FINAL REPORT A STUDY ON NATIONAL AND LOCAL GOVERNMENT’S ROLE AND REQUIRED CAPACITY BUILDING IN PNPM UPP
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................... DAFTAR ISI......................................................................................................... DAFTAR TABEL................................................................................................. DAFTAR GAMBAR............................................................................................ DAFTAR SINGKATAN...................................................................................... DAFTAR ISTILAH............................................................................................. BAB I BAB II 2.1. 2.2.
Hal i ii iv v vi viii
LATAR BELAKANG TUJUAN KAJIAN DAN PERTANYAAN PENELITIAN Tujuan Kajian ......................................................................................... Pertanyaan Penelitian .............................................................................
1 2 2 2
STRATEGI DAN METODE PENELITIAN Umum..................................................................................................... Pelaksanaan Koordinasi........................................................................... Pengumpulan Data Primer dan Sekunder.............................................. 3.3.1. Pengumpulan Data Primer............................................................. 3.3.2. Pengumpulan Data Sekunder....................................................... 3.4. Hal-hal yang Diragukan...........................................................................
3 3 3 4 5 8 9
BAB IV TINJAUAN KONSEPTUAL 4.1. Peran Pemerintah Dalam Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan 4.1.1. Tingkat Kota…………….............................................................. 4.1.2. Tingkat Kecamatan........................................................................ 4.1.3. Tingkat Kecamatan........................................................................ 4.2. Tinjauan Konseptual Berdasarkan Pertanyaan Penelitian………… 4.2.1. PP 1 …………………………………………………………… 4.2.2. PP 2 …………………………………………………………… 4.2.3. PP 3 …………………………………………………………… 4.2.4. PP 4 …………………………………………………………… 4.2.5. PP 5 ……………………………………………………………
12 12 13 13 15 17 17 17 18 18 20
BAB III 3.1 3.2. 3.3.
ii
FINAL REPORT A STUDY ON NATIONAL AND LOCAL GOVERNMENT’S ROLE AND REQUIRED CAPACITY BUILDING IN PNPM UPP
BAB V
HASIL ANALISIS BERDASARKAN CROSS CASE/VARIABLE ANALYSIS : GENERRAL TRENDS AND ISSUE 5.1. Dana Pendamping (DDUPB)................................................................... 5.2. Pemahaman Substansi Program PNPM................................................. 5.3. Ketersediaan dan Kualitas Faskel........................................................... 5.4. KBK dan KBP......................................................................................... 5.5. Pemenuhan Target Proyek....................................................................... 5.6. Peran Pimpinan Daerah...........................................................................
22
BAB VI HASIL ANALISIS KONTEKSTUAL 6.1. Antar Tipe Kelurahan.............................................................................. 6.1.1. Hubungan Komunikasi di Tingkat Kelurahan.......................... 6.1.2. Profil Kepala Kelurahan.............................................................. 6.1.3. Profil BKM................................................................................... 6.2. Antar Tipe Kota...................................................................................... 6.2.1. PP 1............................................................................................... 6.2.2. PP 2............................................................................................. 6.2.3. PP 3............................................................................................. 6.2.4. PP 4.............................................................................................. 6.2.5. PP 5..............................................................................................
26 26 26 29 30 34 34 35 35 35 36
BAB VII 7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5. 7.6.
22 22 23 23 24 25
HASIL ANALISIS MIKRO DAN JENJANG Kota Makassar........................................................................................ Kota Gorontalo...................................................................................... Kota Medan............................................................................................ Kota Bengkulu....................................................................................... Kota Surabaya....................................................................................... Kota Pasuruan .......................................................................................
37 37 54 71 84 102 123
BAB VIII KESIMPULAN UMUM DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan Umum............................................................................... 8.2. Rekomendasi .........................................................................................
