Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC:34.07 Bisariyadi Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam Politik Legislasi Nasional Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm.345–363 Politik legislasi tidak semata berkutat di parlemen, prinsip pemisahan kekuasaan tidak lagi dimaknai secara kaku. Kecenderungan lembaga peradilan untuk terlibat dalam politik legislasi semakin besar dengan diadopsinya kewenangan judicial review. Beragam produk legislasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini bermaksud mencari bagaimana legitimasi konseptual atas keterlibatan lembaga peradilan dalam politik legislasi dengan melihat pada konsep judicialisation of politics melalui putusan-putusan peradilan di MK. Oleh sebab itu, penting untuk menganalisa putusan-putusan MK yang bernuansa politis dan mampu mempengaruhi politik legislasi nasional. Dengan menggunakan pendekatan nornatif, penelitian ini menunjukkan bahwa dengan diadopsinya kewenangan pengujian UU terhadap UUD, MK telah menembus batas prinsip pemisahan kekuasaan. MK juga menjalankan fungsi legislasi dengan bertindak sebagai positive legislator. Legitimasi konseptual juga telah ditawarkan oleh para ahli hukum dan politik dengan merumuskan konsep judicialisation of politics. Dimasa mendatang, lembaga peradilan akan semakin cenderung terlibat dalam perkara-perkara menyangkut proses pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak dimana awalnya proses itu merupakan kewenangan eksklusif dari legislatif. Kata Kunci: pengujian undang-undang, mahkamah konstitusi, politik legislasi
UDC: 340.134 Anna Triningsih Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Legislasi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 365–381 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai memiliki problem substantif/materil akibat materi muatannya bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yang mengakibatkan kerugian konstitusional terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meliputi dikuranginya kewenangan DPD untuk dapat mengajukan (Rancangan Undang-Undang) RUU, dikuranginya kewenangan DPD untuk membahas RUU dan dikuranginya kewenangan DPD dalam kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah. Hal ini menunjukan bahwa pembentukan UU MD3 nyata-nyata tidak menghormati putusan MK yang diberi mandat UUD NRI 1945 sebagai lembaga penafsir dan penjaga konstitusi, dengan tidak menghormati, mematuhi, dan melaksanakan putusan MK ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap putusan lembaga negara yang telah ditunjuk konstitusi untuk mengawal kemurnian pelaksanaan konstitusi. Penelitian ini menggunakan metode normatif menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Ketidaktaatan penyusunan UU MD3 pada putusan MK merupakan pengingkaran UUD NRI 1945 dan perkembangan ini merupakan langkah mundur reformasi. Pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden harus segera melakukan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan berpijak pada rambu-rambu konstitusional Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Kata Kunci: kewenangan, Dewan Perwakilan Daerah, putusan Mahkamah Konstitusi
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 34.07 Abdurrachman Satrio Fungsi Legislasi Majelis Tinggi di Indonesia dan Jerman: Perbandingan antara DPD dengan Bundesrat Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 383–398 Dinamika politik legislasi di tingkat nasional saat ini cenderung meminggirkan kepentingan daerah dan lebih mendahulukan kepentingan politik. Menurut penulis salah satu alasannya disebabkan karena Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai majelis tinggi dan representasi teritorial di tingkat nasional dalam menjalankan fungsinya yang utama yaitu fungsi legislasi tidak memiliki kewenangan yang kuat, terutama bila dibandingkan dengan DPR sebagai majelis rendah dan representasi politik. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menemukan dasar argumentasi perlunya penguatan terhadap kewenangan konstitusional DPD sebagai majelis tinggi dalam menjalankan fungsi legislasi dengan membandingkan fungsi legislasi yang dimiliki DPD dengan Bundesrat di Jerman sebagai majelis tinggi lainnya yang juga berperan sebagai representasi teritorial di tingkat nasional. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan menitikberatkan adanya kesenjangan antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein), melalui studi perbandingan akan ditemukan persamaan-persamaan (similiarities) serta perbedaan (contrast) di antara keduanya. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa Bundesrat memiliki fungsi legislasi yang jauh lebih kuat dibandingkan DPD, padahal secara teoritis seharusnya DPD memiliki fungsi legislasi yang lebih kuat sebagai majelis tinggi dibandingkan dengan Bundesrat. Kata Kunci: Bundesrat, majelis tinggi, fungsi legislasi
