perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HUBUNGAN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN TEBAL PARENKIM GINJAL PADA PEMERIKSAAN USG ABDOMEN FOKUS GINJAL
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
NUR ALFIANI G0009154
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul: Hubungan antara Gagal Ginjal Kronik dengan Tebal Parenkim Ginjal pada Pemeriksaan USG Abdomen Fokus Ginjal Nur Alfiani, NIM: G0009154, Tahun: 2012 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari Selasa, Tanggal 24 Juli 2012
Pembimbing Utama Nama : Prof. Dr. Suyono, dr., Sp. Rad (K). NIP : 19470611 197610 1 001
......................................
Pembimbing Pendamping Nama : Balgis, dr., M.Sc., CMFM., AIFM. NIP : 19640719 199903 2 003
......................................
Penguji Utama Nama : Dr. Widiastuti, dr., Sp. Rad (K). NIP : 19570308 198603 1 006
......................................
Penguji Pendamping Nama : Arif Suryawan, dr., AIFM. NIP : 19580327 198601 1 001
......................................
Surakarta, ............................................... Ketua Tim Skripsi
Dekan FK UNS
Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM NIP 19770914 200501 1 001 NIP 19510601 197903 1 002
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan peneliti juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 24 Maret 2012
Nur Alfiani NIM. G0009154
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Nur Alfiani, G0009154, 2012. Hubungan Gagal Ginjal Kronik dengan Tebal Parenkim Ginjal pada Pemeriksaan USG Abdomen Fokus Ginjal. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta Latar Belakang: Gagal ginjal kronik ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara adekuat dimana ginjal tidak dapat lagi mengeluarkan sisa metabolisme yang berlebih dari tubuh yang sifatnya irreversible dan kronik. Komplikasi yang sering terjadi akibat gagal ginjal kronik di antaranya adalah ukuran ginjal yang mengecil. Perubahan ukuran ginjal ini banyak dihubungkan dengan penipisan korteks ginjal akibat proses patologis yang terjadi. Namun, untuk proses yang terjadi di parenkim ginjal masih belum banyak diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara fixedexposure sampling. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, non gagal ginjal kronik dan gagal ginjal kronik. Sampel kemudian dilakukan pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal untuk mengetahui tebal parenkim ginjal. Diperoleh data sebanyak 30 subjek penelitian dan dianalisis menggunakan uji t independen. Hasil Penelitian: Dari analisis data dengan angka kemaknaan α = 0,05 diperoleh nilai p < 0,001 yang berarti p < 0,05 dengan nilai koefisien regresi b = -7,95 mm; CI = 95% -9,54 mm s.d -6,36 mm. Simpulan Penelitian: Ada hubungan antara gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal (p < 0,05), di mana pasien gagal ginjal kronik rata-rata memiliki tebal parenkim ginjal 7,95 mm lebih tipis dibandingkan dengan pasien non gagal ginjal kronik.
Kata Kunci: Gagal Ginjal Kronik, Tebal Parenkim Ginjal.
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Nur Alfiani, G0009154, 2012. The Relationship between Chronic Renal Failure and Renal Parenchyma Width on Abdomen USG Renal Focus. Mini Thesis. Faculty of Medicine of Sebelas Maret University, Surakarta. Background: Chronic renal failure is characterized by decreased kidney function adequately when the kidneys can no longer remove excess metabolic waste from the body that are irreversible and chronic. Complications that often occur due to chronic renal failure include the smaller size of the kidney. Changes in kidney size is widely associated with the thinning of the renal cortex due to pathological processes that occur. However, for processes that occur in the renal parenchyma is still not much studied. Therefore, this study aims to determine the relationship of chronic renal failure with renal parenchyma width. Method: This research is a analytical observational research with the approach of cross sectional. The sample was taken using fixed-exposure sampling after being selected based on the inclusion and exclusion criteria of research. Sample divided into two groups, non chronic renal failure and chronic renal failure. The sample was then examined by abdomen USG renal focus. 30 subjects of research were obtained as the data and analyzed with independent-samples t test. Result: The data analysis, with α = 0,05, shows p = 0,001 which means p < 0,05, with regression coefficient b = -7,95 mm; CI = 95% -9,54 mm s.d -6,36 mm . Conclusion: This study revealed that there is significant correlation between chronic renal failure and renal parenchyma width (p < 0,05), where chronic renal failure patients have renal parenchyma width in average of 7.95 mm thinner than the non-chronic renal failure patients.
Keywords: Chronic Renal Failure, Renal Parenchyma Width.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PRAKATA Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur senantiasa peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Gagal Ginjal Kronik dengan Tebal Parenkim Ginjal pada Pemeriksaan USG Abdomen Fokus GInjal”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penulisan skripsi ini tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, peneliti mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan FK UNS Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M.Kes., Vicky Eko Nurcahyo Hariyadi, dr., Sp. THT-KL, M.Sc., S. Enny N, SH., MH dan Mas Sunardi selaku Tim Skripsi FK UNS yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Suyono, dr., Sp. Rad (K)., selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini. 4. Balgis, dr., M.Sc., CMFM., AIFM., selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dr. Widiastuti, dr., Sp. Rad (K)., selaku Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. 6. Arif Suryawan, dr., AIFM. selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. 7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sarimo dan Ibunda Sri Wiyati, adik tersayang, Beta yang senantiasa memberikan semangat dan doa hingga skripsi ini terselesaikan. 8. Charismatika Syintia Dewi dan Yeny Ristaning Belawati, saudara, sahabat, rekan seperjuangan Pendidikan Dokter angkatan 2009 atas segala dukungan, kerjasama, dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. 9. Fitria Marizka, Handayani Putri, Achmad Faiz, Mbak Etika, Keluarga BEM FK UNS, dan semua sahabat, serta orang-orang terdekat yang terus memberi dukungan dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini. 10. Pihak-pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu atas bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki skripsi ini nantinya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Surakarta, Juli 2012 Nur Alfiani commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
PRAKATA ................................................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................................. DAFTAR TABEL ..................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... A. Latar Belakang ..................................................................................... B. Perumusan Masalah ............................................................................. C. Tujuan Penelitian ................................................................................. D. Manfaat Penelitian ............................................................................... BAB II. LANDASAN TEORI ................................................................................. A. Tinjauan Pustaka.................................................................................. 1. Ginjal ............................................................. ................................. a. Anatomi makroskopis dan mikroskopis....................................... b. Fisiologi Ginjal ........................................................ ................... c. Proses Pembentukan Urin....................... .................................... 2. Parenkim Ginjal ....................................................... ....................... 3. Gagal Ginjal Kronik .................................. ..................................... a. Definisi ...................................................................... ................ b. Etiologi................................................................ ....................... c. Patofisiologi ............................................................ .................. d. Kriteria Diagnosis ....................................................................... 4. Gambaran Ultrasonografi Ginjal ..................................................... a. Ukuran Ginjal .............................................................................. b. Tebal Parenkim Ginjal ................................................................ 5. Hubungan Gagal Ginjal Kronik dengan Tebal Parenkim Ginjal ..... B. Kerangka Pemikiran ........................................................................... C. Hipotesis ............................................................................................. BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................... A. Jenis Penelitian ................................................................................... B. Lokasi Penelitian ................................................................................ C. Subjek Penelitian ................................................................................ D. Teknik Sampling .................................................................................. E. Rancangan Penelitian........................................................................... F. Identifikasi Variabel Penelitian .......................................................... G. Definisi Operasional Variabel ............................................................ H. Instrumen Penelitian ........................................................................... I. Cara Kerja ........................................................................................... J. Teknik Analisis Data ..........................................................................
commit to user vii
vi vii ix x xi 1 1 3 3 3 5 5 5 5 7 8 9 13 13 15 19 20 22 23 23 28 30 30 31 31 31 31 32 33 32 33 33 34 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV. HASIL PENELITIAN................................................................................ BABV. PEMBAHASAN ....................................................................................... BABVI. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... A. Simpulan ............................................................................................. B. Saran ................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... LAMPIRAN
commit to user viii
35 43 51 51 51 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat (Stage) Penyakit .................................................................................................... Tabel 2.2. Fungsi Ginjal Menurut Kadar Kreatinin Serum ....................................... Tabel 2.3. Fungsi Ginjal Menurut Kadar Klirens Kreatinin ..................................... Tabel 4.1. Distribusi Subjek Penelitian Menurut Jenis Kelamin, Usia, dan Berat Badan .............................................................................................. Tabel 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Menurut Kadar Ureum Plasma, Kreatinin Plasma, dan Laju Filtrasi Glomerulus ...................................................... Tabel 4.3. Data Pengelompokkan Tebal Parenkim Ginjal ........................................ Tabel 4.4. Distribusi Pengelompokkan Tebal Parenkim Ginjal Subjek yang Mengalami Penipisan Parenkim Ginjal.................................................... Tabel 4.5. Hasil Analisis Bivariat dengan Uji t Independen tentang Beda Rata-Rata Tebal Parenkim Ginjal antara Kelompok GGK dan NON GGK ............. Tabel 4.6. Hasil Analisis Regresi Linier Ganda tentang Hubungan antara Gagal Ginjal Kronik dan Usia dengan Tebal Parenkim Ginjal ..........................
