TINJAUAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN ENTITAS TANPA AKUNTABILITAS PUBLIK ATAS REVALUASI DAN BIAYA BUNGA PINJAMAN DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN PAJAK PENGHASILAN Desti Satrio Pambudi1 dan Adang Hendrawan2 1.Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2.Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ABSTRAK Dilatarbelakangi oleh penerapan SAK ETAP yang baru berjalan pada entitas tertentu. Bertujuan menganalisis pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) atas ketentuan revaluasi aset tetap dan biaya bunga pinjaman bagi pengguna SAK ETAP. Pendekatan dan jenis penelitian ialah kualitatif, deskriptif, cross sectional, murni, serta menggunakan literatur dan wawancara. Hasilnya, kewajiban PPh atas revaluasi aset tetap pengguna SAK ETAP adalah sama seperti Wajib Pajak Badan lainnya (SAK non-ETAP), mulai dari prosedur administratif, kewajiban PPh final, hingga sanksi PPh final atas aset yang akan dialihkan. Selain itu, Kewajiban pph yang harus dipenuhi saat masa konstruksi lebih besar daripada kewajiban pajak PPh setelah masa konstruksi. Kata kunci: pajak enghasilan, entitas tanpa akuntabilitas publik, revaluasi aset tetap, biaya bunga pinjaman
ABSTRACT This research is motivated by the application of the Financial Reporting Standards for Small Medium Enterprise running on a particular entity. Aiming to analyze the fulfillment of Income Tax on the provision of revaluation of fixed assets and the interest expense on loans for users of that accounting standard. Approach and type of research is qualitative, descriptive, cross-sectional, pure, and using literature and interviews. As a result, the fulfillment of income tax obligation for revaluation is the same as the Taxpayer other, ranging from administrative procedures, the final income tax liability, up to the final income tax penalties over the assets to be transferred. In addition, the obligation of income tax to be fulfilled in construction period is greater than the period after that Keyword: income tax, small and medium enterprise, revaluation of fixed assets, interest expense on loans.
Pendahuluan Informasi akuntansi merupakan hal yang penting bagi entitas sebagai alat yang digunakan untuk mengambil keputusan, baik oleh pihak internal maupun eksternal entitas. Kualitas informasi akuntansi memegang pengaruh dalam pengambilan keputusan serta arahan mengenai kinerja entitas. Informasi akuntansi dapat didefinisikan sebagai sistem informasi yang bisa mengatur dan mengkomunikasikan informasi keuangan tentang kegiatan ekonomi. Bagi pihak internal, informasi sangat dibutuhkan oleh pihak manajemen untuk mengarahkan dan memecahkan permasalahan entitas sehingga yang diharapkan dari informasi akuntansi tersebut berupa alternatif bisnis yang dilakukan entitas. Informasi akuntansi yang dihasilkan
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
dari suatu laporan keuangan berguna dalam rangka menyusun berbagai proyeksi, misalnya proyeksi kebutuhan uang kas di masa yang akan datang. Dengan menyusun proyeksi tersebut secara tidak langsung akan mengurangi ketidakpastian, antara lain mengenai kebutuhan akan kas. Pengguna Standar Akuntansi Keuangan sangat beraneka ragam, mulai dari entitas kecil, menegah, hingga entitas besar. Sehingga entitas-entitas tersebut perlu memerhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan di dalam Standar Akuntansi Keuangan.Informasi akuntansi keuangan dari perusahaan kecil sangat bermanfaat untuk mengetahui bagaimana pertimbangan usaha entitas, bagaimana struktur modalnya, dan berapa keuntungan yang diperoleh entitas pada suatu waktu tertentu. Mengingat standar tersebut dilakukan oleh segala lapisan jenis usaha, maka dapat dikatakan bahwa Standar Akuntansi Keuangan bersifat global, baik entitas yang berjenis usaha kecil, menegah, hingga besar. Dengan standar pencatatan laporan keuangan entitas yang bersifat global, kendala untuk menerapkan standar akuntansi tersebut dirasakan oleh entitas yang berskala kecil dan menengah. Informasi akuntansi yang dibutuhkan oleh manajemen entitas kecil dan menengah dalam penggunaan informasi akuntansi sangat terbatas sekali. Banyak kelemahan yang terjadi dalam praktik akuntansi pada entitas kecil dan menengah. Kelemahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain pendidikan dan overload standar akuntansi yang dijadikan pedoman dalam penyusunan pelaporan keuangan. Oleh karena pedoman tersebut sangat sulit diterapkan oleh entitas kecil dan menengah, manajemen entitas terkait mengalami hal yang sulit untuk memahami informasi akuntansi dengan baik. Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntansi Indonesia (DSAK-IAI) akhirnya membentuk tim kerja untuk menyusun Standar Akuntansi Keuangan bagi usaha kecil dan menengah. Hal ini karena keberadaan Standar Akuntansi Keuangan untuk usaha kecil dan menengah sudah lama dinantikan. Penyusunan ini dengan mengadopsi draft International Financial Reporting for Small Medium Enterprise (IFRS for SME’s). Adopsi yang dilakukan oleh DSAK-IAI akan lebih fleksibel karena draf dari IFRS sangat kompleks. Menyandang status sebagai entitas yang masih kecil atau menengah tampaknya memberikan keuntungan tersendiri dari sisi akunting dan pajak. Dengan terbitnya SAK ETAP per 2009 tersebut dapat mencerminkan kemudahan itu, khususnya di sisi akunting. Standar akuntansi ini khusus digunakan oleh entitas yang tidak memiliki akuntabilitas publik yang signifikan dan tidak menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum bagi pengguna eksternal. Pengguna eksternal sendiri didefinisikan sebagai pemilik yang tidak terlibat langsung dalam pengelola usaha, kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Para pengusaha berskala usaha mikro, kecil, dan menengah perlu mengetahui kebijakan pajak yang berlaku untuk mereka, supaya kelonggaran yang ada bisa dimanfaatkan pengembangan usaha mereka. Pasalnya seperti yang diketahui, pajak lekat dengan semua bentuk usaha. Tidak ada pengusaha yang bisa menghindar dari kewajiban pajak. Besarnya kewajiban perpajakan para pengusaha berskala usaha mikro, kecil, dan menengah dapat dilihat dari posisi keuangannya. Pembukuan mereka diselenggarakan dengan sistem yang sangat sederhana. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan para pengusaha dalam hal penyelenggaraan pembukuan. Keterbatasan tersebut dapat berupa pengetahuan yang kurang memadai, teknologi yang kurang mendukung, atau dana yang kurang cukup. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan pemungutan pajak yang berasal dari usaha mikro dan kecil secara sederhana. Sebagaimana diutarakan di atas, SAK ETAP memberikan kemudahan bagi entitas untuk menyelenggarakan pembukuan. Kemudahan tersebut, misalnya, dapat terlihat pada pengukuran nilai aset tetap dan pengalokasian biaya bunga pinjaman. Hal ini tentunya memberikan kabar baik bagi entitas yang menerapkan SAK ETAP karena penyederhaan ketentuan standar akuntansi. Di dalam ketentuan SAK ETAP, aset tetap dapat dinilai melalui harga perolehan. Pada umumnya, pengguna SAK ETAP tidak dapat melakukan penilaian aset tetap melalui revaluasi kecuali jika terjadi penyimpangan harga perolehan. Penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh adanya inflasi atau deflasi sehingga informasi keuangan yang disajikan untuk pihak yang memiliki kepentingan tidak sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, informasi yang disajikan di dalam laporan keuangan dinilai dilakukan oleh pengguna SAK ETAP asalkan penyimpangan harga perolehan benar-benar terjadi. Apabila terjadi penyimpangan, entitas pengguna SAK ETAP dapat melakukan revaluasi berdasarkan ketentuan pemerintah. Ketentuan pemerintah sebagaimana dimaksud adalah ketentuan revaluasi yang diatur oleh Menteri Keuangan. Di dalam Undang-Undang Perpajakan, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan peraturan tentang penilaian kembali atau revaluasi aset tetap. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Keuangan merupakan pedoman bagi entitas pengguna SAK ETAP yang merupakan entitas kecil dan menengah untuk melakukan revaluasi saat terjadi penyimpangan harga perolehan. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menggali informasi mengenai pemenuhan kewajiban pajak penghasilan atas revaluasi aset tetap yang dilakukan oleh entitas pengguna SAK ETAP. Sebagaimana telah disinggung di atas, pengguna SAK ETAP merupakan entitas yang berada pada skala kecil dan menengah. Kemudian, hal yang ingin penulis ingin melihat bagaimana
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
entitas kecil dan menengah ini melakukan revaluasi aset tetap dan memenuhi kewajiban pajak penghasilannya atas revaluasi tersebut dengan mengguna SAK ETAP saat penyimpangan mengenai harga perolehan benar-benar terjadi. Perbedaan perlakuan standar akuntansi selanjutnya di dalam SAK ETAP ialah biaya bunga pinjaman. Biaya bunga pinjaman merupakan biaya yang dikeluarkan oleh entitas untuk mendapatkan suatu aset yang kemudian aset tersebut diakui sebagai aset milik entitas. Pengakuan biaya bunga pinjaman merupakan hal yang penting dilakukan oleh entitas. Hal ini disebabkan oleh biaya bunga pinjaman tersebut dapat mempengaruhi nilai aset di dalam neraca sekaligus laba bersih entitas pada suatu periode pembukuan. Pengakuan biaya bunga pinjaman di dalam SAK ETAP diakui secara langsung di dalam laporan laba rugi. Ketentuan tersebut telah diatur di dalam SAK ETAP. Sebagaimana dijelaskan diatas, biaya bunga pinjaman menurut SAK ETAP dapat langsung dibebankan di dalam laporan laba rugi entitas. Sedangkan ketentuan perpajakan tidak sesederhana itu. Ketentuan perpajakan mengatur dari mana bunga pinjaman tersebut berasal kemudian bagaimana ketentuan perpajakan mengaturnya. Perbedaan perlakuan ini yang menjadikan penulis tertarik untuk menggali biaya bunga pinjaman yang diatur di dalam SAK ETAP dan perpajakan sehingga penulis dapat menemukan informasi mengenai pemenuhan kewajiban perpajakannya. Dari latar belakang yang diutarakan di atas, penulis akan meneliti pemenuhan kewajiban pajak penghasilan entitas yang menerapkan SAK ETAP terkait revaluasi aset tetap dan biaya bunga pinjaman. Tinjauan Teoritis Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang memegang peranan penting dalam rangka memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, fungsi pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulernd (Rosdiana dan Tarigan, 2005). Menurut Mansury (2002), administrasi pajak merupakan kunci dari kebijakan pajak. Kebijakan pajak yang baik tidak akan berjalan tanpa didukung oleh administrasi pajak. Sebagaimana ditegaskan oleh Yudkin mengenai kewajiban menyelenggarakan pembukuan dalam urusan perpajakan, penyelenggaraan pembukuan merupakan hal yang diwajibkan bagi para Wajib Pajak sehingga pembukuan yang diselenggarakan
oleh
Wajib
Pajak
tersebut
merupakan
pemenuhan
administrasi
perpajakannya. Sistem pemungutan yang berlaku hingga sekarang adalah sistem self assessment di mana Wajib Pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung dan memperhitungkan, menyetor, dan melporkan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Sehubungan dengan itu, Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan sebagai dasar penyusunan laporan keuangan dalam menentukan laba kena pajak atau rugi perusahaan yang merupakan dasar bagi penghitungan utang pajak perusahaan. Jadi laporan keuangan merupakan sarana untuk menyajikan informasi keuangan secara periodik yang terutama ditujukan kepada para pemiliki (pemegang saham) dan kreditur.