UDC: 340.131 Muh. Risnain Konsep Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Program Legislasi Nasional: Rekomendasi Konseptual dan Kebijakan Pada Prolegnas 2015-2019 Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm.399–411 Rendahnya capaian Prolegnas baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pada dua periode Program Legislasi Nasional (Prolegnas): periode 2005-2009 dan periode 2010-2014, merupakan persoalan krusial pembangunan hukum yang harus dipecahkan. Dampaknya bukan saja minimnya capaian Prolegnas, tetapi pada eksistensi negara hukum Indonesia. Penelitian mengidentitifikasi dua permasalahan, Pertama, apa saja hal-hal yang menghambat tercapainya target Prolegnas pada periode 2005-2009 dan periode 2010-2014? Kedua, bagaimanakah konsep peningkatan kualitas dan kuantitas Prolegnas pada masa yang akan datang? Jenis penelitian adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan kualitas Prolegnas, maka ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh DPR, Pemerintah dan DPD hendaknya memperhatikan hal-hal: harmonisasi vertikal materi RUU dengan UUD NRI 1945 dan harmonisasi horizontal RUU dengan peraturan perundang-undangan, tingkat urgensitas dan kompatibilitas materi muatan undang-undang, dan peningkatan kapasitas legislative drafting anggota legislatif. Untuk menjamin peningkatan kuantitas Prolegnas, maka hendaknya ketika penyusunan RUU yang masuk menjadi bagian Prolegnas DPR, Pemerintah maupun DPD memperhatikan kapasitas kelembagaan DPR dengan target Prolegnas yang akan dicapai, mengkaji secara mendalam kerangka konseptual, landasan filosofis, landasan yuridis maupun landasan sosiologis keberadaan RUU, dan komitmen politik secara kelembagaan baik Pemerintah, DPR maupun DPD dalam menyelesaikan Prolegnas. Kata Kunci: peningkatan, prolegnas, integratif
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.130 Budi Suhariyanto Eksistensi Pembentukan Hukum oleh Hakim dalam Dinamika Politik Legislasi di Indonesia Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 413–430 Secara normatif hakim Indonesia disebut sebagai Penegak hukum dan keadilan tidak sebatas corong undang-undang. Hakim wajib untuk menemukan, menggali dan membentuk hukum yang sesuai dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat. Secara teoritis pembentukan hukum oleh Hakim pun diakui sebagai salah satu sumber hukum formil dalam sistem hukum Indonesia dan dapat diakomodasi oleh DPR (Positif Legislator) dalam pembaruan undang-undang. Tulisan ini bermaksud untuk meneliti masalah eksistensi pembentukan hukum oleh hakim dalam dinamika politik legislasi (baik yang bersifat positif legislasi sebagaimana diwenangi oleh DPR bersama Presiden maupun negatif legislator yang diperankan oleh putusan Mahkamah Konstitusi). Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, diperoleh kesimpulan bahkan dalam konteks tertentu Hakim didorong untuk melakukan pembentukan hukum baru yang berfungsi sebagai a tool of social engineering. Jika pembentukan hukum oleh Hakim diikuti secara konstan oleh Hakim lain maka dapat dijadikan sebagai sumber hukum formil dalam sistem hukum nasional (yurisprudensi). Kata kunci: pembentukan hukum, hakim, politik legislasi
UDC: 340.111.5 Suharyo Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penerapan Sanksi Pidana serta Problematikanya Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 431–477 Era Otonomi Daerah secara nyata, jelas dan tegas dilaksanakan di Indonesia sejak adanya reformasi di segala bidang, hal ini merupakan perwujudan pelaksanaan demokrasi lokal diseluruh Indonesia, dengan berbagai kemandirian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tetap pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan otonomi daerah di wilayahnya tiap daerah memiliki kewenangan pembentukan Peraturan Daerah (Perda), selain mengatur hubungan sosial kemasyarakatan yang berisi kewajiban dan larangan, Perda acapkali dilengkapi dengan sanksi pidana. Berangkat dari hal tersebut penelitian ini bermaksud mencari bentuk pembentukan Perda yang ideal dan aspiratif dan melihat efektivitas penerapan sanksi pidana dalam produk Perda di tengah masyarakat. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dapat disimpulkan bahwa diperlukan pelibatan warga masyarakat mulai dari pembentukan Raperda termasuk dalam pembahasan penetapan sanksi pidana. Terhadap perumusan sanksi pidana di dalam Perda harus menghindari adanya pengaturan pidana kurungan. Oleh sebab itu guna efektifitas pelaksanaan Perda diperlukan sosialisasi yang intensif dengan cara-cara kekeluargaan dan perlunya strategi persuasif, preventif, akomodatif, dan simpatik dalam penegakan Perda. Kata Kunci: perda, penerapan sanksi pidana
