SIFAT BIOLOGIS DAN KARAKTERISTIK KARKAS DAN DAGING BANDIKUT (Echymipera kalubu)
IRBA UNGGUL WARSONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu) adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2009
Irba Unggul Warsono NIM D061020101
ABSTRACT
IRBA UNGGUL WARSONO. The Biological, Carcass and Meat Characteristics of the Spiny Bandicoots (Echymipera kalubu). Under supervision of EDDIE GURNADI, AMINUDDIN PARAKKASI and RUDY PRIYANTO.
The main objective of this study was to investigate the biological, carcass and meat characteristics of the spiny bandicoots (Echymipera kalubu). The research conducted using explorative method. Sixty eight mature bandicoots consisted of 36 males and 30 females were used to explore external characteristics, morphometry, behaviour, food preference and food intake, carcass and meat characteristics. Organoleptic test was used to have information on taste, smells and meat colour. The results, showed that the frequency and duration of Spiny Bandicoot behaviour at the night were eating (304.31 sec and 7.4 times), drinking (113.79 sec and 5.3 times) and grooming (151.46 sec and 4.85 times). The total time of the bandicoots activity at the night was 1.32 % for eating, drinking and grooming, 55.75 % for foraging and 42.93 % for shelter seeking. White breast bandicoots had obviously heavier hind legs but lighter fore legs meat compared with Red breast bandicoots. Meat and carcass characteristics of male and female bandicoots were dressing percentage (70.48 and 65.13), pH (5.78 and 5.66), tenderness (1.03 and 1.07 kg/cm2), cooking loss (33.62 and 34.47 %) and water holding capacity (37.14 and 35.98 % mgH2O). Meat composition contain complete amino acids and fatty acids, but a bit higher polysaturated fatty acids than other domestic livestocks especially palmitic acids (36.76 %). Flavor (taste, smells) and colour of the meat bandicoots can be accepted by people in Manokwari regency as well as like on pork, chiken and beef.
Keyword : biological character, carcass, meat, spiny bandicoot
RINGKASAN
IRBA UNGGUL WARSONO. Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu). Dibimbing oleh EDDIE GURNADI, AMINUDDIN PARAKKASI dan RUDY PRIYANTO.
Bandikut (Echymipera sp.) adalah salah satu satwa endemik Papua dan sering diburu untuk dimanfaatkan dagingnya. Bandikut keberadaannya belum banyak diungkap dan hidupnya masih liar sebagai hewan berkantung (marsupial), nokturnal, soliter dan suka berkelahi (pugnacious). Tujuan penelitian ini untuk memperoleh informasi dan gambaran tentang karakteristik eksternal dan tingkah laku serta data dasar yang berhubungan dengan morfometri, preferensi dan konsumsi pakan, karakteristik karkas dan daging serta penerimaan masyarakat terhadap daging bandikut dalam rangka budidaya dan pengembangan satwa bandikut melalui pemeliharaan secara ex-situ. Penelitian menggunakan metode eksploratif. Materi penelitian yang digunakan adalah bandikut dewasa dari jenis Echymipera kalubu, diperoleh secara acak dari hutan di daerah Manokwari Papua Barat, sebanyak 68 ekor, terdiri dari 38 ekor jantan dan 30 ekor betina. Pengamatan karakteristik eksternal dan morfometri menggunakan 30 ekor hewan (16 jantan dan 14 betina). Pengamatan tingkah laku menggunakan 8 ekor (6 jantan 2 betina). Percobaan pakan menggunakan 6 ekor (3 jantan dan 3 betina), pengamatan karakteristik karkas dan daging menggunakan 20 ekor (10 jantan dan 10 betina), pengujian organoleptik daging menggunakan 2 ekor jantan, sementara untuk keperluan identifikasi spesimen jenis bandikut digunakan satu ekor jantan dan satu ekor betina. Hasil kajian menunjukkan bahwa bandikut memiliki ciri umum bulu tubuhnya kaku, berwarna coklat kehitaman dengan ujung rambut campuran hitam dan coklat kekuningan. Warna bulu bagian ventral dari abdomen sampai moncong rahang bawah termasuk ke empat kaki batas sendi berwarna putih atau merah kecoklatan sehingga pada penelitian ini terdapat bandikut dada merah dan dada putih. Ekor bandikut pendek, kaku dan tidak berbulu. Jari kaki belakang pada jari ke dua dan ke tiga bersatu sebatas ujung sendinya. Bandikut betina berkantung (pouch) dengan 8 puting, memiliki kloaka tempat saluran akhir pencernaan, urin dan reproduksi. Bobot tubuh bisa mencapai berat 4 600 g, hewan jantan lebih berat dari betina. Tubuhnya padat dan kompak, leher pendek dan kokoh. Kepala sempit dengan moncong panjang serta geligi yang banyak dan kecil (I4/3 C1/1 P3/3 M4/4). Kedua kaki depan bandikut lebih pendek dari kaki belakang, cara berjalan berjingkrak atau melompat, bila berdiri tubuh melengkung dengan kedua kaki depan menggantung. Di lingkungan ex-situ, bandikut pada malam hari menggunakan waktu untuk foraging sebesar 55,75 %, sembunyi di dalam sarang (shelter seeking) 42,93 % dan untuk makan, minum dan grooming 1,32 %. Pada pagi sampai sore hari bandikut
berada di dalam sarang. Bandikut mampu mengkonsumsi pakan baru berupa konsentrat 19-21,84 g/e/h dengan tingkat kesukaan 24,02-31,11 % dibanding pakan berupa pisang. Konsumsi bahan kering pakan konsentrat sebesar 3,04-3,05 % dari bobot badan. Rata-rata persentase karkas bandikut dengan cara pengulitan sebesar 67,8 % tetapi bila dengan cara pembakaran bulu menjadi 74,5 – 82,52 %. Distribusi bobot daging pada potongan karkas terhadap bobot karkas atau bobot total daging bandikut, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara bandikut jantan dan betina, tetapi berbeda secara signifikan (P<0.05) antara bandikut dada merah dan dada putih. Bobot daging potongan karkas bagian kaki depan bandikut dada merah (157,7 g) secara bermakna (P<0.05) lebih tinggi dari pada bobot daging potongan karkas kaki depan bandikut dada putih (146,10 g). Sebaliknya, distribusi bobot daging potonganan karkas terhadap bobot total daging karkas yang sama menunjukkan bobot daging potongan karkas bagian kaki belakang bandikut dada merah (207,52 g) secara bermakna (P<0.05) lebih rendah dari pada bobot daging potongan karkas kaki belakang bandikut dada putih (227,62 g). Daging bandikut memiliki pH normal daging segar yaitu 5,7, tingkat keempukan1,05 lebih empuk dari daging kelinci (1,8) dan daging ternak domestikasi lainnya. Susut masak (cooking loss) daging bandikut sebesar 34,04 %, termasuk normal karena kurang dari 40 %. Daya mengikat air daging (water holding capacity) cukup tinggi sebesar 36,56 % mgH2O dibandingkan dengan daging ternak domestikasi atau hewan yang lain. Daging bandikut mengandung air 72,42 % dengan kadar lemak 3,26 %, protein kasar 18,72 % dan abu 2,53 %. Komposisi asam amino dan asam lemak daging bandikut, baik jumlah maupun jenisnya cukup lengkap, namun daging bandikut sedikit kaya asam lemak jenuh jenis laurat (1,97 %), miristat (3,79 %) dan palmitat (36,76 %), bila dibandingkan dengan ternak domestikasi lainnya. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa baik warna, bau maupun rasa daging bandikut dapat diterima dan disukai oleh masyarakat di Manokwari seperti halnya terhadap daging babi, daging ayam dan daging sapi.
Kata kunci : sifat biologis, karkas, daging, bandikut (Echymipera kalubub).
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun, tanpa izin IPB
SIFAT BIOLOGIS DAN KARAKTERISTIK KARKAS DAN DAGING BANDIKUT (Echymipera kalubu)
IRBA UNGGUL WARSONO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Asnath M. Fuah
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Machmud Thohari 2. Dr.Ir. Endang T. Margawati, M.Agr.Sc.
Judul Disertasi
:
Nama NIM
: :
Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu) Irba Unggul Warsono D061020101
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Em. Dr. R. Eddie Gurnadi, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Aminuddin Parakkasi, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Rudy Priyanto Anggota
Diketahui
Ketua Departemen IPTP
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 26 Mei 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas limpahan kasih, berkat dan anugerahNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini telah dilaksanakan sejak Juli 2005 sampai Maret 2007 dengan judul Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu). Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Em. Dr. H.R. Eddie Gurnadi, M.Sc., Prof. Dr. Aminuddin Parakkasi, M.Sc dan Dr.Ir. Rudy Priyanto selaku pembimbing, yang telah banyak memberi arahan dan koreksi selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fapet IPB dan seluruh Staf Dosen Fapet IPB, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk bisa melanjutkan studi di IPB. Kepada Rektor Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan Dekan Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPPK) UNIPA yang telah memberi kesempatan tugas belajar dan bantuan dana untuk penyelesaian studi di IPB Bogor, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesarnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional (DITJEN DIKTI), PEMDA Propinsi Papua Barat dan Yayasan Dana Mandiri atas bantuan beasiswa dan dana penelitian yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana di IPB. Kepada teman-teman satu angkatan dan diluar angkatan yang sama yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas dukungan moril dan doa bahkan bantuan materiil, selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Kepada Bapak dan Almarhumah Ibu, Papa dan Mama Mertua, Kakak-kakak dan Adik-adik di Semarang dan Bitung-Manado serta Keluarga Besar Patitis di Semarang, hormat dan terima kasih atas dukungan moril dan doa yang senantiasa diberikan selama ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan hormat serta kasih, penulis persembahkan karya ini untuk istri tercinta Sientje Daisy Rumetor yang juga sedang melaksanakan tugas akademik dan anak-anak tersayang Arbitta Arum Sientiasari dan Rinaldi Amanda Magista, yang senantiasa dengan
penuh kesabaran mendampingi penulis dalam masa-masa penyelesaian studi di IPBBogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2009 Irba Unggul Warsono
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang, pada tanggal 29 November 1957, sebagai anak ke empat dari lima bersaudara dari ayah M Warsimin dan Ibu Anik (Alm.). Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Cenderawasih,
lulus tahun 1985. Pada tahun 1991 penulis diterima di program
Magister pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2002, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bekerja sebagai Staf Pengajar dengan jenjang kepangkatan Lektor Kepala di Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPPK) Universitas Negeri Papua Manokwari, sejak tahun 1987 dalam bidang Produksi Ternak. Selama mengikuti Program S3, penulis menjadi anggota Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia. Karya ilmiah berjudul “Sifat Biologis dan Karakteristik Karkas dan Daging Bandikut (Echymipera kalubu)” akan diterbitkan dalam Jurnal Beccariana 2009, sebagai salah satu tugas dalam penyelesaian Program S3 di IPB.
iv
DAFTAR ISI Halama n PRAKATA …………..………………………………………………..
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………….
ii
DAFTAR TABEL …………………………………………………….
iv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………
vi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….
viii
PENDAHULUAN ……………………………………….................... Latar Belakang …………………………………………………. Tujuan ………………………………………………………….. Manfaat …………………………………………………………
1 1 3 4
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………... Sistematika Zoologis Bandikut ………………………………… Diskripsi Umum dan Penyebaran Bandikut …………………… Echymipera kalubu …………………………………………….. Sifat-sifat Biologis Bandikut ………………………………….. - Makanan …………………………………………………… - Reproduksi …………………………………………………. - Tingkah Laku (Behavior) …………………………………... Pertumbuhan dan Perkembangan ...……………………………. Sifat Fisik dan Kimia Daging …………………………………...
5 5 6 7 9 9 10 12 14 18
MATERI DAN METODE PENELITIAN ………………................... Tempat dan Waktu .…………………………………………….. Bahan Penelitian ...……………………………………………… Metode Penelitian ……………………………………………… - Tahap I : Persiapan ……………………………………….. - Tahap II : Karakteristik Eksternal dan Morfometri Bandikut - Tahap III : Tingkah Laku dan Konsumsi Pakan Bandikut … - TahapIV : Karakteristik Karkas dan Distribusi Daging Bandikut ………………………………………… - Tahap V : Karakteristik Fisik dan Kimia Daging Bandikut .. - Tahap VI : Uji Organoleptik terhadap Daging Bandikut ……
22 22 22 24 24 25 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………… Karakteristik dan Morfometri Bandikut ……………………….. - Karakteristik Eksternal …………………………………….. - Morfometri Bandikut ………………………………………
37 37 37 43
30 32 35
v
Tingkah Laku dan Konsumsi Pakan Bandikut ………………… - Tingkah Laku Bandikut ……………………………………. - Konsumsi Segar dan Preferensi Pakan Bandikut …………. - Konsumsi Bahan Kering dan Zat Gizi Pakan ……………... Karakteristik Karkas dan Distribusi Daging Bandikut …........... - Karakteristik Karkas Bandikut ……………………………. - Distribusi Potongan Karkas dan Daging Bandikut ……….. Karakteristik Fisik dan Kimia Daging Bandikut ……………… - Sifat Fisik Daging Bandikut ……………………………… - Komposisi Kimia Daging Bandikut ………………………. - Komposisi Asam Amino dan Asam Lemak Daging Bandikut Penilaian Organoleptik terhadap Daging Bandikut …………… - Warna Daging ……………………………………………… - Bau Daging ………………………………………………… - Rasa Daging ………………………………………………..
48 48 54 56 58 58 62 64 64 69 71 75 75 77 79
PEMBAHASAN UMUM …………………………………………….
81
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. - Simpulan …………………………………………………… - Saran ………………………………………………………...
93 93 94
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………...
95
LAMPIRAN …………………………………………………………..
104
vi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Komposisi bahan dan nutrisi pakan konsentrat …….................
28
2
Rataan, standar deviasi, maksimum, minimum dan koefisien korelasi ukuran-ukuran tubuh terhadap berat badan bandikut…
44
3
Rataan morfometri bandikut berdasarkan jenis kelamin ………
46
4
Rataan morfometri bandikut berdasarkan jenis warna dada …..
47
5
Rataan durasi dan frekuensi makan, minum dan grooming bandikut di dalam kandang ……………………………………
50
Rataan konsumsi pakan segar bandikut pada kondisi kandang gelap dan terang ……………………………………………….
54
7
Rataan preferensi konsumsi pakan segar bandikut ……………
55
8
Rataan konsumsi bahan kering dan zat gizi lainnya ……...…...
56
9
Rataan berat karkas dan potongan karkas bandikut berdasarkan jenis kelamin dan warna dada …………………………………
59
Persentase karkas bandikut dan beberapa jenis ternak atau hewan lain ……………………………………………………..
61
6
10
11
Distribusi bobot daging potongan karkas (Y) dan bobot potongan karkas (Y) terhadap bobot karkas (X) dan bobot total daging (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda ………
63
Sifat fisik daging bandikut berdasarkan jenis kelamin dan warna dada …………………………………………………….
65
13
Sifat fisik daging bandikut dan beberapa daging ternak ………
66
14
Komposisi kimia daging bandikut dan beberapa hewan/ternak .
69
15
Komposisi asam amino daging bandikut dan beberapa hewan domestikasi (% protein kasar) …………………………………
72
12
vii
Komposisi asam lemak daging bandikut dengan beberapa daging hewan domestikasi (% lemak daging) …………………
73
17
Rataan skor dan median kesukaan terhaap warna daging ……..
75
18
Rataan skor dan median kesukaan terhaap bau daging ……..
77
19
Rataan skor dan median kesukaan terhaap rasa daging ……..
79
20
Proyeksi produksi bandikut selama setahun pertama berdasarkan sifat biologisnya ………………………………….
82
16
viii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Echymipera kalubu ………………………………………….
8
2
Kurve pertumbuhan normal dan laju partumbuhan …………
15
3
Kurva pertumbuhan tulang, otot dan lemak …………...........
16
4
Kandang besar yang disekat dan perlengkapannya ………….
23
5
Potongan karkas bandikut …………………………………...
31
6
Uji organoleptik ……………………………………………..
35
7
Bandikut dada merah (A) dan bandikut dada putih (B) ……
38
8
Kepala dan moncong bandikut dada putih dan dada merah …
38
9
Jari kaki depan (A), jari kaki belakang (B) dan telapak kaki depan dan kaki belakang (C) ………………………………...
39
10
Susunan geligi bandikut ……………………………………..
39
11
Puting susu dalam kantung bandikut betina serta alat reproduksi bandikut jantan dan betina ………………………
40
Perkembangan bayi bandikut (1 ke 5) dalam kantung sampai mulai tumbuh rambut dengan mata masih tertutup ………….
41
13
Lubang sarang tempat keluar masuk yang dibuat bandikut …
49
14
Bandikut saat tidur ………...………………………………..
53
15
Boksplot median terhadap warna daging ……………………
76
16
Boksplot median terhadap bau daging ………………………
78
17
Boksplot median terhadap rasa daging ………………………
80
12
ix
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1
2
3a
3b
4a
4b
4c
5
6
7
8
9
Halaman Analisis variansi dan uji-t (LSD) pengaruh jenis kelamin terhadap morfometri bandikut ……………………………...
105
Analisis variansi dan uji-t (LSD) pengaruh jenis warna dada terhadap morfometri bandikut ……………………………...
116
Analisis variansi dan uji-t (LSD) pengaruh jenis kelamin terhadap berat badan, karkas dan potongan karkas bandikut.
127
Analisis variansi dan uji-t (LSD) pengaruh jenis warna dada terhadap berat badan, karkas dan potongan karkas bandikut.
133
Distribusi bobot potongan karkas (Y) terhadap bobot karkas (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda …………...
139
Distribusi bobot daging potongan karkas (Y) terhadap bobot karkas (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda ……
140
Distribusi bobot potongan karkas (Y) terhadap bobot total daging (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda …...
141
Analisis variansi sifat fisik daging bandikut berdasarkan jenis kelamin dan uji-t (LSD) ………………………………
142
Analisis variansi sifat fisik daging bandikut berdasarkan jenis warna dada dan uji-t (LSD) …………………………...
144
Uji Kruskal-Wallis antara jenis daging bandikut, sapi, babi dan ayam pedaging terhadap penerimaan/kesukaan warna daging ……………………………………………………….
145
Uji Kruskal-Wallis antara jenis daging bandikut, sapi, babi dan ayam pedaging terhadap penerimaan/kesukaan bau daging ……………………………………………………….
146
Uji Kruskal-Wallis antara jenis daging bandikut, sapi, babi dan ayam pedaging terhadap penerimaan/kesukaan rasa daging ……………………………………………………….
146
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Permintaan daging nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan penigkatan jumlah penduduk dan kesadaran akan kebutuhan gizi pada masyarakat. Untuk memenuhi permintaan ini, pemerintah dan swasta mendatangkan daging atau ternak bakalan dari luar negeri karena laju pertumbuhan populasi ternak konvensional penghasil daging cenderung lambat. Konsumsi daging di Indonesia pada tahun 1999 sampai 2001 adalah 1,19 hingga 1,45 juta ton dan 24-26% berasal dari daging sapi. Sebanyak 78-85% pasokan daging sapi dipenuhi oleh pasokan daging sapi lokal, sedangkan sisanya adalah impor (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2001). Pada tahun 2006 impor sapi bakalan mencapai 265 700 ekor, sapi bibit 6 200 ekor dan daging 25 949,2 ton (Ditjen Peternakan, 2007). Di sisi lain Indonesia memiliki kekayaan fauna yang belum banyak diberdayakan sebagai sumber protein hewani dan sumber devisa. Sumber daya hayati fauna di Indonesia di antaranya mamalia 12%, burung 17%, reptilian dan amfibia 16% dari yang ada di dunia (Primack dkk., 1998). Potensi fauna di luar ternak konvensional yang telah dikenal dan memiliki potensi sebagai sumber protein hewani perlu digali dan diupayakan pengembangannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang sampai sekarang masih kaya tetapi tetap miskin. Pengembangan potensi sumber daya fauna terutama satwa merupakan sisi strategis bila dikaitkan dengan potensi unggulan di setiap daerah mengingat Indonesia sangat beragam baik secara geografis maupun sosial budaya. Salah satu daerah Indonesia yang memiliki keragaman jenis satwa yang tinggi adalah Papua yang merupakan bagian dari daerah zoogeografi Australia dengan kekayaan flora dan fauna spesifik yang tidak dimiliki oleh negara lain di dunia dan Indonesia bagian barat. Keanekaragaman jenis satwa yang terdapat di Papua merupakan sumber plasma nutfah yang dapat dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan manusia. Wilayah
2
Papua mempunyai 125 jenis mamalia, 602 jenis burung dan 223 jenis reptilia dengan tingkat endemik masing-masing 58,8%, 52% dan 35% (Primack, dkk., 1998). Bandikut (Bandicoot) adalah salah satu jenis mamalia endemik yang dapat ditemukan di seluruh daerah Papua dari dataran rendah sampai daerah dengan ketinggian 4300 meter dari permukaan laut. Daging satwa ini telah lama dikonsumsi oleh masyarakat lokal sebagai sumber protein hewani dan secara budaya dapat diterima. Sebanyak 3 genus dari 7 genus bandikut yang ada, terdapat banyak di Australia dan 4 genus lainnya terutama genus Echymipera banyak ditemukan di Papua. Jenis mamalia ini termasuk satwa marsupialia (berkantung), yang oleh masyarakat Papua selain dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani juga memiliki nilai etno-zoologis. Bandikut sebagai satwa sumber daging, mempunyai laju reproduksi paling tinggi di antara semua marsupialia. Seekor induk bandikut dalam setahun bisa melahirkan 5-6 kali dengan jumlah anak per kelahiran 2-4 ekor, lama bunting 12-13 hari dan lama menyusu 50-60 hari (Petocz, 1994). Bobot badan hewan jantan berkisar antara 478-1800 gram dan betina 598-1500 gram tergantung umur dan jenisnya (Strahan, 1990; Flannery, 1995a dan 1995b). Manfaat lain dari satwa ini antara lain rambut, tulang dan anak bandikut umur 12 hari dipercaya untuk pengobatan. Sementara masyarakat memperoleh bandikut dengan cara berburu untuk perdagangan eceran dan konsumsi sehari-hari. Tingginya nilai dan manfaat bandikut bagi masyarakat di daerah Papua dapat menyebabkan kecenderungan menurunnya populasi di alam sehingga kelangsungan kehidupan satwa ini akan terdesak dari habitatnya. Keadaan tersebut ditunjukkan oleh tingginya tingkat konsumsi daging bandikut rata-rata 60 g/kapita/hari/musim berburu di salah satu wilayah distrik Warmare, Kabupaten Manokwari (Kusrini, 2001) dan hasil perburuan antara 1-10 ekor/sekali berburu (Unenor, 2001). Pembukaan hutan untuk pemukiman dan lahan pertanian juga dapat menurunkan populasi bandikut, yang pada gilirannya menyebabkan kepunahan. Upaya-upaya yang tepat perlu dilakukan untuk mempertahankan keberadaan bandikut di alam dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging bandikut. Salah satu upaya untuk
3
melindungi dan mengembangkan satwa ini adalah pembudidayaan bandikut sebagai ternak pedaging. Pembudidayaan bandikut menjadi ternak pedaging diperlukan beberapa tahapan pengkajian. Komponen yang perlu diteliti meliputi jenis pakan, tingkah laku, habitat yang disenangi serta upaya untuk mengubah pakan alami dan penempatan dalam kandang (ex-situ) untuk meningkatkan daya adaptasi selama proses budidaya. Faktor lain yang menjadi penentu utama dalam budidaya
adalah kinerja produksi dan
reproduksi yang sangat berhubungan dengan kualitas pakannya. Kajian informasi dasar tersebut dapat menjadi acuan bagi peternak dan penelitian bandikut selanjutnya. Melalui penguasaan sifat biologis tersebut dapat membantu dalam mengoptimalkan produktivitas bandikut. Hal ini pada gilirannya dapat memberi nilai tambah bagi diversifikasi usaha ternak yang dikembangkan dan pendapatan peternak di daerah tersebut. Di Australia, penelitian beberapa aspek biologi bandikut secara eksploratif dalam lingkungan in-situ telah banyak dilakukan, sedangkan di Papua khususnya dan di Indonesia pada umumnya, informasi tentang bandikut masih sangat terbatas. Sampai sekarang belum ada upaya lembaga pemerintah maupun swasta untuk mengembangkan bandikut secara ex-situ sebagai satwa budidaya penghasil daging. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang sifat biologis dan karakteristik karkas dan daging bandikut dalam rangka pengembangan satwa endemik bandikut sebagai ternak budidaya. Tujuan Penelitian Sesuai pembahasan permasalahan tersebut di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengamati dan mengkaji : 1. Karakteristik eksternal dan morfometri bandikut 2. Tingkah laku serta preferensi dan konsumsi pakan bandikut dalam lingkungan ex-situ . 3. Karakteristik karkas dan distribusi potongan karkas dan daging bandikut. 4. Karakteristik fisik dan kimia daging bandikut
4
5. Penilaian organoleptik daging bandikut. Manfaat Penelitian Informasi ilmiah hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dasar untuk menentukan kebijakan pengembangan satwa endemik bandikut menjadi komoditi andalan ternak pedaging khas Papua, sekaligus sebagai upaya pelestarian sumber plasma nutfah Indonesia. Disamping itu, sebagai informasi awal untuk menentukan kajian-kajian lanjutan dari satwa bandikut dalam rangka pengembangannya.
5
TINJAUAN PUSTAKA Sistematika Zoologis Bandikut Secara umum kedudukan bandikut dalam sistematika zoologis adalah sebagai berikut (Van Der Zon, 1979; Strahan, 1990; Flannery, 1995a dan 1995b; Petocz, 1994) : Kingdom
:
Animalia
Phylum
:
Chordata
Sub Phylum
:
Vertebrata
Class
:
Mamalia
Subclass
:
Theria (Parker and Haswell,1897)
Infraclass
:
Metatheria (Huxley, 1880)
Superordo
:
Marsupialia (Illeger, 1811)
Ordo
:
Peramelemorphia (Kirsch,1968) – Bandicoots and bilbies
Family
:
Genus
:
Peroryctidae (Groves and Flannery,1990) – Peroryctid bandicoots Echymipera – New Guineaan Spiny Bandicoots
Species
:
Echymipera kalubu (Lesson, 1828)
Ordo bandikut dibedakan dalam 2 famili, yaitu Peramelidae (bandicoots and bilbies) memiliki 4 genus, 10 spesies, dan Peroryctidae (Peroryctid bandcoots) mempunyai 4 genus 11 spesies (Lindenmayer, 1997). Family Peramelidae banyak terdapat di Australia, sedangkan family Peroryctidae, terutama genus Echymipera banyak ditemukan di kepulauan Maluku, dan New Guinea (Menzies, 1991). Daratan New Guinea memiliki 5 genus dan 11 spesies. 3 genus (Peroryctes, Microperoryctes dan Rhynchomeles) dengan 11 spesies merupakan endemik dan genus Echymipera yang merupakan pusat genus di New Guinea dengan 4 spesies dan, 1 spesies di antaranya meluas sampai di bagian utara Australia. Genus lain (Isodoon) merupakan pusat genus di Australia dengan 1 spesies juga penyebarannya meluas sampai ke New Guinea bagian selatan (Graeme dan Maynes, 1990).
6
Diskripsi Umum dan Penyebaran Bandikut Nama bandikut (bandicoot) pertama kali diberikan tahun 1799 oleh peneliti pada beberapa marsupialia Australia dari bahasa Telugu (‘pandi-kokku’) dari suku yang tinggal di dataran Deccan India Tengah yang berarti “tikus babi”, yaitu nama tikus lokal India dari marga Bandicota (Petocz, 1994). Menurut Menzies (1991) dan Chambers (2001) semua jenis bandikut dapat mudah dikenali karena ciri utamanya yaitu jari kaki belakang kedua dan ketiga pada pangkal cakarnya disatukan oleh kulit dan hanya ujung sendi terakhir dan kukunya yang terpisah. Kedua jari yang bersatu tersebut berfungsi sebagai sisir untuk membersihkan diri dari ektoparasit dan kotoran. Bandikut mempunyai susunan gigi poliprotodon yaitu mempunyai banyak pasang gigi seri di rahang bawah dan di antara taring. Formula susunan gigi : I 4-5/3, C 1/1, P 3/3, M 4/4 (Tate, 1948 dan Lindenmayer, 1997). Bandikut mempunyai kepala panjang dengan telinga agak berbulu dan moncong runcing yang menandakan indera penciumannya yang tajam. Tubuhnya agak kompak dan berukuran antara kelinci besar dan tikus. Kaki belakang memanjang mirip kaki kuskus dan kanguru atau walabi yang memungkinkan bandikut untuk berjingkrak, berlari kencang dan meloncat. Tungkai kaki depan jauh lebih pendek tetapi kuat dan mempunyai tiga cakar yang mencolok untuk menggaruk dan menggali. Panjang ekornya beragam dan tidak prehensile. Rambutnya halus tetapi ada yang jarang, agak kasar dan kaku, terutama pada bandikut berduri dari genus Echymipera. Warna bulunya beragam bergantung pada spesies, bisa orange, kelabu coklat atau bergaris. Panjang bandikut berkisar antara 28-81 cm dengan panjang ekor sampai 20 cm (Manzies, 1991). Bandikut merupakan hewan marsupial metatherian, mamalia berkantung yang mempunyai plasenta mirip mamalia eutherian (mamalia berplasenta). Di antara marsupialia lain, bandikut mempunyai ciri yang unik yaitu mempunyai plasenta korioalantois, suatu saluran panjang dari dinding uterus induk ke embrio yang berfungsi untuk mengikat anak yang baru lahir selama perjalanan ke kantung induknya (Petocz, 1994) . Permukaan kantung bandikut menghadap ke arah bawah
7
dan belakang, Di dalam kantung terdapat 6 atau 8 puting susu teratur dalam 2 baris membusur (Lyne, 1990). Di dunia terdapat 21 spesies bandikut, sebagian besar hanya ditemukan di New Guinea dan sedikit di pesisir utara dan timur Australia. Bandikut termasuk hewan nokturnal, soliter, omnivora (Menzies, 1991). Secara umum daerah penyebaran bandikut dari ketinggian 0 – 4 300 meter dari permukaan laut pada habitat padang rumput alam, alang-alang, hutan terbuka, hutan hujan dataran rendah, hutan lebat, hutan lumut dan areal berpohon. Bandikut hidup dalam dua kondisi musim, yaitu musim kering dan musim hujan. Selama musim kering, bandikut hidup pada vegetasi yang lebat yang terdiri atas gulma-gulma yang tinggi, pohon-pohon kecil dan semak perdu yang lebat. Kemungkinan ini terjadi karena persediaan pakan yang jarang ditemukan. Sedangkan selama musim hujan, bandikut keluar dan mengembara di padang rumput terbuka yang merupakan sumber makanan berlimpah. Bandikut membuat sarang individu dalam tanah yang terdiri atas timbunan tanah dan rumput kering yang sederhana serta ranting yang merupakan kamuflase yang baik dan tahan air. Sarang tempat persembunyiannya di bawah tanah bisa digali sampai mencapai panjang 1,5 meter. Banyak pula bandikut yang menggunakan rongga batang pohon sebagai tempat persembunyian atau berlindung. Namun demikian secara umum, bandikut sangat menyukai dalam area tanah tertutup yang rendah sebagai tempat tinggal. Penyakit yang sering menyerang dan membahayakan kesehatan bandikut adalah toxoplasmosis (Obendorf & Munday, 1990; Miller, et al., 2000). Bandikut hasil tangkapan dari hutan sebagian besar menderita ektoparasit. Echymipera kalubu (Spiny Bandicoot) E. kalubu dikenal juga sebagai bandikut kepala hitam (Gambar 1). Bagian kepala berwarna kehitaman dan terdapat batas tajam pada bagian tenggorokan dan pipi yang lebih terang. Bandikut jenis ini mempunyai ciri rambut berduri, bagian
8
punggung kehitaman dengan sejumlah variasi kuning kecoklatan sampai leher. Warna rambut coklat muda pada bagian ventral dan coklat gelap kehitaman dengan ujung
Gambar 1 Echymipera kalubu.
lebih pucat dan panjang pada bagian dorsal. Moncong agak panjang, telinga, ekor dan kaki pendek serta memiliki 4 pasang gigi seri (Graeme & Maynes, 1990). Pada telapak kaki belakang berwarna hitam dan sedikit berkembang baik dibanding Echimipera secara umum (Ziegler, 1977). Bobot badan jantan lebih besar dari pada betina.
Spesies ini merupakan bentuk fauna peralihan antara Australia Utara dan
New Guinea (Gordon, at al. 1990). Populasinya tersebar luas di dataran rendah pada habitat hutan tertutup, hutan terbuka, padang rumput dan semak belukar yang lebih kering di pulau Wageo, Biak dan Yapen serta bagian utara, timur dan selatan New Guinea, dengan ketinggian sampai 1550 meter dari permukaan laut . E. kalubu mempunyai empat sub species yaitu E.k. kalubu, Lesson, 1828; E.k. cockerelli, Ramsay, 1877; E.k. oriomo, Tate and Archbold, 1936; dan E.k. philipi, Throughton, 1945. Rataan ukuran tubuh jantan dan betina (Strahan, 1990; Graeme & Maynes, 1990; Flannery, 1995a dan 1995b;), sebagai berikut :
9
Ukuran
Jantan
Betina
1 500
850
Kepala-badan (mm)
380
280
Ekor (mm)
98
78
Kaki belakang (mm)
66
48,5
Telinga (mm)
32
28
Berat Badan (g)
Sifat-sifat Biologis Bandikut Makanan Bandikut tergolong hewan omnivora (Cockburn, 1990; Reese, 2001; Paliling, 2002), pemakan insekta (semut hitam, belalang, serangga kecil, kumbang muda, larva, pupa, kupu-kupu kecil, rayap), invertebrata (cacing tanah, laba-laba, ulat kayu) dan vertebrata kecil, buah-buahan yang jatuh, biji-bijian dan akar pohon. Jenis vertebrata kecil yang sering dikonsumsi adalah kadal, katak dan tikus. Selain itu bandikut juga memakan keong, kelapa, pisang, pepaya, ubi jalar, buah sagu, dan sisa makanan manusia bila masuk ke pemukiman atau kebun penduduk. Namun demikian bandikut paling menyukai tipe makanan jenis insekta dan invertebrata (Quin, 1985; Stodart, 1977). Sesuai sifat soliter dan nokturnal pada bandikut, di alam bebas satwa ini mencari makanan sendirian sepanjang malam, kecuali ada betina yang sedang estrus, mereka akan mencari makan secara bersama/berpasangan. Bandikut memiliki daerah teritori tertentu dengan daerah jelajah (home range) sangat luas yaitu 1-4 ha untuk betina dan jantan sampai 40 ha dan saling tumpang tindih (overlap) (Gemmell, 1988). Daerah jelajah jantan 10 kali lebih luas dibanding betina (Cockburn, 1990). Bandikut menemukan makanan pada tempat yang terbuka atau di dalam tanah. Di dalam penangkaran, bandikut akan mengkonsumsi makanan di tempat makanan yang sudah tersedia atau dibawa ke tempat tertentu kemudian sisanya dibawa ke sarangnya. Cara menggigit makanan sangat bervariasi dalam mencari posisi bergantung pada tekstur
10
makanannya. Bandikut betina di dalam kandang cenderung kanibal untuk membunuh dan memakan anaknya (Gemmell, 1982). Reproduksi Tingkat reproduksi bandikut pada umumnya sangat tinggi, tetapi tingkat mortalitasnya juga tinggi (30-50%), terutama bandikut muda dalam kantung dan setelah penyapihan (Gemmell, 1988) . Bandikut termasuk poliestrus dan bereproduksi sepanjang tahun (Mackerras & Smith, 1960). Betina dewasa mulai kawin sekitar umur 4 bulan dengan berat badan paling rendah 450 gram dan panjang badan dari kepala sampai 225 mm dan jantan pada umur 5 bulan dengan berat badan 650 gram (Lyne, 1964; Flannery, 1995a). Jumlah anak per kelahiran (litter size) 2-4 ekor bahkan ada yang 7 ekor.
Seekor betina dalam setahun dapat beranak 5-6 kali.
