KARAKTERISTIK BAMBU LAPIS DARI ANYAMAN BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) YANG DIREKAT MENGGUNAKAN PEREKAT MDI DAN PVAc DENGAN METODE PENCELUPAN
NURIANI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang Direkat Menggunakan Perekat MDI dan PVAc dengan Metode Pencelupan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014 Nuriani NIM E24100005
ABSTRAK NURIANI. Karakteristik Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang Direkat Menggunakan Perekat MDI dan PVAc dengan Metode Pencelupan. Dibimbing oleh JAJANG SURYANA. Bambu lapis merupakan produk inovatif yang harus terus ditingkatkan kekuatan maupun penampilannya untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis perekat dan corak anyaman yang dilakukan terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis anyaman. Nilai Kadar Air (KA), Keteguhan Rekat (KR) dan MOR pada bambu lapis menggunakan perekat MDI memenuhi standar SNI 01-5008.2-2000 dengan nilai KA dibawah 14%, KR lebih dari 7 kg/cm² dan MOR lebih dari 320 kg/cm², sedangkan pada perekat PVAc belum memenuhi standar SNI 01-5008.2-2000. Kerapatan bambu lapis berdasarkan hasil pengujian berkisar antara 0.41-0.68 g/cm³. Untuk pengujian kembang susut bagian tebal, nilai penyusutan lebih besar dibandingkan nilai pengembangan. Nilai MOE bambu lapis pada semua perlakuan tidak memenuhi standar SNI 01-5008.2-2000. Bambu lapis yang direkat menggunakan perekat MDI bercorak anyaman Tindih 2 memiliki sifat fisis dan mekanis lebih baik dibandingkan dengan bambu lapis lainnya. Kata kunci : anyaman bambu, bambu betung, bambu lapis, MDI, PVAc
ABSTRACT NURIANI. Characteristics of Plybamboo made from Woven Betung Bamboo (Dendrocalamus asper) Bonded Using MDI and PVAc through Dipping Method. Supervised by JAJANG SURYANA Plybamboo is an innovative product that should be improved strength and appearance to produce high quality products. The purpose of this research was to analyze the influence of adhesive type, and woven pattern toward the physical and mechanical characteristics of woven plybamboo. Water content, bonding strength, and MOR of plybamboo made using MDI adhesive is suitable with SNI 015008.2-2000 standard. Its water content value is under 14%, its bonding strength is more than 7 kg/cm2, and its MOR is more than 320 kg/cm2. Moreover, the water content, bonding strength, and MOR of woven bamboo made using PVAc did not suitable with SNI 01-5008.2-2000 standard. The density of plybamboo was ranged between 0.41-0.68 g/cm3. Based on shrinkage and swelling test of plybamboo, swelling phase was larger than shrinkage phase. The MOE of all samples did not suitable with SNI 01-5008.2-2000 standard. Plybamboo bonded using MDI with Tindih 2 pattern has better physical and mechanical characteristics than other plybamboos. Key words: bamboo woven, betung bamboo, MDI, plybamboo, PVAc
KARAKTERISTIK BAMBU LAPIS DARI ANYAMAN BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) YANG DIREKAT MENGGUNAKAN PEREKAT MDI DAN PVAc DENGAN METODE PENCELUPAN
NURIANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Judul Skripsi : Karakteristik Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang Direkat Menggunakan Perekat MDI dan PVAc dengan Metode Pencelupan Nama : Nuriani NIM : E24100005
Disetujui oleh
Dr Ir Jajang Suryana, MSc Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat dan segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus hingga Desember 2013 ini ialah pemanfaatan bambu sebagai bambu lapis, dengan judul Karakteristik Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang Direkat Menggunakan Perekat MDI dan PVAc dengan Metode Pencelupan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Jajang Suryana, MSc selaku dosen pembimbing, Bapak Dr Ir Endes N Dahlan, MS selaku dosen penguji dan Bapak Ir EG Togu Manurung, MS PhD selaku pemimpin sidang ketika ujian komprehensif yang telah banyak memberi saran dan nasihat. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pak Suhada, Pak Kadiman, Pak Mahdi, dan Mas Irfan selaku Laboran di Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB yang sangat sabar dalam membantu penulis melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, mama, Jamal, Vini, Adha, Nisa, Fai, Uwi, Ale, seluruh keluarga dan kawan-kawan THH 47, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014 Nuriani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Penelitian
2
Prosedur Analisis Data
7
Penentuan Bambu Lapis Terbaik
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Kadar Air
8
Kerapatan
9
Stabilitas Dimensi
10
Keteguhan Rekat
11
Modulus of Ellasticity (MOE)
12
Modulus of Rupture (MOR)
13
Penentuan Bambu Lapis Terbaik
14
SIMPULAN DAN SARAN
15
Simpulan
15
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
15
RIWAYAT HIDUP
