KASIH: MODAL UTAMA PENDEKATAN KITAB SUCI Porat Antonius Penulis Buku Eksegese Orang Jalanan
Pengantar Dengan jujur harus disampaikan bahwa tulisan ini bukanlah makalah, apalagi dalam ukuran akademik. Tulisan ini adalah kisah hidup yang merentang jauh sebelum menulis Serial buku Eksegese Orang Jalanan. Kisah ini merupakan latar belakang lahirnya buku Eksegese Orang Jalanan ini. Oleh karena itu judulnya pun disertakan dengan jalanan pula. Mudah-mudahan kisah ini membantu pembaca dalam memahami isi serian buku ini dan cara buku ini disajikan. Banyak atau sedikit jelas berbeda dari buku yang membahas Kitab Suci yang sama yang beredar selama ini. Sebagai awam yang tidak pernah secara formal akademis belajar Kitab Suci dan ilmu lain yang berkaitan dengan Kitab Suci, Serial buku Eksegese Orang Jalanan bukan merupakan hasil kajian intelektua atau buah belajar ilmu yang berhubungan dengan Kitab Suci. Serial ini sesungguhnya merupakan rekam jejakpengalaman hidup atau hasil pendidikan hidup sehari-hari sebagai awam yang jatuh bangun dalam beriman. Serial ini adalah satu titik puncaknya, yang dalam pandangan kami layak dibagikan. Walaupun hanya sekedar bandingan. Puncak ini pun bukan puncak tertinggi. Puncak ini tidak lebih dari puncak pasrah, tempat berjuang mengalami kasih Allah dalam keletihan dan kebingungan. Dalam perjalanan kami, puncak ini ternyata tidak statis melainkan dinamis dalam arti bertumbuh. Puncak ini juga akhirnya menjadi tempat pijak untuk memandang kemuliaan kasih Allah yang lebih besar. Harap-harap cemas. Semoga sisa hidup selanjutnya merupakan kesempatan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dan mengalami kasih-Nya yang lebih sempurna. Betapa tidak, Serial Buku Eksegese Orang Jalanan ini baru dapat ditulis pada usia setengah abad setelah bersentuhan dengan pewartaan Kitab Suci. Sentuhan awal yang berpengaruh dimulai ketika belajar di sekolah dasar, kurang lebih lima puluh tahun yang lalu. Selama sekolah dasar, Kitab Suci diperkenalkan sebagai Sabda Allah yang mewartakan Allah yang Mahakuasa, Allah yang Mahakasih, Allah yang Mahatahu, Allah yang menguasai dan mengatur alam semesta, dan Allah yang menghukum orang berdosa dan sebagainya. Yang terakhir ini yang lebih merasuk relung budi dan pikiran daripada yang lain. Tambahan lagi, selama sekolah dasar, diajarkan juga bahwa salang nggere wa api neraka salang bea kanang. Salang nggere etasurga salang ngampang kanang, yang mengatakan dan dipahami sebagailebih mudah masukneraka daripada masuk surga. Pemahaman itu menciptakan landasan pesimis untuk hidup dalam ukuran Kitab Suci. Sampai sekolah menengah pemahaman seperti tidak banyak berubah. Dari semua yang digambarkan itu, Allah yang menghukum orang berdosa sangat merasuki batin sanubari. Oleh karena itu, saya, banyak orang seusia saya, bertumbuh dan berkembang sebagai orang yang takut dan tidak layak di hadapan Allah dan takut juga mengungkapkan kebaikan kepada orang lain. Sebagai manusia yang terus belajar, tumbuh kerinduan untuk lepas bebas dari rasa takut dan tidak layak di hadapan Allah. Ketika kuliah di Universitas Nusa Cendana kupang, dua mekanisme yang dipilih untuk membebaskan diri dari rasa takut dan rasa bersalah itu yang ditempuh. Pertama membaca Kitab
Suci,yang kebetulan sudah mulai mudah diperoleh dari toko buku. Membaca Kitab Suci sebagai jalan untuk mencoba memahami Kitab Suci sendiri dengan cara sendiri langsung dari sumbernya. Tidak banyak buahnya karena Kitab Suci mengandung jarak bahasa, jarak budaya dan jarak lainnya. Yang terjadi malah kebingunngan karena Kitab Suci dibaca dengan cara yang sama dengan membaca buku ilmiah. Kedua, berjuang untuk tidak berdosa karena diinformasikan bahwa perasaan tidak layak di hadapan Allah sebagai akibat dosa. Mencoba dan terus mencoba. Semakin hari justru semakin takut sampai ada keinginan untuk tidak ke gereja yang dianggap