Interval kelahiran paling umum selama 58 hari. Anak bandikut tinggal dan menyusu dalam kantung induk sampai umur 48-53 hari dan berhenti menyusu pada umur 59-61 hari ketika kelahiran berikutnya kemudian mengikuti induknya sampai umur 71-73 hari. Induk kawin lagi ketika anaknya berumur 49-50 hari dan masih menyusu didalam kantung (Stodart, 1977). Kopulasi berlangsung pada waktu aktif di malam hari tetapi kelahiran terjadi di siang hari pada waktu betina istirahat. Siklus estrus berkisar antara 17-34 hari atau rata-rata 21 hari dan puncak estrus terjadi hanya pada satu malam (Lyne, 1976 & 1990). Lama kebuntingan antara 12 hari 8 jam dan 12 hari 14 jam atau rata-rata 12,5 hari (Stodart, 1977; Petocz, 1994; Fishman, 2001). Hal ini merupakan lama bunting yang paling pendek dan pertumbuhannya dalam kantung lebih cepat dari marsupial lain. Bandikut lahir dalam kondisi belum berkembang sempurna dan berlindung dalam kantung induk sampai perkembangannya sempurna. Rambut pertama muncul di tubuh pada umur 45 hari, mata terbuka antara umur 45 dan 50 hari dan penyapihan terjadi pada umur 60 hari (Lyne, 1990). Percumbuan bandikut dilakukan saat betina mengalami estrus (birahi). Betina yang sedang estrus akan mensekresikan bau spesifik melalui urine yang dibuang sepanjang jalan yang dilewati sehingga bandikut jantan akan mencium bau tersebut
11
dan mengejar sampai betina bersedia dikopulasi (Petocz, 1994). Masa estrus hanya beberapa malam saja. Proses percumbuan sampai terjadi kopulasi berlangsung sampai 5 jam lebih. Sedangkan proses kopulasinya sendiri hanya berlangsung selama 2-4 menit (Manufandu, 2000). Proses kelahiran bandikut sama seperti hewan marsupialia lainnya, lahir dalam kondisi belum masak, kurang dari 10 menit mampu merayapi rambut menuju ke puting susu di kantung induknya dengan ikatan plasenta korioalantois dan induknya tidak mencoba membersihkan tubuh anaknya karena tidak berselaput (Stodart, 1990). Plasenta ini merupakan saluran berbentuk bebat panjang yang menghubungkan dinding uterus induk dan embrio. Fungsi saluran tersebut hanya sebagai pengikat anak yang baru lahir dengan induknya selama proses perjalanan ke kantung dan tidak berfungsi dalam pertukaran nutrisi dan darah dari induk ke anaknya seperti pada hewan-hewan eutherian (mamalia berplasenta). Menurut Lyne (1990), alantois sebagai vesikel kecil mulai muncul dan tertanam ketika embrio berumur 9,5 hari. Proses masuknya anak ke kantung induk saat kelahiran merupakan naluri alami anak yang berusaha tanpa bantuan induk. Induk secara naluri membantu membuat jalan pada rambut antara pangkal kedua paha menuju ke kantung dengan cara menjilati sambil mengeluarkan cairan atau lendir dari mulutnya sehingga cukup licin untuk dilewati anaknya. Anak bandikut yang baru dilahirkan dilengkapi dengan cakar besar yang dapat membantu bergelantungan ketika merayap ke kantung induknya. Setelah masuk ke dalam kantung, cakar tersebut akan tanggal dengan sendirinya (Manufandu, 2000). Bayi bandikut dalam keadaan tidak berambut, mata tertutup dan kaki depan berkembang tidak sebanding dengan bagian tubuh lainnya. Bandikut muda melekatkan diri pada salah satu puting dan memulai masa menyusu selama 55-60 hari untuk menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan di dalam kantung induknya sampai anak berikutnya lahir (Petocz, 1994; Lancaster, 2001). Rata-rata panjang anak bandikut yang baru dilahirkan sekitar 13 mm dengan berat 0,2 gram (Lyne, 1990). Anak-anak yang sudah disapih ikut mencari makan bersama induknya hanya satu atau dua minggu sebelum mereka menjalani pola hidup soliter dan membuat
12
teritori atau home rangenya sendiri. Lama hidup (lifespan) bandikut sekitar 3.3-4 tahun (Lobert & Lee, 1990).
Tingkah laku (Behavior) Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian hewan terhadap lingkungannya. Setiap hewan secara naluri dengan tingkah lakunya akan beradaptasi dengan lingkungan tertentu dan pada banyak kasus merupakan hasil seleksi alam seperti terbentuknya perubahan struktur fisik (Stenley & Andrykovitch, 1984). Tingkah laku hewan mamalia umumnya mempunyai fleksibilitas dan bervariasi. Menurut Vaughan (1986), hewan mamalia akan belajar lebih cepat dan dapat memodifikasi tingkah laku untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Satwa liar yang didomestikasi akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu berkurangnya sifat liar, sifat bersarang, sifat berpasangan, sifat terbang dan agresivitas (Craig, 1981). Pada tingkat adaptasi, tingkah laku ditentukan oleh kemampuan belajar hewan untuk menyesuaikan tingkah lakunya terhadap suatu lingkungan yang baru. Menurut Stanley & Andrykovitch (1984), tingkah laku maupun kemampuan belajar hewan ditentukan oleh sepasang gen atau lebih sehingga terdapat variasi tingkah laku individu dalam satu spesies meskipun secara umum relatif sama dan tingkah laku tersebut dapat diwariskan kepada turunannya yaitu berupa tingkah laku dasar. Tingkah laku dasar hewan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behaviour), antara lain gerakan menjauh atau mendekat dari stimulus, perubahan pola tingkah laku dengan adanya kondisi lingkungan yang berubah dan tingkah laku akibat mekanisme fisiologis, seperti tingkah laku jantan dan betina saat estrus. Penampilan tingkah laku individu selain dipengaruhi oleh faktor genetik tetua juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan internal atau status fisiologis (misal umur, sex, lapar, sehat) dan faktor ekternal seperti lingkugan fisik (nutrisi, temperature, pembatasan gerakan, panjang hari) dan lingkungan social, misal ukuran kelompok, kelompok sexual, parental contact (Craig, 1981). Menurut Craig (1981) sistem tingkah laku hewan (misalnya tingkah laku makan, minum, tidur dan kawin) terdiri atas tiga fase aktivitas yang terjadi dalam satu
13
rangkaian, yaitu fase hasrat (appetitive behaviour), fase kebiasaan yang konsisten atau naluri (consummatory behaviour) dan fase
respon kelanjutan yang
menguntungkan (refractory behaviour). Selanjutnya Scott (1972) membagi sistem tingkah laku berdasarkan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan kenyamanan hewan, yaitu ingestive (tingkah laku makan dan minum); eliminative (tingkah laku kencing dan membuang kotoran); shelter seeking (tingkah laku mencari tempat berlindung); investigatory (tingkah laku penyelidikan terhadap keadaan bahaya di sekitarnya); allelomimetic (tingkah laku berkelompok); agonistic (tingkah laku yang berkaitan dengan agresivitas, kepatuhan dan pertahanan); sexual (tingkah laku kawin); epimeletic (care-giving), tingkah laku keindukan; et-epimeletic (careseeking), tingkah laku melindungi anak atau interaksi dengan hewan dari kelompok lain; play (tingkah laku bermain). Tingkah laku bandikut di alam (in-situ) selalu menandai dan mempertahankan daerah teritorinya. Bandikut mempunyai kelenjar bau di telinga, mulut, kantung dan kloaka yang mensekresikan bau spesifik (Fisherman, 2001) sehingga dapat menandai melalui urin dan fesesnya. Satwa ini termasuk satwa marsupial yang soliter yaitu tidak hidup dalam kelompok kecuali induk dan anaknya, nocturnal (lebih banyak aktif pada malam hari) dan oportunis (selalu mencari kesempatan dan menghabiskan waktu untuk mencari makan). Pada siang hari bandikut lebih banyak berada di sarangnya dan hanya muncul dari sarangnya pada senja atau bila terancam untuk melarikan diri dengan cepat. Saat akan meninggalkan sarang, bandikut akan memastikan keadaan sekelilingnya dengan berjalan pelan, mengendus dan bergerak kemudian masuk kembali ke sarang. Beberapa saat setelah yakin aman, bandikut akan keluar dan lari cepat setelah menutupi lubang sarang dengan serasah di sekitarnya. Bandikut secara gigih akan melindungi diri sendiri dan mempertahankan teritorinya dari bandikut jantan yang lain, terutama bila terdapat betina yang sedang birahi. Paling sedikit ada dua jantan akan saling berkelahi satu sama lain untuk menguasai teritori. Selanjutnya akan ada satu jantan yang dibunuh atau menjadi subordinat bagi jantan yang lain (jantan dominan) dan menghindari perkelahian
14
(takut). Konsekuensi dari jantan subordinat harus menyerahkan semua bandikut betinanya kepada jantan dominan. Pertumbuhan dan Perkembangan Istilah pertumbuhan sudah banyak didefinisikan. Pertumbuhan tubuh hewan adalah pembentukan jaringan baru yang mengakibatkan terjadinya perubahan berat, bentuk dan komposisi tubuh (Hammond, 1982), perubahan ukuran atau bentuk tubuh yang dapat dinyatakan dengan ukuran panjang, volume ataupun berat (Williams, 1982), peningkatan bobot badan yang berhubungan dengan interval waktu (Maynard et al, 1982), peningkatan bobot badan sampai mencapai ukuran dewasa (Taylor, 1984), peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada hewan muda yang sehat, diberi pakan, minum dan tempat berlindung yang layak (Swatland, 1984). Lebih khusus Boggs & Markel (1984) menjelaskan bahwa pertumbuhan merupakan suatu bagian integral dari produksi daging hewan karena tingkat pertumbuhan mempengaruhi efisiensi produksi dan secara luas mencerminkan keuntungan atau kerugian selama produksi. Tidak semua bagian tubuh berkembang sama selama pertumbuhan. Perbedaan pertumbuhan bagian tubuh ini disebut perkembangan. Perkembangan adalah progress, suatu kemajuan kekompleksitas yang lebih tinggi dan ekspansi ukuran (Forrest et al, 1975). Perkembangan terjadi dari tahap embrio sampai hewan dewasa (Boggs & Markel, 1984). Pertumbuhan sering dijelaskan sebagai suatu peningkatan dalam struktur jaringan, yaitu tulang, otot dan jaringan ikat yang berkaitan dengan otot. Jaringan tersebut akan dibedakan dari lemak yang berkembang kemudian selama fase perlemakan. Perlemakan terjadi selama pertumbuhan dan perkembangan normal otot dan tulang. Sebagian besar perlemakan
terjadi setelah perkembangan tulang
sempurna dan perototan mencapai maksimum. Jaringan otot sangat penting bagi ahli ternak karena komponen ini akhirnya akan dikonsumsi sebagai daging. Sedangkan tulang, struktur dan kekuatan pertulangan secara fungsional penting untuk
15
memaksimumkan efisiensi produksi selama pertumbuhan. Lemak juga penting karena dapat menentukan citarasa/kualitas daging. Pola pertumbuhan hewan pada kondisi lingkungan ideal, bentuk kurve pertumbuhan untuk semua spesies mengikuti pola kurve pertumbuhan sigmoid (Gambar 2). Pada tahap awal, pola pertumbuhan terjadi lambat, kemudian cepat hingga umur pubertas dan secara berangsur lambat kembali dan berhenti setelah mencapai kedewasaan (Forrest et al. 1975).
Dewasa tubuh Pertumbuhan
pubertas
lahir Laju pertumbuhan maksimum
Titik belok
Laju Pertumbuhan
Umur
Lahir
umur Gambar 2 Kurve pertumbuhan normal dan laju pertumbuhan (Forrest et al. 1975)
16
Titik belok (point of inflection) umumnya dicapai pada awal masa pubertas dan selanjutnya diikuti peningkatan konversi pakan (Williams, 1982), semua jaringan juga menurun lambat dalam tingkat pertumbuhan dan perkembangannya (Boggs & Markel, 1984).
Selama pertumbuhan sampai dewasa, komposisi tubuh akan
mengalami perubahan. Kerangka berkembang relatif lebih baik setelah lahir dan setelah pertumbuhan hampir mendekati konstan. Pertumbuhan otot lebih cepat dari pada tulang setelah lahir sehingga rasio antara otot dan tulang mengalami peningkatan yang progresif, sedangkan pertumbuhan jaringan lemak pada mulanya berlangsung lambat tetapi selama periode penggemukan pertumbuhannya meningkat secara drastis (Kempster et al. 1982). Peningkatan deposit lemak dengan cepat dimulai saat pertumbuhan dan perkembangan otot mulai menurun (Boggs & Markel, 1984). Kurve pertumbuhan postnatal dari tulang, otot dan lemak digambarkan pada Gambar 3. Unit Pertumbuhan
Otot Lemak
Tulang
Gambar 3 Kurve pertumbuhan tulang, otot, dan lemak
Pertumbuhan Alometri Pertumbuhan alometri merupakan kajian pertumbuhan relatif yaitu perubahanperubahan proporsional tubuh terhadap peningkatan ukuran tubuh. Hal ini atas dasar konsep bahwa selama pertumbuhan dan perkembangan serta peningkatan berat tubuh
17
juga akan terjadi perubahan komponen tubuh seperti proporsi organ dan jaringan (tulang, otot dan lemak) yang berbeda (Soeparno, 1992). Secara prinsip pertumbuhan merupakan kumpulan dari pertumbuhan bagianbagian
dari komponennya dan berlangsung dengan kecepatan yang berbeda.
Perubahan ukuran komponen tersebut akan menghasilkan diferensiasi karakteristik organ dan jaringan termasuk komponen kimia penyusunnya (air, lemak, protein dan abu). Berat jaringan atau organ suatu spesies pada dasarnya ditentukan oleh berat tubuhnya. Cara menentukan dan mengukur hubungan alometrik antara berat tubuh dan komponen-komponen tubuh selama pertumbuhan dapat digunakan persamaan alometri Huxley : Y = a Xb , dimana Y adalah berat jaringan atau organ, X adalah berat ternak atau variable tidak bebas lain, a adalah konstanta dan b adalah koefisien pertumbuhan relatif atau ratio pertumbuhan alometrik dari variable bebas Y. Alometri Huxley pada penggunaannya ditransformasikan dalam bentuk logaritma sehingga menghasilkan garis lurus untuk setiap komponen tubuh (variable bebas Y) terhadap berat tubuh (variable tidak bebas X). Bentuk transformasi logaritma persamaan alometri Huxley tersebut adalah log Y = log a + b log X atau ln Y = ln a + b ln X. Nilai b (slope) menunjukkan besar koefisien pertumbuhan Y relatif terhadap X. Jika nilai b < 1 berarti kecepatan pertumbuhan relatif variable Y lebih lambat dari pada variable X, b = 1 berarti kecepatan pertumbuhan relatif variable Y sama dengan variabel X, dan bila b > 1 berarti kecepatan pertumbuhan relatif variabel Y lebih cepat dari pada variabel X. Menurut Forrest et al. (1975), pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, maka slope kurva pertumbuhan hampir tidak berubah, dalam hal ini pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting lainnya mulai berhenti, sementara pertumbuhan lemak mulai dipercepat. Interpretasi terhadap nilai b menurut Natasasmita (1978; 1979), dimana jika nilai b<1 berarti : (1) persentase Y akan menurun dengan meningkatnya X, (2) kecepatan pertumbuhan Y dibandingkan X adalah kecil, (3) waktu perkembangan Y adalah masak dini dan (4) potensi pertumbuhan Y rendah atau sudah berhenti bertumbuh. Jika nilai b>1 berarti : (1) persentase Y akan meningkat dengan meningkatnya nilai X, (2) kecepatan pertumbuhan Y dibandingkan X adalah besar, (3)
18
waktu perkembangan Y adalah masak lambat dan (4) potensi pertumbuhan Y tinggi atau sedang bertumbuh. jika nilai b=1 berarti : (1) persentase Y konstan dengan meningkatnya X, (2) kecepatan pertumbuhan Y dibandingkan X adalah sama, (3) waktu perkembangan Y adalah masak sedang dan (4) potensi pertumbuhan Y sedang atau bertumbuh konstan. Sifat Fisik dan Kimia Daging Daging merupakan sumber pangan bermutu gizi tinggi yang berasal dari hewan. Bergizi tinggi karena mudah dicerna dan mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Forrest et al., 1975), berperan penting untuk hidup dan penampilan fisiologis yang optimum (Levie, 1979). Daging adalah komponen utama karkas. Komponen utama daging terdiri atas otot, lemak dan sejumlah jaringan ikat (kolagen, retikulin dan elastin) di samping terdapat juga sejumlah pembuluh darah dan saraf (Lawrie, 1988). Kolagen adalah komponen terpenting, merupakan protein yang paling banyak terdapat dalam tubuh hewan (Swatland, 1984). Menurut Lister (1980), semakin tua seekor hewan, kolagennya semakin bertambah besar dan jaringan ikat yang bersilang lebih banyak sehingga daging menjadi tidak empuk dan liat. Otot merupakan penyusun utama daging berisi berkas otot (muscle bundle), berkas otot berisi serat otot (muscle fibre), serat otot berisi serabut otot (myofibril) dan serabut otot berisi sarkomer (sarcomere). Di dalam sarkomer terdapat myofilament actin dan myifilament myosin merupakan unsur terkecil yang membentuk daging (Forrest et al., 1975). Penilaian terhadap kualitas daging selain dipengaruhi oleh selera, ditentukan pula oleh sifat fisik dan kimia daging. Sifat Fisik Daging Sifat fisik daging yang merupakan kriteria penentu kualitas daging, di antaranya adalah keempukan, susut masak, daya ikat air, warna serta tekstur daging.
19
Keempukan (tenderness) merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan palatabilitas. Komponen utama yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, serat daging, lemak intra muskular, daya ikat air oleh protein daging, tingkat kontraksi miofibril, tipe otot, lama dan suhu pemanasan (Forrest et al., 1975; Soeparno, 1992; Lawrie, 2003). Kesan keempukan mencakup tekstur yang melibatkan aspek kemudahan awal penetrasi gigi, mudah dikunyah menjadi fragmen kecil dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Lawrie, 1988). Tingkat keempukan dapat bervariasi di antara spesies, bangsa, potongan karkas, diantara otot dan pada otot yang sama (Preston & Willis, 1982). Susut masak (cooking loose) adalah kondisi daging mengalami penyusutan atau kehilangan berat selama pemasakan. Secara umum, makin tinggi suhu pemasakan dan atau makin lama waktu pemasakan, makin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat konstan. Lemak intramuskuler dapat menghambat atau mengurangi cairan daging yang keluar selama pemasakan dan meningkatkan daya ikat air karena dapat melonggarkan mikrostruktur daging sehingga protein daging dapat lebih banyak mengikat air (Lawrie, 1988). Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Jus daging termasuk komponen tekstur yang turut menentukan keempukan daging. Daging dengan susut masak lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik karena kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit. Menurut Swatland (1984) susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut yang lebih pendek dan pemanasan yang lama dapat menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak berhubungan erat dengan daya ikat air dan keempukan daging. Makin tinggi daya ikat air makin rendah susut masak daging. Daya ikat air oleh protein daging (water-holding capacity-WHC/water-binding capacity-WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Forrest et al., 1975; Swatland, 1984). Penurunan daya ikat air dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan (weep) pada
20
daging mentah yang dibekukan atau dreep pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada daging masak (Lawrie, 1988). Jumlah air yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH serta jumlah denaturasi protein (Forrest et al., 1975). Secara umum, daya ikat air dipengaruhi oleh faktorfaktor yang menyebabkan diferensiasi dalam otot, seperti spesies, umur dan fungsi otot itu sendiri. Sifat Kimia Daging Nilai nutrisi daging bervariasi tergantung spesies, bangsa dan jenis otot (Lawrie, 1988). Secara umum, daging hewan mamalia mengandung air 75%, protein 19%, lemak 2,5%, karbohidrat 1,2%, substansi non-protein soluble 2,3% dan vitamin dalam jumlah sedikit (Lawrie, 2003). Protein daging adalah komponen bahan kering yang sebagian besar berupa kolagen terdapat dalam otot dan jaringan ikat. Kolagen jaringan ikat mempunyai peranan penting terhadap kualitas daging. Nilai nutrisi jaringan ikat lebih rendah dari pada protein otot sebab sulit untuk diserap dan tidak memiliki asam amino yang lengkap. Kadar kolagen berbeda pada setiap otot dan tingkatan umur hewan. Keadaan tersebut dapat dipengaruhi oleh aktivitas gerak urat daging. Di dalam otot, proporsi protein terbesar terdapat pada myofibril, yaitu lebih dari 50% dan sisanya dalam jumlah kecil berupa protein regulator. Miofibril mengandung 55-60% protein myosin dan sekitar 20% protein aktin (Forrest et al., 1975; Swatland, 1984). Protein terdiri atas serangkaian asam-asam amino yang terikat secara kimiawi. Asam amino merupakan senyawa yang mengandung gugus fungsional, yaitu gugus amino dan asam karboksilat dan terikat pada atom karbon yang sama (Gaman & Sherrington, 1991). Asam amino dapat berperan pula sebagai pembentuk citarasa (flavour) pada daging. Asam inosinat, glikoprotein adalah komponen senyawa asam amino yang sangat aktif terhadap citarasa. Lemak hewan sebagian besar komponennya dipengaruhi oleh unsur-unsur nutrisi pakan yaitu trigliseria, fosfolipid dan sejumlah kecil vitamin yang larut dalam lemak. Nilai kalori lemak dalam daging diturunkan dari asam-asam lemak dalam
21
trigliserida dan phospolipid. Kemampuan hewan memanfaatkan energi pakan yang lebih besar akan menyebabkan deposisi lemak lebih besar pula. Sebagian lemak tubuh disimpan didalam depot lemak dan lemak otot (intramuskuler) yang didominasi oleh lemak netral, terdapat dalam bentuk ester gliserol dan asam lemak rantai panjang (Forrest et al., 1975). Lemak tubuh banyak didominasi oleh trigliserida yang mengandung satu molekul asam palmitat dan dua molekul asam oleat (palmitodiolin) dan trigliserida yang mengandung satu molekul asam oleat, palmitat dan stearat disebut oleopalmitostearin. Trigliserida berfungsi menyimpan kalor dan sebagai bantalan untuk melindungi organ vital tubuh, sedangkan phospolipid dan sterol (kolesterol) berperan untuk pembentukan membrane sel dan substrat dalam pembentukan asam empedu (Linder, 1992). Menurut Lawrie (1988) Lemak yang lebih banyak mengandung ikatan rangkap tidak jenuh akan lebih mudah mengalami oksidasi. Tingkat kejenuhan lemak banyak dipengaruhi oleh kondisi pakan hewan dan keadaan ini akan mempengaruhi kualitas daging hewan sendiri. Abu (mineral) yang terkandung dalam daging relatif konstan di antara otot, umur dan jenis kelamin. Menurut Moran & Wood (1986), pakan konsentrat tinggi dapat meningkatkan kadar abu dan energi daging tetapi menurunkan kadar air dan proteinnya. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar protein dan kadar air (Judge et al., 1989).
22
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di 5 lokasi, yaitu : (1) Lokasi pemeliharaan bandikut (Echymipera sp.) untuk pengamatan morfometri, tingkah laku dan percobaan pakan dilakukan di Taman Ternak FPPK Unipa dan dilanjutkan dengan pengujian organoleptik warna, bau dan rasa daging bandikut di laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Produksi Ternak, FPPK Unipa, Manokwari, (2) Analisis fisik daging bandikut di laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar Fapet IPB, (3) Analisis proksimat pakan di Laboratorium Fisiologi Nutrisi Balitnak Bogor, (4) Analisis kimia daging bandikut di Laboratorium Pengujian, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu Bogor, dan (5) Identifikasi spesimen bandikut di Laboratorium Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2005 sampai dengan Maret 2007. Bahan Penelitian Materi hewan yang digunakan dalam penelitian adalah bandikut dewasa dari jenis Echymipera sp., diperoleh dari hutan di daerah Manokwari Papua Barat, sebanyak 68 ekor, terdiri dari 38 ekor jantan dan 30 ekor betina. Untuk pengamatan karakteristik eksternal dan morfometri bandikut digunakan 30 ekor (16 jantan dan 14 betina), pengamatan tingkah laku digunakan 8 ekor (6 jantan 2 betina), percobaan pakan digunakan 6 ekor (3 jantan dan 3 betina), pengamatan karakteristik karkas dan daging digunakan 20 ekor (10 jantan dan 10 betina), untuk pengujian organoleptik daging digunakan 2 ekor jantan, dan 2 ekor (1 jantan dan 1 betina) untuk keperluan identifikasi spesimen jenis bandikut. Pengamatan tingkah laku serta preferensi dan konsumsi pakan bandikut menggunakan sebuah bangunan
kandang besar yang disekat menjadi 8 petak
kandang, masing-masing berukuran 2 x 1.8 meter, tinggi sekat 1.5 meter. Dinding dan alas kandang terbuat dari semen dan sekat menggunakan papan triplek. Alas
23
kandang diberi tanah dan serasah rumput. Semua kandang yang digunakan dilengkapi tempat pakan dan tempat air minum dari plastik serta tempat sarang bandikut. Setiap kandang diisi seekor bandikut (sistem individual) yang ditempatkan secara acak. Model kandang dan perlengkapannya ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Kandang besar yang disekat dan perlengkapannya Pakan yang digunakan pada penelitian ini adalah pakan yang disesuaikan dengan kebiasaan makan bandikut dihabitatnya, yaitu berupa pisang, kelapa, serangga (belalang), cacing tanah, jambu biji masak, papaya, ikan, daging cincang dan konsentrat sebagai pakan percobaan selanjutnya. Perlengkapan lain yang disiapkan di kandang antara lain timbangan merek Ohaus Triple Beam kapasitas 1 620 g dengan ketelitian 0.1 g, timbangan gantung kapasitas 10 kg dengan ketelitian 0.5 g, hygrometer, kamera digital, stop watch, dissecting set, pisau, kaliper, penggaris, jam dinding, obat-obatan, tali meter, planimeter, warner bratzer shear, termometer
24
bimetal, peralatan masak serta seperangkat alat untuk analisis proksimat, asam amino, asam lemak dan trapper (alat perangkap).
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode eksploratif dan teknik observasi. Teknik pengambilan sampel bandikut ditentukan secara purposif berdasarkan informasi penduduk setempat tentang keberadaan bandikut. Data yang terkumpul di analisis secara deskriptif dan secara statistik. Perhitungan analisis data dibantu dengan menggunakan program perangkat lunak SAS release 6.12. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap kajian. Kajian yang dilakukan meliputi karakteristik eksternal dan morfometri bandikut; tingkah laku dan konsumsi pakan; karakteristik dan distribusi karkas dan daging; sifat fisik dan kimia daging dan uji organoleptik daging bandikut. Tahap I : Persiapan Bandikut yang terkumpul, secara acak ditempatkan dengan sistem individual di dalam kandang percobaan. Jumlah sampel yang digunakan adalah 8 ekor bandikut dewasa, terdiri dari 6 ekor jantan dan 2 ekor betina. Tahap persiapan ini merupakan masa adaptasi untuk membiasakan bandikut dalam lingkungan baru di dalam kandang, dan untuk mengetahui jenis pakan alami yang paling disukai dan selanjutnya ditentukan sebagai pakan alami yang akan digunakan untuk percobaan pakan pada percobaan selanjutnya. Jenis pakan yang diberikan adalah pakan yang biasa dikonsumsi bandikut sesuai keterangan dari masyarakat setempat yang mengenal bandikut, yaitu serangga (belalang), invertebrata (cacing tanah), buah-buahan (pisang, jambu biji masak, papaya, kelapa muda dan tua), dan sebagai pakan tambahan adalah kacang tanah, ikan, daging cincang dan pakan konsentrat.
Selama pemeliharaan
pakan dan air minum diberikan secara kafetaria dan tak terbatas (ad libitum). Pada tahap persiapan (selama 2 minggu) dilakukan identifikasi jenis bandikut berdasarkan identifikasi untuk bandikut dan bilbis Australasia (Seebeck et al., 1990;
25
Menzies, 1991; Flannerry, 1995a,b). Pembuatan model specimen jenis bandikut berupa specimen kering. Tahap II : Karakteristik Eksternal dan Morfometri Bandikut Penelitian tentang karakteristik eksternal dan morfometri bandikut ini menggunakan sampel sebanyak 30 ekor bandikut dewasa , terdiri dari 16 ekor jantan dan 14 ekor betina yang di pilih secara acak. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data dasar tentang karakteristik eksternal dan morfometri tubuh bandikut dan ukuran-ukuran beberapa organ visceral berdasarkan jenis kelamin dan spesies. Pengamatan identifikasi karakteristik eksternal tubuh bandikut menurut jenis kelamin maupun jenis spesies dan pengukuran morfometri dilakukan pada bandikut yang telah mati karena tidak memungkinkan dilaksanakan pada keadaan masih hidup. Identifikasi karakteristik eksternal dilakukan secara deskriptif dan teknik pengukuran bagian tubuh menurut panduan Payne (2000) dan Suyanto (2006) Peubah yang diamati dan teknik pengukuran adalah 1. Karakteristik eksternal, meliputi pengamatan terhadap ciri-ciri dan bentuk tubuh serta warna bulu, berdasarkan jenis kelamin dan spesies. 2. Morfometri, mencakup : -
Berat badan (BB) dilakukan dengan penimbangan (g).
-
Panjang badan dan kepala (BK) : jarak anus sampai ujung hidung (cm).
-
Panjang badan (B) : Jarak anus sampai atlas (cm).
-
Panjang kepala (K) : jarak ujung hidung sampai atlas (cm).
-
Panjang moncong (M) : jarak ujung hidung sampai sudut celah mulut (cm).
-
Lingkar leher (L) : tali meter dililitkan rapat melingkar dibagian tengah leher (cm).
-
Lingkar dada (D) : tali meter dililitkan rapat melingkar dibagian tepat di belakang benjolan tulang bahu (cm).
-
Lebar dada (LD) : jarak antara benjolan tulang rusuk kiri dan kanan, diukur dengan kaliper (cm).
26
-
Dalam dada (DD) : jarak antara bagian tertinggi pundak dan bagian dada tepat di belakang kaki depan (cm).
-
Panjang telinga (T) : diukur dari pangkal telinga ke titik terjauh di daun telinga (cm)
-
Lebar telingan (LT) : jarak antara kedua titik terjauh dari lebar daun telinga (cm)
-
Tinggi bahu (B) : jarak tegak lurus antara ujung kaki depan sampai tepat di depan benjolan tertinggi tulang bahu (cm).
-
Tinggi pinggul (P) : jarak tegak lurus antara ujung kaki belakang sampai tepat di belakang benjolan tertinggi tulang pinggul (cm).
-
Lingkar paha kaki depan (PD) : tali ukur dililitkan melingkari bagian pangkal paha depan (cm).
-
Lingkar paha kaki belakang (PB) : tali ukur dililitkan melingkari bagian pangkal paha belakang (cm).
-
Lingkar perut (LP) : tali ukur dililitkan melingkari bagian perut di depan kaki belakang (cm).
-
Panjang ekor (E) : diukur dari pangkal sampai ke ujung ekor (cm).
-
Panjang telapak kaki depan (TD) : diukur dari ujung tumit sampai ujung jari kaki depan (cm).
-
Lebar telapak kaki depan (LTD) : Jarak antara titik terjauh dari lebar telapak kaki depan (cm)
-
Panjang telapak kaki belakang (TB) : diukur dari ujung tumit sampai ujung jari kaki belakang (cm).
-
Lebar telapak kaki belakang (LTB) : Jarak antara titik terjauh dari lebar telapak kaki belakang (cm)
-
Panjang kuku kaki depan (KD) : diukur dari pangkal sampai ke ujung kuku kaki depan (cm).
-
Panjang kuku kaki belakang (KB) : diukur dari pangkal sampai ke ujung kuku kaki belakang (cm).
27
-
Ukuran organ visceral seperti berat jantung, paru-paru, hati, ginjal dan limfa diukur dengan penimbangan (g)
-
Panjang oesophagus (O) : diukur dari pangkal tenggorokan (larynx) sampai ujung oesophagus dekat ventrikulus (cm).
-
Panjang usus halus (intestinum tenue) (UH) : diukur dari pangkal duodenum (profundus) sampai ujung terminal ileum (osteum ileale) (cm).
-
Panjang kolon (intestinum crasum) (K) : diukur dari bagian pangkal kolon (osteum ileale) sampai anus.
-
Panjang caecum (C) : diukur dari pangkal sampai ke ujung caecum (cm). Semua data yang terkumpul ditabulasi. Analisis varians (GLM) digunakan ntuk
melihat pengaruh jenis kelamin atau jenis warna dada bandikut. Uji-t (LSD) dilakukan untuk membandingkan ukuran-ukuran tubuh antara bandikut jantan dan betina, dan ukuran-ukuran tubuh antara jenis bandikut. Keeratan hubungan antara ukuran-ukuran tubuh terhadap berat badan bandikut dilakukan analisis korelasi Pearson. Perhitungan analisis data dibantu dengan menggunakan program perangkat lunak SAS release 6.12. Tahap III: Tingkah Laku dan Konsumsi Pakan Bandikut Pada penelitian tahap ini ada dua percobaan, yaitu percobaan pertama pengamatan tentang tingkah laku dan konsumsi pakan segar bandikut, dan percobaan kedua yaitu pengamatan konsumsi bahan kering dan zat gizi pakan konsentrat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkah laku bandikut di dalam lingkungan kandang (ex situ), konsumsi segardan preferensi pakan pada keadaan kandang diterangi lampu maupun gelap tanpa penerangan lampu serta untuk mengetahui konsumsi bahan kering dan zat gizi pakan konsentrat. Materi bandikut yang digunakan untuk penelitian tingkah laku (percobaan pertama) merupakan kelanjutan dari materi bandikut yang digunakan pada penelitian pendahuluan, yaitu menggunakan bandikut 8 ekor, terdiri dari 6 ekor jantan dan 2 ekor betina. Bandikut ditempatkan secara acak didalam kandang individu berukuran panjang, lebar dan tinggi 2x1,8x1,5 m. Setiap petak kandang dilengkapi tempat pakan
28
dan air minum serta tempat sarang. Pakan yang digunakan adalah pakan alami yang paling disukai waktu penelitian pendahuluan, yaitu pisang dan sebagai pakan tambahan adalah pakan konsentrat terdiri dari bahan-bahan dengan komposisi nutrisi seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi bahan dan nutrisi pakan konsentrat Bahan Jagung kuning Tepung biji kedele Dedak padi halus Tepung ikan Minyak kelapa Tepung ketela rambat Tepung ketela pohon Tepung daging kelapa CaCO3 Premix Total Nutrisi Bahan kering (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak (%) Calsium (%) Posphor (%) Abu (%) Energi kasar (kal/g)
Jumlah (%)*) 28.51 26.81 10.00 10.00 10.68 4.00 3.00 3.00 2.00 2.00 100.00 **)
77.54 25.56 16.46 5.25 1.49 0.53 6.36 4 047
*) Formulasi menggunakan program Feed Mania versi 6 dan disusun di lab. Industri Makanan Ternak, Fapet IPB. **) Hasil anlisis lab. Fisiologi Nutrisi Balitnak Bogor.
Pakan konsentrat yang digunakan merupakan ransum standar kebutuhan hewan percobaan untuk tikus (NRC, 1984). Selama penelitian, pakan dan air minum diberikan secara ad libitum pada keadaan kandang diterangi lampu dan gelap. Pemberian jenis pakan dilakukan secara bergantian antara pakan tunggal (pakan alami atau konsentrat) dan campuran (pakan alami + konsentrat). Pengumpulan data pengamatan tingkah laku dilkukan secara periodik, yaitu pada jam 18.00 – 22.00, jam 22.00 – 02.00 dan jam 02.00 – 06.00, pengamatan setiap kandang diulang 3 kali. Penelitian berlangsung selama 3 minggu.
29
Peubah yang diamati dan cara pengukuran pada percobaan pertama : 1. Sifat kualitatif yaitu tingkah laku makan, minum, grooming (membersihkan tubuh), foraging (mencari makanan), bersembunyi atau berlindung (shelter seeking) dan berkelahi (aggression) mulai dari waktu keluar sarang sampai kembali lagi ke sarang selama waktu periode pengamatan dilakukan pencatatan seluruh aktifitasnya. 2. Sifat kuantitatif yaitu pengukuran lama waktu (durasi) dan frekuensi setiap bandikut melakukan aktifitas makan, minum dan grooming, termasuk lama foraging dan selther seeking pada setiap waktu periode pengamatan. 3. Konsumsi pakan alami segar, pakan alami + konsentrat dan konsentrat pada keadaan kandang terang dan gelap. Cara pengukuran dengan menimbang selisih pakan yang diberikan dengan sisa pakan (g/ekor/hari) 4. Tingkat preferensi bandikut pada pakan konsentrat terhadap pakan alami berupa pisang (%). Pada percobaan kedua, yaitu percobaan pengamatan konsumsi bahan kering dan dan zat gizi pakan konsentrat, digunakan 6 ekor bandikut dewasa, terdiri atas 3 ekor jantan dengan bobot awal rata-rata 1 223,36266,3g dan 3 ekor betina dengan bobot awal rata-rata 1 263,3615,27g. Setiap bandikut ditempatkan secara acak di dalam 6 buah kandang berukuran panjang lebar dan tinggi 2x1,8x1,5m. Tiap petak kandang dilengkapi tempat pakan dan air minum serta tempat sarang. Masa preliminary dilakukan selama tiga hari sebagai masa penyesuaian terhadap kandang dan pakan. Pakan yang digunakan adalah pakan konsentrat dengan komposisi jenis bahan dan nilai gizi seperti pada Tabel 1. Selama penelitian, pakan dan air minum diberikan secara ad libitum. Penelitian ini berlangsung selama 6 minggu. Peubah yang diamati dan teknik pengukuran : 1. Konsumsi bahan kering dan konsumsi zat gizi pakan konsentrat. Penentuan konsumsi bahan kering (KBK) dan zat gizi pakan konsentrat (KZG) diperoleh dengan perhitungan menggunakan formula : KBK atau KZG = (BK atau ZG hasil analisa / 100 x konsumsi ransum
30
2. Pertambahan berat badan dihitung dari selisih berat awal dan berat akhir (g/ekor/hari). Semua data yang terkumpul dianalisis secara tabulasi dan disederhanakan dalam bentuk tabel dan grafik, berdasarkan jenis kelamin yang berbeda, kemudian dilakukan analisis deskriptif (Martin & Bateson, 1999). Tahap IV: Karakteristik Karkas dan Distribusi Daging Bandikut Penelitian tentang karakteristik karkas dan distribusi daging bandikut ini menggunakan sampel sebanyak 20 ekor bandikut dewasa dengan bobot rata-rata 1100 6 340.7g, terdiri dari 10 ekor jantan dengan bobot rata-rata 1 252 6 384.59g dan 10 ekor betina dengan bobot rata-rata 948 6 214g yang di pilih secara acak dan selanjutnya dilakukan penyembelihan terhadap bandikut tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik karkas dan distribusi daging berdasarkan jenis kelamin dan warna dada bandikut. Penyembelihan dilakukan dengan pemotongan bagian leher dekat rahang bawah sehingga kulit, otot, vena jugolaris, arteri karotis komunis, oeshopagus dan trachea terpotong sempurna. Kepala dipotong pada sendi occipito-atlantis. Pengulitan (skinning) dilakukan dengan membuat irisan dari leher ke anus, kemudian buat irisan dari distal pada ke empat kaki menuju arah irisan tadi. Kulit di lepas dari arah ventral perut dan dada ke arah dorsal kemudian menuju posterior. Selanjutnya pengeluaran isi rongga perut dan rongga dada dilakukan dengan menyayat dinding abdomen sampai dada. Karkas segar yang diperoleh kemudian dipotong menjadi 4 potongan utama karkas setelah pembuangan bulu, darah, organ internal, kepala, ekor dan keempat kaki batas meta tarsal/meta carpal sesuai petunjuk Blasco et al. (1993) untuk potongan karkas kelinci. Potongan utama karkas tersebut adalah
(1) bagian kaki
depan (shank dan shoulder) batas os atlas sampai thorac vertebre 7/8, (2) bagian dada (rack dan breast) batas thorac vertebre 7/8 sampai thorac vertebre 12/13 , (3) bagian pinggang (loin dan flank) batas thorac vertebre 12/13 sampai lumbar vertebre
31
ke 7 dan (4) bagian kaki belakang (hind leg) batas lumbar vertebre ke 7 sampai os ichii, seperti pada Gambar 5. Penelitian ini berlangsung selama 12 minggu. Potongan karkas kaki depan
Os atlas
Potongan karkas dada
Thorac vertebre 7/8 Thorac vertebre 12/13
Lumbar vertebre 7th
Potongan karkas pinggang
Os Ichii
Potongan karkas kaki belakang
Gambar 5 Potongan karkas bandikut. Peubah yang diamati dan teknik pengukuran : 1. Berat badan : berat hasil penimbangan sebelum penyembelihan (g) 2. Berat karkas panas : berat badan dikurangi berat darah, bulu/kulit, organ internal, kepala, ekor dan keempat kaki batas meta tarsal/meta carpal (g). 3. Persentase karkas panas : perbandingan antara berat karkas panas dengan berat badan dikalikan seratus persen (%). 4. Berat karkas dingin : berat karkas setelah dilakukan chilling (g). 5. Persentase karkas dingin : perbandingan antara berat karkas dingin dengan berat badan dikalikan seratus persen (%).