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif (pemahaman mendalam) karena mempertanyakan makna suatu objek secara mendalam dan tuntas (Irawan, 2006, 4) sebagai upaya memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai fenomena yang akan diteliti, yakni mengenai tinjauan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) atas revaluasi aset tetap dan biaya bunga pinjaman dalam pemenuhan kewajiban pajak penghasilan. Berdasarkan pada tujuan, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan manfaat penelitian murni karena murni dilakukan untuk kepentingan akademis tanpa disponsori pihak manapun serta dengan waktu penelitian yang ditentukan oleh peneliti yakni pada bulan Maret 2014 hingga Juni 2014. Penelitian
mengenai
tinjauan
Standar
Akuntansi
Keuangan
Entitas
Tanpa
Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) atas revaluasi aset tetap dan biaya bunga pinjaman dalam pemenuhan kewajiban pajak penghasilan diawali dari proses pengumpulan data sebanyakbanyaknya mengenai regulasi terkait revaluasi aset tetap dan biaya bunga pinjaman serta melakukan wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitian, dalam hal ini entitas pengguna SAK ETAP, Pihak Praktis dari Pratama Indomitra Konsultan dan Deloitte Tax Solution, serta Pihak Akademisi yang memahami standar akuntansi dan perpajakan. studi literatur sebagai data sekunder dalam mengolah data. Data sekunder tersebut diperoleh dari berbagai sumber bahan cetak seperti buku, artikel ilmiah, jurnal ilmiah, majalah, penelitian terdahulu, serta peraturan perundangundangan yang terkait. Selain itu, data sekunder juga diperoleh melalui penelusuran internet terkait dengan data dan informasi yang dibutuhkan. Teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan pemilahan data melalui coding, analisis dan penyajian data, dan simpulan serta triangulasi informasi dengan informan-informan terkait untuk memperoleh gambaran menyeluruh terkait revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan dan biaya bunga pinjaman. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
1. Revaluasi Aset Tetap Di dalam ketentuan SAK ETAP, revaluasi dapat dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah saat terjadi penyimpangan mengenai biaya perolehan. Hal ini sebagaimana dituangkan di dalam SAK ETAP Bab 15 Paragraf 15 yang berbunyi antara lain sebagai berikut: “Penilaian kembali atau revaluasi aset tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena SAK ETAP menganut penilaian aset berdasarkan biaya perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah.” Dari penjelasan di atas, penilaian kembali dapat dilakukan oleh pengguna SAK ETAP karena ditemukan adanya penyimpangan mengenai harga perolehan. Penyimpangan ini dapat saja terjadi pada harga perolehan saat terdapat indikasi inflasi atau deflasi. Inflasi atau deflasi tersebut mengakibatkan harga suatu aset menjadi naik atau turun. Hal ini yang membuat nilai aset yang disajikan di dalam laporan laba rugi menjadi tidak wajar. Adapun ketentuan pemerintah sebagaimana dijelaskan di atas ialah ketentuan yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang untuk mengeluarkan kebijakan mengenai penilaian kembali aktiva tetap, yakni Menteri Keuangan. Sebagaimana diamanatkan di dalam penjelasan UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 19, Menteri Keuangan berhak untuk menerbitkan peraturan mengenai penilaian kembali aset tetap saat diindikasikan terjadinya penyimpangan. Ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut merupakan ketentuan revaluasi aset tetap yang dijadikan pedoman oleh entitas untuk tujuan perpajakan. Bunyi ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut: “Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.” Entitas Mengajukan Permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak Berdasarkan ketentuan revaluasi aset tetap yang diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008, entitas yang melakukan revaluasi aset tetap wajib mengajukan permohonan revaluasi tersebut akan dilakukan kepada Direktur Jenderal Pajak. Permohonan tersebut diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat entitas tersebut terdaftar (KPP Domisili).
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Ketentuan ini telah diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 Pasal 2 Ayat (1) yang berbunyi: “Untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, perusahaan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak”. Persyaratan ini bersifat mutlak bagi setiap entitas yang akan melakukan revaluasi aset tetap. Pada saat mengajukan permohonan tersebut, entitas harus mempersiapan lampiran yang disyaratkan di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2009 Pasal 2 Ayat (3). Adapun persyaratan tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Fotokopi surat izin usaha perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, yang dilegalisir oleh instansi pemerintah yang berwenang menerbitkan surat izin usaha tersebut; 2. Laporan Penilaian Perusahaan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah; 3. Daftar Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan; dan 4. Laporan Keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aktiva tetap perusahaan yang telah diaudit akuntan publik. Persyaratan sebagaimana dituangkan di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2009 tersebut dapat membebani entitas yang akan melakukan revaluasi aset tetap. Bagi pengguna SAK ETAP untuk tujuan perpajakan, saat hendak melakukan revaluasi aset tetap perlu mempersiapkan dokumen yang dilampirkan bersamaan dengan surat permohonan melakukan revaluasi aset tetap kepada Direktur Jenderal Pajak. Syarat di atas disebutkan bahwa entitas harus mendapatkan Laporan Penilaian Perusahaan dari jasa penilai atau ahli penilai. Tidak semua Jasa penilai atau ahli penilai sebagaimana dimaksud di atas dapat diizinkan untuk menilai aset entitas untuk tujuan perpajakan. Jasa penilai atau ahli penilai sebagaimana dimaksud di atas adalah jasa penilai atau ahli penilai yang telah mendapatkan sertifikat usaha untuk melakukan penilaian aset tetap entitas. Selain itu, entitas harus mengaudit laporan keuangan tahun buku terakhir yang dilakukan oleh akuntan publik. Entitas harus mempersiapkan segala hal mengenai infomasi laporan keuangan tahun sebelumnya guna diaudit oleh kantor akuntan publik. Jika dilihat dari segi waktu, pengguna SAK ETAP merasa bahwa apa yang mereka lakukan untuk mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak merupakan hal yang tidak cepat untuk dapat dilakukan sehingga pengguna SAK ETAP kurang tertarik melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan. Time cost yang harus dikorbankan oleh entitas dinilai
