KARAKTERISTIK METODE PEMBELAJARAN CERITA DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh Muhammad Idham Khalid NIM 109011000163
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK Nama NIM Fak/Jur Judul
: Muhammad Idham Kholid : 109011000163 : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / Pendidikan Agama Islam : “Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam AlQur’an Surat Al-Qashash Ayat 76-81”
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an, khususnya surat Al-Qashash ayat 76-81. Berawal dari kekhawatiran penulis akan semakin minimnya anak-anak di sekolah yang mengetahui dan mendapatkan cerita-cerita yang baik dari guru-guru mereka di sekolah. Maksud cerita yang baik di sini ialah cerita-cerita yang bersumber dari Al-Qur’an. Al-Qur’an sudah mencontohkan bagaimana bercerita yang baik, yang dapat membawa pesan dan pelajaran di setiap ceritanya, tidak hanya sebagai hiburan semata. Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menelusuri datadata kepustakaan (library research) dengan mengacu pada pendapat para ahli tafsir, ahli pendidikan dan ahli sastra yang tertuang dalam buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah penafsiran ayat dengan menggunakan metode tafsir tahlili (analisis), yakni metode menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana dalam mushaf, serta menerangkan makna-makna yang tercakup sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa ciri khas Al-Qur’an dalam bercerita khususnya Surat Al-Qashash ayat 76-81 ialah tidak bertele-tele, singkat tetapi jelas dan mengena. Selalu mengandung hikmah dari setiap cerita yang diceritakan dan menekankan kepada kebenaran serta ada pesan yang disampaikan di tengah dan akhir cerita, sehingga cerita ini bukan hanya sekadar media hiburan seperti kebanyakan cerita sastra, melainkan sebagai metode pembelajaran yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabb al-alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi berjudul “Karakeristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash Ayat 76-81” ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari sumbangsih berbagai pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik moril maupun materil. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua penulis, Bapak M. Ma’ruf dan Ibu Himmatin yang telah membesarkan, merawat, mendidik, dan memberi dukungan kepada penulis. Serta adik-adik tercinta Muhammad Ainul Yaqin, Novia Nur Adilla, dan Muhammad Zakhrof Albi. 2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, MA., Ph.D. beserta para pembantu dekan dan segenap jajarannya. 3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Ibu Marhamah Saleh, Lc., MA. 4. Dosen penasihat akademik penulis, Ibu Dra. Raudhah, M.Pd. atas bimbingan yang selama ini telah diberikan. 5. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak M. Sholeh Hasan, Lc., MA. yang telah memberikan saran dan arahan dalam penulisan skripsi 6. Seluruh dosen dan staf jurusan PAI. 7. Teman-teman mahasiswa PAI, khususnya kelas D angkatan 2009 atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama kuliah bersama.
8. Teman-teman dan senior-senior di HIQMA (Himpunan Qori dan Qoriah Mahasiswa) UIN Jakarta yang penulis anggap sudah sebagai guru, yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman berharga yang tidak penulis dapatkan di tempat lain. 9. Segenap petugas perpustakaan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) yang mana penulis banyak mengambil referensi dari sana. 10. Guru-guru di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta yang terus mensupport penulis untuk menyelesaikan studinya sambil mengajar di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta. 11. Teman-teman santri Ponpes Baitul Qurro’ tempat penulis tinggal dan belajar yang selalu mendoakan dan menyemangati. 12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, dan informasi, yang bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dan partisipasi dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dari Allah SWT.
Jakarta, 22 April 2014 Penulis,
Muhammad Idham Khalid
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
........................................................................
1
B. Identifikasi Masalah
..............................................................................
7
C. Pembatasan Masalah
.............................................................................
7
D. Perumusan Masalah
..............................................................................
7
E. Tujuan Penelitian
.................................................................................
8
F. Manfaat Penelitian
...............................................................................
8
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Metode Pembelajaran B. Cerita
............................................................................
....................................................................................................
1. Pengertian Cerita
...................................................................................
2. Macam-Macam Cerita
9 10 10
............................................................................
11
a. Dari Ciri-Cirinya
................................................................................
11
1. Cerita Lama
.................................................................................
11
2. Cerita Baru
...................................................................................
13
b. Dari Segi Volumenya 1. Cerita Pendek
.......................................................................
13
...............................................................................
13
2. Cerita yang Lebih Panjang 3. Cerita Panjang
............................................................
13
..............................................................................
13
3. Karakteristik Umum Cerita Sembilan Ciri Umum Sastra
...................................................................
14
.................................................................
14
Unsur-Unsur yang Ada dalam Cerita a. Peristiwa b. Pelaku
.....................................................
14
...........................................................................................
15
.............................................................................................
15
c. Waktu dan Tempat
..........................................................................
d. Gaya Bahasa dan Dialog e. Gagasan Pikiran atau Tujuan
16
..................................................................
17
............................................................
17
C. Cerita dalam Al-Qur’an
........................................................................
1. Macam-Macam Cerita dalam Al-Qur’an
18
..............................................
18
a. Ditinjau dari Segi Waktu
.................................................................
19
b. Ditinjau dari Segi Materi
.................................................................
19
...........................................................
20
3. Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an ..................
25
a. Gaya Penyampaiannya Berbeda dengan Cerita Sastra .........................
26
b. Penyampaian Pesan dalam Cerita
.....................................................
27
.........................................................................
29
2. Tujuan Cerita dalam Al-Qur’an
c. Pengulangan Cerita
d. Episode Kemunculan Tokoh Utama 1. Dari Awal Kelahiran
.................................................
32
...................................................................
32
.............................................................
32
2. Dari Masa Kanak-Kanak
3. Sudah Dewasa atau Masa Kenabian e. Panjang Pendek Cerita
............................................
33
.....................................................................
33
1. Cerita yang Disebutkan Panjang Lebar
.........................................
33
2. Cerita yang Perinciannya Sedang
.................................................
34
3. Cerita yang Disebutkan Singkat
...................................................
35
4. Cerita yang Disebutkan Sangat Singkat f. Bentuk Dialog dalam Bercerita D. Hasil Penelitian yang Relevan
........................................
35
........................................................
36
...............................................................
37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Metode Penelitian B. Sumber Data
..................................................................
38
.........................................................................................
38
C. Teknik Pengumpulan Data D. Teknik Analisis Data E. Teknik Penulisan
....................................................................
39
............................................................................
39
..................................................................................
39
BAB IV METODE PEMBELAJARAN CERITA DALAM ALQUR’AN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81 A. Penafsiran Secara Ringkas
.....................................................................
41
................................................................
45
1. Ada Niat dari Pengarangnya Untuk Menciptakan Karya Sastra ...............
45
2. Hasil Proses Kreatif
...............................................................................
46
3. Diciptakan Bukan Semata-Mata Untuk Tujuan Praktis dan Pragmatis ....
46
4. Bentuk dan Gaya yang Khas
..................................................................
47
...............................................................
47
B. Berbeda dengan Cerita Sastra
5. Bahasa yang Digunakan Khas
6. Mempunyai Logika Tersendiri, Mencakup Isi dan Bentuk 7. Merupakaan Rekaan
.....................
48
..............................................................................
49
8. Mempunyai Nilai Keindahan Tersendiri
...............................................
9. Nama yang Diberikan Masyarakat Kepada Hasil Tertentu
.....................
52
....................................................
52
...................................................................................................
53
..............................................................................................
54
...........................................................................................
57
C. Unsur-Unsur Cerita dalam Al-Qur’an 1. Pelaku
50
2. Peristiwa 3. Percakapan
D. Hilangnya Unsur Waktu dan Tempat dalam Cerita Qarun
.....................
58
..........................................................
60
...............................................................................
62
E. Penyampaian Pesan dalam Cerita F. Pengulangan Cerita
G. Episode Kemunculan Tokoh
................................................................
64
..........................................................................
66
.....................................................................
67
...........................................................................................
70
...................................................................................................
71
H. Panjang Pendek Cerita I. Gaya Bercerita yang Baik
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
.......................................................................
72
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dalam dunia pendidikan, di samping potensi subjek didik cukup baik, kondisi lingkungan belajar mengajar seyogyanya menunjang agar dapat menjamin keberhasilan proses belajar mengajar. Oleh karena itu guru harus kreatif mencari metode dan media yang sesuai dengan kondisi perkembangan belajar anak.1 Keberhasilan proses belajar mengajar kiranya akan sulit dicapai apabila guru hanya menjelaskan atau memberikan ceramah secara panjang lebar materi itu. Guru yang kreatif memiliki kemampuan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya secara kreatif, sehingga peserta didik menggemari ilmu pengetahuan yang diajarkan kepadanya dan membuat peserta didik dapat berfikir secara kreatif pula.2 Selanjutnya dalam keterkaitan dengan pendidikan pada umumnya atau pendidikan agama Islam, metode sangat penting. Metode berperan sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang, sehingga terlibat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islam. Selain itu metode dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.3 Cerita sebagai suatu metode pendidikan memang mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Bercerita atau mendongeng adalah aktivitas pendidikan yang dilakukan oleh siapa saja dan dari bangsa serta agama mana saja. Tidak ada yang tidak menggemari dongeng atau cerita. Kelompok yang paling suka tentu saja adalah anak-anak. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana cerianya mereka ketika mendengarkan dongeng atau cerita dan mereka selalu mengharapkan ibu 1
Ari Wahyudi. Model Pembelajaran Berbasis Komik Untuk Mencapai Ranah Afektif Pada Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 16 Edisi Khusus I, Juni 2010. h. 43-44. 2 Herry Widyastono. Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik Dalam Pembelajaran. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 15. November 2009. h. 1020. 3 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 91-92.
2
bapaknya meluangkan waktu untuk menceritakan dongeng kepada mereka. Cerita atau dongeng adalah salah satu sarana untuk membangun karakter anak didik, karena bercerita mirip dengan memberikan contoh nyata dalam imajinasi anak. Efek dari cerita ini memang sangat hebat, karena sebetulnya melalui cerita mereka sedang dihujani nasihat demi nasihat, pesan demi pesan dan dorongan-dorongan motivasi. 4 Dalam suatu penelitian, dilaporkan bahwa ada peningkatan perkembangan intelektual dan kematangan terhadap bayi pralahir akibat pengaruh pembacaan cerita. Seorang peneliti meminta muridnya yang sedang hamil untuk membacakan cerita anak berulang-ulang dengan suara keras selama kehamilannya. Ketika bayinya dilahirkan, bayi itu diuji apakah ia mengenali bunyi-bunyi cerita lain. Ternyata ia mengenali bunyi cerita yang telah dibacakan ibunya. Diyakini bahwa bercerita untuk bayi sebelum ia dilahirkan dapat berdampak baik bagi perkembangan otak bayi. 5 Keunggulan cerita dapat melakukan dua tugas sekaligus dalam waktu bersamaan. Pertama, cerita sangat efektif dalam mengomunikasikan informasi dengan bentuk yang
mudah diingat, dan kedua, cerita dapat mengarahkan
perasaan pendengarnya tentang informasi yang dikomunikasikan.6 Bagi anakanak, duduk manis menyimak penjelasan dan nasihat merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, duduk berlama-lama menyimak cerita atau kisah adalah aktivitas yang mengasyikkan. Oleh karenanya memberikan pelajaran dan nasihat melalui cerita adalah cara mendidik yang cerdas dan bijak. Dr. Abdul Aziz Abdul Majid dalam bukunya ‘’Mendidik Dengan Cerita‘’ mengatakan: ’’sebagian dari cerita-cerita yang ada, mengandung beberapa unsur yang negatif. Hal ini dikarenakan pembawaan cerita tersebut tidak mengindahkan nilai estetika dan norma’’. Mungkin si anak melakukan hal-hal buruk karena ia selalu mendapatkan cerita-cerita yang negatif dan tidak mendidik. Hal ini dikarenakan semua informasi dan peristiwa yang tercakup dalam sebuah cerita 4
Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006), h. 315. F. Rene Van de Carr, dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa, 2000), h. 132. 6 Kieran Egan, Pengajaran Yang Imajinatif, (Jakarta: PT Indeks, 2009), h. 12-13. 5
3
akan berdampak sekali dalam pembentukan akal, dan norma seorang anak, baik dari segi budaya, imajinasi maupun bahasa kesehariannya. 7 Islam menyadari sifat alamiah manusia bahwa mereka menyukai cerita, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita tersebut untuk dijadikan salah satu metode pendidikan. Salah satu sumber cerita yang baik untuk mengajarkan pendidikan agama pada anak adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah AlQur’an dikatakan menarik karena di dalamnya terdapat ayat-ayat mengenai kisah umat manusia, yang bukan hanya menarik bagi orang dewasa, melainkan juga bagi anak-anak. Di dalam Al-Qur’anul karim banyak sekali cerita-cerita tentang keadaan umat-umat masa silam, yang sengaja dikemukakan untuk memberikan pelajaran dan menampilkan peran pendidikan bagi pembacanya atau orang yang mendengarnya. Firman Allah SWT. “Dan kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala kebenaran), nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman” (QS. Hud: 120). Allah telah memerintahkan kepada kita agar meneladani orang-orang shalih (shalihin) dan penganjur kebaikan (muslihin) dari orang-orang terdahulu, yang kisah-kisah mereka telah dipaparkan-Nya kepada kita serta telah diperlihatkanNya kepada kita metode mereka dalam dakwah, perbaikan (ishlah), perlawanan terhadap musuh-musuh Allah, perjuangan jihad, kesabaran dan keteguhan mereka.8 Karena dari kisah orang-orang dahulu terdapat hikmah dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal yang mampu merenungi kisah-kisah itu, menemukan padanya hikmah dan nasihat, serta menggali dari kisah-kisah itu pelajaran dan petunjuk hidup.9
7
Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), h. 4. 8 Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 16. 9 Amini, op. Cit., h. 316.
4
Allah juga mensifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang terbaik (ahsanul Qashash), sebagaimana Firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 3:
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukannya) adalah orang-orang yang belum mengetahui” (Yusuf: 3) Maksud ayat di atas ialah bahwa Allah akan menceritakan beberapa kisah yang benar, jelas, dan berdasarkan bukti yang kuat. Maka tinggalkanlah kisahkisah yang diceritakan selain dari Al-Qur’an yang periwayatannya tidak terjamin, bercampur dengan kebohongan, serta berseberangan dengan kenyataan.10 Ciri khas cerita-cerita Al-Qur’an adalah ia selalu bersifat benar adanya, kejadian yang sesungguhnya, begitu pula isi yang terkandung di dalamnya serta pemusatan pada tujuan yang diinginkan dari cerita tersebut. Cerita-cerita AlQur’an mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk individu-individu atau masyarakat manusia dengan nilai keislaman. Ia mendidik manusia untuk sematamata beriman kepada Allah SWT dan rela terhadap qadha dan qadar-Nya. Syekh Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama kenamaan Mesir dalam bukunya Kayfa Nata’amal Ma’ al-Qur’an mengungkapkan bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an pada prinsipnya memuat asas-asas pendidikan, tidak hanya pendidikan psikologis, tetapi aspek rasio juga. Melalui kisahnya, Al-Qur’an bertujuan mendidik manusia sejak masa penciptaan, kelahiran, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua hingga ajalnya, agar mereka senantiasa sadar akan jati dirinya.11 Selanjutnya beliau juga menuturkan dalam buku al-Mahawir al-Khamsah li al-Qur’an al-Karim, secara garis besar ada lima pokok isi kandungan Al-Qur’an.
10 Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Al-Qur’an Menjadikan Hidup Lebih Berarti, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2005), h. 21. 11 Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 89.
5
Tauhid kepada Allah, alam semesta bukti adanya Allah, kebangkitan dan pembalasan, hukum dan pendidikan, dan yang terakhir ialah qashash al-Qur’an atau kisah-kisah Al-Qur’an. Kenapa kisah-kisah Al-Qur’an bisa menjadi isi pokok kandungan Al-Qur’an, bukankah ia hanya sekadar cerita masa lampau saja yang tidak berbeda dengan buku sejarah. Di dalam buku tersebut Syekh Muhammad Al-Ghazali menjelaskan bahwa cerita yang ada di dalam Al-Qur’an tidaklah hanya sekadar cerita yang sudah usang. Kisah dalam Al-Qur’an merupakan sarana pendidikan, nasihat dan petunjuk bagi manusia. Oleh setiap kisah umat-umat terdahulu terdapat ibrah yang bisa diambil pelajaran dan hikmahnya. Ibarat kaset, kisah tersebut mengingatkan bahwa yang terjadi pada saat ini merupakan pengulangan apa yang terjadi pada masa lalu, hanya pelaku, waktu dan tempat saja yang berbeda. Al-Qur’an mengingatkan bahwa jauh sebelum ini pun sudah ada peradaban-peradaban yang maju dengan ilmu pengetahuannya, tetapi karena tidak diiringi dengan kemajuan akhlak dan ibadahnya kepada Allah maka dalam sekejap peradaban tersebut hancur dan hilang. Bukankah itu sama dengan kondisi saat ini? Seseorang yang telah kehilangan ingatannya bisa disebut dengan orang gila. Ketidaksanggupan mengingat yang telah lalu akan membawa kepada ketidakmampuan menghadapi yang akan datang. Oleh karena itulah Syekh Muhammad Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada kisah-kisah Al-Qur’an.12 Bagaimana pentingnya kisah dalam Al-Qur’an bisa dilihat dari segi volume, di mana kisah-kisah tersebut memiliki porsi yang tidak sedikit dari seluruh ayatayat Al-Qur’an. Bahkan ada surat-surat Al-Qur’an yang dikhususkan untuk kisah semata-mata, seperti surat Yusuf, Al-Anbiya’, Al-Qasas, dan Nuh. Dari keseluruhan surat Al-Qur’an, terdapat 35 surat yang memuat kisah, kebanyakan adalah surat-surat panjang.13 Cerita tentang para nabi mendapatkan porsi yang cukup besar dalam Al-Qur’an yaitu sekitar 1600 ayat dari jumlah keseluruhan ayat dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 6236. Jumlah tersebut cukup besar jika dibandingkan dengan ayat-ayat tentang hukum yang hanya terdiri dari 330 ayat. 12 Syekh Muhammad Al-Ghazali, Induk Al-Qur’an, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2003), h. 111. 13 A. Hanafi, Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), h. 22.
