PEMANFAATAN BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) SEBAGAI BAHAN BAKU UNTUK PEMBUATAN KARBON AKTIF DENGAN AKTIVASI MENGGUNAKAN CO2 Rio Ferryunov Andie, Mahmud Sudibandriyo Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Kampus Baru UI, Depok 16424 E-mail:
[email protected] ;
[email protected]
Abstrak Adsorpsi umumnya dapat digunakan untuk penghilangan bau, warna, gas beracun, dan sebagainya. Adsorben yang umum dan banyak digunakan adalah karbon aktif. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan karbon aktif dari bambu betung sebagai bahan baku. Pemilihan bambu betung ini dikarenakan bambu betung merupakan tanaman yang sangat banyak ditemukan di Indonesia dan jumlahnya cukup berlimpah. Selain itu, bambu betung kaya akan kandungan karbon sehingga memiliki kriteria untuk dijadikan bahan baku pembuatan karbon aktif. Penelitian ini menggunakan gas CO 2 sebagai aktivator dengan melakukan variasi temperatur aktivasi, 800oC, 850oC, dan 900oC dan variasi laju alir gas CO2 200 ml/menit, 300 ml/menit, dan 400 ml/menit. Aktivasi dilakukan selama 1 jam. Bilangan iod tertinggi sebesar 475,25 mg/g diperoleh dengan melakukan variasi temperatur aktivasi 900 oC dan laju alir CO2 400 ml/menit. Sebagai pembanding, pada penelitian ini juga dilakukan pengujian bilangan iod terhadap karbon bambu sebelum aktivasi. Bilangan iod untuk karbon ini adalah 190,12 mg/g. Kata kunci: Adsorpsi, bilangan iod, karbon aktif, bambu, aktivasi, CO2.
Abstract Adsorption generally can be used for removal of odors, colors, toxic gases, etc. Adsorbent that common used is activated carbon. This research purpose to produce activated carbon from betung bamboo as raw material. The selection of betung bamboo as raw material because betung bamboo is a plant that very common in Indonesia and is quite abundant. In addition, betung bamboo has rich carbon content so that it has the criteria to be used as raw materials for activated carbon. This research using CO2 as an activator by varying the activation temperature, 800 oC, 850oC, and 900oC and variations of flow rate 200 ml/min, 300 ml/min, and 400 ml/min. Activation is done for 1 hour. Highest iodine number is 475,25 mg/g by varying the activation temperature 900oC and CO2 flow rate is 400 ml/min. In comparing, this research also test for iodine number of carbon before activation. Iodine number for this sample is 190,12 mg/g. Keywords: Adsorption, iodine number, activated carbon, bamboo, activation, CO2.
1. Pendahuluan Sekarang ini, permintaan akan karbon aktif semakin meningkat. Peningkatan permintaan karbon aktif disebabkan karena semakin banyaknya industri-industri yang berkembang, seperti industri kimia, makanan, dan obatobatan. Selain itu, seiring dengan perhatian
terhadap lingkungan seperti pengolahan limbahlimbah industri telah meningkatkan permintaan akan karbon aktif. Permintaan global terhadap karbon aktif diprediksi meningkat 10% setiap tahunnya dan pada tahun 2016, permintaan akan karbon aktif diperkirakan sekitar 1,9 juta metrik ton [1]. Karena permintaan karbon aktif yang cukup tinggi inilah, diperlukan cara untuk menghasilkan karbon aktif dengan bahan dasar
Pemanfaatn bambu..., Rio Ferryunov Andie, FT UI, 2013