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
cukup besar. Laporan keuangan entitas tahun buku terakhir sebelum revaluasi aset tetap dilakukan perlu diaudit oleh kantor akuntan publik. Dalam kesempatan wawancara penulis dengan salah satu pengguna SAK ETAP, beliau menyampaikannya antara lain sebagai berikut: “Itu kan harus memenuhi ya dokumen yang diminta sama DJP. Itu ada, apa itu.. syarat-syarat yang ribet. Kalo kayak gitu kan mas bikin orang gak tertarik aja buat revaluasi, ya kan. Coba kalo yang bikin aturan itu ya yang kira-kira mudah dijalaninnya lah, kita kan juga gampang ngikutinnya.”(Personal interview dengan Bu Titi) Pada saat proses audit dilakukan entitas masih harus menunggu hasil laporan audit yang tidak sebentar. Proses audit ini membutuhkan waktu yang cukup lama yang disebabkan oleh kantor akuntan publik perlu memahami bisnis dan industri entitas, melakukan prosedur analisis, mempertimbangkan materialtias laporan keuangan entitas, mempertimbangkan risiko, mengembangkan strategi audit, tahap pengujian audit, hingga laporan audit siap disajikan kepada entitas. Faktor-faktor lama tidaknya penyelesaian audit tersebut juga dipengaruhi keadaan laporan keuangan entitas yang diaudit. Selain audit yang dilakukan oleh kator akuntan publik, entitas juga harus menunggu hasil Laporan Penilaian Perusahaan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai. Jangka waktu penyelesaian Laporan Penilaian Perusahaan tersebut tergantung pada jumlah aset yang hendak dinilai. Semakin banyak aset yang dinilai, maka semakin lama juga waktu yang harus dikorbankan entitas untuk mendapatkan Laporan Keuangan Perusahaan. Agar dapat permohonan tersebut dapat diterima oleh Direktur Jenderal Pajak, entitas harus memenuhi semua persyaratan yang harus dipenuhi tersebut dan mengajukan ke Direktur Jenderal Pajak, baik persyaratan formal maupun material. Setelah entitas memenuhi semua persyaratan yang harus dipenuhi tersebut dan mengajukan ke Direktur Jenderal Pajak, entitas masih harus menunggu hasil keputusan Direktur Jenderal Pajak bahwa permohonan tersebut ditolak atau diterima. Jangka waktu tersebut telah diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2009 Pasal 3 Ayat (3) yang berbunyi: “Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau keputusan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diterbitkan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan Perusahaan” Berdasarkan hasil wawancara, entitas pengguna SAK ETAP merasa persyaratan di atas memberatkan jika revaluasi dilakukan dengan menggunakan ketentuan perpajakan.
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Keberatan ini diungkapkan oleh salah satu pengurus Koperasi Jasa Marga Bhakti V Unit Induk di mana Koperasi tersebut merupakan salah satu Pengguna SAK ETAP sebagai berikut: “Itu kan tuh banyak banget ya orang pajak nyuruh ini itu buat revaluasi, kalo kita mah jujur berat mas. Buat ngajuin revaluasi aja harus bikin itu, belum lagi nungguin mereka bisa nerima permohonan kita apa nggak kan. Lagian peluang buat ditolak juga ada kan mas.”(Personal Interview dengan Bu Titi) Berdasarkan hasil wawancara di atas, Koperasi Jasa Marga Bhakti V merasa dipersulit dengan berbagai persyaratan dalam mengajukan permohanan revaluasi aset tetap kepada Direktur Jenderal Pajak. Begitu pula dengan pengguna SAK ETAP lainnya. Dalam pengaturan SAK ETAP, ketentuan yang diatur di dalam standar akuntansi bagi penggunanya telah disusun sedemikian rupa agar entitas pengguna SAK ETAP tersebut merasa dipermudah dalam hal penyelenggaraan pembukuan. Dengan demikian, keberatan yang disampaikan oleh Bu Titi merupakan hal yang wajar yang dirasakan oleh pengguna SAK ETAP. Selain itu, kekhawatiran mereka untuk ditolak permohonannya masih terpikirkan oleh pengguna SAK ETAP. Persyaratan untuk mengaudit laporan keuangan tahun terakhir serta harus menunggu terlebih dahulu hasil Laporan Keuangan Perusahaan mereka mengindikasikan bahwa pengguna SAK ETAP belum siap untuk melakukan hal kompleks tersebut. Hal ini disebabkan pengguna SAK ETAP masih memiliki banyak keterbatasan dalam hal penyelenggarakan pembukuan dan administrasi perpajakan. Kewajiban Pajak Penghasilan Final Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan Pasal 5 mengatur pph final yang dikenakan oleh entitas saat terdapat surplus atas selisih hasil revaluasi. Ketentuan ini antara lain berbunyi sebagai berikut: “Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen)” Ketentuan ini merupakan turunan dari ketentuan yang diatur di dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) huruf m yang menyatakan bahwa selisih lebih karena penilaian kembali aset tetap merupakan objek pajak penghasilan. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak final di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 berbeda dengan regulasi sebelumnya. Di dalam regulasi sekarang, dasar pengenaan pajak berupa selisih lebih revaluasi aset tetap dari nilai buku semula. Namun di
dalam
regulasi
sebelumnya,
yakni
Keputusan
Menteri
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Keuangan
Nomor
486/KMK.03/2002, dasar pengenaan pajak final mengenai revaluasi aset tetap berupa selisih lebih revaluasi aset tetap dari nilai buku semula setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya. Jadi, terdapat peraturan perpajakan yang lebih memberatkan lagi, terutama bagi pengguna SAK ETAP, mengenai pajak final yang dikenakan atas revaluasi aset tetap. Dari sisi pemerintah, regulasi yang sekarang ini merupakan regulasi yang menguntungkan untuk meningkatkan penerimaan negara di bidang revaluasi. Namun di sisi pengguna SAK ETAP, kewajiban ini justru memberatkan pengguna SAK ETAP. Dalam suatu kesempatan wawancara, penulis mengutip kebaratan yang disampaikan dari pihak Koperasi Jasa Marga V di mana Koperasi tersebut merupakan salah satu pengguna SAK ETAP: “Dipajakin dari mana sih mas itu sebenernya. Saya heran, itu kan surplus aset uangnya (pendapatan dari hasil revaluasi) sebenarnya gak ada kan ya, gimana kita mau bayar pajaknya” (Personal Interview dengan Bu Titi) Keberatan yang mereka rasakan ini beralasan bahwa selisih lebih penilaian aset tetap dari nilai aset semula tidak mereka rasakan secara fisik. Artinya dari sudut pandang mereka, pertambahan nilai aset bagi pengguna SAK ETAP bukanlah suatu bentuk penghasilan yang seharusnya dikenakan