KARAKTERISTIK REPRODUKSI BANDIKUT (Echymipera kalubu) JANTAN
ANGELINA NOVITA TETHOOL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Reproduksi Bandikut (Echymipera kalubu) Jantan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Oktober 2011
Angelina Novita Tethool NRP B352090011
ABSTRACT ANGELINA NOVITA TETHOOL. Characteristic reproduction of males Bandicoot (Echymipera kalubu). Under direction of RADEN IIS ARIFIANTINI and SRIHADI AGUNGPRIYONO Bandicoot (Echymipera kalubu) is one of endemic species in Papua, which has various benefits for the people in Papua. The purpose of this research was to study male reproductive organs characteristics, the quality of cauda epididymal spermatozoa and spermatogenesis processes. This study used 21 males E. kalubu of three different stages of age. Sperm morphology was assessed by using Carbofuchsin (William’s stain) and the stages of spermatogenesis was analized by using Periodic Acid Schiff (PAS) stain. The results showed that reproductive organs comprised of gonad (testis), accessory glands and penis. Testis were elipsoid in shape, the accessory glands consisted of prostat gland and Cowper gland, and the penis was bhipid. Epididymal sperm concentration and motility increased with sperm maturity. The length of sperm head, midpiece and principal piece were 2.91±0.40 μm, 13.99±0.87 μm and 145.59±5.38 μm, respectively and the total length of spermatozoa was 162.51±5.12 μm. Finally, E. kalubu had nine stages of spermatogenesis with ten step development of spermatids into spermatozoa. Key word: Bandicoot (Echymipera kalubu), spermatozoa, spermatogenesis
RINGKASAN ANGELINA NOVITA TETHOOL. Karakteristik Reproduksi Bandikut (Echymipera kalubu) Jantan. Dibimbing oleh RADEN IIS ARIFIANTINI dan SRIHADI AGUNGPRIYONO Bandikut (Echymipera kalubu) merupakan salah satu satwa endemik Papua yang saat ini statusnya masih sebagai hewan liar dan populasinya masih berlimpah pada habitat yang sesuai. Echymipera kalubu memiliki beberapa keunggulan, antara lain: memiliki laju reproduksi yang paling tinggi diantara semua marsupialia dengan jumlah anak perkelahiran 2-4 ekor, merupakan hewan marsupialia (berkantung) yang dagingnya dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani serta memiliki nilai etno-zoologis (rambut, tulang dan anak bandikut umur 12 hari dipercaya berkhasiat untuk pengobatan) bagi masyarakat di Papua dan mempunyai struktur organ reproduksi yang unik, dimana saluran akhir alat reproduksi, saluran kencing dan pembuangan feces bermuara dalam satu saluran anus mirip kloaka pada unggas. Informasi mengenai status biologi reproduksi E. kalubu yang hidup liar di alam hingga saat ini belum banyak dilaporkan. Hal ini menyebabkan perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik dari organ reproduksi jantan, yang terdiri dari: morfologi organ kelamin, kualitas spermatozoa yang berasal dari epididimis serta gambaran spermatogenesis pada E. kalubu sebagai data dasar yang akan mendukung perkembangbiakan di penangkaran. Bandikut (E. kalubu) jantan yang digunakan sebanyak 21 ekor berasal dari kabupaten Manokwari. Penelitian terbagi menjadi tiga tahap, yaitu pengamatan karakteristik organ reproduksi, karakteristik spermatozoa asal epidimis (motilitas, konsentrasi dan morfologi spermatozoa) dan tahapan spermatogenesis. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif dan variabel yang diukur adalah rata-rata yang didapat dari setiap variabel dengan menggunakan standar deviasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa testis E. kalubu berada di luar abdomen dan terbungkus oleh skrotum yang tidak berpigmen dengan organ reproduksi terdiri atas testis, epididimis, vas deferens dan dua buah kelenjar asesoris (kelenjar prostat dan cowper) serta memiliki ciri khas pada glans penis yang berbentuk bhipid (bercabang) dan tidak memiliki kelenjar vesikularis. Motilitas dan konsentrasi spermatozoa asal kauda epididimis meningkat sejalan dengan peningkatan kedewasaan. Spermatozoa E. kalubu memiliki bentuk kepala yang kecil dan batas antara kepala dengan ekor tidak sejelas pada spermatozoa ternak pada umumnya. Panjang kepala spermatozoa 2,91±0,40 μm, midpiece 13,99±0,87 μm dan principal piece adalah 145,59±5,38 μm dengan panjang total adalah 162,51±5,12 μm. Bandikut (E. kalubu) memiliki sembilan tahapan spermatogenesis dengan sepuluh langkah transformasi (perkembangan) spermatid menjadi spermatozoa. Kata kunci: Bandikut (Echymipera kalubu), spermatozoa, spermatogenesis
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa atau mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK REPRODUKSI BANDIKUT (Echymipera kalubu) JANTAN
ANGELINA NOVITA TETHOOL
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.Si
Judul Tesis Nama NRP
: Karakteristik Reproduksi Bandikut (Echymipera kalubu) Jantan : Angelina Novita Tethool : B352090011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si Ketua
drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet (K) Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi Reproduksi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. drh. M. Agus Setiadi
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 20 Oktober 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan kasih, berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Karakteristik Reproduksi Bandikut (Echymipera kalubu) Jantan. Penulis
menyampaikan
terima
kasih
dan
penghargaan
kepada
Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si dan drh. Srihadi Agungpriyono Ph.D, PAVet (K) selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan dan koreksi selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.Si sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tesis, Bapak Dr. drh. M. Agus Setiadi sebagai ketua Program studi serta seluruh staf pengajar Program studi Biologi Reproduksi atas segala ilmu yang diberikan selama ini, kepada Rektor, Dekan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua yang telah memberikan kesempatan tugas belajar, kepada Departemen Pendidikan Nasional (DITJEN DIKTI) atas bantuan beasiswa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada program Pascasarjana di IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Ibu Dr. drh. Savitri Novelina, drh. Sri Wahyuni, M.Si, mas Rudi, teman-teman KRP 2009 (Arie, mas Fitra, mas Ibnu, P’Ullum, P’Mazda, P’Riky, P’Herry, Bu Sri dan Bu Nur), rekan-rekan Lab. Fisiologi dan Reproduksi FPPK UNIPA (P’Jen, P’Priyo, P’Irba dan K’Uni) serta rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan dan saran-sarannya. Kepada Papa, Mama, Kakak-kakak, Adik-adik di Manokwari, Ibu mertua, kakak dan adik di Manado terima kasih atas dukungan moril dan doa selama ini. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada suami tercinta Luky Sembel dan anak tersayang Nicky Fidelis Adrie Sembel atas semangat, perhatian, pengertian dan kasih sayangnya selama ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor,
Oktober 2011
Angelina N. Tethool
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manokwari Papua Barat pada tanggal 30 November 1980 dari ayah Johannes Tethool dan ibu Susana Jamlaay. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua dan lulus tahun 2004. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Universitas Negeri Papua sejak tahun 2005 sampai sekarang. Penulis melanjutkan ke Program Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor tahun 2009 dengan Beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................
xix
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xx
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xxi
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... Tujuan ......................................................................................................... Manfaat .......................................................................................................
1 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Sistematika dan Penyebaran Bandikut ....................................................... Anatomi dan Morfologi Organ Reproduksi Jantan .................................... Morfologi Spermatozoa .............................................................................. Spermatogenesis dan Tahapan Tubuli Seminiferi ...................................... Parameter Kualitas Spermatozoa ................................................................
5 7 9 12 15
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ..................................................................................... Metode Penelitian ....................................................................................... Karakteristik Organ Reproduksi ............................................................ Karakteristik Spermatozoa Asal Epididimis .......................................... Tahapan Spermatogenesis ...................................................................... Analisis Data ..............................................................................................
19 19 19 20 22 22
HASIL DAN PEMBAHASAN Organ Reproduksi Echymipera kalubu Jantan ........................................... Testis ...................................................................................................... Epididimis .............................................................................................. Vas deferens............................................................................................ Kelenjar Asesoris.................................................................................... Organ Kopulatoris ................................................................................. Karakteristik Spermatozoa Asal Epididimis .............................................. Motilitas Spermatozoa ........................................................................... Konsentrasi Spermatozoa ...................................................................... Morfologi dan Morfometri Spermatozoa ............................................... Tahapan Spermatogenesis ..........................................................................
23 24 25 25 25 28 29 30 31 32 36
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................................. Saran ...........................................................................................................
43 43
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
45
LAMPIRAN ....................................................................................................
51
DAFTAR TABEL Halaman 1. Dimensi Prostat pada Beberapa Spesies Marsupial ...............................
26
2. Morfometri Organ Reproduksi Echymipera kalubu Jantan ...................
29
6
3. Motilitas (%) dan Konsentrasi (x10 /mL) Spermatozoa Echymipera kalubu yang Dikoleksi dari Kauda Epididimis ......................................
32
4. Tingkat Abnormalitas Spermatozoa E. kalubu (%) ...............................
35
5. Frekuensi Tahapan Spermatogenesis E. kalubu (%) ..............................
39
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Echymipera kalubu Jantan ....................................................................
5
2. Saluran Reproduksi Tammar wallaby (Macropus eugenii) Jantan .....
7
3. Penampakan Ventral Saluran Reproduksi Bandikut (Isoodon Macrourus) Jantan ................................................................................
9
4. Struktur Spermatozoa pada Mamalia ...................................................
9
5. Tahapan Fase Spermiogenesis ..............................................................
11
6. Proses Spermatogenesis pada Mamalia ................................................
13
7. Perkembangan Sel-Sel Germinal pada Tahapan Spermatogenesis Tikus .....................................................................................................
15
8. Testis dan Penis Echymipera kalubu ....................................................
23
9. Organ Reproduksi E. kalubu Jantan .....................................................
24
10. Kelenjar Prostat ....................................................................................
27
11. Kelenjar Cowper ...................................................................................
28
12. Grafik Motilitas Spermatozoa E. kalubu yang Dikoleksi dari Kauda Epididimis (%) ......................................................................................
30
13. Grafik Konsentrasi Spermatozoa E. kalubu yang Dikoleksi dari Kauda Epididimis (x106/mL) ................................................................
31
14. Spermatozoa Normal E. kalubu ............................................................
32
15 Morfologi Spermatozoa Abnormal E. kalubu ......................................
33
16. Grafik Persentase Abnormalitas Spermatozoa E. kalubu .....................
34
17. Tahapan Siklus Tubuli Seminiferi pada Spermatogenesis E. kalubu (I-IX) .....................................................................................................
37
18. Sembilan Tahapan Morfologi Siklus Tubuli Seminiferi E. kalubu ......
38
19. Grafik Frekuensi Tahapan Spermatogenesis E. kalubu (%) .................
40
PENDAHULUAN Latar Belakang Bandikut (Echymipera kalubu) merupakan salah satu satwa endemik Papua yang saat ini statusnya masih sebagai hewan liar dan populasinya masih berlimpah pada habitat yang sesuai (Leary et al. 2008). Satwa ini tergolong Ordo Peramelemorphia dengan Famili Peramelidae dan Peroryctidae.
Famili
Peramelidae banyak terdapat di Australia, sedangkan Famili Peroryctidae terutama genus Echymipera banyak ditemukan pada daerah New Guinea termasuk Papua (Gordon & Hulberth 1989). Hewan ini merupakan hewan berkantung (Marsupialia)
yang
memiliki
sifat
nokturnal,
soliter
dan
omnivora
(Menzies 1991). Bandikut memiliki laju reproduksi yang paling tinggi diantara semua marsupialia dengan jumlah anak perkelahiran 2-4 ekor dan frekuensi beranak sebanyak 5-6 kali dalam setahun (Petocz 1994).
Bandikut adalah hewan
marsupialia (berkantung) yang dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani dan memiliki nilai etno-zoologis (rambut, tulang dan anak Bandikut umur 12 hari dipercaya berkhasiat untuk pengobatan) bagi masyarakat Papua (Warsono 2009). Penggunaan Bandikut sebagai model dalam penelitian hewan marsupial perlu mendapat perhatian mengingat hewan ini memiliki ukuran tubuh yang kecil sehingga memudahkan dalam penanganan, ekonomis dalam menggunakan bahan coba, lebih efisien dalam pemakaian ruang dan mudah untuk melakukan percobaan ulang karena statusnya yang masih melimpah pada habitat aslinya. Satwa ini memiliki struktur organ reproduksi yang unik, dimana saluran akhir alat reproduksi, saluran kencing dan saluran pembuangan kotoran bermuara dalam satu saluran anus mirip kloaka pada unggas (Warsono 2009). Pemanfaatan satwa liar secara umum yang berasal dari alam, nantinya dapat menyebabkan menurunnya jumlah populasi sehingga perlu adanya suatu upaya penanganan yang mengarah pada kegiatan konservasi.
