1
KITAB SUCI DAN TRANSFORMASI HIDUP Pengantar PERLU BERUBAH DENGAN PEMBARUAN MENTALITAS Kursus bukan dimaksudkan sebagai pembekalan yang sifatnya informatif sematamata (untuk kepentingan sendiri), melainkan untuk persiapan yang sifatnya transformatif, bagi para pemandu yang mau mendengar Sabda dan berubah, pertama-tama dari dirinya sendiri, sebelum dapat menjadi kabar gembira bagi orang lain. BUKAN SOAL ISINYA… MELAINKAN CARANYA! Bagaimana Ahli Taurat itu membaca Kitab Suci? SOAL APA DAN BAGAIMANA Luk 10:25-26 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" 26 Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang (seharusnya: bagaimana) kaubaca di sana?" 25
SOAL TEORI DAN PRAKTEK Luk 10:27-28 Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." 28 Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." 27
Pendekatan kita kepada Kitab Suci pada umumnya terlalu akademik. Cara pembelajarannya lebih mirip “mengisi botol kosong”: Orang datang untuk pembekalan dengan maksud “men-cas batere”, akan tetapi tidak pernah akan mampu memahami Kitab Suci, karena pertama-tama kita sendiri tidak mau berubah, atau tidak mau belajar untuk berubah dari cara berpikir lama. PERTANYAAN YANG BENAR Bukan apa artinya satu teks Kitab Suci, melainkan mengapa pesan teks yang saya pahami itu tidak berarti bagi umat yang hidup dewasa ini? BACALAH LUKAS 1:39-44 Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. 40 Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. 41 Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus, 42 lalu berseru dengan suara nyaring: 39
2
"Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. 43 Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? 44 Sebab sesungguh-nya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. MANAKAH PERTANYAAN YG LEBIH MENYAPA PENGALAMAN KEIBUAN? PERLUNYA PEMBATINAN 1. Kisah-kisah Kitab Suci sudah sering kita dengar dan sudah kita pahami, tetapi tidak kita internalisasikan (tidak kita batinkan). 2. Seluruh tubuh kita sesungguhnya adalah alat kesadaran dan karena itu perlu dilibatkan dalam perjuangan kita untuk menangkap inspirasi yang Tuhan berikan melalui pembacaan Kitab Suci. Seperti kisah penyembuhan seorang yang terbaring di tilam karena lumpuh (lihat Mrk 2:1-12). Ada suatu “kelumpuhan” juga dalam diri kita yang menghalangi kita untuk bangkit, tetapi tidak selalu kita sadari pada waktu kita membaca Kitab Suci, karena kita masih kurang memanfaatkan imajinasi dan perasaan-perasaan kita dalam pembacaan dan pemahaman KS. KUNCINYA PADA FISIOLOGI OTAK Roger W. Sperry, seorang ahli bedah kenamaan, dalam salah satu operasinya pada tahun 1961, menemukan perbedaan fungsi kedua belahan otak (hemisfer) yang dihubungkan oleh satu jaringan serat-serat yang disebut corpus callosum. Belahan otak kiri mendominasi bagian sebelah kanan dari tubuh kita, dan belahan otak kanan biasanya mendominasi bagian tubuh sebelah kiri. Belahan kiri otak mengontrol koordinasi gerakan bagian tubuh sebelah kanan, menguasai hubunganhubungan waktu dan sebab akibat, memilah-milah dan menganalisis secara logis, menentukan cara berbicara dan berpidato seseorang, membantu memberi nama, mendefinisikan, merumuskan sesuatu secara runtut dan teratur. Belahan kanan otak mengontrol gerakan bagian tubuh sebelah kiri, biasanya menentukan relasi yang lebih spasial, berkaitan dengan ruang dan tempat, tingkah laku dan gerak-gerik, membantu melihat hal secara keseluruhan, memahami artinya dalam konteks lebih luas… Belahan kanan otak membantu menciptakan kombinasi kreatif dari berbagai ide yang tampaknya tidak berhubungan, mencermati warna, bentuk dan ukuran, menjadi pusat aktif dalam bermeditasi, bermimpi, berimajinasi, serta membantu mengenali pola-pola visual dan intonasi musik (meskipun bukan ahlinya). CARA PIKIR A LA JANUS Albert Rothenberg, seorang ahli dalam penelitian otak, pernah mengusulkan bahwa kita perlu mengembangkan “cara pikir Janusian”. Janus adalah nama seorang dewa romawi yang mempunyai dua wajah sehingga mampu memahami sesuatu dari dua sudut pandang sekaligus.