yang keberadaannya melimpah dan bahan baku tersebut dapat diperbaharui. Karbon aktif merupakan padatan berpori yang dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi [2]. Karbon aktif dapat dibuat dari batu bara, serat kayu, kulit singkong, bonggol jagung, dan limbah ampas tebu. Selain itu, terdapat juga tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan karbon aktif, yaitu bambu. Pemanfaatan bambu untuk pembuatan karbon aktif berpotensi untuk dimanfaatkan, terutama di Indonesia karena Indonesia merupakan Negara yang kaya akan tanaman bambu. Dari kurang lebih 1.000 species bambu dalam 80 genera, sekitar 200 species dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis [3]. Bambu dapat dijadikan bahan untuk pembuatan karbon aktif karena bambu memiliki kandungan lignoselulosa yang cukup tinggi. Dari sekian banyak bambu yang ada di Indonesia, jenis bambu betung keberadaannya cukup berlimpah dan dapat dijumpai di hampir semua wilayah di Indonesia. Kandungan lignoselulosa dari bambu betung adalah 52,9% selulosa; 24,8% lignin; dan 18,8% pentosa. Pembuatan karbon aktif dibagi menjadi tiga proses utama, yaitu dehidrasi, karbonisasi, dan aktivasi. Dehidrasi merupakan proses untuk mengeliminasi kandungan air yang terkandung pada bahan baku. Proses dehidrasi pada umumnya dilakukan pada bahan baku seperti batu bara, dimana memiliki kandungan air yang tinggi. Proses karbonisasi dilakukan pada temperatur 400oC-600oC. Hasil karbonisasi adalah arang yang kapasitas penyerapannya masih rendah. Untuk meningkatkan kapasitas penyerapan, maka karbon diaktivasi terlebih dahulu. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan pembuatan karbon aktif. Penelitian yang telah dilakukan adalah pembuatan karbon aktif dari bambu dengan aktivasi kimia menggunakan H3PO4 pada temperatur 900-1100oC menghasilkan luas permukan rata-rata adalah 1.250 m2/g [4]. Penelitian dengan menggunakan aktivasi CO2 sudah pernah dilakukan dengan menggunakan bambu Sancheong dengan metode aktivasi menggunakan gas CO2. Temperatur karbonisasi adalah 900oC dengan mengalirkan gas N2 selama 2 jam dan temperatur aktivasi 900oC, laju alir gas CO2 7,8 cm3/g-char menit serta waktu aktivasi 3 jam menghasilkan luas permukaan sebesar 1.072 m2/gram [5]. Pada
penelitian ini, proses aktivasi dilakukan dengan menggunakan gas CO2 yang dialirkan ke reaktor. Pemilihan penggunaan gas CO2 didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain penggunaan CO2 jauh lebih ekonomis dibandingkan menggunakan aktivasi kimia, misalnya KOH. Selain itu, reaksi yang terjadi dengan penggunaan aktivator CO2 merupakan reaksi endoterm sehingga lebih mudah dikontrol, bersih, dan cocok untuk penelitian yang berskala laboratorium [6]. Penggunaan bambu untuk pembuatan karbon aktif dengan aktivasi menggunakan CO2 dan melakukan variasi terhadap temperatur aktivasi dan laju alir CO2 diharapkan akan menghasilkan karbon aktif dengan luas permukaan yang besar sehingga daya serapnya pun besar.
2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Energi Berkelanjutan dan Laboratorium Dasar Proses Kimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Bab metode penelitian ini menjelaskan tentang diagram alir penelitian. Diagram alir penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Pemanfaatn bambu..., Rio Ferryunov Andie, FT UI, 2013
