Volume 1 Nomor 3, Desember 2012
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.134 Zainal Arifin Hoesein Pembentukan Hukum Dalam Perspektif Pembaruan Hukum Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 3, Desember 2012, hlm. 307-327 Materi muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik di masa depan. Norma hukum pada dasarnya inheren dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat, tetapi daya kekuatan keberlakuan hukum, tidak dapat melepaskan diri dari kelembagaan kekuasaan, sehingga hukum, masyarakat dan kekuasaan merupakan unsur dari suatu tatanan masyarakat. Oleh karena itu, Hukum tidak sekedar dipahami sebagai norma yang menjamin kepasatian dan keadilan tetapi juga harus dilihat dari perspektif kemanfaatan. Oleh karena itu, maka pembentukan hukum dalam perspektif pembaruan hukum harus difokuskan pada dua hal yaitu, sistem hukum dan budaya hukum. Tulisan ini akan membahas bagaimana idealisasi peraturan perundang-undangan; bagaimana fungsi peraturan perundang-undangan dalam pembangunan hukum; dan bagaimana pendekatan metodologis terhadap pembentukan hukum. Dari berbagai pembahasan tersebut disimpulkan bahwa pembentukan hukum dalam perspektif pembaharuan hukum, di samping harus memperhatikan aspek metodologis, juga harus merujuk dan meletakkan norma hukum dalam kesatuan harmoni vertikal dengan aspek teologis, ontologis, positivistik dan aspek fungsional dari suatu norma hokum. Kata kunci: aspirasi, budaya, sistem hukum, pembentukan, metodologi
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.134 Zainal Arifin Hoesein Law Making on the Perspective of Legal Reformation RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 3, December 2012, page 307-327 The substance of the law should be able to capture the aspirations of the people who grow and develop not only be present, but as a reference in anticipation of the social, economic, cultural and political future. The rule of law is essentially inherent to the values that are believed by the public, but the validity of the power of the law, not to break away from the institutional power, so the law, society and power is an element of a society. Therefore, the law does not merely understood as a norm that ensures certainty and justice but also to be seen from the perspective of expediency. Therefore, the legal establishment in the perspective of legal reform should be focused on two things, namely, the legal system and legal culture. This paper will discuss how the idealization of laws, how the laws function in the development of the law, and how the methodological approach to the legal establishment. It was concluded that the formation of the law in the perspective of legal reform, in addition must pay attention to methodological aspects, should also refer to and put the rule of law in the unity of vertical harmony with aspects of the theological, ontological, positivist and functional aspects of the rule of law. Keywords: aspirations, culture, legal system, development, the methodologies
Volume 1 Nomor 3, Desember 2012
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.134 Rahendro Jati Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang Yang Responsif Jurnal RechtsVinding Vol. 1 No. 3, Desember 2012, hlm. 329-342 Partisipasi masyarakat merupakan wujud adanya relasi antara masyarakat dengan DPR dan Pemerintah dalam proses pembentukan undang-undang. Agar hubungan tersebut dapat memberikan manfaat bagi penciptaan undang-undang yang responsif, maka partisipasi masyarakat harus ada pada setiap tahapan pembentukan undang-undang. Tidak hanya berupa hak yang diformalkan dalam bentuk aturan saja, tetapi penyampaian aspirasi masyarakat tersebut secara nyata harus dapat dilaksanakan dan direspon oleh pembentuk undang-undang. Tulisan ini akan membahas mengapa paratisipasi masyarakat diperlukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; serta bagaimana proses pembentukan undang-undang yang melibatkan partisipasi masyarakat sehingga melahirkan undang-undang yang responsif. Dengan menggunakan pendekatan sosio-legal dengan metode juridis normatif terlihat bahwa partisipasi masyarakat merupakan wujud dari pelaksanaan asas keterbukaan yang merupakan salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang akan memberikan manfaat penting dalam hal efektivitas pemberlakuan peraturan perundang-undangan di dalam masyarakat. Secara formal, proses untuk mewujudkan produk undang-undang yang responsif ini sudah memungkinkan, tetapi penerimaan aspirasi masyarakat secara substansi oleh para pembentuk undang-undang untuk mewujudkan undang-undang yang responsif sangat tergantung pada sikap dan cara pandang pembentuk undang-undang dengan berbagai kepentingan yang ada didalamnya. Untuk itu perlu adanya kesadaran dari masyarakat dan pembentuk undang-undang mengenai relasi yang terjadi diantara keduabelah pihak dalam pembentukan undang-undang. Kata Kunci: partisipasi masyarakat, pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang responsif
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.134 Rahendro Jati Community Participation in order to Create the Responsive Law RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 3, December 2012, page 329-342 Community Participation is a form of the relationship between the public with Parliament and the Government in the legislative process. In order to create the benefit of responsive law, then there should be public participation at every stage of legislative process. It’s not only formalized the rights in the form of rules, but also delivery of real aspirations to be feasible and responded to by the legislators. This paper will discuss why public participation is necessary in the process of formating legislation, as well as how the process of establishing laws that involve community participation to make responsive laws. By using a socio-legal approach and normative juridical method shows that public participation is a form of implementation of the principle of openness that is one of the principles in the formating legislation. It will provide significant benefits in terms of the effectiveness of the application of laws in society. Formally, the process to create responsive legislation products is already possible, but the acceptance of the people’s aspirations in substance by the law makers to realize the responsive legislation is highly depend on the attitudes and perspectives of legislators. For that it need the awareness of the public and legislators about the relationships that occur between the two parties in the formating legislation. Keywords: community participation, establishment of legislation, responsive laws
