K/L, BNPB melaksanakan kunjungan langsung serta mengirimkan surat edaran resmi terkait permohonan data Renja K/L. Total nilai alokasi anggaran dalam belanja K/L untuk mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahun 2016 tercatat sebesar RP 16 triliun.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
28
Berdasarkan hasil rapat koordinasi tersebut dapat dirumuskan beberapa kendala dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi program/kegiatan yang mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagai berikut: 1. Belum teridentifikasinya kemajuan/capaian pelaksanaan program dan kegiatan,
sebagai
bahan
penilaian
keberhasilan
atas
sasaran
pembangunan nasional untuk menurunkan indeks risiko bencana; 2. Belum teridentifikasinya lokasi sasaran pelaksanaan program dan kegiatan; 3. Belum
adanya
sistem
integrasi
yang
mendukung
pemetaan
program/kegiatan semua K/L dalam melaksanakan penanggulangan bencana sehingga masih terdapat tumpang tindih kegiatan antar K/L; 4. Masih terdapat K/L yang belum menyampaikan data dan informasi terkait program
dan
kegiatan
dalam
mendukung
penyelenggaraan
penanggulangan bencana; 5. Belum teridentifikasinya anggaran pada daerah dan kapasitas pemerintah daerah dalam mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana masih sangat minim. Beberapa hal yang menjadi rencana tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi ini antara lain: 1. Diperlukan pembuatan rumusan definisi oleh BNPB terkait program penanggulangan bencana diantara semua program yang ada di K/L untuk mendukung
sistem
integrasi
pemetaan
program/kegiatan
penanggulangan bencana pada tingkat K/L; 2. Dukungan K/L untuk mengkonfirmasi data dan informasi program dan kegiatan yang belum terdata; 3. Dukungan K/L untuk menyampaikan kemajuan pelaksanaan program dan kegiatan; 4. Mengintegrasikan proses pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan bencana bersama Kemenko PMK, Bappenas, dan Kementerian Keuangan; 5. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam integrasi program penanggulangan bencana pada setiap aspek pembangunan di daerah;
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
29
6. Menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan terhadap sasaran strategis pembangunan nasional. 3.3.
Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Daerah Risiko Bencana Bidang penanggulangan bencana sangat strategis dalam menjamin
kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat. Sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015 – 2019), penanggulangan bencana menjadi salah satu agenda pembangunan Pelestarian Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana untuk mewujudkan Nawa Cita 7, yaitu “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.” Untuk mewujudkan kemandirian ekonomi di daerah rawan bencana menuntut kesiapan dan ketangguhan daerah dalam menghadapi bencana. Di sisi lain, daerah-daerah di Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap berbagai kejadian bencana (multi-hazard). Berdasarkan Indeks Risiko Bencana (IRBI), sebanyak 322 kabupaten/kota (± 65%) dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia memiliki indeks risiko bencana tinggi. Tidak ada kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki kelas risiko rendah terhadap ancaman bencana. Dalam perhitungan yang digunakan, IRBI untuk setiap Kabupaten/Kota menggunakan parameter-parameter bahaya, kerentanan dan kapasitas sebagai penghitungan risiko bencana (didasarkan atas penyesuaian yang digunakan dalam UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana). Selama tahun 2016, Direktorat Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan menyelenggarakan pemantauan perencanaan dan pelaksanaan koordinasi kebijakan pengurangan risiko bencana di daerah risiko bencana antara lain, Kota Palu – Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Lombok Barat – Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Gunung Kidul – Provinsi D. I. Yogyakarta, Kota Pekanbaru – Provinsi Riau, dan Kota Kupang – Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka mendukung pemantauan serta evaluasi koordinasi perencanaan dan pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana pada pembangunan lintas sektor di daerah risiko tinggi bencana. Hasil dari kegiatan pemantauan perencanaan dan pelaksanaan Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
30
kebijakan pengurangan risiko bencana di daerah risiko bencana dijabarkan sebagai berikut: 3.3.1. Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah Terdapat tiga pengembangan kawasan pusat pertumbuhan di Provinsi Sulawesi Tengah, yaitu KAPET Palapas, KEK Palu, dan KI Palu. KAPET Palapas terdiri dari Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, Kota Palu, dan Kabupaten Parigi Moutong. KEK dan KI Palu terletak di Kota Palu. Kejadian bencana yang kerap terjadi pada wilayah KEK Palu dan KAPET Palapas (Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Parigi Moutong) adalah bencana banjir, longsor, dan gempabumi. Hampir semua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah mengalami banjir saat musim hujan. Sementara pada Kota Palu sebagai wilayah untuk pengembangan KEK hanya menerima dampak banjir dari Parigi Moutong jika curah hujan tinggi. Wilayah Kota Palu yang terdampak banjir hanya sebagian wilayah yang dilalui sungai. Topografi Provinsi Sulawesi Tengah yang sebagian besar memiliki lereng bergelombang hingga curam dan struktur tanah yang labil berupa butiran lepas mengakibatkan terjadinya rawan longsor pada beberapa daerah. Kerap kali longsor terjadi pada satu-satunya ruas jalan yang menghubungkan antara kabupaten/kota sehingga mengakibatkan terputusnya arus perpindahan dan penyaluran barang. Salah satu ruas jalan yang kerap terjadi longsor dan memberikan dampak kerugian ekonomi akibat terputusnya perpindahan dan penyaluran barang adalah jalan utama yang menghubungkan antara Kabupaten Parigi Moutong – Kota Palu. Terkait antisipasi jalan utama yang sering terkena longsor, yaitu jalan yang menghubungkan Palu dan Parigi Moutong, Pemerintah Daerah telah mengusulkan pembuatan bypass sepanjang 48 km dalam RKP 2017 dan masih dalam menunggu keputusan dari Kementerian Pekerjaan Umum. Hingga saat ini penanganan bencana longsor tersebut hanya berupa kesiapsiagaan dan koordinasi cepat tanggap 24 jam di titik-titik rawan longsor. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana longsor BPBD Provinsi Sulawesi Tengah berencana akan memasang Early Warning System (EWS) untuk gerakan tanah/longsor, Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
31