Konservasi
merupakan upaya yang umumnya bertujuan untuk melestarikan dan melindungi keanekaragaman genetika, species atau jenis dan untuk memanfaatkannya bagi kepentingan manusia. Konservasi secara in situ dan ex situ merupakan kegiatan yang saat ini banyak dilakukan terhadap satwa liar. Informasi tentang status
2
biologi reproduksi dari satwa liar sangat penting untuk pelaksanaan kegiatan konservasi ex situ. Salah satu aspek dalam biologi reproduksi satwa liar adalah pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi dari organ reproduksi baik jantan maupun
betina,
yang
dapat
digunakan
untuk
proses
pembudidayaan,
perkembangbiakkan, serta bahan penentu kebijakan dalam pengelolaan kehidupan satwa di penangkaran. Proses pembudidayaan Bandikut (E. kalubu) sebagai salah satu satwa harapan untuk dijadikan sumber protein hewani (ternak pedaging) diperlukan beberapa tahapan pengkajian. Komponen yang perlu diteliti meliputi jenis pakan, tingkah laku, habitat yang disenangi, upaya untuk mengubah pakan alami, daya adaptasi selama proses budidaya serta faktor reproduksi yang merupakan faktor penentu dalam keberhasilan budidaya (Warsono 2009).
Faktor-faktor ini
merupakan dasar yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengoptimalkan produktivitas serta usaha domestikasi Bandikut (E. kalubu). Keberhasilan budidaya sangat dipengaruhi oleh aspek fisiologi organ reproduksi. Organ reproduksi hewan jantan berkaitan dengan tingkat fertilitas yang dapat diketahui dengan melihat kondisi semen dan spermatozoa. Informasi mengenai kualitas spermatozoa juga dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya preservasi maupun kriopreservasi. Spermatozoa dapat dikoleksi dari epididimis ternak atau hewan dan dapat dimanfaatkan dalam prosedur teknologi reproduksi. Menurut Hafez dan Hafez (2000) pada fertilisasi in vitro (IVF) spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis telah memiliki motilitas dan kemampuan membuahi oosit yang sama baiknya dengan spermatozoa hasil ejakulasi. Beberapa upaya telah dilakukan untuk memanfaatkan spermatozoa epididimis satwa liar diantaranya pada Petaurus breviceps papuanus T. (Suarni & Ermayanti 2009), Iberian red deer (Cervus elaphus hispanicus) (Santoz et al. 2006), Elan (Taurotragus oryx) (Bisset & Bernard 2010), Kucing (Cocchia et al. 2009).
Informasi tentang reproduksi hewan jantan secara khusus mengenai dinamika spermatogenesis merupakan hal mendasar yang dapat digunakan untuk mencegah spesies dari kepunahan serta meningkatkan program pemuliaan pada spesies tertentu secara alami maupun buatan (Comizzoli et al. 2000). Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa yang diawali
3
dengan proliferasi secara mitosis spermatogonium dan kemudian spermiogenesis dimana spermatid haploid akan berkembang menjadi spermatozoa (Almeida et al. 2006). Aktivitas spermatogenesis dapat diamati secara morfologi melalui sediaan histologi, melalui pendeteksian imunohistokimia (keberadaan hormon steroid di jaringan testis) dan histokimia (keberadaan ikatan lektin). Tehnik-tehnik ini dapat digunakan untuk mengetahui dan menduga proses-proses spermatogenesis yang terjadi di dalam tubuli seminiferi. Berbagai penelitian terkait reproduksi Bandikut di Australia telah banyak dilakukan diantaranya meliputi reproduksi Northen Brown Bandicoot (Isoodon macrourus) (Vernes & Pope 2009), ritme aktivitas dari Southern Brown Bandicoot (Isoodon obelus) di penangkaran (Larcombe 2003), fisiologi reproduksi Bilby betina (Macrotis lagotis Thylacomidae) (Ballantyne et al. 2009), pengaruh perubahan musim pada saluran reproduksi Bandikut jantan (Isoodon macrourus) (Thodunter & Gemmel 1987) dan kebiasaan Bandikut menggali sebagai suatu upaya adaptasi lingkungan (Long 2009).
Saat ini penelitian
mengenai Bandikut yang tersebar di daerah Papua belum banyak dilaporkan, beberapa penelitian yang telah dilakukan meliputi sifat biologis dan karkas daging Bandikut (Warsono 2009) serta tingkah laku harian Bandikut di penangkaran (Manufandu 2000).
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan suatu
penelitian untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik reproduksi Bandikut (E. kalubu) jantan sebagai upaya untuk mendapatkan informasi tentang status biologi reproduksi yang dimiliki pada spesies ini. Tujuan Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan: 1. Mempelajari karakteristik organ reproduksi Bandikut (E. kalubu) jantan. 2. Mempelajari kualitas spermatozoa Bandikut (E. kalubu) asal kauda epididimis. 3. Mempelajari tahapan spermatogenesis Bandikut (E. kalubu).
4
Manfaat Hasil penelitian ini berguna sebagai data dasar dan informasi yang penting dalam upaya perkembangbiakkan dan preservasi sumber genetik Bandikut (E. kalubu) untuk menunjang upaya konservasi yang akan dilakukan pada spesies ini.
TINJAUAN PUSTAKA Sistematika dan Penyebaran Bandikut Sistematika zoologis Bandikut adalah sebagai berikut (Petocz 1994) (Gambar 1): Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Infraclass
: Methatheria
Superordo
: Marsupialia
Ordo
: Peramelemorphia
Famili
: Peroryctidae
Genus
: Echymipera
Species
: Echymipera kalubu
Gambar 1 Echymipera kalubu jantan
Bandikut memiliki ordo yang dibedakan dalam dua famili, yaitu Peramelidae (bandicoots and bilbies) memiliki empat genus, sepuluh spesies, dan Peroryctidae (Peroryctid bandicoots) mempunyai empat genus dan sebelas spesies (Lindenmayer 1997).
Famili Peramelidae banyak terdapat di Australia,
6
sedangkan famili Peroryctidae terutama genus Echymipera banyak ditemukan di kepulauan Maluku dan New Guinea (Menzies 1991).
Daratan New Guinea
memiliki tiga genus (Peroryctes, Microperoryctes dan Rhynchomeles) dengan sebelas spesies merupakan endemik dan genus Echymipera yang merupakan pusat genus di New Guinea dengan empat spesies dan satu spesies diantaranya meluas sampai di bagian utara Australia. Genus lain (Isodoon) merupakan pusat genus di Australia dengan satu spesies juga penyebarannya meluas sampai ke New Guinea bagian selatan (Graeme & Maynes 1990). Bandikut merupakan hewan nokturnal, soliter dan omnivora.
Jumlah
spesies Bandikut di dunia adalah sebanyak 21 spesies, sebagian besar hanya ditemukan di New Guinea dan sedikit di pesisir utara dan timur Australia. Secara umum daerah penyebaran Bandikut dari ketinggian 0-4300 meter dari permukaan laut pada habitat padang rumput alam, alang-alang, hutan terbuka, hutan hujan dataran rendah, hutan lebat, hutan lumut dan areal pepohonan (Menzies 1991). Echymipera kalubu dikenal juga sebagai bandikut kepala hitam. Bagian kepala berwarna kehitaman dan memiliki warna yang lebih terang pada bagian tenggorokan dan pipi. Bandikut jenis ini mempunyai ciri rambut yang tajam, bagian punggung kehitaman dengan sejumlah variasi kuning kecoklatan sampai leher. Warna rambut coklat muda pada bagian ventral dan coklat gelap kehitaman dengan ujung lebih pucat. Moncong agak panjang, telinga ekor dan kaki pendek serta memiliki empat pasang gigi seri (Graeme & Maynes 1990). Telapak kaki belakang berwarna hitam dan tidak terlalu berkembang dengan sempurna dibanding Echymipera pada umumnya. Bobot badan jantan lebih besar daripada betina dengan kisaran 1483.75 g untuk jantan dan 850.71 g untuk betina (Warsono 2009). Spesies ini merupakan bentuk fauna peralihan antara Australia Utara dan New Guinea. Populasinya tersebar luas di dataran rendah pada habitat hutan tertutup, hutan terbuka, padang rumput dan semak belukar yang lebih kering di pulau Waigeo, Biak dan Yapen serta bagian utara, timur, Manokwari, Merauke dan selatan New Guinea dengan ketinggian 1550 m dari permukaan laut (Gordon et al. 1990; Warsono 2009; Yohanita 2009).
7
Anatomi dan Morfologi Organ Reproduksi Jantan Sistem reproduksi hewan jantan secara umum terdiri atas sepasang testis, vas deferens, epididimis, kelenjar asesoris dan penis. Marsupial jantan memiliki saluran reproduksi yang terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, kelenjar prostat, kelenjar Cowper, penis dan glans penis yang berbentuk bhipid atau tunggal (Renfree 1993). Bagian-bagian organ reproduksi marsupial jantan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Saluran reproduksi Tammar Wallaby jantan (Macropus eugenii) (Sumber: Renfree 1993).
Testis merupakan organ reproduksi primer tempat dihasilkannya spermatozoa yang akan membuahi oosit pada hewan betina sewaktu terjadi perkawinan dan fertilisasi. Testis mengandung lobuli testis yang membentuk saluran-saluran kecil yang disebut tubuli seminiferi tempat berlangsungnya proses spermatogenesis. Pada bagian mediastinum testis, tubuli bergabung membentuk rete testis kemudian melalui duktus eferens dihubungkan dengan bagian kepala epididimis (kaput epididimis). Epididimis merupakan suatu struktur memanjang yang bertaut rapat dengan testis. Epididimis terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaput epididimis (kepala) membentuk suatu penonjolan yang dimulai pada ujung proximal testis
8
yang berfungsi dalam penyerapan cairan, korpus epididimis (badan) berada pada bagian tengah yang berfungsi dalam pematangan spermatozoa dan kauda epididimis (ekor) berada pada ujung distal dari testis yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan spermatozoa (Biscoe & Renfree 1987). Kauda epididimis merupakan tempat penyimpanan spermatozoa dan mengandung sekitar 75% total spermatozoa epididimis (Hafez 2000). Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang tidak berpasangan dan mengelilingi pelvis uretra.
Kelenjar ini menghasilkan sekresi alkalin yang
memberikan bau khas pada cairan semen serta berfungsi mensekresikan cairan untuk membersihkan dan menetralisir uretra dari bekas urine dan kotoran-kotoran lain sebelum ejakulasi. Kelenjar Cowper merupakan sepasang kelenjar kecil yang terletak pada tiap sisi pelvis uretra. Penis merupakan organ kopulatoris dan berfungsi sebagai tempat pengeluaran urine dan deposisi semen ke dalam saluran reproduksi betina. Penis mamalia memiliki tiga bagian cekungan yang terdapat pada sekitar penile uretra (Hafez 2000).
Skrotum merupakan suatu kantong yang berfungsi untuk
melindungi testis dan epididimis serta mempertahankan suhu yang lebih rendah daripada suhu badan yang diperlukan untuk proses spermatogenesis. Pada Eastern barred bandicoot testes berada di luar
dan dibungkus
dengan skrotum. Perkembangan terjadi pada kelenjar-kelenjar asesoris, seperti kelenjar prostat yang berada subkutan dan terletak pada anterior kloaka (Gambar 3). Penis pada hewan ini berbentuk S dan berakhir pada glans penis yang berbentuk bhipid. Glans penis yang berbentuk bhipid kemungkinan berhubungan dengan bentuk vagina marsupial yang terdiri atas dua bagian, yaitu dua lateral vagina dan median vagina (Biscoe & Renfree 1987). Selanjutnya kantung kencing yang dimiliki hewan ini terletak pada bagian dorsal prostat (Seebeck 2001). Echymipera kalubu jantan ditandai dengan adanya dua buah testes yang terbungkus dalam skrotum menggantung keluar abdomen sekitar tiga cm dari anus.
Saluran akhir alat reproduksi, saluran kencing dan saluran
pembuangan kotoran bermuara dalam satu saluran anus mirip kloaka pada unggas (Warsono 2009).
9
A
B
Gambar 3 Penampakan ventral saluran reproduksi Bandikut (Isoodon macrourus) jantan (A) selama musim tidak kawin (B) selama musim kawin. B: Bladder, P: Prostat, V: Vas deferens, M: Membranous urethra, T: Testis, E: Epididimis (Sumber: Thodunter & Gemmel 1987).
Morfologi Spermatozoa Spermatozoa memiliki dua bagian utama yaitu kepala yang mengandung inti (nukleus) dan ekor (flagellum) (Gambar 4). Bagian ekor terdiri atas leher (neck piece), badan (middle piece), ekor utama (principal piece) dan ujung ekor (end piece).
