e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017)
KAJIAN TERHADAP KEBIJAKAN PAJAK HOTEL ATAS RUMAH KOS (Studi Kasus di Kota Singaraja, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng) Kardiman, 2Gede Adi Yuniarta, 3 Edy Sujana.
1
Jurusan Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail:{
[email protected],
[email protected],
[email protected]}@undiksha.ac.id ABSTRAK Kota Singaraja dikenal sebagai kota pendidikan karena memiliki sejumlah perguruan tinggi. Seiring dengan banyaknya pendatang yang berasal dari luar Kota Singaraja yang sebagian besar merupakan mahasiswa, dinilai bahwa bisnis rumah kos merupakan usaha yang memiliki potensi yang menjanjikan. Badan Keuangan Daerah (BKD) melalui Peraturan Daerah Kab. Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel mengenakan Pajak Hotel atas Rumah Kos, sehingga menimbulkan berbagai argumen dan persepsi yang berbeda atas kebiajakan ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, penelitian ini menggambarkan persepsi BKD, Pengusaha Rumah Kos dan DPRD Buleleng mengenai Pajak Hotel atas Rumah Kos. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa kebijakan yang diambil oleh BKD Buleleng berdasarkan hukum yang ada. Selain itu penolakan yang dilakukan oleh Pengusaha Rumah Kos disebabkan pemahaman terhadap pajak hotel belum memadai, ditambah lagi dengan sosialisasi kebijakan ini kurang maksimal. Maka peneliti merekomendasi perlu adanya sosialisasi langsung dari pemerintah dan mendata rumah kos secara berkala agar potensi yang ada dapat digali dengan maksimal serta pengawasan kebijakan baru ini dari DPRD Kata kunci: pajak daerah, pajak hotel, pajak hotel atas rumah kos, kepatuhan perpajakan, persepsi ABSTRACT Singaraja town is famous for educational town because it has some colleges. Since there are many comers from outside Singaraja Town who are mostly university students, it is considered that boarding house business is a business having promising potency. BKD (Regional Human Resources Agency) through regional regulation of Buleleng Regency No. 8 2011 about hotel tax, and it charges hotel tax on boarding house, so it causes various arguments and different perceptions at this policy. It is qualitative research with descriptive method. It describes the perception of BKD, the boarding house entrepreneurs, DPRD (Regional House of Representative) Buleleng about hotel tax on boarding house. The research result shows that the policy applied by BKD Buleleng is in accordance with the existing law. Furthermore, the refusal done by the boarding house entrepreneurs is caused by the insufficient comprehension on hotel tax, and also the socialization of the policy is not maximal. Thus, this research recommends that it is necessary to have direct socialization from the government and check the boarding house periodically so that the existing potency can be maximally developed and there must be a supervision of the new policy from DPRD.
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) Keywords: Regional tax, hotel tax, hotel tax on boarding house, taxation pursuance, perception
PENDAHULUAN Otonomi memiliki kewenanangan untuk mengatur dan mengurus sendiri kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah diterapkan. Dengan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah Indonesia dalam memasuki area desentralisasi di bidang fiskal, tanggung jawab fiskal merupakan kompenen inti dari desentralisasi, pemerintah daerah dan organisasi swasta harus melaksanakan fungsi desentralisasi secara efektif, harus memiliki penerimaan sendiri yang dihimpun dari dana lokal maupun dari transfer pemerintahan pusat (Sugianto, 2007). Pemerintah Daerah diberikan hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk pemerintah berupa pelayanan kepada masyarakatnya. Kegiatan Pemerintah Daerah yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik moril maupun materil. Perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan dalam merealisasikan tujuan tersebut, yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakatnya. Salah satu pungutan yang dilaksanakan oleh kabupaten dan kota adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Terkait dengan pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi dasar adalah Undang-undang nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah. Sejak berlakunya Undang-undang tersebut, pemerintah daerah tidak diperbolehkan memungut pajak daerah selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Akan tetapi demi memenuhi Pendapatan Asli Daerah (PAD), salah satu wewenang yang dapat dilakukan pemerintah daerah saat ini adalah peluasan basis pajak daerah yang sudah ada. Peluasan basis pajak harus