6
Selain cerita tentang para nabi dan rasul, Al-Qur’an juga menceritakan kisah tentang orang-orang selain nabi, baik orang mukmin maupun orang kafir, seperti kisah perjuangan para nabi dalam memberikan pencerahan spiritual kepada bangsa dan umatnya, usaha keras para nabi dalam membendung aktivitas kaum kafir. Kemudian, gaya bercerita Al-Qur’an juga berbeda dengan gaya bercerita kisah yang lain pada umumnya. Kita akan menemukan bahwa tersebarnya kisah dalam ayat dan surat yang berbeda, tetap menunjukkan kesatuan hubungan. Adanya hubungan tersebut bukan saja ditandai oleh tematisnya, melainkan juga oleh keseluruhan gaya dan cara Al-Qur’an dalam berkisah. Dalam hal ini, kisah merupakan metode utama yang digunakan Al-Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesannya.14 Sekarang, akibat terlalu seringnya tayangan-tayangan di televisi muncul, kini anak-anak tidak lagi mengetahui kisah para nabi, kisah Ashabul Kahfi, kisah tentang Khulafau Rasyidin. Juga tidak kenal dengan Lukmanul Hakim, Nabi Khidir, Siti Maryam, di mana kisah tentang mereka sangat baik untuk diketahui anak-anak. Karena kisah-kisah tersebut memiliki nilai-nilai pendidikan yang baik bagi anak.15 Pengamatan sementara peneliti mendapatkan bahwa masyarakat kita masih cenderung mengabaikan potensi cerita-cerita yang ada dalam Al-Qur’an sebagai metode pendidikan. Padahal dengan melihat fitrah kejiwaan manusia yang menyenangi cerita, sudah seharusnya cerita-cerita tersebut dimanfaatkan oleh para pendidik (guru, orang tua, dan lain-lain), sebagai metode pendidikan, khususnya pendidikan agama yang merupakan pondasi awal bagi anak. Untuk itulah maka penulis berusaha menjabarkan betapa pentingnya cerita-cerita dalam Al-Qur’an dan bagaimana langkah-langkah serta gaya Al-Qur’an dalam bercerita melalui
14 Nunu Achdiat, Seni Berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 78. 15 Oos M. Anwas. Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan) Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010. h. 259.
7
penulisan
skripsi
dengan
judul:
“KARAKTERISTIK16
METODE
PEMBELAJARAN CERITA DALAM AL-QURAN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut : 1. Belum banyak pendidik yang menggunakan cerita sebagai metode pembelajarannya. 2. Banyaknya pendidik yang masih mengabaikan potensi cerita yang terdapat di dalam Al-Qur’an. 3. Masih banyak orang yang menganggap sama antara cerita-cerita AlQur’an dengan cerita-cerita sastra pada umumnya.
C. Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis perlu untuk mengarahkan permasalahan yang akan diteliti dan akan dibatasi hanya pada: 1. Karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an. 2. Penafsiran surat al-Qashash ayat 76-81.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalahnya ialah, bagaimanakah karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81?
16
Dalam Buku Kamus Ilmiah Populer yang disusun oleh Pius Partanto dan M. Dahlan Barry kata “karakteristik” berarti ciri khas/bentuk-bentuk watak/karakter yang dimiliki oleh setiap individu; corak tingkah laku; tanda khusus. Kaitannya dengan judul skripsi ini, peneliti ingin mengkaji ciri khas apa saja yang membedakan antara cerita Al-Qur’an dengan cerita sastra pada umumnya.
8
E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81
F. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Umum Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
pengetahuan
tentang
karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an. 2.
Manfaat Khusus a.
Bagi mahasiswa Pendidikan Agama Islam mudah-mudahan bisa menjadi perbandingan dalam penulisan karya ilmiah.
b.
Bagi guru maupun pendidik diharapkan menjadi bahan pertimbangan untuk memperhatikan potensi cerita-cerita yang terdapat dalam Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai bagian dari metode pembelajaran.
9
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Metode Pembelajaran Metode pembelajaran adalah sebuah konsep cara yang digunakan oleh guru untuk mengelola pembelajaran agar materi pembelajaran dapat tersampaikan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dinginkan. Untuk mencapai tujuan pendidikan, maka tidak lepas dari muatan materi pendidikan, guru dan metode. Penguasaan materi bagi guru merupakan hal yang sangat menentukan, khususnya dalam proses belajar mengajar yang melibatkan guru mata pelajaran, oleh karena itu diperlukan guru yang profesional yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan maksimal.1 Dalam keterkaitan dengan pendidikan Agama Islam, metode berperan sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang, sehingga terlibat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islam. Selain itu metode, dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.2 Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan. Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu metode yang diterapkan
1
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995)
h. 15. 2
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 91-92.
10
seorang guru, baru berdaya guna dan berhasil jika mampu digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.3
B. Cerita 1.
Pengertian Cerita Secara definisi bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerita ialah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal.4 Cerita memiliki arti yang sama dengan kisah, di mana kisah merupakan kata serapan yang berasal dari qishshah dalam bahasa Arab yang diambil dari kata dasar qa sha sha yang berarti kisah, cerita, berita atau keadaan. Menurut Abdul Aziz Abdul Majid, cerita adalah salah satu bentuk sastra yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri serta merupakan sebuah bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa membaca.5 Sa’id Mursy menjelaskan bahwa cerita adalah pemaparan pengetahuan kepada anak kecil dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. 6 A. Hanafi mengutip pendapat Dr. Muhammad Khalafullah dalam bukunya Al-Fannu Al-Qassiyu fi Al-Qur’an Al-Karim yang mendefinisikan bahwa cerita ialah suatu karya kesusasteraan yang merupakan hasil khayal pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku yang sebenarnya tidak ada. Atau, dari seorang pelaku yang benar-benar ada, tetapi peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak benar-benar terjadi. Ataupun, peristiwa itu terjadi dalam diri pelaku, tetapi dalam kisah itu disusun atas dasar seni yang indah, di mana sebagian peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dikemudiankan, sebagiannya disebutkan dan sebagian lagi dibuang. Atau, terhadap peristiwa yang benar3
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Indisipliner. (Jakarta: Dunia Aksara, 1997) h. 197. 4 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 283. 5 Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, Terjemah Neneng Yanti dan Iip Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 8. 6 Muhammad Sa’id Mursy, Seni Mendidik Anak, (Jakarta: Arroyan, 2001), h. 117.
11
benar terjadi itu ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebihlebihkan penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran yang biasa dan sudah menjadi para pelaku khayali.7
2.
Macam-Macam Cerita a.
Berdasarkan ciri-cirinya, menurut Dr. Wahyudi Siswanto cerita dibagi menjadi 2, yaitu: 1.
Cerita lama Cerita lama ini sering berwujud cerita rakyat (folktale). Cerita ini bersifat anonim, tidak diketahui siapa yang mengarangnya dan beredar secara lisan di tengah-tengah masyarakat. Pada umumnya, cerita itu diperoleh pada waktu pelaksanaan perhelatan, percakapan sehari-hari, sedang bekerja atau dalam perjalanan, dan seseorang ingin mengetahui asal-usul sesuatu. Cerita rakyat, selain merupakan hiburan, juga merupakan sarana untuk mengetahui asal-usul nenek moyang, jasa atau keteladanan kehidupan para pendahulu, hubungan kekerabatan, asal mula tempat, adat-istiadat, dan sejarah benda pusaka. Yang termasuk cerita lama adalah fabel, dongeng, legenda, mitos, dan sage.8 a) Fabel Adalah cerita tentang kehidupan binatang sebagai tokoh utamanya yang diceritakan seperti kehidupan manusia. Misalkan cerita kancil di Indonesia. Fabel kebanyakan mengandung nasihat atau pengajaran kepada anak-anak melalui kiasan yang terkandung di dalam cerita tersebut. Karena itu fabel mengandung unsur didaktif dan edukatif.
7
A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), Cet.1 h.15. 8 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.140.
12
b) Dongeng Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita dan tidak terikat oleh tempat dan waktu. Dalam KBBI, dongeng adalah cerita yang tidak benarbenar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dulu yang anehaneh. c) Mitos Mitos adalah cerita rakyat yang benar-benar dianggap terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mitos merupakan cerita yang pada awal terbentuknya bermula dari pikiran manusia yang tidak mau menerima begitu saja semua fenomena alam yang ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Dalam usahanya, seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu cenderung membayangkan sesuatu
dengan
dunia
angannya
sendiri.9
Contohnya ialah cerita tentang Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul. d) Legenda Legenda adalah cerita tentang asal mula (nama suatu tempat, asalusul dunia tumbuhan, asal-usul dunia binatang). Legenda hampir mirip dengan mitos, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi dianggap tidak suci. Tokoh dalam legenda adalah manusia walaupun adakalanya mempunyai sifat luar biasa karena bantuan makhluk gaib. Contoh Legenda ialah cerita tentang terjadinya Tangkuban Perahu, asal-usul Banyuwangi. e) Sage Adalah dongeng yang berisi kegagahberanian seorang pahlawan yang terdapat dalam sejarah, tetapi cerita bersifat khayal. Seperti cerita Ken Arok dan Ken Dedes, Tutur Tinular, serta Lutung Kasarung.
9
Dendy Sugono (ed), Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), Cet.7 h.128.
13
2.
Cerita baru Cerita baru adalah bentuk karangan bebas yang tidak berkaitan dengan sistem sosial dan struktur kehidupan lama. Cerita baru dapat dikembangkan dengan menceritakan kehidupan saat ini dengan keanekaragaman bentuk dan jenisnya. Contoh dari cerita baru adalah roman, novel, cerita pendek, cerita bersambung dan sebagainya. Pembagian ini lebih dikarenakan perbedaan volume atau panjang pendeknya cerita, yang akan dibahas pada pembahasan setelah ini.10
b.
Dari segi volume atau panjang pendeknya, cerita dapat dibagi menjadi: 1.
Cerita pendek. Ialah cerita yang hanya terdiri dari beberapa halaman saja. Lazimnya disebut dengan cerpen.
2.
Cerita yang lebih panjang daripada cerita pertama. Cerita semacam ini disebut novelette dalam bahasa Perancis. Contohnya ialah novel.
3.
Cerita panjang. Contohnya ialah roman. Roman adalah cerita yang paling panjang dari segi volume. Corak ceritanya bersifat romantis; berkisar sekitar masalah percintaan, dan kadang-kadang jauh dari kenyataan. Pada roman yang penting ialah peristiwa-peristiwa, sehingga Saintsbury membedakan, bahwa roman adalah cerita peristiwa, sedangkan novel (cerita biasa) adalah cerita pelaku (pribadi) dan motif-motif. 11 Cerita
pendek
berbeda
dengan
cerita
lainnya,
karena
ia
memungkinkan penulisnya untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pada satu peristiwa yang terpisah dari yang lainnya. sehingga penulis dapat menyampaikan pikiran kepada pembaca atau pendengarnya dalam bentuk yang lebih kuat daripada kalau pikiran itu merupakan bagian dari cerita (riwayat) yang banyak peristiwanya. Oleh karena itu, dalam penulisan cerita pendek (cerpen), ada caranya sendiri, di mana perincian-perincian ditinggalkan, dan pelakunya harus 10 11
Siswanto, op. cit., h.140. Hanafi, op. cit., h.15-16.
14
sedikit mungkin, dan tidak perlu diuraikan sifat-sifatnya secara terperinci. Begitu pula peristiwa-peristiwanya harus bisa ditangkap dengan mudah dari segi waktu dan tempat. Segala sesuatu yang mengganggu pembaca atau pendengar dari inti cerita haru ditinggalkan. Dari segi pelaku, cerita pendek lebih mengutamakan pelaku agar jumlahnya sedikit mungkin, sedangkan novel atau roman banyak pelakunya. Selain karena sempitnya ruang, juga karena cerita pendek memang tidak dimaksudkan untuk menganalisa banyak pelaku.12
3.
Karakteristik Umum Cerita Cerita merupakan salah satu bagian dari sastra, di mana sastra memiliki sembilan ciri umum, yakni:13 a.
Ada niat dari pengarangnya untuk menciptakan karya sastra.
b.
Hasil proses kreatif.
c.
Diciptakan bukan semata-mata untuk tujuan praktis dan pragmatis.
d.
Bentuk dan gaya yang khas.
e.
Bahasa yang digunakan khas.
f.
Mempunyai logika tersendiri, mencakup isi dan bentuk.
g.
Merupakaan rekaan.
h.
Mempunyai nilai keindahan tersendiri.
i.
Nama yang diberikan masyarakat kepada hasil tertentu. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam cerita secara umum ialah
adanya kejadian atau peristiwa tertentu sebagai unsur pertama. Selanjutnya ada pelaku sebagai unsur kedua. Peristiwa-peristiwa tersebut harus terjadi dalam tempat dan waktu tertentu, dan hal ini merupakan unsur ketiga. Kemudian ada gaya bahasa tertentu untuk menceritakan peristiwa-peristiwa tersebut, lengkap dengan dialog-dialog yang terjadi antara para pelaku. Unsur terakhir ialah gagasan pikiran (ide) atau segi pandangan atau tujuan. 14
12
Ibid., h.16-17. Siswanto, op. cit., h.72-81. 14 Hanafi, op. cit., h.19. 13
15
a.
Peristiwa Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dibedakan kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Misalnya, antara kalimat-kalimat yang mendeskripsikan tindakan tokoh dengan yang mendeskripsikan ciri-ciri fisik tokoh.15 Dalam sebuah cerita, sebuah peristiwa erat kaitannya dengan konflik dan klimaks. Konflik merupakan kejadian yang tergolong penting. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui berbagai peristiwa akan sangat menentukan kadar kemenarikan cerita yang dihasilkan. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi semakin meningkat. Konflik yang telah sedemikian meruncing, katakan sampai pada titik puncak, disebut klimaks. Klimaks, menurut Santon, adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari terjadinya. Klimaks hanya dimungkinkan ada dan terjadi jika ada konflik. Namun, tidak semua konflik harus mencapai klimaks. Sebuah konflik akan menjadi klimaks atau tidak, dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh sikap, kemauan, dan tujuan pengarang dalam membangun konflik sesuai dengan tuntutan cerita.16
b.
Pelaku atau Tokoh Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam cerita selalu
15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005) h. 117. 16 Nurgiyantoro, op. cit., h.127.
16
mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh disebut perwatakan. 17 c.
Waktu dan Tempat Bersamaan dengan sosial, waktu dan tempat merupakan bagian dari unsur latar dalam sebuah cerita. Waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette dapat bermakna ganda; di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan amat penting dilihat dari segi waktu penceritaannya. Tanpa kejelasan (urutan) waktu yang diceritakan, orang hampir tak mungkin menulis cerita-khususnya untuk cerita yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang mengenal tenses seperti bahasa Inggris.18 Masalah waktu dalam cerita juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu yang dipergunakan dalam cerita. Ada yang membutuhkan waktu sangat panjang, katakanlah (hampir) sepanjang hayat tokoh, ada yang relatif agak panjang, membutuhkan waktu beberapa tahun, ada pula yang relatif pendek. Latar waktu haruslah berkaitan dengan latar tempat, karena tempat inilah yang menunjukkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempattempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penyebutan tempat yang tidak ditunjukkan
17 18
Siswanto, op. cit., h. 143. Nurgiyantoro, op. cit., h.231.
17
secara jelas namanya, mungkin disebabkan perannya dalam cerita tersebut kurang dominan.19 d.
Gaya Bahasa dan Dialog Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.20 Karena bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada sekadar bahannya itu sendiri. Sebuah cerita umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan; narasi dan dialog. Kedua bentuk tersebut hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi variatif dan tidak terkesan monoton. Pengungkapan bahasa dengan gaya narasi sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Pengarang cenderung memilih peristiwa dan tindakan, konflik, atau hal-hal lain yang menarik dari perjalanan hidup tokoh untuk diceritakan. Adapun dalam pengungkapan bahasa bentuk percakapan, seolah-olah pengarang membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi percakapannya. Dialog tidak mungkin hadir sendiri tanpa disertai (atau menyatu dengan) bentuk narasi.21
e.
