Studi Ekspresi E-cadherin Ginjal dan Profil Protein Jejunum pada Tikus (Rattus norvegicus) Model Fibrosis Ginjal Hasil Induksi Streptokinase yang Diterapi Air Rebusan Kacang Kedelai Study of Renal E-cadherin Expression and Jejunum Protein Profile on Renal Fibrosis Rats (Rattus norvegicus) Induced by Streptokinase Were Therapied Stewed Soybean Water Nintia Wandatira, Aulanni’am, Dyah Ayu Oktavianie A.P. Program Studi Kedokteran Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya
[email protected] ABSTRAK Fibrosis ginjal merupakan keadaan patologis pada ginjal berupa akumulasi dari matriks ekstraseluler yang berlebih. Fibrosis ginjal ditandai oleh kerusakan sel epitel ginjal, kemunculan sel fibroblas serta penurunan ekspresi E-cadherin dan menyebabkan gangguan gastrointestinal sebagai akibat dari refleks renointestinal. Kacang kedelai diketahui mengandung isoflavon yang berpotensi sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian air rebusan kacang kedelai secara sonde lambung terhadap ekspresi E-cadherin ginjal dan profil protein jejunum pada tikus model fibrosis ginjal hasil induksi streptokinase. Penelitian ini menggunakan tikus (Rattus norvegicus) jantan strain Wistar yang dibagi menjadi empat kelompok, yaitu kontrol negatif, kontrol positif, terapi air rebusan kacang kedelai dosis 6g/200g BB dan dosis 9g/200g BB. Induksi streptokinase dosis 6000 IU pada vena coccygea dilakukan pada hari pertama, keenam dan kesebelas. Parameter yang diamati adalah ekspresi E-cadherin ginjal dengan metode Imunohistokimia dan profil protein jejunum dengan metode SDS-PAGE. Hasil penelitian menunjukkan terapi air rebusan kacang kedelai mampu meningkatkan ekspresi E-cadherin ginjal secara signifikan pada kelompok terapi dibanding pada tikus model fibrosis ginjal (α=0,05). Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian air rebusan kacang kedelai dapat meningkatkan ekspresi E-cadherin ginjal dan memperbaiki profil protein jejunum pada tikus model fibrosis ginjal. Kata kunci : fibrosis ginjal, streptokinase, air rebusan kacang kedelai, E-cadherin ginjal, profil protein jejunum. ABSTRACT Renal fibrosis is a pathological condition at renal which accumulation of extracellular matrix exceed. Renal fibrosis signed by detriment of renal epitel cell, emergence of fibroblast cell, decrease of E-cadherin expression and will give occasion to gastrointestinal disturbance as result from renointestinal reflex. Soybean contain isoflavon which potentially as antioxidant. The purpose of this study was to know about the influence of stewed soybean water therapy giving toward renal E-cadherin expression and jejunum protein profile at renal fibrosis model rats induced by streptokinase. The male rats (Rattus norvegicus) strain Wistar used in this research are divided into four groups ; negative control group, positive control group, rats group with 6g/200g BW dose therapy and 9g/200g BW dose therapy. The streptokinase dose of 6000 IU were induced on the first day, sixth day, and eleventh day. E-cadherin expression and jejunum protein profile were analysed by Immunohistochemistry technique and SDS-PAGE. The data of E-cadherin expresion were analysed quantitatively and jejunum protein profile were analysed descriptively. The research results revealed that stewed soybean water therapy (Glycine max (L) Merrill) increases the E-chaderin renal expression at renal fibrosis rat significantly (α=0.05). It 1
can be concluded that the stewed soybean water has ability to increase E-cadherin expression and repair jejunum protein profile on renal fibosis rats. Keywords : renal fibrosis, streptokinase, stewed soybean water, renal E-cadherin, jejunum protein profile. pertama, keenam dan kesebelas, yang dapat menyebabkan penurunan ekspresi E-cadherin melalui jalur aktivasi plasminogen menjadi plasmin yang memicu timbulnya radikal bebas dan berkurangnya kemampuan adhesi antar sel epitel di dalam jaringan ginjal (Lukito, 2013). Adanya kelainan ginjal juga dapat berpengaruh pada organ lain seperti usus halus bagian jejunum dikarenakan adanya reflek renointestinal (Smeltzer and Brenda, 2002). Adanya kerusakan pada jejunum akan berpengaruh pada profil protein dikarenakan pada jejunum terjadi proses pencernaan kimiawi yang melibatkan beberapa enzim pencernaan. Tingginya biaya pengobatan, di mana obat-obat tersebut berpengaruh pada tekanan darah dan waktu pemberian yang relatif lama, serta kurangnya fasilitas pengobatan menyebabkan banyak penderita tidak tertangani dengan baik. Berdasarkan banyaknya kasus yang belum bisa disembuhkan dengan menggunakan terapi kuratif, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memberikan terapi dengan menggunakan bahan herbal. Kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan tanaman budidaya yang memiliki kandungan isoflavon yang tinggi yaitu 47mg per 100 gram, di mana isoflavon sebagai antioksidan akan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya radikal bebas yang menimbulkan stres oksidatif. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu diketahui potensi air rebusan kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill) terhadap perbandingan ekspresi Ecadherin ginjal serta perubahan profil protein jejunum pada tikus (Rattus norvegicus) induksi sreptokinase.