Gambar 4 Struktur spermatozoa pada mamalia. a. Spermatozoa tikus. b. Spermatozoa manusia. H: Kepala, Ne: Leher, MP-EP: Ekor (MP: Middle piece, PP: Principal piece, EP: End piece) (Sumber: Toshimori 2009).
Struktur kepala Kepala spermatozoa berfungsi sebagai pembawa dan menjaga DNA hingga terjadinya fertilisasi.
Bagian kepala spermatozoa terdiri atas daerah
anterior yang terdapat akrosom dan daerah posterior yang terdapat selubung post
10
akrosom. Pembentukan akrosom terjadi pada tahap spermiogenesis dari proses spermatogenesis. Fase spermiogenesis terdiri atas fase golgi, fase cap (tudung), fase akrosomal dan fase pematangan atau maturasi (Senger 2005) (Gambar 5). Akrosom adalah derivat dari apparatus golgi yang terbentuk sepanjang tahap awal spermatogenesis. Akrosom spermatozoa berfungsi dalam menginisiasi reaksi fisikokimia pada saat fertilisasi dan mengandung glikoprotein yang disekresikan oleh retikulum endoplasma serta apparatus golgi, termasuk enzimenzim yang digunakan pada waktu penetrasi spermatozoa. Pembentukan
akrosom
terjadi
pada
tahap
spermiogenesis
dari
spermatogenesis. Fase spermiogenesis terdiri atas empat tahap (Gambar 6), yaitu: Fase Golgi Fase golgi merupakan tahap pertama dari pembentukan akrosom. Pada tahap ini terbentuk granula proakrosomal pada gelembung golgi yang kemudian bergabung membentuk butir akrosom tunggal dalam gelembung akrosomal. Sentriol proksimal akan bergerak dari sitoplasma ke dasar nukleus yang nantinya akan menjadi leher antara kepala dan ekor. Sentriol distal berkembang menjadi aksonema (flagella di ekor). Fase Cap (Tudung) Terjadi pergerakan butir akrosom ke arah anterior. Butir-butir akrosom akan memipih yang disebut inner dan outer akrosom serta terdapat membran. Ekor akan terbentuk dari sentriol distal. Spermatid akan bergerak ke arah lumen tubuli seminiferi. Fase akrosomal Akrosom kemudian akan berkembang menutup duapertiga area kepala. Kepala dan sitoplasma akan memanjang dan inti akan mengalami kondensasi. Terdapat mikrotubulus dari selubung yang akan menjadi postnuclear cap. Spermatid tertanam di sel sertoli dengan ekor yang menuju lumen tubuli.
11
A
B
C
D
Gambar 5 Tahapan fase spermiogenesis. A. Fase golgi, B. Fase cap (tudung), C. Fase akrosomal, D. Fase pematangan (maturation) (Sumber: Senger 2005).
Fase pematangan (maturation) Spermatid akan memanjang dan akan dilepaskan ke lumen dan sisa sitoplasma akan bergerak ke arah posterior.
Mitokondria akan mengelilingi
flagella dari dasar inti sampai dengan sepertiga dari ekor. Granul kromatin yang berkondensasi akan diganti dengan protamin di dalam inti. Struktur Ekor Bagian ekor terdiri atas leher (neck piece), badan ekor (middle piece), ekor utama (principal piece) dan ujung ekor (end piece).
Leher (neck piece)
merupakan bagian yang paling pendek dan terletak antara kepala dan leher. Badan ekor (middle piece) merupakan bagian dari ujung bagian bawah leher hingga annulus (struktur pita yang melingkar antara bagian badan dan ekor utama). Ekor utama (principal piece) merupakan bagian terpanjang dari flagella mulai dari annulus hingga ujung atas dari bagian ujung ekor. Ujung ekor (end piece) merupakan bagian akhir dari ekor, bagian ini diawali dari berakhirnya selubung serabut (Garner & Hafez 2000).
12
Leher (connecting piece) Leher adalah bagian terpendek dan terletak antara kepala dan ekor. Bagian utama adalah kapitulum yang merupakan bagian berkolom dan dan memiliki struktur serabut yang pekat.
Pada bagian yang berkolom terdapat
sentriol proksimal, dimana sentriol ini berperan dalam pembentukan aksonema selama spermiogenesis.
Pada spermatozoa dewasa fungsi sentriol ini belum
diketahui. Badan (midpiece) Bagian ini dimulai dari ujung bawah bagian leher hingga annulus (struktur pita yang melingkar antara bagian badan dan ekor utama). Ciri dari bagian ini adalah adanya mitokondria yang tersusun heliks sebagai sumber energi untuk pergerakan spermatozoa dan selubung mitokondria. Membran mitokondria sangat stabil dan tahan terhadap tekanan selama pergerakan flagella. Ekor utama (principal piece) Ekor utama adalah bagian terpanjang dari flagella yang dimulai dari annulus hingga ujung atas bagian ujung ekor. Pada bagian ini terdapat selubung serabut, struktur skeletal yang mengelilingi aksonema dan serabut tebal. Fungsi selubung serabut mirip dengan serabut tebal yaitu untuk mengontrol pergerakan flagella. Ujung ekor (endpiece) Bagian ini merupakan bagian akhir dari ekor, dimana bagian ini diawali dari berakhirnya selubung serabut. Ujung ekor merupakan tempat berakhirnya elemen aksonema yang ditandai dengan adanya mikrotubul subunit A tanpa dyenin dan ketiadaan mikrotubul subunit B. Spermatogenesis dan Tahapan Tubuli Seminiferi Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa yang diawali terbentuknya spermatogonia yakni sel germinal di dalam tubuli seminiferi. Spermatogenesis terjadi dalam struktur ekstensif tubuli seminiferi dari testis. Tubuli seminiferi dilapisi oleh epitel seminiferi dan mengandung cairan lumen, dimana spermatozoa dilepaskan sepenuhnya terbentuk. Epitel seminiferi terdiri dari dua tipe sel dasar, yaitu somatik dan sel-sel germinal.
Germinal sel
13
ditemukan pada tahapan yang berbeda dari dasar tubuli hingga lumen dan dikelilingi oleh sitoplasma dari sel somatik dan sel Sertoli (Hess 1999).
Gambar 6 Proses spermatogenesis pada mamalia (Sumber: Anonim 2010).
Spermatogenesis terbagi atas tiga fase, yaitu fase proliferasi, meiosis dan spermiogenesis (Hess 1999; Senger 2005; Dreef et al. 2007). Fase proliferasi merupakan fase pertama, dimana spermatogonium adalah sel yang paling matang dan terletak di sepanjang dasar epitel seminiferi.
Pada tahap mitosis,
spermatogonia yang berkumpul di membran basalis (spermatogonia tipe A) membelah empat kali untuk membentuk 16 sel yang selanjutnya disebut spermatogonia tipe B.
Spermatogonia B merupakan tahap terakhir pada
pembelahan secara mitosis. Tahap ini menghasilkan sel untuk memasuki fase kedua, yaitu spermatosit preleptotene yang akan bergerak menjauhi dasar tubuli seminiferi dan mendekati sertoli junction (Gambar 7) (Hess 1999). Fase
meiosis
terjadi
proses
reduction-division,
yang
merupakan
mekanisme biologis dimana sebuah sel germinal tunggal dapat meningkatkan kandungan DNA-nya, kemudian membagi dua kali untuk menghasilkan empat sel
14
germinal individu yang mengandung untai tunggal setiap kromosom atau setengah jumlah kromosom yang biasanya ditemukan dalam sel-sel tubuh (Hess 1999). Tahap pembelahan meiosis, terjadi sintesis DNA serta pembelahan spermatosit primer yang mengandung 23 pasang kromosom menjadi spermatosit sekunder yang mengandung 23 pasang kromosom.
Spermatosit ini akan mengalami
pembelahan meiosis kedua untuk memproduksi spermatid dengan jumlah kromosom 23. Proses meiosis diperpanjang selama jangka waktu yang panjang, karena itu spermatosit ditemukan di setiap tahap spermatogenesis dan dua jenis spermatosit yang berbeda dapat diamati dalam beberapa tahap (Gambar 7). Tahap spermiogenesis merupakan tahap dimana setiap spermatid dibentuk kembali secara fisik oleh sel sertoli dengan menghilangkan beberapa sitoplasma; mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid untuk membentuk satu kepala yang padat dan megumpulkan sisa sitoplasma dan membran sel pada salah satu ujung dari sel untuk membentuk ekor (Gambar 6). Fase spermiogenesis terdiri dari tiga tahapan secara umum, yaitu: inti memanjang dan kromosom berkondensasi, aparatus golgi menghasilkan lisosom seperti granul dan sel membentuk ekor panjang yang dilapisi mitokondria (Hess 1999). Epitel tubuli seminiferi dari marsupial terdiri atas lapisan-lapisan germinal sel dan sel-sel Sertoli (Biscoe & Renfree 1987). Lebih lanjut dikatakan bahwa siklus di dalam tubuli seminiferi dapat dikelompokkan berdasarkan tahapan spermatogenesis yang berlangsung di dalam tubuli seminiferi pada testis. Lapisan epitel tubuli seminiferi testis terdiri atas spermatogonia, spermatosit dan spermatid. Pada proses spermatogenesis terjadi proses diferensiasi spermatogonia (diploid) menjadi spermatozoa (haploid).
Pembentukan spermatozoa dari
spermatogonia terjadi melalui beberapa tahapan tertentu yang ditandai dengan perubahan sel-sel spermatogenik (Biscoe & Renfree 1987). Proses spermatogenesis merupakan proses yang dikendalikan oleh susunan syaraf pusat, melalui poros hipotalamus-hipofisis dan juga secara lokal pada testis. Kelenjar hipofisis anterior mensekresikan hormon gonadotropin Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) di bawah pengaruh GnRH dimana FSH mempunyai peranan terhadap perkembangan sel-sel sertoli, sedangkan LH berperan terhadap sel-sel Leydig dalam memproduksi dan
15
mensekresikan testosterone.
Testosterone yang dihasilkan akan berdifusi ke
tubuli seminiferi untuk mengatur spermatogenesis dan bertugas memelihara selsel Sertoli. Sel sertoli merupakan sel pemelihara sel-sel spermatogenik (Senger 2005).
Gambar 7 Perkembangan sel-sel germinal pada tahapan spermatogenesis tikus (Sumber: Dreef 1999).
Parameter Kualitas Spermatozoa Evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui kualitas spermatozoa meliputi evaluasi makroskopis dan mikroskopis. Evaluasi makroskopis meliputi volume semen, warna, konsistensi (kekentalan) dan pH (derajat keasaman). Evaluasi mikroskopis meliputi gerakan massa, motilitas, konsentrasi, morfologi dan abnormalitas spermatozoa. Volume semen bagi setiap individu bervariasi tergantung pada perbedaan umur, bangsa, nutrisi, libido dan kondisi dari individu itu sendiri. Warna semen umumnya berkaitan erat dengan konsentrasi dan konsistensi. Semakin tinggi konsentrasi spermatozoa dapat mengakibatkan meningkatnya konsistensi dan kepekaan warna semen.
16
pH (derajat keasaman) dapat mempengaruhi daya tahan spermatozoa. Semakin rendah atau semakin tinggi dari pH normal dapat menyebabkan kematian spermatozoa. pH semen normal bervariasi antara 6.5-6.9 dengan rata-rata 6.75. Variasi pH semen kemungkinan dipengaruhi oleh konsentrasi asam laktat yang dihasilkan dalam proses akhir metabolisme. Metabolisme spermatozoa dalam keadaan anaerobik akan menghasilkan asam laktat yang tertimbun dan meningkatkan atau menurunkan derajat keasaman. Konsentrasi spermatozoa penting untuk diketahui karena hal ini sebagai kriteria penentu kualitas semen. Derajat kekeruhan spermatozoa ditentukan oleh konsentrasi
spermatozoa.
