JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN:1-6
1
STUDI PEMBUATAN KARBON HITAM DARI BAMBU ORI (Bambusa arundinacea) DAN BAMBU PETUNG (Dendrocalamus asper) Firdausi Gani Salihati dan Hosta Ardhyananta Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak- Bambu memiliki kadar karbon dan oksigen melebihi 90% dari berat keseluruhan. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, saat ini kebutuhan karbon hitam nasional mencapai 240.000 metrik ton per tahun. Akan tetapi, industri baru bisa memenuhi permintaan pasar sebanyak 150.000 metrik ton per tahun. Maka dari itu dilakukan penelitian untuk mempelajari penggunaan bambu sebagai bahan dasar pembuat karbon hitam. Bambu merupakan alternatif penghasil karbon hitam yang tepat karena merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Penelitian ini melakukan pembuatan karbon hitam dari bambu ori (Bambusa arundinacea) dan bambu petung (Dendrocalamus asper). Karbon hitam dari bambu dapat dihasilkan dari pemanasan dengan furnace dengan temperatur pemanasan 300oC, 500oC, 800oC dengan waktu tahan 1 jam. Kemudian dikarakterisasi menggunakan XRD, TGA, Konduktivitas Listrik, Kalorimetri, BET, dan SEM. Dari hasil uji XRD, Karbon hitam terbentuk pada temperatur pemanasan 800oC. Dari hasil uji SEM pada morfologi bambu terdapat pori – pori. Dari hasil uji BET dapat diketahui ukuran pori-pori. Ketahanan termal yang tinggi ditunjukkan pada bambu petung dengan divakum pada temperatur 800oC. Hasil pengujian kalorimetri yang tertinggi dihasilkan oleh bambu petung dengan atmosfer argon pada temperatur 500oC. Konduktivitas listrik tertinggi pada bambu petung atmosfer argon temperatur 800oC. Kata Kunci : bambu ori, bambu petung, karbon hitam.
I. PENDAHULUAN arbon hitam terbentuk melalui pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil, biofuel, dan biomassa. Ini terdiri dari karbon murni dalam beberapa bentuk terkait. Karbon hitam merupakan konstituen penting baik dalam pencemaran serta dalam perspektif perubahan iklim. Konsentrasi SM di daerah perkotaan dapat menyebabkan efek merusak kesehatan dan mengotori lingkungan [1]. Bambu adalah jenis biomassa yang telah banyak dibudidayakan di barat dan selatan Cina. Saat ini, sumber daya bambu sangat berlimpah dan luas areal bambu sekitar lima juta hektar dan dari Moso bambu (Phyllostachys heterocycla) adalah sekitar 3 juta hektar di Cina. Bambu, seperti kayu,tersusun dari hemiselulosa, selulosa dan lignin. Ini memiliki potensi besar sebagai sumber daya bio-energi masa depan di Cina [2]. Sehubungan dengan uraian diatas, dilakukan penelitian untuk mempelajari penggunaan bambu sebagai bahan dasar pembuat karbon hitam, karena bambu di Indonesia sangat mudah didapatkan. Bambu merupakan keluarga dari anggota batang kayu-rumput yang mencakup kira-kira 1250 spesies dengan 75 generasi di dunia, bambu memiliki kadar karbon dan oksigen melebihi 90% dari berat [3].