PENDAHULUAN Fibrosis ginjal adalah keadaan patologis pada ginjal berupa akumulasi dari matriks ekstra seluler yang berlebih akibat rusaknya sel epitel pada glomerulus dan tubulus ginjal (Chatziantoniou, 2005). Fibrosis ginjal merupakan penyebab utama penyakit ginjal kronik (Cho, 2010). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), penyakit ginjal kronik menjadi penyebab kematian sebanyak 850.000 penduduk dunia setiap tahunnya (Suhardjono, 2007). Di Amerika Serikat, penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan utama yang prevalensinya meningkat secara permanen. Pada tahun 2010, prevalensinya lebih dari 650.000 dan prevalensi penyakit ginjal kronik pada stadium awal akan lebih banyak (Bethesda, 2000). Pada kucing, untuk yang berumur di bawah 7 tahun resiko terkena penyakit ini sebesar 0.2-0.6% dan untuk kucing di atas 7 tahun resiko kejadiannya meningkat hingga 1.8-8.6% (Francey dan Ariane, 2008; Kirk, 2000). Pada fibrosis ginjal, menurut Tang (2011) dan Wiwanitkit (2011), sel-sel ginjal berkontribusi dalam peningkatan Extra Cellular Matrix (ECM) melalui proses dari Epithelial to Mesenchymal Transition (EMT), yaitu hilangnya marker epithelial, seperti E-cadherin. E-cadherin merupakan transmembran glycoproteins yang mengatur interaksi sel calciumdependent extracellular. E-cadherin berperan dalam komunikasi antar sel yang berfungsi sebagai adhesifitas antar sel. Pada penelitian sebelumnya, telah dilakukan penyiapan hewan model fibrosis ginjal dengan induksi streptokinase dosis 6000 IU/ekor secara intravena yang diberikan pada hari 2
kedelai (Glycine max (L) Merrill) selanjutnya dipisah sesuai beratnya dan masing-masing direndam selama 8 jam pada suhu kamar (25o-30o C) dengan air bersih sebanyak 100 mL. Setelah direndam, kacang kedelai ditumbuk kasar. Kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill) untuk kelompok C dan D masing-masing direbus dengan air sebanyak 75 mL pada suhu 60o C. Proses ini ditunggu sampai air rebusan hanya tersisa 10 ml dan kemudian disaring agar terpisah air dan ampasnya. Terapi air rebusan kacang kedelai diberikan pada dua kelompok tikus setiap hari mulai pada hari ke 16 sampai hari ke 30. Dosis terapi diberikan dengan dosis bertingkat (Nurcahyaningtyas, 2012). Pada kelompok C, tikus diterapi dengan dosis 6 gram/200 gram BB dan kelompok D diterapi dengan dosis 9 gram/200 gram BB. Pemberian terapi dilakukan dengan sonde lambung sebanyak 2 ml.