akan tetapi hingga saat ini rencana tersebut tidak bisa direalisasikan terkait dengan anggaran yang sangat terbatas sementara untuk penyediaan EWS gerakan tanah membutuhkan dana yang sangat banyak. Letak Provinsi Sulawesi Tengah yang dilalui oleh Patahan Palu Koro, menjadikan wilayah pengembangan KEK Palu dan KAPET Palapas memiliki potensi bencana gempabumi yang sangat besar. Gempa tremor atau gempa yang terjadi akibat gerakan patahan secara dikit demi sedikit kerap terjadi terutama di Kota Palu. Gempa tremor tercatat dapat terjadi rata-rata 10 hari dalam satu hari di Kota Palu, akan tetapi hingga saat ini kekuatan gempa kecil berkekuatan kurang dari 4 SR tidak terlalu terasa dan tidak mengakibatkan kerusakan. Beberapa
Program/kegiatan
yang
telah
dilaksanakan
terkait
penanggulangan dan pengurangan risiko bencana dalam pengembangan KEK Palu dan KAPET Palapas, diantaranya pemasangan EWS gempa dan tsunami pada wilayah pesisir, pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan dan jalan yang mementingkan aspek fisik kebencanaan, jalur evakuasi dan rambu pada wilayah pesisir untuk jalur evakuasi tsunami. Diharapkan dalam rencana pembangunan KEK ada koordinasi/kerjasama dengan Dinas Tata Kota terkait ijin untuk pembangunan gedung atau bangunan yang diharuskan tahan terhadap gempa. Sementara untuk pembangunan shelter yang diusulkan pada BNPB belum terealisasi di Provinsi Sulawesi Tengah. Program kesiapsiagaan lainnya untuk penanggulangan dan pengurangan risiko bencana, yaitu pendistribusian logistik secara rutin pada setiap kabupaten/kota sesuai kebutuhan yang dibutuhkan masing-masing daerah. Mekanisme koordinasi penyediaan logistik dan peralatan penanggulangan dan pengurangan risiko bencana dimulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat. Masalah yang dihadapi adalah masih terbatasnya ketersediaan peralatan untuk mengantisipasi dan kegiatan tanggap darurat. Hingga saat ini peralatan yang terbatas dan letak kabupaten yang jauh, distribusi peralatan sangat terhambat saat terjadi bencana yang sama secara bersamaan pada beberapa kabupaten.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
32
(a)
(b)
(c) Gambar 2. (a), (b), dan (c), Logistik dan Peralatan Kesiapsiagaan Bencana di BPBD Provinsi Sulawesi Tengah Program kesiapsiagaan, selain menyediakan peralatan, tenaga, dan logistik, program yang masuk dalam RPJMD terkait kesiapsiagaan juga melakukan simulasi dan sosialisasi mengenai masyarakat tangguh bencana. Program tersebut sudah dilaksanakan pada hampir tiap kabupaten terutama daerah yang sering terdampak bencana. Tugas BPBD selain menanggulangi dan membantu mengatasi bencana juga untuk menjadikan masyarakat mandiri dan tangguh menghadapi bencana. Tenaga yang digunakan untuk sosialisasi dan simulasi berasal dari pusat, provinsi, dan kabupaten. Kesulitan dalam maintain program kesiapsiagaan adalah pembiayaan yang terbatas. Hal ini karena pemerintah melihat program kebencanaan masih dalam paradigma tanggap darurat belum terkonsentrasi pada kegiatan berupa investasi penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Karena di Sulawesi Tengah intensitas kejadian bencana yang selama ini terjadi tidak terlalu banyak dan besar maka anggaran yang dialokasikan untuk BPBD tidak menjadi prioritas. Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
33
BPBD selalu dilibatkan dalam rencana pembangunan strategis dan penerapan kajian risiko bencana pada RTRW. Program yang diterapkan untuk penanggulangan dan pengurangan risiko bencana di Provinsi Sulawesi Tengah ditekankan pada masyarakat tangguh bencana agar tercapai target penurunan IRBI pada daerah yang memiliki risiko bencana tinggi. Semenjak program sosialisasi dan simulasi tanggap darurat dilaksanakan, dapat dilihat bahwa korban akibat bencana berkurang. Kesiapan logistik pada daerah yang terdampak bencana selama ini tidak mengalami masalah karena mekanisme distribusi dan kesiapan daerah yang telah terkoordinasi dengan baik. Program penanggulangan dan kesiapsiagaan bencana selalu masuk dalam agenda musrenbang kabupaten dan provinsi. Kegiatan penanggulangan risiko bencana yang masuk dalam RKP 2016 utama berupa hal-hal yang mendukung program sosialisasi dan simulasi untuk masyarakat tangguh bencana, penyediaan peralatan, dan logistik bencana. Sedangkan tambahan usulan yang masuk dalam RKP 2017 berupa pemetaan daerah rawan bencana di Provinsi Sulawesi
Tengah
untuk
mendukung
dan
diterapkan
dalam
rencana
pembangunan kawasan strategis KEK Palu dan KAPET Palapas. 3.3.2. Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat Wilayah Nusa Tenggara Barat terteletak pada pertemuan dua lempeng besar, yaitu Lempeng Hindia – Australia dan Lempeng Eurasia. Batas kedua lempeng ini merupakan daerah yang sangat labil dan ditandai dengan munculnya tiga gunungapi aktif di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu Gunungapi Rinjani, Gunungapi Tambora, dan Gunungapi Sangeangapi. Berdasarkan IRBI tahun 2013, Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk daerah yang memiliki tingkat risiko bencana tinggi (skor IRBI: 172). Ancaman bencana di Provinsi NTB adalah Banjir, Gempa Bumi, Tsunami, Kebakaran Permukiman, Kekeringan, Cuaca Ekstrem, Longsor, Gunung Api, Abrasi, Konflik Sosial, Epidemi dan Wabah Penyakit. Dalam
rangka
memperoleh
informasi
mengenai
perkembangan
pelaksanaan dan sejauh mana kebijakan dalam RPJMN 2015-2019 telah dijabarkan ke dalam perencanaan di daerah khususnya bidang penanggulangan Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
34
bencana, Direktorat Daerah Tertinggal, Transmigrasi dan Perdesaan (DTTP) Bappenas
melakukan
pemantauan
dan
evaluasi
program/kegiatan
penanggulangan bencana di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dengan tujuan: 1. Memastikan upaya pengurangan risiko bencana telah dilaksanakan di daerah sesuai dengan kebijakan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional (RPJMN 2015-2019); 2. Mengidentifikasi program/kegiatan penanggulangan bencana yang telah dilakukan atau sedang berjalan di wilayah Prov. NTB; 3. Memperoleh masukan bagi penyempurnaan kebijakan PB ke depan. Dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bappenas berkoordinasi dan diskusi dengan BPBD Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Provinsi NTB tahun 2015 dan tahun 2016, sebagai berikut: Tabel 8. Identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Provinsi NTB Bidang Bidang Kesiapsiagaan