memenuhi asas-asas pemungutan pajak. Hal ini penting diperhatikan agar pemungutan pajak tidak akan menimbulkan kendala dalam pelaksanaan kebijakan pemungutan pajak tersebut. (Setianty, 2012) Kota Singaraja dikenal sebagai Kota Pendidikan, hal ini karena Singaraja memiliki PTN dan beberapa PTS. Antara PTN dan PTS yang ada antaranya adalah Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Panji Sakti dan lain-lain. Tentunya dengan adanya peguruan tinggi ini menyerap mahasiswa dari berbagai daerah sama ada luar Singaraja maupun luar Bali. Sehingga usaha Rumah Kos menjadi pilihan masyarakat untuk dilakukan. Keberadaan rumah kos pada umumnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal sementara, misalnya untuk mahasiswa yang ingin tinggal lebih dekat kampusnya atau pekerja yang ingin tinggal dekat kantor tempat ia bekerja. Oleh karena itu, pada umumnya rumah kos terletak pada lokasi yang strategis. Semakin tingginya animo masyarakat untuk menepati rumah kos sebagai tempat tinggal sementara, maka jumlah rumah kos pun semakin bertambah. Menurut Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Singaraja (BPPT) rumah kos yang terdaftar sebanyak 67 rumah kos dengan variasi jumlah kamar antara 5 sampai dengan 30 kamar. Namun angka tersebut akan bertambah karena diperkirakan terdapat rumah kos belum terdaftar dan berkembangnya jenis usaha ini. Berikut adalah daftar rumah kos yang terdaftar di BPPT Singaraja. Belakangan ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) melalui Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Buleleng tertarik untuk menjadikan rumah kos sebagai objek pajak baru. Hal ini dilatarbelakangi realisasi dari target Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor Pajak Hotel kurang maksimal. Dinas Pendapatan Kab. Buleleng melalui bidang Pajak Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Daerah Kab. Buleleng No. 8
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) Tahun 2011 tentang Pajak Hotel Dengan menjamurnya usaha rumah kos ini, terdapat potensi pajak yang dapat dihasilkan oleh pemerintah daerah. Peraturan daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel antara penjelasan Pasal 3 ayat 1 Rumah kos adalah usaha yang menggunakan rumah atau bangunan yang khusus untuk tempat tinggal jangka pendek atau jangka lama dengan pembayaran, didalam peraturan tersebut, Rumah Kos termasuk dalam definisi hotel. Apabilah kebijakan ini diterapkan, tentu menjadi hal yang baru bagi pengusaha kos dan menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) khususnya Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Buleleng untuk memberi pemahaman agar pengusaha kos patuh membayar pajak rumah kos. Tentunya akan timbul respon yang berbagai dalam bentuk penerimaan dan penolakan terhadap kebijakan pajak hotel atas rumah Berdasarkan fenomena yang telah diungkapkan sebelumnya, maka dilakukanlah penelitian ini dengan mengkaji kebijakan Pajak Hotel atas Rumah Kos melalui rumusan masalah persepsi tiga terkait terkait atas kebijakan ini, yaitu Eksekutif (Dispenda), Masyarakat (Pengusaha Rumah Kos) dan Legislatif (DPRD). Pajak Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH (dalam Sumarsan, 2013), pajak adalah peralihan kekyaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invesment.. Sedangkan pengertian pajak menurut UU No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1987 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadai atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Berdasarkan definisi diatas menurut Sumarsan (2013) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: 1. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Pemungutan pajak mengisyarakatkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor negara (administrator pajak). 3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Pembagian jenis pajak dikelompokan menjadi 3(tiga) yaitu menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungut (Mardiasmo, 2013), 1. Menurut golongan, pajak dibagi menjadi 2(dua) kelompok, yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. a) Pajak langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. b) Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. 2. Menurut sifatnya, pajak dikelompokan menjadi pajak subjektif dan pajak objektif. a) Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. b) Pajak subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) c)
3.
Pajak objektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Menurut Lembaga Pemungut a) Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Niali (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Materai. b) Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintaah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terbagi lagi menjadi 2(dua) yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten
Pajak Daerah Menurut Soelamo (1999), Pajak Daerah adalah pajak asli daerah maupun negara yang diserahkan kepada daerah, yang pemungutannya diselenggarakan oleh daerah di wilayah kekuasaannya, yang gunanya membiayai pengeluaran daerah berhubungan dengan tugas dan kewajiban mengatur dan mengurus rumah tannganya sendiri, dalam ikatan Negarab Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian pajak daerah yang lain adalah pungutan daerah yang berdasarkan peraturan yang ditetapkan guna pembiayaan pengeluaranpengeluaran daerah sebagai badan publik, sedangkan lapangan pajaknya adalah lapangan pajak yang belum diusahakan oleh negara (Soetrisno, 1999) Agar dapat diaplikasikan dengan baik, suatu pajak harus memenuhi beberapa kriteria penting. Adanya kriteria ini dapat dijadikan sebagai penuntun pengaplikasian pajak agar tercipta efiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah tersebut. Lutfi (2006) mengemukan beberapa kriteria pajak daerah yang baik. 1. Kecukupan (Adequancy), yaitu pajak yang dipungut harus dapat
2.
