Volume 6, Nomor 1, April 2017
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 343.10 Budi Suhariyanto Kedudukan Perdamaian Sebagai Penghapus Pemidanaan Guna Mewujudkan Keadilan dalam Pembaruan Hukum Pidana Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 1 – 19 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berlaku saat ini merupakan warisan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Wetboek van Srafrecht). Filsafat pemidanaan yang dianutnya kurang selaras dengan prinsip hidup masyarakat, dimana perdamaian tidak dapat dijadikan dasar untuk melepaskan terdakwa dari pemidanaan. Pada praktiknya, hakim melakukan terobosan hukum dengan memutuskan pelepasan tuntutan pemidanaan bagi perkara yang telah diadakan perdamaian. Tulisan ini bermaksud meneliti tentang kedudukan perdamaian dalam sistem pemidanaan yang dianut oleh hukum positif dan mengkaji putusan pengadilan yang melepaskan tuntutan pemidanaan berdasarkan perdamaian demi mewujudkan keadilan serta urgensi kedudukan perdamaian sebagai penghapus pemidanaan guna mewujudkan keadilan dalam pembaruan hukum pidana. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, diperoleh kesimpulan bahwa secara normatif, perdamaian antara Pelaku dan Korban tidak dapat menjadi alasan pelepasan tuntutan pemidanaan. Akan tetapi dalam praktiknya terdapat putusan pengadilan yang menjadikan bukti perdamaian sebagai alasan melepaskan tuntutan pemidanaan dan selanjutnya dijadikan sebagai yurisprudensi oleh Mahkamah Agung. Yurisprudensi ini perlu dijadikan rujukan untuk melakukan pengembalian filosofi pemidanaan nasional sesuai dengan nilai Pancasila yang mendasarkan perdamaian sebagai salah satu alasan penghapusan pemidanaan dalam Rancangan KUHP. Kata Kunci: pemidanaan, perdamaian, hukum pidana
UDC: 348.975.8 Moh Khasan Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum dalam Asas Legalitas Hukum Pidana Islam Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 21 - 36 Asas legalitas memiliki kedudukan yang sangat fundamental dan menjadi asas penting dalam hukum pidana. Asas Legalitas yang berlaku saat ini memiliki keterbatasan dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan hukum sehingga memunculkan beberapa kritik dan wacana pembaharuan dari para ahli hukum. Salah satu wacana yang hendak dikaji adalah penggunaan Asas Legalitas Hukum Pidana Islam sebagai bahan untuk melakukan rekonstruksi substansi hukum yang ada saat ini. Melalui metode yuridis normatif akan digali secara komprehensip prinsip-prinsip keadilan hukum yang terkandung dalam Asas Legalitas Hukum Pidana Islam dan kemungkinan penerapannya dalam hukum pidana di Indonesia. Temuan penelitian ini adalah bahwa secara normatif, Asas Legalitas Hukum Pidana Islam memiliki kedekatan dengan norma-norma agama karena bersumber dari Nas. Oleh karenanya, asas-asas legalitas yang dirumuskan sangat kental makna teologis dan spiritualitas. Asas Legalitas Hukum Pidana Islam memiliki karakteristik fleksibilitas dalam penerapan Asas-Asas Legalitasnya karena dukungan klasifikasi tindak pidana yang efisien. Asas legalitas Hukum Pidana Islam memiliki kontribusi signifikan dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia yaitu kontribusi yang bersifat ideologis, berupa hukum pidana dengan filosofi Ketuhanan Yang Maha Esa, dan kontribusi yang bersifat yuridis, berupa karakter hukum pidana yang sederhana, efisien, responsif, progresif dan seimbang. Kata Kunci: asas legalitas, hukum pidana Islam, sistem hukum, keadilan
Volume 6, Nomor 1, April 2017
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 347.997 Yuliyanto Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik Untuk Mewujudkan Keadilan dan Kedamaian Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 37 – 52 Dua fenomena politik dan sosial utama yang muncul pada masa setelah Orde Baru adalah konflik, dan kembalinya identitas adat (revitalisasi adat) di daerah-daerah. Tidak hanya sekedar menjadi jargon belaka, namun di beberapa tempat, upaya revitalisasi kelembagaan adat termasuk peran sosialnya didukung oleh berbagai pihak. Dalam konteks setelah Orde Baru, dengan fasilitasi otonomi daerah dan berlakunya desentralisasi, maka keinginan untuk memberlakukan kembali kearifan tradisional atau kerap disebut dengan ’’mekanisme adat’’ untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian mulai berkembang. Berawal dari pemahaman tersebut maka diperlukan sebuah penelitian yang mampu membahas suatu permasalahan: makna dan cakupan pranata adat di Kalimantan Tengah; bagaimana posisi, peran dan pengaruh pranata adat terutama dalam pencegahan dan penghentian konflik di masyarakat; bagaimana relevansi pranata adat dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara. Hasil dari penelitian ini memberikan rekomendasi kepada Pemerintah daerah harus melibatkan pranata adat dan tokoh adat setempat dalam penanganan konflik sosial yang terjadi di daerahnya; untuk Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial yang di dalamnya memuat secara komprehensif pelibatan pranata adat dan tokoh adat dalam penanganan konflik sosial. Kata Kunci: hukum adat, masyarakat Dayak, konflik sosial