Kegiatan Fasilitasi pembentukan desa tangguh bencana. terdapat 485 desa rawan bencana di Prov. NTB. sejauh ini baru 5 desa (2015) dan 2 desa (2016) yang destana yang difasilitasi dari alokasi APBN (BNPB) dan APBD Provinsi. Namun, total destana yang telah terbentuk telah mencapai 60 desa dengan dukungan dari LSM lokal dan internasional. Pembentukan forum FRB dan relawan PB @30 orang pada setiap destana yang dibentuk. Penyusunan rencana kontinjensi (renkon) bencana banjir dan kekeringan serta penysunan renkon wilayah. Pelaksanaan gladi lapang melibatkan sekitar 500 orang peserta dari pemerintah dan masyarakat dan gladi posko lebih pada penguatan aparatur pemerintah, bekerjasama dengan TNI seperti pelaksanaan gladi Gn. Rinjani dan Gn. Tambora. Gladi lapang. Upaya mitigasi dalam rangka antisipasi bencana kekeringan melalui pembuatan sumur bor di Kabupaten Lombok Selatan. Pengembangan kota tangguh (resilience city) di Kota
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
35
Bidang
Kegiatan Bima, BNPB bekerjasama dengan Oxfam. BPBD Prov. NTB mengharapkan kota lainnya mendapatkan dukungan fasilitasi program yang sama. Pembangunan TES/Shelter 1 unit di Kab. Lombok Timur, masih diperlukan 4 unit TES untuk kabupaten lainnya yang rawan bencana tsunami. Bidang Penanganan Darurat Meliputi siaga darurat, tanggap darurat dan transisi darurat. Selama ini masih mengandalkan dukungan pendanaan Dana Siap Pakai (DSP) dari BNPB, sementara dukungan dari dana APBD (melalui Dana Tidak Terduga/DTT) masih kurang jika dibandingkan dengan jumlah kejadian yang harus ditangani. Saat terjadi bencana, DTT baru dapat dicairkan 3-4 minggu setelah bencana, dan pencairan dana bisa dilakukan jika ada rekomendasi/disposisi dari kepala daerah. Diharapkan mekanisme pencairan DTT dapat dipercepat untuk penanganan darurat kebencanaan. Apakah DSP bisa dialokasikan ke daerah, sehingga bisa segera dicairkan. Dana operasional bencana (penanganan darurat) perlu diupayakan seperti Basarnas yang memiliki anggaran untuk operasional SAR. Bidang Rehabilitasi dan Bantuan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi pasca Rekonstruksi bencana. Peralatan dan Logistik Pemberian bantuan peralatan agar memperhatikan Kebencanaan kebutuhan daerah (mis: kebutuhan alat berat seperti excavator). BNPB memberikan bantuan peralatan perahu amfibi kepada BPBD Prov. NTB tanpa request dari BPBD, selain itu mahalnya biaya operasional menjadi kendala peralatan tersebut belum dapat digunakan hingga saat ini. Demikian juga dengan proses administrasi, BAST masih berproses sehingga biaya operasional belum bisa dialokasi melalui APBD.
Beberapa Isu Penanggulangan Bencana di Provinsi Nusa Tenggara Barat, antara lain:
Koordinasi bantuan dari donor (program Strengthened Indonesian Resilience – Reducing Risk from Disasters/ StIRRRD) kerjasama New Zealand dengan Universitas Gajah Mada dan Universitas Mataram kurang optimal, kapan mulai dan berkahirnya program tidak diinformasikan. Kedepannya,
BPBD
diharapkan
dapat
dilibatkan
untuk
setiaip
program/kegiatan yang terkait kebencanaan.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
36
Persepsi Bappeda, bahwa penanggulangan bencana adalah urusan pemerintah pusat karena BPBD mendapatkan banyak bantuan/ fasilitasi dari pusat (BNPB). Bappeda perlu didorong agar lebih peka terhadap kebencanaan.
Alokasi penanganan darurat masih sangat kurang jika dibandingkan dengan jumlah kejadian bencana, ketergantungan pendanaan DSP dari pusat tinggi serta mekanisme dan waktu pencairan DTT yang lama. Salah satu kabupaten/kota yang menjadi sasaran prioritas dalam hal
penanggulangan bencana pada RPJMN 2015 – 2019 di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Tingkat Risiko Bencana yang tinggi, yaitu Kabupaten Lombok Barat. Kabupaten Lombok Barat memiliki urutan Indeks Risiko Bencana ke 2 (dua) tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat setelah Kabupaten Bima. Ancaman bencana yang kerap kali terjadi di Kabupaten Lombok Barat adalah banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem berupa angin puting beliung. Selama tahun 2016 kejadian bencana yang tercatat di Kabupaten Lombok Barat sebanyak 15 kejadian hingga bulan Juni 2016. Tercatat sebanyak 7 kejadian tanah longsor, 5 kejadian banjir, 1 kejadian angin puting beliung, serta 2
kejadian
banjir
dan
tanah
longsor.
Fenomena
perubahan
iklim
mengakibatkan terjadinya cuaca ekstrem berupa angin puting beliung, banjir, dan tanah longsor. Tambahan pula Kabupaten Lombok Barat memiliki topografi dengan lereng bergelombang hingga curam dan struktur tanah yang labil berupa butiran lepas pada beberapa daerah sehingga mengakibatkan kejadian longsor sering terjadi. Dampak kejadian longsor mengakibatkan banyak kerugian diantaranya, kerusakan badan jalan yang menghambat aksesibilitas, kerusakan pada rumah warga, dan rusaknya jembatan penghubung antar daerah. Kejadian longsor di Kabupaten Lombok Barat terparah terjadi pada tahun 2015 di Desa Guntur Macan, Kabupaten Gunungsari yang mengakibatkan 4 orang meninggal dunia. Dalam rangka pemantauan program/kegiatan penanggulangan bencana dilakukan kunjungan ke BPBD Kabupaten Lombok Barat. Hasil Identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Kabupaten Lombok Barat tahun 2015 dan tahun 2016 sebagai berikut :
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
37
Tabel 9. Identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Kab. Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat Bidang Bidang Kesiapsiagaan
Bidang Penanganan Darurat
Bidang Rehabilitasi Rekonstruksi Peralatan dan Kebencanaan
dan Logistik
Kegiatan Program Sekolah Aman Bencana (2015) merupakan kegiatan yang dilaksanakan atas kerjasama antara World Bank, BNPB, dan Kementerian PUPR dengan kegiatan berupa sosialisasi dan simulasi kebencanaan. Tercatat sebanyak 4 sekolah yang telah dilaksanakannya Program Sekolah Aman Bencana, yaitu SDN 2 Telagawaru, SDN 2 Narmada, SMPN 1 Batu Layar, dan SMPN 1 Sekotong. Program Destana telah dilaksanakan pada 4 desa di Kabupaten Lombok Barat. Program Destana di Kabupaten Lombok Barat difasilitasi dari alokasi APBN (BNPB) tahun 2015 sebanyak 3 desa, yaitu Desa Senteluk, Desa Lembar Selatan, dan Desa Labuan Tereng serta yang difasilitasi dari APBD Provinsi Nusa Tenggara Barat (BPBD) tahun 2015 sebanyak 1 desa, yaitu Desa Guntur Macan. Kegiatan Destana berupa pembentukan forum masyarakat desa dalam hal kesiapsiagaan dan tanggap darurat serta upaya-upaya yang mendukung penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Dukungan fasilitasi pembuatan EWS bencana longsor pada tahun 2016 dari Universitas Gajah Mada dan BNPB (APBN) di Desa Guntur Macan, yang baru-baru ini dilanda oleh bencana longsor. Bencana tersebut telah mengakibatkan 4 orang meninggal dunia dan potensi relokasi sebanyak 2 KK.