139 139 155
DAFTAR PUSTAKA
163
iii
FINAL REPORT A STUDY ON NATIONAL AND LOCAL GOVERNMENT’S ROLE AND REQUIRED CAPACITY BUILDING IN PNPM UPP
LAMPIRAN 1) Peran Pemerintah Kota dalam Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan 2) Instrumen Penelitian 3) Gambaran Umum Lokasi Studi 4) Jadwal Perjalanan Dan Kegiatan Penelitian 5) Hasil Temuan Perkota 6) Catatan Wawancara 7) Dokumentasi Proses 8) Prosiding Semiloka 9) Data Informan
iv
EXECUTIVE SUMMARY PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGUATAN KAPASITAS APARAT DALAM PNPM-P2KP Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat merupakan program yang diluncurkan sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin. Program ini merupakan program yang telah berjalan selama hampir sepuluh tahun sejak dikenal sebagai Program Peningkatan Pendapatan Keluarga di Perkotaan (P2KP). Banyak perubahan dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan program P2KP. Salah satu perubahan dalam desain program adalah melibatkan aparat pada setiap tingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan PNPM struktur dukungan pemerintah yang terlibat lebih kompleks dari tingkat kabupaten ke nasional. Di tingkat nasional, anggota tim pengawasan antar pemerintah, lebih dari 20 kementerian yang berbeda, di tingkat propinsi dan kabupaten tim pengawasan terdiri dari perwakilan regional kementerian dan ditunjuk sebagai TKPK-D. Oleh karena keterlibatan sekian banyak pihak dalam pengawasan dan pelaksanaan PNPM, mau tak mau koordinasi antar instansi menjadi sangat penting. Keberhasilan program juga antara lain ditentukan sejauh mana pihak pemangku kepentingan saling bersinergi dalam menyatukan program sektoral dan program yang dirancang oleh masyarakat dan sejauh mana dukungan pihak aparat pemerintah daerah dalam kelancaran pelaksanaan program. Maksud dan tujuan Kajian tematik peran Pemerintah Daerah dalam mendukung program PNPM untuk: • Memberikan gambaran yang komprehensif dari lingkup kegiatan, kualitas, efektifitas, efisiensi dari manajemen proyek saat ini, mekanisme pengawasan dan pemantauan, serta mengidentifikasi pilihan-pilihan perbaikan. • Memberikan penilaian dari kelemahan struktural/prosedural yang mempengaruhi efektifitas dan efisiensi dari manajemen proyek dan pengkordinasian program di lokasi penelitian. • Mengidentifikasi perubahan struktural/prosedural yang diperlukan untuk memperbaiki manajemen dan kolaborasi antar badan di lokasi penelitian. • Mengembangkan rekomendasi untuk perubahan rancangan program, peningkatan kapasitas pemerintah dan pengimplementasian program di wilayah perluasan PNPM yang tepat untuk mengurangi tantangan yang teridentifikasi. Ada beberapa pertanyaan dasar yang ingin dijawab dalam kajian ini adalah: 1. Bagaimana koordinasi antara berbagai badan pemerintah, Komite Belajar Perkotaan (KBP) dapat diperkuat dan diselaraskan di tingkat lokal dan kota? Mekanisme apa yang dapat menjadi lebih efektif untuk pengkordinasian dan pengkomunikasian di antara berbagai pihak yang terlibat di berbagai tingkatan? 2. Sejauh mana pemahaman kebijakan pro-miskin dan perencanaan berbeda antara pengelola manajemen program dan pemerintah tingkat kota di satu sisi, dan antara tingkat kota dan tingkat pusat di sisi lainnya?