MATERI DAN METODE Persiapan Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus) diadaptasikan terlebih dahulu selama tujuh hari. Pemberian pakan berupa ransum basal. Komposisi ransum basal disusun berdasarkan standar Association of Analytical Communities (AOAC) (2005) yaitu mengandung karbohidrat, protein 10%, lemak 3%, mineral, vitamin, dan air 12% dan dikandangkan dalam kandang yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm. Hewan coba yang digunakan telah mendapatkan sertifikat laik etik dari Komisi Etik Penelitian Universitas Brawijaya No.218-KEP-UB. Preparasi dan Injeksi Streptokinase Streptokinase dosis 1.500.000 IU terlebih dahulu dilarutkan dengan ringer laktat sampai 2 mL dan kemudian dihomogenkan untuk mendapatkan stok 1. Pembuatan stok 2 dilakukan dengan cara sebanyak 1 mL diambil dari stok 1 kemudian dilarutkan dengan ringer laktat sampai 5 mL. Stok 2 ini mengandung streptokinase sebanyak 750.000 IU. Selanjutnya diambil 1 mL dari stok 2 untuk mendapat stok 3 dengan dosis streptokinase 150.000 IU. Dosis injeksi setiap tikus adalah 6000 IU, sehingga larutan dari stok 3 diambil sebanyak 40 µL dan dilarutkan lagi dengan ringer laktat sampai 100 µL. Hewan coba pada kelompok perlakuan B, C dan D diinduksi streptokinase pada hari pertama, keenam dan kesebelas dengan dosis 6000 IU sebanyak 100 µL secara intravena pada vena coccygea.
Pengambilan Organ Ginjal dan Jejunum Pengambilan organ ginjal dan jejunum pada hewan coba tikus (Rattus norvegicus) dilakukan pada hari ke 31. Sebelum dilakukan pengambilan organ ginjal dan jejunum, hewan coba terlebih dahulu dieuthanasia dengan cara dislokasi leher dan dilakukan pembedahan. Pembedahan pada perut dilakukan dengan posisi rebah dorsal di atas papan pembedahan. Selanjutnya organ ginjal dan jejunum diambil dan dibilas dengan NaClfisiologis 0,9%, yang kemudian ginjal direndam pada PFA 10% untuk dibuat preparat dan jejunum direndam pada PBSAzida pH. Pengamatan Imunohistokimia Pengamatan imunohistokimia dilakukan untuk melihat ekspresi Ecadherin jaringan ginjal pada empat kelompok tikus yang berbeda. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop perbesaran 400x dengan 5 lapang pandang. Ekspresi E-cadherin pada jaringan ginjal ditunjukkan dengan
Preparasi dan Terapi Air Rebusan Kacang Kedelai Kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill) yang akan direbus ditimbang terlebih dahulu dengan berat 30 gram (untuk kelompok C) dan 45 gram (untuk kelompok D) kemudian dicuci dengan air bersih sampai bebas dari kotoran. Kacang 3
adanya warna coklat. Pengukuran presentase area dengan axio vision.
kuantitatif digunakan untuk menganalisa profil protein jejunum dan analisa kuantitatif digunakan untuk menganalisa ekspresi E-cadherin pada jaringan ginjal dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji BNJ dengan α = 0.05 untuk melihat signifikansi antar perlakuan (Kusriningrum, 2008).
Pengamatan Profil Protein Jejunum Karakterisasi protein jejunum dilakukan dengan menggunakan metode SDS-PAGE. Gel hasil elektroforesis yang berupa band dapat dilakukan perhitungan Rf (Retardation Factor) dari masingmasing pita dengan rumus:
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekspresi E-cadherin pada Ginjal Tikus (Rattus norvegicus) Model Fibrosis Ginjal Hasil Induksi Streptokinase yang Diterapi Air Rebusan Kacang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) Air rebusan kacang kedelai mampu meningkatkan ekspresi Ecadherin pada ginjal tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis ginjal hasil induksi streptokinase. Ekspresi Ecadherin pada ginjal tikus (Rattus norvegicus) kelompok kontrol negatif, kontrol positif, terapi 6 gram/200 gram BB, dan terapi 9 gram/200 gram BB ditunjukkan pada Gambar 1.
Nilai Rf yang diperoleh digunakan sebagai sumbu X dan massa molekul relatif sebagai sumbu Y sehingga diperoleh persamaan regresi linear. Persamaan ini digunakan untuk menghitung massa molekul relatif dari protein sampel. Berat molekul protein sampel didapatkan dengan menggunakan rumus antilog Y. Analisa Data Analisa data yang digunakan yaitu analisa data semi kuantitatif dan analisa data kuantitatif. Analisa data semi
Gambar 1
: Ekspresi E-cadherin pada Glomerulus Ginjal Tikus (Perbesaran 1000x).