commit to user ix
14 15 15 37 38 38 39 41 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Anatomi Ginjal Kiri, Korteks Ginjal, Medula, dan Pelvis Penampang Lintang................................................................................ Gambar 2.2. Proses Pembentukan Urin (Filtrasi, Reabsorsi, dan Sekresi) .............. Gambar 2.3. Ultrasonografi Ginjal ........................................................................... Gambar 2.4. Pengukuran Tebal Parenkim dan Tebal Korteks Ginjal ...................... Gambar 3.1. Rancangan Penelitian .......................................................................... Gambar 4.1. Boxplot tentang Beda Rata-Rata Tebal Parenkim Ginjal antara Kelompok GGK dan NON GGK ...........................................................
commit to user
x
6 9 24 24 33 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Hasil Penelitian. Lampiran 2. Crosstabs Karakteristik Sampel Dua Kelompok Lampiran 3. Uji Normalitas Data. Lampiran 4. Analisis Bivariat Uji t Independen. Lampiran 5. Model Analisis Regresi Linier Ganda. Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Data dari Fakultas Kedokteran. Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Data dari RSUD Dr.Moewardi. Lampiran 8. Surat Keterangan Selesai Penelitian dan Pengambilan Data dari RSUD Dr. Moewardi.
commit to user
xi
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Gagal ginjal adalah istilah yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Keadaan ini dapat terjadi pada berbagai golongan umur, etnis, serta jenis kelamin (Hogg, et.al., 2003). Gagal ginjal ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara adekuat dimana ginjal tidak dapat lagi mengeluarkan sisa metabolisme yang berlebih dari tubuh (The Ohio State University Medical Center, 2008). Menurut Barton dari Universitas Saskatchewan’s, ada dua tipe gagal ginjal yakni gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik yang dibedakan berdasarkan durasi dan kerusakan yang irreversible (Barton, 2003). Gagal ginjal kronik progresivitasnya lambat dan berlangsung selama beberapa tahun serta kerusakan yang ditimbulkannya bersifat irreversible (Swierzweski, 2001). Gagal ginjal kronik juga terbukti turut menyumbang nilai morbiditas dan mortalitas di beberapa negara di dunia. Angka kematian akibat gagal ginjal kronik cukup tinggi (Stack, 2003). Prevalensi gagal ginjal kronik cukup tinggi dan terus meningkat tiap tahunnya. Di dunia, diperkirakan angka kejadian gagal ginjal kronik mengalami kenaikan sebesar 7% tiap tahunnya (Grassman, et.al., 2004). Sedangkan, penderita gagal ginjal kronik di Indonesia diperkirakan prevalensinya sebesar 12,5% atau sekitar 18 juta jiwa (Suhardjono, 2009). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
Untuk wilayah Jawa Tengah sendiri, angka prevalensi gagal ginjal kronik mencapai 22% pada tahun 2004 (Prodjosudjadi, 2006). Gagal ginjal kronik prevalensinya meningkat pada usia di atas 45 tahun. Prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan jenis kelamin lebih banyak terjadi di wanita. Untuk etnis di Asia, gagal ginjal kronik banyak terjadi pada etnis cina (Zhang dan Rothenbacher, 2008). Komplikasi yang sering ditimbulkan gagal ginjal kronik berhubungan dengan perubahan pada ginjal itu sendiri, yakni ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis, batu ginjal, kista, massa, atau kalsifikasi (Suwitra, 2007). Ukuran ginjal yang mengecil berbanding lurus dengan jumlah nefron. Hipertensi, proteinuria, dan glomerulosklerosis adalah beberapa komplikasi yang dapat timbul dari berkurangnya jumlah nefron (Luyckx, 2011). Perubahan ukuran ginjal menjadi lebih kecil dibanding ukuran ginjal normal pada pasien gagal ginjal kronik banyak dihubungkan dengan penipisan korteks. Hal ini berkenaan dengan proses nefropati dan mikroangiopati yang berlangsung di ginjal (Wilson, 2006). Penelitian lain mengemukakan bahwa tebal parenkim ginjal juga memberikan korelasi yang spesifik terhadap kronisitas dari gagal ginjal itu sendiri. Sama dengan korteks ginjal, parenkim ginjal juga mengalami penipisan pada gagal ginjal kronik. (Roger, et. al., 2009; Buturović-Ponikvar dan Višnar-Perovič, 2003). Tebal parenkim ginjal diukur dari dasar piramida ginjal sampai permukaan ginjal, yakni terdiri atas korteks dan medula ginjal (Tuma, et. al., commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2011). Proses patogenesis yang terjadi di medula ginjal pada gagal ginjal kronik belum sepenuhnya dipahami. Pada trombotik mikroangiopati ginjal, mikroangiopati dapat menyebabkan nekrosis pada medula ginjal di samping penipisan korteks yang terjadi (Suga, et. al., 2001). Sedangkan, menurut Suwitra (2007), nefropati yang terjadi pada gagal ginjal kronik hanya menyebabkan penipisan korteks. Penelitian tentang korteks dan proses patogenesis yang terjadi di dalamnya pada pasien gagal ginjal kronik sudah banyak dilakukan. Namun, untuk proses yang terjadi di parenkim ginjal masih belum banyak diteliti. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal. B. Rumusan Masalah Adakah hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal pada pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal pada pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal. D. Manfaat Penelitian 1.
Aspek Teoritis Penelitian
ini
dapat
memberikan
kontribusi
kepada
ilmu
pengetahuan serta sebagai perbandingan bagi penelitian-penelitian sebelumnya. commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Aspek Aplikatif Dengan mengetahui adanya hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kondisi anatomis korteks dan medula pada pasien gagal ginjal kronik, berkenaan dengan peran korteks dan medula dalam proses pembentukan urin.
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Ginjal a. Anatomi Makroskopis dan Mikroskopis Ginjal terletak pada bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar-transversus abdominis, kuadratus lumborum, dan psoas mayor (Wilson,2006a). Panjang ginjal orang dewasa antara 10-13 cm, dan tebal ginjal orang dewasa antara 5-7 cm. Ukuran ginjal tidak dibedakan menurut bentuk dan ukuran tubuh, melainkan ditentukan oleh jumlah nefron yang dimilikinya (Pearce, 2004). Masing-masing ginjal beratnya sekitar 150 gram dan besarnya seukuran kepalan tangan (Guyton dan Hall, 2007). Sisi medial setiap ginjal merupakan daerah lekukan yang disebut hilum. Hilum merupakan tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan limfatik, suplai darah, dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke kandung kemih. Struktur dalam ginjal yang rapuh dilindungi oleh kapsul fibrosa yang melingkupinya (Guyton dan Hall, 2007)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
Gambar 2.1. Anatomi Ginjal Kiri, Korteks Ginjal, Medula, dan Pelvis Penampang Lintang (Putz dan Pabst, 2007). Ginjal yang dipotong longitudinal akan memperlihatkan dua daerah yang berbeda, korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam (Wilson, 2006). Di dalam korteks dan medula banyak terdapat nefron dan di dalam medula juga banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas, tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distalis, dan duktus koligentes (Purnomo, 2009). Medula terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medula serta berakhir di papila, yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu sambungan dari ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong. Batas luar pelvis terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang disebut kalises mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kalises minor, yang mengumpulkan urin dari tubulus commit to user setiap papila. (Guyton dan Hall, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
Sirkulasi utama ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang dari aorta abdominalis skeletopis vertebra lumbalis II. Masingmasing arteri renalis biasanya bercabang menjadi arteriae segmentales yang masuk ke dalam hilum renale, empat di depan dan satu di belakang pelvis renalis. Arteriae ini mendarahi segmen atau area renalis yang berbeda. Arteriae lobares berasal dari arteria segmentalis, masing-masing satu buah untuk satu pyramid renalis. Sebelum masuk substansia renalis, setiap arteria lobaris mempercabangkan dua atau tiga arteriae interlobares. Arteriae interlobares berjalan menuju korteks di antara pyramides renales. Pada perbatasan korteks dan medula renalis, arteriae interlobares bercabang menjadi arteriae arcuatae yang melengkung di atas basis pyramides renales. Arteriae arcuatae mempercabangkan sejumlah arteriae interlobulares yang berjalan ke atas di dalam korteks. Arteriolae aferen glomerulus merupakan cabang arteriae interlobulares. Selanjutnya, sistem venosa di ginjal memvaskularisasi bagian yang sama dengan sistem arterinya. Vena renalis keluar dari hilum renale di depan arteria renalis dan mengalirkan darah ke vena cava inferior (Snell, 2006). b. Fisiologi Ginjal Fungsi utama ginjal adalah fungsi ekskresi dan fungsi regulasi. Fungsi ekskresi yakni, membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Sedangkan, fungsi regulasi dilakukan ginjal untuk mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh (Guyton dan Hall, 2007). Menurut Mutschler (2001), ginjal menjalankan fungsi multipel commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
antara lain: 1) Ekskresi zat-zat metabolisme melalui urin, misalnya urea dan kreatinin. 2) Pengaturan kebutuhan air dan elektrolit serta keseimbangan asam basa. 3) Pengaturan (hormonal) volume cairan ekstra sel dan tekanan darah arteri. 4) Sintesis
eritropoetin
dan
dengan
demikian
mempengaruhi
pembentukan eritrosit. 5) Hidroksilasi 25-hidroksi-kolekalsiferol menjadi 1,25-dihidroksikolekalsiferol yang berperan pada metabolisme kalsium dan fosfat. c. Proses pembentukan urin Pembentukan urin terdiri dari filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi glomerulus dimulai ketika sejumlah besar cairan dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman (Sherwood, 2001, Guyton dan Hall, 2008b). Di glomerulus, dinding glomerulus bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif dapat dilintasi air, garam, dan glukosa (Tjay dan Rahardja, 2002). Cairan yang telah difiltrasi meninggalkan kapsula Bowman dan melewati tubulus. Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif air dan komponen seperti glukosa dan garam (reabsorbsi tubulus) sehingga terbentuk filtrat (Sherwood, 2001; Tjay and Rahardja, 2002). Selain itu, pada tubulus terjadi penambahan zat-zat tertentu seperti H+ dan K+ ke commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
dalam filtrat melalui proses sekresi tubulus (Sherwood, 2001). Akhirnya, filtrat dari tubulus ditampung di suatu saluran pengumpul (ductus coligentes) serta disalurkan dan ditampung ke kandung kemih sebagai urin (Tjay dan Rahardja, 2002).