UDC: 347.627.3 Oly Viana Agustine Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 53 – 67 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberikan politik hukum baru, di mana perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan (prenuptial agreement), sekarang dapat dibuat oleh suami istri setelah perkawinan berlangsung. Mahkamah Konstitusi memberi tafsir konstitusional di mana pembuatan perjanjian perkawinan bisa disesuaikan dengan kebutuhan hukum masingmasing pasangan. Sebelum adanya putusan MK, WNI yang menikah dengan WNA tidak bisa memiliki rumah berstatus hak milik atau hak guna bangunan karena terbentur aturan perjanjian perkawinan dan harta bersama. Ketentuan norma aquo membuat setiap WNI yang menikah dengan WNA selama tidak ada perjanjian pemisahan harta tidak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan mengumpulkan putusan MK dan menganalisanya dengan teori untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan, yakni mengenai kapan dapat dibuatnya perjanjian perkawinan. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa perluasan kapan dapat dilakukan perjanjian perkawinan dapat meminimalisir adanya konflik dalam perkawinan dan mampu menciptakan keharmonisan terkait dengan hak milik bagi WNI yang menikah dengan WNA. Sehingga WNI yang menikah dengan WNA dan tidak mempunyai perjanjian perkawinan, dapat membuatnya pada saat perkawinan telah dilangsungkan. Kata Kunci: politik hukum, perjanjian perkawinan, putusan Mahkamah Konstitusi
Volume 6, Nomor 1, April 2017
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.12 Ismail Rumadan Peran Lembaga Peradilan Sebagai Institusi Penegak Hukum dalam Menegakkan Keadilan Bagi Terwujudnya Perdamaian Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 69 – 87 Penegakan hukum di Indonesia tidak saling sinergi dalam mewujudkan keadilan. Hal tersebut disebabkan karena posisi dan kedudukan lembaga hukum dimana fungsi penyidikan dan penuntutan berada dibawah kekuasaan eksekutif, sementara fungsi mengadili dan memutus berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, menyebabkan adanya kecenderungan untuk melindungi kepentingan institusinya masing-masing dibanding upaya penegakan hukum demi kepentingan publik. Sehingga yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah apakah peran hakim dalam menjatuhkan putusan demi menegakkan hukum dan keadilan dapat mewujudkan kedamaian bagi masyarakat pencari keadilan. Kajian ini hendak dijawab dengan metode yuridis-filosofis melalui studi kepustakaan yaitu dengan melakukan kajian secara teoritis terhadap teori-teori keadilan dan dikaitkan dengan implementasi penegakan hukum pada institusi peradilan. Hasil kajian menunjukan institusi pengadilan sebagai lembaga yang dijamin indepensinya dalam menegakkan hukum dan keadilan masih dipengaruhi oleh kekuatan dan kekuasaan lain, terutama pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuatan politik, fungsi penegakan hukum oleh pengadilan belum sepenuhnya mandiri, sehingga tugas utama pengadilan untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian ditengah masyarakat masih jauh dari harapan. Oleh karena itu perlu untuk diperkuat institusi pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan untuk menghadirkan suasana dan perasaan damai bagi pencari keadilan. Kata Kunci: peradilan, hukum, keadilan