Volume 1 Nomor 3, Desember 2012
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.134 M. Ilham F. Putuhena Politik Hukum Perundang-Undangan Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Produk Legislasi Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 3, Desember 2012, hlm. 343-360 Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera, campur tangan negara atau pemerintah terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari. Campur tangan pemerintah dirumuskan dalam bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, sehingga dalam praktek penyelenggaraan negara tidak dapat lepas dari apa yang disebut kebijakan-kebijakan, yang dirumuskan dalam Legislasi (peraturan perundang-undangan). Permasalahannya adalah bagaimana membentuk peraturan perundang-undangan yang berkualitas dan efektif dalam mendorong politik pembangunan nasional, khususnya dalam aspek keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat disimpulkan bahwa legislasi bukan semata-mata sebagai proses politik, karena bila produk hukum hasil proses tersebut buruk, maka akan selalu dapat berdalih bahwa memang demikianlah politik. Legisprudence melihat legislasi dari dua kaca mata, yaitu politik dan dari kacamata hukum. Hukum yang dibentuk dengan tidak demokratis menunjukkan sebagai ”hukum yang tidak relasional”. Hukum non-relasional juga bisa terjadi ketika ada yang memaksakan suatu kepentingan/kehendak dalam proses argumentasi, entah karena posisi orang atau kelompok yang mengusulkan, atau entah karena dipaksakan oleh kekuatan fisik. Kualitas legisasi dapat dilihat dari dua hal, yaitu kualitas materi sebuah undang-undang dan kualitas proses pembentukan sebuah undangundang. Kata kunci: Legislasi, Politik hukum, Kualitas
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.134 M. Ilham F. Putuhena Law Politics of Legislation in Efforts to Improve Quality Product Legislation RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 3, December 2012, page 343-360 In order to build a prosperous society, nation or government intervention on various aspects of community life can’t be avoided. Government intervention is formulated in the form of laws or regulations that are forcing, so that in practice the implementation of the state can not be separated from what is called the policies defined in the legislation (legislation). The problem is how to establish a quality legislation to keep the legislation effective in promoting national development policy, especially in the aspect of justice and social welfare. Using normative research methods, it can be concluded that the legislation is not merely a political process, because the law of the process when the product is bad, it will always be able to argue that it is so political. Legisprudence see the legislation of two glass eyes, from politics (which means the context of the law) and the law of the glasses (or more technically known as the law). Formed law undemocratic show as ”the law does not relational” (law of non-relational). Non-relational law can also occur when there are compelling an interest / desire in the process of argumentation, either because of the position of the person or group who propose, or whether because enforced by physical force. Legisasi quality can be seen from two things: the quality of the material and the quality of the legislation process of forming a law. Keywords: legislation, law politics, quality
Volume 1 Nomor 3, Desember 2012
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.134 Rachmat Trijono Alternatif Model Analisis Peraturan Perundang-Undangan Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 3, Desember 2012, hlm. 361-374 Sampai saat ini terdapat banyak alat (tools) untuk menganalisis peraturan perundang-undangan, antara lain model RIA, model ROCCIPI, model RegMap, model MAPP dan lain-lain. Namun demikian masing-masing model tersebut mempunyai kelemahan. Untuk itu diperlukan model alternatif yang lebih efektif. Hal inilah yang mendorong untuk diadakan penelitian Research and Development (R&D), yakni rangkaian proses atau langkah-langkah dalam rangka mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada agar dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian menghasilkan produk berupa model baru yang terdiri dari Rule, Affair of Religion, Capacity, Hour, Material, dan Technik. Model ini merupakan alat yang dapat digunakan untuk menguji peraturan perundang-undangan yang sudah ada, dan juga sekaligus untuk mem-filter peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Kata kunci: analisis, peraturan perundang-undangan, tool model, R&D