3. Apakah kebutuhan peningkatan kapasitas dari aparat pemerintah di kelurahan dan badanbadan penting pemerintah maupun manajemen program di level kota atau kabupaten? 4. Sejauh mana hambatan struktural, lembaga dan kebijakan mempengaruhi mobilisasi dan kontinuitas dukungan pemerintah pada pemberdayaan masyarakat? 5. Bagaimana dukungan pemerintah di tingkat kota bagi proses pemberdayaan masyarakat dapat diarus-utamakan agar menjadi lebih berkesinambungan? Metodologi yang diterapkan dalam kajian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan beberapa instrumen kajian. Sebanyak enam (6) kota menjadi sasaran kajian yang mewakili dari beberapa tahap program P2KP/PNPM yaitu Makasar, Gorontalo, Medan, Bengkulu, Surabaya dan Pasuruan. Di setiap kota diwakili oleh masing-masing 2 kelurahan (1 kelurahan dengan BKM yang dikategorikan ‘high’, dan 1 kategori ‘low’). Pelaksanaan kajian tidak terlepas dari kendala-kendala yang ditemui di lapangan, namun demikian kendala tersebut justru menjadi tambahan informasi yang memperkuat temuan yang ada. Temuan hasil kajian dalam aspek koordinasi di tingkat pemerintahan kota menyimpulkan bahwa belum semua kota telah terlaksana koordinasi secara sinergis. Kehadiran Komunitas Belajar Perkotaan yang diharapkan sebagai wadah informal menyatukan ide dan pangsa program yang ada belum banyak terlaksana. Koordinasi dalam mengkomunikasikan program sektoral memang terjadi sebagai bagian dari proses penganggaran daerah. Khusus Kota Surabaya dan Pasuruan, dalam program sektoralnya telah mencakup kegiatan kegiatan penanggulangan kemiskinan dan telah dilaksanakan dengan koordinasi antar sektor terkait. Meskipun demikian tim kajian melihat belum ada kegiatan yang berbasis masyarakat. Dinas/instansi yang telah melaksanakan programprogram yang melibatkan masyarakat baru sebatas pada beberapa instansi tertentu, yaitu yang memang mendapat penugasan khusus dalam pengelolaan PNPM. Pada tingkat Kelurahan, kerjasama aparat pemerintah dan BKM ditemui bervariasi di 12 kelurahan yang terpilih sebagai sampel. Tim kajian mencoba untuk membandingkan kelurahan yang dianggap baik dan kurang dalam aspek memberikan dukungan terhadap program. Namun dalam temuan di lapangan tidak ada aspek signifikan yang menunjuk kepada pembedaan itu. Yang justru dianggap penting adalah sejauh mana sosialisasi yang diterima para aparat kelurahan ini membuka pengertian dan pengetahuan akan PNPM. Di semua kota kajian, mereka mengaku semakin jelas memahami fungsi dan wewenangnya dalam PNPM setelah diadakan pertemuan yang mengundang stakeholder kelurahan, yang baru-baru ini saja dilakukan. Temuan kajian akan aspek pemahaman aparat terhadap kebijakan pro-miskin, sejauh ini diterima sebagai kebijakan yang telah mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pronangkis. Untuk pemahaman dalam arti mengubah pola pikir aparat terhadap nilai dan sikap hidup masyarakat miskin masih kurang. Hal ini berdampak pada pelaksanaan program di lapangan. Tim kajian menemukan bahwa dalam penentuan kelompok (KSM) yang akan dibantu, tidak mencapai sasaran sesuai pedoman. Psikologi orang miskin yang terjerat pada ‘budaya miskin’ dan ‘keengganan merubah nasib’ belum tercermin dalam bentuk pendekatan program yang akan diberikan kepada masyarakat. Sehingga tidak heran jika muncul pendapat pelaku PNPM ‘orang miskin tidak bisa diberi modal usaha’. Selama pendapat ini belum diubah, maka salah sasaran program akan tetap terjadi.
