KARAKTERISTIK BENTUK KEBAHASAAN MANTRA: KAJIAN STILISTIKA
A STYLISTIC OF LANGUAGE CHARACTERISTICS OF INCENTATION POEMS
Idris, Muhammad Darwis, Mustafa Makka Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Idris Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 085 298 128 107 Email :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kekhasan bahasa mantra dari sudut gaya bahasa, diksi atau pilihan leksikal, rima atau persajakan, dan ketaksaan makna yang terdapat pada larik-larik mantra. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang data penelitiannya diperoleh dari berbagai sumber (buku dan media elektronik). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik catat. Populasi penelitian ini berupa larik-larik mantra dengan jumlah 258 larik dari 24 mantra. Pengambilan sampel penelitian disesuaikan dengan kebutuhan analisis. Data dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kekhasan mantra terletak pada gaya bahasa yang digunakan (majas) meliputi: gaya bahasa anti klimaks, klimaks, paralelisme, repetisi (epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis), retoris (aliterasi,asonansi), dan kiasan (simile, metafora, personifikasi, alusi). Diksi atau pilihan leksikal mantra meliputi diksi dengan makna denotatif, diksi dengan makna konotatif, diksi dengan makna sinonim, diksi dengan makna antonim, diksi dengan makna homonim, diksi dengan makna simbol-simbol agama, dan diksi yang berhubungan dengan makna budaya. Rima atau persajakan pada mantra yang disebut rima perpaduan (kolaborasi) yang meliputi rima awal, rima akhir, rima tengah, rima pantun, rima syair, dan rima awal akhir. Selain itu, karakteristik kebahasaan mantra dapat juga dilihat melalui ketaksaan maknanya yang meliputi ketaksaan leksikal dan ketaksaan gramatikal. Kata kunci : karakteristik, gaya bahasa, diksi, rima, ketaksaan makna
Abstract This study aims to describe the uniquenes of language from the poin of poems style, diction or lexical, ryme, or poetry, and the ambiguity of meaning contained in the arrays poems.This study is research literature the studies the data obtained from various (book and electronic media). Methods used in this study refern to the technique is a method of note. This study population array is an array of spell-writting with the number 258 array of 24 spells. Sampling tailored to the need analysis study. Data were analyzed by qualitative decriptive.The results suggest that linguistic characteristics of poems lies in the style of language (figure of speech) that are used include: stylistic anti cklimaks, climaks, paralelisem, repetition (epizeuksis, tautotes, anafhora, epistrofha, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis), rhetorical (aliteration, asonacion), and metaphor (simile, metaphor, personofication, allusion). Diction or choice of lexical spells include diction with denotative meaning, connotative diction with meaning, diction with the meaning of synonyms, antonyms diction with meaning, the meaning of homonym diction, diction with religious symbols, and diction are associated with cultural meaning. Rhyme or rhyme spell called fusion (collaboration) which includes the initial rhyme, end rhyme, middle rhyme, rhyme poems, rhymes early and end. Otherwise it spells linguistic characteristics can be seen through the ambiguity of lexical meanings which include ambiguity and grammatical ambiguity. Key word : charactheristics, styliistic language, diction, ambiguity
PENDAHULUAN Pada dasarnya karya sastra itu merupakan media komunikasi dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Komunikasi pada karya sastra tidak seperti komunikasi pada umumnya. Pada karya sastra komunikasi berjalan satu arah. Ada berbagai karya sastra yang sering dipakai sebagai media untuk mengkomunikasikan suatu ide atau gagasan, yaitu novel, drama, puisi, cerita pendek, esai dan karya-karya lainnya. Mantra juga karya sastra (sastra lama), juga merupakan media komunikasi, yang mempunyai susunan kata berunsur puisi, penuh dengan makna, ambiguitas, dan memiliki norma. Dalam mantra, juga terdapat deviasi gramatika, fonologi, semantik, maupun unsur rima atau pengulangan bunyi, irama dan matra. Widdowson dalam Brumfit (1983) menyebut puisi sebagai “susunan kata terangkai dalam ukuran yang menyenangkan” (...wordsveb is delightful proportion - sir