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.134 Dayanto dan Asma Karim Pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah menurut Perspektif Legislasi Responsif Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 449–467 Adanya kebijakan desentralisasi yang berbasis pada otonomi yang luas maka urgensi untuk menghadirkan Peraturan Daerah yang berperspektif legislasi responsif menjadi kebutuhan, termasuk Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi. Perspektif legislasi responsif bertolak dari indikator proses pembentukan yang partisipatif dan materi muatan yang aspiratif, sehingga permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah apakah proses pembentukan serta materi muatan Peraturan Daerah mengenai pajak dan retribusi di Kabupaten Maluku Tengah berperspektif legislasi responsif. Dengan tipe penelitian hukum normatif-empiris ini ditemukan bahwa Peraturan Daerah mengenai pajak dan retribusi di Kabupaten Maluku Tengah proses pembentukannya belum menunjukan adanya partisipasi masyarakat yang memadai dan materi muatannya belum mengakomodir aspirasi masyarakat, sehingga penelitian ini menyimpulkan bahwa pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah belum berperspektif legislasi responsif. Agar praktik pembentukan Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi di Kabupaten Maluku Tengah dapat berkesesuaian dengan tujuan otonomi daerah maka pembentukannya harus didasarkan pada perspektif legislasi responsif. Kata Kunci: peraturan daerah responsif, pajak, retribusi
UDC: 340.12 Wenda Hartanto Kesadaran Hukum sebagai Aspek Dasar Politik Hukum Legislasi: Suatu Tinjauan Filsafat Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 469–483 Manusia seperti entitas lainnya, juga bereksistensi. Namun, eksistensi manusia berbeda karena memiliki kesadaran. Sedangkan hukum memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk membentuk masyarakat berada dalam tatanan hukum dan berperan sebagai sarana rekayasa sosial demi kemajuan. Namun kesadaran hukum sebagai suatu entitas yang tunggal dibenturkan pada masyarakat plural dengan pandangan-pandangan yang majemuk. Suatu kumpulan individu yang majemuk juga memunculkan kaidah hukum jika disepakati dapat dianggap memiliki aspek moralitas dan kesadaran hukum oleh suatu golongan, tetapi tidak demikian oleh golongan yang lain. Dalam keadaan yang semacam itu, menjadi sangat penting untuk mengetahui bagaimana terjadinya proses relasi antara kesadaran hukum dan politik hukum dalam proses legislasi, serta bagaimana konsep ideal untuk mengakomodir kesadaran hukum masyarakat dalam proses legislasi. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif bisa dilihat bahwa proses legislasi merupakan aktualisasi politik hukum yang berdasarkan kesadaran hukum masyarakat untuk mencapai tujuan dan melindungi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Indonesia sebagai negara bangsa yang majemuk memerlukan suatu sistem hukum modern yang mampu mengantisipasi serta mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin akan timbul. Nilainilai Pancasila hadir untuk mengakomodir dimensi kepentingan politik, ekonomi, sosial dan politik manusia sebagai subjek didalam bernegara. Kata Kunci: kesadaran hukum, politik legislasi, Pancasila
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.13 Akhyar Ari Gayo Dinamika Legislasi Hukum Islam: Analisa atas Upaya Pembentukan Hukum Perikatan Syariah Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4 No. 3, Desember 2015, hlm. 485–499 Dalam perkembangan ekonomi Syariah saat ini tidak dilengkapi dengan regulasi yang memadai, padahal jenis-jenis dan volume transaksi atau kontrak dengan sistem Syariah semakin banyak. Oleh karenanya sangat diperlukan satu aturan yang baku yang dapat dijadikan pegangan bagi para pihak terutama para hakim di pengadilan agama dalam menerima, memeriksa dan memutus perkara sengketa ekonomi Syariah. Tulisan ini mengkaji bagaimana sebaiknya pengaturan perikatan Syariah ini dibuat. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan dan didukung beberapa hasil penelitian perikatan Syariah yang telah ada. Dari penulisan ini diperoleh pentingnya politik legislasi yang mendukung perikatan Syariah melalui pembentukan Undang-Undang Perikatan Syariah. Hal ini untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat yang menggunakan kontrak dengan sistem Syariah. Kata kunci : legislasi, perikatan, Syariah
