Jurnal Sylva Lestari Vol. 4 No. 2, April 2016 (61—68)
ISSN 2339-0913
RESPON SETEK CABANG BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) AKIBAT PEMBERIAN ASAM INDOL BUTIRAT (AIB) (BETUNG BAMBOO (Dendrocalamus asper) BRANCH CUTTING RESPONSE TO INDOLE BUTYRIC ACID (IBA)) Erviana Sari, Indriyanto, dan Afif Bintoro Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung E-mail :
[email protected] No. Telepon : 087797877762
ABSTRAK Bambu betung (Dendrocalamus asper) merupakan tanaman multiguna yang dapat dikembangkan dengan perbanyakan secara vegetatif dan generatif. Setek cabang merupakan cara yang paling mudah dilakukan dalam perbanyakan bambu betung secara vegetatif. Salah satu zat pengatur tumbuh yang dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan setek cabang bambu betung adalah asam indol butirat (AIB). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon setek cabang bambu betung akibat pemberian AIB dengan berbagai konsentrasi serta mengetahui konsentrasi AIB yang paling baik untuk memacu pertumbuhannya. Penelitian dilaksanakan di areal kebun koleksi bambu Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hutan Palembang, Desa Tanjung Agung, Kecamatan Tanjungan, Kabupaten Lampung Selatan, dari bulan Maret sampai dengan Juni 2012. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan, yaitu AIB berkonsentrasi 0 ppm (kontrol), 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm. Setiap unit percobaan terdiri dari lima setek dengan lima kali ulangan. Variabel yang diamati adalah persentase hidup, panjang tunas, jumlah tunas, jumlah daun, diameter tunas, dan panjang akar. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa setek cabang bambu betung merespon pemberian AIB untuk memacu pertumbuhannya. Perlakuan dengan AIB berkonsentrasi 200 ppm memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan dengan AIB konsentrasi 0 ppm (kontrol), 100 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm. Oleh karena itu, disarankan agar dalam pembibitan bambu betung dengan setek cabang menggunakan AIB berkonsentrasi 200 ppm. Kata kunci: asam indol butirat, bambu betung, setek cabang ABSTRACT Betung bamboo (Dendrocalamus asper) as multipurpose plant could be developed with vegetative and generative propagation. Branch cuttings was the easiest way in the betung bamboo vegetative propagation. One of plant growth regulators that could be used to spur betung bamboo branch cutting was indole butyric acid (IBA). This study was conducted to evaluate the betung bamboo branch cutting response from various concentration of IBA and to know the best concentration of IBA to spur the growth. The experiment was conducted in Palembang’s Bamboo Plantation Collection and Development Research Institute of Forest areal, Tanjung Agung, District Tanjungan, South Lampung Regency, from March to June 2012. This research used Completely Randomized Design (CRD) with five treatments: IBA 0 ppm (control), 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, and 400 ppm of concentration. Each of experimental unit consisted of five cuttings with five replications. Percentage of life, length of shoot, number of shoot, number of leave, shoot’s diameter, and root’s length were the observed variables. The result showed that betung bamboo branch cuttings were responsive
Jurnal Sylva Lestari Vol. 4 No. 2, April 2016 (61—68)
ISSN 2339-0913
to IBA, and IBA 200 ppm concentration gave better results to the betung bamboo branch cuttings than IBA 0 ppm (control), 100 ppm, 300 ppm, and 400 ppm concentration. Based on this study, it was recomended to use 200 ppm of IBA for betung bamboo branch cutting. Keywords : betung bamboo, branch cutting, indole butyric acid PENDAHULUAN Latar Belakang