2.1 Persiapan Bahan Baku Bambu betung yang digunakan adalah yang sudah tua dan keras. Sebelum digunakan, bambu betung dipanaskan untuk menghilangkan kadar air dalam bahan kemudian dipotong kecilkecil agar saat proses karbonisasi merata keseluruh permukaan bahan. Gas CO2 yang digunakan memiliki kemurnian 99,5% yang digunakan untuk proses aktivasi. 2.2 Proses Karbonisasi Proses karbonisasi dilakukan dengan kondisi oksigen yang terbatas. Proses ini dilakukan pada temperatur 400oC. Pemilihan suhu karbonisasi tersebut didasarkan atas komponen yang terdapat pada bambu. Kandungan utama pada bambu adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin, dimana pada suhu 120-150°C terjadi penghilangan air yang masih terdapat pada bambu, pada suhu 200-250°C terjadi karbonisasi hemiselulosa, pada suhu 280-320°C terjadi karbonisasi selulosa, dan pada suhu 400°C terjadi karbonisasi lignin [7]. Maka dari itu, dengan suhu karbonisasi pada 400oC, dapat disimpulkan bahwa kandungan air dan komponen-komponen yang mudah menguap (volatile matter) yang terdapat di dalam bambu sudah hilang sehingga diperoleh kandungan karbon yang tinggi. Kemudian karbon digerus dan dilakukan pengayakan dengan ayakan 250 mesh agar ukuran karbon seragam. 2.3 Proses Aktivasi Proses aktivasi dilakukan didalam reaktor tanpa kehadiran oksigen. Proses aktivasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah aktivasi fisika dengan menggunakan gas CO2. Pengaliran gas CO2 bertujuan untuk mencegah reaksi pembakaran karena oksigen dan untuk pembentukan pori-pori baru pada permukaan karbon. Sampel yang digunakan untuk setiap percobaan adalah 20 gram. Sampel karbon dimasukkan kedalam reaktor. Reaktor kemudian di tutup rapat untuk menghindari kehadiran oksigen selama proses berlangsung. Proses aktivasi yang dilakukan adalah dengan variasi temperatur dan laju alir gas CO2. Temperatur yang digunakan adalah 800, 850, dan 900 oC. Sedangkan variasi laju alir gas CO2 adalah 200, 300, 400 ml/menit. Proses aktivasi dilakukan selama 1 jam dengan laju pemanasan 10oC/menit. Setelah dilakukan proses aktivasi selama 1 jam, reaktor diturunkan temperaturnya hingga sampel dingin dengan kondisi dimana
gas CO2 tetap mengalir kedalam reaktor. Terdapat 9 sampel dalam penelitian ini dengan variasi temperatur aktivasi dan laju alir gas CO2. Tabel 1 menunjukkan penamaan sampel untuk setiap variasi. Tabel 1 Penamaan Sampel Untuk Setiap Variasi
Temperatur (oC) 800 850 900
Laju Alir CO2 (ml/menit) 200 200 200
800 300 850 300 900 300 800 400 850 400 900 400 Tanpa Aktivasi
Penamaan Sampel 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 0o
2.4 Pencucian Dari hasil aktivasi, maka akan diperoleh karbon aktif. Karbon aktif yang dihasilkan masih dibutuhkan perlakuan lebih lanjut untuk menghasilkan kualitas karbon aktif yang baik. Karbon aktif dilakukan pencucian dengan aquades. Tujuan dari pencucian ini adalah agar sisa-sisa gas karbondioksida yang masih menempel pada permukaan dan pori karbon dapat dihilangkan. Untuk memastikan sudah tidak adanya gas karbondioksida sisa yang masih menempel di pori-pori dan permukaan karbon aktif, dilakukan pencucian berulang dan air hasil saringan karbon aktif di cek keasamannya menggunakan kertas pH hingga keasamannya netral. Setelah dicuci, sampel dikeringkan didalam oven. Untuk memastikan sampel benar-benar kering, dilakukan pengeringan dan penimbangan berulang sampai massa karbon aktif benar-benar konstan. 2.5 Analisis Bilangan Iod Untuk mengetahui kualitas dari karbon, dilakukan analisis dengan metode bilangan iod. Penentuan bilangan iod ini dilakukan dengan melakukan percobaan dengan menggunakan prinsip titrasi. Mula-mula, sampel karbon aktif dipanaskan kembali pada suhu 120oC selama 1 jam untuk menghilangkan kandungan air dalam bahan, kemudian didinginkan di dalam desikator. Selanjutnya, karbon aktif tersebut dikontakkan dengan larutan iodin 0,1 N
Pemanfaatn bambu..., Rio Ferryunov Andie, FT UI, 2013