Temuan kajian pada aspek penguatan kapasitas aparat, di tingkat kota secara umum antara lain: • Pelatihan untuk meningkatkan pemahaman prinsip-prinsip utama dalam program PNPM seperti pemberdayaan masyarakat, partisipasi dan swadaya masyarakat, kemiskinan, good governance dan gender sensitive. • Pelatihan untuk meningkatkan kemampuan melakukan monitoring dan pembinaan program di lapangan. • Pelatihan untuk meningkatkan kemampuan memfasilitasi dan chanelling forum BKM. Pada tingkat kelurahan, sangat membutuhkan pelatihan dan penguatan pada manajemen program dan pemahaman tupoksi masing-masing. Kebutuhan Peningkatan di tingkat Konsultan Pendamping, disimpulkan bahwa kualitas pendampingan yang diberikan masih jauh dari ukuran ideal proyek PNPM. Ini juga diakui oleh para faskel dan korkot serta askot. Waktu serta target proyek selalu menjadi alasan utama tidak bisa intensif mendampingi masyarakat. Di samping kegiatan yang cukup banyak harus dilaksanakan dalam team faskel, rentang jangkauan dampingan oleh team faskel (rasio 5 : 9 standar nasional) juga diakui faskel mengurangi intensitas pendampingan kegiatan di tingkat kelompok masyarakat. Untuk yang akan datang dalam penetapan komposisi tim faskel perlu menambahkan pertimbangan yang akan mempengaruhi beban kerja tim faskel, seperti jumlah penduduk di setiap kelurahan serta aksesibilitas antar kelurahan pendampingan. Temuan kajian pada aspek hambatan yang mempengaruhi mobilisasi dan kontinuitas dukungan pemerintah pada pemberdayaan masyarakat sangat beragam. Keterlambatan pemberitahuan alokasi dana APBD pada beberapa kota mengakibatkan keterlambatan pencairan dana pendamping APBD. Hal ini menimbulkan kesulitan para fasilitator kelurahan yang menjadi ujung tombak PNPM. Untuk menjaga motivasi masyarakat agar tetap terlibat PNPM dibutuhkan semangat dan kemampuan meyakinkan masyarakat. Hambatan struktural yang banyak terungkap adalah komunikasi program dengan Pusat yang tidak ditindaklanjuti segera. Ketidakjelasan jawaban atas kebijakan dari pusat berdampak pada pelaksanaan di tingkat masyarakat yang menjadi tertunda. Sebagai salah satu ilustrasi adalah keputusan mengenai pengalihan dana pendamping PNPM hanya untuk program rumah layak huni (Mahyani) di kota Gorontalo. Perubahan aturan dan kebijakan terkait materi program PNPM yang terjadi pada saat program tengah berjalan di masyarakat sangat mengganggu kelancaran program. Karena harus dilakukan penyesuaian-penyesuaian, sehingga beberapa kegiatan harus diulang. Selain itu keterlambatan penerimaan materi pendukung sosialisasi dan pelatihan di lapangan mengharuskan pelaksana program di lapangan harus mencari alternatif lain agar jadwal tidak mundur. Antara lain menggunakan dana talangan dari pemda, dari kantong korkot/faskel sendiri, atau dana swadaya masyarakat. Hambatan yang ditemui dalam aspek kebijakan terutama dirasakan oleh staf pemda yang mengelola program di daerah. Sebagai contoh, adanya perbedaan aturan nomenklatur dan pengaturan anggaran di daerah. Setiap kementerian mempunyai kebijakan yang harus ditaati oleh pelaksana di daerah. Lagi-lagi aparat di daerah harus pandai menginterpretasikan dan mengikuti aturan yang ada. Temuan pada aspek dukungan aparat pemerintah daerah dalam keberlanjutan program memperlihatkan bahwa peran Pemimpin daerah sangat mempengaruhi tumbuhnya
pengarusutamaan pemberdayaan masyarakat. Pola kepemimpinan daerah sangat beragam. Walikota Gorontalo sangat antusias untuk pelaksanaan PNPM, meskipun pada beberapa kebijakannya membuat staf pemda dan konsultan PNPM harus kerja keras untuk mengikuti irama kerja walikota. Di kota Medan, Plts Walikota sangat hati-hati dalam setiap penetapan kebijakan. Pengalaman ‘salah administrasi’ walikota membuat Plts walikota tidak secara mudah menyetujui setiap anggaran daerah yang akan ditandatanganinya. Secara umum, arus pengutamaan yang terkait kesinambungan belum ada model yang jelas. Exit strategi sebagai dasar keberlanjutan program belum ada yang disusun oleh pemda di 6 kota. Kota Surabaya dengan konsep ‘good governance’ di tingkat kelurahan sudah memberi kesempatan pada masyarakat untuk merencanakan dan mengawasi pelaksanaa program sektor (termasuk nangkis) dengan transparansi pengalokasian dana di website kota Surabaya. Dari temuan di atas dapat disimpulkan bahwa peran pemerintah daerah dalam memberikan dukungan pada PNPM sudah memadai dalam arti peran secara administratif oleh