Semakin
banyak
konsentrasi
spermatozoa
menyebabkan semakin keruh warna semennya. Motilitas atau daya gerak spermatozoa ditentukan setelah melakukan penampungan semen. Faktor yang mempengaruhi motilitas spermatozoa terbagi menjadi dua, yaitu faktor endogen yang meliputi umur sperma, maturasi sperma, penyimpanan energi (ATP), agen aktif dan faktor eksogen yang meliputi biofisik dan fisiologi, cairan suspensi dan adanya rangsangan hambatan (Ax et al. 2000). Pengamatan motilitas spermatozoa dapat dilakukan menggunakan mikroskop dengan lensa objektif 40X pada ulasan semen di atas objek glass yang ditutup cover glass. Motilitas spermatozoa berperan dalam penentuan kualitas semen karena akan berkaitan erat dengan kemampuan spermatozoa dalam melakukan aktivitas fertilisasi. Gerakan merupakan cerminan dari motilitas spermatozoa. Semakin aktif dan semakin banyak bergerak ke depan maka nilai dari gerakan tersebut semakin baik. Gerakan individu yang progresif akan menyebabkan spermatozoa menjadi semakin cepat bertemu dengan ovum. Gerak melingkar atau mundur yang terjadi pada spermatozoa menunjukkan bahwa terjadi cold shock, penurunan suhu secara mendadak, panas yang berlebihan, adanya bahan-bahan kimia dan benda asing. Secara morfologi abnormalitas spermatozoa dikategorikan menjadi abnormalitas primer (berkaitan dengan kepala sperma dan akrosom), sekunder (berkaitan dengan keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier (berkaitan dengan kerusakan ekor) (Ax et al. 2000). Barham dan Pennington (2009) membagi abnormalitas atas abnormalitas primer dan abnormalitas
17
sekunder. Abnormalitas primer merupakan bentuk-bentuk perubahan yang terjadi pada proses spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi.
Bentuk-bentuk
abnormalitas ini antara lain kepala yang terlampau besar (macrocephalus) dan kecil (microcephalus), kepala pendek dan melebar, ekor ganda dan ekor melingkar (coiled), putus atau terbelah. Abnormalitas sekunder terjadi setelah spermatozoa meninggalkan tubuli seminiferi, selama perjalanan melalui epididimis, ejakulasi atau penampungan ejakulat termasuk pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang cepat, kontaminasi dengan air, urin dan antiseptik. Bentuk-bentuk abnormalitas ini meliputi kepala tanpa ekor, bagian tengah yang melipat, adanya butiran-butiran sitoplasmik proksimal atau distal dan selubung akrosom yang lepas.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari-Juli 2011 di Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Negeri
Papua,
Laboratorium
Unit
Rehabilitasi
Reproduksi
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi dan Laboratorium Riset Anatomi Departermen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan 21 ekor Bandikut (E. kalubu) jantan dari kabupaten Manokwari yang dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan berat badan, yaitu kelompok prapubertas: 370-640 g, dewasa muda: > 640-850 g dan dewasa: > 850 g (dewasa). Echymipera kalubu jantan mulai kawin dengan berat badan 650 g (Lyne 1964, diacu dalam Warsono 2009) dan jantan dewasa dengan kisaran berat badan 840-1500 g (Flannery 1995). Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga macam pengamatan, yaitu pengamatan karakteristik organ reproduksi (bagian dari organ reproduksi), karakteristik spermatozoa asal kauda epididimis (motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa dan morfologi yang meliputi abnormalitas spermatozoa serta morfometri spermatozoa) dan gambaran tahapan spermatogenesis yang diamati melalui gambaran tubuli seminiferi dari sediaan histologi.
Untuk
pengamatan ini hewan dikorbankan dengan cara pengeluaran darah (exsanguinasi) dari arteri carotis communis setelah hewan dianastesi dengan kombinasi ketaminhidroklorida (50 mg/kgBB) dan xylazin-hidroklorida (10 mg/kgBB) (Schaeffer 1997; Fowler 2008). 1. Karakteristik Organ Reproduksi Pengamatan makroskopis dilakukan terhadap bentuk dari organ reproduksi jantan.
Pengamatan morfometri dilakukan melalui pengukuran panjang, lebar
dan berat dari organ-organ reproduksi yang meliputi: Testis, Epididimis,
20
Vas deferens, Kelenjar Prostat, Kelenjar Cowper (Kelenjar Cowper 1 dan Cowper 2), Crus Penis, Penis, Glans penis (Thodunter & Gemmel 1987; Renfree 1993). Bahan yang digunakan kertas tissue, NaCl fisiologis, sedangkan alat yang digunakan adalah spuit 1 mL, scalpel, pinset, gunting, kaliper (mm) dan pita ukur (cm). Testis:
pengukuran panjang dan diameter dilakukan dengan menggunakan
kaliper. Pengukuran panjang dimulai pada ujung testis dari salah satu sisi ke sisi yang lain tanpa epididimis. Pengukuran diameter dilakukan pada bagian tengah dari testis kemudian dilakukan penimbangan. Epididimis: pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan kaliper, dimulai dari kaput hingga kauda epididimis, kemudian dilakukan penimbangan. Vas deferens: panjang vas deferens diukur dengan menggunakan kaliper yang dimulai dari akhir kauda epididimis hingga ujung akhir vas deferens yang berada dekat prostat. Kelenjar Prostat: pengukuran panjang, lebar dan tebal menggunakan kaliper dan selanjutnya ditimbang. Kelenjar Cowper 1: pengukuran tebal menggunakan kaliper selanjutnya ditimbang. Kelenjar Cowper 2: pengukuran tebal menggunakan kaliper selanjutnya ditimbang. Crus Penis: pengukuran tebal menggunakan kaliper dan selanjutnya ditimbang. Penis: pengukuran panjang total penis dimulai dari pangkal penis hingga ke ujung penis dan juga dilakukan pengukuran panjang glans penis. 2. Karakteristik Spermatozoa Asal Epididimis Koleksi spermatozoa dilakukan dengan menyayat kauda epididimis. Evaluasi yang dilakukan terhadap spermatozoa epididimis meliputi: Motilitas spermatozoa, Konsentrasi spermatozoa dan Morfologi spermatozoa. Bahan dan alat yang digunakan adalah epididimis, NaCl, formolsaline, pewarna Carbofuchsin (William’s stain), alkohol absolut, chloramin 0.5%, alkohol 95%, air destilasi dan kertas tissue. Peralatan yang digunakan meliputi object glass, cover glass, jarum suntik 5 mL, mikropipet 1-10 µL, kotak hitung Neubauer, bak pewarna, sentrifuse dan mikroskop cahaya Olympus CH20.
21
Motilitas spermatozoa Motilitas spermatozoa dihitung dengan menempelkan kauda yang telah disayat pada object glass kemudian diteteskan NaCl sebanyak 1 tetes. Campuran spermatozoa dan NaCl tadi diambil satu tetes dan diteteskan pada object glass yang lain dan ditutup dengan cover glass. Motilitas spermatozoa selanjutnya diamati aktivitas gerak spermatozoa dimana spermatozoa hidup akan bergerak dan spermatozoa dinilai dari lima lapang pandang. Spermatozoa yang motil akan bergerak ke depan dan spermatozoa yang bergerak ditempat, bergerak melingkar, bergerak mundur dan diam sebagai spermatozoa yang tidak motil, penilaian menggunakan skoring 0-100%. Konsentrasi spermatozoa Kauda epididimis disayat-sayat kemudian di flushing menggunakan NaCl sebanyak 5 mL. Spermatozoa yang telah di flushing kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit (Setiadi et al. 2006). Cairan diatas kemudian dibuang, suspensi padat yang terdapat di bagian bawah diambil sebanyak 5 μL dan diencerkan dengan formolsaline, dihomogenkan dan diteteskan satu tetes pada kotak hitung Neubauer.
Konsentrasi spermatozoa
merupakan jumlah spermatozoa yang telah diperoleh dikalikan dengan faktor pengencer dan faktor hemositometer. Morfologi spermatozoa Morfologi spermatozoa diamati pada sediaan ulas yang diwarnai dengan Carbofuchsin (William’s stain). Spermatozoa epididimis yang telah dicampur dengan NaCl, dihomogenkan dengan batang pengaduk, dibuat preparat ulas tipis (smear) dan dikeringudarakan. Kemudian preparat ulas ini difiksasi dan dicuci dengan alkohol absolut selama 4 menit dan keringudarakan. Setelah itu preparat dimasukkan di dalam chloramin 0.5% selama 2 menit dan dicuci dengan air destilasi, alkohol 95% dan diwarnai dengan larutan William’s selama 8-10 menit. Tahap akhir preparat dicuci dengan air mengalir perlahan dan dikeringkan. Morfologi dan abnormalitas spermatozoa dievaluasi dari 10 lapang pandang menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa objektif 40X (Arifiantini et al. 2006).
22
3. Tahapan Spermatogenesis Bahan dan alat yang digunakan adalah testis, NaCl fisiologis, kertas tissue, paraformaldehid 4%, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70, 80, 90, 95 dan 100%), xylol, paraffin, aquades, pewarna periodic acid Schiff (PAS) dan perekat entelan. Peralatan yang digunakan adalah botol sampel, pinset, wadah penyimpan jaringan, object glass dan penutup, inkubator 37 0C, inkubator paraffin, blok kayu, bunsen, mikrotom, water bath, meja pemanas, termometer, mikroskop Olympus BX41. Untuk pengamatan spermatogenesis (proses pembentukan spermatozoa) yang berlangsung di dalam tubuli seminiferi, testis difiksasi dengan larutan paraformaldehid 4% selama 3x24 jam, kemudian jaringan diproses hingga menjadi blok parafin. Jaringan dalam blok paraffin dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3 µm dan dilekatkan pada object glass. Sediaan histologi kemudian diwarnai dengan Periodic Acid Schiff (PAS) untuk menentukan tahapan spermatogenesis (Kiernan 1990).
Frekuensi tahapan
spermatogenesis ditentukan dengan cara jumlah tubuli pada masing-masing tahapan dibagi dengan jumlah total tubuli dikali dengan 100. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan konfirmatif dengan variabel yang diukur adalah rata-rata yang didapat dari setiap variabel dengan menggunakan standar deviasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bandikut (E. kalubu) memiliki dua buah testis diluar abdomen dengan posisi menggantung secara transversal. Testis terbungkus oleh skrotum yang tidak berpigmen (berwarna putih) dan tidak ditumbuhi rambut. Menurut Biscoe dan Renfree (1987), beberapa kelompok marsupial memiliki skrotum yang berpigmen dan tidak berpigmen. Penis dikeluarkan melalui satu saluran bersamasama dengan saluran pembuangan kotoran (satu saluran anus mirip kloaka) (Gambar 8). Pada E.kalubu dewasa jarak antara kloaka dengan testis adalah 22.25±0.3 mm.
Gambar 8 Testis dan Penis Echymipera kalubu.
Organ Reproduksi Echymipera kalubu Jantan Struktur organ reproduksi E. kalubu jantan mirip dengan organ reproduksi marsupial jantan lainnya yaitu tidak memiliki kelenjar vesikularis. Organ-organ tesebut terdiri atas sepasang testis, epididimis dan vas deferens, kelenjar prostat, dua buah kelenjar Cowper (bulbouretral), crus penis, penis serta glans penis yang berbentuk bhipid (bercabang dua) (Gambar 9). Hasil penelitian ini mirip dengan hasil penelitian Paris et al. (2005) pada Tammar wallaby (Macropus eugenii), namun Tammar wallaby memiliki glans penis yang tunggal dan tiga buah kelenjar Cowper. Gambar 9 diambil dari kelompok E. kalubu dewasa. Gambaran organ reproduksi dapat dilihat secara jelas pada kelompok dewasa, karena pada kelompok ini organ-organ reproduksi telah terbentuk dengan sempurna serta tidak berubah (tetap).
24
Gambar 9
Organ reproduksi E. kalubu jantan; 1). Testis; 2). Epididimis; 3). Vas deferens; 4). Kelenjar Prostat; 5). Kelenjar Cowper; 6). Crus penis; 7). Penis; 8). Uretra; 9). Vesica urinaria; 10). Ginjal. Bar: 1 cm
Testis Testis berfungsi untuk menghasilkan spermatozoa dan sekresi hormon androgen (Senger 2005). Testis E. kalubu berbentuk elipsoid dengan ukuran (panjang dan berat) yang meningkat seiring dengan perkembangan kedewasaan. Hasil yang diperoleh sesuai dengan pernyataan Biscoe dan Renfree (1987), bahwa testis pada marsupial dewasa umumnya berbentuk elipsoid. Ukuran panjang dan berat testis berbeda pada setiap kelompok, yaitu prapubertas mempunyai panjang 9.83±0.16 mm, meningkat pada dewasa muda, yaitu 14.30±0.11 mm dan paling besar pada dewasa, yaitu 14.98±0.24 mm serta memiliki berat masing-masing 0.33±0.01 g, 0.83±0.01 g dan 0.94±0.03 g. Berat testis E. kalubu hasil penelitian lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok marsupial lainnya, seperti berat testis Tammar wallaby adalah 12,5±1,5 g (Paris et al. 2005); berat testis dan epididimis Isoodon macrourus berkisar antara 5,6-7,9 g (Thodunter & Gemmel 1987).
Perbedaan ini
kemungkinan disebabkan karena perbedaan spesies serta ukuran dan berat badan dari masing-masing kelompok hewan tersebut.
Menurut Biscoe dan Renfree
(1987), berat testis bervariasi pada spesies marsupial dan berhubungan dengan ukuran tubuh serta sistem perkawinan.