17
DAFTAR TABEL 1 Data penentuan bambu lapis terbaik
14
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Corak anyaman bambu Pengambilan contoh uji bambu lapis Skema pembuatan bambu lapis Posisi contoh uji dan letak beban Nilai kadar air bambu lapis Nilai kerapatan bambu lapis Nilai pengembangan dan penyusutan bambu lapis Nilai keteguhan rekat bambu lapis Nilai MOE bambu lapis Nilai MOR bambu lapis
3 4 4 7 8 9 11 11 12 13
PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu merupakan salah satu bahan substitusi kayu yang mudah ditemukan dan sangat potensial dikembangkan menjadi sumber bahan baku industri kehutanan. Pemanfaatan bambu pada umumnya digunakan untuk berbagai macam konstruksi rumah, jembatan, mebel, tangga, dan saluran air, sedangkan dalam bentuk bilah dipakai sebagai bahan kerajinan dan anyaman untuk pembuatan bilik. Penggunaan bambu dewasa ini juga sudah merambah pada ranah yang lebih luas seperti industri pulp, papan serat, papan partikel, briket arang, tekstil bambu, bambu lapis dll. Anyaman bambu sebagai dinding rumah banyak kita temui di daerah pedesaan, dan identik sebagai rumah sederhana yang memiliki beberapa kelemahan diantaranya terdapat celah-celah yang memungkinkan angin dan air masuk, bilah anyaman mudah terlepas, lembaran anyaman tipis sehingga mudah tersobek, mudah melengkung bila terdorong beban, dan sifat kekuatan dan keawetan alaminya yang relatif rendah dibandingkan kayu atau bahan bangunan lainnya. Anyaman bambu perlu dikembangkan dan dinaikkan kualitasnya agar masa penggunaan dan kekuatannya lebih baik. Suryana et al. (2009) dan Kusumah et al. (2012) telah melakukan penelitian dan berhasil membuat bambu lapis menggunakan corak anyaman dengan sifat fisis dan mekanis yang cukup baik dan layak dikembangkan untuk bahan baku mebel dan bahan bangunan. Bambu lapis masih harus terus ditingkatkan kekuatan maupun penampilannya untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk membuat produk bambu lapis dari anyaman Bambu Betung (Dendrocalamus asper) dengan sedikit modifikasi proses pembuatannya yang diharapkan dapat meningkatkan kekuatan dan kualitas pemakaian tanpa harus mengurangi nilai artistik dari anyaman tersebut. Modifikasi proses yang digunakan yaitu dengan memakai metode perekatan dengan pencelupan. Bambu lapis dibuat dengan empat tipe corak anyaman dan direkat menggunakan perekat kempa panas (MDI) dan perekat kempa dingin (PVAc). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis perekat, dan corak anyaman yang digunakan terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis anyaman. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh jenis perekat, dan corak anyaman yang digunakan terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis anyaman.
2
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember 2013 di Laboratorium Biokomposit, Laboratorium Pengerjaan Kayu pada bagian Teknologi Peningkatan Mutu kayu, dan Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) dalam bentuk anyaman. Bambu Betung diperoleh dari pengrajin anyaman yang berlokasi di Desa Caringin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Perekat yang digunakan yaitu Methylen Diphenyl Isocyanate (MDI) dan Polyvinyl Acetate (PVAc), masingmasing diencerkan menggunakan bahan campuran berupa toluena dan air dengan perbandingan takaran 1 : 1. Alat Alat yang digunakan untuk persiapan bahan baku diantaranya gergaji tangan, golok, cutter, amplas, dan mesin serut. Alat pembuatan bambu lapis diantaranya mesin kempa panas, mesin kempa dingin, mesin pemotong, oven, desikator, timbangan, dan caliper. Alat pengujian bambu lapis berupa alat uji Universal Testing Machine (UTM) merk Instron. Peralatan pendukung lainnya, berupa nampan, sarung tangan, alat tulis dan kamera. Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku Batang bambu terlebih dahulu dipotong sepanjang 30 cm tanpa menyertakan buku bambu, kemudian selanjutnya dibuat menjadi bilah dengan cara dibelah lalu diserut. Bilah bambu hasil serutan selanjutnya direndam dalam air dingin selama dua minggu. Perendaman terhadap bilah ditujukan untuk mengurangi kadar pati dalam bambu agar tidak mudah diserang oleh serangga perusak. Setelah proses perendaman tersebut, bilah bambu kemudian dikeringkan hingga mencapai kadar air 8-10%. Bambu lapis yang dibuat berukuran 30 cm x 30 cm x 0.4 cm. Masingmasing bambu lapis dibuat dengan empat corak anyaman dan dua jenis perekat, pengulangan dilakukan sebanyak lima kali sehingga total bambu lapis yang dibuat 40 papan (4 x 2 x 5). Penganyaman Bilah Bambu Bilah bambu serutan yang telah dikeringkan dianyam dengan empat corak anyaman yaitu corak anyaman kajang, miring, bilik tindih 1, dan bilik tindih 2
3 dengan ukuran 30 x 30 cm. Gambar corak anyaman bambu ditunjukkan pada Gambar 1.