Philip Sydney); atau “ungkapan spontan perasaan yang sangat kuat” (...the spontaneous overflow of power ful feelings – William Wordsworth); atau “imajinasi luar biasa tentang hidup diungkapkan tentang kebenarannya yang abadi” (...the very image of life expressed in its eternal truth – Percy Bysshe Shelly). Leech (1987) menyebut puisi punya lisensi poetika dalam bentuk deviasi atau penyimpangan dari norma bahasa. Deviasi itu berupa deviasi leksikal, gramatikal, fonologi, grapologi (keteraturan larik), semantik, dialek, register sampai deviasi periode sejarah. Oleh sebab itu Ratna (2009) misalnya, dalam buku stilistikanya juga mengakui akan keunikan bahasa dalam puisi. Lain hanya dengan Pradopo (2005) menurutnya, gaya bahasa sangat besar sumbangsihnya dalam pencapaian nilai seni karya sastra. Secara linguistik gaya dapat dilacak sebagai suatu penyimpangan terhadap suatu bentuk penggunaan bahasa tertentu dan justru karena penyimpangan itu perhatian pembaca dibangkitkan. Bertolak pada kenyataan di atas, kiranya tidak dapat disangkal akan keberadaan puisi lama khususnya mantra. Mantra yang juga merupakan media komunikasi yang menggunakan bahasa. Keberadaan mantra sebagai media komunikasi semakin tampak ketika terjadi kegiatan keagamaan atau kegiatan lainnya. Mantra dianggap doa, dianggap memiliki kekuatan gaib (daya), diyakini dapat berkomunikasi dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan orang lain, makhluk halus, serta mahluk lainnya. Tujuannya pun berbedabeda sesuai niat si pemakai mantra. Menurut Mansur (2010), mantra disebut sebagai
kalimat-kalimat yang diyakini bisa menghasilkan metaenergi jika diucapkan oleh orang yang menguasainya. Mantra dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak masuk akal. Padahal dalam mantra banyak hal yang bisa digali. Sebagai bidang sastra, kebahasaan dan kebudayaan. Mantra tidak hanya dapat mengungkap kepercayaan dan religi, tetapi eksistensinya merupakan struktur verbal sastra lama yang dapat mengungkap beberapa hal seperti; ciri-ciri estetik mantra, yang meliputi bentuk komposisi verbal, gaya, pilihan kata, serta pemanfaatan potensi bunyi bahasa untuk mencapai efek tertentu. Kesemua ciri-ciri estetik pengungkapan mantra itu dapat dimanfaatkan bagi pengembangan dan perluasan wawasan dalam sastra dan bahasa yang bertolak dari fakta, serta bagi reorentasi penciptaan karya sastra Indonesia modern. Salah satu sumbangan penting mantra bagi perkembangan sastra Indonesia moderen adalah ujud elaborasi mantra yang dilakukan oleh Sutardji sehingga menghasilkan puisi-puisi yang fenomenal. Adanya permaslahan diatas, penelitian ini mencoba menjabarkan tentang karakteristik kebahasaan puisi mantra. Melalui estetika kebahasaannya, penelitian ini melihat ujud gaya bahasa, diksi (diction) atau pilihan kata, dan rima atau persajakan yang ada pada puisi mantra. Sedangkan dalam ketaksaan maknanya, penelitian ini melihat struktur kalimat yang membangunya dalam menciptakan kemenduaan makna atau ambiguitas. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk estetika kebahasaan mantra dan mendeskripsikan bentuk ketaksaan makna pada mantra.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini penelitian pustaka, perolehan data diperoleh dari hasil pembacaan berbagai referensi dengan penelusuran di perpustakaan, toko buku, dan media online. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan stilistika. Populasi dan Sampel Keseluruhan larik-larik puisi mantra berbahasa Indonesia yang membentuk sebuah mantra dan fungsi disesuaikan dengan tujuan mantra, merupakan populasi dalam penelitian ini. Sampel penelitian adalah akumulasi dari dua puluh empat puisi mantra dengan jumlah larik dua ratus enam puluh empat.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dengan teknik catat. Artinya, diadakan pembacaan dari berbagai referensi dan mencatat keseluruhan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Analisis data dilakukan dengan pengkajian setiap teks naskah untuk melihat keseluruhan gejala kelainan bahasa. Tidak hanya pada tingkat kata, frase, kalusa, ungkapan, bahkan pada tingkat kalimat. Selain itu, tujuan penggunaan mantra juga perlu dipahami serta makna dari tiap larik puisi mantra. Tujuannya adalah untuk menemukan jenis gaya bahasa, diksi dan maknanya, rima, serta ketaksaan makna yang ditimbulkannya.
