Abstrak Bahasa Belanda merupakan pewaris leksikon terbanyak untuk bahasa Indonesia, diikuti oleh bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Sansekerta, bahasa Portugis, dan bahasa Jepang. Masuknya beberapa bahasa tersebut ke dalam bahasa Indonesia terjadi karena adanya kontak bahasa yang selanjutnya bahasa-bahasa tersebut diserap oleh bahasa Indonesia untuk memperkaya leksikon bahasa Indonesia di berbagai bidang. Bahasa Belanda tidak selalu diserap utuh ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan makna aslinya, tapi karena beberapa faktor, leksikon bahasa Belanda yang diserap ke dalam bahasa Indonesia banyak memiliki makna yang berbeda dari makna aslinya. Baik itu menyempit, meluas, bergeser, berubah total, adanya penghalusan, dan pengasaran. Akan tetapi, kajian ini hanya berfokus kepada pengkajian penyempitan, perluasan, pergeseran, dan perubahan total. Data bahasa Belanda yang ditemukan dikaji berdasarkan kajian semantik atau kajian tentang makna leksikon yang mengacu berdasarkan perbedaan makna asli leksikon dalam bahasa Belanda dan makna baru dalam bahasa Indonesia. Data dihimpun dari kajian beberapa literasi seperti jurnal, skripsi, dan buku dari berbagai disiplin ilmu, seperti kedokteran, umum, dan lain-lain kecuali bidang hukum.
Kata kunci: semantik, penyerapan, leksikon, bahasa Belanda, bahasa Indonesia
Pendahuluan Kontak bahasa merupakan suatu akibat yang terjadi atas kondisi ketika terjadi suatu gerakan perluasan wilayah bahasa yang menembus wilayah bahasa lain yang terjadi akibat adanya mobilisasi penduduk dari suatu wilayah goegrafis ke wilayah geografis lainnya (Umar dan Napitupulu 1994: 6). Ketika suatu bahasa mampu memasuki wilayah geografis bahasa lain, maka terjadilah kontak bahasa antara kedua bahasa yang bersangkutan. Namun hal ini sudah tidak sinkron jika ditinjau berdasarkan kondisi yang terjadi dewasa ini. Sebab, kontak bahasa dapat terjadi tidak hanya melalui mobilisasi geografis penduduk saja, tetapi juga melalui tulisan dari berbagai media massa. Mackey (dalam Suwito, 1983: 39) memberikan pengertian kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menimbulkan perubahan bahasa yang dimiliki oleh ekabahasawan.
Kontak bahasa terjadi dalam kurun waktu yang lama akan mengakibatkan timbulnya kedekatan leksikon dan struktur bahasa dari bahasa-bahasa yang mengalami kontak bahasa. Weinreich (dalam Suwito, 1983: 39) mengatakan bahwa kontak bahasa terjadi apabila dua bahasa atau lebih dipakai secara bergantian, sehingga mengakibatkan terjadinya transfer, yaitu pemindahan atau peminjaman unsur dari bahasa satu ke bahasa lain, sehingga dapat menimbulkan kedwibahasaan. Selanjutnya, Appel dan Muysken (1987: 153) menyatakan bahwa kontak bahasa mengakibatkan proses peminjaman dalam beberapa komponen linguistik seperti kata dan bunyi. Proses peminjaman tersebut selanjutnya menuntut pengguna bahasa pinjaman tersebut untuk melakukan penyesuaian. Menurut Hudson (1980: 71) ada empat hal yang terjadi sebagai akibat dari adanya kontak bahasa, yaitu alih kode, bahasa pijin, bahasa kreol, dan penyerapan kata.
Kata serapan adalah kata yang diserap dari bahasa lain dan kemudian sedikitbanyaknya disesuaikan dengan kaidah bahasa sendiri (Kridalaksana 1983: 135). Menurut Bloomfield (1996: 445) kata serapan adalah kata-kata asing atau daerah yang masuk ke dalam kosakata bahasa Indonesia. Penyerapan kata dalam bahasa Indonesia terjadi ketika dalam bahasa Indonesia atau bahasa serumpun tidak
ditemukan istilah yang tepat untuk mengungkapkan suatu konsep, gagasan, acuan, dan ide tertentu, maka bahasa asing yang lebih mapan bisa dijadikan sebagai sumber untuk mengungkapkannya.
