Puslitbang tekMIRA
Telp : 022-6030483
Jl. Jend. Sudirman No.
Fax : 022-6003373
623
E-mail :
Bandung 40211
[email protected] LAPORAN
Kelompok Litbangtek Pengolahan dan Pemanfaatan Mineral
KAJIAN SINKRONISASI PEMBANGUNAN PABRIK PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DENGAN ENERGI GEOTERMAL
Oleh : Jafril dkk.
PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA 2013
I
PENDAHULUAN
0
1.1.
Latar Belakang
Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 diterbitkan dalam rangka untuk mengamankan terlaksananya amanat Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya terkait dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh perusahaan penambang maupun kerjasama dengan perusahaan lain yang memiliki IUPK pengolahan/pemurnian. Kementerian ESDM secara terus menerus melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk menindaklanjuti pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012. Dalam kenyataannya pada pelaksanaan undang-undang tersebut di atas terdapat beberapa permasalahan yang muncul ke permukaan, yaitu pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian mineral tersebut membutuhkan dukungan energi yang cukup besar. Energi yang ada pada saat ini belum siap untuk memasok pabrik pengolahan/pemurnian mineral tersebut. Selain bahan bakar minyak, gas dan batubara yang selama ini digunakan sebagai bahan pembangkit listrik, panas bumi (geothermal) di suatu daerah dapat dimanfaatkan juga intuk mendukung pabrik pengolahan dan pemurnian mineral. Hal ini dapat dimengerti, mengingat Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi panas bumi paling besar di dunia yakni mencapai 29,038 GW atau setara dengan 40% kandungan panas bumi dunia, namun hingga saat ini pemanfaatannya masih kecil yaitu sekitar 4,5% dari keseluruhan potensi yang ada. Beberapa tahun belakangan ini pemerintah gencar melakukan regulasi untuk mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan dalam mengamankan pasokan energi di masa depan melalui pembangunan pembangkit listrik yang sampai sekarang masih di dominasi oleh pembangkit berbasis energi fosil. Salah satu di antaranya adalah Keppres No. 4 tahun 2010 yang di tindaklanjuti oleh Kepmen No. 02 tahun 2010 atau lebih di kenal dengan program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II. Pembangunan pembangkit seperti termuat dalam program ini didominasi oleh pembangkit listrik panasbumi (PLTP). Beberapa daerah yang memiliki potensi mineral dan sumberdaya panas bumi belum ada yang memanfaatkan panas bumi sebagai energi pembangkit listrik yang digunakan untuk mendukung pabrik pengolahan/pemurnian mineral. Hal ini merupakan tantangan pemerintah maupun daerah dalam upaya mengembangkan energi panas bumi sebagai bahan pembangkit listrik. Sangat beralasan apabila pemerintah lebih memprioritaskan pemanfaatan energi panas bumi daripada energi fosil lainnya karena energi ini merupakan energi terbarukan, lebih ramah lingkungan dan cadangannya besar. Kebijakan Enegi Nasional mengamanatkan bahwa bauran energi pada 2025 untuk energi baru terbarukan (EBT) termasuk panas bumi ditargetkan sebesar 17 % dari konsumsi enegi nasional. Energi panas bumi ditargetkan memberi kontribusi 5% terhadap konsumsi energi nasional (9.500 MW). Berdasarkan kondisi tersebut di atas perlu dilakukan kajian sinkronisasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral dengan dukungan pembangunan fasilitas energi yang bersumber dari geotermal. 1
1.2
Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kajian ini berupa studi kasus mangan di Nusa Tenggara Timur, nikel di Maluku Utara, dan bijih besi di Aceh. Ruang lingkupnya meliputi: a.
studi literature;
b.
verifikasi sumberdaya mineral dan energi geothermal;
c.
mengkaji teknologi pengolahan dan pemurnian mineral;
d.
mengkaji daya dukung wilayah (perda, , infrastruktur, lingkungan, dll);
e.
sinkronisasi ketersediaan energi geotermal dan keberadaan sumber daya dan/atau lokasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral;
f. 1.3
pembuatan laporan akhir. Tujuan
Tujuan kajian adalah Menyusun pra studi kelayakan teknis pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian dengan memanfaatkan energi geotermal di Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Aceh. 1.4
Sasaran
Sasaran kajian yaitu merekomendasikanpembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral dengan memanfaatkan energi geotermal. 1.5
Lokasi Kegiatan
Litbang tekMIRA dan instansi terkait di Jakarta serta survei lapangan ke Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Aceh, Jawa Barat dan Jawa Tengah. 1.6
Penerima Manfaat
1) Pemerintah Pusat dan Daerah 2) Calon Investor 3) Masyarakat.
BAB II METODOLOGI DAN PROGRAM KERJA Dalam kajian ini, digunakan metode penelitian survei pemercontohan secara langsung ke lapangan di Provinsi : Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan Aceh serta kunjungan ke beberapa PLTP di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kegiatan ini ditunjang dengan melakukan koordinasi dan pendataan ke 2
instansi terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Puslitbangtek EBT, PT PLN, Pertamina, Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kota/Kabupaten), Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, dan lainnya. Di samping itu, digunakan metode penelitian non survei, yang dilakukan di studio meliputi penelusuran referensi, pengolahan dan analisis serta penyusunan laporan. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara berpanduan (interview guide). Model pengolahan dan teknik analisis, menggunakan pendekatan model statistika, analisis potensi dan kewilayahan. Kegiatan ini dilaksanakan melalui studi literatur, koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka pengumpulan data sekunder, diskusi interaktif dan kunjungan lapangan untuk memperoleh data primer. Pelaksanaan pekerjaannya dilakukan secara bertahap dengan setiap proses saling berkesinambungan
sampai
menghasilkan
kajian
sinkronisasi
pembangunan
pabrik
pengolahan/pemurnian (smelter) mineral dengan memanfatkan energi geotermal. Semua kegiatan dari awal sampai akhir melalui proses perencanaan terstruktur dan kontrol kegiatan (Gambar 2.1). Berbagai kebijakan terkait, seperti UU, PP, Kepres dan lain-lain akan dijabarkan apakah ada peraturan yang menimbulkan kontradiksi, baik di level yang sama maupun pada tingkatan yang berbeda. Perhatian akan diberikan pada kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kendala dan permasalahan demi tercapainya upaya peningkatan nilai tambah mineral melalui pemanfaatan energi geotermal di masing-masing wilayah. Di samping itu, berdasarkan potensi wilayah, kebijakan-kebijakan yang ada perlu diarahkan untuk membangkitkan potensi tersebut agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Kendala dan permasalahan di lapangan yang berhasil diidentifikasi akan menjadi pertimbangan dalam pembuatan rekomendasi yang diharapkan dapat mengeliminasi hambatan tersebut demi terwujudnya industri mineral dan energi geotermal yang terpadu.
Studi literatur
Data dan informasi
Kegiatan lapangan
Inventarisasi Kebijakan Kondisi pertambangan dan energi panas bumi Tantangan dan hambatan
Kondisi Infrastruktur Kajian teknis sinkronisasi pembangunan smelter dengan 3 energi geothermal
Kebijakan terkait
Struktur ruang
Rekomendasi kebijakan
Gambar 2.1 Metodologi kegiatan
BAB III TINJAUAN PUSTAKA, HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.
Provinsi Maluku Utara
3.1.1 Geografis Provinsi Maluku Utara meliputi 6 (enam) wilayah administrasi kabupaten dan 2 (dua) wilayah kota, yaitu: Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Halmahera Barat, Kepulauan Sula, Ternate dan Tidore Kepulauan, luas wilayah keseluruhan 145.801,1 Km2 terdiri atas luas daratan: 45.069,66 Km2 dan luas lautan: 100.731,44 Km2 (Bappeda Provinsi Maluku Utara, 2006).
4
Batas-batas admnistrasi provinsi adalah sebagai berikut: Utara
: Samudera Pasifik
Timur
: Laut Halmahera
Selatan : Laut Seram Barat
: Laut Maluku
Batas administrasi Provinsi Maluku Utara dapat dilihat pada Gambar 3.1. Maluku Utara merupakan provinsi kepulauan yang terdiri atas 357 buah pulau besar dan kecil. Dari jumlah itu, sebanyak 64 pulau telah dihuni, sedangkan 333 lainnya tidak dihuni. Luas total wilayah Maluku Utara mencapai 145.819,1 km2. Sebagian besar wilayah berupa laut (100.731,44 Km2 atau 69,08%, sisanya seluas 45.087,66 km2 (30,92%) adalah daratan. Pulau yang relatif besar adalah Halmahera (18.000 km2). Sedangkan yang ukurannya relatif sedang yaitu Obi (3.900 km2), Taliabu (3.195 km2), Bacan (2.878 km2) dan Morotai (2.325 km2). Pulau-pulau yang relatif kecil antara lain Ternate, Tidore, Makian, Kayoa, Gebe dan sebagainnya. Secara geografis, Maluku Utara berada pada 30 Lintang Utara hingga 30 Lintang Selatan dan 1240 hingga 1290 Bujur Timur. Jumlah penduduk di provinsi ini pada 2009 tercatat 910.656 jiwa yang tersebar di 6 (enam) Kabupaten dan 2 (dua) Kota. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,03 persen per tahun dan tingkat kepadatan penduduk 20 jiwa per kilometer persegi.
5
Gambar 3.1. Peta administrasi Maluku Utara Sebagian besar wilayah Maluku Utara bergunung dan berbukit yang terdiri atas pulau Vulkanis dan Karang. Sebagian lainnya merupakan dataran. Halmahera mempunyai banyak pegunungan yang rapat mulai dan Teluk Kao, Buli, Weda, Payahe, dan Dodinga. Di setiap daerah terdapat punggung gunung yang merapat ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar Teluk Buli (di Timur) sampai Kao (di Utara), Pesisir Barat dan Jailolo ke Utara dan Weda ke Selatan dan Utara di temui daerah dataran yang luas. Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Oleh karena itu iklimnya sangat di pengaruhi oleh lautan dan bervariasi antara tiap bagian wilayah yaitu iklim Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula. 3.1.2 Struktur Ruang Wilayah 3.1.2.1 Sistem Kota-Kota/Sistem Pusat-Pusat Permukiman Sistem pusat permukiman atau sistem kota tidak dapat dilepaskan dari tata ruang yang ada, karena kota merupakan salah satu unsur penting dalam membentuk struktur ruang. Penataan ruang sendiri pada dasarnya mengarah ke sistem kota /kawasan perkotaan. Perkembangan kota tentunya harus diarahkan sedemikan rupa agar selaras dengan arahan pengembangan wilayah. Oleh karena itu, di samping pengaturan distribusi sistem kota sesuai dengan hirarki jumlah penduduk, potensi kegiatan ekonominya (strategi mikro) juga diperlukan suatu pengelolaan kota atau daerah perkotaan yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kegiatan ekonominya dalam rangka mendukung fungsi kotanya di wilayah yang lebih luas (strategi makro).
a. Rencana Sistem Kota-Desa dan Kota-Kota Pengembangan sistem kota-kota dan kota-desa dimaksud sebagai upaya untuk menetapkan kota-kota yang ada di Maluku Utara agar berkembang sesuai dengan fungsi pelayanan dan interaksi baik antar kota maupun terhadap wilayah belakangnya (desa-desa pusat pertumbuhan) agar lebih bersinergi dalam rangka pengembangan wilayah. Adapun rencana sistem kota-desa meliputi: (a)
Pengembangan ekonomi perdesaan, perbaikan dan pembangunan prasarana dan sarana dasar di wilayah perdesaan, meningkatkan aksesibilitas ke/dari kawasan perdesaan, mengembangkan dan memperkuat keterkaitan Desa-Kota;
(b)
Pengembangan dan pengelolaan kawasan perdesaan dengan memperhatikan kondisi, karakteristik dan potensi sosial-ekonomi dan sosial-budaya setempat;
(c)
Pengawasan dan pemanfaatan kawasan perdesaan dilakukan oleh pemerintah kabupaten bersama-sama dengan pemerintah kecamatan dan pemerintah desa, untuk menjaga kelestarian lingkungan, keberlangsungan pembangunan dan tata nilai setempat;
6
(d)
Mengarahkan pemanfaatan ruang kawasan pedesaan dengan mempertimbangkan
kawasan
rawan bencana dan kemungkinan terjadinya bencana tak terduga. Sebagai upaya pemerataan pembangunan ekonomi dibutuhkan sistem perkotaan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Kawasan perkotaan utama di wilayah Maluku Utara dalam perkembangannya diharapkan akan menjadi kawasan metropolitan terpadu dan sebagai prime mover pengembangan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Sistem perkotaan utama di wilayah Maluku Utara memiliki fungsi yang berbeda-beda serta adanya interaksi dan hubungan antar kota tersebut. Kota tersebut saling terkait satu sama lain, tidak dapat berdiri sendiri karena berfungsi sebagai penyangga bagi 3 kota utama yaitu Sofifi, Ternate dan Soasio.
b. Hierarki Perkotaan Hierarki kawasan perkotaan dibagi atas 4 (empat) kelompok berdasarkan fungsi dan pelayanannya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi provinsi (Gambar 3.2), yaitu: (a)
Kota atau kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), yang termasuk ke dalam klasifikasi ini adalah pusat pelayanan jasa, produksi dan distribusi serta simpul transportasi untuk pencapaian beberapa pusat kawasan atau provinsi. Biasanya yang termasuk golongan kota/perkotaan ini adalah kota-kota besar/metropolitan, disebabkan karena kelengkapan sarana dan prasarana yang dimilikinya.
(b)
Kota atau kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW). Daerah perkotaan atau kota yang mempunyai wilayah pelayanan yang mencakup beberapa kawasan atau kabupaten. Golongan ini biasanya merupakan kota besar dan sedang setara dengan orde II di wilayah provinsi bersangkutan.
(c)
Kota atau kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai PKL yang merupakan pusat wilayah pengembangan (gugus pulau) dan diusulkan menjadi PKW. Kota tersebut merupakan embrio untuk menjadi PKW. Sedangkan kawasan perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan beberapa kawasan dalam lingkup kabupaten umumnya merupakan kota kecil/ibukota kecamatan.
(d)
Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan strategis nasional (PKSN) dan ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara.
Kota atau
kawasan perkotaan ini berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas negara dengan negara lain, di samping itu merupakan pintu gerbang internasional yang menghubungkan Indonesia dengan negara tetangga dan merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya, selain itu merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan sekitarnya.
7
Kota yang diusulkan menjadi PKL adalah Jailolo, Weda, Bobong yang masing-masing merupakan pusat pengembangan wilayah di gugus pulau. Sofifi diusulkan menjadi PKL untuk menggantikan fungsi pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara yang selama ini berada di Ternate, dengan demikian Ternate yang semula merupakan kota dengan fungsi pusat pemerintahan difokuskan hanya untuk kegiatan pusat perdagangan dan jasa karena di kota ini sudah berkembang sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih lengkap dibandingkan kota lain di Maluku Utara. Rencana struktur ruang di Provinsi Maluku Utara dapat dilihat pada Gambar 3.3.
PKSN
PKSN
PKSN
Kota Provinsi/ Kota Kabupaten
PKN
PKL*
PKW
PKL
PKW
PKL
Gambar 3.2. Konsep pusat permukiman di Maluku Utara Keterangan: PKN : Pusat Kegiatan Nasional PKW : Pusat Kegiatan Wilayah PKSN : Pusat Kegiatan Strategis Nasional PKL* : Pusat Kegiatan Lokal (yang diusulkan menjadi PKW) PKL : Pusat Kegiatan Lokal Sumber: Bappeda Provinsi Maluku Utara, 20010
8
Kota Kabupaten/ Kota Kecamatan
Ibukota Kota Kabupaten/Kota Kecamatan
Gambar 3.3. Peta rencana struktur ruang wilayah Maluku Utara
3.1.2.2
Sistem Jaringan Prasarana Wilayah
A. Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Sistem transportasi berfungsi untuk menjembatani keterkaitan fungsional antar kegiatan sosialekonomi di Maluku Utara. Sesuai dengan fungsinya tersebut, maka kebijakan pengembangan sistem transportasi diarahkan untuk menunjang pengembangan tata ruang dengan tujuan sebagai berikut: (a)
Pengembangan sistem transportasi yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah Provinsi Maluku Utara agar dapat berkembang dengan serasi bersama-sama dengan wilayah yang ada di sekitamya. Sasarannya adalah: (i)
Membuka keterisolasian wilayah Provinsi Maluku Utara;
(ii)
Menunjang kegiatan ekspor-impor Provinsi Maluku Utara dengan wilayah lainnya;
(iii) Menunjang perkembangan sektor-sektor unggulan di Provinsi Maluku Utara yaitu sektor pertanian, agro industri, pariwisata, perikanan, pertambangan dan lain-lain; (b)
Pengembangan sistem transportasi yang bertujuan untuk mendukung pemerataan pembangunan dengan sasaran: (i)
Memperlancar koleksi dan distribusi arus barang dan jasa serta meningkatkan mobilisasi penduduk di Provinsi Maluku Utara;
(ii)
Meningkatkan hubungan ke wilayah-wilayah potensial yang masih terisolasi.
Konsep pengembangan sistem transportasi di Maluku Utara adalah: (a)
Membentuk pola pengembangan sistem transportasi terpadu antar transportasi laut, darat dan udara yang terintegrasi dengan Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Utara;
(b)
Memperpendek jarak dan waktu tempuh antar wilayah di Maluku Utara melalui peningkatan peran jaringan transportasi yang ada dan pengembangan jaringan transportasi yang belum tersedia, baik di darat, laut maupun udara;
9
(c)
Mengembangkan jaringan transportasi darat Trans Maluku Utara yang merupakan perluasan Trans Halmahera yaitu jalur yang memadukan jaringan transportasi darat, penyeberangan, laut dan udara dalam rangka mendukung keterhubungan antar gugus pulau di Maluku Utara;
(d)
Mengembangkan multy gate system untuk membuka akses di kawasan perbatasan dan pulaupulau terpencil, selain gerbang utama yang telah ada (Ternate), dikembangkan gerbang sekunder di bagian utara (Daruba) dan selatan (Sanana);
A1. Rencana Transportasi Darat (a)
Rencana Jaringan Jalan
Konsep pengembangan Trans Maluku Utara adalah upaya menghubungkan Ternate sebagai PKN kota Tobelo, Tidore, Labuha dan Sanana sebagai PKW serta kota-kota strategis seperti Daruba (PKSN) dan Sofifi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara yang merupakan bagian dari Trans Nasional. Untuk mendukung perwujudan Trans Maluku Utara, status jalan yang masuk ke dalam Trans Maluku Utara adalah jalan nasional dan provinsi. Jaringan jalan yang direncanakan sebagai bagian Trans Maluku Utara dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.4. A2. Rencana Transportasi Laut Sebagai wilayah yang sebagian besar merupakan lautan dan pulau, peran sarana dan prasarana transportasi laut di Maluku Utara menjadi sangat penting, apalagi mengingat transportasi ini merupakan sarana angkutan yang murah, mudah, dapat mengangkut orang dan barang dalam jumlah besar, serta terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Pengembangan sarana dan prasarana transportasi laut sangat penting dalam peningkatan interaksi antar wilayah dan inter wilayah. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perencanaan sistem tranporatsi laut ini harus terintegrasi dengan sistem transportasi yang lain serta dapat mendukung antar wilayah di Maluku Utara, agar dapat menghubungkan pusat pertumbuhan yang direncanakan seperti PKW dengan PKL. Mengacu pada RTRWN, sistem jaringan transportasi laut terdiri atas tatanan pelabuhan laut dan alur pelayaran. Tatanan pelabuhan laut terdiri atas: (i)
Pelabuhan internasional;
(ii)
Pelabuhan nasional;
(iii) Pelabuhan regional; (iv)
Pelabuhan lokal;
(v)
Pelabuhan khusus untuk menunjang pengembangan kegiatan atau fungsi tertentu.
(a)
Rencana Alur Pelayaran
Pengembangan alur pelayaran direncanakan akan dibedakan antara alur pelayaran penumpang dan alur pelayaran angkutan barang. Rencana pengembangan alur pelayaran di Maluku Utara adalah sebagai berikut: 10
(i)
Alur pelayaran internasional yang merupakan jaringan trayek transportasi laut utama dengan pelayanan tetap dan teratur, yaitu: Australia – Ternate; Jepang – Ternate; Filipina – Ternate; Amerika Serikat – Ternate; Korea – Ternate dan Jepang – Daruba (Morotai); Tabel 3.1 Rencana jaringan jalan trans Maluku Utara
Nomor Ruas
Nama Ruas
Gugus Pulau
Status
Panjang (Km)
Kabupaten Halmahera Utara 039.1
Daruba – Daeo
4
N
25,59
039.2
Daeo – Berebere
4
N
68,00
.034
Podiwang – Tobelo
3
N
47,86
.035
Tobelo – Galela
3
N
27,02
.036
Kao – Podiwang
3
N
32,90
.037
Galela - Lapangan Terbang
3
N
10,87
038.2
Basso – Kao
3
N
71,49
Kabupaten Halmahera Barat 038.1
Sidangoli (Dermaga Ferry) - Basso
2, 5
N
23,23
043.1
Simpang Dodinga-Akelamo (KM60)
2, 5
N
63,01
054.1
Basso - Simpang Dodinga
2, 5
N
2,67
033.1
Jailolo – Goal
2
P
21,19
054.1
Simpang Dodinga-Dodinga (Dermaga Ferry)
2
P
3,30
030.1
Simpang Dodinga- Bobaneigo
2, 5
P
3,32
033.2
Simpang Dodinga-Jailolo
2
P
32,40
Kota Tidore Kepulauan .029
Payahe – Weda
1
N
24,5
043.2
Akelamo (KM60) – Payahe
1
N
52,47
.021
Keliling Pulau Tidore
1
P
29,19
Kabupaten Halmahera Timur 059.1
Subaim – Buli
5
P
60,00
059.2
Buli – Gotowase
5
P
45,00
030.1
Bobaneigo - Ekor
5
P
41,81
030.2
Ekor - Subaim
5
P
52,47
Kabupaten Halmahera Tengah 058.1
Weda - Sagae
5
P
50,00
058.2
Sagae - Gotowase
5
P
60,00
Labuha - Babang
6
P
18,32
Saketa - Mautiting
6
K
Mautiting - Mafa
6
K
5, 6
K
1
N
8,60
Kabupaten Halmahera Selatan .028
Mafa - Weda Kota Ternate .032
Keliling Pulau Ternate Kabupaten Kepulauan Sula
.026
Sanana - Manaf
7
P
31,86
.027
Sanana - Pohea
7
P
12,05
Sumber: Tatrawil 2007 Ket : N : Jalan Nasional;
P : Jalan Provinsi;
K : Jalan Kabupaten
11
Gambar 3.4 Rencana jaringan jalan di Maluku Utara (ii)
Alur pelayaran nasional yang merupakan jaringan trayek transportasi laut utama dengan pelayanan tetap dan teratur, melalui Maluku Utara;
(iii) Alur pelayaran regional dengan kota-kota di wilayah Indonesia bagian Timur dengan jaringan trayek transportasi laut pengumpan yang mempunyai pelayanan tetap dan teratur, yaitu: 1. Ternate – Tobelo – Gebe – Ambon – Sorong; 2. Ternate – Labuha – Ambon – Sorong; 3. Ternate – Sanana – Ambon – Sorong; Sampai 2027 alur pelayaran regional direncanakan untuk ditingkatkan jadwalnya, perbaikan dalam sistem pelayanan, penambahan jumlah kapal serta mendorong pelayaran swasta untuk ikut beroperasi; (iv)
Alur pelayaran lokal atau pelayaran kapal rakyat di Maluku Utara merupakan jaringan trayek transportasi laut pengumpan dengan pelayanan tetap dan teratur. Jaringan pelayaran rakyat ini umumnya dilaksanakan untuk mengangkut hasil bumi dari satu ke pulau lain atau menyisir pantai khususnya untuk daerah atau pulau yang akses daratnya belum berkembang.
Rencana Alur pelayaran di Provinsi Maluku Utara dapat dilihat pada Gambar 3.5.
b. Rencana Tatanan Pelabuhan
12
Tatanan pelabuhan di Maluku Utara yang tertinggi adalah Ahmad Yani di Ternate sebagai pelabuhan nasional. Pelabuhan lainnya merupakan pelabuhan pengumpan regional, pengumpan lokal dan pelabuhan khusus. (i)
Pelabuhan Nasional Pelabuhan nasional dikembangkan untuk: 1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah menengah; 2. Menjangkau wilayah pelayanan menengah; 3. Memiliki fungsi sebagai simpul jaringan transportasi laut nasional.
Gambar 3.5 Rencana pengembangan alur pelayaran di Maluku Utara Pelabuhan yang ditetapkan sebagai pelabuhan nasional adalah Ternate yang berfungsi untuk melayani interaksi antara Maluku Utara dengan wilayah yang lebih luas (hubungan eksternal) serta menghubungkan Ternate (PKN) dengan kota-kota dibawah PKW atau PKL. (interaksi internal/antar wilayah). (ii)
Pelabuhan Regional Pelabuhan regional dikembangkan untuk: 1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah; 2. Menjangkau wilayah pelayanan menengah. 13
Pelabuhan Tidore, Tobelo, Labuha, dan Sanana merupakan pelabuhan ke dua setelah Ternate yang termasuk ke dalam pelabuhan regional sebagai pelabuhan antar pulau yang berfungsi untuk mendistribusikan orang dan barang dari PKN (Pelabuhan Ternate) ke PKW dan PKL. Pelabuhan ini berfungsi juga sebagai pintu gerbang (gateway) yang menghubungkan Maluku Utara dengan provinsi lain seperti Sulawesi, Papua, Maluku Selatan, Jawa dan Kalimantan, sehingga selain berfungsi internal juga eksternal. Pelabuhan regional ini berada pada PKW yang merupakan ibu kota kabupaten/kota atau yang setingkat. (iii) Pelabuhan Lokal Pelabuhan lokal dikembangkan untuk: 1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil; 2. Menjangkau wilayah pelayanan terbatas. Daruba, Galela, Jailolo, Buli, Weda, Babang, Falabisahaya, Bobong, Garuapin dan Wasilei diklasifikasikan sebagai pelabuhan lokal yang berfungsi untuk mendistribusikan barang dan orang dari pelabuhan kolektor ke wilayah yang lebih kecil atau ke pelabuhan-pelabuhan kecil (local port). (iv)
Pelabuhan Khusus Pelabuhan khusus di Maluku Utara berfungsi untuk menunjang pengembangan kegiatan atau fungsi tertentu seperti mendukung kota-kota strategis yang mempunyai sumberdaya alam potensial, antara lain Sidangoli (dekat Ternate), Falabisahaya serta Pulau Gebe (di Pulau Mangole). Tujuan pengembangan pelabuhan untuk kota-kota tersebut adalah untuk pengangkutan bahan baku dan hasil produksi kegiatan industri. Hingga saat ini, pelabuhanpelabuhan tersebut mempunyai kualitas seperti pelabuhan antar pulau. Apabila skala industrinya semakin besar, perlu adanya peningkatan kemampuan pelabuhan tersebut.
Rencana pengembangan jalur penerbangan di Provinsi Maluku Utara meliputi: (a)
Jalur nasional antar provinsi, yaitu: Ternate – Jakarta; Ternate – Manado; Ternate – Ambon; Ternate – Makassar; Ternate - Sorong; Ternate – Fak - Fak; Ternate – Manokwari; Ternate – Luwuk dan Sanana – Ambon.
(b) A3.
Jalur reguler antar kabupaten, yaitu: Ternate – Sanana dan Ternate – Buli. Transportasi Udara Di Maluku Utara telah tersedia 10 (sepuluh) bandar udara yang tersebar di pulau-pulau penting di wilayah ini. Sultan Babullah-Ternate merupakan bandara pusat penyebaran tersier yang merupakan bandara utama di Provinsi ini. Seluruh jalur penerbangan antar pulau di dalam wilayah
14
Maluku Utara maupun dari dan ke luar wilayah berpusat di Ternate. Intensitas kegiatan bandara ini sangat tinggi. Bandara lainnya merupakan bandara bukan pusat penyebaran atau disebut juga bandara perintis. Secara visual rencana pengembangan transportasi udara dapat dilihat pada Gambar 3.6. B. Pengembangan Sistem Jaringan Listrik Pengembangan sistem jaringan kelistrikan di Maluku Utara dimaksudkan untuk menunjang kegiatan sosial, ekonomi, pertahanan keamanan di kawasan budidaya dan pusat permukiman. Pengembangan jaringan kelistrikan diselaraskan dengan pengembangan pusat perkotaan, pusat produksi dan pusat distribusi sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya. Di Maluku Utara akan dikembangkan jaringan transmisi tenaga listrik yang dikembangkan untuk menyalurkan tenaga listrik antarsistem menggunakan kawat saluran udara berkemampuan 150 KV seperti terlihat pada Gambar 3.7. Dalam RTRWN, pembangkit tenaga listrik ditetapkan dengan kriteria: a.
Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan umum di kawasan perkotaan, pedesaan hingga kawasan terisolasi;
Gambar 3.6 Rencana pengembangan sistem transportasi udara di Maluku Utara
b.
Mendukung pengembangan kawasan pedesaan, pulau-pulau kecil, dan kawasan terisolasi;
15
c.
Mendukung pemanfaatan teknologi baru untuk menghasilkan sumber energi yang mampu mengurangi ketergantungan terhadap energi tak terbarukan;
d.
Berada pada kawasan dan/atau di luar kawasan yang memiliki potensi sumber daya energi; dan
e.
Berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan jarak bebas dan jarak aman.
Pembangkit tenaga listrik yang dapat dikembangkan oleh pemerintah provinsi adalah: pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), dan di samping itu hendaknya sudah mulai menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) maupun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Kapasitas tenaga listrik dan instalasi jaringan di Maluku Utara yang terbatas perlu dikembangkan dan dibuat penambahan daya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, yaitu terbatasnya unit pembangkit listrik yang dimiliki PLN untuk wilayah Provinsi Maluku Utara. Terdapat beberapa alternatif pengadaan listrik untuk Maluku Utara: (1)
Pengembangan energi alternatif seperti PLTS;
(2)
Pengembangan energi listrik tenaga uap, dengan memanfaatkan air laut sebagai pendingin:
(3)
Pengembangan energi listrik tenaga diesel;
(4)
Pengembangan energi listrik tenaga air;
(5)
Pengembangan energi listrik tenaga panas bumi.
Pemenuhan kebutuhan listrik di perkotaan maupun pusat-pusat kegiatan di wilayah Maluku Utara masih banyak diperlukan oleh masyarakat meskipun secara makro seluruh kabupaten di Maluku Utara telah teraliri listrik. Konsentrasi dan intensitas kegiatan terdapat di Ternate yang mempunyai laju pertumbuhan lebih dari 30 persen (perkembangan tinggi), sehingga diperkirakan akan membutuhkan konsumsi energi listrik sangat tinggi untuk menunjang aktivitasnya. Berdasarkan hal tersebut, wilayah ini merupakan prioritas pelayanan prasarana energi listrik. Di samping itu dengan ditetapkannya Sofifi sebagai ibu kota Maluku Utara, perlu membentuk dan menambah jaringan prasarana listrik sebagai antisipasi peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan yang akan terjadi. Perkiraan perkembangan industri pengolahan dan ketentuan rencana struktur ruang yang ditujuberakibat pada penyediaan energi listrik di Maluku Utara diarahkan untuk dapat lebih meningkatkan pertumbuhan wilayah, terutama di Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Halmahera Selatan yang telah direncanakan sebagai kawasan pengolahan/pemurnian bijih nikel. Selama ini relatif masih belum tersedia jaringan listrik yang memadai dibandingkan daerah lainnya. Wilayah prospektif untuk penyediaan listrik di Maluku Utara selain Ternate, Tidore Kepulauan dan kota-kota di Halmahera Utara adalah kota yang mempunyai potensi untuk berkembang berbasis
16
pertambangan sehingga wilayah ini menjadi wilayah prioritas bagi peningkatan pelayanan prasarana energi. Sistem kelistrikan di Maluku Utara terdiri atas 7 sistem kelistrikan yang cukup besar yaitu sistem Ternate, Tobelo, Jailolo-Sofifi, Soa-Siu (Tidore), Bacan, Sanana dan Daruba, selain itu juga terdapat 21 unit pusat pembangkit kecil tersebar. Beban puncak gabungan sistem-sistem kelistrikan di Provinsi Maluku Utara saat ini sekitar 42,7 MW, dipasok oleh PLTD tersebar yang terhubung langsung ke sistem distribusi 20 kV seperti dapat dilihat pada gambar 3.7. Sistem terbesar di Maluku Utara adalah sistem Ternate. Sistem ini memiliki pasokan pembangkit sekitar 35 MW yang terdiri atas pembangkit sendiri 14,8 MW dan mesin sewa 20,3 MW, sedangkan sistem isolated lainnya yang relatif agak besar sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.2. Ternate merupakan eks-ibukota Maluku Utara yang mempunyai populasi terbesar di provinsi ini. Pemakaian listrik diserap oleh pelanggan rumah tangga (92,5%), komersial (3,9%), publik (3,6%) dan industri (0,01%). Dari realisasi penjualan tenaga listrik PLN dalam lima tahun terakhir dan mempertimbangkan kecenderungan pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan peningkatan rasio elektrifikasi di masa datang, maka proyeksi kebutuhan listrik pada 2012 – 2021 seperti ditunjukan Tabel 3.3.
Gambar 3.7 Peta lokasi pembangkit di Maluku Utara 3.1.3 Panas Bumi
17
Potensi panas bumi di Maluku Utara tersebar di 9 (sembilan) lokasi dengan total sumber daya sebesar 267 MW dan cadangan sebesar 42 MW. Dari sembilan lokasi potensi tersebut satu lokasi telah mendapat wilayah kerja pertambangan (WKP) yaitu lapangan panas bumi Jailolo di Kabupaten Halmahera Barat yang akan dikembangkan oleh PT. Star Energy Geotermal, sedangkan satu lokasi masih dalam proses lelang yaitu lapangan panas bumi Songa Wayaua di Halmahera Selatan (Tabel 3.4).
Tabel 3.2 Kapasitas pembangkit terpasang di Maluku Utara
Tabel 3.3 Proyeksi kebutuhan tenaga listrik
18
Tabel 3.4 Potensi panas bumi di Maluku Utara
19
20
21
3.1.4 Pengembangan Kawasan Budidaya 22
Pemanfaatan kawasan
budidaya
direncanakan
sesuai
dengan
upaya
desentralisasi
ruang
pengembangan wilayah dan potensi lokal, baik sektor primer, sekunder, maupun tersier. Berdasarkan kecenderungan perkembangan, sektor primer merupakan sektor ekonomi potensial di Provinsi Maluku Utara. Kawasan budidaya merupakan kawasan di luar kawasan lindung yang kondisi fisik dan potensi sumber daya alamnya dianggap dapat dan perlu dimanfaatkan baik bagi kepentingan produksi (kegiatan usaha) maupun pemenuhan kebutuhan permukiman. Oleh karena itu, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Utara, penetapan kawasan ini dititikberatkan pada usaha untuk memberikan arahan pengembangan berbagai kegiatan budidaya sesuai dengan potensi sumber daya yang ada dengan memperhatikan optimasi pemanfaatannya. Kriteria untuk mendelineasikan kawasan budidaya secara umum lebih didasarkan pada faktor kesesuaian lahan. Dilihat dari kriterianya, pada dasarnya terdapat wilayah yang dapat saja memenuhi kriteria untuk pengembangan beberapa jenis kegiatan budidaya. Dengan demikian, pengalokasian ruangannya di samping didasarkan pada kesesuain lahan juga mempertimbangkan aspek ekonomisnya serta kebijakan secara nasional atau daerah sebagai dasar bagi prioritasnya. Berdasarkan pada kepentingan pemanfaatan ruang secara optimal untuk kegiatan yang bersifat budidaya, maka dalam RTRWP ini perlu dilakukan prioritas di dalam memberikan arahan pengembangan yang dapat dibedakan menurut tingkat perkembangan wilayah. Dalam kaitan ini Maluku Utara dipandang sebagai wilayah yang relatif belum berkembang (dalam konteks antar wilayah/nasional) dengan penduduk relatif jarang. Prioritas di dalam mengarahkan jenis kegiatan budidaya yang akan dikembangkan adalah menurut intensitas pemanfaatan ruang-ruang dengan urutan sebagai berikut: (1)
Permukiman (kota dan desa);
(2)
kawasan pertanian yang terdiri atas tanaman pangan lahan basah, perkebunan dan tanaman pangan lahan kering;
(3)
kawasan hutan produksi yang terdiri atas hutan produksi konversi, hutan produksi biasa/tetap dan hutan produksi terbatas;
(4)
kawasan pertambangan dan perindustrian;
(5)
kawasan pariwisata.
Pengembangan kawasan budidaya di Maluku Utara pada dasarnya perlu ditunjang oleh pengembangan prasarana dan sarana pendukungnya agar sesuai dengan kawasan tersebut dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta memberikan manfaat optimal. Secara umum kegiatan budidaya yang akan dikembangkan di Provinsi Maluku Utara dapat dibedakan menurut karakteristiknya dalam memanfaatkan ruang. Dalam hal ini kawasan hutan produksi merupakan peyangga kawasan lindung, 23
sedangkan kawasan pertanian, pertambangan, perindustrian dan permukiman merupakan kegiatan budidaya ”intensif” dalam memanfaatkan ruang. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya selanjutnya diarahkan berdasarkan sifat-sifat kegiatan yang akan ditampung, potensi pengembangan dan kesesuaian lahan. Kegiatan budidaya terbentuk menurut 5 (lima) bentuk satuan ruang, yakni pedesaan, perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, andalan dan strategis. Kawasan perkotaan menampung kegiatan-kegiatan permukiman perkotaan, industri, jasa dan perdagangan serta kegiatan pelayanan lainnya; pedesaan merupakan kawasan transisi antara kawasan yang berfungsi sebagai perlindungan dan perkotaan yang memiliki kegiatan primer yang berorientasi sumberdaya alam; pesisir dan pulau kecil merupakan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di bawahannya, perlindungan setempat, cagar alam, suaka margasatwa, dan rawan bencana, serta kawasan tertentu yang bersifat strategis dari segi ekonomi, sosial, pertahanan-keamanan, dan lingkungan. Orientasi kegiatan di kawasan pedesaan mencakup berbagai kegiatan yang menyangga keberadaan kawasan lindung, seperti hutan produksi, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perkebunan, peternakan, perikanan dan permukiman pedesaan. Berdasarkan pedoman penyusunan RTRW, kawasan budidaya telah diklasifikasikan secara khusus. Di Maluku Utara, kawasan budidaya yang akan ditetapkan mencakup wilayah daratan dan lautan yang terdiri atas: (1)
Kawasan hutan produksi tetap;
(2)
Hutan produksi terbatas;
(3)
Hutan produksi;
(4)
Arahan penggunaan lain : a. Budidaya non hutan dan perkebunan yang dapat dikonversikan; b. Pertanian, yaitu pertanian lahan basah dan perkebunan; c. Kawasan pertambangan; d. Kawasan perindustrian; e. Kawasan pariwisata; f. Perikanan; g. Kawasan permukiman
3.1.5 Pertambangan
24
Maluku Utara memiliki potensi tambang yang beragam baik logam, non logam maupun batuan yang tersebar hampir di seluruh wilayah. Potensi tambang tersebut di antaranya nikel, kobal, emas, tembaga, bauksit, mangan, bijih besi, pasir besi, titanium, batubara, kaolin, asbes, batu permata, pasir kuarsa, granit, talk, batu gamping, batu apung dan lain lain, tabel 3.5 menunjukkan potensi mineral unggulan. Halmahera mempunyai potensi endapan bahan galian emas epitermal di daerah Gosowong dengan potensi yang terkandung dalam busur magmatik, sedangkan endapan nikel laterit tersebar di Tanjung Buli, Pulau Gebe, Pulau Gag, Pulau Pakal, Pulau Obi, dan Teluk Weda (Gambar 3.8).
Gambar 3.8. Lokasi pertambangan di Maluku Utara Tabel 3.5 Potensi mineral unggulan No.
Komoditi
1.
Emas
2.
Nikel
Sumberdaya (Ton)
Lokasi
1.050 Halmahera Utara dan Halmahera Barat 4.610.322.800 Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan (P. Obi)
3.
Pasir Besi
4.
Mangan
479.083.898 Sula, Morotai, Halmahera Utara, Halmahera Barat 347.974 Halmahera Utara
Lokasi endapan nikel di Maluku Utara tersebar di tiga Kabupaten, yaitu di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Selatan dengan jumlah cadangan total sekitar 4,6 milyar ton (Dinas ESDM 25
Provinsi Maluku Utara, 2011). Mineral nikel ini diklasifikasikan sebagai nikel laterit dengan luas sebaran 822.898 Ha dan sebagian besar tersebar di Kabupaten Halmahera Timur (Tabel 3.6). Tabel 3.6 Luas sebaran nikel di Maluku Utara LOKASI ENDAPAN
KECAMATAN / KABUPATEN
KETERANGAN
a. Mala-Mala . Loji, Kawasi
Halmahera Selatan
9.528 Ha; EndapanNikel Laterit
b. Fluk, Danau Karu, Ds Baru
Halmahera Selatan
38.370 Ha; Endapan Nikel Laterit
c. Bukit Santa Monika
Weda Halteng
150.000 Ha Endapan Nikel Laterit
d. Pulau Gebe
Halteng
50.000 Ha Endapan Nikel Laterit
e. Maba dan Buli
Haltim
200.000 Ha Endapan Nikel Laterit
f.
Haltim
175.000 Ha Endapan Nikel Laterit
Haltim
200.000 Ha Endapan Nikel Laterit
Wasile Selatan
g. Wasile Utara TOTAL LUAS POTENSI NIKEL
822. 898 HA
Jumlah IUP nikel di Maluku Utara sebanyak 79 IUP, yaitu di Halmahera Selatan 17 IUP, Halmahera Timur 36 IUP dan Halmahera Tengah 27 IUP. Perusahaan pemilik IUP yang sudah melakukan operasi produksi terdapat di Halmahera Selatan sebanyak 5 dari 17 IUP (29,4%), Halmahera Timur 8 dari 36 IUP (22,2%), dan Halmahera Tengah 11 dari 27 IUP (40,7%). Rasio IUP produksi terhadap jumlah IUP di Maluku Utara adalah sebesar 30,3% yang meliputi Halmahera Selatan 6,3%, Halmahera Timur 10,1% dan Halmahera Tengah 13,9% (Tabel 3.7). Tabel 3.7 Data IUP Maluku Utara Halmahera Selatan NO
NAMA PERUSAHAAN
1
2
LUAS WILAY AH (HA) 4
TAHAPAN KEGIATAN
KOMODITAS
LOKASI IZIN
5
6
9
1.
PT. BELA KENCANA
4.878
EKSPLORASI
NIKEL
DESA SOLIGI KEC. OBI SELATAN
2.
PT. BELA KENCANA
7.057
EKSPLORASI
NIKEL
DESA SOLIGI KEC. OBI SELATAN
3.
PT. BELA KENCANA
3.215
EKSPLORASI
NIKEL
DESA SOLIGI KEC. OBI SELATAN
4.
PT. GANE PERMAI SENTOSA
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
DESA KAWASI KEC. OBI
5
PT. GANE PERMAI SENTOSA
1.775,40
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
DESA BARU KEC. OBI
6
PT. GANE PERMAI SENTOSA
4.628,30
EKSPLORASI
NIKEL
DESA FLUK KEC. OBI SELATAN
7
PT. GANE PERMAI SENTOSA
484,78
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
DESA BARU KEC. OBI
8
PT. GANE PERMAI SENTOSA
1.128,83
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
D DESA KAWASI KEC. OBI
9
PT. GANE PERMAI SENTOSA
1.400,06
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
DESA BARU KEC. OBI
10
PT. HALIM PRATAMA
1.548
EKSPLORASI
NIKEL
DESA SUM KEC. OBI TIMUR
11
PT. HALIM PRATAMA
1.125
EKSPLORASI
NIKEL
DESA JIKODOLONG KEC. OBI TIMUR
12
PT. INTIM MINING SENTOSA
5.936
EKSPLORASI
NIKEL
DESA BOBO KEC. OBI
17
PT. SURYA KIRANA DUTA MAS
3.868
EKSPLORASI
NIKEL
DESA SOLIGI KEC. OBI SELATAN
Halmahera Tengah NO
NAMA PERUSAHAAN
1
2
LUAS WILAYAH (HA) 4
26
TAHAPAN KEGIATAN
KOMODITAS
LOKASI IZIN
5
6
9
1
PT BARTHA PUTRA MULIA
2.000
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PULAU GEBE
2
PT BAWO KEKAL SEJAHTERA INTERNASIONAL
5.000
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PATANI
3
PT BHAKTI PERTIWI NUSANTARA
947
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA UTARA
4
PT BUMI HALTENG MINING
695
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA UTA
5
PT DHARMA ROSADI INTERNASIONAL
700
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA UTA
6
PT DHARMA ROSADI INTERNASIONAL
1.000
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA UTA
7
PT DHARMA ROSADI INTERNASIONAL
1.000
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA UTA
8
PT ELSADAY MULIA
550
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PULAU GEBE
9
PT ELSADAY MULIA
305
EKSPLORASI
NIKEL
KEC.PULAU GEBE
10
PT ELSADAY MULIA
851
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PULAU GEBE
11
PT FAJR BHAKTI LINTAS NUSANTARA
500
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. PULAU GEBE
12
PT FAJR BHAKTI LINTAS NUSANTARA
2.000
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PATANI
13
PT FAJR BHAKTI LINTAS NUSANTARA
100
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PULAU GEBE
14
PT HALMAHERA RESOURCES PERKASA
1.330
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WEDA
15
PT HARMA NUSA MINERAL
2.500
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PATANI
16
PT HARMA NUSA MINERAL
2.500
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PATANI
17
PT HARUM SUKSES MINING
990
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA UTARA
18
PT HARUM SUKSES MINING
700
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA UTARA
19
PT INTEGRA MINING NUSANTARA
1.498
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WEDA UTARA
20
PT KARYA SIAGA
3.021
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WEDA
21
PT KARYA WIJAYA
1.150
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WEDA UTARA
22
PT KARY AWIJAYA
500
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PULAU GEBE
23
PT LOPOLY MINING
500
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PULAU GEBE
24
PT MINERAL TROBOS
300
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. PULAU GEBE
25
PT TEKINDO ENERGI
965
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA
26
PT ZHONG HAI METAL MINING INDONESIA
688
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA UTARA
27
PT ZHONG HAI METAL MINING INDONESIA
118
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WEDA UTARA
Halmahera Timur NO
NAMA PERUSAHAAN
1
2 1
PT ADHITA NIKEL INDONESIA
2
PT ALAM RAYA ABADI
3
PT AMINY BROSINDO ODHAYOS
4
PT ANEKA TAMBANG
5
PT BUDHI DHARMA INTI TAMBANG
6
LUAS WILAYAH (HA) 4 2.000
TAHAPAN KEGIATAN 5
KOMODITAS
LOKASI IZIN
6
9
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. KOTA MABA
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WASILE
4.249
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE TENGAH
39.040
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. MABA DAN MABA KOTA
2.988
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE SELATAN
PT BUDHI DHARMA INTI TAMBANG
3.452
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE SELATAN
7
PT BUKIT NIKEL
9.892
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE SELATAN DAN MABA
8
PT COSMOS INTI MINERAL
9.513
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE UTARA
9
PT COSMOS TATA PERSADA
8.554
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. KEC. WASILE UTARA
10
PT HALTIM MINING
344,6
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. MABA KOTA
11
PT INDO BUMI NIKEL
2.117
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WASILE DAN WASILE TIMUR
12
PT INVESTA PRATAMA INTIKARYA
4.571
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE UTARA
13
PT JAYA ABADI SEMESTA
5.955
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE DAN MABA
14
PT KARYA PRIMA MANDIRI PERSADA
1.101
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. MABA UTARA
15
PT KEMAKMURAN INTI UTAMA TAMBANG
11.900
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE SELATAN
924
27
16
PT KEMAKMURAN PERTIWI TAMBANG
4.729
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE SELATAN
17
PT KEMAKMURAN PERTIWI TAMBANG
7.241
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE SELATAN
18
PT KEMAKMURAN PERTIWI TAMBANG
961,07
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WASILE SELATAN
19
PT KEMAKMURAN PERTIWI TAMBANG
1.000
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WASILE SELATAN
20
PT MAKMUR JAYA LESTARI
394
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. MABA KOTA
21
PT MAKMUR JAYA LESTARI
5.955
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE DAN MABA
22
PT MAKMUR JAYA LESTARI
OPERASI PRODUKSI
NIKEL
KEC. WASILE
23
PT MAXIMA UTAMA
1.175
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE TENGAH
24
PT MAXIMA UTAMA
912
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE UTARA
25
PT MAXIMA UTAMA
1.704
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE UTARA
26
PT MAXIMA UTAMA
1.024
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE UTARA
27
PT MAXIMA UTAMA
1.404
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE UTARA
28
PT MAXIMA UTAMA
562,30
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. MABA
29
PT PALEM SAKTI UTAMA
2.354
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. MABA TENGAH
30
PT PERMATA TUJUH DUA
2.407
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. MABA DAN MABA TENGAH
31
PT POSITION
4.047
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. MABA KOTA
32
PT POSITION
1.161
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. WASILE TENGAH
33
PT PRIVEN LESTARI
4.953
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. MABA DAN MABA KOTA
34
PT RODA NUSANTARA
3.121
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. MABA DAN WASILE
35
PT SAMBAKI TAMBANG SENTOSA
4.480
OPERASI PRODUKSI I
NIKEL
DESA GANTOLI KEC. MABA
36
PT TELUK BULI SENTOSA
2.000
EKSPLORASI
NIKEL
KEC. MABA TENGAH
924
Pada 2009, nikel hasil tambang di Maluku Utara sebesar 23 juta ton (Tabel 3.8) yang sebagian besar terdapat di titik eksplorasi Tanjung Buli, Pulau Pakal, Sangaji dan Mornopo, Kabupaten Halmahera Timur. Sementara itu nikel yang telah diolah menjadi feronikel sebesar 3.873 ton (BPS Maluku Utara, 2011). 3.1.6 Pengolahan Nikel Bijih nikel laterit dapat diolah secara pirometalurgi dan hidrometalurgi tergantung dari lapisan endapan bijih nikel laterit yang akan diolah. Lapisan endapan bijih nikel terdiri atas: Tudung besi (iron cap) dengan kandungan nikel yang rendah < 0,5% Ni dan Fe sekitar 40%. Lapisan limonit yang didominasi oleh mineral gutit (FeOOH) dengan kandungan nikel sekitar 0,5% dan Fe di atas 40%.
Tabel 3.8 Produksi nikel di Maluku Utara NAMA PERUSAHAAN
JENIS BAHAN GALIAN
28
PRODUKSI PERTAHUN (ton)
Negara Tujuan Eksport
PT Aneka Tambang Buli
Nikel
4.000.000
Ukraina, Jepang
PT Gane Permai Sentosa (Kec. Obi, Kab Halmahera Selatan)
Nikel
5.000.000
Cina
PT Trimegah Bangun Persada
Nikel
4.000.000
Cina
PT Makmur Jaya Lestari (Kec. Maba dan Wasile, Kab Haltim)
Nikel
2.000.000
Cina
PT Alam Raya Abadi (Kec. Wasile, Kab Haltim)
Nikel
1.000.000
Cina
PT Sambaki Tambang Sentosa (Kec. Maba, Kab Haltim)
Nikel
1.000.000
Cina
PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (Kec. Wasile Selatan, Kab Haltim)
Nikel
4.000.000
Cina
Nikel
2.000.000
Cina
PT Rimba Kurnia Alam
Total Produksi Nikel Maluku Utara
23.000.000.
Lapisan saprolit yang sering kali disertai dengan keberadaan pengotor batuan basal. Lapisan saprolit ditandai dengan kandungan Mg yang kaya (10—20%) dan besi yang bersubstitusi dengan dengan magnesium dalam mineral serpentin (Mg3Si2O5(OH)4), dan gutit dengan total Fe 10-25% Lapisan garnerit Lapisan bed rock yang mengalami proses pelapukan. Baik proses hidro maupun pirometalurgi sudah komersial untuk mengolah bijih nikel laterit. Proses pirometalurgi umumnya menghasilkan ferronickel dan nikel mate sulfida yang dapat diproses lebih lanjut menjadi logam Ni. Proses pirometalurgi lebih cederung diterapkan untuk bijih nikel saprolit yang pengerjaannya terdiri atas tahapan pengeringan, kalsinasi/reduksi kemudian dilebur dalam tungku listrik. Pada kapasitas yang rendah, energi yang dibutuhkan 33-76 MW. Kelemahan teknologi pirometalurgi adalah energi yang dibutuhkan besar dan membutuhkan kandungan nikel yang tinggi di atas 1,8% serta perolehan kobal yang rendah, walaupun demikian di Jepang, Nippon Yakin
mengembangkan teknologi pirometalurgi yang dapat membuat
sponge/luppen/nugget Fe-Ni dalam tungku putar yang tidak melibatkan tungku listrik. Kandungan nikel dalam nugget/luppen sekitar 15-23% Ni. Teknologi ini merupakan modifikasi dari proses Krupp Renn. Rangkaian prosesnya terdiri atas proses pengeringan, kalsinasi/reduksi, penggilingan dan pemisahan dengan separator magnetik. Energi yang dibutuhkan dalam proses ini relatif rendah. 29
Teknologi hidrometalurgi diterapkan untuk bijih limonitik, namun nikel saprolit dengan kandungan nikel di atas 3% dan magnesium tinggi dapat juga diolah dengan cara hidrometalurgi. Proses hidrometalurgi yang sudah komersial adalah: 1.
Proses Caron, yang mengkonsumsi energy sangat tinggi. Proses ini merupakan kombinasi piro/hidrometalurgi dengan perolehan nikel dan kobal rendah.
2.
HPAL atau high-pressure acid leaching yang dapat menghasilkan perolehan nikel dan kobal tinggi >90%. Berlangsung pada persen padatan 20% dengan konsumsi asam 200-500 kg/t bijih, tekanan 33-55 atm, suhu 270oC dan menggunakan otoklaf titanium.
3.
Pelindihan Atmosferik dilakukan untuk memperbaiki proses HPAL yang membutuhkan konsumsi asam tinggi. Teknologi pelarutan ini membutuhkan penambahan bahan pereduksi untuk meningkatkan kelarutan kobal.
4.
Pelarutan onggok (heap leaching) diterapkan pada bijih limonit dengan kandungan nikel rendah. Bijih nikel di tumpuk di atas pad kemudian disemprot laturan asam untuk melarutkan nikel dan kobal. Proses pelarutan berlangsung sekitar 3-6 bulan.
Biaya investasi untuk pendirian smelter nikel adalah US$ 12-15/lb Ni diluar biaya pembangunan pembangkit listrik, menghasilkan Ni kandungan 1,8-2,5%. Biaya operasi US$ 1,5-2,4/lb Ni. Nilai investasi proses hidrometalurgi sekitar US$ 12-18/lb Ni dan kandungan Ni yang dihasilkan adalah 1,4% Ni. Biaya operasinya 1,00-2,10/lb Ni. Untuk memperoleh logam Ni dari deposit tipe laterit terdapat beberapa jalur proses pengolahan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.9. Komposisi laterit nikel akan tergantung kepada jenis batuan induk, iklim tempat endapan terbentuk dan proses pelapukan. Hal ini memberikan hubungan yang spesifik antara komponen deposit dan pilihan proses pengolahannnya disertai kendala-kendalanya.
Tabel 3.9 Jenis bijih teknologi proses Teknologi Pengolahan
Limonit
Saprolit
Spesifikasi Umpan
30
Pengolahan nikel laterit yang diterapkan secara komersial didasarkan kepada kandungan magnesium (Mg) dan rasio nikel-besi (Ni/Fe). Saat ini terdapat dua (2) pilihan proses ekstraksi, yaitu pirometalurgi dan hidrometalurgi (Gambar 3.9). Jalur pirometalurgi menggunakan umpan nikel laterit tipe saprolit dengan produk nikel berupa ferro-nickel (FeNi) dan nickel sulfide matte (nickel matte). Proses ekstraksi nikel laterit limonit dapat menghasilkan nickel pig iron dan crude ferro nicke, sedangkan proses hidrometalurgi paling umum diterapkan untuk laterit limonit. Walaupun laterit saprolit berkadar nikel lebih tinggi (≤3%) daripada lapisan limonit tetapi kandungan magnesiumnya tinggi menyebabkan konsumsi asam lebih banyak.