K
Karbon hitam diaplikasikan sebagai sel dalam bahan bakar, lithium ion baterai sekunder, penyimpanan hidrogen, sensor kimia, perangkat elektronik skala nano, dan supercapacitors [4][5]. Karbon hitam diproduksi dalam industri dengan menggunakan proses tungku atau proses termal dari bahan bakar fosil [6][7]. Penelitian sebelumnya telah melakukan penelitian tentang karbon hitam dari bambu dengan menggunakan muffle furnace dan mendapatkan hasil pada temperatur 300 oC karbon hitam dari bambu petung mulai terbentuk dan spesimen berubah warna menjadi hitam secara merata. Tetapi, bambu terbakar habis ketika dipanaskan hingga temperatur 800 oC selama 95 menit. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan pembuatan karbon hitam dari bambu petung dan bambu ori dengan menggunakan furnace dengan atmosfer vakum dan atmosfer gas argon pada temperatur 300oC, 500oC dan 800oC dalam chamber agar pembentukan karbon dapat lebih homogen. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh temperatur karbonisasi terhadap karakteristik karbon hitam bambu ori (Bambusa arundinacea) dan bambu petung (Dendrocalamus asper) serta menganalisa pengaruh atmosfer udara, argon dan vakum karbonisasi terhadap karakteristik karbon hitam bambu ori (Bambusa arundinacea) dan bambu petung (Dendrocalamus asper). II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan material bambu. Bambu yang digunakan berasal dari jawa timur, Indonesia yaitu bambu ori dan bambu petung. Material tersebut dipanaskan menggunakan variasi atmosfer pemanasan, yaitu pemanasan biasa, pemanasan atmosfer argon dan pemanasan atmosfer vakum di dalam chamber pada temperatur 300, 500, dan 800oC. Masing-masing diberi waktu tahan selama 1 jam. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian TGA, XRD, SEM, BET, Kalorimetri, dan konduktivitas listrik. Pengujian TGA digunakan untuk mengukur kehilangan bobot dengan maksud untuk memprediksi pengaruh pemanasan terhadap karakteristik arang yang dihasilkan. Alat TGA yang digunakan adalah Mettler Tolledo STARe System. Pengujian ini menggunakan standar ASTM E 1131 [8]. Pengujian XRD digunakan untuk mengidentifikasi senyawa. Pengujian SEM digunakan untuk menganalisa morfologi dan ukuran partikel sampel. Alat XRD yang digunakan adalah X’pert Pro PANalytical PW 3040/60 X’Pert PRO Instrumen Enclosure, sedangkan alat pengujian SEM yang digunakan yaitu FEI
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN:1-6 INSPECT S50. Alat-alat pengujian tersebut berada di Jurusan Teknik Material dan Metalurgi ITS. Pengujian BET digunakan untuk mengetahui besar luas permukaan aktif pada suatu sampel (m2/g). Alat yang digunakan adalah mesin BET Quantrachrome Autosorb iQ yang berada di jurusan Teknik Kimia ITS. Pengujian kalorimetri digunakan untuk mengetahui nilai kalor yang dihasilkan pada sampel. Alat yang digunakan berada di Gedung Robotika ITS yaitu Bomb Calorimeter IKA C200. Pengujian ini menggunakan standar ASTM D 2015. Pengujian Konduktivitas Listrik menggunakan alat digital multimeter, digunakan untuk menganalisa konduktivitas listrik suatu bahan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Efek Preparasi Terhadap Pembentukan Karbon Hitam
Bambu Petung Tabel 1 menujukkan pengaruh temperatur pemanasan dengan atmosfer gas argon pada variasi temperatur 300, 500, dan 800oC. Gambar 1 menunjukkan bambu petung setelah pemanasan dengan atmosfer argon. Bambu petung dengan temperatur pemanasan 300oC belum terbentuk karbon yang homogen karena bambu belum mengalami proses karbonisasi dengan menunjukkan perubahan warna bambu menjadi coklat, sehingga bentuknya masih padat dan berat sisa yang dihasilkan 63,9%. Pada temperatur 500oC, bambu mengalami proses karbonisasi karena karbon yang terbentuk sudah homogen tetapi masih keras dan padat. Berat sisa yang dihasilkan pada pemanasan temperatur ini 32,36%. Bambu yang telah terbentuk karbon yang homogen juga terjadi pada temperatur pemanasan 800oC, tetapi bambu lebih rapuh dan berat sisa yang dihasilkan 29,74%. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi temperatur pemanasan, semakin homogen karbon yang terbentuk tetapi semakin sedikit berat sisa yang dihasilkan. Tabel.1 Efek Temperatur Pemansan Dengan Atmosfer Gas Argon Terhadap Pembentukan Karbon Hitam Bambu Petung Temperatur Pemanasan (oC)