HASIL Data yang ditemukan dari hasil penelitian diperoleh data sebanyak dua puluh empat mantra berbahasa Indonesia (melayu). Gaya pengungkapan pada mantra bermacam-macam dengan cara kolaborasi gaya. Jenis gaya yang ditemukan berupa gaya bahasa antiklimaks, klimaks, paralelisme, gaya bahasa repetisi yang terdiri atas; epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis. Gaya bahasa retoris yang meliputi; aliterasi dan asonansi. Gaya bahasa kiasan yang meliputi; simile, metafora, personifikasi, dan alusi. Diksi yang digunakan dalam mantra disesuaikan dengan fungsi dan tujuan mantra. Diksi pada mantra dapat berupa diksi yang bermakna denotatif, diksi dengan makna konotatif, diksi berupa sinonim, diksi berupa antonim, diksi berupa homonim, diksi berupa lambang-lambang agama, dan diksi yang berhubungan dengan makna budaya. Rima yang dipakai dalam mantra adalah rima kolaborasi (perpaduan dua atau lebih rima). Rima yang ditemuka berupa rima awal, rima akhir, rima tengah, rima pantun, rima syair, rima awal akhir. Pada mantra ditemukan juga adanya ketaksaan makna berupa ketaksaan leksikal dan ketaksaan gramatikal.
PEMBAHASAN Bentuk Estetika Kebahasaan Mantra
Estetika kebahasaan pada mantra merupakan wujud keindahan yang terpancar lewat jalinan kata-kata, larik dan bait serta iramanya. Kemunculannya dapat dilihat dari pemanfaatan seluruh aspek kebahasa oleh pengarang atau penyair dalam hasil ciptaannya. Memahami estetika kebahasaan dalam mantra hanya dapat diwujudkan dengan cara menganalisis mantra itu lewat gaya bahasa, diksi, rima dan makna yang berupa ketaksaan. Melalui gaya bahasanya pembaca dapat mengerti cara penyair atau pengarang dalam memaparkan ide atau gagasannya dalam menciptakan nilai rasa yang indah. Melalui pilihan leksikalnya pembaca dapat mengerti mengapa penyair atau pengarang memakai kata-kata tertentu untuk mewakili gagasannya dan efek apa yang ditimbulkannya. Dengan rima yang ada, pembaca dapat mengerti fungsi dari pengulangan bunyi itu dan bentuk-bentuk pengulangan bunyi yang menimbulkan nilai estetis. Ketaksaan makna yang ditimbulkan dari larik-larik mantra dapat menjelaskan pada pembaca tentang cara penyair atau pengarang dalam menyembunyikan makna melalui eksploitasi bahasa atau penyimpangan. Penggunaan gaya bahasa pada mantra, jika dicermati seperti ada cerita, ada asalusul, ada pemahaman budaya, religi dan pemahaman tentang hidup dan kehidupan. Ada keinginan yang akan dicapai, larangan atau ancaman yang diberikan oleh pemakai mantra. Ada kerjasama yang diajukan serta kepasrahannya. Semua itu dikemas begitu rapi dengan bahasa yang khas, sedikit mudah dipahami, memakai metafor, serta kiasan untuk memadatkan gagasan dan keinginan pengucap mantra. Gaya Bahasa yang dipakai pada mantra meliputi; gaya bahasa Antiklimaks, yang berarti tidak tegang atau tidak ada peningkatan ketegangan, maka larik-larik pada mantra ini juga tidak menunjukkan suatu ketegangan atau tidak bersifatp eriodik, justru lebih cenderung menurun. Gaya bahasa Klimaks, berdasarkan arti klimaks itu sendiri, gaya bahasa ini memiliki puncak dari suatu hal, kejadian, keadaan dan sebagainya yang berkembang secara berangsur-angsur. Gaya bahasa Paralelisme, yaitu adanya kandungan maksud yang sama antara larik pertama dengan larik terakhir. Gaya bahasa Repetisi, yaitu pengulangan dalam kalimat yang dapat berupa bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang merupakan kunci atau yang dianggap penting untuk memberikan penegasan atau tekanan atau efek tertentu. Gaya bahasa repetisi meliputi : Epizeuksis, pengulangan yang bersifat langsung. Patokanya kata atau frase yang dipentingkan diulang beberapa