Overburden to stockpile
Hydrometallurgy
Hydrometallurgy or Pyrometallurgy
Pyrometallurgy
Left in situ
Gambar 3.9 Skema profil laterit, komposisi kimia dan jalur proses ekstraksi
31
Gambar 3.10 Bagan alir proses pengolahan nikel laterit 3.1.6.1 Proses Pirometalurgi (1)
Pembuatan Ferro-Nickel
Pembuatan ferro-nickel dilakukan melalui dua rangkaian proses utama yaitu reduksi dalam tungku putar (rotary kiln, RK) dan peleburan dalam tungku listrik (electric furnace, EF) dan yang lazim dikenal sebagai Rotary Kiln Electric Smelting Furnace Process atau ELKEM Process. Bijih yang telah dipisahkan, baik ukuran maupun campuran untuk mendapatkan komposisi kimia yang diinginkan, diumpankan ke dalam pengering putar (rotary dryer) bersama-sama dengan reductant dan flux. Selanjutnya dilakukan pengeringan sebagian (partical drying) atau pengurangan kadar air (moisture content) dan kemudian dipanggang pada tanur putar (rotary kiln) dengan suhu sekitar 700 -1000°C tergantung kepada sifat bijih yang diolah. Maksud utama pemanggangan (calcination) adalah untuk mengurangi kadar air, baik yang berupa air lembab (moisture content) maupun yang berupa air kristal (crystalized water), serta mengurangi zat hilang bakar (loss of ignition) dari bahan-bahan baku lain-nya. Selain itu, pemanggangan dimaksudkan juga untuk memanaskan (preheating) dan sekaligus mencampur bahan-bahan baku tersebut. Dalam tanur putar dilakukan juga reduksi pendahuluan (prereduction) secara selektif untuk mengatur kualitas produk dan meningkatkan efisiensi/produktivitas tanur listrik, sesuai kebutuhan pasar dan kadar bijih yang diolah. Sekitar 20% kandungan nikel bjiih tereduksi, sehingga energi yang dibutuhkan dalam tanur listrik menjadi lebih rendah. Bijih terpanggang dan tereduksi sebagian dari tanur putar ini dimasukkan ke dalam tanur listrik secara kontinu dalam keadaan panas (di atas 500°C), agar dapat dilakukan pereduksian dan peleburan. Dari hasil peleburan diperoleh feronikel (crude ferronickel) yang selanjutnya dimurnikan pada proses pemurnian. Crude ferronickel memiliki kandungan 15-25% Ni dan pengotor tinggi seperti karbon, silikon dan krom. Pemurnian dilakukan
32
dengan oxygen blowing untuk menghilangkan karbon, krom dan silikon juga ditambahkan flux berupa kapur, dolomit, flourspar, aluminium, magnesium, ferosilikon dsb. untuk menghasilkan terak yang memungkinkan sulfur dapat terserap pada saat pengadukan dengan injeksi nitrogen. Hasil pemurnian dituang menjadi balok feronikel (ferronickel ingot) atau digranulasi menjadi butir-butir feronikel (ferronickel shots), dengan kadar nikel sekitar 25%. Bagan alir pembuatan ferro nikel dapat dilihat pada Gambar 3.11. Di dalam proses pirometalurgi, produk yang dihasilkan terdiri atas: produk utama:
logam paduan ferronickel komposisi kimia: o high carbon Fe-Ni: 23.4%-Ni; 1.75%-C; o low carbon Fe-Ni: 24.4%-Ni; 0.01%-C
produk samping:
terak ; campuran logam oksida
Gambar 3.11 Bagan alir proses pembuatan ferro nikel kondisi proses:
(2)
mempunyai kadar nikel tinggi (>2.2%Ni) rasio Fe/Ni rendah (5-6)r kadar MgO tinggi rasio SiO2/MgO >2.5
Pembuatan Nickel Matte
33
Nickel matte dibuat secara komersial pertama kali di Kaledonia Baru menggunakan blast furnace sebagai tanur peleburan dan gipsum sebagai sumber belerang sekaligus sebagai bahan flux. Dewasa ini pembuatan matte dari bijih oksida dilakukan menggunakan tanur putar dan tanur listrik. Gambar 3.12 menunjukkan bahwa sebagian besar tahapan proses yang dilakukan dalam proses pembuatan ferronikel juga dilakukan dalam proses ini. Bijih yang kandungan airnya dikurangi, dimasukkan ke dalam tanur putar. Produk tanur putar diumpankan ke dalam tanur listrik, untuk menyempurnakan proses reduksi dan sulfurisasi sehingga menghasilkan matte. Furnace ini mengandung nikel 30 – 35%, belerang 10 – 15% dan sisanya besi dimasukkan ke dalam converter untuk menghilangkan/mengurangi sebagian besar kadar besi. Hasil akhir berupa mat yang mengandung nikel 77%, belerang 21% serta kobal dan besi masing-masing 1%. Produk yang dihasilkan adalah sebagai berikut: produk utama:
nickel matte komposisi kimia: 70-78%-Ni; 0.5-1-%Co; 0.2-06%-Cu; 0.3-0.6%-Fe;18-22%-S
Gambar 3.12 Diagram alir proses pembuatan nickelmatte produk samping:
terak; campuran logam oksida
kondisi proses: (3)
mempunyai kadar nikel tinggi (>2.2%Ni) rasio Fe/Ni rendah (>6) kadar MgO tinggi rasio SiO2/MgO antara 1.8-2.2 Pembuatan Nickel Pig Iron
Nickel pig iron (NPI) adalah logam besi wantah dengan kandungan Ni sekitar 5-10% Ni yang merupakan hasil proses peleburan bijih nikel kadar rendah di bawah 1.8% Ni. Pada saat ini NPI dihasilkan dari proses peleburan bijih nikel kadar rendah menggunakan tungku tegak blast furnace. 34
NPI digunakan sebagai bahan baku pembuatan baja tahan karat. Bagan alir pembuatan NPI dapat di lihat pada Gambar 3.13.
(4)
Pembuatan Fe-Ni wantah
Rute lain untuk mengurangi konsumsi energi listrik adalah melalui jalur dead reduction dalam rotary kiln. Tahapan terdiri atas sizing kemudian pengeringan, direduksi dalam rotary kiln sehingga nikel oksida dan besi oksida terreduksi menjadi logam masing-masing dan membentuk nickel-ferro alloy. Untuk memisahkan pengotor kalsin rotary kiln dilakukan penggerusan dan selanjutnya pemisahan dengan pemisah magnetik sampai dihasilkan konsentrat ferronickel. Konsentrat Fe Ni wantah kemudian dibriket dan dipasarkan. Proses ini dapat mengolah bijih nikel kadar rendah 0,8-1,5% Ni. Bagan alir pembuatan Fe Ni wantah dapat dilihat pada Gambar 3.14. Legend = Main Ni Flow = Dust Stream = Secondary Stream
Coal
Fugitive Dust
Wet One Ore Wet Storage Storage
Collection
Coal
Dust
Rotary Driyer
Agglomerat ion
Air
Coal Prepartion
Crusher coalKiln No. 1 Air
Dry Ore Storage Kiln No. 2
Slag Granulation
Electric Fumance atau
PS Ball
Nickel Pig Iron
Blast Furnance
Gambar 3.13 Bagan alir pembuatan Nickel Pig Iron
Legend = Main Ni Flow = Dust Stream = Secondary Stream Wet Wet One Ore Storage Coal
Coal
35
Rotary Driyer Air Coal
Fugitive Dust Collection
Dust Agglomerasi on
Gambar 3.14 Bagan alir pembuatan FeNi wantah 3.1.7
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.7.1 Pengembangan Kawasan Pertambangan dan Pengolahan Penambangan nikel di Maluku Utara saat ini dilakukan oleh PT. Aneka Tambang, Tbk. lokasinya tersebar di daerah Tanjung Buli, Gee dan Marnopo. Perusahaan ini merencanakan pengolahan bijih nikel yang saat ini masih dalam proses pembangunan. Selain perusahaan tersebut di Maluku Utara ada juga perusahaan besar lain yang akan melakukan kegiatan penambangan dan proses pengolahan, yaitu PT. Weda Bay. Kebutuhan energi listrik untuk pembangunan smelter kedua perusahaan ini dipenuhi oleh PLTU batubara yang dibangun sendiri, sehingga ke dua perusahaan ini tidak tidak diperhitungkan dalam menentukan kebutuhan energi panas bumi. Lokasi atau kawasan pertambangan nikel cukup banyak dan tersebar di Maluku Utara, namun yang terpenting adalah bahwa pengembangan lokasi pertambangan nikel tidak mengubah fungsi hutan lindung atau kawasan lindung. Pengembangan secara lebih luas mengenai pertambangan nikel dan industri pengolahannya tetap mengacu pada peraturan perundanganan mengenai kegiatan pertambangan secara nasional. Pemanfaatan lahan untuk pertambangan dan pengolahannya adalah pada tatanan kawasan budidaya yang non produktif di bagian permukaan tanah, sehingga memberikan manfaat lain pada kondisi tanah yang sebelumnya dianggap non produktif. Beberapa potensi sumberdaya mineral nikel tersebar di tiga wilayah, yaitu Halmahera selatan, Tengah dan Timur. 3.1.7.2 Kesesuaian Lahan Untuk Smelter Nikel
36
Pertimbangan utama dalam penentuan lokasi smelter nikel adalah kemudahan pencapaian (aksesibilitas), baik dalam hal penyediaan bijih nikel maupun pemasaran hasil industri. Oleh karena itu lokasi smelter harus dekat dengan jaringan jalan dan pelabuhan, selain itu lokasi smelter perlu mempertimbangkan jarak dengan lokasi permukiman untuk kemudahan memperoleh tenaga kerja dan mengurangi dampak negatif dari hasil sampingan smelter berupa polusi, baik padat, cair, maupun gas. Mengingat salah satu komponen biaya produksi adalah pengadaaan prasarana dan sarana penunjang, lokasi smelter perlu memperhatikan jarak terhadap pelayanan fasilitas dan prasarana tersebut. Mengingat kegiatan smelter nikel di samping menghasilkan produksi juga hasil sampingan berupa limbah padat, cair dan gas; untuk mencegah timbulnya dampak negatif sebaiknya dialokasikan pada kawasan budidaya non pertanian dan non permukiman, terutama bagi smelter skala menengah dan besar. Smelter yang memerlukan kedekatan dengan sungai, baik sebagai sumber air baku kegiatan smelter maupun sebagai bahan penerima buangan yang bersifat cair, dapat berlokasi di dekat sungai yang bukan merupakan sumber air minum langsung maupun bahan baku untuk air minum dengan terlebih dahulu melakukan pengolahan air buangan. Sesuai dengan Keppres Nomor 33 Tahun 1990 pasal 2, menyatakan bahwa kegiatan pembangunan kawasan industri (smelter) tidak dapat dilakukan pada kawasan pertanian, kawasan hutan produksi dan kawasan lindung.
Selain memperhatikan aksesabilitas, pengembangan smelter nikel juga harus memperhatikan penetapan kawasan strategis di Maluku Utara (Gambar 3.15). Menurut penetapan kawasan strategis ini, kawasan industri (smelter nikel) dapat berada di suatu kawasan khusus industri dengan persyaratan tetap di kawasan budidaya. Persyaratan lokasi kawasan industri telah diatur menurut ketentuan yang ada baik dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan maupun dari Kementerian Pekerjaan Umum. Pada prinsipnya alokasi kawasan industri berada pada kelerengan yang tidak lebih dari 8 persen serta dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai untuk pengembangannya. 3.1.7.3 Kawasan Halmahera Selatan Kawasan ini merupakan wilayah yang perkembangannya relatif tertinggal dengan daerah lainnya di Maluku Utara, oleh karena itu perlu diprioritaskan pula penanganan pembangunannya agar terjadi pemerataan pembangunan. Potensi yang dimiliki Halmahera Selatan selain perkebunan adalah pertambangan nikel (Pulau Obi). Permasalahan yang dimiliki kawasan ini adalah kurangnya aksesibilitas. Untuk itu arahan pengembangan yang dapat direkomendasikan untuk kawasan ini adalah sebagai berikut:
Pengembangan transportasi laut sehingga dapat meningkatkan hubungan kawasan ini dengan kawasan sekitarnya yang akan memudahkan penyaluran hasil-hasil produksi pertambangan kawasan ini dengan pusat pengolahannya di Pulau Bacan;
Pengembangan transportasi darat untuk meningkatkan aksesibilitas intra wilayah.
3.1.7.4 Kawasan Weda 37
Berdasarkan kawasan andalan, kawasan Weda (Halmahera Tengah) merupakan pertambangan nikel yang sekaligus sebagai kawasan industri pengolahan bahan tambang. Dengan demikian Weda dapat dirujuk sebagai lokasi pembangunan industri pengolahan/pemurnian nikel. Kawasan ini meliputi Weda dan sekitarnya yang perlu diprioritaskan karena adanya rencana pengembangan kegiatan pertambangan nikel oleh PT. Weda Bay Nikel seluas 90.000 Ha. dan rencana IUP lainnya untuk membangun smelter nikel.
Gambar 3.15 Peta rencana pengembangan kawasan strategis Maluku Utara
Arahan pengembangan yang direkomendasikan untuk kawasan ini adalah sebagai berikut:
pengembangan kawasan pertambangan yang bersinergi dengan aspek rencana tata ruang dan lingkungan di sekitarnya sehingga dapat mencegah adanya konflik tata ruang dan kerusakan lingkungan;
38
pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan sosial masyarakat di sekitarnya yang berkaitan erat dengan kegiatan penambangan sehingga dapat menghindarkan adanya konflik sosial dan kegiatan ekonomi yang bersifat enclave;
pengembangan rencana pembangunan infrastrutur, khususnya jalan, pelabuhan dan jaringan listrik.
3.1.7.5 Kawasan Halmahera Timur Jumlah IUP nikel di kawasan ini paling banyak dibandingkan dengan daerah penghasil nikel lainnya. Selain PT. Aneka Tambang, IUP nikel lainnya yang tersebar di kawasan ini merencanakan membangun smelter nikel sesuai dengan batasan dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri No. 20 Tahun 2012. Permasalahan utama adalah energi listrik yang tersedia di daerah masih terbatas. Berdasarkan perkiraan cadangan sumber daya mineral dan energi panas bumi, pengembangan industri dapat dikelompokkan dalam dua wilayah atau zone yaitu: 1. Zona 1 meliputi Halmahera dan sekitarnya. 2. Zona 2 meliputi Bacan dan pulau-pulau di sekitarnya. Zona 1 mencakup kawasan pertambangan nikel dan kawasan sumber energi panas bumi. Kawasan Pertambangan nikel terdapat di Halmahera Tengah dan Hlamahera Timur, sedangkan kawasan sumber energi panas bumi di Halmahera Barat, yaitu di wilayah Ibu dan Jailolo. Zona 2 mencakup kawasan pertambangan nikel di Halmahera Selatan (Obi dan wilayah energi panas bumi di bacan yaitu di Kei Besi, Indari, Labuha, dan Songa Wayaua. 3.1.7.6 Menentukan Konektivitas Lokasi Sektor Fokus ke Sarana Pendukung Pendekatan penting yang diambil dari pembangunan dan pengembangan ekonomi di Maluku Utara adalah dengan memilih sektor fokus yang menjadi pemicu pertumbuhan dalam koridor ekonomi. Dalam hal ini, sektor yang dapat dijadikan fokus Maluku Utara untuk memicu pertumbuhan dalam koridor ekonomi selain perikanan adalah pertambangan untuk mendukung pengembangan kawasan Maluku Utara sebagai kawasan megaminapolitan dan kawasan pertambangan. Ada 3 kawasan yang akan menjadi konektivitas utama di Maluku Utara, yaitu Ternate, Sofifi dan Morotai. Ternate dijadikan sebagai pengembangan kawasan perdagangan, sumber daya manusia serta IPTEK dan Sofifi sebagai kawasan konektivitas pertambangan nikel yang dihubungkan dari kawasan Halmahera Timur, Halmahera Selatan dan halmahera Tengah.
3.1.7.7 Sinkronisasi Pengembangan Mineral Nikel dan Panas Bumi Data Dinas Pertambangan dan Energi Maluku Utara 2010, menunjukan potensi sumber daya mineral nikel yang tersebar di beberapa wilayah, yaitu Halmahera Selatan, Tengah dan Timur. Sumber panas bumi berada di wilayah Halmahera Barat, Selatan, Utara dan Tidore. Berdasarkan keberadaan sumber
39
mineral nikel dan potensi panas bumi, hanya satu wilayah yang mempunyai potensi mineral nikel maupun energi panas bumi yaitu Halmahera Selatan. Dalam hal pengembangannya, wilayah-wilayah yang mempunyai potensi panas bumi dapat memasok energi listriknya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi mineral nikel sebagai energi dalam proses pengolahan/pemurnian. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan agar ke dua potensi tersebut dapat dikembangkan secara terpadu adalah: a. Potensi nikel dan jumlah produksi; b. Potensi dan proses pengembangan panas bumi; c. Teknologi proses pengolahan/pemurnian nikel dan kebutuhan energi listrik; d. Kondisi infra struktur (jaringan listrik, jalan, dan pelabuhan).
A. IUP Nikel dan Jumlah Produksi Jumlah IUP nikel di Provinsi Maluku Utara ada 79 buah, yaitu di Halmahera Selatan (17 IUP), Halmahera Timur (36 IUP) dan Halmahera Tengah (27 IUP), sedangkan jumlah perusahaan pemilik IUP yang sudah melakukan operasi produksi Halmahera Selatan 5 IUP dari 17 IUP (29,4%), Halmahera Timur 8 IUP dari 36 IUP (22,2%) dan Halmahera Tengah 11 IUP dari 27 IUP (40,7%). Produksi bijih nikel di Maluku Utara sebesar 23.000.000 ton per tahun belum termasuk rencana PT. Weda Bay Nickel sekitar 6.000.000 ton yang akan diproses menadi feronikel dengan teknologi pirometalurgi, sehingga jumlah produksi bijih nikel per tahun akan mencapai 29.000.000 ton. Apabila dua perusahaan (PT. Aneka Tambang dan PT. Weda Bay Nikel) melakukan pengolahan/pemurnian dengan energi listrik yang akan dipenuhi dari perusahaan masing-masing, jumlah bijih nikel yang harus diolah setiap tahun sekitar 19.000.000 ton untuk dipadukan dengan potensi panas bumi di Maluku Utara.
B. Potensi dan Proses Pengembangan Panas Bumi Sebagian besar potensi panas bumi di Maluku Utara masih dalam kategori sumberdaya, sehingga potensi energi listriknya masih berupa hipotetis atau spekulatif; hanya satu lokasi yang yang sudah dalam kategori terduga, yaitu di Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Potensi panas bumi di Maluku Utara berdasarkan tahapan penyelidikan dapat dilihat pada Tabel 3.10. Pada Tabel tersebut terlihat jumlah potensi panas bumi di Maluku Utara sebesar 369 MW yang terdiri atas penyelikan pendahuluan dan penyelidikan rinci. Potensi terbesar yang sudah sampai tahapan penyelidikan rinci adalah Songa Wayaua Kabupaten Halmahera Selatan sebesar 110 MW dan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat sebesar 114 MW Tabel 3.10 Potensi panas bumi di Maluku Utara LOKASI
TAHAPAN PENYELIDIKAN
POTENSI
Songa Wayaua Halmahera Selatan
Penyelidikan Rinci
110 MW
40
Labuha Halmahera Selatan
Penyelidikan pendahuluan
25 MW
Kie Besi Halmahera Selatan
Penyelidikan Pendahuluan
25 MW
Indari Halmahera Selatan
Penyelidikan pendahuluan
25 MW
Mamuya Halmahera Utara
Penyelidikan Rinci
5 MW
Akelamo Halmahera Utara
Penyelidikan Pendahuluan
25 MW
Ibu Halmahera Barat
Penyelidikan Pendahuluan
25 MW
Jailolo Halmahera Barat
Penyelidikan Rinci
114 MW
Ake Sahu Tidore Kepulauan
Penyelidikan Rinci
15 MW
Total
369 MW
Untuk pengembangan panas bumi yang ekonomis di perlukan tahapan usaha dengan dukungan finansial memadai, mulai dari survei penjajagan (reconnaissance), geologi, geofisika, geokimia, pengeboran percobaan dan analisis semua hasil data. Tahapan selanjutnya dilakukan secara bersamaan, meliputi design dan pengeboran sumur produksi, kemudian baru masuk ke tahapan konstruksi pembangkit termasuk pembangunan sistem pengumpul uap dan pembangkit tenaga listrik (Tabel 3.11).
C. Teknologi proses pengolahan/pemurnian nikel dan kebutuhan energi listrik Sesuai dengan lampiran 1 Permen No. 20 Tahun 2013 bahwa batasan produk nikel minimum untuk di jual ke luar negeri adalah: -
hydoxide nickel carbonate (HNC) ≥ 40% Ni NIS ≥ 40% Ni logam Co ≥ 99% CoS ≥ 50% Co Logam Cr ≥ 99% Cr2 ≥ 40% MnO2 dengan kandungan Mn ≥ 15% FeNi spon (Sponge FeNi) ≥ 4% Ni luppen FeNi ≥ 4% Ni nuget FeNi ≥ 4% Ni Tabel 3.11 Proses pengembangan lapangan panas bumi menjadi PLTP Tahap
Eksplorasi 1
Deskripsi
Penjajagan
Topographical Survey
Litteratur, Peta satelit
(reconnaissance)
Photogeological Survey
(Lansat) Pesawat Udara
Aeromagnetic Survey Infrared Survey Survei Geologi
Geological Survey
Penelitian mata air panas,
Meneliti Distribusi Formasi
sungai, patahan, small bore
Geologis, Struktur dan
drilling
Perubahannya Survei Geofisika
Gravity Survey
Vibroseis, Bright Spot
Seismic Survey
AFMAG, Magneto
41
Elektrical Survey
Telluric, Turam
Elektromagnetic survey Radioactivity Survey Survei Geokimia
Geokimia Air Geokimia tanah
2
Pengeboran Percobaan
Geological Logging
Lithofacies Logging Alteration Logging
Geophysical Logging
Termperature Logging Electrical Logging Sonic logging Radioactive Logging
Analisa Kimia
Analisis air dan kimia dialamnya, jumlah air dan uap serta gas
Analisa keseluruhan data fase 1 dan 2 menentukan tiga hasil evaluasi : 1. Kemampuan produksi 2. Cadangan panas bumi 3. Struktur geologi
Sumber : PLN
Perhitungan kebutuhan energi listrik untuk proses bijih nikel dengan proses RKEF dapat dilihat pada Gambar 3.16 dan Tabel 3.11). Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat diperkirakan kebutuhan bijih nikel dan kebutuhan daya listrik untuk memproduksi FeNi ingot, shot. Untuk memproduksi 11.000 ton FeNi ingot, shot dibutuhkan bijih nikel sekitar 118.000 ton dan daya listrik antara 17-20 MW.
Bijih nikel kadar >1,8% Ni
Drying
Reduksi dalam tungku putar
Fluks-Batubara
Fe-Ni 15% Ni
Peleburan dalam SAF
Gambar 3.16 Proses RKEF FeNi
42
Apabila diasumsikan potensi daya listrik dari panas bumi di Halmahera Selatan dimanfaatkan untuk memasok pabrik pengolahan nikel daerah tersebut dan panas bumi di Halmahera Barat memasok pabrik pengolahan nikel di wilayah Weda (Halmahera Tengah) dan Halmahera Timur, jumlah pabrik pengolahan nikel dan jumlah kebutuhan listrik dapat dilihat pada Tabel 3.12. Hal yang sama untuk potensi panas bumi dan bijih nikel di Halmahera Selatan, bahwa lokasi tambang nikel dan potensi panas bumi berada di lokasi (pulau) yang berbeda, arahan pengolahan/pemurnian nikel berada di Pulau Bacan sebagai sumber energi panas bumi. Arahan ini dengan pertimbangan bahwa biaya pengangkutan bijih nikel dari Obi (tambang nikel) ke Bacan (energi panas bumi) lebih mudah direalisasikan dari pada membangun jaringan listrik bawah laut yang memerlukan dana investasi sangat besar. Tabel 3.13 menunjukkan bahwa pemanfaatan energi panas bumi hanya mampu memasok pabrik pengolahan dan pemurnian sebanyak 16 pabrik dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 2 juta ton per tahun yang artinya masih tersisa 17 juta bijih nikel yang belum dapat diolah dengan memanfaatkan energi panas bumi. Perkiraan ini masih didasarkan pada potensi panas bumi yang diperoleh dari data lapangan (sumber daya hipotetik dan cadangan terduga). Sinkronisasi pengembangan mineral nikel dan panas bumi tidak terlepas dari kesiapan dan perencanaan daerah dalam mempersiapkan infrastruktur kelistrikan yang meliputi pengembangan transmisi dan gardu induk.
Tabel 3.12 Kebutuhan daya listrik proses RKEF FeNi Kapasitas produksi ( ton/tahun)
11.000
Produk
FeNi ingot, shot
Recovery
96
Feed composition Ni, %
1.8-1.9
Co, %
0.05
Fe, %
13.4
Fe/Ni
6.1
S/M
1.64
Teknologi Drying
2 rotary dryer, 3,2 x 30 m
Reduction
2 rotary kiln, 4 X 90 m
Smelting
2 EAF
Converting Refining
Laddle strirer+shaking
Reductant
Antrasit dan batubara 67 kg/ton dry ore
Smelting
2 EAF
Size
15 x 5.6
Daya maksimum
20, 25 MW
Daya listrik rata-rata
17 MW
43
Konsumsi energi
600 kWh/ton kalsin
Komposisi FeNi Ni, %
19.15
Co, %
0.3
Fe, %
Balance
Komposisi terak SiO2, %
57.2
MgO, %
31
Fe, %
4.6
S/M
1.85
Tabel 3.13 Sinkronisasi pabrik pengolahan/pemurnian nikel dengan energi panas bumi Lokasi Panas Bumi
Potensi Panas Bumi (MW)
Jumlah Pabrik
Kebutuhan Bijih Nikel (ton/tahun)
Lokasi Pabrik Pengolahan
Halmahera Barat dan Utara
169
8
944.000 Weda (Halmahera Tengah) dan Buli Halmahera Timur
Halmahera Selatan
185
9
1.062.000 Pulau Bacan (Halmahera Selatan)
Jumlah
324
16
2.006.000
Selaras dengan pengembangan pembangkit PLTP yang jauh dari pusat beban dan pengembangan PLTU batubara yang tersebar di beberapa lokasi, telah direncanakan pengembangan jaringan transmisi 150 kV sepanjang 494 km sirkit untuk menyalurkan energi listrik ke pusat beban. Selain itu terdapat pula rencana untuk memasang kabel laut 150 kV yang menghubungkan Halmahera dan Tidore (Gambar 3.17). Dana investasi yang dibutuhkan untuk membangun transmisi SUTT tersebut sekitar US$ 44 juta seperti ditampilkan dalam tabel 3.14.
Tabel 3.14 Pembangunan SUTT 150 kV
44
Berkaitan dengan rencana pengembangan pembangkit dan transmisi serta untuk menyalurkan listrik, direncanakan dibangun gardu induk. Sampai dengan tahun 2021 direncanakan pengembangan GI 150 kV di 4 lokasi dengan total kapasitas 120 MVA dengan kebutuhan dana investasi sekitar US$ 10,5 juta seperti diperlihatkan pada tabel 3.15. Pengembangan fasilitas kelistrikan ini tentunya akan berpengaruh positif terhadap pengembangan sumberdaya nikel dengan memanfaatkan energi panas bumi yang ada di daerah tersebut. Tobelo PLTMH Goal 2x1,5 MW (2012)
A
ACSR 1x240 mm2 110 km (2017)
PLTMH Goal 2x1,5 MW (2012)
A PLTP Jailolo (FTP 2) 2x5 MW (2016/17)
P PLTP Jailolo Ekspansi 5 MW (2020)
P Jailolo ACSR 1x240 mm2 42 km (2014) Buli ACSR 1x240 mm2 72 km (2014)
D PLTU Tidore 2x7 MW (2012)
U PLTU Tidore Ekspansi 14 MW (2014)
D
U
ACSR 1x240 mm2 20 km (2014)
U
PT PLN (Persero) PLTU Sofifi 6 MW (2013)
/ / / / / / / / / / / /
Weda
PERENCANAAN SISTEM
PETA JARINGAN SISTEM HALMAHERA PROPINSI MALUKU UTARA GI 500 kV Existing / Rencana U / U PLTU Existing / Rencana GI 275 kV Existing / Rencana G / G PLTG Existing / Rencana GI 150 kV Existing / Rencana P / P PLTP Existing / Rencana GI 70 kV Existing / Rencana A / A PLTA Existing / Rencana GU GI 500/275 kV Existing / Rencana / GU PLTGU Existing / Rencana GI 500/275/150 kV Existing / Rencana GB / GB PLTGB Existing / Rencana M / M GI 275/150 kV Existing / Rencana PLTM Existing / Rencana D / D GI 150/70 kV Existing / Rencana PLTD Existing / Rencana Kit Eksisting T/L 70 kV Existing / Rencana T/L 150 kV Existing / Rencana Kit Rencana T/L 275 kV Existing / Rencana Edit September 2010 T/L 500 kV Existing / Rencana
Gambar 3.17 Rencana pengembangan sistem 150 kV Halmahera
Tabel 3.15 Pengembangan GI di Maluku Utara
45
Keterdapatan potensi tambang nikel yang besar dan apabila dikembangkan secara terpadu dengan pengembangan potensi panas bumi dan infrastrukturnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan Halmahera akan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi untuk kawasan Maluku. 3.2.
Provinsi Nusa Tenggara Timur
3.2.1
Kondisi Geografis
Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terdiri atas 15 (lima belas) kabupaten dan 1 (satu) kota, merupakan wilayah kepulauan yang dengan 599 pulau. Terdapat empat pulau besar, yaitu Flores, Sumba, Timor dan Alor (FLOBAMORA), selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang letaknya tersebar. Luas wilayah Nusa Tenggara Timur, yaitu untuk daratan seluruhnya 4.734.991 Ha (47.349,9 Km2) atau 2,50% dari luas Indonesia, dan perairan 18.311.539 Ha. Wilayah ini memiliki 29 sungai dengan panjang antara 30 – 100 km. Topografi NTT berbukit-bukit dengan dataran tersebar secara sporadis pada gugusan yang sempit dengan dominan permukaan berbukit – bergunung. Dilihat dari letak dan geografisnya, sebagian wilayah NTT berbatasan dengan Timor Leste, seperti Belu, Timor Tengah Utara, Kupang dan Alor yang hanya dipisahkan oleh laut Sawu. Selain hal tersebut, wilayah ini dikelilingi oleh lautan yang tentunya terdapat wilayah-wilayah pesisir dengan karakteristik yang berlainan. Secara fisik batas wilayah propinsi ini adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
: berbatasan dengan Laut Flores;
Sebelah Selatan
: berbatasan dengan Samudera Indonesia;
Sebelah Timur : berbatasan dengan Negara Timor Leste dan Laut Timor; Sebelah Barat
: berbatasan dengan Selat Sape (Propinsi Nusa Tenggara Barat).
Kondisi geografi wilayah NTT dapat dilihat pada Gambar 3.18 dan Tabel 3.16 Iklim: Iklim di wilayah NTT dikenal dengan 2 (dua) musim, yaitu kemarau dan hujan. Propinsi ini dikenal sebagai wilayah yang tergolong kering; dimana hanya 4 (empat) bulan (Januari s/d Maret, dan Desember) yang keadaannya relatif basah dan 8 (delapan) bulan relatif kering. Suhu Udara Suhu udara rata – rata maksimum pada 30 sampai 360C dan suhu minimum 210 C sampai 24,50 C.