25
Epididimis Epididimis dihubungkan dengan testis oleh duktus efferens yang berfungsi menyalurkan spermatozoa dan menyerap sebagian besar cairan yang dikeluarkan oleh testis. Epididimis terbagi menjadi tiga bagian yaitu: kaput, corpus dan kauda yang masing-masing bertanggung jawab terhadap penyerapan, pematangan dan penyimpanan spermatozoa.
Panjang dan berat epididimis
E. kalubu juga berbeda-beda tergantung pada perkembangan kedewasaannya. Pada kelompok prapubertas panjang ataupun beratnya paling kecil. Pada kelompok dewasa muda panjangnya berbeda dengan yang dewasa tetapi mempunyai berat yang sama yaitu 0,26±0,01 g (Tabel 2). Ukuran ini termasuk kecil bila dibandingkan dengan hewan marsupial lainnya, seperti Tammar wallaby yang memiliki berat epididimis 3,2±0,30 g (Paris et al. 2005) dan pada Honey possums epididimis kiri 56,20±15,70 g serta kanan 51,5±16,0 g (Russel & Renfree 1989). Berat dan panjang yang berbeda-beda selain disebabkan oleh perbedaan spesies hewan kemungkinan juga karena epididimis setiap individu memiliki kapasitas yang berbeda dalam penyimpanan spermatozoa, seperti yang dikatakan Cummins et al. (1986), bahwa beberapa spesies marsupial memiliki kapasitas penyimpanan spermatozoa yang terbatas hanya untuk beberapa juta spermatozoa. Vas deferens Vas deferens merupakan saluran yang menghubungkan epididimis dengan uretra, saluran ini berfungsi sebagai saluran transportasi spermatozoa dari epididimis yang nantinya akan bercampur dengan sekresi dari kelenjar prostat dan Cowper. Panjang dan diameter vas deferens hasil penelitian ini berbeda-beda, paling pendek terdapat pada kelompok prapubertas 41.99±0.38 dengan diameter 1.44±0.23 dan paling panjang terdapat pada kelompok dewasa yaitu 67,21±0,57 mm dengan diameter 1.97±0.56 mm. Kelenjar asesoris Kelenjar asesoris berfungsi mengeluarkan sekresi yang akan bercampur dengan spermatozoa, dimana sekresi dari kelenjar asesoris ini berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pergerakan spermatozoa. Echymipera kalubu hanya memiliki dua buah kelenjar asesoris, yaitu kelenjar prostat (Gambar 10A) dan dua buah kelenjar Cowper (Gambar 11A).
Plasma semen hanya
26
dihasilkan oleh kedua kelenjar tersebut, hal ini berbeda dengan ternak pada umumnya dimana plasma semen 75% dihasilkan oleh kelenjar vesikularis. Prostat Kelenjar prostat memberikan sekresi pada semen yang membantu sebagai pelicin pada spermatozoa. Menurut Biscoe dan Renfree (1987), kelenjar prostat mensekresikan seminal plasma yang mengandung karbohidrat dan berfungsi dalam mempengaruhi motilitas spermatozoa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kelenjar prostat E. kalubu memiliki ukuran yang berbeda-beda untuk setiap perkembangan kedewasaan. Panjang, lebar dan berat paling kecil terdapat pada kelompok prapubertas dan paling besar pada kelompok dewasa, yaitu panjang 11,05±2,08 mm, lebar 9,66±1,89 mm dan berat 0,66±0,27 g (Tabel 2).
Pada
daerah yang memiliki perbedaan musim ukuran kelenjar prostat dipengaruhi oleh
musim kawin. Hal ini dapat dilihat pada I. macrourus saat tidak terjadi musim kawin berat kelenjar prostat hanya 2.5-7.4 g dan saat terjadi musim kawin beratnya meningkat menjadi 6.9-8.9 g (Thodunter & Gemmel 1987). Lebih lanjut menurut Paris et al. (2005) berat prostat Tammar wallaby adalah 15.2±1.8 g. Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa dimensi kelenjar prostat berbeda-beda pada beberapa spesies marsupial (Tabel 1). Tabel 1 Dimensi prostat pada beberapa spesies marsupial Spesies Isoodon macrourus Neophascogale lorentzi Myotic wallacei Dasyurus albopunctatus
Prostat (mm) (Panjang x Lebar) 25-33x19-28 22.5x6.0 25.5x5.0 28.5x 5.5
Sumber Thodunter & Gemmel 1987 Wooley 2001 Wooley 2001 Wooley 2001
Kelenjar prostat marsupial umumnya terbagi menjadi dua bentuk, yaitu bentuk jantung dan wortel (Biscoe & Renfree 1987). Gambar 10A menunjukkan bahwa kelenjar prostat E. kalubu berbentuk seperti jantung, sedangkan kelenjar prostat Tammar wallaby berbentuk seperti wortel (Gambar 10B). Hal ini sesuai dengan pendapat Biscoe dan Renfree (1987), bahwa kelenjar prostat pada kelompok hewan Peramelidae dan Phascolarctidae berbentuk seperti jantung, sedangkan kelompok Macropodidae, Dasyuridae, Tylacinidae, Tarsipedidae,
27
Petauridae, Phalangeridae, Notoryctidae dan Lasiorhinus latifrons berbentuk seperti wortel.
A Gambar 10
B
Kelenjar Prostat A). Bandikut (E. kalubu); B). Tammar wallaby (Macroupus eugenii) (Paris et al. 2005). Bar: 1 cm
Cowper (Bulbouretral) Kelompok hewan marsupial memiliki jumlah kelenjar Cowper yang bervariasi dari satu hingga tiga buah. Kelenjar ini berbentuk struktur bulbus yang bergabung dengan uretra melalui saluran-saluran yang dikelilingi oleh otot-otot yang halus (Biscoe & Renfree 1987). Echymipera kalubu memiliki dua buah kelenjar Cowper yang terbentang sepanjang bagian dari uretra dan bentuknya berbeda pada hewan mamalia pada umumnya, karena berbentuk lobulus-lobulus (Gambar 11A). Kelenjar Cowper yang ditemukan jumlahnya sama dengan yang dimiliki oleh Isoodon macrourus, Neophascogale lorentzi dan Sugar glider (Tedman 1990; Wooley 2001). Menurut Tedman (1990) Sugar glider memiliki dua multilobus kelenjar Cowper yang terbentang dorsal dan lateral pada rektum. Kelompok hewan marsupial lainnya, seperti Tammar wallaby, Myotic wallacei, Dasyurus albopunctatus dan Dasyurus spartacus memiliki tiga buah kelenjar Cowper (Paris et al 2005; Wooley 2001). Bandikut (E. kalubu) memiliki kelenjar Cowper 1 yang berada dekat saluran uretra dan memiliki ukuran kelenjar Cowper 1 yang relatif lebih besar, sedangkan kelenjar Cowper 2 berdekatan dengan kelenjar Cowper 1 namun memiliki ukuran yang selalu lebih kecil bila dibandingkan dengan kelenjar Cowper 1.
Kisaran tebal dan berat masing-masing kelenjar Cowper adalah
1.47±0.03-3.30±0.09 mm dan berat 0.01±0.01-0.10±0.06 g serta 1.37±0.01-
28
3.27±1.89 mm dan berat 0.02±0.01-0.10±0.06 g (Gambar 11A).
Hasil yang
diperoleh ini sama seperti hasil penelitian Paris et al. 2005 bahwa tiga buah kelenjar Cowper yang dimiliki Tammar wallaby juga memiliki ukuran yang tidak sama, yaitu kelenjar Cowper 1 adalah 0.20±0.02 g, Cowper 2 adalah 0.7±0.10 g, Cowper 3 adalah 0.6±0.10 g.
A
B
Gambar 11 A). E. kalubu; 1. Glans penis; 2. Penis; 3. Urethral bulb; 4. Crus penis; 5. Cowper 1; 6. Cowper 2; B). Tammar wallaby; Ub. Urethral Bulb; Cp: Crus penis; Cg2: Cowper 2; Cg3: Cowper 3 (Paris et al 2005). Bar: 1 cm
Organ kopulatoris Penis Penis E. kalubu yang dalam keadaan normal berbentuk sigmoid dan memiliki glans penis yang bhipid atau bercabang (Gambar 10A). Struktur glans penis marsupial umumnya bercabang, meskipun ada juga yang tidak bercabang (Dawson et al. 1999). Glans penis yang berbentuk bhipid kemungkinan berhubungan dengan bentuk vagina marsupial yang terdiri atas dua bagian, yaitu dua vagina lateral dan vagina median (Biscoe & Renfree 1987; Gordon & Hulberth 1989). Penis marsupial biasanya memiliki struktur berbentuk sigmoid di dalam kantung preputial pada kloaka (Biscoe & Renfree 1987). Lebih lanjut dikatakan bahwa penis biasanya dikeluarkan hanya pada saat terjadi interaksi seksual dan pada berbagai spesies penis sulit untuk dikeluarkan diluar musim kawin.
Hasil penelitian diperoleh panjang penis pada kelompok prapubertas
13.56±4.23 mm, kelompok dewasa muda 21.9±2.41 mm dan paling panjang pada kelompok dewasa 26.59±4.44 mm (Tabel 2).
29
Urethral bulb berperan dalam membantu aktivitas otot bulbo-cavernosus dalam proses pengosongan uretra. Crus penis pada marsupial memisahkan dua kelenjar Cowper yang ukurannya lebih kecil dan berperan pada proses terjadinya ereksi (Allen & Cantab 1893; Biscoe & Renfree 1987). Karakteristik Spermatozoa asal Kauda Epididimis Epididimis E. kalubu berukuran agak kecil (Tabel 2) sehingga tidak semua evaluasi terhadap karakteristik spermatozoa kauda epididimis dapat dilakukan, kondisi ini menyebabkan evaluasi mikroskopis hanya dilakukan terhadap motilitas, konsentrasi dan morfologi spermatozoa. Tabel 2 Morfometri organ reproduksi E. kalubu jantan Organ
Prapubertas
Echymipera kalubu Dewasa muda
Dewasa
Panjang (mm) Diameter (mm) Berat (g)
9.83±0.16 7.17±0.14 0.33±0.01
14.30±0.11 10.05±0.02 0.83±0.01
14.98±0.24 10.08±0.28 0.94±0.03
Panjang (mm) Berat (g)
18.24±0.89 0.07±0.02
26.1±0.64 0.22±0.01
27.79±0.55 0.26±0.01
Panjang (mm) Diameter (mm)
41.99±0.38 1.44±0.23
61.86±3.70 1.79±0.05
67.21±0.57 1.97±0.56
Panjang (mm) Lebar (mm) Tebal (mm) Berat (g)
4.82±1.82 5.08±2.83 3.01±2.71 0.17±0.11
9.67±0.78 9.12±1.25 6.97±0.66 0.54±0.12
11.05±2.08 9.66±1.89 7.34±1.54 0.66±0.27
Tebal (mm) Berat (g)
1.47±0.03 0.01±0.01
2.72±0.12 0.05±0.01
3.30±0.09 0.10±0.01
Tebal (mm) Berat (g)
1.37±0.009 0.02±0.01
2.39±0.28 0.03±0.01
3.27±1.89 0.10±0.06
Tebal (mm) Berat (g)
2.68±0.05 0.05±0.01
3.81±0.01 0.15±0.01
5.25±0.27 0.31±0.01
Panjang (mm) Diameter (mm)
13.56±4.23 2.61±1.03
21.9±2.41 2.83±0.64
26.59±4.44 3.67±0.82
Panjang (mm)
2.49±0.02
4.92±0.26
6.67±0.17
Keterangan
Testis
Epididimis
Vas deferens
Prostat
Cowper 1
Cowper 2
Crus penis
Penis
Glans penis
30
Motilitas spermatozoa Motilitas spermatozoa merupakan salah satu faktor dalam menentukan kualitas spermatozoa karena menunjukkan persentase spermatozoa yang hidup. Motilitas spermatozoa biasanya digunakan sebagai indikator dari viabilitas sel, integritas membran dan fungsi metabolisme intrasel. Motilitas juga merupakan salah satu parameter untuk menentukan fertilitas tetapi tidak berkorelasi dengan kemampuan fertilisasi baik secara in vitro maupun in vivo (Durrant 1990). Motilitas spermatozoa epididimis hasil penelitian pada setiap kelompok cenderung mengalami peningkatan, paling rendah pada kelompok prapubertas hanya 33,33±25,17%, meningkat pada kelompok dewasa muda menjadi 41,67±12,58% dan paling tinggi terdapat pada kelompok dewasa, yaitu 57,50±3,54% (Gambar 12). Peningkatan motilitas spermatozoa ketiga kelompok ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan perkembangan seksual dan kedewasaan.