Massa Awal (Gr)
Massa Akhir (Gr)
Berat Sisa (%)
300
5,68
3,63
63,9
500
5,50
1,78
32,36
800
5,48
1,63
29,74
a
b
Visual Warna bambu menjadi kecoklatan, karbon terbentuk homogen, masih padat dan keras Karbon yang terbentuk sudah homogen, bentuk masih padat agak rapuh Karbon yang terbentuk sudah homogen, bentuk padat tapi rapuh
2
c
Gambar 1. Bambu Petung Atmosfer Argon Temperatur: (a) 300oC, (b) 500oC, (c) 800oC
Tabel 2 menujukkan pengaruh atmosfer pemanasan terhadap pembentukan karbon hitam bambu petung pada temperatur 800oC. Gambar 2 menunjukkan bambu petung dengan pemanasan atmosfer argon, udara dan vakum. Pada penelitian, bambu yang digunakan adalah bambu petung dengan tiga perlakuan, yaitu pemanasan biasa, pemansan dengan atmosfer gas argon dan pemanasan dengan atmosfer vakum. Ketiga bambu memiliki bentuk fisik yang menyerupai satu sama lain karena pada ketiga bambu telah terbakar sempurna dan terbentuk karbon yang homogen, yang berbeda hanya pada berat sisa yang dihasilkan. Pada bambu dengan pemanasan biasa, berat sisa yang dihasilkan 20%. Sedangkan pada bambu dengan atmosfer gas argon dan atmosfer vakum masing memiliki berat sisa 29,74% dan 24%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bambu petung dengan atmosfer gas argon memiliki berat sisa yang lebih banyak. Tabel 2. Efek Atmosfer Pemanasan Terhadap Pembentukan Karbon Hitam Bambu Petung Atmosfer
Massa Awal (Gr)
Massa Akhir (Gr)
Berat Sisa (%)
Bambu Petung Argon
5,48
1,63
29,74
Bambu Petung
5,35
1,09
20
Bambu Petung Atmosfer vakum
5,61
1,35
24
a
b
Visual Karbon yang terbentuk sudah homogen, bentuk padat tapi rapuh Karbon yang terbentuk sudah homogen, bentuk padat tapi rapuh Bambu terbakar, tetapi bentuk masih padat dan karbon yang terbentuk sudah homogen
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN:1-6
c
Gambar 2. (a) Bambu Petung Atmosfer Argon (b) Bambu Petung Atmosfer Udara (c) Bambu Petung Atmosfer Vakum
Tabel 3 menujukkan pengaruh bambu petung dan bambu ori terhadap pembentukan karbon hitam. Jika diamati secara makro, bentuk fisik keduanya dengan temperatur yang sama tidak memiliki perbedaan yang signifikan, yang membedakan hanya berat sisa yang dihasilkan, meskipun hanya memiliki sedikit perbedaan. Pada temperatur 300oC, bambu petung dan bambu ori memiliki berat sisa 44% dan 41,15%, sedangkan pada temperatur 500oC bambu petung dan bambu ori masingmasing memiliki berat sisa 18,9% dan 19%. Pada temperatur 800oC bambu petung memiliki berat sisa 16,8% dan pada bambu ori memiliki berat sisa 16%.
3 B. Karakteristik Struktur Kimia Karbon Gambar 3 menunjukkan hasil pengujian XRD. Hasil pengujian XRD bambu ori sebelum perlakuan (BO.SP) mempunyai kesamaan puncak yang dihasilkan dengan bambu petung sebelum perlakuan (BP.SP) yaitu pada puncak 15o dan 22o dengan struktur selulosa yang sesuai dengan kartu JCPDS nomor 50-2184 dengan orientasi kristal selulosa. Tetapi, semakin tinggi temperatur maka intensitas puncak semakin menurun yang berakibat pada perubahan struktur selulosa menjadi CO 2 pada bambu petung atmosfer argon dengan temperatur karbonisasi 300oC (BP.A3) dan 500oC (BP.A5) o o dengan puncak tertinggi masing-masing 21 dan 30 yang ditunjukkan pada kartu JCPDS nomor 44-0558 dengan orientasi kristal (222) dan kartu JCPDS nomor 76-2378 dengan orientasi kristal (002). Lalu pada saat bambu petung (BP.A8) dan bambu ori atmosfer argon mencapai temperatur 800oC (BO.A8) struktur berubah menjadi C dengan puncak 26o. Sedangkan pada bambu petung dengan atmosfer vakum (BO.V8) terbentuk grafit dengan puncak 21o yang sesuai dengan kartu JCPDS nomor 30-0609.