46
o 8 00'
L
A
U
T
F
L
O
R
E
REVIEW RTRW PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2004
S
K al a b a hi
K A B UP A TE N S IK K A
La b u a n B a jo
PRO P . NTB
K A B UP A TE N MA NG G A R A I
K A B UP A T E N FL O R E S TIM U R
Ma u m e re
Ru te n g
K A B UP A TE N N GAD A
K A B UP A TE N MA N G G A RA I B A RA T
La r a n tu ka
Ga mb ar : 2.1
Le w o le b a K A B UP A TE N ALOR K A B UP A TE N LEM BAT A
K A B UP A TE N EN D E
B aj a wa
PETA ADMINISTRASI NUSA TENGGARA TIMUR SELAT OM BAI
E nd e Ne ga ra Tim or L este
o
9 00'
Keterangan : A tam b u a
Ibukota Propinsi Ibukota Kabupaten
SELAT SU M BA N e gara Tim or L este
Garis Pantai Jalan Batas Negar a Batas Propinsi Batas Kabupaten Batas Kecamatan
K A B UP A TE N TT U K ef am e n a n u
N TE PA BU LU K A BE
K A B U P A TE N S UM B A B A R A T L
A
U
T
S
A
W
U
W a in g a p u W a ik a b u ba k S oe
K A B UP A TE N K UP A NG
KABU PAT EN S UM B A T IMU R 10 00'
o
K A B UP A TE N T TS
KUP ANG
T
K A B UP A TE N RO TE N DA O
B aa
L
A
U
I
M
O
R
T
N
11 00'
o
1:200 000 0 S o 119 00 '
o 120 00 '
IM GARA T UR USA TENG N
A
M
U
D
E
R
A
H
I
D
o 121 00 '
I
A o 122 00 '
o 123 00 '
o 124 00 '
o 125 00 '
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
(BAPPEDA) 1958
PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Ind ex/P etu njuk Pet a
Gambar 3.18 Peta administrasi Nusa Tenggara Timur Curah Hujan Curah hujan di NTT sangat bervariasi rata – rata adalah 1.164 mm/ tahun. Curah hujan di wilayah ini pada umumnya sulit untuk di ramalkan. Musim hujan dan kering kadang–kadang terlalu cepat atau terlalu lambat. Tingkat curah hujan ini berbeda – beda untuk tiap daerah, yaitu: Flores bagian barat yang meliputi Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada merupakan daerah yang cukup basah karena curah hujan rata – ratanya lebih tinggi dari rata – rata total, yaitu 3. 849 mm/tahun.
Tabel 3.16 Kabupaten, luas wilayah, jumlah kecamatan dan jumlah desa/ kelurahan di Nusa Tenggara Timur
47
II - 4
No
Kabupaten /Kota
1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
2 Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Manggarai Barat Rote Ndao Kota Kupang TOTAL
Luas Wilayah Desa/ Kecamatan (Km2) Kelurahan 3 4 5 4.051,92 15 192 7.000,50 15 139 5.898,26 22 186 3.947,00 21 215 2.669,66 9 163 2.445,57 17 168 2.864,60 9 175 1.266,38 8 128 1.812,85 13 213 1.731,92 11 160 2.046,62 16 173 3.037,88 14 173 4.553,42 12 254 2.582,98 5 121 1.280,00 6 80 160,34 4 45 47.349,90 197 2.585
3.2.2 Pertambangan Potensi pertambangan di NTT sangat banyak dan tersebar (Gambar 3.19). Mineral bukan logam banyak terdapat di Kupang, yakni 7.360.562 m3; batu gamping di Manggarai 5.558.771.299 m3, Sumba Barat 4.708.606.782 m3 dan Kupang sebanyak 3.575.260.000 m3. Batu warna/hias, cadangan terbesarnya ada di Kupang, yakni 10.359.750 m3, Alor 26.000.000 m3, Ende 270.000 m3, dan TTS 5.967.360 m3. Gipsum banyak terdapat di Kupang 11.214.800 m3 dan Rote Ndao 750.000.000 m3.
48
Gambar 3.19 Potensi endapan mineral NTT Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Provinsi NTT, terdapat 295 pemegang IUP, baik IUP Eksplorasi maupun Operasi Produksi yang beroperasi di seluruh wilayah NTT. Hampir seluruh pemegang IUP mengusahakan bahan tambang mangan, selain bahan tambang lainnya dalam jumlah yang relatif sangat sedikit. Khusus untuk pertambangan mangan, dari 243 IUP yang ada, sebanyak 207 IUP (85%) berstatus IUP Eksplorasi, dan hanya 36 buah (15%) berstatus IUP Operasi Produksi (Gambar 3.20). Usaha tambang terkonsentrasi di Timor Tengah Utara, Belu, Kupang, Ende, Manggarai, Rote Ndao, Alor dan Timor Tengah Selatan. Dalam jumlah kecil, pengusahaan juga terdapat di Kabupaten Nagekeo, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Kabupaten Sebu Raijua (Gambar 3.20 – 3.29). NTT yang dilabeli sebagai daerah gersang/kering, kurang pangan dan air (daerah serba kekurangan), ternyata menyimpan banyak potensi mineral yang menarik para investor dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sejauh ini potensi tersebut belum dikelola secara maksimal guna dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat karena terhambat SDM dan anggaran yang terbatas.
Komposisi IUP Menurut Jenis Komoditi
Perbandingan IUP Eksplorasi dan IUP OP Mangan
49
7
2 5 2 11 4 7 6 44
1
13
mangan 36
10
operasi produksi
sirtu 243
192
eksplorasi
batu hitam
Gambar 3.20 Komposisi IUP di Provinsi NTT
68 80
60
1
40 20 0 Mangan
Mineral Lain
Gambar 3.21 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten TTU 88 90 80 70 60 50 40 30 20
4
1
10 0 Mangan
Tembaga
Krom
Gambar 3.22 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Belu
50
28 30
24
25 20 15 10
1
5
1
0 Mangan
Nikel
Tembaga
Sirtu
Gambar 3.23 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Kupang 7 7 6
5 4
5 4 3
2 1
2
1
1 0 Mangan
Pasir
Besi
Galena
Zeolit
Batu
Gambar 3.24 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Ende
21 25 20 15 10
1 5 0 Mangan
Sirtu
Gambar 3.25 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Manggarai 51
7
7
7 6 5 4 3 2 1 0 Mangan
Sirtu
Gambar 3.26. Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Rote Ndao 10 10 8 6 4
1
2 0 Mangan
Sirtu
Gambar 3.27 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Manggarai Timur 4
4
4 3,5 3 2,5 2
1
1,5 1 0,5 0 Mangan
Emas
Timah Hitam
Gambar 3.28 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Manggarai Barat
52
51
60 50 40
26
30
10
20 10 0
Mangan
Batu Hitam
Sirtu
Gambar 3.29 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten TTS Setelah diketahui NTT memiliki banyak potensi mineral, para ahli geologi berdatangan ke Pulau Timor. Pada awal 2000-an, para ahli tersebut menjelaskan kepada masyarakat bahwa di dalam perut bumi pulau Timor banyak mengandung mineral mangan yang sangat berharga. Informasi ini disambut gembira oleh masyarakat setempat yang kebanyakan petani lahan kering yang sangat tergantung kepada cuaca, sekaligus menjadi jawaban atas krisis pangan di saat tidak ada pilihan lain dalam menghadapi keterdesakan ekonomi. Kapasitas mereka umumnya sangat terbatas akibat kemiskinan, baik miskin secara ekonomi maupun pendidikan. Tanpa mengerti apa itu mangan dan dampak negatif yang timbul akibat penambangan/penggalian yang dilakukan, mereka beralih profesi dari petani menjadi penambang. Alih profesi ini tidak saja menimpa para petani, tetapi juga mereka yang berprofesi sopir, tukang, honorer, dan buruh bangunan di kota. Kehadiran para penampung (pemodal) di tengah mereka menambah motivasi mereka, karena perdagangan mangan dilakukan secara tunai. Pilihan ruang aktivitas menambang disesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki dan diminati masyarakat (Gambar 3.30). Ada yang harus setiap hari dan bahkan berminggu-minggu berada di lokasi penambangan untuk menggali; ada penimbun atau penampung mangan yang akan mengambil fee dari hasil penjualan kepada pengusaha; ada pelobi antarwarga dengan pengusaha (calo mangan) dan penguasa tambang dan izin resmi (Petir). Di Soe Kabupaten TTS ada kelompok yang dikenal dengan sebutan Obama (ojek bawa mangan) yaitu kelompok yang muncul di daerah Supul, Kabupaten TTS. Kelompok ini mendistribusikan mangan ke Kabupaten TTU (Kefamenanu) dengan menggunakan motor ojek.
53
Gambar 3.30 Penggalian mangan secara tradisional di Belu Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya mangan dan telah mengeluarkan ijin pengusahaan sebanyak 243 IUP. Luas wilayah ijin usaha pertambangan mangan sekitar 350.960 Ha, tersebar di Timor Tengah Selatan, Kupang, Timor Tengah Utara, Belu, Ende, Rote Ndao dan Manggarai. Sebanyak 36 perusahaan sudah beroperasi dengan menambang bijih mangan dan sebagian besar lainnya masih melakukan eksplorasi. Sampai sejauh ini belum satupun pemegang IUP produksi yang telah melakukan pengolahan/ pemurnian seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2013. Pemegang IUP produksi hanya terbatas melakukan pemilahan terhadap mangan kemudian diangkut ke pelabuhan menuju Surabaya untuk selanjutnya diekspor ke negeri tujuan (Cina). Mekanisme izin pengapalan (pengangkutan) mangan melalui pelabuhan umum yang melewati wilayah beberapa kabupaten. Harga mangan di lokasi tambang rakyat dihargai antara Rp400/kg sampai dengan Rp. 1200/kg dengan kadar 50 - 65% ke atas dijual masyarakat kepada pengusaha atau pedagang pengumpul di Kabupaten Kupang (NTT). NTT merupakan salah satu perhatian dunia internasional terkait pengelolaan tambang, terutama mineral pembawa mangan. Pasalnya, kebutuhan mangan untuk besi baja di Cina dan Korea mulai menipis. Mangan sebelumnya untuk bahan baku cat, industri gelas, batere (1950 - 2006). Seiring dengan perkembangan teknologi ternyata material tersebut dapat diolah untuk kemudian dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri baja, namun dalam proses pengolahannya sangat membutuhkan energi yang cukup besar. Kendala utama dalam pelaksanaan penerapan UU no 4 tahun 2009 adalah para pemegang IUP berusaha mempercepat produksi sebelum tahun 2014 sebelum permen tentang PNT dilaksanakan dan pengolahan/pemurnian dijadikan syarat peningkatan IUP. Fakta tersebut dapat dilihat dari perkembangan ekspor mangan NTT pada tahun 2009 tercatat 21.736 ton, tetapi pada tahun 2010 naik menjadi 78.489 ton, berarti naik sebesar 261,10% dalam satu tahun (Gambar 3.31 dan Tabel 3.17). 54
Fakta lain adalah frekuensi pengiriman mangan melalui NTT dan Jawa Timur mengalami kenaikan yang sangat tajam dari 63 kali pengiriman pada 2009 menjadi 137 kali pada 2010.
Volume ekspor (Ton)
25000 20000 15000 10000 5000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
0
Gambar 3.31 Volume Ekspor Propinsi Nusa Tenggara Timur Tabel 3.17 Volume dan nilai ekspor mangan NTT, 2009 – 2010 Produk Mangan
Volume ekspor (Ton)
Nilai ekspor (US$)
2009
2010
21.736
78.489
2009 3.866.409
2010 11.705.543
Sumber : PT. Surveyor Indonesia, 2011, Kegiatan verifikasi ekspor via PTSI Produk pertambangan tertentu asal NTT, 2011
PT. AGB Mining salah satu perusahaan yang berencana akan mendirikan pabrik pengolahan mangan di Kupang, Kapasitas produksi diperkirakan sekitar 5.000-6.000 ton/bulan dengan kebutuhan bijih mangan 10.000-12.000 ton/bulan. Pembangunan pabrik ini diperkirakan memakan waktu sekitar 18 bulan, operasi pabrik direncanakan pada 2014 dengan asumsi bahwa kebutuhan energi sudah terpenuhi serta infrastruktur jalan dan pelabuhan. Rencana sebelumnya akan dibangun di sekitar Kawasan Industri Bolok, namun karena kondisi tanah yang kurang mendukung rencananya akan dialihkan di Masalemu. Namun setelah dikonfirmasi dengan pihak perusahaan, hingga saat ini belum ditentukan secara pasti karena mempertimbangkan berbagai aspek hasil studi kelayakan. Jenis produk yang akan dihasilkan adalah feromangan dan silika mangan. Produknya akan dikirim ke Korea Selatan untuk diolah lanjut oleh PT. Hunday GAGB. Energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan ini sekitar 20 MW tegangan minimum 22.900 Kv. Salah satu perusahaan yang telah beroperasi adalah PT. Soe Makmur Resources (SMR) yang lokasinya berada di Timor Tengah Selatan. Sistem penambangan adalah semi mekanik yang banyak melibatkan masyarakat sekitar tambang, baik sebagai tenaga tetap maupun tenaga harian (Gambar 3.32).
55
Gambar 3.32 Kegiatan Penambangan Mangan di Kecamatan Kuatnana Permasalahan yang dihadapi perusahaan PT. SMR terkait dengan kewajiban melakukan proses pengolahan/pemurnian bijih mangan selain masalah energi adalah masalah resiko :
geologi (minimnya data eksplorasi);
ekomi: o
harga pasar dunia tidak tetap tapi sangat berfluktuasi;
o
harga ferro mangan dunia dikuasai oleh Cina;
o
berbagai faktor yang menyebabkan harga mineral turun sebelum BEP;
politik : dalam negri, regional maupun negara tujuan ekspor;
sosial : dipengaruhi oleh SDM dan pemahaman mengengai tambang;
teknologi : o
Ditemukan pengganti mangan, maka harga mangan jatuh;
o
Jika terjadi krisis energi di Cina berdampak pada harga mangan.
Saat ini PT. SMR telah melakukan produksi sebesar 35 ribu ton mangan dan merencanakan menaikan produksi menjadi 50 ribu ton mangan yang akan di ekspor ke Cina. Pencapaian produksi 35 ribu ton di dapat dari hasil penambangan anak perusahaan. Soe Makmur Resources di Nusa Tenggara Timur. Hasil produksi tersebut baru didapat dari 15% lahan yang dieksplorasi, sehingga peningkatan produksi mangan secara jangka panjang masih dapat dilakukan. Melalui Soe Makmur Resources, perseroan memiliki cadangan mangan hingga 3,78 juta ton. Mangan di daerah IUP PT. SMR merupakan ubahan dolomit pada kalsilutit Formasi. Ofu, akibat terobosan gunung lumpur melalui sesar anjakan. Tidak semua batuan mengandung mangan, tetapi dikontrol oleh perlapisan, fasies, struktur dan disekitar gunung lumpur, struktur geologinya sangat rumit. 56
3.2.3 Energi Kondisi kelistrikan di wilayah NTT hingga 2011 masih kurang baik, terbukti dari rasio elektrifikasi yaitu sekitar 24% (Tabel 3.18) yang artinya masih banyak masyarakat di provinsi ini belum menikmati listrik. Listrik sebenarnya sangat penting kehadirannya untuk mempercepat proses percepatan pembangunan, terutama untuk membantu industrialisasi modern. Provinsi NTT memiliki beberapa potensi alam dan fasilitas pembangkit listrik yang dapat dikonversi menjadi energi listrik, beberapa di antaranya adalah: i.
Panas Bumi. panas bumi IPB (anak perusahaan Indonesia Power) 2x15 Mega Watt 2012; Flores memiliki pembangkit listrik panas bumi yang sudah memegang WKP di Motaloko sebesar 1,93 Mega Watt. Selain itu di Ende, Sukoria anak perusahaan Bakrie Power sebesar 0,5 Mega Watt; panas bumi total yang diperlukan di NTT diperkirakan 19,5 – 20 Mega Watt (tidak termasuk rencana kebutuhan listrik untuk smelter mangan).
ii.
PLTD. PLTD (diesel) daya maksimal siang hari 100,92 Mega Watt untuk seluruh NTT, terdiri atas wilayah Timor, Sumba, serta Flores Timur dan Barat. Untuk daya maksimal malam hari 78 Mega Watt; kemampuan daya terbangkit 125 Mega Watt; kemampuan daya terpasang 169 Mega Watt; Daya terbangkit ini terdiri atas PLTD sendiri dan menyewa dari swasta sebesar 54 Mega Watt dari total daya terbangkit 125 Mega Watt tersebut.
Tabel 3.18 Geografis kelistrikan, 2010
57
Sumber : Presentasi Electricity Plan Ring NTT, 2010
iii.
PLTU. PLTD sewa dari swasta akan digantikan oleh PLTU yang akan dibangun berkekuatan 4x6 KW di Belu Atambua, 2x16,5 Kupang dengan interkoneksi 70Kva yang sudah terpasang; Pembangunan PLTU jangka menengah akan mendapatkan energi batubara dari Kaltim.
iv.
PLTA (Air). PLTA dibangun di Wilayah Sumba berkekuatan 15 Mega Watt; kapasitas minihidro paling besar sebesar 2 Mega Watt; target Potensi PLTA di Sumba terealisasikan pada 2015; untuk Flores Timur memanfaatkan arus laut yang sudah jalan sebesar 2 KW; di Alor atas bantuan BPPT akan dibangun juga sebesar 2 KW.
v.
PLTS (Surya) PLTS menghasilkan daya 50 Watt, yaitu berupa hybrid, sedangkan yang terpusat sebesar 5 KW yang merupakan bantuan dari Kementerian ESDM; PLTS terpusat ini hanya menghasilkan 100 watt/kepala keluarga dan tidak mencukupi untuk kegiatan industri; untuk pembangunan 1 PLTS memerlukan dana sebesar Rp.6-7 juta. untuk smelter memerlukan daya sebesar 15 Mega Watt; transmisi yang sudah interkoneksi dari Kupang – Belu, sedangkan untuk Flores belum interkoneksi; perbandingan biaya PLTD lebih besar 3x dibandingkan PLTU dimana per KWH PLTD membutuhkan biaya Rp.12.000,00 – Rp.20.000,00, sedangkan per KWH PLTU hanya sekitar Rp.2.500,00.
58
rasio elektrifikasi rumah tangga (KK) masyarakat di NTT hanya 29%, paling rendah di seluruh Indonesia. presentase pembangunan jalan lebih baik dari listrik. PLT Panas Bumi akan dibangun di Alor karena mempunyai potensinya. pembagian PLN berdasarkan wilayah, idealnya untuk seluruh NTT diperlukan daya listrik sebesar 300-400 Mega Watt untuk rumah tangga dan industri. 3.2.4
Kawasan Budidaya
Kebijakan pengembangan dan pengelolaan kawasan budidaya diselenggarakan untuk mewujudkan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan. Strategi pengembangan dan pengelolaan kawasan budidaya diselenggarakan dengan: (a) Menetapkan kawasan budidaya untuk pemanfaatan sumber daya alam di darat maupun di laut secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah; (b) Mengembangkan kegiatan-kegiatan budidaya beserta prasarana penunjangnya baik di darat maupun di laut secara sinergis; (c) Mengembangkan dan mempertahankan
kawasan budidaya pertanian pangan Nasional;
(d) Mengembangkan kegiatan untuk ketahanan budidaya pengelolaan sumber daya alam laut yang bernilai ekonomi di ZEE dan landas kontinen; dan (e) Mengendalikan masalah perkotaan. Lebih spesifik lagi dalam pengalokasian kawasan perlu adanya kebijakan pengembangan kawasan tertentu. Kawasan ini diselenggarakan untuk mewujudkan prioritas dan tingkat penanganan yang diutamakan dalam pembangunan nasional. Strategi pengembangan kawasan tertentu diselenggarakan dengan: a.
Menetapkan kawasan tertentu;
b.
Konservasi/perlindungan dan pengembangan potensi sosial budaya masyarakat dalam memperkuat keanekaragaman jati diri bangsa;
c.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan atau peningkatan manfaat ruang di wilayah sekaligus mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal dan sangat tertinggal, meliputi upaya: -
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan sektor/komoditas unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah;
-
penyediaan insentif dan penyederhanaan prosedur perizinan investasi;
-
pengelolaan dan promosi peluang investasi kawasan; dan 59
-
penyediaan dukungan infrastruktur;
d.
Pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis;
e.
Melestarikan fungsi dan meningkatkan daya dukung lingkungan melalui upaya-upaya konservasi/perlindungan dan peningkatan fungsi dan peranannya;
f.
Menunjang kepentingan politik dan pertahanan keamanan negara serta integrasi Nasional.
3.2.5
Infrastruktur
A. Pelabuhan Laut Sebagai wilayah kepulauan peranan transportasi laut sangat penting dan cukup potensial untuk dikembangkan. Di NTT terdapat lebih dari 42 pulau yang terpencil yang memerlukan sarana dan prasarana angkutan / perhubungan laut yang memadai. Terdapat 5 Pelabuhan yang dikelola oleh PT. Pelindo III yaitu : Tenau, Kalabahi, Maumere, Ende dan Waingapu, sedangkan yang lainnya dikelola oleh kepala kantor pelabuhan yang merupakan UPT Dirjen. Perhubungan Laut. Terdapat 1 pelabuhan utama, 9 pelabuhan pengumpul dan 42 pelabuhan pengumpan yang tersebar di sejumlah Kabupaten/ Kota di Provinsi NTT. Pelabuhan Laut Yang Terbuka Bagi Perdagangan Luar Negeri : •
Terminal Khusus. Sampai saat ini belum terdapat terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri beroperasi di NTT.
•
Pelabuhan Umum. Berdasarkan SK Bersama Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan dan Menteri Keuangan Tahun 1985 terdapat 6 (enam) pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri di NTT yaitu : 1. Atapupu di Belu. 2. Ende/ Ippi di Ende 3. Re’o di Manggarai. 4. Maumere di Sikka. 5. Kalabahi di Alor. 6. Waingapu di Sumba Timur.
Berdasarkan kondisi riil di NTT, terdapat 4 pelabuhan laut di NTT yang selama ini berfungsi sebagai pintu gerbang keluarnya mineral mangan, yaitu: a) Tenau di Kupang. b) Atapupu di Belu.
60
c) Wini di TTU. d) Re’o di Manggarai. Pelabuhan Wini terletak di pantai Utara Timor berdekatan dengan perbatasan republik Timor Leste, distrik Ambeno yang berjarak sekitar 2 km. Kemampuan sandar Pelabuhan Wini saat ini sebesar 6.000 ton, panjang dermaga 140 m dengan kedalaman draft 7 m dan kedalaman laut pada saat pasang 12 meter dan pada saat surut 9 meter. Saat ini sedang dibangun pelabuhan kontainer untuk bisa mengekspor dengan ukuran 20”,40”. Tujuan ekspor ke Cina dengan kapal motherboard ukuran 6.000 ton dan dengan kapal lebih kecil ukuran 1.500 ton ke Surabaya dan Thailand. Pada 2010 telah dikapalkan melalui pelabuhan Wini sebesar 36 ribu ton. Pada 2011 kegiatan ekspor melalui Wini terhenti akibat lesunya permintaan mangan dan para perusahaan ekspor mangan harus punya KIP ( kartu identitas kepabeanan ) yang harus diurus di Kementrian Keuangan Jakarta. Bijih mangan sebelum diekspor biasanya ditampung di lahan pelabuhan dengan tarif sewa Rp 500,/ton/hari. Waktu sewa lahan maksimal antara 20 – 30 hari dan jika melewati batas waktu diperingatkan untuk dikosongkan, kecuali dengan ijin sewa baru. Seputar Wini ada 5 – 6 perusahaan yang menyewa lahan sebagai stockpile yang luasnya antara 100 m2 sampai 1.500 m2. Pelabuhan lainnya adalah Atapupu, yang ada di pantai utara sejajar dengan Wini dan masuk wilayah Belu. Kemampuan sandar maksimal 3000 ton. Pada 2010 telah dikapalkan sebesar 40 rb ton. Kegiatan pelayanan sistem transportasi laut dilayani oleh pelabuhan lokal, regional dan nasional yang tersebar disetiap kabupaten di NTT seperti pada Tabel 3.19 Pada tabel tersebut terlihat penyebaran pelabuhan baik lokal, regional dan nasional cukup tersebar di setiap kabupaten NTT, namun perlu peningkatan kualitas prasarana pendukung khususnya pelabuhan lokal yang merupakan jumlah terbesar dari pelabuhan yang telah ada.
B. Transportasi Darat Transportasi darat yang terdiri atas jalan, jembatan dan pelabuhan penyeberangan/dermaga (ASDP) dan keselamatan lalulintas merupakan prasarana angkutan darat yang penting guna memperlancar kegiatan-kegiatan perekonomian. NTT telah memiliki jalan sepanjang 16.754,76 km yang terdiri atas jalan nasional (7,60 %), provinsi (10,37 %), kabupaten (76,79 %) dan non status (5,24 %) yang tersebar disetiap kabupaten/kota seperti ditunjukan pada Tabel 3.20 sedangkan berdasarkan data Ditjen Prasarana Wilayah, Departemen Kimpraswil prosentase kondisi jalan di NTT berdasarkan status jalan menunjukkan prosentase ditunjukkan pada tabel 3.21, sedangkan jumlah jembatan yang dapat dilewati kendaraan di NTT sepanjang 2.550 m dengan jembatan konstruksi/beton 712 m sisanya bambu, kayu dan dianggap tidak ada jembatan 1.752 m. Tabel 3.19 Pelabuhan laut Nusa Tenggara Timur pada 2008 Pelabuhan
Kabupaten / kota No.
61
Lokal
Regional
Raijua, biu
Seba
1
Kupang
2
Kota kupang
Namosain
3
TTS
Boking, kolana
4
TTU
5
Belu
6
Lembata
Nasional
Tenau (int.)
Wini Atapupu Lewoleba Balauring
7
Flores timur
Waiwerang
Larantuka
Mananga
Waiwadan
8
Sikka
Wuring
9
Ende
Maurole
10
Ngada
Aimere
11
Nagekeo
Maumbawa
Marapokot
12
Manggarai
Mborong
Reo
13
Manggarai Barat
Nangalili
Komodo
14
Sumba barat
Rua
15
Sumba barat daya
16
Sumba tengah
17
Sumba timur
Mbaing
18
Rote ndao
Batutua, papela
19
Alor
Maumere Ende / ippi
Labuan bajo
Waikelo
Waingapu Ba'a
Ndao, oelaba Kabir pettoko
Baranusa
Kalabahi
Robek
Maritaing
Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007
Berdasarkan data pada tabel tersebut, perbandingan antara panjang jalan dengan luas wilayah NTT 0,36 km/km2 dengan kondisi jalan 60 % dalam kondisi rusak (berat dan ringan). Khususnya jalan yang menjadi kewenangan provinsi di samping prosentase panjang jalan hanya 11% dari total jalan, prosentase kondisi kerusakannya menunjukkan yang tertinggi dibanding jalan nasional dan kabupaten. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk menunjang kegiatan ekonomi dan membuka keterisolasian daerah terpencil. Tabel 3.20 Panjang jalan (KM) menurut status di NTT No
Kabupaten/
2 3 4
Sumba Barat Sumba Timur Kupang TTS
Total Panjang
Provinsi
Kabupaten
134.31
194.84
831,18
35.97
432.72
1.101,40
114,56
1.570.09
56.83
404.82
1.169,19
146,15
1.630.84
108.29
307.34
1.157,90
80,51
1.573.53
Status Jalan 1
Non Status
Nasional
62
1.160.33
No
Kabupaten/ Nasional
Provinsi
Kabupaten
Non Status
Total Panjang
45.99
150.34
800,30
74,04
996.63
91.90
156.12
678,43
87,68
926.35
104.20
68.00
832,03
-
1.004.23
0.00
52.45
608,80
52,45
661.25
100.16
176.89
577,38
38,48
854.43
97.88
109.90
748,73
61,77
956.51
130.79
160.30
824,50
76,00
1.115.59
107.08
347.16
1.218,05
214.40
283.22
1.695,38
115,17
2.193.00
-
84.71
-
30,75
84.71
45.32
10.40
623.54
-
279.26
Status Jalan 5
TTU
6
Belu
7
Alor
8
Lembata
9
Flores Timur
10
Sikka
11
Ende
12
Ngada
13
Manggarai*
14
Rote Ndao
15
Kota Kupang Panjang Jalan (Km)
1.273,02
1.737,37
1.672.29
12.866,81
877,56
16.754.76
Sumber data: Provinsi NTT Dalam Angka Tahun 2007 *) Termasuk Manggarai Barat
Tabel 3.21 Kondisi jalan menurut status STATUS JALAN
Kondisi Jalan (km) SEDANG RUSAK RINGAN
BAIK KM
%
KM
%
KM
RUSAK BERAT
%
KM
Total
%
(Km)
Nasional
403,28
32%
555,28
43,6%
271,88
21,4%
42,58
3,3%
1.273,02
Provinsi
108,615
4,4%
413,049
16,6%
700,524
28,1%
1.271,163
51,0%
1.737,37
1.485,900
12,7%
3.233,660
27,7%
4.438,720
38,0%
2.529,500
21,6%
12.866,81
Kabupaten Non Status
877.56 Total
Sumber : Ditjen Prasarana Wilayah, Dept. Kimpraswil
C. Transportasi Udara Keadaan NTT yang terdiri atas pulau-pulau tidak saja membutuhkan angkutan laut tetapi
juga
perlu
ditunjang
oleh
kegiatan
angkutan
udara.
Hampir
kabupaten/kota di NTT telah memiliki pelabuhan udara (tabel 3.22). Tabel 3.22 Penyebaran pelabuhan udara di NTT No. 1 2 3
Kab / kota kupang Pulau Sabu Rote Ndao
Nama bandara El tari Terdamu Lekunik 63
Kondisi Baik Baik Baik
semua
16.754.76
No. Kab / kota Nama bandara 4 Belu Haliwen 5 Alor Mali 6 Lembata Wunopito 7 Flores Timur Gewayantana 8 Sikka Wai oti 9 Ende H.h. Aroeboesman 10 Ngada So'a 11 Manggarai Satartacik 12 Manggarai barat Komodo 13 Sumba barat Tambolaka 14 Sumba timur Mau hau 15 Mbay–Nagekeo Surabaya II Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007
Kondisi Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Tidak oprsional
Jumlah pelabuhan udara di NTT termasuk cukup besar dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia dan tersebar hampir di setiap kabupaten di NTT, namun prasarana dan sarana penunjang perlu ditingkatkan dengan memperhatikan jumlah penumpang dan kegiatan bongkar muat barang seperti data diatas. 3.2.6
Teknologi Pemrosesan Bijih Mangan
Bijih mangan diolah menjadi konsentrat, kemudian dapat dilebur menjadi (ingot) FeMn, SiMn atau melalui proses kimia untuk dijadikan produk kimia berbasis Mn sehingga dapat dilanjutkan sebagai bahan baku industri lebih hilir seperti pada Gambar 3.33. Proses pengolahan bijih mangan diuraikan sebagai berikut ; bijih berupa pirolusit, manganit atau mineral lainnya degan kandungan 35 % mangan sudah mempunyai nilai ekonomis untuk ditambang. Kadar Mn biasanya ditingkatkan dengan cara pencucian dan penggerusan, untuk selanjutnya dapat diaglomerasi dengan sintering. Mangan murni (MnO2) dapat dihasilkan dengan cara proses hidrometalurgi dan elektrolitik, akan tetapi untuk feromangan dan silikon mangan diproduksi dengan cara peleburan dalam blast furnace atau electric furnace.
64
SUMBER
PENAMBANGAN DAN PROSES KONSENTRASI
BAHAN KONSENTRAT
EKSTRAKSI REFINING
PRODUK REFINING
BIJIH UNTUK BAHAN KIMIA DAN BATERAI
MANGAN ELEKTROLISIS
PEMANG GANGAN BIJIH
PROSES KIMIA DAN METALURGI
PRODUK
PROSES KIMIA DAN FISIKA
MnO2
PROSES METALURGI
LOGAM PADUAN MANGAN
INDUSTRI BATERAI DAN BAHAN KIMIA
INDUSTRI BESI BAJA
PENAMBANGAN PENGERUSAN PEMILAHAN BIJIH UNTUK METALURGI
LEACHING
SLAG
STOCKPILE BIJIH MANGAN
ELEKTROLISIS
STANDARD FERO MANGAN
PELEBURAN ELECTRIC FURNACE
SILICON MANGAN
INDUSTRI SUPER ALLOY
INDUSTRI NON FEROUS
Gambar 3.33 Bagan alir pengolahan mangan sampai pada industri hilir Pada peleburan dengan electric furnace akan terjadi reaksi reduksi mangan oksida dengan karbon yang biasanya pada proses ini terdapat oksida logam lainnya yang mengganggu. Untuk menghindari bahan tersebut terutama yang bersifat asam dapat dinetralkan oleh senyawa basa seperti kapur namun akan menghasilkan lebih banyak terak dan dapat melarutkan mangan sehingga perolehan menjadi lebih rendah. Produk yang dihasilkan berupa feromangan dengan kadar 76-80% Mn, 12-15 % Fe, 7,5 % C, 1,2 % Si atau silikon mangan dengan kadar 65-68% Mn, 16-21 % Si, 1,5-2 C. Pemanfaatan bijih mangan sebagian besar (90%) di digunakan sebagai bahan baku peleburan untuk menghasilkan paduan mangan seperti feromangan, silikon mangan. Nilai ekonomi proses peleburan mangan adalah 140.000-160.000 metrik ton hot metal per tahun dengan kebutuhkan sekitar 340.000390.000 bijih mangan pertahun dengan kadar minimal 41% Mn. Proses peleburan bijih mangan mangan umumnya menggunakan sub-merge elelctric arc furnace (SAF); untuk menghasilkan 1 ton feromangan dibutuhkan energi listrik 2,4 MW. Satu tungku SAF dengan tiga elektroda membutuhkan power supply 30 MW, menghasilkan 294 ton Fe-Mn/hari, konsumsi karbon kokas 360 kg/ton Fe-Mn, konsumsi elektroda 12 kg/ton Fe-Mn dengan kualitas produk 78,8% Mn, 13,2% Fe, 7% C. 0,04% Si, 0,16% P. Pada industri kimia sekitar 10% bijih mangan dimanfaatkan untuk industri batubatere, pembuatan mangan dioksida. Bijih mangan sangat sulit untuk dilarutkan dalam kondisi asam sehingga harus dilakukan proses reduksi dalam tungku putar sebelum dilakukan proses pelarutan dengan asam sulfat. Kemudian dilakukan proses pemurnian dengan mengendapkan Fe menjadi jarosit dengan pengaturan
65
pH. Larutan yang sudah murni disulfidisasi dengan menambahkan reagen sulfida dan dilakukan elektrolisis untuk menghasilkan mangan dioksida elektrolitik (EMD). Pada pembuatan mangan dioksida, chemical grade mangan dioksida proses lebih sederhana hanya dilakukan pelarutan dengan asam dan penambahan reagen pereduksi kemudian dilakukan hidrotermal proses untuk menghasilkan mangan dioksida kualitas kimia. Penambahan reagen pereduksi menyebabkan tahapan reduksi dalam rotary kiln tidak diperlukan. Teknologi ini lebih mudah untuk diaplikasikan. 3.2.7
Hasil dan Pembahasan
3.2.7.1 Pengembangan Industri Mineral Mangan dan Energi Terpadu Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi NTT pada 2012, terdapat IUP mangan dan energi yang tersebar di berbagai pulau. Jumlah IUP mangan sebagian besar tersebar di Timor dan Flores. Adapun mengenai sumber energi, masing-masing pulau memanfaatkan energi sesuai dengan kemampuan wilayahnya, seperti Flores membangun pembangkit listrik yang sumber energinya berasal dari panas bumi, sementara di Timor yang tidak memiliki energi panas bumi, tetapi potensi mangannya cukup besar. Sumba sementara ini belum ada IUP mangan. Berdasarkan jumlah IUP mangan dan potensi energi panas bumi, pengembangan industri dapat dikelompokkan dalam beberapa wilayah atau zona (Gambar 3.34) yaitu: 1. Zona 1 meliputi Timor dan sekitarnya; 2. Zona 2 meliputi Flores dan pulau-pulau di sekitarnya; 3. Zona 3 meliputi Sumba.
Gambar 3.34 Zonasi pengembangan smelter mangan NTT 66
Zona 1 Pada wilayah ini tersebar cadangan mineral yang bersifat logam dan nonlogam. Mineral logam lebih didominasi oleh mangan, terlihat dari jumlah IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat (Gambar 3.35).
Gambar 3.35 Sebaran mineral logam Zona 1 Mineral mangan di Timor merupakan salah satu komoditas andalan yang dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber penghasil devisa bagi negara. Ekspor dalam bentuk bijih belum memberikan kontribusi secara optimal bila dilihat dari perekonomian secara makro, karena nilai tambah yang diperoleh masih sebatas pada kegiatan penambangan (Gambar 3.36). Apabila bijih mangan tersebut diproses sesuai dengan batasan pada Lampiran 1 Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2013, maka nilai tambah yang diperoleh akan lebih besar dan dampak terhadap perekonomian akan semakin luas (multiplier effect).
Gambar 3.36 Kondisi pertambangan mangan saat Ini 67
Dalam rangka mendorong peningkatan ekonomi di NTT, ekspor ke berbagai negara seharusnya tidak dalam bentuk bahan mentah tetapi sudah melalui pengolahan bijih mangan menjadi beberapa produk turunannya. Hal ini sesuai makna yang ada dalam UU No.4 Tahun 2009 dan PP No.23 Tahun 2010, yang mengharuskan perlunya proses pengolahan dan/atau pemurnian bijih sebelum diekspor. Pengolahan bijih mangan menjadi beberapa produk seperti ingot (FeMn, SiMn) dan Mn Chemicals tentunya membutuhkan banyak energi listrik yang akan digunakan, baik pada saat eksplorasi, eksploitasi maupun pengolahan/pemurnian. Pada Zona 1, energi listrik untuk pengolahan/pemurnian dapat dipenuhi dari PLTU batubara, karena di wilayah ini tidak tersedia potensi panas bumi. PLTU batubara yang sedang dikembangkan di wilayah ini salah satunya yang berada di kawasan industri Bolok di Kupang dan direncanakan untuk memasok kebutuhan industri pengolahan/pemurnian mangan. Di sisi lain infrastruktur seperti jaringan listrik interkoneksi (Gambar 3.37), jalan,
pelabuhan sudah tersedia dan diperkirakan dapat
mendukung pengembangan pabrik pengolahan/pemurnian mangan di wilayah ini.
Gambar 3.37 Sistem interkoneksi pulau Timor Zona 2 Zona 2 yang mencakup Flores dan sekitarnya merupakan wilayah yang mempunyai potensi energi panas bumi dan potensi mangan. Potensi panas bumi yang sudah dan akan dikembangkan berada di empat lokasi, yaitu di Manggarai (PLTP Ulumbu), Ende (Sokoria, Mutubusa, Detusoko, Lesugolo dan Jopu), Ngada (PLTP Mataloko) dan Alor (Atadei) (Gambar 3.38). Di Manggarai, potensi panas bumi yang dapat dikembangkan ada di daerah Ulumbu sekitar 60 MW dan yang sudah dimanfaatkan untuk listrik (beroperasi) adalah 2 x 2,5 MW yang pendanaannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 220 milyar (Gambar 3.39), dan direncanakan akan menambah unit pembangkit listrik sebesar 2 x 2,5 MW dengan menggunakan dana 68
dari Asian Development Bank (ADB). Berdasarkan informasi
dari Direktur Operasional PLTP
Ulumbu bahwa potensi panas bumi yang dapat dikembangkan di daerah ini sekitar 90 MW. Apabila di asumsikan setiap smelter mangan membutuhkan 30 MW, potensi panas bumi ini secara riil dapat melayani tiga smelter. Waktu yang diperlukan untuk membangun PLTP sampai tahap comisioning sekitar 4-6 tahun. Pengembangan energi panas bumi di daerah ini masih sebatas untuk memasok listrik bagi masyarakat dan belum menyentuh rencana pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian bijih mangan. Potensi energi panas bumi lainnya adalah di kabupaten Ngada dengan potensi yang dapat dikembangkan sekitar 20 MW. Di daerah ini sudah ada pengembangan energi panas bumi, yaitu PLTP Mataloko (Gambar 3.40) dengan kapasitas terbatas untuk kebutuhan masyarakat yang belum menikmati listrik. Di Ende, dari lima lokasi potensi panas bumi hanya satu lokasi yang sudah dilakukan eksplorasi sampai pada tahap uji sumur, yaitu di Sokoria dengan potensi yang dapat dikembangkan sekitar 10 MW.
Gambar 3.38 Lokasi prioritas pengembangan energi panas bumi di Flores - NTT
69
Gambar 3.39 PLTP Ulumbu kapasitas 2 x 2,5 MW di Manggarai
Gambar 3.40 PLTP Mataloko di Ngada Energi listrik yang terdistribusi secara interkoneksi merupakan salah satu persaratan dalam proses pengembangan potensi panas bumi di Flores karena energi tersebut dipasok dari berbagai tempat pembangkit listrik berbasis panas bumi maupun sumber energi lainnya (Gambar 3.41).
70
Gambar 3.41 Sistem interkoneksi di Flores Pengolahan bijih mangan menjadi beberapa produk seperti ingot (FeMn, SiMn) dan Mn Chemicals tentunya membutuhkan banyak energi yang akan digunakan, baik pada saat eksplorasi, eksploitasi maupun pengolahan seperti energi listrik atau batubara. Energi listrik yang terdistribusi secara interkoneksi adalah solusi tepat karena di NTT, khususnya Flores, terdapat banyak cadangan panas bumi. Energi listrik tersebut dipasok dari berbagai tempat pembangkit tenaga listrik berbasis panas bumi. 3.2.7.1 Sinkronisasi Pengembangan Industri Mineral Mangan dan Energi Panas Bumi Sinkronisasi pengembangan industri mineral mangan dan panas bumi memerlukan dukungan infrastruktur yang terencana, sehingga dalam proses pengembanganya dapat diperkecil berbagai hambatan yang mungkin terjadi. Pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mangan harus ditunjang oleh tumbuhnya pabrik penyediaan energi berbasis panas bumi (khusus Zona 2), yang secara otomatis memerlukan berbagai kebijakan dari Pemerintah, khususnya pemerintah daerah setempat. Skema pengembangan industri mineral mangan dan panas bumi seperti pada Gambar 3.42 menunjukkan adanya pengolahan bijih mangan yang terpadu dengan energi yang dibutuhkan sehingga mengarah pada pertumbuhan dan pemekaran ekonomi di Provinsi NTT.
71
Gambar 3.42 Skema pengembangan industri mangan dan energi panas bumi Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Provinsi NTT terdapat 243 pemegang IUP mangan yang beroperasi di seluruh wilayah NTT, baik IUP Eksplorasi (207 IUP) maupun Operasi Produksi (36 IUP). Usaha tambang mangan yang terkonsentrasi di Timor (194 IUP), ada di Kabupaten TTU (68 IUP), Belu (88 IUP), TTS (10 IUP), dan Kupang (28 IUP), sedangkan Flores (35 IUP) terdapat di Kabupaten Manggarai Barat (4 IUP), Manggarai (21 IUP), Manggarai Timur (10 IUP). Dari potensi cadangan panas bumi yang dapat dikembangkan di Flores (sekitar 110 MW), hanya 6,5 MW atau 6% yang baru dibangkitkan menjadi energi listrik. Sisa cadangan yang belum dimanfaatkan dapat menjadi potensi yang dapat digunakan untuk pengolahan dan pemurnian mangan. Sumber daya panas bumi di Flores dan sekitarnya dapat menjadi sumber utama pembangkit listrik tenaga panas bumi yang sangat dibutuhkan untuk eksplorasi dan pengolahan mangan menjadi produk-produk turunannya. Perkiraan jumlah energi yang diperlukan untuk pemurnian mangan berdasarkan rencana perusahaan Sumber Bumi Kalbar, sebesar 115 MW yang digunakan untuk memproses bijih mangan sebanyak 360.000 ton. Berdasarkan informasi lainnya (http://global.britannica.com) bahwa untuk memproduksi fero mangan dengan kadar 76%-80% mangan diperlukan energi listrik sebesar 2,4 -2,8 MW/ton, sedangkan untuk produk silikon mangan dengan kadar 65-68% mangan diperlukan energi listrik 3,84,8 MW/ton (Tabel 3.23). Dengan asumsi potensi panas bumi yang dapat dikembangkan di Flores sebesar 110 MW dan kebutuhan energi listrik untuk proses pengolahan/pemurnian yang didasarkan pada hasil perhitungan dari perusahaan Sumber Bumi Kalbar, bijih mangan yang dapat diolah kurang dari 360.000 ton per tahun. Tabel 3.23 Energi yang dibutuhkan pada proses pengolahan mangan
72
Kadar produk
Energi yang dibutuhkan proses MW/ton
Bijih mangan Fero mangan
76-80% mangan
2,4 -2,8 (basis acidity)
12-15 % besi 2,6-3,1 7,5 % karbon
Silikon mangan
1,2 % silikon
(basic ores atau fluxes)
65-68% mangan
3,8 -4,8
16-21 % silikon 1,5-2 karbon
Oleh karena kebutuhan energi listrik untuk pengolahan mangan cukup besar, kekurangannya dapat dipenuhi dari pengembangan energi lainnya, seperti PLTU batubara. Pengembangan energi panas bumi dan energi lainnya harus terpadu dengan rencana pengembangan jaringan transmisi daerah sehingga memungkinkan terjadinya interkoneksi dan dapat memenuhi, baik kebutuhan energi listrik untuk pengolahan dan pemurnian maupun untuk kegiatan penunjangnya. Selain itu, dukungan infrastruktur lainnya harus tersedia di lokasi pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian (smelter) mangan. Pengamatan di lapangan dan informasi yang diperoleh di daerah, maka lokasi pembangunan smelter berada di Kecamatan Re’o, Kabupaten Manggarai dan di Kecamatan Mbay, Kabupaten Nagakeo. Lokasi terpilih merupakan kawasan budidaya dengan infrastruktur penunjang cukup baik, seperti ketersediaan pelabuhan yang berfungsi sebagai pintu gerbang ekspor mineral, dan sarana jalan dari lokasi tambang ke lokasi smelter relatif baik. Untuk kelengkapan jaringan transmisi perlu dibangun tambahan jaringan transmisi seperti dapat dilihat pada Gambar 3.43
73
Gambar 3.43 Peta sinkronisasi pengembangan mangan dan energi panas bumi di Flores Zona 3 Zona 3 mencakup Sumba dan sekitarnya. Di wilayah ini potensi mangan sangat kecil serta tidak memiliki sumber daya energi panas bumi yang cukup besar seperti di Flores untuk digunakan sebagai bahan pembangkit listrik tenaga panas bumi. 3.3 PROVINSI ACEH 3.3.1
Geografi
Aceh merupakan provinsi di kawasan paling ujung utara Sumatera sekaligus juga ujung paling barat wilayah Indonesia. Secara geografis, Aceh terletak antara 20 - 60 Lintang Utara dan 950 - 980 Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas 57.365.57 km2 atau 12,26% dari luas Pulau Sumatera. Provinsi ini terdiri atas 119 buah pulau, 73 sungai besar dan 2 buah danau yang secara administratif terbagi atas 23 kabupaten/kota, yaitu Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Bener Meriah, Bireung, Nagan Jaya, Pidie, Pidi Jaya, Gayo Luwes, Simeulue, Sabang, Banda Aceh, Lhokseumawe, Subulusalam, dan Langsa. Aceh memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan nasional dan
internasional
yang
menghubungkan belahan dunia timur dan barat, dengan batas wilayah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Teluk Benggala, sebelah selatan dengan Sumatera Utara dan Samudera
74
Hindia, sebelah barat dengan Samudera Hindia, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Sumatera Utara. (Gambar 3.44) Topografi Provinsi Aceh berupa dataran hingga bergunung. Wilayah dengan topografi daerah datar dan landai sekitar 32% dari luas wilayah, sedangkan berbukit hingga bergunung mencapai sekitar 68% dari luas wilayah. Daerah dengan topografi bergunung terdapat di bagian tengah yang merupakan gugusan pegunungan Bukit Barisan dan daerah dengan topografi berbukit dan landai terdapat di bagian utara dan timur Aceh. Berdasarkan kelas topografi wilayah, Provinsi Aceh memiliki topografi datar (0% - 2%) tersebar di sepanjang pantai barat – selatan dan pantai utara – timur sebesar 24.83% dari total wilayah; landai (2% – 15%) tersebar di antara Pegunungan Seulawah dengan sebesar 11,29% dari total wilayah; agak curam (15% - 40%) sebesar 25,82% dan sangat curam (> 40%) yang merupakan punggung Pegunungan Seulawah, Gunung Leuser dan bahu dari sungai- sungai yang ada sebesar 38,06% dari total wilayah.
Gambar 3.44 Peta administrasi Aceh Di Aceh terdapat 408 d aerah aliran sungai (DAS) besar sampai kecil, beberapa danau seperti Danau Laut Tawar di Aceh Tengah dan Danau Aneuk Laot di Sabang serta rawa seluas 444.755 ha yang terdiri atas rawa lebak seluas 366.055 ha dan rawa pantai seluas 78.700 ha. Untuk pengelolaan sungai sebagai sumber daya air telah ditetapkan 11 wilayah sungai (WS). Berdasarkan Permen Pekerjaan Umum No.11A/PRT/M/ 2006, ada empat klasifikasi WS, yaitu WS Strategis Nasional (Meureudu-Baro, Jambo Aye, Woyla-Seunagan, dan Tripa-Bateue) yang dikelola pemerintah pusat; WS Lintas Provinsi (Lawe Alas-Singkil) yang dikelola pemerintah Aceh; dan WS Lintas Kabupaten/Kota (Krueng Aceh, Pase-Peusangan, Tamiang-Langsa, Teunom-Lambesoi, Krueng 75
Baru-Kluet) yang dikelola oleh pemerintah Aceh, WS dalam Kabupaten/Kota (Pulau Simeulue) yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Simeulue (Tabel 3.24). Sebagian besar lahan di Aceh didominasi oleh hutan dengan luas 3.523.817 ha atau 61,42% dari luas provinsi, disusul oleh perkebunan besar dan kecil yang mencapai 691.102 ha (12,06%). Luas lahan pertanian sawah seluas 311.872 ha (5,43%), pertanian tanah kering semusim mencapai 137.672 ha (2.4%), dan selebihnya merupakan lahan pertambangan, industri, perkampungan, perairan darat, tanah terbuka, dan lahan suaka alam lainnya di bawah 5,99% (Tabel 3.25).
Tabel 3.24 Wilayah sungai (WS) di Aceh No
NAMA WILAYAH SUNGAI
1 1
DAS
2
KETERANGAN
3
4
Lae Pardomuan, Lae Silabuhan, Lae Saragian, Lae Singki, L. Kuala Baru
Meureudu-Baro
Meureudu, Baro, Tiro, Pante Raja, Utue, Putu, Trienggadeng, Pangwa, Beuracan, Batee
Strategis Nasional; Aceh
Jambo Aye, Geuruntang, Reungget, Lueng, Simpang Ulim, Malehan, Julok Rayeuk, Keumuning, Ganding Idi Rayeuk, Lancang, Jeungki, Peundawa Rayeuk, Peureulak, Peundawa Puntong, Leugo Rayeuk.
Strategis Nasional; Aceh
2
3
Lintas Provinsi; Aceh-Sumatera Utara
Alas Singkil
Jamboe Aye
4
Woyla-Seunagan
Woyla-seunagan
Strategis Nasional; Aceh
5
Tripa-Bateutue
Tripa-Bateutue
Strategis Nasional; Aceh
6
Krueng Aceh
Aceh, Raya, Teungku, Batee
Lintas Kabupaten/Kota
Pase-Peusangan
Pase, Peusangan, Peudada, Keureuto, Mane, Geukeuh
7 8
9 10 11
Lintas Kabupaten/Kota Tamiang-Langsa
Teunom-Lambeusoi Krueng Baru-Kluet Pulau Simeulue
Tamiang, Langsa, Raya, Telaga Muku, Bayeuen
Lintas Kabupaten/Kota
Teunom, Lambeusoi,Bubon, Sabe, Masen, Inong
Lintas Kabupaten/Kota
Krueng Baru-Kluet
Lintas Kabupaten/Kota
Sungai-sungai di Pulau Simeulue
Dalam Satu Kabupaten
Sumber: Permen PU No.11A/PRT/M/2006 dan Renstra SDA Prov Aceh 2007-2012
Tabel 3.25 Jenis penggunaan lahan di Aceh pada 2005 – 2008
No
Penggunaan Lahan
2005
Luas/Area (Ha) 2006 2007
112.657
117.545
3.869
3.868
3.928
3.928
443
549
115.009
115.049
1
Perkampungan
2
Industri
3
Pertambangan
4
Persawahan
314.141
311.825
311.825
311.849
5
Pertanian tanah kering semusim
117.161
137.617
137.616
137.665
6
Kebun
294.934
305.592
305.577
305.591
7
Perkebunan
76
117.560
2008 117.582
- Perkebunan Besar
205.551
346.777
627.000
691.050
- Perkebunan Kecil
367.502
181.632
51.450
51.461
8
Padang (Padang rumput, alang-alang, semak)
9
Hutan (Lebat, belukar, sejenis)
10 11 12
223.985
229.762
229.726
229.726
3.929.420
3.852.599
3.588.135
3.523.925
132.168
204.352
204.292
204.292
18.574
44.439
44.439
44.439
5.736.557
101.006 5.837.563
Perairan Darat (kolam air tawar, tambak, penggaraman, waduk, danau, rawa) Tanah terbuka (tandus, rusak, land clearing) Lainnya/others
163.152 5.883.557
Jumlah/Total
5.736.557
Sumber : Bappeda Aceh, 2009 (Data diolah)
3.3.2
Potensi Pengembangan Wilayah
Aceh memiliki beragam kekayaan sumber daya alam, antara lain minyak dan gas bumi, pertanian, industri, perkebunan, perikanan darat dan laut, serta pertambangan umum yang memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Secara umum, penetapan Wilayah Pengembangan (WP) di Provinsi Aceh dikelompokkan berdasarkan posisi geografis, yaitu: (1) Banda Aceh dan sekitarnya, (2) Pesisir Timur, (3) Pegunungan Tengah dan (4) Pesisir Barat. WP yang dimaksud memiliki beberapa pusat kegiatan di wilayah tersebut yang
dapat merupakan: Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Strategis Nasional
(PKSN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Penetapan PKN dan PKW merupakan kewenangan pemerintah dan telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Sementara PKL ditetapkan dalam RTRW Provinsi sesuai dengan ketentuan pada Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.26/2008 tentang RTRWN. Penetapan wilayah pengembangan berdasarkan rencana tata ruang Aceh secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.25, sementara rencana penetapan kegiatan unggulan pada kawasan budidaya lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.27. Kesempatan kerja, pengangguran, dan kondisi ketenagakerjaan menunjukkan perubahan ke arah lebih baik. Pada Februari 2009, jumlah penduduk yang bekerja 1,692 juta orang dan memasuki Agustus 2009 bertambah menjadi 1,733 juta orang. Dalam rentang waktu tersebut terjadi peningkatan sebanyak 41 ribu orang. Bila dibandingkan terhadap tahun sebelumnya (periode Agustus 2008), jumlah penduduk yang bekerja adalah 1,618 juta orang, berarti mengalami peningkatan sebesar 115 ribu orang. Sementara itu, perkembangan tingkat pengangguran selama periode 2007-2009 cenderung menurun ( T a b e l 3 . 2 8 ) Pada 2007, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 9,84% dan selanjutnya terus menurun secara berturut-turut menjadi 9,56% (2008) dan 8,71% (2009). Walaupun TPT terus mengalami penurunan, namun kondisi tersebut masih tergolong tinggi dibandingkan dengan TPT nasional yang mencapai 9,75% (2007), 8,46% (2008) dan 8,14% (2009). Tabel 3.26 Penempatan wilayah pengembangan (WP) 77
No.
Wilayah Pengembangan (WP)
1 1
3
4
Kabupaten/Kota yang Tercakup
Luas WP (Ha)
3
4
5
2 Banda Aceh dan sekitarnya WP Basajan (Banda Aceh-Sabang_Jantho)
2
Pusat Kegiatan
PKNp Banda Aceh PKW/PKSN Sabang PKL Jantho
Kota Banda Aceh Kota Sabang Kab. Aceh Besar
WP Timur 1 (Langsa-Kuala Simpang-Idi Rayeuk)
PKW Langsa PKL Ka. Simpang-Kr Baru PKL Idi Reyeuk
Kota Langsa Kab. Aceh Utara Kab. Bireuen
WP Timur 2 (Lhokseumawe-Bireuen-Lhok Sukon)
PKN Lhokseumawe PKL Bireuen PKL Lhok Sukon
Kota Lhokseumawe Kab. Bireuen Kab. Aceh Utara
146,900.00
WP Timur 3 (Sigli-Meureudu)
Kab. Pidie Kab. Pidie jaya
Kab. Pidie Kab. Pidie Jaya
157,050.00
Pegunungan Tengah WP Tengah 1 (Takengon-Sp. Tiga Redelong
PKW Takengon PKL Sp. Tiga Redelong
Kab. Aceh Tengah Kab. Bener Meriah
140,800.00
WP Tengah 2 (Kutacane-Blangkejeren)
PKL Kutacane PKL Blangkejeren
Kab. Aceh Tengah Kab. Gayo Luwes
290,701.32
PKW Meulaboh PKL Calang PKW Jeuram-Suka Mamue
Kab. Aceh Barat Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya
351,832.53
WP Barat 2 (Tapaktuan-Blangpidie)
PKL Tapaktuan PKW Blangpidie
Kab. Aceh Selatan Kab. Aceh Barat Daya
291,650.00
WP Barat 3 (Subulussalam-Singkil)
PKW Subulussalam PKL Singkil
Kota Subulussalam Kab. Aceh Singkil
WP Barat 4 (Sinabang)
Sinabang
Kab. Simeulue
-
Pesisir Timur
-
Pesisir Barat WP Barat 1 (Meulaboh-Calang_Suka Mak-mue)
84,862.90
11.37
Sumber : Bappeda Aceb (RTRWA,), 2010
Tabel 3.27 Penetapan kawasan unggulan pada kawasan budidaya lainnya dalam kawasan andalan Aceh – WP (KAA-WP) No.
Kawasan Andalan Aceh- Kab./Kota WP (KAA-WP) Yang Tercakup
Luas KAAWP (Ha)
Luas Kaw. Luas Kaw. Bud. Luas Kaw. Lindung (Ha) Strat.Aceh (Ha) Bud. Lain (Ha)
Kegiatan Unggulan Pada Kaw. Budidaya Lainnya
1.
