kampoeng percik
Peraturan desa... Kontribusi Dari Slamet Luwihono Tuesday, 02 October 2007
Manfaat dan Arti Pentingnya Peraturan Desa Bagi Upaya Pencapaian Kesejahteraan Masyarakat Desa 1. Demokratisasi, Otonomi daerah, dan Partisipasi Masyarakat Penerapan otonomi daerah sebagaimana telah dituangkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah harus diarahkan kepada upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewaan daerah. Untuk mewujudkan kesejahteraan itu, nilai-nilai dalam otonomi daerah yang harus dikembangkan adalah: partisipasi, transparansi, dan akuntabilitis dalam penyelenggaraan negara oleh pemerintahan. Nilai-nilai dalam otonomi tersebut merupakan unsur-unsur dari demokratisasi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, konsep demokrasi, otonomi daerah, dan partisipasi masyarakat merupakan tiga hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pembukaan ruang bagi partisipasi publik dalam penyelenggaraan negara adalah inti dasar dari negara demokrasi. Demikian juga otonomi daerah, hendaknya juga dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi. Dengan demikian konsolidasi demokrasi hendaknya dibarengi dengan proses menuju penyelenggaraan negara berdasarkan partisipasi masyarakat melalui upaya-upaya perwujudan otonomi daerah. Dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia era “hukum yang berorientasi pada birokrat” yang selama ini mendominasi sistem hukum di Indonesia sudah saatnya diganti dengan hukum yang lebih demokratis, yang melayani dan memihak kepada kepentingan rakyat banyak, dan penyusunannya dilakukan secara partisipatif. Proses perancangan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia baik secara normatif maupun dalam praktik masih cendrung besifat elitis, tertutup dan hanya memberi peluang yang sangat minimal bagi partisipasi masyarakat luas dalam proses tersebut. Para stake holders seringkali justru ditinggalkan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, padahal stake holderes merupakan pihak yang paling berkepentingan terhadap lahirnya suatu peraturan perundang-undangan. Peraturan Desa (Perdes), merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang relatif baru, dalam kenyataan di lapangan belum begitu populer dibandingkan dengan bentuk peraturan perundang-undangan yang lain. Karena masih relatif baru dalam praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa, seringkali Perdes ini diabaikan. Bahkan masih banyak dari pemerintah dan bahkan masyarakat desa mengabaikan Perdes ini sebagai dasar penyelenggaraan urusan kepemerintahan di tingkat desa. Kenyataan seperti itu berdampak pada kurangnya perhatian pemerintahan desa dalam proses penyusunan sampai pada implementasi suatu Perdes. Banyak pemerintahan desa yang mengganggap “pokoknya ada” terhadap peraturan desa, sehingga seringkali Perdes disusun secara sembarangan. Padahal Perdes hendaknya disusun secara sungguh-sungguh berdasarkan kaidah demokrasi dan partisipasi masyarakat sehingga benar-banar dapat dijadikan acuan bagi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Sejak lahirnya Perdes sebagai dasar hukum yang baru bagi penyelenggraan pemerintahan di desa, pembentukkannya lebih banyak atau bahkan hampir seluruhnya disusun oleh pemerintah desa tanpa melibatkan lembaga legislatif di tingkat desa (Badan Perwakilan Desa dan sekarang disebut Badan Permusyawaratan Desa), apalagi melibatkan masyarakat. Padahal demokratisasi penyusunan perundang-undangan bukan saja menjadi kebutuhan di aras nasional namun juga di aras lokal desa. Sejalan dengan berkembangnya otonomi daerah atau otonomi masyarakat, di desa belum dirasa adanya peranan anggota BPD yang signifikan dalam melaksanakan fungsi legislasinya. Demikian juga peran masyarakat dirasa masih sangat minim dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Pada era otonomi daerah, dipandang perlu penguatan lembaga-lembaga desa serta penguatan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Penguatan lembaga-lembaga desa serta organisasi masyarakat desa ini perlu supaya ada pembatasan dominasi kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintah di desa. Dengan berlakunya Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang baru, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, fungsi serta kewenangan Badan Perwakilan Desa yang berdasarkan UU 32/2004 diganti nama menjadi Badan Permusyawaratan Desa mengalami penyempitan fungsi dan kewenangan, yaitu hanya berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat . Meskipun Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan UU 32 / 2004 tidak memiliki fungsi pengawasan/kontrol terhadap kepala desa, tetapi dari sisi pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan masih terbuka dengan diberikannya dua fungsi kepada Badan Permusyawaratan Desa yang dulu dimiliki oleh BPD berdasarkan UU 22 / 1999, yaitu fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan bersama kepala desa menetapkan peraturan desa (Perdes). Fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi dan fungsi menetapkan Perdes yang dimiliki Badan http://www.percik.or.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 20 January, 2017, 22:26
kampoeng percik
Permusyawaratan Desa merupakan sarana penting bagi pelembagaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan desa . Pembuatan Perdes dalam konteks otonomi daerah hendaknya ditujukan dalam kerangka: a. melindungi dan memperluas ruang otonomi dan kebebasan masyarakat, b. membatasi kekuasaan (kewenangan dan intervensi) pemerintah daerah dan pusat, serta melindungi hak-hak prakarsa masyarakat desa, c. menjamin kekebasan masyarakat desa, d. melindungi dan membela kelompok yang lemah di desa, e. menjamin partisipasi masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan antara lain, dengan memastikan bahwa masyarakat desa terwakili kepentingannya dalam Badan Permusyawaratan Desa, f. memfasilitasi perbaikan dan pengembangan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat desa. 2. Pemerintahan Desa yang Baik ( Good Village Governance ) Pembentukan peraturan hukum (Perdes) yang demokratis hanya akan terjadi apabila didukung oleh pemerintahan desa yang baik dan sebaliknya pemerintahan yang baik akan diperkuat dengan peraturan hukum yang demokratis. Dengan demikian, terdapat hubungan timbale balik dan saling menunjang antara pemerintahan yang baik dengan peraturan hukum yang demokratis. Pemerintahan yang baik adalah sekumpulan prinsip dan gagasan tentang : a. keabsahan (legitimasi) , kewenangan (kompetensi) dan pertanggungjawaban (accountability) dari pemerintah, b. penghormatan terhadap kewibawaan (supremasi) hukum dan perangkatnya dan hak asasi manusia, serta c. berbagai hal lainnya yang diharapkan oleh rakyat dari pemerintah yang melayani kepentingan khalayak, Pemerintah yang baik adalah sebuah kerangka mendasar di mana kegiatan wira usaha (pedagang, petani, buruh, dll.) dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan kesejahteraan secara adil. Pemerintah yang baik menjamin hak masyarakat umum untuk mendapatkan pelayanan umum seperti kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan publik yang lainnya. Tanpa suatu pemerintahan yang baik, sangatlah sulit untuk mewujudkan pelayanan publik dengan kualitas yang baik. Ciri-ciri dan kewajiban pemerintah yang baik: bersifat menolong, bergantung pada tata aturan, bersifat terbuka (transparan), harus bertanggungjawab (accountable), menghargai dana publik (atau uang rakyat), bersifat responsive, menawarkan informasi, bersifat adil. Semangat demokratisasi dan otonomi menuntut proses pembentukan perundang-undangan itu terjadi secara demokratis, yang antara lain dicirikan oleh : a. Partisipasi masyarakat luas : Proses perencanaan harus memberi kesempatan yang seluas-luasnya, khususnya kepada pihak-pihak yang akan dipegaruhi oleh keputusan yang akan dibuat (stake holders atau pihak yang mempunyai kepentingan). Untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pengambilan keputusan. b. Transparansi : adanya keterbukaan sehingga masyarakat dan pers dapat mengetahui dan memperdebatkan draft rancangan secara rinci; c. Pertanggung jawaban: menyerahkan keputusan mereka untuk dikaji oleh instansi yang lebih tinggi dan oleh orangorang yang berhak memilih. d. Dalam bingkai peraturan : Pembuatan keputusan tidak didasarkan atas intuisi dan kecenderungan sesaat, namun sesuai dengan norma-norma yang telah disepakati yang didasarkan atas akal sehat dan pengalaman. 3. Perdes dalam Tata urutan Peraturan Perundang-undangan Peraturan tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku adalah UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang ini merupakan aturan formal yang yang secara garis besar memuat tiga bagian besar yaitu Tata Urutan Perundang-undangan & Materi Muatan Perundangan, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Teknis Perundang-undangan. Sebelum berlakunya UU 10/2004, ketiga hal di atas diatur dalam Ketetapan MPR No. III tahun 2000 dan Keputusan Presiden No. 188 tahun 1998. Berdasarkan UU 10/2004 ini Perdes menempati urutan terbawah dari tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara berurutan adalah sebagai berikut: UUD 1945; Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah http://www.percik.or.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 20 January, 2017, 22:26
kampoeng percik
Keputusan Presiden/ Peraturan Lembaga Negara; Peraturan Daerah, yang meliputi peraturan daerah propinsi, peraturan daerah kabupaten/kota, dan peraturan desa.
Berbeda dengan pengaturan tentang tata urutan perundangan yang berlaku sebelumnya yang hanya sampai peraturan daerah, UU No. 10 / 2004 ini telah memberi posisi –yang itu berarti ada pengakuan- terhadap Perdes pada hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan Perdes menurut UU No. 10 tahun 2004 adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau dengan nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. T ata cara penyusunan UU sampai dengan perda kabupaten/kota diatur dalam UU No. 10/2004, sedangkan ketentuan mengenai tata cara pembuatan peraturan desa dimandatkan oleh UU No. 10 / 2004 untuk diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Penyerahan mandat mengatur tata cara pembuatan peraturan desa ini rupa-rupanya dimaksudkan untuk mengakomodasi keanekaragaman desa di masingmasing kabupaten atau kota . 4. Asas dan Materi Muatan Perdes Dalam menyusun peraturan desa terdapat batasan-batasan yang harus dijadikan acuan umum dalam penyusunan paraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan pasal 5 UU No. 10 / 2004, dalam menyusun peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan ; bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat ; bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan ; bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis perundang-undangannya. d. dapat dilaksanakan ; bahwa dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. e. kedayagunaan dan kehasilgunaan ; bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. kejelasan rumusan ; bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistimatika, dan pilihan kata atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengeri sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya. g. keterbukaan ; bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan materi muatan perdes juga harus mengacu pada asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang meliputi: pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hokum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hokum, dan atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Materi muatan perdes adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan yang di dalamnya tidak diperbolehkan mengatur tentang ketentuan pidana. Termasuk penyelenggaraan urusan desa misalnya, Perdes APBDes, Perdes Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemdes, Perdes tentang Kedudukan Keuangan Kapala Desa dan Perangkat Desa, dan lain-lain. Pada dasarnya Perdes adalah kesepakatan-kesepakatan dari komponen-komponen masyarakat yang dituangkan dalam bentuk tertulis. 5. Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Perdes Satu hal penting yang tidak boleh terlewatkan adalah partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan http://www.percik.or.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 20 January, 2017, 22:26
kampoeng percik
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam pasal 53 UU No. 10 / 2004 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undangundang dan rancangan peraturan daerah. Dari ketentuan ini kita dapat melihat bahwa apakah ruang bagi partisipasi masyarakat hanya terbuka bagi penyusunan dan penetapan Undang-undang dan peraturan daerah? Bagaimana dengan penyusunan dan penetapan produk-produk hukum yang lain seperti Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden yang juga seringkali membebani rakyat. Selain terbukanya ruang partisipasi, bagaimana dengan jaminan terhadap nasib masukan yang diberikan kepada pengambil kebijakan dalam arti adakah hak masyarakat untuk menanyakan argumentasi penolakan suatau masukan dari masyarakat terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan? Gagasan partisipasi politik pada dasarnya adalah satu ide untuk memungkinkan keterlibatan masyarakat desa dalam proses politik di tingkat desa, terutama dalam proses pengambilan kebijakan public di desa. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik ini merupakan upaya untuk melakukan pembatasan kekuasaan, untuk melakukan kontrol sosial terhadap praktek penyelenggara pemerintahan desa. Dengan adanya partisipasi dalam kegiatan politik, maka pemerintahan desa harus mempertimbangkan kepentingan rakyat desa sebagai dasar pengambilan keputusan publik. Yang dimaksud dengan “partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan. Untuk mewujudkan good governance maka dipandang perlu diatur peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Pemberian ruang kepada masyarakat untuk berperan serta ini sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi. Prinsip ini mengharuskan Penyelenggara Negara (pemerintahan) membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai Penyelenggaraan negara.
6. Makna Penting Perdes Partisipatif a. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik diperlukan dukungan seperangkat peraturan desa yang bisa mengarahkan penyelenggara pemerintahan desa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. b. Untuk mengubah perilaku penyelenggara pemerintah desa ke arah perilaku yang berpihak kepada rakyat di suatu desa, maka penyusunan instrumen hukum berupa peraturan desa haruslah dilakukan secara partisipatif, dengan melibatkan semua unsur yang ada dalam masyarakat dan dilakukan secara terbuka. c. Dengan penyusunan perdes yang partisipatif ini, peluang pemerintahan desa untuk menggunakan perdes sebagai alat politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan pribadinya dapat diminimalisir. d. Partisipasi dapat digunakan sebagai instrumen pembatasan kekuasaan pemerintahan desa dan sebagai mekanisme kontrol sosial bagi pemerintahan desa dalam penyusunan perdes yang berdampak pada masyarakat.
7. Tantangan Pelaksanaan Partisipasi Dalam Penyusunan Perdes a. Sistem yang terbangun dalam penyusunan Perdes belum memberikan ruang yang luas, aman, dan memadahi bagi pengembangan partisipasi masyarakat. b. Belum terbangun kemauan politik dari pemerintahan di desa (sebagai prasyarat partisipasi) untuk melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan Perdes. c. Sudah berkembangnya kultur tanpa partisipasi, sehingga partisipasi sering dimaknai sebagai ekspresi resistensi. d. Masih rendahnya kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi. e. Minimnya kemampuan dalam keuangan, karena dalam pelaksanaan partisipasi tidak bisa dilepaskan dari pendanaan. Selain itu, partisipasi membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas karena esensi dari partisipasi masyarakat adalah masyarakat aktif. Tanpa masyararakat aktif, ruang partisipasi yang sudah terbuka tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Menurut Amitai Etzioni (1968), masyarakat aktif diartikan sebagai masyarakat yang dapat menentukan dirinya sendiri ( societal self-control) dan untuk keadaan tersebut dibutuhkan komitmen dan akses pada informasi . Lawan dari masyarakat aktif adalah masyarakat pasif untuk menggambarkan keadaan masyarakat yang apolitis, fatalistis dan bersikap “masa bodoh”. Kondisi masyarakat Indonesia yang sudah lama ditentukan dari pusat sehingga “kran” partisipasi tersumbat telah mengkondisikan pada gambaran masyarakat pasif 8. Urgensi Perdes dalam Menggapai Kesejahteraan Masyarakat Desa http://www.percik.or.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 20 January, 2017, 22:26
kampoeng percik
Dalam memaknai otonomi seringkali kita terjebak pada pemahaman bahwa otonomi sebagai tujuan. Padahal apabila kita simak, tujuan penyelenggaraan negara adalah kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut dibuatlah berbagai instrument yang salah satunya adalah otonomi daerah. Dengan demikian otonomi daerah marupakan salah satu instrument dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, keberhasilan penerapan otonomi daerah perlu dukungan berupa perilaku penyelenggara pemerintah (pejabat) yang bersih dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik ( good governance ) diperlukan dukungan seperangkat peraturan yang bisa mengarahkan penyelenggara pemerintah melakukan perubahan. Untuk mengubah pola perilaku penyelenggara pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat ke perilaku baru yang berpihak kepada rakyat dalam suatu komunitas desa yang demokratis, maka penyusunan instrumen hukum berupa Perdes haruslah dilakukan secara partisipatif dan demokratis. Partisipatif berarti bahwa dalam penyusunan Perdes haruslah melibatkan semua unsur yang ada dalam masyarakat dan diulakukan secara terbuka. masyarakat sebagai pihak yang akan terkena dampak pemberlakukan suatu kebijakan yang dituangkan dalam Perdes haruslah diberi ruang untuk bisa menentukan nasibnya sendiri. Dalam merancang suatu Perdes, hendaknya diperhatikan kondisi-kondisi spesifik yang riil ada di masyarakat baik karakter, sumber daya alam, dan sosial budaya. Untuk proses pelibatan masyarakat dalam penyusunan Perdes, Badan Permusyawaratan Desa dituntut tidak hanya memainkan perannya sebagai penampung dan penyalur aspirasi, tetapi harus juga memperjuangkan kepentingan rakyat dalam penyusunan Perdes tersebut. Memang sebaiknya dalam penyusunan Perdes, penyalur aspirasi jangan terbatas pada Badan Permusyawaratan Desa - mengingat badan tersebut representasinya masih dipertanyakan – tetapi juga dibuka unsur-unsur lain seperti unsur pemuda, perempuan, petani atau nelayan, dan unsur-unsur kepentingan lain. Dengan demokratisasi dalam penyusunan Perdes ini, peluang peneyelanggara pemerintah desa untuk menggunakan instrument Perdes hanya sebagai alat politik memperjuangkan kepentingan pribadinyanya bisa diminimalisir. memang idealnya Perdes jangan dijadikan alat politik bagi penguasa untuk kepoentingan pribadinya tetapi Perdes adalah merupakan instrument untuk mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Perdes yang berorientasi pada kepentingan rakyat, penyusunannya hendaklah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip partisipasi dan demokrasi. 9. Aspek Teknis Penyusunan Perdes 1) Syarat Perdes yang baik Secara umum, sebuah peraturan yang baik harus memenuhi tiga syarat berlaku yakni: a. Berlaku secara yuridis yakni apabila peraturan tersebut disusun sesuai dengan prosedur atau tatacara pembentukan peraturan yang berlaku didalam masyarakat tersebut ; dan b. Berlaku secara filosofis yakni apabila isi peraturan tersebut sesuai dengan nilai-nilai tertinggi yang berlaku dan dihormati didalam masyarakat tersebut ; c. Berlaku secara sosiologis yakni apabila isi peraturan tersebut sesuai dengan aspirasi dan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat tersebut.
2) Hukum adalah produk Politik Hukum (baca : peraturan desa) pada dasarnya merupakan produk atau kristalisasi normatif dan implementatif dari kehendak-kehendak politik dari banyak pihak yang saling bersaing. Dengan demikian setiap produk hukum memiliki karakter atau ciri-ciri sesuai dengan konfigurasi politik yang melahirkannya. Dalam garis-besarnya ada dua macam konfigurasi politik yaitu: a. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi yang demikian, pemerintah lebih merupakan “komite” yang harus melaksanakan kehendak-kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan parpol berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara, sedangkan dunia pers dapat melaksanakan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman pembreidelan. b. Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan , dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan parpol tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah; sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan senantiasa berada di bawah kontrol http://www.percik.or.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 20 January, 2017, 22:26
kampoeng percik
pemerintah dan bayang-bayang pembreidelan. Sedangkan dari sisi responsibilitas hukum, dibedakan mejadi dua yaitu: a. Produk hukum responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutantuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan lembaga peradilan, hukum, diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat; sedangkan rumusannya biasanya cukup rinci sehingga tidak terbuka untuk dapat diinterpretasi berdasarkan kehendak dan visi pemerintah sendiri. b. Produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguhsungguh. Jika prosedur seperti itu ada biasanya lebih bersifat formalitas. Di dalam produk yang demikian biasanya hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah. Rumusan materi hukumnya biasanya bersifat pokok-pokok saja sehingga dapat diinterpretasi oleh pemerintah menurut visi dan kehendaknya sendiri dengan berbagai peraturan pelaksanaan. 3). Asas Perundang-undangan a. Undang-Undang tidak berlaku surut Asas ini tercantum dalam isi pasal 2 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) bahwa suatu undang-undang itu hanya mengikat bagi masa yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut. Dari bunyi Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa suatu undang-undang hanya dapat diterapkan terhadap perbuatan yang terjadi sesudah peraturan/undang-undang itu berlaku atau dengan perkataan lain bahwa undangundang tidak berlaku surut. b. Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan UU yang terdahulu. Asas ini dikenal dengan adagium “Lex posteriore derogat legi priori” , yang berarti bahwa undang-undang yang baru merubah/meniadakan undang-undang yang lama yang mengatur materi yang sama. Jadi apabila suatu masalah yang diatur dalam suatu undang-undang , kemudian diatur kembali dalam suatu undangundang yang baru, meskipun undang-undang yang baru tersebut tidak mencabut / meniadakan berlakunya undangundang yang lama itu, dengan sendirinya undang-undang yang lama yang mengatur hal yang sama tidak berlaku lagi. Atau dianggap merupakan pencabutan undang-undang secara diam-diam. c. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. Asas ini sebenarnya dijabarkan atau merupakan konsekwensi dari asas bahwa undang-undang yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Hal ini didasarkan pada adanya hierarkhi dalam peraturan perundangundangan (Tata susunan norma hukum). d. Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan UU yang bersifat umum. Asas ini dikenal dengan adagium “Lex specialis derogat legi generali” artinya : undang-undang yang khusus lebih diutamakan daripada undang-undang yang umum. Arti yuridisnya ialah jika suatu hal tertentu diatur oleh peraturan undang-undang yang bersifat umum dan juga diatur oleh peraturan undang-undang yang bersifat khusus, maka yang diperlakukan/diutamakan peraturan yang khusus itu. 10. Penutup Penyusunan Perdes sebagai produk kebijakan pemerintahan desa, dalam penyusunan Perdes, hendaknya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, transparan, dan melibatkan partisipasi masyarakat. Perdes yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat. Peran aktif masyarakat ini penting dalam penyusunan Perdes supaya kebijakan pemerintahan desa yang dituangkan dalam Perdes tidak merugikan masyarakat tetapi justru dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat . Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, penyusunan Perdes hendaknya juga memperhatikan aspek teknis supaya Perdes dapat efektif berlaku. ----oo00oo---http://www.percik.or.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 20 January, 2017, 22:26
kampoeng percik
Makalah disampaikan pada Pelatihan Pembuatan Peraturan Desa Tentang Sumber Daya Alam, yang diselenggarakan atas kerjasama Yayasan Pengembangan Akhlaq Mulia (YPAM) dengan Netherlands Committee for IUCN, di Hotel Puri Merbabu, Boyolali, pada tanggal 14 Juni 2005. Penulis adalah Staf Peneliti Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL) Lembaga Percik Salatiga Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pasal 209. BPD berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang penentuan anggota-anggotanya ditetapkan berdasarkan partisipasi politik masyarakat desa dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat desa diganti dengan Badan Permusyawaratan Rakyat yang keanggotaannya berasal dari wakil penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Yang dimaksud dengan wakil penduduk desa adalah penduduk desa yang memangku jabatan seperti ketua RW, pemangku adat, dan tokoh masyarakat lainnya (pasal 210 ayat (1) dan UU No. 32 / 2004 dan penjelasannya). Pola pengisian anggota ini tidak berbeda dengan pola pengisian Lembaga Musyawarah Desa (LMD) pada masa Orde Baru. Badan Permusyaratan Desa berdasarkan UU 32 / 2004 tidak lagi memiliki fungsi kontrol terhadap kepala desa karena dalam pelaksanaan tugas-tugasnya kepala desa bertanggungjawab kepada bupati melalui camat. Mengenai syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa masih dimandatkan oleh UU No. 32 / 2004 ini untuk diatur lebih lanjut dalam Perda yang perpedoman dalam PP. Dengan mengingat bahwa proses penetapan anggota yang tidak melibatkan rakyat secara langsung (pemilihan langsung), banyak pihak yang meragukan Badan Permusyawaratan Desa dapat merepresentasikan kepentingan masyarakat dalam menjalankan tugastugasnya. Lihat UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan pasal 7 ayat (1) dan ayat (2). Lihat, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Materi ini telah dimuat dalam Slamet Luwihono, “Peraturan Desa (PERDES): Instrumen Menggapai kesejahteraan Masyarakat di Era Transisi Otonomi Daerah”, dalam Majalah Tetruka, Edisi Januari 2005, hal. 3 – 9. Bandingkan, Yayasan Sanlima, “Mengubah Perilaku Melalui Sebuah Peraturan”, Suara Kampung, No. 6, Edisi Juli 2004, halaman 16. Modul Local Governance Program (LGP), “Legislatif Drafting”, Lembaga Percik Salatiga. Ibid Ibid Lihat Slamet Luwihono, op. cit. .
http://www.percik.or.id
Menggunakan Joomla!
Generated: 20 January, 2017, 22:26