kepada mereka. Namun demikian, pengguna SAK ETAP tetap harus menaati ketentuan ini saat melakukan revaluasi untuk kepentingan perpajakan. Pengguna SAK ETAP merasakan hal yang berat saat memenuhi kewajiban perpajakan ini karena mereka harus mempersiapkan dana terlebih dahulu agar ketika aset mereka dinilai lebih besar dari semula, mereka dapat memenuhi kewajiban perpajakannya. Pajak Penghasilan final sebesar 10% (sepuluh persen) yang terutang atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap entitas harus dibayar lunas ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal diterbitkannya Keputusan Persetujuan Direktur Jenderal Pajak. keterlambatan pelunasan Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut yang terutang dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan ketentuan di dalam UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 9 ayat (2a) yang berbunyi sebagai berikut: “Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Bagi entitas yang tidak mungkin melunasi sekaligus Pajak Penghasilan final tersebut, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan Pasal 6 menyatakan entitas tersebut dapat mengajukan permohonan pembyaran secara angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan. Hal ini juga ditegaskan di dalam UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 9 ayat (4) yang berbunyi antara lain sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak atas Permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” Atas permohonan entitas tersebut, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan meskipun jatuh tempo pembayaran telah ditentukan. Dalam kasus pengangsuran atau penundaan ini, Direktur Jenderal Pajak sangat berhati-hati untuk memberikan kelonggaran tersebut. Pemberian kelonggaran ini terbatas kepada entitas yang benar-benar mengalami kesulitan likuiditas. Ketentuan ini yang pengguna SAK ETAP perlu perhatikan bahwa jika alasan mereka hanya karena merasa keberatan untuk membayar PPh final atas revaluasi aset tetap, mereka tidak dapat mengangsur pembayaran PPh final tersebut. Hal ini disebabkan Direktur Jenderal Pajak memberikan batasan hanya kepada entitas yang benar-benar mengalami kesulitan likuiditas. Begitu pula dengan pengguna SAK ETAP yang mendapatkan kelonggaran berupa angsuran PPh final, Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap entitas untuk tujuan perpajakan wajib melunaskan PPh final yang terutang tersebut ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak paling lama pada tanggal jatuh tempo setiap angsuran pembayaran dalam hal entitas memperoleh keputusan persetujuan. Keterlambatan pelunasan Pajak penghasilan yang bersifat final yang terutang secara angsuran dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebsar 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembyaran sampai dengan tanggal pembyaran angsuran tersebut. Sesuai dengan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008, diatur bahwa dalam hal entitas melakukan pengalihan aktiva tetap berupa aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok (2) yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
berakhirnya masa manfaat yang baru atau aktiva kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh) tahun maka atas selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sis buku fiskal semula, dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10% (sepuluh persen) yang dibayarkan lunas ke Kas Negara paling lama 15 (lima belas) hari setelah akhir bulan terjadinya pengalihan aset tetap tersebut. Keterlambatan pelunasan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang atas aset setelah revaluasi dialihkan, sebagaimana tertuang di dalam UU No. 16 Tahun 2009 Pasal 9 ayat (2a), dikenai denda sebesar 2% setiap bulannya. Ketentuan mengenai pengenaan PPh final atas pengalihan aset tetap yang telah direvaluasi tidak berlaku dengan beberapa alasan. Ketidakberlakuan tersebut antara lain disebabkan oleh pengalihan aset tetap entitas yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan. Pengalihan aset tetap entitas dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang mendapatkan persetujuan juga merupakan alasan yang dapat dikecualikan dari pengenaan PPh final atas aktiva yag akan dialihkan tersebut. Selain itu, alasan terakhir ialah penarikan aktiva tetap entitas dari pengguna karena mengalami kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki lagi. Adanya ketentuan ini merupakan hambatan bagi entitas, terutama pengguna SAK ETAP untuk melakukan penilaian aktiva tetapnya karena harus menanggung beban pajak yang bersifat final 15% (tarif PPh Badan tertinggi, yakni 25% dikurangi 10%) juga keuntungan pengalihan aktiva tetap tersebut dikenakan pajak dengan tarif global. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam wawancara personal dengan Bu Titi: “Gini loh mas, kita tuh kalo mau revaluasi aset biasanya karena ada kendaraan yang mau dijual. Nih contohnya (menunjukkan daftar aset tetap), kijang pick-up ini kan udah abis masa manfaatnya. Nah terus kita mau jual. Makanya kalo ada banyak aset yang udah abis masa manfaatnya terus ada beberapa yang kita emang jual ya, itu tuh biasanya kita revaluasi dulu. Kalo modelnya kayak gitu, berarti kita kena PPh final terus dong mas abis jual aset. Sekarang siapa sih yang mau kena pajak terus, gitu loh.” (Personal Interview dengan Bu Titi) Dari wawancara dengan pengguna SAK ETAP di atas, dapat diketahui bahwa aset yang direvaluasi oleh pengguna SAK ETAP biasanya dimaksudkan untuk dijual kembali. Pengguna SAK ETAP kurang memperhatikan manfaat tax planning dari ketentuan revaluasi untuk tujuan perpajakan ini. Pengguna SAK ETAP menganggap bahwa revaluasi untuk tujuan perpajakan tidak sesuai dengan kehendak mereka. Ketidakpahaman mereka terhadap tax
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
planning akan membuat mereka berpikir bahwa revaluasi untuk ketentuan perpajakan akan selalu memberatkan penguna SAK ETAP. Kekurangpahaman ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan sumber daya manusianya, keterbatasan teknologi yang mereka gunakan, ketidakpedulian mereka terhadap urusan perpajakan, dan kemudahan yang mereka dapatkan di dalam penggunaan ketentuan SAK ETAP. Mereka akan melakukan revaluasi aset tetap saat masa manfaat aset tersebut telah habis dan akan dialihkan atau dijual kepada pihak lain. Oleh karena itu, pengguna SAK ETAP akan terbebani dengan PPh final atas aset tetap yang dialihkan tersebut jika ditinjau dari tujuan awal mereka melakukan revaluasi aset tetap. 2. Biaya Bunga Pinjaman Standar Akuntansi keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) memiliki pengaturan sendiri mengenai biaya pinjaman dibandingkan dengan standar akuntansi keuangan lainnya serta perpajakan. Ketentuan SAK ETAP mengatur biaya pinjaman harus diakui seluruhnya sebagai biaya yang dibebankan di dalam laporan laba rugi entitas. Ketentuan ini sebagaimana telah diatur di dalam SAK ETAP Bab 21 Paragraf 2 yang berbunyi: “Entitas harus mengakui seluruh biaya pinjaman sebagai beban pada laporan laba rugi di periode terjadinya” Biaya pinjaman yang dapat dibebankan secara langsnung di dalam laporan laba rugi entias, berdasarkan ketentuan SAK ETAP, terdiri dari: -