3
KREATIVITAS DAN KEJENIUSAN Seorang jenius yang kreatif mampu mengintegrasikan dalam satu keseluruhan halhal yang tidak beraturan, bahkan saling berlawanan. Esensi dari kreatifitas mengandaikan sintesis dari fungsi belahan otak kiri dan kanan. Kemampuan untuk mengamati dan memanfaatkan sekaligus dua atau lebih gagasan yang saling berlawanan sesungguhnya merupakan sumber kreatifitas. BUKAN HANYA MELIBATKAN TETAPI JUGA MENGUBAH UMAT? Melibatkan orang secara total untuk ikut merasakan bagaimana teks Kitab Suci berbicara secara pribadi bukan berarti melawan akal budi atau melawan Gereja. BUKAN HANYA KEPALA, TETAPI JUGA HATI Orang Katolik biasanya takut salah menafsirkan teks Kitab Suci. Namun Sabda Tuhan itu benar justru jika kebenaran itu tidak hanya tinggal di kepala saja, melainkan turun ke hati. Kita membutuhkan suatu pendekatan yang mampu melibatkan seluruh diri kita dalam pembacaan teks Kitab Suci sehingga Sabda Tuhan itu mengubah cara kita berpikir dan bertindak. Kita harus menemukan satu cara pembacaan teks Kitab Suci yang tidak hanya menggunakan pikiran tetapi juga melibatkan perasaan-perasaan kita. MASUK KE DALAM PROSES TRANSFORMATIFNYA Teori tentang otak kanan dan otak kiri membantu kita untuk memahami perlunya satu perjumpaan yang total, yang membantu pemandu untuk memahami bahwa teks Kitab Suci tidak hanya dimaksudkan untuk melibatkan umat, tetapi juga mengajak mereka masuk dalam proses transformatifnya. Kebenaran pesan teks Kitab Suci terletak pada efektifnya pertobatan yang diharapkan terjadi, pada bagaimana umat kita “tersentuh” dan “diubah” dengan perjumpaan itu.
© Dr. Vitus Rubianto, s.x
4
KITAB SUCI DAN TRANSFORMASI HIDUP Menjadi Pemandu Kelompok
BEDA STUDI KS & SHARING KS Sharing Kitab Suci diadakan oleh kelompok, sedangkan Studi Kitab Suci dapat dibuat juga secara pribadi. PRINSIPNYA: SEMAKIN BANYAK UMAT TERLIBAT DALAM PERGULATAN UNTUK MENEMUKAN MAKNA KITAB SUCI, ITU SEMAKIN BAIK “Sesungguhnya, waktu akan datang,” demikianlah firman Tuhan Allah, “Aku akan mengirimkan kelaparan ke negeri ini, bukan kelaparan akan makanan dan bukan kehausan akan air, melainkan akan mendengarkan firman Tuhan.” (Amos 8:11) CARA DAN TUJUANNYA Sharing Kitab Suci bertujuan untuk berdoa dan menghayati sabda Tuhan, sedangkan Studi Kitab Suci bertujuan untuk memahami sabda Tuhan. BEDA STUDI KS DAN SHARING KS: FOKUS PRIBADI & FOKUS KELOMPOK Sharing Kitab Suci memusatkan perhatian pada makna teks yang ingin disampaikan Tuhan pada kelompok saat mereka berkumpul, sedangkan Studi Kitab Suci lebih memperhatikan makna teks yang ditulis oleh penulis pada zamannya untuk jemaatnya dulu dan pentingnya pesan itu untuk zaman sekarang. PEMANDU ATAU ANIMATOR 1. Sharing Kitab Suci membutuhkan seorang “animator”, sedangkan Studi Kitab Suci membutuhkan seorang “pengajar”. 2. Dahulu sering dipakai istilah “penggerak”, tetapi di beberapa tempat nama itu kurang diterima dan diganti dengan nama “pemandu” atau “animator” (penjiwa, penyemangat) kelompok Kitab Suci. 3. Pengajar yang baik “tahu” jawaban atas berbagai pertanyaan kelompok, sedangkan pemandu atau animator yang baik, biarpun sudah mempersiapkan diri untuk “memimpin” kelompok, lebih banyak bertindak sebagai “penjiwa” kelompok agar para anggotanya menemukan sendiri harta tak bernilai dalam teks yang mereka baca dalam pendalaman Kitab Suci. PEMANDU DAN UMAT Pertanyaan yang paling sulit: Siapakah saya ini? Siapa yang merasa pantas jadi pemandu?