sebagai rumah Tuhan. Pada 1 Mei 1981 ketakutan mencapai klimaks, antara terus takut dan tidak ke gereja. Pada satu saat, jam tiga sore, sebelum membaca Kitab Suci,munculsatu dorongan yang tak terbendung untuk berdoa seperti ini, “Tuhan, rupanya saya tidak layak dan tidak mampu menjadi orang baik apalagi menjadi orang suci (dalam gambaran orang suci yang sayabaca dan saya dengar). Oleh karena itu, saya minta supaya Tuhan yang berjanji untuk menerima saya hanya sebagai orang berdosa, karena itu yang saya lakukan setiap hari dan yang mudah saya lakukan.” Di luar harapan dan dugaan, diberikan jawaban dalam rupa suara yang lantang, jernih, berwibawa mendebarkan yang bunyinya seperti ini, “Gampang mengikuti Aku! Ciptakan suasana gembira ke manapun engkau pergi! Bukankah Injil itu khabar sukacita?” Mendengar jawaban itu saya masih protes dengan kalimat, ’Asal jangan lebih. Menjadi sukacita mungkin dapat saya lakukan.’ Kemudian sesaat kemudian saya mengalami beberbagai perasaan dan pikiran yang bercampur baur, sukacita,takut, bingung. Situasi itulah kemudian saya pahami sebagai salah satu bentuk ekstasi. Sejak itu sukacita bertumbuh menjadi bagian hidup. Dalam perjalanan hampir selama 35 tahun terakhir, secara perlahan-lahan bertumbuh pemahaman baru tentang Allah yang diwartakan dalam Kitab Suci, baik yang dialami ketika membaca Kitab Suci,maupun ketika hadir dalam ekaristi, misalnya. Akhirnya kemudian tegas bagi saya bahwa Allah itu meskipun Mahatahu, Mahakuasa, tetapi kemahaan-Nya demi satu hal, yaitu kasih-Nya kepada ciptaaan-Nya. Allah berkuasa untuk menunjukkan kasih yang tidak dapat dilakukan manusia. Allah Mahatahu tentang mengasihi yang tepat dan utuh untuk ciptaan-Nya. Allah juga Mahamurah dalam mengasihi tanpa memandang berdosa atau tidak. Allah juga tidak pernah menghukum. Kalaupun dalam Kitab Suci terdapat ungkapan Allah murka dan menghukum, Allah tidak pernah dan tidak akan pernah menghukum. Ungkapan itu adalah bahasa manusia yang relevan dengan situasi manusia waktu itu yang akan mengubahatau mau bertobat dengan ancaman. Dari pihak Allah, bahasa ancaman adalah ungkapan yang kasih dalam nada mengancam. Pemahaman ini sebagian besar dituangkan dalam serial Eksegese orang Jalanan. Bagaimanakah Kitab Suci menggambarkan kasih Allah itu dalam Kitab Suci? Bagaimanakah sikap manusia terhadap kasih Allah yang tergambar dalam Kitab Suci? Bagaimanakah sikap yang Allah inginkan dari manusia ciptaan-Nya? Secara perlahan-lahan, terutama, selama sepuluh tahun terakhir komunikasi terasa intens dan semakin jelas bahwa Allah terus berkomunikasi kepada manusia dan salah satu medianya adalah Kitab Suci. Akhirnya pada tahun 2015 buku serialEksegese Orang Jalanan mulai ditulis. Tidak disangka dalam tujuh bulan pada tahun 2015 tujuh buku berhasil ditulis dan diterbitkan. Serial ini, pertama-tama, ditulis atas desakan dari dalam. Setiap kali hadir dalam perayaan ekaristi, terutama ekaristi pada hari Minggu, dengan ciri tiga jenis bacaan, penulis mengalami dua hal yang cenderung berkonflik. Pertama, setelah mendengarkan Bacaan Kitab Suci, penulis mendapat penjelasan yang sangat simple tentang pesan Kitab Suci dan aplikasinya dalam hidup sehari-hari. Tiga Bacaan mengandung satu pesan yang sama. Pengalaman pribadi ini berbeda dari banyak kothbah yang didengar yang cenderung hanya bertolak dari Bacaan Injil atau Bacaan ketiga. Pada mulanya sikap yang diambil