Informasi mengenai motilitas spermatozoa dari kauda epididimis
E. kalubu belum pernah dilaporkan, pada koala motilitas semen segar yang dikoleksi menggunakan ejakulator menunjukkan motilitas spermatozoa rata-rata 78,8 ± 2,8% (49-95%) (Johnston et al. 2000). Perbedaan ini dapat dipahami mengingat teknik koleksi semen yang berbeda, adanya perbedaan ras dan oleh beberapa faktor antara lain faktor endogen yang meliputi umur dan maturasi spermatozoa serta penyimpanan energi (ATP) (Ax et al. 2000).
Gambar 12 Grafik motilitas spermatozoa E. kalubu yang dikoleksi dari kauda epididimis (%).
31
Konsentrasi spermatozoa Konsentrasi spermatozoa sangat penting dalam penentuan kemampuan seekor pejantan dalam membuahi sel telur.
Konsentrasi spermatozoa E. kalubu yang
diperoleh mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan kedewasaan (Gambar 13). Kosentrasi spermatozoa paling rendah pada kelompok prapubertas 1.75±1.14x106/mL dan paling banyak pada kelompok dewasa 12.56±6.33x106/mL (Tabel 3). Angka konsentrasi E. kalubu masih lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi spermatozoa epididimis Isoodon obesulus dan I. macrourus dengan jumlah spermatozoa 48x106/mL 70.97x106/mL (Biscoe & Renfree 1987), namun masih lebih tinggi dari spermatozoa epididimis Brown marsupial mouse (Antechinus stuartii) yang hanya 3.5x106/mL sampai dengan 4.4x106/mL (Taggart & Smith 1990).
Gambar 13 Grafik konsentrasi spermatozoa epididimis (x106/mL).
E. kalubu yang dikoleksi dari kauda
Konsentrasi spermatozoa ditentukan oleh ukuran testis dan aktivitas spermatogenesis yang sebanding dengan perkembangan seksual dan kedewasaan, serta kualitas makanan dan status kesehatan dari pejantan (Salisbury & VanDemark 1985; Sumeidiana et al. 2007). Selain itu variasi konsentrasi pada individu jantan berhubungan dengan aktivitas seksual seperti mating (perkawinan) sebelum penampungan akan menurunkan konsentrasi dan stres (kemampuan beradaptasi) (Haron et al. 1999; Sumeidiana et al. 2007). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa perbedaan konsentrasi spermatozoa dapat juga dipengaruhi oleh kondisi individu, genetik dan pakan.
32
Tabel 3 Motilitas (%) dan Konsentrasi (x106/mL) spermatozoa E. kalubu yang dikoleksi dari kauda epididimis
Kelompok
Motilitas (%)
Konsentrasi (x106/mL)
Prapubertas Dewasa muda Dewasa
33.33±25.17 41.67±12.58 57.50±3.54
1.75±1.14 8.86±4.21 12.56±6.33
Morfologi dan Morfometri Spermatozoa Spermatozoa E. kalubu memiliki bentuk kepala yang kecil dan batas antara kepala dengan ekor tidak sejelas pada spermatozoa ternak pada umumnya (Gambar 14).
Karakteristik morfologi spermatozoa ini mirip dengan unggas.
Ukuran dan bentuk spermatozoa antar spesies hewan dapat berbeda-beda, namun memiliki struktur morfologi yang sama yaitu terdiri atas kepala dan ekor. Hasil penelitian diperoleh bahwa panjang keseluruhan spermatozoa E. kalubu adalah 162.51±5.12 μm dengan panjang kepala 2.91±0.40 μm, panjang midpiece 13.99±0.87 μm dan panjang ekor utama adalah 145.59±5.38 μm (Gambar 14).
Gambar 14 Spermatozoa normal E. kalubu. Pewarnaan William’s.
Morfometri spermatozoa hasil penelitian lebih pendek dari beberapa spesies marsupial lain seperti Perrameles nasuta dengan panjang kepala 5.7 μm, midpiece 14 μm dan panjang keseluruhan 199.8 μm, I. macrourus memiliki panjang kepala 6 μm, midpiece 10.7 μm dan panjang keseluruhan 171.1 μm dan Tarsipes rotatus dengan panjang kepala 10.6 μm, midpiece 91 μm dan panjang keseluruhan 342.6 μm (Harding et al. 1990). Menurut Tourmente (2011), panjang keseluruhan
spermatozoa
pada
beberapa
marsupial
berkisar
antara
33
79.50-349.44 µm. Bila dibandingkan dengan spermatozoa beberapa hewan lain yang memiliki ukuran tubuh serupa, maka spermatozoa E. kalubu masih lebih panjang. Pada beberapa rodensia seperti spermatozoa Cavia porcellus memiliki panjang kepala 7.5±0.3 μm dan panjang ekor 92.3±0.9 μm, panjang kepala Ctenomys coyhaiquensis 7.6±0.4 μm dan panjang ekor 66.3±2.2 μm dan panjang kepala
Aconaemys fuscus
5.6±0.3 μm dan panjang ekor 35.2±2.3 μm
(Gallardo 2002).
Gambar 15 Morfologi spermatozoa abnormal E. kalubu. a-i. abnormal (a. kepala & midpiece tanpa principal piece; b. detached head; c. kepala & midpiece pecah; d. principal piece melingkar; e. principal piece bengkok (simple bent); f. coiled pada principal piece; g. principal piece menggulung (bent tail); h. midpiece dan principal piece melipat; i. principal piece tanpa kepala & midpiece). Bar: 20 μm
Perbedaan spesies hewan selain mempengaruhi bentuk kepala juga dapat mempengaruhi ukuran baik panjang kepala maupun panjang keseluruhan spermatozoa. Selain itu menurut Arifiantini et al. (2006) bahwa teknik pewarnaan yang digunakan dalam pengukuran morfometri spermatozoa sapi juga dapat memberikan pengaruh nyata pada ukuran panjang kepala dan ekor bagian utama tetapi tidak pada lebar dan panjang ekor bagian tengah.
34
Spermatozoa normal memegang peranan penting dalam keberhasilan fertilisasi. Nilai abnormalitas ditentukan berdasarkan jumlah spermatozoa dengan bentuk yang tidak normal. Abnormalitas kepala yang tertinggi ditemukan pada kelompok prapubertas 1.73% (Gambar 16). Jenis-jenis abnormalitas kepala pada kelompok prapubertas adalah detached head 1.73%, kelompok dewasa muda adalah kepala dan midpiece tanpa principal piece 0.24% dan detached head 1.15% dan kelompok dewasa adalah kepala dan midpiece tanpa principal piece 0.23%, detached head 0.58% serta kepala dan midpiece pecah 0.58% (Tabel 4).
Gambar 16 Grafik persentase abnormalitas spermatozoa E. kalubu (%).
Abnormalitas pada ekor tertinggi terdapat pada kelompok dewasa muda sebanyak 23.23%. (Gambar 16). Jenis-jenis abnormalitas ekor pada kelompok prapubertas antara lain principal piece bengkok (simple bent) 15.26% dan principal piece menggulung (bent tail) 3.57%, midpiece dan principal piece melipat 0.11%, kelompok dewasa muda adalah principal piece bengkok (simple bent) 16.52%, principal piece melingkar 0.60%, coiled pada principal piece 0.06%, principal piece menggulung (bent tail) 3.33%, midpiece dan principal piece melipat 2.72% dan kelompok dewasa adalah principal piece bengkok (simple bent) 12.97%, principal piece melingkar 0.23%, coiled pada principal piece 0.46%, ekor utama menggulung 0.35%, midpiece dan principal piece melipat 3.62% dan principal piece tanpa kepala dan midpiece 0.23% (Tabel 4).
35
Tabel 4 Tingkat abnormalitas spermatozoa E. kalubu (%) Kelompok Prapubertas
Dewasa muda
Dewasa
Abnormalitas
Persentase
Kepala
Kepala dan midpiece tanpa principal piece Detached head Kepala dan midpiece pecah
1.73 1.73
Ekor
Principal piece bengkok (simple bent) Principal piece melingkar Coiled pada principal piece Principal piece menggulung (bent tail) Midpiece dan principal piece melipat Principal piece tanpa kepala dan midpiece
15.26 3.57 0.11 18.94
Kepala
Kepala dan midpiece tanpa principal piece Detached head Kepala dan midpiece pecah
0.24 1.15 1.39
Ekor
Principal piece bengkok (simple bent) Principal piece melingkar Coiled pada principal piece Principal piece menggulung (bent tail) Midpiece dan principal piece melipat Principal piece tanpa kepala dan midpiece
16.52 0.60 0.06 3.33 2.72 23.23
Kepala
Kepala dan midpiece tanpa principal piece Detached head Kepala dan midpiece pecah
0.23 0.58 0.58 1.39
Ekor
Principal piece bengkok (simple bent) Principal piece melingkar Coiled pada principal piece Principal piece menggulung (bent tail) Midpiece dan principal piece melipat Principal piece tanpa kepala dan midpiece
12.97 0.23 0.46 0.35 3.62 0.23 17.86
Tingkat abnormalitas spermatozoa asal kauda epididimis pada kelompok prapubertas dan dewasa muda cenderung lebih tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan karena proses spermatogenesis yang terjadi di dalam tubuli seminiferi belum terjadi secara sempurna. Menurut Holt dan Pickard (1999) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat abnormalitas morfologi spermatozoa adalah tahapan spermatogenesis akhir serta faktor hormonal yang mempengaruhi terjadinya proses spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi.
36
Abnormalitas spermatozoa dapat terjadi pada bagian kepala dan ekor spermatozoa (Bonet et al. 1993) dan dapat terjadi selama proses spermatogenesis maupun setelah keluar dari saluran epididimis (Toelihere 1993; Bonet et al. 1993; Ax et al. 2000 dan Johnson et al. 2000).
Barham dan Pennington (2009)
membagi abnormalitas atas abnormalitas primer dan abnormalitas sekunder. Abnormalitas primer ini terjadi karena kelainan yang terjadi pada saat fase spermatogenesis di tubuli seminiferi, sedangkan abnormalitas sekunder ini terjadi saat perjalanan spermatozoa dari tubuli seminiferi menuju epididimis, saat terjadi ejakulasi, perlakuan semen saat koleksi semen termasuk tahapan selanjutnya seperti pemanasan, pendinginan, penambahan antibiotik dan terkontaminasi zat berbahaya lainnya.
Abnormalitas primer yang diperoleh dari hasil penelitian
meliputi kepala dan midpiece tanpa principal piece, detached head serta kepala dan midpiece pecah, sedangkan abnormalitas sekunder meliputi coiled pada principal piece, principal piece bengkok (simple bent), principal piece menggulung (bent tail) dan principal piece tanpa kepala dan midpiece (Gambar 15). Tahapan Spermatogenesis Spermatogenesis merupakan suatu proses kompleks, dinamis dan terus menerus dalam memproduksi spermatozoa haploid yang terjadi di dalam tubuli seminiferi testis (Dreef et al. 2007). Proses spermatogenesis terbagi menjadi tiga fase perkembangan penting,
yaitu
fase proliferatif,
fase
meiosis
dan
spermiogenesis (Hess 1999). Pewarnaan PAS mewarnai akrosom sehingga dapat dibedakan spermatid pada berbagai fase dan spermatozoa.
Menurut Russel et al. (1990) tahapan
spermatogenesis dapat dibedakan berdasarkan ciri khas dari perkembangan spermatogonia
dan
aspek
morfologi
dari
sel
germinatif
setiap
tahap
spermatogenesis. Tahapan spermatogenesis dapat dibedakan juga berdasarkan kriteria utama yang terletak pada karakteristik morfologi spermatid, letak inti dan sistem akrosomik. Dengan menggunakan mikroskop cahaya dan pewarnaan PAS (periodic acid schiff), maka dengan mudah akan didapatkan gambaran mikroskopik dari tahapan spermatogenesis E. kalubu. Penentuan tahapan-tahapan
37
spermatogenesis didasarkan pada perubahan morfologi dan komposisi sel-sel spermatogenik pada tiap-tiap sayatan tubuli seminiferi yang diamati. Beberapa
spesies
hewan
memiliki
perbedaan
dalam
tahapan
spermatogenesis seperti pada Macropus eugenii diperoleh delapan tahapan spermatogenesis (Biscoe & Renfree 1987) dan Mongolian gerbil (Meriones unguiculatus) terdapat dua belas tahapan spermatogenesis dengan lima belas langkah perkembangan spermatid hingga menjadi spermatozoa (Segatelli et al. 2001).
Gambar 17 Tahapan siklus tubuli seminiferi pada spermatogenesis E. kalubu (I-IX). A: spermatogonia tipe A; B. spermatogonia tipe B; L: spermatosit leptotene; P: spermatosit pakiten; Z: spermatosit zigoten; D: spermatosit diplotene dan M: Meiosis; Huruf 1-10 merupakan langkah transformasi spermatid hingga menjadi spermatozoa.