UDC: 343.123 Raja Mohamad Rozi Revitalisasi Lembaga Pra Penuntutan Guna Menyokong Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 89 – 109 Sejak berlakunya KUHAP terjadi deferensiasi fungsional di dalam sistem peradilan pidana yang berkonsekuensi pada hubungan lembaga kepolisian sebagai pelaksana penyidikan tindak pidana umum dan kejaksaan memiliki tugas di bidang penuntutan. Dari hubungan fungsional tersebut terdapat mekanisme yang dinamakan pra penuntutan melalui media korespondensi. Pentingnya lembaga pra penuntutan tersebut sehingga penting untuk mengkaji apakah terdapat kelemahan pengawasan horizontal jaksa kepada penyidik dan apa argumentasi yuridis eksistensi lembaga pra penuntutan dalam KUHAP, yang kajian tersebut akan dijawab menggunakan metode penelitian normatif dengan analisis deskriptif-kualitatif. Hasil pengkajian menunjukan lemahnya pengawasan fungsional penyidikan dapat berdampak pada hilangnya keadilan dan kepastian hukum. Kemudian terhadap perluasan peran jaksa peneliti perkara dalam lembaga pra penuntutan berdasarkan KUHAP akan mewujudkan kesepahaman antara penyidik dengan jaksa peneliti perkara/ penuntut umum, guna memperkecil risiko gagalnya penuntutan perkara pidana. Atas berbagai temuan tersebut perlu untuk memperkuat lembaga pra penuntutan dalam KUHAP dan perlu perluasan obyek pra penuntutan sampai ke kegiatan penyelidikan, serta perlunya sanksi terhadap penyimpangan mekanisme pra penuntutan bagi aparatur penegak hukum. Kata Kunci: pra penuntutan, perkara, pidana
Volume 6, Nomor 1, April 2017
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 343.57 Fuzi Narindrani Sistem Hukum Pencegahan Peredaran Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang) Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 111 – 123 Peredaran narkotika terutama lembaga pemasyarakatan sudah sangat marak, hal ini merupakan dampak dari hilangnya kontrol sistem hukum yang ada. Kondisi tersebut berdampak pada terbentuknya pandangan negatif masyarakat terhadap pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia terutama di lingkungan institusi pemasyarakatan. Untuk itu diperlukan suatu upaya dan langkah nyata terhadap penanggulangan dan pemberantasan peredaran narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan melalui perubahan sistem hukum. Sehingga permasalahan yang diteliti adalah bagaimana sistem hukum pencegahan peredaran narkotika di lembaga pemasyarakatan yang dapat mewujudkan keadilan untuk kedamaian. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dengan data primer bersumber dari lembaga pemasyarakatan Cipinang, hasil penelitian menunjukan bahwa sistem hukum berupa legal structure, legal substance dan legal culture yang ada sudah sangat mengkhawatirkan, namun terdapat upaya perubahan berupa rehablitasi, terapi metadon, dan penghargaan bagi petugas. Hal terpenting yang perlu dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia segera perlu memperbaiki sistem hukum yang ada di lembaga pemasyarakatan agar tercipta sistem pencegahan peredaran narkotika di lembaga pemasyarakatan dan menurunkan peredaran narkotika di lembaga pemasyarakatan. Kata Kunci: narkotika, peredaran, sistem hukum
UDC: 341.234 Danang Risdianto Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas di Indonesia dalam Mewujudkan Keadilan dan Persamaan di Hadapan Hukum Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 125 – 142 Era reformasi memiliki cita-cita untuk menciptakan demokrasi di seluruh aspek kehidupan, tegaknya kedaulatan hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi, namun ironisnya kebebasan di era reformasi justru memunculkan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Sebagian warga negara Indonesia yang tergolong dalam kelompok minoritas ternyata belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Oleh sebab itu perlu diteliti perlindungan hukum apa saja yang telah diberikan oleh Negara terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif yang dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, hasil pengkajian dan referensi lainnya yang terkait pengaturan terhadap kelompok minoritas dalam mewujudkan hak asasinya untuk memperoleh keadilan dan persamaan di hadapan hukum. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pemerintah saat ini sudah melakukan berbagai upaya untuk melakukan perlindungan hukum terhadap kelompok minoritas. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai regulasi dan kebijakan yang diterbitkan. Perlindungan hukum terhadap hak asasi kelompok minoritas di Indonesia diatur dalam Pasal 28 D dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945, serta tercantum juga di Pasal 3 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sedangkan Pasal 27 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant and Political Rights) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengatur bahwa kelompok minoritas tersebut harus diakui berbagai haknya. Salah satu permasalahan dalam penyelenggaraan hak-hak minoritas di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum dan pembangunan yang berkeadilan serta perlakuan diskriminatif lainnya yang masih sering terjadi kepada mereka. Sudah sepatutnya pemerintah mengedepankan pendekatan berbasis HAM (rights based approach) dalam seluruh proses pembangunan program dan kebijakan yang disusun sesuai dengan upaya perlindungan serta pemenuhan hak-hak kelompok minoritas. Kata Kunci: kelompok minoritas, keadilan, persamaan di hadapan hukum, hak asasi manusia