Bambu memegang peranan sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Batang bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan karena batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan, serta ringan (Krisdianto dkk., 2007). Bambu betung merupakan salah satu jenis bambu yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk kontruksi bangunan, jembatan, dan bahan kerajinan. Menurut Batubara (2002), bambu betung banyak digunakan untuk furnitur seperti meja, kursi, tempat tidur, meja makan, lemari pakaian, dan lemari hias. Rebung bambu betung enak untuk dimanfaatkan sebagai sayur (Yani, 2014). Selain itu, bambu betung juga sangat baik digunakan sebagai bahan bangunan dan kontruksi di daerah rawan gempa (Sukawi, 2010). Nilai ekonomi suberdaya bambu yang besar pada area-area yang memiliki tegakantegakan bambu mengindikasikan bahwa sumberdaya bambu memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya ( Iqbal dkk, 2014). Meskipun sebagai tanaman serbaguna, bambu belum mendapat prioritas untuk dikembangkan oleh pemerintah (Widjaja, 1997). Hingga saat ini bambu belum dibudidayakan secara intensif. Pada prakteknya petani masih menggunakan teknologi yang sederhana (Sumiasri, 1998). Soendjoto (1997) menyatakan bahwa salah satu bentuk penurunan, pengrusakan dan pemusnahan ragam hayati adalah pemanenan tanpa upaya budidaya, penebangan dan mengintroduksi jenis baru. Informasi dan pengetahuan tentang budidaya bambu masih sangat kurang. Selain itu, pengenalan terhadap jenis-jenis bambu yang ada di Indonesia dan pemanfaatannya masih sangat terbatas. Untuk itu, diperlukan suatu sarana pengembangan tanaman bambu. Bambu betung bisa diperbanyak dengan cara setek rhizom, setek buluh (batang), setek cabang, layering (cangkok dan runduk), dan kultur jaringan. Namun, menurut Berlian dan Rahayu (1995), pertumbuhan bambu betung sangat lambat sehingga hasil buluhnya sedikit. Cara yang sering digunakan adalah dengan setek batang dan setek cabang. Perbanyakan dengan menggunakan setek cabang mempunyai beberapa kelebihan diantaranya adalah dapat menghasilkan bahan tanaman yang cukup banyak, dan tidak memerlukan tempat yang luas (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999). Persentase hidup yang masih kurang dalam perbanyakan bambu betung dengan cara setek cabang menjadi permasalahan dalam upaya pengadaan bibit. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai perbanyakan bambu betung (Dendrocalamus asper) dengan cara setek cabang dan diberi zat pengatur tumbuh asam indol butirat (AIB) yang berfungsi untuk memacu pertumbuhan akar. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui respon pertumbuhan setek cabang bambu betung akibat pemberian AIB dengan berbagai konsentrasi. 62
Jurnal Sylva Lestari Vol. 4 No. 2, April 2016 (61—68)
ISSN 2339-0913
2. Mengetahui konsentrasi AIB yang terbaik bagi pertumbuhan setek cabang bambu betung. METODE PENELITIAN Waktu Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan dimulai pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2012 di areal kebun koleksi bambu Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hutan Palembang, Desa Tanjung Agung, Kecamatan Tanjungan, Kabupaten Lampung Selatan. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cabang bambu betung (Dendrocalamus asper) dengan jumlah ruas 2 sebanyak 125 cabang, asam indol butirat (AIB) berkonsentrasi 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm, tanah lapisan atas (top soil), Furadan 3G, Dhitane, aquades, NaOH 1N dan air. Sedangkan alat yang digunakan adalah polybag ukuran 15 cm x 25 cm, cangkul, ayakan dari bambu, golok, gunting setek, gembor, label, kaliper, penggaris, pita meter, lux meter, termohigrometer, dan alat tulis. Metode Penelitian 1. Persiapan Persiapan penelitian meliputi persiapan media penumbuh setek, pemotongan setek, dan pembuatan larutan AIB berkonsentrasi 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm. Larutan AIB berkonsentrasi 100 ppm dibuat dengan cara menimbang serbuk AIB sebanyak 100 mg, lalu diberi beberapa tetes larutan NAOH 1N sambil diaduk-aduk hingga larut kemudian ditambahkan aquades hingga volume larutan mencapai 1 liter dan diaduk-aduk hingga larut. Cara yang sama digunakan sesuai dengan konsentrasi yang akan digunakan dalam penelitian ini, kecuali untuk konsentrasi 200 ppm digunakan 200 mg serbuk AIB, untuk konsentrasi 300 ppm digunakan 300 mg serbuk AIB, dan untuk konsentrasi 400 ppm digunakan 400 mg serbuk AIB. AIB berkonsentrasi 0 ppm adalah perlakuan kontrol sehingga hanya aquades murni tanpa dicampurkan dengan kristal AIB. Setelah semua larutan AIB selesai dibuat, selanjutnya bagian pangkal setek direndam dengan larutan AIB tersebut sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan. Lama perendaman adalah 15 menit. 2. Penyemaian Setek Bambu Setelah direndam, setek dimasukkan ke dalam polybag yang telah diisi media penumbuh setek. Semua setek ditanam dengan posisi vertikal dan ditata sesuai dengan tata letak yang telah ditentukan. Pemberian naungan dilakukan untuk mengurangi intensitas cahaya matahari terhadap setek cabang bambu betung. 3. Pemeliharaan Setek Bambu Kegiatan pemeliharaan setek meliputi penyiraman dan penyiangan. Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari, dan penyiangan dilakukan dengan mencabut gulma dan membersihkan tumbuhan yang dapat mengganggu pertumbuhan setek. 4. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rumus umum RAL adalah sebagai berikut (Sastrosupadi, 2000). Model linear : Yij