Gambar 2.2. Proses Pembentukan Urin (Filtrasi, Reabsorsi, dan Sekresi) (Sherwood, 2001). 2. Parenkim Ginjal Parenkim ginjal terdiri dari korteks dan medula ginjal. Korteks terletak di bagian luar dan medula terdiri atas piramid renalis di bagian dalam (Wilson, 2006). Korteks ditutup oleh simpai jaringan ikat perirenal dan jaringan lemak. Di dalam korteks terdapat tubulus kontortus, glomerulus, tubulus lurus, dan berkas medula. Korteks juga mengandung korpuskulum renal, tubulus kontortus proksimal dan distal, arteri interlobular, dan vena interlobular. Berkas medular mengandung bagian lurus nefron dan duktus koligentes. Berkas medula tidak meluas ke dalam kapsul ginjal karena ada zona sempit tubulus kontortus. Medula dibentuk oleh sejumlah piramid renal. Dasar setiap piramid commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
menghadap korteks dan apeksnya mengarah ke dalam. Apeks piramid renal membentuk papila yang terjulur ke dalam kaliks minor. Medula juga mengandung ansa Henle (tubulus proksimal pars desendens atau bagian lurus, segmen tipis dan tubulus distal pars asendens atau bagian lurus) dan duktus koligentes. Duktus koligentes bergabung di medula membentuk duktus papilaris yang besar. Papila biasanya ditutupi epitel selapis silindris. Saat epitel ini berlanjut ke dinding luar kaliks, epitel ini menjadi epitel transisional. Di bawah epitel, terdapat selapis tipis jaringan ikat dan otot polos yang kemudian menyatu dengan jaringan ikat sinus renalis. Papila ginjal mengandung bagian terminal duktus koligentes, yaitu duktus papilaris. Duktus ini berdiameter besar dengan lumen besar dan dilapisi sel silindris tinggi dan terpulas pucat. Di sini juga terdapat potongan segmen tipis ansa Henle dan segmen lurus asenden tubulus kontortus distal. Jaringan ikat lebih banyak di daerah ini dan duktus koligentes tidak begitu berhimpitan. Juga terdapat banyak pembuluh darah kecil di sini. Potongan melintang segmen tipis ansa Henle mirip kapiler atau venule. Sejumlah duktus koligens menyatu di medula membenuk tubulus lurus dan besar, disebut duktus papilaris yang bermuara di ujung papila. Banyaknya muara pada permukaan papila memberi gambaran seperti saringan; daerah ini disebut area kribosa. Pada gambar ini, papila dilapisi epitel berlapis kuboid. Namun, di area kribosa epitel pelapisnya umumnya adalah selapis silindris yang menyatu dengan pelapis duktus papilaris. Juga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
tampak segmen tipis ansa Henle dan segmen lurus asendens tubulus distal. Juga tampak jaringan ikat dan kapiler darah. Di dalam sinus renalis di antara piramid, terdapat cabang arteri dan vena renalis, yaitu pembuluh interlobaris. Pembuluh ini memasuki ginjal, kemudian melengkung menyusuri dasar piramid pada taut korteks-medula sebagai arteri arkuata. Pembuluh arkuata mencabangkan arteri dan vena interlobular yang lebih kecil. Arteri arkuata berjalan secara radial menuju korteks ginjal dan mencabangkan banyak arteri aferen glomerular di glomeruli (Eroschenko, 2003). Pada parenkim ginjal, terdapat berjuta-juta nefron. Setiap nefron mempunyai semua komponen yang sama, yakni glomerulus dan tubulus nefron. Akan tetapi, terdapat beberapa perbedaan, bergantung pada seberapa dalam letak nefron pada massa ginjal. Nefron yang memiliki glomerulus dan terletak di korteks sisi luar disebut nefron kortikal, nefron tersebut mempunyai ansa Henle pendek yang hanya sedikit menembus ke dalam medula. Kira-kira 20-30% nefron mempunyai glomerulus yang terletak di korteks renal sebelah dalam dekat medula, dan disebut nefron jukstamedular. Nefron ini mempunyai ansa Henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke medula. Struktur vaskular yang menyuplai nefron jukstamedular juga berbeda dengan yang menyuplai nefron kortikal. Pada nefron kortikal, seluruh sistem tubulus dikelilingi oleh jaringan kapiler peritubular yang luas. Pada nefron jukstamedular, arteriol eferen yang panjang akan meluas dari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
glomerulus turun ke bawah menuju medula bagian luar dan kemudian membagi diri menjadi kapiler peritubulus khusus yang disebut vasa rekta, yang meluas ke bawah menuju medula, dan terletak berdampingan dengan ansa Henle. Seperti ansa Henle, vasa rekta kembali menuju korteks dan mengalirkan isinya ke dalam vena kortikal. Jaringan kapiler khusus dalam medula ini berperan penting dalam pembentukan urin yang pekat (Guyton dan Hall, 2007). Terdapat satu sistem fungsional di medula ginjal, yakni sistem arus balik medula (medullary countercurrent system). Sistem ini memungkinkan ginjal menghasilkan urin dengan konsentrasi antara 100 sampai 1.200 mosm/l, bergantung pada status hidrasi tubuh.
Hal ini dimungkinkan
karena pada cairan interstisium medula kedua ginjal terdapat gradien osmotik vertikal besar. Konsentrasi cairan interstisium secara progresif meningkat dari batas korteks turun ke kedalaman medula ginjal sampai mencapai maksimum 1.200 mosm/l pada manusia di taut dengan pelvis ginjal. Gradien osmotik vertikal ini tetap konstan tanpa bergantung pada keseimbangan cairan tubuh. Gradien osmotik vertikal ini diciptakan oleh lengkung Henle. Perbedaan fungsional antara pars desendens dan pars asendens lengkung Henle berperan penting. Pars desendens lengkung Henle sangat permeabel terhadap H2O, tetapi tidak aktif mengenluarkan Na+, sedangkan pars asendens impermeabel terhadap H2O dan aktif mengeluarkan Na+ dari lumen tubulusnya. Saat filtrat glomerulus memasuki medula melalui pars commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
desendens, H2O secara pasif keluar ke cairan interstisium medula dan NaCl tetap tertahan di dalam filtrat. Hal ini membuat filtrat di dalam pars desendens semakin pekat. Kemudian, saat melewati pars asendens, NaCl berdifusi ke cairan interstisium medula, sedangkan H2O tetap di dalam filtrat. Menuju tubulus distal, filtrat kembali isotonis. Namun, cairan interstisium semakin ke bawah menjadi semakin pekat karena perbedaan konsentrasi yang ditimbulkan oleh lengkung Henle. Gradien medula berjenjang tersebut akan menetap karena adanya aliran cairan yang terus menerus disertai oleh aktivitas transportasi pars asendens dan aliran pasif dari pars desendens yang menyertainya. Selain pertukaran NaCl dan H2O antara kedua pars lengkung Henle dan cairan interstisium, akumulasi urea di cairan interstisium medula akibat daurulang pasif urea antara tubulus pengumpul dan lengkung panjang Henle juga berperan dalam hipertonisitas medula (Sherwood, 2001). 3. Gagal Ginjal Kronik a. Definisi Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal kronik (GGK) atau penyakit ginjal kronik tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (Suharyanto, 2009). Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Parazella, 2005).
Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat (Stage) Penyakit. Derajat 1
2
3
4 5
Penjelasan Kerusakan ginjal dengan LFG
LFG (ml/menit/1,73m2 ≥ 90
normal/baik Kerusakan ginjal dengan LFG
60-90
menurun ringan Kerusakan ginjal dengan LFG
30-59
menurun sedang Kerusakan ginjal dengan LFG
15-29
menurun berat Gagal ginjal
(Sumber : Parazella, 2005). commit to user
<15 atau dialisis
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 2.2. Fungsi Ginjal Menurut Kadar Kreatinin Serum. Fungsi Ginjal Menurut Kreatinin
Nilai
Serum
(mg/dl)
Normal
Laki-laki : 0.7-1.1 Perempuan : 0.6-0.9 Kadar Normal - 3
Resistensi
3
Insufisiensi
- 6
> 6 Gagal Ginjal jika ada Uremik (Sumber : Parazella, 2005).
Tabel 2.3. Fungsi Ginjal Menurut Menurut Klirens Kreatinin. Klasifikasi
KK (ml/menit)
Kekurangan cadangan ginjal
75 - 200
Insufisiensi Ginjal
25 - 75
Gagal Ginjal Kronik
< 25 (Protein 0,3 – 0,5 gr/kgBB) < 5 Cuci darah
Gagal Ginjal Terminal (Sumber : Parazella, 2005).
b. Etiologi 1) Glomerulonefritis Glomerulonrfritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa (Alatas, 2002). Glomerulonefritis terbagi atas dua, yaitu (Baradero, 2009):
commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Glomerulonefritis Akut Glomerulonefritis akut adalah penyakit yang mengenai glomerulus kedua ginjal. Faktor penyebabnya antara lain reaksi imunologis (lupus eritematosus sistemik, infeksi streptokokus, cedera vaskular (hipertensi), dan penyakit metabolik (diabetes melitus). Glomerulonefritis akut yang paling lazim adalah yang akibat infeksi streptokokus. Glomerulonefritis akut biasanya terjadi sekitar 2 – 3 minggu setelah serangan streptokokus. Sekitar 1 – 2% individu yang terkena glomerulonefritis pasca streptokokus akan mengalami tahap akhir gagal ginjal yang memerlukan dialisis ginjal atau transplantasi ginjal. b) Glomerulonefritis Kronik Biasanya, glomerulonefritis kronik (GNK) menyusul glomerulonefritis akut, tetapi ada kasus GNK pada pasien yang tidak pernah mengalami glomerulonefritis akut sebelumnya. Jalan penyakit GNK dapat berubah – ubah. Ada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal minimal dan merasa sehat. Perkembangan
penyakitnya
juga
perlahan.
Walaupun
perkembangan penyakit GNK perlahan atau cepat, keduanya akan berakhir pada penyakit ginjal tahap akhir. GNK dicirikan dengan kerusakan (karena menjadi sklerotik) glomerulus dan hilangnya fungsi ginjal secara perlahan. Glomerulus mengalami pengerasan (sklerotik). Ginjal mengecil, tubulus mengalami commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atrofi,
ada
inflamasi
interstisial
yang
kronik,
dan
arteriosklerosis. Sekitar 20 – 35% pasien yang memerlukan terapi pengganti ginjal (dialisis) memiliki riwayat penyakit glomerulus (Dirks, et. al., 2006). 2) Pielonefritis kronik Pielonefritis kronik adalah cedera ginjal progresif yang menunjukkan kelainan parenkimal yang disebabkan oleh infeksi berulang atau infeksi yang menetap pada ginjal. Pielonefritis kronik terjadi pada pasien dengan infeksi saluran kemih yang juga mempunyai kelainan anatomi utama pada saluran kemihnya (Wilson, 2006). 3) Penyakit ginjal polikistik Penyakit ginjal polikistik merupakan kelainan ginjal turunan yang paling sering terjadi. Prevalensinya sekitar 1 dari 1000 dan lebih sering terjadi pada populasi kulit putih dibandingkan kulit hitam. Penyakit ini mencakup 4 – 10% pasien dengan gagal ginjal yang membutuhkan transplantasi atau dialisis. Hampir semua kasus akibat mutasi pada gen PKD1 atau PKD2. Mutasi PKD1 mencakup 85% kasus dan menyebabkan gagal ginjal yang lebih dini dibandingkan mutasi PKD2. Gambaran klinis utamanya adalah kista multipel di ginjal, namun kista dapat juga timbul di hati, limpa, dan pankreas. Aneurisma intrakranial dan kelainan katup jantung juga dapat terjadi (O’callaghan, 2007). commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Hipertensi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat anti hipertensi (Mansjoer, 2001). Hipertensi merupakan penyebab kedua terjadinya penyakit ginjal tahap akhir. Sekitar 10% individu pengidap hipertensi esensial akan mengalami penyakit ginjal tahap akhir (Hanifa, 2010). 5) Diabetes Melitus Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai
macam
keluhan.
Gejalanya
sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Fritiwi, 2010). commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada diabetes melitus, peningkatan resistensi vaskular dari arteri intrarenal berhubungan dengan disfungsi diastolik yang banyak dialami pada pasien dabetes melitus (Maclsaac, et.al., 2008). Penyakit arteri perifer ini insidensinya meningkat pada pasien diabetes
melitus.
Hal
ini
kemudian
berhubungan
dengan
meningkatnya kejadian nefropati, albuminuria, serta retinopati yang dakibatkan
oleh
mikroangiopati
pada
diabetes
melitus
(Cardioangiol, 2003). c. Patofisiologi Patofisiologi gagal ginjal kronik melibatkan dua mekanisme kerusakan yang luas. Mekanisme tersebut, yakni: 1) mekanisme awal spesifik yang mendasari etiologi penyakit ginjal kronik, seperti kompleks
imun
dan
mediator
inflamasi
di
berbagai
tipe
glomerulonefritis, atau paparan toksin di beberapa penyakit tubulus ginjal, 2) seperangkat mekanisme progresif, meliputi hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang tersisa yang merupakan konsekuensi umum dari pengurangan massa ginjal dalam jangka panjang, terlepas dari etiologi yang mendasari. Respon pengurangan jumlah nefron dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Akhirnya, adaptasi jangka pendek dari hiperfiltrasi dan hipertrofi ini menjadi maladaptif seiring dengan kenaikan tekanan dan aliran darah yang menjadi predisposisi untuk sklerosis dan hilangnya nefron. Peningkatan aktivitas renin angiotensin intrarenal memberikan kontribusi kepada commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adaptasi hiperfiltrasi awal dan hipertrofi serta skeloris maladaptif pada tahap berikutnya, berkat stimulasi dari faktor pertumbuhan β (TGF-β). Proses ini menjelaskan mengapa penurunan massa ginjal dapat menyebabkan penurunan progresif dalam fungsi ginjal selama bertahuntahun (Harrison, 2010). d. Kriteria diagnosis Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: 1) Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG) 2) Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi 3) Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) 4) Menentukan strategi terapi rasional 5) Meramalkan prognosis Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006). 1)
Anamnesis dan pemeriksaan fisik Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. 2)
Pemeriksaan laboratorium Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. a) Pemeriksaan faal ginjal (LFG) Pemeriksaan ureum, kreatinin serum, dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). b) Etiologi Gagal Ginjal Kronik (GGK) Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. c) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endokrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).
3)
Pemeriksaan penunjang diagnosis Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:
commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Diagnosis etiologi GGK Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde,
pielografi
antegrade
dan
Micturating
Cysto
Urography (MCU). b) Diagnosis pemburuk faal ginjal Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (Fritiwi, 2010). 4. Gambaran Ultrasonografi Ginjal Prinsip pemeriksaan ultrasonografi adalah menangkap gelombang bunyi ultra yang dipantulkan oleh organ-organ (jaringan) yang berbeda kerapatannya. USG dapat membedakan antara massa padat (hiperekoik) dengan massa kistus (hipoekoik), sedangkan batu non opak yang tidak dapat dideteksi dengan foto ronsen akan terdeteksi oleh USG sebagai echoic shadow. Pemeriksaan USG pada ginjal dipergunakan untuk: 1) untuk mendeteksi keberadaan dan keadaan ginjal (hidronefrosis, kista, massa, atau pengkerutan ginjal) yang pada pemeriksaan PIV menunjukkan non visualized, 2) sebagai penuntun pada saat melakukan pungsi ginjal atau nefrostomi perkutan, dan 3) sebagai pemeriksaan penyaring pada dugaan adanya trauma ginjal derajat ringan (Purnomo, 2009).
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berikut gambaran normal ginjal pada USG: a.
Ukuran Ginjal Panjang ginjal adalah 9-14 cm (potongan longitudinal), tebal 4-6 cm (potongan melintang), dan kedalaman 4-6 cm (potongan melintang). Sedangkan volume ginjal dihitung dengan rumus: Volume ginjal =
otUot ξ ŖȖoϜ ξ ʆŖcoϜopot ξ
Volume ginjal normal adalah 100-170 ml/1,73 m2 luas permukaan tubuh. b.