Kawasan Andalan Aceh - WP Basajan (Banda Aceh-SabangJantho)
Kota Banda Aceh 308.087,76 Kota Sabang Kab. Aceh Besar
159.166,60
50.919,40
62.953,60
2.
Kawasan Andalan Aceh - WP Timur 1 (Langsa-Kuala SimpangIdi Rayeuk)
Kota Langsa 775.022,60 Kab. Aceh Tamiang Kab. Aceh Timur
432.431,90
31.934,04
298.155,96 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Perkebunan - Pertanian - Industri - Perikanan - Pertambangan
78
-Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Pertanian - Pariwisata - Industri - Perikanan
3.
Kawasan Andalan Aceh - WP Timur 2 (Lhokseumawe-BireuenLhok Sukon)
Kota Lhokseumawe Kab. Aceh Utara Kab. Bireuen
464.440,37
137.762,70
52.327,13
269.612,87 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Pertanian - Perkebunan - Industri - Perikanan - Pertambangan
4.
Kawasan Andalan Aceh - WP Timur 3 (Sigli-Meureudu)
Kab. Pidie Kab. Pidie Jaya
411.718,18
267.670,09
51.376,97
65.513,03
-Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Pertanian - Perkebunan - Industri - Perikanan - Pertambangan
5.
Kawasan Andalan Kab. Aceh Tengah 635.804,69 Aceh –WP Tengah 1 Kab. Bener Meriah (Takengon-SpTRedelong)
459.753,21
5.200,00
59.930,00
-Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan -Perkebunan -Pariwisata - Perikanan
6.
Kawasan Andalan Kab. Aceh 971.953,52 Provinsi - WP Tengah 2 Tenggara (Kutacane-Blangkejeren) Kab. Gayo Luwes
873.350,00
35.657,54
29.472,46
7.
Kawasan Andalan Aceh - WP Barat 1 (Meulaboh-Calang-Suka Mak- mue)
Kab. Aceh Barat Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya
702.493,32
31.868,36
-Permukiman Perkotaan -Permumkiman Perdesaan - Perkebunan - Pariwisata - Pertanian 276.981,64 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Perkebunan - Pertanian - Perikanan - Pariwisata - Pertambangan
8.
Kawasan Andalan Aceh - WP Barat 2 (Tapaktuan-Blangpidie)
Kab. Aceh Selatan 605.863,89 Kab. Aceh Barat Daya
535.690,00
21.896,35
38.243,65
9.
Kawasan Andalan Aceh - WP Barat 3 (Subulussalam-Singkil)
Kota Subulussalam 302.158,51 Kab. Aceh Singkil
390.073,00
7.867,86
Kawasan Andalan Aceh - WP Barat 4 (Sinabang)
Kab. Simeulue
121.752,10
3.085,00
10.
1.018.069,37
182.721,93
-Permukiman -Permukiman - Perkebunan - Pertanian - Perikanan - Pariwisata 107.542,14 -Permukiman -Permukiman - Perkebunan - Perikanan - Pariwisata 50.685,00
Perkotaan Perdesaan
Perkotaan Perdesaan
-Permukiman Perkotaan Permukiman Perdesaan - Perkebunan - Perikanan - Pariwisata
Sumber: Rencana Pola Ruang Wilayah Aceh.
Tabel 3.28 Tingkat pengangguran terbuka di Aceh pada 2007 -2009 Tahun No 1 1 2 3 4 5 6 7
Kabupaten/Kota 2 Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat
200 37
2008
200 59
4 8,45 9,72 8,00 9,45 12,90 3,87 8,39
79
8.63 10.22 8.83 9.59 11.73 4.91 7.23
12.42 7.81 9.83 11.53 6.70 4.31 4.63
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Luwes Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Pidie Jaya Banda Aceh Sabang Langsa Lhokseumawe Subulussalam Total Sumber: BPS, 2010
12,99 9,40 7,70 13,35 5,24 5,63 12,15 6,85 13,58 4,83 4,89 7,91 9,68 12,12 18,71 12,02 9,84
12.05 7.87 7.53 14.02 5.54 4.33 11.17 5.03 10.39 3.40 8.48 11.43 11.38 11.28 14.35 12.22 9.56
13.54 6.78 9.05 11.00 7.21 6.56 9.90 4.84 6.39 2.57 5.16 9.78 11.66 14.74 13.26 4.34 8.71
3.3.3. Sarana dan Prasarana Umum A. Proporsi Panjang Jaringan Jalan dalam Kondisi Baik Berdasarkan data 2010, kondisi jalan di Aceh cukup memprihatinkan dan salah satu yang terburuk di Indonesia. Aceh Barat memiliki kondisi jalan cukup baik, sedangkan daerah sepanjang pantai barat dan daerah tengah Aceh sarana infrastruktur masih sangat rendah. Di Aceh Tengah dan Gayo Luwes, lebih dari 50% jalan kabupaten dalam kondisi rusak sementara sebagian besar daerah di sepanjang pantai timur Aceh kondisi jalan kabupatennya lebih baik namun sekitar 30% jalan kabupaten dalam kondisi rusak. Di Nagan Raya dan Aceh Jaya tercatat lebih dari 90% kondisi jalan dalam keadaan rusak. Secara keseluruhan, panjang jalan mencapai 17.066,19 km terdiri atas jalan nasional (1.782,78 km), provinsi (1.701,82 km), dan kabupaten/kota (13.581,89 km) (Tabel 3.29).
Tabel 3.29 Kondisi jalan nasional provinsi dan kabupaten/kota di Aceh pada 2005 - 2009 Kondisi Jalan (km)
Panjang Baik
No Tahun Nasional
2
3
2005
2006
2007
Rusak
1,782.78 Jalan (km) 1,532.32
721.45
603.75
450.58
445.44
698.44
368.44
Mantap74.33 (%) 74.65
13,581.59
2,408.60
7,043.28
4,129.71
69.59
Nasional
1,782.78
1,074.19
362.43
339.16
80.58
Provinsi
1,701.82
391.43
606.16
684.23
58.62
Provinsi 1
Sedang
Kondisi
Kabupaten
Kabupaten
13,581.59
2,408.60
7,043.28
4,129.71
69.59
Nasional
1,782.78
1,163.26
299.01
313.51
82.02
Provinsi
1,701.82
442.47
621.08
618.27
62.49
13,581.59
2,408.60
7,043.28
4,129.71
69.59
1,782.78
1,251.33
230.39
294.06
83.11
Kabupaten Nasional
80
4
2008
Provinsi
1,701.82
510.51
576.33
594.98
63.86
13,581.59
2,408.60
7,043.28
4,129.71
69.59
Nasional
1,782.78
1,345.24
191.24
239.30
86.18
Provinsi
1,701.82
637.39
484.13
560.30
65.90
Kabupaten 13,581.59 Sumber : Dinas Bina Marga dan Cipta Karya 2010
2,408.60
7,043.28
4,129.71
69.59
Kabupaten
5
2009
Di Aceh terdapat 19 pelabuhan, 12 bandara dan 33 terminal bis yang tersebar di kabupaten/kota. Pelabuhan laut yang terbesar adalah Malahayati, Krueng Geukueh, Meulaboh dan Ulee Lheu sebagai pelabuhan penyebarangan dan angkutan. Bandara Sultan Iskandar Muda adalah bandara internasional yang berlokasi di Aceh Besar (lihat Tabel 3.30). 3.3.4.
Industri
Sektor industri belum memberikan kontribusi yang berarti terhadap penyediaan lapangan dan penyerapan tenaga kerja serta pembentukan PDRB. Industri di Aceh hanya mengandalkan kepada industri pengolahan migas, namun terus mengalami penurunan seiring dengan menurunnya produksi migas. Berdasarkan kontribusi nilai tambah PDRB selama lima tahun terakhir, harapan besar tertumpu pada pengembangan industri non-migas, sedangkan industri migas dalam jangka panjang tidak dapat diandalkan. Dari jenis industri, jumlah usaha industri kecil menengah sampai 2008 adalah 21.267 unit atau meningkat sekitar 5,12 % dari 2007 atau sejumlah 20.231 unit, namun untuk jumlah industri besar tidak mengalami peningkatan dalam kurun waktu dua tahun terakhir, yaitu sejumlah 8 unit (Tabel 3.31).
Tabel 3.30 Jumlah pelabuhan laut/udara/terminal bis di Aceh pada 2009 Transportasi Laut No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
Kab/Kota
Sabang Banda Aceh Aceh Besar Pidie Pidie Jaya Bireuen Aceh Utara Lhokseumawe Aceh Timur Langsa
Terminal Bis
Bandara Pelabuhan Pelabuhan Tipe A Angkutan Penyeberangan 1 1 1 1 1
1 1 1 -
81
1 1 1 1 -
1 1 1
Tipe B 1 2 -
Tipe C 1 1 2 1 1 -
1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 2 3
Aceh Tamiang Aceh Tengah Bener Meriah Gayo Luwes Aceh Tenggara Aceh Jaya Aceh Barat Aceh Barat Daya Nagan Raya Aceh Selatan Subulssalam Aceh Singkil Simeulue Jumlah
1 1 1 1 1 1
1 1 2 1
1 1 1 1 1 1 1 1
1 -
1 1 1 1 1 -
2 4 1 1 1 1 2 1 1
11
8
12
4
8
20
Sumber: Data Dishubkomintel, 2009
Tabel 3.31 Perkembangan industri di Aceh pada 2007 - 2009 No.
Urai an
Satuan
1. Unit Usaha
2007
2008
2009
Unit
20,231
21,267
35,660
Unit
20,223
21,259
35,652
Unit
8
8
8
Orang
75,548
80,249
112,161
a. IKM
Orang
70,985
75,686
107,598
b. Industri Besar
Orang
4,563
4,563
4,563
146,977,000,000,000
147,066,107,083,017
a.
IKM
b. Industri Besar 2. Tenaga Kerja
3. Investasi
Rupiah
146,911,000,000,000
a. IKM
Rupiah
337,000,000,000
403,000,000,000
492,107,083,017
b. Industri Besar
Rupiah
146,574,000,000,000
146,574,000,000,000
146,574,000,000,000
Sumber: Dinas Perindustrian Provinsi Aceh, 2010
3.3.5.
Sumber Daya Energi
Aceh memiliki sumber daya energi, khususnya panas bumi dan tenaga air (lihat Tabel 3.32 dan Tabel 3.33). Potensi panas bumi dan tenaga air ini belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga akan memberikan nilai tambah jika dibangun pabrik pengolahan bijih besi di kemudian hari. Kebutuhan energi listrik di Aceh saat ini dipenuhi oleh beberapa sistem dengan porsi, yaitu: sistem transmisi 150 kV Sumut-Aceh sebesar 70,12 persen, PLTD Isolated sebesar 26,62 persen, sistem distribusi 20 kV dari wilayah Sumut sebesar 3,26 persen, PLTMH Isolated sebesar 0,75 persen. Tabel 3.32 Potensi energi panas bumi Aceh Potensi (Mwe) No. 1. 2.
Lapangan Iboih Lho Pria Laot
Kab/Kota Kota Sabang Kota Sabang
Sumber Daya Spekulatif Hipotetik 25 50 -
82
Terduga -
Cadangan Mungkin -
Terbukti -
3. 4.
Jaboi Keuneukai Iseum Krueng Raya
Kota Sabang Aceh Besar
-
63
50 -
-
-
5. 6.
Seulawah Agam Alur Canamg
Aceh Besar Pidie
25
-
165 -
-
-
7.
Alue Long Bangga
Pidie
100
-
-
-
-
8.
Tangse
Pidie
25
-
-
-
-
9.
Rimba Raya
Bener Meriah
100
-
-
-
-
10.
G. Geureudong
Aceh Tengah
-
120
-
-
-
11.
Simpang Balik
Bener Meriah
100
-
-
-
-
12.
Silih Nara
Aceh Tengah
100
-
-
-
-
13.
Meranti
Aceh Timur
25
-
-
-
-
14.
Brawang Buaya
Aceh Taniang
25
-
-
-
-
15.
Kafi
Gayo Luwes
25
-
-
-
-
16.
G. Kembar
Gayo Luwes
-
92
-
-
-
17.
Dolok Perkirapan
Gayo Luwes
26
-
-
-
-
625
275
215
Total Potensi Panas Bumi = 1.115 MWe
3.3.6.
Geologi dan Sumber Daya Mineral
Secara geologi, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berada di jalur patahan Sumatera yang merupakan daerah tektonik aktif yang memanjang dan dikenal sebagai Pegunungan Bukit Barisan. Di sepanjang pegunungan ini banyak terdapat zona mineralisasi logam, non logam dan jalur sumber panas bumik yang dapat digunakan sebagai pembangkit listrik. Secara litologi, NAD ini ditempati oleh batuan sedimen berumur Perm Awal hingga Holosen, batuan gunungapi dan beku terobosan. Batuan tua berumur Pra-Tersier umumnya berupa batuan metasedimen dan metamorfosa.
Tabel 3.33 Potensi energi air No
Nama Proyek
Sungai
Kapasitas (MW)
Keterangan
1.
Jambuaya 3
Wh Jambu Air
37.2
2.
Jambuaya 6
Kr. Jambuaya
181.8
3.
Ramasan 1
Kr. Ramasan
171.8
4.
Bidin Jambuaya
Kr. Jambuaya
248
5.
Peureulak
Kr. Peureulak
34.8
6.
Tempur
W. Tempur
428
Amdal 1993
7.
Peusangan
Kr. Peusangan
80
Proses Pembangunan 2x45 MW
8.
Jambo Papeun 2
Kr. Jambo Papeun
86.2
83
9.
Kluet
Kr. Kluet
141
10.
Sibubung 2
Kr. Sibubung
121.1
11.
Teripa 3
Kr. Teripa
172.6
12.
Teripa 4
Kr. Teripa
308.4
13.
Meureubo 1
Kr. Meulaboh
14.
Pameu
Kr. Pameu
180.8
15.
Woyla 2
Kr. Woyla
274
16.
Dolok 1
Kr. Dolok
32.2
17.
Teunom
Kr Teunom
288.2
82.1
Total Potensi Energi Air
2882.8
Sedimen Tersier daerah ini merupakan batuan induk tempat terperangkapnya minyak dan gas bumi serta pembawa lapisan batubara. Adanya serpih hitam diharapkan di daerah ini berpeluang untuk memperoleh endapan serpih bitumen. Batuan terobosan terdiri atas intrusi Pra-Tersier, serpentinhardburgit dan intrusi Tersier. Batuan gunungapi dan intrusi menjadi target eksplorasi emas, tembaga, timah hitam, timah putih, molibdenum dan mineral lainnya. Adanya aktivitas vulkanik kuarter di daerah ini memungkinkan terjadinya proses hidrotermal yang membentuk suatu sistem panas bumi sebagai salah satu sumber energi (PSG 2009). Dari aspek geologi (Gambar 3.45), Aceh terbagi dalam tujuh lembar peta geologi, yaitu:
1. Lembar Aceh; 2. Lembar Lhokseumawe; 3. Lembar Calang; 4. Lembar Takengon; 5. Lembar Langsa; 6. Lembar Tapaktuan;
84
Gambar 3.45 Peta geologi Aceh.
Potensi tambang di Aceh sangat banyak dan tersebar. Mineral bukan logam, misalnya magnesit terdapat di Aceh Besar dengan sumberdaya
210.000.000 ton; dolomit di Aceh Tamiang
1.190.000.000 ton, felspar di Aceh Tengah; kaolin di Aceh Singkil; lempung di Aceh Selatan 126.680 ton; bentonit di Pidie 40.000.000 ton; fosfat di Aceh Besar 140.000 ton, Aceh Tamiang 400.000 ton, Gayo Luwes 4 ton, Aceh Jaya 77.000 ton; kuarsit/pasir kuarsa Aceh Jaya 255.000.000.000 ton dan Acih Singkil 5.250.000 ton. Mineral logam, misalnya besi terdapat di Aceh Besar dengan sumber daya 36.800.000 ton, Gayo Luwes 22.000.000 ton, Aceh Selatan 28.000.000 ton, Subulussalam 24.000.000 ton, Aceh Barat Daya 48.000.000 ton, Aceh Tamiang 42.000.000 ton dan di Pidie 10.000 ton; pasir besi potensinya tersebar di Aceh Besar dengan sumber daya 7.200.000 ton, Pidie 1.200.000 ton, Bireun 3.800.000 ton; emas ditemukan di Aceh Besar dengan potensi 2 – 4.2 ppm, Pidie 0.4 – 2.4 ppm, Aceh Tengah 0.8 – 1.8 ppm, Aceh Barat 0.2 – 4 ppm, Nagan Raya 0.2 – 4 ppm, Aceh Barat Daya 2 – 4 ppm dan Aceh Selatan dengan potensi 4 – 8 ppm; logam tembaga ditemukan di Aceh Besar dengan potensi 8 %, di Pidie 4 – 12 %. Selain mineral-mineral tersebut di di atas, di Aceh juga ditemukan indikasi adanya molibdenit yaitu di Pidie, Aceh Tengah dan Gayo Luwes serta perak di Aceh Barat Daya. Aceh memiliki sumber daya bijih besi dan pasir besi (besi bertitan) cukup besar, yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota dengan komposisi kimia sangat beragam (Dinas Pertambangan Provinsi Aceh, 2012). Kabupaten yang memiliki sumber daya bijih besi adalah Pidie, Aceh Besar, Gayo Luwes, Aceh Timur, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Barat Daya dan Kabupaten Aceh Tamiang. Adapun kabupaten yang memiliki sumber daya pasir besi, adalah Aceh Besar, Pidie, dan Bireun. Kekayaan bijih besi yang cukup besar ini dapat menjadi modal bagi Aceh dalam mengembangkan ekonominya apabila dikelola dengan baik melalui pengolahan dan pemurnian sehingga dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar daripada dijual atau diekspor dalam bentuk 85
bijih wantah (ore). Di samping adanya peningkatan dari sisi perekonomian, pentingnya pengelolaan kekayaan mineral bijih besi melalui pengolahan dan pemurnian dapat memberikan manfaat lain, antara lain: 1)
optimalisasi konservasi sumber daya dan cadangan bijih besi;
2)
mengurangi ketergantungan industri dalam negeri pemakai bahan baku bijih besi terhadap bahan baku impor;
3)
menciptakan
mata
rantai
hulu-hilir
sektor
pertambangan
sehingga
dapat
memicu
pengembangan sektor industri hilir (hilirisasi); 4)
mendorong peningkatan industri pengolahan dalam negeri;
5)
mendorong tumbuhnya industri penunjang;
6)
meningkatkan pendapatan masyarakat;
7)
menyerap tenaga kerja lebih banyak;
8)
mendorong peningkatan pendapatan nasional, melalui peningkatan royalti dan pajak;
9)
meningkatkan keekonomian nilai bijih besi;
10)
meningkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa teknologi di bidang pengolahan dan pemurnian;
11)
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di bidang pengolahan dan pemurnian.
Potensi tambang sangat banyak dan tersebar. Mineral logam, misalnya bijih besi merupakan primadona dalam bidang mineral yang terdapat di: a.
Aceh Besar dengan sumber daya 36.8 juta ton;
b.
Gayo Luwes 22 juta ton;
c.
Aceh Selatan 28 juta ton;
d.
Subulussalam 24 juta ton;
e.
Aceh Barat Daya 48 juta ton;
f.
Aceh Tamiang 42 juta ton;
g.
dan di Pidie 10.000 ton.
Selain bijih besi, terdapat pula pasir besi yang tersebar di Aceh Besar (7,2 juta ton), Pidie (1,2 juta ton), Bireun (3,8 juta ton). Emas ditemukan di Aceh Besar (2 – 4.2 ppm), Pidie (0.4 – 2.4 ppm), Aceh Tengah (0.8 – 1.8 ppm), Aceh Barat (0.2 – 4 ppm), Nagan Raya (0.2 – 4 ppm), Aceh Barat Daya (2 – 4 ppm) dan Aceh Selatan (4 – 8 ppm) sedangkan tembaga ditemukan di Aceh Besar dengan potensi 8% dan di Pidie 4% – 12%. Indikasi adanya mineral molibdenit terdapat di Pidie, Aceh Tengah dan Gayo Luwes dan perak di Aceh Barat Daya. Potensi mineral logam, seperti magnesit terdapat di Aceh Besar dengan sumber daya 210 juta ton; dolomit di Aceh Tamiang 1.190 juta ton, felspar di Aceh Tengah; kaolin di Aceh Singkil; lempung di Aceh Selatan 126.680 ton; bentonit di Pidie 40 juta ton; fosfat di Aceh Besar 140.000 ton, Aceh Tamiang 400.000 ton, Gayo Luwes 4 ton, Aceh Jaya 77.000 ton; kuarsit/pasir kuarsa di Aceh Jaya 255 miliar ton, Aceh Singkil 5,25 juta ton. 86
Data Dinas Pertambangan Provinsi Aceh pada 2013 terdapat 137 pemegang IUP/IPR/KK mineral logam dan batubara, baik IUP Eksplorasi maupun Operasi Produksi dengan luas area 790.227,31 ha tersebar di seluruh wilayah Aceh. Dari 137 IUP tersebut, 104 buah berupa IUP Eksplorasi, 25 IUP Operasi Produksi, 3 KK, dan 5 IPR. Sebagian besar pemegang IUP mengusahakan bahan tambang emas dan bijih besi, selain bahan tambang lainnya seperti pasir besi, galena, tembaga, batubara, serta seng dan timbal. Khusus untuk pertambangan emas, dari 40 IUP yang ada, sebanyak 35 IUP (87%) berstatus IUP Eksplorasi dan hanya 5 buah (13%) berstatus IUP Operasi Produksi. Untuk pertambangan bijih besi, dari 39 IUP yang ada, sebanyak 26 IUP (65%) berstatus IUP Eksplorasi dan hanya 13 IUP (35%) berstatus IUP Operasi Produksi. Sebaran endapan mineral dan non logam dapat dilihat pada gambar 3.46 dan gambar 3.47 EMAS
BESI Kabupaten Aceh Besar
Gayo Lues
Potensi (ton)
Kabupaten
36,800,000
Aceh Besar
Potensi (ppm) 2 - 4.2
22,000,000
Pidie
0.4 - 2.4
Aceh Tengah
0.8 – 1.8
Aceh Barat
-
Aceh Selatan
28,000,000
Aceh Jaya
0.2 - 8
Subulussalam
24,000,000
Aceh Barat
0.2 - 4
Aceh Barat Daya
48,000,000
Nagan Raya
0.2 - 4
Aceh Tamiang
42,0000,000
Aceh Barat Daya
2- 4
Aceh Selatan
4- 8
Pidie
10,000
TEMBAGA
BESI BERTITAN (PASIR BESI)
Kabupaten
Kabupaten
Potensi (ton)
Aceh Besar
7,200,000
Pidie
1,200,000
Pidie Jaya Bireuen
3,800,000
Aceh Jaya
-
Aceh Barat
-
Aceh Singkil
-
Potensi ( %)
Aceh Besar
8
Pidie
4 - 12
Aceh Timur
-
Aceh Tengah
-
Gayo Lues
-
Aceh Jaya
-
Aceh Barat Daya
-
Aceh Selatan
-
MOLIBDENIT Kabupaten
Potensi (ton)
Pidie
-
Aceh Tengah
-
Kabupaten
Potensi (ton)
Gayo Lues
-
Aceh Tengah
-
Gayo Lues
-
Aceh Barat
-
Nagan Raya
-
SENG
PERAK Kabupaten
Potensi (ton)
Aceh Barat Daya
-
GALENA
Kabupaten
Potensi (ton)
Subulussalam
4,000,000
Aceh Timur
400,000
Gayo Lues
1,200,000
Aceh Tamiang
2,400,000
Gambar 3.46 Sebaran potensi endapan mineral
MAGNESIT Kabupaten
Potensi (ton)
Aceh Besar
210,000,000
Kabupaten
Potensi (ton)
Pidie
-
Aceh Timur
-
Aceh Tengah
-
Aceh Tamiang
-
LEMPUNG
Gayo Lues DOLOMIT Kabupaten
Potensi (ton)
Aceh Besar
-
Aceh Tamiang
1,190,000,000
-
Aceh Jaya
-
Aceh Selatan
126,680
Aceh Singkil
-
FELDSPAR
BENTONIT Kabupaten
Potensi (ton)
Kabupaten Aceh Timur
-
Aceh Tengah
1,190,000,000
Gayo Lues
Aceh Timur
-
KAOLIN Kabupaten
Potensi (ton)
Aceh Singkil
-
87
Potensi (ton) -
Aceh Tengah
-
Pidie
40,000,000
PHOSPAT Kabupaten
Potensi (ton)
Aceh Besar
140,000
Pidie
-
Aceh Tamiang
400,000
Gayo Lues
0.2 - 4
Aceh Jaya
77,000
KUARSIT / PASIR KUARSA Kabupaten
Potensi (ton)
Gayo Lues
-
Aceh Jaya
255,000,000,000
Aceh Singkil
5,250,000
Gambar 3.47 Sebaran potensi endapan bukan logam
3.3.7
Pertambangan
Provinsi Aceh menyimpan banyak potensi mineral yang menarik para investor dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sejauh ini potensi tersebut belum dikelola secara maksimal guna dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, karena terhambat oleh berbagai kendala. Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Provinsi Aceh, pada 2013 terdapat 137 pemegang IUP/IPR/KK mineral logam dan batubara, baik Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi dengan luas area 790.227,31 ha tersebar diseluruh wilayah Aceh (Tabel 3.32). Dari 137 IUP tersebut 104 IUP eksplorasi, 25 IUP operasi produksi, 3 KK, dan 5 IPR. Sebagian besar pemegang IUP mengusahakan bahan tambang emas dan bijih besi, selain bahan tambang lainnya yaitu pasir besi, galena, tembaga, batubara, serta seng dan timbal. Khusus untuk pertambangan emas, dari 40 IUP yang ada, sebanyak 35 IUP (87%) berstatus IUP Eksplorasi, dan hanya 5 buah (13%) berstatus IUP Operasi Produksi, untuk pertambangan bijih besi, dari 39 IUP yang ada, sebanyak 26 IUP (65%) berstatus IUP Eksplorasi, dan hanya 13 buah (35%) berstatus IUP Operasi Produksi (Tabel 3.34).
88
Tabel 3.34 Ijin usaha pertambangan di Aceh 2013
3.3.8
Produksi Bijih Besi
Produksi bijih besi Aceh berjumlah 400.688 ton pada 2012 terutama dihasilkan oleh PT. Lhoong Setia Mining di Aceh Besar (115.767,97 ton), PT. Juya Aceh Mining di Aceh Barat Daya (149.281,57 ton), PT. Samana Citra Agung di Kabupaten Aceh Besar (39.171,00 ton), PT Samana Citra Agung di Pidie (9.760,00 ton), PT. Bara Energi Lestari di Nagan Raya (82.073,00 ton), dan PT. Mifa Bersaudara di Aceh Barat (4.635,05 ton). Tabel 3.35 dan Tabel 3.36 cadangan bijih besi dan pasir besi. Di Indonesia, Aceh merupakan produsen terbesar ketiga setelah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Di bawah Aceh terdapat Jambi, Riau, Bangka-Belitung, dan Sulawesi Utara. Sebagian besar produksi bijih besi dari Aceh diekspor dan hanya sedikit yang dipasarkan di dalam negeri karena sampai saat ini belum ada pabrik pengolahan bijih besi di dalam negeri.
Tabel 3.35 Cadangan dan investasi bijih besi di Aceh No
Perusahaan
Komodi
Luas (Ha)
Cadangan (Mton)
Investasi (Rp 000)
Keterangan
tas A
Kab. Aceh Besar
1
PT. Lhoong Setia Mining
Bijih Besi
500
1.503.399
2
PT. Tambang Indrapuri Jaya
Bijih Besi
538
104.281.357
89
Aktif Produksi 76.117.000
Aktif Produksi
B
Kab. Aceh Selatan
1
KSU Tiega Manggis
Bijih Besi
200
1.290.000
2
PT. Pinang Sejati Wati
Bijih Besi
814
1.503.399
Development
3
KSU Ni’mat Seupakat
Bijih Besi
126
1.128.750
Development
4
PT. Beri Mineral Utama
Bijih Besi
1000
23.522.428
59.490.590
Development
C
Kab. Aceh Barat Daya
1
PT. Juya Aceh Mining
Bijih Besi
400
9.961.530
46.894352
Aktif Produksi
2
PT. Bumi Bahbarot
Bijih Besi
550
46.656.000
157.365.901
Aktif Produksi
3
PT. Waja Niaga
Bijih Besi
50
950.000
19.636.762
Stop Sementara
4
PT. Lauser karya Tambang
Bijih Besi
98
17.688.400
30.738.400
Aktif Produksi
D
Kota Subulusalam
Bijih Besi
600
149.904.000
176.350.500
358.389.264
587.840.573
21.247.166
PT. Estamo mandiri Jumlah
Aktif Produksi
Pengurusan IPPKH
Tabel 3.36 Cadangan dan investasi pasir besi di Aceh No
Perusahaan
Komodi
Luas (Ha)
Cadangan (Mton)
Investasi (Rp 000)
Keterangan
tas A
Kab. Aceh Besar
1
PT. Samana Citra Agung
Pasir Besi
221
1.972.000
14.700.000 Aktif Produksi
2
PT. Bina Meukuta Alam
Pasir Besi
4000
7.668.731
29.264.730 Proses Amdal
B
Kab. Pidie
1
PT. Glee Rinder Pratama
Pasir Besi
207
978.000
Jumlah
10.618.731
35.0060.000 Tidak Aktif
79.024.730
Peningkatan kebutuhan baja dunia untuk pembangunan, terutama di Cina, menyebabkan bijih besi kadar rendah Indonesia juga ikut diperdagangkan dalam perdagangan dunia, seperti tercatat pada 2010 mencapai lebih dari 5,5 juta ton. Perusahaan penambangan bijih besi di Indonesia sebagian terkonsentrasi di Provinsi Aceh. Berdasarkan perolehan data ekspor menunjukkan bahwa Aceh dan 90
Kalimantan Selatan merupakan penyumbang ekspor bijih besi terbesar di tanah air. Sebagai gambaran, ekspor bijih besi yang melalui pelabuhan di wilayah Aceh baru mencapai 556,85 ribu ton dengan nilai FOB US$ 12,13 juta (Tabel 3.37). Selama empat tahun terakhir ekspor bijih besi dari kedua wilayah tersebut 37,41% dengan tujuan sebagian besar ke Cina, dan sebagaian kecil ke Hongkong, Malaysia, Jepang dan Vietnam. 3.3.9 Teknologi Pengolahan dan Pemurnian Bijih Besi Teknologi mini blast furnace (MBF) dan tungku putar dengan kapasitas yang kecil menjadi pilihan yang ideal untuk mengolah bijih besi menjadi besi wantah (pig iron). Teknologi MBF cukup berkembang di Cina, dengan volume tungku tegak 45-50 m3. Sementara teknologi tungku putar dengan kapasitar 50 ton/hari berkembang di India untuk menghasilkan sponge iron dan digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan besi wantah atau dalam industri baja. Penerapan teknologi MBF dan tungku putar diharapkan dapat mengolah bijih besi yang terdapat di Provinsi Aceh dengan spesifikasi sesuai dengan Permen ESDM No.1 Tahun 2014.