5
Bahan ini memang tidak mudah dicerna kalau kita datang ikut kursus ini hanya sebagai pendengar yang ingin mengisi bekal informatif, menambah kekayaan pengetahuan pribadi saja. Kursus ini menghadapkan diri kita sebagai sesama awam, di hadapan umat awam yang mungkin (akan) dipercayakan kepada kita. PENERIMAAN DIRI YG RENDAH HATI Jadi apa yang terjadi dalam diskusi kelompok kita, tentu saja lain dengan apa yang akan terjadi jika kita terjun langsung di tengah umat; namun ada kesamaannya jika kita jujur mengenai siapa diri kita yang juga “awam” seperti yang lain. PEMANDU ATAU PENGAJAR? Pertanyaan yang memang harus kita jawab adalah bagaimana kita memandang diri kita? Apakah kita dapat menempatkan diri sebagai pemandu? Ataukah kita tidak mengerti persis bedanya dengan pengajar? Sudah sulit keluar dari kebiasaan yang kita terima dari dan kita teruskan juga kepada umat yang terus dianggap “botol kosong”! Lebih sulit lagi menyadari bagaimana kita sendiri lebih mudah dan lebih nyaman meneruskan tradisi tersebut, daripada memikirkan satu cara baru untuk berubah. Kecenderungan “mengajar” melekat pada kita sesuai tahap pembelajaran yang kita terima. Filsafatnya tidak selalu seperti “padi” atau “jagung” yang makin merunduk ketika makin berisi dan matang! PEMANDU SENDIRI PERLU BERUBAH Perubahan hidup menuntut satu gerak dari keakuan yang mau mengontrol segalanya kepada hidup yang berpusat pada komitmen akan kehendak Allah. Penanggalan topeng-topeng diri kita itu yang sulit: menemukan bagian dari diri kita sendiri yang butuh berubah. Barangkali juga tempatnya di kedalaman diri kita yang paling dalam, yang tidak nampak. Itulah kebutuhan kita juga untuk disembuhkan. PERUBAHAN ITU SUATU PROSES Kita perlu terus menerus berubah (transforming), bukan sudah selesai berubah (transformed). Jika sebagai seorang pemandu kita tidak sedang “di jalan” (sekalipun jalan itu penuh perjuangan yang panjang dan berat untuk menyingkapkan ke-farisi-an kita dan menemukan Sabda Allah yang membuat kita diampuni, dicintai, diterima sepenuh hati oleh Allah), kepemimpinan kita tidak akan membangkitkan komitmen yang sama dalam diri orang lain. BERUBAH MULAI DARI PEMANDUNYA Transformasi itu bukan saja suatu hal yang kita harapkan terjadi pada orang lain, tetapi harus pula menjadi kerinduan kita yang terdalam.
6
Kita tidak harus sudah sampai, tetapi kita sungguh-sungguh harus sedang berjalan ke sana. Kita tidak perlu memiliki segala jawaban, tetapi kita perlu menghayati pertanyaan-pertanyaannya. Hanya dengan demikian kita mampu mengenali kebutuhan kita yang terdalam: kebutaan kita, kelumpuhan kita, kemunafikan kita. ASUMSI DAN PRASANGKA PEMANDU Kita perlu berubah, tetapi ini pun masih belum apa-apanya! Cara kita memahami “pengetahuan” pun harus berubah. Berubah mentalitas dalam proses belajar ini sesuatu yang sulit. Yang kita biasa pikirkan tentang “mengetahui” itu sering berlawanan dengan sikap mau belajar dan mencari terus menerus yang menjadi ciri khas metode bertanya ini. DUA MODEL PENGETAHUAN: PIRAMIDA TAK SEMPURNA ATAU PIRAMIDA TERBALIK Orang merasa tahu karena sudah sampai pada satu taraf pendidikan tertentu. Cara berpikir ini sangat kompetitif dan manipulatif. Inilah pengetahuan dengan model kontrol. Ada model lain, satu paradigma baru, yang mampu membuat kita berkata: semakin kita tahu, semakin kita sadar bahwa kita belum tahu apa-apa karena masih begitu banyak yang perlu kita ketahui.
Pemandu atau animator seharusnya seseorang yang dengan segala bakat dan usahanya ingin membantu agar kelompok mencapai tujuannya. Oleh karena itu, biarpun ia tidak tahu jawaban atas segala pertanyaan. Ia akan “memimpin” pertemuan sedemikian rupa agar kelompok menemukan jawaban atas pertanyaanpertanyaan penting. Seorang pemandu atau animator sesungguhnya bukan seorang pemimpin pertemuan, melainkan lebih-lebih seorang “pengatur lalu lintas bicara”. Tugas utamanya adalah: 1. memulai dan mengakhiri pertemuan tepat pada waktunya, 2. memperhatikan setiap anggota kelompok, 3. menjaga agar pembicaraan lancar 4. dan melibatkan sebanyak mungkin anggota, 5. meringkas dan merangkum pembahasan. KEAHLIAN SEORANG PEMANDU Tugas itu dilakukannya dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Pertanyaan adalah semacam “senjata” utama seorang pemandu, “tongkat” kepemimpinannya. Oleh sebab itu ia harus pandai bertanya. Itu berarti mampu mengajukan pertanyaan yang jelas kepada orang yang tepat, pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.
7
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak boleh TERLALU formal, tidak boleh dapat dijawab dengan kata “Ya” atau “Tidak” saja, Pertanyaan itu harus menarik, terpusat pada teks Kitab Suci, dan tidak terlalu rumit atau TERLALU panjang. Pemandu harus sabar menunggu jawaban dan tidak menjawab pertanyaannya sendiri. Ia selalu mengecek apakah jawaban angota kelompok berakar dalam teks KS yang dibahas, serta mendorong para anggota untuk muncul.