sebanyak 50 ml di dalam labu erlenmeyer. Selanjutnya campuran antara larutan iodin dan karbon aktif dikocok selama 15 menit agar terjadi kontak antara kedua jenis bahan tersebut. pada proses inilah terjadi peristiwa adsorpsi antara karbon aktif selaku adsorben dengan larutan iodin selaku adsorbat. Selanjutnya, campuran tersebut di pisahkan antara larutan dan padatan karbon aktifnya dengan menggunakan sentrifuge selama 10 menit. Cairan yang sudah terpisah dengan karbon aktif diambil 10 ml untuk dilakukan pengujian dengan cara titrasi. Titran yang digunakan adalah Na2S2O3 dengan normalitas 0,1 N. Titrasi dihentikan ketika sampel sudah berwarna kuning samar. Kemudian, larutan yang sudah dititrasi tersebut diteteskan 5 tetes larutan kanji 1% selaku indikator. Larutan kanji ini akan menyebabkan larutan yang semula berwarna kuning muda menjadi berwarna biru tua. Titrasi dilakukan kembali sampai larutan tidak berwarna. Setelah larutan tidak berwarna, maka titrasi telah tercapai dilakukan.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Karbonisasi Setelah dilakukan karbonisasi, dilakukan penimbangan terhadap massa bambu yang digunakan dengan arang yang dihasilkan setelah karbonisasi. Selisih dari massa bambu sebelum karbonisasi dan massa arang setelah karbonisasi dinamakan perolehan arang. Perolehan arang didefinisikan sebagai persentase arang yang terbentuk dibandingkan dengan massa bambu mula-mula. Dari proses karbonisasi yang dilakukan beberapa kali, perolehan arang ratarata adalah 29,88%. Perolehan arang tersebut cukup kecil, yang menandakan bahwa volatile matter yang terdapat pada bambu betung cukup tinggi, sehingga terjadi kehilangan massa yang cukup tinggi pula ketika proses karbonisasi berlangsung. Perolehan arang yang dihasilkan dapat diindikasikan juga sebagai jumlah fixed carbon yang terdapat pada bambu betung yang digunakan pada penelitian ini. Berdasarkan penelitian sebelumnya, diperoleh fixed carbon untuk bambu betung adalah 19,80% [8]. Dari data fixed carbon bambu betung tersebut, dapat disimpulkan bahwa perolehan arang yang cukup kecil pada bambu betung ini masih masuk akal.
3.2 Aktivasi Proses aktivasi bertujuan untuk memperluas luas permukaan karbon aktif dengan pembentukan dan pembukaan pori-pori baru. Hasil dari proses aktivasi adalah berupa karbon aktif yang memiliki pori-pori yang terbuka. Pori-pori yang terbentuk inilah yang akan menentukan kualitas karbon aktif, yaitu dari kapasitas adsorpsinya. Selama reaksi berlangsung terjadi reaksi pengaktifan pori-pori yang sebelumnya masih belum dapat dimasuki, pembentukan pori-pori yang baru, dan pelebaran pori-pori yang sudah ada [9]. Selama proses aktivasi berlangsung, muncul asap tipis yang keluar dari reaktor. Asap yang ditimbulkan dari proses aktivasi ini tidaklah terlalu banyak. Sedikitnya asap ini mengindikasikan bahwa sudah sebagian besar zat volatile hilang pada saat karbonisasi. Setelah reaktor didinginkan, sampel dikeluarkan dari reaktor dan sampel tersebut ditimbang. Namun, sebelum ditimbang, karbon aktif didiamkan beberapa saat hingga karbon aktif tersebut dingin. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan massa karbon aktif yang konstan dan akurat. Penimbangan dilakukan beberapa kali sampai angka yang ditunjukkan pada timbangan konstan dan sama. Hasil penimbangan massa bambu dan arang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan Massa Karbon Sebelum dan Sesudah Proses Aktivasi
Sampel
Massa Bambu (gram)
Massa Arang (gram)
Kehilangan Massa (%)