Seperti yang dikemukakan oleh Abdul Chaer (2001) dalam Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, ada tiga macam kata serapan, yaitu: (1) Kata-kata yang sudah sepenuhnya diserap dalam bahasa Indonesia sehingga sudah tidak terasa sebagai kata-kata asing lagi, (2) Kata-kata yang masih asing, namun digunakan dalam konteks bahasa Indonesia dan tetap menggunakan istilah asing, dan (3) Kata-kata asing yang ucapan dan ejaannya disesuaikan dengan bahasa Indonesia, meski perubahannya dilakukan seperlunya.
Berdasarkan catatan sejarah, Belanda merupakan pewaris leksikon terbanyak untuk bahasa Indonesia, yaitu mencapai 3,280 kata. Hal ini tentunya sejalan dengan durasi 350 tahun negara tersebut menduduki wilayah Nusantara. Bukan sekadar leksikon, beberapa ungkapan yang lumrah digunakan oleh orang Indonesia merupakan ungkapan-ungkapan dari bahasa Belanda dan ungkapan tersebut tidak ditemukan dalam bahasa Inggris, seperti ‘menepuk dada’, ‘seperti petir di siang bolong’, ‘benang merah’, ‘isapan jempol’, ‘makan angin’, ‘buka kartu’, ‘kucing dalam karung’ dan lain sebagainya. Beberapa peraturan mengenai kebahasaan pernah diterapkan Belanda saat menguasai Nusantara, yaitu bahasa Belanda menjadi bahasa resmi di kalangan pemerintahan, setiap siswa pribumi yang akan bersekolah di sekolah milik Belanda diwajibkan untuk mampu menguasai bahasa Belanda secara baik, dan bahasa Belanda diajarkan di setiap jenjang sekolah. Pada masa inilah dikenal istilah “holland speaken”.
Kajian Teori dan Metode Secara etimologi kata semantik berasal dari bahasa Yunani, semainen yang artinya ‘bermakna’ atau ‘berarti’. Kata tersebut berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Perancis yang diserap dari bahasa Yunani dan diperkenalkan oleh M. Breal. Istilah semantik baru muncul pada tahun 1984 yang dikenal melalui American Philological Association (Organisasi Filologi Amerika) dalam sebuah
artikel yang berjudul Reflected Meanings: A Point in Semantics. Semantik merupakan cabang ilmu linguistik yang menelaah makna. Berdasarkan Encyclopedia Britannica (1965: 313), semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktivitas bicara. Pemahaman tentang semantik sangat dibutuhkan dalam berkomunikasi. Menurut Keraf (1984: 25) untuk memahami suatu ujaran dalam konteks yang tepat, seseorang harus memahami makna dalam komunikasi.
Semantik merupakan salah satu bagian dari kajian linguistik. Di bidang linguistik, dikenal istilah kata serapan, kata pungutan, atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai borrowing words atau loanwords. Dalam proses penyerapan sebuah kata, terjadi gejala-gejala yang turut mempengaruhi struktur kata tersebut, seperti perubahan pada bentuk fisik dan perubahan pada makna. Perubahan bentuk fisik dapat dikaji menggunakan teori fonologi dan morfologi, sedangkan untuk menelaah perubahan makna, digunakan teori semantik. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh J.W.M. Verhaar (1981: 9) bahwa semantik (Inggris: semantics) berarti teori makna atau teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
Terdapat enam jenis perubahan semantik, yaitu: (1) Generalisasi (Meluas), yaitu gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain (Sitaresmi dan Fasya, 2011: 109), (2) Spesifikasi (Menyempit), yaitu gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah terbatas pada sebuah makna saja (Sitaresmi dan Fasya, 2001: 109), (3) Perubahan Total Menurut Sitaresmi dan Fasya (2001: 111), yaitu berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya, (4) Pergeseran, pada kasus ini masih ditemukan kesesuaian konsep antara makna baru dengan makna sebelumnya. Maksudnya, sebuah kata masih dapat merujuk pada referensi yang sama, tapi mungkin telah berbeda jenis, bentuk, dan lain sebagainya, (5) Eufemia (Penghalusan), yaitu gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih
sopan daripada kata-kata yang digantikannya (Sitaresmi dan Fasya, 2001: 111). Gejala ini muncul saat penggunanya ingin mengungkapkan sesuatu yang dirasa tabu atau bermuatan negatif, (6) Disfemia (Pengasaran), yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar (Sitaresmi dan Fasya, 2001: 111). Gejala ini muncul pada kondisi ketika penggunanya sedang berada dalam situasi tidak ramah atau untuk menunjukkan rasa jengkel.
Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Data kebahasaan dikaji berdasarkan jenis perubahan semantik yaitu: (1) penyempitan, (2) perluasan, (3) pergeseran, dan (4) perubahan total. Data yang digunakan dalam kajian ini berupa leksikon yang bersifat universal (umum) terbatas dari berbagai bidang, kecuali bidang hukum. Data didapatkan dari kajian beberapa literasi seperti jurnal, skripsi, dan buku serta dari berbagai disiplin ilmu seperti kedokteran, umum, dan lain-lain.
Pembahasan 1) Spesifikasi (Penyempitan Makna) 1.1)
beugel menjadi behel Leksikon ‘behel’ belum menjadi lema berdasarkan KBBI Edisi Ketiga. Akan tetapi, di Indonesia leksikon ‘behel’ umum digunakan sebagai sebutan untuk ‘kawat gigi’. Leksikon ‘behel’ merupakan hasil penyerapan dari bahasa Belanda yang mengalami perubahan fonologi dan spesifikasi makna. Dalam kamus BelandaInggris Van Dale, leksikon „beugel‟ memiliki makna (1) an appliance
that
corrects
dental
irregularities
(alat
untuk
mengoreksi susunan gigi yang tidak beraturan), (2) hanger consisting of a loop of leather suspended from the ceiling of a bus or train (gantungan untuk pegangan penumpang yang berdiri di bus atau kereta), (3) support consisting of metal loops into which rider‟s feet go (sanggurdi; lingkaran dari besi tempat penunggang kuda memasukkan kakinya), (4) fastener, as a buckle or hook, that
is
used
to
hold
two
things
together
(alat
untuk
mengikat/mengencangkan dua benda). Dalam bahasa Indonesia non baku, „beugel‟ hanya diartikan berdasarkan pengertian pertama.
1.2)
opname Kasus leksikon ‘opname’ sama seperti kasus penyerapan sebelumnya, yaitu mengalami spesifikasi dari beberapa makna pada kata induknya. Namun leksikon ini diserap utuh (adopsi) tanpa diadaptasi karena telah dianggap sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia. „opname‟ dalam bahasa Belanda dapat diartikan sebagai (1) hospital admission (memasukkan ke rumah sakit), (2) the act of photographing a scene or part of a scene (kegiatan pemotretan), (3) audio or video recording (perekaman suara atau video), (4) insurance that pays all or part of a patient‟s hospital expense (asuransi yang menanggung biaya pengobatan di rumah sakit), (5) the act of withdrawing blood and tumors (pengambilan sampel darah dan jaringan tumor) (6) a written record of a commercial transaction (catatan tertulis dari transaksi dagang). Setelah diserap oleh bahasa Indonesia, secara semantis, leksikon ‘opname’ hanya mengambil pengertian yang pertama, kedua, dan ketiga dari beberapa pengertian yang telah dijabarkan sebelumnya.
1.3)
toestel menjadi tustel Sama seperti kasus sebelumnya, leksikon „toestel‟ dalam bahasa Belanda bermakna ‘alat/perangkat’, seperti yang tertera dalam kamus Belanda-Inggris Van Dale ‘tool; device; equipment’ Jadi, segala bentuk alat/perangkat disebut sebagai „toestel‟. Setelah diserap oleh bahasa Indonesia, „toestel‟ secara fonologis berubah menjadi ‘tustel’ yang hanya merujuk kepada ‘alat potret/kamera’. Seiring perkembangan teknologi, leksikon ‘tustel’ pun mengalami
penyempitan makna lagi, yaitu ‘alat potret/ kamera yang menggunakan film sebagai media penyimpanannya’. Contoh penggunaan leksikon „toestel‟ dalam kalimat bahasa Belanda; een draagbaar
toestel
(perangkat
portabel),
gymnastiektoestel
(perangkat senam), optischtoestel (perangkat pemeriksaan mata).