menanggapi terus jawaban yang sudah
UNTUK MENGEMBANGKAN KETRAMPILAN SEBAGAI PEMANDU 1. Mulai dengan saat untuk berkonsentrasi… 2. Mintalah seorang sukarelawan untuk membaca teks dengan suara lantang… 3. Yakin dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan secara pribadi: saat yang paling sulit pada awal biasanya adalah kecenderungan untuk memecahkan keheningan dengan menjawab pertanyaannya sendiri… Sekalikali jangan! Karena prosesnya akan terhenti dan kelompok akan mempertahankan situasi demikian sehingga Anda berubah menjadi pengajar daripada pemandu! PERSOALAN-PERSOALAN YANG BIASA DIHADAPI 1. Jika seseorang bertanya: …. 2. Sadarilah senantiasa di mana posisi Anda dalam jalur pertanyaan yang sudah disiapkan, sambil tetap penuh perhatian pada yang dikatakan umat 3. Apabila ada seseorang atau beberapa orang mendominasi percakapan... 4. Apabila umat mulai berdebat satu sama lain… 5. Jika pertemuan ternyata tidak berjalan dengan “baik” dan Anda mulai merasa tertekan… KONTROL DIRI SEORANG PEMANDU 1. Perhatikan waktu yang cukup untuk mengambil kesimpulan 2. Hindari berbicara terlalu banyak 3. Jangan takut mengakui kesulitan untuk menjawab pertanyaan 4. Jangan pernah menolak jawaban yang dibuat umat kecuali jika memang benar-benar keliru (atau keluar dari jalur pembicaraan) DISIPLIN DIRI SEORANG PEMANDU 1. Berpegang pada dasar yang kokoh 2. Mengatasi keengganan untuk belajar teliti 3. Hindarilah kesan memaksakan teks Kitab Suci 4. Jangan terbawa emosi dan perasaan 5. Mulailah pembaruan secara bertahap… Sering sesuatu yang indah justru terjadi karena pemandu yang kelihatannya kurang mampu dan tidak berpengalaman, justru berhasil menggerakkan pertemuan. Orang mungkin hanya akan melihat ketidakmampuan itu dan bukan mukjizatnya. © Dr. Vitus Rubianto, s.x
8
KITAB SUCI DAN TRANSFORMASI HIDUP Latihan Membuat Pertanyaan Pertanyaan-pertanyaan manakah yang kiranya “efektif” dan “bermanfaat” untuk ditanyakan? Bukanlah “pertanyaan-pertanyaan informatif” yang paling penting! “Pertanyaan-pertanyaan intuitif” sering lebih mengena dan melibatkan banyak orang. “dengan menggunakan senjata-senjata keadilan…” (2Kor 6:7) di tangan kanan dan di tangan kiri.. Jadi, apakah yang harus kubuat? Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku. 15
1Kor 14:15 MEMPERSIAPKAN PERTANYAAN KITA SENDIRI 1. Intisari pendekatan ini adalah pertanyaan2 yang kita ajukan. 2. Mutlak perlu menyusun daftar pertanyaan-pertanyaan sendiri. 3. Bukan tidak ada manfaatnya pertanyaan2 yang membuat kita berpikir bahwa kita tidak mampu menjawabnya secara pasti dan definitif. BEBERAPA PANDUAN KHUSUS 1. Pertanyaannya harus sesederhana dan sejelas mungkin! 2. Jangan menanyakan beberapa hal dalam satu pertanyaan! 3. Perlu dihindari pertanyaan yang bertingkat, terdiri dari dua tiga bagian… 4. Jangan pernah menanyakan pertanyaan yang jawabannya ya atau tidak! 5. Perlu dirumuskan pertanyaan yang tidak membuat orang terpaksa hanya menjawab secara langsung, spesifik dan “to the point” saja. 6. Perlu dicari cara-cara yang mampu lebih melibatkan orang secara pribadi ke dalam pencarian makna dan pesannya bagi diri sendiri. KITAB SUCI SEBAGAI PUSATNYA Fokusnya adalah teks Kitab Suci, bukan pemandunya. Kitab Suci itu seperti pusat dari perputaran roda dinamika kelompok. Pertanyaan yang dipersiapkan dengan teliti oleh pemandu berangkat dari bahan bacaan Kitab Suci, tetapi sekaligus mampu membawa kembali masing-masing pribadi ke dalam teks Kitab Sucinya sendiri. Kata-kata yang diulang-ulang, yang sama atau yang dikontraskan dalam perlawanan, kiranya dapat menjadi titik tolak pertanyaan-pertanyaan yang mampu menarik perhatian pembaca. PERTANYAAN-PERTANYAAN KUNCI Pertanyaan-pertanyaan yang tepat melibatkan orang secara perlahan-lahan, membuat pribadi tersentuh oleh teks yang sedang dibaca, digugah oleh kerinduannya yang terdalam… bukan sekedar rindu akan pengetahuan Kitab Suci,
9