Kajang
Bilik tindih 1 Bilik tindih 2
Miring
Gambar 1 Corak anyaman bambu Persiapan Perekat Perekat yang digunakan meliputi dua jenis perekat yaitu MDI dan PVAc dengan berat labur sebesar 200 g/m². Pada metode pencelupan, perekat yang digunakan harus dalam bentuk cair, oleh karena itu perekat MDI dilarutkan dengan toluena dan perekat PVAc dilarutkan dengan air hingga encer menggunakan perbandingan 1 : 1. Banyaknya perekat yang dibutuhkan untuk dua luas permukaan anyaman dengan perhitungan 0.3 m x 0.3 m x 200 g/m², yaitu 18 g, sehingga untuk pencelupan setiap jenis anyaman dan jenis perekat masingmasing permukaan sebanyak 9 g perekat. Pencelupan Anyaman dalam Cairan Perekat Lembaran anyaman bambu dicelupkan selama ± 30 detik dalam perekat yang diencerkan dalam wadah hingga tersebar merata ke seluruh permukaan, termasuk pada bagian bilah yang tumpang tindih akibat proses penganyaman. Setelah proses pencelupan, anyaman bambu ditiriskan dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang lebih 15 menit sebelum di kempa. Pengempaan Anyaman bambu yang sudah ditiriskan disusun menjadi tiga lapis untuk kemudian dikempa panas dengan suhu 140 oC selama lima menit dengan tekanan spesifik sebesar 16 kgf/cm2, kempa panas dilakukan untuk bambu lapis yang direkat dengan perekat MDI. Sedangkan bambu lapis yang direkat dengan perekat PVAc hanya dikempa dingin pada suhu kamar selama 24 jam dengan tekanan yang sama. Pengkondisian Setelah proses pengempaan, bambu lapis dibiarkan di tempat terbuka selama dua minggu untuk menghilangkan tegangan sisa yang terjadi pada saat pengempaan dan menyesuaikan dengan kadar air setempat. Pembuatan Contoh Uji Setelah melewati masa conditioning, bambu lapis diuji sifat fisis dan mekanisnya. Masing-masing bambu lapis dibuat contoh uji sesuai dengan ukuran
4 standar, untuk dilakukan pengujian kadar air, kerapatan, stabilitas dimensi, keteguhan rekat, dan keteguhan lentur statis (MOE dan MOR).
Gambar 2 Pengambilan contoh uji bambu lapis Keterangan: A = Contoh uji kadar air dan kerapatan (100 mm x 100 mm) B = Contoh uji keteguhan lentur (50 mm x (24t mm + 50 mm)) C = Contoh uji keteguhan rekat (100 mm x 25 mm) D = Contoh uji stabilitas dimensi (35 mm x 35 mm)
Gambar 3 Skema pembuatan bambu lapis
5 Prosedur Pengujian Pengujian bambu lapis mengacu kepada SNI 01-5008.2-2000 mengenai kayu lapis struktural, yang merupakan edisi revisi dari standar terdahulu yaitu SNI 01-5008.7-1999. Kadar Air Contoh uji berukuran 10 cm x 10 cm ditimbang untuk mengetahui berat awal. Kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 103 ± 2 °C sampai beratnya konstan. Contoh uji kemudian didinginkan selama kurang lebih 15 menit di dalam desikator. Selanjutnya contoh uji ditimbang kembali. Besar nilai kadar air dihitung dengan persamaan: ( ) Keterangan: KA = Kadar Air BA = Berat Awal (g) BKT = Berat Kering Tanur (g) Kadar air panel bambu minimum 14 % Kerapatan Kerapatan panel bambu lapis ditentukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan kadar air berukuran 10 cm x 10 cm. Contoh uji ditimbang beratnya (kondisi kering udara) dan dilakukan pengukuran dimensinya (panjang, tebal, dan lebar). Besar nilai kerapatan ditentukan dengan perhitungan: Keterangan: Kr BKU P L T
= = = = =
Kerapatan (g/cm3) Berat Kering Udara (g) Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (cm)
Kembang Susut Contoh uji berukuran 3.5 cm x 3.5 cm diukur dimensinya (panjang, tebal, dan lebar) dalam kondisi kering udara, selanjutnya direndam dalam air (suhu 25 °C) selama 24 jam, kemudian diukur kembali dimensinya. Besar nilai pengembangannya diperoleh dari perhitungan:
Keterangan: Pg Dku Db
= Pengembangan (%) = Dimensi keadaan kering udara (cm) = Dimensi keadaan basah (cm)
6 Contoh uji yang telah direndam kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 ± 3 °C selama 24 jam, kemudian diukur kembali dimensinya. Penentuan nilai penyusutan dilakukan dengan menggunakan persamaan:
Keterangan: St Dku Do
= Penyusutan (%) = Dimensi keadaan kering udara (cm) = Dimensi keadaan kering oven (cm)