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.134 Rachmat Trijono Alternative of Rule and Regulation Analysis Model RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 3, December 2012, page 361-374 There are a lot of tools to analyze the rules and regulations, including RIA model, ROCCIPI model, RegMAP model, MAPP model and others. However, each model has a drawback. Therefore need another effective alternative model. It push the writer to make a research by Research and Development method, which is a series of processes or steps in order to develop a new product or improving an existing product in order to be accounted for. The product of this research is a new model consisting of a Rule, Affair of Religion, Capacity, Hour, Materials, and Technical. This model is a tool that can be used to test the rule and regulation that already exist, and also to filter the rule and regulation will be made. Keywords: analysis, rules and regulations, tool model, Research and Development
Volume 1 Nomor 3, Desember 2012
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.82 Teguh Imansyah Regulasi Partai Politik Dalam Mewujudkan Penguatan Peran Dan Fungsi Kelembagaan Partai Politik Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 3, Desember 2012, hlm. 375-395 Partai poltik adalah pilar dari sistem demokrasi, sepak-terjang partai politik merupakan variabel yang mempengaruhi kualitas demokrasi. Jika partai politik menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, kualitas demokrasi akan menjadi baik. Begitu pula sebaliknya.Namun realitas yang berkembang saat ini menunjukan lemahnya kelembagaan partai yang ada saat ini. Keadaan tersebut terlihat dari menurunnya tingkat kepercayaanj terhadap partai dan maraknya kasus pelanggaran hukum yang terjadi pada para kader partai. Permasalahannya adalah bagaimana regulasi sistem kepartaian yang ada dalam membentuk kelembagaan partai untuk memenuhi fungsinya sebagai partai politik sesuai dengan undang-undang. Dengan menggunakan metode penelitian sosio yuridis dapat disimpulkan bahwa regulasi kepartaian yang ada belum berpengaruh signifikan dalam penguatan kelembagaan partai. Lemahnya kelembagaan partai yang ada saat ini lebih disebabkan oleh sistem internal partai yang belum modern. Kata Kunci: partai politik, demokrasi, kelembagaan
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.82 Teguh Imansyah Regulatory Political Parties to Realize Role and Function of Strengthening Institutional Political Parties RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 3, December 2012, page 375-395 Politic party is a pillar of the democratic system, the actions of the political parties are variables that affect the quality of democracy. If political parties fulfill their respective roles and functions properly, the quality of democracy will be good, and vice versa. But the reality shows currently developing the institutional weakness of the existing parties. The situation can be seen from the decline in the level of trust in the party and the rampant cases of law violations that occurred at the party cadres. The issue is how the existing regulations of the party system in the form of institutional party to fulfill its function as a political party in accordance with the law. Using sosio-juridic research methods can be concluded that the regulation of party that is not significant in the institutional strengthening of the party. The institutional weakness of the existing party is more due to the party’s internal systems were not modern. Keywords : political party, democracy, institutional
Volume 1 Nomor 3, Desember 2012
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.25 Eko Noer Kristiyanto Pemilihan Gubernur Tak Langsung Sebagai Penegasan Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Di Daerah Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 3, Desember 2012, hlm. 397-408 Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Kedudukan provinsi menjadi unik karena melaksanakan desentralisasi dan dekonsentrasi secara bersamaan. Hal ini berimbas kepada kedudukan gubernur yang menyandang dua status yaitu sebagai kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. Peran yang perlu dioptimalkan agar penyelenggaraan negara berjalan baik adalah gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah karena berkaitan dengan fungsi pembinaan, koordinasi dan pengawasan. Sistem pemilihan gubernur secara langsung ternyata justru berimplikasi bahwa gubernur lebih dominan perannya sebagai kepala daerah. Tulisan ini menjelaskan seperti apa kedudukan gubernur sesungguhnya dan menawarkan solusi seperti apa mekanisme pemilihan gubernur yang dianggap tepat. Terlepas dari segala kritiknya, pemilihan gubernur harus dilakukan secara tidak langsung, mengingat terbatasnya wewenang gubernur serta kedudukan dan tanggung jawab gubernur yang mendapat pelimpahan kewenangan dari pusat serta mengemban mandat dari presiden. Pemilihan oleh DPRD dianggap paling sesuai karena memenuhi unsur pemilihan secara demokratis yang diamanatkan oleh konstitusi. Kata kunci: Gubernur, Pemerintahan Daerah, Dekonsentrasi, Desentralisasi, Provinsi
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.25 Eko Noer Kristiyanto Indirect Election of Governors as Confirmation of the Existence of Governors as the Representative of the Central Government in the Region RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 3, December 2012, page 397-408 In the Regional Government deconcentration and assistance tasks organized because not all of the powers and duties of government can be done by using the principle of decentralization, the province is unique because decentralization and deconcentration simultaneously. This impact to the position of governor of the state that holds the two regions as well as head of government representatives of the central government in the region. The roles that need to be optimized so as the governor of the state is running well as representatives of governments in the region as it relates to the functions of guidance, coordination and supervision. System of direct election of governors proved to be implying that the governor is more dominant role as head of the region. This article explains what the real position of the governor and offer solutions as to what mechanism gubernatorial deemed appropriate. Despite all the criticism, the gubernatorial election must be done indirectly, given the limited authority of the governor and the status and responsibilities of governors who received the delegation of authority from the center as well as carry out the mandate of the president. The selection by the legislature considered the most appropriate because it meets substance democratic elections mandated by the constitution. Keywords: Governors, Local Government, deconcentration, decentralization, Province