tetapi oleh kekuatan Sabda yang memecah kebisuan, yang memberi keberanian, yang mengusir ketakutan, yang membuat orang mampu bicara! PERTANYAAN ATAU JAWABANNYA? Karena ini adalah “pendekatan dengan pertanyaan”, menggeluti pertanyaannya itu lebih penting dari pada menemukan jawaban yang “benar”. Kebanyakan dari kita dididik dalam sistem pendidikan yang terlalu menekankan adanya satu jawaban yang benar untuk setiap pertanyaan. Tidaklah demikian untuk pembacaan Kitab Suci semacam ini. Pertanyaan yang sungguh menarik bisa mempunyai tiga, tujuh, sampai sepuluh jawaban yang baik, yang semuanya penting untuk dapat memahami teksnya. MANA YANG BENAR? Hal ini tidak berarti bahwa “segala sesuatu sama baik, semua boleh dan semua benar”. Kebenaran itu layaknya batu permata dengan berbagai segi, terlalu menyilaukan kalau hanya dilihat dengan satu sumber cahaya saja. Pemandu kiranya tidak akan menilai benar salah satu jawaban, kecuali bila secara faktual memang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Debat tidak mendapat tempatnya karena hanya membawa kepada adu kekuatan di antara ego pribadi-pribadi, dan bukan satu sharing kebenaran yang dialami. KERENDAHAN HATI PEMANDU Harus tetap disadari bahwa teks Kitab Suci lebih sering merupakan satu “daerah tak dikenal.” Pemandunya sendiri harus sadar bahwa biasanya tidak tahu atau menguasai bahannya. Oleh karena itu memang perlu komitmen dan usaha bersama dari seluruh kelompok untuk menggali kekayaannya. Itu usaha bersama yang terus menerus dan konsisten, tidak langsung merasa puas hanya dengan merumuskan kebenaran umum, tetapi menemukan satu cara pandang baru. MENCARI MAKNA YANG LEBIH DALAM Pemandu sendiri harus waspada akan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dalam kelompok sehingga mampu mengikuti arus diskusinya sambil dengan setia tetap menjaga alur bacaan teks Kitab Sucinya. Diskusinya bukan berupa “ingatan atau kenangan” subyektif akan apa yang kita alami, melainkan lebih dahulu usaha untuk menemukan makna yang mau ditekankan oleh Sabda Tuhan itu sendiri bagi hidup kita. INTUISI ATAU INSIGHT “Insight” (pencerahan, pemahaman) itulah yang kita cari, bukan hanya informasi (pengetahuan), perlulah semua orang dilibatkan dalam diskusi. Insight sendiri memang baru matang bila diungkapkan dalam sharing. Memang kita menghadapi orang dari berbagai macam latar belakang pendidikan, tetapi di hadapan Kitab Suci, semua sama, lebih-lebih kalau bicara tentang pengalaman pribadi, masing-masing adalah ahlinya. LATIHAN DALAM KELOMPOK Pilihlah salah satu tema yang ditawarkan: tentang mengasihi musuh, tentang menghakimi, atau tentang kemarahan! Buatlah pertanyaan-pertanyaan yang kiranya efektif untuk membangkitkan keingintahuan umat! Dalam diskusi kelompok, tentukan apakah “persoalan utama” dari tema yang disodorkan dan manakah
10
pertanyaan kunci yang dapat membawa kelompok pada diskusi persoalan utamanya itu! TENTANG MENGASIHI MUSUH 1. Di manakah tertulis “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu” (Mat 5:43)? 2. Coba bacalah Kitab Imamat 19:18.33-34. i. “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah Tuhan”. ii. “Apabila seorang asing tinggal padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah Tuhan, Allahmu”. (Lihat juga Keluaran 23:4-5! ) 3. Apakah Yesus memang mencanangkan hukum yang baru? Atau apakah yang sebenarnya dilakukan Yesus dengan ajaran tradisional? 4. Apakah yang membuat orang menjadi musuh kita? 5. Apakah ada aspek-aspek dalam diri kita yang bisa membuat kita dianggap sebagai musuh? 6. Apa yang terjadi jika kita mengasihi musuh kita? Apakah ia akan berhenti menjadi musuh kita? 7. Mengapa menurut Yesus kita harus mengasihi musuh kita? 8. Manakah gambaran Allah yang diajarkan Yesus? Apakah itu juga caranya orang biasa memandang Allah? Apa jadinya jika Allah tidak menerbitkan matahari bagi orang-orang jahat? 9. Apakah hal baru yang hendak dikatakan Yesus di sini, yang melampaui cara kita memandang Allah? 10. Mengapa Yesus memakai sifat Allah sebagai dasar cara kita memperlakukan musuh? 11. Kalau dibandingkan teks Mat 5:48 dan Luk 6:36, manakah yang lebih merangkum persoalannya? 12. Apa akibatnya bagi kita “menjadi sempurna”? Apakah bisa diterjemahkan “menjadi terbuka pada semua”? Adakah perbedaannya? Apakah yang dimaksudkan bila Allah sempurna itu terbuka pada semua? 13. Bila kita berusaha menjadi sempurna, apakah yang akan kita buat dengan ketidaksempurnaan kita? Apakah sebenarnya ketidaksempurnaan kitalah yang mempengaruhi kemampuan kita untuk mengasihi sesama? 14. Ciri-ciri pribadi manakah yang paling sulit Anda terima dalam diri Anda sendiri? Siapakah “musuh” dalam diri Anda sendiri? Dengan demikian apa artinya menerima diri sendiri apa adanya? Jadi apakah ada kaitannya dengan keterbukaan kita untuk menerima dan mengasihi musuh?