Keteguhan Rekat Prosedur pengujian keteguhan rekat mengikuti SNI 01-5008.2-2000 dan dilakukan dengan menggunakan alat uji UTM merk Instron. Nilai keteguhan rekat diperoleh dari perhitungan: KR = Keteguhan Geser Tarik × f Sedangkan nilai keteguhan geser rekat diperoleh dari rumus : Keterangan: KR F
= Kereguhan Rekat (kg/cm3) = Koefisien, nilainya tergantung rasio tebal lapisan inti dengan lapisan muka KGT = Keteguhan Geser Tarik (kg/cm3) P = Panjang bidang geser (cm) L = Lebar bidang geser (cm) B = Beban tarik (kg)
Keteguhan Lentur Statis Pengujian pada keteguhan lentur ini dimaksud untuk mendapatkan nilai kekakuan (MOE) dan ketahanan (MOR) panel bambu lapis. Noermalicha (2001) menyatakan tingginya nilai MOE menandakan bahwa bahan tersebut bersifat kaku, dalam pengertian sulit dilenturkan. Sebaliknya MOR adalah nilai dimana suatu batang diberi beban lentur maksimal dan akibat dari gaya tersebut batang mengalami patah. Contoh uji yang berukuran 5 cm x (5 cm + 2.4t cm) diukur tebal dan lebarnya, kemudian diletakan pada alat uji dengan beban berada ditengah bentang. Pembebanan dilakukan dengan laju pembebanan tidak melebihi 150 kg/cm2 permenit (atau 6 mm/mm pada mesin UTM merk Instron). Posisi contoh uji dan letak beban dapat dilihat pada Gambar 4.
7
Gambar 4 Posisi contoh uji dan letak beban Keteguhan lentur statis berupa modulus patah (MOR) dan modulus elastisitas (MOE) dapat dihitung dengan persamaan:
Keterangan : MOR MOE P Pm Y b h l
(
)
(
)
= Modulus patah = Modulus elastisitas (kekakuan) = Beban sampai batas proporsional (kg) = Beban maksimal (kg) = Defleksi yang terjadi (cm) = Lebar contoh uji (cm) = Tabal contoh uji (cm) = Panjang bentang (cm) Prosedur Analisis Data
Proses pengolahan data penelitian ini dilakukan dengan Microsoft excel 2010 dan SPSS 16.0. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan uji faktorial, terdiri dari dua faktor, yaitu faktor A: jenis perekat dengan dua taraf; A1 dan A2, faktor B: corak anyaman dengan empat taraf; B1, B2, B3, dan B4. Pengulangan dilakukan sebanyak lima kali. Model umum rancangannya untuk semua pengujian adalah sebagai berikut: Yijk = μ + Ai + Bj + ABij +εijk Keterangan : Yijk = nilai respon dari unit percobaan yang mendapat perlakuan jenis perekat ke-i, dan jenis corak anyaman ke-j pada ulangan ke-k µ = nilai rata-rata sebenarnya Ai = pengaruh perlakuan jenis perekat pada taraf ke-i Bj = pengaruh perlakuan jenis corak anyaman pada taraf ke-j
8 ABij
= pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapat perlakuan jenis perekat ke-i, dan jenis corak anyaman ke-j ε(ijk) = nilai galat (kesalahan percobaan) dari unit percobaan yang mendapatkan perlakuan jenis perekat ke-i, dan jenis corak anyaman ke-j pada ulangan ke-k Untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Pengujian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui taraf perlakuan mana yang berpengaruh di antara faktor perlakuan dan kombinasi perlakuan. Hasil penelitian dari seluruh perlakuan akan dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Penentuan Bambu Lapis Terbaik Penentuan bambu lapis terbaik hasil penelitian ini dilakukan dengan cara menyesuaikan hasil pengujian terhadap standar SNI 01-5008.2-2000 dan melakukan analisis skoring berdasarkan parameter pengujian kadar air, kerapatan, stabilitas dimensi, keteguhan rekat, dan keteguhan lentur statis. Nilai yang diberikan atas kesesuaian nilai terhadap standar SNI diberikan poin 1 dan jika terdapat poin yang sama, maka diambil nilai rata-rata pada setiap pengujian. Nilai dengan jumlah atau rata-rata tertinggi merupakan bambu lapis dengan kualitas terbaik dan sebaliknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Kadar air menunjukkan banyaknya jumlah air yang terdapat pada dinding bambu lapis terhadap berat kering tanurnya yang dinyatakan dalam persen. Kadar air dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya terutama kelembaban udara. Kadar air bambu lapis hasil pengujian berkisar antara 8.83-15.91%, untuk SNI 01-5008.2-2000 mensyaratkan kadar air papan untuk penggunaan umum maksimum 14%. Sehingga dapat dilihat pada Gambar 5, bambu lapis dengan perekat PVAc belum memenuhi standar SNI.