adalah berdiam diri dan merenungkannya secara pribadi atau paling-paling dipraktekkan dalam hidup pribadi dalam lingkungan keluarga dan lingkungan kecil yang akrab supaya tidak ada orang lain yang terganggu dengan pengalaman saya ini. Kemudian dorongan untuk sharing semakin kuat. Lalu setiap pulang dari gereja pada hari Minggu sharing bersama teman-teman di beberapa kota di Indonesia dimulai. Selama kurang lebih delapan tahun terakhir sebelum menjadi buku, sharing terjadi di Kupang, Jakarta, Bandung, Semarang,Yogyakarta, Surabaya, Pontianak,Denpasar, Palembang, dan Makassar. Sharing itu membuahkan takjub. Kemudian kebiasaan dan kerinduan untuk sharing Bacaan Kitab Suci yang dibacakan pada hari Minggu setiap kali pulang gereja bertumbuh di antara teman yang bergabung. Ada juga yang memintanya melalui telpon seluler. Daripada diceritakan lisan, akhirnya ditulis berupa draft lalu dibaca dan diapresiasi bersama. Dari yang terbatas itu, lahirlah buku Serial Eksegese Orang Jalanan. Banyak teman yang mendesaknya untuk diterbitkan menjadi buku untuk kebutuhan komunitas kami sendiri. Sampai hari ini dalam setahun dua bulan, buku ini sudah terjual dalam jumlah kurang lebih 8000 eksemplar di seluruh Indonesia. Yang membeli dan membacanya pun bukan hanya awam Kristen. Yang membeli dan membacanya pun cukup banyak imam dan pendeta dan teman yang beragama lain. Maaf ini bukan iklan, siapa tahu banyak pihak lain yang memanfaatkannya setelah mendengar kisah ini.
Cara Membaca Kitab Suci dalam buku Eksegese Orang Jalanan Dari pengalaman hidup, terutama pengalaman menulis buku Serial Eksegese Orang Jalanan, Kitab Suci itu merupakan media komunikasi kasih Allah kepada ciptaan-Nya, terutama kepada manusia. Melalui Kitab Suci Allah menyapa dan mengajak manusia untuk mengenal Allah, mengenal kasih-Nya dan mengalami dan bersatu dalam kasih-Nya. Untuk itu manusia, terutama orang beriman diharapkan membacanya atau mendengarkannya dengan sungguh hati pada setiap kesempatan Kitab Suci dibacakan atau didiskusikan supaya manusia mengenal Allah, mengalami kasih-Nya. Dari obrolan dengan teman-teman yang rata-rata berpendidikan tinggi, termasuk dengan teman yang pernah belajar pada sekolah tinggi filasfat katolik, diketahui bahwa tidak banyak orang yang membaca Kitab Suci atau yang mendengarkan Kitab Suci dengan sungguh hati atau dengan penuh iman seperti ajakan biasanya sebelum Kitab Suci dibacakan pada setiap peristiwa rohaniah seperti ekaristi. Yang sungguh saja tidak banyak, apalagi yang mempelajarinya dengan sungguh sebagai sabda Allahdan kasihnya. Berbahaya. Syukur, akhirnya serial Eksegese Orang Jalanan berhasil menarik banyak orang kembali mencintai Kitab Suci, terutama yang tertuang dalam serial Eksegese Orang Jalanan. Ketika menulis serial buku ini, dua jalur pemahaman Kitab Suci yang ditempuh. Yang pertama membaca. Dalam membaca teks dan memahami teks, jenisteks konteksnya sedapat mungkin diperhatikan. Beruntung ada pak Maximus Biae Dae yang pernah belajar semuanya dan dibantu beberapa sumber terjangkau. Dengan demikian memahami jenis teks, strukur teks, istilah atau metafora, dan konteks terjangkau berguna bagi kami selama menulis buku ini. Tetapi membaca teks, berulang-ulang sekalipun, dengan bantuan piranti analisis teks seperti itu tidak cukup membantu,bahkan membingungkan, terutamamemahami hubungan antarteks apalagi hubungan antarbacaan. Yangpaling membingungkan adalah terutama yang pada permukaan berbeda atau bertentangan. Kami dapat menyelesaikannya dengan mudah. Hanya satu yang membantu yaitu kasih atau suci. Cara inilah yang dipakai. Dalam pemahaman kami, Allah yang Roh hanya terjangkau melalui Roh-Nya dan Roh Allah hanya ada pada yang berhasil bertobat seperti yang dinyatakan pada beberapa bagian Kitab Suci. Roh tidak hanya