11
TENTANG MENGHAKIMI 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Apakah Yesus sedang berbicara di sini tentang “menghakimi”? Apakah Dia mengatakan bahwa kita tidak boleh menilai dan menghakimi? Apakah yang sebenarnya Dia peringatkan? Apakah hubungan antara “balok” dan “selumbar”? Mengapa kita harus berurusan lebih dahulu dengan “balok” (Mat 7:4)? Buat daftar tentang yang aku tidak sukai dari orang lain, kemudian taruhlah nama di samping nama orang lain itu dan periksalah manakah hal-hal yang di daftar itu ada juga pada diri Anda. Apakah yang biasa kita lakukan bila kita melihat aspek negatif dari diri kita di dalam diri orang lain? 7. Mengapa kita membuat “proyeksi” diri? Apakah hal ini buruk? Apakah manfaat atau nilainya? 8. Dalam konteks ini, apa yang dimaksud Yesus dengan “orang munafik”? (Mat 7:5). 9. Apakah yang dapat kita lakukan bagi orang lain sesudah kita menyadari “balok”nya dalam diri kita sendiri? 10. Jadi, mengapa kita membutuhkan musuh-musuh kita? Apakah yang dapat dibuat mereka yang kita anggap musuh bagi kita, yang tidak dapat dibuat orang lain? TENTANG KEMARAHAN 1. Bagaimanakah bunyinya hukum lama? 2. Apakah hal baru yang dikatakan Yesus, yang berlawanan dengan hukum lama? 3. Apakah konsekwensi bagi umat Kristen, atau Anda sendiri, dengan perintah untuk “tidak boleh marah” ini? 4. Jika dibandingkan dengan Kisah Kain dan Habel, apakah yang bisa kita katakan mengenai “marah”, sesuatu yang meledak sekali saja, ataukah sesuatu yang terus menerus berlangsung? 5. Bandingkan dengan Efesus 4:26-27, apakah yang dikatakan mengenai kemarahan di sana? 6. Apakah yang dibicarakan tentang “menjadi marah” sama dengan “berbuat dosa”? Jadi manakah kemarahan yang menjadi dosa? 7. Kembali ke teks Matius, menurut Anda, siapakah yang “tersinggung” dalam kasus “persembahan di atas mezbah” itu (Mat 5:23). 8. Jadi siapakah yang harus berinisiatif untuk berdamai? Apakah hubungan antara altar dan perdamaian di sini? Mengapa justru di atas altar persembahan, kesadaran bahwa perlu berdamai dulu itu baru muncul? 9. Apakah pernah hal itu terjadi/Anda lakukan secara konkret, “meninggalkan altar dan pergi berdamai”? © Dr. Vitus Rubianto, s.x.
12
KITAB SUCI DAN TRANSFORMASI HIDUP Mengembangkan dan Memanfaatkan Pertanyaan LANGKAH PERTAMA: STUDI KRITIS Mana persoalan-persoalan kritis dalam teks Kitab Sucinya? Pemandu harus bijaksana, dengan tidak mengikuti kecenderungan mengajar, atau membuat satu kuliah mini. Jika pertanyaan memang mengandaikan jawaban dari Pemandu, hal itu bisa dipakai langsung sebagai dasar pertanyaan baru. Proses belajar ini kadang membantu kita untuk membebaskan diri dari pra-paham lama dan melihat kembali bagaimana teks berbicara sendiri dengan cara yang mungkin jarang kita dengar. MENGEMBANGKAN PERTANYAAN 1. Mengembangkan pertanyaan yang mendalam adalah aspek yang paling penting dan paling sulit dari cara kepemimpinan ini: Pertanyaan-pertanyaan manakah yang paling penting untuk ditanyakan? 2. Tidak ada cara ampuh untuk mengajar orang bagaimana merumuskan pertanyaan yang baik. 3. Pertanyaan paling kritis ditemukan dalam persoalan kritis yang dikemukakan oleh teks Kitab Sucinya sendiri. PERTANYAAN KRITIS 1. “Kritis” berarti bahwa kita tidak puas saja dengan “kebenaran” baku yang sudah biasa kita dengar dari luar, tetapi bukan dari teksnya sendiri. 2. “Kritis” itu berarti “memperhatikan tiap keanehan yang nampak dalam perikop Kitab Sucinya”. 3. “Kritis” berarti siap mencari sendiri dan bertemu dengan Dia yang memanggil kita untuk mengikuti-Nya secara pribadi. LANGKAH KEDUA: PENGHAYATAN Bagaimana mengembangkan penghayatannya? Pemandu mengajak peserta untuk membayangkan peristiwanya dengan melibatkan perasaan atau mengidentifikasikan diri dengan tokohnya, mengamati gambaran dan kiasan yang dipakai, dan mencari makna simbolisnya. Hanya jika teksnya menjadi hidup bagi kita, kita mampu mendengar kembali pertanyaan yang jawabannya sudah ada dalam teksnya sendiri. Proses pengembangan ini membuat teksnya masuk dalam hidup kita sebagai pelakunya yang aktif. PERTANYAAN KRITIS DAN PENGEMBANGANNYA Tidak bisa selalu dipastikan mana yang harus ditemukan lebih dulu:
13