Pada penelitian ini tahapan spermatogenesis atau perubahan bentuk sel germinatif pada E. kalubu dapat digolongkan dalam sembilan tahap, sedangkan transformasi atau metamorfosa spermatid hingga menjadi spermatozoa meliputi sepuluh langkah (Gambar 17) sebagai berikut: Tahap I dicirikan oleh terbentuknya spermatid baru dengan bentuk bulat (round) dan spermatid yang mulai memanjang (elongasi), adanya spermatosit pakiten dan banyak terdapat spermatogonia A. Pada tahap II, spermatid muda mulai memasuki fase golgi dan spermatid dewasa yang mulai bergerak ke arah lumen, spermatosit pakiten dan spermatogonia A yang
banyak
terdapat disekitar
membran basalis. Tahap III ditandai oleh spermatid muda berbentuk bulat, dari fase golgi memasuki fase tudung (cap phase) dan spermatid dewasa dengan
38
ekor yang semakin panjang dan bergerak berjajar di permukaan, spermatosit pakiten serta spermatogonia B.
Tahap IV terjadi spermiasi atau pelepasan
spermatozoa dari lumen tubuli menuju epididimis untuk pendewasaan lebih lanjut, spermatid berada pada fase tudung dan bergerak menuju lumen tubuli, diikuti pula oleh spermatosit leptoten dan pakiten, proliferasi.
spermatogonia terus mengalami
Tahap V dicirikan dengan spermatid yang mulai memasuki fase
akrosom, sitoplasma mulai berbentuk oval, spermatosit tahap leptoten dan pakiten serta spermatogonia tipe A.
Gambar 18 Sembilan tahapan morfologi siklus tubuli seminiferi E. kalubu. I-IX merupakan sembilan tahapan perkembangan spermatid. Angka 1-10 menunjukkan langkah perkembangan spermatid. A; spermatogonia tipe A; B: spermatogonia tipe B; L: spermatosit leptoten; P: spermatosit pakiten; Z: Spermatosit zigotene; D: Spermatosit diploten; M: Meiosis. Pewarnaan PAS-hematoxylin. Bar I-IX: 20 μm
39
Tahap VI dicirikan dengan spermatosit yang sama pada tahap V, dengan spermatid yang semakin oval. Tahap VII juga memiliki spermatosit yang sama seperti pada tahap V, namun spermatid sudah berada pada akhir fase akrosom. Tahap VIII dicirikan oleh spermatid yang memasuki fase awal pematangan, elongasi dan berjajar di permukaan lumen tubuli, terdapat dua buah bentuk spermatosit, yaitu diploten dan zigoten serta spermatogonia A. Tahap IX sama dengan tahap VIII, yang berbeda adalah spermatosit primer mengalami meiosis dan hal ini merupakan karakteristik utama pada tahap ini. Tahapan spermatogenesis tubuli seminiferi E. kalubu pada Gambar 18 berasal dari kelompok dewasa. Kelompok dewasa memiliki gambaran tahapan spermatogenesis yang lebih jelas dan tetap. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa terdapat tiga fase perkembangan penting, yaitu fase proliferasi yang terdiri dari spermatogonia tipe A dan tipe B, fase meiosis yang merupakan tahapan perubahan kromatin di dalam nukleus yang terdiri dari leptoten, pakiten, zigoten, diploten dan diakhiri dengan pembelahan meiosis serta fase spermiogenesis yang merupakan tahapan perubahan spermatid yang belum matang hingga menjadi spermatozoa. Tabel 5 Frekuensi tahapan spermatogenesis E. kalubu (%)
Kelompok Prapubertas Dewasa muda Dewasa Jumlah Rata-rata Stdev
Tahap (%) V VI
I
II
III
IV
42.00 16.25 10.50 68.75 22.92 16.78
5.00 23.75 8.75 37.50 12.50 9.92
4.50 8.50 14.50 27.50 9.17 5.03
3.50 4.50 6.00 14.00 4.70 1.26
5.75 4.50 5.25 15.50 5.17 0.63
6.25 5.50 9.25 21.00 7.00 1.98
VII
VIII
6.25 21.25 13.50 23.00 13.50 31.00 33.25 75.25 11.08 25.08 4.19 5.20
IX 5.50 0.50 1.25 7.25 2.42 2.70
Berdasarkan Tabel 5 tahapan pre-meiosis terjadi pada tahap I-VIII dengan jumlah total 97.62%, sedangkan tahap meiosis pada tahap IX dengan total frekuensi 2.42%.
Frekuensi tiap tahap secara rata-rata tertinggi pada tahap
delapan, yaitu 25.08%, sedangkan frekuensi terjadinya spermiasi jika dilihat pada masing-masing kelompok tertinggi diperoleh pada kelompok dewasa 6%. Hasil penelitian yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian Neves et al. (2002), bahwa frekuensi tahap premeiosis keledai 33%, tahap meiosis 19.3% dan
40
postmeiosis 47.7%.
Perbedaan tinggi atau rendahnya frekuensi pada setiap
kelompok hasil penelitian disebabkan oleh kecepatan sel dalam membelah pasa setiap tahapan spermatogenesis. Frekuensi masing-masing tahap yang terjadi di dalam siklus tubuli seminiferi dapat digunakan untuk menentukan panjang relatif dari tahap spermatogenesis. Hasil penelitian yang dilakukan Onyango et al. 2000 bahwa frekuensi siklus terpanjang dari tahap spermatogenesis kambing adalah 34% pada tahap I yang kemudian diikuti dengan tahap V-VII dengan frekuensi 27%. Frekuensi tahapan spermatogenesis pada E. kalubu ditunjukkan pada Gambar 19.
Tahapan spermatogenesis memiliki frekuensi yang berbeda-beda
pada tiap kelompok, dimana pada kelompok dewasa tahap I-II cenderung lebih rendah dibanding dengan kelompok prapubertas dan dewasa muda, sedangkan pada tahap III-VIII cenderung lebih tinggi bila dibanding dengan kelompok prapubertas dan dewasa muda. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada kelompok dewasa proses spermatogenesis yang terjadi di dalam tubuli seminiferi umumnya spermatid berada pada fase pematangan hingga siap untuk dilepaskan melalui lumen tubuli seminiferi (spermiasi). Selain itu proses ini juga diduga berkaitan dengan aktivitas testosteron yang dimediasi oleh reseptor androgen. Menurut Tohda et al. (2001) pada anak tikus aktivitas spermatogenesis dipengaruhi oleh testosteron yang dimediasi oleh reseptor androgen yang kemudian menekan proses diferensiasi spermatogonia dan proses ini memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap penekanan testosteron. Pengaturan spermatogenesis yang terjadi di dalam tubuli seminiferi sangat dipengaruhi oleh hormon, dimana hormon yang berperan adalah Folicle Stimulating Hormon (FSH), Luteinizing Hormon (LH) yang disekresikan oleh hipofisa dan hormon testosteron yang dihasilkan oleh sel-sel Leydig. Hormonhormon ini berpengaruh pada sel sel spermatogenik dan sel Sertoli dalam tubuli seminiferi maupun sel-sel Leydig di daerah interstitial dan menstimulasi terjadinya spermatogenesis (Senger 2005). Perbedaan frekuensi dan lamanya waktu yang dibutuhkan pada masingmasing tahap spermatogenesis kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain spesies hewan, fisiologi reproduksi, kesuburan hewan, lamanya
41
waktu yang dibutuhkan hewan dalam mencapai dewasa kelamin serta pola perkawinan. Dewasa kelamin dan proses spermatogenesis pada hewan jantan adalah dua hal yang berlangsung hampir bersamaan.
Gambar 19 Grafik frekuensi tahapan spermatogenesis E. kalubu (%).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Organ reproduksi Echymipera kalubu memiliki ciri khas pada glans penis yang berbentuk bhipid (bercabang) dan tidak memiliki kelenjar vesikularis. 2. Spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis memiliki nilai motilitas dan konsentrasi yang meningkat sejalan dengan peningkatan kedewasaan. Tingkat abnormalitas kepala terbanyak pada kelompok prapubertas dan ekor pada kelompok
dewasa
muda.
Ukuran
panjang
keseluruhan
spermatozoa
162.51±5.12 μm dengan panjang kepala 2.91±0.40 μm, panjang midpiece 13.99±0.87 μm dan principal piece adalah 145.59±5.38 μm. 3. Tahapan spermatogenesis pada E. kalubu adalah sembilan tahap dengan sepuluh langkah transformasi (perkembangan) spermatid. Saran Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai pola reproduksi dari E. kalubu jantan yang hidup bersama dengan betina.
DAFTAR PUSTAKA Almeida FFL, Leal MC, Franca LR. 2006. Testis Morphometry, Duration of Spermatogenesis and Spermatogenic Efficiency in the Wild Boar (Sus scrofa scrofa). J Biol Reprod. 75:792–799. Allen J., Cantab MB. 1893. The Function of The Urethral Bulb. J Anat Physiol 27: 235–236. Anonim. 2010. Human Embryology: Gametogenesis. http://www.embryology. ch/anglais/cgametogen/spermato03.html [10 Desember 2010] Arifiantini RI, Wresdiyati T, Retnani EF. 2006. Kaji Banding Morfometri Spermatozoa Sapi Bali (Bos sondaicus) Menggunakan Pewarnaan Williams, Eosin, Eosin Nigrosin dan Formol Saline. J Sains FKH UGM 24: 65-70. Ax RL, Didion BA, Lenz RW, Love CC, Varner DD, Hafez B, Bellin ME. 2000. Semen Evaluation. In: Hafez B, Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animals. Seventh Ed. South Carolina: Baltimore, Lippincott Williams & Wilkins. Pp 365-375. Ballantyne K, Matson P, Noakes N, Nicolson V, Johnston SD. 2009. Reproductive Physiology of the Female Greater Bilby (Macrotis lagotis Thylacomidae: Evidence for a Male-Induced Luteal Phase). J Repro, Fertil and Develop. 21:274-282. Barham B, Pennington JA. 2009. Breeding Soundness Evaluation for Beef and Dairy Bulls. http://www.uaex.edu/other_areas/publications/pdf/fsa3046.pdf [14 Oktober 2010]. Biscoe RT, Renfree M. 1987. Reproductive Physiology of Marsupials. Cambridge University Press. New York. USA. Pp 124-171. Bissett C, Bernard RTF. 2010. The Effect of Prolonged Cold Storage of Eland (Taurotragus oryx) Cauda Epididymides on the Spermatozoa: Possible Implications for the Conservation of Biodiversity. http://eprints.ru.ac.az/760/1/The-effect-of prolonged. pdf. [27 Juni 2010]. Bonet S, Briz M, Fradera A. 1993. Ultrastructural Abnormalities of Boar Spermatozoa. J Theriogenelogy 63:383-396. Cocchia N et al. 2009. Cryopreservation of Feline Epididymal Spermatozoa from Dead and Alive Animals and Its Use in Assisted Reproduction. Cambridge. J Online. 18:1-8. Comizzoli P, Mermillod P, Mauget R. 2000. Reproductive Biotechnologies for Endangered Mammalian Species. J Repr Nutr Dev 40: 493-504. Cummins JM, Temple-Smith PD, Renfree MB. 1986. Reproduction in the Male Honey Possum (Tarsipes rostratus: Marsupialia): The Epididymis. Am J Anat 177:385–401
46
Dawson TJ et al. 1999. Morphology and Physiology of Metatheria. In: Fauna of Australia. http://www.environment.gov.au/biodiversity/abrs/publication /fauna-of-australia/pubs/volume1b/17-ind.pdf. [14 Oktober 2010] Durrant BS. 1990. Semen Collection, Evaluation and Cryopreservation on in Exotic Animals Species: Maximing Reproductive Potential. J. ILAR 32(1). http://dels-old.nas.edu/ilar_n/ilarjournal/32_1/V32_1Semen.shtml [10 Juni 2011].