1.4)
rapport menjadi rapor Dalam bahasa Indonesia ‘rapor’ bermakna ‘buku yang berisi nilai kepandaian dan prestasi belajar murid di sekolah’. Dalam bahasa Belanda, „rapport‟ yang merupakan leksikon asal dari serapan ‘rapor’ memiliki arti ‘laporan’. Dalam kasus ini, terjadi penyempitan makna dari „rapport‟ (laporan) yang bisa berbentuk apa saja −lisan atau tulisan− menjadi ‘rapor’ yang hanya berbentuk buku (tulisan). Dalam bahasa Inggris juga ditemukan leksikon ‘rapport’, tetapi bermakna ‘a relationship or understanding’. Sementara itu, laporan dalam bahasa Inggris disebut ‘report’.
1.5)
patron menjadi patron „patroon‟ dalam bahasa Belanda memiliki tiga makna, (1) corak, (2) pelindung atau anutan, dan (3) selongsong peluru. Dalam bahasa Indonesia, makna ketiga tersebut tidak diwarisi oleh bahasa Belanda. Jadi, dalam bahasa Indonesia, ‘patron’ hanya memiliki dua makna, (1) pola atau corak kain, (2) suri teladan.
2) Generalisasi (Perluasan Makna) 2.1)
frikadel menjadi perkedel Istilah perkulineran Indonesia kerap terpengaruh oleh istilah dari bahasa Belanda, salah satunya „frikadel‟ yang diadaptasi menjadi ‘perkedel’. Dalam bahasa Belanda, „frikadel‟ memiliki makna ‘makanan yang terbuat dari kentang sebagai bahan utamanya’, sedangkan bagi orang Indonesia, ‘perkedel bukan saja terbuat dari kentang, tetapi ada pula yang terbuat dari jagung dan tahu.
2.2)
ananastaart menjadi nastar Dalam bahasa Belanda, sesuai dengan bentukan morfologisnya, „anana‟ (nanas) + ‘taart’ (kue), merujuk kepada ‘kue yang di dalamnya berisi selai nanas’. Setelah diadaptasi oleh bahasa Indonesia menjadi ‘nastar’, yaitu kue yang tidak hanya berisi selai nanas, tetapi juga selai stroberi, bluberi, dan keju.
2.3)
deponeren menjadi deponir Dalam kamus Belanda-Inggris Van Dale, „deponeren‟ bermakna ‘put/save money (in the bank) or deposit’. Leksikon ini mengalami generalisasi makna setelah diserap (adaptasi fonologi) oleh bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia dikenal leksikon ‘deponir’ yang bermakna ganda; (1) menaruh untuk disimpan (uang dalam bank) dan (2) menyimpan untuk tidak digarap (tentang perkara dalam hukum).
2.4)
tafellaken menjadi taplak Terjadi perluasan makna pada penyerapan leksikon „tafellaken‟ menjadi ‘taplak’. Dalam bahasa Belanda, „tafellaken‟ merupakan kain yang digunakan untuk menutup atau melapisi meja makan, khusus digunakan untuk menutup meja makan. Dalam bahasa Indonesia, ‘taplak’ dimaknai sebagai ‘kain (dan sejenisnya) yang dipakai sebagai penutup meja’, sebagaimana termuat dalam KBBI Edisi Ketiga. Dalam artian, tidak dikhususkan untuk penutup meja makan. Secara morfologis, pembentukan leksikon „tafellaken‟ yaitu „tafel‟ = meja + „laken‟ + kain/seprai.
3) Pergeseran Makna 3.1)
petje menjadi peci Leksikon „petje‟ terdiri dari dua morfem, yaitu „pet‟ + „-je/-tje‟. Leksikon ini memiliki makna ‘topi kecil’ („pet‟ = topi, „-je/-tje‟ =
kecil). Secara spesifik, „petje‟ merupakan topi kecil yang memiliki pinggiran di sekelilingnya sebagai pelindung dari sinar matahari dan biasanya dipakai oleh tentara di daerah operasi. Leksikon ini diadaptasi oleh bahasa Indonesia menjadi ‘peci’ yang merujuk kepada ‘penutup kepala (topi) yang berbentuk meruncing di kedua ujungnya’.