Tebal parenkim ginjal Parenkim ginjal diukur dari dasar pramida ginjal sampai permukaan ginjal. Tebal parenkim ginjal normal adalah 14-18 mm. Pengukuran tebal parenkim ginjal berguna untuk memonitoring keberhasilan transplantasi ginjal dan proses penyakit kronis di parenkim ginjal. Tebal normal korteks ginjal adalah 8-10 mm. Pemendekan pada korteks ginjal dapat ditemukan pada penyakit kronis di parenkim ginjal dengan gagal ginjal. Pemendekan korteks ginjal ini berkorelasi dengan derajat gagal ginjal (Tuma et.al., 2011). Faktor-faktor yang berpengaruh pada tebal parenkim dam korteks ginjal antara lain indeks massa tubuh, tinggi badan, dan jenis kelamin laki-laki (Surcel et.al., 2011).
commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.3. Ultrasonografi Ginjal (Tuma et.al., 2011).
Gambar 2.4. Pengukuran Tebal Parenkim dan Tebal Korteks Ginjal (Tuma et.al., 2011). Beberapa penyakit ginjal yang dapat menyebabkan perubahan ukuran ginjal, antara lain : a.
Hipoplasia ginjal Ginjal berukuran kecil namun terbentuk dengan sempurna.
b.
Ginjal tapal kuda Penyatuan kutub-kutub ginjal yang berlawanan (biasanya bagian bawah) dengan kalises yang menyempit di bagian tengah. Insidensi commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
meningkat pada obstruksi sambungan pelvi-ureter (pelvis-ureteric junction, PUJ), batu ginjal, dan infeksi. c.
Ginjal polikistik Ginjal polikistik ditandai oleh pembesaran kedua ginjal disertai jaringan ginjal normal yang digantikan dengan kista multipel. Perluasan dan pembesaran kista menekan isi ginjal, menyebabkan hilangnya fungsi ginjal dan bahkan gagal ginjal. 1)
Penyakit polikistik dewasa Diturunkan sebagai dominan autosomal dengan penetrasi mendekati 100%.
2)
Penyakit polikistik anak Timbul pada usia 3-5 tahun dengan pembesaran ginjal dan fibrosis hati. Kematian dapat disebabkan oleh hipertensi porta.
3)
Penyakit polikistik bayi baru lahir Diketahui beberapa hari pertama sebagai gagal ginjal dan pembesaran pada kedua ginjal.
d.
Kista ginjal Kista ginjal sederhana sangat sering dijumpai, frekuensinya meningkat sesuai usia. Kelainan ini sering bersifat multipel, dengan ukuran yang bervariasi, dan biasanya ditemukan secara kebetulan. Kista ginjal hampir selalu asimtomatik, dengan sedikit signifikansi klinis, dan biasanya tidak membutuhkan terapi lebih lanjut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
e.
26 digilib.uns.ac.id
Tumor pelvis ginjal/ureter Tumor yang berasal dari epitel saluran kemih biasanya merupakan karsinoma sel transisional. Tumor tersebut dapat bersifat polipoid, menyerupai plak, atau membentuk striktur. Karsinoma sel skuamosa sering berhubungan dengan batu atau infeksi kronis seperti schistosomiasis. Hematuria merupakan gejala utama.
f.
Obstruksi saluran ginjal Obstruksi saluran ginjal dapat terjadi pada berbagai tempat: sistem pelvikalises, ureter, kandung kemih, atau pintu keluar kandung kemih. Penyebab paling sering adalah batu ureter walaupun berbagai tumor pada saluran kemih atau invasi ekstrinsik pada ureter dari tumor rektrosigmoid atau ginekologis juga merupakan penyebab yang dapat ditemui. Jika tidak diterapi, dapat terjadi atrofi ginjal.
g.
Stenosis arteri renalis Stenosis arteri renalis disebabkan oleh penyempitan arteri renalis yang menyebabkan penurunan tekanan perfusi, hipertensi, dan penurunan ukuran ginjal. Stenosis arteri renalis biasanya disebabkan oleh aterosklerosis dan dapat bersifat unilateral atau bilateral.
h.
Karsinoma ginjal Karsinoma ginjal berasal dari epitel tubular ginjal, suatu adenokarsinoma (hipernefroma) dan hampir 10% bilateral. Tumor wilms (nefroblastoma) merupakan satu dari keganasan yang banyak terjadi pada anak-anak dan tumor ini juga dapat bilateral pada hampir commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
10% kasus. Karsinoma sel transisional berasal dari epitel yang membatasi sistem pelvikalises. Infiltrasi keganasan sekunder pada ginjal dapat kadang-kadang berasal dari limfoma atau leukemia. i.
Ginjal berukuran kecil unilateral Ginjal normal memiliki panjang 9-14 cm, ginjal kiri biasanya lebih besar dibandingkan yang kanan. Namun demikian, perbedaan ukuran > 1,5 cm memiliki signifikansi. Penyebabnya antara lain : 1) pielonefritis kronis, 2) iskemia, 3) atrofi pascaobstruksi, 4) hipoplasia kongenital, 5) infark ginjal.
j.
Nefrokalsinosis Nefrokalsinosis menunjukkan adanya deposisi kalsium pada parenkim ginjal, baik pada korteks maupun medula. Kalsifikasi biasanya merata dan dapat disebabkan oleh : a. Hiperkalsemia atau hiperkalkuria Hiperparatiroidisme, biasanya primer; asidosis tubular ginjal; sarkoidosis; myeloma multipel. b. Abnormalitas struktur ginjal Ginjal yang berspons di bagian medula-tubulus yang secara kongenital melebar disertai penumpukkan kalsium; nekrosis papiler.
k.
Batu ginjal Mayoritas batu ginjal merupakan oksalat murni, kalsium oksalat dengan fosfat, asam urat, atau sistin. Sebuah film polos abdomen commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara umum akan memperlihatkan batu sebagai gambaran radioopak, kecuali batu asam urat yang memberikan gambaran radiolusen. Sebagian besar batu terbentuk di kaliks dan dapat terlihat pada urografi intravena sebagai defek pengisian pada jalur kontra (Patel, 2007). 5. Hubungan gagal ginjal kronik dan tebal parenkim ginjal Pada gagal ginjal kronik, pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors.
Peningkatan hiperfiltrasi
sebagian besar dicapai melalui dilatasi arteriol aferen. Pada saat yang bersamaan arteriol eferen berkontraksi karena pelepasan angiotensin II lokal. Sebagai akibatnya, aliran plasma ginjal (PRF) dan Pgc meningkat, karena sebagian besar tekanan sistemik dipindahkan ke glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif (Suwitra, 2007). Kompensasi fungsional ini berkaitan dengan perubahan struktural yang bermakna.
Volume
rumbai
glomerulus
meningkat
tanpa
diiringi
peningkatan jumlah epitel visera, dan mengakibatkan penurunan densitas dalam rumbai glomerulus yang membesar. Diyakini bahwa kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi merupakan perubahan signifikan yang menyebabkan cedera sekunder dari rumbai glomerulus dan merusak nefron dengan progresif. Penurunan densitas epitel visera menyebabkan penyatuan commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pedikulus dan hilangnya sawar selektif
terukur sehingga akan
meningkatkan protein yang hilang dalam urin. Peningkatan permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga membantu akumulasi dari protein besar (misalnya, fibrin, imunoglobulin M [IgM], komplemen) dalam ruang subendotelial. Akumulasi subendotelial ini menumpuk bersama proliferasi matriks mesangial yang pada akhirnya menyebabkan penyempitan lumen kapiler akibat tertekan. Akibat keseluruhan adalah kolapsnya kapiler glomerulus dan glomerulosklerosis, yang ditunjukkan dengan proteinuria dan gagal ginjal progresif. Selain itu, rangkaian ini menyebabkan timbal balik positif dari lengkung henle dengan percepatan proses yang destrukif, sehingga makin sedikit sisa nefron yang utuh (Wilson, 2006). Pemeriksaan ultrasonografi pada penyakit ginjal kronik maupun akut, terlihat gambaran korteks yang hiperekoik dibandingkan dengan korteks normal dan sonodensitasnya hampir sama dengan sinus renalis. Pada stadium awal, biasanya ukuran ginjal masih normal, umumnya bilateral. Selanjutnya, pada gagal ginjal yang lanjut, ukuran ginjal mengecil dengan batas yang irreguler akibat proses fibrosis (contracted). Piramis ginjal pada stadium awal juga umumnya masih baik dalam keadaan normal. Namun, pada fase lanjut akan sangat mengecil, bahkan menghilang. Perubahan sinus renalis yang terjadi pada penyakit ginjal ditandai dengan berkurangnya bahkan menghilangnya sistem collecting (Iljas, 2005).
commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran Gagal Ginjal Kronik Berkurangnya jumlah nefron
Hiperfiltrasi dan hipertrofi struktural
Hiperplasia endotel dan mesangial
Volume glomerulus
Angiotensin II
Hipertensi intraglomerular
Pgc Densitas sel epitel
RPF
Permeabilitas
Sklerosis nefron
Akumulasi protein besar subendotelial Penyempitan lumen kapiler
Nefropati
Korteks Menipis
Kolaps kapiler segmen
Mikroangiopati Medula menipis
ket:
Tebal parenkim ginjal berubah
menyebabkan
C. Hipotesis Ada hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal pada commit to user pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal.