Gagasan Pikiran atau Tujuan Sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya dalam bentuk karya sastra yang dibuatnya. Gagasan pikiran yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, hal ini biasa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca
19
Ibid., h.232-233. Siswanto, op. cit., h. 158. 21 Nurgiyantoro, op. cit., h.310-311. 20
18
atau pendengarnya. Di dalam karya sastra modern ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.22 Tujuan bercerita ini erat kaitannya dengan manfaat dari cerita itu sendiri. Lilian Holewell dalam A Book for Children Literature mencatat sedikitnya ada enam manfaat cerita. Yaitu (1) mengembangkan daya imajinasi dan pengalaman emosional, (2) memuaskan kebutuhan ekspresi diri melalui proses identifikasi, (3) memberikan pendidikan moral tanpa menggurui si anak, (4) memperlebar cakrawala mental si anak dan memberikan kesempatan untuk meresapi keindahan, (5) menumbuhkan rasa humor dalam diri si anak, dan (6) memberikan persiapan apresiasi sastra dalam kehidupan si anak setelah dia dewasa.23
C. Cerita dalam Al-Qur’an Di dalam buku “Metode Dakwah” yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI dijelaskan bahwa Al-Qur’an banyak memuat cerita-cerita sejarah umat terdahulu yang dapat dijadikan sebagai bahan yang dapat menjadikan perbandingan untuk menjalankan aktivitas dalam berdakwah dan mendidik. 1.
Macam-Macam Cerita dalam Al-Qur’an Cerita-cerita Al-Qur’an ada yang terkait dengan kehidupan para nabi, termasuk yang berkaitan dengan tokoh atau sesuatu yang berhubungan dengan nabi, seperti Iblis, Qabil-Habil, Khidir, Qarun, Firaun, dan lainnya. Ada pula yng tidak terkait dengan cerita para nabi, seperti penghuni gua (Ashabul Kahfi), Zulqarnain, Ashabul Ukhdud, dan lainnya. Sebagian cerita diceritakan berdasarkan pertanyaan para sahabat seperti Ashabul kahfi dan Zulqarnain (Al-Kahfi: 9-20, dan 83), tetapi sebagian besar difirmankan tanpa sebab atau permintaan. Secara keseluruhan tipe-tipe cerita Al-Qur’an
22
Siswanto, op. cit., h. 162. Kumpulan Artikel KOMPAS. ‘Sekolah’ Alternatif untuk Anak, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002), hal.4. 23
19
mengandung berbagai peringatan, contoh, tanda, dan pesan bagi umat manusia. Adapun pembagian cerita Al-Qur’an sebagai berikut: a.
Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam AlQur’an, ada tiga macam: 1.
Cerita hal-hal gaib pada masa lalu, yaitu cerita yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indra. Seperti cerita-cerita Nabi.
2.
Cerita hal-hal gaib pada masa kini, yaitu cerita yang menceritakan kejadian-kejadian gaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak dahulu dan akan tetap ada sampai pada masa yang akan datang), dan yang menyingkap rahasia orang-orang munafik.
3.
Cerita hal-hal gaib pada masa yang akan datang yang belum pernah terjadi pada waktu turunnya Al-Qur’an, kemudian peristiwa itu benar-benar terjadi.
b.
Ditinjau dari segi materi, juga ada tiga macam: 1.
Cerita para Nabi menyangkut dakwah mereka dan tahapan-tahapan serta perkembangan, mu’jizat mereka, posisi para penentang, akibat orang-orang yang percaya dan yang mendustakan mereka dan lainlain. Misalnya cerita Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad, dan nabi serta rasul lainnya.
2.
Cerita orang-orang yang belum tentu nabi dan kelompok-kelompok manusia tertentu seperti cerita Lukmanul Hakim, Ashabul Kahfi dan lain-lain. peristiwa-peristiwa masa lalu dan pribadi-pribadi yang tidak diketahui secara pasti apakah mereka nabi atau bukan, misalnya cerita Thalut dan Jalut, dua putra Adam, Zulqarnain, Qarun, Maryam, Ashabul Ukhdud, dan lain-lain.
3.
Cerita mengenai kejadian-kejadian yang terjadi di masa Rasulullah SAW, seperti perang Badar dan Uhud dalam surah Ali Imran, perang
20
Hunain dan Tabuk dalam surah at-Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, peristiwa Hijrah, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.24
2.
Tujuan Cerita dalam Al-Qur’an Orang-orang kafir menganggap bahwa cerita-cerita yang terkandung di dalam Al-Qur’an sebagai mitos dan legenda. Di dalam Al-Qur’an didapati banyak cerita nabi-nabi, rasul-rasul dan umat-umat terdahulu di mana maksud cerita-cerita itu ialah sebagai pelajaran-pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang berguna bagi penyeru kebenaran dan yang diseru kepada kebenaran. 25 Bagi orang yang sedang menyeru kepada kebenaran, jalan-jalan yang harus ditempuh dalam menghadapi kaum yang diseru oleh para penyeru kebenaran bisa dilihat dari surat-surat yang mengandung cerita perjuangan para nabi dan rasul dalam mendakwahkan tauhid kepada kaum-kaumnya. Umpamanya, Nuh memulai seruannya dengan mempertakutkan. Hud memulai seruannya dengan memberi kabar gembira. Sholeh memulai seruannya dengan memperingatkan umat-umatnya kepada nikmat-nikmat Allah. Adapun Syuaib dengan tandzir, tahsyir, dan tadzkir (mempertakutkan, memberi kabar gembira, mengingatkan nikmat itu).26 Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Kayfa Nata’amal Ma’ alQur’an mengkritik banyaknya orang yang menulis cerita-cerita Qurani terlalu menampilkan segi keindahan sastranya, ketimbang muatan ceritanya. Keindahan sastra seolah merupakan tujuan dalam penulisan mereka. Padahal sastra hanyalah alat bukan tujuan. Hal ini yang menyebabkan tujuan utama dari cerita-cerita Al-Qur’an sama sekali tidak mendapat perhatian karena alat atau sarana tadi beralih menjadi pokok tujuan.27 24
FKMT Penamas Departemen Agama Dki Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Metode Dakwah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004) hlm 128. 25 Harun Yahya. Misinterpretasi Terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72. 26 Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 123. 27 Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 88.
21
Beberapa ahli memberikan pemaparan tersendiri tentang tujuan adanya cerita-cerita tersebut. Menurut Manna Khalil al-Qatthan tujuan cerita-cerita tersebut adalah:28 a.
Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah SWT dan keterangan pokokpokok syariat yang dibawa oleh masing-masing Nabi dan Rasul. Contohnya dalam surat al-Anbiya: 25
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku" b.
Memantapkan hati Rasulullah dan umatnya serta memperkuat keyakinan kaum muslimin.
c.
Mengoreksi pendapat para ahli kitab yang suka menyembunyikan keterangan dan petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan argumentasi-argumentasi yang terdapat pada kitab suci sebelum diubah mereka sendiri.
d.
Lebih meresapkan dan memantapkan keyakinan dalam jiwa.
e.
Untuk
memperlihatkan
kemukjizatan
Al-Qur’an
dan
kebenaran
Rasulullah di dalam dakwah dan pemberitaannya mengenai umat-umat yang terdahulu ataupun keterangan beliau yang lain, dalam surat al-Fath: 27 Allah Berfirman:
28
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 437.
22
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut” f.
Menanamkan pendidikan akhlakul karimah, karena dari keterangan cerita-cerita yang baik itu dapat meresap ke dalam hati nurani dengan mudah. Adapun Shalah Al-Khalidy berpendapat bahwa tujuan cerita-cerita Al-
Qur’an ialah: a.
Agar
mereka
berpikir
(la’allahum
yatafakkarun).
Al-Qur’an
menginginkan kita untuk senantiasa berpikir dan mengambil pelajaran dari setiap kisah yang diceritakan. b.
Untuk meneguhan hati Rasulullah dan orang-orang mukmin agar konsisten dalam jalan kebenaran. Pelajaran bagi orang-orang yang berakal. 29
c.
Sedangkan menurut Muhammad Said Mursy, penceritaan Alqur‘an dan para nabi bertujuan sebagai peringatan dan pelajaran bagi seluruh umat.30 Dari beberapa pendapat para pakar yang telah dikemukakan di atas, secara keseluruhan terdapat kesamaan pendapat antara yang satu dengan lainnya. Di antara maksud dan tujuan itu yakni: Pertama, menegaskan bahwa Nabi Muhammad benar-benar seorang nabi utusan Allah dan bahwa Al-Qur’an yang disampaikannya memang benarbenar firman Allah yang diwahyukan kepadanya. Kalau bukan karena wahyu dari Allah bagaimana mungkin Nabi Muhammad bisa menyampaikan ceritacerita di dalam Al-Qur’an dalam deskripsi yang sedemikian cermat dan narasi yang amat indah tanpa ada distorsi dan penyelewengan. 31 Firman Allah SWT: 29
Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang Dahulu, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 28-31. 30 Mursy, op. cit., h.118. 31 Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 159.
23
Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul. Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat. (QS Al-Qashash: 44-46) Kedua, menegaskan kesatuan agama-agama samawi, yakni seluruh para nabi menyeru kepada akidah yang satu, yang berasal dari Allah. Tidak ada perbedaaan pun di antara para nabi dan rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Kadang disebutkan sejumlah cerita para nabi dan rasul secara terhimpun dalam satu surah, dinarasikan dengan gaya yang sangat mengagumkan, untuk menegaskan kebenaran ini. Tengok misalnya surah alAnbiya, di mana cerita-cerita Musa dan Harun, Ibrahim, Luth, Nuh, Dawud, Sulaiman, Ayyub, Ismail, Idris, dan Dzulkifli disebutkan secara berantai. Lalu masing-masing disertai dengan sebutan indah, dan diakhiri dengan, Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka tunduk-sembahlah pada-Ku (QS Al-Anbiya: 48-92). Tujuan ini pada dasarnya hendak menjelaskan hubungan yang erat antara syariat
24
Islam dengan seluruh syariat Ilahiah yang diserukan oleh para rasul dan nabi keseluruhan, dan bahwa Islam sejatinya pelanjut syariat-syariat tersebut. Allah berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku". (al-Anbiya: 25) Ketiga, menegaskan kesatuan metode dan gaya dakwah para nabi. AlQur’an menegaskan betapa metode dan gaya dakwah para nabi itu satu, bahwa cara mereka dalam melawan dan menghadapi kaumnya itu serupa, dan bahwa faktor-faktor, sebab dan fenomena-fenomena yang dihadapi dakwah adalah satu.32 Keempat, mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh para nabi dan tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran. Serta memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang akhir yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta memotifasi mereka agar bersabar dalam berdakwah. Cerita-cerita itu menjelaskan bahwa orang yang mengingkari kebenaran risalah para nabi akan bernasib sama seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud, dan lainnya. Demikian juga para dai yang melanjutkan tugas nabi dan pengikutnya, diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami penolakan dan perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para nabi-Nya di penghujung peristiwa dan mengalahkan kaum pendusta. Kelima, cerita adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur’an untuk membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh yang bersifat 32
Muhammad Hadi Ma’rifat. Kisah-Kisah Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora, (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 47.
25
mendidik, karena sejak dulu para pendidik mempergunakannya sebagai sarana untuk mengajarkan akhlak baik, nilai agama, dan etika dengan cara yang ringan dan menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan hikmah, nasihat, pelajaran, serta keteladanan. 33
3.
Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an Sesungguhnya pada cerita-cerita mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS Yusuf: 111). Dari ayat tersebut dapat dipahami betapa cerita-cerita yang ada dalam AlQur’an memiliki faktualitas, kebenaran, hikmah dan pendidikan nilai-nilai luhur.34 Keempat hal inilah yang membuat cerita-cerita yang ada dalam AlQur’an, berbeda dengan cerita pada umumnya. Faktualitas, dalam arti bahwa Al-Qur’an menyampaikan peristiwaperistiwa, persoalan dan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan kebutuhan hidup mereka dalam bentangan sejarah kemanusiaan. Jadi, cerita dalam Al-Qur’an bukan sekedar cerita khayal yang ada di anganangan. Penuturan cerita dan peristiwa-peristiwa di dalam Al-Qur’an bermaksud mengajak untuk “membaca ulang” sejarah kemanusiaan dan persoalan-persoalan rill yang telah dijalani umat manusia sebelumnya, yang dengan itu menjadi jelas hal-hal yang baik dari yang buruk, supaya itu semua dijadikan pelajaran bagi kehidupan yang sekarang dan yang akan datang. Sehingga umat dewasa ini tidak mengulang apa yang pernah dilakukan leluhur mereka yang berujung pada penyesalan. Dalam uraiannya, cerita AlQur’an juga memberikan penekanan lebih pada peristiwa, bukan tokoh. Kebenaran, dalam arti memerhatikan sisi kebenaran dalam menuturkan peristiwa-peristiwa dan fakta historis yang dihadapi oleh para nabi dan umatnya dalam kehidupan. Ini berseberangan dengan dongeng-dongeng 33
Muhammad Utsman Najati. Psikologi Qurani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni. (Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h. 155. 34 Ma’rifat, Op. cit, h. 33.
26
bohong, mitos, serta penyimpangan dalam pemahaman yang menghiasi cerita-cerita para nabi terdahulu dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru.35 Pendidikan nilai-nilai luhur, mungkin inilah salah satu fokus Al-Qur’an, karena Rasulullah pun diutus untuk meluruskan akhlak manusia. Dalam AlQur’an, cerita dituturkan dengan nuansa akhlak untuk beriman kepada Allah serta beramal saleh dan berperilaku baik dalam hidup,baik secara pribadi maupun sosial. Hikmah, karena di antara tujuan diutusnya para utusan Allah ialah mengajarkan kitab dan hikmah, sehingga dari cerita-cerita Al-Qur’an orang dapat mengambil manfaat darinya dalam membuat hidupnya lebih bermakna. Boleh
jadi
karena
alasan
ini
Al-Qur’an
membatasi
diri
dalam
mengetengahkan cerita dan peristiwa-peristiwa sejarah, sebatas dengan yang memiliki kaitan dengan arah dan orientasinya itu sendiri. Tentu ini berbeda dengan cerita yang disampaikan sebagai hiburan dan kodifikasi kejadian dan peristiwa-peristiwa bersejarah, sebagaimana ciri khas buku-buku sejarah.36 Itulah keunikan cerita Al-Qur’an yang membuatnya berbeda dengan cerita lainnya, bukan sekadar pemaparan cerita orang-orang yang telah mati tetapi tidak membawa makna yang berarti dan kebaikan di dalamnya. Atas dasar itu, Al-Qur’an disebut ahsan al-qashash, yakni “cerita terbaik” (QS Yusuf: 3).
a.
Gaya Penyampaiannya Berbeda dengan Cerita Sastra. Metode cerita dalam Al-Qur’an berbeda dengan metode cerita dalam tradisi literer-sastrawi dan humaniora pada umumnya. Gaya bahasa AlQur’an menganut stilistika khithabi (retorikal), bukan kitabi (tulisan atau buku). Sehingga Al-Qur’an tidak harus menjelaskan persoalan-persoalan secara teratur dan sistematis, tidak perlu menjelaskan detail-detail, sebagaimana menjadi sebuah keharusan dalam sebuah buku. Karena itu, dalam menarasikan cerita, Al-Qur’an tidak perlu terjebak pada kronologi 35 36
Ibid., h. 35 Ibid., h. 37-38.
27
waktu dan kesinambungan peristiwa. Tetapi, Al-Qur’an bebas bergerak dan berpindah dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, kemudian kembali mengulang lagi (tijwal) jika memang diperlukan. Malah terkadang secara terputus-putus dan tidak ada kelanjutannya, karena yang penting telah menunjukkan inti yang menjadi signifikansi dari cerita tersebut (bayt al-qashid). Hal ini dikarenakan posisi Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Karenanya, Al-Qur’an memanfaatkan cerita hanya untuk tujuan hidayah (petunjuk) tersebut. Karena itu pula, untuk sampai pada tujuan utamanya, Al-Qur’an membatasi diri pada pemaparan hal-hal yang perlu saja, tanpa tergoda dengan aspek lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan tujuan asalnya. 37
b.
Penyampaian Pesan dalam Cerita Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa penyampaian pesan-pesan agama melalui cerita mempunyai maksud dan tujuan tersendiri. Karena cerita di dalam Al-Qur’an merupakan suatu metode untuk mencapai tujuan yakni memberi pelajaran bagi manusia, maka agar tujuan tersebut berhasil dengan baik, biasanya Al-Qur’an lebih dahulu menyebutkan kandungan suatu cerita secara umum melalui beberapa kata secara singkat. Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan secara luas. Sementara itu jika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan-pesan penting yang terdapat di dalam suatu cerita, cara yang digunakan adalah mengemukakan pernyataan tegas secara berjenjang, baik berisi penolakan maupun pengukuhan isi cerita. Metode penyampaian pesan melalui cerita dapat dilihat antara lain ketika Al-Qur’an menceritakan cerita Nabi Yusuf, Musa, Adam, dan Penghuni Gua (Ashabul Kahfi).38
37
Najati, Op. cit, h. 156. Abd. Rahman Dahlan. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 188. 38
28
Ketika bercerita tentang Nabi Yusuf AS., Al-Qur’an memulainya dengan ayat berbunyi: Kami menceritakan kepadamu cerita yang paling baik, dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu... (QS Yusuf: 3). Setelah mengukuhkan kebaikan cerita yang hendak dikemukakan dan menceritakan secara singkat rangkuman cerita Nabi Yusuf, AlQur’an kemudian menegaskan: Sesungguhnya terdapat beberapa tanda kekuasaan Allah pada Yusuf dan saudara-saudaranya, bagi orang-orang yang bertanya (QS Yusuf: 7). Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan cerita Nabi Yusuf secara deskriptif sampai selesai. Adapun ketika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan penting di dalam suatu cerita, digunakannyalah bentuk pernyataan bersifat menegasikan atau mengukuhkan. Hal ini dapat dilihat antara lain ketika Al-Qur’an membantah dan membatalkan keyakinan orang-orang yang mempertuhankan berhala-berhala, di samping mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. 39 Al-Qur’an membantah keyakinan tersebut dengan menegaskan: Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta. (QS Al-Kahfi: 5). Demikian juga ketika ketika menegaskan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW; mula-mula Al-Qur’an membantah tuduhan kaum kafir Quraisy yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad sesat dan mengada-ada: Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. (QS An-Najm: 1-3).