3.2)
in de hooi menjadi indehoi Leksikon ini juga mengalami perubahan kasus yang sama dengan leksikon sebelumnya. Dalam bahasa Belanda, „in de hooi‟ merupakan eufenisme untuk mengungkapkan ‘hubungan seks yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi di balik jerami’. Setelah diserap oleh bahasa Indonesia, frasa tersebut mengalami perubahan fonologi, morfologi, dan semantik, menjadi ‘indehoi’ yang bermakna ‘asyik bermesraan’. „hooi‟ dalam bahasa Indonesia bermakna ‘jerami’, sedangkan dalam tata bahasa baku Belanda, kata sandang „hooi‟ adalah „het‟, bukan „de‟. Dapat disimpulkan pula bahwa pada frasa „in de hooi‟ terdapat kesalahan sintaksis.
3.3)
jongens menjadi jongos ‘jongos’ merupakan leksikon serapan dari bahasa Belanda yang dalam KBBI Edisi Ketiga merujuk kepada ‘pembantu rumah tangga (laki-laki); pelayan, dan bujang’. Dalam bahasa Belanda, „jongens‟ −yang merupakan asal kata dari ‘jongos’− bermakna ‘budak laki-laki’. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran makna dalam proses penyerapan leksikon „jongens‟.
3.4)
slechthorendheid menjadi congek Barangkali cukup sulit untuk merunut perubahan fonologis yang terjadi pada leksikon serapan dari bahasa Belanda ini. Dalam bahasa Belanda, ‘slechthorendheid’ memiliki makna ‘agak tuli/tuli
sebagian’, sedangkan setelah diserap oleh bahasa Indonesia fonemisnya berubah menjadi ‘congek’ dan bermakna ‘penyakit telinga yang mengeluarkan cairan bercampur nanah’. Pembentukan leksikon „slechthorendheid‟ yaitu „slecht‟ = buruk + „horendheid‟ = pendengaran. Perlu diketahui bahwa makna ‘congek’ berbeda dengan ‘tuli’.
3.5)
rentenieren menjadi rentenir Dalam
proses
penyerapan
leksikon
„rentenieren‟
menjadi
‘rentenir’, terjadi pergeseran makna. „rentenieren‟ dalam kamus Belanda-Inggris Van Dale bermakna ‘retirees who live from interest some money’, sedangkan ‘rentenir’ bermakna ‘orang yang mencari nafkah dengan membungakan uang; tukang riba; pelepas uang; lintah darat’.
3.6)
in de kost menjadi indekos Pada masa pendudukan Belanda, frasa „in de kost‟ merujuk pada ‘gedung atau bangunan kecil yang dapat dipakai dengan pembayaran sejumlah uang sebagai imbalan’. Lalu setelah diserap oleh bahasa Indonesia frasa tersebut mengalami pergeseran makna menjadi ‘tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan dengan membayar setiap bulan; pemondokan’. Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan kelas kata dari nomina menjadi verba. Di Inggris, tempat serupa dikenal sebagai „boarding house‟, sedangkan di Belanda, „kostganger‟.
3.7)
muisjes menjadi meises Leksikon ‘meises’ berasal dari bahasa Belanda, yaitu „muisjes‟. Secara morfologis, pembentukan leksikon tersebut adalah „muis‟ = tikus + „-je‟ = kecil. Secara harfiah, dapat diartikan sebagai ‘tikus kecil’. Namun, istilah „muisjes‟ sebenarnya merujuk pada adas manis yang dilapisi oleh gula dan pewarna. „muisjes‟ sering
dibubuhkan pada roti tawar maupun biskuit. Namun, dalam bahasa Indonesia, meskipun belum terentri dalam KBBI, leksikon ‘meises’ dimaknai sebagai pelengkap makanan yang terbuat dari cokelat, sedangkan dalam bahasa asalnya ‘meises’ berbahan baku adas manis, bukan cokelat. Padanan ‘meises’ dalam bahasa Inggris yaitu „sprinkle‟ atau „jimmies‟. Dalam bahasa Perancis dikenal sebagai „nonpareil‟. Dan, yang tidak bisa dimungkiri bahwa ‘meises’ merupakan kuliner asli Belanda.