kali pada kalimat yang sama. Tautotes, adalah repetisi yang terjadi pada sebuah kata dalam konstruksi yang sama. Anafora, adalah jenis repetisi yang terjadi karena adanya pengulangan kata diawal tiap larik atau kalimat yang berbeda. Epistrofa/ Epifora, adalah jenis repetisi yang berujud perulangan kata atau frasa pada akhir kalimat berurutan. Simploke, adalah jenis repetis yang menggabungkan antara anafora dan epistrofa yaitu perulangannya terjadi pada awal dan akhir baris pada larik atau kalimat yang berurut. Mesodiplosis, perulangannya terjadi di tengah larik atau kalimat yang berurutan. Epanalepsis, repetisi yang kata awalnya diulang pada akhir larik dalam kalimat yang sama. Tujuan dari gaya jenis repetisi ini adalah untuk menegaskan maksud si pemakai mantra. Anadiplosis, terjadi karena kata terakhir atau klausa terakhir dari larik atau kalimat sebelumnya diulang menjadi kata awal atau pemula dari larik atau kalimat berikutnya. Gaya bahasa Retoris (Keraf,1990), adalah gaya bahasa yang mengalami penyimpangan makna semata-mata karena penyimpangan konstruksi biasa demi mendapatkan atau mencapai efek tertentu. Gaya bahasa retoris yang dimaksud meliputi gaya bahasa seperti tersebut di bawah ini; Aliterasi, (Kridalaksana, 2008) sebagai pengulangan konsonan atau kelompok konsonan pada awal suku kata atau awal kata secara berurutan. Verhar (1990) menyebut aliterasi sebagai wujud perulangan berupa konsonan yang sama. Fungsinya untuk perhiasan atau untuk penekanan. Dalam KBBI, (2008) aliterasi yaitu sajak awal dengan fungsi untuk mendapatkan efek kesedapan bunyi. Asonansi, merupakan kebalikan aliterasi yaitu pengulangan bunyi vocal pada suku kata atau kata yang berurutan. Dalam arti kamus, asonansi biasa disebut purwakanti. Selain itu, ada gaya bahasa kiasan yang mencari sifat kesamaan atau pun selisih. Gaya ini meliputi; Simile (persamaan), dinyatakan secara langsung persamaannya secara eksplisit dengan memakai kata bantu (seperti, sama, bagaikan, laksana, sebagai dan akan) supaya merujuk pada
yang
dipersamakan
itu.
Metafora,
adalah
jenis
kiasan
yang
membandingkan dua buah benda secara singkat dan langsung atau dengan analogi benda lainnya secara singkat tanpa memakai kata bantu. Personifikasi atau Prosopopoeia, merupakan corak khusus dari metafora yang menganggap benda mati, binatang, dan tanaman sebagai benda hidup yang memiliki sifat kemanusiaan. Artinya, semua benda mati, binatang, dan tumbuhan yang disebutkannya memiliki sifat penginsanan seperti
bertindak, berbuat, dan berbicara seperti layaknya manusia. Alusi, merupakan jenis gaya bahasa kiasan yang memberikan semacam acuan referensi yang eksplisit atau implisit. Diksi atau pilihan kata adalah penentuan kata yang tepat, selaras dan berefek dalam konteks penggunaan untuk penggambaran gagasan. Artinya, diksi yang dipilih dalam mantra itu telah memiliki jiwa (perasaan-perasaan penyair) yang maknanya disesuaikan dengan fungsi dan tujuan makntra. Diksi yang dimaksud meliputi; kata yang maknanya dapat langsung dimengerti (denotative) seperti kata mari, kemari, jangan dll. Kata yang maknanya perlu penjabaran (konotatif) seperti hubungan kata hendak-anaksembilan-bulan dalam larik Hendak kirim anak Sembilan bulan. Artinya, akan menanam bibit. Kata yang bermakna sinonim misalnya ruh, semangat, kecil, burung, halus (semangat). Temui,uri,tali pusat,(plasenta). Kata yang antonim misalnya kecil x besar, muda x tua, takhujan x diperhujan, taksama x dipersama, taktinggi x dipertinggi, hantu x malaikat dsb. Kata yang homonim misalnya bisa yang artinya racun dan dapat, upas artinya racun dan ipuh dsb. Kata yang memakai simbol agama, Bismillahirahmanirahim, berkat, Lailahaillah, Muhammadarrasullulah, min, nun, dal, lam, kasih Allah