kadang kala satu teks lebih baik dipelajari dulu dengan menemukan pertanyaan kritisnya, tetapi bisa jadi pertanyaan kritis muncul justru dengan memperluas dan mengembangkan pertanyaan yang biasa. Praktek dan pengalamanlah yang akan mengajarkannya. Dalam hal ini pemandu selalu ditantang untuk mampu menemukannya bersama kelompok, menahan diri untuk memberikan segala informasi yang diketahui, dan berani menjadi “miskin” agar kelompok menjadi “kaya”. MEMANFAATKAN IMAJINASI 1. Satu cara yang paling efektif untuk mengembangkan pertanyaan adalah dengan memperhatikan gambar dan lambang-lambang. 2. Kitab Suci bicara dengan lambang-lambang, tetapi kita terlalu terbiasa berbicara dengan ide dan rumusan. 3. Lambang itu seperti granat, agar maknanya dapat meledak, perlu memainkan perasaan dan imajinasi kita, perlu mengajak orang untuk mampu melihat gambarannya dan melukiskan apa yang mereka lihat. LANGKAH KETIGA: PENERAPAN Bagaimana latihan penerapannya? Apa relevansi pesan teks Kitab Suci itu bagi kehidupan kita? Inilah saat paling menentukan untuk pertobatan dan perubahan pribadi. Tidak cukup mengamati teksnya saja yang mungkin mirip dengan situasi kita, perlu membiarkannya masuk lebih dalam ke dalam diri kita, sampai mencetuskan satu pencerahan budi akan perubahan yang perlu. Latihan penerapan teks ini mendorong kita untuk melihat diri kita sendiri di hadapan teks sebagai cermin dan memulai proses perubahannya. BUKAN INFORMASI, TAPI TRANSFORMASI. Tugas kita para pemandu bukan mengajar Kitab Suci pada umat kristiani yang buta Kitab Suci, tetapi menuntun mereka untuk menemukan dalam teks Kitab Sucinya kebenaran yang mengubah kehidupan mereka. KEMBALI KE KISAH ORANG SAMARIA (Lukas 10:25-37) PERTANYAAN YANG BIASA Siapakah tokoh-tokohnya? Apakah persoalannya yang dihadapi tokoh-tokohnya? Bagaimanakah alur ceritanya? Manakah puncak ketegangannya? Apakah ada pemecahannya? Bagaimanakah pemecahan persoalan itu diungkapkan? PERTANYAAN YANG MELIBATKAN Apa artinya bagi kita “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”? Mengapa harus dikatakan “seperti dirimu sendiri”? Lalu apa yang terjadi kalau kita tidak mencintai diri sendiri?
14
Apa yang membuat Ahli Taurat itu “buru-buru” bertanya “Dan siapakah sesamaku manusia?” (Luk 10:29) Jika masing-masing membawa alat tulis dan sepucuk kertas, coba tuliskan apa yang kita kasihi dengan “segenap hati, jiwa, kekuatan, dan akal budi” itu, tanpa menggunakan nama Tuhan Allah! Maksudnya, dalam hidup sehari-hari, manakah yang akan kita anggap sebagai “Allah”? PERTANYAAN KRITIS Kemanakah kira-kira tujuan perjalanan orang-orang yang dikisahkan itu? Bacalah Kitab Imamat 21:1-3! “TUHAN berfirman kepada Musa: "Berbicaralah kepada para imam, anakanak Harun, dan katakan kepada mereka: Seorang imam janganlah menajiskan diri dengan orang mati di antara orang-orang sebangsanya, 2 kecuali kalau yang mati itu adalah kerabatnya yang terdekat, yakni: ibunya, ayahnya, anaknya laki-laki atau perempuan, saudaranya laki-laki, 3 saudaranya perempuan, yang masih perawan dan dekat kepadanya karena belum mempunyai suami, dengan mereka itu bolehlah ia menajiskan diri. Apa kira-kira kebimbangan yang dialami oleh imam (dan “orang lewi”) itu di hadapan orang yang jatuh ke tangan penyamun? Mengapa justru orang Samaria yang dikatakan “berbelaskasihan” (Luk 10:34)? Dari manakah sumbernya rasa belas kasihan itu kalau kita melihat diri kita sendiri? Jika kita menyebut perumpamaan ini tentang “orang Samaria yang murah hati”, menurut Anda, apakah dia berhenti karena dia “murah hati” atau kita menyebut dia “murah hati” karena dia berhenti? Kita biasanya berpikir bahwa inti pengajarannya adalah bahwa kita juga harus bermurah hati, bagaimana “kemurahan hati” itu bisa diajarkan? CARA YESUS MENYEMBUHKAN Ahli Taurat itu bertanya “siapakah sesamaku manusia?” (Luk 10:29). Bagaimana Yesus merumuskan kembali pertanyaannya pada akhir cerita (lihat Luk 10:36)? Adakah perbedaannya? Jika ya, mengapa Yesus bertanya demikian pada Ahli Taurat itu? Apa seharusnya jawabannya, dan mengapa Ahli Taurat itu seolah-olah tidak terus terang mengakuinya? Apakah reaksinya, seandainya ia menjadi orang yang jatuh di tangan penyamun itu? Apakah ia akan menolak uluran tangan orang Samaria itu? Siapakah kira-kira dalam masyarakat kita yang bisa kita samakan dengan orang yang jatuh ke tangan penyamun itu, dan siapakah yang bisa diumpamakan seperti orang Samaria? Manakah “orang yang jatuh ke tangan penyamun” itu dalam diri kita? Apakah kita bisa belajar menerima hal yang positif dari orang yang tidak pernah kita pikirkan sebagai teman kita?