3.8)
bloeddruk menjadi bludrek Pergeseran makna pada leksikon ‘bludrek’ setelah diserap dari bahasa Belanda „bloeddruk‟ yaitu makna asal yang bermakna ‘tekanan darah’ menjadi ‘tekanan darah tinggi’. Meskipun jika merujuk pada KBBI Edisi Ketiga, ‘bludrek’ memiliki makna ganda, yaitu (1) tekanan darah dan (2) tekanan darah tinggi (yang menyebabkan orang merasa pusing berat). Orang Belanda menyebut tekanan darah tinggi sebagai „hoge bloeddruk‟.
3.9)
dollen menjadi dolan Dalam kamus Belanda-Inggris Van Dale, leksikon „dollen‟ dimaknai dengan „horse around‟, „lark about‟, dan „play the fool‟ yang bisa dikatakan sebagai gurauan. Misalnya dalam kalimat “met iemand dollen” (mencandai seseorang). Leksikon tersebut berubah secara fonemis menjadi ‘dolan’ setelah diserap oleh bahasa Indonesia, begitupun maknanya bergeser menjadi ‘pergi bersenang-senang; jalan-jalan’.
4) Perubahan Makna 4.1)
winkel menjadi bengkel Dalam kamus Belanda-Inggris Van Dale, leksikon „winkel‟ bermakna ‘shop/store’, sedangkan dalam bahasa Indonesia bermakna ‘tempat bekerja; tempat berlatih; tempat melakukan
sesuatu’. Leksikon ini mengalami dua gejala semantik, yaitu generalisasi makna sekaligus perubahan makna.
4.2)
aarde menjadi arde Dalam bahasa Belanda memiliki makna ‘bumi’, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut tetap bisa bermakna ‘bumi’ (ardi), tetapi juga bisa dimaknai sebagai ‘salah satu komponen isolasi dalam bidang kelistrikan’ (arde). Makna kedua inilah yang diasumsikan sebagai perubahan total.
4.3)
overbrengen menjadi ompreng Bahasa Belanda mengenal leksikon „overbrengen‟ yang memiliki makna ‘mentransfer; mengantar; mendistribusikan’. Leksikon tersebut diserap oleh bahasa Indonesia dan dikenal sebagai ‘ompreng’. Namun, makna leksikon ‘ompreng’ berbeda jauh dengan makna leksikon asalnya, yaitu ‘mencari penghasilan tambahan dengan menambangkan mobil (bus)’. Dalam sejarahnya, hal ini bermula ketika banyak tentara dan polisi yang menutupi kekurangan gajinya dengan menyewakan mobil dinas secara sembunyi-sembunyi kepada orang sipil.
4.4)
fransman menjadi prasmanan „fransman‟ merupakan leksikon dalam bahasa Belanda yang memiliki makna ‘orang Perancis’. Leksikon tersebut diserap oleh bahasa Indonesia dengan perubahan total yang terjadi pada maknanya, yaitu ‘cara menjamu makan dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja’. Penyerapan leksikon ini berawal dari gaya menghidangkan makanan oleh orang Perancis. Orang Perancis menyebut cara ini dengan istilah „buffet‟, orang Belanda pun demikian. Namun, atas alasan sulitnya pribumi Hindia Belanda menyebut kata „buffet‟, mereka mengalihkan dengan sebutan
„fransman‟, yang bermuatan makna ‘gaya makan orang Perancis’. Di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung, dikenal istilah ‘makan prancis’ atau ‘prancisan’ untuk menyebut cara makan ‘prasmanan’ ini.