.
Gambar 5 Nilai kadar air bambu lapis
9 Hasil pengujian menunjukkan panel bambu terbaik dengan nilai kadar air terendah yaitu pada perekat MDI dengan corak anyaman tindih 2, sedangkan kadar air tertinggi pada penggunaan perekat PVAc dengan corak anyaman miring. Berdasarkan analisis keragaman (anova), jenis perekat sangat berpengaruh nyata terhadap kadar air bambu lapis, sedangkan perlakuan corak anyaman dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Tingginya kadar air pada panel bambu PVAc diduga karena masih terdapat kandungan air yang belum menguap dan terperangkap di dalam anyaman dan juga faktor kekentalan campuran perekat yang kami buat. Menurut penelitian Kristiyanti (2004), faktor yang mempengaruhi tingginya kadar air panel bambu yaitu faktor kekentalan perekat yang menyulitkan dalam proses pendistribusiannya menyebabkan ada sebagian permukaan vinir yang miskin perekat dan mengakibatkan kekuatan adhesi yang terbentuk antara perekat dengan permukaan panel melemah dan menimbulkan rongga-rongga kosong yang memungkinkan air untuk menyerap ke dalam. Nilai kekentalan pada campuran PVAc dengan air yaitu 4.5 Poise dan campuran MDI dengan toluena 4 Poise. Semakin tinggi kekentalan, maka kemampuan untuk membasahi atau berpenetrasi kedalam void permukaan sirekat akan semakin sulit. Namun, jika kekentalan terlalu rendah, maka penetrasi perekat kedalam permukaan void sirekat akan berlebihan dan menyebabkan miskinnya garis rekat yang terbentuk (Ruhendi 2007). Kerapatan Kerapatan bambu lapis berdasarkan pengujian berkisar antara 0.41-0.68 g/cm³. Nilai kerapatan tertinggi terdapat pada bambu lapis dengan perekat MDI bercorak miring, dan nilai kerapatan terendah pada bambu lapis dengan perekat PVAc bercorak tindih 1. SNI (2000) tidak mempersyaratkan nilai kerapatan dalam kriteria standar kayu lapis penggunaan umum sehingga sampai saat ini belum ada batasan yang jelas mengenai nilai kerapatan yang dapat menghasilkan bambu lapis yang berkualitas baik. Nilai kerapatan untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Nilai kerapatan bambu lapis
10 Berdasarkan analisis keragaman (anova), jenis perekat dan corak anyaman memiliki pengaruh nyata sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan bambu lapis. Tinggi rendahnya kerapatan bambu lapis diduga karena ada pengaruh dari kerapatan jenis bambu dan jenis perekat yang digunakan. Bambu betung mempunyai kisaran kerapatan sebesar 0.66-0.86 g/cm3 (Syafii 1984; Krisdianto et al. 2006; Suryana et al. 2009; Suryana et al. 2010). Perekat juga memiliki kerapatan yang berbeda setiap jenisnya, perekat MDI memiliki Berat Jenis (BJ) dengan kisaran 1.15-1.20 sedangkan perekat PVAc dengan BJ 1.10-1.20 (Pizzi 1994; Frihart 2005; PAI 2007). Dengan nilai BJ perekat MDI yang lebih tinggi, maka sangat logis jika nilai kerapatan yang dihasilkan pun tinggi. Semakin tinggi nilai kerapatan maka semakin baik kekuatannya. Pola anyaman miring pada saat disusun menjadi tiga lapis hampir membentuk saling tegak lurus antar lapisannya, sehingga antar lapisan yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan dan menghasilkan kerapatan yang tinggi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis bercorak tindih 2 berbeda nyata terhadap bambu lapis yang bercorak kajang dan miring. Namun kerapatan bambu lapis bercorak tindih 2 tidak berbeda nyata dengan bambu lapis bercorak tindih 1. Stabilitas Dimensi Stabilitas dimensi bambu lapis terhadap keadaan lingkungan sekitar dapat diketahui dalam nilai pengembangan dan penyusutan dimensi bambu lapis. Menurut Dewi (2010), urutan pengembangan dimensi pada bambu dari yang terbesar adalah bagian tebal, lebar, dan panjang. Pengembangan dan penyusutan dimensi bambu lapis pada bagian tebal lebih besar dibandingkan pengembangan dimensi pada bagian lebar dan panjangnya disebabkan oleh sifat anatomi bambu. Bambu lapis yang direkat menggunakan perekat PVAc pada semua tipe anyaman tidak dilakukan pengujian kembang susut, dikarenakan sifat perekat PVAc yang lemah terhadap daya ketahanan air, dimana akan mengakibatkan ikatan antara perekat dengan bilah bambu terlepas pada saat dilakukan perendaman. Sehingga pengujian ini hanya dilakukan pada bambu lapis dengan perekat MDI dan pada dimensi tebal saja. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan bambu lapis terhadap kelembaban dan cuaca lingkungan sekitar. Nilai kembang susut untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan analisis keragaman (anova), perlakuan corak anyaman tidak berpengaruh terhadap pengembangan dan penyusutan bambu lapis. Hasil pengujian menunjukkan rata-rata pengembangan tebal bambu lapis berkisar antara 10.03-11.10%, dan rata-rata penyusutan tebal bambu lapis berkisar antara 5.537.34%. Nilai pengembangan terbesar pada corak anyaman tindih 1, sedangkan penyusutan terbesar pada corak anyaman miring.