Keterangan
: A= ginjal tikus kontrol negatif; B= ginjal tikus kontrol positif; C= ginjal tikus fibrosis ginjal pasca terapi air rebusan kacang kedelai 6 gram/200 gram BB; D= ginjal tikus fibrosis ginjal pasca terapi air rebusan kacang kedelai 9 gram/200 gram BB; (↑) ekspresi E-cadherin.
4
Ekspresi E-cadherin tervisualisasi pada area glomerulus ginjal yang ditunjukkan dengan adanya warna coklat (↑) pada Gambar 1. Warna coklat terbentuk oleh adanya ikatan antara antigen E-cadherin yang berada pada jaringan ginjal dengan antibodi primer Ecadherin rabbit polyclonal IgG. Ikatan antigen dan antiboti primer tersebut selanjutnya dikenali oleh antibodi sekunder antirabbit IgG biotin labeled Tabel 1 Ekspresi E-cadherin pada Organ Ginjal Rata-rata Kelompok Persentase Area Perlakuan Ekspresi Ecadherin (%) (A) Kontrol Negatif 8,68 ± 0,681c (B) Kontrol Positif 0,998 ± 0,253a (C) Terapi 2,104 ± 0,374b 6gram/200gram BB (D) Terapi 8,066 ± 0,743c 9gram/200gram BB
yang diikuti dengan penambahan enzim berupa SA-HRP dan substratnya berupa kromogen DAB. Kromogen DAB tersebut yang dapat menghasilkan warna kecoklatan (Elias et al., 1989). Untuk mengetahui tingkat ekspresi E-cadherin dilakukan dengan perhitungan rata-rata persentase area dari 5 lapang pandang menggunakan software axio vision dengan hasil yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Penurunan Ekspresi Ecadherin (%)
Peningkatan Ekspresi Ecadherin (%)
0 98,87
0
-
110,82
-
708,22
Ket : notasi menyatakan berbeda nyata antar perlakuan dengan α = 0,05
Hasil uji statistik (One Way ANOVA) menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan. Uji lanjutan dengan Beda Nyata Jujur (BNJ) menunjukkan hasil adanya perbedaan nyata antar perlakuan (α>0,05) yang ditunjukkan dengan perbedaan notasi. Pada kelompok A (kontrol negatif) terdapat ekspresi E-cadherin sebanyak 8,68±0,681. Ekspresi E-cadherin pada kelompok kontrol negatif merupakan yang paling banyak dibandingkan pada kelompok B, C dan D. Hal ini dikarenakan pada keadaan normal, E-cadherin berfungsi sebagai adhesi antar sel dan mempertahankan integritas antar sel. Pada kelompok B (kontrol positif) terdapat rata-rata persentase area ekspresi E-cadherin yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok A yaitu 0,998±0,253 dengan penurunan sebesar 98,87%. Hal ini disebabkan induksi streptokinase mampu mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin dalam sirkulasi darah dan menyebabkan terbentuknya stres oksidatif akibat
meningkatnya kadar Reactive Oxygen Species (ROS). Peningkatan ROS akan menyebabkan aktivasi komplemen c5a. Komplemen c5a merupakan anafilatoksin yang dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga menyebabkan kalsium intraseluler akan meningkat. Peningkatan kalsium intraseluler tersebut akan mengaktifkan enzim fosfolipase yang menguraikan fosfolipid membran sehingga akan memicu produksi enzim protease yang berlebihan. Enzim protease berperan sebagai pemecah protein menjadi molekul yang sederhana. Produksi enzim protease yang berlebihan akan merusak protein seperti E-cadherin dan menurunkan ekspresi E-cadherin (Asrini, 2013). Penurunan ekspresi Ecadherin akan menyebabkan berkurangnya kemampuan adhesi antar sel epitel di dalam glomerulus ginjal. Akibatnya akan terjadi kerenggangan antar sel epitel sehingga terjadi Epithelial to Mesenchymal Transition (EMT). EMT menyebabkan fibrosis ginjal melalui perubahan sel-sel epitel glomerulus ginjal 5