32
6. Berat potongan karkas utama : berat dari masing-masing potongan karkas, yaitu berat potongan karkas bagian kaki depan (shank dan shoulder), dada (rack dan breast), pinggang (loin dan flank) dan kaki belakang (hind leg) (g). 7. Persentase potongan karkas utama : perbandinagan antara berat dari masingmasing potongan karkas dengan berat karkas dingin dikalikan seratus persen (%). 8. Meat bone ratio : perbandingan antara berat jumlah daging dengan berat jumlah tulang. 9. Luas mata rusuk : luas penampang melintang otot mata rusuk (longissimus dorsi) pada irisan karkas antara tulang rusuk ke 12 dan 13 (inch2). 10. Distribusi berat potongan karkas utama atau berat daging potongan karkas utama terhadap berat karkas atau berat total daging bandikut pada jenis kelamin dan warna dada yang berbeda. Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan beberapa prosedur statistik. Untuk melihat pengaruh jenis kelamin atau jenis warna dada
bandikut
digunakan
analisis
kovarians
(GLM).
Sedangkan
untuk
membandingkan nilai tengah komponen karakteristik karkas antara bandikut jantan dan betina atau antara warna dada bandikut dilakukan uji-t (LSD). Perhitungan analisis dibantu dengan menggunakan program perangkat lunak SAS release 6.12. Tahap V: Karakteristik Fisik dan Kimia Daging Bandikut Penelitian terhadap karakteristik fisik dan kimia daging bandikut ini merupakan kelanjutan dari penelitian tahap III yaitu menggunakan sampel sebanyak 20 buah karkas bandikut yang diambil secara acak. Tujuan penelitian ini antara lain untuk mengetahui karakteristik fisik daging mencakup pH, keempukan, susut masak dan daya mengikat air, serta karakteristik kimia daging meliputi kadar air, protein, lemak, abu, asam amino dan asam lemak yang terkandung di dalam daging bandikut. Penelitian ini berlangsung selama 12 minggu.
33
Peubah yang diamati dan teknik pengukuran: 1. pH daging : 10 g sampel daging di ambil dari otot longissimus dorsi dari bagian sentrum digiling, ditampung ke dalam gelas piala ditambahkan 10 ml air aquades dan di aduk dengan alat mixer selama 5 menit. Selanjutnya larutan daging tersebut di ukur pHnya dengan menggunakan pH meter digital. 2. Susut Masak Daging (Cooking loose) : potongan daging sebanyak 100 gram ditusukkan diujung thermometer bimetal kemudian direbus bersama air 1 liter selama sekitar 45 menit sampai thermometer menunjukkan suhu 810C. Selanjutnya daging didinginkan sampai mencapai berat konstan. Perhitungan susut masak daging mengikuti formulasi (Swatland, 1984) : Berat sebelum Berat konstan dimasak _ setelah dimasak % Susut Masak = ------------------------------------------- X100 % Berat sebelum dimasak 3. Keempukan daging : sample daging bagian paha ditusukkan pada ujung thermometer bimetal dan direbus dengan 1 liter air sampai suhu daging mencapai 810C, kemudian didinginkan sekitar 1 jam dan dicetak dengan corer. Selanjutnya cetakan daging sample tersebut diukur keempukkannya dengan menggunakan alat gunting Warner-Bratzler. 4. Daya mengikat air daging : pengukuran air daging dilakukan dengan metode Hanum (Swatland, 1984) : Area basah (Cm2) Mg H2O = --------------------- - 8,0 0,0948 Pengepresan 0,3 gram sampel daging pada kertas saring wheatman-42 di antara dua plat besi dengan beban 35 kg selama 5 menit. Setelah itu luas area yang tertutup daging dan luas area basah disekelilingnya pada kertas saring diberi tanda dan diukur. Luas area basah diperoleh dari hasil pengurangan luas total area basah dengan luas area yang tertutup daging dengan menggunakan alat plani-meter.
34
5. Kadar Protein : penetapan kadar protein daging dilakukan dengan metode Kjeldahl-Mikro. Perhitungan protein digunakan rumus : % Protein daging = % N sample X 6,25 dimana : (ml HCl –ml Blangko) x Normalitas x 14,007 % N Sampel = ------------------------------------------------------- X100 % mg Sampel 6. Kadar lemak daging : ditentukan dengan metode Ekstraksi-Soxhlet. Prinsip perhitungannya, sample yang akan diekstraksi lemaknya terlebih dahulu dikeringkan dalam oven vakum dan dihaluskan dengan blender menjadi tepung. Lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C untuk menghilangkan pelarutnya (dietil eter) kemudian dikeluarkan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat lemaknya. Perhitungan kadar lemak daging mengikuti rumus : Berat lemak hasil ekstraksi % Lemak = --------------------------------- X 100 % mg Sampel 7. Kadar air dan abu menggunakan metode gravimetri. 8. Energi daging menggunakan metode Bomb-calorimeter. 9. Komposisi asam-asam amino daging : prosedur analisis dilakukan dengan bantuan instrument HPLC (High Performance Liquid Chromatography). 10. Komposisi asam-asam lemak daging : Prosedur analisis asam-asam lemak dilakukan dengan bantuan instrument GC (Gas Chromatography). Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan beberapa prosedur statistik. Analisis ragam (GLM) digunakan untuk melihat pengaruh jenis kelamin atau jenis warna dada bandikut. Uji-t (LSD) digunakan untuk membandingkan nilai tengah komponen karakteristik karkas antara bandikut jantan dan betina atau
antara warna dada bandikut. Peubah karakteristik kimia daging
dianalisis secara deskriptif terhadap beberapa ternak domestik dan satwa liar lain.
35
Tahap IV: Uji Organoleptik terhadap Daging Bandikut Penelitian organoleptik ini menggunakan daging bandikut, daging sapi, daging babi dan daging ayam potong yang di ambil secara acak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesukaan masyarakat papua pada khususnya terhadap flavor (warna, bau dan rasa) daging bandikut dibandingkan dengan flavor daging ternak konvensional (daging sapi, babi dan ayam potong). Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji tingkat kesukaan atau uji hedonik (Soekarto, 1985). Uji ini merupakan salah satu uji penerimaan. Jumlah panelis yang digunakan adalah sebanyak 85 orang panelis tidak terlatih. Sampel daging dibuat sate tanpa bumbu, setelah dibakar disajikan secara acak dan dilakukan secara spontan (Gambar 6).
Sistem pembakaran
Sistem penyajian
uji organoleptik oleh panelis Gambar 6 Uji organoleptik.
36
Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidak sukaan. Penilaian skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan yaitu nilai 1 = tidak suka, 2 = biasa/netral, 3 = agak suka, 4 = suka dan 5 = sangat suka. Penilaian meliputi warna, bau dan rasa dari masing-masing jenis daging tersebut Data yang diperoleh di analisis secara tabulasi kemudian dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis (Gibbons, 1975). Apabila terdapat perbedaan yang signifikan di antara nilai tengahnya maka akan dilakukan uji lanjut median test.
37
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik dan Morfometri Bandikut Karakteristik Eksternal Hasil identifikasi di Australia melalui LIPI diketahui bahwa bandikut yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejenis kalubu (Echymipera kalubu) yang merupakan jenis kompleks yang saat ini sedang dipelajari di Australia oleh Dr.Kent Aplin. Jenis ini termasuk Anak Kelas (Subclassis) Eutheria/Marsupialia, Bangsa (Ordo) Peramelemorphia, Suku (Familia) Peroryctidae. Menurut Flannery (1995a), bandikut jenis ini termasuk dalam kategori secure yang berarti masih aman, tidak terancam punah atau tingkat kepunahannya masih rendah. Bandikut (E. kalubu) ini memiliki karakteristik dan sifat yang unik. Tubuhnya tebal dan padat dengan leher yang pendek. Warna bulu kecoklatan dan hitam dengan bagian atas (dorso-lateral) mulai dari moncong sampai caudal kehitaman yang merupakan campuran rambut berujung kuning dan hitam. Rambut yang menutupi kulitnya kaku seperti duri biasa disebut pula sebagai spiny bandicoot. Bagian ventral memanjang dari kaki belakang bagian dalam (ventral), dada, abdomen dan kaki depan sampai rahang bawah dan tepat di bawah mata berwarna putih tetapi ada juga yang berwarna kemerahan atau coklat kekuningan sehingga seperti terdapat batas warna yang tajam terutama dari moncong sampai tepat di bawah mata. Oleh karena itu sampel bandikut yang digunakan dalam materi penelitian ini terdiri dari 2 jenis yang kemudian disebutkan sebagai bandikut dada putih dan dada merah sesuai sebutan lokal oleh masyarakat di Papua (Gambar 7). Bentuk kepala bandikut jenis ini sempit dan runcing mengarah ke hidung yang panjang. Menurut Petocz (1994), moncong yang panjang menunjukkan indra penciumannya yang tajam. Pada jenis dada putih pada bagian hidung lebih meruncing atau memanjang (Gambar 8A), sedangkan pada jenis dada merah kepala ke arah hidung lebih pendek (Gambar 8C). Beberapa rambut pelindung (sungut) tumbuh panjang disekitar moncong dan di kanan kiri bagian atas bawah mata, pada bandikut
38
A
B
Gambar 7 Bandikut dada merah (A) dan bandikut dada putih (B). dada putih rambut tersebut lebih panjang dibanding pada bandikut dada merah. Mata terlihat kecil dan hitam. Telinga gelap, pendek dan membulat diselimuti bulu yang sangat halus (Gambar 8B).
A
B
C
Gambar 8 Kepala dan moncong bandikut dada putih dan dada merah. Ekor pendek dan gelap serta kasar dan kaku, ditumbuhi bulu halus dan jarang seperti pada telinga. Kaki depan dan belakang batas meta tarsal/carpal ditumbuhi bulu halus dengan telapak gelap. Jari kedua dan ketiga kaki belakang pada pangkal cakarnya disatukan oleh kulit dan hanya ujung sendi terakhir (tanda panah) dan kukunya yang terpisah, sedangkan jari kaki depan tidak (Gambar 9). Kaki depan bandikut lebih pendek dan kecil dari kaki belakang tetapi kuat dengan tiga cakar yang panjang sebagai senjata untuk melindungi diri dan menangkap mangsa, juga sebagai alat untuk menggali lubang sarang atau makanan serta untuk menggaruk waktu membersihkan diri dari kotoran atau ektoparasit. Kaki belakang
39
A
B
C
Gambar 9 Jari kaki depan (A), jari kaki belakang (B) dan telapak kaki depan dan kaki belakang (C). yang memanjang mirip kanguru, bila berdiri terlihat punggungnya melengkung seperti duduk dan kedua kaki depan menggantung.
Berjalannya dengan cara
berjingkrak atau meloncat-loncat pelan. Kaki belakang yang panjang memungkinkan bandikut mampu meloncat setinggi 150 meter. Bandikut ini mempunyai susunan gigi poliprotodon yaitu memiliki banyak pasang gigi seri di rahang di antara gigi taringnya. Formula susunan gigi bandikut yang diteliti adalah I4/3 C1/1 P3/3 M4/4 (Gambar 10). Susunan gigi tersebut sesuai dengan yang dilaporkan Tate (1948) dan Lindenmayer (1997) bahwa susunan gigi bandikut I4-5/3 C
1/1
P
3/3
M
4/4.
Bentuk geligi yang kecil-kecil dapat diduga bahwa
bandikut kurang mampu mengunyah makanan yang keras. Rahang atas
Rahang bawah
Gambar 10 Susunan geligi bandikut. Antara bandikut jantan dan betina dewasa terdapat sedikit perbedaan dalam berat tubuh, pada jantan memiliki ukuran sedikit lebih besar dari betina. Secara morfologi, bandikut jantan dan betina mudah dibedakan. Pada betina memiliki
40
kantung tempat menyusui anak yang terbuka ke arah belakang, di bagian ventroabdomen dekat anus. Di dalam kantung tersebut terdapat 8 buah puting susu yang berjajar dua, masing-masing jajar membentuk setengah busur
yang saling
berhadapan. Pada jantan ditandai dengan adanya 2 buah testes yang terbungkus dalam scrotum menggantung keluar dari abdomen sekitar 3 cm dari anus. Saluran testes ini menggantung sepanjang 1,7 cm. Saluran akhir alat reproduksi, saluran kencing dan saluran pembuangan kotoran bermuara dalam satu saluran anus atau dapat pula disebut sebagai kloaka seperti yang terdapat pada hewan unggas pada umumnya (Gambar 11).
8 puting susu dalam kantung
urogenital betina
testes
penis
anus
Gambar 11 Puting susu dalam kantung bandikut betina serta alat reproduksi bandikut jantan dan betina. Selama penelitian diketahui bahwa bandikut merupakan satwa yang sangat nervous dan mudah stress. Setiap individu harus dipisahkan dan tidak dapat dicampur
41
di dalam satu kandang. Apabila dicampur maka akan saling berkelahi, baik antar jantan, antar betina maupun antar jantan dan betina. Menurut Menzies (1991), keadaan tersebut merupakan ciri hewan soliter dan memiliki daerah territorial tertentu. Mackerras and Smith (1960) juga menjelaskan bahwa secara umum bandikut dianggap sebagai hewan soliter dan suka berkelahi (pugnacious). Aktifitas harian bandikut hanya dilakukan pada malam hari, sedangkan waktu siang hari digunakan untuk istirahat di sarang. Pada induk yang sedang menyusui, bila anaknya sudah berbau asing, misal di pegang manusia maka anak tersebut akan dimakan oleh induknya sendiri. Induk biasa sangat bereaksi bila anaknya diambil dan dikembalikan maka anaknya akan dibunuh dan dimakan. Hal ini diduga sebagai suatu cara pertahanan diri untuk menghilangkan jejak. Menurut Gemmell (1982), bandikut betina di dalam kandang cenderung kanibal untuk membunuh dan memakan anaknya. Bayi bandikut lahir dalam keadaan belun tumbuh sempurna, berwarna merah jambu tanpa ditumbuhi rambut dan mata tertutup (Gambar 12).
1
2
4
3
5
Gambar 12 Perkembangan bayi bandikut (1 ke 5) dalam kantung sampai mulai tumbuh rambut dengan mata masih tertutup.
42
Menurut Lyne (1990), rambut pertama akan muncul di tubuh pada umur 45 hari, mata akan terbuka dan mulai meninggalkan kantung induknya antara umur 45-50 hari, selanjutnya penyapihan terjadi pada umur 56-60 hari dan akan mengikuti induknya sampai umur 71-73 hari. Induk mulai kawin kembali setelah anak di dalam kantung umur 49-50 hari dan masih didalam kantung. Anaknya berhenti menyusu pada umur 59-61 hari ketika induk melahirkan anak berikutnya. Rata-rata kelahiran terjadi setiap 65 hari atau 6 kali kelahiran terjadi selama 13 bulan (Stodart, 1977). Reproduksi bandikut dicirikan oleh masa bunting yang pendek dan kelahiran anak yang belum sempurna. Pertumbuhan dan perkembangan anak bandikut selanjutnya terjadi didalam kantung selama periode menyusu, yaitu perkembangan atau perubahan pendewasaan yang lebih sempurna dari pada waktu lahir. Selama pertumbuhan dan perkembangan di dalam kantung, selain sintesis oleh bayi bandikut itu sendiri, susu induknya yang hanya memungkinkan sebagai sumber hormon dan faktor-faktor pertumbuhan. Saunders et al. (2000) melaporkan bahwa kelenjar pituitary pada marsupial yang baru dilahirkan mampu mensistesis dan mensekresikan hormon pertumbuhan (GH-growth hormone), tetapi kelenjar tyroid tidak terdapat saat lahir dan akan berkembang selama hidup di dalam kantung. Hal ini telah dibuktikan bahwa konsentrasi GH plasma paling tinggi pada awal kehidupan dalam kantung dan setelah itu cenderung turun secara eksponensial sampai waktu penyapihan (sekitar umur 60 hari) tetapi masih lebih tinggi dari level periode dewasa. Sebaliknya, konsentrasi
thyroxin plasma rendah pada awal
menyusu, kemudian meningkat
mencapai maksimal pada hari ke 40 post-partum dan menurun kembali hingga ke level pada periode dewasa. Folikel kelenjar tyroid dan lysosoma mulai muncul pada umur 12 hari pos-partum yang diperlukan untuk mensekresikan hormon aktif ke dalam pembuluh darah dan nampak nyata pada umur 30 hari. Gemmell dan Hendrikz (1993) juga melaporkan bahwa dari pertumbuhan lambat ke pertumbuhan yang lebih cepat pada bayi bandikut terjadi pada hari ke 30 post-partum. Hal ini disebabkan sekresi GH yang masih di atas level periode dewasa untuk fase pertama pertumbuhan cepat dari umur 20-30 hari. Sedangkan pada mamalia berplacenta (eutherian), folikel kelenjar tyroid sudah ada sejak awal dalam kebuntingan dan puncak konsentrasi
43
thyroxin terjadi setelah lahir. Konsentrasi GH juga tinggi selama dalam kebuntingan dan terjadi penurunan beberapa hari sebelum lahir. Morfometri Bandikut Morfometri merupakan ukuran-ukuran tubuh yang tampak dari luar. Ukuran tubuh sangat penting terutama untuk keperluan seleksi pada ternak. Melalui ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat untuk menduga produktivitas ternak yang bersangkutan. Pada penelitian ini digunakan sampel 30 ekor bandikut tanpa dibedakan jenis kelamin dan jenis warna dada.
Ukuran
tubuh bandikut hasil
penelitian disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa berat tubuh bandikut yang ditemukan pada penelitian ini sangat bervariasi mulai dari berat 450 – 4 600 g dengan rataan 1 188.33 g. Bandikut seberat 4 600 g tersebut merupakan berat paling tinggi yang pernah ditemukan. Keadaan ini dapat mengindikasikan bahwa apabila dibudidayakan bandikut di Papua memiliki potensi bisa mencapai berat di atas 4.5 Kg jika ditunjang dengan faktor-faktor lingkungannya. Menurut Berg dan Butterfield (1976), faktor lingkungan yang dimaksud adalah iklim, makanan dan tatalaksana. Rata-rata berat bandikut pada jenis yang sama yang tercatat telah ditemukan adalah 1 800 g di PNG dengan berat jantan rata-rata 1 173 g dan betina 685 g (Anderson, Berry, Amos and Cook, 1988), 450 - 1500 g (Flannery, 1995a), 405 - 1 000g (Flannery, 1995b) dan 500-2 000 g (Strahan, 1990). Hasil uji korelasi Pearson dapat diketahui bahwa dari ukuran-ukuran tubuh yang di amati hanya pada ukuran panjang ekor (r = 0.23), lebar telapak kaki depan (r = -0.25), lebar telapak kaki belakang (r = 0.17), panjang caecum (r = 0.33) dan panjang colon (r = 0.24) menunjukkan memiliki keeratan hubungan yang rendah (P>0.05) terhadap berat tubuh bandikut. Pada lebar kaki depan terdapat hubungan negatif yang tidak nyata. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi bobot badan bandikut tidak diikuti oleh semakin lebar telapak kaki depannya. Keadaan tersebut diduga karena telapak kaki depan bandikut kurang aktif digunakan untuk menapak. Sedangkan panjang telinga (r = 0.41), dan lingkar kaki depan
44
Tabel 2 Rataan, standar deviasi, maksimum, minimum dan koefisien korelasi ukuran-ukuran tubuh terhadap berat badan bandikut Parameter n Rataan SD Max Min r - thd brt bdn Berat badan (g) Panjang badan+kpl (cm) Panjang moncong (cm) Panjang kepala (cm) Panjang badan (cm) Lingkar leher (cm) Lingkar dada (cm) Lebar dada (cm) Dalam dada (cm) Panjang telinga (cm) Lebar telinga (cm) Tinggi badan dpn bahu (cm) Tinggi bdn blk pinggul (cm) Lingkar kaki depan (cm) Lingkar kaki belakang (cm) Lingkar perut (cm) Panjang ekor (cm) Panj. telapak kaki dpn (cm) Panj. Telapak kaki blk (cm) Panj. kuku kaki depan (cm) Panj. kuku kaki blk (cm) Lebar telapak kaki dpn (cm) Lebar telapak kaki blk (cm) Morfometri visceral Berat jantung (g) Berat paru-paru (g) Berat hati (g) Berat ginjal (g) panjang oesophagus (cm) panjang usus halus (cm) panjang ventriculus (cm) panjang caecum (cm) panjang colon (cm) Berat limpa (g) lebar ventriculus (cm)
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 28 30 30 30 30 30 30
1 188.33 33.40 4.26 9.04 25.38 14.73 22.34 5.64 7.52 2.19 1.72 11.47 12.27 8.07 12.69 22.97 7.32 3.21 5.97 1.45 1.31 1.19 1.42
776.34 4.46 0.66 1.28 3.47 1.77 2.99 1.13 1.17 0.47 0.19 2.03 2.20 1.54 1.87 2.90 1.26 0.60 0.89 0.36 0.34 0.40 0.38
4600 43 5.5 12 32 21 28.5 9 11 3 2.1 17 18 11.5 16 28.5 10 4.5 8 2.2 2.2 1.8 2
455 26 3 7 19 12 17 4.1 5.6 0.2 1.4 6.8 9 6 9 16 5.5 2 4.4 0.7 0.7 0.3 0.4
0.73** 0.56** 0.76** 0.70** 0.48** 0.64** 0.81** 0.83** 0.41* 0.47** 0.77** 0.79** 0.42* 0.49** 0.58** 0.23 0.66** 0.68** 0.55** 0.53** -0.25 0.17
27 27 27 18 27 27 26 25 26 24 21
5.06 7.91 29.30 3.93 9.71 76.65 4.38 3.10 17.53 3.61 3.04
2.97 3.90 11.06 3.26 2.08 16.82 1.0 0.83 3.95 2.16 0.88
14.3 18 62.9 13.2 15 118.5 7 5 33 8.5 5.3
1.5 2.5 10.5 1 6 48 2.6 1.5 12 1 2
0.77** 0.74** 0.72** 0.61** 0.50** 0.62** 0.53** 0.33 0.24 0.54** 0.57**
Keterangan : r = koefisien korelasi, *) taraf kepercayaan 95 %, **) taraf kepercayaan 99 %
(r = 0.42) secara nyata (P<0.05) mempunyai korelasi positip terhadap berat tubuh. Tetapi sebagian besar ukuran-ukuran tubuh bandikut lainnya secara sangat nyata (P<0.01) memiliki korelasi yang sangat nyata terhadap berat badan bandikut. Artinya, semakin besar ukuran-ukuran bagian tubuh tersebut semakin tinggi pula berat tubuh
45
bandikut yang bersangkutan. Artinya ukuran tubuh tersebut mempunyai keeratan hubungan yang sangat tinggi terhadap berat badan bandikut. Gambaran morfometri bandikut berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil uji beda nyata terkecil (LSD) antara ukuran-ukuran tubuh bandikut jantan dan betina disajikan pada Lampiran 1. Pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa berat badan jantan (1 483.75 g), panjang badan tanpa kepala (26.66 cm), dalam dada (7.92 cm) dan tinggi badan depan bahu (12.2 cm) secara nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran pada betina secara berurutan adalah 850.71 g, 23.93 cm, 7.06 cm dan 10.63 cm. Sedangkan ukuran-ukuran tubuh bandikut jantan yang secara sangat signifikan (P<0.01) lebih tinggi dari ukuran betina adalah lingkar leher (15.47 cm), lingkar dada (23.63cm), tinggi badan belakang pinggul (13.19 cm), lingkar kaki depan (8.69 cm), lingkar kaki belakang (13.49 cm), panjang ekor (7.83 cm), panjang telapak kaki depan (3.48 cm) dan panjang telapak kaki belakang (6.46 cm) dan pada betina yaitu 13.89 cm, 20.95 cm, 11.22 cm, 7.36 cm, 11.79 cm, 6.74 cm, 2.89 cm dan 5.41 cm. Ukuran tubuh lainnya, terutama morfometri organ visceral tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) antara jantan dan betina. Tingginya beberapa ukuran pada tubuh jantan dibandingkan pada betina diduga karena ukuran-ukuran tersebut kecuali panjang ekor (Tabel 2) memiliki korelasi positif yang cukup tinggi terhadap berat badan, sedangkan berat badan jantan secara nyata lebih tinggi dibandingkan berat betina sehingga sangat erat sekali hubungannya, semakin berat tubuh akan cenderung semakin tinggi pula ukuran tubuh yang berkorelasi positif terhadap berat tubuhnya. Lebih tingginya berat badan bandikut jantan dari pada betina diduga karena faktor jenis kelamin. Menurut Devendra & Burns (1970), hewan jantan lebih besar dari betina. Gambaran morfometri bandikut berdasarkan jenis warna dada ditampilkan pada Tabel 4. Hasil uji beda nyata terkecil (LSD) antara ukuran-ukuran tubuh bandikut dada putih dan dada merah diperlihatkan pada Lampiran 2. Pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari hasil uji beda nyata terkecil (Lampiran 2), panjang moncong (4.76 cm), panjang kepala (9.84 cm) dan lebar
46
telinga bandikut dada putih secara sangat nyata (P<0.01) lebih panjang dan lebar dibandingkan dengan bandikut dada merah yaitu 3.77 cm, 8.23 cm dan 1.61 cm. Tabel 3 Rataan morfometri bandikut berdasarkan jenis kelamin Ukuran Tubuh Jantan Betina Rataan SD Rataan SD a b 1483.75 952.29 260.69 850.71 Berat badan (g) 4.55 3.99 Panjang badan+kpl (cm) 34.72 31.89 0.71 0.58 Panjang moncong (cm) 4.41 4.10 1.40 1.01 Panjang kepala (cm) 9.40 8.62 a b 3.53 2.86 Panjang badan (cm) 26.66 23.93 2.03 0.92 Lingkar leher (cm) 15.47A 13.89B A B 3.47 1.72 Lingkar dada (cm) 23.63 20.95 1.36 0.68 5.95 5.29 Lebar dada (cm) a b 1.28 0.87 Dalam dada (cm) 7.92 7.06 0.63 0.20 Panjang telinga (cm) 2.21 2.16 0.25 0.09 Lebar telinga (cm) 1.73 1.72 a b 2.05 1.70 Tinggi badan dpn bahu (cm) 12.2 10.63 2.32 1.54 Tinggi bdn blk pinggul (cm) 13.19A 11.22B A B 1.64 1.10 Lingkar kaki depan (cm) 8.69 7.36 1.61 1.77 Lingkar kaki belakang (cm) 13.49A 11.79B 2.65 2.92 Lingkar perut (cm) 23.88 21.93 1.20 1.10 Panjang ekor (cm) 7.83A 6.74B A B 0.55 0.50 Panj. telapak kaki dpn (cm) 3.48 2.89 6.46A 5.41B 0.89 0.52 Panj. Telapak kaki blk (cm) 1.52 1.38 0.37 0.35 Panj. kuku kaki depan (cm) 1.38 1.23 0.35 0.31 Panj. kuku kaki blk (cm) 1.25 1.18 0.45 0.30 Lebar telapak kaki dpn (cm) 1.45 1.39 0.43 0.32 Lebar telapak kaki blk (cm) Morfometri visceral Berat jantung (g) 5.02 4.14 2.74 1.87 Berat paru-paru (g) 8.01 7.36 4.42 3.13 Berat hati (g) 27.44 28.86 8.73 10.01 Berat ginjal (g) 2.82 3.36 1.26 2.75 panjang oesophagus (cm) 10.30 8.75 2.46 0.98 panjang usus halus (cm) 79.36 69.86 19.19 11.06 panjang ventriculus (cm) 4.69 3.91 1.04 0.92 panjang caecum (cm) 3.57 2.49 0.64 0.52 panjang colon (cm) 18.22 16.59 4.89 0.69 Berat limpa (g) 3.54 3.25 2.48 1.93 lebar ventriculus (cm) 3.38 2.73 1.01 1.64 *) superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) dan superskrip huruf besar pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01).
47
Panjang telinga (2.37 cm), panjang kuku kaki depan (1.64 cm) dan berat paruparu (9.99 g) secara nyata (P<0.05) lebih tinggi dari pada bandikut dada merah Tabel 4 Rataan morfometri bandikut berdasarkan jenis warna dada Ukuran Tubuh Dada Putih Dada Merah Rataan SD Rataan SD 1475.00 984.27 321.82 901.67 Berat badan (g) 35.40 4.35 3.71 31.40 Panjang badan+kpl (cm) A B 4.76 0.45 0.43 3.77 Panjang moncong (cm) 1.22 0.71 Panjang kepala (cm) 9.84A 8.23B 3.39 3.10 26.73 24.03 Panjang badan (cm) 2.35 0.90 Lingkar leher (cm) 15.03 14.43 2.64 3.22 Lingkar dada (cm) 23.07 21.60 1.26 0.85 6.03 5.25 Lebar dada (cm) 1.09 0.97 Dalam dada (cm) 8.09 6.94 0.32 0.54 Panjang telinga (cm) 2.37a 2.01b 0.15 0.16 Lebar telinga (cm) 1.83A 1.61B 1.91 1.81 Tinggi badan dpn bahu (cm) 12.33 10.61 2.47 1.38 Tinggi bdn blk pinggul (cm) 13.23 11.31 1.37 1.71 Lingkar kaki depan (cm) 8.33 7.81 1.53 2.03 Lingkar kaki belakang (cm) 13.30 12.09 2.66 2.74 Lingkar perut (cm) 24.13 21.80 1.30 0.93 Panjang ekor (cm) 7.89 6.71 0.56 0.50 3.50 2.91 Panj. telapak kaki dpn (cm) 0.77 0.93 6.25 5.69 Panj. Telapak kaki blk (cm) a b 0.21 0.39 1.64 1.27 Panj. kuku kaki depan (cm) 1.41 1.21 0.29 0.36 Panj. kuku kaki blk (cm) 1.21 1.17 0.42 0.38 Lebar telapak kaki dpn (cm) 1.45 1.39 0.38 0.38 Lebar telapak kaki blk (cm) Morfometri visceral Berat jantung (g) 6.24 3.79 3.49 1.60 Berat paru-paru (g) 9.99a 5.69b 4.13 2.09 Berat hati (g) 34.86 23.31 11.76 6.35 Berat ginjal (g) 5.05 2.53 4.01 1.06 panjang oesophagus (cm) 10.18 9.17 1.93 2.20 panjang usus halus (cm) 81.50 71.43 18.62 13.42 panjang ventriculus (cm) 4.91 3.77 0.97 0.64 panjang caecum (cm) 2.47 3.73 0.90 0.70 panjang colon (cm) 19.04 15.78 0.60 0.58 Berat limpa (g) 4.24 2.86 4.68 1.81 lebar ventriculus (cm) 3.31 2.79 2.28 1.83 *) superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) dan superskrip huruf besar pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01).
48
yang secara berurutan ukuran tersebut adalah 2.01 cm, 1.27 cm dan 5.69 g. Ukuranukuran tubuh lainnya relatif sama tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (P>0.05) antara bandikut dada putih dan bandikut dada merah. Ukuran tubuh yang berbeda secara signifikan ini dapat pula digunakan sebagai salah satu penciri untuk membedakan kedua jenis bandikut tersebut. Disamping itu, tingginya ukuran panjang moncong dan panjang kepala serta telinga dapat diduga bahwa bandikut dada putih memiliki penciuman dan pendengaran yang lebih tajam dari bandikut dada merah. Menurut Petocz (1994), moncong yang panjang menunjukkan indra penciumannya yang tajam. Sedangkan lebih panjangnya kuku kaki depan dan lebih beratnya paru-paru dapat mengindikasikan bahwa bandikut dada putih lebih tahan dan kuat dalam melakukan aktifitas hidupnya dibandingkan bandikut dada merah. Panjang kuku kaki depan bandikut dada merah yang lebih pendek dibandingkan pada bandikut dada putih, diduga bandikut dada merah lebih aktif sehingga kuku kaki depannya menjadi aus karena banyak digunakan untuk aktivitas, seperti berkelahi dan menggali tanah untuk mencari makanan dalam tanah. Tingkah Laku dan Konsumsi Pakan Bandikut Tingkah Laku Bandikut Studi tingkah laku dan interaksi sosial di dalam kandang dari bandikut jenis ini (Echymipera kalubu) belum banyak informasi. Beberapa peneliti Australia melaporkan bandikut jenis Eastern barret (perameles gunii) yang ditempatkan di dalam kandang tidak dapat bertahan hidup lama juga tidak dapat bereproduksi (Murphy, 1993). Kajian
tingkah laku bandikut jenis ini (Echymipera sp.) yang
ditempatkan di dalam kandang merupakan bagian dari upaya budidaya. Pengamatan bandikut di lingkungan kandang dilakukan pada malam hari sesuai kebiasaan bandikut sebagai hewan nokturnal. Delapan ekor bandikut ditempatkan dalam 8 kandang individu dengan ukuran setiap kandang adalah
2x1,8x1,5m. Lama
pengamatan setiap individu dilakukan selama 3 hari. Tingkah laku yang diamati dalam penelitian ini meliputi tingkah laku makan, minum dan grooming serta aktifitas lain yang dapat diamati.