1A
20,01
12,76
36,25%
1B
20,01
12,63
36,90%
1C
20,03
12,58
37,18%
2A
20,02
12,41
38,00%
2B
20,03
12,29
38,66%
2C
20,00
12,17
39,16%
3A
20,02
11,83
40,89%
3B
20,02
11,68
41,64%
3C
20,01
11,52
42,41%
Dari hasil penimbangan, didapati bahwa massa sampel setelah aktivasi mengalami pengurangan. Pengurangan massa ini diakibatkan karena selama proses aktivasi berlangsung, terjadi pengikisan karbon untuk pembentukkan pori-pori baru pada permukaan
Pemanfaatn bambu..., Rio Ferryunov Andie, FT UI, 2013
karbon. Selain itu, selama proses aktivasi terjadi pengangkatan volatile matter yang masih terdapat pada sampel. Pengurangan massa karbon berbeda-beda untuk tiap variasi yang diberikan. Dengan temperatur aktivasi yang sama, kenaikan dari laju alir gas karbondioksida mengakibatkan jumlah massa arang yang hilang semakin meningkat, meskipun perbedaannya tidaklah begitu jauh. Hal ini dikarenakan semakin banyak CO2 yang dialirkan, maka akan semakin banyak pula reaksi yang terjadi. Jika ditinjau dari perbedaan temperatur aktivasi, temperatur aktivasi yang semakin meningkat akan menghasilkan kehilangan massa arang yang semakin besar pula. Temperatur yang tinggi akan menyebabkan arang terdekomposisi. Yang terdekomposisi adalah senyawa yang mudah menguap yang terdapat pada arang, sehingga kandungan karbon dalam sampel cukup tinggi. Temperatur aktivasi berbanding lurus dengan laju reaksi, dimana laju reaksi akan berjalan lebih cepat apabila temperatur operasi dinaikkan. Semakin cepat reaksi berlangsung, maka akan terbentuk poripori baru yang lebih banyak pula. Dari hal ini terlihat bahwa setiap kenaikan temperatur, maka semakin banyak reaksi antara karbon dan gas karbondioksida, sehingga pengurangan massa karbonnya pun akan semakin besar. 3.3 Pencucian dan Pengeringan Proses pencucian bertujuan untuk menghasilkan karbon aktif yang benar-benar murni dari pengotor yang dapat mempengaruhi kualitas karbon aktif. Karbon aktif yang telah dicuci dengan aquades lalu dikeringkan. Kemudian dilakukan penimbangan terhadap massa karbon aktif. Dari hasil penimbangan, diperoleh pengurangan massa sebelum dan sesudah dilakukan pengeringan. Namun, pengurangan massa karbon aktif tidak terlalu signifikan. Perolehan karbon aktif setelah pencucian adalah dengan rentang 96,56%97,43%. Hal ini dikarenakan pada aktivasi fisika, kontak karbon hanya terjadi dengan gas karbondioksida. Lain halnya apabila aktivasi kimia dengan menggunakan bahan kimia, setelah proses pengeringan terjadi pengurangan massa karbon aktif yang cukup banyak dikarenakan terdapatnya aktivator kimia yang masih menempel di permukaan karbon aktif selama proses aktivasi berlangsung. Hasil pengeringan ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Massa Karbon Aktif Sebelum dan Sesudah Pencucian dan Pengeringan
Sampel
Massa Karbon Aktif (gram)
Massa Setelah Pencucian (gram)
Perolehan (%)
1A
12,76
12,4254
97,41%
1B
12,63
12,2461
96,99%
1C
12,58
12,2376
97,25%
2A
12,41
12,0934
97,43%
2B
12,29
11,9168
97,00%
2C
12,17
11,7559
96,61%
3A
11,83
11,4406
96,68%
3B
11,68
11,2808
96,56%
3C
11,52
11,1597
96,84%
3.4 Persentase Burn Off Persentase berat burn off merupakan salah satu perhitungan untuk mengetahui massa yang hilang selama proses. Burn off didefinisikan sebagai persentase rasio kehilangan massa bahan baku, yang dalam penelitian ini adalah bambu betung yang terjadi selama proses berlangsung sampai diperoleh produk akhir [10]. Persentase burn off dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 1.