menjadi sel-sel fibroblas dan terbentuknya jaringan ikat ginjal dengan meningkatnya produksi kolagen, fibronectin, proteoglican serta penghambatan degradasi kolagen (Border dan Noble, 1994). Terapi air rebusan kacang kedelai terbukti mampu meningkatkan ekspresi Ecadherin yang ditunjukkan dengan persentase area yang berbeda nyata pada kelompok B dan C serta B dan D. Pada kelompok C dengan perlakuan terapi air rebusan kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill) pada tikus (Rattus norvegicus) fibrosis ginjal dengan dosis 6 gram/200 gram BB terjadi peningkatan ekspresi Ecadherin sebanyak 110,82% dibandingkan dengan kelompok B. Sementara untuk tikus (Rattus norvegicus) kelompok D yang diterapi air rebusan kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill) dosis 9 gram/200 gram BB mampu meningkatkan ekspresi Ecadherin sebesar 708,22%. Peningkatan ekspresi E-cadherin pada kelompok terapi dikarenakan air rebusan kacang kedelai
(Glycine max (L) Merrill) yang telah diuji LCMS mengandung isoflavon berperan sebagai antioksidan mampu menurunkan radikal bebas yang menyebabkan fibrosis ginjal. Isoflavon berperan sebagai antioksidan primer dengan mendonasikan atom hidrogen secara cepat pada radikal lipid. Isoflavon bekerja dengan memberikan satu atom hidrogen kepada radikal peroksil, sehingga senyawa yang terbentuk sebagai hasil regenerasi radikal peroksil bersifat lebih stabil (Oteiza et al., 2005). Menurunnya kadar radikal bebas pada jaringan ginjal akan menurunkan peradangan pada pembuluh darah kapiler glomerulus sehingga permeabilitas membran akan membaik. Hal ini akan menyebabkan membran hanya bisa dilalui oleh molekul hidrofobik dan molekul polar sehingga jumlah kalsium intraseluler kembali normal dan enzim protease dapat menurun aktivitasnya. Enzim protease yang menurun aktivitasnya akan memperbaiki adhesi sel yaitu meningkatnya ekspresi E-cadherin ginjal.
Profil Protein Jejunum Tikus (Rattus norvegicus) Model Fibrosis Ginjal Hasil Induksi Streptokinase yang Diterapi Air Rebusan Kacang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) Kerusakan ginjal akibat induksi streptokinase dapat menyebabkan kerusakan pada jejunum sebagai akibat dari adanya refleks renointestinal, di mana pada jejunum terjadi pencernaan kimiawi yang melibatkan beberapa enzim pencernaan. Refleks renointesinal terjadi karena traktus gastrointestinal dan
urinarius memiliki persarafan otonom dan sensorik yang sama yaitu plexus of meissner. Untuk mengetahui pengaruh induksi streptokinase terhadap kerusakan jejunum dilakukan pengamatan profil protein jejunum menggunakan metode SDS-PAGE pada jejunum tikus (Rattus norvegicus) model fibrosis ginjal yang diterapi air rebusan kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill), dengan hasil elektroforesis pada gel polyakrilamid seperti pada Gambar 2.
6
Gambar 2. Analisis gel SDS-PAGE protein jejunum tikus. Keterangan
: M= protein marker; A= jejunum tikus kontrol negatif; B= jejunum tikus kontrol positif; C= jejunum tikus fibrosis ginjal pasca terapi air rebusan kacang kedelai 6 gram/200gram BB; D= jejunum tikus fibrosis ginjal pasca terapi air rebusan kacang kedelai 9 gram/200gram BB; ( ) menunjukkan band spesifik protein.