49
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa waktu aktifitas bandikut di mulai pada jam 18.05 – 18.55 dan mulai masuk sarang terakhir pada jam 01.39 – 04.20 subuh. Pada siang hari, bandikut sama sekali tidak melakukan aktifitas, hanya terdengar sekali-sekali suara garukan cakar membersihkan rambut (grooming) dan decak mulut seperti mengecap makanan, diduga suara tersebut adalah suara bandikut sedang makan makanan (pisang) sisa dari makanan yang di bawa ke sarang. Bandikut yang baru pertama dimasukkan di dalam kandang pemeliharaan membutuhkan waktu 1-2 hari untuk keluar sarang. Waktu pertama bandikut ditempatkan dalam kandang yang dilengkapi sarang, secara naluri bandikut beberapa lama kemudian akan membuat lubang sarang tempat untuk keluar masuk sarangnya. Pembuatan lubang sarang dilakukan oleh moncongnya dengan mengatur rumput atau daun kering yang ada di dalam sarang sehingga membentuk lubang (Gambar 13). Flannery (1995a) melaporkan bahwa pada habitatnya di alam, terdapat 3 tipe sarang yang dapat ditemukan, yaitu (1) berupa lubang dangkal dengan 2 lubang tempat masuk dan panjang sekitar 4 meter, (2) lubang pada batang pohon yang tumbang dan lapuk dan (3) pada tumpukan daun atau rumput kering. Sebelum keluar
Lubang sarang dari samping
Lubang sarang dari depan
Gambar 13 lubang sarang tempat keluar masuk yang dibuat bandikut. sarang bandikut akan mengendus menyelidik dengan moncongnya keluar di permukaan sarang berputar ke segala arah, sambil mengangkat kedua kaki depan dan sering terdengar suara mengendus-endus. Setelah merasa aman barulah bandikut
50
keluar sarang dengan melompat secara perlahan-lahan dan selanjutnya melakukan aktifitas di luar sarang secara naluri. Bila merasa tidak aman misal terdengar aktifitas orang atau hewan lain maka bandikut akan bersembunyi masuk sarang kembali sambil menunggu saat yang tepat untuk keluar sarang Durasi dan frekuensi aktifitas makan, minum dan grooming bandikut di dalam kandang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5
Rataan durasi dan frekuensi makan, minum dan grooming bandikut di dalam kandang Waktu
Aktifitas
Jam 18.00 – 22.00 Durasi (detik) frek
Makan Minum Grooming
197.83696.9 58.696 73.7 53.60636.7
4 2 1.5
Jam 22.00 – 02.00 Durasi (detik) frek
60.17628.1 34.04627.7 35.43610.2
2 2 1.6
Jam 02.00 – 06.00 Durasi (detik) frek
46.31624.1 21.0668.4 62.43623.2
1.4 1.3 1.75
Tabel 5 memperlihatkan bahwa waktu yang paling banyak digunakan bandikut untuk aktifitas makan (197.83 detik), minum (58.69 detik) dan grooming atau membersihkan diri (53.6 detik) dengan frekuensi masing-masing 4, 2 dan 1.5 kali adalah pada periode waktu antara jam 18.00 sampai 22.00. Periode waktu jam 22.00 sampai jam 02.00 menunjukkan semakin menurun tetapi waktu untuk membersihkan diri (grooming) (62.43 detik) dengan frekuensi (1.75) meningkat pada periode waktu jam 02.00 sampai masuk sarang kembali dan istirahat. Kecenderungan lebih lama waktu yang digunakan bandikut untuk makan pada periode waktu jam 18.00 – 22.00 dibandingkan periode waktu tengan malam (jam 22.00 – 02.00) dan subuh (jam 02.00 – 06.00) disebabkan bandikut sudah merasa lapar karena pada siang hari hanya berada di dalam sarang. Waktu subuh (jam 02.00 – 06.00) bandikut sudah merasa kenyang dan banyak waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan diri (grooming) sebelum masuk kembali ke dalam sarang sampai malam berikutnya. Rata-rata dalam semalam waktu yang dibutuhkan oleh seekor bandikut dewasa untuk makan adalah 304.31 detik atau 5 menit 42 detik dengan frekuensi 7.4 kali, untuk minum 113.79 detik atau 1 menit 54 detik dengan frekuensi 5.3 kali dan waktu untuk grooming dibutuhkan selama 151.46 detik atau 2 menit 32 detik dengan frekuensi 4-5 kali.
51
Total waktu yang digunakan untuk aktifitas makan, minum dan grooming adalah 9 menit 30 detik (1.32 %). Waktu yang digunakan untuk makan, rata-rata lebih lama dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk minum dan grooming. Keadaan ini sama dengan hasil penelitian Murphy (1993) terhadap tingkah laku eastern barred bandicoot di dalam kandang penangkaran. Selanjutnya dilaporkan bahwa waktu untuk foraging meningkat tiga kali ketika pakan ditahan (tidak disediakan) dibandingkan bila pakan disediakan di dalam kandang. Selama semalam rata-rata seekor bandikut dewasa kembali masuk ke sarang sebanyak 3-4 kali dengan lama waktu di dalam sarang 309.13 menit atau 5 jam 9 menit (42.93 %). Jadi sebagian besar waktu (55.75 %) aktifitas bandikut di dalam kandang banyak digunakan untuk aktifitas lain seperti mencari makanan lain di dalam kandang (foraging) dengan cara mengendus dan menggaruk lantai, menjilati semut yang ada dan mengelilingi kandang mencari jalan untuk keluar kandang dengan cara berjalan keliling kandang, melompat, merayap di kawat ram dan mencongkel dinding pembatas dengan cakarnya yang tajam dan kuat. Hal ini diduga bandikut yang dipelihara belum bisa beradaptasi dengan baik pada lingkungan kandang dan pakan yang disediakan sehingga terlihat waktu yang digunakan untuk makan pakan yang disediakan , minum dan grooming hanya sedikit yaitu 1.32 %. Lebih banyak waktu yang digunakan untuk berusaha lepas dan foraging sebanyak 55.75 % dan waktu untuk bersembunyi atau berlindung di dalam sarang (shelter seeking) sebesar 42.93 %. Secara naluri bandikut yang keluar sarang sambil mengendus-endus mencari makanan dan mendekat ke arah tempat pakan. Bandikut akan mengandalkan alat indra penciuman untuk mencari makanan atau mendeteksi keadaan sekelilingnya. Cara makan bandikut yaitu dengan dibantu kedua tungkai kaki depan untuk menahan makanan yang akan dimakan kemudian mulutnya dimajukan untuk mengambil atau menggigit makan dengan mengunyah 1-2 kali sambil mendorong makanan masuk dan menelannya. Kadang-kadang juga dibantu kedua kaki depannya untuk mengambil dan memasukkan kedalam mulut, mirip cara makan kanguru, kelinci dan tikus. Cara mengambil makanan ada yang langsung makan di tempat pakan tetapi ada juga yang dilakukan dengan cara mengabil makanan dari tempat pakan kemudian di
52
bawa ke tempat yang dirasa aman atau di bawa ke tempat sarang kemudian baru di makan di tempat tersebut. Posisi mengambil makanan tidak selalu tetap tapi tergantung posisi jenis pakan yang disukai atau dipilih dan tempat yang dianggap nyaman. Aktifitas makan ini akan diulangi lagi setelah minum atau setelah masuk dan keluar dari sarang lagi. Rata-rata bandikut akan kembali makan setelah 21 menit sampai 174 menit kemudian. Aktifitas minum biasa dilakukan setelah bandikut mengkonsumsi pakan atau setelah foraging (mencari makanan lain di sekitar kandang) atau setelah grooming (membersihkan tubuh) sebelum masuk kembali ke dalam sarang. Cara minum bandikut dilakukan dengan cara mulut didekatkan ke air yang ada di tempat air minum kemudian dengan menggunakan lidah air dimasukkan ke dalam mulut, mirip seperti cara minum sapi atau anjing. Aktifitas membersihkan tubuh (grooming) biasa dilakukan pada saat setelah selesai aktifitas makan atau minum atau menjelang istirahat sebelum masuk kembali ke dalam sarang. Cara bandikut membersihkan diri dilakukan misal sehabis makan atau minum atau foraging maka bagian moncong atau mulut akan dibersihkan dengan dibantu oleh kedua kaki depan yang mengusap-usap mulut atau moncongnya yang kotor. Tingkah laku untuk membersihkan ke empat tungkai kakinya dilakukan dengan cara menjilati pada bagian kaki yang kotor atau terluka. Bila ada kotoran yang menempel pada bulu tubuhnya atau merasa gatal oleh ektoparasit, maka cara bandikut melakukan grooming dengan menggunakan salah satu tungkai kaki belakang pada jari kedua dan ketiga yang berfungsi sebagai sisir untuk menggaruknya. Aktifitas lain yang sempat teramati adalah cara bandikut melakukan foraging, istirahat, berkelahi (aggression) dan eliminasi (buang feses dan urin). Aktifitas foraging atau mencari makanan lain yaitu dilakukan dengan cara mengendus-endus tempat yang dicurigai ada makanan atau serangga yang bisa di makan dan kemudian kedua kaki depan bandikut akan menggaruk-garuk dengan kukunya yang tajam, panjang dan kuat. Apabila terdapat celah atau lobang kecil maka bandikut akan berusaha keras untuk bisa masuk. Pada saat aktifitas ini badan bandikut bisa terputar lentur sampai 1800. Cara bandikut beristirahat yaitu dilakukan dengan cara tubuh
53
dibaringkan di atas tumpukan alas rumput atau daun kering yang tersedia di dalam sarang dan badan dibengkokkan sampai tungkai kaki depan bersinggungan dengan tungkai kaki belakang kemudian kepala dimasukan di antara kedua paha kaki belakang (Gambar 14).
Gambar 14 Posisi bandikut saat tidur. Sifat agresifitas perkelahian bandikut terjadi dikarenakan salah satu bandikut berhasil menerobos sekat ke kandang sebelahnya. Cara bandikut berkelahi yaitu dilakukan dengan cara kedua kaki depan dicakarkan berkali-kali secara bersamaan dibarengi dengan suara dengusan beeuusss…beeuuss…sambil berdiri, bila keduanya saling berhadapan, kedua kaki belakang sebagai penumpu kuda-kuda dan hanya sekali-kali digunakan untuk menendang. Tapi bila pada posisi salah satu menyamping maka akan dilanjutkan dengan gigitan ke arah punggung leher.
Moncong
menyeringai dan bulu punggung sedikit berdiri. Perkelahian akan berakhir setelah salah satu merasa kalah dan lari menghindar, meskipun yang dominan mengejar namun
masih
tidak lama selama masih bisa menghindar. Bila tidak bisa
menghindar maka bandikut yang kalah akan dilukai dan dibunuh atau sering pula dimakan (ada sifat kanibal). Bandikut melakukan eliminasi atau membuang kotoran (feses dan urin) biasa dilakukan diluar sarang pada waktu dan tempat yang tidak teratur. Sebelum feses dikeluarkan, bandikut akan mengendus tempat yang akan dipilih kemudian bandikut diam sambil punggung agak melengkung dan pantat didekatkan ke lantai kandang
54
sambil merejan. Feses akan keluar mirip kotoran kucing, bisa lembek bisa agak keras tergantung pakan yang dikonsumsi. Posisi bandikut saat kencing sama dengan posisi bandikut waktu buang feses. Hal ini mungkin karena lubang akhir pembuanganya antara alat pencernaan, alat reproduksi dan alat ekresi berada pada satu tempat yaitu di kloaka. Konsumsi Segar dan Preferensi Pakan Bandikut Jumlah makanan yang dimakan oleh ternak atau hewan dan tingkat kesukaan terhadap suatu bentuk pakan baru dapat diukur dari besarnya
pakan yang di
konsumsi. Jenis pakan yang diberikan pada pengamatan ini adalah pisang susu sebagai salah satu pakan alami dan pakan konsentrat sebagai bentuk pakan baru yang diberikan secara bergantian pada kondisi kandang gelap dan terang. Sebelum diberikan pakan percobaan tersebut, pada pengamatan awal bandikut dicobakan dengan beberapa jenis pakan alami antara lain belalang, cacing tanah, pisang, jambu biji masak, papaya, kacang tanah ikan dan pakan konsentrat. Bahan pakan yang paling disukai hanya pisang, cacing tanah dan belalang. Pisang dipilih sebagai pakan dalam percobaan ini untuk mempermudah pengadaan bahan pakannya. Bobot tubuh bandikut yang digunakan di dalam percobaan berkisar antara 350 – 2 020 g dengan rataan 938.756598.96 g. Rataan konsumsi pakan pada kondisi kandang gelap dan terang ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Rataan konsumsi pakan segar bandikut pada kondisi kandang gelap dan terang (g/ekor/hari)) Jenis Pakan N Gelap Terang Pakan alami (pisang) 8 46.14622.38 39.27621.04 Alami + konsentrat 8 50.69611.73 47.58615.11 Konsentrat 8 19.0069.58 21.8464.52 Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kondisi kandang terang (penerangan lampu) konsumsi segar pakan bandikut menjadi turun, baik pada pemberian secara sendirisendiri (pakan tunggal) maupun bila diberikan secara campuran (konsentrat dan pakan alami). Hal ini diduga karena berkaitan dengan sifat alami dari bandikut
55
sebagai hewan nokturnal yang aktif pada malam hari dan biasa dengan kondisi gelap saat mencari makanan. Konsumsi segar pakan alami juga cenderung menurun bila diberikan secara tunggal, pada kondisi kandang gelap yaitu 46,14g/e/h atau 11,07g BK/e/h dan pada kondisi kandang terang menjadi 39,27g/e/h atau 9,42g BK/e/h. Namun demikian bandikut bisa mengkonsumsi pakan konsentrat walaupun sedikit yaitu 19 g/e/h atau 14,73g BK/e/h pada kondisi kandang gelap dan meningkat menjadi 21.84 g/e/h atau 16.93g BK/e/h pada kondisi kandang terang. Hal ini diduga bandikut sudah mulai terbiasa dengan pakan konsentrat dan pada kondisi kandang terang kemungkinan bandikut merasa hari hampir fajar dan masih merasa lapar sedang pakan yang tersedia hanya konsentrat sehingga untuk memenuhi kebutuhannya maka konsumsi pakan konsentratnya menjadi bertambah. Pakan konsentrat yang diberikan disini dalam bentuk sedikit hancur dalam butiran yang agak kecil dan tidak keras tetapi sedikit remah. Pada pengamatan awal, diketahui bahwa bandikut lebih menyukai pakan yang sedikit basah, lembek dan agak manis. Keadaan tersebut mungkin sesuai dengan struktur giginya. Konsumsi paling tinggi yaitu pada pemberian pakan campuran dimana pakan alami (pisang) dan konsentrat yang diberikan secara bersamaan sebesar 50.69 g/e/h atau 20.61g BK/e/h pada kondisi kandang gelap dan 47.58 g/e/h atau 17,55g BK/e/h pada kondisi kandang terang bila dibandingkan bila diberikan pakan secara tunggal baik hanya berupa pakan alami ataupun konsentrat saja. Keadaan ini menunjukkan bahwa variasi ransum dapat meningkatkan jumlah konsumsi segar bandikut. Rataan tingkat kesukaan (palatabilitas) atau preferensi bandikut terhadap pakan konsentrat dibandingkan pakan alami disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Rataan preferensi konsumsi pakan segar bandikut Jenis Pakan N Gelap Terang g/e/hr % g/e/hr % Pakan alami (pisang) 8 68.89 75.98 34.92612.09 36.15613.97 Konsentrat 8 31.11 24.02 15.7764.9 11.4462.61 Alami + konsentrat 8 100 100 50.69611.73 47.58615.11
56
Pada Tabel 7 nampak dari konsumsi pakan campuran (pakan alami/pisang dan konsentrat) yang diberikan secara terpisah dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan bandikut terhadap pakan konsentrat sebesar 31.11 % pada kondisi kandang gelap dan 24.02 % pada kondisi kandang terang.
Keadaan tersebut dapat sedikit
menggambarkan bahwa ada harapan bandikut bisa dibudidayakan dengan pakan konsentrat secara bertahap sehingga dalam upaya pengembangannya dapat dioptimalkan. Konsumsi bahan kering dan zat gizi pakan Konsumsi merupakan jumlah makanan yang dimakan berhubungan erat dengan sifat fisik atau kimiawi makanan, berat badan dan sifat fisiologis hewan. Tingkat kecernaan konsumsi dapat menggambarkan tingkat kualitas pakan dan menentukan produksi hewan yang bersangkutan. Percobaan ini hanya menggunakan pakan kosentrat selama 4 minggu. Hasil pengukuran konsumsi bahan kering dan zat gizi pakan selama percobaan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Rataan konsumsi bahan kering dan zat gizi lainnya Peubah Konsumsi bahan kering dan zat gizi (g/e/h) Jantan Betina Bahan kering 30.1866.54 30.1266.32 Protein kasar 9.956 2.16 9.936 2.08 Lemak kasar 6.416 1.39 6.396 1.34 Serat kasar 2.046 0.44 2.046 0.43 Bahan ekstrak tanpa N 18.0563.91 18.0263.78 Abu 2.486 0.54 2.476 0.52 Calsiun 0.586 0.13 0.586 0.12 Phospor 0.216 0.04 0.216 0.04 Gross Energy (kal/g) 157.52 634.15 157.21632.98 Pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa konsumsi bahan kering dan zat gizi antara bandikut jantan dan betina cenderung tidak berbeda. Hal ini diduga disebabkan oleh berat badan bandikut yang digunakan di dalam percobaan ini relatif sama dan kandungan gizi atau kualitas pakan yang digunakan juga sama. Rata-rata bobot badan awal bandikut jantan adalah 1 223,36266,3 g dan betina 1 263,3615,27 g. Konsumsi bahan kering pakan berkaitan erat dengan karakteristik ternak, seperti berat badan,
57
tingkat produksi dan karakteristik pakan, seperti kandungan nutrisi. Semakin meningkatnya berat badan dan produksi ternak, relatif akan meningkatkan konsumsi. Menurut Parakkasi (1999) tingkat konsumsi seekor ternak atau hewan dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks, yang terdiri dari faktor ternak, makanan dan lingkungan. Jumlah bahan kering yang dikonsumsi oleh bandikut jantan sebesar 30.1866.54 g/ekor/hari dan betina 30.1266.32 g/ekor/hari ini merupakan 3.05 % dari bobot badan bandikut jantan dan 3.04 % dari berat badan bandikut betina. Besar konsumsi bahan kering bandikut tersebut tidak jauh berbeda dengan konsumsi bahan kering tikus ekor putih yaitu 3.46 % dari berat badan (Wahyuni, 2005), napu 3.78 % (Arifin, 2004), kancil 3.40 - 4.93 % (Putrawan, 2005; Nolan et al. 1995; Hawa et al. 1993), kambing 2.16 – 2.78 % (Damshik, 2001), rusa 3.0 – 3.50 %, domba 3.0 – 3.90 % dan sapi 2.10 – 3.06 % (Crampton and Harris, 1969). Banyak factor yang berinteraksi sebagai penyebab variasi konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering dan zat gizi tersebut dipengaruhi banyak faktor yang saling berinteraksi, diantaranya antar hewan tersebut, seperti aspek anatomi, status fisiologi, bobot badan, tingkat produksi, kandungan nutrisi dan palatabilitas. Peningkatan konsumsi bahan kering pakan sangat ditentukan oleh kapasitas alat pencernaan dari satwa tersebut. Satwa akan berhenti makan bila alat pencernaannya dan atau kebutuhan energinya telah terpenuhi. Konsumsi pakan bandikut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti komposisi kimia, jumlah kalori, bentuk fisik, palatabilitas, lingkungan, jumlah dan variasi makanan, bobot tubuh dan kondisi fisiologis yang baik. Rataan bobot badan bandikut jantan pada minggu 0,1, 2, 3 dan 4 secara berurutan adalah 1 223.3 g, 1 140 g, 1 023.3 g, 843.3 g, 716.7 g, sedangkan bobot betina adalah 1 263 g, 1 150 g, 1 000 g, 843.3 g, 700 g. Keadaan bobot badan bandikut ini menunjukkan semakin menurun dan akhirnya ada yang mati. Kondisi tersebut juga diikuti oleh penurunan konsumsi bahan kering. Rataan konsumsi bahan kering pada minggu 0, 1, 2, 3 dan 4 yaitu pada jantan 37.77 g, 33.91 g, 27.64 g, 21.40 g dan pada betina 37.22 g, 34.04 g, 27.71 g, 21.51 g. Penurunan konsumsi bahan
58
kering ini seiring dengan penurunan bobot badan yang terjadi pada bandikut. Hal ini disebabkan bandikut masih mengalami stress terhadap lingkungan, terutama lingkungan kandang. Keadaan yang sama juga terjadi pada beberapa peneliti di Australia yang melaporkan bahwa bandikut jenis Eastern barret (perameles gunii) yang ditempatkan di dalam kandang tidak dapat bertahan hidup lama juga tidak dapat bereproduksi (Murphy, 1993). Karakteristik Karkas dan Distribusi Daging Bandikut Produk karkas terutama daging dari seekor hewan budidaya merupakan salah satu produk suatu industri peternakan. Bandikut adalah salah satu satwa harapan sebagai penghasil daging yang telah dikenal oleh masyarakat Papua. Karkas bandikut diperoleh setelah pemisahan tubuh dengan darah, kulit, kepala, keempat kaki batas carpus dan tarsus, ekor dan isi rongga dada dan rongga perut terkecuali ginjal, sesuai petunjuk Berg & Butterfield (1976), Ensminger (1978) dan Blakely & Bade (1985). Karkas dan potongan karkas bandikut mengacu pada potongan karkas kelinci, karkas dibagi menjadi 4 potongan utama yaitu kaki depan (shank dan shoulder), dada (rack dan breast), pinggang (loin dan flank) dan kaki belakang (hind leg) (Blasco et al., 1993). Sedangkan daging bandikut diperoleh dari hasil pemisahan antara bagian karkas atau potongan karkas dengan tulang dan lemak. Karakteristik Karkas Bandikut Karakteristik dan komponen karkas bandikut berdasarkan warna dada dan jenis kelamin ditampilkan pada Tabel 9. Hasil analisis ragam dan uji-t (LSD) disajikan pada Lampiran 3a dan 3b. Hasil uji LSD (Lampiran 3a dan 3b) memperlihatkan bahwa secara umum karkas dan potongan karkas bandikut jantan secara nyata (P < 0.05) lebih tinggi dari pada bandikut betina, kecuali berat potongan karkas bagian kaki belakang dan luas otot mata rusuk (longissimus dorsi) pada tulang rusuk 12 dan 13 yang relatif sama (P > 0.05) antara jantan dan betina. Berdasarkan warna dada, produksi karkas dan
59
potongan karkas antara bandikut dada putih dan bandikut dada merah tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P > 0.05). Tabel 9 Rataan berat karkas dan potongan karkas bandikut berdasarkan jenis kelamin dan warna dada. Jenis kelamin Karkas (1)
Jantan (2)
Betina (3)
1 252a ±384.59 948b±213.99 Berat Mati (g) Karkas panas - berat (g) 890 a±299.50 619 b±148.13 - persentase (%) 70.48 a±3.54 65.13 b±2.86 Karkas dingin - berat (g) 820.05 a±92.51 572.11b±143.52 - persentase (%) 64.51 a±4.78 60.08 b±2.79 Fore leg (shoulder+shank) - berat (g) 252.43 a±97.67 167.52 b±40.34 - persentase (%) 19.74 a±1.98 17.64 b±0.89 a - berat daging (g) 184.09 ±73.58 119.71b±29.83 - meat:bone 2.68 a ±0.37 : 1 2.56 a±0.31 : 1 Karkas dada (breast+rack) - berat (g) 74.34 a ±29.93 50.43 b±15.82 a 5.80 ±0.74 5.25 a±0.63 - persentase (%) 37.65 b ±12.11 - berat daging (g) 59.09 a±25.91 a 3.83 ±0.86 : 1 2.97 b±0.55 : 1 - meat:bone Karkas pinggang (loin+flank) 174.10 a±17.84 123.14 b±24.02 - berat (g) 13.91a±1.47 13.10 a±1.05 - persentase (%) - berat daging (g) 144.70 a±50.60 100.35 b±19.98 4.83 a±0.89 : 1 4.59 a±0.44 : 1 - meat:bone Hind leg 318.42a±119.09 231.02 a ±67.25 - berat (g) 25.00 a±3.31 24.09 a±2.49 - persentase (%) - berat daging (g) 253.37 a±97.25 178.77 b±50.49 3.86 a±0.59 : 1 3.47 a±0.31 : 1 - meat:bone Luas mata rusuk 0.80 a±0.55 0.45 a±0.14 (inch2) Keterangan : Superskrip (P<0.05).
Warna dada Putih (4)
Merah (5)
1 198±358.32
1 002±308.72
821±289.46 67.82±3.83
688±242.66 67.78±4.69
760.7±273.64 631.46±368.90 62.72±3.77 61.87±5.19
227.10±92.17 18.58±1.74 162.18±68.11 2.54±0.26 : 1
192.85±77.62 18.80±2.02 141.62±61.09 2.7±0.4 : 1
67.2±29.43 5.46±0.79 51.32±25.77 3.17±0.91 : 1
57.57±23.37 5.59±0.70 45.38±19.71 3.63±0.72 : 1
155.44±49.84 12.99±0.98 127.31±44.77 4.84±0.67 : 1
141.80±51.19 14.02±1.44 117.74±44.70 4.79±0.74 : 1
310.2±110.08 25.63±2.76 242.16±89.09 3.56±0.41 : 1
239.24±89.63 23.46±2.72 189.98±75.16 3.77±0.58 : 1
0.69±0.48
0.55±0.38
yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
60
Tabel 9 menunjukkan bahwa berat dan persentase karkas panas (890 g dan 70.48 %) maupun karkas dingin (820.05 g dan 64.51 %) bandikut jantan secara nyata (P<0.05) lebih tinggi dari betina (619 g, 65.13 % dan 572.11 g, 60.08 %). Pada potongan karkas kaki depan (shoulder dan shank) bandikut jantan, berat dan persentase potongan karkas serta berat daging (252.43 g, 19.74 %, 184.09 g) secara nyata (P < 0.05) lebih besar dari betina (167.52 g, 17.64 %, 119.71 g), tetapi mempunyai rasio daging tulang yang relatif sama (P > 0.05). Potongan karkas bagian dada (breast dan rack) menunjukkan pada bandikut jantan, berat potongan karkas dada (74.34 g) dan berat dagingnya (59.09 g) serta rasio daging tulang (3.83 : 1) yang bermakna lebih besar (P < 0.05) dari betina (50.43 g, 37.65 g; 2.97 : 1), namun persentase karkas dada tidak bermakna ((P > 0.05). Potongan karkas pinggang (loin dan flank) pada bandikut jantan menunjukkan berat potongan karkas dan berat daging (174.10 g dan 144.70 g) secara nyata (P < 0.05) lebih besar dari betina (123.14 g dan 100.35 g), tetapi persentase potongan karkas pinggang dan ratio daging tulang yang relatif sama (P > 0.05) dengan potongan karkas bagian pinggang bandikut betina. Pada potongan karkas kaki belakang, bandikut jantan mempunyai berat daging potongan karkas bagian kaki belakang (253.37 g) secara nyata (P < 0.05) lebih banyak dari pada bandikut betina (178.77 g), namun berat dan persentase potongan karkas pinggang serta ratio daging tulang relatif sama (P > 0.05) antara bandikut jantan dan betina. Sedangka luas otot mata rusuk (otot longissimus dorsi) antara tulang rusuk 12 dan 13 pada bandikut jantan (0.80 inch2 ) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P > 0.05) dengan luas mata rusuk bandikut betina (0.45 inch2). Rataan besar nilai luas otot mata rusuk ini dapat mencerminkan bahwa secara dimensional perototan karkas bandikut jantan relatif lebih mascling dibandingkan yang betina. Beberapa peneliti melaporkan bahwa makin luas otot mata rusuk menunjukkan makin besar bobot karkasnya dengan nilai korelasi partial pada sapi sebesar 0.5 (Preston dan Willis, 1982). Keadaan tersebut di atas dapat menggambarkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, konformasi tubuh bandikut jantan lebih besar dan kompak ke arah depan dari batas pinggang, sedangkan tubuh bandikut betina ke arah depan lebih ramping.
61
Tingginya produksi karkas bandikut jantan dibandingkan bandikut betina disebabkan berat bandikut jantan (1 252 g) lebih besar dari pada bandikut betina (948 g). Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah karkas yang mampu dihasilkan oleh seekor ternak atau hewan sangat berkaitan erat dengan bobot badan. Sebab peningkatan bobot badan akan diikuti pula dengan meningkatnya bobot karkas (Leche,1973). Menurut Forrest at al. (1975) dan Berg & Butterfield (1976), persentase karkas meningkat seiring dengan peningkatan bobot potong. Sedangkan berdasarkan warna dada, konformasi tubuh bandikut dada putih dan dada merah tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini diduga kedua jenis bandikut yang digunakan dalam materi penelitian ini masih dalam satu spesies yaitu Echymipera kalubu. Gambaran produksi karkas bandikut dan beberapa jenis ternak atau hewan lain tercantum di dalam Tabel 10. Tabel 10 Persentase karkas bandikut dan beberapa jenis ternak atau hewan lain (%) Jenis Hewan Rataan Maksimum Minimum Bandikut 74.59 60.98 67.8064.17 1 Tikus hutan 57.6761.15 Tikus budidaya 1 62.1963.62 2 Kancil 55.68 47.14 52.03 Napu 3 61.94 55.65 59.31 Sapi Madura 4 49.25 44.44 46.8861.34 4 Sapi Bali 55.48 51.78 53.6160.82 Sapi Sumba Ongole 4 46.67 41.63 43.6261.32 5 Kambing Kacang 44.22 40.72 42.46 Kambing PE 6 49.76 43.37 46.65 7 Domba 57.00 45.00 52.00 Babi 7 77.00 68.00 72.00 8 Ayam pedaging 73.70 66.50 71.25 Sumber :
1 6
Wahyuni (2005); 2 Rosyidi (2005); 3 Arifin (2004); 4 Warsono (1994); 5 Damsyik (2001); Rosyidi (1992); 7 Boggs et al. (1998); 8Rose (1997).
Pada Tabel 10 tampak bahwa persentase karkas bandikut (67.80 %) lebih tinggi dibandingkan dengan persentase karkas hewan lainnya, kecuali pada babi (72 %). dan ayam pedaging (71.25 %). Lebih tingginya persentase karkas babi dan ayam pedaging tersebut mungkin disebabkan pada babi dan ayam
tidak dilakukan pengulitan
62
melainkan dilakukan pengerikan bulu (pada babi) dan pencabutan bulu (pada ayam). Pengerikan bulu bandikut dengan cara pembakaran bulu dan pencelupan kedalam air panas yang pernah dilakukan menghasilkan persentase karkas bandikut yang lebih tinggi yaitu 74.5 % - 80.52 %. Pada masyarakat Papua biasa melakukan dengan cara pembakaran bulu dan tidak dengan cara pengulitan, karena kulitnya cukup tipis dan lunak. Cara pembakaran bulu lebih cepat dan praktis tetapi meninggalkan bau tajam yang kurang enak pada karkas. Sedangkan pengerikan bulu dengan cara pencelupan ke dalam air panas terlebih dahulu, bau karkas bandikut kurang tajam namun memerlukan waktu yang lebih lama. Meskipun dengan cara pengulitan, ternyata persentase karkas bandikut masih lebih tinggi dari ternak budidaya yang lain. Keadaan tersebut bisa berarti bandikut berpotensi untuk dijadikan sebagai alternatif hewan penghasil daging. Menurut Williamson & Payne (1993), pada umumnya satwa liar menghasilkan karkas dengan persentase lebih tinggi. Penampilan karkas seekor ternak dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan atau interaksi keduanya. Selanjutnya Soeparno (1992) juga mengemukakan bahwa bangsa ternak dapat menghasilkan karkas dengan karakteristinya sendiri dan di dalam bangsa ternak yang sama, komposisi karkas dapat berbeda. Hal ini menegaskan bahwa tinggi rendahnya pesentase karkas yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perlemakan, kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi serta bobot organ visceranya. Kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi pakan yang lebih besar akan menyebabkan deposisi lemak karkas lebih besar pula. Deposisi lemak dapat berupa lemak subkutan, lemak visera, lemak intermuskuler dan lemak marbling. Partisi lemak tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam pertumbuhan otot dan mempengaruhi komposisi karkas hewan, termasuk perbedaan persentase karkas antar hewan. Distribusi Potongan Karkas dan Daging Bandikut Distribusi bobot daging pada potongan karkas dan bobot potongan karkas terhadap bobot karkas dan bobot total daging bandikut berdasarkan jenis kelamin dan
63
jenis warna dada disajikan pada Tabel 11. Hasil analisis peragam disajikan pada Lampiran 4a, 4b dan 4c. Tabel 11 Distribusi bobot daging potongan karkas (Y) dan bobot potongan karkas (Y) terhadap bobot karkas (X) dan bobot total daging (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda. Komponen Jenis kelamin Warna dada Jantan Betina Merah putih Potongan karkas terhadap bobot karkas (g)
Kaki depan Dada Pinggang Kaki belakang
---------------------- 696,08 g -------------------
212,84 61,89 152,42 268,35
Daging potongan karkas terhadap bobot karkas (g)
Kaki depan Dada Pinggang Kaki belakang
214,12 64,11 153,93 263,81
205,83 60,66 143,31 285,63
---------------------- 696,08 g -------------------
154,66 48,72 125,65 215,10
Daging potongan karkas terhadap bobot total daging(g)
Kaki depan Dada Pinggang Kaki belakang
207,11 62,88 144,82 281,09
149,14 47,98 119,40 221,04
157,7a 50,99 128,46 210,50
146,10b 45,71 116,59 224,64
---------------------- 540,34 g -------------------
153,41 48,28 124,77 214,38
150,39 48,42 120,28 221,76
155,55 50,24 127,03 207,52a
148,25 46,46 118,02 227,62b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang beda dalam satu baris menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Hasil analisis peragam (Lampiran 4a, 4b dan 4c) distribusi
berat daging
potonganan karkas terhadap berat karkas yang sama menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara bandikut jantan dan betina, tetapi berbeda secara signifikan (P<0.05) antara bandikut berdada merah dan putih. Berat daging potongan karkas bagian kaki depan bandikut berdada merah (157,7 g) secara bermakna (P<0.05) lebih tinggi dari pada
berat daging potongan karkas kaki depan
bandikut berdada putih (146,10 g). Sebaliknya, distribusi berat daging potonganan karkas terhadap berat total daging karkas yang sama menunjukkan berat daging potongan karkas bagian kaki belakang bandikut berdada merah (207,52 g) secara
64
bermakna (P<0.05) lebih rendah dari pada berat daging potongan karkas kaki belakang bandikut berdada putih (227,62 g). Tingginya perdagingan pada bagian karkas kaki depan (shoulder dan shank) bandikut dada merah diduga karena bandikut dada merah lebih lincah dan agresif dibanding dengan bandikut dada putih yang lebih bertemperamen lamban. Selain itu diduga pula bahwa pertumbuhan pertulangan terutama bagian kaki depan bandikut dada putih lebih berkembang dibanding bandikut dada merah. Menurut Berg and Butterfield (1975) yang dikemukakan oleh Lawrie (2003), bahwa hewan yang lebih lincah (agile) mempunyai perkembangan urat daging yang lebih besar pada anggota badan depan. Selanjutnya di ilustrasikan pula bahwa pada anjing laut, urat daging bagian perut berkembang 3 kali dibanding sapi, domba atau babi karena banyak terlibat dalam lokomosi. Namun dari sisi komersil untuk upaya budidaya, jenis bandikut berdada putih lebih banyak berdaging terutama pada karkas bagian kaki belakang yang biasa dipertimbangkan oleh konsumen. Karakteristik Fisik dan Kimia Daging Bandikut Karakteristik fisik dan kimia daging adalah faktor yang turut menentukan nilai atau mutu daging hewan yang bersangkutan. Karakteristik daging ini dapat dinilai secara visual dan pemeriksaan atau pengujian di laboratorium. Secara fisik warna daging bandikut memiliki warna merah di antara warna merah daging sapi dan babi yaitu lebih terang dari warna merah daging sapi Bali dan lebih merah tua dari merah daging babi. Pada penelitian ini variabel yang diamati meliputi sifat fisik daging (pH, keempukan susut masak, daya mengikat air), dan komposisi kimia daging (air, protein, lemak, abu dan energi) serta komposisi asam-asam amino dan asam-asam lemak daging bandikut. Sifat Fisik Daging Bandikut Rataan sifat fisik daging bandikut dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis ragam sifat fisik daging berdasarkan jenis kelamin dan warna dada disajikan pada Lampiran 5 dan 6.
65
Tabel 12 Sifat fisik daging bandikut berdasarkan jenis kelamin dan warna dada Sifat fisik daging Jenis kelamin Warna dada
pH Keempukan (kg/cm2) Susut masak (%) WHC (% mgH2O)
Jantan
Betina
Putih
Merah
5.7860.31 1.0360.33 33.6263.57 37.1463.23
5.6660.33 1.0760.44 34.4762.21 35.9864.12
5.6160.32 1.1760.44 35.1662.51 36.0964.11
5.8460.29 0.9360.36 32.9263.13 37.0263.24
Secara umum pada Tabel 12 menjelaskan bahwa pH dan daya mengikat air daging (WHC) bandikut jantan relatif lebih tinggi tetapi keempukan dan susut masak daging relatif lebih rendah dari pada betina. Keadaan yang sama ditunjukkan pula pada bandikut dada merah terhadap bandikut dada putih. Hal ini diduga bandikut jantan dan bandikut dada merah memiliki tingkat stress relatif lebih tinggi serta kadar kolagen daging yang relatif lebih rendah. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Putrawan (2005) dan Rosyidi (2005) bahwa pH dan daya mengikat air daging kancil jantan relatif lebih tinggi dari betina.