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi. C. Subjek Penelitian 1. Populasi Pasien yang melakukan pemeriksaan USG abdomen. 2. Sampel Pasien yang melakukan pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal pada pasien dengan usia 16-74 tahun yang bersedia berpartisipasi pada penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian bivariat yang melibatkan sebuah variabel dependen dan sebuah variabel independen. Sehingga, pada penelitian ini, digunakan sampel menurut patokan umum, yang disebut “rule of thumb”. Menurut teori ini, setiap penelitian yang datanya akan dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat membutuhkan sampel minimal 30 subjek penelitian (Murti, 2010b). commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Teknik Sampling Sampel yang diambil sebagai subjek penelitian adalah pasien rujukan dari Poliklinik Rawat Jalan dan Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi. Sampel dipilih dengan cara sampel non-random, yakni fixed-exposure sampling. Teknik sampling fixed-exposure sampling merupakan teknik pencuplikan sampel yang dimulai dengan memilih sampel berdasarkan status paparan subjek, yaitu terpapar atau tak terpapar oleh faktor exposure. Dalam studi epidemiologi, yang dimaksud exposure adalah variabel bebas dalam suatu penelitian (Murti, 2010a). E. Rancangan Penelitian Pasien yang melakukan pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal
GGK
NON GGK
Pengukuran tebal
Pengukuran tebal
parenkim
parenkim
Analisis Gambar 3.1. Rancangan Penelitian.
F. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas : gagal ginjal kronik 2. Variabel Terikat : tebal parenkim ginjal commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
G. Definisi Operasional Variabel 1. Gagal ginjal kronik Diagnosis pasien gagal ginjal kronik diketahui melalui status pasien, yang kemudian diklarifikasi lagi dengan melihat laju filtrasi glomerulus, yakni <15/ml/menit/1,73m2. Skala pengukuran berupa skala nominal, dimana sampel dikelompokkan menjadi dua, yakni gagal ginjal kronik dan non gagal ginjal kronik. 2. Tebal parenkim ginjal Tebal parenkim ginjal pada pasien diukur dari dasar piramida ginjal sampai permukaan ginjal yang dilihat dari hasil foto USG pasien. Nilai normal tebal parenkim ginjal adalah 14-18 mm. Skala pengukuran berupa skala rasio. Hasil pengukuran tebal parenkim ginjal kemudian dianalisis bivariat dengan uji t independen. Untuk data deskripsi, tebal parenkim ginjal sampel juga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu menipis, normal, serta menebal. Dikatakan menipis jika hasil pengukuran yang didapat lebih pendek dari 14-18 mm, dan dikatakan menebal jika hasil pengukuran lebih dari 14-18 mm. H. Instrumen Penelitian 1.
Data hasil foto USG abdomen fokus pada Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi untuk mengetahui tebal parenkim ginjal.
2.
Data dari status pasien pada Instalasi Penyakit Dalam untuk mengetahui diagnosis gagal ginjal kronik. commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I. Alat dan Cara Kerja Pengukuran dilakukan pada 15 orang pasien gagal ginjal kronik dan 15 orang pasien non gagal ginjal kronik. Dari status pasien, didapatkan diagnosis pasien gagal ginjal kronik. Pasien yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronik yang melakukan pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal. Selanjutnya, dari foto USG abdomen fokus ginjal pasien, dilakukan penghitungan tebal parenkim ginjal di tiga tempat kemudian dibuat reratanya. Pada penelitian ini, digunakan fasilitas pengukuran (measure) pada mesin USG untuk mengukur tebal parenkim ginjal. J. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan program Statistical Products and Service Solution (SPSS) for Windows Release 17.0 (Morgan et.al., 2001) dan p < 0,005 dipilih sebagai nilai signifikansinya. Penelitian ini termasuk penelitian parametrik karena variabel bebas termasuk skala nominal dan variabel terikat termasuk skala rasio. Oleh karena itu, dilakukan tes normalitas data sebelum melakukan analisis bivariat. Pada peneltian ini, dipilih analisis bivariat dengan uji t independen. Untuk mengontrol faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tebal parenkim ginjal selain gagal ginjal kronik, yaitu faktor perancu, maka dilakukan juga model analisis regresi linier ganda.
commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian Penelitian tentang hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal pada pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal telah dilakukan di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada periode April hingga Mei 2012. Sampel dipilih dengan cara sampel nonrandom, yakni fixed-exposure sampling. Sampel yang peneliti dapatkan tersebut berasal dari pasien yang melakukan pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok pasien dengan diagnosis Gagal Ginjal Kronik (GGK) dan pasien non Gagal Ginjal Kronik (non GGK). Sampel untuk pasien dengan diagnosis gagal ginjal kronik diketahui dari catatan permintaan USG abdomen atau rekam medik pasien. Sedangkan
gambaran
tebal
parenkim
ginjal
didapatkan
melalui
pengukuran tebal parenkim ginjal dengan USG abdomen fokus ginjal pasien. Pengukuran tebal parenkim ginjal dilakukan oleh dokter ahli commit to userdilakukan untuk USG abdomen radiologi. Pengukuran yang biasanya
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
fokus ginjal adalah panjang dan lebar ginjal. Namun, pada penelitian ini dilakukan pengukuran khusus untuk mengukur tebal parenkim ginjal pasien atas permintaan peneliti. Hasil pengukuran yang didapat kemudian dibandingkan beda reratanya dengan analisis bivariat uji t independen. Selain itu, untuk deskripsi data, hasil pengukuran juga dibandingkan dengan nilai rujukan normal tebal parenkim ginjal yakni 14-18 mm (Tuma, et.al., 2011). Selanjutnya, tebal parenkim ginjal pasien dikelompokkan berdasarkan ukuran tebal parenkim ginjalnya, yakni menipis, normal, dan menebal. Tabel 4.1. Distribusi Subjek Penelitian Menurut Jenis Kelamin, Usia, dan Berat Badan. Karakteristik GGK NON GGK p Jenis Kelamin
0,001
Laki-laki
13
4
Perempuan
2
11
Usia (Rata-rata ± SD) Berat Badan (Rata-rata ± SD)
51,6 ± 11,15 tahun 66,33 ± 7,61 kg
56,6 ± 10,15 tahun 0,653 54,13 ± 7,34 kg
0,223
(Sumber : Data Primer dan Data Sekunder April-Mei 2012).
Berdasarkan data pada Tabel 4.1, dapat diketahui tentang data demografi sampel penelitian yang dalam penelitian kali ini dicantumkan jenis kelamin, usia dan berat badan. Terlihat perbedaan sebaran jenis kelamin pada dua kelompok dimana p = 0,001 (p < 0,05). Sedangkan, untuk usia dan berat badan tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara kelompok GGK dan non GGK dengan p = 0,653 (p > 0,05) untuk usia dan p = 0,223 (p > 0,05) untuk berat badan. commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Menurut Kadar Ureum Plasma, Kreatinin Plasma, dan Laju Filtrasi Glomerulus. GGK NON GGK Rata-rata
SD
Rata-rata
SD
182,33
76,91
36,87
18,07
Kreatinin Plasma (mg/dl)
11,5
4,94
1,07
0,62
LFG (ml/menit/1,73m2)
8,07
3,15
63,31
29,23
Ureum Plasma (mg/dl)
(Sumber : Data Primer dan Data Sekunder April-Mei 2012). Tabel 4.2 menyajikan data rerata parameter laboratorium yang biasa digunakan pada pemeriksaan fungsi ginjal. Dapat dijelaskan bahwa kadar ureum plasma, kreatinin plasma, dan laju filtrasi glomerulus untuk kelompok non gagal ginjal kronik berada dalam batasan normal, sedangkan untuk kelompok gagal ginjal kronik terdapat kenaikan kadar ureum plasma dan kreatinin plasma, serta penurunan laju filtrasi glomerulus. Tabel 4.3. Data Pengelompokkan Tebal Parenkim Ginjal. Rerata Tebal Parenkim Ginjal Kelompok
Menipis
Normal
Menebal
(<14mm)
(14-18mm)
(>18mm)
GGK
15 (100%)
0
0
NON GGK
4 (26,67%)
9 (60%)
2 (13,33%)
Nilai rujukan tebal parenkim ginjal 14-18 mm (Tuma, et.al., 2011). (Sumber : Data Primer April 2012). Berdasarkan data pada Tabel 4.3, dapat dijelaskan bahwa pada 15 sampel pasien gagal ginjal kronik semua sampel menunjukkan penipisan tebal parenkim ginjal. Sedangkan, untuk kelompok non gagal ginjal kronik penipisan parenkim ginjal hanya terjadi di 4 pasien. Penipisan parenkim commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ginjal ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok seperti yang dilakukan oleh Akçetin, et.al. (2005) pada penelitiannya tentang parenkim ginjal. Pengelompokkan didasarkan atas besar penipisan yang terjadi dibandingkan dengan tebal parenkim normal. Pengelompokkan penipisan tebal parenkim yang terjadi tersaji pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Distribusi Derajat Penipisan Tebal Parenkim Ginjal pada Kelompok GGK dan NON GGK Total Tebal Parenkim GGK NON GGK ≤ 2,00 mm
2 (33,33%)
4 (66,67%)
> 2, 00 - ≤ 5,00 mm
1 (100%)
0
> 5,00 mm
12 (100%)
0
(Sumber : Data Primer April-Mei 2012). Berdasarkan pada Tabel 4.4, dapat digambarkan bahwa tebal parenkim ginjal pada kelompok non gagal ginjal kronik, 4 pasien yang mengalami penipisan parenkim ginjal, besarnya penipisan yang terjadi dibandingkan dengan tebal parenkim ginjal normal adalah ≤ 2,00 mm. Namun, untuk kelompok gagal ginjal kronik, sebanyak 13 pasien atau 86,67% dari seluruh pasien pada kelompok ini terjadi penipisan yang lebih besar, yakni mengalami penipisan sebesar > 2,00 - > 5,00 mm dibandingkan dengan tebal parenkim ginjal normal. B. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan program Statistical Products and Service Solution (SPSS) for Windows Release 17.0 (Morgan et.al., 2001). Penelitian ini termasuk penelitian commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
parametrik karena variabel bebas termasuk skala nominal dan variabel terikat termasuk skala rasio. Oleh karena itu, dilakukan tes normalitas data sebelum melakukan analisis bivariat. Pada peneltian ini, dipilih analisis bivariat dengan uji t independen. Untuk mengontrol faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tebal parenkim ginjal selain gagal ginjal kronik, yaitu faktor perancu, maka dilakukan juga model analisis regresi linier ganda. 1.