dsb. Kata yang berhubungan budaya misalnya, gunung ledang, ke pekan,syah Saidi, awing lebeh, Tengku Sultan berumbingan, pagar ruyung. Rima atau yang biasa disebut dengan persajakan adalah wujud kongkrit dari perulangan bunyi dalam mantra. Rima berfungsi (Kartadimaja, 2008) menambah keindahan suatu puisi (mantra). Artinya, rima memiliki estetik (keindahan dan keserasian bunyi), menghasilkan efek-efek yang menyejukkan dan menyenangkan. Rima pada mantra meliputi rima awal, rima tengah, rima akhir, rima pantun atau rima bersilang (a-b a-b), rima syair atau rima rangkai(a-a-a-a b-b-b-b), rima awal akhir (rimanya di awal larik dan akhir larik) misalnya pada larik Mari,ruh, kemari! / Mari,semangat,kemari! Mari,kecil,kemari! /Mari,burung,kemari! / Mari,halus,kemari!. Bentuk ketaksaan Makna Kebahasaan Mantra Deskripsi tentang ketaksaan makna dalam wacana sastra khususnya mantra menjadi sarana kreatif dalam pengungkapan maksud atau keinginan pengucap mantra. Adanya kreatifitas itu akan memperjelas intensitas efek dalam mantra. Dalam proses kreatifitas ini, bahasa yang kaya dengan makna diramu sedemikian rupa untuk memunculkan makna yang terkandung sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai-
bagai tafsiran atau ketaksaan. Ketaksaan dalam berbahasa ini timbul akibat tidak adanya hubungan tunggal antara ungkapan bahasa dan makna. Sebagai contoh pada larik mantra berikut. “Racun pun tiada bisa”. Kataksaan makna pada larik ini terletak pada kata bisa. Kata bisa menimbulkan ketaksaan leksikal, karena dapat memunculakn dua penegrti yaitu racun dan dapat. Berdasarkan hal itu, larik tersebut dapat diartikan “Racun pun tiada dapat” atau “Racun pun tiada racun(beracun)”. Adanya pemaknaan seperti itu disebabkan oleh rujukan pemaknaan itu yang berasal dari dua bahasa daerah yang berbeda. Kata Bisa yang pertama misalnya, itu berasal dari bahasa Jawa yang artinya “ sanggup atau dapat ”. Kata Bisa yang kedua dengan arti racun (khususnya racun ular) berasal dari bahasa Melayu. Selain pada mantra penawar racun, ketaksaan leksikal berupa kata yang homonim juga terdapat pada larik mantra menabur bibit, khususnya di larik satu dan dua. Larik satu mantra itu berbunyi “ Seri Dangomala! Seri Dangomala! ”. Secara leksikal, pemakaian kata “ seri ” pada larik ini menimbulkan empat jenis pemahaman makna seri ke pada Dangomala. Seri pertama (N) diartikan sebagai cahaya, semarak, kemuliaan, keindahan, serta cantik atau bagus. Artinya, cahaya Dangomala atau semarak Dangomala. Seri ke dua (N), berasal dari bahasa Melayu klasik, diartikan sebagai yang mulia atau sri, adalah yang mulia sri Dangomala. Seri ke tiga (V) pada kata menyeri yang berarti mengisap madu bunga (tentang kupu-kupu, dan lain sebagainya), Dangomala itu sejenis bunga. Seri ke empat (A) berarti seimbang, sehingga dapat diartikan bahwa Dangomala itu penyeimbang. Itulah sebab dikatakan larik puisi mantra ini taksa. Ketaksaan juga terlihat pada kata Dangomala. Hal ini lebih disebabkan oleh tidak adanya acuan yang pasti dari kata itu, yang ada di dalam kamus bahasa Indonesia adalah kata Dango dan mala. Kata Dango atau dangau berarti gubuk ( rumah kecil ) di sawah atau lading tempat orang berteduh untuk menjaga tanaman. Kata Mala berarti bencana, celaka, dan sengsara. Jadi, berdasarkan sifat dari kata dango dan mala, secara konotasi dipahami Dangomala adalah penjaga tanaman. Berdasarkan uraian tersebut yang dimaksud seri di larik mantra ini adalah yang mulia dangomala karena makna dangomala itu sendiri yang berarti penjaga tanaman. Ketaksaan gramatikal terlihat pada larik satu dan dua mantra melempar pancing ke laut. Pada larik itu berbunyi Air pasang telan ke insang / Air surut telan ke perut.