Menurut Pearson (1971a),
Forrest et al. (1975), Swatland (1984), Lawrrie (1988) dan Soeparno (1992), ada hubungan yang erat antara pH daging, susut masak dan daya mengikat air daging. Daging dengan pH post-mortem tinggi, daya ikat air daging juga relatif tinggi serta susut masak daging relatif rendah, dan akan terjadi sebaliknya apabila pH daging rendah. Hasil analisis ragam (Lampiran 5 dan 6) menunjukkan bahwa jenis kelamin dan warna dada bendikut tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap sifat fisik daging bandikut, baik pada pH, keempukan, susut masak maupun daya mengikat air (WHCwater holding capacity). Tidak adanya perbedaan ini diduga disebabkan bandikut yang digunakan dalam materi penelitian ini masih dalam kelompok jenis yang sama yaitu Echymipera kalubu. Hal ini telah dipertegas oleh hasil deskripsi Kent Aplin di Australia bahwa sampel materi penelitian ini adalah sejenis anggota kalubu yang merupakan jenis kompleks yang saat ini sedang dipelajari di Australia. Disamping itu,
66
bandikut materi penelitian ini berasal
dari habitat yang sama di daerah pesisir
Kecamatan Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari, Papua Barat sehingga topografi, sumber dan bahan pakan yang dikonsumsi diduga juga tidak berbeda, serta mengalami perlakuan pemotongan yang sama. Bandikut dari jenis yang sama dengan lingkungan (habitat) yang sama, secara anatomi dan fisiologis diduga akan memiliki sifat atau karakteristik fisik daging yang relatif sama pula. Perbandingan sifat fisik daging bandikut dengan beberapa daging ternak, ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13 Sifat Fisik daging bandikut dan beberapa daging ternak Sifat Fisik Daging Jenis Hewan/Ternak
pH
Bandikut Tikus 2) Kelinci 7) Kancil 3) Napu 4) Babi 5) Domba 6) Sapi Madura 1) Sapi Bali 1) Sapi Sumba Ongole 1) Kuda 8) Ayam 9)
5.71 6.22 6.32 6.36 5.57 6.10 5.57 5.71 5.64 5.5111) -
Sumber :
WHC Keempukan Susut Masak (%) (% mgH2O) (Kg/Cm2)*) 1.05 1.80 5.25 5.09 10) 4.59 4.38 5.36 8.08 4.60
34.04 52.90 45.16 30.21 23.22 28.98 10) 32.87 34.66 38.34 28.88 4.60
36.56 31.61 23.90 32.82 45.30 32.20 25.91 23.99 25.61 32.30 21.14
1
Warsono (1994); 2 Wahyuni (2005); 3 Rosyidi (2005); 4 Arifin (2004); 5 Soeparno (1988); Dewi (2004); 7 Bovera (2002); 8 Rosmawati (2003); 9 Hector (2002); 10 Hongping et al. (2000), 11 Lawrie (2003). *) semakin tinggi nilai keempukan, daging semakin liat. 6
Tabel 13
memperlihatkan pH daging bandikut masih memperlihatkan pH
normal daging segar yaitu 5.71 dan setara dengan nilai pH daging sapi lokal, sapi Madura (5.57), Bali (5.71) dan Sumba Ongole (5.64 ) dan babi (5.57). Menurut Lawrie (1988) pH daging segar normal berkisar antara 5.4 – 5.8. Tingkat pH daging diantara hewan atau ternak setelah dipotong (post-mortem) dapat dipengaruhi oleh factor spesies, tipe otot dan variabilitas antar hewan (aktivitas enzim-enzim glikolisis
67
dan suhu otot post-mortem) serta suhu lingkungan dan perlakuan sebelum pemotongan (ante-mortem). Nilai pH otot post-mortem banyak ditentukan oleh laju
glikolisis post-mortem dan cadangan glikogen otot. Glikogen otot merupakan
sumber energi dalam proses glikolisis anaerobik untuk dikonversikan menjadi asam laktat pada saat pemotongan. Jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan menentukan besarnya penimbunan atau pembentukan asam laktat dan tercapainya pH ultimat daging. Semakin tinggi kadar asam laktat, semakin rendah pH daging. pH ultimat berpengaruh positif terhadap susut masak daging, keempukan, daya mengikat air, warna dan citarasa daging (Forrest et al., 1975, Preston dan Willis, 1982, Arka, 1984, Lawrie, 1988). Keempukan daging bandikut (1.05) setara dengan daging kelinci (1.80) termasuk ke dalam kriteria empuk bila dibandingkan dengan keempukan daging ternak lainnya. Pearson (1971b) mengemukakan bahwa kriteria keempukan daging dibagi menjadi 3 kelompok yaitu empuk (0 – 3), cukup empuk (>3 – 6) dan a lot (>6 – 11). Keempukan daging tersebut diduga daging bandikut mengandung jaringan ikat yang lebih sedikit dan memiliki tekstur atau serat otot yang lebih halus serta lemak daging lebih tinggi dari pada daging ternak yang lain. Daging yang lebih banyak mengandung jaringan ikat akan kurang empuk bila dibandingkan dengan daging yang lebih sedikit jaringan ikatnya (Lawrrie, 1974). Menurut Williamson dan Payne (1993) keempukan daging hewan liar lebih disebabkan karena serat-serat atau tekstur ototnya lebih halus.
Komponen utama yang mempengaruhi keempukan daging adalah
jaringan ikat, serat otot dan lemak (Forrest et al., 1974) dan tingkat keempukan dapat bervariasi diantara spesies, bangsa, potongan karkas, dan diantara otot serta pada otot yang sama (Preston dan Willis, 1982, Lawrie, 1988). Susut masak (cooking loss) daging bandikut sebesar 34.04 % masih berada di dalam keadaan normal yang tidak jauh berbeda dibanding susut masak daging sapi lokal dan ternak atau hewan lain (< 40 %), selain ayam, kelinci dan kancil (4.60 %, 52.90 % dan 45.16). Menurut Soeparno (1992) dan Arifin (2004), susut masak daging masih berada di dalam keadaan normal berkisar antara 15 – 40 %. Daging bandikut yang memiliki susut masak relatif sama ini diduga juga memiliki panjang serabut
68
otot, luas penampang lintang dan panjang sarkomer yang relatif sama sehingga mempunyai susut masak daging yang sama pula. Menurut Swatland (1984) susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut yang lebih pendek. Selanjutnya Lawrie (1988) menjelaskan bahwa lemak intramuskuler dapat menghambat atau mengurangi cairan daging yang keluar selama pemasakan dan meningkatkan daya ikat air, karena lemak intramuskuler dapat melonggarkan mikrostruktur daging, sehingga memberikan lebih banyak kesempatan kepada protein daging untuk mengikat air. Susut masak mempunyai hubungan yang erat dengan daya ikat air dan keempukan daging (Soeparno dan Sumadi, 1991). Semakin tinggi daya ikat air semakin rendah susut masak daging. . Menurut Babiker & Bello (1986), persentase air bebas yang rendah menunjukkan nilai daya mengikat air daging oleh protein yang tinggi dan akan terjadi sebaliknya bila persentase air bebas yang tinggi. Daya mengikat air oleh protein daging (water holding capacity) bandikut cukup tinggi yaitu 36.56 % mgH2O dibanding dengan daya ikat air daging hewan ternak lain tetapi lebih rendah dari napu (45.30 % mgH2O). Hal ini menunjukkan bahwa daging bandikut dengan daya mengikat air yang cukup tinggi mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan daging dengan daya mengikat airnya rendah karena protein daging bandikut bersifat lebih stabil dan dapat meningkatkan juiceness dan keempukan daging serta menurunkan susut masak. Sebaliknya daging dengan daya mengikat air rendah dapat mengurangi mutu daging akibat keluarnya nutrisi daging yang terlarut dalam air seperti protein, vitamin larut air dan zat warna daging (mioglobin) ketika air dibebaskan oleh daging (Natasasmita, 1978). Cukup tingginya daya ikat air daging bandikut diduga lebih disebabkan karena disamping umur muda juga memiliki lemak daging intramuskuler yang tinggi. Forrest et al. (1975) menjelaskan bahwa jumlah air yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH serta jumlah denaturasi protein daging. Selanjutnya menurut Lawrie (1988), secara umum, daya ikat air daging dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menyebabkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan fungsi otot itu sendiri.
69
Komposisi Kimia Daging Bandikut Berdasarkan hasil pengujian laboratorium, komposisi kimia daging bandikut adalah kadar air 72.42 %, protein 18.72 %, lemak 3.26 %, serat kasar 4.43 %, abu 2.53 % dan energi 1090 kkal/kg. Gambaran komposisi kimia daging bandikut bila dibandingkan dengan beberapa daging hewan/ternak lain dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Komposisi kimia daging bandikut dan beberapa hewan/ternak Komposisi Kimia Daging (%) Hewan/Ternak Bandikut *) Tikus 2) Kancil 3) Napu 4) Kelinci 5) Rusa Timor 6) Babi rusa 6) Babi hutan 6) Babi 7) Kambing 8) Domba 7) Sapi Madura 1) Sapi Bali 1) Sapi Sumba Ongole 1) Kerbau 9) Kuda 10) Kanguru 10) Itik 7) Ayam 7) Sumber :
Air
Protein
Lemak
Abu
72.42 63.27 76.33 75.24 69.8 76.00 74.64 71.00 69.00 70.00 73.70 72.34 71.57 72.68 74.42 72.63 67.90 73.70
18.72 19.11 21.42 22.28 20.35 18.16 21.00 20.80 19.50 22.00 21.50 25.94 26.25 25.63 20.20 21.39 24.00 17.60 21.50
3.26 3.41 0.51 1.43 7.94 1.20 1.60 0.90 10.00 6.80 5.50 3.43 4.05 3.35 6.49 4.60 1-3 9.00 5.50
2.53 0.99 1.20 1.05 1.00 2.45 1.15 1.81 1.40 1.20 1.00 1.30 1.07 1.21 1.10 0.70 1.00
*) Hasil analisis; 1 Warsono (1994); 2 Wahyuni (2005); 3 Rosyidi (2005); 4 Arifin (2004); 5 Chosh and Mandal (2007); 6 Reksowardojo (2001); 7 Hultin (1985); 8 Gall (1981); 9 Chang (1975); 10 USDA (2007).
Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa
komposisi gizi daging bandikut masih
relatif sama dengan kadar gizi ternak domestikasi lain. Kadar lemak daging bandikut masih lebih tinggi dari satwa liar lain seperti rusa, napu, kancil dan babi hutan namun setara dengan kadar lemak daging tikus dan sapi Madura dan Sumba ongole. Keadaan
70
tersebut menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara kadar air dan kadar lemak daging. Hal ini sependapat dengan Soeparno (1992) bahwa terdapat korelasi negatif yang nyata antara kadar air dan kadar lemak daging. Semakin tinggi kadar air, semakin rendah kadar lemak daging. Tingginya kadar air dalam daging dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, citarasa, kesegaran dan daya tahan daging serta penerimaan terhadap daging yang bersangkutan oleh konsumen. Tingginya kadar lemak daging yang tinggi dapat menunjukkan bahwa hewan tersebut diduga lebih mampu memanfaatkan energi pakan lebih besar. Soeparno dan Sumadi (1991) melaporkan bahwa kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi pakan yang lebih besar akan menyebabkan deposisi lemak lebih besar pula. Kadar lemak daging akan meningkat bila hewan diberi pakan dengan tngkat energi yang tinggi (Lewis et al., 1990) dan peningkatan kadar lemak akan diikuti oleh penurunan kadara air daging (Basuki, 2000). Selanjutnya Berg dan Butterfield (1976) mengemukakan bahwa kandungan lemak dalam daging bervariasi dan sangat tergantung pada jumlah dan ragam pakan yang dikonsumsi. Sehingga besar kemungkinan perbedaan kandungan lemak daging tersebut dapat dipengaruhi oleh komposisi nutrisi pakan yang dikonsumsi hewan yang bersangkutan. Secara umum, faktor-faktor yang menentukan kandungan lemak daging adalah keadaan serabut otot, jenis ternak, umur, pakan, jenis kelamin dan aktivitas yang dilakukan (Aberle et al., 2001). Kadar protein daging bandikut nampak paling rendah bila dibandingkan dengan kadar protein daging hewan lainnya meski lebih tinggi dari daging itik. Menurut Moran dan Wood (1986), bahwa semakin rendah kadungan air daging semakin besar kadar protein daging. Meskipun demikian fenomena tersebut ternyata tidak tercermin pada komposisi kimiawi protein daging bandikut. Rendahnya kadar protein daging bandikut tersebut diduga karena faktor genetik. Nilai nutrisi daging bervariasi tergantung spesies, bangsa (breed) dan jenis otot (Lawrie, 1988). Pembentukan protein di dalam tubuh antara lain dipengaruhi oleh status fisiologis dari hewan yang bersangkutan. Kadar protein jaringan tubuh hewan mencapai konstan setelah hewan tersebut mencapai pubertas.
71
Kadar abu daging bandikut (2.53 %) pada Tabel 14 terlihat paling tinggi diantara daging hewan lainya, tingginya kadar abu daging bandikut diduga pakan yang dikonsumsi di alam adalah bahan pakan sumber protein dan energi, seperti insekta (belalang, rayap), invertebrata (cacing, ulat kayu), vertebrata ( kadal, katak) dan buah/biji yang jatuh serta akar-akar pohon lapuk sehingga cukup tingginya kadar lemak daging (3.26 %), sedangkan energi daging bandikut adalah 1090 kkal/kg. Menurut Judge et al., (1989), kadar abu daging mempunyai hubungan yang erat dengan kadar protein dan air daging. Moran dan Wood (1986), melaporkan bahwa dengan pakan konsentrat tinggi dapat meningkatkan kadar abu, lemak dan energi daging namun sebaliknya kadar air dan protein daging menurun. Komposisi Asam Amino dan Asam Lemak Daging Bandikut Komposisi Asam Amino. Daging adalah sumber asam amino esensial yang sangat baik terutama leusin, lisin dan valin. Kebutuhan protein dari bahan pakan atau makanan pada dasarnya tergantung pada kebutuhan asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus diberikan melalui bahan makanan yang kaya akan asam amino seperti daging, susu dan telur. Asam amino ini adalah asam amino esensial seperti isoleusin, leusin, lisin, methionin, fenilalanin, threonin, triptofan, valin, arginin dan histidin. Sedangkan asam amino non esensial antara lain sistin, alanin, asam aspartat, asam glutamat, glisin, prolin, serin, tirosin adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh sendiri.
Komposisi asam-asam amino dari daging
segar bandikut dan beberapa daging hewan domestikasi yang lain diperlihatkan dalam Tabel 15. Pada Tabel 15 memperlihatkan bahwa komposisi asam amino daging bandikut adalah cukup lengkap seperti halnya pada daging kancil dan kerbau hanya kurang pada jenis asam amino triptofan, bila dibandingkan dengan daging sapi, babi dan domba. Secara umum dari sisi jumlah kandungan (kadar) setiap jenis asam aminonya pada daging bandikut relatif rendah dari pada daging ternak lainnya. Rendahnya kadar asam amino daging bandikut ini diduga umur bandikut yang masih muda dibandingkan hewan yang lain. Menurut Lawrie (2003), perbedaan urat daging,
72
bangsa dan umur hewan sangat penting pengaruhnya terhadap komposisi kadar asam amino. Dilaporkan pula bahwa kadar arginin, valin, metionin, isoleusin dan fenilalanin meningkat dengan bertambahnya umur. Tabel 15 Komposisi asam amino daging bandikut dan beberapa hewan domestikasi (% Protein Kasar) Asam Bandikut Kancil Sapi Babi Domba Kerbau Katagori (3) (3) (3) (4) Amino (1) (2) Isoleusin esensial 0.104 0.36 5.1 4.9 4.8 1.23 Leusin esensial 0.576 0.18 8.4 7.5 7.4 1.88 Lisin esensial 0.246 0.56 8.4 7.8 7.6 1.80 Methionin esensial 0.182 0.21 2.3 2.5 2.3 0.65 Fenilalanin esensial 0.348 1.19 4.0 4.1 3.9 0.90 Threonin esensial 0.138 0.41 4.0 5.1 4.9 1.17 Triptofan esensial *) 1.1 1.4 1.3 Valin esensial 0.582 0.41 5.7 5.0 5.0 1.32 Arginin esensial 0.530 0.47 6.6 6.4 6.9 1.22 Histidin esensial 0.348 0.43 1.4 1.3 1.3 0.77 Sistin non esensial 0.156 1.32 2.9 3.2 2.7 0.36 Alanin non esensial 0.110 0.90 6.4 6.3 6.3 1.42 As.aspartat non esensial 1.062 0.93 8.8 8.9 8.5 2.56 As.glutamat non esensial 2.876 1.49 14.4 14.5 14.4 3.97 Glisin non esensial 0.110 0.30 7.1 6.1 6.7 1.07 Prolin non esensial 0.196 0.46 5.4 4.6 4.8 1.19 Serin non esensial 0.266 0.58 3.8 4.0 3.9 0.87 Tirosin non esensial 0.300 0.35 3.2 3.0 3.2 0.82 Sumber :
1
Hasil analisis; 2 Rosyidi (2005); 3 Lawrie (2003); 4 Ogujanovic (1974) *) Tidak dilakukan analisa
Kandungan asam amino esensial daging bandikut antara lain, asam amino leusin (0.576 %), valin (0.582 %) dan arginin (0.530 %) serta asam amino non esensial asam glutamat (2.876 %)
dan asam aspartat (1.062 %) lebih tinggi dari pada yang
terkandung di dalam daging kancil. Nelson et al., (2000) menjelaskan bahwa leusin berperan penting dalam metabolisme protein dan vital diperlukan untuk pertumbuhan optimal bayi serta mendorong pertumbuhan otot selama pemulihan setelah banyak kerja keras. Arginin berperan penting dalam pembelahan sel, penyembuhan luka, membuang ammonia dari tubuh dan pelepasan hormon-hormon , seperti prolaktin untuk laktasi dan sekresi testosteron serta meningkatkan produksi hormon pertumbuhan yang berpengaruh terhadap perkembangan perototan. Asam aspartat
73
penting untung merangsang aktivasi pompa natrium-kalium di dalam membrane sel. Asam glutamat berfungsi sebagai transmiter impuls saraf otak dan sumsum tulang belakang dan sekarang banyak digunakan sebagai penyedap berbagai macam proses makanan. Komposisi Asam Lemak. Asam lemak dapat dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan asam lemak tidak jenuh jenuh (unsaturated fatty acid). Asam lemak jenuh terdiri dari laurat (C12:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0) dan stearat (C18:0), sedang asam lemak tidak jenuh antara lain palmitoleat (C16:1), oleat (C18:1), linoleat (C18:2), linolenat (C18:3), palmitoleat (C16:1) dan arakhidonat (C20:4). Tingkat kejenuhan
asam lemak dapat mempengaruhi
penampilan fisik dan kualitas daging. Daging yang lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh akan terlihat lebih berminyak karena rendahnya titik cair asam lemak tersebut dan yang banyak mengandung asam lemak ikatan rangkap tidak jenuh akan lebih mudah teroksidasi (Lawrie, 1979). Kandungan dan komposisi asam lemak daging bandikut dengan beberapa daging hewan domestikasi lain dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Komposisi asam lemak daging bandikut dengan beberapa daging hewan domestikasi (% lemak daging) Asam Lemak Hewan Laurat Miristat Palmitat Stearat Oleat Linoleat Linolenat C12:0 C14:0 C16:0 C18:0 C18:1 C18:2 C18:3 1 0.98 24.93 5.33 0.93 Bandikut 1.97 3.79 36.76 59.41 3.22 1.12 30.97 0.77 Kancil 2 1.04 3.09 3 1.70 18.67 15.98 2.50 Napu 1.66 2.22 20.71 3.99 1.40 0.39 2.94 31.95 6.97 40.72 Tikus 4 5 5.40 1.30 23.80 7.20 31.50 19.90 Kanguru 0.10 19.60 8.30 28.10 17.60 21.50 0.10 2.20 Kuda 5 37.00 4.00 0.50 7 2.00 21.00 28.00 Domba 6 9.50 14.00 43.00 Babi 6 1.50 24.00 1.00 40.00 5.00 2.50 24.50 18.50 0.50 Sapi 6 6 1.30 23.20 6.40 41.60 18.90 Ayam 1.30 34.56 13.62 38.79 6.40 Itik8 0.19 0.63 0.15 Sumber :
1
Hasil analisis; 2 Rosyidi (2005); 3 Arifin (2004); 4 Wahyuni (2005); 5 Singhal et al. (1997); 6 Alan et al. (1995); 7 Lawrie (2003); 8 Randa (2007)
74
Pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa asam lemak jenuh yang ditemukan pada daging bandikut adalah asam laurat (1.97 %), miristat (3.79 %) dan palmitat (36.76 %) mempunyai konsentrasi lebih tinggi bila dibandingkan dengan daging hewan yang lain, sedangkan asam stearat (0.98 %) setara dengan kancil (0.77 %) dan relatif lebih rendah dari hewan lainnya. Asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, linoleat dan linolenat yang ditemukan pada daging bandikut masing-masing dengan konsentrasi sebesar 24.93 %, 5.33 % dan 0.93 % . Kadar asam lemak oleat daging bandikut lebih tinggi dari napu, linoleat bandikut lebih tinggi dari linoleat kancil, napu dan tikus, dan linolenat bandikut lebih tinggi dari linolenat domba dan sapi. Asam
lemak
tidak jenuh terutama linoleat (C18:2), linolenat (C18:3) dan arakhidonat (C20:4) adalah esensial dan penting sebagai komponen dinding sel mitokondria dan tempattempat yang metabolismenya aktif. Fungsi lain asam lemak esensial tersebut antara lain meningkatkan fungsi otak, menjaga kesehatan kulit, mengurangi resiko terjadinya
penyempitan
pembuluh
darah,
meningkatkan
fungsi
hormon,
meningkatkan retensi mineral, pembentukan spermatozoa, pengaturan siklus reproduksi dan mencegah terjadinya penyakit diabetes (Clark, 2000). Konsentrasi asam-asam lemak jenuh yang tinggi pada daging bandikut diduga bandikut lebih suka mengkonsumsi makanan yang berasal dari bahan pakan yang kaya akan
asam lemak jenuh sehingga dalam proses metabolisme lemak,
pendepositan lemak pakan tanpa diubah. Tidak seperti sapi dimana asam-asam lemak tidak jenuh yang termakan dihidrogenasi oleh mikroba rumen menjadi deposit lemaklemak jenuh.
Menurut Lawrie (2003), babi dan nonruminan lain seperti kuda,
cenderung mendeposit lemak-lemak ransum tanpa diubah. Upaya-upaya didalam praktek budidaya bandikut yang akan dikembangkan sebagai satwa harapan untuk penganeka ragamanan sumber protein hewani, dapat dilakukan melalui pemberian pakan bandikut yang banyak mengadung asam lemak tidak jenuh. Sebab tingginya asam lemak jenuh dalam daging bandikut (laurat, miristat dan palmitat) dapat menjadi faktor pembatas bagi konsumen, karena telah disinyalir bahwa konsumsi asam-asam lemak jenuh dapat meningkatkan kolesterol plasma darah. Fenomena tersebut dapat diantisipasi bila ratio asam lemak tak jenuh dan asam lemak jenuh
75
dalam makanan sama tinggi atau seimbang karena dapat merendahkan kerentanan individu terhadap penyakit-penyakit vaskuler umumnya. Meningkatnya asam-asam lemak poli tak jenuh (linolenat, arakhidonat, eikopentanoat dan dekosaheksanoat) dalam makanan akan menurunkan kolesterol darah meskipun konsumsi lemak dan kolesterol tinggi.
Penilaian Organoleptik Daging Bandikut Penilaian organoleptik terhadap penerimaan umum warna, bau dan rasa daging bandikut yang dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam dan daging babi pada penelitian ini digunakan uji hedonik atau uji kesukaan (Rahayu, 1994). Uji ini merupakan salah satu uji penerimaan. Pada uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidak sukaan. Penilaian meliputi warna, bau dan rasa dari masing-masing jenis daging. Uji dilakukan langsung kepada panelis tidak terlatih sebanyak 85 orang panelis dengan memberikan jenjang skor yang telah ditetapkan, yaitu nilai 1 = tidak suka; nilai 2 = biasa/netral; nilai 3 = agak suka; nilai 4 = suka dan nilai 5 = sangat suka. Warna Daging Warna daging sangat berpengaruh terhadap penampilan daging. Perubahan warna daging sering dikaitkan dengan kesegaran daging. Rataan skor dan median variable respon yang mencerminkan penerimaan tingkat kesukaan terhadap warna daging bandikut dapat dilihat pada Tabel 17. Hasil uji Kruskal-Wallis antara jenis daging sapi, bandikut, babi dan ayam terhadap warna daging ditampilkan pada Lampiran 7. Tabel 17 Rataan skor dan median kesukaan terhadap warna daging Jenis Daging Sapi Bandikut Ayam Babi
Rataan
Median
3.282 6 1.271 3.612 6 1.048 3.306 6 1.354 3.235 6 1.324
4.00 4.00 4.00 3.00
76
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 7) menunjukkan bahwa antara jenis daging sapi, bandikut, ayam dan babi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap warna daging. Hal ini menggambarkan bahwa warna daging bandikut dapat diterima sama disukai seperti halnya warna daging lainnya (sapi ayam dan babi). Meskipun demikian pada Tabel 24 terlihat bahwa nilai median warna daging babi adalah 3 (agak suka) sedangkan warna daging bandikut memiliki nilai median sama dengan warna daging ayam dan sapi yaitu 4 (suka). Keadaan ini dapat menggambarkan bahwa warna daging babi cenderung kurang disukai dibandingkan warna daging lainnya. Hal ini disebabkan warna daging babi terlihat lebih
merah terang
dibandingkan warna daging lainnya yang diduga karena daging babi lebih sedikit mengandung mioglobin. Warna daging segar bandikut merah, sedang daging sapi berwarna merah tua dan warna daging ayam adalah putih sehingga dalam proses pembakaran sebagai produk sate, daging babi menjadi lebih terang dibanding daging sapi dan bandikut sedang daging ayam menjadi kuning kecoklatan dan hal ini dapat mempengaruhi tingkat preferensi konsumen. Menurut Arbelle et al., 2001, Forrest et al., 1975 warna daging dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi penentu utamanya adalah konsentrasi mioglobinnya. Tingkat mioglobin di dalam daging tergantung pada spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, tipe otot dan aktifitas fisik (Lawrie 1988). Rentangan median tingkat kesukaan panelis terhadap warna daging disajikan pada Gambar 15.
77
5
warna
4
3
2
1
sapi
bandikut
ay am
babi
Jenis Daging
Gambar 15 Boksplot median terhadap warna daging. Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa rentang tingkat kesukaan panelis terhadap warna daging sapi, ayam dan babi memiliki pemusatan median yang sama yaitu antara nilai 2 (biasa atau netral) sampai nilai 4 (suka), sedang terhadap warna daging bandikut memiliki rentang pemusatan median yang lebih sempit yaitu antara nilai 3 (agak suka) dan nilai 4 (suka). Hal ini dapat menggambarkan bahwa warna daging bandikut cenderung lebih disukai dibanding warna daging lainnya. Keadaan ini juga ditunjukkan pada rataan skor yang lebih tinggi (3.612) dari pada sapi (3.282), ayam (3.306) dan babi (3.235) sehingga bila ditinjau dari segi warna daging maka pilihan pertama yang disukai adalah daging bandikut. Bau Daging Bau merupakan sensasi kompleks yang melibatkan cita rasa, tanpa bau maka satu atau 4 taste utama (pahit, asin, asam dan manis) akan menjadi dominan. Pada bahan makanan bau sangat penting secara estetis dan fisiologis untuk merangsang sekresi cairan pencernaan bila bau menyenangkan. Rataan skor dan median variable respon yang mencerminkan penerimaan tingkat kesukaan terhadap bau daging bandikut disajikan pada Tabel 18. Hasil uji Kruskal-Wallis antara jenis daging sapi, bandikut, babi dan ayam terhadap baud aging ditampilkan pada Lampiran 8. Tabel 18 Rataan skor dan median kesukaan terhadap bau daging
78
Jenis Daging Sapi Bandikut Ayam Babi
Rataan
Median
3.282 6 1.333 3.224 6 1.294 3.306 6 1.372 3.329 6 1.117
4.00 3.00 3.00 3.00
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 8) menunjukkan bahwa antara jenis daging sapi, bandikut, ayam dan babi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bau daging. Hal ini menunjukkan bahwa bau daging bandikut dapat diterima sama disukai seperti halnya terhadap bau daging sapi, ayam dan babi. Pada Tabel 18 dapat dilihat pula bahwa nilai median terhadap penerimaan bau daging sapi adalah 4 (suka) sedangkan nilai median pada bau daging bandikut, ayam dan babi sama yaitu 3 (agak suka). Keadaan ini menggambarkan bahwa bau daging sapi cenderung lebih disukai dari pada bau daging bandikut, ayam dan babi. Hal ini diduga daging sapi banyak mengandung zat nutrisi yang dapat menghasilkan zat yang berbau harum dalam proses pemanasan produk sate. Menurut Lawrie (2003), dalam pemanasan daging ada proses karamelisasi dengan pembentukan banyak zat yang berbau harum, termasuk furan-furan, alkohol dan hidrokarbon aromatik. Selain itu dijelaskan pula bahwa asam-asam amino, karbohidrat, lemak dan tiamin merupakan prekusor yang penting dalam aroma atau bau daging. Rentangan median tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging dapat dilihat pada Gambar 16.
79
5
bau
4
3
2
1
sapi
bandikut
ay am
babi
Jenis Daging
Gambar 16 Boksplot median terhadap bau daging. Gambar 16 dapat dilihat bahwa rentang tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging memiliki tingkat pemusatan median yang sama yaitu dari skor 2 (biasa atau netral) sampai skor 4 (suka). Keadaan ini juga dapat sebagai petunjuk bahwa sebagian besar tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging bandikut maupun bau daging sapi, ayam dan babi adalah sama, tetapi pada Tabel 18 terlihat bahwa daging bandikut memiliki rataan skor paling rendah (3.224) dibanding bau daging sapi (3.282 ), ayam (3.306) dan babi (3.329). Hal ini dapat menggambarkan pula bahwa bau daging bandikut kecenderungan kurang disukai dibanding bau daging lainnya. Kecenderungan bau daging bandikut kurang disukai diduga adanya komponen volatile yang khas yang dikeluarkan oleh kelenjar tertentu, seperti halnya bau daging pada babi jantan (boar odour) atau pada kambing/domba (lamb odour). Bila ditinjau dari segi bau daging maka daging bandikut merupakan pilihan terakhir yang disukai. Rasa Daging Rasa atau cita rasa (flavour) daging merupakan hasil sensasi yang melibatkan 4 sensasi dasar yaitu pahit, asam, manis dan asin. Daging sebagai bahan makanan, rasa sangat menentukan untuk disukai atau ditolak oleh konsumen. Rataan skor dan median variabel respon yang mencerminkan penerimaan tingkat kesukaan terhadap rasa daging bandikut dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil uji Kruskal-Wallis antara
80
jenis daging sapi, bandikut, babi dan ayam terhadap rasa daging ditampilkan pada Lampiran 9. Tabel 19 Rataan skor dan median kesukaan terhadap rasa daging Jenis Daging Sapi Bandikut Ayam Babi
Rataan
Median
3.271 6 1.575 3.459 6 1.332 3.635 6 1.233 3.824 6 1.226
4.00 4.00 4.00 4.00
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 9) menunjukkan bahwa antara jenis daging sapi, bandikut, ayam dan babi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rasa daging. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaan terhadap rasa daging bandikut sama seperti halnya terhadap daging sapi, ayam dan babi. Keadaan ini juga ditunjang dengan nilai median yang sam yaitu 4 (suka), tetapi dari rataan skor pada Tabel 19 memperlihatkan bahwa rataan skor daging babi paling tingggi (3.824) kemudian diikuti oleh daging ayam (3.635), daging bandikut (3.459), dan daging sapi (3.271). Hal ini dapat menggambarkan pula bahwa rasa daging babi cenderung lebih disukai dibanding daging lainnya. Kecenderungan ini diduga karena daging babi sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat papua pada umumnya. Rentangan median tingkat kesukaan panelis terhadap rasa daging dapat dilihat pada Gambar 17.
81
5
rasa
4
3
2
1
sapi
bandikut
ay am
babi
Jenis Daging
Gambar 17 Boksplot median terhadap rasa daging. Pada Gambar 17 menunjukkan bahwa rentang median tingkat kesukaan panelis terhadap rasa daging sapi bervariasi dari 2 (biasa/netral) sampai 5 (sangat suka), pada daging bandikut antara 2 (biasa/netral) sampai 4 (suka), sedangkan pada daging ayam dan babi memiliki pemusatan median yang sama yaitu antara nilai 3 (agak suka) sampai nilai 5 (sangat suka). Hal ini dapat menggambarkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa daging bandikut masih dalam taraf suka belum mencapai taraf sangat suka seperti pada rasa daging ternak konvensional tersebut diatas.
82
81
PEMBAHASAN UMUM
Pemenuhan kebutuhan protein hewani terutama daging masih sulit dicapai bila hanya mengandalkan dari produksi ternak konvensional yang sudah ada. Permintaan daging nasional semakin meningkat setiap tahun, sedang laju pertumbuhan populasi ternak konvensional cenderung lambat. Di habitat alami (in-situ), satwa liar menghasilkan daging lebih banyak dari pada ternak yang sudah ada. Satwa liar sangat potensial untuk menyumbangkan sejumlah besar pangan kepada manusia. Gerakan pemanfaatan satwa liar secara lestari, juga telah lama dicanangkan guna mengatasi masalah pangan dunia, terutama kebutuhan daging. Untuk itu upaya eksplorasi terhadap satwa penghasil daging sangat diperlukan, mengingat Indonesia memiliki kekayaan fauna yang belum banyak diberdayakan sebagai sumber protein dan sumber devisa. Sifat-sifat Bandikut yang Menunjang Domestikasi Ciri-ciri atau sifat yang menunjang untuk domestikasi hewan adalah sifat tingkah laku hewan tersebut. Sifat-sifat yang menguntungkan dapat dipertimbangkan di dalam upaya domestikasi sehingga kenyamanan hewan (animal welfare) tetap diperhatikan. Bandikut (Echymipera sp.) adalah hewan berkantung (marsupial) yang hidup di atas tanah (ground-dwelling) dikenal sebagai hewan omnivora, nokturnal, soliter, polygamus, suka berkelahi (frugnacious) dan mudah stress (nervous). Lama hidup potensial bandikut adalah 6 tahun, tetapi rata-rata 3-4 tahun (Lobert and Lee, 1990) dengan spektrum habitat yang luas dan daerah jelajah (home range) 4-40 Ha (Gemmell, 1988; Cockburn, 1990). Menurut Petocz (1994), di antara hewan marsupial, bandikut memiliki laju reproduksi paling tinggi. Selama setahun seekor betina dewasa mampu melahirkan 56 kali dengan jumlah anak per kelahiran 3-4 ekor, lama bunting 12-13 hari dan lama menyusui 50-60 hari. Selama menyusui induk bandikut juga dalam keadaan mengasuh anak yang belum lepas sapih dan bunting, sehingga mampu memelihara sekaligus tiga kali kelahiran anak dalam waktu yang sama, yaitu selama bunting, anak
82
di dalam kantung dan anak yang sedang disapih (Stodart, 1977; Fishman, 2001). Siklus estrus rata-rata 21 hari dan induk mulai kawin kembali setelah anak di dalam kantung umur 49-50 hari (Lyne, 1976). Anaknya berhenti menyusu pada umur 59-61 hari ketika induk melahirkan anak berikutnya. Rata-rata kelahiran terjadi setiap 65 hari atau 6 kali kelahiran terjadi selama 13 bulan (Stodart, 1977). Potensi ini merupakan peluang untuk bisa dikembangkan sebagai hewan budidaya penghasil daging yang prolifik. Berdasarkan sifat-sifat biologis bandikut dengan pertimbangan : (1) sex-ratio jantan : betina dewasa 1:2; (2) sex ratio kelahiran anak 1:1; (3) mortalitas anak 30 %; (4) litter size 4 ekor per kelahiran; (5) frekuensi kelahiran 5 kali/tahun; (6) dewasa kelamin umur 4 bulan maka dapat diproyeksikan produksi bandikut tersebut selama satu tahun seperti pada Tabel 20. Tabel 20 Proyeksi produksi bandikut selama setahun pertama berdasarkan sifat biologisnya. Jumlah Kelahiran awal I II III IV Induk 6 6 6 14 22 Jantan 3 3 3 7 11 Mortalitas 8 8 20 30 Bandikut remaja (umur 4 bulan) 8 8 18 - jantan 8 8 18 - betina Anak (dalam kantung induk) - jantan 8 8 18 29 - betina 8 8 18 29 Jantan afkir 4 4 -
V 40 20 54 29 29
53 53 9
Dari analisis produksi bandikut tersebut dapat diproyeksikan bahwa dari pemeliharaan awal bandikut dewasa 6 ekor betina dan 3 ekor jantan selama satu tahun dapat berkembang menjadi 233 ekor terdiri atas induk dewasa 40 ekor, jantan dewasa 20 ekor, jantan dewasa afkir 17 ekor (9 ekor umur 6 bulan, 4 ekor umur 8 bulan dan 4 ekor umur 10 bulan), 58 ekor bandikut umur 4 bulan (29 ekor jantan dan 29 ekor betina), dan 106 ekor anak bandikut (cindil) masih di dalam kantung induk.
83
Berat tubuh yang ditemukan mencapai berat 4 600 gram. Bobot tubuh jantan lebih berat dari pada bobot tubuh betina dewasa. Perbedaan ukuran dan kekuatan antara jantan dan betina (dimorphism) ini secara umum memberikan konskuensi bahwa bandikut jantan secara sosial dominan terhadap betina sehingga memudahkan dalam perkawinan. Bandikut mempunyai sifat poligamus yaitu satu jantan mengawini beberapa atau banyak betina. Tingkah laku seperti itu dapat berguna karena dalam usaha budidaya hanya diperlukan relatif sedikit hewan jantan dewasa. Dengan demikian hewan jantan yang lain dapat dimanfaatkan sebagai hewan potong. Sifat tingkah laku lain dari bandikut adalah adanya ikatan yang kuat dari induk terhadap anaknya (mothering ability) yang terjadi segera setelah anak lahir. Hal ini penting dalam pemeliharaan awal domestikasi. Induk dapat dikelompokkan bersama anaknya dan cukup menjaga hewan yang muda. Bandikut sebagai hewan omnivora dimungkinkan dapat lebih mempermudah penyediaan pakannya dalam pemeliharaan pada praktek domestikasi karena jenis pakannya dapat lebih beragam. Pada hasil percobaan pakan, menunjukkan bahwa bandikut mampu mengkonsumsi bahan kering pakan konsentrat sampai 3,04 – 3,05 % dari berat badan dengan tingkat kesukaan (preferensi atau palatabilitas) sebesar 24.02 – 31.11 %. Tingginya spektrum habitat dan luasnya daerah jelajah bandikut di alam, dapat menyebabkan pengaruh positif dan negatif pada proses domestikasi. Pengaruh positif, dapat dimungkinkan bandikut akan mudah beradaptasi pada berbagai habitat dan berpengaruh negatif bila dalam praktek domestikasi ditempatkan pada luasan yang sempit maka dapat mengakibatkan stres terhadap lingkungan. Pada praktek budidaya diperlukan suatu rancangan kandang yang tepat dan sesuai sehingga kesejahteraan bandikut dapat tetap terjamin. Tujuan dan Potensi Produk Bandikut Sebagai Satwa Budidaya Tujuan dari budidaya bandikut dapat ditinjau dari sifat produksinya yaitu untuk dihasilkan dagingnya. Produksi karkas dan karakteristik fisik dan kimia daging adalah faktor yang turut menentukan nilai atau mutu daging hewan yang bersangkutan.