Uji Normalitas Data Pada penelitian ini dilakukan uji normalitas data karena penelitian ini termasuk penelitian parametrik. Dari hasil uji normalitas data didapatkan nilai p > 0,05 baik dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov maupun Saphiro-Wilk untuk kelompok non gagal ginjal kronik dan kelompok gagal ginjal kronik (lihat lampiran 2). Nilai p > 0,05 memiliki arti bahwa data pada penelitian ini terdistribusi normal pada kedua kelompok sampel.
2.
Analisis bivariat dengan uji t independen. Karena data pada penelitian ini terdistribusi normal, maka dapat dilakukan analisis bivariat dengan uji t independen (lihat lampiran 3).
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 4.1. Boxplot tentang Beda Rata-Rata Tebal Parenkim Ginjal Antara Kelompok GGK dan NON GGK
Tabel 4.5. Hasil analisis bivariat dengan uji t independen tentang Beda Rata-Rata Tebal Parenkim Ginjal Antara Kelompok GGK dan NON GGK Kelompok
N
Rata-rata (mm)
SD
t
p
GGK
15
7,92
2,57
9,45
<0,001
NON GGK
15
15,64
1,85
Gambar 4.1 dan Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pada kelompok non gagal ginjal kronik didapatkan rerata tebal parenkim ginjal adalah 15,64±1,85 mm. Sedangkan, pada kelompok gagal ginjal kronik didapatkan rata-rata tebal parenkim ginjalnya lebih kecil yakni 7,92±2,57 mm. Dari hasil uji t independen tersebut didapatkan nilai signifikansi p < 0,001 sehingga terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal. commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Model analisis regresi linier ganda Untuk mengontrol faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tebal parenkim ginjal selain gagal ginjal kronik, yaitu faktor perancu, maka dilakukan model analisis regresi linier ganda (lihat lampiran 4). Pada penelitian ini faktor perancu yang dikontrol adalah usia.
Tabel 4.6. Hasil Analisis Regresi Linier Ganda tentang Hubungan Antara Gagal Ginjal Kronik dan Usia dengan Tebal Parenkim Ginjal. Variabel
Koefisien Regresi b (mm)
CI (95%) Batas Bawah
Batas Atas
(mm)
(mm)
p
Konstanta
16,78
15,23
18,34
<0,001
Gagal ginjal kronik
-7,95
-9,54
-6,36
<0,001
Umur ≥54 tahun
-1,72
-3,35
-0,09
0,039
N observasi
30
Adjusted R2
78,1%
P
<0,001
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal. Pasien kelompok gagal ginjal kronik rata-rata memiliki tebal parenkim ginjal 7,95 mm lebih tipis dibandingkan dengan kelompok non gagal ginjal kronik (b = -7,95 mm; CI = 95% -9,54 mm s.d -6,36 mm; p < 0,001). Nilai adjusted R2=78,1% mengandung arti variabel bebas di commit to user dalam model regresi linier ganda tersebut, yakni gagal ginjal
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kronik dan usia, mampu menjelaskan 78,1% variasi dari tebal parenkim ginjal. Nilai CI = 95% -9,54 mm hingga -6,36 mm mengandung
arti,
dengan
tingkat
keyakinan
95%
dapat
disimpulkan pasien gagal ginjal kronik memiliki tebal parenkim ginjal lebih tipis sebesar 9,54 mm hingga 6,36 mm dibandingkan pasien non gagal ginjal kronik.
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal. Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible sehingga menyebabkan keadaan penumpukkan sisa metabolisme yang disebut
uremia
(Suharyanto,
2009).
Gagal
ginjal
kronik
akan
menyebabkan gangguan pada struktur ginjal di dalamnya, seperti glomerulosklerosis, kolapsnya kapiler glomerulus dan sklerosis nefron. Proses patologis tersebut pada akhirnya akan berdampak pada parenkim ginjal (Wilson, 2006). Pada pasien gagal ginjal kronik pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal dipilih untuk menilai keadaan ginjal karena merupakan pemeriksaan yang relatif murah, mudah dilakukan, dapat menilai bentuk dan ukuran ginjal serta tidak invasif (Effendi dan Markum, 2007). Dengan alasan tersebut, USG abdomen fokus ginjal dipilih dibandingkan dengan pielografi intravena yang jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan (Suwitra, 2007). Oleh karena itu, pada penelitian ini, sampel yang sudah dibagi menjadi dua kelompok yakni pasien gagal ginjal kronik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
dan non gagal ginjal kronik dilakukan pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal untuk mengukur tebal parenkim ginjalnya. Tabel 4.1 menunjukkan distribusi sampel berdasar jenis kelamin, usia, dan berat badan. Untuk jenis kelamin, didapatkan sampel pasien pada kelompok gagal ginjal kronik didominasi oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhang dan Rothenbacher (2008) dimana dikatakan prevalensi gagal ginjal kronik paling banyak terjadi pada perempuan. Kenyataan ini mungkin terjadi karena jumlah sampel yang diambil untuk penelitian ini kurang banyak serta waktu penelitian yang singkat untuk menentukan prevalensi gagal ginjal kronik. Sebaliknya, untuk usia didapatkan pada kelompok gagal ginjal kronik distribusi usianya adalah 51,6±11,15 tahun, dimana hasil ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Zhang dan Rothenbacher (2008) bahwa gagal ginjal kronik prevalensinya meningkat pada usia di atas 45 tahun. Tabel 4.2 menyajikan data rerata parameter laboratorium yang biasa digunakan pada pemeriksaan fungsi ginjal pasien. Pada kelompok non gagal ginjal kronik kadar ureum dan kreatinin pasien dalam batas normal yakni untuk kadar kreatinin berada dalam rentang 0,9-1,3 mg/dl mg/dl untuk laki-laki dan 0,6-1,1 mg/dl untuk perempuan serta kadar ureum ureum <50 mg/dl untuk dewasa ≤65 tahun dan kadar ureum <71 mg/dl dewasa ≥65 tahun (Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Moewardi, 2012). Namun, jika dilihat data keseluruhan sampel pasien non gagal ginjal kronik (lihat lampiran 1), didapatkan satu pasien dengan kadar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
ureum di atas normal yakni Hr, Tn. Hal ini bisa disebabkan karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi kadar ureum plasma, seperti status hidrasi tubuh dan diet protein pasien (Efendi dan Markum, 2007). Sehingga, kadar ureum di atas normal pada pasien ini belum tentu menandakan ada gangguan pada tubuh pasien tersebut. Selain itu, terdapat dua pasien dengan kadar kreatinin di atas normal (lihat lampiran 1) yakni Sn, Tn dan Hr, Tn. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kadar kreatinin plasma adalah penggunaan obat-obat tertentu seperti trimetoprim dan cimetidin, massa otot, dan asupan diet protein pasien. Eliminasi ekstra renal kreatinin plasma juga bisa terjadi melalui aktivitas bakteri usus (Stevens, et, al., 2006). Pada penelitian ini, pengukuran nilai laju filtrasi glomerulus dilakukan dengan menggunakan rumus Kockroft-Gault. Nilai normal laju filtrasi glomerulus normal adalah >90 ml/menit/1.73m2 (Parazella, 2005). Keseluruhan pasien sampel kelompok non gagal ginjal kronik tidak memenuhi kriteria diagnosis gagal ginjal kronik yakni nilai laju filtrasi glomerulus <15 ml/mn/1.73m2 (Parazella, 2005). Namun, terdapat 12 pasien dengan nilai laju filtrasi ginjal di bawah normal. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriyadi, et. al. (2008), hal ini mungkin disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi hasil nilai laju filtrasi glomerulus, seperti usia dan Mean Artery Pressure (MAP). Pada kelompok gagal ginjal kronik (lihat lampiran 2) dapat dijelaskan bahwa seluruh pasien di kelompok ini mengalami kenaikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
kadar ureum dan kreatinin serta penurunan laju filtrasi glomerulus hingga memenuhi kriteria untuk diagnosis gagal ginjal kronik. Menurut Wilson (2006b), proses patologis yang terjadi pada gagal ginjal kronik menyebabkan kolapsnya kapiler glomerulus dan glomerulosklerosis. Hal ini kemudian akan berakhir pada penurunan fungsi nefron. Sehingga, nilai ureum plasma dan kreatinin plasma meningkat serta terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus (Suwitra, 2007). Hasil pengelompokkan rerata tebal parenkim ginjal dapat dilihat pada tabel 4.3. Pada kelompok non gagal ginjal kronik, dari 15 sampel pasien didapatkan 9 pasien mempunyai tebal parenkim normal, 4 pasien dengan penipisan korteks dan 2 pasien dengan penebalan tebal parenkim. Perbedaan ukuran ini didapat dengan mengukur rerata tebal parenkim ginjal dengan menggunakan fasilitas pengukuran (measure) pada mesin USG untuk mengukur tebal parenkim ginjal dan membandingkannya dengan ukuran normal yaitu 14-18 mm (Tuma, et.al., 2011). Variasi hasil tebal parenkim yang didapat pada penelitian ini mungkin disebabkan karena ada beberapa faktor-faktor yang berpengaruh pada tebal parenkim ginjal antara lain indeks massa tubuh, tinggi badan, usia dan jenis kelamin laki-laki. Sampai dekade kelima kehidupan, tebal parenkim relatif sama dan mulai mengalami penipisan setelah dekade kelima kehidupan (Surcel, et.al., 2011). Hal ini sesuai dengan data hasil penelitian dimana pasien yang mengalami penipisan parenkim yakni Ny. Sd, Ny. Sy, Tn. Hr, Tn. Dr yang kesemuanya berumur di atas 50 tahun. Selain itu, juga terdapat 2 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
pasien yang mengalami penebalan korteks yakni Ny. Tr dan Ny Sr. Hasil ini mungkin bisa dihubungkan dengan tinggi badan dan indeks massa tubuh pasien. Menurut Surcel et. al. (2011), semakin tinggi dan semakin besar indeks massa tubuh pasien maka tebal parenkim ginjal pasien pun akan semakin besar. Namun, peneliti tidak melakukan pengukuran terhadap tinggi badan pasien sehingga hal ini pun tidak bisa dibuktikan. Penelitian yang dilakukan pada 15 pasien sampel gagal ginjal kronik juga tersaji pada tabel 4.3. Untuk pengukuran rerata tebal parenkim ginjal, didapatkan seluruh pasien mengalami penipisan parenkim ginjal. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Tuma et. al. (2011) dan Suwitra (2007), dimana jika terdapat proses penyakit kronis di ginjal dalam hal ini adalah gagal ginjal kronik, maka akan terjadi perubahan pada keadaan ginjal itu sendiri, yakni penipisan parenkim ginjal dan pengecilan ukuran ginjal. Tabel 4.4 menyajikan data distribusi pengelompokkan tebal parenkim ginjal subjek yang mengalami penipisan parenkim ginjal. Pengelompokkan didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Akçetin, et. al. (2005) yang mengamati efek besar perubahan tebal parenkim yang terjadi dibandingkan tebal parenkim ginjal normal pada karsinoma sel renal setelah pembedahan. Penelitian oleh Akçetin, et. al. (2005) digunakan untuk pengelompokkan besar penipisan parenkim yang terjadi pada penelitian ini karena tidak ada pengelompokkan tebal parenkim ginjal commit to user dan menipis dari segi radiologi. yang lebih detail di luar menebal, normal,
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
Dapat dijelaskan bahwa pada kelompok non gagal ginjal kronik, sampel yang mengalami penipisan parenkim ginjal, jarak tebal parenkim ginjalnya dari tebal parenkim ginjal normal adalah ≤ 2,00 mm. Sementara, seluruh sampel pada kelompok gagal ginjal kronik yang mengalami penipisan tebal parenkim ginjal, jarak tebal parenkim ginjal kelompok ini dari tebal parenkim ginjal normal bervariasi dari ≤2,00 - >5,00 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok gagal ginjal kronik terjadi penipisan tebal parenkim ginjal yang lebih besar terlihat dari sebaran tebal parenkim ginjal sampel pada kelompok ini. Menurut Ponikvar dan Perovicˇ (2003), pada gagal ginjal kronik akan terjadi penurunan ukuran ginjal, atrofi parenkim, sklerosis dan fibrosis. Proses tersebut terjadi kronik dan progresif yang menyebabkan parenkim ginjal mengalami penipisan yang berarti. Sedangkan, penipisan parenkim ginjal pada kelompok non gagal ginjal kronik mungkin disebabkan karena beberapa faktor-faktor yang berpengaruh pada tebal parenkim ginjal antara lain indeks massa tubuh, tinggi badan, usia dan jenis kelamin laki-laki. Hasil analisis data menggunakan hasil uji t independen tentang beda rerata tebal parenkim ginjal menurut kelompok gagal ginjal kronik disajikan pada Gambar 4.1 dan tabel 4.5. Dari hasil uji t independen, didapatkan tingkat signifikansi p < 0,001. Karena nilai p < 0.05, maka penelitian ini signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal pada pemeriksaan USG fokus abdomen. Sejalan dengan penelitian ini, Ponikvar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
dan Perovicˇ (2003) mengungkapkan bahwa pada gagal ginjal kronik terjadi akan terjadi penurunan ukuran ginjal, atrofi parenkim, sklerosis dan fibrosis. Tabel 4.6 menyajikan data hasil analisis regresi linier ganda tentang hubungan antara gagal ginjal kronik dan usia dengan tebal parenkim ginjal. Uji analisis regresi linier ganda dilakukan untuk menilai faktor lain yang berpengaruh terhadap tebal parenkim ginjal selain gagal ginjal kronik. Hasil uji analisis regresi linier ganda didapatkan nilai adjusted R2 = 78,1% yang mengandung arti bahwa variabel bebas di dalam model regresi linier ganda tersebut, yakni gagal ginjal kronik dan usia, mampu menjelaskan 78,1% variasi dari tebal parenkim ginjal. Seperti yang dikatakan oleh Gourtsoyiannis et.al. (1990) pada penelitiannya tentang ketebalan parenkim ginjal yang berkurang seiring dengan bertambahnya usia, ketebalan parenkim ginjal berkurang sebanyak 10% per dekade sesuai bertambahnya usia. Hal lain juga disebutkan bahwa glomerulus mengalami 30% hialinisasi seiring bertambahnya usia, aliran darah ginjal berkurang sebanyak 50% mulai dekade keempat hingga dekade kesembilan kehidupan, serta laju filtrasi glomerulus berkurang 30-50% pada dekade kedelapan dibandingkan dekade ketiga kehidupan. Secara umum, ginjal merupakan suatu organ yang kompleks di mana bagian-bagian di dalamnya semua berperan penting dalam mengatur fungsi fisiologis (Sherwood, 2007). Sehingga, jika terdapat gangguan yang menyebabkan gangguan pada struktur organ di dalamnya akan commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berpengaruh juga pada fisiologis tubuh. Hal ini yang membuat pasien gagal ginjal kronik harus menjalani hemodialisa untuk tetap menjaga fungsi tubuhnya (Suwitra, 2007). Proses patologis pada gagal ginjal kronik menyebabkan sklerosis nefron, kolapsnya kapiler glomerulus, serta glomerulosklerosis (Wilson, 2006). Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan perubahan morfologi ginjal sendiri seperti pengecilan ginjal, penipisan korteks, serta penipisan parenkim ginjal. Meskipun secara keseluruhan tebal parenkim ginjal dipengaruhi oleh tinggi, indeks massa tubuh, usia, dan jenis kelamin lakilaki (Tuma et. al., 2011).
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara gagal ginjal kronik dengan tebal parenkim ginjal pada pemeriksaan USG abdomen fokus ginjal, di mana dengan tingkat keyakinan 95% pasien gagal ginjal kronik rata-rata memiliki tebal parenkim ginjal 7,95 mm lebih tipis dibandingkan dengan pasien non gagal ginjal kronik.
B. Saran Sebagai kelanjutan penelitian ini, dapat dilakukan penelitian yang meneliti hubungan derajat fungsi ginjal dengan tebal parenkim ginjal.
commit to user