Tabel 3. Efek Jenis Bambu Terhadap Pembentukan Karbon Hitam Jenis Bambu
Temperatur Pemanasan (oC)
300
Massa Awal (Gr)
5,13
Massa Akhir (Gr)
2,26
Bambu Petung 500
5,34
1,01
800
5,35
0,9
300
5,03
2,07
500
5,10
0,97
800
4,97
0,8
Bambu Ori
Berat Sisa (%)
Visual
Warna bambu menjadi kecoklatan, karbon 44 terbentuk homogen, masih padat dan keras Karbon yang terbentuk sudah homogen, 18,9 bentuk masih padat agak rapuh Karbon yang terbentuk sudah 16,8 homogen, bentuk padat tapi rapuh Warna bambu menjadi kecoklatan, karbon 41,15 terbentuk homogen, masih padat dan keras Karbon yang terbentuk sudah homogen, 19 bentuk masih padat agak rapuh Karbon yang terbentuk sudah 16 homogen, bentuk padat tapi rapuh
Gambar 3. Spektra XRD Bambu
C. Stabilitas Termal Karbon Hitam Bambu 1. Hasil Pengujian TGA Gambar.4 menunjukkan kurva efek temperatur karbonisasi dengan atmosfer gas argon terhadap pembentukan karbon hitam bambu petung. Dari kurva tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi temperatur karbonisasi semakin tinggi stabilitas termal material tersebut. Pada bambu petung dengan atmosfer argon pada temperatur karbonisasi 300oC terjadi pengurangan massa pada temperatur 250oC karena pada saat pemanasan pada temperatur 300oC bambu masih memiliki kandungan air yang tinggi sehingga pada saat dilakukan pengujian ini kadar air nya menguap dan terjadi penurunan yang signifikan pada kurva tersebut. Pada bambu petung dengan atmosfer argon pada temperatur 500oC mulai terjadi pengurangan massa pada temperatur 130oC, namun pada temperatur 550oC terjadi penurunan kembali karena terjadi degradasi pada selulosa [9]. Sedangkan pada bambu petung dengan atmosfer gas argon pada temperatur 800oC mulai terjadi pengurangan massa pada temperatur 150oC selanjutnya tidak terjadi penurunan yang signifikan karena saat pemanasan pada temperatur 800oC sudah tidak ada kandungan air dan volatile yang terkandung di dalam karbon hitam. Pada temperatur pemanasan 100-150oC kandungan air pada bambu menguap, hingga temperatur 200-240oC terjadi
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN:1-6 penguraian hemiselulosa dan selulosa menjadi CO dan CO 2 . Selulosa terdegradasi menjadi ikatan C-O dan C-C. Pada temperatur 280oC lignin terurai dan gas CO, CH 4 dan H 2 meningkat. Karbon hitam mulai terbentuk pada temperatur lebih dari 400oC.
4 pemanasan, selulosa yang terdapat pada bambu petung lebih banyak yang terdegradasi daripada bambu ori. 100
80
Weight Loss (%)
100
weight loss (%)
80
Bambu Ori Argon 800oC
40
Bambu Petung Argon 800oC
60
20 40
o
bambu petung argon 300 C bambu petung argon 500 oC bambu petung argon 800 oC
20
0 0
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
temperatur (oC)
Gambar 4. Efek Temperatur Pemanasan Dengan Atmosfer Gas Argon Terhadap Pembentukan Karbon Hitam Bambu Petung
Gambar 5 menunjukkan efek atmosfer karbonisasi terhadap pembentukan karbon hitam bambu petung. Bambu yang dipanaskan hingga temperatur 800oC sudah tidak memiliki kandungan air dan kadar pengotor yang sangat sedikit. Namun, bambu petung dengan pemanasan atmosfer argon kehilangan massa paling banyak dibandingkan dengan bambu petung pemanasan atmosfer vakum dan pemanasan atmosfer udara, hal ini dikarenakan terjadi pemanasan yang lebih sempurna. Pemanasan dengan atmosfer vakum membuat karbon hitam menjadi lebih kering sehingga saat dilakukan pengujian TGA sangat sedikit massa yang berkurang. 100
80
Weight Loss (%)
60
bambu petung vakum 800oC bambu petung 800oC bambu petung argon 800oC
0 0
100