84
Hasil penilitian menunjukkan bahwa produksi karkas bandikut rata-rata 67.8 % dengan cara pengulitan, tetapi bila dilakukan dengan cara pembakaran bulu/rambut (cara yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Papua), maka dapat menghasilkan persentase karkas yang lebih tinggi dari ternak domestikasi lain, yaitu 74.5 – 82.52 %. Daging bandikut memiliki karakteristik antara lain pH masih memperlihatkan pH normal daging segar yaitu 5.71 setara dengan pH daging segar sapi lokal. Tingkat keempukan daging
(1.05) lebih empuk dari daging ternak domestikasi lainnya.
Keempukan daging bandikut diduga karena mengandung sedikit jaringan ikat dan memiliki tekstur atau serat otot yang lebih halus serta kadar lemak yang cukup tinggi. Susut masak (cooking loss) daging bandikut yaitu 34.04 %, termasuk normal karena kurang dari 40 % . Nilai susut masak tersebut masih setara dengan susut masak daging sapi lokal dan hewan budidaya lainnya. Daya mengikat air (water holding capacity) daging bandikut cukup tinggi (36.56 % mgH2O) dibandikan dengan daging ternak yang lain. Keadaan ini menunjukkan bahwa kualitas daging bandikut cukup baik karena daging dengan daya mengikat air yang tinggi dapat meningkatkan rasa jus (juiceness) daging dan keempukan daging serta menurunkan susut masak daging. Sebaliknya daging dengan daya mengikat air yang rendah dapat menurunkan mutu daging yang bersangkutan, sebagai akibat keluarnya nutrisi daging yang terlarut dalam air seperti protein, vitamin larut air dan mioglobin ketika air dibebaskan oleh daging (Natasasmita, 1978). Komposisi gizi daging bandikut relatif sama bila dibandingkan dengan daging ternak domestikasi yang lain. Daging bandikut mengandung air 72,42% dengan kadar lemak yang cukup tinggi yaitu 3,26%, protein kasar 18,72% dan kadar abu yang cukup tinggi pula sebasar 2.53% serta energi 1 090 kkal/kg. Cukup tingginya kadar lemak daging bandikut juga dapat menggambarkan bahwa bandikut mampu memanfaatkan energi pakan lebih tinggi. Kemampuan hewan dalam memanfaatkan energi pakan yang lebih besar akan menyebabkan deposisi lemak lebih besar pula (Soeparno and Sumadi, 1991). Menurut Berg dan Butterfield (1976), variasi kandungan lemak dalam daging tergantung pada jumlah dan ragam pakan yang dikonsumsi. Selanjutnya Aberle et al. (2001) menjelaskan bahwa faktor yang
85
menentukan kandungan lemak daging adalah keadaan serabut otot, jenis ternak, umur, pakan, jenis kelamin dan aktifitas yang dilakukan. Kandungan abu daging bandikut relatif cukup tinggi dibandingkan daging hewan atau ternak domestikasi lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor genetik dan jenis makanan yang dikonsumsi bandikut. Nilai nutrisi daging bervariasi tergantung spesies, bangsa (breed) dan jenis otot (Lawrie, 1988). Pembentukan protein di dalam tubuh antara lain dipengaruhi oleh status fisiologis dari hewan yang bersangkutan. Menurut Judge et al. (1989), kadar abu daging mempunyai hubungan yang erat dengan kadar protein dan air daging. Moran and Wood (1986) melaporkan bahwa pemberian pakan konsentrat tinggi dapat meningkatkan kadar abu, lemak dan energi daging, tetapi sebaliknya kadar air dan protein daging menjadi turun. Komposisi asam amino dan asam lemak di dalam daging bandikut, baik jumlah maupun jenisnya cukup lengkap, bila dibandingkan dengan daging ternak konvensional. Namun perlu dilaporkan bahwa daging bandikut kaya akan asam lemak jenuh jenis laurat (1.97 %), miristat (3.79 %) dan palmitat (36.76 %) bila dibandingkan dengan ternak domestikasi lainnya. Hal ini perlu diwaspadai karena telah banyak disinyalir bahwa tingginya konsumsi asam lemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol darah yang dapat memicu penyakit jantung koroner. Fenomena tersebut dapat diantisipasi bila ratio asam lemak jenuh dan tidak jenuh dalam makanan yang dikonsumsi seimbang. Sebab keseimbangan tersebut dapat merendahkan
kerentanan
individu
terhadap
penyakit
vaskuler
umumnya.
Meningkatnya asam lemak poli tak jenuh di dalam makanan, seperti linolenat, arakhidonat dan linoleat yang mampu menghasilkan eikopentanoat (EPA) dan dekosaheksanoat (DHA) akan menurunkan kolesterol darah meskipun lemak dan kolesterol yang dikonsumsi tinggi. Tingginya asam lemak jenuh di dalam daging bandikut tersebut diduga dikarenakan tingginya lemak daging yang terbentuk yang disebabkan oleh tingginya kandungan asam lemak jenuh dalam pakan yang dikonsumsi bandikut. Pada proses metabolisme lemak, pendepositan lemak pakan tanpa di ubah. Tidak seperti pada ternak ruminansia, dimana asam lemak tidak jenuh
86
dalam pakan yang dikonsumsi akan terjadi proses hirogenasi oleh mikroba rumen menjadi deposit asam lemak jenuh. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa warna, bau dan rasa daging bandikut dapat diterima dan disukai oleh masyarakat di Papua seperti halnya terhadap daging babi, daging ayam dan daging sapi. Teknik budidaya bandikut Pemilihan Jenis Bandikut Ada beberapa jenis bandikut di Indonesia yang berpotensi dapat dikembangkan sebagai satwa budidaya. Untuk itu perlu dipilih jenis dan individu bandikut yang memiliki sifat lebih tenang dibandingkan dengan yang lainnya sehingga tujuan budidaya bandikut dapat terlaksana dengan baik. Individu bandikut yang berprilaku tenang dapat lebih mudah diatur pada lingkungan budidaya. Apabila telah dipelajari karakter atau tingkah laku masing-masing jenis bandikut maka pengembangannya adalah dengan cara menyesuaikan karakter tersebut dengan tujuan budidaya. Oleh karena itu di dalam pengembangan bandikut sebagai satwa budidaya, faktor kesejahteraan (animal welfare) harus diperhatikan pula. Hal ini sebagai seninya budidaya satwa yang belum didomestikasi dan mempunyai sifat alami yang liar. Tantangan pengembangan memang cukup tinggi mengingat bandikut masih belum banyak diketahui karakteristik tingkah lakunya. Sesuai tujuan akhir dari budidaya bandikut adalah produk daging yang dapat dipasarkan maka perlu dipilih jenis bandikut yang menghasilkan banyak dagingnya. Hasil kajian distribusi bobot daging pada potongan karkas terhadap bobot karkas atau bobot total daging bandikut, menunjukkan bahwa bobot daging potongan karkas bagian kaki depan bandikut jenis dada merah lebih tinggi dari bandikut jenis dada putih. Sebaliknya bobot daging potongan karkas bagian kaki belakang bandikut dada merah lebih rendah dari pada bobot daging potongan karkas kaki belakang bandikut dada putih. Tingginya perdagingan pada bagian karkas kaki depan (shoulder dan shank) bandikut dada merah dikarenakan bandikut dada merah lebih lincah dan agresif dibanding dengan bandikut dada putih yang lebih bertemperamen lamban.
87
Menurut Berg dan Butterfield (1976) yang dikemukakan Lawrie (2003), hewan yang lebih lincah (agile) mempunyai perkembangan urat daging yang lebih besar pada anggota badan depan. Ditinjau dari sisi komersil maka untuk upaya budidaya jenis bandikut berdada putih akan lebih banyak berdaging terutama pada karkas bagian kaki belakang yang biasa dipertimbangkan oleh konsumen. Usaha pembudidayaan bandikut lebih baik dipilih jenis bandikut berdada putih karena bandikut jenis ini selain memiliki proporsi daging paha bagian belakang lebih banyak juga memiliki temperamen lambat sehingga akan lebih mudah pengelolaannya. Perkandangan Ditinjau dari fungsi kandang, perkandangan untuk bandikut pada dasarnya adalah sama dengan perkandangan hewan atau ternak lain, yakni sesuai dengan tujuan, fungsi atau manfaat kandang itu sendiri, tanpa mengurangi prinsip kenyamanan hewan atau ternak (animal welfare) yang dikandangkan. Manfaat kandang
antara
lain
menghindari
pengaruh
iklim
yang
membahayakan,
mempermudah tatalaksana dalam pemeliharaan dan mempermudah pengawasan terhadap gangguan dari luar. Bandikut merupakan hewan nokturnal dan memiliki sifat dan tingkah laku biologis tersendiri maka untuk mencapai keberhasilan dalam memelihara bandikut diperlukan rancangan perkandangan yang baik, sesuai dengan fungsi dan perilaku kehidupan bandikut. Berkaitan dengan sifat dan tingkah laku bandikut, maka perkandangan yang baik untuk bandikut harus memenuhi sarat, seperti : (1) Harus tersedia sarang untuk tempat bersembunyi, istirahat atau saat tercekam. Tempat sarang dapat berupa boks dari kayu ata dibuat lubang dangkal dan ditutup rumput kering; (2) Pagar untuk sistem out door dibuat cukup tinggi (1,5m) karena bandikut mampu melompat tinggi, dan bagian atas pagar terbuat dari bahan rata sehingga tidak bisa dipanjat; (3) Untuk kandang sistem in door maka alas kandang sebaiknya diberikan alas (litter), misal campuran tanah dan pasir atau galian rumput dan tanahnya atau serbuk gergaji; (4) sirkulasi udara didalam kandang cukup baik; dan (5) ukuran kandang untuk satu
88
pasang bandikut, pada sistem out door berukuran 3x4m dan sistem in door berukuran 2x2m. Sistem Pemeliharaan Bandikut Mencermati hasil kajian tingkah laku bandikut dan untuk mengurangi tingkat kematian bandikut dalam pemeliharaan maka untuk budidaya bandikut dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pemeliharaan out door atau mini “ranch”. Dibuat beberapa area petak perkembangbiakan (breeding colonies) berukuran 3x4m, tinggi pemagaran 1,5m dan dilengkapi tempat sarang, tempat pakan dan tempat air minum. Tempat pakan dan air minum ditempatkan dekat tempat sarang. Tempat sarang bisa dibuatkan lubang dangkal dan ditutup rumput atau daun kering atau berupa boks dari bahan kayu. Untuk mengantisipasii sifat
soliter dan sifat
frugnacious (suka berkelahi) maka bandikut tidak dapat dikandangkan lebih dari satu pasang secara bersamaan. Bandikut harus dipilih yang memiliki ukuran bobot tubuh hampir sama karena bila tidak sama maka bandikut yang lebih kecil dapat dilukai dan dibunuh. Bandikut jantan biasa lebih agresif dari pada betina. Sex ratio satu jantan banding dua betina dewasa (1:2) masih bisa dianjurkan. Ransum pakan sebaiknya lunak dan disarankan disubstitusi dengan pakan tambahan berupa pakan alami, misal pisang, insekta atau molusca kecil lainnya. Usaha mengurangi tingkat mortalitas anak bandikut dapat diupayakan dengan cara pemeliharaan bandikut pada petak koloni sampai umur anak bandikut lepas sapih. Anak-anak bandikut kemudian dipisahkan dari induknya dan dipindahkan ke kandang pembesaran (ranching)) sistem in door sampai umur dewasa. Bandikut muda tersebut yang dipilih sebagai indukan atau pejantan dapat dipindahkan kembali ke kandang koloni (out door). Pakan Bandikut Bandikut tergolong hewan omnivora (Cockburn, 1990; Reese, 2001). Di habitat alamnya, bandikut pemakan insekta (semut hitam, belalang, serangga kecil, kumbang muda, larva, pupa, kupu-kupu kecil, rayap), invertebrata (cacing tanah, laba-laba, ulat kayu) dan vertebrata kecil (kadal, katak dan tikus) serta buah-buahan yang jatuh, biji-
89
bijian dan akar atau batang pohon lapuk. Selain itu bandikut juga memakan keong, kelapa, pisang, pepaya, ubi jalar, buah sagu, dan sisa makanan manusia bila masuk ke pemukiman atau kebun penduduk. Bandikut paling menyukai tipe makanan jenis insekta dan invertebrata (Quin, 1985; Stodart, 1977). Pada hasil penelitian, bandikut mampu mengkonsumsi pakan baru berupa konsentrat 19 – 21.84 g/ekor/hari (diberikan secara tunggal), dengan tingkat kesukaan 24.02 – 31.11 % bila diberikan bersamaan dengan pakan lain seperti pisang. Konsumsi bahan kering bandikut jantan 3.05 % dan betina 3.04 % dari berat badan. Keadaan tersebut dapat menggambarkan bahwa bandikut dapat dibudidayakan dengan tambahan pakan berupa pakan konsentrat. Sehingga dalam upaya pengembangannya pemberian pakan konsentrat dapat dioptimalkan secara bertahap. Kendala-kendala Budidaya Bandikut Pada proses domestikasi bandikut, sering mengalami hambatan kematian karena bandikut sangat mudah mengalami stress, terutama stress terhadap faktor lingkungan. Gemmell (1988) melaporkan bahwa bandikut (jenis Isoodon macrourus) di dalam kandang, rata-rata tingkat survival anak bandikut pada masa menyusui 46,1% (berkisar antara 31,3-78.9%), sampai masa penyapihan berkisar antara 36,5-50,8% dan dari penyapihan sampai dewasa kelamin sebesar 32,5%. Induk bandikut menunjukkan tidak melindungi anaknya bahkan cenderung untuk membunuh dan memakannya. Hal ini dilaporkan disebabkan karena stress, baik terhadap lingkungan kandang yang tidak menguntungkan/nyaman maupun kondisi lingkungan iklim karena pergantian musim di Australia. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa kematian bandikut di dalam kandang percobaan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : (1) beberapa aspek yang berhubungan dengan pola adaptasi dan praktek pengekangan atau pengandangan sehingga secara psikologis, bandikut merasa tertekan (psychological stressor); (2) lingkungan yang asing, ruangan terlalu sempit sehingga kehilangan ruang gerak yang leluasa, kehilangan teritorial, herarki sosial, kontak sosial dan kehilangan pakan yang biasa dikonsumsi serta perubahan ritme biologis (behavior
90
stressor); (3) adanya luka pada kaki bekas jeratan waktu penangkapan dan luka akibat perkelahian sesama bandikut karena ada yang bergabung, bau obat selama pengobatan luka, kegaduhan suara selama pengandangan, perubahan temperatur dari lingkungan in situ ke ex situ dan sentuhan-sentuhan yang tidak terduga saat penangkapan maupun penimbangan (somatic stressor); dan (4) banyaknya ektoparasit (kutu) pada bulu rambut sering menyebabkan bandikut tidak tenang/nyaman. Prospek Budidaya Bandikut Berkaitan dengan Konservasi Alam Bandikut (Echymipera sp.) merupakan salah satu satwa endemik Papua yang saat ini statusnya masih sebagai hewan liar yang tidak dilindungi undang-undang dan populasinya belum diketahui. Satwa ini tidak termasuk jenis dalam daftar CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora), baik pada appendix I maupun appendix II. Artinya, bandikut dapat diperdagangkan secara internasional dan populasinya tidak dalam taraf yang membahayakan. Menurut Flannery (1995a), bandikut termasuk dalam kategori squre dan tidak masuk kedalam kategori dan criteria kelangkaan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Hal ini berarti satwa bandikut di Indonesia masih aman dan tidak terancam punah atau tingkat kepunahannya masih rendah. Berdasarkan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2004), menyebutkan bahwa pemanfaatan hidupan liar Indonesia dimungkinkan dilakukan baik dalam bentuk (a) pengkajian, penelitian dan pengembangan; (b) penangkaran; (c) perburuan; (d) perdagangan; (e) peragaan; pertukaran atau (f) pemeliharaan untuk kesenangan (Pasal 36 ayat 1). Sedangkan aturan teknis untuk pelaksanaan dari pemanfaatan satwa liar ini didapat dalam Peraturan Pemerintah no.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, serta Keputusan Menteri Kehutanan no. 447 tahun 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Menurut aturan teknis ini, pemanfaatan satwa liar bertujuan agar dapat didayagunakan secara lestari untuk kemakmuran manusia dengan didasarkan pada
91
prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah kerusakan atau degradasi populasi. Adapun ijin penangkapan dapat diberikan oleh balai kepada perorangan, lembaga konservasi, lembaga penelitian, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Pemanfaatan satwa liar di Indonesia mempunyai aturan tersendiri sehingga penyebutan penangkaran ataupun peternakan atau satwa budidaya sering menjadi rancu. Peraturan Pemerintah no.8 tahun 1999, menjelaskan bahwa pengertian penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui perkembangbiakan dan pembesaran dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Hasil penangkaran untuk persilangan bagi satwa liar yang tidak dilindungi hanya dapat dilakukan setelah generasi pertama (F1). SK MENTAN no.404/Kpts/OT.210/6/2002 (Departemen Kehutanan, 2004), menerangkan bahwa istilah usaha peternakan diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan menghasilkan ternak (bibit/potong), telur, susu serta menggemukan suatu ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkan. Budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ternak dan hasil ikutannya bagi konsumen. Istilah disini semuanya sama, yaitu memelihara hewan dalam kendali manusia untuk tujuan diambil manfaat dari produknya. Berkaitan dengan satwa bandikut yang akan dimanfaatkan sebagai satwa budidaya merupakan awal dari usaha pemanfaatan secara menyeluruh untuk selanjutnya dapat dikembangkan ke arah pendekatan ilmu peternakan. Pemanfaatan satwa liar untuk tujuan mengarah ke usaha peternakan merupakan usaha konservasi dan pemanfaatan yang dapat berjalan saling menguntungkan. Bandikut mempunyai peluang yang tinggi untuk dilakukan penelitian dalam rangka menunjang upaya pembudidayaannya sehingga dapat dimanfaatkan produksinya secara optimal. Apabila satwa bandikut dikembangkan sebagai satwa budidaya untuk tujuan dimanfaatkan daging atau bagian-bagian tubuh lainnya sebagai produk konsumen, maka selain mematuhi perundangan no.5 tahun 1990, juga perlu memperhatikan UU no.6 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Aturan teknis dari perundangan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah
92
no.22 tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Peraturan-peraturan
tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pemeliharaan kesehatan manusia dan ketentraman bathin masyarakat. Duplikasi kewenangan untuk pengembangan usaha bandikut sebagai hewan atau satwa budidaya perlu dihindari sehingga diperlukan juga koordinasi di antara instansi terkait.
93
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Bandikut memilki ciri yang unik, tubuh tebal dan padat, leher pendek, kepala sempit dan lancip dengan geligi poliprotodon. Kaki depan lebih pendek dari kaki belakang, jari kedua dan ketiga kaki belakang bersatu. Saluran akhir pencernaan, reproduksi dan eskresi bermuara di kloaka. Betina berkantung dengan 8 putting, dan pada jantan testes dalam skrotum menggantung panjang keluar dari abdomen. 2. Secara morfometri berat badan bandikut mencapai 4 600 g, tubuh jantan lebih berat dan panjang dengan dada dan leher lebih tebal, serta lingkar kaki belakang dan depan lebih besar dari betina. Jenis bandikut dada putih lebih berat dengan ciri moncong dan kepala lebih panjang serta telinga lebih besar dari bandikut dada merah. 3. Dari sisi tingkah laku, bandikut termasuk hewan malam (nokturnal) dan soliter serta
memerlukan sarang untuk hidupnya.
Di dalam kandang,
1.32 % bandikut menggunakan waktu untuk makan, minum dan groming, 42.93 % untuk sembunyi atau tinggal di dalam sarang dan 55.75 % untuk foraging dan aktifitas lain. 4. Bandikut mampu mengkonsumsi pakan baru berupa konsentrat 19-21.84 g/ekor/hari (diberikan secara tunggal), dengan tingkat kesukaan 24.02– 31.11 % bila diberikan bersamaan dengan pakan lain seperti pisang. Konsumsi bahan kering bandikut jantan 3.05 % dan betina 3.04 % dari berat badan. 5. Persentase karkas bandikut sebesar 67.8 % dengan ratio daging tulang sebesar 3.41:1 sehingga bandikut berpotensi untuk dijadikan sebagai hewan penghasil daging.
94
6. Bobot daging potongan karkas kaki bagian belakang bandikut dada putih lebih tinggi dari pada bandikut dada merah dan sebaliknya bobot daging potongan karkas kaki bagian depan bandikut dada merah lebih tinggi dari bandikut dada putih. 7. Daging bandikut masuk kriteria empuk dengan pH dan susut masak normal serta daya mengikat air lebih tinggi dari daging ternak domestikasi. Mengandung protein cukup rendah dengan asam amino yang lengkap dan lemak tinggi dengan asam lemak laurat, miristat dan palmitat cukup tinggi. 8. Dari aspek warna, bau dan rasa, daging bandikut dapat diterima khususnya oleh masyarakat Papua sehingga dapat dikembangkan sebagai satwa budidaya untuk tujuan produksi daging. Saran Dari hasil penelitian ini dapat direkomendasikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Cara penangkapan bandikut dari habitat alam sebaiknya digunakan alat perangkap (trapper), untuk mengurangi stress akibat luka bila digunakan alat jerat, 2. Untuk budidaya bandikut dapat dipilih dari jenis bandikut dada putih karena lebih berdaging dan lebih jinak dari pada bandikut dada merah. 3. Perlu penelitian yang intensif tentang karakteristik bandikut terutama aspek produksi, makanan dan nutrisi serta reproduksi bandikut untuk memperkaya informasi bandikut Indonesia. 4. Perlu dilakukan penelitian menggunakan sistem out door atau mini “ranch” dengan pemberian pakan dari berbagai level imbangan protein dan energi untuk mengevaluasi kinerja produksi bandikut. 5. Informasi hasil penelitian ini dapat digunakan bagi pemerintah atau instansi terkait sebagai bahan acuan dalam rangka untuk pengembangbiakan bandikut sebagai hewan budidaya dan sekaligus sebagai upaya pelestariannya.
95
95
DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, ES Reeves, MD Judge, RE Hunsley, TW Perry. 1981. Palatability and muscle characteristics of cattle with controlled weight gain : Time on High Energy Diet. J. Anim. Sci. 52 : 752-763. Alan H, Varnam, JP Sutherland. 1995. Meat and Meat Products. Technology, Chemistry and Microbiology. London : Vo. 3. Chapman & Hall. Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Vol. ke-1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. DIKTI. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Arka IB. 2004. Pengaruh penggemukan terhadap kualitas daging dan karkas pada sapi Bali [disertasi]. Bandung : Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran. Arifin. 2004. Kajian produktivitas dan produk Napu (Tragulus napu) Di Provinsi Jambi [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Babiker SA, Bello A. 1986. Hot cutting of goat carcass following early postmortem high temperature Aging. Meat Sci. 17 : 111-120. Basuki P. 2000. Kajian optimalisasi usaha penggemukan sapi (feedlot) melalui manipulasi pakan, pertumbuhan komponen dan periode waktu penggemukan [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Berg RT, RM Butterfield. 1976. New Concepts of Cattle Growth. Sidney University Press. Sidney. Blakely J, DH Bade. 1985. The Science of Animals Husbandry. 4th Ed. Prentice-Hall, Inc. A Division of Simon & Schuster, Englewood Cliffs, New Jersey, USA. Blasco A, Ouhayoun J, Masoero G. 1993. Harmonization of criteria and terminology in rabbit meat research. World Rabbit Science. 1 (1), 3-10. Boggs DL, Merkel RA. 1984. Live Animal Carcass Evaluation And Selection Manual. 2nd ed. Kendall/Hunt Publishing Company. Iowa. Bovera F, DiMeo, Barone C, Gazaneo MP, Taranto S, Nizza A. 2003. A survey on carcass and meat characteristics of ischia rabbits raised in pits. World Rabbit Sci. 1366-1371.
96
Chambers J. 2001. Long Nosed Bandicoot : Perameles nasuta. http://rainforestaustralia.com/lbandicoot.htm (12/18/2001). Chang SC. 1975. The Asiatic Water Buffalo. Food and fertilizer technology center for the Asian Pasific region, Taiwan. Clarke SD. 2000. Poly unsaturated fatty acid regulation of gene transcription : a mechanism to improve energy balance and insulin resistence. British J. of Nutrition 83 : 559-566. Cockburn A. 1990. Life history of the bandicoots : developmental rigidity and phenotypic plasticity. In : Bandicoots and Bilbies. Pp 285-292. Eds. Seebeck JH, Brown PR, Wallis RL, Kemper CM. Surrey Beatty and Sons.. Craig JV. 1981. Domestic Animal Behavior : Causes and Implication For Animal Care and Management. Prentige Hall, Inc. Englewood Cliffs. New Jersey. Crampton EW, Harris LE. 1969. Applied Animal Nutrition. Ed ke-2. San Fransisco. W.H. Freeman and Co. Damshik M. 2001. Produktivitas kambing Kacang yang mendapat ransum penggemukan dengan kandungan protein yang berbeda [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Devendra C, Burns M. 1970. Goat Production in The Tropics. England : Commenwealth Agricultural Bureau Farnham. Devendra C, Burns M. 1994. Produksi Kambing Di Daerah Tropis. Harya Putra IDK, penerjemah; Bandung : ITB. Terjemahan dari : Goats Production in The Tropics. Dewi SHC. 2004. Pengaruh pemberian gula, insulin dan lama istirahat sebelum pemotongan pada domba setelah pengangkutan terhadap kualitas daging [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan perundang-undangan bidang perlindungan hutan dan konservasi alam. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta. [Ditjenbinpronak] Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2001. Kebijakan pembangunan peternakan ruminansia. Seminar ruminansia 2001, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, 10 April 2001. [Ditjenak] Direktorat Jenderal Peternakan. 1998. Statistik Peternakan 1998. Direktorat Bina Prograam, Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.
97
[Ditjenak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan 2007. Direktorat Bina Prograam, Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta. Ensminger ME. 1978. Animals Science. The Interstate Printers & Publisher Inc., Denville, Illinois. Fishman B. 2001. Isoodon macrourus , Large Short-Nosed Bandicoot. Univ. of Michigan. USA. Flannery T. 1995a. Mammals of New Guinea. The Australian Museum. _________. 1995b. Mammals of The South-West Pasific and Moluccan Islands. The Australian Museum. Forrest JC, Aberle ED, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA. 1975. Principles of Meat Science. WH Freeman and Company. San Fransisco. Gall C. 1981. Goat Production. Academic Press. New York. Gaman PM, Sherrington KB. 1991. The Science of Food, An Introduction to Food Science, Nutrition and Microbiology. 2nd ed. Pergamon Press. Oxford. Gemmell RT. 1982. Breeding bandicoots in Brisbane (Isoodon macrourus; Marsupialia, Peramelidae). Aust. Mammal. 5: 187-193. Gemmell RT. 1988. Survival of pouch young and juvenile bandicoots, Isoodon macrourus (marsupialia : peramelidae), in captivity. Australian Mammalogy 12 : 73-76 Gemmell RT, Hendrikz JK. 1993. Growth rate of the bandicoot Isoodon macrourus; and the brushtail passum Trichosurus vellpecula. Aust. J. Zool 41, 141-9. Ghosh S, Mandal L. 2007. Carcass and Meat Quality Trait of Rabbits (Oryctolagus cuniculus) Under Warm-Hamid Condition of West Bengal India. http://ag.ansc.purdue.edu/meat_quality. (12 -8-2008). Gibbons JD. 1975. Non Parametric of Quantitative Analysis. Alatama. Graeme GG, Maynes GM. 1990. Status of New Guinea bandicoots. In : Bandicoots and Bilbies. Pp 93-105. Eds. Seebeck JH, Brown PR, Wallis RL, Kemper CM. Surrey Beatty and Sons.
98
Gordon G, Hall LS, Atherton RG. 1990. Status of bandicoots in Queensland. In : Bandicoots and Bilbies. Pp 37-42. Eds. Seebeck JH, Brown PR, Wallis RL, Kemper CM. Surrey Beatty and Sons. Hammond JH. 1982. Farm Animals : Their breeding, growth and inheritance. 3rd ed. Edward Arnold Ltd. London.
Hawa I, Vidyadaran MK, Liang JB, Roch JJ, Kudo H. 1993. Digestible energy and protein intake of the lesser mouse-deer (Tragulus javanicus) feed lundai (Sapium baccatum) and a commercial pellet. Proc. Of 5th Veterinary Association Malaysia Congress. Hlm 87-88. Hector L, S Anandon. 2002. Biological, nutritional and processing factor affecting breast meat quality of broiler. [disertasi]. Virginia : Faculty of Virginia Polytechnic Institute, Blacksburg Virginia. http://scholar.lib.vt.edu/theses/ available/etd-02212002-113821/unrestricted/Dissertation.pdf (27– 8-2005) Hultin HO. 1985. Characteristic of Muscle Tissue. Dalam : Fennema OR (Ed). Food Chemistry. 2nd Ed. Marcel Dekker Inc. New York. Judge MD, Aberle ED, Forrest JC, Hedrick HB, Markel RA. 1989. Principle of Meat Science. 2nd ed. Kendal/Hunt Publishing Co. Iowa. Kempster T, Cuthbertson A, Harrington G. 1982. Carcass Evaluation in Livestock Breeding, Production and Marketing. Westview Press, Inc. Boulder, Colorado. Kusrini DS. 2001. Tingkat konsumsi daging bandikut oleh penduduk asli dan faktorfaktor yang mempengaruhinya di kecamatan Warmare. Faperta Unipa. Manokwari. Lancaster E. 2001. Perameles gunii (Eastern Barred Bandicoot). Univ. of Michigan. USA. Lawrie RA 1974. Meat Component and Their Variability. Di dalam : Cole DJA, Lawrie RA, editor. Proccedings of the twenty-first Easter School in Agricultural Science. University of Nottingham Butterworths. Lawrie RA. 1979. Meat Science. 3rd Ed. Pergamon Press. Oxford _________ . 1988. Meat Science. 4th Ed. Pergamon Press. Oxford. Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Parakkasi A, penerjemah; Jakarta : UI-Press. Terjemahan dari : Meat Science.
99
Leche TF. 1973. Proportion of carcass and offal components in Jersey and Friesion bulls in relation to plane of nutrition. Aust.J.Agric. Rec. 24 : 623-631. Lewis JM, Klopfenstein TJ, Pfeiffer GA, Stock RA. 1990. An economic evaluation of the differences between intensive and extensive beef production systems. J.Anim.Sci. 68: 2 506- 2 516. Levie A. 1979. Meat Handbook. 4th ed. Van Nostrand Reinhold Company, New York. Lindenmayer. 1997. Australian Metatherian : Dasyuromorphis, Notoryctemorphia, Peramelemorpha, Diprotodontia. http://voyager.uvm.edu/ (14 April 2004). Linder MC. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Lemak. Didalam : Biokimia nutrisi dan metabolisme dengan pemakaian secara klinis. UI Press.Jakarta. Lister D. 1980. Growth and meat quality in animals. In: Growth in Animals. Eds. Lawrence TLJ, Butterworths. London. Lobert B, Lee K. 1990. Reproduction and life history of Isoodon obesulus in Victorian heatland. In : Bandicoots and Bilbies. Pp 311-318. Eds. Seebeck JH, Brown PR, Wallis RL, Kemper CM. Surrey Beatty and Sons. Lyne AG. 1964. Observation on the breeding and growth of the marsupial Perameles nasuta Geoffroy, with notes on other bandicoots. Aust. J. Zool., 1964, 12, 322339. Lyne AG. 1976. Observation on oestrus and the oestrus cycle in the marsupials Isoodon macrourus and Perameles nasuta. Aust. J. Zool., 1976, 24, 513-521 Lyne AG. 1990. A brief review of bandicoot studies. In : Bandicoots and Bilbies. Eds. Seebeck JH, Brown PR, Wallis RL, Kemper CM. Surrey Beatty and Sons. Mackerras MJ, Smith RH. 1960. Breeding the short nosed marsupial, bandicoot, Isoodon marcourus (Gould), in captivity. Aust. J. Zool. 1960. 371-381. Manufandu JS. 2000. Pola tingkah laku harian bandikut hidung panjang (Echymipera rufescens) di penangkaran. Faperta Unipa. Manokwari. Martin P, Bateson P. 1999. Measuring Behaviour : An introductory guide. 2nd ed. Canbridge University Press. Melbourne. Maynard LA, Loosli JK, Hintz HF, Warner RG. 1982. Animal Nutrition. 7th ed. McGraw-Hill Publishing Co.Ltd.New Delhi.
100
Menzies J. 1991. A Handbook of New Guinea Marsupials and Monotremes. Kristen Pres Inc. Papua New Guinea. Miller DS. et.al. 2000. Aglutinating antibodies to toxoplasma gondii insera from captive eastern barred bandicoots in Australia. Univ. of Wisconsin. Madeson, USA. Moran JB, Wood JT. 1986. Comparative performance of five genotypes of Indonesian large ruminants III. Growth and development of carcass tissues. Aust. J. Agric. Res. 37 : 435-447. Murphy A. 1993. Behaviour of eastern barred bandicoots, Perameles Gunnii (Marsupialia : Peramelidae), breeding in captivity. Australian Mammalogy 1993 16 (1) : 91-94. Natasasmita A. 1978. Body composition of swamp buffalo (Bubalus bubalis), a study of development growth and sex differences [PhD thesis]. Australia University of Melbourne. ___________. 1979. Aspek pertumbuhan dan perkembangan dalam produksi ternak daging. Ceramah Ilmiah, 17 Februari 1979. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Nelson DL, Cook MM, Lehninger. 2000. Principles of Biochemistry. 3rd Ed. Worth Publishing, New York. Nolan JV. 1995. Food intake, nutrient utilization and water turnover in lesser mousedeer (T. javanicus) given lundai (Sapium baccatum). Comp. Biochem. Physiol. IIIA : 177-182. Noriwari MA. 2001. Studi tingkah laku makan dan pertumbuhan bandikut hidung panjang (Echymipera rufescens) di penangkaran. Faperta Unipa. Manokwari. NRC. 1984. Nutrient Requirements of Laboratory Animals. National Academy Press. Washington, D.C. Obendorf DL, Munday BL. 1990. Toxoplasmosis in wild eastern barred bandicoots, Perameles gunnii. In : Bandicoots and Bilbies. Pp 193-197. Eds. Seebeck JH, Brown PR, Wallis RL, Kemper CM. Surrey Beatty and Sons. Ogujanovic A. 1974. Meat and Meat Production. Dalam : WR Cockrill (Editor). The Husbandry and Healthbof The Domestic Buffalo. FAO of The United Nations, Roma.
101
Paliling A. 2002. Habitat mencari makan bandikut di desa Anjai kecamatan Kebar kabupaten Manokwari. Faperta Unipa. Manokwari. Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Jakarta : UI Press. Payne J, MF Charles, P Karen, NK Sri. 2000. Panduan Lapang Mamalia Di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. WCA-Indonesia Program. Bogor. Pearson AM. 1971a. The Science of Meat and Meat Products. Editor : Price JF, BS Schweigert. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. __________. 1971b. Obyective and Subyective Measurement. Di dalam : Procceding Meat Tenderness Symposium. Camden-New Jersey. hlm 135-160. Petocz R. 1994. Mamalia Darat Irian Jaya. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Preston TR, Willis MB. 1982. Intensive Beef Production. 2nd ed. Pergamon Press. London. Primack RB., Supriyatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Putrawan H. 2005. Sifat fisik kimia daging dan potongan karkas kancil (Tragulus javanicus) [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Quin DG. 1985. Observation on the diet of the southern brown bandicoot, Isoodon obesulus (Marsupialia : Peramelidae), in Southern Tasmania. Aust. Mammal. 11 : 15-25. Rahayu WP. 1994. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor : Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Randa SY. 2007. Bau daging dan performa itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta kombinasi komposisi antioksidan (Vitamin A, C dan E) dalam pakan [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Reese N. 2001. Reproduction, growth, activity and diet of southern brown bandicoots, Isoodon obesulus. Sth. Aust. Nat. Vol. 75, No. 3/4 Reksowardojo DH. 2001. Kajian tentang kualitas daging segar satwa Babirusa, Babihutan dan Rusa Timor. Bulletin Peternakan. Edisi Tambahan. Fapet,UGM. Yogyakarta.