instansi pelaksana PNPM. Dalam hal pelibatan instansi lain yang lebih luas belum sepenuhnya terlihat. Forum KBP belum menjadi wadah pembelajaran dan pangsa pengetahuan, ide, koordinasi untuk meningkatkan kualitas program PNPM di daerah. Kecuali kota Gorontalo, KBP telah mulai melakukan kegiatan sesuai dengan pedoman, meskipun hasilnya belum seperti yang diharapkan. Beberapa rekomendasi yang disampaikan dalam kajian peran pemerintah daerah antara lain terkait dengan aspek koordinasi pada tingkat kelurahan maka perlu dipertimbangkan bagaimana untuk mensinergikan lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh P2KP/PNPM dengan lembaga kemasyarakatan yang telah ada sebelumnya. Masukan untuk kedua lembaga ini adalah dengan memberikan peran yang tidak saling tumpang tindih, namun saling memperkuat. Hal ini sekaligus untuk menghindari adanya ‘kecemburuan kelembagaan’ yang berdasarkan temuan di lapangan mempengaruhi kinerja masing-masing. Di tingkat kota, pola kepemimpinan daerah sangat mempengaruhi pola keterlibatan aparat dalam menangani program pembangunan dari pusat. Dalam kajian P2KP/PNPM, pola kepemimpinan daerah yang sangat kuat mendorong partisipasi seluruh dinas/instansi adalah di kota Gorontalo. Ada suatu pola yang dikembangkan yaitu ‘government mobile’ oleh Walikota Gorontalo yang mengharuskan pimpinan dinas-dinas pro-aktif mendatangi masyarakat sehingga segera tertangani masalah yang muncul. Desain program P2KP/PNPM yang memperkenalkan kelompok belajar perkotaan (KBP) sebagai wadah untuk menyusun bersama suatu program terpadu perlu diaktifkan secara lebih terstruktur. Korkot harus mampu menjamin PNPM dapat ‘diterima’ oleh pimpinan daerah (walikota) agar dapat memfasilitasi semua kegiatan yang diperlukan untuk pelaksanaan PNPM di tingkat kota, termasuk kegiatan KBP, serta peran monitoring dan evaluasi di tingkat kota. Peran ‘Relawan Miskin’ dapat lebih diperkuat sebagai motivator dalam kelompok (peer group). Peran ini sesuai dengan tingkat kedekatannya dengan warga miskin, sehingga ia dapat menggali lebih mendalam kebutuhan kelompok. Dibandingkan dengan penugasan yang selama ini telah diberikan pada relawan, yang terhambat akibat keterbatasan finansial dan kemampuan pengambilan keputusan. Konsep keanggotaan BKM tidak cukup hanya relawan, namun seharusnya relawan ‘plus’ yang selain punya waktu juga mampu untuk membina KSM. Anggota BKM dapat menjalin kerja sama dengan dinas/instansi terkait untuk keberlanjutan BKM.
Perlu dipersiapkan ‘pedoman channeling’ bagi BKM dengan konsep kepemimpinan kolektif, khususnya untuk bermitra dengan lembaga keuangan. Kepemimpinan kolektif terbukti tidak dapat memenuhi persyaratan untuk melakukan kemitraan dengan lembaga keuangan. Untuk mengkaji sejauh mana aturan dalam pedoman-pedoman dapat diterapkan di seluruh wilayah, diperlukan ‘local center’ untuk menyesuaikan pelaksanaan pedoman sesuai dengan kondisi masyarakat. Perlu dibuat aturan ataupun tata cara jika memang terjadi sanksi sosial tidak berjalan di masyarakat. Agar tidak terjadi perbedaan aturan bagi pelaksana program (yang membingungkan masyarakat), serta ‘berebut’ tim konsultan antar program (karena perbedaan sistem gaji dan masa kontrak kerja), seharusnya tim koordinasi PNPM Pusat mengatur agar semua kegiatan pemberdayaan masyarakat menggunakan pola dan aturan yang sama, baik bagi masyarakat pelaksana/sasaran program maupun bagi tim konsultan. Dalam upaya peningkatan kapasitas aparat dan tenaga konsultan, perlu diperhatikan faktor-faktor pergantian/mutasi aparat dan tenaga konsultan. Pelatihan dan sosialisasi yang berkesinambungan dapat mempercepat adaptasi mereka terhadap program PNPM. Penjajakan kebutuhan pelatihan perlu dilakukan untuk mengenali ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam pendampingan masyarakat. Ketrampilan dasar yang harus dimiliki konsultan pendamping yaitu ‘ketrampilan fasilitasi’ wajib diberikan sebelum ia terjun di masyarakat.