=
µ + τi + εij 63
Jurnal Sylva Lestari Vol. 4 No. 2, April 2016 (61—68)
Keterangan: i j Yij µ τi εijk
= = = = = =
ISSN 2339-0913
1,2,3,…,k 1,2,3,4,5,…,n nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j nilai tengah umum pengaruh perlakuan ke-i pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Penelitian ini terdiri dari lima perlakuan yaitu menggunakan perlakuan AIB, dari 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm. Tiap unit percobaan terdiri atas lima setek cabang dengan ulangan sebanyak lima kali. Dengan demikian, jumlah bahan tanaman yang diperlukan adalah 5 x 5 x 5 = 125 setek cabang. Penomoran tata letak percobaan dilakukan dengan cara pengundian. Berikut gambar tata letak setiap unit percobaan dalam rancangan acak lengkap. P13
P53
P11
P14
P23
P44
P55
P34
P22
P24
P15
P25
P53
P31
P45
P32
P43
P35
P41
P33
P52
P12
P21
P51
P42
Keterangan: Pij = aplikasi perlakuan ke-i ulangan ke-j i = perlakuan AIB berkonsentrasi 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm j = ulangan ke-1, 2, 3, 4, dan 5
5. Variabel yang Diamati Variabel yang diamati untuk mengetahui respon setek cabang bambu betung akibat pemberian AIB adalah persentase hidup setek cabang, panjang tunas (cm), jumlah tunas, jumlah daun, diameter tunas (cm), dan panjang akar (cm). 6. Analisis data a. Homogenitas ragam Untuk menguji homogenitas ragam dilakukan dengan Uji Bartlett (Gasperzs, 1994). JKP1 2 Si P1 = n-1 Data dari Tabel 1 dianalisis dengan perhitungan sebagai berikut. a. Varians gabungan dari seluruh sampel (S2) ∑ {(n1-1)Si2} S2 = ∑ (n1-1)
64
Jurnal Sylva Lestari Vol. 4 No. 2, April 2016 (61—68)
ISSN 2339-0913
b. Harga satuan (B) B = (log Si2) Σ (n1-1) X2 = (ln 10) {B – (Σ (n1-1) log Si2)} c. Faktor koreksi 1 K= 1 + 3 (t-1) χ2 hitung terkoreksi = χ2 tabel = χ2 (1-α) (k-1) Keterangan: S2 Si2 χ2 t n
= = = = =
ragam gabungan ragam masing-masing perlakuan khi kuadrat (lihat tabel) banyaknya perlakuan banyaknya ulangan
Jika: χ2 hitung ≥ χ2 tabel maka ragam tidak homogen dan dilakukan transformasi data. χ2 hitung < χ2 tabel maka ragam homogen dan dilanjutkan dengan uji F (analisis sidik ragam). b. Analisis sidik ragam Untuk menguji tentang ada tidaknya pengaruh umum faktor perlakuan terhadap variabel yang diamati, dilakukan analisis sidik ragam (Uji F) dengan taraf nyata 5%. Komponen yang dihitung dalam sidik ragam adalah sebagai berikut (Gaspersz, 1994). FK = Y.. 2 rt JK Total = ∑ Yij2 - FK ij
JK Perlakuan = ∑ Yi.2 - FK ij r JK galat = JK total – JK perlakuan c. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) Uji ini dilakukan untuk menunjukkan perbedaan masing – masing perlakuan atau beda nyata antar perlakuan dengan taraf nyata 5% Uji ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Sastrosupadi, 2000). BNJα = Qα (t; galat) Keterangan: Q = Nilai table Q pada taraf uji α t = Perlakuan S2 = Ragam = KTG
65
Jurnal Sylva Lestari Vol. 4 No. 2, April 2016 (61—68)
ISSN 2339-0913
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam seluruh variabel pengamatan pertumbuhan setek cabang bambu betung terhadap perlakuan AIB dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Rekapitulasi analisis sidik ragam seluruh variabel pengamatan pertumbuhan setek cabang bambu betung terhadap perlakuan AIB. Variabel pengamatan pertumbuhan setek cabang bambu betung terhadap perlakuan AIB Persentase hidup Jumlah tunas Panjang tunas Diameter tunas Jumlah daun Panjang akar
F hitung
F (4;20)(5%)
7,970* 17,920* 10,299* 20,205* 7,973* 0,165 tn
2,866 2,866 2,866 2,866 2,866 2,866
Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf 5% tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5% Tabel 2. Data rekapitulasi hasil uji BNJ mengenai pertumbuhan setek cabang bambu betung umur 3 bulan setelah disemai dan diberi perlakuan AIB berkonsentrasi 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm.