3.
4.
membiayai pengeluaran daerah untuk melayani masyarkat. Keadilan (Equity), yaitu beban pengeluaran pemerintah yang harus dipikul oleh seluruh masyarakat sesuai dengan kemmpuan. Keadilan yang dimaksud meliputi keadilan: vertical equity, horizontal equity, dan geographical equity. Daya Guna Ekonomi (Economic efficiency), yaitu pajak harus dapat mendorong pendayagunaan sumber daya ekonomi secara efesien, tidak menghambat perekonomian, dan mendorong efesiensi alokasi sumber daya ekonomi (fungsi regulasi), selain itu, penggunaan pajak daerah juga tidak boleh mempengaruhi pola konsumsi dan produksi, tidak menghambat distribusi barang dan jasa, serta tidak mengurangi motivasi menabung. Kemampuan Melaksanakan (Ability to Implement), yaitu administrasi yang fleksibel, artinya sederhana, mudah dihitung, dan pelayanan memuaskan bagi si Wajib Pajak. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak. Pajak daerah juga harus nondistorsi terhadap perekonomian, yaitu implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarrnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss)
Pajak Hotel Menurut Peraturan Daerah No. 8 tahun 2011 tentang Pajak Hotel, yang dimaksud dengan Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan, dan sejenisnya, serta rumah
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) kos dengan jumlah kamar lebih dari 10. Manakala, Samudra (2005) mengatakan bahwa hotel adalah suatu bentuk usaha khusus yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian dari padanya yang khusus disediakan, dimana setiap orang dapat menginap dan makan serta memperoleh pelayanan dan fasilitasfasilitas lainnya dengan pembayaran. Pajak Hotel merupakan salah satu jenis pajak daerah yang dipungut oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia. Pajak hotel di Indonesia dibedakan atas beberapa jenis, dimana salah satunya adalah Pajak Hotel atas Rumah Kos. Namun, pengenaan pajak hotel ini, termasuk pajak hotel atas rumah kos, tidak seluruhnya dikenakan di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia. Hal ini disesuaikan dengan kebijakan masingmasing daerah terkait Kepatuhan Perpajakan Kepatuhan Perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya (Nurmantu, 2003). Kepatuhan Perpajakan terbagi atas 2 (dua), yakni Kepatuhan Formal dan Kepatuhan Material. 1. Kepatuhan Formal, adalah keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undangundang perpajakan. 2. Kepatuhan Material, adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substani /hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan (Nurmantu, 2003) Dari pengertian-pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa kepatuhan pajak merupakan pelaksanaan atas keawajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan undangundang perpajakan. Kepatuhan yang diharapkan dalam sistem self-assessment adalah kepatuhan sukarela dan bukan kepatuhan yang dipaksakan (Nasucha, 2004)
Persepsi Kotler & Keller (2009) menjelaskan bahwa definisi dari Persepsi adalah proses yang digunakan oleh individu untuk memilih, mengorganisasi dan menginterpretasi masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Menurut Baron dan Paul B (1991) dalam Setyaningsih dan Ridwan (2013) persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. Pada umumnya terdapat dua faktor yang mempengaruhi persepsi, antara lain : 1. Faktor Internal, yaitu faktor yang ada pada suatu diri individu yang terdiri atas pembelajaran, motivasi, sikap, kepentingan pengalaman, harapan serta kepribadiaan. 2. Faktor Eksternal, merupakan faktor yang berasal dari luar objek itu sendiri, misalnya intensitas, ukuran, keberlawanan, pengunggulan, gerakan dan kemiripan. Dan Kotler & Keller (2009) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor belajar, motovasi, dan pemerhati perseptor atau pemersesi ketika proses persepsi terjadi. Persepsi sebagai suatu proses mempunyai tahap-tahap dalam mewujudkannya. Kotler & Keller (2009) mengemukakan bahwa tahap-tahap tersebut sebagai berikut: 1. Tahap Pertama, tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera manusia. 2. Tahap Kedua, tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensoris. 3. Tahap Ketiga, merupakan tahap yang dikenaldengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor.
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) 4.
Tahap Keempat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku.
METODE PENELITIAN Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan dalam penelitian ini, maka jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian deskriptif yaitu penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-fakta saat ini dari suatu populasi. Tujuan penelitian deskriptif adalah menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang berkaitan current status dari subjek yang diteliti. Tipe penelitian ini umumnya berkaitan dengan opini (individu, kelompok atau organisasi), kejadian, atau prosedur. (Indriantoro dan Supomo, 2002). Manakala fokus penelitian ini adalah persepsi pihak-pihak terkait mengenai kebijakan Pajak Hotel atas Rumah Kos yaitu Dinas Pendapatan Daerah Kab. Buleleng sebgai pelaku kebijakan, Pengusaha Rumah Kos dan DPRD Kab. Buleleng. Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara menerapkan bebagai teknik pengumpulan data yaitu: 1. Studi Pustaka Tidak ada suatu penelitian ilmiah yang tidak melibatkan kajian kepustakaan oleh penelitian. Kualitas penelitian kepustakaan sangan bergantung pada kualitas dokumendokumen yang dikaji. Semakin otentik dokumen semakin bagus data, selain itu semakin “up date” maka semakin bagus hasil penelitian (Irawan, 2002). Dalam metode ini, peneliti mencari data yang mendukung objek penelitian dengan mengumpulkan serta mempelajari literatur-literatur seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, seta buku-buku lain yang berkaitan untuk menghimpun sebanyak mungkin ilmu pengetahuan guna memperoleh gambaran yang lebih jelas serta komprehensif. 2. Teknik Wawancara Mendalam Wawancara merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan data dan informasi. Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alasan.
3.
Pertama, dengan wawancara peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami subjek yang diteliti, tetapi apa yang tersembunyi jauh di dalam diri subjek penelitian. Kedua, apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu, yang berkaitan dengan masa lampau, masa kini dan juga masa yang akan datang. Wawancara yang digunakan adalah wawancara kualitatif yang artinya peneliti mengajukan pertanyaanpertanyaan secara lebih bebas dan leluasa, tapa terkait oleh suatu susunan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya (Almanshur dkk, 2012). Dokumentasi Teknik dokumentasi, dengan cara mengutip atau menyalin dokumen yang relevan untuk digunakan sebagai data dalam penelitian ini. Juga dokumentasi visual dan suara untuk menyakinkan bahwa data yang diperoleh valid.
HASIL DAN PEMBAHASAN Informan yang peneliti pilih dalam melakukan penelitian ini merupakan Kepala dan Staff Sub Bidang Pendataan Badan Keuangan Daerah (BKD) Kab. Buleleng, Pengusaha Rumah Kos di kota Singaraja yang memiliki jumlah kamar lebih dari sepuluh dan Anggota DPRD dalamhal ini Ketua Komisi III serta Tim Ahli DPRD. Dalam penelitian ini tidak diperlukan jumlah sampel yang besar. Hal ini seperti yang dikemukanakan oleh Lincoln dan Guba dalam Sugiyono (2009) yang menyatakan bahwa penentuan sampel dalam penelitian kualitatif tidak didasarkan dengan perhitungan statistik. Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum dan bukan untuk digeneralisasikan. Dalam hubungannya dengan ini Nasution dalam Sugiyono (2009) menjelaskan juga bahwa penentuan unit sampel (informan) dalam penelitian kualitatif dianggap telah
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) memadai apabila telah mencapai taraf redudancy atau bisa diartikan jika data yang dicari telah sampai dalam taraf jenuh, dan penambahan sampel lagi tidak akan memberikan informasi yang baru yang berarti. Persepsi Pemerintah Terhadap Kebijakan Pajak Hotel Atas Rumah Kos Ada 3(tiga) dasar hukum atas pemungutan Pajak Hotel, antara lain Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 tentang jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel. Keberadaan rumah kos pada umumnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal sementara, misalnya untuk mahasiswa yang ingin tinggal lebih dekat kampusnya atau pekerja yang ingin tinggal dekat kantor tempat ia bekerja. Oleh karena itu, pada umumnya rumah kos terletak pada lokasi yang strategis. Semakin tingginya animo masyarakat untuk menepati rumah kos sebagai tempat tinggal sementara, maka jumlah rumah kos pun semakin bertambah. Menurut Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Singaraja (BPPT) rumah kos yang terdaftar sebanyak 67 rumah kos per 2016 dengan variasi jumlah kamar antara 5 sampai dengan 30 kamar. Namun angka tersebut dijangkakan akan bertambah karena diperkirakan terdapat rumah kos belum terdaftar dan berkembangnya usaha jenis ini. Berikut adalah daftar rumah kos yang terdaftar di BPPT Singaraja Belakangan ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) melalui Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Buleleng tertarik untuk menjadikan rumah kos
sebagai objek pajak baru. Hal ini dilatarbelakangi realisasi dari target Pendapatan Asli Daerah (PAD) sektor Pajak Hotel kurang maksimal. Sampai dengan awal Maret 2016 ini, dari target PAD Buleleng khususnya melalui sektor Pajak Hotel untuk tahun 2016 yang berjumlah kurang lebih 116 miliar, realisasi yang sudah dicapai adalah sebesar 11% atau sejumlah kurang lebih12 miliar. Jumlah tersebut dirasa kurang signifikan, mengingat saat ini, sudah memasuki bulan ketiga di tahun 2016. Oleh karena itu Dinas Pendapatan Kab. Buleleng melalui bidang Pajak Daerah dengan berpedoman pada Peraturan daerah Kab. Buleleng No. 8 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, mengambil inisiatif untuk melakukan langkah ekstensifikasi dengan pendataan potensi objek Pajak baru yang tentu saja bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kab. Buleleng. Demikian seperti diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendapatan Kab. Buleleng, Ida Bagus Puja Erawan, SH. (www.dispenda.bulelengkab.go.id) Seperti dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 13 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, yang dimaksud dengan Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan, dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10. Namun BKD Buleleng melaksanakan Pajak Hotel atas Rumah Kos pada bulan Disember tahun 2016 dengan berbekalkan definisi hotel dalam Pasal 1 ayat 13 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel dan tidak melakukan payung hukum yang baru mengenai Pajak Hotel atas Rumah Kos. Menurut Kepala Sub Bidang Pendataan BKD Buleleng Bapak I Gusti Ngurah Rai definisi hotel sudah termasuk rumah kos yang menyediakan jasa penginapan seperti halnya hotel.