200
300
400
500
300
400
500
600
700
800
900
Pada Gambar 7 menunjukkan kurva perbandingan antara bambu petung petung dengan kulit dengan atmosfer gas argon pada temperatur 800oC dan bambu petung tanpa kulit dengan atmosfer gas argon pada temperatur 800oC, dari kedua bambu tersebut menujukkan bahwa bambu petung dengan kulit memiliki stabilitas termal yang lebih tinggi Serat bambu terdiri dari lapisan-lapisan serat yang mana tiap lapisannya diselimuti oleh lignin. Sehingga, serat bambu yang dekat dengan kulit komposisi selulosanya lebih tinggi dan ligninnya lebih sedikit dibandingkan serat bambu yang jauh dari kulit. Sebaliknya, serat bambu yang jauh dari kulit memiliki komposisi selulosa yang lebih sedikit dan komposisi lignin yang lebih banyak dibandingkan dengan serat bambu bagian atas. [10] 100
20
200
Gambar 6. Efek Jenis Bambu Terhadap Pembentukan Karbon Hitam pPrbandingan Bambu Ori Tanpa Kulit Dengan Atmosfer Gas Argon Dan Bambu Petung Tanpa Kulit Dengan Atmosfer Gas Argon Pada Temperatur 800oC
80
40
100
Temperatur (oC)
0
weight loss (%)
60
600
700
800
900
60
Bambu Petung Argon 800oC Bambu Petung Kulit Argon 800oC
40
20
temperatur (oC) 0
Gambar 5. Efek Atmosfer Pemanasan Terhadap Pembentukan Karbon Hitam Bambu Petung
Pada Gambar 6 menunjukkan kurva perbandingan antara bambu ori tanpa kulit dengan atmosfer gas argon pada temperatur 800oC dan bambu petung tanpa kulit dengan atmosfer gas argon pada temperatur 800oC, dari kedua bambu tersebut dapat diketahui bahwa pengurangan massa bambu ori lebih rendah dibandingkan dengan bambu petung. Dikarenakan kadar selulosa pada bambu petung lebih banyak daripada kadar selulosa pada bambu ori, sehingga saat
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Temperatur (oC)
Gambar 7. Efek Jenis Bambu Terhadap Pembentukan Karbon Hitam Perbandingan Bambu Petung Dengan Kulit Dengan Atmosfer Gas Argon Dan Bambu Petung Tanpa Kulit Dengan Atmosfer Gas Argon Pada Temperatur 800oC
Berdasarkan hasil pengujian TGA pada Tabel 4, bambu petung dengan atmosfer vakum pada temperatur karbonisasi 800oC memiliki stabilitas termal yang tertinggi karena massa yang berkurang kurang dari 5%.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN:1-6 Tabel 4. Sifat Thermal Karbon Hitam Bambu Material Bambu Petung T = 300 oC Dengan Atmosfer Gas argon Bambu Petung T = 500 oC Dengan Atmosfer Gas argon Bambu Petung T = 800 oC Dengan Atmosfer Gas argon Bambu Petung T = 800 oC Bambu Petung T = 800 oC Dengan Atmosfer vakum Bambu Petung Dengan Kulit T = 800 oC Dengan Atmosfer Gas argon Bambu Ori T = 800 oC Dengan Atmosfer Gas argon
T ( ̊C) 5% loss
T( C ̊ ) 10 % loss
Berat sisa (%wt) di T 800 ̊ C
308,5
320,33
47,27
546,67
667,5
86,35
542,83
799
91,01
-
-
98,67
-
-
99,65
-
-
97,32
799,83
-
95,09
5 konduktivitas listrik yang lebih tinggi yaitu sebesar 17,29 S/cm. Nilai konduktivitas arang material berbahan kayu ini terletak pada daerah nilai konduktivitas listrik yang dimiliki oleh material semikonduktor yaitu terletak pada nilai 10-8S/m sampai 103 S/m. Nilai konduktivitas listrik ini mendekati konduktivitas serbuk grafit yang termasuk material konduktor. Nilai konduktivitas listrik serbuk grafit yang pernah terukur yaitu sebesar 0,34x104 S/m. E. Morfologi Karbon Hitam Gambar 7 menunjukkan morfologi karbon dari bambu ori dan bambu petung dengan mengambil perbesaran gambar 2000x. Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa terdapat pori-pori yang terbentuk pada karbon hitam bambu ori dengan penambahan argon pada temperatur 800oC.