15
KISAHNYA DALAM KONTEKS YANG LEBIH LUAS Lukas 10:25-37.38-42 10:21 Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, TUHAN langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. 22 SEMUA TELAH DISERAHKAN KEPADA-KU OLEH BAPA-KU dan tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu." Sesudah itu berpalinglah Yesus kepada murid-murid-Nya tersendiri dan berkata: "Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat. 24 Karena Aku berkata kepada kamu: Banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya." 23
Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk MEMPEROLEH HIDUP YANG KEKAL?" 26 Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?" 27 Jawab orang itu: "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." 28 Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." 29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?" 30 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 25
Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 33
Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35 Keesokan harinya ia MENYERAHKAN dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan MENGGANTINYA , waktu aku kembali. 34
Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" 37 Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" 36
Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya. 39 Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki TUHAN dan terus mendengarkan perkataan-Nya, 40 sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "TUHAN, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." 38
Tetapi TUHAN menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, 42 tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih BAGIAN YANG TERBAIK, yang tidak akan diambil dari padanya." 41
16
PEMANDU YANG MANIPULATIF Pertanyaan-pertanyaan yang paling sulit dijawab dari latihan-latihan pendalaman kita ini adalah: Apakah gaya kepemimpinan semacam ini tidak manipulatif? Bukankah pertanyaan-pertanyaan yang dipilih dimaksudkan untuk membangkitkan jawaban-jawaban tertentu “yang benar”? Apakah pemandu sendiri sama sekali tidak mempunyai tujuan atau arah yang harus dicapai kelompok? Kenyataannya, pertanyaan-pertanyaan itu memusatkan perhatian pada fokus tertentu dan mengabaikan fokus yang lain. Dan bukankah benar juga apabila pemandu yang sudah membuat persiapan patut mendapat upahnya dan ingin agar kelompok juga sampai ke sana? Apakah proses ini benar-benar membimbing pada satu pencarian kebenaran atau ditentukan juga oleh harapan-harapan dan jawaban-jawaban tertentu yang sudah pasti? PEMANDU YANG EFEKTIF Jawabannya: tergantung pada pemandunya. Jika pemandu yakin bahwa ia harus bekerja dengan satu maksud tertentu yang sudah tidak dapat ditawar lagi, prosesnya pasti manipulatif. Jika pemandu selalu percaya bahwa ada “jawaban-jawaban pasti benar”, prosesnya jadi manipulatif. Tetapi jika pemandu mampu meninggalkan kebutuhan untuk mengontrol misteriNya dengan “jawaban yang tepat”, sebagai gantinya justru mampu belajar menghayati “pertanyaan yang tepat”, yang cukup mendalam untuk diperjuangkan (mungkin selama bertahun-tahun), prosesnya tidak akan menjadi manipulatif. Pemandu justru akan menjadi penuntun ideal yang telah melewati banyak jalan buntu, sampai ia dapat membantu kita untuk menjelajahi misteri Yang Lain itu, yang selalu di seberang kita. Pemandu mungkin tidak akan membuat kita melihat atau menemukannya, tetapi tanpa jalan yang telah ditunjukkannya kita akan tersesat. Pemandu bukan membuat pertunjukkan tapi menunjukkan jalan perbuatan! OTORITAS PEMANDU Pemimpin sejati mendapat kewibawaan dari kelompoknya untuk memimpin mereka, karena mampu membiarkan kelompok itu menemukan jatidiri mereka. Pemimpin sejati itu justru bukan hanya mengawasi percakapan, tetapi melahirkan dialog, membuat orang yang tadinya bisu mampu berbicara karena menemukan tempatnya dalam kelompok. Model kepemimpinan semacam ini menuntut satu kepercayaan diri (high profile) dalam menjalankan otoritas, dalam pengertian proses dan satu kerendahan hati (low profile) dalam pengertian isinya. Pemandu itu diberi kewibawaan oleh kelompok untuk menguatkan angota-anggotanya agar berani berbicara dari pengalaman mereka sendiri tentang kebenaran yang mereka jumpai dalam teks.
17
BAGAIMANA MEMULAINYA? 1. Marilah membayangkan bahwa kita hadir dalam satu pertemuan pendalaman Kitab Suci… Andaikan saja bahwa ada enam sampai maksimal dua puluh orang yang berkumpul (semakin banyak orang akan membuat masing-masing menjadi semakin sulit untuk sungguh-sungguh terlibat). 2. Pertemuan dimulai dengan saat hening untuk memusatkan perhatian… Pemandu dapat mengajak peserta menyadari pikiran dan kecemasan yang dibawa masing-masing pribadi, mengajak mereka untuk terbuka pada gerak Roh Tuhan yang berbicara melalui teks Kitab Suci, mengajak mereka bertanya apakah rela membiarkan sesuatu yang baru terjadi dalam hidup pribadi masing-masing. 3. Masing-masing peserta mengambil teks Kitab Suci di hadapannya untuk dibaca, diamat-amati dan ditanggapi secara pribadi. 4. Pemandu memulai diskusinya dengan mempersiapkan secara teliti satu seri pertanyaan yang akan mengantar masuk ke dalam intisari kenyataan yang disapa oleh teks Kitab Suci.
© Dr. Vitus Rubianto, s.x.