39
Ibid., h. 189.
29
Setelah menegasikan semua tuduhan negatif terhadap diri sang Nabi, pada jenjang berikutnya barulah Al-Qur’an menyatakan secara terperinci kedudukan beliau sebagai pembawa wahyu Allah: Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (QS An-Najm: 4-5). Demikian beberapa contoh pola yang digunakan Al-Qur’an untuk menyampaikan pernyataan penting di dalam suatu cerita. Melalui polapola tersebut, para pembaca ataupun pendengar akan mendapatkan keterangan secara jelas tentang pesan yang disampaikan, sekaligus merasakan kesan yang mendalam tentang alur cerita dari cerita tersebut.40
c.
Pengulangan Cerita Cerita di dalam Al-Qur’an ada yang disampaikan secara tuntas di satu tempat dalam Surah Al-Qur’an, seperti cerita Zulqarnain dalam Surah Al-Kahfi, cerita tentara gajah dalam surat Al-Fiil dan cerita Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf. Di sisi yang lain, sebagian besar cerita AlQur’an tidak disampaikan secara utuh sekaligus dalam satu tempat, tetapi hanya bagian tertentu yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan dan tersebar di beberapa surah. Cerita Nabi Adam misalnya tersebar di beberapa surah, antara lain: al-Baqarah: 30-38, Ali Imran: 59, an-Nisa: 1, al-A’raf: 11-25, al-Hijr: 2648, al-Isra: 61-65, al-Kahfi: 50, Taha: 115-123. Sad: 72-85, az-Zumar: 6 dan ar-Rahman: 14-15. Begitu juga dengan cerita Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Ibrahim. Walaupun di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa surah yang dinamakan Ibrahim (surah ke-14), Nuh (surah ke-71) dan Hud(surah ke-11), tetapi cerita-cerita mereka bertiga tersebar di banyak surah dalam Al-Qur’an.41
40
Ibid., h.190-191. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) hlm 7. 41
30
Kajian para psikolog membuktikan bahwa pengulangan sangatlah penting dalam proses pembelajaran, karena ini akan membuat pendapat dan pemikiran yang ingin disampaikan menjadi lebih mudah untuk diingat. Dalam Al-Qur’an didapatkan pengulangan ayat yang berhubungan dengan masalah akidah dan masalah gaib yang ingin ditanamkan pada pikiran manusia seperti keimanan kepada hari akhir. Dalam Al-Qur’an, cerita para nabi banyak diulang untuk mempertegas bahwa semua agama (tauhid) berasal dari Allah. Allahlah yang telah mengutus para nabi dan rasul dalam kurun waktu yang berbeda-beda untuk menyeru agar mengesakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. AlQur’an menjelaskan kepada kaum kafir Quraisy tentang nasib umat-umat terdahulu yang mendustakan para nabi, untuk memberi peringatan bahwa mereka pun akan mengalami nasib yang sama jika mendustakan Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Mursalat ada kalimat, “Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” sebanyak sepuluh kali. Surat ini mengingatkan terhadap nikmat dan azab Allah, agar mereka tidak terus menerus mendustakan dan berada dalam kekafiran. Karena cara yang demikian ialah hal biasa bagi bangsa Arab, baik dalam pidato maupun dalam pembacaan syair. Pengulangan cerita bukanlah pengulangan secara utuh. Sebab, AlQur’an hanya menyebutkan peristiwa yang sesuai dengan konteks makna yang terdapat dalam surat. Jika Al-Qur’an mengulangi satu bagian dari cerita, maka biasanya pada bagian itu ditambahkan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak disebutkan. Dalam penggunaan kata terkadang juga mengalami perubahan, baik dalam susunan, mengedepankan atau mengakhirkan, sesuai dengan tuntutan pengajaran yang dimaksudkan cerita tersebut. Mengenai pengulangan dalam cerita Al-Qur’an, Dr. Muhammad Mahmud Hijazi mengutip pernyataan Imam asy-Syathibi dalam al-
31
Muwaafaqaat, “Secara umum, pemaparan cerita para Nabi seperti Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Musa, Harun, dan sebagainya adalah dalam rangka menghibur Nabi Muhammad SAW. dan mengokohkan hati beliau dalam menghadapi pembangkangan, pendustaan, maupun tindakan tidak terpuji dari orang-orang kafir. Hal inilah yang membuat cerita-cerita tersebut berisi hal-hal yang juga dihadapi oleh Rasulullah SAW. dalam perjalanan dakwahnya. Dengan demikian, tidak mengherankan jika alur atau gaya pemaparan suatu kisah sering kali tidak sama. Hal ini disesuaikan dengan kondisi tertentu yang ketika itu dihadapi Rasulullah SAW. Walaupun begitu, seluruh kisah tetap merupakan suatu yang hak dan tidak ada keraguan terhadap keshahihannya. Lebih lanjut, siapa yang ingin mengkaji dan mendapatkan pemahaman yang baik tentang Al-Qur’an, maka tidak ada salahnya mengikuti metode atau model pemaparan beberapa contoh yang telah dikemukakan.”42 Diulang-ulangnya penyampaian satu cerita tertentu di berbagai tempat didasarkan pada beberapa sebab, di antaranya. Sebab pertama, ada penambahan informasi baru yang tidak terdapat pada uraian sebelumnya. Sebab kedua, agar cerita yang diceritakan Rasulullah SAW. bisa didengar oleh banyak orang. Karena tidak jarang ketika Rasulullah SAW. menyampaikan cerita, pendengarnya ialah orang yang kebetulan lewat dan kemudian pergi. Selanjutnya ketika turun wahyu yang lain, orang yang mendengarnya lain lagi. Sebab ketiga, dalam rangka menghibur hati nabi Muhammad SAW. Sebab keempat, untuk menegaskan karakteristik cerita Al-Qur’an, di mana ada cerita yang dihimpun dalam satu surah saja, tetapi ada juga
42
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 74.
32
yang diulang-ulang di tempat lain. Karena kalau semua sama maka tidak ada bedanya Al-Qur’an dengan kitab-kitab suci sebelumnya.43
d.
Episode Kemunculan Tokoh Utama 1. Dari Awal Kelahiran Dalam bercerita adakalanya Al-Qur’an memunculkan tokoh utamanya dari episode pertama: episode kelahiran pemeran utamanya, karena dalam kelahirannya mengandung nasihat, seperti cerita Nabi Adam (sejak awal kejadiannya). Di dalam cerita itu ada fenomena kekuasaan Allah dan kesempurnaan ilmu-Nya serta nikmat-Nya kepada Nabi Adam dan anak-cucunya. Juga ada dialog iblis dengan Nabi Adam, yang semuanya mengandung pelajaran bagi umat manusia. Atau cerita kelahiran Nabi Isa yang dipaparkan dengan rinci dan sempurna. Sebab, kelahiran Nabi Isa merupakan salah satu mukjizat kenabiannya. Bahkan menjadi penyebab terjadinya pertentangan yang berkenaan dengan Almasih, baik sebelum maupun sesudah Islam datang. Tidak ketinggalan cerita Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Sebab dalam kelahiran itu terdapat pelajaran. Nabi Ismail adalah karunia yang diberikan kepada Nabi Ibrahim, padahal dia sudah tua. Sedangkan Nabi Ishaq merupakan kabar gembira yang diberikan kepada istrinya, padahal dia sudah sangat tua. Begitu juga dengan kelahiran Yahya, di mana ayahnya Zakaria sudah rapuh dan rambutnya beruban.
2. Dari Masa Kanak-Kanak Tokoh utama di dalam cerita Al-Qur’an adakalanya dipaparkan tidak dari awal kelahiran, tetapi setelahnya. Seperti cerita Ibrahim, ceritanya berawal dari sejak dia masih muda. Memandang langit dan melihat bintang, bulan, dan matahari dalam rangka pencarian kepada Tuhannya, yang pada akhirnya dia ber-tawajjuh (menghadapkan diri) kepada Allah yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala. Lalu dia mengajak bapak dan 43
Ibid., h.381-382.
33
kaumnya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa ini, namun semua menolak. Hingga akhirnya strategi yang dilakukan Ibrahim ialah menghancurkan semua berhala dan menyisakan satu berhala yang paling besar dengan meninggalkan kapak padanya. Cerita Nabi Dawud juga dimulai ketika dia di ambang dewasa. Dimulai dengan dikalahkannya Jalut oleh Nabi Dawud berkat pertolongan Allah. Begitu juga dengan Nabi Sulaiman, yang ceritanya dimulai sejak dia seusia bapaknya, saat dia duduk sebagai hakim dalam permasalahan mengenai tanaman, “Karena tanaman ini dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” (al-Anbiyaa’: 78). Hukum yang adil dari seorang pemuda inilah yang menjadi tanda bahwa Allah kelak akan menjadikannya pemimpin kerajaan terbesar.
3. Sudah Dewasa atau Masa Kenabian Kemudian juga terdapat beberapa cerita yang memunculkan tokohnya saat berada dalam usia dewasa, dalam artian saat menjadi nabi atau rasul. Seperti Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syua’ib, dan banyak lagi yang lainnya. Sebab, periode kenabian itulah yang terpenting dari kehidupan mereka dan di dalamnya tersirat i’tibar.44
e.
Panjang Pendek Cerita 1. Cerita yang Disebutkan Panjang Lebar
Selain dari sisi awal cerita, Al-Qur’an juga memiliki gaya tersendiri dalam hal panjang atau pendeknya cerita. Ada beberapa cerita yang disebutkan secara panjang lebar, termasuk rincian peristiwanya seperti apa pun digambarkan. Seperti cerita Nabi Yusuf yang ceritanya sangat jelas dan rinci dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam surah yang menggunakan namanya, Yusuf, untuk mempertegas hal ini. Mulai dari cerita dia dan 44
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.181-184.
34
saudara-saudaranya. Juga apa yang terjadi di Mesir setelah dia diperjualbelikan dan dididik. Juga tentang cerita bujukan istri al-Aziz terhadapnya, kisahnya di dalam penjara, tabir mimpi dua orang pelayan rajanya.
Kemudian
tentang
tabir
mimpi
raja,
kesuksesan
kepemimpinannya, serta kedatangan saudara-saudaranya hingga akhirnya kedatangan ayahnya. Sekali lagi, semua cerita itu dipaparkan dengan rinci sekali. Cerita Nabi Sulaiman juga dipaparkan dengan beberapa episode panjang, dimulai dari keputusannya masalah tanaman, kerajaannya, keterpedayaannya dengan kuda yang bagus dan permohonan ampunnya kepada Allah atas hal itu serta tentang tunduknya setan angin di hadapannya. Juga ceritanya dengan semut, burung hudhud, dan dengan Ratu Balqis. Juga tentang kematiannya sambil berdiri memegang tongkatnya dan para setan tidak menyadari akan hal itu. Semuanya mempunyai tujuan yang dituju.
2. Cerita yang Perinciannya Sedang Ada juga cerita-cerita di dalam Al-Qur’an yang perinciannya sedangsedang saja, seperti cerita Nabi Nuh. Cerita mengenai risalahnya, dakwah kepada kaumnya, tentang pembuatan kapal, banjir besar hingga menenggelamkan kaum bahkan anaknya sendiri yang membuatnya memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya tetapi tidak dikabulkan oleh Allah karena dia bukan bagian dari keluarganya walaupun itu anaknya sendiri. Juga cerita Nabi Adam dirincikan hanya pada saat penciptaannya, kesalahannya, turun ke bumi, dan tobatnya. Begitu juga dengan cerita Nabi Dawud tidak terlalu rinci, namun cukup banyak memuat ceritaceritanya.
35
3. Cerita yang Disebutkan Singkat Ada juga beberapa cerita pendek, seperti cerita Nabi Huud, Shaleh, Luth, Syu’aib. Hanya diceritakan saat kenabian saja, yakni mencakup risalah, dialog dengan kaumnya, pendustaan kaum mereka, dan kemudian tentang kebinasaan kaum mereka. Begitu juga dengan cerita Nabi Ismail yang
hanya
diceritakan
saat
kelahirannya,
penebusannya,
dan
keikutsertaan dalam membangun Ka’bah bersama bapaknya. Juga cerita Nabi Ya’qub hanya disebutkan dalam konteks cerita Nabi Yusuf. Lalu disebut sekali lagi dalam ayat, ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "...Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu... ". (alBaqarah: 133). Episode ini terpisah sendiri di sini dari yang lainnya karena ingin menjelaskan pentingnya ketauhidan, seperti yang dipesankan oleh Ya’qub.
4. Cerita yang Disebutkan Sangat Singkat Ada lagi beberapa cerita yang sangat pendek sekali seperti cerita Nabi Zakaria disebutkan ketika kelahiran Yahya dan ketika menanggung biaya Maryam saja. Cerita Nabi Ayub disebutkan ketika dia terkena penyakit. Dan cerita Nabi Yunus saat ditelan oleh ikan dan ceritanya terlempar di padang tandus, serta dalam cerita tentang risalahnya kepada kaumnya dan keimanan mereka dengannya. Ada juga beberapa cerita yang tidak disebutkan kecuali hanya sekilas sifat pelakunya. Seperti Nabi Idris, Ilyasa’, Zulkifli, serta yang lainnya yang hanya nama mereka saja yang ada dalam pemaparan cerita-cerita para nabi. Sedangkan cerita-cerita lain yang terpisah-pisah, seperti Ashabul Ukhdud, Ashabul Kahfi, Qabil dan Habil, Qarun, dan lain-lain, semua itu
36
adalah murni cerita-cerita yang bersifat nasihat. Maka hanya dipaparkan sekadar nasihat sampai ke sasarannya.45
f.
Bentuk Dialog dalam Bercerita Mengenai format dialog dalam cerita-cerita Al-Qur’an, Sulaiman athTharawanah dalam bukunya Dirasah Nashshiyyah Adabiyyah fil Qishshah al-Qur’aniyyah46 menjelaskan bahwa sering sekali dialog yang terjadi dalam cerita-cerita Al-Qur’an diangkat dalam bentuk cerita, yaitu cerita antara tokoh yang terlibat dalam percakapan yang diceritakan. Percakapan yang ditampilkan dalam cerita-cerita Al-Qur’an kebanyakan hanya berupa cerita percakapan. Artinya, tampilan dialog tersebut tidak diiringi dengan isyarat-isyarat estetika yang menggambarkan sikap perilaku dialog. Bentuk percakapan dalam Al-Qur’an terdiri dari dua bentuk: pertama, percakapan semi dialektis, yaitu percakapan yang cenderung mengarah pada bentuk perdebatan. Dialog semacam ini biasanya membawa misi keagamaan, yaitu untuk memberikan informasi kepada kita akan kekerasan kaum terdahulu dalam menentang ajaran para nabi. Model dialog seperti ini dapat dijumpai dalam cerita kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan Syu’aib. Kedua, model percakapan pengisahan, yaitu bentuk percakapan di mana Al-Qur’an dengan sendirinya berperan sebagai mediator yang mengajak pembaca masuk ke dalam peristiwa melalui sela-sela tempo cerita. Adapun beberapa kelebihan yang dimiliki Al-Qur’an dalam metode dialog di antaranya. Pertama, dialog tersebut berfungsi menghidupkan suasana berbagai peristiwa yang diceritakan. Kedua, dapat melukiskan kepribadian tokoh-tokoh cerita dengan sangat baik, seperti pada cerita Yusuf dan Musa dalam Surah al-Qashash. Ketiga, secara artistik sebagai sarana untuk menyampaikan maksud dan tujuan cerita, bahkan terkadang 45
Quthb, op. cit., h. 184-188. Sulaiman ath-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 217. 46
37
bermanfaat untuk mengungkap rahasia di balik peristiwa yang sedang diceritakan.47
D. Hasil penelitian yang relevan Hasil penelitian yang terkait dengan pembahasan karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81 masih belum ditemukan. Setidaknya di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak ditemukan skripsi yang membahas mengenai karakteristik cerita dalam Al-Qur’an, sehingga tidak ada hasil penelitian yang dapat dijadikan perbandingan bagi penelitian ini.
47
Ibid., h. 218-219.
38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Metode Penelitian Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menelusuri datadata kepustakaan (library research) dengan mengacu pada pendapat para ahli tafsir, ahli pendidikan dan ahli sastra yang tertuang dalam kitab-kitab, buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah penafsiran ayat dengan menggunakan metode tafsir tahlili (analisis). Yakni, metode menafsirkan ayatayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayatayat yang ditafsirkan, dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana dalam mushaf, serta menerangkan makna-makna yang tercakup sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.1
B. Sumber Data 1.
Sumber Data Primer Sumber data primer yaitu literatur-literatur yang membahas objek permasalahan pada penelitian ini, berupa tafsir Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81 dari beberapa kitab tafsir.
2.
Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yaitu data-data tertulis maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan pembahasan pada penelitian ini. Adapun sumber data sekunder yang dijadikan alat untuk membantu penelitian , berupa bukubuku atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara tentang teori cerita sastra dan qashashul qur’an. 1
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, h. 31.
39
C. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini ialah dengan teknik dokumentasi. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang.2 Metode dokumentasi merupakan sumber non manusia, sumber ini adalah sumber yang cukup bermanfaat sebab telah tersedia sehingga relatif murah pengeluaran biaya untuk memperolehnya, merupakan sumber yang stabil dan akurat sebagai cermin situasi/kondisi yang sebenarnya, serta dapat dianalisis secara berulang-ulang dengan tidak mengalami perubahan. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan dan menelaah sumber referensi berupa buku-buku, artikel, jurnal, dan literartur ilmiah lainnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
D. Teknik Analisis Data Mengingat objek penelitian ini adalah karakteristik cerita dalam Al-Qur’an, berarti mengkaji teks Al-Qur’an itu sendiri, maka dalam menganalisis data yang terkumpul, penulis menggunakan metode analisis isi, atau dalam kajian tafsir dikenal dengan metode tafsir tahlili. Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, menjelaskan makna lafadz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat yang kemudian dikaitkan dengan pembahasan pada skripsi ini.
E. Teknik Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013”.
2
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 368.
41
BAB IV METODE PEMBELAJARAN CERITA DALAM ALQUR’AN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81 A. Penafsiran Secara Ringkas Ayat 76
Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, lalu ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya tumpukan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah engkau terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". Ayat di atas memulai kisah Qarun, tanpa menyebut kapan dan di mana terjadinya peristiwa yang akan diuraikan ini. Menurut Ibn ‘Asyur,1 Firman-Nya: Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, bukan dengan menyatakan termasuk kelompok Bani Israil, mengesankan adanya hubungan khusus antara Musa dengan Qarun. Hubungan tersebut yakni hubungan kekerabatan. Qarun hidup semasa dengan Nabi Musa dan konon adalah anak paman Nabi Musa. Kendati demikian ia durhaka lalu serta merta ia berlaku aniaya terhadap mereka yakni dia melampaui batas dalam keangkuhan dan penghinaan terhadapa Bani Israil. Kami telah menganugerahkan kepadanya tumpukan harta, yakni tempattempat gudang penyimpanan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. Itu baru kuncinya, adapun harta
1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), Cet VIII, Vol. 10. h. 403.
42
kekayaannya maka tidak mungkin dapat dipikul oleh orang yang sangat banyak sekalipun. Setelah ayat di atas menjelaskan sebab keangkuhannya, kini selanjutnya beberapa orang dari Bani Israil menasihatinya, yakni ketika kaumnya berkata kepadanya: “Hai
Qarun! Janganlah engkau terlalu bangga dengan hartamu
sehingga melupakan Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.2
Ayat 77
“Dan carilah - pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu - negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan.” Beberapa orang dari kaum Nabi Musa itu melanjutkan nasihatnya kepada Qarun bahwa nasihat ini bukan berarti engkau hanya boleh beribadah murni dan melarangmu memperhatikan dunia. Tidak! Berusahalah sekuat tenaga dan pikiranmu sebatas yang dibenarkan Allah dalam memperoleh harta dan carilah secara sungguh-sungguh pada, yakni melalui apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat, dengan menginfakkannya di jalan Allah tanpa melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak. Agar tidak terjerumus dalam kekeliruan ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kesatuan. Kedua, pentingnya mengarahkan pandangan kepada
2
Ibid.
43
akhirat sebagai tujuan dan dunia sebagai sarana mencapai tujuan. Ketiga, ayat di atas menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika berbicara tentang kebahagiaan akhirat, sedangkan perintah menyangkut kebahagiaan duniawi berbentuk pasif yakni, jangan lupakan. Hal ini menunjukkan perbedaan penekanan di antara keduanya.
Ayat 78
Ia berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberinya karena ilmu yang ada padaku" dan apakah ia tidak mengetahui, bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat dari padanya, dan lebih banyak himpunan (nya)? dan tidaklah ditanya tentang dosa-dosa mereka para pendurhaka itu. Selanjutnya pada ayat 78, setelah mendengar nasihat yang disampaikan di atas, Qarun semakin lupa diri dan angkuh. Ia berkata: “Sesungguhnya aku memperoleh harta itu, karena ilmu dan kepandaian yang mantap yang ada padaku,” yakni tidak ada jasa siapa pun atas perolehanku itu. Pandangan ini disanggah oleh lanjutan ayat yang bagaikan menyatakan Apakah ia begitu bodoh dan lengah sehingga tidak mengetahui, bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat yang hidup tidak jauh dari masa sebelum Qarun dan mereka itu lebih kuat badan dan kemampuan serta lebih banyak himpunan harta serta pengikut yang bersimpati padanya dibandingkan dengan si Qarun itu? Sungguh kedurhakaan Qarun telah demikian jelas. 3
3
M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), Cet I, h. 80.
44
Ayat 79-80
Maka keluarlah ia kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkata mereka yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita memiliki seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai bagian yang besar". Dan berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kebinasaan bagi kamu. Pahala Allah adalah jauh lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan tidak diperolehnya kecuali oleh orangorang yang sabar". Nasihat yang disampaikan kepada Qarun tidak digubrisnya. Bahkan tidak lama setelah dinasihati keangkuhannya lebih menjadi-jadi. Maka keluarlah ia kepada kaumnya, yakni khalayak ramai dalam kemegahannya. Diceritakan bahwa ia keluar pada kaumnya dengan mengenakan perhiasannya dan membanggakan diri terhadap masyarakat. Pamer kekayaan ini telah membuat orang yang menghendaki kehidupan dunia memiliki seperti apa yang diberikan kepada Qarun. Mereka menganggap Qarun mempunyai bagian yang besar dari keberuntungan dan kenikmatan duniawi. Sedangkan orang yang berilmu menganggap aneh apa yang diharapkan oleh mereka yang ingin seperti Qarun. Hal ini dikarenakan mereka yakin pahala yang disediakan Allah itu jauh lebih baik dari yang dimiliki Qarun.4
4
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), h. 174-175.
45
Ayat 81
Maka Kami benamkanlah ia beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap siksa Allah, dan tiada pula ia termasuk orang-orang yang mampu membela (dirinya). Kemudian ayat terakhir menjelaskan karena kedurhakaan Qarun itu Kami benamkanlah ia yakni dilongsorkan tanah sehingga ia terbenam beserta rumahnya serta seluruh kekayaan dan perhiasannya ke dalam perut bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang dapat menolong terhadap siksa Allah, dan tiada pula ia termasuk orang-orang yang mampu membela dirinya. Jatuhnya siksa Allah atas diri dan harta benda Qarun mengingatkan semua pihak bahwa kebahagiaan ukhrawi tidak mungkin dapat diraih oleh orang-orang yang angkuh. Bukanlah karena ketaatan atau kekufuran yang menjadi penyebab sempit atau luasnya rezeki. Tetapi karena adanya sunnatullah yang ditetapkanNya di luar itu semua.5
B. Berbeda dengan Cerita Sastra Di bawah ini akan disebutkan 9 ciri umum karya sastra menurut Dr. Wahyudi Siswanto, dan perbandingannya dengan cerita Al-Qur’an. 1.
Ada Niat dari Pengarangnya Untuk Menciptakan Karya Sastra Sebuah karya sastra dapat dikatakan sebagai karya bila ada niat dari
sastrawan untuk menciptakan karya sastra. Ini berarti jika yang membuat tidak berniatan menjadikan karyanya sebagai karya sastra, maka yang dibuatnya pun bukan sebuah karya sastra.6 Allah jelas tidak berniat menjadikan Al-Qur’an hanya sebagai karya sastra. Lebih dari itu, Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa (Al-Baqarah: 2).
5 6
Shihab. Op. cit, h. 413-415. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.72.
46
2.
Hasil Proses Kreatif Karya sastra bukanlah hasil pekerjaan yang memerlukan keterampilan
semata, seperti membuat sepatu, kursi, atau meja. Karya sastra memerlukan perenungan, pengendapan ide, pematangan, langkah-langkah tertentu yang akan berbeda antara sastrawan satu dengan sastrawan yang lain. Ketika turunnya wahyu pertama di Gua Hira, Nabi Muhammad memang sedang berkhalwat; menyendiri dan merenungi keadaan bangsa Arab. Tetapi AlQur’an bukanlah hasil dari perenungan itu, melainkan wahyu yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril yang menampakkan wujud aslinya. Al-Qur’an bukanlah syair yang dibuat oleh Nabi Muhammad sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang kafir Quraisy kepadanya, bukan juga perkataan yang berasal dari hawa nafsunya, melainkan ialah wahyu yang diturunkan kepadanya oleh Allah melalui malaikat Jibril. Sebagaimana Firman-Nya dalam surat An-Najm ayat 3-4:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya (Al-Quran) itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). 3.
Diciptakan Bukan Semata-Mata Untuk Tujuan Praktis dan Pragmatis Cerita Al-Qur’an tidak sama dengan cerita dalam pemahaman sastra. Hal
itu disebabkan tujuan dan penekanannya berbeda. Cerita Al-Qur’an dimaksudkan untuk menggapai tujuan pendidikan, yaitu sebagai pelajaran atau ibrah bagi para audiensnya, baik pada peristiwa itu sendiri maupun pada para pelakunya. Sebaliknya, cerita dalam dunia sastra lebih dimaksudkan untuk membangkitkan emosi dan perasaan suka serta pendominasian perasaan para pembacanya sehingga mereka dapat digiring kepada keinginan penulisnya. 7 Meskipun di dalam cerita sastra terdapat ajaran moral, agama dan filsafat, karya sastra tidak sama dengan buku-buku agama dan filsafat. Hal ini kebalikan dari Al-Qur’an yang memang merupakan kitab suci umat Islam, yang isinya ialah petunjuk dan aturan hidup beragama. Jika dalam cerita sastra ajaran tersebut 7
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h.343.
47
hanyalah selingan, bukan tujuan utama, karena tujuan utamanya ialah keindahan dan hiburan, maka di dalam Al-Qur’an pesan-pesan moral keagamaan itulah yang menjadi tujuan utama. Sehingga nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam cerita Al-Qur’an hanyalah “selingan” agar manusia bisa memahami pesan-pesan tersebut dengan cara yang lebih mudah dicerna. Karena memang pada hakikatnya manusia senang dengan keindahan (cerita). 4.
Bentuk dan Gaya yang Khas Khas di sini dimaksudkan sebagai bentuk dan gaya yang berbeda dengan
bentuk dan gaya non sastra. Khas di sini juga masih harus dibedakan atas genre karya sastra (prosa, puisi, dan drama) yang setiap jenisnya memang mempunyai bentuk sendiri. Kekhasan bentuk dan gaya ini telah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Bentuk dan gaya ini terus berubah berkembang hingga akhirnya muncul genre-genre baru.8 Walaupun karya sastra mempunyai bentuk dan gaya yang khas, Al-Qur’an juga mempunyai bentuk dan gaya yang khas yang membedakannya dengan karya sastra pada umumnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan selanjutnya. 5.
Bahasa yang Digunakan Khas Bahasa sastra lebih bersifat polisemantis (banyak makna) dan multitafsir
(banyak tafsir). Bahasa karya sastra lebih bersifat konotatif. Memang tidak menutup kemungkinan adanya kesamaan bahasa dalam karya sastra dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.9 Bahasa yang digunakan Al-Qur’an juga memiliki banyak kesamaan dengan sastra, di mana kalimatnya polisemantis dan multitafsir. Nilai-nilai kesusastraan juga banyak terkandung di dalamnya. Namun hal ini tidak serta merta membuat bahasa cerita Al-Qur’an sama dengan cerita sastra. Ada beberapa hal yang membuat bahasa cerita Al-Qur’an mengungguli bahasa cerita sastra pada umumnya.
8 9
Siswanto, op. cit., h.75. Ibid. h.75-76.
48
Selain itu, gaya bahasa Al-Qur’an menganut stilistika khithabi (retorikal), bukan kitabi (tulisan atau buku). Sehingga Al-Qur’an tidak harus menjelaskan persoalan-persoalan secara teratur dan sistematis, tidak perlu menjelaskan detaildetail, sebagaimana menjadi sebuah keharusan dalam sebuah buku. Karena itu, dalam menarasikan cerita, Al-Qur’an tidak perlu terjebak pada kronologi waktu dan kesinambungan peristiwa. Tetapi, Al-Qur’an bebas bergerak dan berpindah dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, kemudian kembali mengulang lagi jika memang diperlukan. Dengan itu Al-Qur’an berbeda dari gaya tulis buku-buku sehingga bisa mengkomparasikan antara kebenaran kosmologis dengan ajaranajaran akidah, hukum-hukum syariat, nasihat, arahan, berita gembira, ancaman, dan sensitifitas jiwa, rasa, dan indera dengan akal dan pengetahuan. 10 6.
Mempunyai Logika Tersendiri, Mencakup Isi dan Bentuk Bentuk puisi (pantun) sangat khas, ada bentuk-bentuk khusus yang
membuatnya seperti itu. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Misalnya jika semua bait berisi makna maka akan disebut syair, bukan pantun lagi. Banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an surat-surat maupun ayat-ayat yang berbentuk seperti pantun, di mana akhir kalimatnya memiliki bunyi yang sama. Atau ayat-ayat yang bercerita dengan alur yang singkat. Contoh dari kedua bentuk ini salah satunya ialah surat Al-Fil.
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daundaun yang dimakan (ulat).
10
Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora. (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 33.
49
Pada Surat Al-Fil, bunyi terakhir dari setiap ayatnya sama, yakni huruf lam. Ini sama dengan pantun, yang mana bunyi akhir dari tiap barisnya sama. Dan juga
dalam
menceritakan
cerita
tentang pasukan
gajah
yang
hendak
menghancurkan Ka’bah, Al-Qur’an hanya butuh 5 ayat yang terhimpun dalam satu surat saja. Namun tidak serta merta yang demikian itu membuat Al-Qur’an (Surat Al-Fil) disebut sebagai pantun atau cerpen. Al-Qur’an tetaplah kitab suci yang mempunyai logika tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan karya manusia. 7.
Merupakaan Rekaan Walaupun terkadang sebuah karya sastra merupakan hasil pengalaman
pengarangnya, namun tetap ada unsur rekaan yang terkandung di dalamnya. Hal ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an yang mana peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah perkara dan fakta-fakta objektif yang tidak memuat dusta, kesalahan, atau pun kekaburan. Sebab ia merupakan wahyu Ilahi dan tak ada hal sekecil apapun yang luput dari ilmu-Nya, baik di langit dan di bumi.11 Mengenai kebenarannya, beberapa sarjana muslim ada yang meragukan apakah kisah-kisah yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu benar-benar terjadi. Seperti Thaha Husein, sastrawan Mesir ternama, dalam bukunya Fi asy-Syi’ralJahili berpendapat bisa saja kitab Taurat dan Al-Qur’an bercerita tentang Ibrahim dan Ismail, tetapi tidak cukup kuat bukti untuk menyatakan kedua orang itu benarbenar ada dalam sejarah. Atau Muhammad Khalaf dalam bukunya Al-Fann alQasasi mengatakan cerita dalam Al-Qur’an merupakan seni bercerita yang lebih menitikberatkan keindahan gaya, keterpautan ide dengan tujuan cerita. Ceritacerita Al-Qur’an tidak harus kisah nyata, karena banyak di antaranya yang tidak ada bukti sejarahnya. Menurutnya tidak mengapa kalau kita mengatakan bahwa cerita-cerita Al-Qur’an merupakan dongeng belaka. 12 Tentu pandangan ini
11
Ma’rifat, op. cit., h.36. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) hlm 6. 12
50
tidaklah benar, karena Al-Qur’an sendiri sudah menepis keraguan tersebut dengan menyatakan,
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orangorang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Yusuf: 111) 8.
Mempunyai Nilai Keindahan Tersendiri Ini artinya, karya yang tidak indah tidak termasuk karya sastra. Al-Qur’an,
meskipun kitab suci yang berisi petunjuk ajaran-ajaran agama, mempunyai nilai kesusastraan yang tinggi. Tetapi bukan berarti Al-Qur’an adalah karya sastra. Nilai-nilai kesusastraan yang terkandung di dalam Al-Qur’an hanyalah salah satu mukjizat dari Al-Qur’an itu sendiri yang memang sebuah mukjizat. Al-Qur’an diturunkan pada saat kondisi masyarakat Arab menjunjung tinggi sastra lewat syair-syair yang indah. Seorang penyair yang hebat akan dimuliakan dan diagung-agungkan. Ketika Nabi Muhammad menyampaikan wahyu, yang mana wahyu tersebut memiliki gaya bahasa yang sangat indah, orang-orang kafir Quraisy yang tidak percaya kepadanya menuduh Nabi Muhammad sebagai seorang penyair. Banyak penyair yang mencoba menyaingi keindahan Al-Qur’an, salah satunya ialah Musailamah yang membuat syair dengan maksud meniru dan menandingi al-Qur`an sebagai berikut.13 "Hai katak: anak dari dua katak. Bersihkan apa-apa yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah"
13
Sulaiman ath-Tharawanah. Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 349.