Bunga untuk cerukan bank dan pinjaman jangka pendek dan jangka panjang
-
Amortisasi diskonto atau premium yang terkait dengan pinjaman
-
Amortisasi biaya tambahan yang timbul sehubungan dengan proses perjanjian peminjaman
-
Beban pembiayaan sesuai dengan sewa pembiayaan yang diatur di dalam SAK ETAP
-
Perbedaan nilai tukar yang timbul dari pinjaman dalam mata uang asing di mana perbedaan ini dianggap sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga Penjelasan di atas menegaskan bahwa ketentuan SAK ETAP tidak melihat dari mana
biaya pinjaman tersebut berasal dan untuk apa biaya pinjaman tersebut digunakan. Hal ini disebabkan oleh tujuan SAK ETAP ialah memudahkan entitas pengguna SAK ETAP untuk menyelenggarakan pembukuannya. Tentunya, peraturan perpajakan tidak sejalan dengan tujuan SAK ETAP tersebut. Peraturan perpajakan melihat dari mana biaya pinjaman tersebut berasal dan untuk apa biaya pinjaman tersebut digunakan. Sebagaimana diatur di dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 6 bahwa biaya bunga dapat dijadikan
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
beban secara langsung menurut ketentuan pajak. Perlakuan pajak terhadap biaya bunga pinjaman ini sama seperti SAK ETAP memperlakukan biaya bunga pinjaman. Namun berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan perlakuan pajak atas biaya bunga pinjaman antara masa konstruksi dengan masa setelah konstruksi, sehingga perbedaan ini akan berpengaruh terhadap laporan laba rugi fiskal pengguna SAK ETAP. Perbedaan perlakuan ini selanjutnya akan dibahas pada sub-bab selanjutnya. Biaya Bunga Pinjaman Aset Tetap Ketentuan perpajakan mengenai biaya bunga pinjaman aktiva tetap diatur dalam 2 (dua) kategori, yakni biaya bunga pinjaman yang diperoleh saat masa konstruksi dan biaya pinjaman yang diperoleh setelah masa konstruksi. Pada dasarnya, biaya bunga yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan sebagaimana dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan merupakan biaya yang dapat dibebankan di dalam laporan laba rugi entitas. Oleh karena biaya bunga pinjaman tersebut digunakan untuk membangun dan mengadakan aset tetap, maka biaya tersebut dapat dijadikan pengurang penghasilan entitas. Namun, biaya bunga pinjaman yang dapat dijadikan pengurang penghasilan harus merupakan biaya bunga pinjaman untuk membangun dan mengadakan aset tetap yang memiliki hubungan dengan kegiatan usaha entitas. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22PJ.42/1999 tentang Perlakuan PPh atas Biaya Bunga dan Biaya Overhead Dalam Masa Konstruksi ayat 2 a berbunyi antara lain sebagai berikut : “Dalam hal suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, biaya bunga yang timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan pabrik/bangunan lainnya tersebut, yang pembebanannya melalui penyusutan” Aset tetap yang diatur di dalam ketentuan tersebut merupakan aset tetap yang berbentuk bangunan, seperti pabrik, gudang, kantor manajemen, dan bangunan lainnya yang memliki masa manfaat lebih dari satu tahun. Bunga pinjaman yang diperoleh saat masa konstruksi, di mana aset tersebut merupakan bangunan, dapat dibebankan melalui penyusutan aset tetap. Artinya, biaya bunga tersebut harus dijadikan sebagai bagian dari biaya perolehan pada masa konstruksi berlangsung. Hal ini berbeda dengan ketentuan SAK ETAP. Di dalam ketentuan SAK ETAP, saat biaya pinjaman muncul pada suatu periode maka biaya bunga pinjaman tersebut langsung dapat dibebankan ke dalam laporan laba rugi entitas. Jadi, ketika
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
biaya bunga pinjaman muncul pada saat aset tetap tersebut di bangun pada masa konstruksi, entitas dapat mengakui biaya bunga pinjaman tersebut ke dalam laporan laba rugi entitas. Di dalam ketentuan SAK ETAP, entitas tidak diperkenankan untuk mengkapitalisasi biaya bunga pinjaman aset tetap saat masa konstruksi. Ketentuan ini akan mengakibatkan perbedaan perhitungan laba bersih entitas antara fiskal dengan SAK ETAP. Saat entitas mengakui bunga pinjaman pada masa konstruksi di dalam laporan laba bersih SAK ETAP, ketentuan perpajakan tidak mengizinkan bunga pinjaman pada masa konstruksi tersebut diakui di dalam laba rugi fiskal. Perbedaan ini mengakibatkan adanya koreksi pada laporan laba rugi SAK ETAP atas ketentuan perpajakan di dalam laporan laba rugi fiskal. Hal ini yang menjadikan laba fiskal pada saat masa konstruksi lebih besar dibandingkan dengan laba bersih komersial (SAK ETAP). Bunga pinjaman yang masih terutang dan atau dibayar setelah masa konstruksi selesai, pembebanan biaya bunga tersebut secara perpajakan dapat langsung dijadikan pengurang penghasilan entitas di dalam laporan laba rugi fiskal di tahun yang bersangkutan. Regulasi ini mengatur ketentuan yang berbeda dari ketentuan sebelumnya, yakni bunga pinjaman yang muncul saat masa konstruksi. Pada saat setelah masa konstruksi berlangsung, ketetapan perpajakan mengenai biaya bunga pinjaman pada aktiva tetap searah dengan ketetapan yang diatur di dalam SAK ETAP. Sehingga pada tahap ini, bunga pinjaman yang terutang dan atau dibayar setelah masa konstruksi selesai tidak akan terkena koreksi di dalam laporan laba rugi fiskal. Biaya bunga, baik SAK ETAP maupun perpajakan, diakui sebagai beban operasional entitas pada periode terjadinya bunga pinjaman tersebut. Jadi, entitas pengguna SAK ETAP harus membayar pajak terutang pada periode masa konstruksi berlangsung lebih besar daripada pajak terutang pada masa setelah kontruksi berlangsung. Ketententuan mengenai bunga pinjaman ini sebagaimana telah diatur di dalam UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 6 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa biaya bunga, termasuk biaya bunga setelah masa konstruksi selesai, merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang menjadi pengurang penghasilan bruto entitas. Artinya, biaya bunga setelah masa konstruksi merupakan biaya bunga yang dapat dibebankan langsung di dalam laporan laba rugi fiskal bagi pengguna SAK ETAP. Biaya Bunga Pinjaman Pada Sarana dan Prasaran Pendidikan Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan yang dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut dikapitaliasasikan dengan harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan tersebut. Hal ini tertulis di dalam Peraturan Direktur Jenderal