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 34.07 Bisariyadi The Engagement of Constitutional Court in Political Process of National Legislation Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 345–364 Political process of legislation is not only struggling in the parliament, the principle of separation of powers is no longer interpreted rigidly. The tendency of courts to engage political process of legislation are increasing with the adoption of a judicial review authority. Several different product of legislation concerning the lives of many people had been tested by the Constitutional Court. This study intends to find out how the conceptual legitimacy of the judiciary is involved in political process of legislation set out from the judicialisation of politics concept through decision of the Constitutional court. Therefore, it is important to analyze decisions made by The Constitutional Court with some political issues and able to influence political process of the legislation. Using normative approach, this study shows with adopting the power to examine Law against the Constitution, the Constitutional Court has been through the boundaries the principle of separation of powers. The Court also carry out its legislative function by acting as a positive legislator. Conceptual legitimacy has been offered by the legal and political experts to formulate the judicialisation of politics concept. In the future, the judiciary will be more likely to engage in policy making concerning the interests of the people which initially is exclusive authority of the legislative. Keywords: judicial review, the constitutional court, political process of legislation
UDC: 340.134 Anna Triningsih Politics of Law of The Constitutional Authority of Regional Representatives Council In The Legislative Process after the Constitutional Court Decision Number 92/PUU-X/2012 Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 365–381 Law Number 17 Year 2014 on the People’s Consultative Assembly, House of Representatives, Regional Representatives Council, and the Regional House of Representatives (MD3 Law) after the decision of the Constitutional Court (MK) is considered to have a substantive problem due to the substance that is contrary to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (the 1945 Constitution), which resulted in the constitutional loss of Regional Representatives Council (DPD), including the reduction of DPD authority to propose draft bills, to discuss draft bills and the reduction in its authority as the regional representative institution. This shows that the drafting of MD3 Law is obviously not respecting the decision of the Court that is mandated by the 1945 Constitution as the interpreter and guardian institution of the constitutional, by not respecting, obeying and implementing MK’s decision which indicates non-compliance with the decision of the state institution that has been designated to guard the purity of the constitution implementation of the constitution. This study uses normative method with statute approach, conceptual approach and a historical approach. The noncompliance of the drafting of MD3 Law towards the MK’s decision is a denial of MK and this development is a step back of Reformation. The legislators, in this case, the House of Representatives (DPR) and the President should immediately amend the Law Number 12 Year 2011 on the Establishment of Laws and Regulations based on the MK’s Decision No. 92/PUU-X/2012. Keywords: authority, Regional Representatives Council, Constitutional Court Decision
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 34.07 Abdurrachman Satrio Legislative Function of Upper House in Indonesia and Germany: Comparison Between DPD and Bundesrat Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 383–398 The dynamic-political process of legislation in national level at this time, tends to ignore a local interest and give precedence to political interest. In my opinion one of the reason is because Dewan Perwakilan Daerah (DPD) as a territorial representative at national level in order to run the main function that is legislative function has no powerful authority, compare to DPR as a lower house and as political representative. That’s why, this research try to find basic argumentation the need to strengthen the constitutional authority of DPD as upper house to run legislative function by comparing with German upper house (Bundesrat) which has capacity as territorial representative in national scale. This research is conducted in normative-jurist method which focuses on the existence of expectation (das sollen) and reality (das sein), through this comparison it will be found the similarities and differences in those two. From this comparison we find that Bundesrat has a stronger legislative function than DPD well in fact, theoritically legislative function of DPD must be stronger as a upper house compares to Bundesrat. Keywords: Bundesrat, upper house, legislative function