51
Selain tak bermutu, syair itu pun tak jelas maksud dan tujuannya. Berbeda dengan al-Qur`an yang setiap katanya dipilih secara cermat dan membawa pesanpesan tersendiri yang sering sekali menakjubkan. Al-Qur’an sendiri menantang mereka untuk membuat yang seumpama Al-Qur’an satu ayat saja. Namun telah ditegaskan bahwa manusia tidak akan pernah mampu untuk menandingi keindahan Al-Qur’an sampai kapanpun.
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.(Al-Baqarah: 23-24). Salah satu contoh mengenai nilai keindahan sastra yang dimiliki Al-Qur’an ialah ketika al-Qur`an memilih kata "tâbut" untuk menyebut kotak yang digunakan Ibu Nabi Musa saat membuangnya ke sungai Nil. Dalam mitos bangsa Israel, "tâbut" bermakna "kotak kematian" dan identik dengan "sesuatu yang kelam". Namun, kata itu justru digunakan al-Qur`an untuk membalik keyakinan mereka. Yakni, justru dari kotak itulah akan terbit sebuah kehidupan yang menjanjikan. Lebih menakjubkan lagi, adalah fakta bahwa al-Qur`an tak pernah menyebut sifat seorang tokoh secara transparan, tetapi justru dengan sebuah deskripsi yang dapat melukiskan sifat itu secara lebih tepat. Saat al-Qur`an melukiskan ketampanan Nabi Yusuf misalnya, tak ada satu pun kata "tampan" dalam kisah itu. Akan tetapi, yang ada adalah sebuah deskripsi bahwa saat melihat
52
Yusuf, para wanita yang diundang Zulaikha menjadi lupa diri dan tak sadar telah mengiris-iris jari mereka sendiri.14 9.
Nama yang Diberikan Masyarakat Kepada Hasil Tertentu Walaupun ada niatan dari pengarangnya untuk membuat karya sastra,
tetapi jika masyarakat (pembaca) menolaknya dan menganggap itu bukan karya sastra, maka karya tersebut tidak bisa disebut dengan karya sastra.15 Al-Qur’an bukan prosa, dan bukan puisi, tetapi Al-Qur’an adalah Al-Qur’an, tidak ada nama lain yang sesuai untuk Al-Qur’an selain nama Al-Qur’an. Disebut bukan puisi karena tidak terikat dengan aturan-aturan yang berlaku untuk penyusunan puisi. Disebut bukan prosa, karena ternyata terikat dengan ketentuan-ketentuan khusus yang tidak terdapat dalam prosa yang membuat Al-Qur’an bergaya puitis di akhir ayat dan mengandung irama dan rima khusus Al-Qur’an.16 Umat Islam yang sehari-harinya membaca Al-Qur’an tidak lantas menganggap Al-Qur’an yang dibacanya -dengan segala keindahannya- sebagai sebuah karya sastra. Mereka tetap menganggap Al-Qur’an itu sebagai kitab suci yang membawa kepada jalan kebenaran. Dari penjelasan di atas jelaslah sudah bahwa Al-Qur’an bukanlah karya sastra. Kalaupun ada beberapa persamaan di dalamnya itu hanyalah sebagai alat untuk membuat kagum bangsa Arab yang pada saat itu sangat maju dalam bidang sastra, serta keistimewaan dan mukjizatnya. Juga sebagai alat bantu bagi manusia dalam memahami isi kandungan yang terdapat di dalamnya. Karena memang sifat alami manusia yang menyukai cerita.
C. Unsur-Unsur Cerita dalam Al-Qur’an Pada pembahasan sebelumnya sudah disebutkan bahwa ada lima unsur yang terkandung dalam cerita sastra. Yang pertama ialah unsur peristiwa, kedua pelaku, ketiga waktu dan tempat, keempat gaya bahasa, dan terakhir gagasan pikiran. 14
Ibid., h. 23. Siswanto, op. cit., h.81. 16 D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah untuk Semua), (Tangerang Selatan: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qur’ani, 2002), h.71. 15
53
A. Hanafi MA dalam bukunya Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an menyebutkan hanya ada tiga unsur dalam cerita-cerita Al-Qur’an, yaitu pelaku, peristiwa, dan percakapan, tanpa adanya unsur waktu dan tempat serta unsur gagasan pikiran atau tujuan. Hal ini terjadi karena memang cerita dalam AlQur’an itu sendiri berbeda dengan cerita sastra pada umumnya. Dalam ceritacerita Al-Qur’an, peranan ketiga unsur itu tidaklah sama, boleh jadi salah satunya saja yang menonjol, sedangkan unsur yang lain hampir menghilang. Satu-satunya pengecualian ialah cerita Nabi Yusuf. Unsur peristiwa lebih dominan pada cerita yang dimaksudkan untuk mengancam atau menakut-nakuti, seperti cerita kaum Tsamud dengan Nabi Saleh dalam surat Asy-Syams dan Al-Qamar. Sedangkan unsur pelaku lebih dominan pada cerita yang dimaksudkan untuk memberi kekuatan moral dan kemantapan hati Nabi beserta pengikutnya. Adapun pada cerita yang dimaksudkan untuk mempertahankan dakwah Islamiyah dan membantah para penentangnya, unsur yang lebih dominan ialah unsur percakapan.17 1.
Pelaku Dalam cerita-cerita Al-Qur’an, pelaku tidak hanya manusia, tetapi juga
malaikat, jin, bahkan hewan seperti semut dan burung. Dalam cerita Qarun ini, pelakunya ialah manusia dalam bentuk orang laki-laki, yaitu Nabi Musa (hanya disebutkan namanya di awal cerita), Qarun, dan umat-umat yang berdialog dengan Qarun. Para pelaku tersebut tidak disebutkan sifat-sifat fisiknya, seperti tinggi badannya, warna kulit, raut muka dan sebagainya yang biasa dipakai untuk membedakan seseorang dengan yang lainnya.18 Bahkan umat yang berdialog kepada Qarun tidak disebutkan namanya. Yang terjadi justru penggambaran sifat sombong dan kekayaan Qarun, bukan fisiknya itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa yang terpenting dari cerita Qarun ini bukan penggambaran fisiknya, tetapi peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut.
17 18
Hanafi, op. cit., h.53. Hanafi, op. cit., h.57.
54
Mengenai alasan dominannya unsur peristiwa dibanding unsur pelaku pada cerita Qarun akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan tentang peristiwa sebagai berikut. 2.
Peristiwa Peristiwa dalam cerita sastra erat kaitannya dengan prolog, konflik dan
klimaks. Di mana munculnya konflik dan klimaks membuat alur cerita menjadi menarik dan tidak membosankan.19 Al-Qur’an memiliki keanekaragaman cara penyampaian ceritanya. Pertama, ada yang disebutkan terlebih dahulu sinopsis ceritanya, kemudian setelah itu dipaparkan rincian-rinciannya dari awal sampai selesai. Cara penyampaian seperti itu terdapat dalam cerita ashabul kahfi yang ceritanya dimulai seperti ini. “atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (Al-Kahfi: 9-12) Itu adalah sinopsis cerita tentang ashabul kahfi, seakan-akan sinopsis ini adalah pendahuluan yang mampu menimbulkan keinginan untuk mengetahui cerita selanjutnya. Kedua, ada yang disebutkan kesimpulan cerita dan maksudnya, kemudian dimulai cerita tersebut dari awal sampai akhir. Seperti yang terdapat dalam cerita Nabi Yusuf, di mana ceritanya dimulai dengan mimpi yang diceritakannya kepada ayahnya, maka ayahnya memberitahukan bahwa dia akan memiliki kedudukan yang besar. Firman Allah SWT., “(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan 19
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h.117.
55
mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Yusuf: 4-6) Ketiga, ada yang disebutkan ceritanya langsung tanpa adanya pendahuluan atau sinopsis terlebih dahulu. Seperti cerita Maryam saat melahirkan Isa. Keempat, ada yang seolah-olah cerita itu seperti sandiwara, karena hanya disebutkan beberapa kalimat yang menjadi prolog, dan selebihnya dialog antar pelaku yang dominan.20 Model semacam ini yang banyak sekali terdapat dalam cerita-cerita Al-Qur’an, salah satunya ialah cerita tentang Qarun. Ayat 76 surat Al-Qashash menjadi prolog cerita Qarun, yang menjelaskan bagaimana keadaan Qarun yang merupakan kaum nabi Musa dengan segala kekayaannya yang melimpah, yang diibaratkan kunci-kuncinya saja sungguh berat dipikul oleh orang yang kuat-kuat. Hanya segitu saja kalimat yang menjelaskan keadaan Qarun, karena selanjutnya dialog antar pelaku saja yang dominan, yakni antara Qarun dengan kaumnya. Dari pertengahan ayat 76 sampai ayat 80, bentuk cerita berubah menjadi dialog antara Qarun dengan kaumnya. Di sini muncul konflik ketika kaumnya mengingatkannya agar tidak sombong. Tetapi kesombongan Qarun malah semakin menjadi-jadi. Sampai pada Qarun keluar kepada kaumnya dengan segala kemegahannya. Yang mana hal ini membuat kaumnya terbagi dua. Yang pertama ialah mereka yang menginginkan harta yang banyak seperti Qarun dan menganggap Qarun ialah orang yang sangat beruntung. Dan yang kedua ialah mereka yang menganggap bahwa kesombongan Qarun akan membawa kebinasaan baginya. Pahala dan keridhaan Allah jauh lebih baik. Puncaknya (klimaks) pada ayat 81, di mana Allah membenamkan Qarun beserta segala harta benda yang dimilikinya dikarenakan sifat sombongnya. Hal
20
Quthb, op. cit., h.206-211.
56
ini menjadi pelajaran bagi umat manusia agar tidak berlaku sombong sebagaimana Qarun. Unsur peristiwa dalam cerita Qarun termasuk dominan, karena pada cerita tersebut Al-Qur’an bermaksud untuk mengancam atau menanamkan rasa takut, seperti cerita kaum ‘Ad dalam surat Al-Qamar sebagai berikut:
Kaum 'Aad pun mendustakanKu. Maka bagaimana siksaKu dan ancamanancamanKu. Sesungguhnya Kami telah mengirimkan kepada mereka angin dingin yang menderu-deru pada hari celaka yang terus menerus. Ia mencabut manusia seakan-akan mereka adalah akar pohon (korma) yang tercabut. Maka bagaimana siksaKu dan ancaman-ancaman-Ku.(Al-Qamar: 18-21) Jika diperhatikan isi cerita tersebut, maka akan terlihat bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan perincian, seperti keadaan kaum ‘Ad sebelum mendustakan Tuhan dan bagaimana keadaan rumah-rumah mereka. Sampai masalah pengutusan Nabi Hud dan dialog yang terjadi antara kaum ‘Ad dengan Hud juga tidak disebutkan. Tetapi Al-Qur’an dengan cepat menceritakan tentang siksa yang ditimpakan kepada mereka dengan memakai gambaran seram yang menakutkan; yaitu angin dingin yang menderu-deru, celaka yang terus menerus. Demikian kuatnya angin yang mencabut dan menerbangkan mereka, sehingga seolah-olah mereka itu pohon yang tidak berakar. Cara demikian ditempuh Al-Qur’an, hanya dan semata-mata karena AlQur’an bermaksud menanamkan rasa takut terhadap siksa pada diri orang-orang yang hidup pada masa Nabi Muhammad. Diharapkan rasa takut tumbuh kuat dalam jiwa mereka, sehingga gambaran di ataslah yang dipilih, dengan diawali dan diakhiri pertanyaan yang menusuk hati dan retorik, yaitu: Coba lihat bagaimana siksaKu dan ancaman-ancamanKu. Dari sini dapat dilihat bahwa AlQur’an hanya memilih bahan-bahan cerita yang dapat mewujudkan tujuannya.
57
Sedangkan peristiwa-peristiwa, para pelaku dan perincian-perincian yang tidak mempunyai hubungan dengan tujuan tersebut tidak perlu disebutkan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita AlQur’an tidak bermaksud mengajarkan peristiwa-peristiwa sejarah, seperti halnya buku-buku sejarah. Yang sangat dipentingkan dari cerita Al-Qur’an ialah memberi nasihat, bukan mensejarahkan perorangan atau golongan bangsa-bangsa.21 3.
Percakapan Tidak pada setiap cerita harus ada percakapan, sebab cerita-cerita pendek
sering hanya berisi gambaran pelaku atau peristiwa semata. Cara semacam ini lazim ditemui pada cerita yang bermaksud mengancam. Namun pada cerita AlQur’an yang lainnya, percakapan merupakan unsur yang sangat menonjol, yang biasanya terdapat dalam cerita yang banyak pelakunya. Melalui dialog, cerita akan terasa hidup dan menarik perhatian pembacanya.22 Pada surat Al-Qashash ayat 76-81 ini, terlihat bahwa cerita Qarun didominasi oleh unsur percakapan. Hanya permulaan ayat 76 dan 79, serta keseluruhan ayat 81 saja yang bukan percakapan. Selebihnya dari pertengahan ayat 76 sampai akhir ayat 80 semuanya berbentuk percakapan, di mana di situlah terjadinya konflik cerita. Artinya kurang lebih 4 dari 6 ayat yang menceritakan tentang Qarun itu berbentuk percakapan. Hal ini dikarenakan pesan atau pelajaran yang ingin disampaikan lebih banyak terdapat dalam percakapan dalam cerita tersebut. Sehingga penggambaran pelaku dan peristiwa tidak banyak disebutkan. Isi percakapan yang terdapat dalam cerita tersebut ialah nasihat-nasihat agama, seperti perkataan kaumnya yang mengingatkan Qarun agar tidak sombong dan menjadikan harta benda malah menjadi penyebab melalaikan diri kepada Allah. Lalu perkataan Qarun menjawab nasihat kaumnya dengan kesombongan yang semakin menjadi-jadi, hingga ia keluar dari istananya dengan segala kemewahannya yang membuat kaumnya terbagi menjadi dua (yang menginginkan sama sepertinya dan yang tidak tergoda dengan kekayaan tersebut), dan memang kenyataannya manusia kini pun terbagi dua seperti itu. 21 22
Hanafi, op. cit., h.25-26. Hijazi, op. cit., h.117.
58
Adapun cara Al-Qur’an dalam menggambarkan percakapan didasarkan atas riwayat, atau menurut istilah tata bahasa ialah “direct speech” (percakapan langsung). Jadi Al-Qur’an menceritakan kata-kata pelaku dalam bentuk aslinya, seperti “Ia berkata ...”, “mereka berkata ...” dan sebagainya. 23 Meski begitu, pada hakikatnya mutakallim dalam Al-Qur’an jelas adalah Allah SWT. Allah dalam menyampaikan suatu makna, ada yang secara langsung, atau melalui lisan para rasul-Nya, atau tokoh-tokoh yang namanya diabadikan dalam kitab suci ini, seperti Luqman al-Hakim, Maryam, dan sebagainya. 24
D. Hilangnya Unsur Waktu dan Tempat dalam Cerita Qarun Cara penuturan cerita dalam Al-Qur’an ada yang ditunjukkan nama tempat dan tokoh pelakunya serta gambaran peristiwanya, ada yang hanya disebut peristiwanya tanpa ditunjukkan tempat pelakunya. Ini karena kisah di dalam alQur’an dimaksudkan untuk menarik pelajaran darinya, bukan untuk menguraikan sejarah kejadiannya. 25 Saat menuturkan cerita, Al-Qur’an banyak menghilangkan unsur waktu dan tempat, bahkan terkadang juga pelaku-pelakunya. Di dalam Al-Qur’an tidak ada satu cerita pun yang fokus terhadap waktu (kapan peristiwa itu terjadi). Untuk tempat, hampir-hampir Al-Qur’an mengabaikannya juga. Hanya beberapa tempat saja yang disebutkan karena memang pengetahuan tentang tempat tersebut berkaitan dengan ajaran yang ingin disampaikan.26 Cerita-cerita Al-Qur’an merupakan penginformasian kembali terhadap peristiwa tertentu yang telah terjadi pada kurun waktu yang lama, bahkan sebagiannya sangat lama. Akan tetapi, Al-Qur’an tidak begitu menekankan secara detail kapan peristiwa itu terjadi; apakah seribu atau dua ribu tahun sebelum Nabi Muhammad diutus, atau sesudahnya, dan sebagainya. Penekanan lebih diberikan kepada jalannya peristiwa itu sendiri, guna menyingkap berbagai pelajaran yang
23
Hanafi, op. cit., h.65. D. Hidayat, op. cit., h.66. 25 M. Quraish Shihab, dkk. Ensiklopedi Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid I, hal.1-2. 26 Ma’rifat, op. cit., h.56. 24
59
terkandung di dalamnya. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an bukan buku sejarah, melainkan kitab yang diturunkan sebagai petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Walaupun demikian, setiap cerita yang diceritakan tetap dirunut secara kronologis dengan alur yang bergulir ke depan secara alami. Lebih lanjut, adakalanya waktu kejadian disinggung jika memang dipandang perlu dalam rangka pencapaian misi ibarah di atas. Seperti pada cerita Nabi Nuh, Al-Qur’an tidak menyebut kapan pastinya ia diutus sebagai rasul, namun menerangkan lamanya misi tersebut dijalankan, yaitu sembilan ratus lima puluh tahun. Pada cerita Nabi Yusuf disebutkan, "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (Yusuf: 47). Juga pada cerita tentang ashabul kahfi disebutkan, “dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” Adapun masalah tempat juga tidak disinggung secara detail, kecuali pada saat-saat tertentu di mana penyebutannya dibutuhkan dalam cerita atau keberadaannya memiliki arti tersendiri. Sebagai contoh Firman Allah SWT dalam hal Isra’ Nbi Muhammad SAW., yaitu, “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha....” (Al-Isra’: 1) Pada ayat ini, tempat disebutkan secara eksplisit dikarenakan posisi khusus yang dimilikinya. Di mana kedua masjid itu merupakan dua kiblat umat Islam dalam shalat. Dengan demikian, jika waktu dan tempat terjadinya suatu peristiwa dipandang tidak memiliki keistimewaan, maka Al-Qur’an tidak merasa butuh untuk menyebutkannya secara eksplisit.27 Sebagaimana yang terjadi pada cerita Qarun. Dari ayat 76 sampai dengan ayat 81 surat Al-Qashash, tidak didapati kalimat yang menjelaskan tahun berapakah masa hidupnya Qarun, apakah dua ribu tahun sebelum masehi. Juga tidak ditemukan berapa usianya, apakah lima
27
Hijazi, op. cit., h.371-372.