Volume 1 Nomor 3, Desember 2012
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 340.341.06 Adharinalti Eksistensi Hukum Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Di Bali Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 3, Desember 2012, hlm. 409-418 Melalui Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), adat dan kesatuan masyarakat adat memiliki posisi yang istimewa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal ini dikarenakan Desa sebagai penyelenggara pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Salah satu daerah yang menarik untuk diteliti adalah Bali mengingat daerahnya yang sangat kental dengan adat dan hukum adatnya serta sebagai salah satu daerah yang memiliki desa adat (Desa Pakraman). Permasalahan yang muncul adalah bagaimana adat berinteraksi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Bali? Jenis penelitiannya adalah kepustakaan dan empiris dengan studi dokumen dan wawancara dengan narasumber yang kompeten dibidangnya. Bahwa eksistensi adat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Bali dapat terlihat dari diterapkannya konsep Tri Hita Karana dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dengan salah satu bukti konkrit adalah adanya Desa Pakraman selain desa dinas. Kata kunci : Hukum Adat, Masyarakat Hukum Adat, Pemerintahan Desa
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 340.341.06 Adharinalti Existence of Adat Law in the Governance Village in Bali RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 3, December 2012, page 409-418 By Article 18B of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, the unity of indigenous peoples has a privileged position in village governance. This is because the village as the administrators who directly deal with the public. One interesting area to examine is the Bali given the highly viscous region with customs and customary law as well as one area that has a traditional village (Village Pakraman). The problem that arises is how to interact in a traditional village governance in Bali? Types of literature and empirical research is to study the documents and interviews to the informans. That the existence of indigenous peoples in village governance in Bali can be seen from the application of the concept of Tri Hita Karana in village governance with concrete evidence is one of the village but the village Pakramanservice. Keywords: Adat Law, Indigenous People, Village Government
Volume 1 Nomor 3, Desember 2012
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.52 Hananto Widodo Politik Hukum Hak Interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Jurnal RechtsVinding, Vol. 1 No. 3, Desember 2012, hlm. 419-436 Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tiga fungsi, yakni fungsi pengawasan, fungsi legislasi dan fungsi anggaran. Salah satu fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah Hak Interpelasi. Adanya fungsi pengawasan melalui hak Interpelasi ini merupakan konsekuensi dari doktrin pemerintahan konstitusional, yakni bahwa kekuasaan pemerintahan harus selalu dibatasi agar tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh Pemerintah terhadap rakyat. Sebelum adanya amandemen II UUD 1945, fungsi pengawasan belum diatur dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Setelah amandemen II Undang-Undang Dasar 1945 Hak Interpelasi sebagai salah satu bentuk fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat telah diatur secara tegas dalam Pasal 20 A ayat (2). Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif maka dapat dilihat bahwa akibat hukum dari penggunaan Hak interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Kebijakan Pemerintah, khususnya Presiden setelah berlakunya Pasal 7 A dan 7 B amandemen III Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat diarahkan pada Pemberhentian Presiden, karena Presiden secara konstitusional tidak dapat diberhentikan dengan alasan kebijakannya dianggap merugikan rakyat. Kata kunci: Hak Interpelasi, Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, Undang-Undang Dasar 1945
The Keywords noted here are the words which represent the concept applied in writing. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.52 Hananto Widodo House of Representative’s Interpelation Right on Legal Political Perspective RechtsVinding Journal, Vol. 1 No. 3, December 2012, page 419-436 The House of Representative has three functions, namely the controlling function, the legislation function, and the budgetary function. One of the controlling functions is the right of interpellation as the consequence of the doctrine of constutional government. Before the second amendment of the 1945 Constitution, the regulations of the right of interpellation were not formulated, but after the second amendment of the 1945 Constitution, the regulations are formulated explicitly in paragraph two of article 20 A of the 1945 Constitution. By using normative legal research, it can be see that due to the legal exercise of the right of interpellation in controlling the policies of the government, the President cannot be impeached as regulated after the enactment of article 7 A and 7 B of the third amendment, because the President cannot constitutionally be impeached if his policies are considered detrimental to people. Keywords: Right of interpellation, House Of Representatives, The President, the Constitution of 1945.