menuntun manusia dalam seluruh kebenaran tetapi juga menuntun manusia untuk hidup dalam kasih suci. Kasih yang sungguh kasih adalah kasih yang tidak tercampur dengan yang melemahkan atau melunturkan kasih. Sabar tidak tercampur dengan tergesa-gesa. Sukacita tidak tercampur dengan bersungut-sungut. Jujur tidak bercampur dengan bohong. Dengan perjuangan bertumbuh dalam kasih, makaAllah sebagai sumber utama Kitab Suci dan sumber kasih, yang terimplisit dalam berbagai konteks apalagi yang tereksplisit dalam teks mudah ditarik ke luar.Dari pengalaman menulis serial Eksegese Orang Jalanan, dialami bahwa bukan pengetahuan dan kemampuan intelektual yang berperan utama dalam menarik ke luar pesan Kitab Suci, melainkan Roh Kudus yang hidup dalam diri orang yang tekun dalam kasih atau kesucian. Demikian juga dengan terjemahannya ke dalam praktek hidup. Bukan pengetahuan dan kemampuan intelektual yang utama,melainkan Roh. Hidup orang beriman seharusnya demikian, merupakan the City of God di dunia. Terangnya kota itu tidak hanya dialamiorang beriman tetapi dialami,minimal dilihat oleh yang belum beriman sebagai ciri pembeda yang mencolok. Dengan demikian, yang harus ada dan tidak boleh tidak ada pada orang beriman untuk memahami Kitab Suci adalah kasih atau dalam ungkapan lain kesucian hidup. Dalam gereja sejak awal diakui bahwa Kitab Suci adalah Sabda (Allah) dalam bahasa manusia. Sabda yang kasih hanya dapat menyentuh manusia yang kasih atau yang dikasihi-Nya secara khusus, tentu dalam ukuran Allah. Pengetahuan dan kemampuan intelektual tentang Kitab Suci sebagai teks yangdirumuskan oleh manusia untuk manusia, bagaimana pun tetap berguna. Tetapi pengetahuan tentang teks itu diperlukan sejauh tentang teks dan ungkapan yang tepat untuk menghasilkan teks. Bagaimanapun,yang utama adalah kasih. Demikian pengalaman yang terjadi selama menulis serial buku Eksegese Orang Jalanan ini. Banyak manusia di bumi dari zaman ke zaman yang mudah bertumbuh dalam kasih suci bahkan menjadi saksi kasih tanpa belajar ilmu yang rumit yang berhubungan dengan Kitab Suci. Orang-orang seperti ini bertumbuh menjadi demikian hanya karena berjuang hidup dalam kasih dari kecil dan dari yang sederhana yang diketahuinya. Kepada yang demikian, Allah yang mengasihi manusia tanpa memilah menampakkan kasih-Nya yang lebih lengkap dan sempurna. Allah pun menampakkan diri-Nya kepada manusia seperti ini. Ketika Yesus berada di dunia, tidak semua orang mengenal-Nya sebagai penampakan Allah. Hanya yang mencoba hidup dalam kasih,yang bermula dari orang-orang sederhana, seperti Maria, Yoseph, gembala, dan nelayan, yang mengenal-Nya sebagai penampakan Allah. Sampai sekarang Allah yang sama yang berkomunikasidengan cara menampakkan diri pun masih berlanjut. Tidak semua orang menegnal-Nya. Yang mengenal-Nya hanyalah yang hidup dalam kasih dan yang secara khusus dikasihi Allah. Yang secara intelektual dalam aspek Teologi atau Kitab Sucipun belum menjadi jaminan untuk mengenal Allah yang terus berkeliling membagi kasihitu. Yang terjadi sebaliknya. Yang pernah belajar secara intelektual meninggalkan imannya dan meninggalkan gereja. Ateisme, misalnya sebagai satu contoh orang yang pernah beriman tetapi meninggalkan imanya karena menafsir Kitab Suci secara intelektual belaka. Serial buku Eksegese Orang Jalanan ini, dengan jujur diakui merupakan salah satu buah dari mencoba hidup bersukacita sambil berbagi sukacita selama kurang lebih 35 tahun terakhir setelah diberitahu bahwa Injil itu khabar sukacita. Sukacita,sebagai bagian dari kasih dan yang banyak terungkap dalam Kitab Suci, merupakan satu hal kecil yang dilakukan dengan sungguh hati selama 35 tahun terakhir. Hanya dengan melakukan satu hal itu saja dengan tekun, sambil tetap berdosa tentunya, Allah melimpahkan kasih yang lebih banyak yang akhirnya menjadikan saya dan keluarga kami menjadi bagian dari kasih banyak keluarga di seluruh Indonesia tanpa mengenal suku agama dan latar belakangseperti yang hadir di sini dari berbagai kota di Indonesia.Selain itu, salah satu buahnya yang tegas berbeda dari
yang lainnya adalah serial Eksegese Orang Jalanan. Tanpa modal kecerdasan intelektual yang rumit pada bidang Kitab Suci dan teologi, toh buku akhirnya selesai ditulis dalam tujuh bulan. Orang lain boleh tidak takjub tetapi kami yang menulisnya sudah takjub, sedang takjub dan akan tetap takjub atas kasih Allah yang terungkap dalam serial Ekegese Orang Jalanan.