102
Saunders MC, RT Gemmell, JD Ceerlewis. 2000. Plasma concentrations of thyroxine and growth hormone in the developing marsupial bandicoot, Isoodon macrourus. Reprod. Fertil. Dev., 2000, 12, 263-267. Seebeck JH, PR Brown, RL Wallis, CM Kemper. 1990. Bandicoots and Bilbies. Surrey Beatty & Sons Pty Limited. Pp. 375-376. Singhal RS, Kulkarni PR, DV Rege. 1977. Handbook of Indices of Food Quality and Autenticity. Cambridge. England : Woodhead Publishing Limited. Soekarto, ST. 1985. Metode Penelitian Indrawi. Pusat Antar Universita. Institut Pertanian Bogor. Hlm 226-280. Rose SP. 1997. Principles of Poultry Science. London : CABI International. Rosmawati. 2003. Pengaruh kondisi daging dan suhu penyimpanan terhadap karakteristik fisik dan mikrobiologi daging kuda [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rosyidi D. 2005. Beberapa aspek biologi dan karakteristik karkas kancil (Tragulus javanicus) [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Scott JP. 1972. Animal Behavior. 2nd ed. University of Chicago Press. Chicago.Pp 16-22. Soeparno, Sumadi. 1991. Produksi Karkas, Faktor-Faktor Yield Grade dan Kualitas Daging Dari Tiga Bangsa Sapi yang Digemukan Secara Feedlot. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi. Buku VI Bidang Ilmu Pertanian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Dikti. Jakarta. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan I. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Stanley M, Andrykovitch G. 1984. Living : An Introduction To Biology. Addison Wesley Publishing Company, Inc. Canada. Stodart E. 1977. Breeding and behaviour of Australian bandicoots. : The Biology of Marsupials. Pp. 179-191. Eds Stonehouse B & Gilmore D. Macmillan : London. Strahan, R. 1990. The Australian Museum. Complete Book of Australian Mammals. The National Photographic Index of Australian Wildlife. Angus and Robertson Publishers.
103
Suyanto A. Roden di Jawa, LIPI- Seri Panduan Lapangan. Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Bogor. Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs. New Jersey. Taylor RE. 1984. Beef Production and Industry : A beef Producer Perspective. Mc.Millan Pub. New Jersey. Tate GHH. 1948. Results of The Archbold Expedition No. 60. Studies in The Peramelidae (Marsupialia). Buletin of The American Musium of Natural History. Volume 92 : Article 6. New York. Unenor E. 2001. Teknologi perburuan bandikut oleh suku Hatam di Oransbari. Faperta Unipa. Manokwari. [USDA] United State of Departement Agricultural. 2007. http://en.wilkipedia.org/wiki/horse_meat. (12 Agustus 2008)
Horse
Meat.
Van Der Zon, APM. 1979. Mammals Of Indonesia. Draft Version. UNDP/FAO National Park Development Project. Bogor. Vaughan TA. 1986. Mammalogy. Sounders College Publishing. Florida. Wahyuni I. 2005. Tingkah laku, reproduksi, dan karakteristik daging tikus ekor putih (Maxomys hellwandii) [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Warsono IU. 1994. Evaluasi performa karkas dan daging beberapa bangsa sapi lokal (Madura, Bali dan Sumba Ongole) [tesis]. Bandung : Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran. Williamson IH. 1982. Growth and Energy. In : Course manual in nutrition and growth. Pp. 1-23. Davies HL, editor. Australian Vice-chancellors Committee AUIDP. Hedges & Bell Pty Ltd., Melbourne, Australia. Williamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan Di Daerah Tropik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ziegler AC. 1977. Evolution of New Guinea’s marsupial fauna in response to a forested environment. In : The Biology of marsupials. Pp. 117-138. Eds Stonehouse B & Gilmore D. Macmillan : London.
105
Lampiran 1 Analisis variansi dan Uji-t (LSD) pengaruh jenis kelamin terhadap morfometri bandikut Dependent Variable: Berat Badan (BB) Source Model Error Corrected Total
DF 1 28 29
R-Square 0.171192 Source SEX
Sum of Squares 2992148.80952381 14486217.85714280 17478366.66666660 C.V. 60.52854
DF 1
Root MSE 719.28083769
Anova SS 2992148.80952381
1483.8 850.7
Pr > 0.0230
BB Mean 1188.33333333
Mean Square F Value 2992148.80952381 5.78
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 517364.9 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 539.2 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean A B
Mean Square F Value 2992148.80952381 5.78 517364.92346939
Pr > F 0.0230
N SEX 16 14
J B
Dependent Variable: Panjang Badan Kepala (BK) Source Model Error Corrected Total
DF 1 28 29
R-Square 0.103303 Source SEX
Sum of Squares 59.62633929 517.57366071 577.20000000 C.V. 12.87243
DF 1
Mean Square F Value 59.62633929 3.23 18.48477360 Root MSE 4.29939224
Anova SS 59.62633929
Pr > F 0.0833
BK Mean 33.40000000
Mean Square F Value Pr > F 59.62633929 3.23 0.0833
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 18.48477 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 3.223 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
34.719
16
J
31.893
14
B
Dependent Variable: Panjang Moncong (M) Source Model Error Corrected Total
DF 1 28 29
R-Square 0.054926 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 0.70029167 12.04937500 12.74966667 C.V. 15.38700 Anova SS 0.70029167
Mean Square F Value 0.70029167 1.63 0.43033482 Root MSE 0.65599910
M Mean 4.26333333
Mean Square F Value 0.70029167 1.63
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 0.430335 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.4918 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333
Pr > F 0.2126
Pr > F 0.2126
106
T Grouping A A A
Mean
N SEX
4.4063
16
J
4.1000
14
B
Dependent Variable: Panjang Kepala (K) Source Model Error Corrected Total
DF 1 28 29
R-Square 0.095629 Source SEX
Sum of Squares 4.52609524 42.80357143 47.32966667 C.V. 13.68210
DF 1
Mean Square F Value 4.52609524 2.96 1.52869898 Root MSE 1.23640567
Anova SS 4.52609524
Pr > F 0.0963
K Mean 9.03666667
Mean Square F Value Pr > F 4.52609524 2.96 0.0963
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 1.528699 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.9269 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
9.4000
16
J
8.6214
14
B
Dependent Variable: Panjang Badan (PB) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Tota 29
Sum of Squares 55.55372024 293.78794643 349.34166667
R-Square 0.159024 Source SEX
C.V. 12.76114
DF 1
Mean Square F Value 55.55372024 5.29 10.49242666 Root MSE 3.23920155
Anova SS 55.55372024
Pr > F 0.0290
PB Mean 25.38333333
Mean Square F Value 55.55372024 5.29
Pr > F 0.0290
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 10.49243 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 2.4282 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A B
26.656 23.929
16 14
J B
Dependent Variable: Lingkar leher (L) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29 R-Square 0.202952 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 18.54300595 72.82366071 91.36666667 C.V. 10.94602 Anova SS 18.54300595
Mean Square F Value 18.54300595 7.13 2.60084503 Root MSE 1.61271356
L Mean 14.73333333
Mean Square F Value 18.54300595 7.13
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 2.600845 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 1.209
Pr > F 0.0125
.
Pr > F 0.0125
107
Harmonic Mean of cell sizes= 14.9333 T Grouping Mean N SEX A B
15.4688 13.8929
16 14
J B
Dependent Variable: Lingkar Dada (D) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 50.47466667 208.35500000 258.82966667
R-Square 0.195011 Source SEX
C.V. 12.21250
DF 1
Mean Square F Value 50.47466667 6.78 7.44125000 Root MSE 2.72786547
Anova SS 50.47466667
Pr > F 0.0146
D Mean 22.33666667
Mean Square F Value 50.47466667 6.78
Pr > F 0.0146
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 7.44125 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 2.0449 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A B
23.5500 20.9500
16 14
J B
Dependent Variable: Lebar Dada (LD) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29 R-Square 0.088829 Source SEX
Sum of Squares 3.29485714 33.79714286 37.09200000 C.V. 19.47968
DF 1
Mean Square F Value Pr > F 3.29485714 2.73 0.1097 1.20704082 Root MSE 1.09865409
Anova SS 3.29485714
L D Mean 5.64000000
Mean Square F Value Pr > F 3.29485714 2.73 0.1097
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 1.207041 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.8236 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
5.9500
16
J
5.2857
14
B
Dependent Variable: Dalam Dada (DD) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29 R-Square 0.139126 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 5.54300595 34.29866071 39.84166667 C.V. 14.72429 Anova SS 5.54300595
Mean Square F Value 5.54300595 4.53 1.22495217 Root MSE 1.10677557
Pr > F 0.0423
DD Mean 7.51666667
Mean Square F Value Pr > F 5.54300595 4.53 0.0423
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 1.224952 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.8297
108
Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 Means with the same letter are not significantly different. T Grouping Mean N SEX A
7.9188
16 J
B
7.0571
14 B
Dependent Variable: Panjang Telinga (T) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 0.01314881 6.40151786 6.41466667
R-Square 0.002050 Source SEX
Mean Square F Value 0.01314881 0.06 0.22862564
C.V. 21.86653
DF 1
Root MSE 0.47814813
Anova SS 0.01314881
Pr > F 0.8122
T Mean 2.18666667
Mean Square F Value 0.01314881 0.06
Pr > F 0.8122
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 0.228626 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.3584 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
2.2063
16
J
2.1643
14
B
Dependent Variable: Lebar Telinga (LT) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 0.00009524 1.07357143 1.07366667
R-Square 0.000089 Source SEX
Mean Square F Value 0.00009524 0.00 0.03834184
C.V. 11.36232
DF 1
Root MSE 0.19581072
Anova SS 0.00009524
Pr > F 0.9606
LT Mean 1.72333333
Mean Square F Value 0.00009524 0.00
Pr > F 0.9606
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 0.038342 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.1468 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
1.72500
16
J
1.72143
14
B
Dependent Variable: Tinggi Bahu (TB) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29 R-Square 0.155390 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 18.58505357 101.01794643 119.60300000 C.V. 16.55987 Anova SS 18.58505357
Mean Square F Value 18.58505357 5.15 3.60778380 Root MSE 1.89941670
Pr > F 0.0311
TB Mean 11.47000000
Mean Square F Value 18.58505357 5.15
Pr > F 0.0311
109
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 3.607784 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 1.4239 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A B
12.2063 10.6286
16 14
J B
Dependent Variable: Tinggi Pinggul (P) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 28.86192857 111.16107143 140.02300000
R-Square 0.206123 Source SEX
C.V. 16.23876
DF 1
Mean Square F Value 28.86192857 7.27 3.97003827 Root MSE 1.99249549
Anova SS 28.86192857
Pr > F 0.0117
P Mean 12.27000000
Mean Square F Value 28.86192857 7.27
Pr > F 0.0117
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 3.970038 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 1.4937 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A B
13.1875 11.2214
16 14
J B
Dependent Variable: Lingkar Paha Kaki Depan (PD) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 13.33933929 55.82366071 69.16300000
R-Square 0.192868 Source SEX
C.V. 17.49672
DF 1
Mean Square F Value 13.33933929 6.69 1.99370217 Root MSE 1.41198519
Anova SS 13.33933929
Pr > F 0.0152
PD Mean 8.07000000
Mean Square F Value 13.33933929 6.69
Pr > F 0.0152
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 1.993702 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 1.0585 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A B
8.6938 7.3571
16 14
J B
Dependent Variable: Lingkar Paha Kaki Belakang (PB) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29 R-Square 0.213215 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 21.62402381 79.79464286 101.41866667 C.V. 13.29940 Anova SS 21.62402381
Mean Square F Value 21.62402381 7.59 2.84980867 Root MSE 1.68813763
PB Mean 12.69333333
Mean Square F Value 21.62402381 7.59
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 2.849809
Pr > F 0.0102
Pr > F 0.0102
110
Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 1.2655 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A B
13.4875 11.7857
16 14
J B
Dependent Variable: Lingkar Perut (LP) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 28.28809524 216.17857143 244.46666667
R-Square 0.115714 Source SEX
C.V. 12.09844
DF 1
Mean Square F Value 28.28809524 3.66 7.72066327 Root MSE 2.77860815
Anova SS 28.28809524
Pr > F 0.0659
LP Mean 22.96666667
Mean Square F Value 28.28809524 3.66
Pr > F 0.0659
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 7.720663 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 2.083 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
23.875
16
J
21.929
14
B
Dependent Variable: Panjang Ekor (E) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 8.85952381 37.40214286 46.26166667
R-Square 0.191509 Source SEX
C.V. 15.79632
DF 1
Mean Square F Value 8.85952381 6.63 1.33579082 Root MSE 1.15576417
Anova SS 8.85952381
Pr > F 0.0156
E Mean 7.31666667
Mean Square F Value 8.85952381 6.63
Pr > F 0.0156
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 1.335791 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.8664 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A B
7.8250 6.7357
16 14
J B
Dependent Variable: Panjang Telapak Kaki Depan (TD) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29 R-Square 0.246222 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 2.58500595 7.91366071 10.49866667 C.V. 16.57891 Anova SS 2.58500595
Mean Square F Value 2.58500595 9.15 0.28263074 Root MSE 0.53163027
TD Mean 3.20666667
Mean Square F Value 2.58500595 9.15
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 0.282631
Pr > F 0.0053
Pr > F 0.0053
111
Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.3985 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A B
3.4813 2.8929
16 14
J B
Dependent Variable: Panjang Telapak Kaki Belakang (TB) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 8.20402381 14.59464286 22.79866667
R-Square 0.359847 Source SEX
C.V. 12.08651
DF 1
Mean Square F Value 8.20402381 15.74 0.52123724 Root MSE 0.72196762
Anova SS 8.20402381
Pr > F 0.0005
TB Mean 5.97333333
Mean Square F Value 8.20402381 15.74
Pr > F 0.0005
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 0.521237 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.5412 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A B
6.4625 5.4143
16 14
J B
Dependent Variable: Panjang Kuku Kaki Depan (KD) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 0.14025149 3.64216518 3.78241667
R-Square 0.037080 Source SEX
C.V. 24.84471
DF 1
Mean Square F Value 0.14025149 1.08 0.13007733 Root MSE 0.36066235
Anova SS 0.14025149
Pr > F 0.3080
KD Mean 1.45166667
Mean Square F Value 0.14025149 1.08
Pr > F 0.3080
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 0.130077 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.2704 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
1.5156
16
J
1.3786
14
B
Dependent Variable: Panjang Kuku Kaki Belakang (KB) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 0.17405357 3.09294643 3.26700000
R-Square 0.053276 Source SEX
DF 1
C.V. 25.37090 Anova SS 0.17405357
Mean Square F Value 0.17405357 1.58 0.11046237 Root MSE 0.33235880
KB Mean 1.31000000
Mean Square F Value 0.17405357 1.58
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 0.110462
Pr > F 0.2198
Pr > F 0.2198
112
Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.2491 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
1.3813
16
J
1.2286
14
B
Dependent Variable: Lebar Telapak Kaki Depan (LTD) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 0.00572024 4.53294643 4.53866667
R-Square 0.001260 Source SEX
Mean Square F Value 0.00572024 0.04 0.16189094
C.V. 33.71705
DF 1
Root MSE 0.40235674
Anova SS 0.00572024
Pr > F 0.8523
LTD Mean 1.19333333
Mean Square F Value 0.00572024 0.04
Pr > F 0.8523
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 0.161891 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.3016 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
1.2063
16 J
1.1786
14 B
Dependent Variable: Lebar Telapak Kaki Belakang (LTB) Source DF Model 1 Error 28 Corrected Total 29
Sum of Squares 0.03085714 4.09714286 4.12800000
R-Square 0.007475 Source SEX
C.V. 26.93849
DF 1
Mean Square F Value 0.03085714 0.21 0.14632653 Root MSE 0.38252651
Anova SS 0.03085714
Pr > F 0.6496
LTB Mean 1.42000000
Mean Square F Value Pr > F 0.03085714 0.21 0.6496
Alpha= 0.05 df= 28 MSE= 0.146327 Critical Value of T= 2.05 Least Significant Difference= 0.2868 Harmonic Mean of cell sizes= 14.93333 T Grouping Mean N SEX A A A
1.4500
16
J
1.3857
14
B
Dependent Variable: Berat Jantung (J) Source DF Model 1 Error 16 Corrected Total 17 R-Square 0.074725 Source
DF
Sum of Squares 11.22250000 138.96250000 150.18500000 C.V. 54.07448 Anova SS
Mean Square F Value 11.22250000 1.29 8.68515625 Root MSE 2.94705892
Pr > F 0.2724
J Mean 5.45000000
Mean Square F Value
Pr > F
113
SEX
1
11.22250000
11.22250000
1.29
0.2724
Alpha= 0.05 df= 16 MSE= 8.685156 Critical Value of T= 2.12 Least Significant Difference= 3.1237 Harmonic Mean of cell sizes= 8 T Grouping Mean N SEX A A A
6.008
12
J
4.333
6
B
Dependent Variable: Berat Paru-Paru (PP) Source DF Model 1 Error 17 Corrected Total 18
Sum of Squares 24.46476190 279.31523810 303.78000000
R-Square 0.080534 Source SEX
Mean Square F Value 24.46476190 1.49 16.43030812
C.V. 49.43209
DF 1
Root MSE 4.05343165
Anova SS 24.46476190
Pr > F 0.2390
PP Mean 8.20000000
Mean Square F Value 24.46476190 1.49
Pr > F 0.2390
Alpha= 0.05 df= 17 MSE= 16.43031 Critical Value of T= 2.11 Least Significant Difference= 4.0673 Harmonic Mean of cell sizes= 8.842105 T Grouping Mean N SEX A A A
9.067
12
J
6.714
7
B
Dependent Variable: Berat Hati (H) Source DF Model 1 Error 17 Corrected Total 18
Sum of Squares 124.24316416 3101.86630952 3226.10947368
R-Square 0.038512 Source SEX
Mean Square F Value 124.24316416 0.68 182.46272409
C.V. 44.72027
DF 1
Root MSE 13.50787637
Anova SS 124.24316416
Pr > F 0.4207
H Mean 30.20526316
Mean Square F Value 124.24316416 0.68
Pr > F 0.4207
Alpha= 0.05 df= 17 MSE= 182.4627 Critical Value of T= 2.11 Least Significant Difference= 13.554 Harmonic Mean of cell sizes= 8.842105 T Grouping Mean N SEX A A A
32.158
12
J
26.857
7
B
Dependent Variable: Berat Ginjal (G) Source DF Model 1 Error 17 Corrected Total 18 R-Square 0.018557
Sum of Squares 12.34218202 652.75229167 665.09447368 C.V. 86.12611
Mean Square F Value 12.34218202 0.32 38.39719363 Root MSE 6.19654691
Pr > F 0.5782
G Mean 7.19473684
114
Source SEX
DF 1
Anova SS 12.34218202
Mean Square F Value 12.34218202 0.32
Pr > F 0.5782
Alpha= 0.05 df= 17 MSE= 38.39719 Critical Value of T= 2.11 Least Significant Difference= 6.2177 Harmonic Mean of cell sizes= 8.842105 T Grouping Mean N SEX A A A
8.250
7
B
6.579
12
J
Dependent Variable: Panjang Oesophagus (O) Source DF Model 1 Error 17 Corrected Total 18
Sum of Squares 249.86983083 24064.77964286 24314.64947368
R-Square 0.010277 Source SEX
Mean Square F Value 249.86983083 0.18 1415.57527311
C.V. 114.3408
DF 1
Root MSE 37.62413153
Anova SS 249.86983083
Pr > F 0.6796
O Mean 32.90526316
Mean Square F Value 249.86983083 0.18
Pr > F 0.6796
Alpha= 0.05 df= 17 MSE= 1415.575 Critical Value of T= 2.11 Least Significant Difference= 37.753 Harmonic Mean of cell sizes= 8.842105 T Grouping Mean N SEX A A A
35.68
12
J
28.16
7
B
Dependent Variable: Usus Halus (UH) Source DF Model 1 Error 17 Corrected Total 18
Sum of Squares 993.78969925 24615.58714286 25609.37684211
R-Square 0.038806 Source SEX
Mean Square F Value 993.78969925 0.69 1447.97571429
C.V. 77.77466
DF 1
Root MSE 38.05227607
Anova SS 993.78969925
Pr > F 0.4189
UH Mean 48.92631579
Mean Square F Value 993.78969925 0.69
Pr > F 0.4189
Alpha= 0.05 df= 17 MSE= 1447.976 Critical Value of T= 2.11 Least Significant Difference= 38.182 Harmonic Mean of cell sizes= 8.842105 T Grouping Mean N SEX A A A
54.45
12
J
39.46
7
B
Dependent Variable: Panjang Caecum (C) Source DF Model 1 Error 16 Corrected Total 17
Sum of Squares 3.80250000 1363.76250000 1367.56500000
Mean Square F Value 3.80250000 0.04 85.23515625
Pr > F 0.8354
115
R-Square 0.002780 Source SEX
C.V. 111.0095
DF 1
Root MSE 9.23228879
Anova SS 3.80250000
C Mean 8.31666667
Mean Square F Value Pr > F 3.80250000 0.04 0.8354
Alpha= 0.05 df= 16 MSE= 85.23516 Critical Value of T= 2.12 Least Significant Difference= 9.7858 Harmonic Mean of cell sizes= 8 T Grouping Mean N SEX A A A
8.642
12
J
7.667
6
B
Dependent Variable: Panjang Kolon (K) Source DF Model 1 Error 14 Corrected Total 15
Sum of Squares 55.58437500 548.52500000 604.10937500
R-Square 0.092010 Source SEX
Mean Square F Value 55.58437500 1.42 39.18035714
C.V. 52.57257
DF 1
Root MSE 6.25942147
Anova SS 55.58437500
Pr > F 0.2534
K Mean 11.90625000
Mean Square F Value 55.58437500 1.42
Pr > F 0.2534
Alpha= 0.05 df= 14 MSE= 39.18036 Critical Value of T= 2.14 Least Significant Difference= 6.9327 Harmonic Mean of cell sizes= 7.5 T Grouping Mean N SEX A A A
13.350
10
J
9.500
6
B
Dependent Variable: Berat Limfa (L) Source DF Model 1 Error 11 Corrected Total 12
Sum of Squares 12.70173077 195.92750000 208.62923077
R-Square 0.060882 Source SEX
Mean Square F Value 12.70173077 0.71 17.81159091
C.V. 86.26559
DF 1
Root MSE 4.22037805
Anova SS 12.70173077
A A A
L Mean 4.89230769
Mean Square F Value 12.70173077 0.71
Alpha= 0.05 df= 11 MSE= 17.81159 Critical Value of T= 2.20 Least Significant Difference= 5.582 Harmonic Mean of cell sizes= 5.538462 T Grouping Mean N SEX 6.375
4
B
4.233
9
J
Pr > F 0.4164
Pr > F 0.4164
116
Lampiran 2 Analisis variansi dan Uji-t (LSD) pengaruh jenis warna dada terhadap morfometri bandikut Dependent Variable: Berat Badan (BB) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 1387953.60119048 14006470.35714280 15394423.95833330
R-Square 0.090160 Source WDADA
Mean Square 1387953.60119048 636657.74350649
C.V. 60.74481
DF 1
Root MSE 797.90835533
Anova SS 1387953.60119047
F Value 2.18
Pr > F 0.1540
BB Mean 1313.54166667
Mean Square F Value 1387953.60119047 2.18
Pr > F 0.1540
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 636657.7 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 685.14 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
1516.8
14
P
1029.0
10
M
Dependent Variable: Panjang Badan dan Kepala (BK) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 51.25744048 360.98214286 412.23958333
R-Square 0.124339 Source WDADA
Mean Square F Value 51.25744048 3.12 16.40827922
C.V. 11.74829
DF 1
Root MSE 4.05071342
Anova SS 51.25744048
Pr > F 0.0910
BK Mean 34.47916667
Mean Square F Value 51.25744048 3.12
Pr > F 0.0910
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 16.40828 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 3.4782 Harmonic Mean of cell sizes= 11.6666 T Grouping Mean N WDADA A A A
35.714
14
P
32.750
10
M
Dependent Variable: Panjang Moncong (M) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23 R-Square 0.524130 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares 4.27144048 3.87814286 8.14958333 C.V. 9.479350 Anova SS 4.27144048
Mean Square F Value 4.27144048 24.23 0.17627922 Root MSE 0.41985619
M Mean 4.42916667
Mean Square F Value 4.27144048 24.23
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 0.176279 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 0.3605 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667
Pr > F 0.0001
Pr > F 0.0001
117
T Grouping A B
Mean 4.7857 3.9300
N WDADA 14 10
P M
Dependent Variable: Panjang Kepala (K) Source DF Model 1 rror 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 11.83344048 23.96614286 35.79958333
R-Square 0.330547 Source WDADA
Mean Square F Value 11.83344048 10.86 1.08937013
C.V. 11.19781
DF 1
Root MSE 1.04372895
Anova SS 11.83344048
Pr > F 0.0033
K Mean 9.32083333
Mean Square F Value 11.83344048 10.86
Pr > F 0.0033
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 1.08937 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 0.8962 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A B
9.9143 8.4900
14 10
P M
Dependent Variable: Panjang Badan (PB) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 19.50476190 241.32857143 260.83333333
R-Square 0.074779 Source WDADA
Mean Square F Value 19.50476190 1.78 10.96948052
C.V. 12.65740
DF 1
Root MSE 3.31202061
Anova SS 19.50476190
Pr > F 0.1960
PB Mean 26.16666667
Mean Square F Value 19.50476190 1.78
Pr > F 0.1960
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 10.96948 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 2.8439 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
26.929
14
P
25.100
10
M
Dependent Variable: Lingkar Leher (L) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23 R-Square 0.009486 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares 0.80476190 84.02857143 84.83333333 C.V. 13.10178 Anova SS 0.80476190
Mean Square F Value 0.80476190 0.21 3.81948052 Root MSE 1.95434913
L Mean 14.91666667
Mean Square F Value 0.80476190 0.21
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 3.819481 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 1.6781 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667
Pr > F 0.6507
Pr > F 0.6507
118
T Grouping A A A
Mean
N WDADA
15.0714
14
P
14.7000
10
M
Dependent Variable: Lingkar Dada (D) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 1.00119048 195.19714286 196.19833333
R-Square 0.005103 Source WDADA
Mean Square F Value 1.00119048 0.11 8.87259740
C.V. 12.98376
DF 1
Root MSE 2.97869055
Anova SS 1.00119048
Pr > F 0.7401
D Mean 22.94166667
Mean Square F Value 1.00119048 0.11
Pr > F 0.7401
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 8.872597 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 2.5577 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
23.114
14
P
22.700
10
M
Dependent Variable: Lebar Dada (LD) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 1.99144048 29.88814286 31.87958333
R-Square 0.062468 Source WDADA
Mean Square F Value 1.99144048 1.47 1.35855195
C.V. 20.02410
DF 1
Root MSE 1.16556937
Anova SS 1.99144048
Pr > F 0.2388
LD Mean 5.82083333
Mean Square F Value 1.99144048 1.47
Pr > F 0.2388
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 1.358552 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 1.0008 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
6.0643
14
P
5.4800
10
M
Dependent Variable: Dalam Dada (DD) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23 R-Square 0.131920 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares 3.60119048 23.69714286 27.29833333 C.V. 13.29163 Anova SS 3.60119048
Mean Square F Value 3.60119048 3.34 1.07714286 Root MSE 1.03785493
DDMean 7.80833333
Mean Square F Value 3.60119048 3.34
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 1.077143
Pr > F 0.0811
Pr > F 0.0811
119
Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 0.8912 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
8.1357
14
P
7.3500
10
M
Dependent Variable: Panjang Telinga (T) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 1.03601190 5.13357143 6.16958333
R-Square 0.167923 Source WDADA
Mean Square F Value 1.03601190 4.44 0.23334416
C.V. 21.99881
DF 1
Root MSE 0.48305709
Anova SS 1.03601190
Pr > F 0.0467
T Mean 2.19583333
Mean Square F Value 1.03601190 4.44
Pr > F 0.0467
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 0.233344 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 0.4148 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A B
2.3714 1.9500
14 10
P M
Dependent Variable: Lebar Telinga (LT) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 0.41185714 0.63314286 1.04500000
R-Square 0.394122 Source WDADA
Mean Square F Value 0.41185714 14.31 0.02877922
C.V. 9.834458
DF 1
Root MSE 0.16964440
Anova SS 0.41185714
Pr > F 0.0010
LT Mean 1.72500000
Mean Square F Value 0.41185714 14.31
Pr > F 0.0010
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 0.028779 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 0.1457 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A B
1.83571 1.57000
14 10
P M
Dependent Variable: Tinggi Bahu (B) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23 R-Square 0.094214 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares 7.69542857 73.98457143 81.68000000 C.V. 15.34586 Anova SS 7.69542857
Mean Square F Value 7.69542857 2.29 3.36293506 Root MSE 1.83383071
Pr > F 0.1446
TGBAHU Mean 11.95000000
Mean Square F Value Pr > F 7.69542857 2.29 0.1446
120
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 3.362935 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 1.5746 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
12.4286
14
P
11.2800
10
M
Dependent Variable: Tinggi Pinggul (P) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 13.88571429 95.61428571 109.50000000
R-Square 0.126810 Source WDADA
Mean Square F Value 13.88571429 3.19 4.34610390
C.V. 16.35083
DF 1
Root MSE 2.08473113
Anova SS 13.88571429
Pr > F 0.0877
P Mean 12.75000000
Mean Square F Value 13.88571429 3.19
Pr > F 0.0877
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 4.346104 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 1.790 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
13.3929
14
P
11.8500
10
M
Dependent Variable: Lingkar Paha Kaki Depan (PD) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 0.06344048 51.49614286 51.55958333
R-Square 0.001230 Source WDADA
Mean Square F Value 0.06344048 0.03 2.34073377
C.V. 18.16858
DF 1
Root MSE 1.52994567
Anova SS 0.06344048
Pr > F 0.8707
PD Mean 8.42083333
Mean Square F Value 0.06344048 0.03
Pr > F 0.8707
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 2.340734 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 1.3137 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
8.4643
14
P
8.3600
10
M
Dependent Variable: Lingkar Paha Kaki Belakang (PB) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23 R-Square 0.009958
Sum of Squares 0.57096429 56.76528571 57.33625000 C.V. 12.11169
Mean Square F Value 0.57096429 0.22 2.58024026 Root MSE 1.60631263
Pr > F 0.6427
PB Mean 13.26250000
121
Source WDADA
DF 1
Anova SS 0.57096429
Mean Square F Value 0.57096429 0.22
Pr > F 0.6427
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 2.58024 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 1.3793 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
13.3929
14
P
13.0800
10
M
Dependent Variable: Lingkar Perut (LP) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 11.43333333 136.90000000 148.33333333
R-Square 0.077079 Source WDADA
Mean Square F Value 11.43333333 1.84 6.22272727
C.V. 10.54031
DF 1
Root MSE 2.49453949
Anova SS 11.43333333
Pr > F 0.1890
LP Mean 23.66666667
Mean Square F Value 11.43333333 1.84
Pr > F 0.1890
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 6.222727 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 2.142 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
24.250
14
P
22.850
10
M
Dependent Variable: Panjang Ekor (E) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 4.98344048 54.46614286 59.44958333
R-Square 0.083826 Source WDADA
Mean Square F Value 4.98344048 2.01 2.47573377
C.V. 21.76525
DF 1
Root MSE 1.57344646
Anova SS 4.98344048
Pr > F 0.1700
E Mean 7.22916667
Mean Square F Value 4.98344048 2.01
Pr > F 0.1700
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 2.475734 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 1.3511 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
7.6143
14
P
6.6900
10
M
Dependent Variable: Panjang Telapak Kaki Depan (TD) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23 R-Square
Sum of Squares 0.67433333 22.80400000 23.47833333 C.V.