Volume 6, Nomor 1, April 2017
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.7 Solidaman Bertho Plaituka Penanganan Pelanggaran HAM oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Timur Melalui Pelayanan Komunikasi Masyarakat Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 143 - 158 Saat ini terdapat banyak dugaan pelanggaran HAM di Provinsi Nusa Tenggara Timur baik secara vertikal yang dilakukan oleh Pemerintah maupun secara horizontal yang dilakukan oleh sesama masyarakat. Hal ini ditandai dengan tingginya pengaduan masyarakat yang masuk ke tim Pelayanan Komunikasi Masyarakat pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM NTT. Yankomas merupakan sarana untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat yang dimandatkan oleh Perpres Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2015-2019. Penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris berkaitan dengan pendekatan statute approach dan cases approach. Pada tahun 2016 terdapat 50 (lima puluh) permasalahan yang dikomunikasikan kepada Tim Pelayanan Komunikasi Masyarakat Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM NTT yaitu 25 pengaduan lisan/ konsultasi dan 25 pengaduan secara tertulis. Peran Yankomas dalam menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM ini memuaskan pengadu karena semua pengaduan yang masuk mendapat penyelesaian ataupun penjelasan secara baik. Penyelesaian yang dilakukan dengan mengundang pihak terlapor dan stakeholder terkait lainnya dalam sebuah rapat koordinasi yang didalamnya dicarikan solusi dan jalan keluar terhadap masalah yang diadukan. Pelayanan Komunikasi Masyarakat hendaknya terus dikembangkan mengingat tingginya angka pengaduan masyarakat yang mulai menyadari bahwa terdapat peran negara untuk melakukan perlindungan,pemajuan penegakan Hak Asasi Manusia. Kata Kunci: pelayanan komunikasi masyarakat, pengaduan masyarakat, pelanggaran HAM
Volume 6, Nomor 1, April 2017
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 343.10 Budi Suhariyanto Peace Agreement Position in Dismissing Penalty Imposition to Achieve Justice in Criminal Law Reform Rechtsvinding Journal, Vol. 6 No. 1, April 2017, page 1 – 19 The current Indonesian Penal Code is the heritage of the Netherlands Indies Colonial Government (Wetboek van Strafrecht). The philosophy of the penalty imposition adopted by the code is less harmony with the society life principle, that the peace agreement between the parties can’t be the basis to dismiss the accused from penalty imposition. In the practice, the judge makes law breakthrough by deciding a dismissal of all charges for cases that has been made peace. This paper intends to examine the position of peace agreement in the penalty imposition system that adopted by the positive law and reviews court judgement that dismissed all charges based on peace agreement for the sake of justice and the urgency of the peace agreement to eliminate penalty imposition in order to to achieve justice in criminal law reform. By using the normative legal research method, this paper conclude that normatively, the peace between the defendant and the victim can’t be a reason to dismiss all charges in criminal cases. However in the practice, there are court judgement that take the peace agreement as reason to dismiss all charges and then later is made as jurisprudence by the Supreme Court. This jurisprudence needs to be treated as a reference to restore the national philosophy of penalty imposition that fit the value of Pancasila where peace agreement is seen as a reason to eliminate the penalty imposition in the Indonesian Penal Code Draft. Keywords: penalty imposition, peace agreement, criminal law