Dana Siap Pakai (DSP) yang diberikan pusat ke daerah selama ini masuk ke DPKAD dan memerlukan prosedur yang panjang serta pencairan dana yang relatif lama. Diperlukan pergub DSP untuk bencana. Bantuan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi sebesar Rp 5,5 Miliar untuk rehab-rekons infrastruktur. Peralatan dan Logistik sumber dana dari APBD dan APBN (BNPB).
Beberapa Isu Penanggulangan Bencana di Kabupaten Lombok Barat :
Alokasi APBD Kab. Lombok Barat untuk PB sebesar Rp. 3,2 Miliar (termasuk belanja pegawai). Kuantitas alokasi untuk PB tidak sebanding dengan kejadian bencana yang terjadi sehingga masih bergantung pada dana dari pusat.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
38
Bappeda kurang memahami aspek perencanaan untuk penanggulangan dan
pengurangan
risiko
bencana
sehingga
perencanaan
untuk
kebencanaan sulit direalisasikan pada APBD.
Kajian dan peta risiko bencana yang telah tersedia di BPBD belum diterapkan dengan baik dalam RTRW dan perencanaan pembangunan daerah.
3.3.3. Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I. Yogyakarta Berdasarkan IRBI tahun 2013, Kabupaten Gunungkidul termasuk ke dalam Kabupaten yang memiliki tingkat kerawanan bencana tinggi. Mengingat bahwa pertumbuhan dari segi pariwisata yang tinggi di Kabupaten ini dengan lokasinya yang sangat rawan terhadap ancaman bencana, maka perlu diadakan program perencanaan tentang penanggulangan bencana terutama dari segi prabencana dan kesiapsiagaan masyarakatnya. Kabupaten Gunungkidul memiliki letak di jalur penunjaman tektonik antara lempeng Eurasia dan lempeng IndiaAustralia yang bergerak secara signifikan setiap tahunnya (5-6cm/tahun). Tunjaman lempeng ini mengakibatkan berbagai macam ancaman bencana seperti gempa bumi, tsunami, hingga Abrasi pantai. Berbagai ancaman bencana yang mengancam Kabupaten Gunungkidul ini, harus dibarengi dengan kesiapsiagaan dari penduduk setempat terhadap penanggulangan bencana. Berdasarkan hasil rapat dengan BPBD D. I. Yogyakarta dan BPBD Kabupaten Gunungkidul, diperoleh beberapa informasi sebagai berikut. 1. Kegiatan penanggulangan yang difokuskan untuk penanggulangan bencana di D. I. Yogyakarta adalah meningkatkan kapasitas daerah, dalam hal ini meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat pada saat terjadi tanggap darurat bencana 2. Kegiatan pokok yang telah terlaksana di D. I. Yogyakarta
adalah
pemetaan risiko bencana 3. Pendekatan yang dilakukan dalam hal penanggulangan bencana adalah pendekatan secara territorial sejumlah +/- 400 Desa. 4. Kegiatan mengenai gladi penanggulangan bencana telah dilaksanakan di sejumlah daerah, baik di Gunungkidul maupun provinsi D. I. Yogyakarta secara keseluruhan Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
39
5. Kegiatan Penanggulangan Bencana yang akan dilakukan oleh BPBD adalah peningkatan City Resilience terhadap bencana 6. Kegiatan ini juga mencakup pembuatan sekolah tanggap bencana di beberapa daerah tertentu 7. Pembuatan revisi mengenai RTRW terbaru sedang dalam tahap pelaksanaan, revisi dilakukan terkait dengan pembuatan bandar udara baru di Kabupaten Kulonprogo 8. BPBD mengalami kesulitan dalam menyusun Indeks Risiko Bencana hingga tingkat desa, belum menemukan indikator atau kriteria yang digunakan untuk menghitung IRBI. Dalam rangka pemantauan pelaksanaan penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana dilakukan kunjungan ke BPBD Kabupaten Gunung Kidul dan lokasi kegiatan kesiapsiagaan di Desa Kanigoro Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Bentuk kegiatan penguatan kapasitas kesiapsiagaan kepada pemerintah daerah (BPBD Kab. Gunung Kidul), berupa peta jalur dan rambu-rambu evakuasi, bantuan peralatan mobil patroli (1 unit), mobil tangki air (1 unit) untuk antisipasi bencana kekeringan dan kesulitan air bersih yang sering melanda Kab. Gunung Kidul, bantuan pusdalops (berupa bangunan, laptop dan jaringan internet) untuk memonitor kejadian bencana. Selain itu, tahun 2015 BNPB juga memberikan bantuan peralatan sistem peringatan dini sederhana dan telah dipasang di 7 titik garis pantai yang rawan bencana tsunami. Namun saat ini, ke-7 peralatan EWS tersebut sudah tidak berfungsi lagi karena telah rusak. Harapannya dalam pemberian bantuan peralatan seperti sistem peringatan dini tsunami yang ditempatkan dikawasan pantai dan rentan terhadap korosi agar memperhatikan bahan material yang digunakan dan disesuaikan dengan karekteristik lokasinya.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
40
Gambar 3. Bangunan Pusdalops BPBD Kabupaten Gunungkidul
Gambar 4. Rambu Jalur Evakuasi Tsunami di Pantai Ngobaran di Desa Kanigoro Kecamatan Saptosari Kab. Gunungkidul 3.3.4. Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau Provinsi Riau merupakan daerah prioritas penanganan bencana dengan risiko bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang tinggi. Untuk pemadaman bencana Karhutla, Prov. Riau dibagi menjadi 3 basis Utara (Kab. Dumai), Tengah (Kota. Pekanbaru), dan Selatan (Kab. Indragiri Hilir). Dalam pelaksanaan pemantauan serta evaluasi perencanaan dan pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana Karhutla di salah satu kabupaten terdampak karhutla, yaitu Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Bappenas berkoordinasi dan diskusi dengan BPBD Provinsi Riau, BPBD Kabupaten Kampar, Dinas Perkebunan Prov. Riau, Badan Lingkungan Hidup Prov. Riau, Dinas Kesehatan Prov. Riau, Dinas Kehutanan Prov. Riau, Dinas Pekerjaan Umum Prov. Riau, dan Dinas Sosial Prov. Riau untuk mengidentifikasi program/kegiatan yang telah dilakukan dengan hasil sebagai berikut:
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
41
Tabel 10. Identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Provinsi Riau Bidang Bidang Kesiapsiagaan
Bidang Penanganan Darurat
Peralatan
dan
Logistik