Penutup Pengalaman ini menunjukkan bahwa yang pertama diperjuangkan oleh orang beriman adalah hidup dalam kasihsuci bila hendak memahami Kitab Suci.Tidak hanya itu. Kasih suci juga bermanfaat untuk memahami Allah yang berkomunikasi melalui teks Kitab Suci.Kasih suci juga banyak membantu manusia dalam mengalami Allah yang terus berkomunikasi dan menampakkan kasih-Nya dengan cara lain yang tersamar atau tidak tercantum dalam Kitab Suci. Bila hanya brsandar pada kemampuan intelektual saja, yang terjadi hanyalah ketakutan akan menulis tentang Kitab Suci dan ketakutan untuk menunjukkan iman ke dunia. Secara bersama-sama semua orang beriman membentuk kota kasih supaya pemahaman akan kasih itu sungguh menyatukan umat manusia,minimal umat beriman. Kesatuan kasih orang beriman itulah yang menarik orang yang belum mengalami kasih Allah ke dalam kasih-Nya. Bila terpecah-belah orang lain akan mencemooh bahkan mencelanya bahwa beriman itu tidaklah lebih dari mimpi yang tidak intelektual. Idealnya di dunia ini, sesuai janji Yesus domba dan srigala dapat tidur bersama. Dengan kata lain, dunia hanya memiliki satu kota yakni kota kasih yang dibangun dari hidup kasih orang beriman. Ledalero merupakan lembaga pendidikan calon pewarta atau ekseget yang berwibawa dan bergengsi secara intelektual dan secara rohaniah. Kecerdasan intelektual diperlukan dalam memahami Kitab Suci. Hanya perlu diingat bahwa intelektual itu diperlukan hanya untuk memahami aspek manusiawi teks Kitab Suci. Yang lain,yang terutama, minimal dari pngalaman hidup, yang diperlukan untuk memahami Allah yang kasih dan memahami pesan kasih Allah dalam teks Kitab Suci,adalah sanctitas. Sanctitas yang diharapkan adalah yang tidak hanya sebatas pengetahuan kognitif. Sanctitasnya adalah sanctitas hidup. Menjelaskan kasih secara teologis dan filosofis misalnya, lebih banyak membingungkan orang sederhana dan sudah jelas tidak membuat orang lain mengalami kasih. Yang menjelaskannya mungin saja puas, yang menerimanya mungkin tidak banyak memuaskan hidup selain memuaskan pikiran. Kasih itu hanya akan dialami dengan membuahkan kasih untuk orang lain atau minimal hidup sebagai contoh kasih melalui hidup secara kasih. Para rasul itu mampu mengubah dunia bukan karena pengetahuan mereka yang canggih tentang setiap ujaran Yesus, melainkankarena menjadi saksi dan contoh hidup kasih dalam ukuran Allah yang canggih. Contoh kasih mereka menakjubkan dunia dan mengubah dunia sedikit demi sedikit menjadi tempat kasih di antara manusia di dunia. Demikianlah hendaknya orang beriman, terutama yang khusus menjadi pewarta. Kecerdasan intelektual ‘yes’ tetapi bagi umat kecerdasan contoh hidup kasih lebih utama.
Kupang, Medio September 2016
Porat Antonius