UDC: 348.975.8 Moh Khasan Justice Principles In The Principle of Legality of Islamic Criminal Law Rechtsvinding Journal, Vol. 6 No. 1, April 2017, page 21 – 36 The principle of legality has a fundamental position and has become an important principle in criminal law. The current principle of legality has limitations in the struggle for justice which then raises some criticism and ideas of reconstruction. One of the ideas is the use of principle of legality of the Islamic Criminal Law as a component to improve the current legal substance. Through the normative juridical method this study will explore comprehensively the principles of legal justice contained in the principle of legality of the Islamic Criminal Law and the possibility of its application in Indonesia criminal law. The findings of this research are; normatively, the principle of legality of Islamic Criminal Law has a close relationship with the religion norms because it comes from “Nas”. Therefore, the principles of legality that were formulated has very strong theological and spiritual meaning. The principle of legality of Islamic Criminal Law has the flexibility characteristic in its principle of legality appliance because of the efficient classification of criminal acts. The principle of legality of Islamic Criminal Law has a significant contribution in the reconstruction of criminal law in Indonesia that is an ideological contribution, in the form of criminal law with the believe in one supreme God philosophy, and the juridical contribution, in the form of criminal law with, a simple, efficient, responsive, progressive and balanced character. Keywords: principle of legality, Islamic criminal law, system of law, justice
Volume 6, Nomor 1, April 2017
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 347.997 Yuliyanto The role of the Dayak Customary Law in Resolving Conflict to Realize Justice and Peace Rechtsvinding Journal, Vol. 6 No. 1, April 2017, page 37 – 52 Two major political and social phenomena that emerged in the aftermath of the New Order is conflict, and the return of indigenous identity (cultural revitalization) in the regions. Not just be a mere jargon, in some places, efforts to revitalize traditional institutions including social roles supported by various parties. In the context after the New Order, by the facilitation of regional autonomy and decentralization, the desire to reinstate the traditional wisdom often called the ’’ traditional mechanism ’’ to bring about justice and peace began to flourish.From that understanding, there is need to discuss and research on the meaning and scope of traditions in Central Kalimantan; how the position, role and influence of traditions, especially in the prevention and cessation of conflict in society; how the relevance of traditions associated with Law Nomor 7 of 2012. The method used is the juridical sociological research, meaning a study of the real state of society or community environment with the intent and purpose of finding facts which then leads to the identification and ultimately lead to the settlement of the problem. The data collection technique used is the study of documents and field research by conducting interviews. The results of this study provide recommendations to the local government institutions to involve indigenous and local traditional leaders in conflict resolution happens in their areas; The Central Government, in this context, the Directorate-General of Regulation needs to issue Government Regulation Act Nomor 7 of 2012 on Social Conflict Management in which includes a comprehensive engagement of traditions and traditional leaders in handling social conflicts. Keywords: customary law, the Dayak community, social conflict
UDC: 347.627.3 Oly Viana Agustine Legal Policy on Marriage Agreement After Constitutional Court Decision No. 69/PUU-XIII/2015 to Creating Harmony in Marriage Rechtsvinding Journal, Vol. 6 No. 1, April 2017, page 53 – 67 Constitutional Court Decision No. 69 / PUU-XIII / 2015 brings new legal policy, where the marriage agreements that was initially can only be made by the prospective spouses before marriage (prenuptial agreement), now can be made by the husband and wife after their marriage. The Constitutional Court gave constitutional interpretation that the making of marriage agreements can be adapted to legal need of each spouse. Prior to the decision of the constitutional court, citizens who are married to foreigners can not own property rights or building rights because of their marriage agreements and joint property. The a quo provision made citizens who married to foreigners can not own property rights as long as no property separation agreement. The method used in this research is normative juridical by collecting and analyzing theorically the decision of the Constitutional Court to answer the question: when should the marriage agreements was made. The conclusion from this study is that an extension of time to make the marriage agreement can minimize conflict in their marriage and is able to create harmony related to property right for the citizen who is married to foreigners. So that those who do not have a marriage agreement, can make it after ther marriage. Keywords: legal policy, marriage agreement, Constitutional Court decision