60
puluh, atau sembilan puluh tahun. Dan juga tidak ditemukan kapan kejadian Qarun ditenggelamkan ke perut bumi bersama harta bendanya, apakah pagi, siang atau malam. Begitu juga dengan tempat tenggelamnya Qarun, di mana letak istananya, tidak ada satu kalimat pun yang menjelaskan tentang itu. Hal ini berbeda jika waktu atau tempat kejadian tersebut memiliki makna khusus, seperti cerita isra’ Nabi Muhammad, pertemuan Musa dengan Allah di Gunung Sinai, atau penyebutan nama Mesir, Madyan, Mekah, dan sebagainya yang memiliki posisi penting dalam cerita secara keseluruhan. Ciri khusus lainnya adalah, apabila suatu peristiwa yang diceritakan mengharuskan penyebutan waktu dan tempat kejadian, maka yang pertama kali disebut adalah waktunya dan baru kemudian tempatnya.28
E. Penyampaian Pesan dalam Cerita Cerita di dalam Al-Qur’an merupakan salah satu cara yang digunakan AlQur’an untuk memberi pelajaran bagi manusia. Ketika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan penting di dalam suatu cerita, cara yang digunakan ialah mengemukakan pernyataan tegas secara berjenjang, baik berisi penolakan maupun pengukuhan isi cerita.29 Letak pesan ini bisa di awal, di akhir, maupun di tengahtengah cerita, tergantung dengan konteks ceritanya. Di dalam cerita Qarun ini, penyampaian pesan terletak di tengah-tengah dan akhir cerita. Penyampaian pesan yang pertama terdapat dalam ayat 76, ucapan kaumnya yang mengingatkan Qarun
Janganlah kamu terlalu bangga,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang terlalu membanggakan diri. Pesan selanjutnya terdapat pada ayat 77, memperkuat pesan di ayat 76, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan. Di akhir ayat 81, disebutkan pesan penting terakhir yang hendak disampaikan, yakni orang-orang yang sombong tidak akan mendapat pertolongan. Tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya terhadap siksa Allah. Hal ini 28 29
Hijazi, op. cit., h.373. Dahlan, op. cit., h.187.
61
kemudian dikukuhkan dengan pernyataan dan tidak pula ia termasuk orang-orang yang mampu membela (dirinya). Pesan yang tersebar di tengah dan akhir cerita seolah hendak memberitahu bahwa siksa Allah itu adil. Dia tidak akan menyiksa suatu kaum kecuali setelah ada peringatan.30 Jika diperhatikan, kedua pesan yang terdapat pada ayat 76 dan 77 Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang terlalu membanggakan diri., dan dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan itu merupakan ucapan kaumnya yang mengingatkan Qarun. Peringatan-peringatan tersebut sayangnya tidak mengubah sikap Qarun yang sombong, malah membuatnya semakin menjadi-jadi hingga Allah kemudian mengazabnya. Dan pesan terakhir, yakni ayat 81 Tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya terhadap siksa Allah yang dikukuhkan dengan pernyataan dan tidak pula ia termasuk orangorang yang mampu membela (dirinya) merupakan pernyataan Al-Qur’an yang memuat pesan terakhir. Dua pesan di awal, yakni ayat 76 dan 77 seakan-akan hanya dikhususkan kepada Qarun, karena memang dalam dialog tersebut ucapan itu ditujukan langsung kepadanya untuk mengingatkannya agar tidak bersikap sombong. Meski begitu tetap dalam hal ini Al-Qur’an pada hakikatnya tidak hanya mengingatkan Qarun saja, melainkan semua manusia. Selanjutnya, setelah dua peringatan tersebut diabaikan Qarun, maka Allah menurunkan azab kepadanya hingga pada ayat 81 kali ini Al-Qur’an yang seolah-olah langsung mengatakan kepada semua manusia bahwa begitulah kesudahan orang yang menyombongkan diri. Pola penyampaian pesan di akhir cerita pada cerita Qarun di atas sama dengan yang terdapat dalam surat Al-Ankabut ayat 39-40: Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu). Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras
30
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.189.
62
yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Allah terlebih dahulu memberi peringatan kepada Qarun, Firaun, dan Haman lewat Nabi Musa. Namun mereka tetap berlaku sombong dan yang terjadi setelahnya ialah Allah mengazab mereka dengan cara yang bermacam-macam. Di akhir ayat pesan tersebut disampaikan bahwa Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri lewat sikap sombong tersebut. Dengan adanya penyampaian pesan seperti ini membuat orang yang membaca cerita Qarun bisa mendapatkan pesan yang ingin disampaikan dari cerita tersebut berupa hikmah dan pelajaran mengenai akhlak. Tidak hanya sekadar cerita yang dijelaskan panjang lebar, tetapi tidak tahu isi pesan yang terkandung di dalamnya.
F. Pengulangan Cerita Salah satu akibat dari pengaruh tunduknya cerita Al-Qur’an terhadap maksud tujuan agama ialah pengulangan cerita. Kalau ada cerita yang diulang pasti ada tujuan kenapa Al-Qur’an mengulang cerita tersebut dan tidak berbentuk pengulangan mutlak (tanpa maksud dan tujuan). Pengulangan tersebut disesuaikan dengan konteks kapan diturunkan dan keadaan pada saat nabi Muhammad menerimanya. Sebaliknya jika ada cerita yang tidak diulang, pasti ada tujuan pula mengapa Al-Qur’an tidak mengulang cerita tersebut. Kembali lagi hal ini karena diulang atau tidak sebuah cerita itu merupakan bagian dari tujuan cerita Al-Qur’an itu sendiri, yakni menyampaikan pesan-pesan agama. 31 Cerita dalam Al-Qur’an yang paling banyak mengalami pengulangan adalah cerita Musa dan Firaun, dan sejarah Bani Israil. Yang perlu digarisbawahi dalam pengulangan cerita Nabi Musa adalah adanya perbedaan antara spirit universal dalam cerita Musa pada surat-surat Makkiyah, dan spiritnya dalam
31
Quthb, op. cit., h.171.
63
surat-surat madaniyah. Cerita tentang Qarun yang merupakan umat Nabi Musa (Bani Israil) terdapat dalam surat Al-Qashash yang merupakan surat Makkiyah. Cerita tentang Musa dalam surat-surat Makkiyah lebih menekankan hubungan umum antara Musa di satu sisi, dan Firaun dengan para koleganya (Qarun) di sisi lain, tanpa menyinggung keadaan Bani Israil di hadapan Musa. Sedangkan dalam surat-surat Madaniyah, di mana dibicarakan hubungan antara Musa dengan Bani Israil, juga hubungan dan kaitannya dengan problematika sosial dan politik.32 Orang yang mencermati dengan seksama cerita-cerita Al-Qur’an, akan menemukan bahwa cerita-cerita yang diulang selalu membawa pesan tauhid, atau untuk menunjukkan pertolongan Allah yang pasti diberikan kepada utusannya dalam menghadapi musuh, atau untuk memantapkan pelajaran yang dapat dipetik oleh kaum muslimin serta membungkam keangkuhan orang-orang kafir.33 Cerita Qarun di dalam Al-Qur’an merupakan jenis cerita yang habis diceritakan dalam satu tempat. Artinya tidak didapati lagi selain di Surat AlQashas ayat 76-81 cerita tentang Qarun. Kecuali hanya pengulangan penyebutan nama Qarun yang terdapat dalam surat Al-Ankabut ayat 39-40:
Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orangorang yang luput (dari kehancuran itu). Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali
32 33
Ma’rifat, op. cit., h.54. Hijazi, op. cit., h.384.
64
tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Juga yang terdapat dalam suratAl-Mu’min ayat 24:
Kepada Fir'aun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: "(Musa) adalah seorang ahli sihir yang pendusta". Kedua pengulangan nama Qarun itu tidaklah mengulang cerita Qarun secara khusus, karena penyebutan nama Qarun juga disandingkan dengan Firaun dan Haman, yang mana mereka adalah umat Nabi Musa yang sama-sama mengingkari ajaran Nabi Musa, yang pada akhirnya Allah mengazab mereka akibat perbuatan mereka sendiri. Ini berarti cerita tentang Qarun memang hanya ada dan habis di satu tempat saja, Surat Al-Qashas ayat 76-81.
Karena cerita
tentang kaum yang binasa akibat ingkar dengan ajaran Nabinya sudah banyak di ulang dalam cerita Al-Qur’an. Sehingga cerita Qarun ini hanyalah “pengulangan” dari sekian cerita yang sama sebetulnya, hanya pelakunya saja yang berbeda.
G. Episode Kemunculan Tokoh Dalam Al-Qur’an, tokoh Qarun diceritakan ‘tiba-tiba” sebagai seorang laki-laki dewasa yang kaya raya. Tidak disebutkan bagaimana kelahirannya, masa kecilnya, bahkan bagaimana usahanya sehingga menjadi kaya raya. Hal semacam ini banyak dijumpai di dalam cerita Al-Qur’an di mana tokoh-tokoh yang disebutkan dalam cerita Al-Qur’an tiba-tiba muncul dalam keadaan sudah dewasa. Masa kelahiran, kanak-kanak, dan remajanya tidak diceritakan. Seperti Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syua’ib dari kalangan para nabi, atau Firaun dari kalangan orang-orang durhaka. Tentunya hal ini mempunyai tujuan tersendiri. Mungkin saja kalau tokoh Qarun diceritakan dari masa kelahiran, kanakkanak, remaja hingga dewasa dan bagaimana ia mengumpulkan kekayaannya, hal ini akan mengurangi nilai keindahan bercerita Al-Qur’an. Lagi pula kalau tidak ada yang istimewa dan bisa diambil sebagai pelajaran pada masa-masa tersebut
65
untuk apa diceritakan. Karena Al-Qur’an sekali lagi bukanlah buku cerita yang harus menceritakan dengan detail tokoh-tokohnya, melainkan hanya bercerita seperlunya saja, sesuai dengan tujuan Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini berbeda dengan cerita Nabi Musa, di mana Al-Qur’an menceritakan dari masa kelahirannya. Sebab kelahirannya terjadi di saat semua bayi laki-laki dari Bani Israil dibunuh. Selamatnya bayi Musa, saat berada di tengah-tengah keluarga Firaun, mempunyai nilai khusus dalam menjelaskan pemeliharaan Allah terhadap Musa. Allah berkuasa untuk menyelamatkan Musa dari pembunuhan sebagaimana yang dialami anak laki-laki dari Bani Israil yang lainnya, bahkan memelihara Musa justru di dalam lingkungan istana Fir’aun. Di mana kelak dari situlah Allah mempersiapkan Musa untuk melaksanakan misi risalah. Atau dengan cerita Nabi Yusuf yang ceritanya diawali saat dia kanakkanak, ketika menceritakan mimpi kepada ayahnya bahwa dia melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan sujud di hadapannya. Di mana kelak dari mimpi itulah ternyata bahwa Nabi Yusuf sudah mendapat “isyarat” yang diketahui oleh ayahnya (Nabi Yakub) bahwa kelak ia akan menjadi pemimpin yang besar (nabi).34 Cerita Qarun disebutkan dalam Al-Qur’an pada saat dewasa dan kematiannya, karena memang pada bagian itulah terdapat ibrah dari cerita tersebut. Al-Qur’an hendak menyampaikan bahwa orang yang sombong dan suka berbuat kerusakan di muka bumi akan bernasib seperti Qarun yang mati ditelan bumi bersama seluruh harta kekayaannya. Yang mana harta kekayaan tersebut sedikit pun tidak dapat menolong dan membantunya. Mengenai episode kematian yang diceritakan dalam Al-Qur’an, hal ini juga terjadi pada cerita Firaun dan Nabi Sulaiman, di mana saat-saat kematiannya diceritakan dalam Al-Qur’an, karena memang ada pelajaran yang dapat diambil dari kematian mereka.
34
Quthb, op. cit., h.182.
66
“hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Yunus: 90) “Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba’: 14)
H. Panjang Pendek Cerita Cerita Al-Qur’an pada umumnya disampaikan secara singkat, bahkan tidak jarang sangat singkat, tetapi padat makna. Ini karena tujuan pemaparan cerita bukanlah sebagai bacaan hiburan, tetapi lebih sebagai penyampai pelajaran atau ibrah yang terkandung di dalamnya. Penekanan pada ibrah inilah yang membuat hal-hal yang tidak mendukung tujuan itu tidak perlu dirinci atau dijabarkan secara panjang lebar. Sebagai contoh, dalam cerita Nabi Nuh tidak ditemukan rincian mengenai besar kapal yang dibuat, karena tujuan dari pemaparan cerita itu adalah untuk
menjelaskan
bahwa
orang
yang
ingkar
terhadap
Allah
akan
ditenggelamkan; bukan pembuatan kapal itu sendiri. Ini agak berbeda dengan Taurat yang memberikan keterangan panjang lebar tentang ukuran kapal Nabi Nuh. Dalam kitab kejadian disebutkan. “Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kau buat berpetak-petak dan harus kau tutup dengan pangkal dari luar dan dari dalam. Beginilah engkau harus membuat kapal itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima puluh hasta lebarnya, dan tiga puluh hasta tingginya. Buatlah atap pada bahtera itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah dan atas.” Menurut Al-Qur’an, hal-hal teknis semacam itu tidak lebih penting dibandingkan pelajaran yang terkandung di dalamnya. 35 Mengenai panjang pendek cerita, cerita tentang Qarun di dalam Al-Qur’an termasuk cerita yang dalam penyebutannya pendek. Karena hanya terdapat dalam surat Al-Qashash dari ayat 76-81, di mana tidak ada pengulangan cerita
35
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), h. 8.
67
setelahnya, kecuali hanya penyebutan nama Qarun pada surat Al-Ankabut ayat 39-40 dan surat Al-Mu’min ayat 24 seperti yang sudah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Diceritakan Qarun ialah kaum nabi Musa yang kaya raya (tanpa diceritakan bagaimana proses ia mengumpulkan kekayaan tersebut), namun bersikap sombong dengan kekayaannya tersebut. Kemudian ada kaumnya yang berkata kepadanya, mengingatkan untuk tidak berbuat sombong. Namun peringatan itu malah dijawab dengan ungkapan bahwa kekayaannya merupakan hasil dari jerih payahnya sendiri. Hingga akhirnya ia keluar dari istananya dengan segala kemewahannya, menunjukkannya kepada kaumnya, yang mana hal ini membuat kaumnya terbagi dua. Yang menginginkan kekayaan sama sepertinya, dan yang menganggap bahwa pahala dan keridhaan dari Allah lebih baik. Dan kemudian akibat dari sifat sombongnya itu Allah mengazabnya dengan menenggelamkan dirinya beserta seluruh harta bendanya ke dalam perut bumi. Yang mana ini merupakan pelajaran bagi umat manusia bahwa akibat perbuatan sombong ialah seperti itu. Tidak ada yang mampu menolongnya. Ini tentu berbeda dengan cerita Nabi Musa, di mana sejak lahirnya Musa hingga terhentinya Musa dengan kaumnya di depan Tanah Suci semua diceritakan dengan jelas. Kenapa di dalam Al-Qur’an disebutkan semua episode kehidupan Nabi Musa? Sebab, setiap episode itu memiliki maksud tujuan keagamaan. Lagi pula kalau memang tidak ada kaitannya dengan hikmah-hikmah keagamaan, untuk apa sebuah cerita diceritakan secara panjang lebar. Karena memang kembali lagi, tujuan Al-Qur’an bercerita bukan lah sebagai cerita hiburan semata. Melainkan sebagai petunjuk agama bagi manusia yang membacanya.
I. Gaya Bercerita yang Baik Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa Al-Qur’an sudah mencontohkan bagaimana bercerita yang baik, efektif, menyentuh perasaan, dan bermakna, yang mana ini sangat bermanfaat bagi para pendidik, baik orang tua maupun guru dalam menyampaikan cerita kepada anak. Al-Qur’an sudah banyak menyediakan bahan cerita yang tidak hanya menarik, tetapi juga sangat baik untuk
68
mendidik akhlak anak karena di dalamnya terkandung pesan-pesan yang menuntun manusia ke jalan yang benar. Sudah seharusnya bagi orang tua dan guru untuk memberdayakan potensi yang sangat besar yang sudah disediakan AlQur’an ini dengan menjadikannya sebagai metode pembelajaran. Agus DS, seorang pendongeng profesional dalam bukunya, “Mendongeng Bareng Kak Agus DS, Yuk...” menuliskan bagan bagaimana merancang sebuah cerita sederhana. 36 Mengerti akan estetika (kriteria-kriteria membuat cerita)
Buat pendahuluan cerita yang singkat
Gambar dan warna yang jelas
Isi cerita
Dengan bahasa dan
(untuk buku)
(cerita lengkap)
kalimat yang jelas
Pesan moral di akhir cerita (penutup) Dalam bercerita hendaknya kalimat-kalimatnya dibuat singkat, sehingga memudahan pembaca atau pendengar untuk memahami rangkaian peristiwa dalam cerita, tidak bertele-tele. Jika bahasa dalam cerita untuk anak-anak maka dalam penyampaiannya haru disederhanakan. Rasulullah SAW tidak pernah berbelitbelit saat berbicara dengan anak-anak, beliau selalu langsung menuju pokok pernasalahan, tanpa basa-basi yang membingungkan. Hal tersebut sesuai dengan karakter jiwa anak yang membutuhkan kata-kata yang singkat namun bermakna,
36
Agus DS, Mendongeng Bareng Kak Agus DS, Yuk..., (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012), h. 98.