2. Hasil Pengujian Kalorimetri Berdasarkan hasil pengujian kalorimetri pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai kalor tertinggi yang dihasilkan pada bambu petung argon dengan atmosfer argon pada temperatur 500oC adalah 10924 Cal/g. Sedangkan nilai kalor terendah dihasilkan oleh bambu petung kulit dengan atmosfer argon pada temperatur 800oC. Dikarenakan Komponen kimia kayu penyumbang kalor terbesar adalah lignin. Namun pada temperatur 800oC kadar lignin yang terkandung pada bambu menurun. Oleh karena itu terjadi penurunan nilai kalo pada temperatur 800oC. Pembakaran bahan dengan kadar lignin tinggi akan menghasilkan nilai kalor yang tinggi.
a
b
c
d
Tabel 5. Kalorimetri Karbon Hitam Bambu
Bambu Petung T = 300 oC Dengan Atmosfer Gas argon
Kalorimetri (Cal/g) 9466
Bambu Petung T = 500 oC Dengan Atmosfer Gas argon
10924
Bambu Petung T = 800 oC Dengan Atmosfer Gas argon
6189
Bambu Petung T = 800 oC
6414
Material
o
Bambu Petung T = 800 C Dengan Atmosfer vakum Bambu Petung Dengan Kulit T = 800 oC Dengan Atmosfer Gas argon
e
6141 5686
D. Sifat Elektrik Tabel 6. Nilai konduktivitas listrik Material Bambu Ori T = 800 oC Dengan Atmosfer Gas argon Bambu Petung T = 800 oC Bambu Petung T = 300 oC Dengan Atmosfer Gas argon Bambu Petung T = 500 oC Dengan Atmosfer Gas argon Bambu Petung T = 800 oC Dengan Atmosfer Gas argon Bambu Petung T = 800 oC Dengan Atmosfer Vakum Bambu Petung Dengan Kulit T = 800 oC Dengan Atmosfer Gas argon
(Ω.mm)-
S/cm-
1
1
0,024 0,065
2,4 6,5
-
-
-
-
0,1729
17,29
0,1441
14,41
0,064
6,4
Tabel 6 menujukkan bahwa bambu petung dengan atmosfer argon pada temperatur 800oC memiliki nilai
Gambar 8. Hasil Pengujian SEM perbesaran 2000x: (a). Bambu Petung dengan Atmosfer Gas Argon Temperatur 800oC dan (b). Bambu Ori dengan Atmosfer Argon temperatur 800oC (c). Bambu Petung Temperatur 800oC dan (d). Bambu Petung Atmosfer Atmosfer vakum temperatur 800oC (e). Bambu Petung Sebelum Perlakuan
Pada umumnya pohon bambu memiliki lignin dan selulosa. Lignin pada bambu yaitu matriks, sedangkan selulosa pada bambu yaitu serat. Bambu petung dan ori menunjukkan adanya serat yang searah. Gambar serat yang searah menunjukkan bahwa bambu tersebut memiliki arah serat yang kontinyu dan homogen. Arah serat yang searah ini mengakibatkan bambu memiliki kekuatan diarah serat bambu. Selain itu juga terdapat matriks yang berbentuk cube. Pada
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2013) ISSN:1-6 matriks tersebut terbentuk pori-pori, baik pada bambu ori hijau maupun petung hijau. F. Ukuran Pori yang Terbentuk Dari Tabel 7 ditunjukkan bahwa luas permukaan dan ukuran pori terbesar dihasilkan oleh bambu petung dengan atmosfer argon pada temperatur 500oC yaitu 75,992 m²/g dan 0,126 cc/g. Berdasarkan hasil pengujian BET diketahui bahwa semakin tinggi temperatur maka semakin besar luas permukaan aktif dan volume pori yang terbentuk, tetapi ketika pada temperatur 800oC ukuran luas permukaan aktif dan volume pori menurun, dikarenakan saat mencapai temperatur 700oC terjadi kontraksi struktur pori pada suhu karbonisasi tinggi dan struktur pori akan menjadi terlalu kecil untuk diukur dengan analisis BET disebabkan menumpuknya poripori sehingga daerah yang menyerap N 2 menjadi berkurang [11]. Tabel 7. Hasil Pengujian BET Surface Spesimen Area (m²/g) Bambu Petung Atmosfer Argon Temperatur Karbonisasi 300oC 13,367 (BP.A3) Bambu Petung Atmosfer Argon Temperatur Karbonisasi 500oC 75,992 (BP.A5) Bambu Petung Atmosfer Argon Temperatur Karbonisasi 800oC 66,339 (BP.A8)