Parameter pertumbuhan setek cabang bambu betung Konsentrasi AIB (ppm)
0 100 200 300 400 BNJ (0,05)
Rata-rata persentase hidup (%)
28,000a 48,000abc 80,000de 60,000bcd 36,000ab 30,737
Rata-rata jumlah tunas (buah)
1,462a 2,927abc 5,764e 3,778bcd 2,375ab 1,632
Rata-rata panjang tunas (cm)
Rata-rata diameter tunas (cm)
Rata-rata jumlah daun (helai)
Rata-rata panjang akar (cm)
3,298a 4,551ab 11,510e 8,167bcd 5,361abc 4,331
0,156a 0,351b 0,641e 0,460bcd 0,357bc 0,166
3,848a 4,270ab 8,600cde 6,186abcd 5,082abc 4,039
8,600 a 3,600 a 4,200 a 4,000 a 8,400 a 26,152 a
Pembahasan
Secara umum dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemberian AIB terhadap setek cabang bambu betung menghasilkan pengaruh nyata pada variabelvariabel yang diamati, kecuali pada variabel panjang akar. Pada variabel persentase hidup, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa seluruh perlakuan memberikan pengaruh nyata. Begitu pula dengan variabel jumlah tunas, panjang tunas, diameter daun, dan jumlah 66
Jurnal Sylva Lestari Vol. 4 No. 2, April 2016 (61—68)
ISSN 2339-0913
daun. Sedangkan pada variabel panjang akar, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa seluruh perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata. Setelah dilakukan uji BNJ didapatkan bahwa perlakuan dengan AIB berkonsentrasi 200 ppm memberikan hasil yang paling baik terhadap setek cabang bambu betung pada akhir penelitian. Setek cabang bambu betung dengan perlakuan AIB berkonsentrasi 200 ppm menghasilkan persentase hidup paling tinggi yaitu 80%. Setek cabang bambu betung yang menghasilkan persentase hidup tertinggi kedua (60%) adalah yang diberi AIB berkonsentrasi 300 ppm. Hasil uji BNJ pada variabel persentase hidup, jumlah tunas, panjang tunas, diameter tunas, dan jumlah daun setek cabang bambu betung menunjukkan bahwa perlakuan AIB berkonsetrasi 200 ppm berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani (2006), bahwa AIB berkonsentrasi 200 ppm memberikan hasil terbaik dalam pertumbuhan setek tanaman melati (Jasminum sambac). Menurut Setiawan (1998), pemberian Asam Indol Butirat pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan tanaman, baik pada pertunasan maupun perakarannya. Hal ini terjadi pada setek bambu betung yang diberi AIB 400 ppm yang hanya menghasilkan persentase hidup 36%. Pemberian hormon AIB dalam konsentrasi lebih rendah akan menghasilkan pengaruh yang lebih baik pada tanaman, seperti yang terjadi pada setek bambu betung dengan perlakuan AIB 200 ppm. Namun pada setek bambu dengan konsentrasi yang lebih rendah lagi, yaitu 100 ppm tidak menghasilkan respon pertumbuhan yang lebih baik dengan hanya menghasilkan persentase hidup sebesar 28%. Hal ini terjadi karena pertumbuhan tanaman memerlukan konsenterasi tertentu dari zat pengatur tumbuhnya seperti yang terjadi pada penelitian Supriyono dan Prakasa (2011), konsenterasi zat pengatur tumbuh yang lebih tinggi dapat menghambat dan mematikan tanaman. Pada penelitian ini perlakuan AIB tidak memberikan pengaruh nyata pada pertumbuhan panjang akar setek bambu betung. Hal yang sama terjadi pada penelitian Ardian (2013), bahwa persentase berakar pada tanaman singkong yang menggunakan AIB tidak begitu berbeda dengan tanaman singkong yang tidak menggunakan AIB. Menurut Harjadi (2009), AIB merupakan salah satu-jenis auksin yang paling umum digunakan dalam menginduksi pengakaran. Zat pengatur tumbuh ini mempunyai aktifitas yang lemah, tetapi pada tingkat konsentrasi tinggi menyebabkan sel mengalami kematian. AIB bersifat persisten, artinya penguraiannya oleh enzim-enzim tanaman dapat dikatakan sangat lambat. Demikian juga translokasi (pengangkutan kebagian lain) AIB berjalan lambat. Hal tersebut di atas juga dapat disebabkan oleh intesitas cahaya matahari yang tinggi sehingga kelembaban menurun yang menyebabkan setek menjadi layu dan daun menguning mengakibatkan pertumbuhannya menjadi terhambat. Hal ini bahkan sudah terjadi pada beberapa minggu setelah setek tanaman tumbuh daun. Karakteristik tanaman bambu betung memang