Kegiatan Upaya pencegahan sudah dilakukan dengan melakukan perekrutan TRC (Tim Reaksi Cepat) di tiap Kabupaten/Desa Perlu dianggarkan dana pencegahan Karhutla di Tiap K/L atau Pemprov agar dapat menjadi satu pintu terkait urusan pendanaan penanggulangan bencana Telah dilakukan sosialisasi ke perkebunan rakyat dan swasta secara intensif Para petani kebun sudah dibekali dengan skill mengenai pemadaman titik api, yang disebut dengan “Tani Peduli Api”. Terdapat 33 kelopok “Tani Peduli Api” yang telah dibentuk di tiap Kabupaten. Pada tahun 2017, dicanangkan akan dibentuk kembali KTPA (Kelompok Tani Peduli Api) di 20 Kabupaten lainnya Ada 3 kegiatan untuk pencegahan Karhutla yang diprakarsai oleh BLH: 1) Desa bebas asap, 2) Masyarakat Peduli Api, 3) Peningkatan peran serta masyarakat terkait karhutla Ada pula pengendalian kerusakan akibat pertambangan untuk mencegah longsor sebagai salah satu bentuk kegiatan PB dari BLH Dinas Sosial Prov. Riau telah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat berupa Taruna Siaga Bencana yang terdiri dari relawan masyarakat yang telah dilatih. Selain itu, juga telah dibentuk Kampung Siaga Bencana pada beberapa desa dengan membekali masyarakat dalam menghadapi bencana. Dana PB di Prov. Riau tidak dapat digunakan untuk upaya mitigasi bencana pada fase persiapan, karena banyak alokasi dana yang hanya dapat digunakan pada kondisi Tanggap Darurat dan bukan pada kondisi Siaga Darurat Diperlukan alokasi dana khusus untuk TNI dan Polri dalam fase Tanggap Darurat Alangkah baiknya, bantuan dari pusat berupa anggaran dan bukan barang jadi sehingga bahan makanan tidak cepat rusak Peralatan PB di Kab. Kampar masih kurang
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
42
Bidang Kebencanaan
Kegiatan memadai untuk upaya Karhutla Alat ISPU tidak dimiliki di semua kab/kota Diperlukan tenda khusus isolasi untuk pencegahan ISPU akibat Karhutla Terobosan lain yang dilakukan adalah dengan penggunaan minibus medis yang dapat mengisolasi udara Terdapat ketimpangan antara jumlah bantuan makanan dengan jumlah korban
Sementara hasil koordinasi dan kunjungan lapang yang dilakukan pada Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar didapatkan catatan penting sebagai masukan dan rekomendasi pada masa yang akan datang dalam penanganan penanggulangan bencana sebagai berikut: 1. Dibutuhkan kelengkapan sarana dan prasarana untuk para relawan yang terdiri dari HT dan Motor Trail; 2. Diperlukan patrol rutin dan keberlanjutan untuk wilayah rawan bencana sekaligus untuk pemetaan; 3. Diperlukan alokasi yang tepat untuk penanganan karhutla; 4. Diperlukan
peningkatan
kapasitas
pemerintah
daerah
dalam
perencanaan agar menjadi pelaksanaan kegiatan prioritas; 5. Terdapat Miss Connection antara Pusat dan Daerah sehingga menghambat anggaran Penanggulangan Bencana; 6. Luas desa Rimbo Panjang 9000 Ha, dan yang terbakar seluas +/- 1000 Ha; 7. Petugas Patroli dan Sumur Bor adalah salah satu cara efektif dalam Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan; 8. MPA (Masyarakat Peduli Api) di Rimbo Panjang berjumlah 30 orang sangat tanggap dan dapat berkolaborasi dengan Manggala Agni serta Relawan dari BPBD; 9. Kendala banyak ditemui pada DSP (Dana Siap Pakai) yang hanya dapat digunakan pada saat kondisi darurat saja; 10. Anggaran khusus untuk MPA dan TRC agar dapat lebih tanggap, sehingga tidak tergabung dengan DSP;
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
43
11. Diharapkan agar dukungan APBN dapat mencapai hingga tingkat desa pada saat terjadi kondisi Tanggap darurat.
Gambar 5. Papan Informasi Kantor Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar
Gambar 6. Peta Rawan Bencana Kebakaran Hutan dan lahan Desa Rimbo Panjang 3.3.5. Pemantauan Perencanaan dan Pelaksanaan Kebijakan Pengurangan Risiko Bencana di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah dengan risiko bencana yang tinggi. Bencana yang kerap terjadi pada Kota Kupang diantaranya, banjir, abrasi, kekeringan, tsunami, dan konflik sosial. Dalam pelaksanaan pemantauan serta evaluasi perencanaan dan pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana Bappenas menyelenggarakan koordinasi dan diskusi bersama Bappeda dan BPBD Provinsi NTT guna mendapatkan data dan informasi terkait program/kegiatan penanggulangan bencana di Kota Kupang, Provinsi NTT. Adapun hasil identifikasi kegiatan tersebut sebagai berikut: Tabel 11. Identifkasi program/kegiatan penanggulangan bencana di Provinsi NTT Bidang Bidang Kesiapsiagaan
Kegiatan Pada Program Pemberdayaan masyarakat
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
44
Bidang
Bidang Penanganan Darurat
Peralatan
dan
Kegiatan terdapat 7 program, salah satunya adalah program Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang kini memliki 70 anggota Tagana. Program-program terkait desa tangguh/ketahanan lingkungan yang didesain oleh kementerian/lembaga dan NGO’s (prokllim, pesisir tangguh bencana, kampong siaga bencana, daerah tangguh bencana, program Mercy Corps, dsb) merupakan potensi dan tantangan koordinasi dalam pengembangan Desa Tangguh Bencana. Terhadap persiapan menghadapi bencana di NTT, BNPB menekankan pentingnya kelembagaan/mitra misalnya UNDP dan penyusunan program-program yang nyata seperti pembuatan Sumur Bor dan Hutan Bakau pada strategi PRB Terkait bencana kekeringan, untuk meningkatkan kapasitas masyarakat maka dibuat kegiatan pembuangan embung. Penyusunan rencana kontijensi dan Sekolah Aman Bencana. NTT sudah memiliki forum PRB yang terdiri atas NGOs, pemerintah, dan masyarakat yang sudah ada di hampir semua kabupaten/kota di NTT. Apabila terjadi tanggap darurat tingkat nasional maka digunakan Dana Siap pakai (DSP); sementara Belanja Tak Terduga (belanja tanggap darurat) digunakan daerah untuk penanganan bencana. Mekanisme Belanja Tak Terduga/Tanggap Darurat melekat pada Bendahara Keuangan Daerah (Biro Keuangan Daerah) masih membutuhkan mekanisme dan proses yang rumit. NTT mengalami bencana banjir dan kekeringan setiap tahun sehingga diperlukan anggaran khusus, sehingga setiap tahun dianggarkan untuk kegiatan tak terduga yang dikhususkan untuk tanggap darurat khsuusnya pada kegiatan fisik (pembanguna irigasi sungai/penguatan tembok, pembetulan rumah-rumah penduduk).
Logistik Bantuan dari pusat tidak hanya dalam bentuk
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
45
Bidang Kebencanaan
Kegiatan penganggaran tapi juga penyerahan asset berupa kendaraan operasionalisasi untuk tanggap darurat, namun pada prakteknya di lapangan ada beberapa kabupaten yang belum memaksimalkan bantuan kendaraan operasional tanggap darurat yang telah diberikan BNPB kepada daerah.