Secara gramatikal mengandung makna bahwa yang melakukan pekerjaan “telan” atau ”menelan” ke insang dan perut adalah air pasang dan air surut. Pemaknaan seperti itu karena dilihat dari struktur yang membangun larik (kalimat) pada mantra itu yaitu, “air pasang” menduduki fungsi (S), “telan” sebagai (P), dan “ke insang” sebagai (K). Demikian halnya pada larik ke dua, “air surut” sebagai (S), “telan” sebagai (P), dan “ke perut” sebagai (K). Pemaknaan seperti di atas akan berubah jika, dipahami fungsi dan tujuan mantra ini. Hal ini mesti dipahami karena ada pemahaman bagi masyarakat nelayan, khususnya nelayan pancing bahwa makan atau tidaknya ikan tergantung pada air pasang dan surut. Berdasarkan hal itu, jika kedua larik mantra itu diparaprasekan akan menjadi; “jika air pasang, ikan telan umpan ke insang dan jika air surut, ikan telan umpan ke perut”. Berdasarkan pada paraprase ini terlihat jelas bahwa yang melakukan pekerjaan telan (menelan) adalah ikan dan memiliki insang dan perut adalah ikan, bukan air pasang atau air surut seperti pemaknaan di atas. Dengan struktur kalimat (larik) juga berubah menjadi “ jika air pasang” sebagai (Ket. Kondisi), “ikan” sebagai (S), ”telan” (menelan) sebagai (P), “umpan” sebagai (O) “ke insang atau ke perut” sebagai (K) tempat.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dalam mantra banyak ditemukan gaya bahasa. Pemanfaatan gaya bahasa dalam mantra menjadikan mantra terasa unik, aneh, dan terasa nuansa kesakralannya. Gaya bahasa pada mantra merupakan hasil kolaborasi atau perpaduan beberapa gaya bahasa. Dalam satu mantra ditemukan dua atau lebih gaya bahasa dipakai untuk pengungkapan maksudnya. Gaya bahasa yang ditemukan dan dipakai pada mantra meliputi; (1) Berdasarkan larik mantra, ditemukan gaya bahasa anti klimaks, klimaks, paralelisme, repetisi yang meliputi beberapa repetisi yaitu epizeuksis, tautotes, anaphora, epistropa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. (2) Berdasarkan langsungnya makna dan tidaknya makna, yaitu gaya bahasa retoris (aliterasi dan asonansi). Gaya bahasa kiasan (simile atau persamaan, metafora, personifikasi atau prosopopoeia, dan alusi). Masalah diksi (pilihan leksikal) pada mantra meliputi diksi yang langsung dapat dimengerti maknanya (denotative) dan ada diksi yang maknanya perlu penjabaran
(konotatif). Ada diksi dengan makna pertentangan (antonim), diksi dengan makna sinonim, diksi berupa homonim, dan diksi berupa simbol keagamaan serta diksi yang berhubungan dengan budaya. Mengenai rima mantra, merupakan kolaborasi beberapa rima ( rima perpaduan ), sehingga saat diucapkan terdengar seperti kumpulan bunyi yang khas atau unik. Rima perpaduan yang dimaksud misalnya, rima pantun dipadukan dengan rima awal atau rima akhir. Rima syair dipadukan dengan rima tengah dan akhir dan lain sebagainya. Terkait dengan ketaksaan makna, pada mantra banyak mengandung ketaksaan leksikal atau pun ketaksaan gramatikal. Tergantung kata yang digunakan dan struktur kalimatnya (larik). Jika memakai kata yang bersinonim akan terjadi ketaksaan leksikal, dan jika konstruksi kalimatnya tidak tepat dapat menimbulkan ketaksaan sintaksis. Hal itu dapat dipahami karena pilihan kata dan susunan kata-kata pada larik mantra merupakan hasil pemadatan gagasan yang dalam. Karena itu pemaknaanya membutuhkan ketajaman, dan pemahaman tentang latar belakang yang melatari penciptaannya. Hal penting yang dapat menjadi saran yaitu semoga ada yang mau meneliti mantra dengan pendekatan sosiolinguistik atau pragmatik terkait penggunaan bahasa dalam komunikasi untuk menjabarkan latar belakang penciptaan mantra yang memiliki fungsi dan tujuan berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Brumfit.C.J.(1983). Teacing Literatur Overseas Language-Based Approaceh. Oxford: Pergamon Press Depdikbud.(2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama Keraf.G. (1990). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT.gramedia Kridalaksana, H.(1990). Kamus linguistic. Jakarta : UI Press _____________. (2010).Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama _____________. (2008). Kelas Kata Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Leec.G.N. (1987).A linguistic Guide to English Poetry. New York: Language Inc Mansur.Muh. (2010). Dahsyatnya Berobat dengan Al-Fatihah. Yogyakarta: Araska Pradopo.Rahmat D. (2005). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada Ekspress Ratna.Nyoman K. (2009). Stilistika Kajian Puitika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar