Pengaruh Salinitas Terhadap Perkembangan Metamorfosis Dan Pertumbuhan Larva Abalon Hybrid Sampai Juvenil Muda Umur 35 Hari [Effects of Different Salinity Levels on the Metamorphosis Development and Growth of Hybrid Abalone Larvae to Early Juvenile 35-Day Old] Ahmad Amin1, Yusnaini, dan Irwan J. Effendy 1
Program Studi Budidaya Perairan Kons. Abalon FPIK Universitas Halu Oleo Kampus hijau bumi Tridharma kendari 93232 e-mail:
[email protected]; Abstrak
Perkembangan metamorfosis dan pertumbuhan larva abalon hybrid sampai juvenil muda umur 35 hari telah diteliti setelah larva ditransfer pada tingkat salinitas yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui salinitas yang optimum untuk menunjang perkembangan metamorfosis dan pertumbuhan larva abalon hybrid sampai juvenil muda umur 35 hari dalam hal memperoleh benih abalon yang unggul. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 taraf perlakuan (salinitas 30, 33, dan 36 ppt) dan 3 ulangan. Perbedaan salinitas yang diberikan tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan metamorfosis dan pertumbuhan larva abalon hybrid, dan untuk perkembangan metamorfosisnya masih memiliki pola yang sama dengan jenis abalon perindukannya. Pertumbuhan rata-rata panjang cangkang pada akhir penelitian yaitu, 2,42 mm di salinitas 30 ppt, 2,51 mm di salinitas 33 ppt, dan 2,10 mm di salinitas 36 ppt. Sedangkan untuk lebar cangkang yang didapatkan yaitu, 1,78 di salinitas 30 ppt, 1,77 di salinitas 33 ppt, dan 1,61 di salinitas 36 ppt, dan tidak berbeda nyata diantara ketiga perlakuan tersebut setelah dilakukan analisa statistik dengan menggunakan SPSS 17 dengan taraf kepercayaan 95%. Hal tersebut memberikan bukti bahwa larva abalon dapat dipelihara dan hidup dengan baik pada kisaran salinitas 30-36 ppt. Kata kunci: Salinitas, Perkembangan Metamorfosis, Pertumbuhan, Abalon Hybrid
Abstract Metamorphosis development and growth of hybrid abalone larval up to early juvenile 35-day old was investigated after they were transferred at different salinity levels. This research was aimed to determine the optimum salinity level for the success of development and growth metamorphosis hybrid abalone larval until early juvenile 35 days old to obtain superior abalone seeds. This research was carried out using (CRD) at three different salinity levels (30, 33, and 36 ppt) and conducted in triplicates. Differences in salinity gave no influence on metamorphosis development and growth of larval abalone hybrid, and showed the same metamorphosis stages as their broodstock. The average growth of shell length at the end of the study, was 2.42 mm in salinity 30 ppt, 2.51 mm in salinity 33 ppt, and 2.10 mm in salinity 36 ppt. Meanwhile, the width of the shell obtained was 1.78 mm in salinity 30 ppt, 1.77mm in salinity 33 ppt, and 1.61 mm in salinity 36 ppt, and was not significantly different among the three treatments. It provides evidence that larval abalone can be maintained and live well in the ranges of 30-36 ppt salinity. Key word: Salinity, Metamorphosis development, Growth, Abalone Hybrid
Pendahuluan Abalon merupakan salah satu kelompok hewan gastropoda laut dimana beberapa spesies memegang peranan penting dalam industri perikanan di beberapa negara karena memiliki nilai ekonomis tinggi sebagai makanan laut (sea food) dan perhiasan. Di Indonesia, budidaya abalon relatif baru dikembangkan. Abalone jenis Haliotis asinina (siput mata tujuh) dan Haliotis squamata adalah dua spesies abalon tropis yang utama dibudidayakan (Setyabudi, 2012). Keberhasilan dan keberlanjutan budidaya kerang abalone sangat tergantung pada ketersediaan benih baik dari alam maupun dari hatchery. Benih hasil hibridisasi antara betina blaklip abalon (H. rubra) dan jantan greenlip abalon (H. laevigata) menunjukkan keunggulan fenotipe pada laju partumbuhan, rasio otot/cangkang, tekstur otot/ daging, serta daya tarik
pasar. Demikian pula persilangan antara H. rubra dan H. cylobates menghasilkan individu dengan toleransi suhu yang lebih luas (Freeman, 2001). Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan mortalitas larva adalah kualitas air, antara lain salinitas (Bulanin, 2003). Salinitas menggambarkan konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terlarut dalam badan air (Monoarfa, 2000). Pengaruh salinitas terutama pada proses osmoregulasi (Aryani dkk., 2008). Salinitas akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh seperti proses pencernaan, pertumbuhan maupun sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit (Aryani dkk., 2008). Abalone H. asinina dari embrio sampai dewasa berkembang dan hidup dengan baik pada salinitas 3036 ppt dan salinitas sangat berpengaruh terhadap 36
pertumbuhannya. Salinitas 30-36 ppt sangat optimal terhadap kelangsungan hidup embrio dan spat abalon. Pemeliharaan larva abalon pada tingkat salinitas yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda-beda terhadap perkembangan metamorphosis larva abalon (Effendy, 2000). Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui salinitas yang optimum untuk menunjang perkembangan metamorfosis dan pertumbuhan larva abalon hybrid sampai juvenil muda umur 35 hari dalam hal memperoleh benih abalon yang unggul. Metode Penelitian A.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan dari Mei–Juni 2016 yang bertempat di Hatchery Abalone PT. Sumber Laut Nusantara kerjasama dengan LP2TSPK di Desa Tapulaga, Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. B.