Isu Strategis : 1. Dari segi penganggaran untuk PB di NTT masih dirasakan kurang. Potensi sangat tinggi, tapi dari segi penganggaran belum mendukung. Dalam UU No. 23, peran pemerintah daerah sangat besar. Sementara ini, APBD NTT hanya berjumlah Rp 4 triliun yang terbagi oleh beberapa SKPD. Bisa dilihat bantuan-bantuan asing dalam kegiatan PRB, maka memerlukan keberadaan NGOs untuk mendukung kegiatan-kegiatan PRB. 2. Desa tangguh Bencana masih merupakan kegiatan baru dan disambut baik oleh pemprov dan pemkab Kupang. Namun diperlukan kejelasan terhadap indikator-indikator Desa tangguh bencana tersebut. Bappenas dan BNPB mengarahkan agar dari 20 indikator, ada sebagian indikatorindikator utama yang bisa diacu dan dijadikan prioritas dalam membentuk masyakat tangguh bencana 3. Permasalahan dalam proses perencanaan spasial dalam PRB, contohnya sinkronisasi peta RTRW hingga pada akhirnya berkoordinasi dengan legislatif. Selain itu, Bappenas juga melaksanakan koordinasi dan diskusi pada salah satu desa di Kota Kupang, yaitu Desa Oesapa. Jumlah penduduk Desa Oesapa yang
berjumlah
+/-
28.000
jiwa,
menjadikan
desa
ini
salah
satu
Desa/Kelurahan terbesar dengan penduduk terpadat di Kota Kupang. Desa Oesapa merupakan Desa yang terletak di kawasan pesisir, dengan elevasi 0 MDPL, sehingga sangat rawan akan bencana, terhitung setiap tahunnya selalu terjadi abrasi di sepanjang pinggir pantai. Di Sepanjang pinggir pantai, telah dipasangi tanggul penahan gelombang pasang dalam beberapa tahun terakhir.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
46
Kondisi geografis desa yang berbentuk cekungan dan terletak di bagian bawah dari Kota Kupang, juga menyebabkan desa Oesapa Rawan Banjir ketika musim penghujan. Salah satu penyebab terjadinya banjir di Desa Oesapa adalah karena kondisi drainase yang kurang baik, dimana mulut drainase lebih kecil dari kondisi idealnya. Meskipun Desa Oesapa kerap terkena bencana banjir ketika terjadi hujan, namun Desa ini juga mengalamai ancaman lain yang berupa kekeringan pada saat musim kemarau. Untuk mengatasi kekeringan tersebut secara sementara, penduduk membeli air yang dijual seharga 2000 rupiah/liter. Upaya lain yang telah dilaksanakan oleh penduduk untuk mengatasi kekeringan adalah dengan membuat sumur, namun kondisi air di Desa ini payau, sehingga tidak dapat dikonsumsi. Beberapa catatan penting berdasarkan hasil koordinasi dan diskusi mengenai penanganan penanggulangan bencana di Desa Oesapa, Kota Kupang antara lain: 1. Peta Rawan Bencana menjadi hal penting yang dibutuhkan oleh Desa Oesapa, sebagai bentuk upaya Penanggulangan bencana; 2. Diperlukan suatu teknologi yang mampu menyerap dan menahan air hujan ketika musim penghujan di Desa Oesapa, sehingga tidak terjadi banjir serta dapat digunakan pada saat musim kemarau; 3. Telah dibentuknya kegiatan Desa Tangguh Bencana oleh BNPB di Desa Oesapa pada tahun 2016. Terdapat pula kendala-kendala administrasi lain di Desa Oesapa ini, seperti Database yang belum akurat sehingga mempengaruhi pendataan penduduk, Tingkat kualitas SDM yang masih kurang sehingga cukup menyulitkan dalam hal edukasi kebencanaan, dan dana Penanggulangan bencana yang juga belum memadai. 3.4.
Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Rekonstruksi Daerah Pasca Bencana
Rehabilitasi
dan
Direktorat Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan, Bappenas terlibat dalam rapat koordinasi maupun pemantauan dalam rangka percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi daerah pasca bencana. Kegiatan koordinasi perencanaan
serta
pelaksanaan
rehabilitasi
dan
rekonstruksi
yang
diselenggarakan pada tahun 2016 berupa kejadian bencana besar antara lain, Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
47
erupsi Gunung Sinabung (Kabupaten Karo, Sumatera Utara); Banjir Bandang Manado (Kota Manado, Sulawesi Utara); dan Banjir Bandang Garut (Kabupaten Garut, Jawa Barat). 3.4.1. Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Erupsi Gn. Sinabung Dalam rangka percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) pascabencana Sinabung, BNPB menyelenggarakan rapat koordinasi dengan berbagai K/L terkait serta pemerintah daerah Kabupaten Karo guna menyaring masukan kendala pemerintah daerah serta sosialisasi kegiatan RR tahun 2016 yang akan dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Tahun 2015 relokasi tahap I (satu) untuk 370 kepala keluarga (kk) dari 3 desa terdampak, yakni Desa Bekerah (112 kk), Desa Simacem (130 kk) dan Desa Sukameriah (128kk) telah selesai dilaksanakan. Ketersediaan lahan di Siosar hanya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan relokasi tahap I (370 KK). Adapun sisa lahan yang tersedia tidak mencukupi untuk menampung relokasi tahap II (dua) yang akan dilaksanakan pada tahun 2016 ini. Pemerintah
Kabupaten
Karo
menetapkan
relokasi
tahap
II
akan
dilaksanakan dengan skema Relokasi Mandiri dimana masyarakat menyiapkan lahan dan atau membangun rumahnya secara mandiri dan didampingi secara teknis oleh Tim Pendamping (Fasilitator). Relokasi Tahap II (Relokasi Mandiri) akan dilaksanakan dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan secara sinergis, yakni : Community Based Development (Pembangunan Berbasis Komunitas) : (1) Masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan; (2) Perencanaan pembangunan disusun secara partisipatif; (3) Pemerintah bertindak sebagai fasilitator, mediator dan motivator. Value Based Development (Pembangunan Berbasis Nilai) : (1) Pembangunan diorientasikan dalam rangka menumbuhkan dan membangkitkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, membangun modal sosial dan meningkatkan harkat martabat masyarakat; (2) Pembangunan dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip nilai universal maupun prinsip nilai lokal yang selama ini berkembang di masyarakat. Melalui mekanisme PMK 162/2015, Kementerian Keuangan telah menyalurkan hibah kepada Pemda Kab. Karo sebesar Rp 190 miliar untuk Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
48
pelaksanaan RR Sinabung tahun 2016. Dana hibah dialokasikan untuk 1683 kk pada relokasi mandiri tahap II. Pemerintah menyiapkan dana stimulan sebesar Rp 110 juta per KK untuk biaya penyiapan Lahan Usaha Tani dan pembangunan rumah (hunian tetap). Selain itu, akan disiapkan juga sarana dan prasarana, serta paket pendampingan sosial ekonomi dan livelihood sesuai kebutuhan yang telah ditetapkankan oleh pemerintah. Sambil menunggu penyelesaian pembangunan huntap untuk 1.683 KK, sementara saat ini telah diberikan biaya sewa rumah dan sewa lahan pertanian. Berdasarkan data yang diperoleh dari BNPB, hingga November 2016, pendanaan Dana Siap Pakai (DSP) BNPB yang telah dialokasikan untuk kegiatan RR di Sinabung sebesar Rp 297 miliar dan alokasi untuk pengadaan logistic dan peralatan sebesar Rp 8 miliar. Adapun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan RR di Sinabung sehingga belum dapat terselesaikan hingga akhir tahun 2016 diantaranya: 1. Terkait pendanaan, anggaran yang dialokasikan pada Dana Hibah dari Pemerintah Pusat kepada Pemda Karo untuk Kegiatan RR TA 2015 pada kegiatan pendampingan hanya cukup untuk 4 (empat) bulan yaitu April – Juli 2016. Sementara dana hibah dukungan Indonesia Disaster Fund (IDF) di Sinabung melalui window Bank Dunia yang masuk pada DIPA Kementerian PUPR, baru efektif dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 dikarenakan proses administrasi revisi DIPA di Kementerian PUPR dan lelang konsultan pendamping. Sehingga terjadi gap terkait pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan RR di Sinabung selama 2 bulan. 2. Pendataan dan verifikasi jumlah korban terdampak yang belum terlaksana dengan baik sehingga sulitnya mendapatkan data yang valid terkait seberapa banyak kk yang memiliki hak atas rumah dan atau lahan pertanian. 3. Penyusunan petunjuk teknis (Juknis) untuk pembangunan dalam pemilihan lokasi lahan rumah dan lahan pertanian terkait dengan relokasi mandiri agar sesuai dengan rencana tata ruang dan penggunaan alokasi dana dapat digunakan dengan baik oleh warga memerlukan waktu yang cukup lama.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