Dimana, Wi = Massa mula-mula bahan baku Wf = Massa akhir produk Dari perhitungan persentase burn off, terlihat bahwa terjadinya kehilangan massa bahan baku yang cukup besar selama proses berlangsung. Berarti, hal ini menyimpulkan bahwa bambu betung memiliki bahan volatile yang sangat tinggi, yang mana selama proses berlangsung terjadi pelepasan zat yang mudah menguap tersebut. jika ditinjau dari variasi temperatur aktivasi yang diberikan, terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu aktivasi, maka akan semakin tinggi pula persentase burn off nya. Begitu pula dengan peningkatan laju alir CO2, semakin tinggi laju alir CO2, maka akan semakin tinggi pula persentase burn off nya untuk temperatur aktivasi yang sama. Tren ini menujukkan hubungan yang berbanding lurus antara laju reaksi yang berlangsung dengan
Pemanfaatn bambu..., Rio Ferryunov Andie, FT UI, 2013
banyaknya massa bahan yang hilang, dimana laju reaksi akan semakin cepat jika berlangsung pada suhu yang lebih tinggi dan laju alir CO2 yang semakin tinggi akan meningkatkan frekuensi kontak atau tumbukan yang terjadi antara karbon dengan CO2. Rentang persentase burn off pada penelitian ini adalah 81,44% hingga 83,33%, dimana Burn off tertinggi yaitu pada temperatur 900oC dan laju alir CO2 400 ml/menit dengan 83,33%. Perhitungan dan grafik persentase burn off disajikan pada Gambar 2.
Dimana: V = Larutan Na2SO3 yang diperlukan (ml) N = Normalitas larutan Natrium Tio-Sulfat 12,69 = Jumlah Iod sesuai dengan 1 ml larutan Na2SO3 0,1 N W = Massa sampel (gram) Dari hasil perhitungan, diperoleh bilangan iod untuk setiap sampel seperti yang disajikan pada Tabel 4.
83.50% Tabel 4 Bilangan iod Untuk Semua Sampel Burn Off (%)
83.00% 800 C 82.50% 850 C 900 C
82.00%
81.50%
81.00%
100
200
300
400
500
Laju Alir (ml/menit)
Sampel 1A
Iodin yang Terserap (mg/g)
1B
424,69
1C
449,64
2A
355,25
2B
430,77
2C
456,11
3A
367,80
3B
437,80
3C
475,25
0o
190,12
Gambar 2 Hubungan Antara Laju Alir CO2 dan Temperatur Aktivasi Terhadap Persentase Burn Off
3.5 Uji Bilangan Iod Untuk mengetahui kualitas dari karbon aktif, dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan bilangan iod. Kualitas karbon aktif dengan bilangan iod ini dilihat dari daya serapnya terhadap iodin. Daya serap karbon aktif terhadap larutan iodin mengindikasikan kemampuan karbon aktif untuk mengadsorpsi komponen dengan berat molekul rendah. Karbon aktif dengan kemampuan menyerap iodinnya tinggi berarti memiliki luas permukaan yang lebih besar dan memiliki struktur mikro dan mesoporous yang lebih besar [11]. Penetapan daya serap karbon aktif terhadap iodin bertujuan untuk mengetahui kemampuan arang aktif dalam menyerap larutan berwarna. Data yang digunakan dalam perhitungan bilangan iod adalah jumlah volume titran yang digunakan selama titrasi. Perhitungan bilangan iod menggunakan persamaan 2.
348,28
Dari Tabel 4, terlihat bahwa temperatur aktivasi dan laju alir karbondioksida mempengaruhi daya serap bilangan iod. Dari hasil pengujian, diperoleh bahwa bilangan iod tertinggi yaitu pada temperatur aktivasi 900 oC dan laju alir karbondioksida 400 ml/menit yaitu sebesar 475,25 mg/g. Untuk hasil yang terendah didapat pada kondisi temperatur aktivasi 800 oC dan laju alir karbondioksida 200 ml/menit, yaitu sebesar 348,28 mg/g dan untuk karbon tanpa perlakuan aktivasi, sebagai pembanding memiliki bilangan iod yang lebih kecil lagi, yaitu sebesar 190,12 mg/g. Dari hasil daya serap iodin sebelum dan sesudah aktivasi, terlihat bahwa terjadi kenaikan daya serap iodin yang cukup tinggi antara karbon tanpa aktivasi dan karbon aktif. Dari hasil ini, dapat disimpulkan bahwa selama proses aktivasi, terjadi pembukaan pori-pori baru, sehingga daya serapnya pun akan semakin besar. Hasil bilangan iod ini disajikan pada Gambar 3.