UDC: 340.131 Muh. Risnain The Concept of Improving the Quantity and Quality of the National Legislative Program: A Conceptual and Policy Recommendation for National Legilative Program 2015-2019 Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 399–411 Low Prolegnas achievements both in terms of quantity and quality in the two periods of the National Legislation Program (Prolegnas): 2005-2009 and 2010-2014, is a crucial issue of law development that must be solved. The impact is not only the lack of achievement Prolegnas but the existence of the state of Indonesian law. This research identified two problems, first, what are the things that hinder the achievement of the Prolegnas target in the period 2005-2009 and the period 2010-2014? Second, how is the concept of improving the quality and quantity of Legislation in the future? This type of research is a normative juridical research. The study concluded that in order to improve the quality of Prolegnas then the Government and Regional Representatives Council (DPD) in the discussion of each bill by the House of Representatives (DPR), should pay attention to things, such as: the vertical harmonization of each Draft Bill’s substance with the 1945 Constitution and the horizontal harmonization with legislation, the level of urgency and the compatibility of the laws’ substance, and the legislative drafting capacity of legislatures. To improve the quantity of Prolegnas, in the drafting of each Draft Bill that is in the Prolegnas, the Government and the DPD should pay attention to things, such as: the institutional capacity of the DPR with the Prolegnas target to be achieved, do an in depth conceptual framework studies, philosophical, juridical and sociological basis of the existence of the Draft Bill, and institutional political commitment of the Government, DPR and DPD in resolving Prolegnas. Keywords: improving, national legislative program, integrative
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.130 Budi Suhariyanto The Existence of the Judge Made Laws in Dynamic Political Process of Legislation in Indonesia Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 413–430 Normatively in Indonesia, a judge is also known as the law and justice enforcement agency, not just decided cases based on written law. Judges are obliged to discover, explore and establish a legal system that suitable with local values and sense of justice. Theoretically Judge Decisions (known also as Jurisprudence) are also recognized as one of the source of formal lawsin the Indonesian legal system and can be accommodated by the Parliament (Positive Legislators) in the renewal of the law. This paper intends to examine the existence of the Judge made laws in dynamic-political process of legislation (whether positive legislation that is ruled by the House of Representatives and the President or negative legislator who are ruled by the Constitutional Court). Using a normative-legal research method, the conclusion even in the context of a particular judges are encouraged to establish anew legal construction that intended as a tool of social engineering. If the judge-made law is followed constantly by other judges, it can be used as a source of formal law in the national legal system (jurisprudence). Keywords: establishment of law, judges, political process of legislation
UDC: 340.111.5 Suharyo Establishment of Regional Regulation and Enforcement of Criminal Sanctions and Its Difficulties Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 431–447 The Regional Autonomy era is tangibly, clearly and firmly held in Indonesia since reformasi period (reform) in all fields, this is the manifestation of the implementation of local democracy throughout Indonesia, with a variety of self-reliance in the context of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI), which remained at the corridor of applicable law. In implementing regional autonomy, each region has the authority to establish the Regional Regulation (Perda) that regulates social relationships which isstated obligations and prohibition. It is also often comes with criminal sanctions. Toward those facts, this research intends to seek the ideal form to establish regional regulation and to observe the effectiveness ofenforcing criminal sanctions in society as a product of regional regulation. Using normative-jurist method can be concluded that it needs the involvement of citizens in making draft regional regulations (Raperda) and also in establishing criminal sanctions. While developing a formula for criminal sanctions in regional regulation, it should avoid an imprisonment. Therefore, for the implementation of the regional regulation to be effective, there should be an intensive dissemination in relationship way and the need for persuasive strategies, preventive, accommodating and sympathetic in enforcing the regional regulation. Keywords: regional regulation, enforcement of criminal sanction