terdapat luka atau cacat serta telah matang gonad (TKG III). 3) Kultur Pakan Alami Kolektor dengan ukuran 20x20 cm dari plat PVC yang bergelombang digantung dalam bak fiber. Bak fiber diisi dengan air yang telah disaring dengan filter bag dan diberi aerasi untuk suplai oksigen. Kemudian mix diatom yang diambil dari lamun ditebar ke dalam fiber. Bentik diatom mulai tumbuh pada minggu ke-2 pemeliharaan. 4) Penyediaan Media Air Tingkat salinitas diukur dengan menggunakan handrefraktometer. Untuk meningkatkan atau menurunkan salinitas sesuai dengan perlakuan yang diinginkan maka dilakukan penambahan garam dan air tawar hingga mencapai salinitas yang diinginkan dengan menggunakan rumus menurut Effendy (2000), sebagai berikut:
Alat dan Bahan CtVt = C1V1 + C2V2
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah fiber, kontainer, plate, mikroskop, counting chamber, pipet tetes, handrefraktometer, pH meter, thermometer kamera digital, eyepiece micrometer, tisu. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk abalon H. asinina dan H. squamata. Sedangkan pakan uji yang digunakan yaitu G. verrucosa, G. arcuata dan bentik diatom. C. Prosedur Penelitian 1) Tahap Persiapan Wadah pemeliharaan induk yang akan digunakan berupa bak fiber yang berisi air laut yang telah dilengkapi dengan aerasi. Induk yang digunakan yakni induk abalone H. asinina yang diperoleh dari pesisir Tapulaga dan H. squamata yang diperoleh dari Bali. Pengadaan pakan untuk induk berupa G. verrucosa (pesisir Torokeku) dan G. arcuata (pesisir Tapulaga). 2) Seleksi dan Pemeliharaan Induk Kriteria abalon yang dipilih untuk dijadikan sebagai induk yaitu abalon yang sehat dengan memiliki pelekatan otot yang kuat, memiliki pergerakan yang aktif, tentakel aktif dan tidak
Dimana: Ct = konsentrasi akhir Vt = Volume akhir C1= konsentrasi awal V1= volume awal C2= konsentrasi air laut yang ditambahkan V2= volume air laut yang ditambahkan
5) Pengamatan Perkembangan Larva Induk jantan dan betina dipijahkan dengan cara spontanious spawning dengan melihat ciri-ciri air yang keruh dan bau air yang khas. Setelah terjadi pemijahan, dilakukan pengambilan 1 ml air sampel kemudian diamati di bawah mikroskop untuk memastikan adanya proses pembuahan. Apabila terjadi pembuahan, pengamatan setiap 5 menit dilakukan hingga larva berada pada fase trochopore atau larva telah keluar dari dinding telur. Penyaringan larva dilakukan setelah terjadi 50 % lebih dari trochopore menetas (keluar dari dinding telur) (Pers.com. Effendy, 2015). Telur yang dibuahi disaring dan diambil dengan pipet dan ditempatkan ke dalam counting chamber dan dihitung di bawah mikroskop. Kemudian masingmasing dengan kepadatan 200 butir ditebar kedalam kontainer yang berisi 10 L air dan plate yang telah ditumbuhi bentik diatom. Selanjutnya, pengamatan perkembangan larva dilakukan hingga larva berumur 35 hari.
37
6) Rancangan Penelitan Rancangan penelitian yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap (RAL) dimana ada 3 perlakuan dengan 3 kali pengulangan, sehingga ada 9 unit percobaan. Sebagai perlakuan dalam ulangan ini adalah salinitas berbeda yaitu: Perlakuan A = Salinitas 30 ± 0,5 ppt Perlakuan B = Salinitas 33 ± 0,5 ppt Perlakuan C = Salinitas 36 ± 0,5 ppt
Dimana: SR = Sintasan (%) Nt = Jumlah Larva yang hidup No = Jumlah Larva yang distok
E.
Analisis Data
Data yang diperoleh dilakukan analisis statistik dengan menggunakan SPSS Statistik 17 Untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap perkembangan metamorfosis larva abalon hybrid sampai juvenil muda umur 35 hari.