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) “…dia termasuk dalam kategori hotel dia, karna hotel adalah penyedia fasilitas jasa penginapan… jadi rumah kost itu termasuk di hotel dia.. Jenis Pajak Hotel. Pajak Hotel kan sudah dari dulu.. ini. Cuman rumah kost baru didata.. tahun lalu ya, bru tahun lalu..dia termasuk Pajak Hotel dia.”(wawancara, 10/01/2017) Maka, Rumah Kos yang terdapat di Buleleng akan dikenakan Pajak Hotel berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 dan segala ketentuan yang ada dalam Perda tersebut bersifat mengikat. Menurut Kepala Sub Bidang Pendataan BKD Buleleng Bapak I Gusti Ngurah Rai tarif pajak yang dikenakan kepada pemilik kos sebesar 10%(sepuluh persen) sama dengan tarif hotel. Namun, menurut beliau pajak ini dikenakan kepada Rumah Kos yang memiliki lebih 10(sepuluh) kamar sahaja, untuk Rumah Kos yang memiliki di bawah itu tidak dikenakan. “...Jadi kalo rumah kos itu..minimal 10(sepuluh) kamar.. 10 kamar ke atas baru kena dia. Kena pajak 10%(sepuluh persen)” (wawancara, 10/01/2011) Hal ini sejajar dengan Pasal 1 Ayat 13 dan Pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel yang dikmaksud hotel juga termasuk juga Rumah Kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 manakala tarif pajak yang dikenakan sebesar 10%(sepuluh persen) Setelah kebijakan tersebut dilakukan pada Disember 2016, hinggalah pada akhir Januari 2017 Pengusaha Rumah Kos masih ada yang tidak mengetahuinya mengenai kebijakan tersebut. Seperti halnya Bapak Made Arjaya Pengusaha Rumah Kos yang mengatakan tidak mengetahui kebijakan BKD Buleleng untuk mengenakan Pajak Hotel atas Rumah Kos.
“Ga tahu sama sekali dek. Koq ada ya?”(wawancara, 21/01/2017) Begitu juga dengan Pengusaha Rumah Kos yang lain peneliti mewawancara, tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui mengenai kebijakan Pajak Hotel atas Rumah Kos. Menurut Bapak I Gede Widyantara Staf Bidang Pendataan BKD mengakui melakukan sosialisasi kebijakan baru ini, hanya ketika mereka turun ke lapangan untuk mendata Rumah Kos untuk terdaftarkan Pengusaha Rumah Kos sebagai Wajib Pajak. “Kalo sosialisasi itu dah, yang kami turun ke lapangan mendata sekalian sosialisasinya, cuman itu aja.” (wawancara. 10/01/2017) Persepsi Legislatif Terhadap Kebijakan Pajak Hotel Atas Rumah Kos Kebijakan yang diambil oleh BKD menggunakan dasar hukum Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotek, merujuk Pasal 1 Ayat 13 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel dibenarkan oleh Dra. Made Putri Nareni selaku Ketua Komisi III Bidang Keuangan yang membidangi keuangan daerah, perpajakan, retribusi, perbankan, perusahaan daerah, perusahaan patungan, dunia usaha, dan penanaman modal. Menurut beliau, kebijakan BKD Buleleng dalam mengenakan Pajak Hotel atas Rumah Kos tida ada yang salah selagi mengacu kepada undang-undang yang ada yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel. “Sah -sah aja sih, selagi kebijakan itu masih berdasarkan hukum yang ada. Jika Perda Nomor 8 Tahun 2011 itu udah ada dasarnya ya ga papa.” (wawancara, 05/02/2017) Beliau mengatakan bagi Pengusaha Rumah Kos yang merasa keberatan
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) dengan kebijakan pajak baru sudah menjadi hal yang biasa dan wajar. Hal ini karena masyarakat belum memahami mengenai Pajak Rumah Kos hanya merupakan bukan tidak langsung di mana pajak ini dikenakan kepada pengguna jasa bukan yang menyediakan jasa. Maka, pemilik kos hanya sebagai orang tengah memungut pajak dari pengguna jasa Rumah Kos dan menyetorkan kepada pemerintah. Selain itu semua pajak yang diambil digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk kesejahteraan masyaratkat. “Kalo itu, untuk tipe rumah kost bisa aja berubah ke depannya tapi tidak dalam waktu terdekat karna kita butuh proses merubah perda. Nah klo tarif 10%(sepuluh persen), ibu rasa tidak tinggi, katakan saja dari per kamar Rp400 000 di kali sama 10% cuman 40 ribu. Masalahnya pikiran masyarakat aja kebiasaan gratis, tidak dibayar pajak dan pas kita minta mereka keberatan. Penolakan kaya ini kan wajar aja tapi pajak ini kan bukan mereka yang bayar, pasti dibebankan kepada penyewa kost. Ini kaya titipan mereka cuman sebagai penerima pajak dan diberikan ke kita. Toh pajak ini juga bermuara untuk masyarakat juga, bermanfaat pada masyarakat Buleleng pada akhirnya.” (wawancara. 