Mean Square F Value 0.67433333 0.65 1.03654545 Root MSE
Pr > F 0.4285
TD Mean
122
0.028722 Source WDADA
28.21549
DF 1
1.01810876
Anova SS 0.67433333
3.60833333
Mean Square F Value 0.67433333 0.65
Pr > F 0.4285
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 1.036545 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 0.8742 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
3.7500
14
P
3.4100
10
M
Dependent Variable: Panjang Telapak Kaki Belakang (TB) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 0.34001190 51.49957143 51.83958333
R-Square 0.006559 Source WDADA
Mean Square F Value 0.34001190 0.15 2.34088961
C.V. 26.28484
DF 1
Root MSE 1.52999660
Anova SS 0.34001190
Pr > F 0.7068
TB Mean 5.82083333
Mean Square F Value 0.34001190 0.15
Pr > F 0.7068
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 2.34089 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 1.3138 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
5.9214
14
P
5.6800
10
M
Dependent Variable: Panjang Kuku Kaki Depan (KD) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 0.41852679 1.57303571 1.99156250
R-Square 0.210150 Source WDADA
Mean Square F Value 0.41852679 5.85 0.07150162
C.V. 17.75256
DF 1
Root MSE 0.26739787
Anova SS 0.41852679
Pr > F 0.0243
KD Mean 1.50625000
Mean Square F Value 0.41852679 5.85
Pr > F 0.0243
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 0.071502 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 0.2296 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A B
1.6179 1.3500
14 10
P M
Dependent Variable: Panjang Kaku Kaki Belakang (KB) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 0.07058333 2.08900000 2.15958333
Mean Square F Value 0.07058333 0.74 0.09495455
Pr > F 0.3979
123
R-Square 0.032684 Source WDADA
C.V. 22.75547 DF 1
Root MSE 0.30814695
Anova SS 0.07058333
KB Mean 1.35416667
Mean Square F Value 0.07058333 0.74
Pr > F 0.3979
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 0.094955 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 0.2646 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
1.4000
14
P
1.2900
10
M
Dependent Variable: Lebar Telapak Kaki Depan (LTD) Source DF Model 1 Error 22 Corrected Total 23
Sum of Squares 0.04144048 4.12814286 4.16958333
R-Square 0.009939 Source WDADA
Mean Square F Value 0.04144048 0.22 0.18764286
C.V. 34.08611 DF 1
Root MSE 0.43317763
Anova SS 0.04144048
Pr > F 0.6430
LTD Mean 1.27083333
Mean Square F Value 0.04144048 0.22
Pr > F 0.6430
Alpha= 0.05 df= 22 MSE= 0.187643 Critical Value of T= 2.07 Least Significant Difference= 0.372 Harmonic Mean of cell sizes= 11.66667 T Grouping Mean N WDADA A A A
1.3200
10
M
1.2357
14
P
Dependent Variable: Lebar Telapak Kaki Belakang (LTB) Source DF Model 1 Error 20 Corrected Total 21
Sum of Squares 0.06565657 2.40888889 2.47454545
R-Square 0.026533 Source WDADA
Mean Square F Value 0.06565657 0.55 0.12044444
C.V. 24.00982
DF 1
Root MSE 0.34705107
Anova SS 0.06565657
Pr > F 0.4689
LTB Mean 1.44545455
Mean Square F Value 0.06565657 0.55
Pr > F 0.4689
Alpha= 0.05 df= 20 MSE= 0.120444 Critical Value of T= 2.09 Least Significant Difference= 0.3139 Harmonic Mean of cell sizes= 10.63636 T Grouping Mean N WDADA A A A
1.5111
9
M
1.4000
13
P
Dependent Variable: Berat Jantung (J) Source Model Error
DF 1 14
Sum of Squares 18.45730159 155.51269841
Mean Square F Value 18.45730159 1.66 11.10804989
Pr > F 0.2183
124
Corrected Total 15
173.97000000
R-Square 0.106095 Source WDADA
C.V. 60.87441
DF 1
Root MSE 3.33287412
Anova SS 18.45730159
J Mean 5.47500000
Mean Square F Value 18.45730159 1.66
Pr > F 0.2183
Alpha= 0.05 df= 14 MSE= 11.10805 Critical Value of T= 2.14 Least Significant Difference= 3.6024 Harmonic Mean of cell sizes= 7.875 T Grouping Mean N WDADA A A A
6.422
9
P
4.257
7
M
Dependent Variable: Berat Paru-Paru (P) Source DF Model 1 Error 15 Corrected Total 16
Sum of Squares 82.48478151 241.51757143 324.00235294
R-Square 0.254581 Source WDADA
Mean Square F Value 82.48478151 5.12 16.10117143
C.V. 48.07234
DF 1
Root MSE 4.01262650
Anova SS 82.48478151
Pr > F 0.0389
P Mean 8.34705882
Mean Square F Value 82.48478151 5.12
Pr > F 0.0389
Alpha= 0.05 df= 15 MSE= 16.10117 Critical Value of T= 2.13 Least Significant Difference= 4.2148 Harmonic Mean of cell sizes= 8.235294 T Grouping Mean N WDADA A B
10.190 5.714
10 7
P M
Dependent Variable: Berat Hati (H) Source DF Model 1 Error 15 Corrected Total 16
Sum of Squares 264.47142857 2824.44857143 3088.92000000
R-Square 0.085619 Source WDADA
Mean Square F Value 264.47142857 1.40 188.29657143
C.V. 44.99056
DF 1
Root MSE 13.72211979
Anova SS 264.47142857
Pr > F 0.2544
H Mean 30.50000000
Mean Square F Value 264.47142857 1.40
Pr > F 0.2544
Alpha= 0.05 df= 15 MSE= 188.2966 Critical Value of T= 2.13 Least Significant Difference= 14.414 Harmonic Mean of cell sizes= 8.235294 T Grouping Mean N WDADA A A A
33.800
10
P
25.786
7
M
Dependent Variable: Berat Ginjal (G) Source Model
DF 1
Sum of Squares 42.50421008
Mean Square F Value 42.50421008 1.51
Pr > F 0.2379
125
Error 15 Corrected Total 16
421.84814286 464.35235294
R-Square 0.091534 Source WDADA
28.12320952
C.V. 66.31353
DF 1
Root MSE 5.30313205
Anova SS 42.50421008
G Mean 7.99705882
Mean Square F Value 42.50421008 1.51
Pr > F 0.2379
Alpha= 0.05 df= 15 MSE= 28.12321 Critical Value of T= 2.13 Least Significant Difference= 5.5704 Harmonic Mean of cell sizes= 8.235294 T Grouping Mean N WDADA A A A
9.320
10
P
6.107
7
M
Dependent Variable: Panjang Oesophagus (O) Source DF Model 1 Error 15 Corrected Total 16
Sum of Squares 54.85735294 24265.10500000 24319.96235294
R-Square 0.002256 Source WDADA
Mean Square F Value 54.85735294 0.03 1617.67366667
C.V. 92.13655 DF 1
Root MSE 40.22031410
Anova SS 54.85735294
Pr > F 0.8564
O Mean 43.65294118
Mean Square F Value 54.85735294 0.03
Pr > F 0.8564
Alpha= 0.05 df= 15 MSE= 1617.674 Critical Value of T= 2.13 Least Significant Difference= 42.247 Harmonic Mean of cell sizes= 8.235294 T Grouping Mean N WDADA A A A
45.80
7
M
42.15
10
P
Dependent Variable: Panjang Usus Halus (UH) Source DF Model 1 Error 15 Corrected Total 16
Sum of Squares 1136.22171429 25101.37828571 26237.60000000
R-Square 0.043305 Source WDADA
Mean Square F Value 1136.22171429 0.68 1673.42521905
C.V. 102.7827
DF 1
Root MSE 40.90752032
Anova SS 1136.22171429
A A A
46.64
10
P
30.03
7
M
Dependent Variable: Panjang Caecum (C)
UH Mean 39.80000000
Mean Square F Value 1136.22171429 0.68
Alpha= 0.05 df= 15 MSE= 1673.425 Critical Value of T= 2.13 Least Significant Difference= 42.969 Harmonic Mean of cell sizes= 8.235294 T Grouping Mean N WDADA
Pr > F 0.4228
Pr > F 0.4228
126
Source DF Model 1 Error 14 Corrected Total 15
Sum of Squares 1.49349206 754.77650794 756.27000000
R-Square 0.001975 Source WDADA
Mean Square F Value 1.49349206 0.03 53.91260771
C.V. 94.43756
DF 1
Root MSE 7.34252053
Anova SS 1.49349206
Pr > F 0.8702
C Mean 7.77500000
Mean Square F Value 1.49349206 0.03
Pr > F 0.8702
Alpha= 0.05 df= 14 MSE= 53.91261 Critical Value of T= 2.14 Least Significant Difference= 7.9363 Harmonic Mean of cell sizes= 7.875 T Grouping Mean N WDADA A A A
8.044
9
P
7.429
7
M
Dependent Variable: Panjang Kolon (K) Source DF Model 1 Error 13 Corrected Total 14
Sum of Squares 1.40833333 643.02500000 644.43333333
R-Square 0.002185 Source WDADA
Mean Square F Value 1.40833333 0.03 49.46346154
C.V. 64.32646
DF 1
Root MSE 7.03302648
Anova SS 1.40833333
Pr > F 0.8686
K Mean 10.93333333
Mean Square F Value 1.40833333 0.03
Pr > F 0.8686
Alpha= 0.05 df= 13 MSE= 49.46346 Critical Value of T= 2.16 Least Significant Difference= 8.3221 Harmonic Mean of cell sizes= 6.666667 T Grouping Mean N WDADA A A A
11.150
10
P
10.500
5
M
Dependent Variable: Berat Limfa (L) Source DF Model 1 Error 10 Corrected Total 11
Sum of Squares 35.43809524 147.22857143 182.66666667
R-Square 0.194004 Source WDADA
Mean Square F Value 35.43809524 2.41 14.72285714
C.V. 82.81376
DF 1
Root MSE 3.83703755
Anova SS 35.43809524
A A A
L Mean 4.63333333
Mean Square F Value 35.43809524 2.41
Alpha= 0.05 df= 10 MSE= 14.72286 Critical Value of T= 2.23 Least Significant Difference= 5.006 Harmonic Mean of cell sizes= 5.833333 T Grouping Mean N WDADA 6.086
7
P
2.600
5
M
Pr > F 0.1518
Pr > F 0.1518
127
Lampiran 3a Analisis variansi dan Uji-t (LSD) pengaruh jenis kelamin terhadap berat badan, karkas dan potongan karkas bandikut Dependent Variable: BB (Berat Badan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.209522 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 462080.00 1743320.00 2205400.00 C.V. 28.29174
Mean Square F Value 462080.00 4.77 96851.11 Root MSE 311.20911155
Anova SS 462080.00
Pr > F 0.0424
BH Mean 1100.00
Mean Square F Value 462080.00 4.77
Pr > F 0.0424
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 96851.11 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 292.4 T Grouping Mean N SEX A 1252.0 10 J B 948.0 10 B Dependent Variable: BK (Berat Karkas Panas) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.243459 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 307371.218 955145.174 1262516.392 C.V. 33.09324 Anova SS 307371.218
Mean Square F Value 307371.218 5.79 53063.62078 Root MSE 230.355423
Pr > F 0.0270
BK Mean 696.08
Mean Square F Value 307371.218 5.79
Pr > F 0.0270
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 53063.62 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 216.43 T Grouping Mean N SEX A 820.1 10 J B 572.1 10 B Dependent Variable: BKKD (Berat Karkas Kaki Depan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.263984 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 36048.5405 100506.997 136555.5375 C.V. 35.58724 Anova SS 36048.541
Mean Square F Value 36048.5405 6.46 5583.7221 Root MSE 74.72431
BKKD Mean 209.975
Mean Square F Value 36048.541 6.46
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 5583.722 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 70.208 T Grouping Mean N SEX A 252.43 10 J B 167.52 10 B
Pr > F 0.0205
Pr > F 0.0205
128
Dependent Variable: BKD (Berat Karkas Dada) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.216958 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 2858.4405 10316.645 13175.0855 C.V. 38.37539
Mean Square F Value 2858.4405 4.99 573.14694444 Root MSE 23.94048756
Anova SS 2858.4405
Pr > F 0.0385
BKD Mean 62.385
Mean Square F Value 2858.4405 4.99
Pr > F 0.0385
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 573.1469 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 22.494 T Grouping Mean N SEX A 74.34 10 J B 50.43 10 B Dependent Variable: BKL (Berat Karkas Loin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.277022 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 12984.608 33887.584 46872.192 C.V. 29.19489 Anova SS 12984.608
Mean Square F Value 12984.608 6.90 1882.6436 Root MSE 43.38944060
Pr > F 0.0171
BKL Mean 148.62
Mean Square F Value 12984.608 6.90
Pr > F 0.0171
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 1882.644 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 40.767 T Grouping Mean N SEX A 174.10 10 J B 123.14 10 B Dependent Variable: BKKB (Berat Karkas Kaki Belakang) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.184915 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 38193.80 168354.512 206548.312 C.V. 35.20350 Anova SS 38193.80
Mean Square F Value 38193.80 4.08 9353.02844444 Root MSE 96.7111
Pr > F 0.0584
BKKB Mean 274.72
Mean Square F Value 38193.80 4.08
Pr > F 0.0584
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 9353.028 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 90.866 T Grouping Mean N SEX A 318.42 10 J A A 231.02 10 B Dependent Variable: BKKDDG (Berat Daging Karkas Kaki Depan) Source Model
DF 1
Sum of Squares 20723.922
Mean Square F Value 20723.922 6.58
Pr > F 0.0195
129
Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.267553 Source SEX
DF 1
56733.278 77457.20 C.V. 36.95940 Anova SS 20723.922
3151.8488 Root MSE 56.14132861
BKKDDG Mean 151.90
Mean Square F Value 20723.922 6.58
Pr > F 0.0195
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 3151.849 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 52.748 T Grouping Mean N SEX A 184.09 10 J B 119.71 10 B Dependent Variable: BKKDRDT (Ratio Daging Tulang Karkas Kaki Depan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.073108 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 0.149645 1.89725 2.046895 C.V. 12.51331 Anova SS 0.149645
Mean Square F Value 0.149645 1.42 0.105403 Root MSE 0.32466
Pr > F 0.2489
BKKDRDT Mean 2.5945
Mean Square F Value 0.149645 1.42
Pr > F 0.2489
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.105403 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.305 T Grouping Mean N SEX A 2.6810 10 J A A 2.5080 10 B Dependent Variable: BKDDG (Berat Daging Karkas Dada) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.237231 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 2289.80 7362.39 9652.19 C.V. 41.82892 Anova SS 2289.80
Mean Square F Value 2289.80 5.60 409.0217 Root MSE 20.22428408
Pr > F 0.0294
BKDDG Mean 48.350
Mean Square F Value 2289.80 5.60
Pr > F 0.0294
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 409.0217 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 19.002 T Grouping Mean N SEX A 59.050 10 J B 37.650 10 B Dependent Variable: BKDRDT (Ratio Daging Tulang Karkas Dada) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.251140
Sum of Squares 3.32928 9.9274 13.25668 C.V. 21.88113
Mean Square F Value 3.32928 6.04 0.55152222 Root MSE 0.74264542
Pr > F 0.0244
BKDRDT Mean 3.394
130
Source SEX
DF Anova SS Mean Square F Value 1 3.32928 3.32928 6.04 Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.551522 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.6978 . T Grouping Mean N SEX A 3.8020 10 J B 2.9860 10 B
Pr > F 0.0244
Dependent Variable: BKLDG (Berat Daging Karkas Loin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.269632 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 9834.6125 26639.625 36474.2375 C.V. 31.39808 Anova SS 9834.6125
Mean Square F Value 9834.6125 6.65 1479.9792 Root MSE 38.47049735
Pr > F 0.0190
BKLDG Mean 122.525
Mean Square F Value 9834.6125 6.65
Pr > F 0.0190
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 1479.979 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 36.145 T Grouping Mean N SEX A 144.70 10 J B 100.35 10 B Dependent Variable: BKLRDT (Ratio Daging Tulang Karkas Loin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.020202 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 0.295245 14.31925 14.614495 C.V. 18.93463 Anova SS 0.295245
Mean Square F Value 0.295245 0.37 0.79551389 Root MSE 0.89191585
Pr > F 0.55
BKLRDT Mean 4.7105
Mean Square F Value 0.295245 0.37
Pr > F 0.55
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.795514 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.838 T Grouping Mean N SEX A 4.8320 10 J A A 4.5890 10 B Dependent Variable: BKKBDG (Berat Daging Karkas Kaki Belakang) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.204774 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 27825.80 108059.582 135885.382 C.V. 35.85923 Anova SS 27825.80
Mean Square F Value 27825.80 4.64 6003.31011111 Root MSE 77.481031
BKKBDG Mean 216.07
Mean Square F Value 27825.80 4.64
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 6003.31 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 72.798 T Grouping Mean N SEX
Pr > F 0.0451
Pr > F 0.0451
131
A 253.37 10 J B 178.77 10 B Dependent Variable: BKKBRDT (Ratio Daging Tulang Karkas Kaki Belakang) Source Model Error orrected Total
DF 1 18 19
R-Square 0.176872 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 0.8405 3.91152 4.75202 C.V. 12.71234 Anova SS 0.8405
Mean Square F Value 0.8405 3.87 0.21731 Root MSE 0.46616163
Pr > F 0.0648
BKKBRDT Mean 3.667
Mean Square F Value 0.8405 3.87
Pr > F 0.0648
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.217307 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.438 T Grouping Mean N SEX A 3.8720 10 J A A 3.4620 10 B Dependent Variable: PK (Persentase Karkas Dingin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.261769 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 97.94738 276.2271 374.17448 C.V. 6.288350 Anova SS 97.94738
Mean Square F Value 97.94738 6.38 15.34595 Root MSE 3.91739071
Pr > F 0.0211
PK Mean 62.296
Mean Square F Value 97.94738 6.38
Pr > F 0.0211
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 15.34595 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 3.6806 T Grouping Mean N SEX A 64.509 10 J B 60.083 10 B Dependent Variable: PKKD (Persentase Karkas Kaki Depan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.343463 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 22.071005 42.18925 64.260255 C.V. 8.189814 Anova SS 22.071005
Mean Square F Value 22.071005 9.42 2.34384722 Root MSE 1.53096284
Pr > F 0.0066
PKKD Mean 18.6935
Mean Square F Value 22.071005 9.42
Pr > F 0.0066
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 2.343847 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 1.4384 T Grouping Mean N SEX A 19.7440 10 J B 17.6430 10 B Dependent Variable: PKD (Persentase Karkas Dada) Source Model
DF 1
Sum of Squares 1.529045
Mean Square F Value 1.529045 3.22
Pr > F 0.0898
132
Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.151560 Source SEX
DF 1
8.55965 10.088695 C.V. 12.48016 Anova SS 1.529045
0.47553611 Root MSE 0.68959126
PKD Mean 5.5255
Mean Square F Value 1.529045 3.22
Pr > F 0.0898
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.475536 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.6479 T Grouping Mean N SEX A 5.8020 10 J A A 5.2490 10 B Dependent Variable: PKL (Persentase Karkas Loin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.100527 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 3.2805 29.35258 32.63308 C.V. 9.454970 Anova SS 3.2805
Mean Square F Value 3.2805 2.01 1.63069889 Root MSE 1.27698821
Pr > F 0.1732
PKL Mean 13.506
Mean Square F Value 3.2805 2.01
Pr > F 0.1732
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 1.630699 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 1.1998 T Grouping Mean N SEX A 13.9110 10 J A A 13.1010 10 B Dependent Variable: PKKB (Persentase Karkas Kaki Belakang) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.026103 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 4.149605 154.82049 158.9701 C.V. 11.9483 Anova SS 4.149605
Mean Square F Value 4.149605 0.48 8.60114 Root MSE 2.93277
Pr > F 0.4962
PKKB Mean 24.5455
Mean Square F Value 4.149605 0.48
Pr > F 0.4962
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 8.601138 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 2.7555 T Grouping Mean N SEX A 25.001 10 J A A 24.090 10 B Dependent Variable: LUD (Luas Udamaru) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square
Sum of Squares 0.616005 2.84585 3.461855 C.V.
Mean Square F Value 0.616005 3.90 0.158103 Root MSE
Pr > F 0.0639
LUD Mean
133
0.177941 Source SEX
DF 1
63.77248
0.3976214
0.6235
Anova SS 0.616005
Mean Square F Value 0.616005 3.90
Pr > F 0.0639
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.158103 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.3736 T Grouping Mean N SEX A 0.7990 10 J A A 0.4480 10 B
Lampiran 3b Analisis variansi dan Uji-t (LSD) pengaruh jenis warna dada terhadap berat badan, karkas dan potongan karkas bandikut Dependent Variable: BB (Berat Badan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.087095 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares 192080.00 2013320.00 2205400.00 C.V. 30.40377
Mean Square F Value 192080.00 1.72 111851.11 Root MSE 334.44149131
Anova SS 192080.00
Pr > F 0.2065
BH Mean 1100.00
Mean Square F Value 192080. 1.72
Pr > F 0.2065
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 111851.1 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 314.23 T Grouping Mean N WDADA A 1198.0 10 P A A 1002.0 10 M Dependent Variable: BK (Berat Karkas Dingin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 83514.888 1179001.504 1262516.392
R-Square 0.066150 Source WDADA
DF 1
C.V. 36.76730 Anova SS 83514.888
Mean Square F Value 83514.888 1.28 65500.0836 Root MSE 255.92984108
Pr > F 0.2736
BK Mean 696.08
Mean Square F Value 83514.888 1.28
Pr > F 0.2736
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 65500.08 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 240.46 T Grouping Mean N WDADA A 760.7 10 P A A 631.5 10 M Dependent Variable: BKKD (Berat Karkas Kaki Depan) Source Model Error
DF 1 18
Sum of Squares 5865.3125 130690.225
Mean Square F Value 5865.3125 0.81 7260.5681
Pr > F 0.3806
134
Corrected Total 19
136555.5375
R-Square 0.042952 Source WDADA
DF 1
C.V. 40.58053
Root MSE 85.20896699
Anova SS 5865.3125
BKKD Mean 209.975
Mean Square F Value 5865.3125 0.81
Pr > F 0.3806
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 7260.568 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 80.059 T Grouping Mean N WDADA A 227.10 10 P A A 192.85 10 M Dependent Variable: BKD (Berat Karkar Dada) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 463.6845 12711.401 13175.0855
R-Square 0.035194 Source WDADA
DF 1
Mean Square F Value 463.6845 0.66 706.18894444
C.V. 42.59712
Root MSE 26.57422
Anova SS 463.6845
Pr > F 0.4283
BKD Mean 62.385
Mean Square F Value 463.6845 0.66
Pr > F 0.4283
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 706.1889 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 24.968 T Grouping Mean N WDADA A 67.20 10 P A A 57.57 10 M Dependent Variable: BKL (Berat Karkas Loin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 930.248 45941.944 46872.192
R-Square 0.019846 Source WDADA
DF 1
C.V. 33.99313 Anova SS 930.248
Mean Square F Value 930.248 0.36 2552.33022 Root MSE 50.5205921
Pr > F 0.5536
BKL Mean 148.62
Mean Square F Value 930.248 0.36
Pr > F 0.5536
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 2552.33 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 47.467 T Grouping Mean N WDADA A 155.44 10 P A A 141.80 10 M Dependent Variable: BKKB (Berat Karkas Kaki Belakang) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.121892
Sum of Squares 25176.608 181371.704 206548.312 C.V. 36.53913
Mean Square F Value 25176.608 2.50 10076.2058 Root MSE 100.38030573
Pr > F 0.1314
BKKB Mean 274.72
135
Source WDADA
vv DF 1
Anova SS 25176.608
Mean Square F Value 25176.608 2.50
Pr > F 0.1314
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 10076.21 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 94.313 T Grouping Mean N WDADA A 310.20 10 P A A 239.24 10 M Dependent Variable: BKKDDG (Berat Daging Karkas Kaki Depan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 2113.568 75343.632 77457.20
R-Square 0.027287 Source WDADA
DF 1
C.V. 42.59212 Anova SS 2113.568
Mean Square F Value 2113.568 0.50 4185.75733 Root MSE 64.69742911
Pr > F 0.4864
BKKDDG Mean 151.90
Mean Square F Value 2113.568 0.50
Pr > F 0.4864
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 4185.757 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 60.787 T Grouping Mean N WDADA A 162.18 10 P A A 141.62 10 M Dependent Variable: BKKDRDT (Ratio Daging Tulang Karkas Kaki Depan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 0.300125 1.74677 2.046895
R-Square 0.146625 Source WDADA
DF 1
C.V. 12.00682 Anova SS 0.300125
Mean Square F Value 0.300125 3.09 0.097043 Root MSE 0.31152
Pr > F 0.0956
BKKDRDT Mean 2.5945
Mean Square F Value 0.300125 3.09
Pr > F 0.0956
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.097043 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.292 T Grouping Mean N WDADA A 2.7170 10 M A A 2.4720 10 P Dependent Variable: BKDDG (Berat Daging Karkas Dada) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 176.418 9475.772 9652.19
R-Square 0.018278 Source WDADA
DF 1
C.V. 47.45419 Anova SS 176.418
Mean Square F Value 176.418 0.34 526.432 Root MSE 22.94410115
Pr > F 0.5698
BKDDG Mean 48.35000000
Mean Square F Value 176.418 0.34
Pr > F 0.5698
136
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 526.4318 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 21.557 T Grouping Mean N WDADA A 51.32 10 P A A 45.38 10 M Dependent Variable: BKDRDT (Ratio Daging Tulang Karkas Dada) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.067806 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares 0.89888 12.3578 13.25668 C.V. 24.41308 Anova SS 0.89888
Mean Square F Value 0.89888 1.31 0.68654444 Root MSE 0.82857978
Pr > F 0.2675
BKDRDT Mean 3.394
Mean Square F Value 0.89888 1.31
Pr > F 0.2675
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.686544 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.7785 T Grouping Mean N WDADA A 3.6060 10 M A A 3.1820 10 P Dependent Variable: BKLDG (Berat Daging Karkas Loin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 457.9245 36016.313 36474.2375
R-Square 0.012555 Source WDADA
DF 1
C.V. 36.50805 Anova SS 457.9245
Mean Square F Value 457.9245 0.23 2000.9063 Root MSE 44.731491
Pr > F 0.6381
BKLDG Mean 122.525
Mean Square F Value 457.9245 0.23
Pr > F 0.6381
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 2000.906 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 42.028 T Grouping Mean N WDADA A 127.31 10 P A A 117.74 10 M Dependent Variable: BKLRDT (Ratio Dagibg Tulang Karkas Loin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 0.262205 14.35229 14.614495
R-Square 0.017941 Source WDADA
DF 1
C.V. 18.95646 Anova SS 0.262205
Mean Square F Value 0.262205 0.33 0.79734944 Root MSE 0.8929443
BKLRDT Mean 4.7105
Mean Square F Value 0.262205 0.33
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.797349 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.839 T Grouping Mean N WDADA
Pr > F 0.5734
Pr > F 0.5734
137
A A A
4.8250
10
M
4.5960
10
P
Dependent Variable: BKKBDG (Berat Daging Kakrkas Kaki Belakang) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 13613.762 122271.62 135885.382
R-Square 0.100186 Source WDADA
DF 1
C.V. 38.14452 Anova SS 13613.762
Mean Square F Value 13613.762 2.00 6792.868 Root MSE 82.41885572
Pr > F 0.1739
BKKBDG Mean 216.07
Mean Square F Value 13613.762 2.00
Pr > F 0.1739
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 6792.868 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 77.438 T Grouping Mean N WDADA A 242.16 10 P A A 189.98 10 M Dependent Variable: BKKBRDT (Ratio Daging Tulang Karkas Kaki Belakang) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.050004 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares Mean Square F Value 0.23762 0.23762 0.95 0.3433 4.5144 0.2508 4.75202 C.V. 13.65692 Anova SS 0.23762
Root MSE 0.5007994
Pr > F
BKKBRDT Mean 3.667
Mean Square F Value 0.23762 0.95
Pr > F 0.3433
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.2508 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.4705 T Grouping Mean N WDADA A 3.7760 10 M A A 3.5580 10 P Dependent Variable: PK (Persentase Karkas Dingin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 3.66368 370.5108 374.17448
R-Square 0.009791 Source WDADA
DF 1
C.V. 7.282895 Anova SS 3.66368
Mean Square F Value 3.66368 0.18 20.58393333 Root MSE 4.536952
PK Mean 62.296
Mean Square F Value 3.66368 0.18
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 20.58393 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 4.2627 T Grouping Mean N WDADA A 62.724 10 P A A 61.868 10 M
Pr > F 0.6781
Pr > F 0.6781
138
Dependent Variable: PKKD (Persentase Karkas Kaki Depan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 0.231125v 64.02913v 64.26025500
R-Square 0.003597 Source WDADA
C.V. 10.08932 DF 1
Anova SS 0.231125
Mean Square F Value 0.231125v 0.06 3.55717389 Root MSE 1.88604716
Pr > F 0.8017
PKKD Mean 18.6935v
Mean Square F Value 0.231125 0.06
Pr > F 0.8017
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 3.557174 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 1.7721 T Grouping Mean N WDADA A 18.8010 10 M A A 18.5860 10 P Dependent Variable: PKD (Persentase Karkas Dada) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 0.078125 10.01057 10.088695
R-Square 0.007744 Source WDADA
DF 1
C.V. 13.49651 Anova SS 0.078125
Mean Square F Value 0.078125 0.14 0.55614278 Root MSE 0.74575
Pr > F 0.7122
PKD Mean 5.5255
Mean Square F Value 0.078125 0.14
Pr > F 0.7122
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.556143 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.7007 T Grouping Mean N WDADA A 5.5880 10 M A A 5.4630 10 P Dependent Variable: PKL (Persentase Karkas Loin) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 5.36648 27.2666 32.63308
R-Square 0.164449 Source WDADA
DF 1
C.V. 9.112814 Anova SS 5.36648
Mean Square F Value 5.36648 3.54 1.514811 Root MSE 1.23077663
PKL Mean 13.506
Mean Square F Value 5.36648 3.54
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 1.514811 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 1.1564 T Grouping Mean N WDADA A 14.0240 10 M A A 12.9880 10 P
Pr > F 0.0761
Pr > F 0.0761
139
Dependent Variable: PKKB (Persentase Karkas Kaki Belakang) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 23.740205 135.22989 158.970095
R-Square 0.149338 Source WDADA
C.V. 11.16679
DF 1
Mean Square F Value 23.740205 3.16 7.512772 Root MSE 2.74094357
Anova SS 23.740205
Pr > F 0.0924
PKKB Mean 24.5455
Mean Square F Value 23.740205 3.16
Pr > F 0.0924
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 7.512772 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 2.5753 T Grouping Mean N WDADA A 25.635 10 P A A 23.456 10 M Dependent Variable: LUD (Luas Udamaru) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19
Sum of Squares 0.136125 3.32573 3.461855
R-Square 0.039321 Source WDADA
C.V. 68.93992
DF 1
Mean Square F Value 0.136125 0.74 0.18476278 Root MSE 0.42984041
Anova SS 0.136125
Pr > F 0.402
LUD Mean 0.6235
Mean Square F Value 0.136125 0.74
Pr > F 0.402
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.184763 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.4039 T Grouping Mean N WDADA A 0.7060 10 P A A 0.5410 10 M
Lampiran 4a Distribusi bobot potongan karkas (Y) terhadap bobot karkas (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda
SEX
BKKD LSMEAN
Std Err Pr > |T| LSMEAN H0:LSMEAN=0
Jantan Betina
212.841354 207.108646
4.603130 4.603130
SEX
BKD LSMEAN
Jantan Betina
61.8884979 62.8815021
Std Err LSMEAN 2.1565271 2.1565271
0.0001 0.0001
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.4206
Pr > |T| Pr > |T| H0: H0:LSMEAN=0 LSMEAN1=LSMEAN2 0.0001 0.0001
0.7640
140
SEX
BKL LSMEAN
Std Err LSMEAN
Jantan Betina
152.422184 144.817816
5.654380 5.654380
SEX
BKKB LSMEAN
Std Err LSMEAN
Jantan Betina
268.352246 281.087754
9.261189 9.261189
WARNA DADA
BKKD LSMEAN
Std Err LSMEAN
Merah Putih
214.123992 205.826008
4.206828 4.206828
WARNA DADA
BKD LSMEAN
Merah Putih
64.1116161 60.6583839
1.9574219 1.9574219
BKL LSMEAN
Std Err LSMEAN
153.933685 143.306315
5.161049 5.161049
BKKB LSMEAN
Std Err LSMEAN
263.808166 285.631834
8.166434 8.166434
WARNA DADA Merah Putih
WDADA Merah Putih
Std Err LSMEAN
Pr > |T| H0:LSMEAN=0 0.0001 0.0001 Pr > |T| H0:LSMEAN=0 0.0001 0.0001
Pr > |T| H0:LSMEAN=0 0.0001 0.0001 Pr > |T| H0:LSMEAN=0 0.0001 0.0001 Pr > |T| H0:LSMEAN=0 0.0001 0.0001
Pr > |T| H0:LSMEAN=0 0.0001 0.0001
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.3853
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.3749
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.1880
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.2367
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.1703
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.0806
Lampiran 4b Distribusi bobot daging potongan karkas (Y) terhadap bobot karkas (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda SEX
BKKDD LSMEAN
Std Err LSMEAN
Jantan Betina
154.656389 149.143611
4.443231 4.443231
SEX
BKDD LSMEAN
Std Err LSMEAN
Jantan Betina
48.7191551 47.9808449
2.2318402 2.2318402
Pr > |T| H0:LSMEAN=0 0.0001 0.0001 Pr > |T| H0:LSMEAN=0 0.0001 0.0001
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.4224
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.8291
141
SEX
BKLD LSMEAN
Jantan Betina
125.646299 119.403701
5.276298 5.276298
SEX
BKKBD LSMEAN
Std Err LSMEAN
Jantan Betina
215.103681 221.036319
6.063193 6.063193
WARNA DADA Merah Putih WARNA DADA Merah Putih WARNA DADA Merah Putih
Std Err LSMEAN
BKKDD LSMEAN
Std Err LSMEAN
157.695595 146.104405
3.806251 3.806251
BKDD LSMEAN
Std Err LSMEAN
50.9862395 45.7137605
1.9143330 1.9143330
BKLD LSMEAN
Pr > |T| H0:LSMEAN=0
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001
0.4438
Pr > |T| H0:LSMEAN=0
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001
0.5254
Pr > |T| H0:LSMEAN=0
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001
0.0493
Pr > |T| H0:LSMEAN=0
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001
0.0725
Std Err Pr > |T| Pr > |T| H0: LSMEAN H0:LSMEAN=0 LSMEAN1=LSMEAN2
128.460582 116.589418
4.660491 4.660491
WARNA DADA
BKKBD LSMEAN
Std Err LSMEAN
Merah Putih
210.497068 224.642932
5.392179 5.392179
0.0001 0.0001
0.0945
Pr > |T| H0:LSMEAN=0
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001
0.0858
Lampiran 4c Distribusi bobot daging potongan karkas (Y) terhadap bobot total daging (X) pada jenis kelamin dan warna dada berbeda SEX
BKKDD LSMEAN
Std Err Pr > |T| Pr > |T| H0: LSMEAN H0:LSMEAN=0 LSMEAN1=LSMEAN2
Jantan Betina
153.413716 150.386284
3.314848 3.314848
SEX
BKDD LSMEAN
Std Err LSMEAN
Jantan Betina
48.2821457 48.4178543
1.9790824 1.9790824
0.0001 0.0001
0.5543
Pr > |T| H0:LSMEAN=0 0.0001 0.0001
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2 0.9644
142
SEX
BKLD LSMEAN
Std Err LSMEAN
Jantan Betina
124.767465 120.282535
4.810516 4.810516
SEX Jantan Betina
BKKBD LSMEAN
Std Err LSMEAN
214.381674 221.758326
WARNA DADA
7.384225 7.384225
BKKDD LSMEAN
Std Err LSMEAN
155.549002 148.250998
2.922457 2.922457
BKDD LSMEAN
Std Err LSMEAN
50.2379943 46.4620057
1.7077628 1.7077628
BKLD LSMEAN
Std Err LSMEAN
Merah Putih
127.033779 118.016221
4.328733 4.328733
WARNA DADA
BKKBD LSMEAN
Merah Putih
207.524225 227.615775
Merah Putih WARNA DADA Merah Putih WARNA DADA
Std Err LSMEAN 6.187522 6.187522
Pr > |T| H0:LSMEAN=0
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001 Pr > |T| H0:LSMEAN=0
0.5461
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001
Pr > |T| H0:LSMEAN=0
0.5182
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001 Pr > |T| H0:LSMEAN=0
0.0993
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001 Pr > |T| H0:LSMEAN=0
0.1410
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001 Pr > |T| H0:LSMEAN=0
0.1640
Pr > |T| H0: LSMEAN1=LSMEAN2
0.0001 0.0001
0.0367
Lampiran 5 Analisis variansi sifat fisik daging bandikut berdasarkan jenis kelamin dan Uji-t (LSD) Dependent Variable: pH Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.035286 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 0.06498 1.77654 1.84152 C.V. 5.490392 Anova SS 0.06498
Mean Square F Value 0.06498 0.66 0.09869667 Root MSE 0.31416026
Pr > F 0.4277
pH Mean 5.722
Mean Square F Value 0.06498 0.66
Pr > F 0.4277
143
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.098697 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.295 T Grouping Mean N SEX A 5.7790 10 J A A 5.6650 10 B Dependent Variable: EMPK (Keempukan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.003176 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 0.009245 2.90161 2.910855 C.V. 38.18335 Anova SS 0.009245
Mean Square F Value 0.009245 0.06 0.16120056 Root MSE 0.40149789
Pr > F 0.8134
EMPK Mean 1.0515
Mean Square F Value 0.009245 0.06
Pr > F 0.8134
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.161201 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.3772 T Grouping Mean N SEX A 1.0730 10 J A A 1.0300 10 B Dependent Variable: SUTMSK (Susut Masak) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.022625 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 3.59552 155.3212 158.91672 C.V. 8.629071 Anova SS 3.59552
Mean Square F Value 3.59552 0 0.42 8.62895556 Root MSE 2.93750839
Pr > F 0.5267
SUTMSK Mean 34.042
Mean Square F Value 3.59552 0.42
Pr > F 0.5267
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 8.628956 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 2.76 T Grouping Mean N SEX A 34.466 10 B A A 33.618 10 J Dependent Variable: DMAP (Daya Mengikat Air) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.027199 Source SEX
DF 1
Sum of Squares 6.70482 239.8088 246.51362 C.V. 9.984487 Anova SS 6.70482
Mean Square F Value 6.70482 0.50 13.32271 Root MSE 3.65002892
Pr > F 0.4872
DMAP Mean 36.55700000
Mean Square F Value 6.70482 0.50
Pr > F 0.4872
144
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 119.8036 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 10.284 T Grouping Mean N SEX A 111.407 10 J A A 107.936 10 B
Lampiran 6 Analisis variansi sifat fisik daging bandikut berdasarkan jenis warna dada dan Uji-t (LSD) Dependent Variable: pH Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.146140 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares 0.26912 1.5724 1.84152 C.V. 5.165322
Mean Square F Value 0.26912 3.08 0.08735556 Root MSE 0.29555973
Anova SS 0.26912000
Pr > F 0.0962
pH Mean 5.722
Mean Square F Value 0.26912000 3.08
Pr > F 0.0962
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.087356 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.2777 T Grouping Mean N WDADA A 5.8380 10 M A A 5.6060 10 P Dependent Variable: EMPK (Keempukan) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.101429 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares 0.295245 2.61561 2.910855
Mean Square F Value 0.29524500 2.03 0.14531167
C.V. 36.25275
Root MSE 0.38119767
Anova SS 0.295245
Pr > F 0.1711
EMPK Mean 1.0515
Mean Square F Value 0.295245 2.03
Pr > F 0.1711
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 0.145312 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 0.3582 T Grouping Mean N WDADA A 1.1730 10 P A A 0.9300 10 M Dependent Variable: SUTMSK (Susut Masak) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.158151
Sum of Squares 25.13282 133.7839 158.91672000 C.V. 8.008489
Mean Square F Value 25.13282 3.38 7.43243889 Root MSE 2.72624997
Pr > F 0.0825
SUTMSK Mean 34.042
145
Source WDADA
DF 1
Anova SS 25.13282
Mean Square F Value 25.13282 3.38
Pr > F 0.0825
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 7.432439 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 2.5615 T Grouping Mean N WDADA A 35.163 10 P A A 32.921 10 M
Dependent Variable: DMA (Daya Mengikat Air) Source DF Model 1 Error 18 Corrected Total 19 R-Square 0.017618 Source WDADA
DF 1
Sum of Squares 4.34312 242.1705 246.51362 C.V. 10.03353
Mean Square F Value 4.34312 0.32 13.45391667 Root MSE 3.66795811
Anova SS 4.34312
Pr > F 0.5769
DMA Mean 36.557
Mean Square F Value 4.34312 0.32
Pr > F 0.5769
Alpha= 0.05 df= 18 MSE= 13.45392 Critical Value of T= 2.10 Least Significant Difference= 3.4463 T Grouping Mean N WDADA A 37.023 10 M A A 36.091 10 P
Lampiran 7 Uji Kruskal-Wallis antara jenis daging bandikut, sapi, babi dan ayam pedaging terhadap penerimaan/kesukaan warna daging Wilcoxon Scores (Rank Sums) for Variable WARNA Classified by Variable Jenis daging (JDGN) JDGN ayam babi bandikut sapi
N 85 85 85 85
Sum of Scores 14433.0000 13828.5000 16097.5000 13611.0000
Expected Under H0
Std Dev Under H0
14492.5000 14492.5000 14492.5000 14492.5000
760.116356 760.116356 760.116356 760.116356
Average Scores Were Used for Ties Kruskal-Wallis Test (Chi-Square Approximation) CHISQ = 4.9295 DF = 3 Prob > CHISQ = 0.1770
Mean Score 169.800000 162.688235 189.382353 160.129412
146
Lampiran 8 Uji Kruskal-Wallis antara jenis daging bandikut, sapi, babi dan ayam pedaging terhadap penerimaan/kesukaan bau daging Wilcoxon Scores (Rank Sums) for Variable BAU Classified by Variable Jenis daging (JDGN) JDGN ayam babi bandikut sapi
N 85 85 85 85
Sum of Scores 14737.0000 14555.5000 14117.0000 14560.5000
Expected Under H0
Std Dev Under H0
Mean Score
14492.5000 14492.5000 14492.5000 14492.5000
763.916391 763.916391 763.916391 763.916391
173.376471 171.241176 166.082353 171.300000
Average Scores Were Used for Ties Kruskal-Wallis Test (Chi-Square Approximation) CHISQ = 0.26909 DF = 3 Prob > CHISQ = 0.9657
Lampiran 9 Uji Kruskal-Wallis antara jenis daging bandikut, sapi, babi dan ayam pedaging terhadap penerimaan/kesukaan rasa daging Wilcoxon Scores (Rank Sums) for Variable RASA Classified by Variable Jenis daging (JDGN) JDGN ayam babi bandikut sapi
N 85 85 85 85
Sum of Scores 14810.5000 16203.0000 13909.0000 13047.5000
Expected Under H0 14492.5000 14492.5000 14492.5000 14492.5000
Std Dev Under H0
Mean Score
759.735202 759.735202 759.735202 759.735202
Average Scores Were Used for Ties Kruskal-Wallis Test (Chi-Square Approximation) CHISQ = 7.0887 DF = 3 Prob > CHISQ = 0.0691
174.241176 190.623529 163.635294 153.500000
147