Pore Volume (cc/g)
Pore Diameter (nm)
0,025
3,349
0,126
3,851
0,110
3,851
IV. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi temperatur karbonisasi maka semakin tinggi stabilitas termal karbon hitam. Atmosfer gas argon, vakum dan udara karbonisasi mempengaruhi pembentukan karbon hitam dan berat sisa yang dihasilkan. Pada proses karbonisasi dengan atmosfer gas argon, hasil pemanasan nya lebih baik karena gas argon merupakan gas inert yang tidak mempengaruhi keberadaan gas lain yang ada di dalam tabung. Sehingga bambu terkarbonisasi tanpa adanya pengotor. Pada proses karbonisasi dengan atmosfer vakum membuat atmosfer di dalam tabung vakum sehingga kadar oksigen sebagai pembakar berkurang. Sehingga pembentukan karbon hitamnya tidak sebaik dengan penambahan gas argon. Proses karbonisasi atmosfer vakum menghasilkan karbon hitam dengan stabilitas termal yang paling tinggi. Bambu ori menghasilkan karbon hitam dengan stabilitas termal yang lebih tinggi daripada bambu petung. Semakin tinggi temperatur maka semakin tinggi luas permukaan dan diameter pori yang terbentuk.
6 DAFTAR PUSTAKA [1] Panicker, A.S., and Park, S. Observations of Black Carbon characteristics and radiative forcing over a Global Atmosphere Watch supersite in Korea. Atmospheric Environment Vol. 77 (98-104) (2013). [2] Liu, Z., and Jiang, Z. Effects of carbonization conditions on properties of bamboo pellets. Renewable Energy Vol. 51 Pg. 1-6 (2013) [3] Mui, Edward L.K., Cheung W.H., Valix M., and Mckay G.”Activated Carbons from Bamboo Scaffolding Usid Acid Activation”. Serparation and Purification Technology (74) 213-218 (2010). [4] Guo, X., and Kim, G.J.,. Ultrafine carbon black produced by pyrolysis of polyethylene using a novel DC-thermal plasma process. J. Phys. Chem. Solids, 69 (2008), pp. 1224–1227 [5] Jurcakova, D.H, and Seredych, D., Specific anion and cation capacitance in porous carbon blacks. Carbon, 48 (2010), pp. 1767–1778 [6] Phompan, W., and Hansupalak, N., Improvement of proton-exchange membrane fuel cell performance using platinum-loaded carbon black entrapped in crosslinked chitosan. J. Power Sources, 196 (2011), pp. 147–152 [7] Sansotera, M., and Navarrini, W.,. Preparation and characterization of superhydrophobic conductive fluorinated carbon blacks. Carbon, 48 (2010), pp. 4382–4390 [8] ASTM E1131 - 08 Standard Test Method for Compositional Analysis by Thermogravimetry [9] Cho, D., Kim, M.J., Kim, D.,. Phenolic resin infiltration and carbonization of cellulose-based bamboo fibers. Material Letters 104 (2013) 24-27 [10] C.A. Fuentes., L.Q.N. Tran., Dupont-Gillain., W.Vanderllinden., De Feyter., A.W. Van Vuure., L.Verpoest. “Wetting Behaviour and Surface Properties of Technical BambooFfibres”. Colloids and Surfaces A: Physicochem. Eng. Aspects 380 89–99 (2011). [11] WANG. R., “SURFACE PROPERTIES AND WATER VAPOR ADSORPTIONDESORPTION CHARACTERISTICS OF BAMBOO-BASED ACTIVATED CARBON”. JOURNAL OF ANALYTICAL AND APPLIED PYROLYSIS. (2012)