4.5)
breuk menjadi burut Ada dua sumber yang mengartikan leksikon ‘breuk’ ini ke dalam bahasa Indonesia. Satu sumber mengatakan „breuk‟ berarti ‘koyak’, sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa „breuk‟ bermakna ‘patah’. Untuk kasus penyerapan menjadi ‘burut’, berkemungkinan sumber pertama lebih tepat. ‘burut’ memiliki makna ‘penyakit yang disebabkan karena isi perut (usus) turun dan biasanya kantong kemaluan menjadi besar. Terjadinya ‘burut’ memang disebabkan oleh koyaknya selaput penahan usus, sehingga sebagian usus masuk ke dalam buah zakar (kantong kemaluan). Istilah ‘burut’ dalam ilmu medis Indonesia juga dikenal sebagai ‘hernia’.
4.6)
lopen menjadi loper Bagi orang Belanda, leksikon „lopen‟ memiliki arti ‘berjalan’. Leksikon ini diserap oleh bahasa Indonesia dengan proses adaptasi fonemis menjadi ‘loper’. Seperti yang tertera pada KBBI Edisi Ketiga, lema ‘loper’ bermakna ‘orang yang kerjanya mengantarkan koran, menarik rekening, dsb yang secara umum dapat dimaknai sebagai kurir atau caraka’.
4.7)
houtaankap menjadi hutan Mungkin banyak orang tidak mengira bahwa leksikon ‘hutan’ ternyata merupakan hasil penyerapan dari bahasa Belanda. Bahasa Belanda mengenal leksikon „houtaankap‟. Leksikon tersebut merupakan
gabungan
antara
„hout‟
(kayu)
dan
„aankap‟
(memangkas). Secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘penebangan
pohon
(kayu)’.
Setelah
diserap
oleh
bahasa
Indonesia,
„houtaankap‟ mengalami perubahan menjadi ‘hutan’ dan bermakna ‘tanah luas yang ditumbuhi banyak pohon’. Tahun 1916, pemerintah Hindia Belanda mendirikan perusahaan pembalakan yang diberi nama Nederlansch-Indisch Houtaankap Maatschappij. Dari nama perusahaan inilah berkembangnya istilah „houtaankap‟ dan istilah tersebut hanya digunakan di Hindia Belanda. Sebab, Masyarakat Belanda di Eropa tidak menggunakan istilah „aankap‟, karena secara tatabahasa dianggap salah/tidak baku.
4.8)
spoor menjadi sepur „spoor‟ dalam bahasa Belanda bermakna ‘jalur’. Bahasa Indonesia, khususnya Jawa, menyerap leksikon tersebut menjadi ‘sepur’ yang bermakna ‘kereta api’. Sebagai tambahan, kita mungkin sering membaca papan reklame bertuliskan “spooring & balancing”. Pada „spooring‟ terdapat kesalahan pembentukan morfologis, yaitu morfem Belanda yang disisipi oleh sufiks Inggris; „spoor‟ + „ing‟. Sebab, bahasa Inggris tidak mengenal istilah „spooring‟ dan Belanda tidak mengenal sufiks „-ing‟. Di Inggris “spooring & balancing” ini dikenal sebagai “tracking & balancing” atau “aligning & balancing” yang merujuk pada jasa pada bidang otomotif untuk meluruskan posisi ke empat ban mobil. Di Belanda dikenal dengan istilah “uitlijnen & balanceren”.
4.9)
adem Leksikon „adem‟ pertama kali diserap oleh bahasa Jawa dengan makna ‘dingin, sejuk’. Kemudian leksikon tersebut diserap pula oleh bahasa Indonesia dengan pengertian tambahan, yaitu ‘tenteram, tenang, tawar’. Leksikon ‘adem’ berasal dari bahasa Belanda yang bermakna ‘napas’ atau ‘pernapasan’.
4.10) koelak menjadi tengkulak
„koelak‟ adalah istilah yang digunakan orang Belanda untuk menyatakan takaran benda cair yang sepadan dengan 1,5751 liter. Namun, dalam KBBI Edisi Ketiga, ‘kulak’ (setelah diserap dan mengalami penyesuaian fonologi) bukan saja untuk menyatakan ukuran atau takaran benda cair, tetapi juga untuk menyatakan ukuran beras serta benda lainnya yang memungkinkan dihitung berdasarkan satuan liter. 1 kulak dalam bahasa Indonesia disinonimkan dengan 4 cupak. Leksikon „koelak‟ juga menjadi cikal-bakal munculnya leksikon ‘tengkulak’ yang bermakna ‘pedagang perantara’. Setelah ditelusuri, istilah tersebut ternyata muncul karena pada suatu masa banyak pedagang Tiongkok membeli hasil bumi petani menggunakan satuan kulak dengan sistem ijon di masa sebelum panen dan di masa panen akan dijual dengan harga berlipat.