Pemanfaatn bambu..., Rio Ferryunov Andie, FT UI, 2013
Bilangan Iod (mg/g)
490 480 470 460 450 440 430 420 410 400 390 380 370 360 350 340 330 320 310 300 290 280 270 260 250
Temperatur Aktivasi 800C Temperatur Aktivasi 850C Temperatur Aktivasi 900C
0
100
200
300
400
Laju Alir CO2 (ml/menit) Gambar 3 Hubungan Temperatur Aktivasi dan Laju Alir CO2 Terhadap Bilangan Iod yang Diperoleh
Untuk setiap variasi temperatur aktivasi dan laju alir CO2 yang diberikan, diperoleh tren yang sama, yaitu semakin meningkatnya temperatur dan laju alir, maka daya serap iod terhadap karbon aktif pun akan semakin meningkat. Laju alir karbondioksida sangatlah berpengaruh selama proses aktivasi dalam meningkatkan kualitas dari karbon aktif. Dari gambar terlihat bahwa terjadi peningkatan daya serap iodin yang cukup signifikan seiring dengan peningkatan laju alir karbondioksida. Jika ditinjau pada kondisi dimana temperatur aktivasi yang semakin meningkat dengan laju alir karbondioksida yang sama, peningkatan daya serap iodin cukup kecil. Dapat diambil contoh untuk temperatur aktivasi 800oC, bilangan iod semakin meningkat seiring dengan peningkatan laju alir CO2. Namun, pada saat temperatur aktivasi dinaikkan menjadi 850oC dan laju alir CO2 200 ml/menit, bilangan iod untuk kondisi tersebut lebih kecil dibandingkan dengan bilangan iod pada kondisi dimana temperatur aktivasi 800oC dengan laju alir 300 ml/menit dan 400 ml/menit. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu antara rentang 800oC sampai 900oC pada penelitian ini belum menghasilkan peningkatan kualitas karbon aktif yang maksimal, sehingga masih diperlukan suhu yang lebih tinggi lagi untuk menghasilkan kualitas karbon aktif yang
maksimal. Kurang maksimalnya kualitas karbon aktif ini bisa disebabkan karena reaksi yang berlangsung selama proses aktivasi tidak maksimal. Hal ini bisa dilihat dari persentase burn off yang disajikan pada bagian sebelumnya. Selama proses aktivasi, terjadi pembentukan pori-pori karbon yang baru sehingga terjadi pula reaksi antara karbon dengan karbondioksida yang menyebabkan sebagian karbon terkikis akibat reaksi. Dengan terkikisnya karbon selama proses aktivasi inilah yang menyebabkan terjadinya pengurangan massa fixed carbon setelah aktivasi. Pada penelitian ini, perbedaan fixed carbon yang terdapat pada bambu betung dengan setelah proses aktivasi tidaklah begitu jauh perbedaannya. Fixed carbon pada bambu betung adalah 19,80% sedangkan pada perhitungan persentase burn off, diperoleh bahwa massa karbon aktif yang tersisa adalah pada rentang 17,67% - 18,56%. Dari hasil ini, dapat diindikasikan bahwa reaksi yang terjadi selama proses aktivasi belum maksimal. Proses aktivasi yang terjadi hanya mengaktifkan pori-pori yang sudah terbentuk pada proses karbonisasi dan hanya sedikit membentuk pori-pori baru pada proses aktivasi. Selain itu, kemungkinan masih terdapatnya pengotor berupa ash pada karbon aktif masih memungkinkan dikarenakan proses pencucian dengan menggunakan air destilasi tidak mampu mengangkat kandungan ash yang ada pada karbon aktif. Bilangan iod yang dihasilkan merupakan gambaran terhadap luas permukaan karbon aktif yang dihasilkan. Terdapat korelasi antara bilangan iod dan luas permukaan karbon aktif. Dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Song Yung Wang (2008), dimana dalam penelitiannya adalah pembuatan karbon aktif dari bambu Makino dengan menggunakan gas CO2 ditunjukkan bahwa adanya korelasi yang cukup tinggi antara bilangan iod dan luas permukaan karbon aktif. Adapun persamaan yang digunakan adalah persamaan regresi linear yang merujuk pada ASTM D-4607-94, dimana persamaannya ditunjukkan pada persamaan 3 [12].