Dreef HC, Van Esch E, De Rijk EPCT. 2007. Spermatogenesis in the Cynomolgus Monkey (Macaca fascicularis): A Practical Guide for Routine Morphological Staging. J Tox Pathol. 35:395-404. Flannery T. 1995. Mammals of New Guinea. Robert Brown and Associates. The Australian Museum. Sidney. Pp 104-121. Fowler ME. 2008. Restraint and Handling of Wild and Domestic Animals. First Ed. Blackwell Publishing. State avenue IOWA. USA. Pp 248-261. Gallardo MH, Mondaca FC, Ojeda RA, Kohler N, Garrido N. 2004. Morphological Diversity In The Sperms Of Caviomorph Rodents. J Neotrop. Mammal. 9:159-170. Ganan N, Gomendio M, Roldan ERS. 2009. Effect of Storage of Domestic Cat (Felis catus) Epididymides at 50C on Sperm Quality and Cryopreservation. J Theriogenology. 72:1268–1277. Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In: Hafez B, Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animals. Seventh Ed. South Carolina: Baltimore, Lippincott Williams & Wilkins. Pp 96-109. Gordon G, Hulbert AJ. 1989. Peramelidae. In: Fauna of Australia. http://www.environment.gov.au/biodiversity/abrs/publications/fauna-ofaustralia/pubs/volume1b/24-ind.pdf [5 Mei 2010]. Gordon G, Hall LS, Antherton RG. 1990. Status Bandicoots in Queensland. In: Seebeck JH, Brown PR, Wallis RL, Kemper CM, editor. Bandicoots and Bilbies. Surrey Beatty and Sons. Australia. Pp 37-42. Hafez ESE. 2000. Anatomy of Male Reproduction. In: Hafez B, Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animals. Seventh Ed. South Carolina: Baltimore, Lippincott Williams & Wilkins. Pp 3-11. Hafez B, Hafez ESE. 2000. Micromanipulation of Gametes and Embryos: In Vitro Fertilization and Embryo Transfer (IVF/ET). In: Hafez B, Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animals. Seventh Ed. South Carolina: Baltimore, Lippincott Williams & Wilkins. Pp 443-463. Harding HR, Shorey CD, Cleland KW. 1990. Ultrastructure of Spermatozoa and Epididymal Sperm Maturation in Some Perameloids. In: Seebeck JH, Brown PR, Wallis RL, Kemper CM, editor. Bandicoots and Bilbies. Surrey Beatty and Sons. Australia. Pp 107-116. Haron AW, Yong M, Zainudin ZZ. 1999. Evaluation of Semen Collected by Electro Ejaculation From Captive Lesser Mouse Deer Malay Chevrotain (Tragulus javanicus). J Zoo Wild Med. 31:164-167.
47
Hess RA. 1999. Spermmatogenesis Overview. J Ency of Reprod. 4:539-545. Holt WV dan Pickard AR. 1999. Role of Reproductive Technologies and Genetic Resource Banks in Animal Concervation. J Rev Reprod. 4: 143150. Johnson LA, Weitze KF, Fiser P, Maxwell WMC. 2000. Storage of Boar Semen. J Anim Sci 62:143-172. Johnston SD, McGowan MR, Philips NJ, O’Callaghan P. 2000. Optimal Physicochemical Conditions for the Manipulation and Short-Term Preservation of Koala (Phascolarctos cinereus). J Repro and Fert. 118:273-281. Kiernan JA. 1990. Histological & Histochemical Methods. Theory & Practice. Second Ed. England: Pergamon Pr. Canada. Pp 96-186. Larcombe AN. 2003. Activity Rithms of Sourthen Brown Bandicoots Isoodon obesulus (Marsupialia: Peramelidae) in Captivity. J Aust Mammal. 25:81-86. Leary et al. 2008. Echymipera kalubu. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/ details/7018/0 [14 Oktober 2010] Lindenmayer. 1997. Australian Metatherien: Dasyuromorphis, Notoryctemorphia, Peramelemorpha, Diprotodontia. http://voyager.uvm.edu [12 Maret 2010]. Long K. 2009. Burrowing Bandicoots an Adaptation to Life in Fire Prone Environment?. J Aust. Mammal. 31:57-59. Manufandu JS. 2000. Pola Tingkah Laku Harian Bandikut Hidung Panjang (Echymipera rufescens) di Penangkaran. Faperta Uncen. Manokwari. Menzies J, 1991. A Handbook of New Guinea Marsupials and Monotremes. Kristen Inc. Papua New Guinea. Pp 51-60. Neves ES, Chiarini-Garcia H, Franca LR. 2002. Comparative Testis Morphometry and Seminiferous Ephitelium Cycle Length in Donkeys and Mules. J Biol Reprod. 64:247-255. Onyango DW, Wango EO, Otiang’a-Owiti GE, Oduor-Okelo D, Werner G. 2000. Morphological Characterization of The Seminiferous Cycle in The Goat (Capra Hircus): A Histological and Ultrastructural Study. J. Ann Anat. 182:235-241 Parapanov RN et al. 2009. Testis Size, Sperm Characteristics and Testosterone Concentrations in Four Species of Shrews (Mammalia, Soricidae). J Ani Repro Sci 114:269–278. Paris DBBP, Taggart DA, Shaw G, Temple-Smith PD, Renfree MB. 2005. Changes in Semen Quality and Morphology of the Reproductive Tract of the Male Tammar Wallaby Paralalel Seasonal Breeding Activity in the Female. J Soc Reprod and Fert. 130:367-378. Petocz RG. 1994. Mamalia Darat Irian Jaya. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlm 69-77.
48
Renfree MB. 1993. Ontogeny, Genetic Control, and Phylogeny of Female Reproduction in Monotreme and Therian Mammals. http://www.eebweb.arizona.edu/Courses/Ecol485_585/Readings/Renfre e_1993.pdf [20 Mei 2010]. Russel EM dan Renfree MB. 1989. Tarsipedidae. In: Fauna of Australia.Vol.Ib http://www.environment.gov.au/biodiversity/abrs/publications/fauna-ofaustralia/pubs/volume1b/33-ind.pdf. [7 Juli 2010]. Russell LD, Ettlin RA, Hikim SAP, Clegg ED. 1990. Histological and Histopathological Evaluation of The Testis. Cache River Press, Clearwater Florida. Salisbury GW, VanDemark NL. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. R Djanuar, Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Pr. Terjemahan dari: Physiologi of Reproduction and Artificial Insemination of Cattle. Santos MRF, Esteso MC, Montoro V, Soler AJ, Garde JJ. 2006. Cryopreservation of Iberian Red Deer (Cervus elaphus hispanicus) Epididymal Spermatozoa: Effects of Egg Yolk, Glycerol and Cooling Rate. J Theriogenelogy 66:1931–1942. Schaeffer DO. 1997. Anesthesia and Analgesia in Nontraditional Laboratory Animal Species. In: Kohn DF, Wixson SK, White WJ, Benson GJ, editor. Anesthesia and Analgesia in Laboratory Animals. First Ed. Academic Press. New York USA. Pp 339-340. Seebeck JH. 2001. Mammalian Species: Perameles gunnii. J Am Soc Mammal 654: 1-8. Segatelli TM, Almeida CCD, Pinheiro PFF, Martinez M, Padovani CR, Martinez FE. 2002. Kinetic of Spermatogenesis in the Mongolian Gerbil (Meriones unguiculatus). J Tiss Cell 34:7-13. Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Second Rev. Ed. Washington: Current Conception. Setiadi MA, Suprayogi A, Yulnawati. 2006. Viabilitas dan Integritas Membran Plasma Spermatozoa Epididymis Anjing Selama Penyimpanan Pada Pengencer yang Berbeda. J Med Kedok Hewan. 22:118-123. Suarni NMRS, Ermayanti IGAM. 2009. Viabilitas Spermatozoa Petaurus breviceps papuanus T. J Biologi. 8: 57 – 59. Sumeidiana I, Wuwuh S, Mawarti E. 2007. Volume Semen dan Kosentrasi Sperma Sapi Simmental, Limousin dan Brahman di Balai Inseminasi Buatan Ungaran. J Indon. Trop. Anim. Agric. 32:131-137. Taggart DA, Temple-Smith PD. 1990. Effects of Breeding Season and Mating on Total Number and Distribution of Spermatozoa in the Epididymis of the Brown Marsupial Mouse, Antechinus stuartii. J Reprod Fert. 88:8191.
49
Tedman RA. 1990. Some Observations on the Visceral Anatomy of the Bandicoot Isoodon macrourus (Marsupialia: Peramelidae). In: Seebeck JH, Brown PR, Wallis RL, Kemper CM, editor. Bandicoots and Bilbies. Surrey Beatty and Sons. Australia. Pp 107-116. Thodunter R, Gemmel RT. 1987. Seasonal Changes in the Reproductive Tract of the Male Marsupials Bandicoot, Issodon macrourus. Great Britain. J Anat.154:173-186. Toelihere MR. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung : Angkasa. Tourmente M, Gomendio M, Roldan ERS. 2011. Mass-Specific Metabolic Rate and Sperm Competition Determine Sperm Size in Marsupial Mammals. J Plos One. 6:1-7. Tohda A et al. 2001. Testosterone Suppresses Spermatogenesis in Juvenile Spermatogonial Depletion (jsd ) Mice. J Biol of Reprod. 65:532-537. Toshimori K. 2009. Dinamycs of the Mammalian Sperm Head. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Pp 6. Vernes K, Pope LC. 2009. Reproduction in the Northern Brown Bandicoot (Isoodon macrourus) in the Australian Wet Tropics. J Zool. 57:105109. Warsono IU. 2009. Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu) [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wooley PA. 2001. Observations on the Reproductive Biology of Myoictis Wallacei, Neophasccogale Lorentzi, Dasyurus Albopunctatus and Dasyurus Spartacus, Dasyurid Marsupials Endemic to New Guinea. J Aust Mammal 23:63-66 Yohanita AM. 2009. Keragaman Jenis Mamalia di Hutan Lahan Basah Dataran Rendah Kaliki Kabupaten Merauke. Dalam: Krey K, Kemp N editor. Survei Keanekaragaman Hayati Areal Konsesi HTI Medco Group di Kaliki-Merauke, Papua Indonesia [Laporan Akhir]. Manokwari: Universitas Negeri Papua. Hal. 80-85.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur pembuatan preparat histologi Fiksasi jaringan dengan paraformaldehid 4% selama 3x24 jam
Dehidrasi dengan alkohol bertingkat (70, 80, 90, 95 dan 100%)
Clearing dengan Xylol
Infiltrasi
Embbeding di paraffin
Sectioning dengan menggunakan mikrotom setebal 3 µm
Staining dengan pewarnaan PAS
Tutup dengan cover yang telah diberi entelan
52
Lampiran 2 Prosedur Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) PERIODIC ACID SCHIFF (PAS) 1. Deparafinisasi, air mengalir, DW sesuai dengan prosedur 2. Oksidasi dalam larutan 0.5-1% periodic acid RT, 5 menit 3. DW 1 kali RT, 5 menit 4. *DDW (akuabides) RT, 2 kali @ 5 menit 5. Schiff reagent RT, 15 menit 6. Air sulfit (selalu dibuat baru) RT, 3 kali @ 5 menit 7. DW RT, 3 kali @ 5 menit 8. Counterstain (missal: Mayer Hematoksilin) cek mikroskop 9. Air mengalir 10-60 menit 10. DW RT, 2 kali @ 5 menit 11. Dehidrasi, clearing, mounting * atau 3 kali DW@ minimal 5 menit. Langkah ini penting untuk menjaga kebersihan dan keawetan Schiff Reagent. 0.5 Periodic acid: disimpan pada 40C, tahan beberapa bulan (buat catatan pemakaiannnya agar diketahui baru atau tidaknya). Periodic acid atau ortho-periodic acid (HIO4) 0.5 gr DW 100 ml Schiff reagent Rumus: 100 ml air (DW atau DDW), basic fuchsin 0.5 gr, HCl 1 N 11-20 ml, NaHSO3 0.4 gr dan karbon aktif 0.42 gr. Cara membuat Schiff reagent: 1. Panaskan air 100 ml sampai air mendidih. 2. Masukkan basic fuchsin 0.5 gr sambil diaduk selama 1 menit (aduk rata, warna merah gelap). 3. Saring kemudian diamkan hingga suhu 500C. 4. Penting!!! Pada suhu 500C, tambahkan HCl 1N aduk, lalu NaHSO4 aduk hingga rata (stirrer ± 2 menit). 5. Biarkan dingin dengan merendam botol larutan dalam wadah berisi air dan hindarkan dari cahaya (tutup dengan aluminium foil). 6. Setelah dingin (larutan mulai nampak merah pink terang) masukkan ke botol gelap dan simpan dalam refrigerator 18-36 jam. 7. Setelah dari kulkas, hangatkan lalu tambahkan karbon aktif kemudian distrirer ± 1 menit. 8. Saring lagi sehingga reagent akan menjadi bersih dan tidak berwarna (colourless), jika belum colourless ulangi tahapan penambahan karbon. 9. Simpan Schiff reagent dalam kulkas dan bisa digunakan 48 jam kemudian. 10. Periksa larutan: 1. Jika larutan menjadi colourless, berarti siap pakai. 2. Uji reagent, bila diteteskan dengan formaldehid berubah menjadi pink kemerahan dan ditetes dengan PBS warna tetap sama maka reagent bagus dan bisa dipakai. Air sulfit: (selalu dibuat baru) 10% Larutan Na atau K Hidrogen Sulfit (HSO3) atau metabisulfit 6 ml 1N HCl (asam khlorida) 5 ml DW atau DDW 100 ml
53
Lampiran 3 Foto-foto kegiatan penelitian