49
4. Kapasitas pemerintah daerah yang masih dianggap kurang terkait permohonan kebutuhan rencana rehablitasi dan rekonstruksi yang diajukan kepada pemerintah pusat untuk kegiatan RR pasca erupsi Gunung Sinabung. Sehingga belum terlaksananya koordinasi dan sinergitas yang baik terkait rencana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat maupun antar pemerintah pusat sendiri. 5. Tekait kendala ketersediaan lahan relokasi, adanya pihak-pihak yang mengganggu Kelompok Masyarakat (Pokmas) untuk bertransaksi dan munculnya makelar tanah yang menjadikan harga tanah sangat mahal. 3.4.2. Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Banjir Bandang Kota Manado Direktorat Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan menyelenggarakan
pemantauan
serta
koordinasi
proses
pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana banjir bandang di Kota Manado dan sekitarnya. Selain melakukan pemantauan terhadap proses pelaksanaan RR, kegiatan ini dilaksanakan untuk menggali upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pengintegrasian pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan daerah. Diharapkan pelaksanaan RR menerapkan upaya pengurangan risiko bencana sehingga terwujudnya pelaksanaan pemulihan build back safer and better. Rencana pemulihan yang mulai digagas sejak tahun 2014, praktis belum dapat terlaksana hingga akhir tahun 2015, meskipun dana hibah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana sebesar Rp 213 miliar telah masuk rekening kas daerah pada bulan November 2015. Alokasi dana tersebut rencananya akan dimanfaatkan untuk rehabilitasi perumahan dan lingkungan permukiman, yang terdiri dari RR insitu rumah rusak berat (RB) sebanyak 1.280 unit dengan alokasi Rp 40 juta per unit, rumah rusak sedang sebanyak 1.738 unit dengan alokasi Rp20 juta per unit, dan pemulihan infrastruktur (tanggul pengaman pantai, talud, drainase dan jembatan).
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
50
Beberapa catatan penting yang diperoleh dari hasil koordinasi proses pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca banjir bandang di Kota Manado dan sekitarnya antara lain: 1. Lamanya proses pencairan dana rehabilitasi dan rekonstruksi, menjadi penyebab pelaksanaan pemulihan di Kota Manado dan daerah terdampak lainnya di Provinsi Sulawesi Utara menjadi sangat lambat. 2. Kendala dalam validasi pendataan dan penentuan prioritas penerima dan relokasi. Konsultan kesulitan dalam menentukan penerima manfaat melalui pola pemberdayaan masyarakat. 1 unit rumah 40 juta untuk relokasi, 30 juta untuk RR insitu. Terdapat usulan tambahan 500 unit rumah yang sebelumnya tidak terdata dan belum termasuk dalam 2.054 unit. 3. Kurangnya tenaga tukang untuk konstruksi menjadi hambatan lamanya proses pelaksanaan RR. 4. Pengadaan listrik pada daerah relokasi terhambat karena PLN tidak memiliki alokasi dana untuk pembangunan gardu dan jaringan listrik ke daerah relokasi 5. Proses ganti rugi masyarakat yang memiliki lahan pertanian di lahan relokasi yang belum terselesaikan 6. Landclearing lahan relokasi yang belum maksimal dan kondisi lokasi yang berkontur, sehingga diperlukan pembuatan talud disekitar rumahrumah dan didaerah aliran sungai yang melintas di lokasi huntap. 7. Ketersediaan prasarana air bersih serta sarana pendidikan, kesehatan dan rumah ibadah yang belum terencana dengan baik. 8. Belum dialokasikannya dana untuk relokasi hunian masyarakat yang berada pada kawasan potensi rawan bencana longsor, hal ini menjadi upaya selanjutnya seiringan dengan pelaksanaan proses pemulihan terdampak banjir bandang di Kota Manado dan sekitarnya. 9. Upaya
pemda
dalam
PRB
diantaranya,
peningkatan
kapasitas
masyarakat dan kelembagaan di beberapa desa melalui sosialisasi PRB. 3.4.3. Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Rehabilitasi Rekonstruksi Pasca Bencana Banjir Bandang Kabupaten Garut
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
dan
51
Dalam rangka percepatan pemulihan pasca bencana banjir bandang di Kabupaten Garut yang terjadi pada tahun 2016, BNPB menyelenggarakan Rapat Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Banjir Bandang di Kabupaten Garut dengan Kementerian dan Lembaga yang terkait. Garut merupakan kabupaten dengan indeks risiko bencana tertinggi kedua di Indonesia. Akibat kejadian bencana longsor dan banjir bandang di Garut terdapat 3 titik pengungsian yang ditempati 787 KK dengan jumlah 2.525 jiwa. Garut memiliki tipologi sosial dan lingkungan yang kompleks sehingga penyelesaian RR di Garut memiliki beberapa kendala, diantaranya : 1. Masalah penanganan darurat dan RR pasca bencana selama ini adalah pendataan jumlah korban untuk penyelesaian RR. 2. Konflik sosial karena ada ketidaksetaraan program pembangunan RR yang dibangun oleh APBN melalui K/L dan bantuan hibah dari NGO/LSM/CSR. 3. Penanganan
pasca
bencana
yang
terbengkalai
karena
tidak
terintegrasinya peran satu lembaga dengan lembaga lain. 4. Ketersediaan lahan yang sesuai untuk relokasi huntap dan lahan pertanian untuk warga yang sangat sulit ditemukan. 5. Komitmen K/L terkait pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan pemulihan pasca bencana banjir bandang di Kab. Garut Beberapa catatan penting yang menjadi rencana tindak lanjut pelaksanaan pemulihan pasca bencana banjir bandang di Kab. Garut antara lain : 1. Lokasi lahan relokasi harus mengakomodir masukan dari masyarakat agar tidak menimbulkan permasalahan; 2. Perlunya finalisasi Renaksi oleh setiap K/L yang bertanggung jawab. Akan dilakukan penandatanganan antara Kemenkeu, Bappenas, dan BNPB sebagai komitmen K/L untuk pelaksanaan Renaksi ini; 3. Perlu penyesuaian kebijakan di dalam renaksi terkait program dan pendanaan terkait bencana agar tidak mengganggu anggaran K/L; 4. Akan dibuat EWS berbasis masyarakat di Garut, seperti kejadian banjir lahar di Gunungapi Merapi.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
52
5. Perlunya pembenahan terhadap pendataan dan pemetaan rumah di lokasi rawan dan potensi bencana banjir bandang serta longsor di Kab. Garut 6. Perlunya pembinaan pada masyarakat di hulu DAS Cimanuk untuk tidak merusak unsur lingkungan DAS dan tidak membuang sampah pada aliran sungai 7. Perlunya memperbaiki alur sungai yang telah mengalami penyempitan agar debit tidak meningkat secara drastic saat curah hujan tinggi
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
53
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1.