Dimana, SA = Luas permukaan spesifik. Dalam penelitiannya juga dilakukan pengukuran bilangan iod dan BET terhadap semua sampel. Dari hasil tersebut, bilangan iod
Pemanfaatn bambu..., Rio Ferryunov Andie, FT UI, 2013
dan BET yang diperoleh mendekati dengan korelasi persamaan diatas. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa persamaan diatas dapat digunakan untuk mengkorelasikan bilangan iod dengan luas permukaan BET, dimana bahan baku yang digunakan adalah bambu dengan aktivasi menggunakan CO2. Dengan menggunakan persamaan diatas, maka hasil BET dari penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Hubungan Antara Bilangan Iod dan Luas Permukaan BET
BET (m2/gram)
Sampel
Iodin yang Terserap (mg/gram)
1A
348,28
273,23
1B
424,69
393,26
1C
449,64
432,45
2A
355,25
284,18
2B
430,77
402,81
2C
456,11
442,62
3A
367,17
302,91
3B
437,80
413,85
3C
475,25
472,68
0o
190,12
24,79
4. Kesimpulan 1. Karbon aktif dengan bahan baku bambu betung mampu menghasilkan luas permukaan karbon aktif yang digambarkan dengan bilangan iod sebesar 475,25 mg/gram. Hasil ini diperoleh dengan melakukan aktivasi pada temperatur 900oC dengan laju alir gas CO2 sebesar 400 ml/menit. 2. Temperatur aktivasi berpengaruh terhadap luas permukaan karbon aktif yang digambarkan dengan bilangan iod. Peningkatan temperatur aktivasi akan meningkatkan luas permukaan karbon aktif, dimana pada temperatur 800oC, bilangan iod tertinggi adalah 449,64 mg/gram dan pada temperatur aktivasi 900oC, bilangan iod tertinggi adalah 475,25 mg/gram. 3. Laju alir gas CO2 berpengaruh terhadap luas permukaan karbon aktif yang digambarkan dengan bilangan iod. Peningkatan laju alir gas CO2 akan meningkatkan bilangan iod yang dihasilkan, dimana pada laju alir CO2 200 ml/menit, bilangan iod tertinggi adalah
367,17 mg/gram dan pada laju alir 400 ml/menit, bilangan iod tertinggi adalah 475,25 mg/gram. Referensi [1] Anonim. (2012). Global Demand for Activated Carbon Will Increase More Than 10 Percent. Available from URL: http://www.worldnewstomorrow.com Diakses pada 10 Maret 2012 [2] Chand, B., et al. (2005). Activated Carbon Adsorpsion. Taylor and Francis Group, United State [3] Dransfield, S., et al. (1995). Plant Resources of Southeast Asia No.7: Bamboos. PROSEA, Bogor [4] Baksi, et al. (2003). Activated Carbon from Bamboo-Technology Development towards Commercialisation. BAMTECH2003. March 12-13, Guwahati, India [5] Bak, Y.C., (2008). Production and CO2 Adsorption Characteristics of Activated Carbon from Bamboo by CO2 Activation Method. Sustainable Process-product Development & Green Chemistry [6] Zhang, Tengyan, et al,. (2004) Preparation of Activated Carbon from Forest and Agricultural Residues through CO2 Activation. Chemical Engineering Journal, 105 (2004) 53-59 [7] Girrard, J.P., (1992) Technology of Meat and Meat Production, Ellis Horwood, New York [8] Sritong, C., et al. (2012). Bamboo: An Innovative Alternative Raw Material for Biomass Power Plants. International Journal of Innovation, Management and Technology, Vol 3, No. 6, December 2012 [9] Guo A, Shenghui, et al. (2009). Effects of CO2 Activation on Porous Structures of Coconut Shell-Based Activated Carbons. Applied Surface Science 255 (2009) 8443– 8449 [10] Mahanim [11] Jankowska, H., et al. (1991). Active Carbon. New York: Ellis Horwood [12] Wang, S.Y., et.al. (2008). Effects of Manufacturing conditions on the adsorption capacity of heavy metals ions by Makino bamboo charcoal.School of Forestry and Resource Conservation
Pemanfaatn bambu..., Rio Ferryunov Andie, FT UI, 2013