FINAL REPORT A STUDY ON NATIONAL AND LOCAL GOVERNMENT’S ROLE AND REQUIRED CAPACITY BUILDING IN PNPM UPP
DAFTAR SINGKATAN APBN APBD Bappekot/kab BAPPUK Bawasda BKM BLM BOP BPD BPM CSR Depdagri DDUPB DIPA Dokumen SPK-D DPRD FGD FKA-BKM HT IDB KBK KBP KE KMP KMW Korkot KSM LPM LSM Musrembang Nangkis ND NICE NUSSP P3EL Program Paket/ PAPG PBL PemaNas PMD PNPM PJM
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Kota/Kabupaten Berita Acara Penetapan Prioritas Usulan Kegiatan Badan Pengawas Daerah Badan Keswadayaan Masyarakat Bantuan Langsung Masyarakat Biaya Operasional Badan Permusyawaratan Desa Badan Pemberdayaan Masyarakat Corporate Social Responsibility Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Dana Dampingan Untuk Program Bersama Daftar Isian Perencanaan Anggaran Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Focused Group Disscusion Forum Komunikasi Antar BKM Tingkat Kota/Kabupaten Handy Talky Islamic Development Bank Kelompok Belajar Kelurahan Kelompok Belajar Perkotaan Konsultan Evaluasi Konsultan Manajemen Pusat Konsultan Manajemen Wilayah Koordinator Kota Kelompok Swadaya Masyarakat Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Penanggulangan Kemiskinan Neighborhood Development, Pembangunan Lingkungan Permukiman Kelurahan Nutrition Improvement through Community Empowerment Neighborhod Upgrading and Shelter Sector Project Pemberdayaan Perempuan Pengembangan Ekonomi Lokal Poverty Alleviation Partnership Grant Penataan Bangunan dan Lingkungan Pemandu Nasional Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perencanaan Jangka Menengah vii
FINAL REPORT A STUDY ON NATIONAL AND LOCAL GOVERNMENT’S ROLE AND REQUIRED CAPACITY BUILDING IN PNPM UPP
PJOK PPK P2KP PMU Pronangkis PS PU PUAP Renstra Renta RK RKL RKM RPJM RTLH Satker-P2KP Sekel SKTM SIM SNVT SWOT TKPK TKPKD TL Tridaya TOR TOT UKL UHH UP UPK UPL UPS
Penanggung Jawab Operasional Kegiatan Program Pengembangan Kecamatan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Project Monitoring Unit Program Penanggulangan Kemiskinan Pemetaan Swadaya Pekerjaan Umum Program Usaha Agrobisnis Pertanian Rencana Strategis Rencana Tahunan Refleksi Kemiskinan Pencana Pengelolaan Lingkungan Rembug Kesiapan Masyarakat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Rumah Tidak Layak Huni Satuan Kerja Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Sekretaris Lurah Surat Keterangan Tidak Mampu Sistem Informasi Manajemen Satuan Kerja Non Vertikal di Tingkat Propinsi Strength, Weakness, Opportunity and Threat Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Team Leader Pemberdayaan Lingkungan, Pemberdayaan Sosial dan Pemberdayaan Ekonomi Term of Reference Training of Trainer Unit Kelola Lingkungan Usia Harapan Hidup Unit pengelola yang dibentuk BKM Unit Pengelola Keuangan Unit Pengelola Lingkungan Unit Pengelola Sosial
viii
FINAL REPORT A STUDY ON NATIONAL AND LOCAL GOVERNMENT’S ROLE AND REQUIRED CAPACITY BUILDING IN PNPM UPP
DAFTAR ISTILAH Fasilitator Kelurahan Fixed Cost Gender Kelompok Peduli Masyarakat Mandiri Pembangunan partisipatif Pemberdayaan Masyarakat Relawan SKPD
Tenaga Pengembangan Masyarakat P2KP Biaya tetap Asumsi atau konsep masyarakat atas peran, tanggung jawab serta perilaku laki-laki dan perempuan, yang dipelajari dan dapat berubah dari waktu ke serta bervariasi menurut sosial dan budaya masyarakat Kelompok yang memberikan perhatian atau memiliki kepentingan terhadap suatu kegiatan tertentu Masyarakat yang mampu mengelola potensi yang ada dalam dirinya atau lingkungannya sehingga menghasilkan nilai lebih, dan bukan masyarakat yang pasif atau hanya menggantungkan kehidupannya dengan mengharap pemberian bantuan dari pemerintah atau masyarakat lainnya Pembangunan yang melibatkan secara aktif komponen masyarakat dan dunia usaha guna mengoptimalkan pencapaian tujuan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Upaya menumbuhkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining power), sehingga memiliki akses dan kemampuan untuk mengambil keuntungan timbal balik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Warga setempat yang peduli membantu warga miskin di wilayahnya tanpa pamrih Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan di bidang tertentu di daerah provinsi, kabupaten, atau kota.
ix