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Pajak Nomor PER-44/PJ/2009 Pasal 4 ayat (2) tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Di dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa bunga untuk sarana dan prasarana yang berasal dari dana pinjaman atas kegiatan penelitian dan pengembangan juga diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana tersebut (kapitalisasi bunga pinjaman). Bunyi ketentuan tersebut antara sebagai berikut: “Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Ketentuan tersebut berlaku saat entitas masih dalam tahap pembangunan dan pengadaan sarana pendidikan, penelitian, atau pengembangan. Selama dalam proses tersebut, ketentuan pajak mengatur bahwa bunga pinjaman sebagaimana disinggung di atas dikapitalisasikan dengan harga perolehan. Hal ini berbeda dengan ketentuan SAK ETAP yang membebankan langsung seluruh bunga pinjaman saat proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasaran pendidikan, penelitian, atau pengembangan. Dalam periode ketika proses pembangunan dan pengadaan berlangsung, terjadi perbedaan pengakuan antara ketentuan SAK ETAP dengan perpajakan. Biaya bunga pinjaman atas pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana tersebut dikoreksi secara fiskal pada periode terjadinya bunga pinjaman. Artinya, pajak tidak mengakui adanya beban yang dilaporkan di dalam laporan laba rugi fiskal oleh entitas pengguna SAK ETAP. Alhasil, penghasilan kena pajak entitas akan lebih besar daripada laba bersih komersialnya pada periode terjadinya bunga pinjaman. Perbedaan yang muncul akibat ketentuan ini lainnya ialah nilai aset yang diakui secara fiskal lebih besar daripada nilai aset komersial. Pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dapat berupa: -
Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut
-
Pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium, dan perpustakaan
-
Pembelian atau pembangunan sarana mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan atau lokasi lembaga pendidikan formal.
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Selanjutnya, ketentuan pajak mengatur biaya bunga pinjaman atas dana pinjaman yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasaran kegiatan pendidikan, penelitian, atau pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya entitas. hal ini tertuang di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2009 Pasal 4 ayat (3) tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan, yang berbunyi antara sebagai berikut: “Biaya bunga atas dana pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan atau lembaga nirlaba” Pada tahap ini, terdapat persamaan pengaturan antara ketentuan SAK ETAP dengan perpajakan. Ketentuan perpajakan menghendaki biaya setelah proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasaran pendidikan, penelitian, atau pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya entitas. Hal ini serupa dengan yang diatur di dalam ketentuan SAK ETAP. Jadi, apabila entitas pengguna SAK ETAP memiliki biaya bunga pinjaman yang berasal dari dana pinjaman di dalam laporan laba rugi komersialnya di mana biaya bunga tersebut diperoleh setelah proses pembangunan atau pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, penelitian, atau pengembangan maka biaya bunga tersebut tidak akan terkoreksi fiskal di dalam laporan laba rugi fiskal. hal ini disebabkan karena biaya bunga pinjaman tersebut diperlakukan sebagai beban entitas di dalam laporan laba rugi baik SAK ETAP maupun ketentuan perpajakan. Begitu pula dengan pembayaran bunga pinjaman tersebut setelah proses pembangunan dan pengadaan selesai dilakukan. Bunga pinjaman tersebut dapat dibebankan pada laporan laba rugi sama halnya seperti ketentuan SAK ETAP. Hal ini mengakibatkan entitas pengguna SAK ETAP harus membayar pajak terutang pada periode masa konstruksi berlangsung lebih besar daripada pajak terutang pada masa setelah kontruksi berlangsung. Simpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, kewajiban Pajak Penghasilan atas ketentuan revaluasi aset tetap yang harus dipenuhi oleh pengguna SAK ETAP adalah sama seperti Wajib Pajak Badan lainnya (SAK non-ETAP), mulai dari prosedur administratif, kewajiban PPh final, hingga sanksi PPh final atas aset yang akan dialihkan setelah revaluasi. Namun berdasarkan hasil wawancara penulis, pemenuhan kewajiban pajak penghasilan atas revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan tersebut kurang diperhatikan oleh pengguna SAK
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
ETAP. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan mereka terhadap regulasi perpajakan. Regulasi Pajak Penghasilan atas biaya bunga pinjaman tetap terhadap pengguna SAK ETAP menimbulkan pajak tangguhan pada masa konstruksi aset tetap khsusunya bangunan. Kewajiban pajak penghasilan yang harus dipenuhi oleh pengguna SAK ETAP saat masa konstruksi lebih besar daripada kewajiban pajak penghasilan setelah masa konstruksi. Hal ini disebabkan biaya bunga pinjaman saat masa konstruksi dikapitalisasikan ke dalam harga perolehan aset tetap tersebut. Sedangkan setelah masa konstruksi selesai, biaya bunga pinjaman yang masih terutang atau masih harus dibayar dapat dibebankan langsung di dalam laporan laba rugi fiskal pengguna SAK ETAP Saran Pengguna SAK ETAP sebaiknya peduli terhadap regulasi perpajakan untuk memenuhi kewajiban pajak penghasilan atas revauluasi aset tetap, terutama bagi pengguna SAK ETAP yang melakukan revaluasi. Pengetahuan terhadap regulasi perpajakan yang baik mengenai revaluasi aset tetap ini akan menekan kemungkinan terkena sanksi adminsitratif saat pengguna SAK ETAP melakukan revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan. Mengikuti perkembangan regulasi perpajakan mengenai revaluasi aset tetap dan berkonsultasi kepada konsultan pajak atau Direktur Jenderal Pajak sebelum melakukan revaluasi aset tetap merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan pengetahuan perpajakan mengenai revaluasi ini terutama bagi pengguna SAK ETAP. Referensi I.