11
Gambar 7 Nilai pengembangan dan penyusutan bambu lapis Pengembangan dan penyusutan dimensi terjadi karena adanya perubahan kadar air dalam bambu di atas titik jenuh serat. Kecenderungan penyusutan dimensi bambu lapis ini dapat pula disebabkan oleh sifat anatomi bambu. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu (Liese 1985). Bambu tidak mempunyai jari-jari pada arah radial (tebal), kecuali pada bagian yang berbuku. Tidak adanya jari-jari pada arah radial menyebabkan air dapat dengan mudah keluar melalui pori-pori dari bagian radial bambu sehingga penyusutan pada bagian tebal lebih besar dibandingkan penyusutan pada bagian panjang dan lebar (Fadli 2006). Keteguhan Rekat Hasil pengujian keteguhan rekat bambu lapis dengan perekat MDI berkisar antara 8.77-21.10 kg/cm², dan pada perekat PVAc antara 0.64-1.27 kg/cm². Berdasarkan SNI 01-5008.2-2000 nilai keteguhan rekat yang disyaratkan yaitu minimum 7 kg/cm². Sehingga dapat dilihat pada Gambar 8, bambu lapis dengan perekat PVAc belum memenuhi standar SNI.
Gambar 8 Nilai keteguhan rekat bambu lapis
12 Berdasarkan analisis keragaman (anova), jenis perekat memiliki pengaruh nyata sedangkan corak anyaman dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap keteguhan rekat bambu lapis. Rendahnya nilai keteguhan rekat pada bambu lapis dengan perekat PVAc diduga karena tingginya kadar air yang menyebabkan kekuatan rekatnya sangat rendah dan menyebabkan terjadinya renggangan ikatan antar bilah bambu, sehingga ikatan antar lapisan face, core, dan back pada bambu lapis terlepas. Faktor kekentalan juga mempengaruhi nilai keteguhan rekat, semakin tinggi nilai kekentalan maka kemampuan untuk membasahi atau berpenetrasi kedalam void permukaan sirekat akan semakin sulit. Perekat PVAc dan campuran air menghasilkan nilai kekentalan 4.5 Poise yang mana lebih besar dari campuran perekat MDI dan toluena. Dengan metode pencelupan yang dilakukan, perekat terdistribusi secara merata ke seluruh permukaan namun perekat yang berpenetrasi terlalu sedikit sehingga menyebabkan miskinnya garis rekat yang terbentuk. Perekat dengan pH rendah juga mempunyai kesulitan dalam pembasahan dan menempel pada permukaan (Wellons 1980). Modulus of Ellasticity (MOE) Modulus of Elasticity (MOE) dinyatakan sebagai suatu besaran yang menunjukkan sifat kekakuan bahan atau material. Sifat kekakuan tersebut merupakan ukuran kemampuan suatu benda untuk menahan perubahan bentuk atau lenturan yang terjadi akibat pembebanan dan hanya berlaku sampai batas proporsi (Bowyer et al. 2003). Pengujian MOE bambu lapis tidak menggunakan sampel uji keteguhan lentur bentang sejajar serat permukaan maupun keteguhan lentur sejajar serat lapisan inti, karena sampel uji panel bambu dianyam dengan pola yang sama tiap lapisannya, maka pengambilan sampel uji tidak berpengaruh pada kesejajaran serat. Nilai MOE untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Nilai MOE bambu lapis
13 Berdasarkan analisis keragaman (anova), jenis perekat dan corak anyaman memiliki pengaruh nyata sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap MOE bambu lapis. Hasil pengujian MOE berkisar anatara 2169-6463 kg/cm², untuk SNI 01-5008.2-2000 mensyaratkan nilai MOE kayu lapis minimum 80000 kg/cm². Maka dapat dikatakan nilai ini belum memenuhi standar SNI. Bambu lapis dengan perekat PVAc memiliki sifat fisis yang rendah sehingga berdampak pada kekuatan mekanis yang juga rendah. Corak anyaman tindih 2 memiliki nilai MOE yang lebih tinggi dari corak lainnya, hal ini disebabkan karena pada lapisan belakang bambu lapis memiliki kemampuan menahan gaya tarik lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya sebagai akibat dari kuatnya ikatan antara bilah bambu penyusun anyaman (Kusumah et al. 2012). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kerapatan bambu lapis bercorak tindih 1 berbeda nyata terhadap bambu lapis yang bercorak kajang dan tindih 2, namun tidak berbeda nyata dengan bambu lapis bercorak miring. Modulus of Rupture (MOR) Modulus of Rupture (MOR) atau keteguhan patah ditentukan dari beban maksimum yang dapat diangkat atau disangga oleh suatu bahan per satuan luas sampai material tersebut patah (Bowyer et al. 2003). MOR bambu lapis berdasarkan pengujian berkisar antara 163-525 kg/cm². Nilai MOR untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Nilai MOR bambu lapis Berdasarkan analisis keragaman (anova), jenis perekat memiliki pengaruh nyata sedangkan corak anyaman dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap MOR bambu lapis. Hasil pengujian menunjukkan nilai MOR panel bambu menggunakan perekat MDI memenuhi standar SNI 01-5008.2-2000 yaitu lebih dari 320 kg/cm², sedangkan menggunakan perekat PVAc belum memenuhi standar. Semakin tinggi nilai MOR, maka semakin tinggi nilai MOE bahan tersebut karena semakin kaku bahan tersebut, maka semakin kuat bahan tersebut. Tingginya nilai MOR pada bambu lapis dengan perekat MDI diduga karena perekat MDI memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari pada perekat lainnya dan perekat ini berbasis pada reaktifitas yang tinggi dari radikal isocyanate, ─N=C=O.
14 Ikatan dengan polaritas yang kuat dari senyawa yang juga membawa radikal ini tidak hanya mempunyai potensi daya rekat yang baik tetapi juga potensial untuk membentuk ikatan kovalen dengan substrat yang mempunyai gugus hidrogen reaktif (Marra 1992). Penentuan Bambu Lapis Terbaik Penentuan bambu lapis terbaik ditinjau dari kesesuaian nilai terhadap standar SNI 01-5008.2-2000 dan nilai rata-rata yang dihasilkan pada sifat fisis dan mekanis bambu lapis. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan perekat MDI pada bambu lapis memenuhi standar SNI, yaitu pada pengujian kadar air, keteguhan rekat, dan MOR. Sedangkan penggunaan perekat PVAc pada semua pengujian tidak memenuhi standar SNI. Untuk perlakuan jenis corak anyaman, corak anyaman tindih 2 memiliki jumlah nilai rata-rata tertinggi pada setiap pengujian dibandingkan corak anyaman kajang, miring dan tindih 1. Dapat disimpulkan bambu lapis yang direkat menggunakan perekat MDI bercorak anyaman Tindih 2 memiliki sifat fisis dan mekanis lebih baik dibandingkan dengan bambu lapis lainnya. Tabel 1 Data penentuan bambu lapis terbaik Parameter Pengujian
Jenis Perekat MDI PVAc
Kerapatan
MDI
Kadar Air
PVAc MDI PVAc
Stabilitas Dimensi Keteguhan Rekat
MDI PVAc MDI PVAc
MOE
MDI
MOR
PVAc Jumlah Keterangan : ( standar SNI
Kajang ( 15.31) x ( 9.00) x x x ( 494) x 518.31
Jenis Corak Anyaman Miring Tindih 1 (15.91) (14.12) x X (8.77) (21.10) x X x X x X (444) (414) x X 468.68 449.22
Tindih 2 (15.81) X (9.09) x x x (525) x 549.9
) memenuhi standar SNI, (x) tidak memenuhi standar SNI, (-) tidak memakai
15
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kualitas bambu lapis menggunakan perekat MDI memiliki sifat fisis dan mekanis lebih baik dibandingkan perekat PVAc. Uji kadar air, keteguhan rekat, dan MOR pada penggunaan perekat MDI memenuhi standar SNI 01-5008.2-2000, sedangkan pada penggunaan perekat PVAc pada semua pengujian tidak memenuhi standar SNI 01-5008.2-2000. Corak anyaman Tindih 2 memiliki kualitas lebih baik dibandingkan corak lainnya. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk penggunaan bambu dan perekat jenis lain serta komposisi antara perekat dengan pelarut untuk meningkatkan sifat mekanis bambu lapis. Untuk bambu lapis yang menggunakan perekat PVAc disarankan untuk menggunakan pelarut air yang lebih sedikit, ataupun pelarut jenis lain.