Tabel 3.37 Ekspor bijih besi dari Kalimantan Selatan dan Aceh, 2007 – 2011
91
NO.
PELABUHAN MUAT 1.
SEBUKU (KPPBC Tipe A3 Kotabaru)
2.
1.
3.
TG. PEMANCINGAN (KPPBC Tipe A3 Kotabaru)
SATUI (KPPBC Tipe A3 Kotabaru)
BANJARMASIN (KPPBC Tipe A2 Banjarmasin)
JUMLAH DARI PELABUHAN KALSEL
NO.
PELABUHAN MUAT 4.
Sabang
5.
Lhoong Port Aceh
6.
7.
6.
7.
7.
Bakongan Poart
IPPTN Tapak tuan
Ujung Pancu Sea Aceh
Ulee Lheue Sea Port
Blang Pidie South West
JUMLAH DARI PELABUHAN NAD
JUMLAH DARI PELABUHAN KALSEL DAN NAD
SATUAN
2007
2008
2009
2010
2011 (JANUARI - JULI)
Ton
2.280.410,02
2.483.729,00
2.592.798,00
3.081.051
2.170.319,00
US $
51.264.697,90
43.319.681,50
39.485.181
46.319.997,00
32.554.785,00
Ton
23.124,00
384.393,00
1.688.334,68
1.962.599,91
US $
774.654,00
6.150.288,00
27.043.354,90
34.690.671,29
Ton
US $
8.853,05
30.314,00
7.003,00
531.183,12
1.557.528,00
560.240,00
Ton
US $
148.063,46
138.269,47
8.230.422,62
7.260.894,92
Ton
2.280.410,02
2.506.853
2.986.044,05
4.947.763,00
4.278.191,38
US $
51.264.697,90
44.094.335,50
46.166.652,12
83.151.302,52
75.066.591,21
2007
2008
SATUAN Ton
2009
2010
2011 (JANUARI - MARET)
28.400,00
US $
1.278.000,00
Ton
27.300,00
233.465,35
7.584,35
US $
955.500,00
7.584,35
568.033,81
Ton
US $ Ton
180.126,93
76.004,36
7.761.102,48
3.420.197,00
48.454,76
US $
1.986.645,28
Ton
25.401,67
US $
635.041,75
Ton
US $
69.398,67
22.880,52
1.734.966,83
572.012,90
Ton
20.675,00
US $
578.900,00
Ton
US $
55.700,00
556.847,39
127.144,22
2.233.500,00
12.125.340,69
5.139.143,71
Ton
2.280.410,02
2.506.853,00
3.041.744,05
5.504.610,39
4.405.335,60
US $
51.264.697,90
44.094.335,50
48.400.152,12
95.276.643,21
80.205.734,92
Sumber : Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Banjarmasin, Kotabaru, Kalimantan Selatan, Dinas Perdagangan NAD, 2011 (Data Diolah Kembali).
3.3.9.1
Tungku Tegak
Pada saat ini sebagian besar logam besi wantah dihasilkan dari proses tanur tegak (blast furnace) membutuhkan bijih besi berupa lump berkadar tinggi, pellet atau sinter dengan kandungan Fe total ≥ 55%. Kokas digunakan sebagai pereduksi dan sumber panas. Dalam tanur tegak bijih besi mengalami reduksi secara bertingkat sampai dihasilkan logam besi wantah. Kapasitas minimum pengolahan bijih besi menggunakan blast furnace adalah 300-500 ribu ton hot metal per tahun. Sedangkan untuk kapasitas MBF sekitar 36.000 ton hot metal/tahun. Pengaplikasian teknologi blast furnace di Indonesia harus memperhitungkan kebutuhan kokas yang harus diimpor. Sintering plant bijih besi/konsentrat besi juga harus dintegrasikan untuk mengolah bijih besi halus maupun konsentrat besi hasil peningkatan kadar. Gambar 3.48 memperlihatkan skema rangkaian MBF yang dilengkapi circular sintering machine dan wet scrubber system sementara Gambar 3.48 menunjukkan contoh pabrik yang menggunakan MBF. Blast furnace beroperasi dengan kontra penukaran antara aliran udara panas dan bahan baku padat. Bahan baku padat diumpankan dari bagian puncak tanur dan gas panas pereduksi dikirim lewat bagian bawah melalui tuyeres. Bijih besi sinter, kokas dan bahan flux antara lain batu kapur dan/atau dolomit diumpankan ke bagian atas tungku. Udara yang telah dipanaskan dan dimasukkan melalui sejumlah besar nozel yang didinginkan dengan air di bagian bawah tanur disebut tuyeres dan melewati muatan material turun. Material padat umpan bergerak turun ke bagian bawah tanur selama 6 – 8 jam.
92
Gambar 3.48 Elevasi mini blast furnace Udara panas yang ditiupkan dari bagian bawah tanur naik ke puncak lubang bukaan tanur dalam 6 – 8 detik setelah melalui sejumlah reaksi kimia. Karbon monoksida diproduksi sebagai hasil reaksi kimia antara udara panas yang ditiupkan dengan muatan material panas menjadi produk akhir berupa besi cair dengan kandungan karbon tinggi, terak dan gas blast furnace. Besi cair dan terak secara periodik keluar dari lubang pengeluaran. Material ini terbentuk dari bijih besi sinter setelah melalui serangkaian reaksi reduksi kimia yang secara sederhana diartikan sebagai penghilangan oksigen dari besi oksida. Dari rangkaian reaksi reduksi besi oksida yang terjadi, karbon merupakan pereduksi utama untuk mengkonversi oksida besi menjadi besi serta sebagai sumber energi untuk menyediakan panas ketika karbon dan oksigen bereaksi secara eksotermis. Karbon dipasok ke tanur tinggi dalam bentuk kokas dari batubara kelas metalurgi tapi bisa juga dalam bentuk arang dari kayu atau karbon bentuk lain. Pembakaran kokas pada blast furnace menghasilkan gas blast furnace. Gas ini yang diperoleh biasa dimanfaatkan kembali dan digunakan sebagai bahan bakar, sebagian di dalam pabrik masih dalam proses pembangkit listrik yang dilengkapi
peralatan pembakar. Gas blast furnace juga dapat
dikembalikan dan dialirkan ke proses pembuatan kokas untuk energi pembakar dalam pabrik coke oven (Gambar 3.49).
93
Gambar 3.49 Mini blast furnace Material fluks, batu kapur dan dolomit dilebur menjadi terak peleburan untuk menghilangkan pengotor sulfur dan lainnya. Pengaturan komposisi fluks yang berbeda untuk menghasilkan kimia terak yang diinginkan dan membentuk sifat terak optimal seperti titik lebur yang rendah dan mempunyai fluiditas yang tinggi untuk mudah dialirkan. 3.3.9.2 Tungku Putar Teknologi lain yang sudah teruji (proven) dalam pengolahan bijih besi maupun pasir besi adalah proses SL/RN, yang pada intinya adalah proses reduksi dalam tungku putar dan peleburan terhadap reduced iron dalam tungku listrik (EAF/SAF). Reduksi dalam tungku putar membutuhkan gas alam sebagai reduktor dan sumber panas, atau dapat menggunakan batubara subbituminus. Teknologi SL/RN membutuhkan kandungan Fe dalam bijih besi relatif rendah (minimum 55% Fe). Diagram alir proses pengolahan bijih besi dengan teknologi SL/RN dapat dilihat pada Gambar 3.50 hasil reduksi berupa reduced iron/sponge iron dilebur dalam tungku listrik (EAF, electric arc furnace).
94
Gambar 3.50 Teknologi SL/RN dalam pengolahan bijih besi 3.3.9.3 Aspek Teknis dan Ekonomis Teknologi Mini Blast Furnace Volume mini blast furnace adalah 50 m3 yang akan menghasilkan 36.000 t hot metal (besi wantah cair) per tahun, yang dilengkapi peralatan penunjang berupa: 1.
Sistem pengumpanan material;
2.
Penampung (silo) bijih besi/konsentrat besi, kapur dan kokas,;Sistem pemuatan di atas blast furnace;
3.
Stove, pembangkit udara panas;
4.
Sistem injeksi udara panas bertekanan, tuyeres;
5.
Platform dan bangunan penuangan besi wantah;
6.
Sistem penyaringan debu;
7.
Sistem granulasi terak;
8.
Sistem penuangan besi wantah;
9.
Fasilitas umum utilitas umum, dan lain-lain.
Parameter Utama Tekno-ekonomi Tabel 3.38 memperlihatkan spesifikasi teknis blast furnace dengan volume 50 m3. Untuk menghasilkan 36.000 ton besi wantah per tahun diperlukan 21.600 ton kokas per tahun. Mini blast furnace membutuhkan kokas grade 2 dengan sifat fisik compressive strength yang relatif rendah (di bawah ≤ 250 kgf/m2). Untuk memperoleh karakteristik aliran gas yang menyebar merata, maka perbandingan antara sinter dan bijih besi bongkah adalah 4:1. Karakteristik umpan dengan kandungan ± 60% Fe sedangkan bijih besi bongkah ≥61% Fe. Terak sebagai produk dari peleburan bijih dengan blast furnace dimanfaatkan sebagai material sand blasting. Sedangkan kunsumsi bahan untuk menghasilkan per ton logam besi dapat dilihat pada tabel 3.39.
95
Tabel 3.38 Spesifikasi teknis No.
Deskripsi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Unit
Parameter
m3 t/m3·d t/t
50 2.0-2.2 0.600
kg/t
500
kg/t % % % ℃ Mpa kg/t Kw D T T Tahun t/d
120 ≥59.98% 80 20 ≥1100℃ 0.010-0.013 350 1865 330 100 36,000 5 200
Volume blast furnace Produktifitas Kebutuhan kokas total Kebutuhan kokas sebagai sumber energi Kebutuhan kokas sebagai reduktor Kadar umpan bijih besi Kebutuhan bijih besi sinter Kebutuhan bijih besi bongkah Temperatur udara panas Tekanan di bagian atas BF Keluaran terak Kapasitas daya listrik terpasang Hari kerja per tahun Keluaran logam cair per hari Keluaran logam cair per tahun Masa pakai sebelum overhaul Kapasitas cetakan pig iron per tahun
Keterangan
Kokas metalurgi grade 2 Normal value Kadar: 59.75%, Fe ≥61%
Tabel 3.39 Konsumsi bahan untuk menghasilkan per ton logam besi Pasokan Bahan Baku dan Sistem Pengisian Blast furnace Tandan untuk bijih besi dan bahan lainnya harus diatur dalam satu baris sehingga terdapat total tujuh tandan material, yang terdiri atas dua untuk penampung kokas, dua penampung bijih sinter, dua penampung bijih bongkah dan satu untuk penampung bahan lain-lain. Sinter dan kokas harus dilewatkan ke dalam penyaringan untuk memisahkan bentuk halus. Bijih bongkah tidak perlu diayak, Parameter
unit
Konsumsi
3
Air bersih Listrik Uap Udara bertekanan
m kW·h Kg m3
2 146 30 10
BF blower
m3
1.496
BF Gas
m3
800
Konsumsi batubara
Kg standard coal
BF mud gun Material for hot metal trough Pasir
Kg Kg Kg
453,1 4 4 5
dimasukkan ke dalam hopper dengan melewati sistem penimbangan berat untuk diumpankan ke dalam blast furnace
menggunakan belt conveyor.
Semua hopper dilengkapi dengan sistem
penimbangan agar umpan yang masuk ke dalam blast furnace terkendali sesuai dengan kapasitas 96
terpasang. Terdapat dua buah hopper berisi 1,3 m3 untuk bijih sinter, dua berisi 2,3 m3 untuk coke breeze, dua berisi 1,3 m3 untuk bijih bongkah, dan satu berisi 1,3 m3 untuk bahan lain-lain. Bijih dan kokas halus hasil penyaringan dengan menggunakan belt conveyor dimasukkan ke dalam sintering plant akan digunakan kembali sebagai bahan baku. Peralatan Pengisian Bagian Atas BF Di bagian atas blast furnace terdapat sistem pengisian material menggunakan bell ganda yang akan membuka dan menutup corongan. Dorongan hidrolik menyebabkan bell terbuka sedangkan bell bagian atas tertutup akibat adanya sistem equalizer yang dilengkapi dua gauge lever otomatis-sistem pengisian untuk kombinasi empat sistem bucket. Struktur Blast Furnace Blast furnace ditopang oleh struktur fondasi beton yang tertanam pada kedalaman yang sesuai. Struktur tersebut dapat menyokong bebannya sendiri, untuk hal ini terdapat enam platform untuk pemeliharaan dan operasi, enam tuyeres, satu lubang tapping logam cair dan keluaran terak. Bata alumina high grade digunakan untuk dinding blast furnace. Metode pendinginan Ada lima bagian yang harus didinginkan pada dinding furnace, yaitu tuyere, lubang terak akan didinginkan oleh air industri tekanan normal, bagian bawah blast furnace didinginkan dengan sistem pipa yang ditanamkan ketika suhu di atas blast furnace terlalu tinggi. Tuyere terbuat dari tembaga dengan struktur tabung dan diselimuti pipa air φ 45 × 10 mm serta didinginkan oleh air bertekanan tinggi industri. Laju aliran adalah 2,0 m/detik; dinding terbuat baja strip dari baja cor. Platform tuyere dan cast house merupakan struktur beton bertulang. Platform ini diisi pasir, batu bata, dan tanah liat. Hot Stove Terdapat tiga tungku pemanas berbahan bakar yang disusun dalam satu garis pengaturan. Kubah tungku pemanas adalah struktur catenary yang terdiri atas: a.
Diameter tutup tungku pemanas diameter dalam 4.050 mm
b.
Diameter kubah baja diameter dalam 5.200 mm
c.
Tinggi tungku pemanas 14043 mm
d.
Debit udara panas ke BF 300 m3/min
e.
Tekanan udara panas 0.250 MPa
f.
Suhu di atas lengkungan ≥ 1250 ℃
g.
Suhu udara panas 1.050-1.150 ℃
h.
Area pemanasan setiap m3 BF 153,4 m2/m3
97
i.
Bahan bakar gas
j.
Burner keramik burner
k.
Combustion fan
l.
Kendali pasokan udara, satu untuk operasi, satu untuk standby
m. Suhu gas buang rata-rata 250 ℃, Max 350 ℃. Total biaya engineering procurement and construction (EPC) untuk pabrik peleburan bijih besi dengan blast furnace adalah USD 5.800.000,00, sudah termasuk pembangunan pembangkit listrik. 3.3.10 Hasil dan Pembahasan 3.3.10.1 Pengembangan Wilayah Strategis Secara geografis, Aceh memiliki peluang untuk berkembang karena berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan lautan Hindia. Hal ini didukung pula sebagai hubport yang berfungsi sebagai pelabuhan ekspor/impor internasional dan pelabuhan transit yang berpeluang untuk dikembangkan, namun kawasan tersebut masih belum berkembang seperti yang diharapkan karana sarana dan prasarana belum memadai. Disamping itu, pengembangan wilayah kabupaten/kota yang belum seimbang dan terintegrasi antara wilayah barat, tengah dan wilayah timur. Penetapan kawasan strategis Aceh didasarkan pada pengaruh yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan secara bersinergi yang bertujuan untuk; a. Menata kawasan strategis di seluruh Aceh menjadi lokasi yang kondusif untuk berinvestasi bagi penanam modal dalam negeri maupun asing yang didukung oleh kemampuan pelayanan, manajemen, kearifan adat dan budaya serta sarana dan prasarana yang lengkap; b. Memanfaatkan peluang globalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi kawasan asia dan internasional secara optimal; c. Meningkatkan kapasitas tampung kawasan strategis terhadap kegiatan perdagangan dan jasa sesuai dengan daya dukung lingkungan; d. Mengalokasikan ruang dan kesempatan bagi pengembangan sektor informal dan golongan usaha skala kecil menengah secara terintegrasi. Rencana Tata Ruang Aceh Tahun 2012-2032 telah menetapkan 4 kawasan sebagai bagian dari rencana pengembangan kawasan strategis Aceh yang meliputi: a. Kawasan pusat perdagangan dan distribusi Aceh atau ATDC (Aceh Trade and
Distribution
Center) tersebar di 6 (enam) zona, meliputi; Zona Pusat : Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dengan lokasi pusat agro industry di Aceh Besar;
98
Zona Utara : Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan lokasi pusat agro industry di Kabupaten Bireuen; Zona Timur : Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang dengan lokasi pusat agro industry di Kabupaten Aceh Tamiang; Zona Tenggara : Gayo Luwes, Aceh Tenggara, Subulussalam, Singkil, Pulau Banyak dengan lokasi pusat agro industry di Aceh Tenggara; Zona Selatan : Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Simeulue dengan lokasi pusat agro industry di Aceh Barat Daya; Zona Barat
: Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya dengan lokasi pusat agro industri di
Kabupaten Aceh Barat. b. Kawasan agrowisata yang tersebar di 17 (tujuh belas) kabupaten yang tidak termasuk ke dalam lokasi pusat agro industry; c. Kawasan situs sejarah terkait lahirnya MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka; d. Kawasan khusus. Pengembangan wilayah juga dilakukan dengan peninjauan kembali distribusi penduduk dari kabupaten/kota yang berpenduduk padat ke kabupaten/kota yang penduduk tidak padat untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru melalui optimalisasi pemanfaatan lahan, penyediaan lapangan usaha baru dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, identifikasi lahan yang sesuai khususunya lahan terlantar perlu dilakukan dengan memperhatikan arahan pengembangan wilayah sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTRW) Aceh.
3.3.10.2 Pengembangan Sumber Daya Energi dan Mineral Kapasitas listrik di Aceh hingga kini belum memadai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, usaha, umum dan industri. Saat ini baru 60 persen yang terpenuhi untuk kebutuhan rumah tangga dan sebagian besar dipasok dari Sumatera Utara. Sementara itu, kebutuhan energi listrik untuk mendukung dunia usaha dan industri masih belum tersedia. Diperkirakan untuk 5 tahun kedepan Aceh membutuhkan pasokan listrik sekitar 500 MW. Pada tahun 2025 diperkirakan kebutuhan energi listrik sebesar 7.131 MW. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
dalam mengatasi
kendala kebutuhan energi listrik difokuskan kepada energi terbarukan (non fosil) antara lain energi panas bumi, energi air, tenaga angin dan tenaga surya. Beberapa sumber energi terbarukan tersebut sudah mulai dikembangkan seperti energi panas bumi Seulawah Agam di Aceh Besar, energi tenaga 99
air Krueng Peusangan dan energi tenaga angin Kluet Selatan di Aceh Selatan. Sementara itu, sumber energi terbarukan lainnya masih pada tahap pengkajian dan perlu ditindaklanjuti sebagai prioritas pembangunan jangka panjang. Aceh memiliki sumberdaya mineral yang cukup potensial, namun belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Bebarapa potensi pertambangan di wilayah Aceh mencakup semua bahan tambang, yaitu: mineral dan batubara (minerba), minyak dan gas bumi (migas), panas bumi dan air tanah. Potensi pertambangan yang telah teridentifikasi terdiri atas bahan tambang strategis (golongan A), bahan tambang vital (golongan B), dan bahan tambang golongan C (bahan galian). Potensi ini masih belum dimanfaatkan oleh investor dari dalam dan luar Aceh akibat kurangnya informasi, promosi dan regulasi yang mendukung investasi. 3.3.10.3 Posisi Aceh Dalam Bisnis Bijih Besi di Dunia Dengan peringkat 12 besar sebagai pemilik sumber daya bijih besi dan bahkan tidak termasuk peringkat sebagai salah satu pemilik cadangan bijih besi
dunia, Indonesia sebenarnya tidak
memegang posisi dan peran penting dalam perdagangan bijih besi internasional, hanya sebagai salah satu negara pemasok bijih besi bagi kebutuhan di luar negeri (terutama Cina), tetapi tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang bagus dalam menentukan harga di pasaran dunia. Bagi Aceh, meskipun hanya sebagai produsen komoditas bijih besi nasional, letak geografisnya yang menjadi lalu-lintas perdagangan dunia dapat dijadikan sebagai keunggulan komparatif dibandingkan dengan produsen bijih besi dari provinsi lain. Sebagai wilayah dengan potensi bijih besi yang cukup besar, seharusnya sektor pertambangan bijih besi menjadi salah satu andalan dalam pembangunan daerah. Selain itu sektor pertambangan juga berpotensi untuk dijadikan penggerak utama (prime mover) ekonomi daerah, namun selama ini hampir seluruh produk bijih besi dijual dalam bentuk mentah sehingga kontribusi dan pemanfaatnnya dalam perekonomian daerah masih kecil. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya bijih besi agar menjadi penggerak pembangunan ekonomi daerah, diperlukan upaya percepatan dan terobosan dalam pembangunan industri pengolahan produk pertambangan bijih besi yang didukung dengan kebijakan politik dan ekonomi serta iklim sosial yang kondusif. Dalam kaitan ini, koordinasi dan dukungan lintas sektor serta pemangku kepentingan lainnya menjadi salah satu prasyarat yang sangat penting. Revitalisasi pertambangan bijih besi merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan hal tersebut. Dengan revitalisasi diharapkan sektor pertambangan bijih besi mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyumbang devisa dari ekspor non migas, mengurangi kemiskinan, dan menyerap tenaga kerja sehingga lebih dapat meningkatkan kontribusinya dalam perekonomian daerah. 3.3.10.4 Peningkatan Nilai Tambah Daerah 100
Tingkat pertambahan nilai komoditas pertambangan di Aceh masih sangat rendah karena belum tersedianya sarana dan prasarana pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan. Sebagian besar produk pertambangan di ekspor dalam bentuk bahan mentah (row material) sehingga pengolahan dan pemurnian menjadi sangat penting untuk memberi nilai tambah, membuka peluang tenaga kerja dan memperluas serapan pasar terhadap komoditas tambang tersebut. Karena itu, perubahan paradigma pembangunan sektor pertambangan mutlak diperlukan dengan prioritas peningkatan nilai tambah dari produk-produk pertambangan Aceh. 3.3.10.5 Arahan Pengembangan Kawasan Pertambangan dan Pengolahannya Penambangan bijih besi di Aceh saat ini dilakukan oleh PT. Lhoong Setia Mining dan PT. Tambang Inderapuri Jaya di Aceh Besar; PT. Jaya Aceh Mining, PT. Bumi Babah Rot, dan PT. Lauser Karya Tambang di Aceh Barat Daya; serta PT Tiega Manggis di Aceh Selatan. Dari beberapa perusahaan tersebut baru ada satu perusahaan yang telah merencanakan akan membangun pabrik pengolahan/pemurnian besi yaitu PT. Lhoong Setia Mining. Kebutuhan energi listrik yang dibutuhkan untuk rencana pembangunan smelter PT. Lhoong Setia Mining minimal sebesar 9,000 Kva atau setara dengan 7.2 MW, sementara itu daya yang tersedia di Aceh sebesar 240 MW dan hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, belum merambah ke industri yang 60% daya listriknya dipenuhi dari interkoneksi dengan Sumatera Utara.(Data Website KAPET Bandar Aceh Darussalam, tahun 2011). Mengingat besarnya energi listrik yang dibutuhkan untuk smelter, untuk memenuhi kekurangan energi listrik tersebut diharapkan percepatan pembangunan pusat-pusat listrik baru di Aceh bisa segera terwujud termasuk Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Kawasan pertambangan besi di Aceh tersebar di sebagian wilayah pesisir barat seperti di Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Subulusalam. Mengingat kawasan-kawasan pertambangan besi di Aceh sebagian besar besinggungan dengan kawasan hutan dan atau kawasan taman nasional, pengembangan kawasan pertambangan dan industri pengolahannya harus tetap mengacu pada tata ruang wilayah khususnya wilayah pertambangan (WP). 3.3.10.6 Kesesuaian Lahan Untuk Smelter Besi Hal penting yang menjadi pertimbangan dalam menentukan kawasan/lokasi pembangunan smelter besi di Aceh di antaranya tata ruang wilayah; infrastruktur; ketersediaan energi dan lingkungan, apabila persyaratan-persyaratan lokasi pembangunan smelter tersebut terpenuhi, kawasan/lokasi yang sesuai untuk lokasi pembangunan smelter adalah : 1.
Kawasan Mulut Tambang. Salah satu perusahaan yang paling siap membangun smelter di Aceh adalah PT. Lhoong Setia Mining (LSM) di Aceh Besar. Perusahaan ini akan membangun smelter di dalam WIUP (mulut tambang). Lokasi perusahaan ini memang sangat strategis selain
101
sangat dekat dengan jalan Trans Barat Aceh, juga dekat dengan pelabuhan yang selama ini digunakan untuk ekspor bijih ke Cina (Gambar 3.51). Berdasarkan hasil eksplorasi permukaan dan bawah permukaan yang telah dilakukan oleh PT. LSM, WIUP Operasi Produksi PT. Lhoong Setia Mining memiliki sumber daya bijih besi sebesar ± 6,063,965.77 MT, sedangkan perkiraan jumlah cadangan bijih besi (measured reserve) adalah ± 3,638,379.46 MT. Mengacu kepada dengan rencana akan dibangunnya smelter PT LSM masih mengharapkan suplai bahan baku biji besi dari luar yang secara sumber daya maupun cadangan di Aceh potensinya sangat besar. Dengan kapasitas desain 290 Tph, kebutuhan energi untuk rencana pembangunan smelter PT LSM berupa energi listrik sebesar 9,000 Kva setara dengan 7.2 Mwatt, sementara itu daya yang tersedia di propinsi Aceh sebesar 240 Mwatt hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan energi yang besar inilah yang sampai saat ini masih menjadi kendala PT LSM untuk segera membangun smelter.
Gambar 3.51 Rencana lokasi smelter PT. Lhoong Setia Mining 2.
Kawasan Industri. Berdasarkan RTRW, Aceh telah menetapan 10 kawasan unggulan pada kawasan budidaya lainnya dalam kawasan andalan Aceh. Dari 10 kawasan tersebut, hanya empat yang menetapkan kegiatan unggulan industri yaitu : Wilayah Pengembangan Basajan (Banda Aceh – Sabang – Jantho) Wilayah Pengembangan Timur 1 (Langsa – Kuala Simpang – Idi Rayeuk) Wilayah Pengembangan Timur 2 ( Lhok Seumawe – Bireun – Lhok Sukon) Wilayah Pengembangan Timur 3 (Sigli – Meureudu).
Melihat empat posisi wilayah pengembangan dengan daerah yang memiliki potensi bijih besi yang berada di pesisir pantai barat, kesesuaian lahan untuk pabrik pengolahan dan pemurnian bijih besi berada di kawasan industri wilayah pengembangan Basajan. Pemenuhan bahan baku untuk smelter di kawasan Basajan dapat dilihat pada gambar 3.52.
102
IUP Besi/Pasir Besi
IUP Besi/Pasir Besi
IUP Besi/Pasir Besi
Transportasi Laut
Kawasan Industri Basajan
Transportasi Darat
Gambar 3.52 Model pembangunan smelter pada kawasan Basajan
3.
Kawasan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) :
Sebagai pelabuhan bebas dan telah ditetapkan sebagai kawasan pusat kegiatan strategi nasional oleh pemerintah Sabang, Sabang diharapkan segera mempunyai sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk berkembangnya pertumbuhan kawasan tersebut. Sebagai pelabuhan ekspor/impor internasional dan pelabuhan transit yang berpeluang untuk dikembangkan, tentunya akan mempermudah pengangkutan hasil pengolahan dan pemurnian mineral besi baik untuk diekspor maupun untuk kebutuhan dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, Sabang memiliki cadangan terduga energi sebesar 50 Mwe dari lapangan panas bumi Jaboi yang siap untuk dikembangkan serta dua lapangan panas bumi lainnya yaitu Iboih dan Lho Pria Laot dengan total potensi sumber daya spekulatif sebesar 75 Mwe. Dengan kondisi seperti tersebut di atas kawasan PKSN Sabang tepat dapat menjadi pertimbangan sebagai lokasi pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian bijih besi Gambar 3.53.