4.11) vrijman menjadi preman Dalam KBBI Edisi Ketiga, lema ‘preman’ merujuk pada dua makna, makna pertama, yaitu (1) partikelir; swasta (2) bukan tentara; sipil (tentang orang, pakaian, dsb) dan (3) kepunyaan sendiri (tentang kendaraan dsb), sedangkan makna kedua, yaitu ‘sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dsb)’. Leksikon ‘preman’ merupakan adaptasi dari leksikon bahasa Belanda, „vrijman‟ yang memiliki makna ‘orang bebas’. Meskipun dalam kamus bahasa Belanda leksikon ini tidak ditemukan, namun dalam koran-koran Belanda yang terbit dalam kurun 1900-1930, kata „vrijman‟ telah eksis. Permasalahannya adalah perubahan makna dalam proses penyerapannya. Pada kata „vrijman‟ tidak ditemukan sedikitpun konotasi negatif. Tetapi, setelah diserap oleh bahasa Indonesia, makna ‘preman’ lebih lumrah dianalogikan terhadap orang yang jahat, apakah itu pemalak, perampok, pemabuk, dan lain sebagainya. Meskipun memang pada suatu
masa, istilah ‘preman’ juga pernah diidentikkan sebagai sebutan untuk mengungkapkan ‘seseorang yang bukan militer’.
4.12) zelfbeheersing menjadi beser „zelfbeheersing‟ dalam bahasa Belanda bermakna ‘pengendalian diri, penguasaan diri’. Makna kata ini mengalami perubahan total dalam proses penyerapan ke bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia diserap menjadi ‘beser’ yang jika merujuk KBBI memiliki makna ‘sebentar-sebentar kencing’. Secara harfiah, kedua leksikon tersebut memiliki keterkaitan. Kondisi seseorang yang sering kencing dapat diartikan sebagai ketidakmampuan dalam mengendalikan kondisi tubuh (diri). Dalam bahasa Indonesia, ‘beser’ merupakan gejala penyakit yang merupakan petunjuk awal seseorang menderita diabetes mellitus (pembesaran prostat).
Simpulan Dalam penyerapan bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia terdapat banyak sekali perubahan semantik atau perubahan makna yang terjadi. Perubahan semantik yang timbul dalam penyerapan bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia, peneliti temukan antara lain: (1) spesifikasi atau penyempitan, (2) generalisasi atau perluasan, (3) pergeseran, dan (4) perubahan total. Berdasarkan data yang ditemukan, terdapat sebanyak lima perubahan makna menyempit, empat perubahan makna meluas, sembilan pergeseran makna, dan 12 perubahan total makna. Berdasarkan hasil tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa bahasa Belanda yang diserap oleh bahasa Indonesia telah banyak mengalami perubahan makna yang tidak saling berkaitan. Perubahan semantik tidak hanya terjadi pada katakata yang sudah tercantum dalam KBBI. Akan tetapi, banyak juga kata-kata serapan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia yang tidak atau belum tercantum dalam KBBI namun sudah populer digunakan oleh masyarakat. Fenomena kebahasaan ini tentunya menarik untuk diteliti lebih mendalam. Pada masa yang akan datang, peneliti akan berusaha mengungkap perubahan semantik lain dalam penyerapan leksikon bahasa Belanda oleh bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka Verhaar, J. M. M. 1981. Pengantar Linguistik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Keraf, Gorys. 1984. Tatabahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah. Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik. Surakarta: Henari Offset. Sitaresmi, Nunung & Mahmud Fasya. 2011. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Bandung. PBSI UPI. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende. Nusa Indah. Umar, Azhar & Delvi Napitupulu. 1994. Sosiolinguistik dan Psikolinguistik (Suatu Pengantar). Medan: Pustaka Widyasarana. Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.