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.134 Dayanto dan Asma Karim The Formation of Local Regulation About Tax and Retribution District of Maluku Tengah Based on Responsive Legislation Perspective Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 449–467 The policy of decentralization based on autonomy brings the necessity and urgency to make the Local Regulation with responsive legislation perspective, including the Local Regulation on Tax and Retribution. Responsive legislation perspective based itself on some indicators like a participative process on forming the regulation and an aspirative subject matters. Therefore the issues raised in this research is whether the formation process and subject matters of Regional Regulations on Tax and Retribution in district of Maluku Tengah has already had a responsive legislation perspective. This normative-empirical legal research found that the Local Regulation on Tax and Retribution in district of Maluku Tengah has not shown enough public participation in its formation process and has not accommodate public aspirations in its subject matters, so this research concluded that the formation of Local Regulations on Tax and Retribution in district of Maluku Tengah has not had a responsive legislation perspective. To make the formation of Local Regulations about Tax and Retribution in district of Maluku Tengah compatible with the objective of local autonomy, the formation should be based on the responsive legislation perspective. Keywords: responsive local regulation, tax, retribution
UDC: 340.12 Wenda Hartanto Legal Awareness as Basis of Legal Policy on Legislation: a Philosophical Overview Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 469–483 Humans like other entities, also exist. However, human existence is different because it has consciousness. While the law has a noble purpose which is to establish a community within the legal system and to serve as tools of social engineering for progression. However, legal awareness as a single entity collides with a plural society with diverse views. A group of diverse individuals make some law ,which is agreed by some group, can be considered to have morality aspects and legal awareness by that groups, but not by the other groups. In such circumstances, it becomes very important to understand the process of the relationship between legal awareness and legal policy in the legislation process, and what the ideal concept to accommodate the public legal awareness in the legislation process. By using the normative legal research method, it can be seen that the legislation process is an actualization of legal policy which is based on public legal awareness which aims to protect public needs and interests. Indonesia as a plural nation state require a modern legal system which is able to anticipate and overcome every problems that may arise. Pancasila Values exists here to accommodate the dimensions of political, economic, and social interests of human being as the subject of state. Keywords: legal awareness , legislation policy, Pancasila
Volume 4, Nomor 3, Desember 2015
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.13 Akhyar Ari Gayo Islamic Law Legislation Dynamic: Analysis on the Means of Forming Sharia Law of Obligations Rechtsvinding Journal, Vol. 4 No. 3, December 2015, page 485–499 The development of sharia economic law has not followed by adequate regulations, even though the types and volumes of the transactions and contracts which use sharia system are keep on increasing. Therefore, there is needs of fixed regulations that can be a guide for every party, especially for the judges in the Religious Court when taking in, examining, and judging disputes relating to sharia economic law. This writing reviews on how this sharia law of obligations should be formed. The method use in this writing is literature method and also supported by some existing research on sharia law of obligations. This writing shows the importance of the legislation policy on supporting sharia law on obligations by making a sharia law on obligations act. This is need to guarantee protection and legal certainty for those who make contract with sharia system. Keywords: legislation, law of obligations, Sharia