Profil protein organ jejunum dengan berat molekul dari Gambar 2 ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan Berat Molekul (BM) Protein dari Organ Jejunum Perlakuan Berat Molekul Protein (kDa) 119 53 47 35 19 12 Kontrol Negatif √ √ √ √ √ √ Kontrol Positif
-
-
√
-
√
-
Terapi 6gram/200gram BB
√
√
√
√
√
√
Terapi 9gram/200gram BB
√
√
√
√
√
√
menghidrolisis gugus β-D-galaktosil terminal dari polimer β-D-galaktosida (Jacobson et al., 1994). Dalam keadaan normal, enzim β-galaktosidase berfungsi dalam pencernaan karbohidrat yang terdapat di mukosa usus halus (Campbell et al., 2000). Enzim β-galaktosidase tidak ditemukan pada kelompok kontrol positif dikarenakan terjadi kerusakan mukosa usus karena gangguan gastrointestinal oleh streptokinase, sehingga konsentrasi β-galaktosidase pada brush border mukosa usus halus berkurang dan aktivitas enzim tersebut terganggu (Sinuhaji, 2006). Gangguan gastrointestinal terjadi
Pada organ jejunum tikus (Rattus norvegicus) ditemukan pita protein dengan berat molekul 119 kDa, 53 kDa, 47 kDa, 35 kDa, 19 kDa, dan 12 kDa pada kelompok kontrol negatif dan terapi. Namun pada kelompok kontrol positif beberapa protein yang tidak ditemukan yaitu 119 kDa, 53 kDa, 35 kDa, dan 12 kDa. Pada jejunum terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh beberapa jenis enzim yang termasuk karbohidrase, protease dan lipase. Pita protein dengan berat molekul 119 kDa diduga merupakan enzim βgalaktosidase. β-galaktosidase termasuk kelompok enzim glikosidase yang mampu 7
karena stres oksidatif dari jejunum yang menyebabkan inflamasi dan aktivitas enzim protease meningkat. Peningkatan enzim protease yang berlebih mampu merusak kerja jejunum sehingga terjadi kerusakan enzim-enzim pencernaan. Enzim β-galaktosidase ditemukan kembali pada kelompok terapi dikarenakan isoflavon yang berfungsi sebagai antioksidan mampu menangkal radikal bebas yang disebabkan oleh streptokinase dan memperbaiki permeabilitas membran sel-sel istestinal yang meningkat. Permeabilitas membran yang sudah menurun akan meningkatkan integritas sel-sel intestinal untuk menyeimbangkan produksi sitokin proinflamatori dan memperbaiki aktivitas kelenjar usus sehingga aktivitas enzim βgalaktosidase kembali normal. Pita protein dengan berat molekul 47 kDa dan 19 kDa diduga merupakan enzim protease ditemukan pada semua kelompok. Menurut Sidney and Lester (1972), enzim protease memiliki berat molekul 18-90 kDa. Pada keadaan sehat, enzim protease berfungsi mengkatalisasi pemecahan ikatan peptida dalam peptida, polipeptida, dan protein menjadi molekulmolekul yang lebih sederhana seperti peptida rantai pendek, dan asam amino (Naiola dan Widhyastuti, 2002). Pada kondisi fibrosis ginjal, enzim protease dengan berat molekul 47 kDa dan 19 kDa tetap disintesis. Hal ini dikarenakan induksi streptokinase yang merupakan aktivator plasminogen akan merubah plasminogen menjadi plasmin, sehingga terjadi fibrinolisis dan degradasi matriks. Plasmin juga dapat mengaktifkan Protease Activator Reseptor -1 (PAR-1). PAR-1 tidak hanya berperan sebagai platelet-derivied growth factor, connective tissue growth factor, transforming growth factor –β tetapi juga berperan sebagai aktivasi dan proliferasi fibroblas, myofibroblas transformation dan menginduksi produksi kolagen dan meningkatkan aktivitas enzim protease
(Wilberding et al., 2001; Larger et al., 2006; Chambers et al., 2002 dan Macfarlance et al., 2001). Sedangkan protein dengan berat molekul 119 kDa, 53 kDa, 35 kDa, dan 12 kDa tidak ditemukan pada kontrol positif diduga karena peningkatan aktivitas enzim protease yang dapat memecah dan merusak proteinprotein tersebut. Enzim protease juga ditemukan pada kelompok terapi air rebusan kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill) dosis 6 gram/ 200 gram BB dan 9 gram/ 200 gram BB. Hal ini dikarenakan pemberian terapi yang mengandung isoflavon mampu menurunkan aktivitas enzim protease yang berlebihan melalui protease inhibitor yang dimiliki oleh kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill) (Omaye, 2004). KESIMPULAN Terapi air rebusan kacang kedelai (Glycine max (L) Merrill) dengan dosis 6 gram/200 gram BB dan 9 gram/200 gram BB dapat meningkatkan ekspresi Ecadherin ginjal dan memperbaiki profil protein jejunum tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi streptokinase 6000 IU dengan dosis berulang. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kepada analis Staff laboratorium biokimia dan asisten di jurusan kimia, Laboratorium Biokimia FMIPA Malang Universitas Brawijaya yang telah memfasilitasi pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Asrini, R., Aulanni’am, dan D.K. Wuragil. 2013. Aktivitas Enzim Protease dan Gambaran Histopatologi Ginjal pada Tikus (Rattus norvegicus) Fibrosis Ginjal Hasil Induksi Streptokinase. 1-11. Bethesda. 2000. USRDS 2000 Annual Data Report. New York: National Institute of Diabetes and 8
Digestive and Kydney Disease, National Institutes of Health.
Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Border and Noble. 1994. Transforming growth factor beta in tissue fibrosis. N Engl J Med. Nov 10;331(19):1286-92.
Kirk, C.A. dan M.A. Hickman, Dietary protein requirement of cats with spontaneous renal disease. J Vet Intern Med 2000; 13:351.
Chatziantoniou. 2005. Insights into the mechanisms of renal fibrosis: is it possible to achieve regression?. Am J Physiol Renal Physiol. 2005 Aug; 289(2): F227-34.
Larger, A.J., L. Covic and A. Kuliopulos. 2006. Protease Activated Receptors In Cardiovasculer Disease. Circulation. 144:10701077.
Chambers, R.C and G.J. Laurent. 2002. Coagulation Cascade Protease and Tissue Fibrosis. Biochem Soc Trans. 30: 194-201.
Lukito, P.F. 2013. Studi Ekspresi ECadherin dan Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus (Rattus norvegicus) Fibrosis Ginjal Pasca Induksi Streptokinase. 1-10.
Campbell, R.E. 2004. Realization of βlactamase as a versatile fluogenic reporter. Trends in Biotechnology Vol 22 No 5: 208211.
Macfarlance, S.R., M.J. Seatter and T. Kanke. 2001. Protease Activated Receptors. Pharmacol Rev. 53: 245-282.
Cho, M.H. 2010. Renal Fibrosis. di dalam Korean J Pediatr 2010. Daegu: Kyungpok National University School of Medicine. Hlm 735740.
Naiola, E., dan N. Widhyastuti. 2002. Isolasi, Seleksi dan Optimasi Produksi Protease dari Beberapa Isolat Bakteri. Hayati. 6: 467473.
Elias, J.M., M. Margiotta, and D. Gaborc. 1989. Sensitivity and detection efficiency of the peroxidase (PAP), avidin-biotin peroxidase complex (ABC), and peroxidaselabeled avidin-biotin (LAB) Methods. American Journal of Clinical Pathology 62-67.
Omaye, S. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press. Boca Raton USA. Oteiza,
Francey, T. and A. Schweighauser. 2008. Clinical Epidemiology Of Kidney Diseases In The Cat. 2. Veterinary Focus Vol 18 No 2. Jacobson, R.H., Zhang, R.F. DuBose, and B.W. Matthews. 1994. Threedimensional Structure of βgalactosidase from E. Coli. Nature 369; 761-766.
P.I., A.G. Erlejman, S.V. Verstraten, C.L. Keen, and C.G. Fraga. 2005. Flavonoidmembrane interactions: a protective role of flavonoids at the membrane surface. Clin Dev Immunol 12:19-25.
Sidney, F., and P. Lester. 1972. Methods in Enzymology. Academic Press Inc,New York. Sinuhaji, A.B. 2006. Intoleransi Laktosa. Majalah Kedokteran Nusantara 39, 4, 424- 429.
Kusriningrum. 2008. Dasar Perancangan Percobaan dan Rancangan Acak Lengkap. Fakultas Kedokteran 9
Smeltzer, S.C., and G.B. Brenda. Buku Ajar Keperawatan MedicalBedah. ECG. Jakarta. Hal. 1371.
Activation of PKC-alpha and Betal Isozymes. Cell Biol Int; 35(9):953-9
Suhardjono. 2007. The Development of A Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Program in Indonesia. di dalam Peritoneal Dialysis International, Vol 28. Canada: International Society for Peritoneal Dyalisis. Hlm. 59-62.
Wilberding, J.A., V.A. Ploplis and L. McLenanan.2001. Development of Pulmonary Fibrosis In Fibrinogen Devicient Mice. Ann Acad Sci. 936: 542-548. Wiwanitkit, V. 2011. Fibrosis and Evidence for Epithelialmesenchymal Transition in Kidneys of Patients with Staghorn Calculi. BJU Int; 107 (11):1847.
Tang, R., C. Yang, and J.L. Tao. 2011. Epithelial-mesenchymal Transdifferentiation of Ranal Tubular Epithelial Cells Induces by Urynary Proteins Require the
10