D. Variabel yang Diamati Hasil 1) Morfologi Pengamatan secara morfologi perkembangan larva hybrid dilakukan pada saat setelah trochopore menetas (keluar dari dinding telur). 2)
Morfometrik
Pengamatan secara morfometrik dikhususkan pada pengukuran morfologi dengan melihat ukuran panjang dan lebar serta tahapan proses perkembangnnya. Pengukuran morfometrik dilakukan pada hari ke-1,15,25 dan 35. 3)
Pertumbuhan
Pertumbuhan mutlak berdasarkan panjang cangkang akan diukur dengan menggunakan rumus menurut Effendie (1997), sebagai berikut: Li = Lt – Lo Dimana : Li = pertumbuhan mutlak panjang rata-rata (mm) Lt = panjang rata-rata pada waktu-t (mm) Lo = panjang rata-rata pada awal penelitian (mm)
4)
Sintasan Larva
Sintasan larva abalon hybrid berdasarkan persamaan Effendy (2000):
Pengamatan larva yang sudah berumur (-36 jam) menunjukkan ukuran diameter larva abalon hybrid (H. squamata ♂ X H. asinina ♀) dari veliger awal sampai dengan veliger akhir dimana pada fase perkembannya tidak ada perbedaan secara morfologi apabila dibandingkan dengan larva abalon tropis dan subtropis yang telah menetas atau keluar dari dinding telurnya dan pada fase perkembangannya memiliki pola yang sama. 1. Pengamatan Morfologi dan Morfo- metrik Pengamatan morfologi dan morfometrik larva abalon hybrid (H. squamata ♂ X H. asinina ♀) pada tingkat salinitas berbeda yang dipelihara selama 35 hari didapatkan diameter larva secara vertikal (0,25 mm) dan horizontal (0,20 mm) yang berumur (-12 jam) dimana tahap ini telah sampai pada tahap veliger awal dan untuk tahap veliger akhir (-36 jam). Diameter larva secara vertikal maupun horizontal yang diamati belum memiliki pengaruh yang nyata dan pada tahapan ini masih mengalami proses metamorfosis. a.
dihitung
Pengamatan Umur 15 Hari
Hasil pengamatan morfometrik yang didapatkan menunjukkan panjang dan lebar cangkang yang tidak berbeda jauh di setiap perlakuannya. Dimana yang memiliki perbedaan tertinggi ke rendah itu ditunjukk-
38
(0.25 mm) A
(0.20 mm) B
(0.25 mm) C
(0.20 mm) D
Gambar 1. Larva abalon hasil persilangan induk (H. squamata ♂ dengan H. asinina ♀). A. Ukuran vertical veliger awal (-12 jam), B. Ukuran horizontal veliger awal (-12 jam), C. Ukuran vertical veliger akhir (-36 jam), D. Ukuran horizontal veliger akhir (-36 jam) (skala 40 µm).
an pada salinitas 36 ppt yang memiliki panjang(1,00 mm) dan lebar (0,90 mm), salinitas 33 ppt memiliki panjang (0,90 mm) dan lebar (0,80 mm) dan untuk salinitas 30 ppt memilliki panjang (0,80 mm) dan lebar (0,60 mm). Gambar 1 memberikan informasi bahwa setiap perlakuan telah menunjukkan aktifitas tentakel yang sangat aktif bergerak, dimana fungsi dari pada tentakel tersebut ialah sebagai organ peraba dan perasa untuk mencari makan dan dengan panjang cangkang tertinggi yaitu (1,00 mm) belum memiliki lubang respirasi dan dengan umur 15 hari bentuk cangkang yang di dapatkan tidak serupa. a. Pengamatan Umur 25 Hari Hasil pengamatan morfometrik yang didapatkan pada umur 25 hari untuk panjang dan lebar cangkang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dimana ukuran yang tertinggi ke rendah untuk panjang dan lebarnya masih terdapat di perlakuan salinitas 36 ppt dengan panjang cangkang yang sudah mencapai (2,00 mm) dan lebar cangkang (1,50 mm), salinitas 33 ppt memiliki panjang cangkang (1,90 mm) dan lebar cangkang (1,50 mm) dan untuk salinitas 30 ppt memiliki panjang cangkang (1,70 mm) dan lebar cangkang (1,30 mm). Selain panjang dan lebar cangkang, hasil pengamatan pada umur 25 hari juga telah terdapat 1 lubang respirasi serta di ikuti dengan munculnya garis-garis putus berwarna biru pada cangkang yang terdapat di setiap perlakuan serta memiliki aktifitas otot kaki yang cukup kuat untuk melekat pada substrat dan juga menunjukkan pergerakan berpindah tempat yang cukup lincah. b. Pengamatan Morfologi Umur 35 Hari Hasil pengamatan morfometrik yang didapatkan selama 35 hari menunjukkan panjang dan lebar cangkang untuk masing-masing perlakuan tidak adanya pengaruh secara nyata, namun yang berbeda
dari pengamatan sebelumnya ialah didapatkan pada salinitas 30 ppt memiliki panjang dan lebar cangkang lebih tinggi dari perlakuan salinitas 33 ppt dan 36 ppt yaitu panjang cangkang yang dimilikinya (2,90 mm) dan lebar (2,00 mm). Panjang cangkang tersebut lebih tinggi (0,10 mm) dari perlakuan salinitas 36 ppt yang memiliki panjang cangkang (2,80 mm) dan memiliki lebar yang sama pada salinitas 30 ppt (2,00 mm), perbedaan juga terlihat pada salinitas 33 ppt dimana panjang cangkang (2,50 mm) dan lebar cangkang (1,70 mm). Pada pemeliharaan hari ke-35, setiap perlakuan telah terbentuk 2-3 lubang respirasi (tremata) disertai dengan perubahan warna cangkang yang mulai berwarna coklat ke merahan. c. Pertumbuhan Panjang Cangkang Persentase rata-rata pertumbuhan panjang cangkang larva abalon hasil persilangan (H. squamata ♂ X H. asinina ♀) pada tingkat salinitas berbeda yang dipelihara selama 35 hari (Gambar 15) memperlihatkan persentase peningkatan pertumbuhan panjang cangkang yang berbeda di setiap perlakuan. Dimana pada umur 1 hari menunjukkan nilai rata-rata yang sama (0,25) di setiap perlakuan, umur 15, 25 dan 35 hari menunjukkan nilai rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu salinitas 33 ppt (0,98), salinitas 36 ppt (0,97), salinitas 30 ppt (0,83); salinitas 33 ppt (1,74), salinitas 36 ppt (1,62), salinitas 30 ppt (1,57); salinitas 33 ppt (2,51), salinitas 30 ppt (2,42), dan salinitas 36 ppt (2,10). Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) memperlihatkan bahwa perbedaan salinitas pada pertumbuhan panjang cangkang pada hari ke-15 berbeda nyata (P<0,05) dan tidak berpengaruh nyata (P<0,05) pada hari ke-25 dan ke-35. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa pertumbuhan panjang cangkang pada hari ke-1 sampai ke-15 memiliki pengaruh terhadap salinitas. 39
d. Pertumbuhan Lebar Cangkang
Pertumbuhan Panjang Cangkang (mm)
Persentase rata-rata pertubuhan lebar cangkang larva abalone hasil persilangan (H. squamata♂X H. asinina ♀) pada level salinitas berbeda selama 35 hari (Gambar 16) memperlihatkan persentase peningkatan pertumbuhan lebar cangkang yang berbeda di-
setiap perlakuan. Dimana pada umur 1 hari menunjukkan nilai rata-rata yang sama (0,20) di setiap perlakuan umur 15, 25 dan 35 hari menunjukkan nilai rata-rata dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu salinitas 36 ppt (0,90), salinitas 33 ppt (0,84) salinitas 30 ppt (0,73); salinitas 36 ppt (1,26) salinitas 33 ppt (1,26), salinitas 33 ppt (1,26), salinitas 30 ppt
3 2.5 2
Salinitas 30 ppt
1.5
Salinitas 33 ppt
1
Salinitas 36 ppt
0.5 0 Hari ke 1
Hari ke 15 Hari ke 25 Umur
Hari ke 35
Gambar 15. Histogram pertumbuhan panjang cangkang abalon hybrid (H. squamata ♂ X H. asinina ♀) pada tingkat salinitas berbeda.
Pertumbuhan Lebar Cangkang (mm)
(1,18); salinitas 30 ppt (1,78), salinitas 33 ppt (1,77), dan salinitas 36 ppt (1,61). Hasil ANOVA memperlihatkan bahwa perbedaan salinitas yang diujikan pada
pertumbuhan lebar cangkang pada hari ke 15, 25 dan 35 tidak ada pengaruh yang nyata (P>0.05). Dari hasil ini dapat diketahui bahwa pertumbuhan panjang
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Salinitas 30 ppt Salinitas 33 ppt Salinitas 36 ppt
Hari ke 1
Hari ke 15
Hari ke 25
Hari ke 35
Umur Gambar 16. Histogram pertumbuhan lebar cangkang abalon hybrid (H. squamata ♂ X H. asinina ♀) pada tingkat salinitas berbeda.
cangkang pada kisaran salinitas yang berbeda tidak memiliki pengaruh. e. Pertumbuhan Mutlak Berdasarkan Panjang Cangkang
Berdasarkan hasil pengamatan selama 35 hari untuk pertumbuhan mutlak berdasaran panjang cangkang dapat dilihat pada gambar17. Berdasarkan histogram di bawah menunjukkan bahwa nilai rata-rata panjang cangkang tertinggi terdapat pada salinitas 33 40
ppt dengan nilai yaitu (2,26 mm), kemudian pada salinitas 30 ppt dengan nilai (2,17 mm) dan rata rata panjang cangkang terendah yaitu pada salinitas 36 ppt dengan nilai (1,85 mm).
Pertumbuhan Mutlak Berdasarkan Panjang Cangkang (mm)
2.5
f.
Tingkat Kelangsungan Hidup
Persentase rata-rata tingkat kelangsungan hidup larva abalon hasil persilangan (H.squamata ♂ X H. asinina ♀) pada tingkat salinitas berbeda yang
2.26
2.17
1.85
2 1.5 1 0.5 0 Salinitas 30 ppt
Salinitas 33 ppt
Salinitas 36 ppt
Gambar 17. Histogram pertumbuhan mutlak berdasarkan panjang cangkang.
dipelihara selama 30 hari (Gambar 19) memperlihatkan persentase sintasan dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu perlakuan C (36 ppt), A (30 ppt), dan B (33 ppt) berturut-turut 15,83%, 12,83%, dan 8,83 %.
Hasil ANOVA memperlihatkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata perlakuan kisaran salinitas yang diujikan (P(0,855)>α(0,05)) terhadap persentase tingkat kelangsungan hidup larva.
Tingkat Kelangsungan Hidup ( % )
18 15,83
16 14
12,83
12 8,83
10 8 6 4 2 0 Salinitas 30 (ppt)
Salinitas 33 (ppt)
Salinitas 36 (ppt)
Gambar 19. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Abalon hybrid (H. squamata ♂ X H. asinina ♀) pada Tingkat Salinitas Berbeda.
Sebagai variabel pendukung, dilakukan pengukuran parameter kualitas air utamanya suhu dan pH. Suhu selama penelitian relatif fluktuatif antara pagi, siang dan malam namun tetap mendukung kelangsungan hidup larva abalon. Suhu selama penelitian berkisar 27-29oC. Berbeda dengan suhu,
pH selama penelitian relatif stabil yaitu 8.5, dan ini pula merupakan pH yang sangat menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva abalon. Adapun secara lengkap, hasil pengukuran kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
41
Tabel 2. Data Pengukuran Kualitas Air Parameter Awal Penelitian Suhu 28 oC pH 8,5
Akhir Penelitian 27-29 oC 8,5
Pembahasan Banyak faktor internal dan external yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup abalon. Salinitas dipertimbangkan sebagai salah satu faktor utama yang menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup abalon (Chen, 1984). Selain itu pula salinitas berpengaruh pada konsumsi oksigen (Villarreal dkk., 1994). Moluska laut yang ditransfer pada peningkatan salinitas atau penurunan salinitas, dapat meningkatkan atau menurunkan kemampuan osmoregulasi hemolymph moluska tersebut. Inilah yang mungkin menyebabkan sel menjadi menyusut atau membengkak dan mungkin mengatur volume sel melalui pengaturan cairan sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serta menurunkan sintasan larva abalon khususnya larva abalon hasil persilangan H. squamata dengan H. asinina. Didalam siklus hidup abalon terdapat masa transisi dari sifat planktonik ke pelagik melalui melekatnya larva ke substrat. Fase ini merupakan fase yang kritis dimana mempertahankan sintasan abalon setelah fase pelekatan merupakan tantangan terbesar dalam kegiatan pembenihan (Xing dkk., 2008). Perkembangan larva terjadi secara bertahap, dimana pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri atau khas tertentu. Larva abalon settle pada ukuran panjang 0,25 mm (Roberts dkk., 2007). Salinitas diduga berpengaruh secara tidak langsung terhadap pertumbuhan dan sintasan larva abalon. Pada fase veliger abalon masih memanfaatkan kuning telur sebagai sumber utama energi (Grubert, 2005 dalam Freeman, 2001) baik untuk aktifitas metabolisme maupun untuk mencari tempat melekat yang cocok. Perubahan salinitas pada lingkungan diduga mengakibatkan adanya peningkatan kebutuhan energi khususnya dalam menyeimbangkan tekanan osmosis antara tubuh dengan lingkugannya. Hal ini berakibat pada pembagian pemanfaatan energi, baik berupa energi untuk berpindah tempat dalam mencari tempat melekat yang cocok maupun energi dalam menyeimbangkan tekanan osmosis. Semakin tinggi jumlah energi yang digunakan untuk menyeimbangkan tekanan osmosis, maka semakin sedikit cadangan energi yang dapat dimanfaatkan untuk mencari tempat melekat yang cocok sehingga larva veliger akan melekat disembarang tempat mes-
kipun tempat tersebut tidak cocok. Leighton (2008), mengemukakan bahwa larva veliger dapat melekat pada substrat dalam beberapa waktu dan berenang kembali jika substratnya tidak cocok. Ketika larva berada pada tempat melekat yang tidak cocok maka akan berdampak pada rendahnya sintasan larva. Hasil pengamatan dari tahapan perkembangan larva abalon hybrid yang didapatkan pada hari pertama menunjukkan kesamaan perkembangan dari jenis abalon lainnya, dimana ukuran panjangnya 0,25 mm dan lebar 0,20 mm sebelum dilakukan perlakuan salinitas. Setelah dilakukan perlakuan salinitas, hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan secara morfometrik pada panjang dan lebar cangkang pada salinitas 30 ppt, perbedaan tersebut didapatkan pada pengamatan hari ke-15 dan tidak adanya perbedaan pada pengamatan hari ke-25 dan 35. Perbedaan tersebut terkait dengan adanya aktivitas pembelanjaan energi dalam upaya menyeimbangkan tekanan osmosis antara tubuh dengan lingkungannya sehingga pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan pada salinitas 33 ppt dan 36 ppt pada saat larva masih berumur 15 hari. Berbeda dengan hasil uji statistik pada kelulushidupan larva, data menunjukkan tidak ada pengaruh yang nyata untuk masing-masing perlakuan. Ini menunjukkan bahwa larva abalon hasil persilangan (H. squamata ♂ X H. asinina ♀) dapat hidup dengan baik pada kisaran salinitas 30-36 ppt. Hal tersebut dikarenakan larva yang berhasil hidup pada hari ke-15 telah mengalami proses adaptasi terhadap perubahan salinitas yang diberikan. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti abalon seperti Freeman (2001), yang mengemukakan bahwa abalon jenis greenlip dan blacklip dapat mentolerir salinitas antara 23-40 ppt. Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran panjang dan berat pada periode waktu tertentu. Pertumbuhan mutlak berdasarkan panjang cangkang pada setiap perlakuan salinitas yang berbeda tidak menunjukkan hasil yang berbeda jauh. Dimana pada salinitas 30 ppt, 33 ppt dan 36 ppt diperoleh rata-rata pertumbuhan panjang cangkang masing-masing sebasar 2,17 mm, 2,26 mm dan 1,85 mm. Dari data hasil pertumbuhan panjang cangkang yang didapatkan untuk setiap salinitas menunjukkan bahwa ratarata pertumbuhan panjang cangkang tertinggi dipe42
roleh pada salinitas 33 ppt dan terendah pada salinitas 36 ppt. Persentase pertumbuhan panjang dan lebar cangkang yang tertinggi setiap waktu pengamatan didapatkan pada salinitas 33 ppt. Hal tersebut dikarenakan pada perlakuan tersebut tidak mengalami aktifitas pembelanjaan energi yang begitu banyak serta kepadatan larva yang berhasil hidup lebih sedikit dibandingkan dengan kepadatan larva yang berhasil hidup pada salinitas 36 ppt. Perbedaan ini berkaitan dengan kepadatan bentik diatom yang terdapat pada setiap ulangan, tingginya kepadatan larva yang berhasil hidup pada salinitas 36 ppt sehingga persaingan dalam memperoleh makanan akan lebih tinggi dibandingkan dengan salinitas 33 ppt yang memiliki kepadatan larva lebih sedikit, hal tersebut juga diduga bahwa salinitas tersebut mendekati titik osmotik larva sehingga energi yang dipergunakan untuk proses osmoregulasi lebih sedikit sehingga sebagian besar energi tersebut dapat dipergunakan untuk perkembangan tubuh larva. Pernyataan diatas sesuai dengan pendapat Bulanin (2003) bahwa perbedaan salinitas berpengaruh terhadap perkembangan larva melalui proses osmoregulasi dan nilai konsentrasi osmotik media yang tidak jauh berbeda dengan konsentrasi osmotik cairan tubuh akan menghasilkan pertumbuhan tubuh yang cepat. Salinitas 30 ppt dan 36 ppt memiliki pertumbuhan panjang dan lebar cangkang yang tidak berbeda jauh. Dimana pada pengamatan hari ke- 15 dan ke- 25, salinitas 36 ppt lebih tinggi dari salinitas 30 ppt. Namun pada pengamatan hari ke-35 pertumbuan panjang dan lebar cangkang lebih tinggi pada salinitas 30 ppt dari pada 36 ppt. Data yang didapatkan tersebut disebabkan karena pada salinitas 36 ppt untuk pengamatan hingga hari ke- 25 tidak mengalami aktifitas pembelanjaan energi dalam menyesuaikan tekanan osmosis antara tubuh dengan lingkugannya sehingga aktifitas yang dilakukan hanya mencari makan untuk tumbuh dan berkembang. Sedangkan pertumbuhan panjang dan lebar cangkang yang didapatkan pada hari ke- 35 yaitu salinitas 36 ppt lebih rendah dari pada salinitas 30 ppt dikarenakan kepadatan bentik diatom yang sudah mulai berkurang dan persaingan dalam mencari makan lebih tinggi karena pada salinitas 36 ppt memiliki kepadatan larva yang lebih banyak disetiap perlakuan. Berbeda dengan persentase kelulushidupan larva yang tertinggi diperoleh pada salinitas 36 ppt (15,83%). Ini mengindikasikan bahwa salinitas 36
ppt merupakan salinitas yang paling optimum dalam mendukung kelulushidupan larva abalon hasil persilangan (H. squamata ♂ X H. asinina ♀). Hal ini disebabkan karena pada salinitas tersebut larva berosmoregulasi dengan baik tanpa adanya penyeimbangan terlebih dahulu tekanan osmosis antara tubuh dengan lingkungannya. Ini disebabkan karena selama pemelihraan induk sampai masing-masing dari induk (H. squamata ♂ X H. asinina ♀) menghasilkan telur yang terbuahi secara homogen, kisaran salinitas yang didapatkan antara 35-37 ppt sehingga larva yang mengalami pembelahan sel sampai aktif berenang sebelum cadangan makanannya (kuning telur) habis, larva dapat menghemat penggunaan energi dalam menyeimbangkan tekanan osmosis, sehingga energi yang ada dapat dimanfaatkan dalam pencarian tempat melekat yang baik yang dapat mendukung kelangsungan hidup larva. Chen (1984) menjelaskan abalon H. diversicolor pada fase spat lebih toleran terhadap perubahan salinitas dibandingkan pada fase embrio. Kisaran salinitas 32-35 ppt dipertimbangkan optimal terhadap kelangsungan hidup embrio dan spat. Ini mengindikasikan bahwa sifat larva abalon hasil persilangan antara (H. squamata ♂ X H. asinina ♀) masih mengikuti sifat larva abalon lainnya. Salinitas 30 ppt dan 33 ppt memiliki persentase kelulushidupan larva yang tidak terlalu jauh berbeda. Dibandingkan dengan salinitas 36 ppt, salinitas 30 ppt dan 33 ppt memiliki persentase kelulushidupan yang lebih rendah walaupun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan untuk setiap perlakuan. Oleh karena salinitas awal sebelum perlakuan berkisar antara 35-37 ppt maka pada saat pemeliharaan larva untuk masing-masing salinitas perlakuan (30 ppt dan 33 ppt) terjadi pembelanjaan energi pada larva dalam upaya menyeimbangkan tekanan osmosis. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cheng dkk., (2002) bahwa perubahan pada salinitas dapat mengganggu keseimbangan tekanan osmosis moluska laut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam upaya pengaturan kembali konsentrasi osmosis, organisme bersangkutan akan membelanjakan energi sebisa mungkin. Dalam upaya penyeimbangan tekanan osmosis, suatu organisme memungkinkan dapat mengganggu dan berakibat pada pembelajaan energi sebagai upaya untuk menyeimbangkan tekanan osmosis (Bouma, 2007). Perlakuan salinitas 30 ppt dan 33 ppt terjadi penurunan salinitas masing-masing 6 dan 3 ppt. Penurunan salinitas ini berdampak pada penurunan osmoregulasi hemolymph, hemolymph klorida (Cl-), 43
hemolymph sodium (Na+) dan potasium (K+) dan memerlukan waktu untuk menstabilkan atau menyeimbangkan tekanan osmosis antara lingkungan dan dalam tubuh yang dilakukan oleh induk abalon H. diversicolor supertexta (Cheng dkk., 2002). Dalam upaya penyeimbangan tersebut mengakibatkan terjadinya pembelanjaan energi. Pembelanjaan energi yang dilakukan oleh larva tentu akan berbeda antara larva yang dipelihara pada salinitas 30 ppt dengan larva yang dipelihara pada salinitas 33 ppt. Pembelanjaan energi akan semakin besar apabila semakin besar tingkat perubahan salinitas dari salinitas awal sehingga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup larva. Bouma (2007) melakukan penelitian pada larva abalon H. kamtschatkana dari salinitas 30 ppt ditransfer ke salinitas 14, 17, 20, 23, 26 dan 30 ppt memperlihatkan tingginya tingkat mortalitas. Dimana pada salinitas 14 ppt tingkat mortalitas mencapai 100% pada hari pertama, hari kedua pada salinitas 17 dan 20 ppt, 98% pada salinitas 23 ppt, 50-60% pada salinitas 26 ppt dan 10-20% pada salinitas 30 ppt. Kemampuan abalon untuk tetap bertahan hidup dengan adanya perubahan pada salinitas tergantung pada kemampuan abalon dalam meregulasi osmotik dan ion dalam melakukan osmoregulasi. Cl- dan Na+ merupakan cairan utama osmoregulasi hemolymph. Cheng dkk., (2002) mengemukkakan bahwa induk abalon H.diversicolor supertexta bersifat hipoosmotik pada media di atas kisaran salinitas 23-38 ppt dengan kemampuan osmoregulasi lebih kecil dari medium osmoregulasi. Kemampuan osmoregulasi hemolymph meningkat seiring meningkatnya salinitas dari 23 ppt sampai 38 ppt. Abalon H. diversicolor supertexta bersifat hipoionik pada konsentrasi Cl- dan Na+ diatas kisaran salinitas 28-38 ppt. Abalon memiliki konsentrasi hemolymph Cl-10-34 mmol/L lebih rendah dari konsentrasi medium Cl-, dan memiliki konsentrasi hemolymph Na+ 12-29 mmol/L lebih rendah dari konsentrasi medium Na+. Konsentrasi hemolymph Cl- meningkat dengan meningkatnya salinitas dari 23-38 ppt, sedangkan konsentrasi hemolymph Na+ meningkat dari 23-38 ppt. Lain halnya dengan ion K+, H. diversicolor supertexta bersifat hiperionik dengan konsentrasi K+ diatas kisaran salinitas 23-28 ppt. Abalon memiliki hemolymph K+ 1-2 mmol/L lebih tinggi dari konsentrasi medium K+. Konsentrasi hemolymph K+ meningkat seiring meningkatnya salinitas dari 23-38 ppt.
Kesimpulan Salinitas 30-36 ppt merupakan salinitas yang optimum untuk menunjang perkembangan metamorfosis dan pertumbuhan larva abalon hybrid sampai juvenil muda umur 35 hari. Perbedaan salinitas 30, 33 dan 36 ppt tidak memiliki pengaruh dalam perkembangan metamorfosis dan pertumbuhan larva abalon hybrid (H.squamata ♂ X H. asinina ♀), dan untuk perkembangan metamorfosis masih memiliki pola yang sama dengan jenis abalon perindukannya. Pengukuran rata-rata panjang cangkang yang didapatkan pada hari ke-35 yaitu, 2,42 mm pada salinitas 30 ppt, 2,51 mm pada salinitas 33 ppt, dan 2,10 mm pada salinitas 36 ppt sedangkan untuk pengukuran lebar cangkang yang didapatkan yaitu, 1,78 pada salintias 30 ppt, 1,77 pada salinitas 33 ppt, dan 1,61 pada salinitas 36 ppt. DAFTAR PUSTAKA Aryani, D., Gregorius, N.S., Sumardi, Iswadi, 2008. Pengaruh perubahan salinitas terhadap virulensi white spot syndrome virus (Wssv) pada udang putih Litopenaeus vannamei. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung, Lampung. Bulanin, U., C. R. Saad., R. Affandi., F. P. Putri. 2003. Perkembangan embrio dan penyerapan kuning telur larva ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, pada salinitas 27, 30 dan 33 ppt. Mangrove dan Pesisir Vol. III No. 3. Bouma, J. V. 2007. Early life history dynamics of pinto abalone (Haliotis kamtschatkana) and implications for recovery in the San Juan archipelago, Washington State. Thesis (MS). School of Aquatic and Fisheries Science, University of Washington, Seattle, WA. Chen, H., 1984. Recent innovations in cultivation of edible molluscs in taiwan, with special reference to the small abalone Haliotis diversicolor and the hard clam Meretrix lusoria. Aquaculture, 39: 11-27 Cheng, W., S.P., Yeh, C.S., Wang, J.C. Chen, 2002. Osmotic and ionic changes in taiwan abalone Haliotis diversicolor supertexta at different salinity levels. Journal Aquaculture 203: 349-357. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
44
Effendy, I. J. 2000. Study on early developmental stages of donkey ear abalone (Haliotis asinina). Linneaus1758. Institute of Aquaculture College of Fisheries University of the Philippines in the Visayas. Miagao, Illoilo. Philippine. Efendy, I. J. 2007. Pengembangan teknologi pembenihan dan budidaya abalon (Haliotis asinina) di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Moluska Dalam Penelitian, Konservasi dan Ekonomi. hlm 20-26. Freeman, K. A. 2001. Aquaculture and related biological attributes of abalone species in Australia. Fhisheries Research Report. No. 128. Western Australia Marine Research Laboratories Department of Fisheries. Leighton, P. 2008. Abalone Hatchery Manual. BIM No:25. Lafarga, F. and Cristian, G.E., 2011. Intraspecies and interspecies hybrids in Haliotis: natural and experimental evidence and its impact on abalone aquaculture. Reviews in Aquaculture, 3:74-99. Monoarfa, 2000. Manajemen Kualitas Air. Universitas Hasanudin. Makassar. Moustakas, C.T., Wade, O.W., Kimberly A.C., 2003. Combined effects of photoperiod and salinity on growth, survival, and osmoregulatory ability of larval southern flounder paralichthys lethostigma. The University of North Carolina at Wilmington, Center for Marine Science.
Roberts, R.D., N.P.Revsbech., L.R. Damgaard. 2007. Effect of water velocity and benthic diatom morphology on the water chemistry experienced by postlarval abalone. Journal of Shellfish Research. Vol (26)3:745–750. Sucipto, A., 2009. Pengaruh salinitas dalam proses osmoregulasi.http://toolbar.ask.com/toolbarv /askRedirect?o=101699&gct=&gc=1&q=too lbar.ask.com. Diakses 5 Januari 2010. Setyabudi. H., Gagan. G., Arif. S., Adeyana. 2012. Rekayasa kawin silang abalon Haliotis asinina dengan Haliotis squamata untuk menghasilkan benih abalon hibrid. Villarreal H., Hinojosa, P., Naranjo, J., 1994. Effect of Temperature and Salinity on the Oxygen Consumption of Laboratory Produced Penaeus vannamei Postlarvae. Cent. Investigaciones biológicas B.C.S., La Paz 23000, MEXIQUE. Copyright 2007 INIST-CNRS. All rights reserved Won, N-11., Kawamura, T., Onitsuka, T., Hayakawa, J., Watanabe, S., Harii, T., Takami, H., dan Watanabe, Y., 20007. Community and trophic structures of abalone Haliotis Diversicolor Habitat in Sagami Bay, Japan. Fisheries Science 73:1123-1136. Xing, R.L., C.H. Wang., X.B. Cao and Y.Q. Chang. 2008. Settlement, growth and survival of abalone, haliotis discus hannai, in response to eight monospecific benthic diatoms. Journal Appl. Phycol 20: 47-53.
45