Kesimpulan
Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang melibatkan multisektoral dan tanggung jawab semua pihak. Diharapkan pada setiap aspek pembangunan yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga maupun pemerintah daerah dapat mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana. Peranan semua pelaku sektor pembangunan sangat penting untuk mendukung capaian sasaran nasional bidang penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015 – 2019, yaitu menurunkan indeks risiko bencana. Strategi utama dalam pelaksanaan upaya terkait mengurangi risiko bencana adalah peningkatan kapasitas pemerintah, pemerindah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bencana melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dan penyediaan sistem peringatan dini. Berbagai K/L telah menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan ketangguhan masyarakat menghadapi bencana sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing K/L. Begitu pula dengan kegiatan penyediaan sistem peringatan dini bencana dimana beberapa K/L telah memiliki alat sistem peringatan dini bencana untuk mendukung kinerja sektornya masing-masing. Pemerintah pusat telah menyelenggarakan kegiatan yang mendukung pelaksanaan penanggulangan bencana, akan tetapi terdapat permasalahan yang mendasar dalam pelaksanaannya,
yaitu
masih
lemahnya
koordinasi
antar
sektor
untuk
menyelenggarakan penanggulangan bencana yang terintegrasi sehingga kenyataannya saat ini K/L terkait masih jalan masing-masing mengikuti ego sektoral. Sejauh ini, pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana seperti Desa Tangguh Bencana, Kota Tangguh Bencana, dan penyediaan sistem peringatan dini yang diselenggarakan oleh BNPB belum terkoordinasikan dengan K/L lain yang juga menyelenggarakan kegiatan tersebut. Fungsi BNPB sebagai koordinator K/L terkait pelaksanaan penanggulangan bencana
dirasakan
belum
optimal
sehingga
perencanaan
dan
pelaksanaan
penanggulangan bencana yang dilakukan oleh K/L lain belum teridentifikasi dengan baik untuk mendukung upaya penurunan indeks risiko bencana sesuai dengan sasaran nasional dalam RPJMN 2015 – 2019.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
54
Sementara pelaksanaan penanggulangan bencana di daerah, yaitu masih minimnya pemahaman pemerintah daerah akan pentingnya penerapan upaya pengurangan risiko bencana pada setiap pelaksanaan aspek pembangunan. Tidak sedikit ditemukan perencanaan alokasi anggaran untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana pada daerah dengan kerawanan akan bencana yang tidak terlalu tinggi sangatlah minim sehingga
ketergantungan
daerah
pada
pemerintah
pusat
untuk
kegiatan
penanggulangan bencana masih sangat besar. Selain itu, minimnya kapasitas pemerintah daerah dalam memahami kondisi kebencanaan daerahnya juga berdampak pada usulan kebutuhan daerah untuk pengadaan peralatan dan logistik terkait kebencanaan tidak mempertimbangkan keberlanjutan asset yang diberikan oleh pemerintah pusat. Permasalahan lain di daerah, yaitu dalam penanganan pemulihan daerah pasca bencana. Permasalahan mendasar dalam pemulihan daerah pasca bencana selama ini, diantaranya: (1) Pendataan korban terdampak yang memiliki hak dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi; (2) Kapasitas pemerintah dan SDM di daerah yang masih minim sehingga ketergantungan pada pemerintah pusat sangat tinggi; (3) Komitmen dan koordinasi antar sektor pemerintah di pusat terkait pengalokasian kegiatan serta anggaran untuk pelaksanaan pemulihan pasca bencana. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pemulihan daerah pasca bencana membutuhkan waktu yang sangat lama. 4.2.
Rekomendasi
Adapun rekomendasi secara umum untuk pelaksanaan penanggulangan bencana yang akan mendatang, antara lain: a. Dalam mendukung pencapaian sasaran nasional dalam RPJMN 2015 – 2019, yaitu menurunkan indeks risiko bencana, diperlukan keterlibatan berbagai pihak yang terintegrasi antara pemerintah pusat yang meliputi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat. b. Perlu adanya peningkatan koordinasi baik dalam perumusan kebijakan maupun implementasi terhadap program-program penanggulangan bencana pada tahan pra, tanggap, maupun pemulihan pasca bencana.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
55
c. Pengembangan
kapasitas
kelembagaan
pemerintah
daerah
dalam
penanggulangan bencana. d. Setiap daerah memiliki karakteristik kebencanaan dan sosial yang berbeda sehinggamemiliki pendekatan dalam pembangunan yang berbeda pula. Dengan demikian, dibutuhkan pendekatan kewilayahan dalam perencanaan dan pelaksanaan penanggulangan bencana. e. Terkait alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk penanggulangan bencana di daerah, dibutuhkan perhitungan investasi pengurangan risiko bencana sebagai sarana perencanaan kebutuhan penanggulangan bencana di pusat maupun daerah. f. Diperlukan pengembangan suatu sistem untuk mendukung kegiatan pendataan dari
aspek
kependudukan
hingga
aspek
pembangunan
yang
akan
diimplementasikan terutama dalam mendukung kegiatan pemulihan daerah pasca bencana.
Koordinasi Strategis Perencanaan Pelaksanaan dan Pengurangan Indeks Risiko Bencana untuk Mendukung UU No. 24 Tahun 2007
56