DAFTAR PUSTAKA Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science. 4th ed. Iowa (50014) : Iowa State Pr, A Blackwell Publishing Company. Dewi R. 2010. Sifat fisis dan mekanis bambu lapis dari bambu tali (Gigantochloa apus (J.A & J. H. Schultes) Kurz) dengan sambungan jahit dan lakban kertas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fadli MT. 2006. Sifat fisis dan mekanis bambu lapis dari bambu andong (Gigantochloa verticillata (Wild.) Munro) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Frihart CR. 2005. Wood adhesion and ahesives. Di dalam : Rowel RM, editor. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composite. Washington (US): CRC Pr. Chap 9. Kristiyanti. 2004. Pengaruh jumlah jahitan dan perekat terhadap sifat fisis dan keteguhan rekat bambu lapis dari bambu tali (Gigantochloa Apus (J.A & 34 J.H Schultes) Kurz) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Krisdianto, Sumarni G, Ismanto A. 2006. Sari hasil penelitian bambu [Internet]. [diunduh 2014 Mar 06]. Tersedia pada: http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/1174. Kusumah SS, Suryana J, Massijaya MY, Prayoga EP. 2012. Determinasi corak anyaman dan jenis bambu dalam pembuatan bambu lapis berkualitas tinggi Proceeding MAPEKI XV; 2012 Nov 6-7; Makassar. Makassar (ID): Universitas Hasanudin Liese W. 1985. Anatomy of Bamboo. Proceeding Workshop Bamboo Research in Asia; 1980 May 28-30; Singapore. Ottawa (CA): International Development Research Center.
16 Marra AA. 1992. Technology of Wood Bonding: Princilpes in Practise. New York (US): Van Nostrand Reinhold. Noermalicha. 2001. Rekayasa rancangan bangun laminasi lengkungan bambu. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. PAI. 2007. Technical data revisi: 301/01/2007. Jakarta (ID): PT. Pamolite Adhesive Industry. Pizzi A. 1994. Advanced Wood Adhesive Technology. New York (US): Marcell Dekker Inc. Ruhendi S, Koroh DN, Syamani FA, Yanti H, Nurhaida, Saad S, Sucipto T. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Bogor (ID): IPB Pr. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2000. SNI 01-5008.2-2000. Kayu Lapis Penggunaan Umum. Indonesia. Badan Standar Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1999. SNI 01-5008.7-1999. Kayu Lapis Penggunaan Struktural. Indonesia. Badan Standar Nasional. Suryana J, Massijaya MY, Kusumah SS. 2009. Peningkatan Kualitas Bambu Lapis Unggulan Menggunakan Lima Jenis Perekat dari Tiga Jenis Bambu Indonesia. Kerjasama antara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suryana J, Massijaya MY, Kusumah S. 2010. Peningkatan Kualitas Bambu Lapis Unggulan sebagai Bahan Bangunan. Kerjasama antara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syafi’i LI. 1984. Pengujian sifat fisis dan mekanis contoh kecil bebas cacat beberapa jenis bambu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wellons JD. 1980. Wettability and gluability of doughlas-fir veneer. J Forest Products. 30(7):53-55.
17
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 19 Mei 1993 dari ayah Akhmad Ramli Lubis dan Ibu Rusdah. Penulis adalah putri pertama dari lima bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Insan Kamil Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi diantaranya anggota aktif Koperasi Mahasiswa (KOPMA) periode 2010/2012, anggota Divisi Kewirausahaan Himasiltan periode 2011/2012, bendahara Divisi Eksternal Himasiltan IPB periode 2012/2013 dan anggota aktif perkumpulan mahasiswa fotografi IPB SHUUTER periode 2013/2014. Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitian diantaranya Forester Cup, Bina Corps Rimbawan, Himasiltan Goes to Field, The 4th Fortex, KOMPAK, dan Upgrading Himasiltan pada tahun 2012, Pembagian Jas Almet pada tahun 2011, The 4th Fortex pada tahun 2013, dll. Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2012 di Gunung Papandayan dan Sancang Barat, dan melakukan kegiatan Praktek Pengolahan Hutan (PPH) pada tahun 2013 di Hutan Pendidikan Gunung Walat, KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan PGT Sindangwangi. Kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) dilakukan pada tahun 2014 di Divisi Industri Kayu Brumbung, Perhutani Regional 1 Jawa tengah.