05/02/2017) Beliau menambahkan berkaitan dengan perubahan Peraturan Daerah khususnya mengenai tipe kamar dan tarif pajak yang dirasakan kurang adil tentu pada waktu ke depan tidak memnutup kemungkinan ada perubahan jika ada masalah dan usulan dari pemerintah atau DPRD sendiri. Namun, perubahan Peraturan Daerah tidak boleh dalam waktu yang terdekat karena perlu ada kajian yang mendalam dan mebutuhkan dana serta waktu yang tidak sedikit. Beliau menyatakan, pihak DPRD tidak mahu terburu-buru dalam memutuskan perubahan Peraturan Daerah karena tidak ingin biaya yang dikeluarkan cukup tinggi
namun, manfaat dari produk hukum rendah seperti Perda Pajak Sarang Burung Walet. “Dalam memutuskan perlu atau tidak perda baru, ga mudah dek. Perlu kajian yang lebih dalam dan memikirkan dari macam-macam sudut. Karna mengeluarkan perda juga butuh waktu dan biaya tidak sedikit, dari rata-rata perda itu Rp500 000 000 sampai dengan Rp700 000 000. Kita ga mahu kaya Perda Burung Walet, setelah mengeluarkan biaya dan waktu, musim usaha Sarang Burung Walet sudah menurun, pendapat ke pemerintah tidak banyak bisa dikatakan jaran,g usaha ini dan potensinya sudah tidak ada. Kita tidak mahu kaya gini dan itu sudah kita ambil pelajaran.” (wawancara, 05/02/2017) Dalam proses membuat atau merubah Peraturan Daerah menurut Dr. I Wayan Rideng SH., MH yang merupakan Tim Ahli DPRD Buleleng tentu akan melibatkan masyarakat dalam diskusi yang terbuka. Setelah perwakilan masyarakat dalam hal ini Pengusaha Rumah Kos bersepakat dan telah menjadi produk hukum maka, peraturan yang ada akan bersifat mengikat sama ada terdapat protes setelahnya. Selain itu, beliau menambahkan DPRD mempunyai hak untuk memilah untuk mnindak lanjuti usulan atau protes masyarakat jika masalah tersebut dapat memberikan kesan baik kepada masyarakat luas, tidak memberi manfaat hanya golongan tertentu yang bersifat pribadi sahaja. “...membuat aturan itu makanya diberikan ruang dalam pembuatan kajian akademik dalam menjadi perda itu partisipasi masyarakat seluasluasnya. Misalnya menyangkut masalah rumah kost, nanti tentu pemilik-Pengusaha Rumah Kost itu diajak untuk berdialog di sini, apa norma yang perlu diatur gitu loh,
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) bagaimana misalnya keberatan, berapa tarifnya yang harus dibuat, ada kesepakatan kan itu. Ketika itu sudah mewakili…menjadi sebuah produk hukum, klo itu sudah menjadi Perda, mahu tidak mahu suka tidak suka, sudah mengikat. Itu prosesnya seperti tadi tidak semua, tetapi beliau nanti berdasarkan partai dan garisnya termasuk juga pribadinya itu memiliki kewenangan dalam memilah, apakah usulan itu memberikan dampak imbas effect kepada masyarakat lebih luas, kan itu kan. Kalo hanya untuk kelompok orang, tentu beliau akan berpikir, itu persoalannya.” (wawancara, 05/02/2017) Persepsi Pengusaha Rumah Kos Terhadap Kebijakan Pajak Hotel Atas Rumah Kos Menurut Pengusaha Rumah Kos, hotel dan Rumah Kos tidak harus disamakan karena pendapatan mereka tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan pendapatan hotel sehingga kebijakan Pajak Hotel tidak seharusnya dikenakan kepada mereka. Hal ini dikemukakan oleh salah seorang Pengusaha Rumah Kos oleh Bapak Nyoman Widarma merasa tidak harus disamakan dengan hotel karena pendapatan dari sewa kos tidak seberapa. “Kalo saya kurang setuju soalnya usaha ini aja belum untung besar, beda kalo hotel. Mengapa harus di diambil pajaknya? Ini kan rumah tinggal bukanusaha gede.” (wawancara, 20/01/2017) Pendapat ini senada yang diberikan oleh Bapak Nyoman Gede Kawi Pengusaha Rumah Kos yang berada di Jalan Nusa Indah menyatakan hotel dan Rumah Kos tidak harus disamakan karena usaha ini tidak menghasilkan untuk yang besar. “Ini harus ada dasar dulu, harusnya ada peraturannya kenapa pake
definisi langsung pajak itu diambil, hotel sama kos kan beda, lagi kos juga bukan tempat yang mahal sampai diambil pajak. Saya tidak setuju kalo begitu, jangan langsung begitulah, harus dibedakan hotel sama kos.”(wawancara, 21/01/2017) Apabilah peneliti menanyakan megenai tarif pajak 10%(sepuluh persen) yang akan dikenakan kepada Pengusaha Rumah Kos, mereka merasakan tarif tersebut terlalu tinggi. Hal ini karena mereka merasa tarif pajak akan mengurangi pendapatan mereka dari sewa kos, ditambah lagi dasar mengenaan tarif tersebut tidak menghitung biaya perawatan Rumah Kos selama setahun seperti biaya listrik, air dan lain-lain. Menurut Ibu Ni Nyoman Renahati, beliau tidak setuju karena merasa terlalu tinggi selain biaya perawatan yang harus beliau bayar. “Ibu ga setuju, 10%(sepuluh persen) itu udah tinggi bagi ibu, dikuranginlah. Ibu juga ngeluarin biaya pembaikan kos anak-anak tiap tahun, bayar listrik sama air tiap bulan, hitungannya juga ga jelas, masa langsung dikali harga kosdengan 10%(sepuluh persen). Harusnya mereka juga hitung pengeluaran baru bisa dikaliin.”(wawancara 20/01/2017) Pengusaha Rumah Kos juga merasa tidak adil dengan tipe Rumah Kos yang dikenakan pajak. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 13 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel mendifinisikan hotel sebagai fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga Motel, Losmen, Gubuk Pariwisata, Wisma Pariwisata, Pesanggrahan, Rumah Penginapan, dan sejenisnya, serta Rumah Kos dengan jumlah kamar lebih dari 10(sepuluh) sehingga hanya Rumah Kos yang memiliki lebih dari 10(sepuluh) kamar dikenakan Pajak Hotel.
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) Hal ini disampaikan oleh Kepala Sub Bidang Pedataan BKD Buleleng Bapak I Gusti Ngurah Rai pajak dikenakan kepada Rumah Kos yang memiliki minimal 10(sepulu) kamar. “Jadi kalo rumah kost itu..minimal 10(sepuluh) kamar.. 10 kamar ke atas baru kena dia. Kena pajak 10%(sepuluh persen).” (wawancara, 10/01/2017) Walaupun yang dapat disewakan di bawah 10(sepuluh) kamar tetapi karena jumlah kamar kos di atas 10(sepuluh) kamar maka akan dikenakan pajak jenis ini. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 Ayat 13 Peraturan Daerah Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel. Tetapi menurut Bapak I Gusti Ngurah Rai lagi, jika Pengusaha Rumah Kos memiliki Rumah Kos di daerah yang berbeda dan ternyata jika dijumlahkan melebihi dari 10(sepulu) kamar, maka Pengusaha Rumah Kos tersebut akan dikenakan Pajak Hotel atas Rumah Kos. “Itu karna aturan bunyinya 10 kamar (ke atas). Ada kemungkinan gini juga, misalnya si A tapi daaerah sini 5(lima) kamar,daerah sini 5(lima) kamar, 5(lima) kamar, mungkin bisa dia diakumulasi dia. Satu wajib pajak dia punya 5(lima) di 3(tiga) wilayah itu kan 15(limabelas) kamar sudah, tetap kena juga”(wawancara, 10/01/2011) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan kajian yang telah peneliti uraikan di bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan antaranya: 1. Persepsi pemerintah (BKD) dalam melakukan kebijakan Pajak Hotel atas Rumah Kos sudah melalui dasar hukum yang sah melalui Pasal 1 Ayat 13 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. 2. Persepsi Pengusaha Rumah Kos terhadap Kebijkan Pajak Hotel atas Rumah Kos adalah menganggap pajak tersebut akan mengurangi pendapatan mereka. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman
3.