69
karena kalimat yang terlalu berbelit-belit dapat membosankan, sehingga anak tidak dapat menerima pesan kita dengan baik. 37 Berbeda dengan cerita untuk orang dewasa, gaya bahasa konotatif dan majaz lebih baik dari gaya denotatif dan lugas. Penyampaian cerita dengan menggunakan gaya bahasa yang tepat akan membuat pendengarnya tergugah emosinya, dan seolah-olah larut dalam cerita. Terkadang diperlukan pengulangan kata untuk mendapatkan kesan yang lebih kuat pada jiwa pendengar jika memang hal tersebut dibutuhkan dan sesuai dengan konteks cerita.38 Uraian kaidah ini menjadi penting karena dengan mengetahuinya, selain mendapatkan pelajaran dari kandungan cerita-cerita yang diceritakan Al-Qur’an, juga akan mengetahui cara terbaik dalam menyampaikan pelajaran melalui penguraian cerita. Suatu cerita yang disampaikan dengan metode sebagaimana yang ditempuh Al-Qur’an akan menimbulkan kesan mendalam bagi para pembaca dan pendengarnya. Sebaliknya jika suatu cerita disampaikan dengan cara lain, akan sangat
sulit memberikan perincian-perincian pesan
yang
hendak
disampaikan dalam cerita tersebut. Itu seperti mengemukakan cerita panjang tanpa terlebih dahulu memberikan ringkasan ceritanya.
37 Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1997), h. 306. 38 Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), h. 26.
70
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil kajian yang dilakukan penulis mengenai karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 76-81, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Cerita di dalam Al-Qur’an berbeda dengan cerita pada karya sastra pada umumnya. Baik dari segi materi maupun isi. Hal ini dikarenakan tujuan bercerita dari Al-Qur’an ialah sebagai media pembelajaran agama, bukan sebagai hiburan semata seperti cerita sastra.
2.
Cerita di dalam Al-Qur’an menekankan kepada kebenaran dan mengandung hikmah atau pesan di setiap ceritanya. Semua cerita yang terkandung di dalamnya adalah fakta rill, bukan dongeng yang palsu dan dibuat-buat.
3.
Akibat dari berbedanya tujuan antara cerita Al-Qur’an dengan cerita sastra, maka gaya bercerita Al-Qur’an pun berbeda dengan sastra. Salah satunya ialah unsur cerita yang terdapat dalam cerita Al-Qur’an hanya tiga, yakni peristiwa, pelaku, dan percakapan. Sedangkan unsur waktu dan tempat terkadang muncul, tergantung berkaitan atau tidak dengan tujuan cerita tersebut.
4.
Pada intinya ciri khas Al-Qur’an dalam bercerita ialah tidak bertele-tele, singkat tetapi jelas dan mengena. Selalu mengandung hikmah dari setiap cerita yang diceritakan. Menggunakan gaya dan bahasa yang mampu menggugah hati pembacanya. Jika dirasa perlu, mengulang cerita yang sudah pernah disebutkan tetapi dengan gaya yang berbeda, disesuaikan dengan konteks ayat dan kondisi pada saat diturunkan.
5.
Sampai kapan pun manusia tidak akan bisa menandingi kemukjizatan AlQur’an. Baik dari segi keindahan maupun isi.
71
B. Saran Dari kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan menjadi salah satu bagian dalam upaya mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Indonesia. 1.
Hendaknya para pendidik menggunakan cerita sebagai salah satu metode pembelajaran dalam mengajarkan Pendidikan Agama Islam kepada anak. Tidak diragukan lagi bahwa cerita-cerita yang ada di dalam Al-Qur’an lah yang sangat perlu untuk diceritakan kepada anak-anak dalam rangka mendidik mereka. Dengan menceritakan cerita-cerita keteladanan dalam AlQur’an baik dari cerita para nabi atau selain nabi, anak-anak tidak saja dikenalkan berbagai cerita dalam kitab suci-Nya, mendekatkan manusia dengan sumber utama dalam agamanya sejak dini dan lebih jauh untuk mendorong semangat mereka untuk mengkaji lebih mendalam ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an, tetapi juga diharapkan mereka dapat mengambil hikmah dan teladan dari sifat, perilaku dan kondisi emosional para tokoh tersebut ketika mereka dihadapkan pada situasi atau peristiwa tertentu. Karena memang penyampaian pesan dengan jalan cerita lebih mengena ke dalam hati, dan terkesan tidak menggurui. Sehingga lebih mudah diterima dan diingat oleh anak.
2.
Hendaknya para pendidik lebih sering lagi menceritakan tokoh-tokoh yang terdapat dalam Al-Qur’an kepada anak-anak agar mereka mengenal tokohtokoh tersebut. Dikhawatirkan mereka lebih mengenal cerita-cerita fiktif yang banyak terdapat di media-media, baik film, televisi, novel, dan lain-lain. Sedangkan cerita-cerita tentang para nabi yang mengandung pesan-pesan yang baik tidak mereka ketahui.
72
DAFTAR PUSTAKA
Achdiat, Nunu, Seni berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998. Al-Ghazali, Syekh Muhammad, Induk Al-Qur’an, Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2003. -------------------------------------, Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008. Al-Khalidy, Shalah, Kisah-Kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993. Al-Qarni, Aidh bin Abdullah, Al-Qur’an Menjadikan Hidup Lebih Berarti, Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2005. Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007. Ath-Tharawanah, Sulaiman, Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an, Jakarta: Qisthi Press, 2004. Amini, Ibrahim, Agar Tak Salah Mendidik, Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006. Anwas, Oos M., Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan, (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 16. Edisi Khusus III, Oktober 2010. Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Indisipliner, Jakarta: Dunia Aksara, 1997. Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Carr, F. Rene Van de, dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa, 2000). Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
73
DS, Agus, Mendongeng Bareng Kak Agus DS, Yuk..., Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012. Egan, Kieran, Pengajaran yang Imajinatif, Jakarta: PT Indeks, 2009. FKMT Penamas Departemen Agama Dki Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Metode Dakwah, Jakarta: Departemen Agama RI, 2004. Hafizh, Muhammad Nur Abdul, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung: Penerbit Al-Bayan, 1997. Hanafi, A., Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984. Hidayat, D, Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah untuk Semua), Tangerang Selatan: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qur’ani, 2002. Hijazi, Muhammad Mahmud, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2010. Kumpulan Artikel KOMPAS, ‘Sekolah’ Alternatif untuk Anak, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, 2012. Majid, Abdul Aziz Abdul, Mendidik Dengan Cerita, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Ma’rifat, Muhammad Hadi, Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora, Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013. Mursy, Muhammad Sa’id, Seni Mendidik Anak, Jakarta: Arroyan, 2001. Najati, Muhammad Utsman, Psikologi Qurani: dari Jiwa hingga Ilmu Laduni, Bandung: Penerbit MARJA, 2010. Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam dengan Multidisipliner, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. -------------------, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
74
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Quthb, Sayyid, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, Jakarta: Gema Insani, 2004. Shiddieqy, Teungku M. Hasbi ash-, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007, Cet. Ke-8. Vol. 10. --------------------------, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007, Cet I. Shihab, M. Quraish, dkk, Ensiklopedi Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya, Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002, jilid I. Siswanto, Wahyudi, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT Grasindo, 2008. Sugono (ed), Dendy, Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011. Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995. Wahyudi, Ari, Model Pembelajaran Berbasis Komik Untuk Mencapai Ranah Afektif Pada Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16. Edisi Khusus I, Juni 2010. Widyastono, Herry, Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik Dalam Pembelajaran, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 15. November 2009. Yahya, Harun, Misinterpretasi Terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2001.
UJI REFERENSI Seluruh referensi yang digunakan dalam penelitian skripsi dengan judul “Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash Ayat 76-81” yang disusun oleh MUHAMMAD IDHAM KHALID, NIM. 109011000163, Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, telah disetujui kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi pada hari Jumat, 31 Januari 2014.
Jakarta, 31 Januari 2014 Dosen Pembimbing
M. Sholeh Hasan, Lc., MA. NIP. 19710214 2006041 018
DAFTAR REFERENSI No
No
Bab
Footnote 1.
1
Halaman
Referensi
Paraf
Skripsi 1
1
Ari
Wahyudi.
Model
Pembelajaran
Berbasis Komik Untuk Mencapai Ranah Afektif
Pada
Pendidikan
Kewarganegaraan Bagi Anak Berkesulitan Belajar.
(Jurnal
Pendidikan
dan
Kebudayaan) Vol. 16 Edisi Khusus I, Juni 2010. h. 43-44. 2.
2
1
1
Herry
Widyastono.
Kreativitas
Peserta
Mengembangkan Didik
Dalam
Pembelajaran. (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan) Vol. 15. November 2009. h. 1020. 3.
3
1
1
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 9192.
4.
4
1
2
Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006), h. 315.
5.
5
1
2
F. Rene Van de Carr, dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa, 2000), h. 132.
6.
6
1
2
Kieran Egan, Pengajaran Yang Imajinatif, (Jakarta: PT Indeks, 2009), h. 12-13.
7
7
1
3
Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al qur’an Pelajaran
dari
Orang-orang
Dahulu.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 16.
8
8
1
3
Amini, op. Cit., h. 316.
9
9
1
4
Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Al-Qur’an Menjadikan Hidup Lebih Berarti, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2005), h. 21.
10
10
1
5
Syekh Muhammad Al-Ghazali, Induk AlQur’an, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2003), h. 111.
11
11
1
5
A. Hanafi, Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), h. 22.
12
12
1
6
Nunu Achdiat, Seni Berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 78.
13
13
1
6
Ibid.
14
14
1
6
Oos
M.
Anwas.
Karakter Tantangan.
Televisi
Mendidik
Bangsa:
Harapan
dan
(Jurnal
Pendidikan
dan
Kebudayaan) Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010. h. 259.
15
1
2
10
Pusat Bahasa Nasional,
Departemen Pendidikan
Kamus
Bahasa
Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 283. 16
2
2
10
Abdul Aziz
Abdul Majid,
Mendidik
dengan Cerita, Terjemah Neneng Yanti dan Iip Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 8. 17
3
2
10
Muhammad Sa’id Mursy, Seni Mendidik Anak, (Jakarta: Arroyan, 2001), h. 117.
18
4
2
11
A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984), Cet.1 h.15. 19
5
2
11
Wahyudi
Siswanto,
Pengantar
Teori
Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.140. 20
6
2
12
Dendy Sugono (ed), Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), Cet.7 h.126.
21
7
2
14
Hanafi, op. cit., h.15-17.
22
8
2
14
Siswanto, op. cit., h.72-81.
23
9
2
14
Hanafi, op. cit., h.19.
24
10
2
15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi,
(Yogyakarta:
Gajah
Mada
University Press, 2005) h. 117. 25
11
2
15
Nurgiyantoro, op. cit., h.127.
26
12
2
15
Siswanto, op. cit., h. 143.
27
13
2
16
Nurgiyantoro, op. cit., h.227-232
28
14
2
17
Siswanto, op. cit., h. 158.
29
15
2
17
Nurgiyantoro, op. cit., h.310-311.
30
16
2
17
Siswanto, op. cit., h. 162.
31
17
2
18
Kumpulan Artikel KOMPAS. ‘Sekolah’ Alternatif
untuk
Anak,
(Jakarta:
PT
Kompas Media Nusantara, 2002), hal.4. 32
18
2
19
FKMT Penamas Departemen Agama Dki Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Metode Dakwah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004) hlm 128.
33
19
2
20
Harun Yahya. Misinterpretasi Terhadap
Al-Qur’an
Mewaspadai
Penyimpangan
dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72. 34
20
2
20
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra,
2009), h. 123. 35
21
2
20
Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 88.
36
22
2
20
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2007), h. 437.
37
23
2
22
Shalah Al Khalidy, Cerita-Cerita AlQur’an: Pelajaran dari Orang-Orang Terdahulu, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 52.
38
24
2
22
Mursy, op. cit., h.118.
39
25
2
22
Sayyid
Quthb,
Indahnya
Al-Qur’an
Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 159. 40
26
2
24
Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora, (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 47.
41
27
2
25
Muhammad
Utsman Najati.
Psikologi
Qurani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni. (Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h. 155. 42
28
2
25
Ma’rifat, Op. cit, h. 33.
43
29
2
26
Ma’rifat, Op. cit, h. 33-38.
44
30
2
27
Najati, Op. cit, h. 156.
45
31
2
27
Abd. Rahman Dahlan. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 188.
46
32
2
29
Dahlan, op. cit., h.191.
47
33
2
31
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 74.
48
34
2
33
Sayyid
Quthb,
Indahnya
Al-Qur’an
Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.181-184. 49
35
2
35
Quthb, op. cit., h. 184-188.
50
36
2
36
Sulaiman
ath-Tharawanah,
Rahasia
Pilihan Kata dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 217-219.
51
1
3
37
Nashiruddin Penafsiran
Baidan,
Metodologi
Al-Qur’an,
(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, h. 31. 52
2
3
38
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 368.
53
1
4
42
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), Cet VIII, Vol. 10. h. 403.
54
2
4
43
M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera
Hati, 2007), Cet I, h. 80. 55
3
4
44
Ahmad Mustafa Al-Maraghi , Tafsir AlMAraghi, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), h. 174-175.
56
4
4
45
Shihab. Op. cit, h. 413-415.
57
5
4
45
Wahyudi
Siswanto,
Pengantar
Teori
Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.72. 58
6
4
46
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h.343.
59
7
4
47
Siswanto, op. cit., h.75.
60
8
4
48
Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora. (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 33.
61
9
4
49
Ma’rifat, op. cit., h.36.
62
10
4
49
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, 2012) hlm 6.
63
11
4
51
Sulaiman
ath-Tharawanah.
Rahasia
Pilihan Kata dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 364. 64
12
4
52
Siswanto, op. cit., h.81.
65
13
4
52
D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ wasySyawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah untuk Semua), (Tangerang Selatan: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qur’ani, 2002), h.71.
66
14
4
53
Hanafi, op. cit., h.53.
67
15
4
53
Hanafi, op. cit., h.57.
68
16
4
54
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi,
(Yogyakarta:
Gajah
Mada
University Press, 2005), h.117. 69
17
4
55
Quthb, op. cit., h.206-211.
70
18
4
57
Hanafi, op. cit., h.25-26.
71
19
4
57
Hijazi, op. cit., h.117.
72
20
4
58
Hanafi, op. cit., h.65.
73
21
4
58
D. Hidayat, op. cit., h.66.
74
22
4
58
M. Quraish Shihab, dkk. Ensiklopedi Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid I, hal.1-2.
75
23
4
58
Ma’rifat, op. cit., h.56.
76
24
4
59
Hijazi, op. cit., h.371-372.
77
25
4
60
Hijazi, op. cit., h.373.
78
26
4
60
Dahlan, op. cit., h.187.
79
27
4
61
Sayyid
Quthb,
Indahnya
Al-Qur’an
Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.189. 80
28
4
62
Quthb, op. cit., h.171.
81
29
4
63
Ma’rifat, op. cit., h.54.
82
30
4
63
Hijazi, op. cit., h.384.
83
31
4
65
Quthb, op. cit., h.182.
84
32
4
66
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), h. 8.
85
33
4
68
Moh.
Uzer
Usman,
Menjadi
Guru
Profesional. (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1995) h. 15. 86
34
4
68
Agus DS, Mendongeng Bareng Kak Agus DS, Yuk..., (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012), h. 98.
87
35
4
69
Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama
Rasulullah,
(Bandung:
Penerbit Al-Bayan, 1997), h. 306. 88
36
4
69
Abdul Aziz
Abdul Majid,
Mendidik
dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 26.
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri 1. Nama lengkap
: Muhammad Idham Kholid
2. Tempat, tanggal lahir
: Bekasi, 2 Desember 1991
3. NIM
: 109011000163
4. Alamat rumah
: Kp. Buaran Ds. Lambangsari RT 04/02 Kec. Tambun Selatan Kab. Bekasi
5. HP
: 08998481127
6. Email
:
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. TK Al-Ittihad Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 1997 b. SDIT An-Nadwah Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 2003 c. MTs Al-Masthuriyah Cisaat Sukabumi, 2003-2005 d. MTs Ar-Raudhah Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 2006 e. MA At-Taqwa Pusat Putra Ujung Harapan Bekasi, lulus tahun 2009 f. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2014 2. Pendidikan Non-Formal a. Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Pondok Pesantren Baitul Qurro’ Perumahan Ciputat Baru Ciputat
Jakarta, 30 April 2014
Muhammad Idham Khalid