tidak tahan terhadap kekeringan. Menurut Berlian dan Rahayu (1995), bambu betung akan lebih baik pertumbuhannya bila tanahnya subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering. Selain itu menurut Heddy (1986), faktor lingkungan seperti cahaya dan suhu akan berinteraksi dengan fitohormon (termasuk auksin) dan beberapa proses biokimia selama pertumbuhan sehingga diferensiasi berlangsung dan efek pendorong pertumbuhan auksin dikurangi oleh adanya cahaya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan setek cabang bambu betung menjadi lebih lambat walaupun sudah diberi zat pengatur tumbuh. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ini, faktor penyiraman sangat penting karena bambu membutuhkan kelembaban yang tinggi. Faktor air dapat sangat membantu untuk menjaga pertumbuhan. Hal lain yang menyebabkan persentase hidup pada penelitian ini rendah selain beberapa faktor di atas adalah adanya beberapa setek yang memang sampai akhir pengamatan belum tumbuh. Namun setek tersebut tidak mati karena secara visual 67
Jurnal Sylva Lestari Vol. 4 No. 2, April 2016 (61—68)
ISSN 2339-0913
batangnya masih kehijauan. Faktor perbedaan kecepatan pertumbuhan pada setiap tanaman merupakan penyebabnya. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Setek cabang bambu betung merespon pemberian Asam indol butirat (AIB) untuk memacu pertumbuhannya. 2. Konsentrasi zat pengatur tumbuh AIB 200 ppm merupakan konsentrasi yang paling baik untuk memacu pertumbuhan setek cabang bambu betung dibadingkan konsentrasi 100 ppm, 300 ppm, 400 ppm, dan tanpa AIB (0 ppm). DAFTAR PUSTAKA Ardian. 2013. Perbanyakan tanaman melalui stek batang mini tanaman singkong (Manihot esculenta Crantz.) untuk pemulia tanaman dan produsen benih. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 24—32 p. Berlian, N. dan E. Rahayu. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Buku. Penebar Swadaya. Jakarta. 89 p. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Buku. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Buku. Armico. Bandung. 472 p. Handayani, T. 2006. Pembibitan secara stek-mini tanaman melati (Jasminum Sambac (L) Aiton). Jurnal Balai Teknologi Lingkungan. 21—25 p. Harjadi, S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Buku. Penebar Swadaya. Jakarta. 76 p. Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. Buku. CV Rajawali. Jakarta. Iqbal, M., E. I. K. Putri, dan Bahruni. 2014. Nilai ekonomi total sumberdaya bambu (Bambuseae sp.) di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Banten. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 91—105 p. Krisdianto, G. Sumarni, dan A. Ismanto. 2007. Sari hasil penelitian bambu. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Diakses 27 Oktober 2011. Pukul 10.30. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/litbang/teliti/bambu.htm Oktaviana, C. 2006. Pengaruh jumlah dan ruas setek cabang terhadap pertumbuhan vegetatif bambu betung (Dendrocalamus asper). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Sastrosupadi. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Buku. Kanisius. Malang. 276 p. Setiawan, D.A. 1998. Pengaruh asam indol butirat (AIB) dan jenis eksplan untuk pengembangan teknik propagasi vegetatif Leguminosa kaliandra (Calliandra calothrsus meissn) pada media kapas dan media tanah. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soendjoto, M.A. 1997. Upaya peningkatan mutu dan produktifitas hutan menuju pengelolaan hutan lestari. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Uji Coba Balai Teknologi Reboisasi Banjar Baru. BTR Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Sukawi. 2010. Bambu Sebagai Alternatif Bahan Bangunan dan Kontruksi di Daerah Rawan Gempa. Jurnal TERAS. 10 p. Supriyono, dan K.E. Prakasa. 2011. Pengaruh zat pengatur tumbuh Rootone-F terhadap pertumbuhan stek Duabanga mollucana. Blume. Jurnal Silvikultur Tropika. 59--65 p. Yani, A. P. 2014. Keanekaragaman Bambu dan Manfaatnya di Desa Tabalagan Bengkulu Tengah. Jurnal Gradien. 987—991 p. 68