mengenai Pajak Hotel yang sebenarnya bahwa Subjek Pajak adalah pengguna jasa sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hotel. Persepsi legislatif (DPRD) membenarkan tindakan pemerintah melakukan kebijakan Pajak Hotel atas Rumah Kos karena berdasarkan peraturan yang ada. Namun, tidak menutup kemungkinan akan ada perubahan peraturan jika ada masalah dilapangan atau terdapat potensi pajak lebih besar melalui kajian akademik.
Saran Berdasarkan kajian yang telah dilakukan Peneliti mengenai Pajak Hotel atas Rumah Kos, maka peneliti memberikan saran: 1. Melakukan pemutakhiran data Objek Pajak Hotel atas Rumah Kos, setidaknya dilakukan sekali dalam setahun, sehingga data Pajak Hotel atas Rumah Kos menjadi data yang terkini. 2. Melakukan sosialisasi dengan maksimal kepada Wajib Pajak Hotel atas Rumah Kos, baik Wajib Pajak baru ataupun Wajib Pajak lama, dan kepada para Pengusaha Rumah Kos yang Potensial untuk menjadi Wajib Pajak. Hal ini diharapkan dapat menambah pengetahuan para pengusaha Rumah Kos mengenai jenis pajak ini dan dapat meminimalisir kesalahan penafsiran mengenai pajak ini, seperti tidak perlu lagi membayar Pajak Hotel atas Rumah Kos karena sudah membayar PBB, Pajak Penghasilan dan anggapan bahwa petugas pajak adalah petugas yang tidak bersih. 3. DPRD Buleleng sentiasa memantau setiap kebijakan baru yang dilakukan oleh BKD agar kebijakan yang dilakukan dapat berjalan secara maksimal. Selain itu, mengkaji lebih dalam apakah perluh peraturan
e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi Program S1 (Vol: 7 No: 1 Tahun 2017) daerah baru dibuat dalam hal ini Pajak Rumah Kos agar potensi pajak daerah dapat digali lebih maksimal dan tidak ada pihak yang dirugikan. DAFTAR PUSTAKA Almanshur, Fauzan dan Ghony Djunaidi. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA. Irawan, Prasetya. 2002. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIALAN Press. Kotler, Philip, dan Kevin Lane K. 2009. Manajemen Pemasaran Edisi Kedua belas. Jakarta: PT. Indeks.. Lutfi, Achmad. 2006. Evalusi Penarikan Pajak Daerah di Indonesia: Suatu Tinjauan Peraturan PerundangUndangan mengenai Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. Mardiasmo. 2013. Perpajakan, Revisi. Yogyakarta: ANDI
Edisi
Nurmantu, Saftri. 2005. Pengantar Pajak. Jakarta: Granit. Pemerintah Daerah. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomer 8 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. , Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Samudra, Azhari A. 2005. Perpajakan di Indonesia, Keuangan, Pajak, dan Retribusi Daerah. Jakarta: Gramedia. Setianty, Illona. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib
Pajak Hotel atas Rumah Kos Selama Tahun 2010 (Studi Pada Suku Dinas Pelayanan Pajak I Kota Administrasi Jakarta Pusat). Skripsi Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia. Setyaningsih, Titik dan Ridwan. 2013. Persepsi Wajib Pajak Umkm Terhadap Kecenderungan Negosiasi Kewajiban Membayar Pajak Terkait Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Prosiding Simposium Nasional Perpajakan 4. Soelamo, Slamet. 1999. Pajak dan Retribusi Daerah.. Jakarta: STIA LAN Press. Soetrisno, PH. 1999. Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara. Yogyakarta: Andi Offset. Sugianto. 2007. Pajak dan Retribusi Daerah (Pengelolaan Pemerintah Daerah dalam Aspek Keuangan, Pajak, dan Retribusi Daerah). Jakarta: Grasindo. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV.Alfabeta. Sumarsan, Thomas. 2013. Perpajakan Indonesia, Edisi III. Jakarta: Indeks.