103
Gambar 3.53 Pembangunan smelter pada kawasan PKSN 3.3.10.7 Sinkronisasi Pengembangan Mineral Besi dan Panas Bumi. Data Dinas Pertambangan dan Energi Maluku Utara 2010 menunjukkan potensi sumber daya mineral bijih besi tersebar di Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Subulusalam. Pasir besi tersebar di Aceh Besar dan Pidie. Sedangkan sumber daya panas bumi berada di Sabang, Aceh Besar, Pidie, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tamiang dan Gayo Luwes. Berdasarkan keberadaan sumber mineral besi yang sebagian besar berada di pesisir barat sedangkan keberadaan sumberdaya panas bumi berada di deretan pegunungan di bagian tengah, ada dua kabupaten yang memiliki kedua potensi tersebut yaitu Aceh Besar dan Pidie. Dalam hal pengembangannya, wilayahwilayah yang mempunyai potensi panas bumi dapat memasok energi listriknya melalui jaringan transmisi ke kawasan-kawasan lain (tambang, pusat-pusat industri) untuk digunakan sebagai energi dalam proses pengolahan/pemurnian mineral. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan agar ke dua potensi tersebut dapat dikembangkan secara terpadu adalah potensi bijih besi dan jumlah produksi, potensi dan proses pengembangan panas bumi, Teknologi proses pengolahan/pemurnian bijih besi dan kebutuhan energi listrik dan kondisi infra struktur (jaringan listrik, jalan, dan pelabuhan). A. Infrastruktur a. Listrik Kondisi kelistrikan yang tersambung dalam sistem 150 kV Sumut-Aceh masih mengalami defisit. Untuk mengatasi hal tersebut sering harus dilakukan penurunan tegangan (brown out) dan dalam kondisi tertentu terpaksa dilakukan pemadaman bergilir. Daerah terilosasi yang masih mengalami defisit adalah Aceh Tengah dan Aceh Singkil. Untuk mengatasi defisit pada kedua daerah tersebut ditempuh kebijakan dengan memanfaatkan suplai 20 kV dari gardu induk yang terdekat yang jaraknya 104
jauh dari pusat beban. Hal ini menyebabkan tegangan yang diterima pada kedua daerah tersebut pada saat beban puncak turun menjadi 16,5-8 kV. Kapasitas terpasang pembangkit di Aceh saat ini sebesar 146,5 MW dengan daya mampu rata-rata 98 MW. Sebagian pembangkit tersebut merupakan isolated murni dan sebagian lagi tersambung ke sistem transmisi 150 kV melalui jaringan distribusi 20 kV. Sebagian besar pembangkit tersebut (99 persen) adalah jenis PLTD yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Defisit energi di Aceh hingga 2009 adalah 36,11 MW. Adapun kualitas tegangan jaringan distribusi untuk beberapa lokasi masih di bawah standar akibat jaringan tegangan menengah (JTM) yang terlalu panjang sampai 165 km dari pusat pembangkit/gardu induk sehingga tegangan pada sisi SUTM mencapai 16,5 kV dan pada sisi pelanggan mencapai 170 volt. Gardu induk yang telah beroperasi sebanyak 7 (tujuh) unit berada di sepanjang pantai timur dan disuplai dari sistem Transmisi 150/20 kV Sumut-Aceh. Pada kenyataannya, suplai tersebut sebesar 130/19,5 kV s.d. 125/19 kV. Beban puncak total PLN wilayah Aceh pada 2008 adalah 255 MW dengan produksi sebesar 1.365 GWh, 70 persen dari produksi tersebut diterima dari sistem intekoneksi 150 KVa Sumut-Aceh. Neraca daya dan subsistem kelistrikan Aceh ditampillkan pada gambar 3.54. Penyaluran energi listrik di wilayah Aceh juga mengalami kehilangan arus (susut distribusi), yaitu kehilangan energi listrik pada saat penyaluran dari pembangkit ke pelanggan yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Penyebab kehilangan arus adalah faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis adalah kehilangan energi listrik yang disebabkan oleh kondisi peralatan yang digunakan, sedangkan faktor non teknis disebabkan oleh kesalahan administrasi dan pemakaian listrik secara ilegal. Pelayanan listrik di daerah terpencil yang belum
105
Gambar 3.54 Neraca daya dan sistem kelistrikan Aceh terjangkau oleh PT. PLN dalam jangka pendek telah dilakukan beberapa upaya antara lain pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Jumlah PLTS yang telah disebar pada 11 kabupaten/kota sampai akhir 2004 berjumlah 880 buah (50-120 WP). Ditinjau dari kondisinya, lebih dari 80 persen di antaranya telah mengalami kerusakan. PLTMH yang telah dibangun di beberapa kabupaten seperti Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Utara dan Aceh Timur hampir seluruhnya telah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi lagi. Hal ini disebabkan oleh keadaan konflik sehingga lokasi di pedalaman tidak mungkin dijangkau untuk pemantauan. Penggunaan energi untuk pembangkitan tenaga listrik saat ini masih bertumpu pada bahan bakar minyak, hanya sebagian kecil saja yang memanfaatkan energi alternatif. Usaha pemanfaatan sumber energi non BBM dalam skala besar seperti power plant Nagan Raya 2 x 100 MW sedang dalam proses pelaksanaan, PLTA Peusangan 2 x 43 MW dilanjutkan kembali pembangunannya dan beberapa tahun terhenti, PLTP Jaboi 1 x 50 MW dalam tahap pembangunan PLTP Seulawah Agam 1 x 180 MW dalam tahap eksplorasi serta PLTU Krueng Raya 1 x 100 MW sedang dalam tahap pembuatan studi kelayakan. Sampai saat ini kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain Inventarisasi lokasi pengembangan energi, survei pendahuluan geotermal Seulawah Agam, penyusunan rancangan qanun kelistrikan dan pembangunan PLTMH untuk pengembangan listrik pedesaan. Potensi energi geotermal terdapat di beberapa kabupaten/kota yaitu : Sabang, Aceh Besar, Pidie, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tamiang dan Gayo Luwes. Kegiatan lain
106
adalah pengembangan sistem prasarana energi listrik di Aceh terutama dengan sistem interkoneksi Sumatera Bagian Utara yang didukung dengan sistem setempat (isolated) pada lokasi-lokasi yang sulit dijangkau sistem interkoneksi. Dengan demikian ini diharapkan dapat dilayani kebutuhan energi listrik sampai ke pedesaan di Aceh. b. Fokus Fasilitas Wilayah/Infrastruktur Aksesibilitas daerah juga dapat ditinjau dari ketersediaan fasilitas perhubungan yang meliputi darat, laut dan udara. Perhubungan darat di Aceh dibagi atas beberapa bagian jaringan transportasi seperti jaringan angkutan jalan raya, jalur kereta api, angkutan sungai dan danau dan angkutan penyeberangan. Faktor aksesibiltas daerah menjadi salah satu tolok ukur dalam menilai keberhasilan pelayanan transportasi. Indeks pelayanan transportasi jalan pada 2006 menunjukkan lintas timur mempunyai tingkat pelayanan lebih baik (43,43%) diikuti lintas Barat (35,49%) dan lintas Tengah 30,92 persen. Hal ini juga berpengaruh langsung terhadap mobilisasi barang dan logistik secara keseluruhan di Aceh. (Buku Rencana Induk Otsus Migas, 2010). Dalam hal ketersediaan prasarana, Aceh memiliki 19 pelabuhan laut dan penyeberangan, 12 unit bandara dan 31 unit terminal bis yang tersebar di kabupaten/kota. Pelabuhan laut yang terbesar adalah Malahayati, Krueng Geukueh, Meulaboh dan Ulee Lheu sebagai pelabuhan penyebarangan dan angkutan. Bandara Sultan Iskandar Muda adalah bandara internasional yang berlokasi di Kabupaten Aceh Besar, sedangkan terminal bis berlokasi di seluruh kabupaten/kota. Selanjutnya jumlah pelabuhan laut/udara/terminal bis secara rinci dapat dilihat pada kondisi pelabuhan laut dan udara ditinjau dari kelengkapan prasarana pokok, keselamatan dan penunjang yang memiliki persentase yang bervariasi. Pelabuhan laut Malahayati dan Lhokseumawe memiliki persentase perlengkapan sarana dan prasarana yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelabuhan laut lainnya, sedangkan bandar udara internasional Sultan Iskandar Muda merupakan bandara bertaraf internasional dan memiliki persentase kelengkapan sarana dan prasarana yang terlengkap dibandingkan seluruh bandara lain di kabupaten/kota. Jalan kereta api Aceh merupakan bagian dari rencana pembangunan kereta api Sumatera lintas timur (Sumatera Railways) yang juga telah dituangkan ke dalam rencana tata ruang wilayah Aceh (RTRWA) yang menghubungkan Banda Aceh sampai dengan Lampung.; untuk Aceh jaringan kereta api menghubungkan Banda Aceh sampai batas Sumatera Utara yang direncanakan sepanjang 486 km. Sampai 2011, pembangunan jaringan kereta api Aceh baru mencapai 14,7 km atau tiga persen dari total yang direncanakan yaitu jalur Krueng Mane – Bungkah - Krueng Geukuh. Dari 2009 hingga 2011 pembangunan difokuskan kepada prasarana dan fasilitas pendukung lainnya seperti stasiun, kantor administrasi, gudang serta jalan akses agar operasional kereta api dapat berjalan lancar. Pengusahaan pengembangan jaringan transportasi laut Aceh terdiri atas pelabuhan yang diusahakan dan dikelola oleh PT Pelindo (BUMN) dan pelabuhan yang diusahakan dan dikelola oleh Kantor 107
Pelabuhan (Kanpel) UPT Kementerian Perhubungan. Pelabuhan yang dikelola PT. Pelabuhan Indonesia (Persero) di Aceh antara lain Malahayati di Krueng Raya Aceh Besar, Meulaboh di Aceh Barat, Kuala Langsa di Langsa, Sabang dan Balohan di Kota Sabang dan pelabuhan Krueng Geukeuh di Lhokseumawe. Pelabuhan yang dikelola oleh kantor pelabuhan adalah Singkil di Pulo Sarok, Aceh Singkil, Susoh di Aceh Barat Daya, Sinabang di Simeulue, Calang di Aceh Jaya, Idi di Aceh Timur, Tapak Tuan di Aceh Selatan. Permasalahan transportasi laut Aceh adalah hampir seluruh pelabuhan laut tersebut belum berfungsi secara optimal, terkait kelengkapan sarana dan prasarana kepelabuhanan. Beberapa pelabuhan telah memiliki fasilitas crain seperti pelabuhan Malahayati, pelabuhan Krueng Geukuh dan pelabuhan Sabang untuk mendukung kegiatan ekspor-impor, namun kegiatan ekspor-impor ini tidak didukung oleh ketersediaan komoditas ekspor dengan skala ekonomi yang memadai sehingga terjadi trade imbalance di provinsi ini. Berdasarkan kebutuhan pelayanan jumlah bandar udara sampai dengan sekarang telah mencukupi. Terdapat 10 bandar udara yang telah beroperasi dan 3 buah bandar udara yang masih dalam tahap pembangunan yaitu bandar udara di Gayo Lues, Pulo Banyak- Singkil dan Batee Gelungkue (Bireuen). Permasalahan dalam transportasi udara adalah terbatasnya sarana dan prasarana pendukung operasional dan keselamatan penerbangan. Hal ini ditunjukkan selain di bandara Sultan Iskandar Muda juga bandara lainnya belum memiliki sertifikat bandar udara, memiliki keterbatasan fasilitas navigasi, masih menggunakan teknologi telekomunikasi sederhana dalam mengatur arus lalu lintas udara yang berdampak kepada tingkat pelayanan serta keselamatan penerbangan. Permasalahan lainnya adalah persoalan manajemen rute untuk menjawab arah pengembangan wilayah di masa mendatang Bandar Udara Sultan Iskandar Muda ditempatkan sebagai bandar udara internasional regional dengan hierarki sebagai bandar udara pengumpul skala tersier di Aceh masih belum berfungsi optimal. Upaya peningkatan yang perlu dilakukan terhadap pelayanan transportasi udara adalah pembangunan prasarana bandara Gayo Lues, Cut Nyak Dhien, Lasikin, Hamzah Fansuri, Rembele, Malikussaleh dan pembangunan gedung VIP bandar SIM.
3.4 Aspek Regulasi 3.4.1 Kebijakan Mineral Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Azas dan tujuan dalam Pasal 2 Bab II Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dikelola berasaskan : a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
108
b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan Tujuan pengelolaan mineral dan batubara dalam Pasal 3 UU minerba tersebut adalah: a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesarbesar kesejahteraan rakyat; dan f.
menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Tujuan pengelolaan minerba dalam Ayat d. dan e. pada Pasal 3 UU minerba tersebut telah diturunkan oleh Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) RI No. 07 Tahun 2012, No. 11 Tahun 2012, dan No. 20 Tahun 2013 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Dengan demikian, aspek regulasi mengenai upaya peningkatan nilai tambah melalui proses pengolahan/pemurnian sudah jelas dan dalam pelaksanaannya tergantung dari keseriusan para pelaku tambang dan ketegasan pemerintah dalam mengimplementasikan peraturan tersebut.
3.4.2 Kebijakan Panas Bumi A. UU 27 tahun 2003 [pasal 1] Panas bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dari suatu system yang disebut panas bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan.
B. UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi
109
Pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu guna memberikan nilai tambah bagi perekonomian bangsa dan Negara. a. Pasal 2: Energi dikelola berdasarkan asas kemanfaafan, rasionalitas, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. b. Pasal 3: Dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, tujuan pengelolaan energi antara lain adalah: -
tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dan pemenuhan kebutuhan balian baku industri dalam negeri;
-
terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan;
-
termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor.
C. Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional Kebijakan Energi Nasional disusun dalam rangka menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Pasal 2 ayat (1): Kebijakan Energi Nasional bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Pasal 2 ayat (2): Sasaran Energi Nasional adalah: Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025. Terwujudnya energi primer (energy mix) yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masingmasing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional: a)
Minyak bumi menjadi kurang dari 20%;
b)
Gas bumi menjadi lebih dari 30%;
c)
Batubara menjadi lebih dari 33%;
d)
Bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5%;
e)
Panas bumi menjadi lebih dari 5%;
f)
Energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5%;
g)
Batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2%. 110
Sampai saat ini, pemanfaatan energi panas bumi di wilayah kajian masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan potensi yang ada. Berbagai upaya dalam rangka mempercepat pemanfaatan energi panas bumi tersebut pernah dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah melalui penyediaan informasi mengenai keberadaan daerah prospek panas bumi yang merupakan hasil dari inventarisasi, survey dan eksplorasi yang telah dilakukan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah, ataupun Badan Usaha. Selain menyediakan informasi terkini mengenai potensi panas bumi, pemerintah juga telah mentapkan wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi. Penetapan WKP tersebut dimaksudkan agar daerahdaerah yang mengindikasikan adanya prosek panas bumi cukup bagus dapat segera dilelang untuk kemudian dikembangkan oleh pemenang lelang. Dengan penetapan WKP tersebut diharapkan dapat mendukung pencapaian target sebagaimana tertuang dalam road map pengembangan panas bumi. Dari sisi regulasi pemerintah juga telah mengembangkan beberapa produk hukum terkait dengan panas bumi. Selain UU No. 27 tahun 2003, dan PP No. 59 tahun 2007, pemerintah juga telah mengeluarkan Permen ESDM No. 11 tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan WKP panas bumi, permen ESDM No. 14 Tahun 2008 mengenai Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik dari PLTP, Peraturan Mentri Keuangan No. 177 dan 178 tahun 2007 mengenai pembebasan Bea Masuk dan PPN atas impor barang untuk kegiatan Hulu Migas dan panas bumi. Regulasi tersebut diharapkan dapat mendukung dan memberikan arah bagi pengembangan energi panas bumi di masing-masing wilayah di Indonesia.
3.4.3
Permasalahan Pengembangan Mineral dan Energi Panas Bumi
3.4.1
Permasalahan Pengembangan Mineral
Proses pengolahan/pemurnian mineral logam (nikel, mangan, dan besi) memerlukan energi listrik cukup besar dan belum bisa dipenuhi oleh daerah setempat;
Diperlukan dana investasi yang besar dalam pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian (smelter) mineral logam;
Keterbatasan IUP kecil dari sisi jumlah cadangan dan kemampuan keuangan dalam membangun smelter.
Minimnya prasarana dan sarana perhubungan darat antarprovinsi dan antarkabupaten dengan pusat-pusat produksi pertambangan (hinterland). Bila dikaitkan dengan struktur tata ruang yang ada, maka keterkaitan antarkota-kabupaten dengan kota-kota kecil di daerah hinterland-nya masih rendah karena terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan darat;
Kondisi geografis wilayah I U P sebagian besar memiliki tingkat kelerengan curam dan topografi yang bervariasi, membutuhkan biaya pembangunan yang tinggi, khususnya pembangunan prasarana perhubungan
darat dari lokasi tambang ke rencana lokasi 111
pembangunan smelter;
Belum dioptimalkannya prasarana dan sarana pelabuhan laut dalam mendukung pembangunan ekonomi, karena pelabuhan tersebut merupakan salah satu pintu gerbang bagi keluar-masuknya barang;
Pada umumnya rencana pembangunan pembangkit listrik dan infrastrukturnya belum menyentuh rencana pembangunan smelter yang mebutuhkan energi listrik cukup besar.
3.4.2
Permasalahan Pengembangan Panas Bumi Potensi panas bumi di wilayah kajian sebagian besar masih merupakan sumberdaya spikulatif dan hipotetik, sedangkan potensi yang termasuk cadangan, baik terduga, mungkin dan terbukti masih sedikit;
Pengembangan panas bumi dari tahap eksplorasi sampai komisioning membutuhkan waktu 5-6 tahun;
Pengembangan geotermal di wilayah studi kasus belum memperhatikan tingkat kebutuhan listrik yang diperlukan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral, sehingga contract of dead (COD) pengembangan geotermal hanya untuk memenuhi kekurangan listrik yang diperlukan oleh masyarakat rumah tangga pada khusunya;
Biaya investasi yang sangat tinggi dan resiko kegagalan tinggi : Peraturan Menteri Keuangan No. 139 /PMK .011/2011itu hanya menjamin ketika pembangkit yang di bangun swasta beroperasi, tetapi regulasi itu tidak menjamin selama masa eksplorasi sampai konstruksi;
Jika pelelangan dilakukan pada setelah tahapan survei pendahuluan, dimana akurasi data dan informasi yang dimiliki belum memadai, maka pelelangan yang dimaksudkan sebaiknya untuk melelangkan kontrak tehadap tahapan selanjutnya yakni kontrak pelaksanaan eksplorasi. Jika tetap dipaksakan dengan skema pelelangan yang ada saat ini, maka kompetensi pemenang lelang dalam hal pengembangan panas bumi belum tentu sesuai harapan. Hal ini dapat berpotensi menimbulkan perselisihan di masa mendatang terkait deviasi antara prospek dengan kondisi aktual pengembangan;
Setelah mendapatkan data dan informasi yang lebih akurat, seperti halnya setelah tahap eksplorasi/pengeboran eksplorasi, pemenang lelang tersebut mendapatkan prioritas untuk melaksanakan eksploitasi dan pengembangan lapangan panas bumi berdasarkan Power Purchase Agreement (PPA);
Belum adanya kepastian bahwa harga hasil lelang merupakan harga pembelian PT.PLN (Persero)
Belum ada standar perjanjian pembelian listrik oleh dari PT. PLN (Persero) sebelum lelang dilakukan;
112
Belum adanya kepastian dalam proses perizinan dan rekomendasi, di antaranya: o
rekomendasi AMDAL dari gubernur;
o
izin penggunaan air tanah dan air permukaan;
o
izin lokasi dari gubernur/ bupati;
o
izin pinjam pakai lahan;
o
izin masuk kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Regulasi Hulu-Hilir belum selaras. Lelang WKP oleh pemda sedangkan energy sales contract (ESC) dengan PT. PLN;
Belum ada payung hukum bahwa harga hasil lelang pemda dapat langsung dipakai sebagai harga kontrak di ESC;
Harga hasil lelang pemda pada beberapa WKP di atas harga patokan tertinggi ESDM;
Biaya eksplorasi yang tinggi dan umumnya menggunakan modal sendiri;
Kontra produktif regulasi di bidang energi dan kehutanan. V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari uraian bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Sampai saat ini, produk mineral logam (nikel, mangan, dan besi) di wilayah kajian berupa bijih atau belum dilakukan proses pengolahan/pemurnian;
2.
Proses pengolahan/pemurnian membutuhkan energi listrik cukup besar dan belum tersedia di masing-masing wilayah;
3.
Potensi energi, khususnya panas bumi sebagian besar berupa sumberdaya, sehingga dalam pengembangannya memerlukan waktu lama, yaitu antara 5-6 tahun.
4.
Potensi panas bumi di wilayah kajian dapat mendukung industri pengolahan/pemurnian mineral logam melalui distrribusi jaringan listrik interkoneksi yang sudah direncanakan di masingmasing wilayah.
5.
Rencana pembangunan PLTP dan PLTP eksisting belum menyentuh kebutuhan listrik untuk proses pengolahan/pemurnian mineral logam;
6.
Terkait dengan potensi energi panas bumi yang dapat dikembangkan dan jumlah smelter untuk memproses mineral bijih yang cukup banyak, pengembangan panas bumi harus terpadu dengan rencana pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi lain.
113
7.
Sinkronisasi pengembangan mineral dan panas bumi dapat terlaksana apabila: a. Jaringan interkoneksi dari pembangkit listrik panas bumi dan sumber energi lain ke lokasi smelter tersedia; b.
Permasalahan pengembangan energi panas bumi, khususnya yang terkait dengan aspek regulasi dapat diminimalisir;
c. Fasilitas infrastruktur transportasi di masing-masing wilayah kajian sudah cukup tersedia dan terdistribusi di banyak kabupaten, namun masih harus lebih dioptimalkan terutama dalam hal pelayanan dan manajemen transportasi. 5.2 Saran 1. Sinkronisasi pengembangan mineral dengan energi panas bumi diperlukan komitmen yang mengikat
antara
pemangku
kepentingan
(Pemerintah
Daerah)
dengan
para
pelaku
tambang/investor smelter, pemilik WKP, dan PT. PLN. 2. Terkait upaya mengurangi resiko hulu (eksplorasi) panas bumi dan mendapatkan pelaksanaan pengembangan panas bumi yang lebih efektif, maka implementasi dari pola pengusahaan panas bumi dengan skema kerjasama pemerintah swasta (KPS) sebagai alternatif dari skema yang ada saat ini. 3. Melalui implementasi KPS, status clean and clear (terkait resiko eksplorasi ataupun urusan lahan dan kehutanan) dapat diperoleh sebelum dilakukan pelelangan terhadap Kontrak Pengembangan Lapangan. 4. Pelelangan sejatinya merupakan proses untuk mendapatkan badan usaha yang layak dan berhak atas suatu kontrak pelaksanaan pekerjaan bukan proses untuk melelangkan suatu lisensi (IUP). 5. Jika pelelangan dilakukan setelah tahapan survei pendahuluan dengan akurasi data dan informasi yang dimiliki belum memadai, pelelangan yang dimaksudkan sebaiknya untuk melelangkan kontrak tehadap tahapan selanjutnya yakni Kontrak Pelaksanaan Eksplorasi. Jika tetap dipaksakan dengan skema pelelangan yang ada saat ini, kompetensi pemenang lelang dalam hal pengembangan panas bumi belum tentu sesuai harapan. Selain itu, hal ini dapat berpotensi menimbulkan perselisihan di masa datang terkait deviasi antara prospek dengan kondisi aktual pengembangan. 6. Apabila kewenangan masih tetap berada di pusat perlu ada distribusi pengaturan antar tingkat pemerintahan sehingga setiap pihak menjadi jelas tanggungjawabnya 7. Berdasarkan hal tersebut, untuk menghindari potensi konflik lebih lanjut, maka diusulkan wilayah kontrak kerja (JOC) dapat disesuaikan menjadi WKP sesuai wilayah kontrak kerja,
114
8. Untuk terselenggaranya proses lelang WKP panas bumi yang transparan dan akuntabel pihak pemerintah perlu meningkatkan kualitas data teknis lelang dalam bentuk Dokumen Teknis yang disahkan oleh instansi yang berwenang, dalam hal ini Badan Geologi. 9. Diperlukan keterlibatan pemerintah sesuai dengan kewenangan dan kapasitasnya dalam mengawal pengembangan panas bumi dan menyelesaikan segala konflik horizontal (G to G) dan sosial yang terjadi selama pengembangan panas bumi tersebut. 10. Diperlukan ketentuan-ketentuan pengaturan lebih lanjut mengenai kondisi apab ila badan usaha pemenang lelang tidak dapat melanjutkan kegiatan akibat terjadinya kendala-kendala di luar kemampuan perusahaan. 11. Terkait dengan Revisi UU No. 27 Tahun 2003 tentang panas bumi, perlu dipertimbangkan dampak penghilangan kata yang berasosiasi dengan kata “pertambangan” dalam revisi undangundang (RUU) panas bumi karena belum seutuhnya efektif jika peraturan lain yang berkaitan, seperti halnya UU No.41/1999 tentang Kehutanan, tidak ikut direvisi juga. Selain itu, perlu ada upaya perbaikan mekanisme penerbitan UKL/UPL, AMDAL atau Ijin Lingkungan dan kejelasan tanggung jawab pengelola sektor Lingkungan Hidup (KLH/BPLHD) apabila terjadi konflik di lapangan setelah ijin diterbitkan 12. Diusahakan percepatan penerbitan PP dan Permen sebagai pengaturan lebih lanjut/rinci sehingga Pemerintah Provinsi dapat menyusun peraturan daerah serta kebijakan dan peraturan pendukungnya demi efektifnya implementasi pengembangan dan pengusahaan panas bumi di daerah, terutama tehadap substansi yang menjadi kewenangan langsung pemerintah daerah, yakni: pelaksanaan dan pengawasan pengusahaan panas bumi, pemanfaatan langsung dan pemberdayaan masyarakat, 13. Keterlibatan PT PLN diperlukan sejak dari awal proses lelang agar prinsip keadilan dalam lelang terpenuhi dan menghilangkan potensi perselisihan antara pemenang lelang dan PT PLN seperti yang terjadi selama ini, sehingga pemberi pinjaman (bank) juga melihat adanya struktur lelang yang bankable 14. Adanya komitmen yang kuat dalam pengembangan energi panas bumi selaras dengan kebijakan energi nasional dengan memperhatikan nilai keberlanjutan energi dan kelestarian lingkungan. 15. Adanya peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan energi panas bumi secara tegas dan komprehensif serta adanya pengaturan tentang penentuan harga energi panas bumi sesuai dengan keekonomiannya untuk menjamin competitive return on investment sesuai resiko yang diambil dalam rangka mendorong iklim investasi yang lebih kondusif. 16. Adanya pengurangan resiko teknis untuk investasi di sektor panas bumi dengan:
115
menyediaan data survei pendahuluan – cadangan mungkin yang komprehensif sebelum WKP ditawarkan;
kepastian tentang penggunaan lahan untuk pemanfaatan energi panas bumi
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
-----------“ Aceh Dalam Angka”, Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Aceh,2012 -----------“ Nusa Tenggara Timur Dalam Angka”, Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur, NTT, 2012 -----------“Malku Utara Dalam Angka”, Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara, 2012 -----------Profil WKP Dan Potensi Panas Bumi Di Indonesia, PT. Media Data Riset, 2012 Husnan, DR. ST., MP., Arah Kebijakan dan Prioritas Pembangunan Pertambangan dan Energi Tahun 2014, Bappeda Provinsi Aceh 2013 ----------- “Profil Ekonomi Daerah Provinsi Maluku Utara”, Bappeda Provinsi Maluku Utara, 2012 ----------- “RPJM dan RPJP Provinsi Aceh, Bappeda Provinsi Aceh, 2012 ----------- “RPJM dan RPJP Provinsi Nusa Tenggara Timur”, Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Timur,2012 ----------- “Data Potensi dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan”, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011. Mahdinur, IR., “Perkembangan Komoditas Tambang Besi dan Rencana Pembangunan Smelter Bijih Besi” Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh, 2013 ----------- “Sistem Kelistrikan Provinsi Aceh” PT PLN (Persero) Provinsi Aceh, 2013 ----------- “Rencana Pembangunan Smelter Bijih Besi”, PT. Lhoong Setia Mining, 2013 ----------- “Neraca Panas Bumi Indonesia”, Pusat Sumber Daya Geologi, 2012 -----------“Daftar Izin Usaha Pertambangan Provinsi Aceh”, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh, Banda Aceh, 2012. -----------“Indonesia Mineral and Coal Statistics”, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, 2012.
16. Daftar Izin Usaha Pertambangan Provinsi Nusa Tenggara Timur”, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang, 2012 17. -----------“Nusa Tenggara Timur dalam Angka, 2010”, Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang, 2010 18. -----------“Kajian Kebijakan Pengembangan Industri Mineral dan Energi Terpadu Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Nusa Tenggara Timur, Pusat Data dan Informasi Mineral dan Batubara, Jakarta, 2011 19. -----------“Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara”, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Jakarta, 2010 116
20. -----------“Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi”, Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi, 2008 21. -----------“Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Jakarta, 2010
117