Volume 6, Nomor 1, April 2017
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.12 Ismail Rumadan Judicial Institution Role as Law Enforcement Institution Upholding Justice for Peace Rechtsvinding Journal, Vol. 6 No. 1, April 2017, page 69 – 87 The current law enforcement in Indonesia has no mutual synergy in realizing justice. This happens because of the arrangement of the legal institutions where the examination and prosecution function under executive power, while the judge function under Supreme Court power, which brings tendency for each institution to protect internal institution interest than law enforcement for public interest. This study focus on finding judge role to decide verdicts in order to enforce law and justice that will give peace for justice seeker community too. This research use juridical and philosophical method through library studies on justice theories which then being associated with the law enforcement in Judicial institutions. This study shows that judicial institutions as guaranteed independent institution in enforcing law and justice still being influenced by another strength and power, especially executive and political power. Law enforcement function is not fully independent yet, so judicial institution main task and function for realizing justice and peace for community still short in expectation. Therefore judicial institutions need to be strengthened as the last fort for justice seeker to realize peace for community. Keywords: Judicial institutions, law, justice
UDC: 343.123 Raja Mohamad Rozi Revitalization of Pre Prosecution Institution to Support Legal Certainty and Justice in The Criminal Justice System in Indonesia Rechtsvinding Journal, Vol. 6 No. 1, April 2017, page 89 – 109 Since the Criminal Procedure Code implementation, there are different function in criminal justice system which brings consequences to the cooperation between police institutions as general criminal investigator and general attorney as prosecutor. The pre prosecution mechanism through correspondence exists within this functional cooperation. The importance of pre prosecutorial institutions brings urgency to review whether there is weakness in the prosecutor supervision to the investigator and what juridical argumentation of this pre prosecutorial institution’s existence in Criminal Procedure Code which is answered by using normative research method with descriptive-qualitative analysis. The result of this research prove there is weakness of supervision toward criminal investigator that result in the disappearance of justice and legal certainty. In the other hand, the expansion of the cases researcher prosecutor role in pre prosecution institutions under the Criminal Procedure Code will bring harmony between the investigators and the cases researcher prosecutor/ general prosecutors, and will minimize the failure risk of the criminal cases. Therefore strengthening the Pre Prosecution institutions in the Criminal Procedure Code is needed and the expansion of Pre prosecution objects to also cover exploratory activities. Last but not least the importance of sanction towards the breach of pre prosecution mechanism by law enforcement officials. Keywords: pre prosecution, cases, criminal
Volume 6, Nomor 1, April 2017
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 343.57 Fuzi Narindrani Legal System on The Prevention of Narcotics Sirculation Inside of Correctional Facility (Case Study in Cipinang Correctional Facility Rechtsvinding Journal, Vol. 6 No. 1, April 2017, page 111 – 123 Narcotics Circulation inside of the correctional facility happens a lot, this is caused by the current legal system lack of control.This condition leads the society to see law enforcement process, especially within the correctional facility, negatively. Therefore, a real act towards the eradication of narcotics sirculation within the correctional facility through changing the law system is needed. The problem that will be examined in this study is how the legal system works to prevent the narcotics sirculation within correctional facility that can bring justice for peace.By using juricial empirical method and primary data taken from Cipinang Correctional Facility, the study finds out that the current legal system which comprises legal structure, legal substance, and legal culture is in a very cautious condition. However, some change are in the making such as rehabilitation, metadon therapy, and reward for officers. The most importang thing to do by the Ministry of Law and Human Rights is to reform the legal system of the correctional facility that there will be a good narcotics sirculation prevention system within the correctional facility and reduce the narcotics sirculation there. Keywords: narcotics, sirculation, legal system