Buku
Basrowi, Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008. Budi, Prianto. Konvergensi IFRS dan Pengaruhnya Terhadap Perpajakan: Edisi Ke-2. Jakarta: PT Pratama Indomitra Konsultan, 2012. Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualiasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006. Creswell, John W. Reaserch Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: Sage Publication, 1994. Chattopadhyay, S and A. D Gupta. The Compliance Cost of the Personal Income Tax and its Determinants. New Delhi: National Institute of Public Finance and Policy, 2002.
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Dunia, Firdaus A. Ikhtisar Lengkap: Pengantar Akuntansi. Jakarta: Penerbit Andi, 2010 Erick, Suwarta. Tax Planning Tip dan Trik Mengoptimalkan Pajak Perusahaan. Jakarta: JMT House, 2004. Hanner, Carter and Usoy. Cost accounting 11th edition. College Division South Western Publishing Co, 1995. Hery. Teori Akuntansi Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Hutagaol, John. Kapita Selekta Akuntansi Pajak. Jakarta: Penerbit Kharisma, 2003. Juanda, Gustian. dan Irwansyah Lubis. Pelaporan Pajak Penghasilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 2001. Kam, Vernon. Accounting Theory Second Edition. Singapore: John Wiley & Sons Inc, 1990. Mansury, R. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: IND-HILL-CO, 1996. Mardiasmo. Perpajakan Edisi Ketujuh. Yogyakarta: Penerbit Andi, 1999. Markus, Muda. dan Lalu Henry. Pajak Penghasilan. Jakarta: Gramedia, 2004. Moleong, Lexy J. Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Rosda, 2007. Muljono, Djoko. Pengaruh Perpajakan pada Penerapan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2012 Musgrave. Richard. dan Peggy Musgrave. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek Edisi kelima. Jakarta: Erlangga, 1999. Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit, 2003. Pardiat. Akuntansi Pajak: Edisi Ke-4, Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2010. Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, Perpajakan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005. Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012 Smith, Jay M. dan K. Fred. Skousen. Akuntansi Intermediate. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1990. Soemitro, Rochmat. Asas dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: Refika Aditama, 1998. Suandy, Erly. Perencanaan Pajak. Jakarta: Salemba Empat, 2001. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta, 2009. Sumarsan, Thomas. Tax Review dan Strategi Perencanaan Pajak. Jakarta: PT Indeks, 2012. Suwardjono. Teori Akuntansi “Perekayasaan Pelaporan Keuangan”. Jakarta: Granit, 2011. Soemitro, Rochmat. Asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung: PT Rafika Aditama, 1998. Waluyo. Akuntansi Pajak. Jakarta: Salemba Empat, 2008. Yudkin, Leon. Tax Technique Handbook: A Legal Structure for Effective Income Tax Administration. Cambridge: International Tax Program Harvard Law School, 1971. II. Karya Ilmiah Irawati, Henny. Revaluasi Aktiva Tetap dan pengaruhnya Terhadap Solvabilitas Perusahaan (Studi Kasus Pada PT. Badjatex Bandung). Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata, 2001. Ramadhan, Hudan Akbar. Analisis Revaluasi Aset Tetap Terhadap Penghematan Beban Pajak Penghasilan Pada PT. Inka Madiun. Surabaya: Univesitas Negeri Surabaya, 2011.
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014
Rendhite, Rian Ardhi. Penerapan PSAK(Revisi 2007) Tentang Aset Tetap dan Dampaknya Terhadap perpajakan. Jakarta: Newsletter Akuntasi, Audit, Perpajakan, dan Manajemen. Edisi: VIII/Agustus 2009. h 1-4. Saktiko, Anggit Silo. Tax Planning Atas Pelaksanaan Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan. Depok: Universitas Indonesia, 2003. Sumirat, Arief. Faktor-faktor Mempengaruhi Minat Perusahaan Untuk Melakukan Penilaian Kembali Aktiva Tetap (Studi Kasus Pada KPP Penanaman Modal Asing Dua). Depok: Universitas Indonesia, 2005. III. Peraturan dan Perundang-undangan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945. -------------------------. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. -------------------------. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 76 Tahun 1984 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. -------------------------. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-96/PMK.03/2009 tentang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan. -------------------------. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2009 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Pengadministrasian Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan. -------------------------. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-55/PJ/2009 tentang Cara Permohonan dan Penetapan Masa Manfaat yang Sesungguhnya Atas Harta Berwujud. -------------------------. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ.42/1999 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Bunga dan Biaya Overhead dalam Masa Konstruksi.
Tinjauan standar..., Desti Satrio Pambudi, FISIP, 2014