UDC: 341.234 Danang Risdianto Minority Group Protection in Indonesia to Realize Justice and Equality Before the Law Rechtsvinding Journal, Vol. 6 No. 1, April 2017, page 125 – 142 The reform era has aspiration to create democracy in all aspects of life, upholding the rule of law and respect for human rights without discrimination. But, ironically freedom in the reform era actually brings violence and discrimination against minorities. Most of Indonesian citizens who belong to the minority group had not yet received serious attention from the government. Therefore, it is necessary to study any legal protection that has been given by the State to the minority group in Indonesia. This research has been conducted by using normative legal research methods by reviewing literatures that examines secondary data, namely regulations, results of research, reviews and other references related to the regulations on minority group in obtaining justice and equality before the law. The study shows that the government has made efforts to provide legal protection against minorities. That can be seen from various regulations and policies issued. Legal protection of the rights of minority group in Indonesia is regulated in Article 28 and Article 28 I Constitution of Indonesia of 1945, and also contained in Article 3 Paragraph (3) of Law Number 39 Year 1999 about Human Rights. While, Article 27 of the International Covenant on Civil and Political Rights, which has been ratified by Law Number 12 of 2005 on Ratification of the ICCPR 1966 regulates that such the rights of minorities shall be recognized. One of the problems in the implementation of minority rights in Indonesia is the weakness of law enforcement and equitable development as well as other discriminatory treatment that still common happens to them. The government should promote human rights based approach (rights-based approach) in the whole process of development programs and policies that prepared in accordance with the protection and fulfillment of the rights of minority group. Keywords: minority group, justice, equality before the law, human right
Volume 6, Nomor 1, April 2017
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.7 Solidaman Bertho Plaituka Human Rights Violation Settlement by Regional Office of Ministry of Law and Human Rights In Nusa Tenggara Timur Province through Public Communication Service Rechtsvinding Journal, Vol. 6 No. 1, April 2017, page 143 – 158 Currently, there are many human rights violation allegations in Nusa Tenggara Timur either done vertically by Government or horizontally by the society. High number of complaints received by the People Communication Service (Yankomas) team in the Regional Office of Ministry of Law in Nusa Tenggara Timur (NTT) and Human Rights indicates this phenomenon. Yankomas is tool to settle human rights violation allegation that has its legal ground on the Presidential Regulation Number 75 Year 2015 about National Human Rights Action Plan 2015-2019. This writing uses empirical research method with statute approach and cases approach. In 2016, there were 50 complaints followed up by the People Communication Service team in the Regional Office of Ministry of Law in NTT comprises 25 verbal complaints/ consultation and 25 written complaints. Yankomas role in settle down this complaints had satisfied the complainant since all complaints were taken care well. The settlement were conducted by inviting both the complainants and other stakeholders in a coordination meeting to find a solution. The People Communication Service need to be developed more considering the high number of reports comes from the society which starts to realize that there is role of the state to protect and develop human rights. Keywords: People Communication Service, public complaints, human rights violation